modul xi digital transmisi part i
TRANSCRIPT
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 1
Modul XI
Digital Transmisi (part I)
Transmisi Digital
1.1. Pengantar
Diluar telegraphi, jenis komuniksai belum ada sampai menjelang perang
dunia kedua. perkembangan televise dan radar merubah hal ini. Sekarang ini banyak
sekali komunikasi dalam bentuk Pulsa (digital), dan proporsinya semakin besar.
Pertumbuhan yang tajam dalam komunikasi digital sebagai ganti komunikasi analog
disebabkan oleh 2 faktor: Pertama, fakta pertama adalah sejumlah informasi yang
harus dikirim sudah berbentuk pulsa (digital), sehingga mengirimkanya dalam bentuk
pulsa menjadi sangat mudah. Faktor kedua adalah karena pesatnya perkembangan
teknologi integrated circuit, sehingga memungkinkan penggunaan sistim pengkodean
yang komplek yang memungkinkan memanfaatkan keuntungan kapasitas channel.
Bab ini akan membahas 2 hal: pertama menggambarkan bermacam-macam
teknik modulasi pulsa, kemudian yang kedua kita akan melihat 2 jenis komunikasi
pulsa yaitu Telegraphy dan Telemetry.
1.2. Pulse Amplitudo Modulation (PAM)
Tahap pertama dari proses digitalisasi gelombang analog ini adalah
menetapkan sekumpulan waktu diskrit dimana bentuk gelombang sinyal disampling
pada waktu-waktu itu, teknik digitalisasi memang lazimnya didasarkan pada sample
time yang reguler. Jumlah sample yang banyak / cukup diperlukan untuk menjamin
agar bentuk gelombang asal dapat dikembalikan lagi dengan menggunakan filter
Low-Pass dari deretan sample. Konsep dasarnya diterngkan pada gambar 1.1
dibawah ini :
Gambar 1.1. Pulse Amplitudo Modulation
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 2
Bentuk Gelombang analog disampel (dicuplik) dengan frekwensi sampling yang
tetap f = 1/T dan sinyal diskritnya direkonstruksi lagi menggunakan low-pass filter.
Perlu dicatat disini bahwa proses sampling disini adalah sama dengan modulasi
amplitude dari sebuah deretan pulsa amplitude yang konstan, karena itu teknik ini
dinamakan dengan Pulse Amplitude Modulation (PAM).
1.2.1. Laju / kecepatan sampling Nyquist
Harry Nyquist, pada tahun 1933, menetapkan tentang frekwensi sampling
minimum yang diperlukan agar dapat mengambil semua informasi yang ada pada
bentuk gelombang kontinyu. Atau dengan kata lain ketika proses rekonstruksi ke
gelombang analog dilakukan lagi maka gelombang asal dapat dikembalikan lagi
tanpa mengalami perubahan bentuk dan perubahan frekwensinya nanti. Untuk itu
Harry Nyquist menetapkan aturan yang disebut criteria NyQuist :
fs > 2 BW
dimana: fs adalah frekwensi sampling
BW adalah Lebar Pita dari sinyal input
Spektrum dari PAM sinyal ini dapat dilihat pada gambar 1.2. dibawah ini:
Gambar 1.2. Spektrum dari sinyal Pulse Amplitudo Modulation
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 3
Bentuk gelombang Sinyal asal diperoleh kembali dengan bantuan Filter low-
pass yang dirancang untuk membuang semua frekwensi kecuali spektrum sinyal
asal, pada gambar 1.2 tampak bahwa frekwensi cutt-off dari low-pass harus terletak
antara BW dan fs - BW, dan hal hanya mungkin kalau nilai fs - BW tetap lebih besar
dari BW, artinya fs memang harus 2 kali lebih besar dari BW, Kalau tidak demikian
maka akan terjadi aliasing atau foldover distortion.
1.2.2 Distorsi Foldover
Jika bentuk gelombang input disampel dengan frekwensi kurang dari 2 BW (fs
< 2 BW), maka proses pengembalian ke sinyal asal (setelah disampling) sulit terjadi
tanpa adanya Distorsi terhadap sinyal asal, akibatnya akan memunculkan frekwensi
component yang sebenarnya tidak ada pada sinyal asalnya, fenomena semacam ini
disebut Distorsi foldover atau aliasing. Gambar 1.3 memperlihatkan bagaimana
proses aliasing terjadi pada sinyal suara jika sinyal dengan frekwensi 5.5 kHz
disampling dengan frekwensi 8 kHz, seharusnya frekwensi samplingnya minimal 11
kHz. Nilai-nilai sample yang diperoleh sama dengan sinyal yang berasal dari
frekwensi 2.5 kHz, sehingga setelah sinyal sample ini dilewatkan ke filter low-pass
output maka muncullah sinyal dengan frekwensi 2.5 kHz.
Fenomena ini jika dilihat dari spectrum sinyalnya, maka akan tampak seperti pada
gambar 1.4, terlihat bahwa spectrum frekwensi yang titik tengahnya adalah fs
overlap / menumpuk spectrum awal, dan filter tidak dapat memisahkan spectrum
awalnya, karena itulah gangguan ini sering disebut foldover distortion. foldover
Gambar 1.3. Aliasing dari sinyal 5.5 kHz menjadi sinyal 2.5 kHz
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 4
distortion akan menghasilkan komponen frekwensi yang sebenarnya tidak ada pada
sinyal asal.
Peristiwa ini dapat diambil pelajaran bahwa disamping frekwensi sampling harus
benar, kita juga harus memastikan bahwa kandungan fekwensinya sinyal input (BW
input) tidak melewati nilai 1/2 fs. Karena frekwensi sampling sudah ditentukan dan
tetap nilainya, maka untuk itu sinyal masuk bandwidthnya harus dibatasi (band
limited), sehingga perlu dipasang Band limiting filter dimuka input (lihat gambar
1.5). Tujuannya untuk membuang kandungan frekwensi tinggi yang bukan
merupakan sinyal aslinya, agar tidak muncul sinyal gadungan pada output, maka
rangkaian/ skema PAM menjadi sbb:
Sebagai contoh untuk sistim suara biasa digunakan Bandlimiting filter dengan
frekwensi cutt-off 3.4 kHz dan frekwensi samplingnya adalah 8 kHz.
Sistim PAM ini dapat digunakan untuk membagi penggunakan fasilitas
transmisi dengan cara TDM (Time Division Multiplexing). Akan tetapi sistim PAM
tidak berguna untuk aplikasi jarak jauh, karena sample tunggal yang dihasilkan
Gambar 1.4.spektrum foldover dihasilkan akibat sampling yang kurang thd input
Gambar 1.5. Sistim PAM komplit
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 5
rawan terhadap gangguan Noise, distorsi, interferensi intersymbol dan cross-talk.
Untuk jarak jauh biasanya PAM dikode kedalam bentuk digital.
1.3. Pulse Code Modulation (PCM)
PCM sesungguhnya adalah kelanjutan dari PAM, dimana nilai sample
analognya dikwantisasi kedalam nilai diskrit untuk kemudian dikode dalam format
kode digital. Pada gambar 1.6 diberikan bagaimana sistim PAM dirubah menjadi
PCM dengan cara menambahkan A/D Converter (Analog-Digital Konverter) pada
bagian awal dan menambahkan D/A Converter pada bagian ujungnya.
Proses yang terjadi dalam ADC meliputi 3 tahap: Sampel & Hold, Kwantisasi dan
encoding, proses kwantisasi adalah proses penentuan level nilai analog kedalam
salah satu dari 2n level kwantisasi yang ada dan n adalah panjang Bit yang
digunakan untuk mengkode sinyal tersebut. Gambar 1.7 memperlihatkan level-level
kwantisasi berikut kode yang bersangkutan pada format kode digital 3 Bit, karena
panjang kode hanya 3 bit maka jumlah kwantisasi level hanya 8 sesuai dengan
jumlah kode yang dihasilkan.
Gambar 1.6. Pulse Code Modulation
Gambar 1.7. kwantisasi dari sample
analog Modulation
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 6
Proses kwantisasi ini menghasilkan distorsi pada sinyal sample, karena sinyal
sample disesuaikan dengan tinggi level kwantisasi, sehingga menghasilkan
gangguan yang dinamakan noise Kwantisasi. Noise kwantisasi ini dapat
diminimalisir dengan cara menambah panjang Bit yang digunakan dalam kode
digitalnya, minimal 12 bit atau 16 bit akan lebih ideal, namun panjang bit kode harus
dipikirkan masak-masak, karena dampaknya pada Band width untuk transmisi sinyal
yang dibutuhkan, jika digunakan 3 bit maka bandwidth yang dibutuhkan 3 x lebih
lebar ketimbang yang digunakan dalam PAM, semakin panjang Bitnya semakin
lebar bandwidth yang dibutuhkan pada pengiriman sinyalnya.
1.3.1. Noise Kwantisasi
Error kwantisasi yang berurutan yang dihasilkan oleh PCM Encoder
diasumsikan terdistribusi secara random dan satu sama lain tidak berhubungan.
gambar 1.8 memperlihatkan noise kwantisasi sebagai fungsi dari sinyal amplitude
untuk sebuah penghasil kode dengan interval kwantisasi yang uniform.
Error kwantisasi yang diciptakan oleh digitalisasi sinyal analog biasanya
diekspresikan sebagai rata-rata power noise relative terhadap rata-rata power sinyal.
Jadi Rasio sinyal terhadap noise kwantisasi, disingkat SQR (sinyal to noise ratio)
dapat ditentukan sbb:
Gambar 1.8. Error kwantisasi sebagai fungsi dari amplitude
sepanjang jangkauan interval kwantisasi
E{x2(t)}
SQR =
E{[y(t) - x(t)]2}
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 7
(1.1) dimana E{.} : expektasi atau rata-rata
x(t) : sinyal input analog y(t) : Sinyal output yang sudah diterjemahkan kembali
Jika kita mengasumsikan level tahanan adalah 1 power rata-rata dari noise
kwantisasi ditentukan sbb:
Power noise kwantisasi = q2 / 12 (1.2)
Jika semua interval kwantisasi mempunyai panjang yang sama (kwantisasi uniform),
maka noise kwantisasinya tidak tergantung dari nilai sample, dan SQR ditentukan
sbb:
SQR (dB)= 10 Log10 { v2/ (q2/12)}
= 10.8 + 20 log10 (v/q) (1.3)
dimana v adalah amplitude input (rms). untuk input berupa gelombang sinus SQR
yang dihasilkan kwantisasi uniform adalah:
SQR (dB)= 10 Log10 { (A2/2) / (q2/12)}
= 7.78 + 20 log10 (A/q) (1.4)
dimana A adalah amplitude puncak gelombang sinus.
Contoh:
Sebuah gelombang sinus dengan amplitude maximum 1 V akan di Digitalisasi
dengan SQR minimum 30 dB. ditanyakan:
- Berapa banyak interval kwantisasi yang dibutuhkan?
- Berapa bits yang dibutuhkan untuk mengkode masing-maasing sample?
Solusi:
Menggunakan persamaan 1.4. ukuran maximum dari interval kwantisasi adalah:
SQR(dB) = 7.78 + 20 log10 (A/q)
30 dB = 7.78 + 20 log10 (1/q)
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Nacep Suryana, M.Sc. SISTEM KOMUNIKASI 8
30 - 7.78 = 20 log10 (1/q)
22.22/20 = log10 (1/q)
1/q = 101.111
q = 10-1.111 = 0.0774 V
jadi total jumlah interval kwantisasi yang dibutuhkan utk gelombang sinus (peak-to-
peak) adalah:
Jumlah interval kwantisasi = 2 / 0.0774 = 26
Bit yang dibutuhkan utk mengkode 26 interval kwantisasi adalah:
N = log2 (26)
N = 4.7
berarti 5 bit.
PCM encoder yang berkualitas tinggi menghasilkan noise kwantisasi yang
terdistribusi secara merata sepanjang frekwensi suara dan tidak tergantung bentuk
gelombangnya.