modul 6 - kemensos
TRANSCRIPT
i
`
iii
MODUL 6
FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL
PELATIHAN DASAR PENDAMPING SOSIAL
Oleh:
Toton Witono
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI
2020
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah dan karunia-
Nya sehingga Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial untuk Pelatihan Dasar Pendamping Sosial ini dapat terwujud.
Keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial (SDM Kesos). Pendamping sosial merupakan salah satu SDM Kesos dari unsur tenaga kesejahteraan sosial (TKS) dengan jumlah puluhan ribu yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Mereka memiliki ragam tugas, peran, dan tanggung jawab yang diemban sesuai domain bidang penyelenggaraan kesos. Pelatihan Dasar Pendamping Sosial dirancang dalam rangka memberikan kompetensi dasar pendampingan sosial di lapangan. Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial merupakan modul keenam dari sepuluh modul yang disusun. Modul ini sangat penting untuk membekali para pendamping sosial bagaimana melakukan fasilitasi bagi para penerima manfaat dalam menangani masalah, mengembangkan kemampuan, atau mengakses sumber. Harapannya adalah agar mereka mampu melakukan perubahan perilaku dan mencapai tujuan yang mereka cita-citakan. Modul ini tidak saja mengulas hal-hal terkait keterampilan dan teknik fasilitasi, tetapi juga mengetengahkan sejumlah konsep dasar sebagai landasan untuk praktik pendampingan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada penyusun beserta tim modul Pelatihan Dasar Pendamping Sosial. Saya melihat modul ini dan juga modul-modul lain tetap dikerjakan dengan serius, meskipun dalam kondisi terbatas karena pandemi wabah COVID-19. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Modul ini pun tentu bukan sesuatu yang final. Koreksi, masukan dan saran masih sangat dibutuhkan demi perbaikan yang berkelanjutan. Semoga modul ini bermanfaat bagi para fasilitator sebagai peserta TOT dan juga para pendamping sosial di seluruh Indonesia.
Jakarta, September 2020 Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial
Mulia Jonie
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v Daftar Isi vii Daftar Gambar dan Tabel ix Petunjuk Penggunaan Modul x BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1 B. Relevansi 3 C. Tujuan Pembelajaran 4 D. Pokok Bahasan 5 E. Metode dan Media Pembelajaran 6 F. Skema dan Proses Pembelajaran 7
BAB II FASILITASI DAN PENDAMPINGAN SOSIAL 11
A. Dekripsi Singkat 11 B. Mengenal Fasilitasi 12
1. Pengertian Fasilitasi 12 2. Karakteristik Fasilitasi 13
C. Pendampingan Sosial 16 1. Pemberdayaan dan partisipasi 19 2. Dinamika kelompok Perumusan Kesepakatan 23 3. Model Pembelajaran Orang Dewasa 31
D. Rangkuman 34 E. Lembar Kerja 35
LK. 6.1. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kerja Kelompok 35 LK. 6.2. Menggali pengalaman lapangan 35
F. Evaluasi 36 G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 37
BAB III PERAN DAN KETERAMPILAN FASILITASI 39
A. Dekripsi Singkat 39 B. Peran dan Keterampilan Fasilitasi 40
1. Animasi Sosial 43 2. Dukungan 44
3. Pemanfaatan Keahlian dan Sumberdaya 44 4. Pengorganisasian 45 5. Komunikasi Personal 46 6. Menumbuhkan Kesadaran 47 7. Mediasi dan Negosiasi 48 8. Melakukan Konfrontasi 49 9. Membangun Konsensus 50 10. Fasilitasi Kelompok 51 11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan 53
C. Rangkuman 55 D. Lembar Kerja 56
LK. 6.3. Menggali Pengalaman Lapangan 56 E. Evaluasi 56 F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 57
BAB IV TEKNIK FASILITASI DALAM PERTEMUAN 59
A. Dekripsi Singkat 59 B. Fasilitasi dalam Pertemuan 61
1. Tahapan dan Proses Pertemuan 62 2. Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa 64
C. Teknik Dasar Fasilitasi dalam Pertemuan 68 1. Teknik Bertanya 68 2. Mendengarkan Aktif 73 3. Fasilitasi Diskusi Terbuka 74 4. Curah Pendapat 75 5. Chartwriting 76 6. Penggunaan Media dalam Fasilitasi 78 7. Teknik Fasilitasi dalam Pembuatan Kesepakatan 80 8. Teknik Fasilitasi dalam Situasi Sulit 82
D. Rangkuman 86 E. Lembar Kerja 87
LK. 6.4. Praktik Teknik Fasilitasi 87 F. Evaluasi 89 G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 89
BAB V PENUTUP 91
A. Kesimpulan 91 B. Tindak Lanjut 93
Daftar Pustaka 95 Biodata Penyusun Modul 96
ix
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
GAMBAR Gambar 1.1. Skema pembelajaran modul fasilitasi 7 Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat 15 Gambar 2.1. Tangga partisipasi Sherry Arnstein 23 Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan 25 Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan 26 Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan 26 Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan 28 Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan 29 Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb 33 Gambar 3.1. Peran fasilitator menggunakan Jendela Johari 40 Gambar 4.1. Tahap dalam pertemuan/diskusi 62 Gambar 4.2. Layout pertemuan tradisional 63 Gambar 4.3. Layout pertemuan interaktif 63 Gambar 4.4. Persentase aktivitas pembelajaran yang diingat 66 Gambar 4.5. Proses pengambilan keputusan/perumusan kesimpulan Bersama 81 TABEL Tabel 2.1. Teknik pendampingan 18 Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam
fasilitasi kelompok 24 Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan 28 Tabel 3.1. Peran dalam pendampingan sosial 42 Tabel 4.1. Contoh-contoh teknik mengajukan pertanyaan 72 Tabel 4.2. Tips dalam memfasilitasi curah pendapat 76 Tabel 4.3. Teknik pengambilan keputusan atau perumusan kesepakatan/
kesimpulan bersama 83 Tabel 4.4. Form Penilaian Simulasi/Role-Play 88
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
Modul ini terdiri dari tiga pokok bahasan utama, yaitu fasilitasi dan pendampimngan sosial, peran dan keterampilan fasilitasi, dan teknik fasilitasi dalam pertemuan. Pokok bahasan awal merupakan pengetahuan yang agak abstrak yang berguna sebagai semacam landasan konseptual bagi peran dan keterampilan fasilitasi. Dua pokok bahasan berikutnya bersifat cukup praktis dan aplikatif karena merupakan keterampilan, teknik. dan juga sikap yang diperlukan pendamping sebagai seorang fasilitator kelompok atau komunitas.
Proses pembelajaran utama yang digunakan modul ini meggunakan model pembelajaran orang dewasa atau biasa dikenal dengan pembelajaran andragogi. Dengan demikian, asumsi utamanya adalah bahwa peserta di kelas TOT atau pada saat diklat nanti tidak lah seperti gelas kosong yang siap diisi. Sebaliknya, mereka adalah gelas yang sudah terisi sebagian, atau bahkan penuh. Sumber pengetahuan tidak semata berasal dari modul atau fasilitator di depan kelas, melainkan juga dari pengetahuan dan pengalaman peserta. Proses pembelajaran nanti diupayakan untuk menggali dan memanfaatkan pengalaman mereka di lapangan. Pengajar di depan lebih berperan hanya sebagai fasilitator. Untuk itu, konsep dan praktik fasilitasi tidak hanya menjadi materi utama yang akan disampaikan di kelas, tetapi juga inheren dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Modul ini bukanlah buku resep (cook book) yang sangat praktis berisi langkah-langkah menit per-menit pembelajaran yang harus dilakukan peserta atau fasilitator di kelas. Terutama untuk pokok bahasan 1, modul masih membuka ruang interpretasi yang dapat didiskusikan bersama di kelas. Modul fasilitasi ini juga masih terbuka untuk pengembangan (atau improvisasi) metode dan media pembelajaran sejauh relevan dan koheren dengan materi pokok bahasan atau sub-pokok bahasan. Maka, penambahan materi dari luar pun sangat dimungkinkan sebagai pengayaan, bahkan sangat direkomendasikan.
Bersama uraian materi, modul dilengkapi dengan lembar kerja, evaluasi atau latihan soal yang berisi pertanyaan, dan timbal-balik beserta rencana tindak lanjutnya.
xi
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 1
BAB I PENDAHULUAN
Pendamping sosial pada prinsipnya memiliki tugas utama melakukan
pendampingan kelompok atau komunitas di masyarakat. Menurut Suharto (2009),
pendampingan sosial merupakan salah satu strategi dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat. Bahkan pendampingan menjadi faktor penting penentu keberhasilan
program pemberdayaan. Dalam konteks modul ini, pendampingan sosial dalam
penjelasan Suharto dapat dipahami sebagai aktivitas dinamis yang dilakukan secara
bersama-sama antara penerima manfaat dan pendamping sosial untuk mengatasi
berbagai tantangan sebagai berikut (p. 94):
1. Merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi
2. Memobilisasi sumber daya lokal
3. Memecahkan masalah sosial
4. Menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan
5. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks
pemberdayaan masyarakat.
Setiap pendamping sosial memiliki peran dan fungsi sesuai wilayah atau
bidang penugasan. Pendamping sosial anak, misalnya, memiliki domain utama
pendampingan sosial bagi pemerlu dari kategori anak, yakni dengan batasan usia di
bawah 18 tahun. Keluarga dan orang-orang terdekatnya (significant others) juga
menjadi tugas pendamping untuk dihubungi. Pihak-pihak terkait yang dapat
membantu menangani masalah anak turut dilibatkan, sejauh diperlukan dan dianggap
penting. Dalam interaksi antara pendamping dengan semua pihak terkait penanganan
anak, akan sangat mungkin jika jalinan komunikasi menjadi intens, hubungan baik
tercipta, dan kepercayaan pun terbangun.
Pada titik itulah keberadaan pendamping menjadi penting dan dibutuhkan
A. LATAR BELAKANG
2 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
oleh masyarakat. Konsekuensinya, masyarakat merasa aman dan nyaman untuk
meminta pertolongan kepada para pendamping dalam menyelesaikan
permasalahannya, bahkan untuk urusan yang terkadang di luar tugas dan fungsinya
sebagai pendamping sosial. Sebagai contoh dari lapangan, pendamping sosial
komunitas adat terpencil (KAT) membantu orang sakit dari suatu komunitas untuk
dibawa ke rumah sakit. Si pendamping harus memberi pengertian kepada keluarga
yang lebih percaya pengobatan tradisional, memberi informasi yang tepat, membantu
mempersiapkan dokumen yang diperlukan, mengurus kartu BPJS, dan urusan-urusan
lain di luar tanggung jawabnya melakukan aktivitas pemberdayaan KAT. Selaku
pendamping sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat tentu tidak bisa menolak
ketika dimintai pertolongan oleh warga setempat.
Singkat cerita, pendamping sosial yang bertugas di lapangan harus
mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan. Hal ini bukan berarti pendamping
dituntut untuk serba bisa, karena dia juga harus paham dan sadar akan keterbatasan
kapasitasnya. Namun demikian, pendamping harus mampu mengidentifikasi sumber
daya (resources) yang ada, kemudian bagaimana mengakses dan menghubungkannya
dengan pemerlu layanan di masyarakat.
Kerja pendampingan juga tidak sekadar menghubungkan orang dengan sistem
sumber penyedia layanan atau fasilitas. Terkadang pendamping harus mampu
menangkap kebutuhan atau masalah sosial yang mungkin tidak disadari oleh
masyarakat. Dengan begitu, para pendamping harus dibekali kemampuan
memunculkan gagasan, menangkap peluang di balik masalah, menginisiasi tindakan,
melakukan penyadaran, mengedukasi dan menyuplai informasi yang dibutuhkan, dan
lain sebagainya, sehingga masyarakat mau terlibat aktif melakukan perubahan ke arah
lebih baik.
Kegiatan pendamping sosial di komunitas atau masyarakat seperti itu identik
dengan apa yang disebut sebagai bekerja dengan kelompok (group work) dan dengan
komunitas (community work). Aktivitas pendampingan sosial, terutama dalam
melakukan perubahan terencana, memang dilakukan dalam semua tingkatan, baik
individu, kelompok, ataupun komunitas. Namun, kerja pendampingan di tingkat
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 3
kelompok dan komunitas bisa jadi lebih dominan untuk beberapa domain pelayanan
kesejahteraan sosial.
Dalam kerangka itu, ada empat tugas atau fungsi utama yang harus dilakukan
dalam kerja pendampingan sosial, sebagaimana dijelaskan Suharto (2009), yaitu:
pendampingan atau fasilitasi; penguatan; perlindungan; dan pendukungan. Modul ini
akan mengurai tugas-tugas tersebut, terutama tugas fasilitasi, untuk membekali para
pendamping sosial dalam membantu penerima manfaat dalam penyelesaian masalah,
pemenuhan kebutuhan, dan pengembangan kapasitasnya.
Ada berbagai situasi, masalah, atau kebutuhan di lapangan yang menuntut
para pendamping sosial memberikan tindakan secara profesional. Profesional dalam
arti bahwa aktivitas pertolongan yang diberikan harus berlandaskan teori dan
keterampilan dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan data hasil
asesmen kebutuhan diklat (TNA) dari lapangan dan kajian dokumen, di sini perlu
diinventarisir berbagai situasi yang mungkin muncul atau terjadi di masyarakat
sebagai berikut:
1. Warga menyadari memiliki masalah sosial tertentu, entah secara individu,
keluarga, atau komunitas, namun tidak tahu harus bagaimana.
2. Warga tidak menyadari masalah bersama yang dialami, padahal bisa menjadi
bahaya laten yang jika dibiarkan akan menjadi ‘bom waktu’.
3. Kadang ditemui juga suatu kondisi dalam kelompok/organisasi dimana ada
masalah yang sengaja didiamkan, padahal bisa membahayakan anggota lain.
4. Warga memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, namun tidak memiliki
kemampuan yang memadai.
5. Sebagian kelompok masyarakat tidak bisa atau tidak tahu bagaimana
mengakses pelayanan sosial atau pelayanan publik lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka.
B. RELEVANSI
4 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
6. Masyarakat memerlukan informasi tertentu dan membutuhkan peningkatan
kapasitas atau keterampilan tertentu.
7. Ada pelayanan sosial tertentu yang dibutuhkan warga, namun tidak tersedia
oleh pemerintah setempat. Terkadang sebagian tidak mengerti bahwa itu
adalah bagian dari haknya.
8. Anggota masyarakat ditolak untuk memperoleh pelayanan yang menjadi
haknya karena suatu sebab.
9. Terjadi konflik horisontal antar keluarga atau antar kelompok masyarakat.
10. Ada sebagian anggota masyarakat atau kelompok minoritas yang mendapat
perlakuan kekerasan, diskriminasi, dikucilkan, terisolasi atau terusir dari
tempat tinggalnya. Situasi yang dimaksud terkait dengan isu hak azasi manusia
dan keadilan sosial.
11. Masyarakat atau komunitas memiliki potensi atau sumberdaya namun tidak
didayagunakan dengan baik atau kurang optimal dimanfaatkan.
Dalam rangka mempersiapkan para pendamping sosial untuk menghadapi
berbagai persoalan dan situasi tersebut, materi tentang fasilitasi harus pendamping
dapatkan agar mampu mengemban tugas berat pendampingan secara maksimal dan
bertanggung jawab. Bidang tugas dan domain pendamping memang berbeda, namun
pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan sikap yang bersifat dasar fundamental
dapat diberikan bagi semua kategori pendamping sosial.
1. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran modul ini peserta diharapkan mampu
menerapkan keterampilan dan teknik fasilitasi dalam pendampingan sosial.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 5
2. Indikator Hasil Belajar
Peserta dapat:
a. Menjelaskan konsep dasar fasilitasi dan pendampingan sosial;
b. Menggali pengalaman lapangan dan mengaitkannya dengan konsep
peran dan keterampilan fasilitasi; dan
c. Mendemonstrasikan sejumlah teknik fasilitasi dalam sejumlah bentuk
pertemuan, seperti diskusi, proses pengambilan keputusan, dan dalam
pelatihan/pembelajaran.
Konsep atau teori yang dapat mendukung dan membekali para pendamping
sosial dalam memberikan pertolongan meliputi pokok dan sub-pokok bahasan sebagai
berikut:
1. Fasilitasi dan pendampingan sosial
a. Mengenal Fasilitasi
b. Pendampingan sosial
2. Peran dan keterampilan fasilitasi
a. Animasi sosial
b. Dukungan
c. Pemanfaatan keahlian dan sumber daya
d. Pengorganisasian
e. Komunikasi personal
f. Menumbuhkan kesadaran
g. Mediasi dan negosiasi
h. Melakukan konfrontasi
i. Membangun konsensus
j. Fasilitasi kelompok
k. Berbagi informasi dan memberikan pelatihan
D. POKOK BAHASAN
6 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
3. Teknik fasilitasi dalam pertemuan
a. Fasilitasi dalam pertemuan
b. Teknik Fasilitasi dalam pertemuan
Metode yang dipakai dalam pembelajaran modul fasilitasi ini adalah:
1. Ceramah
2. Tanya jawab
3. Curah pendapat
4. Diskusi kelompok
5. Presentasi hasil diskusi
6. Pembahasan/analisis kasus
7. Praktik atau simulasi
8. Konstruksi/kreasi studi kasus dari pengalaman lapangan
9. Bermain peran
Sedangkan, bahan dan media pembelajaran yang dipakai meliputi:
1. Bahan ajar (Modul Fasilitasi)
2. Bahan tayang (power point)
3. Bahan tayang video/film
4. White board
5. Spidol (boardmarker)
6. Laptop/PC
7. Proyektor
8. Active speaker
9. Pointers
10. Kertas plano
11. Flipchat board
12. Spidol warna
E. METODE DAN MEDIA PEMBELAJARAN.RESOLUSI
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 7
13. Kertas metaplan
14. Post-it notes
15. Selotip/double-tip
Skema pembelajaran modul fasilitasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:
Gambar 1.1. Skema pembelajaran
Dari skema pada Gambar 1.1, proses pembelajaran berdurasi 270 menit (6 jam
pelatihan) ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Langkah 1 (5 menit)
Langkah pembukaan meliputi:
a. Salam pembukaan dan chit-chat,
b. Review singkat materi atau modul-modul sebelumnya sambil menjelaskan
Langkah 1 Pembukaan
(5’)
Langkah 2 Menjelaskan materi Fasilitasi & Pendam-
pingan Sosial (15’)
Langkah 4 Menyusun potongan
kertas puzzle (20’)
F. SKEMA DAN PROSES PEMBELAJARAN
Langkah 5 Menjelaskan materi
Peran & Keterampilan Fasilitasi (30’)
Langkah 6 Konstruksi dan
pembahasan kasus pendampingan (60’)
Langkah 7 Menjelaskan materi
Teknik Fasilitasi Pertemuan (30’)
Langkah 9 Penutup
(5’)
Langkah 8 Praktik Teknik
Fasilitasi dalam Pertemuan
(90’)
Langkah 3 Menggali pengalaman
pendampingan (15’)
8 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
ketarkaitannya dengan modul fasilitasi
c. Menjelaskan secara singkat (preview) modul fasilitasi, rencana proses
pembelajaran, beserta tujuannya.
2. Langkah 2 (15 menit)
a. Fasilitator melakukan apersepsi terkait materi dalam pokok bahasan 1
b. Memaparkan materi pokok bahasan 1 secara interaktif. Pemaparan hanya
untuk penyegaran ingatan pengetahuan peserta. Namun mungkin ada
konsep tertentu yang perlu sedikit pendalaman sesuai kebutuhan peserta.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat
d. Menjawab singkat pertanyaan yang mungkin muncul dari peserta. Jika
pertanyaan terkait dengan pokok bahasan berikutnya, jawaban atau diskusi
bisa ditunda untuk dilakukan pada saat pembahasan materi yang relevan.
e. Menghimpun pertanyaan yang perlu di-probing mendalam untuk menjadi
bahan diskusi di pokok bahasan berikutnya.
3. Langkah 3 (15 menit)
a. Meminta masing-masing peserta untuk menggali pengalaman lapangan
seperti pada LK. 6.1.
b. Dari hasil penggalian lapangan, identifikasi wujud kerja kelompok/
komunitas, fasilitasi yang dilakukan, atau praktik pemberdayaan/
partisipasi.
c. Hasilnya dituangkan dalam sebuah tulisan esai singkat.
4. Langkah 4 (20 menit)
a. Fasilitator memandu peserta untuk mempraktikkan LK 6.2.
b. Hasil kerja ditempel di board dan dibacakan oleh perwakilan peserta
c. Fasilitator membahas dan mendiskusikan bersama peserta sambil
menayangkan PPT.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 9
5. Langkah 5 (30 menit)
a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-2 (peran dan keterampilan fasilitasi)
secara interaktif.
b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan
yang relevan dengan materi.
6. Langkah 6 (60 menit)
1. Peserta bergabung ke dalam 3 kelompok.
2. Menginstruksikan masing-masing kelompok untuk membahas kasus-kasus
pendampingan di lapangan.
3. Setiap kelompok diminta memilih hanya satu kasus dari anggota kelompok,
baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, dan menuangkannya
dalam tulisan.
4. Masing-masing kelompok membahas dan mengaitkan kasus yang dipilih
dari sisi peran dan keterampilan fasilitasi sesuai perintah dalam lembar
kerja.
5. Meminta perwakilan tiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi.
6. Memberi kesempatan untuk tanya-jawab antar kelompok.
7. Debriefing hasil diskusi.
7. Langkah 7 (30 menit)
a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-3 (teknik fasilitasi) secara interaktif.
b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan
yang relevan dengan materi.
8. Langkah 8 (90 menit)
a. Peserta kembali dibagi dalam 3 kelompok semula, atau bisa juga dibentuk
kelompok baru.
b. Pembagian 3 tema atau sub-pokok bahasan, yaitu:
- Tema 1: Pertemuan atau diskusi
10 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
- Tema 2: Proses pengambilan keputusan
- Tema 3: Pembelajaran atau pelatihan kelompok
c. Menginstruksikan kepada 3 kelompok untuk mencari, menggali
pengalaman lapangan dari salah satu atau lebih peserta yang relevan
dengan tema yang dipilih
d. Meminta masing-masing kelompok untuk mengembangkan skenario dari
pengalaman yang telah dibuat.
e. Setiap kelompok diminta untuk mempraktikkan teknik fasilitasi dengan
cara simulasi atau bermain peran (role playing).
f. Mendorong semua kelompok agar simulasi atau role play melibatkan
seluruh anggota kelompok.
g. Debriefing hasil simulasi atau role play.
9. Langkah 9 (5 menit)
a. Membuat kesimpulan bersama peserta.
b. Melakukan evaluasi secara lisan dengan meminta tanggapan balik
(feedback) dari peserta tentang 3 materi pokok.
c. Menyampaikan kalimat penutup, mengapresiasi, dan mengucapkan terima
kasih serta salam untuk mengakhiri proses pembelajaran.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 11
BAB II FASILITASI DAN PENDAMPINGAN SOSIAL
Selaku pendamping sosial, siapakah yang Anda dampingi? Jawabannya tentu
penerima manfaat. Penerima manfaat yang didampingi bisa berupa individu,
kelompok, keluarga, komunitas, atau bahkan masyarakat luas. Mungkin kebanyakan
pendamping sering menghadapi mereka secara berkelompok. Kalaupun fokusnya
individu penerima manfaat, namun dalam upaya penyelesaian masalah atau
pemenuhan kebutuhannya Anda seringkali harus melakukan kontak dengan orang-
orang sekitarnya. Paling tidak dengan keluarga atau kerabatnya.
Lantas dalam rangka apa Anda menemui mereka? Tentu ada banyak tujuan,
terutama terkait konteks tugas Anda selaku pendamping sosial. Secara umum, tujuan
tersebut dapat berupa pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, memperbaiki
keberfungsian sosial, perubahan perilaku, mengurangi atau menghilangkan hambatan
dalam interaksi sosial, atapun berupa pengembangan kapasitas dan tanggung jawab
sosial mereka agar aktif berpartisipasi di masyarakat. Setting, wilayah, atau tempat
pendamping dalam mengupayakan tujuan-tujuan tersebut pun beragam, yakni dapat
meliputi lingkungan RT/RW, komunitas, desa/kelurahan, tempat ibadah, rumah sakit,
klinik, remaja, organisasi pemuda, lembaga pemasyarakatan, sekolah, panti sosial,
kantor pelayanan publik, dan lain-lain.
Bab ini merupakan pengantar bagi para pendamping sosial untuk mengenal
konsep fasilitasi sebelum mereka dibekali peran/keterampilan dan teknik fasilitasi.
Dalam aktivitas pendampingan sosial, konsep pemberdayaan dan partisipasi,
dinamika kelompok, dan model pembelajaran orng dewasa juga sangat penting untuk
dipahami para pendamping.
A. DESKRIPSI SINGKAT
12 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Anda pasti sudah sering mendengar istilah fasilitasi. Berbagai macam profesi
gemar sekali menggunakan istilah tersebut. Bahkan dalam berbagai konteks, istilah ini
pun sering muncul. Kata fasilitasi terkesan punya banyak arti dan dapat dipakai dalam
konteks apapun. Namun, bisa jadi apa yang dimaksud belum begitu jelas, dari mana
istilah ini berasal, dalam hal apa saja fasilitasi dapat diterapkan, atau pada saat apa
peran fasilitator dibutuhkan. Di sini akan dijelaskan secara sekilas pengertian fasilitasi,
sejarah kemunculan dan perkembangan fasilitasi, dan perumpamaan fasilitasi.
1. Pengertian Fasilitasi
Kata ‘fasilitasi’ diambil dari bahasa Perancis ‘facile’ dan Latin ‘facilis’ yang
artinya: mudah dilakukan, untuk mempermudah, atau bermakna membuat sesuatu
menjadi mudah (Barnhart, 1988 dalam Hogan, 2002: 10). Fasilitasi berkaitan dengan
upaya mendorong adanya dialog terbuka di antara individu yang memiliki pandangan
berbeda-beda sehingga berbagai asumsi dan opsi dapat tergali.
Konsep fasilitasi sangatlah kompleks, sehingga definisinya pun beragam.
Karena merupakan bidang baru, tidak ada definisi tunggal yang disepakati oleh
semua. Sebagai contoh, di sini diambil dari Hogan (2002: 57) yang mengartikan
fasilitator sebagai “Seseorang ...yang memiliki berbagai kemampuan dan pengetahuan
tentang manusia, proses, dan teknis, dan juga ragam pengalaman membantu
kelompok untuk melangkah bersama mencapai tujuan.”
Christine Hogan (2002) menjelaskan bahwa istilah fasilitasi muncul dari dunia
bisnis, pendidikan, dan pembangunan sejak paruh kedua abad ke-20. Konsep fasilitasi
terus berkembang sejak Perang Dunia II (PD-II), khususnya ketika dipraktikkan dalam
bidang manajemen, pendidikan, psikologi, dan Comdev. Fasilitator datang dari
beragam latar belakang, bidang, profesi, budaya, atau disiplin ilmu. Penggunaan
B. MENGENAL FASILITASI
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 13
dalam berbagai konteks inilah yang menyebabkan konsepnya selalu berubah dan
berkembang.
Akar fasilitasi memiliki asal-usul dalam profesi pertolongan seperti pendidikan,
konseling, pekerjaan sosial, kerja pengembangan, dan aktivis keagamaan. Sepanjang
abad ke-20, fasilitasi memiliki sejumlah alasan mengapa begitu populer. Di antaranya
adalah bahwa ada gerakan pendulum yang berubah-ubah antara cara otokratik dan
partisipatif. Perubahan besar terjadi pada abad ke-17 dimana pendulum bergerak ke
arah doktrin tentang hak-hak alamiah manusia yang diformulasikan oleh John Locke
(saat ini disebut sebagai hak azasi). Locke mengusulkan bahwa setiap orang memiliki
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dibuat untuk mereka. Alasan
lain adalah bahwa ada kebutuhan untuk membantu kelompok komunitas yang besar
untuk membuat rencana dan menyelesaikan isu dan konflik dimana konstituen
mereka mempunyai cara pandangnya sendiri (Hogan, 2002: 11-13).
Konsep fasilitasi yang dijelaskan di sini diambil dari bidang pengembangan
masyarakat (community development atau biasa disingkat Comdev). Alasannya,
pendamping sosial di lapangan lebih dominan bekerja dan berinteraksi dengan
kelompok atau komunitas. Comdev juga dipandang memberi banyak sumbangsih bagi
perkembangan konsep fasilitasi secara umum. Menurut Hogan (2002), fasilitasi
(bersama perubahan sosial) dalam Comdev banyak dipengaruhi gerakan spiritual
keagamaan Quakerisme dan konsep ‘Tangga Partisipasi’ dari Sherry Arnstein. Terkait
‘Tangga Partisipasi’ ini akan disinggung di bagian berikutnya.
2. Karakteristik Fasilitasi
Fasilitasi pada hakikatnya hanyalah suatu upaya membantu orang lain untuk
mencapai tujuannya. Pendamping selaku fasilitator hanya mengantarkan dan
memandu prosesnya, namun pelaku tetap si penerima manfaat. Yang menikmati hasil
pun penerima manfaat, bukan pendamping.
14 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
BOX 2.1
Bu bidan membantu ibu hamil dalam persalinan. Dari mana bayi itu berasal? Ya, dari perut ibu hamil. Bayi siapakah itu? Ya, tentu saja bayinya sang ibu.
Namun, bu bidan tidak tinggal diam menanti nongolnya kepala sang bayi. Dia membantu proses persalinan. Dia memompa semangat juang sang ibu, mengajarkan posisi kaki tertentu, meminta ibu mengejan, manarik nafas panjang, dan lain sebagainya. Harapanya, persalinan berjalan lancar sehingga ibu dan bayi selamat. Sekali lagi, bu bidan tidak melahirkan bayi itu.
(Rimbatmaja, 2018: 11-12)
Hogan (2002) mengibaratkan
fasilitator seperti bidan, yang
membantu ibu hamil (bumil) hingga
proses melahirkan. Bidan tidak harus
hadir setiap saat untuk menemani
bumil. Dia tidak ada saat proses
kehamilan (konsepsi). Juga tidak harus
turut bertangggung jawab mengurus
bayi pasca-lahir dalam jangka panjang.
Dalam artian, mereka tidak turut
berpartisipasi ataupun merasakan
kebahagiaan di saat-saat menyenangkan dalam kehidupan si anak. Bandingkan
dengan uraian di Box 2.1.
Maksud perumpamaan ini adalah bahwa fasilitator membantu sekelompok
orang dengan cara mengidentifikasi dan menggunakan ragam proses untuk
membantu mereka mengangkat ide ke permukaan dan memungkin-kan mereka
mewujudkan tujuan yang diinginkan. Namun, fasilitator jarang hadir untuk menikmati
hasil dari pekerjaan mereka, kecuali mereka yang memang bekerja dalam suatu
lembaga/organisasi.
Laura Spencer (1989), seperti dikutip Hogan (2002: 48), mengidentikkan peran
dan fungsi fasilitator laksana konduktor. Seorang konduktor berfungsi memimpin
orkestrasi dan mengarahkan ragam talenta yang memainkan alat musik yang berbeda
sehingga membentuk alunan simfoni yang indah.
Sebagai suatu seni, fasilitasi dapat dipraktikkan dengan beragam cara. Tidak
mungkin hanya ada satu-satunya cara yang dianggap paling benar dan tepat karena
perbedaan konteks, partisipan, isu, dan pola atau gaya fasilitasi. Masing-masing
fasilitator sangat dimungkinkan mempunyai filosofi, metode, dan strategi yang
berbeda-beda pula (Hogan, 2002: 48).
Hogan (2002) menyarankan bahwa entah fasilitator, manager, pendidik atau
pekerja Comdev semacam pendamping sosial harus lebih fokus pada ‘proses’
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 15
ketimbang ‘isi’. Agar fasilitasi efektif, mereka perlu menguasai keterampilan dan
pengetahuan tentang ‘proses’ untuk menerapkan, memantau, dan mengevaluasi
pendekatan partisipatif.
Hal itu dapat dijelaskan bahwa fasilitator yang ideal memiliki sikap netral dari
sisi ide atau substansi. Ia tidak berdiri di posisi tertentu terkait isu yang sedang
dibahas dan tidak punya kepentingan pada hasil yang hendak dicapai oleh kelompok.
Dengan sikap dan posisi fasilitator yang netral seperti ini, karakteristik utama fasilitasi
adalah content-neutral. Tugas atau peran penting dari seorang fasilitator adalah
memandu proses yang terjadi dalam kelompok agar berjalan baik, memastikan semua
anggota berpartisipasi penuh, memompa semangat, dan memberikan motivasi.
Fasilitator juga harus menghindari adanya dominasi dari sisi proses dan perannya.
Tugasnya hanyalah mengantarkan kelompok mencapai kesepakatan dan mencapai
tujuannya.
Terkait dominasi peran dalam proses fasilitasi, di awal peran fasilitatir biasanya
masih dominan. Namun idealnya peran fasilitator akan semakin berkurang seiring
waktu. Sebaliknya, peran kelompok atau komunitas yang didampingi mungkin belum
kelihatan di awal, namun akan semakin meningkat dalam proses hingga menjadi
dominan. Gambar 2.1 dapat menggambarkan proses ini.
Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat
Sumber: Tim Pe-PP (2007: 24)
16 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Peran fasilitator sangat dibutuhkan dalam suatu kelompok yang hendak
menerapkan nilai-nilai partisipatif, terutama ketika sedang menghadapi masalah yang
rumit untuk dipecahkan dan/atau ketika proses pengambilan keputusan. Sam Kaner
bahkan menyatakan bahwa “fasilitator adalah penjaga api semangat, pembawa visi
tentang apa yang dijelaskan Michael Doyle, dalam pengantar buku karya Kaner dkk.,
sebagai ‘sebuah proses inklusif dan terbuka” (Kaner et al., 2007: xix).
Ketika melakukan fasilitasi dalam komunitas, pendamping dapat bekerja sama
dengan pendamping lain. Konsep kerja sama antar pendamping dalam melakukan
fasilitasi disebut sebagai ko-fasilitasi. Knight dan Scott (1997), sebagaimana dikutip
Hogan (2002: 85), mendefinisikan ko-fasilitasi sebagai:
Dua atau lebih fasilitator yang bekerja bersama untuk memungkinkan suatu
kelompok beserta individu anggotanya dapat mencapai hasil yang disepakati
dimana mereka memaksimalkan sumberdaya yang ada dan mengambil
pelajaran dari kelompok lain, melalui keterlibatan aktif dari semua anggota.
Terkait konsep dan bentuk kerja sama atau kolaborasi yang dilakukan antar
pendamping sosial atau dengan pendamping lain lebih detail dapat dilihat dalam
Modul Bekerja dalam Tim, Koordinasi, dan Jejaring Kerja.
Pendampingan sosial adalah aktivitas yang dilakukan pendamping sosial yang
bertindak sebagai petugas lapangan untuk membantu penerima manfaat. Menurut
Sumodiningrat, seperti dikutip Pusdiklat JPPPIW (2017), pendampingan sosial
diperlukan dalam rangka mengatasi kesenjangan pemahaman antara penerima
manfaat dan pihak penyedia manfaat. Program yang diselenggarakan pemerintah
tentunya memiliki persyaratan dan ketentuan, skema pemberian bantuan, kegiatan
yang harus dilakukan, kewajiban atau komitmen yang harus ditunaikan, dan tujuan
dari penyelenggaraan program yang harus dicapai. Sementara pihak penerima
C. PENDAMPINGAN SOSIAL
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 17
manfaat adalah masyarakat yang kebanyakan belum paham akan syarat, karakteristik,
dan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Celah inilah yang menjadi tugas
pendamping sosial untuk mengisi.
Tugas pendamping sosial tidak hanya melakukan sosialisasi dan penyuluhan
program. Akan tetapi, pendamping sosial juga melakukan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat. Di sini pendamping dapat bertindak sebagai perencana,
pembimbing, pemberi informasi, motivator, mediator atau penghubung, fasilitator,
dan evaluator (Pusdiklat JPPPIW, 2017).
Secara garis besar, Suharto (2009) menyebutkan ada empat tugas dan fungsi
pendampingan sosial, yaitu fasilitasi (atau pemungkinan), penguatan, perlindungan,
dan pendukungan. Fasilitasi terkait dengan pemberian motivasi, menjadi contoh
model, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus atau kesepakatan
bersama, dan mengelola sumberdaya. Fungsi penguatan dapat berupa peningkatan
kapasitas, peningkatan kesadaran, penyampaian informasi, dan melakukan
konfrontasi. Perlindungan yang diberikan pendamping dapat berupa pencarian
sumber pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan, melakukan pembelaan,
pemanfaatan media, dan menjalin relasi dan jejaring kerja. Sedangkan pendukungan
meliputi tidak hanya keterampilan praktis untu mendukung perubahan sosial, tetapi
juga mampu mengelola dinamika kelompok, melakukan analisis sosial, membangun
relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari sekaligus mengelola pendanaan
(Suharto, 2009: 95-97).
Di lapangan, ada sejumlah teknik pendampingan yang dicontohkan oleh Tim
Pe-PP (2007), yang juga dikutip oleh Pusdiklat JPPPIW (2017), seperti tampak pada
Tabel 2.1. Teknik pendampingan tersebut bersifat cukup praktis untuk diterapkan oleh
para pendamping sosial yang berperan sebagai fasilitator di lapangan.
Salah satu rekomendasi dari hasil penelitian oleh Susantyo et al. (2018)
tentang peran dan fungsi pendamping sosial adalah pengembangan kapasitas bagi
para pendamping untuk tugas pemberdayaan. Performa para pendamping dalam
menjalankan fungsinya dianggap masih kurang, sehingga kompetensi atau kapasitas
masih perlu dioptimalkan. Seperti telah dijelaskan, pendampingan sosial memiliki
18 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
tugas pemberdayaan masyarakat penerima manfaat. Kemudian, praktik
pemberdayaan sangat mementingkan adanya partisipasi yang kuat dari anggota. Dua
konsep ini saling terkait erat dan menjadi wilayah dimana fasilitasi dipraktikkan.
Tabel 2.1. Teknik pendampingan
Bentuk kegiatan pendampingan Keterangan Bersilaturahim Dengan tokoh masyarakat, tokoh pemuda,
pemimpin adat dan orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat
Menumbuhkan rasa saling percaya Hindarkan rasa saling curiga
Belajar bersama dalam suasana kehidupan nyata
Bertujuan agar dapat mengamati, mendalami serta dapat menangkap nuansa dan kepekaan dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyarakat/kampung
Membangun simpati, empati, dan kerjasama Caranya bergaul/bersilaturahmi dengan masyarakat, ngobrol dan berdiskusi dengan masyarakat tentang penghidupan, keinginan/ cita-cita/harapan
Menciptakan dan menjaga hubungan (rapport) yang baik dengan masyarakat
Bergaul di masyarakat
Mengamati kondisi masyarakat
Bersosialisasi dengan masyarakat/ menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada
Menghadiri pertemuan-pertemuan kampung
Seperti pengajian, pernikahan, khitanan, kedukaan, event-event tertentu dan lainnya
Belajar bersama masyarakat membangun kelembagaan
Seperti membentuk aturan main/kesepakatan bersama
Menggali informasi tentang masyarakat Seperti sejarah kampung, perkembangan sumberdaya alam & penghidupan masyarakat
Menggali persoalan-persoalan terutama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, hutan dan penghidupan masyarakat
Membangun kerjasama dengan berbagai elemen dalam masyarakat maupun dengan pihak-pihak luar masyarakat
Membangun kelembagaan Ditujukan untuk mengembangkan kerjasama, menciptakan ketertiban, silaturahim, membantu menyelesaikan persoalan secara bersama, wahana untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai kegiatan
Sumber: Tim Pe-PP (2007) dalam Pusdiklat JPPPIW (2017: 67-8)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 19
Seperti telah didiskusikan di awal, pendamping sosial bertugas di tengah-
tengah masyarakat. Meskipun target atau sasaran pemerlu pelayanan beragam dari
individu, kelompok, organisasi, hingga masyarakat, pendamping lebih sering
berhadapan dan berinteraksi dengan kelompok ataupun komunitas. Masing-masing
tentu berbeda dan sangat beragam dari sisi bentuk, karakteristik, visi atau tujuan,
permasalahan yang dihadapi, ataupun prinsip dan norma yang dipegang.
Dalam melakukan pendampingan kelompok, berbagai kendala pasti sering
dijumpai. Ada beberapa anggota yang terlalu vokal dalam pertemuan dan bahkan
cenderung memaksakan gagasan. Sementara banyak anggota lain yang malu-malu
mengutarakan pendapat. Kebanyakan kelompok di masyarakat tampaknya masih
bersifat konvensional dimana pandangan yang berbeda kurang dihargai, keterlibatan
seluruh anggota belum dianggap penting, keputusan masih didominasi kelompok
yang kuat, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi kondisi tersebut, seorang
pendamping harus memahami dinamika kelompok/komunitas.
Terkait tugas untuk penyampaian informasi dan pengetahuan, peningkatan
kapasitas, atau penumbuhan kesadaran di kalangan penerima manfaat, pendamping
sosial dapat bertindak sebagai edukator (pendidik atau pelatih), motivator, penyuluh,
atau penyampai informasi. Maka, pendamping yang baik juga memahami bagaimana
menerapkan pembelajaran untuk para penerima manfaat.
Penjelasan di atas menunjukkan adanya sejumlah kebutuhan pendamping
sosial terhadap pemahaman dan kapasitas tentang sejumlah konsep. Bagian
selanjutnya akan dijelaskan singkat mengenai konsep pemberdayaan dan partisipasi,
dinamika kelompok, dan model pembelajaran orang dewasa.
1. Pemberdayaan dan Partisipasi
Pendamping sosial tidak bisa setiap saat, siang dan malam, mendampingi para
penerima manfaat. Proses pemberian pertolongan pastilah ada batasnya, baik dari sisi
waktu maupun tahapan. Pendampingan tidak bisa dilakukan selamanya hingga
penerima manfaat tidak mampu lepas dari bantuan pendamping. Jika sampai
20 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
mengakibatkan (atau malah menciptakan) ketergantungan, bisa jadi ada yang keliru
dengan kerja pendampingan yang dilakukan.
Pemberian pertolongan melalui proses pendampingan sosial harus diarahkan
dalam rangka menciptakan kemandirian penerima manfaat. Kemandirian berkaitan
dengan konsep pemberdayaan yang di dalamnya terkandung satu unsur penting
berupa partisipasi. Menurut Craig dan Mayo (1995), seperti dikutip Huraerah (2008),
pemberdayaan sangat dekat hubungannya dengan konsep kemandirian, partisipasi,
jejaring kerja, dan kesetaraan atau pemerataan. Suharto (2009) turut menegaskan
pemberdayaan sangat menekankan pentingnya partisipasi yang kuat.
Konsep pemberdayaan sangat penting dalam kerja pendampingan sosial yang
kegiatan utamanya adalah bekerja dengan komunitas atau kelompok. Menurut Jim Ife
(2013), pemberdayaan merupakan komponen penting dalam kerja komunitas dimana
peran pekerjanya lebih menekankan pada proses pemberdayaan ketimbang hasil.
Sejumlah pakar telah lebih dulu menegaskan bahwa pemberdayaan bukanlah suatu
hasil akhir, melainkan sebuah proses yang terus berlangsung yang dialami setiap
orang (Hogan, 2000).
Arti kata pemberdayaan yaitu “menjadi berdaya.” Pemberdayaan didefinisikan
sebagai “proses menolong individu, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan
kemampuan atau kekuatan secara personal, interpersonal, sosial-ekonomi, dan
politik untuk memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi mereka” (Barker,
2003: 103). Tujuan pemberdayaan adalah untuk “meningkatkan daya/kuasa/kontrol
(power) bagi orang-orang yang tidak beruntung” (Ife, 2013: 63). Ringkasnya,
pemberdayaan adalah upaya agar membuat orang menjadi berdaya atau memiliki
kemampuan untuk mengatur hidup dan menentukan masa depan mereka sendiri.
Menurut Ife (2013), daya atau kuasa bagi orang-orang tidak beruntung dapat
diperoleh dengan cara memberikan daya kepada individu atau kelompok;
memungkinkan mereka mengambil kuasa dalam genggaman tangan mereka sendiri;
redistribusi kontrol dari orang yang berpunya kepada kaum papa; dan seterusnya.
Robert Adams (2003) berpendapat bahwa karakter utama pemberdayaan adalah
memungkinkan penerima manfaat agar memiliki daya atau kemampuan yang lebih
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 21
besar dalam memperoleh sumberdaya atau mengakses sistem sumber, pendidikan,
politik, kesadaran diri, dan seterusnya.
Kemudian, dalam hal apa para penerima manfaat (yang mungkin termasuk
orang-orang tidak beruntung) memiliki daya, kontrol, atau kuasa? Ife (2013: 68-70)
merinci ada tujuh macam atau jenis daya/kuasa yang dipakai dalam strategi
pemberdayaan berbasis komunitas, yaitu daya/kuasa untuk:
a. Membuat pilihan pribadi dan menentukan jalan hidup.
b. Mendefinisikan kebutuhan.
c. Berpikir.
d. Mengatasi masalah terkait lembaga atau sistem pelayanan publik.
e. Mengakses dan memanfaatkan sumberdaya.
f. Terlibat atau terhubung dengan aktivitas ekonomi.
g. Mengontrol reproduksi.
Salah satu indikator untuk mengukur keberdayaan masyarakat adalah
partisipasi mereka. Tingkat partisipasi dapat mengindikasikan kadar kontrol atau
kuasa yang dimiliki penerima manfaat. Dengan demikian, tingkat partisipasi dapat
menjadi tolok ukur sejauhmana kelompok dan komunitas yang Anda dampingi
dianggap sudah berdaya dan mandiri. Menurut Hogan (2002), pengembangan
komunitas dan kerja fasilitasi sangat bergantung pada partisipasi warga. Suharto
(2009) turut menegaskan bahwa partisipasi publik yang tinggi sangatlah penting
dalam pemberdayaan masyarakat.
Partisipasi memiliki pengertian dasar berupa aksi/tindakan untuk turut serta
mengambil bagian atau terlibat dalam suatu kegiatan. Sedangkan partisipasi
masyarakat berarti keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, mulai dari
tahap perumusan kebijakan, perencanaan dan penyusunan program, hingga proses
pengambilan keputusan (Mubyarto, 1997 dalam Huraerah, 2008). Huraerah
meringkas definisi dari beberapa sumber bahwa makna partisipasi tidak sekadar turut
serta ambil bagian dalam suatu kegiatan. Namun, ada tiga ide dasar yang terkandung
dalam pengertian partisipasi, yakni adanya: keterlibatan mental-emosional; dorongan
memberikan kontribusi; dan penerimaan mengambil tanggung jawab (p.95).
22 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Pemberdayaan dan partisipasi masing-masing memiliki tingkatan atau tangga.
Sebagai tambahan pengetahuan, pemberdayaan memiliki lima tingkatan (Hogan,
2007) yaitu:
a. Pemberdayaan individu
b. Pemberdayaan individu tersembunyi/terselubung
c. Pemberdayaan hasil mediasi
d. Pemberdayaan sosial-politis
e. Pemberdayaan politis
Versi lain tingkat keberdayaan yang lebih konkret dibuat oleh Susiladiharti
(2002), seperti dikutip Huraerah (2008: 90). Lima posisi/kondisi keberdayaan yang
dimaksud dimulai dari tingkat keberdayaan pertama (bawah) sampai tingkat kelima:
a. Terpenuhinya kebutuhan dasar.
b. Penguasaan atau akses terhadap sumber daya atau sistem sumber yang
dibutuhkan.
c. Dimilikinya kesadaran penuh tentang bermacam potensi dan kekuatan atau
kelemahan individu dan lingkungannya.
d. Kemampuan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan bermanfaat bagi
lingkungan sekitarnya.
e. Kemampuan atas kontrol terhadap diri dan lingkungannya. Misalnya dalam hal
dinamika dan keterlibatan masyarakat dalam mengendalikan program atau
kebijakan lembaga dan pemerintah, termasuk kemampuan melakukan evaluasi
keberhasilannya.
Sedangkan tingkat partisipasi diadopsi dari formulasi Sherry Arnstein (1969)
yang terdiri dari delapan tangga atau tingkatan, seperti dipakai Hogan (2002: 38-9,
2007). Tangga partisipasi tersebut disusun berdasarkan tingkat partisipasi dari
anggota kelompok atau komunitas dalam proses dan interaksi dengan pendamping.
Seperti tampak pada Gambar 2.2, dua anak tangga paling bawah (manipulasi
dan terapi) menandakan ketiadaan atau sangat minimnya partisipasi anggota
kelompok. Naik ke tiga tangga berikutnya (menyampaikan informasi, konsultasi, dan
plakasi), tingkat keterlibatan penerima manfaat semakin naik pula. Namun tingkatan
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 23
ini masih dikatakan sebagai bentuk tokenisme. Baru pada tiga anak tangga paling atas
(kerjasama, delegasi, dan kontrol penuh), partisipasi anggota semakin kuat hingga
kuasa atas pengambilan keputusan atau menentukan nasib sendiri betul-betul di
bawah kendali mereka secara penuh.
8. Kontrol sepenuhnya oleh kelompok/komunitas
Kadar kekuasaan kelompok/komunitas 7. Pendelegasian kuasa
6. Kerjasama (partnership)
5. Plakasi
Kadar tokenisme 4. Konsultasi
3. Menyampaikan informasi
2. Terapi Non-partisipasi
1. Manipulasi
Gambar 2.2. Tangga partisipasi Sherry Arnstein Sumber: Hogan (2002: 38, dengan perubahan)
2. Dinamika Kelompok Perumusan Kesepakatan
Bagi seorang fasilitator yang hendak mendampingi kelompoknya dalam upaya
mencapai pembuatan keputusan secara partisipatif, pemahaman tentang dinamika
kelompok merupakan kompetensi inti (Kaner et al., 2007). Berikut ini akan dijelaskan
konsep dinamika kelompok yang diformulasi oleh Kaner et al. (2007). Meskipun
konsep dinamika kelompok Kaner et al. dibuat dalam kerangka pembuatan keputusan
secara partisipatif, sampai tahap tertentu konsepnya dapat diterapkan dalam konteks
pendampingan sosial bagi kelompok atau komunitas secara umum.
Sebelum uraian konsep dinamika kelompok, selaku fasilitator kelompok atau
komunitas, pendamping harus memahami nilai-nilai partisipatif yang harus dipegang.
Tabel 2.2 dapat menjadi panduan bagi para pendamping terkait sejumlah karakteristik
penting yang membedakan pendekatan partisipatif dari pendekatan konvensional
dalam suatu kelompok atau komunitas.
24 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam fasilitasi kelompok
Kelompok Partisipatif Kelompok Konvensional
Setiap orang berpartisipasi, tidak hanya yang vokal-vokal saja
Pemikir tercepat dan paling pandai bicara akan lebih banyak diberi kesempatan
Setiap orang diberi ruang untuk bertukar-pikiran
Orang terbiasa saling menginterupsi untuk hal-hal yang umum
Pandangan berbeda diperbolehkan Perbedaan pendapat dianggap sebagai konflik yang mesti dihindari atau “diselesaikan”
Saling menegaskan dengan pertanyaan suportif: “Jadi ini yang Anda maksud?”
Bertanya dipandang seperti menantang, seakan-akan orang yang ditanya telah melakukan kekeliruan
Setiap orang berupaya memperhatikan orang yang sedang bicara
Jika orang yang sedang bicara tidak meminta perhatian, orang ngobrol seenaknya, cuek, atau melihat jam
Semua dapat saling bertukar ide secara bebas karena mereka tahu bahwa idenya juga didengar
Orang sulit untuk saling mendengarkan atau memahami gagasan karena masing-masing sibuk memikiran apa yang ingin mereka katakan
Setiap anggota dapat mengungkapkan hal-hal yang kontroversial. Setiap orang tahu posisi pendapat/dukungan masing-masing
Sebagian cenderung menghindari kontroversi, sehingga tidak ada yang tahu dimana posisi pendapat/dukungan masing-masing
Semua dapat mewakili pandangan yang lain – meski terkadang tidak sejalan
Orang jarang dapat mewakili pandangan atau alasan kelompok lain yang tidak sejalan
Tidak ada yang komplain atau ngedumel di belakang di luar pertemuan
Karena merasa tidak bebas mengutarakan pendapat langsung dalam pertemuan, orang lebih suka bicara di belakang
Meskipun berbeda pendapat dengan pimpinan kelompok, orang tetap berani menyatakan apa yang mereka yakini
Orang yang tidak sejalan atau punya pandangan berbeda sendiri umumnya kurang didukung untuk menyatakan pendapat
Suatu masalah belum dianggap selesai sebelum semua yang terpengaruh oleh keputusan memahami alasannya
Suatu masalah dianggap selesai begitu orang-orang pandai telah menemukan jawaban. Yang lain diharapkan menyesuaikan saja tanpa melihat apakah dia paham alur pikir keputusannya.
Ketika semua menyetujui, diasumsikan bahwa keputusan telah mencerminkan seluruh pendapat
Ketika tercapai kesepakatan, semua dianggap memiliki pemikiran/pendapat yang sama
Sumber: Kaner et al. (2007: xviii)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 25
Kaner et al. (2007) menggambarkan dinamika kelompok dalam pertemuan
pengambilan keputusan secara sederhana dengan memakai gambar diagram. Diagram
dalam setiap gambar memotret proses pengambilan keputusan dari awal hingga
pertemuan berakhir. Ragam ide/gagasan yang muncul dalam diskusi dan
perkembangannya sampai akhir divisualkan dalam diagram sehingga dinamikanya
dapat mudah dimengerti.
Gambar 2.3 memotret proses pengambilan keputusan dalam sebuah
kelompok. Setiap lingkaran kecil mewakili satu ide/gagasan atau usulan. Tanda panah
menunjukkan arah pikiran kemana perkembangannya selama diskusi. Diagram
tersebut juga dapat menggambakan dimensi ragam usulan (secara vertikal) dan
dimensi waktu (secara horisontal). Dimensi waktu ditunjukkan dengan awal mula
pertemuan ketika membahas suatu topik baru (new topic) sampai akhi pertemuan
dimana keputusan dapat diambil (decision point).
Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan
Sumber: Kaner et al. (2007: 4)
Seperti tampak pada Gambar 2.3, proses pertemuan kelompok dalam
pengambilan keputusan menunjukkan perkembangan yang diharapkan karena
pemikiran yang berkembang dari suatu topik mengarah ke satu kesepakatan. Di sini
ide yang berkembang tidak sampai liar, kelompok pertemuan tidak sampai membuat
frustrasi, dan keputusan pun berhasil dibuat bersama-sama.
Kaner et al. (2007) mengatakan kenyataannya sering berbeda. Kelompok
diskusi dalam rangka pengambilan keputusan tidak berjalan seperti yang diharapkan.
26 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Gambar 2.4 menunjukkan bahwa kelompok kehilangan fokus tema diskusi sehingga
tidak menghasilkan keputusan. Kalaupun fasilitator dan beberapa orang berupaya
keras agar diskusi tetap fokus dan sesuai jalur, namun mereka tidak bisa mengubah
fakta bahwa anggota kelompok adalah individu-individu yang memiliki cara pandang
berbeda-beda.
Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan
Sumber: Kaner et al. (2007: 5)
Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan
Sumber: Kaner et al. (2007: 6)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 27
Namun demikian, Kaner et al. (2007) juga membuat model diagram yang
dianggap lebih mendekati kenyataan. Gambar 2.5 menunjukkan adanya dua proses
pemikiran yang umum dalam diskusi pengambilan keputusan, yaitu pemikiran
divergen dan pemikiran konvergen. Pada saat-saat tertentu, anggota kelompok butuh
mengekspresikan pandangan mereka (proses berpikir divergen). Namun di saat-saat
yang lain, mereka juga ingin mempersempit perbedaan dan berupaya mengarahkan
diskusi ke kesimpulan (proses berpikir konvergen).
Kaner et al. (2007) mengangkat empat contoh perbedaan antara proses
berpikir divergen dan konvergen. Perhatikan Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan
Divergen Konvergen
Menumbuhkembangkan ide-ide vs. Mengelompokkan ide-ide dalam kategori
Diskusi bebas terbuka vs. Menyimpulkan poin-poin kunci
Mencari ragam pandangan vs. Menuju ke arah kesepakatan
Menahan/menghindari penilaian vs. Menerapkan penilaian
Sumber: Kaner et al. (2007: 6)
Selanjutnya Kaner et al. (2007) menentukan bentuk dari dinamika proses
pengambilan keputusan yang dianggap ideal. Menurut mereka, dalam teori sebuah
kelompok yang memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah sulit pasti akan
melangkah secara hati-hati. Langkah pertama, kelompok akan menggali ide-ide
sehingga muncul berbagai ragam ide. Berikutnya, mereka akan berupaya melakukan
konsolidasi pemikiran menuju satu usulan kesepakatan. Kemudian mereka akan
menggodok lagi usulan tersebut hingga mencapai keputusan final yang sekiranya
dapat mencerminkan ragam ide-ide yang pernah muncul. Langkah-langkah ini
tergambar pada diagram Gambar 2.6.
Namun, lagi-lagi dalam kehidupan nyata tidaklah semulus langkah-langkah
sesuai teori. Pasti ada sesuatu yang harus dilalui dan dilakukan pada kenyataannya.
Karena pada praktiknya, kebanyakan orang sulit mengubah dari keinginan selalu
mengungkapkan pendapat pribadi ke arah upaya memahami pendapat orang lain.
28 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Sebagian merasa sering disalahpahami sehingga mengulang-ulang pendapatnya. Ada
yang ingin cepat selesai. Kadang sebagian sibuk ngobrol dengan teman di sampingnya.
Masing-masing ingin pendapatnya didengar. Kondisi seperti ini dapat membuat orang
menjadi bingung, terganggu, frustrasi, tidak sabar, dan sebagainya. Pertemuan bahkan
mengarah pada kebuntuan (deadlock). Parahnya, kadang pemimpin pertemuan
berusaha menghilangkan kebuntuan dengan cara membuat keputusan sepihak.
Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan Sumber: Kaner et al. (2007: 13)
Kaner et al. (2007) menyatakan bahwa dinamika di atas menggambarkan
bahwa proses berpikir konvergen tidak otomatis terjadi setelah proses berpikir
divergen dilewati. Menurut Kaner et al. ada langkah penting yang terlewat oleh
kelompok. Langkah yang dimaksud adalah mengenali adanya zone tidak nyaman yang
membuat anggota pertemuan merasa resah, tertekan, dan putus asa. Kaner et al.
(2007) menamainya dengan Groan Zone atau bisa terjemahkan sebagai Zona Kritis.
Saat melewati zone ini, anggota pertemuan mengulang-ulang pandangannya, tidak
sensitif, saling defensif mempertahankan pendapat, emosi mudah meletup, dan
seterusnya. Sayangnya, kebanyakan justru tidak mengerti betul apa yang terjadi.
RAGA
M ID
E
WAKTU
PENDAPAT UMUM
RAGAM PANDANGAN
PENYATUAN PEMIKIRAN
PEMBULATAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 29
Untuk mengenali dan melewati Zona Kritis, Kaner et al. (2007: 20)
menawarkan suatu model yang dinamakan dengan Diamond of Participatory Decision-
Making bagi para fasilitator (Gambar 2.7). Tim Pe-PP (2007) menerjemahkannya
sebagai “Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan.” Seperti tampak pada Gambar
2.7, Groan Zone berada di tengah-tengah antara zona divergen dan zona konvergen.
Di awal zona divergen ada proses pengambilan keputusan yang sifatnya instan karena
tidak melalui proses-proses divergensi dan konvergensi. Justru tipikal pertemuan
seperti ini umum terjadi (business as usual) yang biasanya dilakukan oleh kelompok
konvensional, bukan partisipatif. Sedangkan di ujung proses pertemuan dinamakan
sebagai zona penutup (closure zone) dimana kesepakatan berhasil dibuat.
Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan
Sumber: Kaner et al. (2007: 20)
Lebih jauh Kaner et al. (2007) menjelaskan bahwa Zona Kritis merupakan
konsekuensi dari kebhinekaan dalam kelompok. Kesalahpahaman dan miskomunikasi
adalah hal yang normal dan alamiah dalam proses pengambilan keputusan
partisipatif. Ketika melewati fase sulit ini, fasilitator harus mampu mengatasi
kesalahpahaman dan miskomunikasi demi mencapai kesepakatan yang lestari dan
kolaborasi yang mantap. Caranya adalah dengan mencari kesepahaman dan
WAKTU
30 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
kesamaan. Persamaan dan kesamaan dalam gagasan atau pandangan di antara
anggota kelompok menjadi prasyarat bagi proses berpikir yang cerdas dan kreatif
dalam pengambilan keputusan.
Ada empat nilai utama dalam pengambilan keputusan partisipatif (Kaner et al.,
2007):
a. Partisipasi penuh
Seluruh anggota kelompok didorong untuk bersuara mengungkapkan isi kepala
mereka.
b. Pemahaman bersama
Untuk mencapai kesepakatan yang langgeng, antar anggota saling memahami
dan menerima kebutuhan dan tujuan masing-masing.
c. Solusi inklusif
Solusi yang mampu mengakomodir semua kepentingan merupakan bentuk
kebijaksanaan kelompok yang muncul dari hasil penyatuan pandangan dan
kebutuhan setiap orang.
d. Tanggung jawab bersama
Dalam kelompok partisipatif, semua anggota sadar bahwa pelaksanaan hasil
keputusan merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya sebagian orang.
Dengan kesadaran itu, mereka akan sepenuh hati untuk terliba penuh dalam
pembuatan kesepakatan sebelum diputuskan.
Keempat nilai inti tersebut sekaligus menjadi domain seorang fasilitator
kelompok untuk memainkan perannya. Dalam proses pengambilan keputusan yang
bersifat partisipatif, fasilitator berperan untuk menggalang partisipasi penuh semua
anggota, mempromosikan kesepahaman bersama, memperjuangkan solusi yang
dapat mengakomodir semua pandangan atau kebutuhan, dan menanamkan rasa
tanggung jawab bersama di kalangan anggota.
Tujuan dan manfaat yang diharapkan dari peran-peran seorang fasilitator
dengan nilai-nlai partisipatif tersebut dapat membentuk (Kaner et al., 2007: 29):
a. individu-individu anggota yang lebih kuat
peningkatan skill kepemimpinan
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 31
daya nalar yang lebih kuat
lebih percaya diri
lebih berkomitmen
keterampilan komunikasi yang lebih baik
peningkatan kemampuan mengemban tanggung jawab yang lebih luas
dan berat
b. kelompok yang lebih kuat
peningkatan kemampuan mendayagunakan berbagai talenta
mampu mengakses lebih banyak jenis informasi
membangun rasa hormat dan atmosfer yang saling mendukung
memiliki prosedur lebih jelas dalam menghadapi dinamika kelompok
peningkatan kapasitas mengatasi masalah rumit
c. kesepakatan yang lebih kuat
lebih banyak ide
ide-ide yang lebih brilian dan berkualitas
pemecahan yang mengakomodir tujuan setiap anggota
kesepakatan yang lebih bijak
pelaksanaan hasil kesepakatan secara lebih bertanggung jawab
3. Model Pembelajaran Orang Dewasa
Di ranah pelatihan, konsep fasilitasi dipengaruhi oleh sejumlah inovator besar.
Sebut saja John Dewey (1859-1952), seorang filsuf dan ahli pendidikan, yang
menyatakan bahwa guru atau pendidik lebih tepat berperan sebagai fasilitator, yang
mampu menciptakan kondisi belajar dengan cara menuntun dan membantu, bukan
mendikte, mengajari, atau menyuruh, apalagi memaksa. Fasilitasi memakai
pendekatan penyelesaian masalah dan situasi pembelajaran harus lebih bersifat
kooperatif ketimbang diktatorial yang lebih mengandalkan kekuasaan (Hogan, 2002).
Ahli lain yang mempopulerkan istilah fasilitator pada dekade 1970-80an yaitu
Carl Rogers (1902-87). Psikoterapis Amerika ini berpendapat bahwa peserta didik
seharusnya dipacu agar mereka mampu “belajar bagaimana untuk belajar” dan
32 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
mereka harus menjadi mandiri (otonom). Alasannya, kebanyakan peserta didik lebih
suka belajar dengan caranya sendiri. Peran guru hanya memfasilitasi (Hogan, 2002).
Seorang penulis yang paling berpengaruh sekaligus kontroversial tentang
pendidikan orang dewasa, Malcolm Knowles, memperkenalkan konsep pendidikan
orang dewasa tahun 1970. Konsepnya dikenal dengan ‘andragogi’. Model andragogi
merupakan kebalikan dari ‘pedagogi’ atau pendidikan untuk anak. Karakeristik utama
andragogi adalah pendekatan fasilitatif. Knowles merinci tiga asumsi utama yang
membedakan kedua model tersebut (Hogan, 2002: 27):
a. Orang dewasa kurang memiliki ketergantungan dibanding anak dan cenderung
mampu mengatur diri.
b. Orang dewasa lebih memiliki khazanah pengalaman, maka konsep diri mereka
sangat berkaitan erat dengan pengalaman yang dimiliki sehingga mereka akan
memproyeksikan pengalaman tersebut dalam proses pembelajaran.
c. Anak-anak lebih dapat menerima pengetahuan dan keterampilan yang akan
berguna suatu saat nanti. Sebaliknya, orang dewasa ingin pembelajaran
mereka dapat berguna saat ini dan materi belajar terkait langsung dengan
masalah yang sedang mereka hadapi.
Pembelajaran yang bersifat mengatur diri, sebagai salah satu asumsi model
andragogi di atas, sangat mirip dengan pendekatan fasilitatif. Lebih jauh Knowles
mendorong penggunaan ‘kontrak belajar’ ketika memulai proses pembelajaran.
Kontrak belajar lagi-lagi memerlukan pendekatan fasilitatif. Kontrak belajar berarti
sebuah ‘rencana proses’. Fokusnya terletak pada kebutuhan dan gaya belajar peserta
didik.
Model pembelajaran lain yang menekankan pentingnya peran pendidik
sebagai fasilitator adalah pembelajaran eksperiensial yang didesain oleh David Kolb.
Model pembelajaran ala Kolb tidak saja memanfaatkan pengalaman masa lalu, tetapi
juga pengalaman baru atau aktif masa kini. Kolb memformulasi empat tahap dalam
siklus pembelajaran eksperiensial berikut ini:
a. Pengalaman konkret, yakni peserta didik secara langsung terlibat dalam
sebuah pengalaman;
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 33
BOX 4.2 Variasi metode dalam pembelajaran orang dewasa: a. Permainan b. Berbincang (ngobrol) c. Berdiskusi d. Nonton film/video e. Praktik simulasi atau bermain
peran
b. Observasi reflektif, dimana peserta berpikir tentang pengalaman tersebut;
c. Konseptualisasi abstrak, dimana peserta menyimpulkan, melakukan
generalisasi atau memeras pembelajaran baru menjadi sebuah teori; dan
d. Eksperimentasi aktif dimana peserta memutuskan pembelajaran baru apa
yang dapat diterapkan atau dipraktikkan.
Perhatikan Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb Sumber: Hogan (2002: 29)
Tahapan dalam model pembelajaran Kolb tidak harus berurutan atau
sekuensial. Agar peserta mampu memproses
pengalaman dengan cara yang bermakna, harus
ada seorang fasilitator atau ‘manusia proses’ yang
membantu peserta mempu mengambil pelajaran
dari pengalaman. Di sini, menurut John Heron,
seperti dikutip Hogan (2002: 29), fasilitator
berperan “membantu partisipan untuk belajar
dalam kelompok eksperiensial.”
Pengalaman konkret
Observasi reflektif
Konseptualisasi abstrak
Eksperimentasi aktif
34 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Aktivitas pendampingan sosial di lapangan sangat membutuhkan konsep dan
keterampilan terkait fasilitasi. Dengan fasilitasi, tujuan pendampingan sosial harus
diarahkan untuk menciptakan kemandirian para penerima manfaat, bukan malah
menyebabkan ketergantungan. Upaya menciptakan kemandirian merupakan bagian
dari upaya pemberdayaan masyarakat, yang memiliki unsur utama berupa partisipasi.
Fasilitasi, pemberdayaan, dan partisipasi menjadi landasan konsep yang fundamental
untuk memahami dan mempraktikkan peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi.
Untuk lebih melengkapi ketiga konsep dasar tersebut, konsep tentang
dinamika kelompok dalam proses perumusan kesepakatan dan konsep pembelajaran
orang dewasa pun tidak kalah penting. Dalam memfasilitasi pengambilan keputusan
atau pemecahan masalah di antara kelompok atau komunitas penerima manfaat,
seorang pendamping harus dibekali pemahaman akan dinamika proses terkait tahap
konvergen, tahap kritis, dan tahap divergen. Masing-masing tahap ini sangat krusial
untuk dikenali dan pendamping harus memiliki sejumlah keahlian untuk mengatasi
dan memandu proses hingga mampu mencapai titik kesepakatan yang
mengakomodir semua gagasan. Pendakatan terhadap kelompok juga lebih bersifat
partisipatif ketimbang konvensional.
Fasilitasi dalam pelatihan atau peningkatan kapasitas penerima manfaat
memerlukan pemahaman dasar tentang pembelajaran orang dewasa. Konsep
pembelajaran andragogi dan model pembelajaran eksperiensial sangatlah penting
dalam mempraktikkan fasilitasi untuk konteks pembelajaran. Para penerima manfaat
sebagai manusia dewasa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan
anak usia sekolah, sehingga pendekatan dan strategi pembelajaran harus dibedakan.
Dengan mempelajari kedua pokok bahasan tambahan tersebut, Anda
diharapkan dapat mempraktikkan konsep pendidikan orang dewasa (andragogi)
dalam pertemuan kelompok dengan penerima manfaat dan dinamia kelompok dalam
pengambilan keputusan. Konsep ini memiliki karakteristik berbeda dibanding konsep
D. RANGKUMAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 35
pedagogi, yang lebih cocok diterapkan untuk anak-anak, bukan orang dewasa.
Tahapan dalam melakukan pertemuan atau diskusi dapat menjadi pedoman dalam
praktik, termasuk bagaimana mengatur setting pertemuan dan prosesnya. Sejumlah
sikap dan perilaku fasilitatif sangat baik diterapkan dalam pertemuan, diskusi,
ataupun pengambilan keputusan. Hal ini akan dibahas dalam bab terakhir tentang
teknik fasilitasi.
LK. 6.1. Menggali Pengalaman Pendampingan (15 menit)
1. Uraikan bentuk-bentuk kegiatan pendampingan sosial yang telah Anda
lakukan di lapangan.
2. Jelaskan praktik fasilitasi dalam kegiatan pendampingan tersebut.
3. Jika praktik yang Anda lakukan dirasa mengandung unsur pemberdayaan,
uraikan prosesnya dan sampai sejauh mana tingkat partisipasi anggota
kelompok/komunitas penerima manfaat yang muncul.
4. Tuangkan jawaban dari dua pertanyaan tersebut dalam sebuah tulisan
singkat (maksimal 600 kata atau 2 halaman A4).
5. Esai boleh ditulis tangan atau diketik computer.
6. Jika waktu di kelas tidak cukup, peserta dapat menuntaskannya di luar
kelas.
LK. 6.2. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kelompok (20 menit)
1. Peserta tetap di tempat duduk maing-masing
2. Fasilitator menyiapkan board dengan membuat dua kolom tulisan untuk
E. LEMBAR KERJA LEMBAR KERJA
36 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
pendekatan partisipatif dan konvensional
3. Potongan kertas dibagikan ke peserta (ada 24 potongan kertas, sehingga
tidak semua peserta mendapatkan)
4. Fasilitator meminta mendiskusikan dengan teman di samping kiri/
kanannya tentang apa yang tertulis pada kertas dalam waktu 1-2 menit.
5. Setelah itu peserta diminta untuk menempelkan potongan kertas ke depan
6. Meminta dua perwakilan peserta untuk membacakan hasil tempela kertas
di depan. Satu peserta membacakan kolom pendekatan partisipatif dan
yang satunya membacakan pendekatan konvensional.
7. Bersama-sama membahas hasil kegiatan ini.
8. Melakukan debriefing sekaligus melengkapi penjelasan dengan bahan
tayang.
1. Jelaskan secara singkat pengertian fasilitasi dan konsep pendampingan sosial.
2. Dalam modul, fasilitator di antaranya diibaratkan seperti konduktor musik
atau seorang bidan. Menurut Anda selaku pendamping, peran sebagai
fasilitator kira-kira diibaratkan seperti apa? Jelaskan beserta alasannya secara
singkat.
3. Menurut pemahaman Anda, mengapa materi tentang konsep pemberdayaan
dan partisipasi perlu dipelajari dalam mata pelatihan fasilitasi dalam
pendampingan sosial?
4. Jelaskan secara singkat konsep pemberdayaan dan partisipasi. Jelaskan juga
keterkaitan antara keduanya, kemudian dihubungkan dengan konsep fasilitasi.
5. Dalam konsep Dinamika kelompok menurut Kaner et al. (2007), jelaskan
perbedaan tahap konvergen dan tahap divergen dalam proses pengambilan
keputusan atau perumusan kesepakatan.
F. EVALUASI
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 37
6. Jelaskan secara singkat dua dari empat nilai utama yang menjadi landasan
dalam pengambilan keputusan secara partisipatif.
7. Apa yang Anda ketahui tentang konsep pendidikan andragogi dan pedagogi?
8. Mengapa konsep andragogi lebih cocok dipakai untuk fasilitasi pertemuan
kelompok ataupun diskusi?
Pokok bahasan 1 merupakan materi dasar konseptual yang bersifat
pendukung sebelum mempelajari peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi.
Tujuannya adalah untuk membuka cakrawala peserta dan juga untuk menyegarkan
ingatan bagi mereka yang pernah mempelajari materi serupa sebelumnya. Sejumlah
pokok bahasan tidak mutlak disampaikan semuanya di kelas. Tidak menutup
kemungkinan juga apabila ada materi lain di luar modul untuk disampaikan sebagai
materi pelatihan. Hal ini sangat tergantung pada hasil pemetaan atau evaluasi
kapasitas peserta di awal (pre-test). Pemetaan semacam itu dapat juga berupa
kontrak belajar yang menggali harapan tentang materi apa saja yang ingin dipelajari
di kelas.
Sejumlah pertanyaan dalam evaluasi lebih dominan bersifat penalaran. Jika
Anda merasa mampu menjawab atau menjelaskan lima dari delapan pertanyaan
dalam evaluasi secara koheren dan dengan penalaran yang logis, Anda dapat
dikatakan telah mampu menyelesaikan pembelajaran pokok bahasan 1. Sebaliknya,
jika kurang yakin dengan hasil refleksi pengalaman lapangan terhadap teori/konsep
pada pokok bahasan 1 ini, Anda tinggal melihat lagi sejumlah kata kunci masing-
masing konsep.
G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
38 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 39
BOX 3.1. Kasus dari Lapangan
Seorang pendamping sosial menuturkan bahwa kebetulan tahun kemarin ada peserta PKH dampingannya yang digraduasi. Sebenarnya kewenangan itu ada sama pendamping. Kalau memang KPM kita sudah layak, sudah sejahtera, sudah punya usaha, bisa hidup mandiri tanpa bantuan PKH, mereka bisa digraduasi (dikeluarkan dari keanggotaan PKH).
Sebenarnya pendamping tidak langsung memutuskan, tapi berharap mereka sadar diri untuk mundur. Di pertemuan-pertemuan dengan KPM, pendamping selalu menjelaskan kalau yang sudah mampu mohon sadar diri untuk pamit, undur diri. Disampaikan juga bahwa jika nanti ada temuan, akan ada pengembalian dana bantuan.
Faktanya ada beberapa yang sadar diri untuk mundur tanpa paksaan. Saya selaku pendamping menyiapkan surat pernyataan bermaterai untuk mundur secara sadar dari keanggotaan PKH. Mereka disebut sebagai graduasi mandiri. Untuk KPM yang tidak sadar, tidak mau mundur, masih ngotot, dikoordinasikan dengan koordinator kotanya.
Jadi para pendamping tidak bisa putuskan secara sepihak. Tapi memang pendamping lah yang berwenang meng-graduasi KPM yang mampu dan bisa memberitahukan secara langsung. Ini bisa dianggap subjektif sifatnya. Resikonya, jika KPM tidak terima karena tidak sadar, maka pendamping lah yang dikejar. Bahkan ada kasus pendamping berkelahi dengan KPM yang dianggap sudah mampu.
BAB III PERAN & KETERAMPILAN FASILITASI
Pokok bahasan ini menguraikan peran dan keterampilan fasilitasi yang
sebagian diadopsi dari peran-peran fasilitatif dan edukasional menurut Jim Ife (2013).
Peran dan keterampilan fasilitasi sangat penting dikuasai para pendamping sosial
untuk melengkapi dan meningkatkan kapasitas mereka dalam bekerja dengan
kelompok/komunitas. Materi ini disampaikan dengan metode ceramah interaktif,
tanya jawab, pembahasan kasus, diskusi kelompok, dan presentasi.
A. DESKRIPSI SINGKAT
40 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Seandainya Anda adalah seorang pendamping PKH dan menghadapi kasus
yang sama seperti pada Box 3.1 (Kasus dari Lapangan), apa yang akan Anda lakukan?
Bagaimana pula jika ada sejumlah peserta KPM yang digraduasi melakukan protes?
Peran dan keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Gambar 3.1. Peran fasilitator menggunakan Jendela Johari
Sumber: Tim Pe-PP (2007: 25)
Dalam melakukan aktivitas kerja kelompok dan komunitas, pendamping sosial
harus memahami sejumlah peran dan juga menguasai berbagai keterampilan yang
dibutuhkan di lapangan. Secara umum, peran pendamping sosial selaku fasilitator
dapat menggunakan diagram ‘Jendela Johari’. Untuk masing-masing kuadran pada
‘Jendela Johari’ seperti tampak pada Gambar 3.1, pendamping dapat berperan
sebagai:
1. Moderator (‘Aku tahu, Kamu tahu’)
Ketika fasilitator dan penerima manfaat sama-sama tahu akan isu atau topik
B. PERAN DAN KETERAMPILAN FASILITASI
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 41
tertentu, maka fasilitator hanya berperan sebagai moderator. Sebagai
moderator, pendamping berupaya membangun proses dialogis antar anggota
kelompok, kemudian mengembangkan gagasan berangkat dari pengetahuan
dan pengalaman mereka sendiri.
2. Motivator (‘Aku tidak tahu, Kamu tahu)
Peran motivator dimainkan ketika fasilitator tidak memiliki pengalaman
tertentu yang biasa dilakukan masyarakat. Di sini penerima manfaat bisa
menjadi sumber pengetahuan dan fasilitator mau belajar dari mana pun,
termasuk dari masyarakat yang didampingi.
3. Narasumber (‘Aku tahu, Kamu tidak tahu’)
Kebalikan dari jendela di atas, fasilitator berperan sebagai narasumber atau
edukator yang mau berbagi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Pada
posisi ini, fasilitator harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik dan
menguasai metode dan media pembelajaran untuk mentransfer pengetahuan.
4. Mediator (‘Aku dan Kamu tidak tahu’)
Jika keduanya sama-sama tidak memahami topik tertentu, fasilitator tidak
tinggal diam membiarkan ketidaktahuan. Akan tetapi, ia harus berperan
sebagai mediator untuk mencarikan atau menghubungkan dengan
narasumber dari luar kelompok/komunitas.
Mengacu ke Jim Ife (2013), ada empat peran utama pendamping sosial dalam
bekerja bersama para penerima manfaat (Tabel 3,1), yaitu:
1. Peran fasilitatif
Peran ini terkait dengan memberikan motivasi dan dukungan kepada penerima
manfaat. Sejumlah tugas dan peran pendamping sebagai fasilitator adalah
menjadi semacam model, memfasilitasi kelompok, memandu proses dengan
melakukan komunikasi personal yang efektif, melakukan mediasi dan
negosiasi, pengorganisasian, dan mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki
masyarakat.
2. Peran edukasional
42 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Peran edukasional adalah peran pendamping sebagai pendidik yang
menyampaikan informasi dan memberikan pelatihan untuk meningkatkan
kapasitas para penerima manfaat. Pendidik juga harus mampu menumbuhkan
kesadaran di kalangan penerima manfaat agar mau berpartisipasi aktif dalam
melakukan perubah perilaku. Peran lain adalah melakukan konfrontasi
terhadap penerima manfaat terkait konsekuensi yang akan timbul atas suatu
tindakan atau pembiaran.
Tabel 3.1. Peran dalam pendampingan sosial
1. Fasilitatif a. Komunikasi personal b. Keterampilan dan sumberdaya c. Fasilitasi kelompok d. Animasi sosial e. Mediasi f. Dukungan g. Konsensus h. Pengorganisasian
2. Edukasional a. Penumbuhan kesadaran b. Berbagi informasi c. Melakukan konfrontasi d. Memberikan pelatihan
3. Teknis/Teknikal a. Penelitian b. Komputer c. Presentasi d. Manajemen e. Mengelola keuangan
4. Representasional a. Sumberdaya b. Advokasi c. Media d. Humas e. Berbagi pengetahuan dan pengalaman
Sumber: Ife (2013: 307) dengan perubahan
3. Peran teknis (atau teknikal)
Peran teknis juga dapat dilakukan oleh pendamping dengan melakukan hal-hal
praktis yang terkadang di luar tugas utamanya sebagai pendamping. Misalnya
melakukan penelitian atau investigasi, memanfaatkan dan mengajarkan
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 43
keahlian komputer, memberikan presentasi, mengelola keuangan, dan
manajemen organisasi.
4. Peran perwakilan masyarakat
Peran perwakilan atau representasional pendamping ditunjukkan pada saat
menghadapi pihak luar. Pendamping mengatasnamakan dan demi kepentingan
kelompok yang didampingi terkait upaya untuk mengakses sumber luar,
menjalin relasi, membangun jejaring, dan melakukan pembelaan, dan juga
memberikan pelatihan keterampilan tertentu bagi masyarakat.
Keempat peran pendamping tersebut secara utuh ditunjukkan pada Tabel 3.1.
Bagian berikut ini akan mengulas sejumlah peran dan keterampilan yang dinilai sangat
penting dan dibutuhkan dalam proses pendampingan sosial dan pemberian
pertolongan bagi masyarakat penerima manfaat, terutama peran-peran fasilitatif dan
edukasional. Uraian tentang peran (dan juga keterampilan) berikut sebagian besar
diambil dari Ife (2013).
1. Animasi Sosial
Animasi sosial mencakup kemampuan untuk menginspirasi, menyemangati
(menciptakan antusiasme), mengaktifkan, menstimulasi, memberi energi (energise),
dan memotivasi kelompok atau komunitas penerima pelayanan untuk melakukan
tindakan. Ada enam aspek atau karakteristik yang dibutuhkan agar tujuan dari animasi
sosial berhasil dijalankan, yaitu:
a. Semangat (antusiasme)
b. Komitmen
c. Integritas
Contohnya kejujuran atau tanpa kepura-puraan, amanah, konsisten, dan tidak
manipulatif dalam berinteraksi dengan warga.
d. Komunikasi
Aspek ini sangat penting dikuasai karena animator yang baik mampu
mengkomunikasikan secara jelas dan lugas yang bukan sekadar
44 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
mengkomunikasikan fakta, gagasan dan opini, tetapi juga bagaimana
menunjukkan antusiasme, komitmen, dan integritas yang dimiliki.
e. Pemahaman dan kemampuan analisis yang baik
Kapasitas ini merupakan bagian dari pendekatan praktik reflektif.
f. Kepribadian yang baik.
2. Dukungan
Dukungan dari pendamping diberikan kepada penerima layanan yang terlibat
dalam aktivitas maupun dalam struktur kepengurusan yang ada di komunitas. Bentuk
dukungan dapat berupa pujian atau penguatan kepercayaan diri warga, mengakui dan
menghargai jerih-payah mereka, membesarkan hati mereka ketika menemui
kesulitan, kesediaan untuk menyediakan waktu saat mereka ingin konsultasi atau
diskusi tentang apa saja, dan seterusnya.
Oleh karenanya, dukungan tidak saja besifat formal dalam rapat umum atau
pertemuan kelompok, tetapi juga informal dalam aktivitas keseharian warga.
Dukungan yang bersifat informal, seperti ngobrol santai, duduk ngopi bersama, dan
menyempatkan waktu untuk datang bertandang, justru lebih menentukan
keberhasilan dan efektivitas kerja pendampingan. Dan keterampilan utama yang
menentukan peran ini lagi-lagi adalah komunikasi interpersonal.
3. Pemanfaatan keahlian dan sumber daya
Peran fasilitatif penting lain bagi seorang pendamping selaku pekerja
komunitas adalah mampu mengidentifikasi dan bagaimana mendayagunakan keahlian
dan sumberdaya yang dimiliki kelompok/komunitas. Pemanfaatkan keahlian dan
sumberdaya lokal dapat menstimulasi pengembangan ekonomi.
Untuk tujuan tersebut, tugas pertama seorang pendamping biasanya berupa
upaya menemukan keahlian yang dimiliki warga, yakni dengan cara mendata keahlian
dan pengalaman sebagai sumberdaya ekonomi yang dapat didayagunakan. Upaya lain
adalah mendata potensi alam, bangunan atau kondisi lingkungan yang masih
digunakan ataupun yang terbengkalai, misal bangunan sekolah, gudang, pos ronda,
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 45
sawah, pabrik, dan beragam potensi lain.
Jika dua kegiatan iventory tersebut dipertemukan, aktivitas lokal dapat
distimulasi, kemandirian dan ketahanan masyarakat dapat terbentuk, serta potensi
ekonomi lokal diharapkan dapat tumbuh berkembang.
4. Pengorganisasian
Peran fasilitatif lain bagi seorang pendamping adalah peran sebagai organiser.
Organiser adalah orang yang memastikan sesuatu dapat terwujud atau terjadi.
Sebagai ilustrasi, ketika mau mengadakan suatu acara, hal-hal yang harus dipastikan
oleh organiser di antaranya:
a. aula atau tempat pertemuan telah dipesan
b. keterangan pers (press release) telah disusun dan didistribusikan
c. notifikasi untuk pertemaun telah dikirim
d. kopi dan teh telah dipesan untuk disediakan setelah pertemuan
e. cleaning service sudah disiapkan
f. surat izin menyelenggarakan kegiatan sudah dikirim tepat waktu
g. bupati/walikota dan anggota dewan setempat telah diundang
h. sound-system cocok untuk level pertemuan/rapat terbuka
i. tempat khusus untuk mengasuhan/menyusui anak telah disediakan
j. undangan telah disebar
Ketika kelompok/komunitas diorganisir secara tepat dan semua hal telah
dikerjakan, maka segala sesuatu akan berjalan mulus dan akan ada banyak
kesempatan untuk mewujudkan tujuan pengembangan masyarakat.
Terkadang pekerja komunitas melakukan sendiri pengorganisasian tersebut,
namun jika telah berkomitmen penuh terhadap proses pengembangan masyarakat
akan lebih baik jika membantu yang lain menunaikan tanggung jawabnya. Caranya
dengan memberikan dukungan, membangkitan semangat, menasehati atau
mengingatkan secara bijak, dan sebagainya.
Pendamping harus terjun terlibat dalam aktivitas, tidak sungkan membantu
warga untuk hal-hal sepele atau pekerjaan kotor, karena hal ini merupakan satu cara
46 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
untuk menunjukkan ke warga bahwa pendamping memiliki komitmen penuh
terhadap komunitas.
5. Komunikasi personal
Keterampilan komunikasi interpersonal sangat penting dalam peran fasilitatif
oleh pekerja komunitas. Komunikasi efektif mensyaratakan pendamping memiliki
kapasitas untuk:
a. menginisiasi komunikasi atau percakapan
b. menyimpulkan komunikasi atau percakapan
c. menciptakan dan menjaga atmosfer saling percaya dan menerima
d. menjaga percakapan tetap fokus dan terarah, ketika diperlukan
e. hati-hati/sadari akan pentingnya kondisi fisik ketika sedang melakukan
komunikasi personal
f. mendengarkan secara cermat
g. memahami dan interpretasikan apa yang dikatakan
h. memastikan kondisi orang lain nyaman dan bebas melakukan percakapan
i. mengajukan pertanyaan yang tepat dan sesuai
j. mendorong yang lain untuk melakukan refleksi tentang implikasi dari
pembicaraan/diskusi
k. menyatakan pesan seseorang secara jelas dengan meggunakan bahasa yang
mudah dipahami
l. memberi saran agar komunikasi/percakapan tidak dianggap terlalu serius
ataupun sebagai ancaman
m. memastikan bahwa interaksi bersifat natural, tidak dibuat-buat (genuine) dan
hindari kesan adu kekuatan dan pengaruh (game of power and control)
n. hati-hati dengan perbedaan kultural dan sensitivitas dalam pola/gaya
berkomunikasi (verbal dan non-verbal)
o. menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk mendorong/merangsang
komunikasi
p. memperhatikan batasan dan prioritas waktu orang lain
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 47
6. Menumbuhkan Kesadaran
Karakteristik dari penumbuhan kesadaran adalah memiliki tujuan membuka
kesadaran terhadap struktur dan strategi perubahan sosial, dimana setiap orang
dapat berpartisipasi dan melakukan tindakan efektif. Struktur kadang sudah ada
dalam komunitas, namun belum disadari keberadaannya sehingga perlu dibantu
untuk mengenalinya.
Sebagian masyarakat perlu dibantu untuk melihat atau menyadari bagaimana
membangun struktur. Kadang ada yang hanya perlu melibatkan orang agar menyadari
cara untuk mengubah hidup mereka sehingga mereka tidak turut berkontribusi atau
menguatkan struktur yang menindas atau tidak menguntungkan bagi sekelompok
orang.
Ada lagi yang perlu menghubungkan orang dengan aksi kelompok yang sudah
ada, sehingga pendamping hanya mendorong warga agar tidak bersikap apatis dan
pasif dan kemudian melakukan aktivisme tindakan nyata. Aktivisme seringkali dilihat
sebagai aktivitas atau kegiatan bagi kelompok minoritas, sementara masyarakat
umum kurang diperhatikan.
Penekanan pada tanggung jawab setiap warga negara untuk berpartisipasi dan
juga hak untuk berpartisipasi merupakan ciri khas pengembangan masyarakat. Oleh
karena itu, mendorong masyaraat agar ikut berpartisipasi secara aktif sangatlah
penting bagi pendamping.
Dalam konsep Paulo Freire, penumbuhan kesadaran sangat ampuh dan efektif
bila diletakkan dalam konteks realitas keseharian, bukan pada kondisi tertentu. Maka
pendamping harus mampu melihat segala situasi yang memiliki potensi penumbuhan
kesadaran.
Seorang pendamping yang baik selalu mencari peluang melakukan
penumbuhan kesadaran dan dialog, dan juga mampu menghubungan pengalaman
warga dengan konteks sosial, ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang lebih luas.
Sebagai contoh, jalan raya yang padat dan berbahaya dapat membuka ruang diskusi
48 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
tentang transportasi publik, persoalan tata kota, trotoar yang ramah, atau hak warga
akan keselamatan dan kenyamanan.
Keterampilan dalam upaya menumbuhkan kesadaran para penerima manfaat
meliputi:
a. Kemampuan menghubungkan hal-hal personal dan politik dan kemudian
membantu yang lain melihat hubungan tersebut
b. Mampu mendengarkan dan berkomunikasi
c. Mampu menciptakan hubungan yang dialogis
d. Kemampuan interpersonal dan bekerja dengan kelompok
e. Mempu memotivasi dan bekerja bersama dalam semangat solidaritas.
7. Mediasi dan Negosiasi
Peran mediasi sangat penting dalam menangani konflik antar kelompok di
masyarakat, baik karena perbedaan kepentingan ataupun perbedaan nilai atau cara
pandang terhadap sesuatu.
Sebagai mediator, pendamping harus memiliki keterampilan untuk
mendengarkan dan memahami kedua belah pihak, untuk menangkap posisi atau
pandangan masing-masing, untuk meyakinkan warga agar menghormati posisi dari
pihak yang berseberangan, dan membantu kedua belah pihak mencari wilayah
kesamaan, sehingga kemudian bersama-sama mencapai konsensus.
Berperan sebagai mediator, pendamping harus bersikap netral, tidak berat
sebelah. Namun jika pendamping diidentifikasi tidak bisa bersikap imparsial, ada
keberpihakan ke salah satu kelompok yang berkonflik, maka mediasi tidak bisa
dilakukan.
Keberpihakan pendamping diperlukan khusus untuk isu-isu hak azasi dan
keadilan sosial, misalnya terkait tindakan rasisme, diskriminasi, kekerasan,
penindasan, intoleransi, perundungan (bullying), dan lain-lain. Pada posisi ini,
pendamping masih dapat berperan untuk melakukan sesuatu, yaitu negosiasi. Ketika
melakukan upaya negosiasi, pendamping berada di salah satu pihak yang berkonflik
dan seringkali di pihak yang tidak diuntungkan.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 49
Keterampilan utama yang dibutuhkan untuk memainkan kedua peran tersebut
di antaranya resolusi konflik, skill komunikasi, praktik dengan kelompok (group skills),
dan lain-lain.
Peran mediasi dan negosiasi sangat penting dalam penanganan konflik,
khususnya resolusi konflik, dan juga proses pengambilan keputusan yang
menguntungkan kedua belah pihak yang berseteru (win-win solution). Keterampilan
khusus tersebut lebih tepat untuk dipelajari dalam diklat pendamping sosial tingkat
lanjut.
8. Melakukan Konfrontasi
Istilah konfrontasi dalam kerja pendampingan terdengar bertentangan dengan
prinsip anti-kekerasan, inklusivitas, dan konsensus. Namun, sebetulnya tidak
demikian. Terkadang ditemui kondisi tertentu di lapangan yang mengharuskan
pendamping mencegah atau menghentikan tindakan/kegiatan kelompok untuk
menghindari dampak yang lebih serius.
Penting bagi seorang pendamping agar berpikir cermat sebelum melakukan
taktik konfrontasi. Ketika harus dilakukan, warga komunitas dikonfrontasikan dengan
konsekuensi dari aksi/tindakan atau perilaku mereka, bukan dengan kelompok lain.
Berikut ini adalah beberapa contoh kondisi kapan tindakan konfrontasi dapat
dilakukan:
a. Kelompok komunitas melakukan tindakan yang bisa mengarah ke masalah
serius, sehingga pendamping perlu mengkonfrontasi mereka terkait
konsekuensi dari tindakannya. Misalnya kejadian pelecehan seksual terhadap
anak oleh komunitas ingin ditutup-tutupi dan dibiarkan karena pelaku adalah
orang penting di komunitas. Maka konfrontasi sangat penting untuk
mencegah munculnya korban anak yang lain.
b. Konfrontasi diperlukan untuk mencegah implikasi hukum atas tindakan
individu atau kelompok. Konfrontasi dilakukan agar komunitas memahami dan
menerima tanggung jawab hukumnya.
50 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
c. Jika di masyarakat muncul isu-isu moral atau prinsipil, misalnya isu rasisme,
seksisme, perusakan lingkungan, atau membahayakan kesehatan.
d. Dinamika internal dalam komunitas/kelompok, misalnya dalam suatu
kelompok ada anggota yang berperilaku sembrono, sangat mengganggu,
menghalang-halangi kegiatan, atau membuat frustrasi anggota kelompok lain.
9. Membangun Konsensus
Dalam pengembangan masyarakat, pendekatan konsensus berbeda dari
pendekatan konflik. Pendekatan konsensus bahkan digunakan untuk menentang
pendekatan konflik, yang biasa diterapkan dalam urusan sosial, ekonomi, dan politik.
Nilai konsensus dan prinsip kerjasama menggantikan nilai konflik dan semangat
kompetisi.
Peran membangun konsensus merupakan kelanjutan dari peran mediasi.
Peran ini mencakup upaya penekanan pada tujuan bersama, identifikasi kesamaan,
dan membantu masyarakat menghasilkan konsensus yang diterima semua pihak.
Upaya membangun konsensus membutuhkan waktu lebih lama daripada
menerapkan aturan mayoritas (majority rule) dimana yang paling banyak suara yang
dipakai. Aturan ini dilakukan misalnya dengan voting atau aklamasi. Hasil dari
membangun konsensus atau musyawarah untuk mufakat biasanya lebih baik dan
disukai karena lebih menunjukkan adanya solidaritas dan komitmen bersama.
Dalam membangun konsensus, pendamping perlu menguasai skill
mendengarkan, berempati, membingkai ulang (reframing), dan komunikasi.
Reframing artinya apa yang dikatakan warga diterima dan dikemas ulang untuk
memunculkan dialog dan kemudian menjadi masukan, bukan dikonfrontasi dan ujung-
ujungnya ditolak.
Membangun konsensus merupakan salah satu cara atau model dalam
pengambilan keputusan. Khususnya dalam bidang pekerjaan sosial, keputusan yang
akan diambil dapat menyangkut isu, masalah, atau bahkan dilema yang bersifat etis.
Hal ini justru sering terjadi dan dijumpai pendamping di masyarakat. Oleh karena itu,
keterampilan pengambilan keputusan yang bersifat etis harus dimiliki pendamping
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 51
untuk menghindari risiko atau kerugian, baik bagi masyarakat penerima manfaat
maupun bagi pendamping itu sendiri.
10. Fasilitasi Kelompok
Pekerja komunitas seperti halnya kebanyakan pendamping sosial lebih banyak
bekerja bersama kelompok, bukan dengan masyarakat atau komunitas yang lebih luas.
Bahkan interaksi dengan beragam kelompok menjadi tolok ukur keberhasilan seorang
pendamping dalam melakukan pendampingan sosial. Ragam kelompok yang
dimaksud dapat berupa kelompok aksi, kepanitiaan, tim perencana, kelompok
penumbuhan kesadaran, kelompok pelatihan, kelompok satuan tugas, kelompok
mandiri atau swabantu, ataupun badan musyawarah desa/kelurahan setempat atau
dewan syuro suatu organisasi.
Aktivitas dalam kelompok tidak melulu berupa pembicaraan atau diskusi antar
anggota, namun bisa juga berupa aktivitas membangun rumah, melukis, pengasuhan/
perawatan anak, berkebun, olah raga, atau kegiatan fisik lain. Namun pada intinya,
segala bentuk kelompok membutuhkan fasilitasi yang baik.
Pendamping sosial atau pekerja komunitas dapat memimpin,
mengkoordinasikan, atau mengarahkan diskusi dan/atau pertemuan kelompok, baik
secara formal maupun informal. Fasilitasi kelompok dapat berarti mengadakan
pembicaraan dengan anggota kelompok di luar pertemuan, mendorong mereka untuk
berpartisipasi dan memancing mereka untuk berpikir dan berkontribusi dalam
pertemuan.
Fasilitasi juga berarti menginventarisir berbagai pendapat/gagasan/masukan
dalam kelompok, menjamin semua anggota kelompok merasa dihargai dan menjadi
bagian dari kelompok, merefleksikan dan menafsirkan apa yang mereka katakan,
menyimpulkan, merangkai kata menjadi kalimat pernyataan yang pas, menyuarakan
dan menyampaikan pandangan anggota yang tidak hadir, dan mampu menggunakan
ragam teknik kelompok, semisal curah-pendapat.
Kapasitas yang dibutuhkan sebagai pendamping dalam melakukan fasilitasi
kelompok adalah sebagai berikut:
52 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
a. Observasi dan peka terhadap dinamika kelompok
b. Peka terhadap faktor budaya dan gender yang dapat meghalangi orang untuk
berpartisipasi penuh
c. Pahami pentingnya kondisi fisik lingkungan, misal posisi tempat duduk,
susunan kursi dan meja, kondisi suhu ruangan
d. Atur kondisi fisik lingkungan yang positif dan nyaman, semacam pengaturan
tempat duduk, pencahayaan, dan lain-lain
e. Berbicara dalam kelompok sehingga semua anggota fokus memperhatikan
f. Tunjukkan kepemimpinan dalam proses fasilitasi kelompok, sejauh dirasa perlu
g. Dorong yang lain agar mampu tunjukkan peran kepemimpinan dan fasilitasi
h. Libatkan semua peserta yang hadir dalam diskusi, yakni dengan memancing
dan mendorong peserta yang irit berbicara serta membatasi yang dominan
i. Interpretasikan dan refleksikan apa yang dikatakan sehingga semua anggota
paham
j. Arahkan dan bantu kelompok mencapai konsensus
k. Lakukan persiapan sebelum pertemuan dan bantu yang lain melakukan hal
yang sama
l. Ambil peran sebagai pemimpin resmi dalam pertemuan atau rapat
m. Bantu mempersiapkan anggota lain untuk memimpin suatu pertemuan
n. Dalam mengatur agenda pertemuan, konsultasikan dengan anggota kelompok
o. Sempatkan waktu untuk merekam/mencatat proses/hasil pertemuan
p. Upayakan pertemuan selalu tepat waktu
q. Hindari kelompok keluar jalur
r. Hindari kelompok dari perpecahan atau kubu-kubuan (terkotak-kotak)
s. Ketahui aturan prosedur pertemuan formal, dan upayakan untuk
menerapkannya sejauh tepat dan sesuai
t. Bingkai resolusi (atau kesepakatan) formal
u. Interpretasikan dan jelaskan hal-hal pokok yang mendasar
v. Gunakan humor untuk menurunkan tensi dan membangun solidaritas
Keterampilan kerja kelompok dapat diperoleh melalui pelatihan formal, namun
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 53
terkadang tidak selalu relevan karena sangat terfokus pada lingkungan kelompok
terapeutik. Yang lebih baik untuk membangun keterampilan kerja kelompok adalah
dengan mempraktikkan langsung secara reflektif dan kritis.
Hal itu akan melatih pendamping untuk:
a. menemukan cara agar menjadi lebih sensitif terhadap perannya di setiap
situasi kelompok,
b. mendapatkan tanggapan/respons dari yang lain,
c. mengamati,
d. membaca situasi,
e. memperhatikan bagaimana anggota bekerja, dan belajar dari pengalaman
pribadi, entah gagal atau berhasil.
11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan
Pendamping dapat berperan menyampaikan informasi yang relevan dan
dibutuhkan bagi komunitas, misalnya informasi tentang demografi, indikator sosial,
profil komunitas, dan lain-lain. Profil sangat penting bagi suatu komunitas untuk
merencanakan bagaimana pemenuhan kebutuhan warganya dan bagaimana
melibatkan sebanyak mungkin warga dalam proses pengembagan masyarakat. Profil
juga dapat dimanfaatkan untuk mengangkat apa yang istimewa atau berbeda tentang
komunitas dibanding komunitas lain atau secara umum.
Pendamping sejatinya memiliki posisi yang sangat strategis untuk
menyampaikan berbagai informasi tentang:
a. Program atau kegiatan komunitas lain, sehingga bisa belajar dari keberhasilan
dan kegagalan komunitas tersebut.
b. Sumberdaya dari luar yang dapat dimanfaatkan, misalnya panduan
pembuatan proposal pengajuan dana, sumber keahlian, paket pelatihan, dan
lain-lain. Meskipun begitu, sumberdaya lokal tidak boleh dipandang enteng,
sesuai dengan prinsip ketahanan diri.
c. Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi komunitas, baik langsung maupun
tidak langsung. Misalnya, terkait rencana penutupan pabrik manufaktur atau
54 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
rencana pembangunan jalan tol yang akan membelah dan memisahkan
wilayah mereka. Pendamping mngkin harus jadi orang pertama yang
mengetahui rencana semacam itu.
Peran edukatif yang paling spesifik oleh seorang pendamping adalah
mengajari atau melatih orang bagaimana melakukan sesuatu. Kegiatan pelatihan
dapat dilakukan dengan mendatangkan pelatih, entah dari dalam ataupun dari luar
komunitas. Namun, terkadang lebih tepat jika pendamping lah yang memberikan
pelatihan kepada komunitas dampingannya. Adapun tema atau bidang pelatihan
dapat mencakup:
a. Hal-hal yang praktis dan spesifik terkait proses Comdev atau bagaimana
mengelola komunitas, misalnya pelatihan mengelola perpustakaan, tata cara
atau prosedur pertemuan, atau pembuatan keputusan konsensus
b. Pelatihan terkait tugas (task) kelompok komunitas yang menjadi bidang
garapannya, misal terkait perawatan lansia, bagaimana membuat taman
bermain untuk anak, dan sebagainya.
c. Pelatuhan terkait kebutuhan khusus kelompok, seperti pelatihan literasi,
kepemimpinan, motivasi, perencanaan penganggaran, nutrisi, dan lain-lain.
d. Di setting lain, pelatihan terkadang lebih bersifat rekreasional atau kultural
dalam rangka memperkaya pola atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka. Misalnya pelatihan panjat tebing, public speaking, penulisan
kreatif, fotografi, musik, dan sebagainya.
e. Pelatihan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi, misalnya pelatihan
untuk membekali keterampilan yang mendukung mereka untuk memperoleh
pekerjaan atau untuk berwira usaha (social entrepreneurship).
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 55
Dalam bab ini Anda telah diperkenalkan dengan sejumlah peran dan
keterampilan fasilitasi. Berangkat dari ‘Jendela Johari’, fasilitator dapat memainkan
kemungkinan peran sebagai: moderator, motivator, narasumber, atau mediator.
Mengacu pada Jim Ife (2013), peran pendamping sosial sebagai berikut:
1. Animasi sosial
2. Dukungan
3. Pemanfaatan keahlian dan sumberdaya
4. Pengorganisasian
5. Komunikasi personal
6. Penumbuhan kesadaran
7. Mediasi dan negosiasi
8. Melakukan konfrontasi
9. Membangun konsensus
10. Fasilitasi Kelompok
11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan
Dalam pembahasan kasus, Anda juga diasah untuk melakukan analisis
terhadap situasi tertentu agar Anda mulai terlatih untuk menentukan peran apa saja
yang dapat dimainkan dan keterampilan seperti apa yang dibutuhkan. Selain sejumlah
peran yang dibahas di sini, ada lagi salah satu peran representasional yang sangat
penting, yaitu advokasi. Tema ini dibahas dalam modul terpisah, yaitu Modul Advokasi
dalam Pendampingan Sosial.
C. RANGKUMAN
56 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
LK. 6.3. Konstruksi dan Pembahasan Kasus Pendampingan (60 menit)
1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 3 kelompok
2. Seluruh anggota setiap kelompok mendiskusikan pengalaman konkret di
lapangan. Esai tentang refleksi pengalaman lapangan pada LK. 6.1 dapat
menjadi bahan/sumber diskusi. Pilih salah 1 yang sesuai dengan tema yang
dipilih, kemudian gali pengalaman tersebut. Output dari langkah ini adalah
sebuah konstruksi kasus.
3. Tuliskan hasil konstruksi kasus tersebut
4. Bahas dan kaitkan pengalaman tersebut dari sisi:
a. Peran dan keterampilan fasilitasi apa yang telah dilakukan/ditunjukkan
b. Peran dan keterampilan apa lagi yang seharusnya dilakukan?
5. Tuangkan hasil diskusi tersebut pada kertas plano.
6. Presentasikan hasilnya dan beri kesempatan tanya jawab
7. Debriefing hasil diskusi
1. Berpatokan pada ‘Jendela Johari’, ebutkan dan jelaskan secara singkat peran-
peran fasilitator.
2. Sebutkan peran/keterampilan fasilitatif pendamping sosial, empat saja.
Jelaskan masing-masing peran secara singkat.
3. Apa perbedaan antara peran mediasi dan negosiasi? Jelaskan pada saat
kondisi apa keduanya digunakan?
E. EVALUASI
D. LEMBAR KERJA
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 57
4. Keterampilan menumbuhkan kesadaran diperlukan pada kondisi seperti apa
saja yang sekiranya cocok?
5. Pada saat apa atau kondisi seperti apa seorang pendamping harus
melakukan konfrontasi terhadap kelompok?
6. Apa yang Anda pahami tentang upaya membangun konsensus dan
keterampilan apa saja yang dibutuhkan dalam melakukan upaya tersebut.
Kerja pendampingan yang dilakukan pendamping sosial dianggap identik
dengan kerja komunitas. Jim Ife (2013) dalam bukunya, Community Development in
a`n Uncertain World, menyebutkan empat peran dalam kerja komunitas: fasilitatif,
edukasional, representasional, dan teknikal (p. 307). Karena keterbatasan ruang,
peran fasilitasi dalam pokok bahasan ini hanya mengambil dua peran pertama,
fasilitatif dan edukasional, karena sangat penting dan relevan.
Sebetulnya, sebagian keterampilan dalam peran representasional dan teknikal
juga relevan bagi para pendamping. Oleh karena itu, Anda dapat memasukkan kedua
peran tersebut dalam pembelajaran diklat sejauh waktu cukup tersedia. Minimal
Anda bisa memperkenalkan keduanya kepada peserta untuk memperkaya
pengetahuan mereka.
Enam pertanyaan yang diangkat dalam evalusi di atas setidaknya mampu
dijawab empat pertanyaan, sehingga Anda dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan
pembelajaran. Namun jika masih belum merasa yakin dapat menjawab empat di
antaranya, Anda dapat membaca kembali pokok bahasan 2 dalam modul ini.
F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT
58 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 59
BAB IV TEKNIK FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL
Selaku pendamping Anda pasti sering mengadakan pertemuan sekaligus
memimpin untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka sosialisasi atau
penyuluhan program, pertemuan kelompok untuk curah pendapat merencanakan
suatu kegiatan, upaya untuk penumbuhan kesadaran, dan juga pengambilan
keputusan. Sebagian juga mungkin pernah memberikan pelatihan untuk peningkatan
atau pembekalan keterampilan tertentu bagi suatu komunitas. Bahkan mungkin Anda
pernah menemui perbedaan pendapat antara dua kelompok di masyarakat sehingga
Anda harus membantu dalam proses pengembilan keputusan yang mampu
mengakomodasi semua pandangan dan kepentingan.
Pada Box 4.1. digambarkan situasi faktual negara kita saat ini. Dari kondisi
faktual tersebut, tindakan apa yang akan Anda lakukan selaku pendamping sosial di
wilayah dampingan masing-masing? Sebelum melakukan tindakan di lapangan,
mungkin Anda akan berkoordinasi dulu dengan sejumlah pihak yang dapat dihubungi
untuk berkonsultasi dan mencari informasi. Suatu pertemuan virtual dengan pihak-
pihak yang dapat membantu mungkin juga dilakukan terlebih dahulu untuk
memutuskan tindakan yang tepat. Berikutnya, bisa jadi Anda akan mengadakan
pertemuan dengan kelompok penerima manfaat yang Anda dampingi dengan tujuan
menyampaikan informasi, melakukan penyadaran, dan meningkatkan kapasitas
mereka untuk mencegah penularan. Pertemuan tersebut tentunya dengan tetap
menjaga protokol kesehatan.
A. DESKRIPSI SINGKAT
60 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
BOX 4.1 Sejak awal 2020 virus novel corona (Covid-19) mulai menyerang kota Wuhan, China. Virus mematikan ini dengan mudah tersebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejak kasus pertama ditemukan, Pemerintah bersama masyarakat melakukan upaya keras bahu-membahu untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di antaranya adalah himbauan menjaga jarak sosial dan/atau fisik (social/physical distancing), sering mencuci tangan dengan sabun, dan pola hidup sehat dengan olahraga teratur dan makan bergizi. Namun masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengindahkan anjuran pemerintah dan protokol kesehatan dari petugas medis.
Kondisi tersebut mendorong Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara, untuk meminta SDM kesejahteraan sosial agar turut berkontribusi dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Selaku pendamping sosial, Anda sudah diminta secara langsung oleh Menteri Sosial. Tindakan apa yang akan Anda lakukan di wilayah masing-masing?
Pada bab sebelumnya telah disampaikan bahwa pendamping menjalankan
berbagai peran dalam pendampingan, entah sebagai broker, mediator, fasilitator, atau
pendidik. Namun, keterampilan fasilitasi harus dikuasai tidak saja ketika pendamping
berperan sebagai fasilitator. Melainkan, kemampuan melakukan tersebut juga sangat
penting dalam memerankan mediator, broker, pendidik atau pelatih (edukator), dan
berbagai peran lain.
Untuk proses fasilitasi yang sifatnya langsung tatap muka dan harus
mengumpulkan banyak orang dalam ruangan atau di suatu tempat terbuka, di sini
akan dijelaskan prinsip dan pola partisipasi dalam pertemuan kelompok dan
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 61
pembelajaran untuk orang dewasa. Pertemuan kelompok yang dimaksud bisa dalam
konteks diskusi, curah pendapat, penumbuhan kesadaran, atau dalam pengambilan
keputusan. Berikutnya disajikan sejumlah teknik fasilitasi yang sifatnya praktis yang
dapat diterapkan dalam sejumlah konteks tersebut.
Pertemuan yang dimaksud di sini bisa dalam berbagai konteks yang melibatkan
kelompok, komunitas, atau masyarakat penerima manfaat. Contoh bentuknya dapat
berupa pertemuan biasa, diskusi, sarasehan, rembugan, curah pendapat, pembuatan
konsensus, pengambilan keputusan, musyawarah RT/RW atau desa, penyuluhan,
pelatihan atau pembelajaran. Tahapan yang dilalui dan proses yang terjadi akan
sangat beragam pula.
Melihat kembali contoh kasus pada Box 4.1, sejumlah kemungkinan tindakan
yang Anda lakukan dapat berupa pertemuan awal dengan sejumlah pihak dan
mengadakan semacam penyuluhan dan/atau pelatihan untuk peningkatan kapasitas.
Untuk melakukan hal ini tentu membutuhkan teknik-teknik fasilitasi tertentu.
Misalnya terkait bagaimana mengkomunikasikan gagasan untuk meyakinkan sejumlah
pihak, bagaimana proses menentukan keputusannya, dan bagaimana menyampaikan
informasi yang tepat dan mudah dipahami oleh kelompok atau komunitas dampingan.
Selain itu, Anda juga diharapkan mampu membekali keterampilan bagi mereka
tentang bagaimana menerapkan protokol kesehatan dalam keseharian.
Sebelum mempelajari sejumlah teknik fasilitasi untuk melakukan berbagai
kemungkinan tersebut, di sini akan dijelaskan secara sekilas tahapan dalam
pertemuan/diskusi dan sejumlah prinsip pembelajaran orang dewasa.
B. FASILITASI DALAM PERTEMUAN
62 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
1. Tahapan dan Proses Pertemuan
Pertemuan atau diskusi untuk membahas apapun memiliki tahapan tertentu
agar tujuannya tercapai. Secara garis besar, ada lima tahapan pertemuan atau diskusi
menurut Hogan (2003: 214). Seperti terlihat pada Gambar 4.1, tahapan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ungkap masalah
Menyampaikan informasi tentang suatu masalah atau isu.
b. Umpan balik
Mendiskusikan sebab-sebabnya dan bagaimana masalah muncul dan meluas.
c. Penyelesaian masalah
Bagaimana dan dengan menggunakan cara apa saja untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
d. Pengambilan keputusan
Solusi yang mana yang akan dipilih kemudian diterapkan.
e. Rencana aksi
Siapa akan melakukan apa, kapan, dan sumberdaya apa saja yang digunakan.
Ungkap Masalah
Umpan Balik
Penyelesaian Masalah
Pengambilan keputusan
Rencana Aksi
Gambar 4.1. Tahap dalam pertemuan/diskusi Sumber: Hogan (2003: 214, dengan perubahan)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 63
Setting atau layout pertemuan/diskusi juga dapat bersifat tradisional maupun
interaktif. Pertemuan setting tradisional berpusat pada pemimpin pertemuan
(Gambar 4.2). Sedangkan dalam pertemuan interaktif, format dan hasil pertemuan
akan menjadi perhatian utama. Interaksi tidak hanya bersifat dua arah antara
pendamping dan peserta, tetapi multi-arah. Pendamping berperan sebagai fasilitator
yang berkedudukan sama dengan anggota kelompok. Lihat Gambar 4.3.
Gambar 4.2. Layout pertemuan tradisional
Gambar 4.3. Layout pertemuan interaktif
Pada layout pertemuan interaktif, biasanya ada papan (board) untuk menulis
atau menempelkan kertas plano. Papan tulis atau kertas plano diletakkan di depan
untuk menuangkan hasil kesepakatan pertemuan/diskusi. Hasil kesepakatan ini dapat
64 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
dipegang dan direkam oleh siapapun sebagai acuan tidak saja bagi fasilitator atau
pemimpin pertemuan/diskusi, tetapi juga bagi semua anggota. Tujuannya agar data
dan/atau segala hasil kesepakatan tidak diubah sembarangan oleh satu atau dua
orang saja. Struktur atau format tulisan pada papan tergantung pada tujuan. Misalnya
ketika membahas suatu rencana aksi, yang ditulis dapat meliputi 4W (what, who,
when, dan where): agenda dan/atau rincian agenda, rencana/tindakan, nama
penanggung jawab (siapa melakuan apa), kapan, dan dimana.
2. Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa
Ada sejumlah prinsip pembelajaran orang dewasa yang dapat diterapkan
dalam pertemuan kelompok atau komunitas, dimana pendamping berperan sebagai
fasilitator yang memberikan penyuluhan ataupun pelatihan. Vella (2002) menghimpun
12 prinsip dan praktik pembelajaran sebagai berikut:
a. Identifikasi kebutuhan.
Minta partisipasi dari peserta untuk mengidentifikasi atau menamai apa yang
dipelajari.
b. Keamanan
Peserta dibuat aman dan nyaman dari sisi lingkungan fisik dan proses
pembelajaran. Tempat pertemuan yang aman dan suasana belajar yang
nyaman akan membuat betah peserta dan mau kembali lagi di pertemuan
berikutnya.
c. Hubungan yang baik
Bangun hubungan baik antara fasilitator dan peserta.
d. Sekuensi dan penguatan
Materi dibuat runtut dan harus ada penekanan untuk menaati kesepakatan
yang telah dibuat.
e. Praktik
Melakukan praktik disertai refleksi pembelajaran atau disebut juga belajar
sambil praktik.
f. Rasa hormat (respek)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 65
Kontribusi dan pengalaman peserta harus dihargai. Peserta juga dihormati
sebagai pengambil keputusan. Mereka akan semangat belajar sesuatu yang
baru ketika pendapat dan pengalaman mereka diakui.
g. Ide, perasaan/afeksi, dan aksi. Koneksi atau koherensi antara pikiran,
perasaan, dan perbuatan.
h. Manfaat langsung
Orang dewasa butuh manfaat atau kegunaan langsung dari hasil belajar terkait
pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
i. Kejelasan peran
Peran yang jelas mana guru mana murid dapat berdampak pada komunikasi
dan proses pembelajaran. Pembelajaran orang dewasa membutuhkan
hubungan yang setara antara fasilitator dan peserta dan antar mereka sendiri.
Dan memahami peran mereka membutuhkan waktu dan penyesuaian.
j. Kerja tim
Fasilitator harus mendorong peserta untuk bekerja sama dan saling
membantu. Hal ini dapat membuat masing-masing peserta merasa nyaman
dan tidak merasa ditinggalkan sendiri dalam proses pembelajaran. Hasil
belajar juga akan lebih mudah diterapkan dalam keseharian.
k. Keterlibatan
Keterlibatan semua peserta secara aktif merupakan prinsip penting untuk
menjamin kualitas pembelajaran kelompok. Orang dewasa lebih cepat
memahami ketika mereka turut terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran, dari pada hanya pasif menerima informasi.
l. Akuntabilitas
Skenario pembelajaran harus jelas bagi peserta. Peserta dipastikan memahami
apa aktivitas yang harus dilakukan dalam pembelajaran dan bagaimana
mempraktikkan apa yang tealh dipelajari.
Selain 12 prinsip tersebut, Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi
Pertemuan Bulanan Kelompok PKH (Anonim, tt.) menambahkan sejumlah prinsip
66 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
sebagai berikut:
m. Aturan 20/40/80
Efektivitas pesan secara audio hanya 20%, visual 40%, dan gabungan audio-
visual ditambah praktik 80%. Maka, praktik dalam pembelajaran harus
dimaksimalkan.
Untuk melengkapi aturan terebut, di sini ditambahkan informasi dari Loch
(2010). Seperti terlihat pda Gambar 4.4, persentase pesan yang diingat
pembelajar untuk aktivitas membaca tidak lebih dari 10%. Berikutnya
mendengarkan (20%), melihat (30%), melihat dan mendengar (50%), dan
berbicara (80%). Aktivitas yang paling efektif untuk diingat para pembelajar
adalah berbicara dan melakukan, yakni mencapai 90%.
Gambar 4.4. Persentase aktivitas pembelajaran yang diingat
Sumber: Loch (2010: 10)
n. Relevansi dengan pengalaman sebelumnya
Ini terkait dengan prinsip manfaat langsung di atas bahwa orang dewasa lebih
suka dan lebih cepat mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru yang
masih ada kaitan dengan apa yang telah diketahui dan dapat dilakukan di
kehidupan nyata. Harus ada relevansi langsung yang dapat segera mereka
gunakan atau terapkan dalam aktivitas keseharian. Relevansi masa depan juga
BACA
DENGAR
LIHAT
LIHAT & DENGAR
BICARA
BICARA & LAKUKAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 67
penting bahwa apa yang mereka pelajari berguna untuk masa yang akan
datang.
o. Motivasi ingin belajar
Keinginan untuk belajar membuat orang dewasa lebih cepat menangkap
materi pembelajaran. Maka fasilitator harus menciptakan suasana atau kondisi
yang membuat peserta termotivasi.
p. Kejelasan pesan
Pesan yang disampaikan di depan peserta harus jelas, yakni dengan kalimat
sederhana, lugas, dan mudah dipahami peserta. Akan lebih efektif jika pesan
yang disampaikan diperkuat dengan visualisasi.
q. Umpan balik
Melalui umpan balik fasilitator dapat mengetahui bagian mana yang telah
dipahami dan mana yang belum atau dapat melihat sisi kekuatan dan
kelemahan peserta.
r. Pengakuan (konfirmasi)
Dengan perhatian dan pujian terhadap hal-hal kecil atau sepele, peserta akan
menyadari bahwa setiap kemajuannya dalam pembelajaran sangatlah berarti.
s. Dialogis interaktif (dua-arah)
Pembelajaran dilakukan secara dialogis tentang topik apa saja terkait
pengalaman hidup peserta. Fasilitator mengajak mereka untuk mempelajari
sikap atau perilaku baru yang masih terkait dengan pengalaman hidup mereka.
Dalam rangka mengembangkan suasana pembelajaran orang dewasa yang
nyaman dan menyenangkan, Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi Pertemuan
Bulanan Kelompok PKH (Anonim, tt.) di atas juga memberikan sejumlah tips sebagai
berikut:
a. Tempat yang cukup lega dan nyaman
b. Perlengkapan seperlunya
c. Mengelola tempat duduk
d. Menggunakan/memanggil nama partisipan/peserta
e. Membantu peserta menghapal nama
68 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
f. Komunikasi non-verbal (non kata-kata)
g. Teknik mendengarkan aktif (menyimak)
h. Teknik menyatakan kembali (parafrase)
Sebagian tips tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam subbab teknik
fasilitasi dalam pertemuan berikut ini.
Sejumlah teknik yang dihimpun di sini merupakan teknik dasar fasilitasi bagi
para pendamping sosial dalam melakukan pertemuan dengan kelompok atau
komunitas penerima manfaat. Konteks pertemuan yang dimaksud dapat berupa
diskusi, pembuatan kesepakatan, dan pembelajaran atau pelatihan dalam rangka
peningkatan kapasitas penerima manfaat. Teknik dasar fasilitasi tersebut terdiri dari:
teknik bertanya, mendengarkan aktif, komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi terbuka,
curah pendapat, chartwriting, penggunaan media dalam fasilitasi, teknik fasilitasi
dalam pembuatan kesepakatan, dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit. Khusus untuk
komunikasi dialogis, teknik dasar fasilitasi ini dibahas dalam modul tersendiri, yaitu
Modul Komunikasi dalam Pendampingan Sosial.
1. Teknik Bertanya
Teknik bertanya dalam dalam melakukan fasilitasi dapat diuraikan dalam
sikap/perilaku fasilitatif yang diperlukan ketika bertanya; prinsip bertanya; teknik
bertanya, dan teknis mengajukan pertanyaan.
a. Sikap/perilaku fasilitatif dalam bertanya (Hogan, 2003)
Menggali gagasan
- Meminta/menggali penjelasan peserta
- Menggali pikiran peserta lebih dalam
- Mencoba mengungkap maksud di balik ucapan peserta
C. TEKNIK FASILITASI DALAM PERTEMUAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 69
Pikiran terbuka
- Mendorong pemikiran kreatif
- Pertanyaan implisit/tidak langsung.
Misalnya: Saya penasaran dengan ... ; Saya masih bertanya-tanya
bagaimana Anda akan menerapkan hal itu?
Fokus dan runtut
- Mengurutkan
- Melacak/merinci
Maksimalkan partisipasi
- Mendorong atau memancing pertanyaan/pendapat/ide
- Menyeimbangkan (mempersilakan pendapat yang berbeda atau
berlawanan)
- Memberi ruang/kesempatan (kepada peserta untuk berpendapat. Atau
dengan Round Robin untuk semua peserta untuk memberi kesempatan
berbicara)
- Memberi waktu berpikir sejenak
Mendengarkan pendapat umum
- Menyimpulkan (perbedaan dan kesamaan)
Mempercepat, namun bukan berarti diburu-buru
- Perhatikan waktu
Tantangan
- Memberi perintah/pesan secara implisit atau tidak langsung. Misalnya:
sepulang dari pertemuan ini Anda mulai mempraktikkannya di rumah
bersama pasangan dan anak-anak.
- Gunakan intonasi, ritme, penekanan, atau kecepatan berbicara
Masukan kognitif
- Susun atau gunakan cerita tertentu yang dapat memuat atau
menggambarkan hal-hal yang abstrak dalam hidup.
Metaprocessing
70 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
- Diskusi proses. Misalnya: Apa yang sedang terjadi sesaat dalam
kelompok? Apakah Anda tetap mengikuti aturan main bersama?
Pinning down the wafflers
- Mengumpulkan contoh dan persepsi: Meminta peserta untuk berbicara
yang jelas dan spesifik, dengan mengambil contoh untuk menghindari
generalisasi.
- ‘Saya’ bukan ‘kami’: menghindari sikap atau posisi mengatasnamakan
semua, padahal hanya pendapat pribadi.
b. Prinsip bertanya (Anonim, tt.):
Mulailah dengan pertanyaan yang mudah ditanggapi
Gunakan kalimat pendek, gamblang, dan sederhana dengan bahasa
keseharian
Hindari menggunakan bahasa/istilah abstrak, teoretis konseptual,
akademis/ilmiah
Di awal, gunakan pertanyaan terbuka (yang memungkinkan banyak
jawaban, tanpa dibatasi) dan hindari pertanyaan tertutup (yang jawabannya
mengarah ke ya/tidak, tahu/tidak tahu, ada/tidak ada, dan lain-lain).
Bertanya hanya satu topik, tidak dua atau lebih sekaligus.
Berikan waktu peserta untuk berpikir, terutama untuk pertanyaan agak
sulit. Tetapi tidak membiarkan terlalu lama. Sekiranya kurang dari 10 detik.
Hindari bertanya langsung dengan pertanyaan kenapa atau mengapa di
awal.
Sebaiknya hindari pertanyaan yang menggiring atau mengarahkan (leading)
sehingga terkesan menjebak, kecuali jika diperlukan untuk mengunci
komitmen untuk melakukan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata.
Mengarahkan dalam rangka merinci komitmen/kesediaan.
Siapkan alur atau rute pertanyaan, misal dari hal-hal umum ke yang lebih
terperinci. Dari tur besar ke tur kecil.
Ada baiknya fasilitator bertanya sambil mengikuti rangkaian cerita
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 71
pembicara. Maksudnya, pertanyaan yang diajukan selalu terkait dengan
cerita, tidak berdiri sendiri.
c. Beberapa teknik bertanya (Anonim, tt.):
Teknik tur besar dan tur kecil atau bertanya dari yang umum ke yang detail.
Pertanyaan apresiatif – pertanyaan pengecualian
Terkadang diskusi dalam pertemuan berkembang ke arah negatif yang
membahas soal kegagalan, masalah, atau hambatan sehingga membawa ke
pesimisme. Maka, fasilitator dapat menngunakan pertanyaan pengecualian
untuk mengarahkan diskus ke hal-hal yang membangkitkan optimisme.
Pertanyaan pihak ketiga
Dipakai ketika fasilitator membahas kebiasaan buruk yang mungkin
dilakukan peserta. Untuk menghindari ketersinggungan atau merasa
dipojokkan, caranya adalah dengan menceritakan kelompok lain.
d. Teknis mengajukan pertanyaan (Pusdiklat JPPPIW, 2017: 66):
Pertanyaan yang diangkat singkat dan jelas, tidak panjang lebar. Pastikan
bahwa peserta merasa jelas dengan pertanyaan yang diajukan, terutama
jika ditujukan untuk peserta tertentu.
Hindari bertanya yang membuat peserta “gelagapan” atau menjadi gugup.
Pertanyaan-pertanyaan tendensius atau dengan gaya menghakimi
biasanya membuat peserta gelagapan.
Hindari mengajukan pertanyaan yang berpotensi mengundang debat
kusir. Misalnya jika ada pertanyaan dari satu peserta kemudian dilempar
kepada peserta yang lain.
Tabel 4.1 menghimpun sejumlah teknik dalam bertanya beserta tujuan dan
contoh-contohnya.
72 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Tabel 4.1. Contoh-contoh teknik mengajukan pertanyaan
No. Nama teknik Tujuan Contoh bertanya
1. Parafrase: Fasilitator menggunakan kalimatnya
Minta klarifikasi Minta penjelasan
pokok gagasan sendi-ri untuk mengulang kalimat peserta
“Anda tadi mengatakan bahwa … apakah saya benar?”
“Kalau saya tidak salah tangkap Anda tadi mengusulkan …”
2. Menggali ide: Fasilitator mengulang kalimat peserta & meminta penjelasan lebih lanjut
Pengembangan/pen-dalaman gagasan
“Anda tadi mengatakan bahwa …, bisa memberi contoh kongkrit?”
“Apa maksud Anda tentang …”
3. Mirroring: Fasilitator mengulang kalimat penting peserta persis seperti yang diucapkannya
Efek netralitas Efek membangun
saling percaya
Anda tadi mengatakan: “…. …,”
Anda tadi mengusulkan: “….. …”
4. Menghimpun ide: Fasilitator meminta semua peserta menyampaikan gagasan tanpa didiskusikan, hanya klarifikasi (parafrase) dan memberi penekanan penting
Peserta merasa terlibat semua
“Sekarang, saya harap semua peserta menyam-paikan gagasan sebanyak mungkin tentang …”
“Sekarang kita daftar dulu usulan Anda sekalian…”
5. Menggilir (stacking): Fasilitator mengatur pergiliran peserta berbicara agar setiap orang mengetahui kapan bisa mengambil kesempatan bicara dan kapan harus mendengarkan
Peserta merasa nyaman Peserta menghargai aturan bicara
“Pembicaraan kita akan dibagi dalam termin, silakan 3 orang berbicara pada termin pertama…”
“X berbicara pertama, Z yang kedua, dan Y berikutnya …”
6. Mengatur alur diskusi (tracking): Fasilitator menjaga alur/arah pembicaraan atau gagasan yang berkembang dengan banyak dimensi (fakta, pengalaman, ide)
Peserta tidak fokus pada gagasan sendiri
Peserta melihat semua dimensi secara seimbang
“Sebelum pembicara baru, saya akan rumuskan dulu pokok-pokok penting diskusi tadi…”
“Saya kira ada 4 hal penting yang muncul dalam diskusi …”
7. Encouraging: Fasilitator melakukan beberapa cara membuat peserta mengawali keterlibatannya (berbicara, menanggapi, merespons)
Peserta yang diam saja, mulai ambil bagian Peserta yang dominan, dibatasi
“Ada yang punya gagasan mengenai hal ini?”
“Bu Y punya gagasan lain?” “Bagaimana pendapat Pak X?” “Ada yang mau bertanya?”
8. Menyeimbangkan: Fasilitator meminta peserta menyampaikan sudut pandang lainnya
Peserta melihat berbagai sudut pandang
“Apakah ada cara lain untuk memahami sengketa ini…”
“Ada 3 pandangan yang muncul tentang.… ada yang lain?”
9. Making space: Fasilitator menyampaikan kalimat dorongan (tapi tidak memaksa)
Peserta merasa nyaman untuk berpartisipasi
“Anda mau bicara Bu?” “Pak X mau usulkan sesuatu?”
10. Intentional silence: Fasilitator membuat eskpresi untuk menunjukkan sedang berpikir dulu
Peserta mau memikirkan lagi
“Hmmm… tunggu sebentar…” “Sebentar kita renungkan
dulu….”
Sumber: Tim Pe-PP (2007: 76-7, dengan perubahan)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 73
BOX 4.3 (Contoh Mirroring) Fabian: Kalau Ani kan suka foto. Rina,
nyanyi. Kalau saya sukanya olahraga. Bu Guru.
Guru : Olahraga? Fabian: Iya Bu..., berenang. Guru : Berenang, di...? (menggali yang
terlalu umum) Siswa : Di sungai belakang rumah, Bu.
Rumah saya kan sampingan dengan sama sungai Ciereng.
(Rimbatmaja, 2018: 85)
BOX 4.2 (Contoh Parafrase) Guru: Anak-anak, siapa yang bisa menjelaskan
mengapa terjadi gerhana bulan? Kiki : Saya, Bu Guru. Guru: Ya, bagaimana, Kiki? Kiki : Gerhana terjadi karena bayangan bulan
menutupi bumi. Guru: Ok, jadi menurut Kiki, karena bumi tertutup
bayangan bulan. Begitu ya? Rina : Iya Bu Guru. Saya diberitahu begitu dari
kakak saya. Guru: Oh, kakakmu, ya. Sip. Siapa lagi? Nah, Umi? Umi : ..... (bicara) (Rimbatmaja, 2018: 85)
2. Mendengarkan Aktif
Berikut adalah keterampilan mendengarkan aktif atau fasilitatif, seperti dalam
Kaner et al. (2007) dan Hogan (2003):
a. Menghormati/respek terhadap perbedaan gaya komunikasi
b. Melakukan parafrase atau
menyatakan kembali yang
disampaikan peserta
dengan kata-kata yang
lugas, sederhana, dan lebih
dimengerti peserta lain.
c. Mengenali perasaan
melalui gerak-gerik, mimik
muka, nada suara,
penggunaan bahasa dalam
berbicara, dan lain-lain.
Fasilitator harus mampu
membaca yang tersirat
kemudian merespons-nya secara tepat.
d. Merefleksikan perasaan dan maksud peserta
e. Menunjukkan empati
f. Menggunakan kata-kata peserta atau
partisipan, tapi beda intonasi. Ini
disebut mirroring atau
memantulkan. Mirroring bisa
membangun kepercayaan, tapi tidak
juga terlalu sering.
g. Meringkas kata-kata peserta
h. Menggali dan mengumpulkan
gagasan, yaitu dengan memparafrase
74 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
BOX 4.4. TIPS DALAM MEMFASILITASI Tampil meyakinkan Bersikap terbuka Fokus pada topik bahasan Menyadari keterbatasan diri-sendiri
dan orang lain Selalu belajar mengkalkulasi Menggunakan waktu secara efektif Kreatif Pandai membaca situasi Menghormati dan memberi
penghargaan Mengenali kekuatan dan kelemahan
pribadi Sumber: Tim Pe-PP (2007: 34-5)
pernyataan anggota kemudian menggali dengan pertanyaan terbuka atau
dengan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung
i. Stacking, yakni mengatur giliran siapa-siapa yang akan bicara secara
bergantian
j. Tracking adalah menjaga alur diskusi/pertemuan berdasarkan sejumlah tema
gagasan yang muncul, sehingga diskusi akan membahas dan mengurai satu
per-satu tanpa ada satu tema gagasan penting yang terlewat.
k. Mendorong anggota untuk bersuara menyatakan pendapat
l. Menyeimbangkan, yakni memberi kesempatan kepada yang lain untuk
mengungkapkan pandangan lain yang berbeda dengan pandangan yang sudah
disampaikan anggota lain sebelumnya
m. Memberi kesempatan bagi anggota yang pendiam atau malu-malu
n. Memvalidasi, yakni keterampilan menyetujui dan menerima pendapat atau
perasaan anggota tanpa harus menyatakan bahwa pendapatnya benar.
o. Menghubungkan, berarti meminta anggota untuk menjelaskan relevansi
sebuah pernyataan yang baru saja disampaikan dengan topik utama
p. Mendengarkan pendapat umum, yakni dengan menandai apa saja yang masih
menjadi perbedaan atau belum disetujui dan mengarahkan fokus pada wilayah
mana saja yang disetujui/
disepakati bersama.
q. Mendengarkan dengan cara
pandang tertentu
r. Menyimpulkan bersama peserta
3. Fasilitasi Diskusi Terbuka
Diskusi terbuka pembicaraan
bersama dalam kelompok secara tidak
terstruktur, bersifat obrolan, dan santai
kekeluargaan. Setiap orang bebas
menyampaikan pendapat untuk
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 75
mengeluarkan isi pikiran, bahkan terkadang di luar konteks dan tema diskusi. Diskusi
terbuka semacam ini juga mirip dengan tahapan Groan Zone atau tahap kritis dalam
proses pengambilan keputusan (Kaner et al., 2007).
Pada intinya, menurut Kaner et al. (2007), fasilitator dapat memainkan peran
dalam diskusi terbuka terkait dua hal pokok:
a. Mengatur siapa-siapa yang akan berbicara dan kapan mendapat giliran
b. Menjaga diskusi agar fokus pada tema utama
Teknik fasilitasi yang dipakai umumnya sama dengan fasilitasi pertemuan atau
pengambilan keputusan, terutama misalnya: stacking, tracking, menjaga
keseimbangan, memberi kesempatan untuk yang pendiam atau malu-malu, mengatur
batas waktu, parafrase, mirroring, menggali opini, dan mengurutkan tema atau fokus
diskusi.
4. Curah Pendapat
Curah pendapat dalam diskusi berguna untuk membahas tujuan-tujuan
tertentu. Teknik ini sangat membantu dalam menghimpun hal-hal penting, misalnya:
terkait tujuan atau target kelompok/komunitas penerima manfaat; mencari penyebab
dari suatu masalah atau akibat; cara-cara membangun tim yang solid; berbagai
masalah atau kendala yang mungkin muncul dari suatu program/kegiatan; dan lain-
lain (Kaner et al., 2007).
Berikut adalah hal-hal penting dalam melakukan curah pendapat (Anonim, tt.):
a. Fokus pada kuantitas, bukan kualitas pendapat
b. Dorong ide-ide liar dan bebas
c. Tahan untuk menilai, mem-vonis, atau men-judge baik-buruk atau benar-salah.
d. Bangun ide-ide baru dari ide yang sudah muncul
Tips yang dapat dipraktikkan dalam melakukan curah pendapat ditunjukkan
Tabel 4.2. Kolom sebelah kiri adalah hal-hal baik yang dapat dilakukan dalam
melakukan curah pendapat (DO), sementara kolom kanan adalah yang seharusnya
dihindari (DON’T).
76 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Tabel 4.2. Tips dalam memfasilitasi curah pendapat
DO DON’T
Sering-sering lakukan mirroring Jangan menginterupsi atau menyela
Ingatkan semua untuk tidak melakukan koreksi atau penilaian (judgement)
Jangan katakan, “kita sudah membahas hal itu tadi.”
Perlakukan ide-ide yang dianggap lucu atau kurang penting sama halnya dengan ide-ide penting dan brilian
Jangan katakan, “oh, bagus juga.” Jangan katakan, “ide yang tadi tidak perlu
ditulis di flipchart ini kan?
Bergerak aktif dan lakukan kontak mata kepada semua untuk menjaga perhatian, serta pompa semangat kelompok
Jangan banyak memberi kesempatan kepada yang pandai atau yang vokal-vokal
Dorong betul partisipasi penuh semua anggota: “Mari kita dengarkan anggota yang belum bicara.”
Jangan mengernyitkan dahi, mengangkat alis, atau gerak-gerik nonverbal lain yang menunjukkan ketidaksetujuan
Sering-sering mengulang tujuan utama dari diskusi/pertemuan
Jangan langsung menyerah ketika diskusi menemui kebuntuan
Mulai dengan flipchart baru sebelum fliphart sebelumnya penuh
Jangan terus-terusan ambil peran sebagai pemimpin, fasilitator, atau pencatat hasil diskusi pada flipchart
Ingatkan betul terkait waktu jika sudah hampir habis
Jangan dulu memulai proses curah pendapat sebelum ada kesepakatan durasi waktu
Dorong dan pancing munculnya ide-ide kreatif yang lain setelah ide pertama sudah cukup
Jangan buru-buru atau menekan kelompok. Hening atau diam selalu berarti mereka sedang berpikir
Sumber: Kaner et al. (2007: 121)
5. Chartwriting
Tingkat partisipasi anggota dalam suatu kelompok diskusi atau pertemuan
sering kali tidak seimbang karena hanya sebagian saja yang banyak bersuara,
sementara yang lain hanya duduk dan mendengarkan. Namun kondisinya bisa
berubah ketika ide-ide anggota dalam pengambilan keputusan dituliskan pada papan
tulis atau kertas plano (flipchart). Menuliskan hasil diskusi atau pertemuan kelompok
pada papan tulis atau kertas diistilahkan sebagai chartwriting.
Chartwriting berguna untuk memvalidasi atau merekam pendapat anggota
dalam menyampaikan pesan. Dengan ditulis, pendapatnya merasa dihargai dan
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 77
dianggap penting. Selain itu, chartwriting juga dapat mengikat ingatan atau memori
kelompok. Ingatan kelompok tidak hanya berguna sebagai alat untuk merekam atau
mencatat, tetapi dapat menjadi wahana untuk mendorong partisipasi penuh semua
anggota kelompok.
Berikut adalah sejumlah teknik chartwriting yang dapat dipraktikkan dalam
fasilitasi kelompok diskusi atau pengambilan keputusan (Kaner et al., 2007):
a. Penulisan huruf (huruf kapital, tulisan jelas dan tebal, tulisan tegak, tidak
jarang-jarang, dan memakai huruf balok, bukan tulisan latin)
b. Memakai spidol warna (tidak hanya dengan spidol hitam)
c. Pemakaian simbol (tidak semua yang ditulis pada flipchart adalah melulu
huruf, tapi dengan simbol-simbol yang khas dan menarik. Misalnya dengan
menggunakan bullet, tanda bintang, tanda panah, tanda tanya, emoticon, atau
simbol-simbol lain yang familiar dan menarik)
d. Format atau struktur tulisan (format tulisan dapat menggunakan penomoran
atau item per-item, tabel, grafik, diagram, mind map, alur proses (flowchart),
cabang pohon, dan lain-lain)
e. Jarak spasi tulisan (tidak terlalu renggang atau rapat, batas tepi tidak mepet
pinggir kertas, garis bawah judul atau kata kunci penting, kasih jarak antar
baris, dan lain-lain)
f. Menggunakan tips dan teknik berikut:
Kalimat yang ditulis mudah dibaca
Tidak ragu menuliska kata “saya” atau “kita”
Menuliskan kata-kata kunci (baik berupa kata benda ataupun kata kerja
verbal) sebagai prioritas
Kata-kata sifat (adjektif) dan keterangan (adverb) tidak menjadi prioritas
Menggunakan singkatan atau akronim yang standar dan familiar
Setiap halaman/lembar kerta plano diberi judul
Meminta anggota untuk selalu mengecek bersama (proofreading)
78 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
6. Penggunaan Media dalam Fasilitasi
Tim Pe-PP (2007) menjelaskan bahwa dalam konteks pembelajaran partisipatif,
media merupakan alat yang didesain untuk membantu peserta belajar untuk
menjabarkan realitas kehidupannya. Di sini, media harus lebih banyak digunakan oleh
peserta, bukan oleh fasilitator semata. Alat, bahan, atau teknologi yang dapat
dimanfaatkan sebagai media pun sebaiknya bersifat lokal, yang tersedia di masyarakat
itu sendiri. Meskipun penggunaan media berbasis teknologi modern pun bukan
berarti tidak boleh, sejauh tidak menyulitkan masyarakat setempat maupun fasilitator
itu sendiri.
Dalam penggunaan media, fasilitator harus menguasai jenis media, fungsi
media, cara membuat dan cara kerjanya. Pemilihan media harus disesuaikan dengan
karakteristik peserta. Pemanfaatan media dari berbagai sumber juga harus relevan
dengan materi dan sesuai kebutuhan. Ada banyak media yang dapat dibuat dan
digunakan secara cepat dan mudah, misalnya: lembar penugasan, lembar
kasus/cerita, lembar/panduan praktik, skenario bermain peran, permainan (games),
gambar sederhana, foto, transparansi yang sudah diisi, kartu metaplan, dan kertas
plano. Sedangkan media lain yang perlu dipersiapkan khusus dan dapat melibatkan
peserta contohnya adalah: komik/cerita bergambar, komik foto (fotonovela), poster,
film/video, boneka, wayang (kulit atau golek), cerita, flipchart, dan dongeng digital.
Penggunaan permainan sebagai media dalam pertemuan atau pembelajaran
bias berupa games, energizers, atau ice-braking. Para pendamping sebaiknya
mengenali dan menguasai berbagai permainan sebagai media dalam pembelajaran.
Kumpulan jenis dan ragam permainan dapat dicari di berbagai sumber. Media
permainan dapat ditujukan untuk:
a. Memudahkan penyampaian substansi materi. Permainan menjadi semacam
wahana untuk mentransfer pengetahuan atau keterampilan tertentu sehingga
dinilai lebih mangkus.
b. Menghilangkan kebosanan, memecah kebuntuan, dan membuat nyaman
peserta.
Tim Pe-PP (2007) merinci sejumlah fungsi media dalam pertemuan atau
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 79
pembelajaran sebagai berikut:
a. Sebagai alat berbagi pengalaman (media diskusi)
Media yang digunakan untuk fungsi ini adalah media yang sekiranya dapat
mendorong semua peserta berdiskusi dan bertukar pikiran atau pikiran.
Langkah-langkahnya bisa dicontohkan sebagai berikut:
Fasilitator membagikan media sebagai bahan diskusi dan menjelaskan cara
penggunaannya
Peserta melakukan diskusi kelompok sesuai instruksi
Menampilkan hasil diskusi melalui media tertentu secara pleno:
- Hasil diskusi atau analisis kasus ditampilkan secara visual, missal dalam
bentuk gambar, diagram, skema, table
- Hasil analisis kasus dirumuskan di atas flipchart
- Pelajaran yang dapat dipetik ditulis pada kertas metaplan
b. Sebagai alat berbagi peran
Media dimanfaatkan untuk melaksanakan suatu kegiatan sekaligus melakukan
pembagian tugas (siapa mengerjakan apa). Dengan menjelaskan cara kerjanya,
media yang digunakan dapat berupa lembar praktik atau kerja kelompok,
simulasi atau bermain peran, dan media permainan (games).
c. Sebagai alat penyadaran dan motivasional
Media yang digunakan dapat berupa poster, lembar kasus, role-play,
drama, permainan, atau dongeng digital dan cuplikan film yang
menggugah. Berikutnya dilanjutkan dengan melakukan refleksi melalui
diskusi.
Dalam diskusi, fasilitator mengembangkan proses penyadaran dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan kunci yang bersifat reflektif bagi
perenungan akan sikap dan nilai. Perenungan Bersama ini diarahkan untuk
mengambil pelajaran yang bias dipetik (lessons learned) dari pembelajaran
media tersebut.
Fasilittaor juga dapat mengembangkan proses motivasional dengan
menyiapkan pertanyaan kunci untuk merangsang pendapat atau gagasan
80 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
untuk malakukan tindakan dalam situasi nyata yang sedang dialami, yang
kurang-lebih serupa dengan situasi yang ditampilkan dalam media
pembelajaran.
d. Sebagai alat bantu penjelasan
Media dimanfaatkan untuk menjelaskan materi atau tugas kelompok.
Misalnya powerpoint, flipchart, atau kertas metplan untuk menjelaskan
penugasan atau hasil kesimpulan kepada peserta. Atau sebaliknya, peserta
dapat menggunakan media untuk menjelaskan atau menggambarkan
sesuatu.
Fasilitator kemudian meminta tanggapan, masukan, komentar, atau
pertanyaan dari peserta terhadap penjelasan.
e. Sebagai alat analisis
Media digunakan sebagai alat bantu untuk melihat semua sudut pandang
dan berbagai kemungkinan faktor yang saling berkaitan terhadap suatu
masalah. Media harus mampu menggambarkan suatu kerangka/sistem
pemikiran agar mudah digunakan untuk menganalisis permasalahan.
Fasilitator menjelaskan terlebih dahulu cara penggunaan media, seperti
gambar, lembar kasus, role-play, analisis SWOT atau analisis pohon
masalah.
Dengan media yang disediakan, peserta melakukan analisa masalah
terkait sebab-akibat masalah, mengembangkan alternatif pemecahan
masalah, dan menentukan rencana tindakan yang dipilih.
7. Teknik Fasilitasi dalam Pembuatan Kesepakatan
Fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan atau pengambilan keputusan harus
didahului pemahaman tentang dinamika kelompok, seperti telah diuraikan pada Bab
2. Kaner et al. (2007) kemudian melengkapi uraian dasar tentang konsep tersebut
dengan sejumlah teknik dasar fasilitasi. Untuk tingkat pelatihan dasar, teknik-teknik
yang dikuasai terutama pada tahap proses berpikir divergen, yakni tahap menggali
dan mengembangkan gagasan kelompok. Teknik-teknik fundamental bagi fasilitator di
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 81
antaranya meliputi: keterampilan mendengarkan fasilitatif, teknik menulis, fasilitasi
diskusi terbuka, dan curah pendapat (brainstorming). Sebagian teknik ini telah
diuraikan di atas.
Secara umum, fasilitasi yang dilakukan didasarkan atas dinamika dalam proses
pengambilan keputusan yang terdiri dari tiga tahap. Pusdiklat JPPPIW (2017) turut
mengadaptasi konsep dari Kaner et al. (2007) tersebut. Seperti ditunjukkan Gambar
4.5, teknik-teknik fasilitasi yang dibutuhkan dalam tiga tahap dimaksud adalah:
Gambar 4.5. Proses pengambilan keputusan/perumusan kesimpulan bersama
Sumber: Tim Pe-PP (2007: 105)
a. Tahap divergen
Berbagi pengalaman
Membeberkan semua fakta
Menumpahkan atau mencurahkan informasi
Memahami persoalan secara utuh dari berbagai sudut pandang dan
pengalaman
82 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
b. Zona kritis
Teknik analisis informasi
Teknik intervensi
Teknik mengajukan pertanyaan
Teknik merumuskan pokok-pokok bahasan untuk mempersempit
pembahasan
c. Tahap konvergen
Kriteria/indikator yang disepakati
Media visual: skema, diagram, alur
Tim Pe-PP (2007) merinci sejumlah cara untuk merumuskan kesepakatan di
dalam kelompok seperti pada Tabel 4.3.
8. Teknik Fasilitasi dalam Situasi Sulit
Dalam melakukan fasilitasi pertemuan atau diskusi kelompok, fasilitator
seringkali menemui situasi sulit. Pusdiklat JPPPIW (2017) mencontohkan situasi sulit
yang mungkin ditemui sebagai berikut:
a. Terjadinya salah paham,
b. Warga mulai jemu, tegang, bingung dan jengkel, orang yang kesal sukar
berpikir jernih,
c. Perhatian masyarakat menurun.
d. Sebagian peserta diskusi merasa terpaksa memimpin pembicaraan tanpa
mereka tahu pemecahannya.
e. Ada yang tidak sabar ingin cepat pulang.
f. Ada pula yang jengkel tapi berusaha untuk tetap tenang.
Berperan selaku fasilitator yang memandu jalannya diskusi atau pertemuan,
seorang pendamping tentu harus mengantisipasi berbagai situasi yang mungkin
muncul. Selain harus memahami ragam karakter peserta pertemuan, pendamping
harus mampu mengambil tindakan tertentu sesuai situasi sulit yang muncul.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 83
Tabel 4.3. Teknik pengambilan keputusan atau perumusan kesepakatan/kesimpulan Bersama
Cara Pengertian Kapan cara ini positif Kapan cara ini negatif
Self-authorization
Keputusan/kesimpulan satu orang dianggap sudah disepakati bersama
Orang tersebut meng-ambil kesimpulan dengan tepat
Waktu terbatas
Kesimpulan tidak tepat
Orang tersebut mendominasi
Waktu masih ada
Plops
Kesimpulan seseorang tidak ditanggapi/ diterima peserta lain
Bisa memicu diskusi lebih kritis
Mematikan diskusi kalau orang lain segan untuk berargumentasi
Handclaps
Keputusan/kesimpulan satu orang disambut/ didukung peserta lainnya dengan tepuk tangan
Orang tersebut meng-ambil kesimpulan dengan tepat
Pengetahuan orang memperkaya diskusi
Kesimpulan tidak tepat
Orang tersebut terlalu mendominasi
Baiting
Seseorang mencoba mengambil kesimpulan untuk melontarkan gagasan dan berusaha meyakinkan peserta lain
Orang tersebut mendorong proses diskusi kritis (cara ini perlu didorong
-
Majority rule
Kesimpulan berdasarkan pendapat terbanyak peserta, bisanya melalui proses voting
- Peserta kurang mendapat hikmah belajar (cara ini perlu dihindari)
Konsensus
Kesimpulan langsung bersama peserta
Ada proses diskusi yang memadai sebelum sepakat.
Tidak ada proses diskusi.
Sumber: Tim Pe-PP (2007: 106, dengan perubahan)
Berikut adalah contoh-contoh situasi sulit yang diadaptasi dari Pusdiklat
JPPPIW (2017: 70-73) dan bagaimana teknik untuk menanganinya:
a. Menangani peserta yang selalu bicara
Fasilitator sebaiknya tidak perlu berusaha mengendalikan peserta yang ingin
bicara. Namun, upaya difokuskan untuk mendorong peserta lain yang pasif
untuk berpartisipasi.
b. Menangani peserta yang mulai jemu
84 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Ketika diskusi atau pertemuan sudah cukup lama atau materi yang cukup
berat, wajar jika peserta menjadi Lelah dan jemu. Ketimbang meminta atau
memaksa peserta untuk kembali fokus, lebih bagus ajak peserta untuk istirahat
sejenak, minum kopi, atau dengan melakukan ice-breaking.
c. Menangani situasi rendahnya partisipasi peserta
Rendahnya partisipasi peserta mungkin disebabkan karena metode diskusi
atau pembejalaran yang kurang sesuai atau kurang menarik. Lagi-lagi, daripada
meminta peserta untuk berpartisipasi, fasilitator mengubah metode yang
mampu membuat peserta aktif, missal dengan metode curah pendapat, diskusi
kelompok kecil, presentasi kelompok, dan lain-lain.
Strategi dalam menjalankan diskusi agar peserta berpartisipasi untuk berdialog
dan saling belajar adalah dengan cara membentuk (Anonim, tt.):
Diskusi kelompok kecil;
Diskusi kelompok berpindah; atau
Diskusi pengelompokan ide dengan tahap:
- Tahap 1: saling memahami
- Tahap 2: mengelompokkan
- Tahap 3: memilih
d. Menangani ‘debat kusir’ antara dua peserta
Jika terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan, hindari untuk berupaya
menyelesaikan konflik tersebut. Sebaiknya berupaya untuk melibatkan peserta
lain yang kurang aktif. Terkait hal yang menjadi perdebatan, jadikan tema
tersebut menjadi masalah bersama, bukan hanya menjadi persoalan dua orang
yang berkonflik tadi. Caranya, misalkan fasilitator melontarkan pertanyaan:
“Siapa lagi yang punya pendapat tentang hal ini?” “Ada pendapat lain terkait
masalah ini?”
e. Menangani peserta yang diam saja
Untuk peserta yang tampak ragu-ragu mengungkapkan pendapat, fasilitator
bias memberinya kesempatan. Namun juga tidak terlalu sering dilakukan,
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 85
karena malah akan merasa menjadi pusat perhatian. Fasilitator bisa juga
menggunakan metode lain yang sekiranya dapat lebih memberi kesempatan
kepada peserta yang diam saja.
f. Menangani peserta yang berbisik-bisik atau bersenda gurau
Sekali-kali perlu meminta peserta secara sopan atau dengan bercanda untuk
fokus pada pertemuan/diskusi atau berlaku sewajarnya. Jika terus-terusan,
bias jadi ada yang tidak pas dengan pertemuan atau pembelajaran.
Mungkin topik yang dibahas kering dan membosankan?
Apakah peserta membutuhkan istirahat atau permainan?
Atau mungkin peserta lebih menyukai metode lain, seperti diskusi dalam
kelompok kecil?
g. Menangani keterlambatan para peserta
Fasilitator sebaiknya memulai pertemuan sesuai kesepakatan waktu. Sambil
menunggu peserta datang, mulai lebih dulu dengan diskusi. Selanjutnya
meminta kesepakatan dengan peserta yang sudah datang untuk menunda
pertemuan dan memastikan berapa lama.
h. Menangani peserta yang mengulang-ulang pembicaraan
Peserta mengulang-ulang pendapat biasanya merasa pendapatnya belum
dipahami atau belum diakomodir. Maka, ringkaslah penjelasannya atau
parafrase pokok pendapatnya hingga dia merasa gagasannya sudah
dimengerti.
i. Menangani peserta yang meributkan hal-hal ‘remeh-temeh’
Meminta atau menasehati peserta untuk tidak mempermasalahkan hal-hal
yang remeh-temeh terkadang dinilai kurang bijak. Sebaiknya ajaklah peserta
untuk kembali ke permasalahan pokok.
j. Menangani peserta yang sungkan karena kehadiran pejabat/orang penting
Fasilitator dapat mencoba cara-cara berikut ini untuk mengatasi peserta yang
sungkan:
Berikan giliran pertama bicara kepada petinggi tersebut.
Gunakan metode diskusi kelompok kecil.
86 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Peserta dipersilakan untuk menuliskan pendapat/pikiran mereka di kertas
masing masing.
Kemudian minta mereka untuk membacakannya.
Sediakan waktu untuk petinggi tersebut untuk mengungkapkan
pikirannya.
k. Menangani gangguan dari luar
Gangguan dari luar bisa berupa kejadian-kejadian terkini yang menjadi bahan
pembicaraan para peserta, sehingga dapat mengganggu konsentrasi mereka.
Misal terkait pandemi Covid-19, soal pilkada, pilwu, dan lain-lain. Kurang baik
juga jika fasilitator mengabaikan gangguan tersebut. Sebaiknya luangkan
waktu sejenak untuk membicarakannya. Sesudah mereka merasa puas, ajak
peserta untuk kembali ke topik pertemuan.
Sejumlah teknik fasilitasi yang diuraikan baik untuk pembelajaran atau
pelatihan maupun untuk diskusi/pertemuan dan pengambilan keputusan tidak secara
khusus hanya dipraktikkan untuk masing-masing konteks tersebut. Ada teknik-teknik
atau prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk keduanya dengan
penyesuaian tertentu, namun ada juga yang sifatnya spesifik.
Pertemuan atau diskusi biasanya memiliki tahapan umum berupa ungkap
masalah, umpan balik, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, hingga
rencana tindakan. Sedangkan untuk pertemuan dalam konteks pembelajaran, prinsip-
prinsip penting dalam pembelajaran orang dewasa dirinci secara cukup detail yang
dapat menjadi pegangan ketika mempraktikkan sejumlah teknik-teknik fasilitasi
terkait pembelajaran.
Teknik-teknik fasilitasi yang bersifat dasar bagi para pendamping selaku
fasilitator dalam pertemuan meliputi: teknik bertanya, mendengarkan aktif,
komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi terbuka, curah pendapat, chartwriting,
E. RANGKUMAN
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 87
penggunaan media dalam fasilitasi, teknik fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan,
dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit. Teknik lain semacam komunikasi dialogis dapat
dipelajari di modul lain yang terkait.
LK. 6.4. Praktik Teknik Fasilitasi dalam Pertemuan (90 menit)
Berikut adalah langkah-langkah untuk mempraktikkan sejumlah teknik fasilitasi dalam
pertemuan kelompok/komunitas:
1. Peserta dibagi dalam 3 kelompok
2. Masing-masing kelompok mengambil 1 dari 4 tema berikut (bisa diundi):
a. Tema 1: Fasilitasi pertemuan dan/atau diskusi
b. Tema 2: Proses perumusan kesepakatan
c. Tema 3: Peningkatan kapasitas melalui pembelajaran
d. Tema 4: tema bebas
3. Setiap kelompok mendiskusikan pengalaman konkret di lapangan. Pilih salah
1 yang sesuai dengan tema yang dipilih, kemudian gali pengalaman tersebut.
4. Susun/kembangkan skenario dari kasus yang telah dibuat untuk melakukan
praktik fasilitasi dengan simulasi atau bermain peran (role playing).
5. Mendorong semua kelompok agar role play melibatkan seluruh anggota
kelompok.
6. Masing-masing kelompok melakukan role play secara bergantian di depan 2
kelompok lain.
7. Kelompok yang tidak sedang tampil harus memperhatikan dengan saksama.
8. Seluruh anggota kelompok yang sedang tidak tampil memegang 2 lembar
FORM PENILAIAN SIMULASI/ROLE-PLAY (TABEL 4.4) untuk menilai performa
dua kelompok lain yang tampil.
9. Debriefing hasil simulasi atau role play.
F. LEMBAR KERJA
88 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
TABEL 4.4. FORM PENILAIAN SIMULASI/ROLE-PLAY
No. ASPEK PENILAIAN Skor penilaian
Penjelasan
(kata kunci)
1. Cara fasilitator mengatur posisi duduk/tempat diskusi agar bisa mendukung proses partisipasi.
2. Cara fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan belajar (apakah jelas dan bisa dipahami peserta).
3. Sistematika penjelasan fasilitator dalam mengantarkan pokok-pokok bahasan
4. Cara bertanya (apakah bersifat terbuka dan mendorong diskusi peserta).
5. Fasilitator memberikan kesempatan bicara pada peserta secara merata.
6. Fasilitator mendorong peserta untuk mengajukan gagasan/pendapat.
7. Cara fasilitator mengatasi perbedaan pendapat/kepentingan.
8. Netralitas fasilitator (tidak memihak, melainkan mendorong proses saling menghargai perbedaan pendapat).
9. Cara fasilitator merumuskan kesepakatan (ketepatannya).
10. Fasilitator mengecek informasi dari seseorang kepada orang lain.
11. Fasilitator menggunakan bahasa yang mudah dimengerti peserta
12. Penguasaan fasilitator terhadap materi.
13. Keterampilan fasilitator dalam menggunakan alat bantu/media.
14. Sikap tubuh fasilitator apakah sopan (sikap yang tidak sopan misalnya: berkacak pinggang).
15. Pengelolaan (manajemen) waktu yang tepat oleh fasilitator.
Sumber: Adaptasi dari Tim Pe-PP (2007: 40, dengan perubahan)
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 89
1. Uraikan tahapan umum dalam pertemuan atau diskusi
2. Sebutkan 10 saja prinsip pembelajaran orang dewasa. Uraikan secara
ringkas.
3. Apa yang Anda ketahui tentang aturan 20/40/80.
4. Dalama teknik mendengarkan secara aktif, ada keterampilan melakukan
parafrase dan mirroring. Jelaskan keduanya dan bila perlu dengan contoh.
5. Sebutkan hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan yang sebaiknya dihindari
dalam memfasilitasi curah pendapat.
6. Jelaskan tiga saja fungsi dari penggunaan media dalam pembelajaran.
7. Jelaskan teknik-teknik fasilitasi yang dibutuhkan dalam proses pengambilan
keputusan atau pembuatan kesepakatan, khususnya pada tahap konvergen.
Apabila dapat menjawab lima dari tujuh pertanyaan dalam evaluasi di atas
dengan benar, artinya Anda sudah memenuhi kriteria belajar tuntas. Jawaban dari
sejumlah pertanyaan dalam evaluasi tersebut tidak secara khusus disertakan dalam
modul ini, namun Anda dapat mengecek materi modul yang terkait dengan jawaban.
Aka tetapi, jika masih belum yakin, Anda perlu melakukan pembelajaran ulang,
khususnya pada bagian yang belum Anda kuasai.
Dalam pokok bahasan ke-3 ini hanya membahas sejumlah teknik fasilitasi
dengan pertimbangan modul ini diperuntukkan bagi peserta pelatihan dasar. Namun
demikian, jika Anda merasa sudah cukup menguasi modul ini, Anda dapat
G. EVALUASI
H. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT RESOLUSI KONFLIK
90 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
mengeksplorasi bahan bacaan yang ada dalam Daftar Pustaka atau dari referensi lain
yang relevan.
Metode yang digunakan juga berupa pembelajaran eksperiensial dimana kasus
yang diangkat untuk role play dikonstruksi dari pengalaman peserta di lapangan.
Seandainya ada metode atau pendekatan lain dan penggunaan media tertentu yang
dinilai lebih tepat juga sangat dinantikan demi perbaikan proses pembelajaran.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 91
BAB V PENUTUP
Modul fasilitasi dalam pendampingan membahas tiga pokok bahasan utama,
yaitu: (1) fasilitasi dan konsep pendampingan sosial; (2) peran dan keterampilan
fasilitasi; dan (3) teknik fasilitasi dalam pertemuan. Pokok bahasan pertama lebih
bersifat konsep dasar fumdamental yang menunjang kapasitas para pendamping
sosial dalam melakukan fasilitasi di lapangan. Pokok bahasan kedua terkait peran-
peran yang dapat dimainkan oleh pendamping selaku fasilitator dalam membantu
para penerima manfaat dalam menyelesaikan masalah, pemenuhan kebutuhan, atau
pengembangan kapasitas mereka. Dan pokok bahasan terakhir merupakan teknik-
teknkk fasilitasi yang bersifat dasar bagi para pendamping.
Kemampuan melakukan fasilitasi dan aktivitas pendampingan sosial di
lapangan saling terkait erat. Tujuan pendampingan sosial harus diarahkan pada
kemandirian para penerima manfaat. Kemandirian merupakan salah satu tujuan dari
pemberdayaan masyarakat yang sangat menitikberatkan adanya partisipasi. Fasilitasi,
pemberdayaan, dan partisipasi merupakan landasan konsep yang fundamental dalam
melakukan pendampingan sosial.
Dalam aktivitas pendampingan sosial di lapangan, penting bagi pendamping
untuk memahami konsep tentang dinamika kelompok dalam proses perumusan
kesepakatan dan konsep pembelajaran orang dewasa. Saat memfasilitasi perumusan
kesepakatan kelompok/komunitas, pendekatan terhadap kelompok lebih bersifat
konvensional. Konsep tentang dinamika proses yang meliputi tahap konvergen, kritis,
dan divergen. sangat krusial untuk dikenali dan pendamping harus memiliki sejumlah
A. KESIMPULAN
92 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
keahlian untuk mengatasi dan memandu proses hingga mampu mencapai titik
kesepakatan yang mencerminkan aspirasi anggota kelompok/komunitas.
Model pembelajaran orang dewasa sangat cocok diterapkan dalam praktik
fasilitasi dalam pelatihan atau peningkatan kapasitas penerima manfaat. Konsep
pembelajaran andragogi dan model pembelajaran eksperiensial sangatlah penting
dalam mempraktikkan fasilitasi untuk konteks pembelajaran. Para penerima manfaat
sebagai manusia dewasa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan
anak usia sekolah, sehingga pendekatan dan strategi pembelajaran harus dibedakan.
Tahapan dalam melakukan pertemuan atau diskusi dapat menjadi pedoman dalam
praktik, termasuk bagaimana mengatur setting pertemuan dan prosesnya. Sejumlah
sikap dan perilaku fasilitatif sangat baik diterapkan dalam pertemuan, diskusi,
ataupun pengambilan keputusan. Hal ini akan dibahas dalam bab terakhir tentang
teknik fasilitasi.
Sejumlah peran dan juga keterampilan fasilitasi diperkenalkan sebagai pokok
bahasan kedua. Berangkat dari ‘Jendela Johari’, fasilitator dapat memainkan
kemungkinan peran sebagai: moderator, motivator, narasumber, atau mediator.
Mengacu pada Jim Ife (2013), peran pendamping sosial yang dapat dimainkan
meliputi: animasi sosial; dukungan; pemanfaatan keahlian dan sumberdaya;
pengorganisasian; komunikasi personal; penumbuhan kesadaran; mediasi dan
negosiasi; melakukan konfrontasi; membangun konsensus; fasilitasi kelompok; dan
berbagi informasi dan memberikan pelatihan.
Dalam setiap pertemuan atau diskusi, ada tahapan yang bersifat umum.
Tahapan yang dimaksud dari mulai ungkap masalah, umpan balik, penyelesaian
masalah, pengambilan keputusan, hingga rencana tindakan. Dalam konteks
pembelajaran, prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa menjadi dasar ketika
pendamping menerapkan sejumlah teknik-teknik fasilitasi. Teknik fasilitasi tersebut
meliputi: teknik bertanya, mendengarkan aktif, komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi
terbuka, curah pendapat, chartwriting, penggunaan media dalam fasilitasi, teknik
fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan, dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit.
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 93
Kompetensi dasar yang dibangun dari modul ini adalah bahwa peserta mampu
menjelaskan konsep tentang fasilitasi dan pendampingan sosial serta sejumlah
konsep terkait, yakni pemberdayaan dan partisipasi, konsep dinamika kelompok, dan
konsep pembelajaran bagi orang dewasa. Pendamping juga mampu mempraktikkan
sejumlah peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi dalam berbagai bentuk
pertemuan.
Materi dalam modul ini masih bersifat dasar fundamental. Para peserta
diharapkan dapat mengeksplorasi lebih jauh sejumlah referensi yang menjadi acuan
modul ini dan juga berbagai referensi lain yang relevan. Jadi modul ini tentu saja
bukan satu-satunya referensi untuk dalam peningkatan kapasitas fasilitasi yang
dibutuhkan. Modul ini juga masih jauh dari sempurna sehingga segala saran dan
masukan sangat dinanti demi perbaikan berkelanjutan.
Berbagai usulan dapat disampaikan pada saat pelaksanaan TOT atau diklat
secara langsung atau via e-mail: [email protected].
.
B. TINDAK LANJUT
94 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 95
Adams, R. (2003). Social Work and Empowerment, 3rd edition. New York: Palgrave
Macmillan. Anonim (tt.). Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi Pertemuan Bulanan
Kelompok PKH. Barker, R.L. (2003). The Social Work Dictionary. NASW Press. Hogan, C. (2000). Facilitating Empowerment: A Handbook for Facilitators, Trainers, &
Individuals. London: Kogan Page. Hogan, C. (2002). Understanding Facilitation: Theory and Principles. London: Kogan
Page. Hogan, C. (2003). Practical Facilitation: A Toolkit of Techniques. London: Kogan Page. Hogan, C. (2007). Facilitating Multicultural Groups: A Practical Guide. London: Kogan
Page. https://pixabay.com/vectors/ Huraerah, A. (2008). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan
Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora. Ife, J. (2013). Community Development in an Uncertain World: Vision, Analysis and
Practice. New York: Cambridge University Press. Kaner, S., Lind, L., Toldi, C., Fisk, S, & Berger, D. (2007). Facilitator’s Guide to
Participatory Decision-Making. Second Edition. San Francisco: Jossey-Bass. Loch, A. (2010). Methods for Trainers, Lecturers and Facilitators. Bonn, Germany:
Inwent-International Weiterbildung und Entwicklung gGmbH. Pusdiklat JPPPIW (2017). Modul Pendampingan dalam Penyelenggaraan Rumah
Swadaya. Semarang: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan, Permukiman, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah.
Rimbatmaja, R. (2018). Guru Fasilitator Membuat Kelas Nyaman dan Menyenangkan. Jakarta: Lapangan Kecil
Suharto, E. (2009). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Susantyo et al. (2018). Optimalisasi Peran dan Fungsi Pendamping Sosial. Jakarta: Puslitbang Kesos.
Tim Pe-PP (2007). Panduan untuk Fasilitator Infomobilisasi: Teknik Fasilitasi Partisipatif Pendampingan Masyarakat. Jakarta: Bappenas – UNDP.
Vella, J. (2002). Learning to Listen, Learning to Teach: The Power of Dialogue in Educating Adults. Revised Edition. Jossey-Bass.
DAFTAR PUSTAKA
96 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
BIODATA PENYUSUN MODUL
Dr. Toton Witono, ST., MA.
Lahir di Cirebon, 15 Februari 1976. Pendidikan formal terakhir diselesaikan di program doktoral jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia tahun 2015. Pendidikan master diperoleh dari program Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) konsentrasi Social Work, UIN Sunan Kalijaga tahun 2005. Pendidikan sarjana dituntaskan di dua perguruan tinggi berbeda, yaitu di Universitas
Gadjah Mada (Fakultas Teknik) dan UIN Sunan Kalijaga (Fakultas Ushuluddin). Sedangkan, pendidikan dasar hingga menengah diselesaikan di tempat asalnya, Cirebon.
Pengalaman kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Sosial dimulai tahun 2006. Sejak 2007 ditugaskan di unit kerja Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional I Sumatera di Kota Padang. Tahun 2019 baru bisa pindah ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (Pusdiklat Kesos) dengan jabatan Widyaiswara Ahli Madya.
Diklat, workshop, atau kursus yang pernah diikuti antara lain: 6-month Course in English for Academic Purpose (EAP) di IALF Denpasar, Bali; McGill University Summer Session tentang Social Work di Montreal, Canada; workshop Alternative Research Methodologies (ARM) oleh SEASREP Foundation-SEPHIS di University of the Philippines, Manila, Filipina; Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Tingkat Madya di Kemenhan-LAN; workshop e-learning oleh Pusdiklat Kesos & GIZ; dan berbagai TOT/TOF di Pusdiklat Kesos.
Tulisan yang pernah dipublikasikan berupa book chapters, prosiding, dan artikel jurnal. Jurnal yang menerbitkan beberapa artikelnya antara lain: Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis (UIN Sunan Kalijaga); Quantum: Jurnal Ilmiah Kesejahteraan Sosial (BBPPKS Regional I Sumatera); Welfare: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial (UIN Sunan Kalijaga); Jurnal Sosio Konsepsia (Puslitbang Kesos, terakreditasi LIPI); dan Talent Development & Excellence (terindeks Scopus, Q2). Pengalaman mengelola jurnal ilmiah dimulai sejak tahun 2007. Sampai sekarang masih dipercaya mengelola jurnal Quantum (BBPPKS Regional I Sumatera) sebagai redaktur. Mulai 2020 ini juga membantu tim Jurnal Pusdiklat Kesejahteraan Sosial sebagai editor.
Korespondensi dan komunikasi biasa dilakukan melalui surel: [email protected] atau [email protected]
Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 97
98 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial