modul ikterus ican
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
DEFINISI IKTERUS
Ikterus berasal dari Bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning atau ikterus dalam
bahasa Latin yang artinya pewarnaan kuning pada kulit, sklera dan membran mukosa
oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.
Ikterus dapat dilihat pada sklera pada konsentrasi 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/l).
Jika ikterus sudah terlihat nyata, kadar bilirubin sudah mencapai angka 7 mg/dl.1,2
Penampakan ikterus tergantung dari pigmentasi kulit seseorang karena itu
sebaiknya digunakan terminologi hiperbilirubinemia, karena lebih objektif.3,4
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu warna kulit kekuningan yang
asupan berlebih buah-buahan yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel,
pepaya, dan jeruk. Bilirubin merupakan suatu pigmen berwarna kuning yang berasal
dari unsur porfirin dalam hemoglobin yang terbentuk sebagai akibat penghancuran sel
darah merah oleh sel-sel retikuloendotel.
METABOLISME BILIRUBIN
Hemoglobin yang berasal dari penghancuran eritrosit oleh makrofag di dalam
limfa, hati, dan alat retikuloendotel lain akan mengalami pemecahan menjadi heme
dan globin. Komponen globin mengalami degradasi menjadi asam amino melalui
suatu proses oksidasi. Heme selanjutnya teroksidasi menjadi biliverdin oleh heme-
oksidase dengan melepas zat besi dan karbonmonoksida. Biliverdin reduktase akan
mereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak terkonjugasi.
Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat larut dalam lemak dan hampir tidak larut
dalam air sehingga tidak dapat dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Bilirubin ini
disebut juga bilirubin indirek karena hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan
dalam alkohol. Setelah dilepas ke dalam plasma, sebagian besar bilirubin tidak
1
terkonjugasi berikatan dengan albumin sehingga dapat larut di dalam darah kemudian
berdifusi ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, bilirubin tidak terkonjugasi akan
dikonjugasikan dengan asam glukuromat membentuk bilirubin glukuronida atau
bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk). Reaksi ini dikatalisasi oleh enzim glukonil
transferase, suatu enzim dalam retikulum endoplasmik dan merupakan kelompok
enzim yang mampu memodifikasi zat asing yang bersifat toksik.
Bilirubin terkonjugasi bersifat larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan
melalui ginjal namun dalam keadaan normal tidak terdeteksi di dalam urin. Sebagian
besar bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam empedu, suatu campuran
kolesterol, fosfolipid, bilirubin diglukonorida dan garam empedu. Di dalam saluran
cerna, bilirubin terkonjugasi diaktifasi oleh enzim bakteri dalam usus, sebagian
menjadi komponen urobilinogen yang akan keluar dalam tinja (sterkobilin) atau
diserap kembali dari saluran cerna, dibawa ke hati dan dikeluarkan kembali ke dalam
2
empedu. Urobilinogen bersifat larut dalam air sehingga sebagian dikeluarkan melalui
ginjal.5
PATOFISIOLOGI
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin di dalam
darah sangat tinggi. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi tiga yaitu hiperbilirubinemia
tidak terkonjugasi, hiperbilirubinemia terkonjugasi dan hiperbilirubinemia campuran.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi terjadi bila bilirubin direk ≤ 15%, sedangkan
pada hiperbilirubinemia terkonjugasi kadar bilirubin direk ˃ 15%.6
Hiperbilirubinemia disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat,
penurunan klirens bilirubin dan gangguan konjugasi genetik. Hiperbilirubinemia
terkonjugasi dapat disebabkan oleh gangguan fungsi klirens yang bersifat familial,
sedangkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang didapat disebabkan oleh penggunaan
beberapa jenis obat (asetaminofen, penisilin, kontrasepsi oral, promacin, estrogen dan
steroid anabolik) serta hambatan aliran empedu ke dalam duodenum yang sering
disebut kolestasis ekstrahepatik.
Produksi bilirubin yang berlebihan
Peningkatan produksi bilirubin paling sering disebabkan oleh penghancuran
sel darah merah yang berlebihan dan menyebabkan ikterus hemolitik. Terjadi
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma. Sebagai
kompensasinya, terjadi peningkatan penyerapan ke dalam sel hati dan ekskresi
bilirubin. Selanjutnya akan terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen dalam
saluran cerna yang akan diserap kembali dan dikeluarkan melalui urin sehingga kadar
urobilinogen urin meningkat. Bilirubin tidak terkonjugasi tidak dikeluarkan dalam
urin.
3
Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati
Pada keadaan ini kadar bilirubin plasma meningkat namun tidak terjadi
peningkatan kadar urobilinogen dalam urin. Dapat disebabkan oleh beberapa kelainan
genetik seperti sindrom Gilbert serta beberapa jenis obat.
Gangguan konjugasi bilirubin
Terjadi bila terdapat kekurangan atau tidak adanya enzim glukonil transferase,
misalnya pada kelainan genetik seperti sindrom Crigler-Najjar atau karena pengaruh
obat-obatan. Apabila enzim glukonil transferase tidak ada maka ditemui kadar
bilirubin tidak terkonjugasi yang sangat tinggi. Tidak terbentuknya bilirubin
terkonjugasi akan menyebabkan tidak ditemukannya bilirubin terkonjugasi di dalam
empedu. Empedu menjadi tidak berwarna, tinja pucat dan tidak terdapat urobilinogen
di dalam urin. Apabila hanya terdapat kekurangan enzim glukonil transferase, maka
gejala hiperbilirubinemia akan tampak lebih ringan. Empedu tetap berwarna dan
urobilinogen dapat ditemukan dalam urin.
Gangguan pengeluaran bilirubin
Dapat terjadi pada kerusakan sel hati atau sumbatan saluran empedu di dalam
atau di luar hati. Sumbatan saluran empedu dalam hati (kolestasis intrahepatik) dapat
terjadi pada kelainan genetik, obat-obatan yang mempengaruhi sekresi melalui
membran sel hati atau penyakit hati. Sumbatan di luar hati (kolestasis ekstrahepatik)
umumnya disebabkan oleh batu empedu yang menyebabkan ikterus obstruktif. Pada
gangguan pengeluaran empedu, kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah akan
meningkat dan akan dikeluarkan melalui urin sehingga urin akan menjadi gelap.
Sebaliknya tinja akan menjadi pucat dan kadar urobilinogen dalam urin menurun.
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin dalam 3 fase;
prahepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan untuk digunakan.
Pembagian yang baru menambahkan menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan
bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier.
4
Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin. Setiap harinya dibentuk bilirubin sebanyak 250-350
mg atau 4 mg/kg berat badan. 70-80% berasal dari pemecahan sel darah
merah matang, sisanya (early labelled bilirubin) berasal dari protein hem
lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian
protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
katalisasi enzim hemeoksidase. Biliverdin reduktase mengubah biliverdin
menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem
retikuloendotelial. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early
labelled bilirubin meningkat pada kelainan dengan eritropoiesis yang tidak
efektif namun secara klinis kurang penting.
2. Transpor plasma. Bilirubin tidak terkonjugasi terikat dengan albumin dan
tidak dapat melalui membran glomerulus sehingga tidak ditemukan pada urin.
Ikatan akan melemah pada beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa
bahan seperti antibiotik tertentu seperti salisilat yang berlomba pada tempat
ikatan dengan albumin.
Fase Intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tidak terkonjugasi oleh hati secara
rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transpor yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
4. Konjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi mengalami konjugasi dengan asam
glukoronik membentuk bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil-transferase menghasilkan
bilirubin yang larut dalam air.
5
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi bilirubin. Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus.
Di dalam usus flora bakteri men’dekonjugasi’ dan mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkan sebagian besar ke dalam tinja dan
memberi warna coklat. Sebagian dikeluarkan dan diserap kembali ke dalam
empedu, dan sebagian kecil mencapai urin sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan diglukuronida tapi tidak bilirubin tidak terkonjugasi. Hal ini
menjelaskan warna urin yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular
atau kolestatik intrahepatik. Bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air
tapi larut dalam lemak, karenanya dapat melewati sawar darah otak atau
masuk ke dalam plasenta. Dalam hepatosit, bilirubin tidak terkonjugasi
mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukoronil transferase
dan larut dalam empedu cair.
6
BAB II
PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN
1. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi
Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi
Hemolisis
Peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melebihi
kemampuan hati yang normal untuk memetabolisme kelebihan bilirubin.
Pada hemolisis yang berat konsentrasi billirubin jarang lebih dari 5 mg/dl
kecuali jika terdapat kerusakan hati. Kombinasi hemolisis yang sedang dan
penyakit hati yang ringan dapat menyebabkan ikterus yang lebih berat
sehingga terjadi hiperbilirubinemia campuran akibat ekskresi empedu
kanalikuler terganggu.
Sindrom Gilbert
Penyakit ini mengenai 3-5% orang, biasa pada kelompok umur dewasa muda
dengan keluhan tidak spesifik dan tidak sengaja ditemukan. Kemungkinan
disebabkan karena adanya defek yang kompleks dalam pengambilan bilirubin
dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dl yang cenderung naik dengan
berpuasa, dan keadaan stres lainnya. Sindrom Gilbert dapat dengan mudah
dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal, tidak
terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan.
Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulosis.
Histologi hati normal dan tidak diperlukan biopsi hati untuk diagnosis.
Sindrom Crigler-Najjar
Merupakan penyakit genetik yang disebabkan karena kekurangan enzim
glukuroniltransferase. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe I (lengkap)
mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur
7
1 tahun. Sedangkan tipe II (parsial) mempunyai hiperbilirubinemia yang
kurang berat dan biasanya bisa hidup sampai dewasa tanpa kerusakan
neurologis.
Hiperbilirubinemia Shunt Primer
Jarang dijumpai. Bersifat jinak dan familial dengan produksi early labeled
bilirubin yang berlebihan.
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non Kolestasis
Sindrom Dubin Johnson
Merupakan penyakit autosom resesif yang ditandai dengan ikterus ringan.
Didasari akibat gangguan ekskresi anion organik seperti bilirubin namun
ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan Sindrom Gilbert,
hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonjugasi dan empedu
ditemukan dalam urin.
Sindrom Rotor
Menyerupai Sindrom Dubin Johnson tapi hati tidak mengalami pigmentasi
dan perbedaan metabolik lain
Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis
Kolestasis Intrahepatik
Penyebab paling sering adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena
alkohol, dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah
sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik,
dan penyakit lain yang jarang.
Kolestasis Ekstrahepatik
Penyebab yang sering adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas.
Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak pada duktus
koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst
pankreas, dan kolangitis sklerosing. Retensi bilirubin menghasilkan campuran
8
hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin terkonjugasi yang masuk ke
dalam urin. Tinja berwarna pucat karena sedikit yang mencapai saluran cerna
usus halus.
BAB III
PENDEKATAN KLINIS IKTERUS PADA DEWASA
9
Anamnesis
Biasanya ditanyakan keluhan ikterus, seperti warna urin, warna tinja, keluhan
gatal, mual muntah, dan nyeri perut serta kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat
menyebabkan ikterus seperti stres, infeksi, kehamilan, dan obat-obatan tertentu.
Pemeriksaan Fisik
Ditemukan adanya bekas garukan, spider nevi, eritema palmaris,
ginekomastia, atrofi testis, edema tungkai, dan asites.
Pemeriksaan Laboratorium
Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali yang
normal menunjukkan kemungkinan proses hemolisis atau penyakit Sindrom Gilbert,
hal ini dipastikan dengan fraksional bilirubin. Beratnya ikterus dan fraksional
bilirubin tidak bisa membantu untuk membedakan ikterus hepatoselular dari keadaan
ikterus kolestatik. Peningkatan kadar aminotransferase ˃ 500 U lebih mengarah pada
hepatitis atau keadaan hipoksia akut. Peningkatan fosfatase alkali yang tidak
proporsional mengarah kepada kolestasis atau kelainan infiltrat. Pada keadaan yang
disebut belakangan, bilirubin biasanya normal atau hanya naik sedikit saja. Bilirubin
di atas 25 sampai 30 mg/dl seringkali disebabkan karena hemolisis atau disfungsi
ginjal yang menyertai pada keadaan penyakit hepatobilier berat. Inversi rasio
konsentrasi albumin dan globulin menunjukkan adanya penyakit kronis. Peningkatan
waktu protrombin yang membaik setelah pemberian vitamin K (5-10 mg IM selama
2-3 hari) lebih mengarah pada kolestasis daripada proses hepatoselular.
Pencitraan
10
Pemeriksaan sonografi, CT, dan MRI memperlihatkan adanya pelebaran
saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada
tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan masih akut.
Kebanyakan center menggunakan USG karena biaya yang murah.
Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) memungkinkan
untuk melihat secara langsung saluran bilier dan bermanfaat untuk menetapkan sebab
sumbatan ekstrahepatik.
Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC) dapat digunakan untuk
melihat langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya.
Pengobatan
Pengobatan ikterus sangat tergantung penyebabnya. Beberapa gejala yang
cukup mengganggu misalnya pruritus pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan untuk penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan yang
ireversibel (seperti sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-
16 g/hari dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus.
Suplemen kalsium dan vitamin D dapat diberikan pada kolestasis yang
ireversibel. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin dan steatorrhea
yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan
medium chain triglyceride.
Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan,
ekstraksi batu empedu di duktus atau insersi stent, dan drainase via kateter untuk
kasus striktur. Untuk sumbatan yang non operabel, drainase bilier paliatif dapat
dilakukan melalaui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara
endoskopik
11
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman A., Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2007. p.420-423.
2. M. Lamah Indkaghd. Anatomical Variations of the Extrahepatic Biliary. Tree:
Review of the World Literature. Clinical Anatomy 14; 2001. p.167-172.
3. Wolkoff A.W. The Hyperbilirubinemia in Kaspen et all. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill, Singapore; 2005. p.1817-1821.
4. Roche S.P., Kobos R. Jaundice in The Adult Patient. American Family
Physician; 2004. p.229-304.
5. Kanoko M. Metabolisme Bilirubin dan Patofisiologi Ikterus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.5-8.
6. Wilson L.M., Lester L.B., Hati, Empedu, dan Pankreas. Dalam : Price S.A.,
Wilson L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Buku 1. Edisi 4.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p.426-463.
13
CONTOH KASUS
I. DATA DASAR
ANAMNESIS
1. IDENTIFIKASI
Tn. A, usia 25 tahun, agama Islam, alamat Palembang, dirawat di ruang RA VI.2
bagian Penyakit Dalam RS Moehammad Hoesin Palembang sejak tanggal 18
September 2011
Keluhan utama badan semakin lemas sejak 1 hari SMRS.
2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Autoanamnesis
± 1 minggu SMRS os mengeluh demam yang hilang timbul dan terkadang demam
tinggi, menggigil (-), berkeringat (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan os menurun,
BAK seperti teh tua (-), BAB biasa
± 2 hari SMRS os mengeluh demam yang semakin sering intensitasnya, menggigil(-),
berkeringat (+), mual (+), Muntah (+) frekuensi 6 kali, isi apa yang dimakan, nyeri
ulu hati (+) disertai nyeri dan pegal-pegal pada seluruh badan, sakit kepala (+), badan
os terasa lemas, BAK warna teh tua(+), BAB biasa.
± 1 hari SMRS, os masih mengeluh demam, Berkeringat (+), mual (+), Muntah (+)
frekuensi 10 kali/hari, isi cairan warna kuning, os tidak nafsu makan, bicara kadang-
kadang ngelantur, os gelisah, badan os semakin lemas dan os sulit berdiri hanya tidur
ditempat tidur, BAK seperti teh tua (+), BAB biasa, os berobat ke RSMH dan
dirawat.
14
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Riwayat tinggal di daerah endemis malaria (Bangka) selama 4 tahun dan
meninggalkan Bangka sejak 1 bulan terakhir (+) ( os mengaku pernah
menderita malaria sebanyak 3 kali dan hanya mengkonsumsi obat malaria dari
warung os lupa nama obatnya)
- Riwayat sakit kuning disangkal
4. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
5. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Apatis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 22 kali/menit,
Suhu Axilla : 38,8 C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 161 cm
RBW : 98% normoweight
Keadaan Spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+
Leher : JVP (5-2) cm H2O, pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis simetris kanan = kiri
15
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-) wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dekstra,
batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 76 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar teraba 2 jbac, konsistensi lunak, permukaan rata,
tepi tumpul, NT (+) dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : edema pretibial -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah (tgl 18 september 2011)
Hb 9,5 g/dl Hematokrit 28 vol% Leukosit 3200/mm3
LED 28 mm/jam Trombosit 91.000/mm3 DC : 0/1/1/54/38/6
BSS 122 mg/dl Ureum 46 mg/dl
Natrium 137 mmol/l Kreatinin 0,9 mg/dl SGOT 55 U/l
Kalium 4,1 mmol/l Uric Acid 2,2 mg/dl SGPT 38 U/i
Protein total 5,0 g/dl bilrubin total 6,21 mg/dl
Albumin 2,2 g/dl Bilirubin direk 4,94 mg/dl
16
Globulin 2,8 g/dl Bilirubin indirek 1,77 mg/dl
Urinalisa :
Sel epitel (+) Eritrosit 2-3/LPB Protein (+)
Leukosit 2-4/LPB glukosa (-) urobilinogen : 2,0
EKG (20 September 2011)
SR, aksis normal, HR: 74 x/menit, gel P normal, PR interval 0,12 dtk QRS kompleks:
0,08 detik, R/S di V1 < 1, S di V1+ R di V5/V6 < 35, ST-T change (-)
Kesan: normal EKG
DIAGNOSIS SEMENTARA
Malaria Berat
DIAGNOSIS BANDING
Typoid Encephalopaty
PENATALAKSANAN
Istirahat
Diet NB
IVFD D5 : RL gtt xx/menit
Inj. Artem 1 x 2 amp IM
17
Parasetamol 3 x 500 mg
Omeprazol 1 x 20 mg
Vitamin B1, B6, B12 3 x 1
RENCANA PEMERIKSAAN
Widal
Hb, Ht, Trombosit/24 jam
Bilirubin / 2 hari
FOLLOW UP
Tanggal 19 september 2011
S Demam(+), Mual (+),
O Keadaan Umum:
Sens : apatis
TD : 100/60 mmHg
Nadi: 90x/menit, irregular
RR : 28 x/menit
T : 36,8˚C
Keadaan Spesifik:
Kepala: Conjunctiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+
Leher : JVP (5-2)cm H2O, pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
18
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis
dekstra, batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 92 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul, nyeri
tekan (+), lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : edema pretibia -/-
Laboratorium:
Hb : 8,7 g/dl
Eritrosit : 2.970.000 juta/mm3
Ht : 24 vol %
Trombosit : 89.000/mm3
Retikulosit :0,4
MCV : 30 picogram
MCH : 80 mikrogram
MCHC : 35 %
DC : 0/0/2/44/39/10
Widal 1/ 80
Diagnosis : Malaria Berat
19
Penatalaksanaan :
Istirahat
Diet NB
IVFD D5 : RL gtt xx/menit
Inj. Artem 1 x 1 amp IM
Parasetamol 3 x 500 mg
Omeprazol 1 x 20 mg
Vitamin B1, B6, B12 3 x 1
20- 24 september 2011
S Demam (-)
O Keadaan Umum:
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
Nadi: 90x/menit, irregular
RR : 28 x/menit
T : 36,8˚C
Keadaan Spesifik:
Kepala: Conjunctiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+
Leher : JVP (5-2)cm H2O, pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
20
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis
dekstra, batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 92 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul, nyeri
tekan (+), lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : edema pretibia -/-
Laboratorium:
Hb : 8,2 g/dl
Ht : 23 vol %
Trombosit : 152.000/mm3
Bilirubin total : 2,21
Bilirubin direk : 1,78
Bilirubin indirek : 0,43
DDR : Malaria falciparum (+)
Diagnosis : Malaria Berat
Penatalaksanaan :
Istirahat
Diet NB
IVFD D5 : RL gtt xx/menit
21
Arsuamoon 4 x 2 tab
Parasetamol 3 x 500 mg
Omeprazol 1 x 20 mg
Vitamin B1, B6, B12 3 x 1
25- 27 september 2011
S Demam (-)
O Keadaan Umum:
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
Nadi: 90x/menit, irregular
RR : 28 x/menit
T : 36,8˚C
Keadaan Spesifik:
Kepala: Conjunctiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP (5-2)cm H2O, pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis
dekstra, batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 92 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
22
Abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul, nyeri
tekan (+), lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : edema pretibia -/-
Laboratorium:
Hb : 8,9 g/dl
Ht : 30 vol %
Trombosit : 172.000/mm3
Bilirubin total : 1,75
Bilirubin direk : 1,54
Bilirubin indirek : 0,21
DDR : Malaria falciparum (-)
Diagnosis : Malaria Berat perbaikan
Penatalaksanaan :
Istirahat
Diet NB
IVFD D5 : RL gtt xx/menit
Parasetamol 3 x 500 mg (jika demam)
Omeprazol 1 x 20 mg
Vitamin B1, B6, B12 3 x 1
23
24