modul 6 - kemensos

110
i

Upload: others

Post on 01-Feb-2022

14 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODUL 6 - Kemensos

i

Page 2: MODUL 6 - Kemensos

`

Page 3: MODUL 6 - Kemensos

iii

MODUL 6

FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL

PELATIHAN DASAR PENDAMPING SOSIAL

Oleh:

Toton Witono

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL

KEMENTERIAN SOSIAL RI

2020

Page 4: MODUL 6 - Kemensos
Page 5: MODUL 6 - Kemensos

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah dan karunia-

Nya sehingga Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial untuk Pelatihan Dasar Pendamping Sosial ini dapat terwujud.

Keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial (SDM Kesos). Pendamping sosial merupakan salah satu SDM Kesos dari unsur tenaga kesejahteraan sosial (TKS) dengan jumlah puluhan ribu yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Mereka memiliki ragam tugas, peran, dan tanggung jawab yang diemban sesuai domain bidang penyelenggaraan kesos. Pelatihan Dasar Pendamping Sosial dirancang dalam rangka memberikan kompetensi dasar pendampingan sosial di lapangan. Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial merupakan modul keenam dari sepuluh modul yang disusun. Modul ini sangat penting untuk membekali para pendamping sosial bagaimana melakukan fasilitasi bagi para penerima manfaat dalam menangani masalah, mengembangkan kemampuan, atau mengakses sumber. Harapannya adalah agar mereka mampu melakukan perubahan perilaku dan mencapai tujuan yang mereka cita-citakan. Modul ini tidak saja mengulas hal-hal terkait keterampilan dan teknik fasilitasi, tetapi juga mengetengahkan sejumlah konsep dasar sebagai landasan untuk praktik pendampingan.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada penyusun beserta tim modul Pelatihan Dasar Pendamping Sosial. Saya melihat modul ini dan juga modul-modul lain tetap dikerjakan dengan serius, meskipun dalam kondisi terbatas karena pandemi wabah COVID-19. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Modul ini pun tentu bukan sesuatu yang final. Koreksi, masukan dan saran masih sangat dibutuhkan demi perbaikan yang berkelanjutan. Semoga modul ini bermanfaat bagi para fasilitator sebagai peserta TOT dan juga para pendamping sosial di seluruh Indonesia.

Jakarta, September 2020 Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial

Mulia Jonie

Page 6: MODUL 6 - Kemensos
Page 7: MODUL 6 - Kemensos

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar v Daftar Isi vii Daftar Gambar dan Tabel ix Petunjuk Penggunaan Modul x BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1 B. Relevansi 3 C. Tujuan Pembelajaran 4 D. Pokok Bahasan 5 E. Metode dan Media Pembelajaran 6 F. Skema dan Proses Pembelajaran 7

BAB II FASILITASI DAN PENDAMPINGAN SOSIAL 11

A. Dekripsi Singkat 11 B. Mengenal Fasilitasi 12

1. Pengertian Fasilitasi 12 2. Karakteristik Fasilitasi 13

C. Pendampingan Sosial 16 1. Pemberdayaan dan partisipasi 19 2. Dinamika kelompok Perumusan Kesepakatan 23 3. Model Pembelajaran Orang Dewasa 31

D. Rangkuman 34 E. Lembar Kerja 35

LK. 6.1. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kerja Kelompok 35 LK. 6.2. Menggali pengalaman lapangan 35

F. Evaluasi 36 G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 37

BAB III PERAN DAN KETERAMPILAN FASILITASI 39

A. Dekripsi Singkat 39 B. Peran dan Keterampilan Fasilitasi 40

1. Animasi Sosial 43 2. Dukungan 44

Page 8: MODUL 6 - Kemensos

3. Pemanfaatan Keahlian dan Sumberdaya 44 4. Pengorganisasian 45 5. Komunikasi Personal 46 6. Menumbuhkan Kesadaran 47 7. Mediasi dan Negosiasi 48 8. Melakukan Konfrontasi 49 9. Membangun Konsensus 50 10. Fasilitasi Kelompok 51 11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan 53

C. Rangkuman 55 D. Lembar Kerja 56

LK. 6.3. Menggali Pengalaman Lapangan 56 E. Evaluasi 56 F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 57

BAB IV TEKNIK FASILITASI DALAM PERTEMUAN 59

A. Dekripsi Singkat 59 B. Fasilitasi dalam Pertemuan 61

1. Tahapan dan Proses Pertemuan 62 2. Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa 64

C. Teknik Dasar Fasilitasi dalam Pertemuan 68 1. Teknik Bertanya 68 2. Mendengarkan Aktif 73 3. Fasilitasi Diskusi Terbuka 74 4. Curah Pendapat 75 5. Chartwriting 76 6. Penggunaan Media dalam Fasilitasi 78 7. Teknik Fasilitasi dalam Pembuatan Kesepakatan 80 8. Teknik Fasilitasi dalam Situasi Sulit 82

D. Rangkuman 86 E. Lembar Kerja 87

LK. 6.4. Praktik Teknik Fasilitasi 87 F. Evaluasi 89 G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 89

BAB V PENUTUP 91

A. Kesimpulan 91 B. Tindak Lanjut 93

Daftar Pustaka 95 Biodata Penyusun Modul 96

Page 9: MODUL 6 - Kemensos

ix

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

GAMBAR Gambar 1.1. Skema pembelajaran modul fasilitasi 7 Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat 15 Gambar 2.1. Tangga partisipasi Sherry Arnstein 23 Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan 25 Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan 26 Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan 26 Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan 28 Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan 29 Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb 33 Gambar 3.1. Peran fasilitator menggunakan Jendela Johari 40 Gambar 4.1. Tahap dalam pertemuan/diskusi 62 Gambar 4.2. Layout pertemuan tradisional 63 Gambar 4.3. Layout pertemuan interaktif 63 Gambar 4.4. Persentase aktivitas pembelajaran yang diingat 66 Gambar 4.5. Proses pengambilan keputusan/perumusan kesimpulan Bersama 81 TABEL Tabel 2.1. Teknik pendampingan 18 Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam

fasilitasi kelompok 24 Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan 28 Tabel 3.1. Peran dalam pendampingan sosial 42 Tabel 4.1. Contoh-contoh teknik mengajukan pertanyaan 72 Tabel 4.2. Tips dalam memfasilitasi curah pendapat 76 Tabel 4.3. Teknik pengambilan keputusan atau perumusan kesepakatan/

kesimpulan bersama 83 Tabel 4.4. Form Penilaian Simulasi/Role-Play 88

Page 10: MODUL 6 - Kemensos

PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Modul ini terdiri dari tiga pokok bahasan utama, yaitu fasilitasi dan pendampimngan sosial, peran dan keterampilan fasilitasi, dan teknik fasilitasi dalam pertemuan. Pokok bahasan awal merupakan pengetahuan yang agak abstrak yang berguna sebagai semacam landasan konseptual bagi peran dan keterampilan fasilitasi. Dua pokok bahasan berikutnya bersifat cukup praktis dan aplikatif karena merupakan keterampilan, teknik. dan juga sikap yang diperlukan pendamping sebagai seorang fasilitator kelompok atau komunitas.

Proses pembelajaran utama yang digunakan modul ini meggunakan model pembelajaran orang dewasa atau biasa dikenal dengan pembelajaran andragogi. Dengan demikian, asumsi utamanya adalah bahwa peserta di kelas TOT atau pada saat diklat nanti tidak lah seperti gelas kosong yang siap diisi. Sebaliknya, mereka adalah gelas yang sudah terisi sebagian, atau bahkan penuh. Sumber pengetahuan tidak semata berasal dari modul atau fasilitator di depan kelas, melainkan juga dari pengetahuan dan pengalaman peserta. Proses pembelajaran nanti diupayakan untuk menggali dan memanfaatkan pengalaman mereka di lapangan. Pengajar di depan lebih berperan hanya sebagai fasilitator. Untuk itu, konsep dan praktik fasilitasi tidak hanya menjadi materi utama yang akan disampaikan di kelas, tetapi juga inheren dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Modul ini bukanlah buku resep (cook book) yang sangat praktis berisi langkah-langkah menit per-menit pembelajaran yang harus dilakukan peserta atau fasilitator di kelas. Terutama untuk pokok bahasan 1, modul masih membuka ruang interpretasi yang dapat didiskusikan bersama di kelas. Modul fasilitasi ini juga masih terbuka untuk pengembangan (atau improvisasi) metode dan media pembelajaran sejauh relevan dan koheren dengan materi pokok bahasan atau sub-pokok bahasan. Maka, penambahan materi dari luar pun sangat dimungkinkan sebagai pengayaan, bahkan sangat direkomendasikan.

Bersama uraian materi, modul dilengkapi dengan lembar kerja, evaluasi atau latihan soal yang berisi pertanyaan, dan timbal-balik beserta rencana tindak lanjutnya.

Page 11: MODUL 6 - Kemensos

xi

Page 12: MODUL 6 - Kemensos
Page 13: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 1

BAB I PENDAHULUAN

Pendamping sosial pada prinsipnya memiliki tugas utama melakukan

pendampingan kelompok atau komunitas di masyarakat. Menurut Suharto (2009),

pendampingan sosial merupakan salah satu strategi dalam melakukan pemberdayaan

masyarakat. Bahkan pendampingan menjadi faktor penting penentu keberhasilan

program pemberdayaan. Dalam konteks modul ini, pendampingan sosial dalam

penjelasan Suharto dapat dipahami sebagai aktivitas dinamis yang dilakukan secara

bersama-sama antara penerima manfaat dan pendamping sosial untuk mengatasi

berbagai tantangan sebagai berikut (p. 94):

1. Merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi

2. Memobilisasi sumber daya lokal

3. Memecahkan masalah sosial

4. Menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan

5. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks

pemberdayaan masyarakat.

Setiap pendamping sosial memiliki peran dan fungsi sesuai wilayah atau

bidang penugasan. Pendamping sosial anak, misalnya, memiliki domain utama

pendampingan sosial bagi pemerlu dari kategori anak, yakni dengan batasan usia di

bawah 18 tahun. Keluarga dan orang-orang terdekatnya (significant others) juga

menjadi tugas pendamping untuk dihubungi. Pihak-pihak terkait yang dapat

membantu menangani masalah anak turut dilibatkan, sejauh diperlukan dan dianggap

penting. Dalam interaksi antara pendamping dengan semua pihak terkait penanganan

anak, akan sangat mungkin jika jalinan komunikasi menjadi intens, hubungan baik

tercipta, dan kepercayaan pun terbangun.

Pada titik itulah keberadaan pendamping menjadi penting dan dibutuhkan

A. LATAR BELAKANG

Page 14: MODUL 6 - Kemensos

2 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

oleh masyarakat. Konsekuensinya, masyarakat merasa aman dan nyaman untuk

meminta pertolongan kepada para pendamping dalam menyelesaikan

permasalahannya, bahkan untuk urusan yang terkadang di luar tugas dan fungsinya

sebagai pendamping sosial. Sebagai contoh dari lapangan, pendamping sosial

komunitas adat terpencil (KAT) membantu orang sakit dari suatu komunitas untuk

dibawa ke rumah sakit. Si pendamping harus memberi pengertian kepada keluarga

yang lebih percaya pengobatan tradisional, memberi informasi yang tepat, membantu

mempersiapkan dokumen yang diperlukan, mengurus kartu BPJS, dan urusan-urusan

lain di luar tanggung jawabnya melakukan aktivitas pemberdayaan KAT. Selaku

pendamping sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat tentu tidak bisa menolak

ketika dimintai pertolongan oleh warga setempat.

Singkat cerita, pendamping sosial yang bertugas di lapangan harus

mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan. Hal ini bukan berarti pendamping

dituntut untuk serba bisa, karena dia juga harus paham dan sadar akan keterbatasan

kapasitasnya. Namun demikian, pendamping harus mampu mengidentifikasi sumber

daya (resources) yang ada, kemudian bagaimana mengakses dan menghubungkannya

dengan pemerlu layanan di masyarakat.

Kerja pendampingan juga tidak sekadar menghubungkan orang dengan sistem

sumber penyedia layanan atau fasilitas. Terkadang pendamping harus mampu

menangkap kebutuhan atau masalah sosial yang mungkin tidak disadari oleh

masyarakat. Dengan begitu, para pendamping harus dibekali kemampuan

memunculkan gagasan, menangkap peluang di balik masalah, menginisiasi tindakan,

melakukan penyadaran, mengedukasi dan menyuplai informasi yang dibutuhkan, dan

lain sebagainya, sehingga masyarakat mau terlibat aktif melakukan perubahan ke arah

lebih baik.

Kegiatan pendamping sosial di komunitas atau masyarakat seperti itu identik

dengan apa yang disebut sebagai bekerja dengan kelompok (group work) dan dengan

komunitas (community work). Aktivitas pendampingan sosial, terutama dalam

melakukan perubahan terencana, memang dilakukan dalam semua tingkatan, baik

individu, kelompok, ataupun komunitas. Namun, kerja pendampingan di tingkat

Page 15: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 3

kelompok dan komunitas bisa jadi lebih dominan untuk beberapa domain pelayanan

kesejahteraan sosial.

Dalam kerangka itu, ada empat tugas atau fungsi utama yang harus dilakukan

dalam kerja pendampingan sosial, sebagaimana dijelaskan Suharto (2009), yaitu:

pendampingan atau fasilitasi; penguatan; perlindungan; dan pendukungan. Modul ini

akan mengurai tugas-tugas tersebut, terutama tugas fasilitasi, untuk membekali para

pendamping sosial dalam membantu penerima manfaat dalam penyelesaian masalah,

pemenuhan kebutuhan, dan pengembangan kapasitasnya.

Ada berbagai situasi, masalah, atau kebutuhan di lapangan yang menuntut

para pendamping sosial memberikan tindakan secara profesional. Profesional dalam

arti bahwa aktivitas pertolongan yang diberikan harus berlandaskan teori dan

keterampilan dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan data hasil

asesmen kebutuhan diklat (TNA) dari lapangan dan kajian dokumen, di sini perlu

diinventarisir berbagai situasi yang mungkin muncul atau terjadi di masyarakat

sebagai berikut:

1. Warga menyadari memiliki masalah sosial tertentu, entah secara individu,

keluarga, atau komunitas, namun tidak tahu harus bagaimana.

2. Warga tidak menyadari masalah bersama yang dialami, padahal bisa menjadi

bahaya laten yang jika dibiarkan akan menjadi ‘bom waktu’.

3. Kadang ditemui juga suatu kondisi dalam kelompok/organisasi dimana ada

masalah yang sengaja didiamkan, padahal bisa membahayakan anggota lain.

4. Warga memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, namun tidak memiliki

kemampuan yang memadai.

5. Sebagian kelompok masyarakat tidak bisa atau tidak tahu bagaimana

mengakses pelayanan sosial atau pelayanan publik lain dalam rangka

memenuhi kebutuhan mereka.

B. RELEVANSI

Page 16: MODUL 6 - Kemensos

4 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

6. Masyarakat memerlukan informasi tertentu dan membutuhkan peningkatan

kapasitas atau keterampilan tertentu.

7. Ada pelayanan sosial tertentu yang dibutuhkan warga, namun tidak tersedia

oleh pemerintah setempat. Terkadang sebagian tidak mengerti bahwa itu

adalah bagian dari haknya.

8. Anggota masyarakat ditolak untuk memperoleh pelayanan yang menjadi

haknya karena suatu sebab.

9. Terjadi konflik horisontal antar keluarga atau antar kelompok masyarakat.

10. Ada sebagian anggota masyarakat atau kelompok minoritas yang mendapat

perlakuan kekerasan, diskriminasi, dikucilkan, terisolasi atau terusir dari

tempat tinggalnya. Situasi yang dimaksud terkait dengan isu hak azasi manusia

dan keadilan sosial.

11. Masyarakat atau komunitas memiliki potensi atau sumberdaya namun tidak

didayagunakan dengan baik atau kurang optimal dimanfaatkan.

Dalam rangka mempersiapkan para pendamping sosial untuk menghadapi

berbagai persoalan dan situasi tersebut, materi tentang fasilitasi harus pendamping

dapatkan agar mampu mengemban tugas berat pendampingan secara maksimal dan

bertanggung jawab. Bidang tugas dan domain pendamping memang berbeda, namun

pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan sikap yang bersifat dasar fundamental

dapat diberikan bagi semua kategori pendamping sosial.

1. Hasil Belajar

Setelah mengikuti pembelajaran modul ini peserta diharapkan mampu

menerapkan keterampilan dan teknik fasilitasi dalam pendampingan sosial.

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

Page 17: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 5

2. Indikator Hasil Belajar

Peserta dapat:

a. Menjelaskan konsep dasar fasilitasi dan pendampingan sosial;

b. Menggali pengalaman lapangan dan mengaitkannya dengan konsep

peran dan keterampilan fasilitasi; dan

c. Mendemonstrasikan sejumlah teknik fasilitasi dalam sejumlah bentuk

pertemuan, seperti diskusi, proses pengambilan keputusan, dan dalam

pelatihan/pembelajaran.

Konsep atau teori yang dapat mendukung dan membekali para pendamping

sosial dalam memberikan pertolongan meliputi pokok dan sub-pokok bahasan sebagai

berikut:

1. Fasilitasi dan pendampingan sosial

a. Mengenal Fasilitasi

b. Pendampingan sosial

2. Peran dan keterampilan fasilitasi

a. Animasi sosial

b. Dukungan

c. Pemanfaatan keahlian dan sumber daya

d. Pengorganisasian

e. Komunikasi personal

f. Menumbuhkan kesadaran

g. Mediasi dan negosiasi

h. Melakukan konfrontasi

i. Membangun konsensus

j. Fasilitasi kelompok

k. Berbagi informasi dan memberikan pelatihan

D. POKOK BAHASAN

Page 18: MODUL 6 - Kemensos

6 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

3. Teknik fasilitasi dalam pertemuan

a. Fasilitasi dalam pertemuan

b. Teknik Fasilitasi dalam pertemuan

Metode yang dipakai dalam pembelajaran modul fasilitasi ini adalah:

1. Ceramah

2. Tanya jawab

3. Curah pendapat

4. Diskusi kelompok

5. Presentasi hasil diskusi

6. Pembahasan/analisis kasus

7. Praktik atau simulasi

8. Konstruksi/kreasi studi kasus dari pengalaman lapangan

9. Bermain peran

Sedangkan, bahan dan media pembelajaran yang dipakai meliputi:

1. Bahan ajar (Modul Fasilitasi)

2. Bahan tayang (power point)

3. Bahan tayang video/film

4. White board

5. Spidol (boardmarker)

6. Laptop/PC

7. Proyektor

8. Active speaker

9. Pointers

10. Kertas plano

11. Flipchat board

12. Spidol warna

E. METODE DAN MEDIA PEMBELAJARAN.RESOLUSI

Page 19: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 7

13. Kertas metaplan

14. Post-it notes

15. Selotip/double-tip

Skema pembelajaran modul fasilitasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1. Skema pembelajaran

Dari skema pada Gambar 1.1, proses pembelajaran berdurasi 270 menit (6 jam

pelatihan) ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Langkah 1 (5 menit)

Langkah pembukaan meliputi:

a. Salam pembukaan dan chit-chat,

b. Review singkat materi atau modul-modul sebelumnya sambil menjelaskan

Langkah 1 Pembukaan

(5’)

Langkah 2 Menjelaskan materi Fasilitasi & Pendam-

pingan Sosial (15’)

Langkah 4 Menyusun potongan

kertas puzzle (20’)

F. SKEMA DAN PROSES PEMBELAJARAN

Langkah 5 Menjelaskan materi

Peran & Keterampilan Fasilitasi (30’)

Langkah 6 Konstruksi dan

pembahasan kasus pendampingan (60’)

Langkah 7 Menjelaskan materi

Teknik Fasilitasi Pertemuan (30’)

Langkah 9 Penutup

(5’)

Langkah 8 Praktik Teknik

Fasilitasi dalam Pertemuan

(90’)

Langkah 3 Menggali pengalaman

pendampingan (15’)

Page 20: MODUL 6 - Kemensos

8 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

ketarkaitannya dengan modul fasilitasi

c. Menjelaskan secara singkat (preview) modul fasilitasi, rencana proses

pembelajaran, beserta tujuannya.

2. Langkah 2 (15 menit)

a. Fasilitator melakukan apersepsi terkait materi dalam pokok bahasan 1

b. Memaparkan materi pokok bahasan 1 secara interaktif. Pemaparan hanya

untuk penyegaran ingatan pengetahuan peserta. Namun mungkin ada

konsep tertentu yang perlu sedikit pendalaman sesuai kebutuhan peserta.

c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat

d. Menjawab singkat pertanyaan yang mungkin muncul dari peserta. Jika

pertanyaan terkait dengan pokok bahasan berikutnya, jawaban atau diskusi

bisa ditunda untuk dilakukan pada saat pembahasan materi yang relevan.

e. Menghimpun pertanyaan yang perlu di-probing mendalam untuk menjadi

bahan diskusi di pokok bahasan berikutnya.

3. Langkah 3 (15 menit)

a. Meminta masing-masing peserta untuk menggali pengalaman lapangan

seperti pada LK. 6.1.

b. Dari hasil penggalian lapangan, identifikasi wujud kerja kelompok/

komunitas, fasilitasi yang dilakukan, atau praktik pemberdayaan/

partisipasi.

c. Hasilnya dituangkan dalam sebuah tulisan esai singkat.

4. Langkah 4 (20 menit)

a. Fasilitator memandu peserta untuk mempraktikkan LK 6.2.

b. Hasil kerja ditempel di board dan dibacakan oleh perwakilan peserta

c. Fasilitator membahas dan mendiskusikan bersama peserta sambil

menayangkan PPT.

Page 21: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 9

5. Langkah 5 (30 menit)

a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-2 (peran dan keterampilan fasilitasi)

secara interaktif.

b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan

yang relevan dengan materi.

6. Langkah 6 (60 menit)

1. Peserta bergabung ke dalam 3 kelompok.

2. Menginstruksikan masing-masing kelompok untuk membahas kasus-kasus

pendampingan di lapangan.

3. Setiap kelompok diminta memilih hanya satu kasus dari anggota kelompok,

baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, dan menuangkannya

dalam tulisan.

4. Masing-masing kelompok membahas dan mengaitkan kasus yang dipilih

dari sisi peran dan keterampilan fasilitasi sesuai perintah dalam lembar

kerja.

5. Meminta perwakilan tiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi.

6. Memberi kesempatan untuk tanya-jawab antar kelompok.

7. Debriefing hasil diskusi.

7. Langkah 7 (30 menit)

a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-3 (teknik fasilitasi) secara interaktif.

b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan

yang relevan dengan materi.

8. Langkah 8 (90 menit)

a. Peserta kembali dibagi dalam 3 kelompok semula, atau bisa juga dibentuk

kelompok baru.

b. Pembagian 3 tema atau sub-pokok bahasan, yaitu:

- Tema 1: Pertemuan atau diskusi

Page 22: MODUL 6 - Kemensos

10 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

- Tema 2: Proses pengambilan keputusan

- Tema 3: Pembelajaran atau pelatihan kelompok

c. Menginstruksikan kepada 3 kelompok untuk mencari, menggali

pengalaman lapangan dari salah satu atau lebih peserta yang relevan

dengan tema yang dipilih

d. Meminta masing-masing kelompok untuk mengembangkan skenario dari

pengalaman yang telah dibuat.

e. Setiap kelompok diminta untuk mempraktikkan teknik fasilitasi dengan

cara simulasi atau bermain peran (role playing).

f. Mendorong semua kelompok agar simulasi atau role play melibatkan

seluruh anggota kelompok.

g. Debriefing hasil simulasi atau role play.

9. Langkah 9 (5 menit)

a. Membuat kesimpulan bersama peserta.

b. Melakukan evaluasi secara lisan dengan meminta tanggapan balik

(feedback) dari peserta tentang 3 materi pokok.

c. Menyampaikan kalimat penutup, mengapresiasi, dan mengucapkan terima

kasih serta salam untuk mengakhiri proses pembelajaran.

Page 23: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 11

BAB II FASILITASI DAN PENDAMPINGAN SOSIAL

Selaku pendamping sosial, siapakah yang Anda dampingi? Jawabannya tentu

penerima manfaat. Penerima manfaat yang didampingi bisa berupa individu,

kelompok, keluarga, komunitas, atau bahkan masyarakat luas. Mungkin kebanyakan

pendamping sering menghadapi mereka secara berkelompok. Kalaupun fokusnya

individu penerima manfaat, namun dalam upaya penyelesaian masalah atau

pemenuhan kebutuhannya Anda seringkali harus melakukan kontak dengan orang-

orang sekitarnya. Paling tidak dengan keluarga atau kerabatnya.

Lantas dalam rangka apa Anda menemui mereka? Tentu ada banyak tujuan,

terutama terkait konteks tugas Anda selaku pendamping sosial. Secara umum, tujuan

tersebut dapat berupa pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, memperbaiki

keberfungsian sosial, perubahan perilaku, mengurangi atau menghilangkan hambatan

dalam interaksi sosial, atapun berupa pengembangan kapasitas dan tanggung jawab

sosial mereka agar aktif berpartisipasi di masyarakat. Setting, wilayah, atau tempat

pendamping dalam mengupayakan tujuan-tujuan tersebut pun beragam, yakni dapat

meliputi lingkungan RT/RW, komunitas, desa/kelurahan, tempat ibadah, rumah sakit,

klinik, remaja, organisasi pemuda, lembaga pemasyarakatan, sekolah, panti sosial,

kantor pelayanan publik, dan lain-lain.

Bab ini merupakan pengantar bagi para pendamping sosial untuk mengenal

konsep fasilitasi sebelum mereka dibekali peran/keterampilan dan teknik fasilitasi.

Dalam aktivitas pendampingan sosial, konsep pemberdayaan dan partisipasi,

dinamika kelompok, dan model pembelajaran orng dewasa juga sangat penting untuk

dipahami para pendamping.

A. DESKRIPSI SINGKAT

Page 24: MODUL 6 - Kemensos

12 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Anda pasti sudah sering mendengar istilah fasilitasi. Berbagai macam profesi

gemar sekali menggunakan istilah tersebut. Bahkan dalam berbagai konteks, istilah ini

pun sering muncul. Kata fasilitasi terkesan punya banyak arti dan dapat dipakai dalam

konteks apapun. Namun, bisa jadi apa yang dimaksud belum begitu jelas, dari mana

istilah ini berasal, dalam hal apa saja fasilitasi dapat diterapkan, atau pada saat apa

peran fasilitator dibutuhkan. Di sini akan dijelaskan secara sekilas pengertian fasilitasi,

sejarah kemunculan dan perkembangan fasilitasi, dan perumpamaan fasilitasi.

1. Pengertian Fasilitasi

Kata ‘fasilitasi’ diambil dari bahasa Perancis ‘facile’ dan Latin ‘facilis’ yang

artinya: mudah dilakukan, untuk mempermudah, atau bermakna membuat sesuatu

menjadi mudah (Barnhart, 1988 dalam Hogan, 2002: 10). Fasilitasi berkaitan dengan

upaya mendorong adanya dialog terbuka di antara individu yang memiliki pandangan

berbeda-beda sehingga berbagai asumsi dan opsi dapat tergali.

Konsep fasilitasi sangatlah kompleks, sehingga definisinya pun beragam.

Karena merupakan bidang baru, tidak ada definisi tunggal yang disepakati oleh

semua. Sebagai contoh, di sini diambil dari Hogan (2002: 57) yang mengartikan

fasilitator sebagai “Seseorang ...yang memiliki berbagai kemampuan dan pengetahuan

tentang manusia, proses, dan teknis, dan juga ragam pengalaman membantu

kelompok untuk melangkah bersama mencapai tujuan.”

Christine Hogan (2002) menjelaskan bahwa istilah fasilitasi muncul dari dunia

bisnis, pendidikan, dan pembangunan sejak paruh kedua abad ke-20. Konsep fasilitasi

terus berkembang sejak Perang Dunia II (PD-II), khususnya ketika dipraktikkan dalam

bidang manajemen, pendidikan, psikologi, dan Comdev. Fasilitator datang dari

beragam latar belakang, bidang, profesi, budaya, atau disiplin ilmu. Penggunaan

B. MENGENAL FASILITASI

Page 25: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 13

dalam berbagai konteks inilah yang menyebabkan konsepnya selalu berubah dan

berkembang.

Akar fasilitasi memiliki asal-usul dalam profesi pertolongan seperti pendidikan,

konseling, pekerjaan sosial, kerja pengembangan, dan aktivis keagamaan. Sepanjang

abad ke-20, fasilitasi memiliki sejumlah alasan mengapa begitu populer. Di antaranya

adalah bahwa ada gerakan pendulum yang berubah-ubah antara cara otokratik dan

partisipatif. Perubahan besar terjadi pada abad ke-17 dimana pendulum bergerak ke

arah doktrin tentang hak-hak alamiah manusia yang diformulasikan oleh John Locke

(saat ini disebut sebagai hak azasi). Locke mengusulkan bahwa setiap orang memiliki

untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dibuat untuk mereka. Alasan

lain adalah bahwa ada kebutuhan untuk membantu kelompok komunitas yang besar

untuk membuat rencana dan menyelesaikan isu dan konflik dimana konstituen

mereka mempunyai cara pandangnya sendiri (Hogan, 2002: 11-13).

Konsep fasilitasi yang dijelaskan di sini diambil dari bidang pengembangan

masyarakat (community development atau biasa disingkat Comdev). Alasannya,

pendamping sosial di lapangan lebih dominan bekerja dan berinteraksi dengan

kelompok atau komunitas. Comdev juga dipandang memberi banyak sumbangsih bagi

perkembangan konsep fasilitasi secara umum. Menurut Hogan (2002), fasilitasi

(bersama perubahan sosial) dalam Comdev banyak dipengaruhi gerakan spiritual

keagamaan Quakerisme dan konsep ‘Tangga Partisipasi’ dari Sherry Arnstein. Terkait

‘Tangga Partisipasi’ ini akan disinggung di bagian berikutnya.

2. Karakteristik Fasilitasi

Fasilitasi pada hakikatnya hanyalah suatu upaya membantu orang lain untuk

mencapai tujuannya. Pendamping selaku fasilitator hanya mengantarkan dan

memandu prosesnya, namun pelaku tetap si penerima manfaat. Yang menikmati hasil

pun penerima manfaat, bukan pendamping.

Page 26: MODUL 6 - Kemensos

14 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

BOX 2.1

Bu bidan membantu ibu hamil dalam persalinan. Dari mana bayi itu berasal? Ya, dari perut ibu hamil. Bayi siapakah itu? Ya, tentu saja bayinya sang ibu.

Namun, bu bidan tidak tinggal diam menanti nongolnya kepala sang bayi. Dia membantu proses persalinan. Dia memompa semangat juang sang ibu, mengajarkan posisi kaki tertentu, meminta ibu mengejan, manarik nafas panjang, dan lain sebagainya. Harapanya, persalinan berjalan lancar sehingga ibu dan bayi selamat. Sekali lagi, bu bidan tidak melahirkan bayi itu.

(Rimbatmaja, 2018: 11-12)

Hogan (2002) mengibaratkan

fasilitator seperti bidan, yang

membantu ibu hamil (bumil) hingga

proses melahirkan. Bidan tidak harus

hadir setiap saat untuk menemani

bumil. Dia tidak ada saat proses

kehamilan (konsepsi). Juga tidak harus

turut bertangggung jawab mengurus

bayi pasca-lahir dalam jangka panjang.

Dalam artian, mereka tidak turut

berpartisipasi ataupun merasakan

kebahagiaan di saat-saat menyenangkan dalam kehidupan si anak. Bandingkan

dengan uraian di Box 2.1.

Maksud perumpamaan ini adalah bahwa fasilitator membantu sekelompok

orang dengan cara mengidentifikasi dan menggunakan ragam proses untuk

membantu mereka mengangkat ide ke permukaan dan memungkin-kan mereka

mewujudkan tujuan yang diinginkan. Namun, fasilitator jarang hadir untuk menikmati

hasil dari pekerjaan mereka, kecuali mereka yang memang bekerja dalam suatu

lembaga/organisasi.

Laura Spencer (1989), seperti dikutip Hogan (2002: 48), mengidentikkan peran

dan fungsi fasilitator laksana konduktor. Seorang konduktor berfungsi memimpin

orkestrasi dan mengarahkan ragam talenta yang memainkan alat musik yang berbeda

sehingga membentuk alunan simfoni yang indah.

Sebagai suatu seni, fasilitasi dapat dipraktikkan dengan beragam cara. Tidak

mungkin hanya ada satu-satunya cara yang dianggap paling benar dan tepat karena

perbedaan konteks, partisipan, isu, dan pola atau gaya fasilitasi. Masing-masing

fasilitator sangat dimungkinkan mempunyai filosofi, metode, dan strategi yang

berbeda-beda pula (Hogan, 2002: 48).

Hogan (2002) menyarankan bahwa entah fasilitator, manager, pendidik atau

pekerja Comdev semacam pendamping sosial harus lebih fokus pada ‘proses’

Page 27: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 15

ketimbang ‘isi’. Agar fasilitasi efektif, mereka perlu menguasai keterampilan dan

pengetahuan tentang ‘proses’ untuk menerapkan, memantau, dan mengevaluasi

pendekatan partisipatif.

Hal itu dapat dijelaskan bahwa fasilitator yang ideal memiliki sikap netral dari

sisi ide atau substansi. Ia tidak berdiri di posisi tertentu terkait isu yang sedang

dibahas dan tidak punya kepentingan pada hasil yang hendak dicapai oleh kelompok.

Dengan sikap dan posisi fasilitator yang netral seperti ini, karakteristik utama fasilitasi

adalah content-neutral. Tugas atau peran penting dari seorang fasilitator adalah

memandu proses yang terjadi dalam kelompok agar berjalan baik, memastikan semua

anggota berpartisipasi penuh, memompa semangat, dan memberikan motivasi.

Fasilitator juga harus menghindari adanya dominasi dari sisi proses dan perannya.

Tugasnya hanyalah mengantarkan kelompok mencapai kesepakatan dan mencapai

tujuannya.

Terkait dominasi peran dalam proses fasilitasi, di awal peran fasilitatir biasanya

masih dominan. Namun idealnya peran fasilitator akan semakin berkurang seiring

waktu. Sebaliknya, peran kelompok atau komunitas yang didampingi mungkin belum

kelihatan di awal, namun akan semakin meningkat dalam proses hingga menjadi

dominan. Gambar 2.1 dapat menggambarkan proses ini.

Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat

Sumber: Tim Pe-PP (2007: 24)

Page 28: MODUL 6 - Kemensos

16 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Peran fasilitator sangat dibutuhkan dalam suatu kelompok yang hendak

menerapkan nilai-nilai partisipatif, terutama ketika sedang menghadapi masalah yang

rumit untuk dipecahkan dan/atau ketika proses pengambilan keputusan. Sam Kaner

bahkan menyatakan bahwa “fasilitator adalah penjaga api semangat, pembawa visi

tentang apa yang dijelaskan Michael Doyle, dalam pengantar buku karya Kaner dkk.,

sebagai ‘sebuah proses inklusif dan terbuka” (Kaner et al., 2007: xix).

Ketika melakukan fasilitasi dalam komunitas, pendamping dapat bekerja sama

dengan pendamping lain. Konsep kerja sama antar pendamping dalam melakukan

fasilitasi disebut sebagai ko-fasilitasi. Knight dan Scott (1997), sebagaimana dikutip

Hogan (2002: 85), mendefinisikan ko-fasilitasi sebagai:

Dua atau lebih fasilitator yang bekerja bersama untuk memungkinkan suatu

kelompok beserta individu anggotanya dapat mencapai hasil yang disepakati

dimana mereka memaksimalkan sumberdaya yang ada dan mengambil

pelajaran dari kelompok lain, melalui keterlibatan aktif dari semua anggota.

Terkait konsep dan bentuk kerja sama atau kolaborasi yang dilakukan antar

pendamping sosial atau dengan pendamping lain lebih detail dapat dilihat dalam

Modul Bekerja dalam Tim, Koordinasi, dan Jejaring Kerja.

Pendampingan sosial adalah aktivitas yang dilakukan pendamping sosial yang

bertindak sebagai petugas lapangan untuk membantu penerima manfaat. Menurut

Sumodiningrat, seperti dikutip Pusdiklat JPPPIW (2017), pendampingan sosial

diperlukan dalam rangka mengatasi kesenjangan pemahaman antara penerima

manfaat dan pihak penyedia manfaat. Program yang diselenggarakan pemerintah

tentunya memiliki persyaratan dan ketentuan, skema pemberian bantuan, kegiatan

yang harus dilakukan, kewajiban atau komitmen yang harus ditunaikan, dan tujuan

dari penyelenggaraan program yang harus dicapai. Sementara pihak penerima

C. PENDAMPINGAN SOSIAL

Page 29: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 17

manfaat adalah masyarakat yang kebanyakan belum paham akan syarat, karakteristik,

dan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Celah inilah yang menjadi tugas

pendamping sosial untuk mengisi.

Tugas pendamping sosial tidak hanya melakukan sosialisasi dan penyuluhan

program. Akan tetapi, pendamping sosial juga melakukan pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat. Di sini pendamping dapat bertindak sebagai perencana,

pembimbing, pemberi informasi, motivator, mediator atau penghubung, fasilitator,

dan evaluator (Pusdiklat JPPPIW, 2017).

Secara garis besar, Suharto (2009) menyebutkan ada empat tugas dan fungsi

pendampingan sosial, yaitu fasilitasi (atau pemungkinan), penguatan, perlindungan,

dan pendukungan. Fasilitasi terkait dengan pemberian motivasi, menjadi contoh

model, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus atau kesepakatan

bersama, dan mengelola sumberdaya. Fungsi penguatan dapat berupa peningkatan

kapasitas, peningkatan kesadaran, penyampaian informasi, dan melakukan

konfrontasi. Perlindungan yang diberikan pendamping dapat berupa pencarian

sumber pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan, melakukan pembelaan,

pemanfaatan media, dan menjalin relasi dan jejaring kerja. Sedangkan pendukungan

meliputi tidak hanya keterampilan praktis untu mendukung perubahan sosial, tetapi

juga mampu mengelola dinamika kelompok, melakukan analisis sosial, membangun

relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari sekaligus mengelola pendanaan

(Suharto, 2009: 95-97).

Di lapangan, ada sejumlah teknik pendampingan yang dicontohkan oleh Tim

Pe-PP (2007), yang juga dikutip oleh Pusdiklat JPPPIW (2017), seperti tampak pada

Tabel 2.1. Teknik pendampingan tersebut bersifat cukup praktis untuk diterapkan oleh

para pendamping sosial yang berperan sebagai fasilitator di lapangan.

Salah satu rekomendasi dari hasil penelitian oleh Susantyo et al. (2018)

tentang peran dan fungsi pendamping sosial adalah pengembangan kapasitas bagi

para pendamping untuk tugas pemberdayaan. Performa para pendamping dalam

menjalankan fungsinya dianggap masih kurang, sehingga kompetensi atau kapasitas

masih perlu dioptimalkan. Seperti telah dijelaskan, pendampingan sosial memiliki

Page 30: MODUL 6 - Kemensos

18 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

tugas pemberdayaan masyarakat penerima manfaat. Kemudian, praktik

pemberdayaan sangat mementingkan adanya partisipasi yang kuat dari anggota. Dua

konsep ini saling terkait erat dan menjadi wilayah dimana fasilitasi dipraktikkan.

Tabel 2.1. Teknik pendampingan

Bentuk kegiatan pendampingan Keterangan Bersilaturahim Dengan tokoh masyarakat, tokoh pemuda,

pemimpin adat dan orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat

Menumbuhkan rasa saling percaya Hindarkan rasa saling curiga

Belajar bersama dalam suasana kehidupan nyata

Bertujuan agar dapat mengamati, mendalami serta dapat menangkap nuansa dan kepekaan dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyarakat/kampung

Membangun simpati, empati, dan kerjasama Caranya bergaul/bersilaturahmi dengan masyarakat, ngobrol dan berdiskusi dengan masyarakat tentang penghidupan, keinginan/ cita-cita/harapan

Menciptakan dan menjaga hubungan (rapport) yang baik dengan masyarakat

Bergaul di masyarakat

Mengamati kondisi masyarakat

Bersosialisasi dengan masyarakat/ menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada

Menghadiri pertemuan-pertemuan kampung

Seperti pengajian, pernikahan, khitanan, kedukaan, event-event tertentu dan lainnya

Belajar bersama masyarakat membangun kelembagaan

Seperti membentuk aturan main/kesepakatan bersama

Menggali informasi tentang masyarakat Seperti sejarah kampung, perkembangan sumberdaya alam & penghidupan masyarakat

Menggali persoalan-persoalan terutama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, hutan dan penghidupan masyarakat

Membangun kerjasama dengan berbagai elemen dalam masyarakat maupun dengan pihak-pihak luar masyarakat

Membangun kelembagaan Ditujukan untuk mengembangkan kerjasama, menciptakan ketertiban, silaturahim, membantu menyelesaikan persoalan secara bersama, wahana untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai kegiatan

Sumber: Tim Pe-PP (2007) dalam Pusdiklat JPPPIW (2017: 67-8)

Page 31: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 19

Seperti telah didiskusikan di awal, pendamping sosial bertugas di tengah-

tengah masyarakat. Meskipun target atau sasaran pemerlu pelayanan beragam dari

individu, kelompok, organisasi, hingga masyarakat, pendamping lebih sering

berhadapan dan berinteraksi dengan kelompok ataupun komunitas. Masing-masing

tentu berbeda dan sangat beragam dari sisi bentuk, karakteristik, visi atau tujuan,

permasalahan yang dihadapi, ataupun prinsip dan norma yang dipegang.

Dalam melakukan pendampingan kelompok, berbagai kendala pasti sering

dijumpai. Ada beberapa anggota yang terlalu vokal dalam pertemuan dan bahkan

cenderung memaksakan gagasan. Sementara banyak anggota lain yang malu-malu

mengutarakan pendapat. Kebanyakan kelompok di masyarakat tampaknya masih

bersifat konvensional dimana pandangan yang berbeda kurang dihargai, keterlibatan

seluruh anggota belum dianggap penting, keputusan masih didominasi kelompok

yang kuat, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi kondisi tersebut, seorang

pendamping harus memahami dinamika kelompok/komunitas.

Terkait tugas untuk penyampaian informasi dan pengetahuan, peningkatan

kapasitas, atau penumbuhan kesadaran di kalangan penerima manfaat, pendamping

sosial dapat bertindak sebagai edukator (pendidik atau pelatih), motivator, penyuluh,

atau penyampai informasi. Maka, pendamping yang baik juga memahami bagaimana

menerapkan pembelajaran untuk para penerima manfaat.

Penjelasan di atas menunjukkan adanya sejumlah kebutuhan pendamping

sosial terhadap pemahaman dan kapasitas tentang sejumlah konsep. Bagian

selanjutnya akan dijelaskan singkat mengenai konsep pemberdayaan dan partisipasi,

dinamika kelompok, dan model pembelajaran orang dewasa.

1. Pemberdayaan dan Partisipasi

Pendamping sosial tidak bisa setiap saat, siang dan malam, mendampingi para

penerima manfaat. Proses pemberian pertolongan pastilah ada batasnya, baik dari sisi

waktu maupun tahapan. Pendampingan tidak bisa dilakukan selamanya hingga

penerima manfaat tidak mampu lepas dari bantuan pendamping. Jika sampai

Page 32: MODUL 6 - Kemensos

20 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mengakibatkan (atau malah menciptakan) ketergantungan, bisa jadi ada yang keliru

dengan kerja pendampingan yang dilakukan.

Pemberian pertolongan melalui proses pendampingan sosial harus diarahkan

dalam rangka menciptakan kemandirian penerima manfaat. Kemandirian berkaitan

dengan konsep pemberdayaan yang di dalamnya terkandung satu unsur penting

berupa partisipasi. Menurut Craig dan Mayo (1995), seperti dikutip Huraerah (2008),

pemberdayaan sangat dekat hubungannya dengan konsep kemandirian, partisipasi,

jejaring kerja, dan kesetaraan atau pemerataan. Suharto (2009) turut menegaskan

pemberdayaan sangat menekankan pentingnya partisipasi yang kuat.

Konsep pemberdayaan sangat penting dalam kerja pendampingan sosial yang

kegiatan utamanya adalah bekerja dengan komunitas atau kelompok. Menurut Jim Ife

(2013), pemberdayaan merupakan komponen penting dalam kerja komunitas dimana

peran pekerjanya lebih menekankan pada proses pemberdayaan ketimbang hasil.

Sejumlah pakar telah lebih dulu menegaskan bahwa pemberdayaan bukanlah suatu

hasil akhir, melainkan sebuah proses yang terus berlangsung yang dialami setiap

orang (Hogan, 2000).

Arti kata pemberdayaan yaitu “menjadi berdaya.” Pemberdayaan didefinisikan

sebagai “proses menolong individu, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan

kemampuan atau kekuatan secara personal, interpersonal, sosial-ekonomi, dan

politik untuk memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi mereka” (Barker,

2003: 103). Tujuan pemberdayaan adalah untuk “meningkatkan daya/kuasa/kontrol

(power) bagi orang-orang yang tidak beruntung” (Ife, 2013: 63). Ringkasnya,

pemberdayaan adalah upaya agar membuat orang menjadi berdaya atau memiliki

kemampuan untuk mengatur hidup dan menentukan masa depan mereka sendiri.

Menurut Ife (2013), daya atau kuasa bagi orang-orang tidak beruntung dapat

diperoleh dengan cara memberikan daya kepada individu atau kelompok;

memungkinkan mereka mengambil kuasa dalam genggaman tangan mereka sendiri;

redistribusi kontrol dari orang yang berpunya kepada kaum papa; dan seterusnya.

Robert Adams (2003) berpendapat bahwa karakter utama pemberdayaan adalah

memungkinkan penerima manfaat agar memiliki daya atau kemampuan yang lebih

Page 33: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 21

besar dalam memperoleh sumberdaya atau mengakses sistem sumber, pendidikan,

politik, kesadaran diri, dan seterusnya.

Kemudian, dalam hal apa para penerima manfaat (yang mungkin termasuk

orang-orang tidak beruntung) memiliki daya, kontrol, atau kuasa? Ife (2013: 68-70)

merinci ada tujuh macam atau jenis daya/kuasa yang dipakai dalam strategi

pemberdayaan berbasis komunitas, yaitu daya/kuasa untuk:

a. Membuat pilihan pribadi dan menentukan jalan hidup.

b. Mendefinisikan kebutuhan.

c. Berpikir.

d. Mengatasi masalah terkait lembaga atau sistem pelayanan publik.

e. Mengakses dan memanfaatkan sumberdaya.

f. Terlibat atau terhubung dengan aktivitas ekonomi.

g. Mengontrol reproduksi.

Salah satu indikator untuk mengukur keberdayaan masyarakat adalah

partisipasi mereka. Tingkat partisipasi dapat mengindikasikan kadar kontrol atau

kuasa yang dimiliki penerima manfaat. Dengan demikian, tingkat partisipasi dapat

menjadi tolok ukur sejauhmana kelompok dan komunitas yang Anda dampingi

dianggap sudah berdaya dan mandiri. Menurut Hogan (2002), pengembangan

komunitas dan kerja fasilitasi sangat bergantung pada partisipasi warga. Suharto

(2009) turut menegaskan bahwa partisipasi publik yang tinggi sangatlah penting

dalam pemberdayaan masyarakat.

Partisipasi memiliki pengertian dasar berupa aksi/tindakan untuk turut serta

mengambil bagian atau terlibat dalam suatu kegiatan. Sedangkan partisipasi

masyarakat berarti keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, mulai dari

tahap perumusan kebijakan, perencanaan dan penyusunan program, hingga proses

pengambilan keputusan (Mubyarto, 1997 dalam Huraerah, 2008). Huraerah

meringkas definisi dari beberapa sumber bahwa makna partisipasi tidak sekadar turut

serta ambil bagian dalam suatu kegiatan. Namun, ada tiga ide dasar yang terkandung

dalam pengertian partisipasi, yakni adanya: keterlibatan mental-emosional; dorongan

memberikan kontribusi; dan penerimaan mengambil tanggung jawab (p.95).

Page 34: MODUL 6 - Kemensos

22 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Pemberdayaan dan partisipasi masing-masing memiliki tingkatan atau tangga.

Sebagai tambahan pengetahuan, pemberdayaan memiliki lima tingkatan (Hogan,

2007) yaitu:

a. Pemberdayaan individu

b. Pemberdayaan individu tersembunyi/terselubung

c. Pemberdayaan hasil mediasi

d. Pemberdayaan sosial-politis

e. Pemberdayaan politis

Versi lain tingkat keberdayaan yang lebih konkret dibuat oleh Susiladiharti

(2002), seperti dikutip Huraerah (2008: 90). Lima posisi/kondisi keberdayaan yang

dimaksud dimulai dari tingkat keberdayaan pertama (bawah) sampai tingkat kelima:

a. Terpenuhinya kebutuhan dasar.

b. Penguasaan atau akses terhadap sumber daya atau sistem sumber yang

dibutuhkan.

c. Dimilikinya kesadaran penuh tentang bermacam potensi dan kekuatan atau

kelemahan individu dan lingkungannya.

d. Kemampuan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan bermanfaat bagi

lingkungan sekitarnya.

e. Kemampuan atas kontrol terhadap diri dan lingkungannya. Misalnya dalam hal

dinamika dan keterlibatan masyarakat dalam mengendalikan program atau

kebijakan lembaga dan pemerintah, termasuk kemampuan melakukan evaluasi

keberhasilannya.

Sedangkan tingkat partisipasi diadopsi dari formulasi Sherry Arnstein (1969)

yang terdiri dari delapan tangga atau tingkatan, seperti dipakai Hogan (2002: 38-9,

2007). Tangga partisipasi tersebut disusun berdasarkan tingkat partisipasi dari

anggota kelompok atau komunitas dalam proses dan interaksi dengan pendamping.

Seperti tampak pada Gambar 2.2, dua anak tangga paling bawah (manipulasi

dan terapi) menandakan ketiadaan atau sangat minimnya partisipasi anggota

kelompok. Naik ke tiga tangga berikutnya (menyampaikan informasi, konsultasi, dan

plakasi), tingkat keterlibatan penerima manfaat semakin naik pula. Namun tingkatan

Page 35: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 23

ini masih dikatakan sebagai bentuk tokenisme. Baru pada tiga anak tangga paling atas

(kerjasama, delegasi, dan kontrol penuh), partisipasi anggota semakin kuat hingga

kuasa atas pengambilan keputusan atau menentukan nasib sendiri betul-betul di

bawah kendali mereka secara penuh.

8. Kontrol sepenuhnya oleh kelompok/komunitas

Kadar kekuasaan kelompok/komunitas 7. Pendelegasian kuasa

6. Kerjasama (partnership)

5. Plakasi

Kadar tokenisme 4. Konsultasi

3. Menyampaikan informasi

2. Terapi Non-partisipasi

1. Manipulasi

Gambar 2.2. Tangga partisipasi Sherry Arnstein Sumber: Hogan (2002: 38, dengan perubahan)

2. Dinamika Kelompok Perumusan Kesepakatan

Bagi seorang fasilitator yang hendak mendampingi kelompoknya dalam upaya

mencapai pembuatan keputusan secara partisipatif, pemahaman tentang dinamika

kelompok merupakan kompetensi inti (Kaner et al., 2007). Berikut ini akan dijelaskan

konsep dinamika kelompok yang diformulasi oleh Kaner et al. (2007). Meskipun

konsep dinamika kelompok Kaner et al. dibuat dalam kerangka pembuatan keputusan

secara partisipatif, sampai tahap tertentu konsepnya dapat diterapkan dalam konteks

pendampingan sosial bagi kelompok atau komunitas secara umum.

Sebelum uraian konsep dinamika kelompok, selaku fasilitator kelompok atau

komunitas, pendamping harus memahami nilai-nilai partisipatif yang harus dipegang.

Tabel 2.2 dapat menjadi panduan bagi para pendamping terkait sejumlah karakteristik

penting yang membedakan pendekatan partisipatif dari pendekatan konvensional

dalam suatu kelompok atau komunitas.

Page 36: MODUL 6 - Kemensos

24 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam fasilitasi kelompok

Kelompok Partisipatif Kelompok Konvensional

Setiap orang berpartisipasi, tidak hanya yang vokal-vokal saja

Pemikir tercepat dan paling pandai bicara akan lebih banyak diberi kesempatan

Setiap orang diberi ruang untuk bertukar-pikiran

Orang terbiasa saling menginterupsi untuk hal-hal yang umum

Pandangan berbeda diperbolehkan Perbedaan pendapat dianggap sebagai konflik yang mesti dihindari atau “diselesaikan”

Saling menegaskan dengan pertanyaan suportif: “Jadi ini yang Anda maksud?”

Bertanya dipandang seperti menantang, seakan-akan orang yang ditanya telah melakukan kekeliruan

Setiap orang berupaya memperhatikan orang yang sedang bicara

Jika orang yang sedang bicara tidak meminta perhatian, orang ngobrol seenaknya, cuek, atau melihat jam

Semua dapat saling bertukar ide secara bebas karena mereka tahu bahwa idenya juga didengar

Orang sulit untuk saling mendengarkan atau memahami gagasan karena masing-masing sibuk memikiran apa yang ingin mereka katakan

Setiap anggota dapat mengungkapkan hal-hal yang kontroversial. Setiap orang tahu posisi pendapat/dukungan masing-masing

Sebagian cenderung menghindari kontroversi, sehingga tidak ada yang tahu dimana posisi pendapat/dukungan masing-masing

Semua dapat mewakili pandangan yang lain – meski terkadang tidak sejalan

Orang jarang dapat mewakili pandangan atau alasan kelompok lain yang tidak sejalan

Tidak ada yang komplain atau ngedumel di belakang di luar pertemuan

Karena merasa tidak bebas mengutarakan pendapat langsung dalam pertemuan, orang lebih suka bicara di belakang

Meskipun berbeda pendapat dengan pimpinan kelompok, orang tetap berani menyatakan apa yang mereka yakini

Orang yang tidak sejalan atau punya pandangan berbeda sendiri umumnya kurang didukung untuk menyatakan pendapat

Suatu masalah belum dianggap selesai sebelum semua yang terpengaruh oleh keputusan memahami alasannya

Suatu masalah dianggap selesai begitu orang-orang pandai telah menemukan jawaban. Yang lain diharapkan menyesuaikan saja tanpa melihat apakah dia paham alur pikir keputusannya.

Ketika semua menyetujui, diasumsikan bahwa keputusan telah mencerminkan seluruh pendapat

Ketika tercapai kesepakatan, semua dianggap memiliki pemikiran/pendapat yang sama

Sumber: Kaner et al. (2007: xviii)

Page 37: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 25

Kaner et al. (2007) menggambarkan dinamika kelompok dalam pertemuan

pengambilan keputusan secara sederhana dengan memakai gambar diagram. Diagram

dalam setiap gambar memotret proses pengambilan keputusan dari awal hingga

pertemuan berakhir. Ragam ide/gagasan yang muncul dalam diskusi dan

perkembangannya sampai akhir divisualkan dalam diagram sehingga dinamikanya

dapat mudah dimengerti.

Gambar 2.3 memotret proses pengambilan keputusan dalam sebuah

kelompok. Setiap lingkaran kecil mewakili satu ide/gagasan atau usulan. Tanda panah

menunjukkan arah pikiran kemana perkembangannya selama diskusi. Diagram

tersebut juga dapat menggambakan dimensi ragam usulan (secara vertikal) dan

dimensi waktu (secara horisontal). Dimensi waktu ditunjukkan dengan awal mula

pertemuan ketika membahas suatu topik baru (new topic) sampai akhi pertemuan

dimana keputusan dapat diambil (decision point).

Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan

Sumber: Kaner et al. (2007: 4)

Seperti tampak pada Gambar 2.3, proses pertemuan kelompok dalam

pengambilan keputusan menunjukkan perkembangan yang diharapkan karena

pemikiran yang berkembang dari suatu topik mengarah ke satu kesepakatan. Di sini

ide yang berkembang tidak sampai liar, kelompok pertemuan tidak sampai membuat

frustrasi, dan keputusan pun berhasil dibuat bersama-sama.

Kaner et al. (2007) mengatakan kenyataannya sering berbeda. Kelompok

diskusi dalam rangka pengambilan keputusan tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Page 38: MODUL 6 - Kemensos

26 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Gambar 2.4 menunjukkan bahwa kelompok kehilangan fokus tema diskusi sehingga

tidak menghasilkan keputusan. Kalaupun fasilitator dan beberapa orang berupaya

keras agar diskusi tetap fokus dan sesuai jalur, namun mereka tidak bisa mengubah

fakta bahwa anggota kelompok adalah individu-individu yang memiliki cara pandang

berbeda-beda.

Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan

Sumber: Kaner et al. (2007: 5)

Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan

Sumber: Kaner et al. (2007: 6)

Page 39: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 27

Namun demikian, Kaner et al. (2007) juga membuat model diagram yang

dianggap lebih mendekati kenyataan. Gambar 2.5 menunjukkan adanya dua proses

pemikiran yang umum dalam diskusi pengambilan keputusan, yaitu pemikiran

divergen dan pemikiran konvergen. Pada saat-saat tertentu, anggota kelompok butuh

mengekspresikan pandangan mereka (proses berpikir divergen). Namun di saat-saat

yang lain, mereka juga ingin mempersempit perbedaan dan berupaya mengarahkan

diskusi ke kesimpulan (proses berpikir konvergen).

Kaner et al. (2007) mengangkat empat contoh perbedaan antara proses

berpikir divergen dan konvergen. Perhatikan Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan

Divergen Konvergen

Menumbuhkembangkan ide-ide vs. Mengelompokkan ide-ide dalam kategori

Diskusi bebas terbuka vs. Menyimpulkan poin-poin kunci

Mencari ragam pandangan vs. Menuju ke arah kesepakatan

Menahan/menghindari penilaian vs. Menerapkan penilaian

Sumber: Kaner et al. (2007: 6)

Selanjutnya Kaner et al. (2007) menentukan bentuk dari dinamika proses

pengambilan keputusan yang dianggap ideal. Menurut mereka, dalam teori sebuah

kelompok yang memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah sulit pasti akan

melangkah secara hati-hati. Langkah pertama, kelompok akan menggali ide-ide

sehingga muncul berbagai ragam ide. Berikutnya, mereka akan berupaya melakukan

konsolidasi pemikiran menuju satu usulan kesepakatan. Kemudian mereka akan

menggodok lagi usulan tersebut hingga mencapai keputusan final yang sekiranya

dapat mencerminkan ragam ide-ide yang pernah muncul. Langkah-langkah ini

tergambar pada diagram Gambar 2.6.

Namun, lagi-lagi dalam kehidupan nyata tidaklah semulus langkah-langkah

sesuai teori. Pasti ada sesuatu yang harus dilalui dan dilakukan pada kenyataannya.

Karena pada praktiknya, kebanyakan orang sulit mengubah dari keinginan selalu

mengungkapkan pendapat pribadi ke arah upaya memahami pendapat orang lain.

Page 40: MODUL 6 - Kemensos

28 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Sebagian merasa sering disalahpahami sehingga mengulang-ulang pendapatnya. Ada

yang ingin cepat selesai. Kadang sebagian sibuk ngobrol dengan teman di sampingnya.

Masing-masing ingin pendapatnya didengar. Kondisi seperti ini dapat membuat orang

menjadi bingung, terganggu, frustrasi, tidak sabar, dan sebagainya. Pertemuan bahkan

mengarah pada kebuntuan (deadlock). Parahnya, kadang pemimpin pertemuan

berusaha menghilangkan kebuntuan dengan cara membuat keputusan sepihak.

Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan Sumber: Kaner et al. (2007: 13)

Kaner et al. (2007) menyatakan bahwa dinamika di atas menggambarkan

bahwa proses berpikir konvergen tidak otomatis terjadi setelah proses berpikir

divergen dilewati. Menurut Kaner et al. ada langkah penting yang terlewat oleh

kelompok. Langkah yang dimaksud adalah mengenali adanya zone tidak nyaman yang

membuat anggota pertemuan merasa resah, tertekan, dan putus asa. Kaner et al.

(2007) menamainya dengan Groan Zone atau bisa terjemahkan sebagai Zona Kritis.

Saat melewati zone ini, anggota pertemuan mengulang-ulang pandangannya, tidak

sensitif, saling defensif mempertahankan pendapat, emosi mudah meletup, dan

seterusnya. Sayangnya, kebanyakan justru tidak mengerti betul apa yang terjadi.

RAGA

M ID

E

WAKTU

PENDAPAT UMUM

RAGAM PANDANGAN

PENYATUAN PEMIKIRAN

PEMBULATAN

Page 41: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 29

Untuk mengenali dan melewati Zona Kritis, Kaner et al. (2007: 20)

menawarkan suatu model yang dinamakan dengan Diamond of Participatory Decision-

Making bagi para fasilitator (Gambar 2.7). Tim Pe-PP (2007) menerjemahkannya

sebagai “Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan.” Seperti tampak pada Gambar

2.7, Groan Zone berada di tengah-tengah antara zona divergen dan zona konvergen.

Di awal zona divergen ada proses pengambilan keputusan yang sifatnya instan karena

tidak melalui proses-proses divergensi dan konvergensi. Justru tipikal pertemuan

seperti ini umum terjadi (business as usual) yang biasanya dilakukan oleh kelompok

konvensional, bukan partisipatif. Sedangkan di ujung proses pertemuan dinamakan

sebagai zona penutup (closure zone) dimana kesepakatan berhasil dibuat.

Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan

Sumber: Kaner et al. (2007: 20)

Lebih jauh Kaner et al. (2007) menjelaskan bahwa Zona Kritis merupakan

konsekuensi dari kebhinekaan dalam kelompok. Kesalahpahaman dan miskomunikasi

adalah hal yang normal dan alamiah dalam proses pengambilan keputusan

partisipatif. Ketika melewati fase sulit ini, fasilitator harus mampu mengatasi

kesalahpahaman dan miskomunikasi demi mencapai kesepakatan yang lestari dan

kolaborasi yang mantap. Caranya adalah dengan mencari kesepahaman dan

WAKTU

Page 42: MODUL 6 - Kemensos

30 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

kesamaan. Persamaan dan kesamaan dalam gagasan atau pandangan di antara

anggota kelompok menjadi prasyarat bagi proses berpikir yang cerdas dan kreatif

dalam pengambilan keputusan.

Ada empat nilai utama dalam pengambilan keputusan partisipatif (Kaner et al.,

2007):

a. Partisipasi penuh

Seluruh anggota kelompok didorong untuk bersuara mengungkapkan isi kepala

mereka.

b. Pemahaman bersama

Untuk mencapai kesepakatan yang langgeng, antar anggota saling memahami

dan menerima kebutuhan dan tujuan masing-masing.

c. Solusi inklusif

Solusi yang mampu mengakomodir semua kepentingan merupakan bentuk

kebijaksanaan kelompok yang muncul dari hasil penyatuan pandangan dan

kebutuhan setiap orang.

d. Tanggung jawab bersama

Dalam kelompok partisipatif, semua anggota sadar bahwa pelaksanaan hasil

keputusan merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya sebagian orang.

Dengan kesadaran itu, mereka akan sepenuh hati untuk terliba penuh dalam

pembuatan kesepakatan sebelum diputuskan.

Keempat nilai inti tersebut sekaligus menjadi domain seorang fasilitator

kelompok untuk memainkan perannya. Dalam proses pengambilan keputusan yang

bersifat partisipatif, fasilitator berperan untuk menggalang partisipasi penuh semua

anggota, mempromosikan kesepahaman bersama, memperjuangkan solusi yang

dapat mengakomodir semua pandangan atau kebutuhan, dan menanamkan rasa

tanggung jawab bersama di kalangan anggota.

Tujuan dan manfaat yang diharapkan dari peran-peran seorang fasilitator

dengan nilai-nlai partisipatif tersebut dapat membentuk (Kaner et al., 2007: 29):

a. individu-individu anggota yang lebih kuat

peningkatan skill kepemimpinan

Page 43: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 31

daya nalar yang lebih kuat

lebih percaya diri

lebih berkomitmen

keterampilan komunikasi yang lebih baik

peningkatan kemampuan mengemban tanggung jawab yang lebih luas

dan berat

b. kelompok yang lebih kuat

peningkatan kemampuan mendayagunakan berbagai talenta

mampu mengakses lebih banyak jenis informasi

membangun rasa hormat dan atmosfer yang saling mendukung

memiliki prosedur lebih jelas dalam menghadapi dinamika kelompok

peningkatan kapasitas mengatasi masalah rumit

c. kesepakatan yang lebih kuat

lebih banyak ide

ide-ide yang lebih brilian dan berkualitas

pemecahan yang mengakomodir tujuan setiap anggota

kesepakatan yang lebih bijak

pelaksanaan hasil kesepakatan secara lebih bertanggung jawab

3. Model Pembelajaran Orang Dewasa

Di ranah pelatihan, konsep fasilitasi dipengaruhi oleh sejumlah inovator besar.

Sebut saja John Dewey (1859-1952), seorang filsuf dan ahli pendidikan, yang

menyatakan bahwa guru atau pendidik lebih tepat berperan sebagai fasilitator, yang

mampu menciptakan kondisi belajar dengan cara menuntun dan membantu, bukan

mendikte, mengajari, atau menyuruh, apalagi memaksa. Fasilitasi memakai

pendekatan penyelesaian masalah dan situasi pembelajaran harus lebih bersifat

kooperatif ketimbang diktatorial yang lebih mengandalkan kekuasaan (Hogan, 2002).

Ahli lain yang mempopulerkan istilah fasilitator pada dekade 1970-80an yaitu

Carl Rogers (1902-87). Psikoterapis Amerika ini berpendapat bahwa peserta didik

seharusnya dipacu agar mereka mampu “belajar bagaimana untuk belajar” dan

Page 44: MODUL 6 - Kemensos

32 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mereka harus menjadi mandiri (otonom). Alasannya, kebanyakan peserta didik lebih

suka belajar dengan caranya sendiri. Peran guru hanya memfasilitasi (Hogan, 2002).

Seorang penulis yang paling berpengaruh sekaligus kontroversial tentang

pendidikan orang dewasa, Malcolm Knowles, memperkenalkan konsep pendidikan

orang dewasa tahun 1970. Konsepnya dikenal dengan ‘andragogi’. Model andragogi

merupakan kebalikan dari ‘pedagogi’ atau pendidikan untuk anak. Karakeristik utama

andragogi adalah pendekatan fasilitatif. Knowles merinci tiga asumsi utama yang

membedakan kedua model tersebut (Hogan, 2002: 27):

a. Orang dewasa kurang memiliki ketergantungan dibanding anak dan cenderung

mampu mengatur diri.

b. Orang dewasa lebih memiliki khazanah pengalaman, maka konsep diri mereka

sangat berkaitan erat dengan pengalaman yang dimiliki sehingga mereka akan

memproyeksikan pengalaman tersebut dalam proses pembelajaran.

c. Anak-anak lebih dapat menerima pengetahuan dan keterampilan yang akan

berguna suatu saat nanti. Sebaliknya, orang dewasa ingin pembelajaran

mereka dapat berguna saat ini dan materi belajar terkait langsung dengan

masalah yang sedang mereka hadapi.

Pembelajaran yang bersifat mengatur diri, sebagai salah satu asumsi model

andragogi di atas, sangat mirip dengan pendekatan fasilitatif. Lebih jauh Knowles

mendorong penggunaan ‘kontrak belajar’ ketika memulai proses pembelajaran.

Kontrak belajar lagi-lagi memerlukan pendekatan fasilitatif. Kontrak belajar berarti

sebuah ‘rencana proses’. Fokusnya terletak pada kebutuhan dan gaya belajar peserta

didik.

Model pembelajaran lain yang menekankan pentingnya peran pendidik

sebagai fasilitator adalah pembelajaran eksperiensial yang didesain oleh David Kolb.

Model pembelajaran ala Kolb tidak saja memanfaatkan pengalaman masa lalu, tetapi

juga pengalaman baru atau aktif masa kini. Kolb memformulasi empat tahap dalam

siklus pembelajaran eksperiensial berikut ini:

a. Pengalaman konkret, yakni peserta didik secara langsung terlibat dalam

sebuah pengalaman;

Page 45: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 33

BOX 4.2 Variasi metode dalam pembelajaran orang dewasa: a. Permainan b. Berbincang (ngobrol) c. Berdiskusi d. Nonton film/video e. Praktik simulasi atau bermain

peran

b. Observasi reflektif, dimana peserta berpikir tentang pengalaman tersebut;

c. Konseptualisasi abstrak, dimana peserta menyimpulkan, melakukan

generalisasi atau memeras pembelajaran baru menjadi sebuah teori; dan

d. Eksperimentasi aktif dimana peserta memutuskan pembelajaran baru apa

yang dapat diterapkan atau dipraktikkan.

Perhatikan Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb Sumber: Hogan (2002: 29)

Tahapan dalam model pembelajaran Kolb tidak harus berurutan atau

sekuensial. Agar peserta mampu memproses

pengalaman dengan cara yang bermakna, harus

ada seorang fasilitator atau ‘manusia proses’ yang

membantu peserta mempu mengambil pelajaran

dari pengalaman. Di sini, menurut John Heron,

seperti dikutip Hogan (2002: 29), fasilitator

berperan “membantu partisipan untuk belajar

dalam kelompok eksperiensial.”

Pengalaman konkret

Observasi reflektif

Konseptualisasi abstrak

Eksperimentasi aktif

Page 46: MODUL 6 - Kemensos

34 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Aktivitas pendampingan sosial di lapangan sangat membutuhkan konsep dan

keterampilan terkait fasilitasi. Dengan fasilitasi, tujuan pendampingan sosial harus

diarahkan untuk menciptakan kemandirian para penerima manfaat, bukan malah

menyebabkan ketergantungan. Upaya menciptakan kemandirian merupakan bagian

dari upaya pemberdayaan masyarakat, yang memiliki unsur utama berupa partisipasi.

Fasilitasi, pemberdayaan, dan partisipasi menjadi landasan konsep yang fundamental

untuk memahami dan mempraktikkan peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi.

Untuk lebih melengkapi ketiga konsep dasar tersebut, konsep tentang

dinamika kelompok dalam proses perumusan kesepakatan dan konsep pembelajaran

orang dewasa pun tidak kalah penting. Dalam memfasilitasi pengambilan keputusan

atau pemecahan masalah di antara kelompok atau komunitas penerima manfaat,

seorang pendamping harus dibekali pemahaman akan dinamika proses terkait tahap

konvergen, tahap kritis, dan tahap divergen. Masing-masing tahap ini sangat krusial

untuk dikenali dan pendamping harus memiliki sejumlah keahlian untuk mengatasi

dan memandu proses hingga mampu mencapai titik kesepakatan yang

mengakomodir semua gagasan. Pendakatan terhadap kelompok juga lebih bersifat

partisipatif ketimbang konvensional.

Fasilitasi dalam pelatihan atau peningkatan kapasitas penerima manfaat

memerlukan pemahaman dasar tentang pembelajaran orang dewasa. Konsep

pembelajaran andragogi dan model pembelajaran eksperiensial sangatlah penting

dalam mempraktikkan fasilitasi untuk konteks pembelajaran. Para penerima manfaat

sebagai manusia dewasa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan

anak usia sekolah, sehingga pendekatan dan strategi pembelajaran harus dibedakan.

Dengan mempelajari kedua pokok bahasan tambahan tersebut, Anda

diharapkan dapat mempraktikkan konsep pendidikan orang dewasa (andragogi)

dalam pertemuan kelompok dengan penerima manfaat dan dinamia kelompok dalam

pengambilan keputusan. Konsep ini memiliki karakteristik berbeda dibanding konsep

D. RANGKUMAN

Page 47: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 35

pedagogi, yang lebih cocok diterapkan untuk anak-anak, bukan orang dewasa.

Tahapan dalam melakukan pertemuan atau diskusi dapat menjadi pedoman dalam

praktik, termasuk bagaimana mengatur setting pertemuan dan prosesnya. Sejumlah

sikap dan perilaku fasilitatif sangat baik diterapkan dalam pertemuan, diskusi,

ataupun pengambilan keputusan. Hal ini akan dibahas dalam bab terakhir tentang

teknik fasilitasi.

LK. 6.1. Menggali Pengalaman Pendampingan (15 menit)

1. Uraikan bentuk-bentuk kegiatan pendampingan sosial yang telah Anda

lakukan di lapangan.

2. Jelaskan praktik fasilitasi dalam kegiatan pendampingan tersebut.

3. Jika praktik yang Anda lakukan dirasa mengandung unsur pemberdayaan,

uraikan prosesnya dan sampai sejauh mana tingkat partisipasi anggota

kelompok/komunitas penerima manfaat yang muncul.

4. Tuangkan jawaban dari dua pertanyaan tersebut dalam sebuah tulisan

singkat (maksimal 600 kata atau 2 halaman A4).

5. Esai boleh ditulis tangan atau diketik computer.

6. Jika waktu di kelas tidak cukup, peserta dapat menuntaskannya di luar

kelas.

LK. 6.2. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kelompok (20 menit)

1. Peserta tetap di tempat duduk maing-masing

2. Fasilitator menyiapkan board dengan membuat dua kolom tulisan untuk

E. LEMBAR KERJA LEMBAR KERJA

Page 48: MODUL 6 - Kemensos

36 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

pendekatan partisipatif dan konvensional

3. Potongan kertas dibagikan ke peserta (ada 24 potongan kertas, sehingga

tidak semua peserta mendapatkan)

4. Fasilitator meminta mendiskusikan dengan teman di samping kiri/

kanannya tentang apa yang tertulis pada kertas dalam waktu 1-2 menit.

5. Setelah itu peserta diminta untuk menempelkan potongan kertas ke depan

6. Meminta dua perwakilan peserta untuk membacakan hasil tempela kertas

di depan. Satu peserta membacakan kolom pendekatan partisipatif dan

yang satunya membacakan pendekatan konvensional.

7. Bersama-sama membahas hasil kegiatan ini.

8. Melakukan debriefing sekaligus melengkapi penjelasan dengan bahan

tayang.

1. Jelaskan secara singkat pengertian fasilitasi dan konsep pendampingan sosial.

2. Dalam modul, fasilitator di antaranya diibaratkan seperti konduktor musik

atau seorang bidan. Menurut Anda selaku pendamping, peran sebagai

fasilitator kira-kira diibaratkan seperti apa? Jelaskan beserta alasannya secara

singkat.

3. Menurut pemahaman Anda, mengapa materi tentang konsep pemberdayaan

dan partisipasi perlu dipelajari dalam mata pelatihan fasilitasi dalam

pendampingan sosial?

4. Jelaskan secara singkat konsep pemberdayaan dan partisipasi. Jelaskan juga

keterkaitan antara keduanya, kemudian dihubungkan dengan konsep fasilitasi.

5. Dalam konsep Dinamika kelompok menurut Kaner et al. (2007), jelaskan

perbedaan tahap konvergen dan tahap divergen dalam proses pengambilan

keputusan atau perumusan kesepakatan.

F. EVALUASI

Page 49: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 37

6. Jelaskan secara singkat dua dari empat nilai utama yang menjadi landasan

dalam pengambilan keputusan secara partisipatif.

7. Apa yang Anda ketahui tentang konsep pendidikan andragogi dan pedagogi?

8. Mengapa konsep andragogi lebih cocok dipakai untuk fasilitasi pertemuan

kelompok ataupun diskusi?

Pokok bahasan 1 merupakan materi dasar konseptual yang bersifat

pendukung sebelum mempelajari peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi.

Tujuannya adalah untuk membuka cakrawala peserta dan juga untuk menyegarkan

ingatan bagi mereka yang pernah mempelajari materi serupa sebelumnya. Sejumlah

pokok bahasan tidak mutlak disampaikan semuanya di kelas. Tidak menutup

kemungkinan juga apabila ada materi lain di luar modul untuk disampaikan sebagai

materi pelatihan. Hal ini sangat tergantung pada hasil pemetaan atau evaluasi

kapasitas peserta di awal (pre-test). Pemetaan semacam itu dapat juga berupa

kontrak belajar yang menggali harapan tentang materi apa saja yang ingin dipelajari

di kelas.

Sejumlah pertanyaan dalam evaluasi lebih dominan bersifat penalaran. Jika

Anda merasa mampu menjawab atau menjelaskan lima dari delapan pertanyaan

dalam evaluasi secara koheren dan dengan penalaran yang logis, Anda dapat

dikatakan telah mampu menyelesaikan pembelajaran pokok bahasan 1. Sebaliknya,

jika kurang yakin dengan hasil refleksi pengalaman lapangan terhadap teori/konsep

pada pokok bahasan 1 ini, Anda tinggal melihat lagi sejumlah kata kunci masing-

masing konsep.

G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT

Page 50: MODUL 6 - Kemensos

38 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Page 51: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 39

BOX 3.1. Kasus dari Lapangan

Seorang pendamping sosial menuturkan bahwa kebetulan tahun kemarin ada peserta PKH dampingannya yang digraduasi. Sebenarnya kewenangan itu ada sama pendamping. Kalau memang KPM kita sudah layak, sudah sejahtera, sudah punya usaha, bisa hidup mandiri tanpa bantuan PKH, mereka bisa digraduasi (dikeluarkan dari keanggotaan PKH).

Sebenarnya pendamping tidak langsung memutuskan, tapi berharap mereka sadar diri untuk mundur. Di pertemuan-pertemuan dengan KPM, pendamping selalu menjelaskan kalau yang sudah mampu mohon sadar diri untuk pamit, undur diri. Disampaikan juga bahwa jika nanti ada temuan, akan ada pengembalian dana bantuan.

Faktanya ada beberapa yang sadar diri untuk mundur tanpa paksaan. Saya selaku pendamping menyiapkan surat pernyataan bermaterai untuk mundur secara sadar dari keanggotaan PKH. Mereka disebut sebagai graduasi mandiri. Untuk KPM yang tidak sadar, tidak mau mundur, masih ngotot, dikoordinasikan dengan koordinator kotanya.

Jadi para pendamping tidak bisa putuskan secara sepihak. Tapi memang pendamping lah yang berwenang meng-graduasi KPM yang mampu dan bisa memberitahukan secara langsung. Ini bisa dianggap subjektif sifatnya. Resikonya, jika KPM tidak terima karena tidak sadar, maka pendamping lah yang dikejar. Bahkan ada kasus pendamping berkelahi dengan KPM yang dianggap sudah mampu.

BAB III PERAN & KETERAMPILAN FASILITASI

Pokok bahasan ini menguraikan peran dan keterampilan fasilitasi yang

sebagian diadopsi dari peran-peran fasilitatif dan edukasional menurut Jim Ife (2013).

Peran dan keterampilan fasilitasi sangat penting dikuasai para pendamping sosial

untuk melengkapi dan meningkatkan kapasitas mereka dalam bekerja dengan

kelompok/komunitas. Materi ini disampaikan dengan metode ceramah interaktif,

tanya jawab, pembahasan kasus, diskusi kelompok, dan presentasi.

A. DESKRIPSI SINGKAT

Page 52: MODUL 6 - Kemensos

40 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Seandainya Anda adalah seorang pendamping PKH dan menghadapi kasus

yang sama seperti pada Box 3.1 (Kasus dari Lapangan), apa yang akan Anda lakukan?

Bagaimana pula jika ada sejumlah peserta KPM yang digraduasi melakukan protes?

Peran dan keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Gambar 3.1. Peran fasilitator menggunakan Jendela Johari

Sumber: Tim Pe-PP (2007: 25)

Dalam melakukan aktivitas kerja kelompok dan komunitas, pendamping sosial

harus memahami sejumlah peran dan juga menguasai berbagai keterampilan yang

dibutuhkan di lapangan. Secara umum, peran pendamping sosial selaku fasilitator

dapat menggunakan diagram ‘Jendela Johari’. Untuk masing-masing kuadran pada

‘Jendela Johari’ seperti tampak pada Gambar 3.1, pendamping dapat berperan

sebagai:

1. Moderator (‘Aku tahu, Kamu tahu’)

Ketika fasilitator dan penerima manfaat sama-sama tahu akan isu atau topik

B. PERAN DAN KETERAMPILAN FASILITASI

Page 53: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 41

tertentu, maka fasilitator hanya berperan sebagai moderator. Sebagai

moderator, pendamping berupaya membangun proses dialogis antar anggota

kelompok, kemudian mengembangkan gagasan berangkat dari pengetahuan

dan pengalaman mereka sendiri.

2. Motivator (‘Aku tidak tahu, Kamu tahu)

Peran motivator dimainkan ketika fasilitator tidak memiliki pengalaman

tertentu yang biasa dilakukan masyarakat. Di sini penerima manfaat bisa

menjadi sumber pengetahuan dan fasilitator mau belajar dari mana pun,

termasuk dari masyarakat yang didampingi.

3. Narasumber (‘Aku tahu, Kamu tidak tahu’)

Kebalikan dari jendela di atas, fasilitator berperan sebagai narasumber atau

edukator yang mau berbagi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Pada

posisi ini, fasilitator harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik dan

menguasai metode dan media pembelajaran untuk mentransfer pengetahuan.

4. Mediator (‘Aku dan Kamu tidak tahu’)

Jika keduanya sama-sama tidak memahami topik tertentu, fasilitator tidak

tinggal diam membiarkan ketidaktahuan. Akan tetapi, ia harus berperan

sebagai mediator untuk mencarikan atau menghubungkan dengan

narasumber dari luar kelompok/komunitas.

Mengacu ke Jim Ife (2013), ada empat peran utama pendamping sosial dalam

bekerja bersama para penerima manfaat (Tabel 3,1), yaitu:

1. Peran fasilitatif

Peran ini terkait dengan memberikan motivasi dan dukungan kepada penerima

manfaat. Sejumlah tugas dan peran pendamping sebagai fasilitator adalah

menjadi semacam model, memfasilitasi kelompok, memandu proses dengan

melakukan komunikasi personal yang efektif, melakukan mediasi dan

negosiasi, pengorganisasian, dan mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki

masyarakat.

2. Peran edukasional

Page 54: MODUL 6 - Kemensos

42 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Peran edukasional adalah peran pendamping sebagai pendidik yang

menyampaikan informasi dan memberikan pelatihan untuk meningkatkan

kapasitas para penerima manfaat. Pendidik juga harus mampu menumbuhkan

kesadaran di kalangan penerima manfaat agar mau berpartisipasi aktif dalam

melakukan perubah perilaku. Peran lain adalah melakukan konfrontasi

terhadap penerima manfaat terkait konsekuensi yang akan timbul atas suatu

tindakan atau pembiaran.

Tabel 3.1. Peran dalam pendampingan sosial

1. Fasilitatif a. Komunikasi personal b. Keterampilan dan sumberdaya c. Fasilitasi kelompok d. Animasi sosial e. Mediasi f. Dukungan g. Konsensus h. Pengorganisasian

2. Edukasional a. Penumbuhan kesadaran b. Berbagi informasi c. Melakukan konfrontasi d. Memberikan pelatihan

3. Teknis/Teknikal a. Penelitian b. Komputer c. Presentasi d. Manajemen e. Mengelola keuangan

4. Representasional a. Sumberdaya b. Advokasi c. Media d. Humas e. Berbagi pengetahuan dan pengalaman

Sumber: Ife (2013: 307) dengan perubahan

3. Peran teknis (atau teknikal)

Peran teknis juga dapat dilakukan oleh pendamping dengan melakukan hal-hal

praktis yang terkadang di luar tugas utamanya sebagai pendamping. Misalnya

melakukan penelitian atau investigasi, memanfaatkan dan mengajarkan

Page 55: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 43

keahlian komputer, memberikan presentasi, mengelola keuangan, dan

manajemen organisasi.

4. Peran perwakilan masyarakat

Peran perwakilan atau representasional pendamping ditunjukkan pada saat

menghadapi pihak luar. Pendamping mengatasnamakan dan demi kepentingan

kelompok yang didampingi terkait upaya untuk mengakses sumber luar,

menjalin relasi, membangun jejaring, dan melakukan pembelaan, dan juga

memberikan pelatihan keterampilan tertentu bagi masyarakat.

Keempat peran pendamping tersebut secara utuh ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Bagian berikut ini akan mengulas sejumlah peran dan keterampilan yang dinilai sangat

penting dan dibutuhkan dalam proses pendampingan sosial dan pemberian

pertolongan bagi masyarakat penerima manfaat, terutama peran-peran fasilitatif dan

edukasional. Uraian tentang peran (dan juga keterampilan) berikut sebagian besar

diambil dari Ife (2013).

1. Animasi Sosial

Animasi sosial mencakup kemampuan untuk menginspirasi, menyemangati

(menciptakan antusiasme), mengaktifkan, menstimulasi, memberi energi (energise),

dan memotivasi kelompok atau komunitas penerima pelayanan untuk melakukan

tindakan. Ada enam aspek atau karakteristik yang dibutuhkan agar tujuan dari animasi

sosial berhasil dijalankan, yaitu:

a. Semangat (antusiasme)

b. Komitmen

c. Integritas

Contohnya kejujuran atau tanpa kepura-puraan, amanah, konsisten, dan tidak

manipulatif dalam berinteraksi dengan warga.

d. Komunikasi

Aspek ini sangat penting dikuasai karena animator yang baik mampu

mengkomunikasikan secara jelas dan lugas yang bukan sekadar

Page 56: MODUL 6 - Kemensos

44 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mengkomunikasikan fakta, gagasan dan opini, tetapi juga bagaimana

menunjukkan antusiasme, komitmen, dan integritas yang dimiliki.

e. Pemahaman dan kemampuan analisis yang baik

Kapasitas ini merupakan bagian dari pendekatan praktik reflektif.

f. Kepribadian yang baik.

2. Dukungan

Dukungan dari pendamping diberikan kepada penerima layanan yang terlibat

dalam aktivitas maupun dalam struktur kepengurusan yang ada di komunitas. Bentuk

dukungan dapat berupa pujian atau penguatan kepercayaan diri warga, mengakui dan

menghargai jerih-payah mereka, membesarkan hati mereka ketika menemui

kesulitan, kesediaan untuk menyediakan waktu saat mereka ingin konsultasi atau

diskusi tentang apa saja, dan seterusnya.

Oleh karenanya, dukungan tidak saja besifat formal dalam rapat umum atau

pertemuan kelompok, tetapi juga informal dalam aktivitas keseharian warga.

Dukungan yang bersifat informal, seperti ngobrol santai, duduk ngopi bersama, dan

menyempatkan waktu untuk datang bertandang, justru lebih menentukan

keberhasilan dan efektivitas kerja pendampingan. Dan keterampilan utama yang

menentukan peran ini lagi-lagi adalah komunikasi interpersonal.

3. Pemanfaatan keahlian dan sumber daya

Peran fasilitatif penting lain bagi seorang pendamping selaku pekerja

komunitas adalah mampu mengidentifikasi dan bagaimana mendayagunakan keahlian

dan sumberdaya yang dimiliki kelompok/komunitas. Pemanfaatkan keahlian dan

sumberdaya lokal dapat menstimulasi pengembangan ekonomi.

Untuk tujuan tersebut, tugas pertama seorang pendamping biasanya berupa

upaya menemukan keahlian yang dimiliki warga, yakni dengan cara mendata keahlian

dan pengalaman sebagai sumberdaya ekonomi yang dapat didayagunakan. Upaya lain

adalah mendata potensi alam, bangunan atau kondisi lingkungan yang masih

digunakan ataupun yang terbengkalai, misal bangunan sekolah, gudang, pos ronda,

Page 57: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 45

sawah, pabrik, dan beragam potensi lain.

Jika dua kegiatan iventory tersebut dipertemukan, aktivitas lokal dapat

distimulasi, kemandirian dan ketahanan masyarakat dapat terbentuk, serta potensi

ekonomi lokal diharapkan dapat tumbuh berkembang.

4. Pengorganisasian

Peran fasilitatif lain bagi seorang pendamping adalah peran sebagai organiser.

Organiser adalah orang yang memastikan sesuatu dapat terwujud atau terjadi.

Sebagai ilustrasi, ketika mau mengadakan suatu acara, hal-hal yang harus dipastikan

oleh organiser di antaranya:

a. aula atau tempat pertemuan telah dipesan

b. keterangan pers (press release) telah disusun dan didistribusikan

c. notifikasi untuk pertemaun telah dikirim

d. kopi dan teh telah dipesan untuk disediakan setelah pertemuan

e. cleaning service sudah disiapkan

f. surat izin menyelenggarakan kegiatan sudah dikirim tepat waktu

g. bupati/walikota dan anggota dewan setempat telah diundang

h. sound-system cocok untuk level pertemuan/rapat terbuka

i. tempat khusus untuk mengasuhan/menyusui anak telah disediakan

j. undangan telah disebar

Ketika kelompok/komunitas diorganisir secara tepat dan semua hal telah

dikerjakan, maka segala sesuatu akan berjalan mulus dan akan ada banyak

kesempatan untuk mewujudkan tujuan pengembangan masyarakat.

Terkadang pekerja komunitas melakukan sendiri pengorganisasian tersebut,

namun jika telah berkomitmen penuh terhadap proses pengembangan masyarakat

akan lebih baik jika membantu yang lain menunaikan tanggung jawabnya. Caranya

dengan memberikan dukungan, membangkitan semangat, menasehati atau

mengingatkan secara bijak, dan sebagainya.

Pendamping harus terjun terlibat dalam aktivitas, tidak sungkan membantu

warga untuk hal-hal sepele atau pekerjaan kotor, karena hal ini merupakan satu cara

Page 58: MODUL 6 - Kemensos

46 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

untuk menunjukkan ke warga bahwa pendamping memiliki komitmen penuh

terhadap komunitas.

5. Komunikasi personal

Keterampilan komunikasi interpersonal sangat penting dalam peran fasilitatif

oleh pekerja komunitas. Komunikasi efektif mensyaratakan pendamping memiliki

kapasitas untuk:

a. menginisiasi komunikasi atau percakapan

b. menyimpulkan komunikasi atau percakapan

c. menciptakan dan menjaga atmosfer saling percaya dan menerima

d. menjaga percakapan tetap fokus dan terarah, ketika diperlukan

e. hati-hati/sadari akan pentingnya kondisi fisik ketika sedang melakukan

komunikasi personal

f. mendengarkan secara cermat

g. memahami dan interpretasikan apa yang dikatakan

h. memastikan kondisi orang lain nyaman dan bebas melakukan percakapan

i. mengajukan pertanyaan yang tepat dan sesuai

j. mendorong yang lain untuk melakukan refleksi tentang implikasi dari

pembicaraan/diskusi

k. menyatakan pesan seseorang secara jelas dengan meggunakan bahasa yang

mudah dipahami

l. memberi saran agar komunikasi/percakapan tidak dianggap terlalu serius

ataupun sebagai ancaman

m. memastikan bahwa interaksi bersifat natural, tidak dibuat-buat (genuine) dan

hindari kesan adu kekuatan dan pengaruh (game of power and control)

n. hati-hati dengan perbedaan kultural dan sensitivitas dalam pola/gaya

berkomunikasi (verbal dan non-verbal)

o. menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk mendorong/merangsang

komunikasi

p. memperhatikan batasan dan prioritas waktu orang lain

Page 59: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 47

6. Menumbuhkan Kesadaran

Karakteristik dari penumbuhan kesadaran adalah memiliki tujuan membuka

kesadaran terhadap struktur dan strategi perubahan sosial, dimana setiap orang

dapat berpartisipasi dan melakukan tindakan efektif. Struktur kadang sudah ada

dalam komunitas, namun belum disadari keberadaannya sehingga perlu dibantu

untuk mengenalinya.

Sebagian masyarakat perlu dibantu untuk melihat atau menyadari bagaimana

membangun struktur. Kadang ada yang hanya perlu melibatkan orang agar menyadari

cara untuk mengubah hidup mereka sehingga mereka tidak turut berkontribusi atau

menguatkan struktur yang menindas atau tidak menguntungkan bagi sekelompok

orang.

Ada lagi yang perlu menghubungkan orang dengan aksi kelompok yang sudah

ada, sehingga pendamping hanya mendorong warga agar tidak bersikap apatis dan

pasif dan kemudian melakukan aktivisme tindakan nyata. Aktivisme seringkali dilihat

sebagai aktivitas atau kegiatan bagi kelompok minoritas, sementara masyarakat

umum kurang diperhatikan.

Penekanan pada tanggung jawab setiap warga negara untuk berpartisipasi dan

juga hak untuk berpartisipasi merupakan ciri khas pengembangan masyarakat. Oleh

karena itu, mendorong masyaraat agar ikut berpartisipasi secara aktif sangatlah

penting bagi pendamping.

Dalam konsep Paulo Freire, penumbuhan kesadaran sangat ampuh dan efektif

bila diletakkan dalam konteks realitas keseharian, bukan pada kondisi tertentu. Maka

pendamping harus mampu melihat segala situasi yang memiliki potensi penumbuhan

kesadaran.

Seorang pendamping yang baik selalu mencari peluang melakukan

penumbuhan kesadaran dan dialog, dan juga mampu menghubungan pengalaman

warga dengan konteks sosial, ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang lebih luas.

Sebagai contoh, jalan raya yang padat dan berbahaya dapat membuka ruang diskusi

Page 60: MODUL 6 - Kemensos

48 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

tentang transportasi publik, persoalan tata kota, trotoar yang ramah, atau hak warga

akan keselamatan dan kenyamanan.

Keterampilan dalam upaya menumbuhkan kesadaran para penerima manfaat

meliputi:

a. Kemampuan menghubungkan hal-hal personal dan politik dan kemudian

membantu yang lain melihat hubungan tersebut

b. Mampu mendengarkan dan berkomunikasi

c. Mampu menciptakan hubungan yang dialogis

d. Kemampuan interpersonal dan bekerja dengan kelompok

e. Mempu memotivasi dan bekerja bersama dalam semangat solidaritas.

7. Mediasi dan Negosiasi

Peran mediasi sangat penting dalam menangani konflik antar kelompok di

masyarakat, baik karena perbedaan kepentingan ataupun perbedaan nilai atau cara

pandang terhadap sesuatu.

Sebagai mediator, pendamping harus memiliki keterampilan untuk

mendengarkan dan memahami kedua belah pihak, untuk menangkap posisi atau

pandangan masing-masing, untuk meyakinkan warga agar menghormati posisi dari

pihak yang berseberangan, dan membantu kedua belah pihak mencari wilayah

kesamaan, sehingga kemudian bersama-sama mencapai konsensus.

Berperan sebagai mediator, pendamping harus bersikap netral, tidak berat

sebelah. Namun jika pendamping diidentifikasi tidak bisa bersikap imparsial, ada

keberpihakan ke salah satu kelompok yang berkonflik, maka mediasi tidak bisa

dilakukan.

Keberpihakan pendamping diperlukan khusus untuk isu-isu hak azasi dan

keadilan sosial, misalnya terkait tindakan rasisme, diskriminasi, kekerasan,

penindasan, intoleransi, perundungan (bullying), dan lain-lain. Pada posisi ini,

pendamping masih dapat berperan untuk melakukan sesuatu, yaitu negosiasi. Ketika

melakukan upaya negosiasi, pendamping berada di salah satu pihak yang berkonflik

dan seringkali di pihak yang tidak diuntungkan.

Page 61: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 49

Keterampilan utama yang dibutuhkan untuk memainkan kedua peran tersebut

di antaranya resolusi konflik, skill komunikasi, praktik dengan kelompok (group skills),

dan lain-lain.

Peran mediasi dan negosiasi sangat penting dalam penanganan konflik,

khususnya resolusi konflik, dan juga proses pengambilan keputusan yang

menguntungkan kedua belah pihak yang berseteru (win-win solution). Keterampilan

khusus tersebut lebih tepat untuk dipelajari dalam diklat pendamping sosial tingkat

lanjut.

8. Melakukan Konfrontasi

Istilah konfrontasi dalam kerja pendampingan terdengar bertentangan dengan

prinsip anti-kekerasan, inklusivitas, dan konsensus. Namun, sebetulnya tidak

demikian. Terkadang ditemui kondisi tertentu di lapangan yang mengharuskan

pendamping mencegah atau menghentikan tindakan/kegiatan kelompok untuk

menghindari dampak yang lebih serius.

Penting bagi seorang pendamping agar berpikir cermat sebelum melakukan

taktik konfrontasi. Ketika harus dilakukan, warga komunitas dikonfrontasikan dengan

konsekuensi dari aksi/tindakan atau perilaku mereka, bukan dengan kelompok lain.

Berikut ini adalah beberapa contoh kondisi kapan tindakan konfrontasi dapat

dilakukan:

a. Kelompok komunitas melakukan tindakan yang bisa mengarah ke masalah

serius, sehingga pendamping perlu mengkonfrontasi mereka terkait

konsekuensi dari tindakannya. Misalnya kejadian pelecehan seksual terhadap

anak oleh komunitas ingin ditutup-tutupi dan dibiarkan karena pelaku adalah

orang penting di komunitas. Maka konfrontasi sangat penting untuk

mencegah munculnya korban anak yang lain.

b. Konfrontasi diperlukan untuk mencegah implikasi hukum atas tindakan

individu atau kelompok. Konfrontasi dilakukan agar komunitas memahami dan

menerima tanggung jawab hukumnya.

Page 62: MODUL 6 - Kemensos

50 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

c. Jika di masyarakat muncul isu-isu moral atau prinsipil, misalnya isu rasisme,

seksisme, perusakan lingkungan, atau membahayakan kesehatan.

d. Dinamika internal dalam komunitas/kelompok, misalnya dalam suatu

kelompok ada anggota yang berperilaku sembrono, sangat mengganggu,

menghalang-halangi kegiatan, atau membuat frustrasi anggota kelompok lain.

9. Membangun Konsensus

Dalam pengembangan masyarakat, pendekatan konsensus berbeda dari

pendekatan konflik. Pendekatan konsensus bahkan digunakan untuk menentang

pendekatan konflik, yang biasa diterapkan dalam urusan sosial, ekonomi, dan politik.

Nilai konsensus dan prinsip kerjasama menggantikan nilai konflik dan semangat

kompetisi.

Peran membangun konsensus merupakan kelanjutan dari peran mediasi.

Peran ini mencakup upaya penekanan pada tujuan bersama, identifikasi kesamaan,

dan membantu masyarakat menghasilkan konsensus yang diterima semua pihak.

Upaya membangun konsensus membutuhkan waktu lebih lama daripada

menerapkan aturan mayoritas (majority rule) dimana yang paling banyak suara yang

dipakai. Aturan ini dilakukan misalnya dengan voting atau aklamasi. Hasil dari

membangun konsensus atau musyawarah untuk mufakat biasanya lebih baik dan

disukai karena lebih menunjukkan adanya solidaritas dan komitmen bersama.

Dalam membangun konsensus, pendamping perlu menguasai skill

mendengarkan, berempati, membingkai ulang (reframing), dan komunikasi.

Reframing artinya apa yang dikatakan warga diterima dan dikemas ulang untuk

memunculkan dialog dan kemudian menjadi masukan, bukan dikonfrontasi dan ujung-

ujungnya ditolak.

Membangun konsensus merupakan salah satu cara atau model dalam

pengambilan keputusan. Khususnya dalam bidang pekerjaan sosial, keputusan yang

akan diambil dapat menyangkut isu, masalah, atau bahkan dilema yang bersifat etis.

Hal ini justru sering terjadi dan dijumpai pendamping di masyarakat. Oleh karena itu,

keterampilan pengambilan keputusan yang bersifat etis harus dimiliki pendamping

Page 63: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 51

untuk menghindari risiko atau kerugian, baik bagi masyarakat penerima manfaat

maupun bagi pendamping itu sendiri.

10. Fasilitasi Kelompok

Pekerja komunitas seperti halnya kebanyakan pendamping sosial lebih banyak

bekerja bersama kelompok, bukan dengan masyarakat atau komunitas yang lebih luas.

Bahkan interaksi dengan beragam kelompok menjadi tolok ukur keberhasilan seorang

pendamping dalam melakukan pendampingan sosial. Ragam kelompok yang

dimaksud dapat berupa kelompok aksi, kepanitiaan, tim perencana, kelompok

penumbuhan kesadaran, kelompok pelatihan, kelompok satuan tugas, kelompok

mandiri atau swabantu, ataupun badan musyawarah desa/kelurahan setempat atau

dewan syuro suatu organisasi.

Aktivitas dalam kelompok tidak melulu berupa pembicaraan atau diskusi antar

anggota, namun bisa juga berupa aktivitas membangun rumah, melukis, pengasuhan/

perawatan anak, berkebun, olah raga, atau kegiatan fisik lain. Namun pada intinya,

segala bentuk kelompok membutuhkan fasilitasi yang baik.

Pendamping sosial atau pekerja komunitas dapat memimpin,

mengkoordinasikan, atau mengarahkan diskusi dan/atau pertemuan kelompok, baik

secara formal maupun informal. Fasilitasi kelompok dapat berarti mengadakan

pembicaraan dengan anggota kelompok di luar pertemuan, mendorong mereka untuk

berpartisipasi dan memancing mereka untuk berpikir dan berkontribusi dalam

pertemuan.

Fasilitasi juga berarti menginventarisir berbagai pendapat/gagasan/masukan

dalam kelompok, menjamin semua anggota kelompok merasa dihargai dan menjadi

bagian dari kelompok, merefleksikan dan menafsirkan apa yang mereka katakan,

menyimpulkan, merangkai kata menjadi kalimat pernyataan yang pas, menyuarakan

dan menyampaikan pandangan anggota yang tidak hadir, dan mampu menggunakan

ragam teknik kelompok, semisal curah-pendapat.

Kapasitas yang dibutuhkan sebagai pendamping dalam melakukan fasilitasi

kelompok adalah sebagai berikut:

Page 64: MODUL 6 - Kemensos

52 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

a. Observasi dan peka terhadap dinamika kelompok

b. Peka terhadap faktor budaya dan gender yang dapat meghalangi orang untuk

berpartisipasi penuh

c. Pahami pentingnya kondisi fisik lingkungan, misal posisi tempat duduk,

susunan kursi dan meja, kondisi suhu ruangan

d. Atur kondisi fisik lingkungan yang positif dan nyaman, semacam pengaturan

tempat duduk, pencahayaan, dan lain-lain

e. Berbicara dalam kelompok sehingga semua anggota fokus memperhatikan

f. Tunjukkan kepemimpinan dalam proses fasilitasi kelompok, sejauh dirasa perlu

g. Dorong yang lain agar mampu tunjukkan peran kepemimpinan dan fasilitasi

h. Libatkan semua peserta yang hadir dalam diskusi, yakni dengan memancing

dan mendorong peserta yang irit berbicara serta membatasi yang dominan

i. Interpretasikan dan refleksikan apa yang dikatakan sehingga semua anggota

paham

j. Arahkan dan bantu kelompok mencapai konsensus

k. Lakukan persiapan sebelum pertemuan dan bantu yang lain melakukan hal

yang sama

l. Ambil peran sebagai pemimpin resmi dalam pertemuan atau rapat

m. Bantu mempersiapkan anggota lain untuk memimpin suatu pertemuan

n. Dalam mengatur agenda pertemuan, konsultasikan dengan anggota kelompok

o. Sempatkan waktu untuk merekam/mencatat proses/hasil pertemuan

p. Upayakan pertemuan selalu tepat waktu

q. Hindari kelompok keluar jalur

r. Hindari kelompok dari perpecahan atau kubu-kubuan (terkotak-kotak)

s. Ketahui aturan prosedur pertemuan formal, dan upayakan untuk

menerapkannya sejauh tepat dan sesuai

t. Bingkai resolusi (atau kesepakatan) formal

u. Interpretasikan dan jelaskan hal-hal pokok yang mendasar

v. Gunakan humor untuk menurunkan tensi dan membangun solidaritas

Keterampilan kerja kelompok dapat diperoleh melalui pelatihan formal, namun

Page 65: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 53

terkadang tidak selalu relevan karena sangat terfokus pada lingkungan kelompok

terapeutik. Yang lebih baik untuk membangun keterampilan kerja kelompok adalah

dengan mempraktikkan langsung secara reflektif dan kritis.

Hal itu akan melatih pendamping untuk:

a. menemukan cara agar menjadi lebih sensitif terhadap perannya di setiap

situasi kelompok,

b. mendapatkan tanggapan/respons dari yang lain,

c. mengamati,

d. membaca situasi,

e. memperhatikan bagaimana anggota bekerja, dan belajar dari pengalaman

pribadi, entah gagal atau berhasil.

11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan

Pendamping dapat berperan menyampaikan informasi yang relevan dan

dibutuhkan bagi komunitas, misalnya informasi tentang demografi, indikator sosial,

profil komunitas, dan lain-lain. Profil sangat penting bagi suatu komunitas untuk

merencanakan bagaimana pemenuhan kebutuhan warganya dan bagaimana

melibatkan sebanyak mungkin warga dalam proses pengembagan masyarakat. Profil

juga dapat dimanfaatkan untuk mengangkat apa yang istimewa atau berbeda tentang

komunitas dibanding komunitas lain atau secara umum.

Pendamping sejatinya memiliki posisi yang sangat strategis untuk

menyampaikan berbagai informasi tentang:

a. Program atau kegiatan komunitas lain, sehingga bisa belajar dari keberhasilan

dan kegagalan komunitas tersebut.

b. Sumberdaya dari luar yang dapat dimanfaatkan, misalnya panduan

pembuatan proposal pengajuan dana, sumber keahlian, paket pelatihan, dan

lain-lain. Meskipun begitu, sumberdaya lokal tidak boleh dipandang enteng,

sesuai dengan prinsip ketahanan diri.

c. Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi komunitas, baik langsung maupun

tidak langsung. Misalnya, terkait rencana penutupan pabrik manufaktur atau

Page 66: MODUL 6 - Kemensos

54 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

rencana pembangunan jalan tol yang akan membelah dan memisahkan

wilayah mereka. Pendamping mngkin harus jadi orang pertama yang

mengetahui rencana semacam itu.

Peran edukatif yang paling spesifik oleh seorang pendamping adalah

mengajari atau melatih orang bagaimana melakukan sesuatu. Kegiatan pelatihan

dapat dilakukan dengan mendatangkan pelatih, entah dari dalam ataupun dari luar

komunitas. Namun, terkadang lebih tepat jika pendamping lah yang memberikan

pelatihan kepada komunitas dampingannya. Adapun tema atau bidang pelatihan

dapat mencakup:

a. Hal-hal yang praktis dan spesifik terkait proses Comdev atau bagaimana

mengelola komunitas, misalnya pelatihan mengelola perpustakaan, tata cara

atau prosedur pertemuan, atau pembuatan keputusan konsensus

b. Pelatihan terkait tugas (task) kelompok komunitas yang menjadi bidang

garapannya, misal terkait perawatan lansia, bagaimana membuat taman

bermain untuk anak, dan sebagainya.

c. Pelatuhan terkait kebutuhan khusus kelompok, seperti pelatihan literasi,

kepemimpinan, motivasi, perencanaan penganggaran, nutrisi, dan lain-lain.

d. Di setting lain, pelatihan terkadang lebih bersifat rekreasional atau kultural

dalam rangka memperkaya pola atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan

dasar mereka. Misalnya pelatihan panjat tebing, public speaking, penulisan

kreatif, fotografi, musik, dan sebagainya.

e. Pelatihan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi, misalnya pelatihan

untuk membekali keterampilan yang mendukung mereka untuk memperoleh

pekerjaan atau untuk berwira usaha (social entrepreneurship).

Page 67: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 55

Dalam bab ini Anda telah diperkenalkan dengan sejumlah peran dan

keterampilan fasilitasi. Berangkat dari ‘Jendela Johari’, fasilitator dapat memainkan

kemungkinan peran sebagai: moderator, motivator, narasumber, atau mediator.

Mengacu pada Jim Ife (2013), peran pendamping sosial sebagai berikut:

1. Animasi sosial

2. Dukungan

3. Pemanfaatan keahlian dan sumberdaya

4. Pengorganisasian

5. Komunikasi personal

6. Penumbuhan kesadaran

7. Mediasi dan negosiasi

8. Melakukan konfrontasi

9. Membangun konsensus

10. Fasilitasi Kelompok

11. Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan

Dalam pembahasan kasus, Anda juga diasah untuk melakukan analisis

terhadap situasi tertentu agar Anda mulai terlatih untuk menentukan peran apa saja

yang dapat dimainkan dan keterampilan seperti apa yang dibutuhkan. Selain sejumlah

peran yang dibahas di sini, ada lagi salah satu peran representasional yang sangat

penting, yaitu advokasi. Tema ini dibahas dalam modul terpisah, yaitu Modul Advokasi

dalam Pendampingan Sosial.

C. RANGKUMAN

Page 68: MODUL 6 - Kemensos

56 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

LK. 6.3. Konstruksi dan Pembahasan Kasus Pendampingan (60 menit)

1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 3 kelompok

2. Seluruh anggota setiap kelompok mendiskusikan pengalaman konkret di

lapangan. Esai tentang refleksi pengalaman lapangan pada LK. 6.1 dapat

menjadi bahan/sumber diskusi. Pilih salah 1 yang sesuai dengan tema yang

dipilih, kemudian gali pengalaman tersebut. Output dari langkah ini adalah

sebuah konstruksi kasus.

3. Tuliskan hasil konstruksi kasus tersebut

4. Bahas dan kaitkan pengalaman tersebut dari sisi:

a. Peran dan keterampilan fasilitasi apa yang telah dilakukan/ditunjukkan

b. Peran dan keterampilan apa lagi yang seharusnya dilakukan?

5. Tuangkan hasil diskusi tersebut pada kertas plano.

6. Presentasikan hasilnya dan beri kesempatan tanya jawab

7. Debriefing hasil diskusi

1. Berpatokan pada ‘Jendela Johari’, ebutkan dan jelaskan secara singkat peran-

peran fasilitator.

2. Sebutkan peran/keterampilan fasilitatif pendamping sosial, empat saja.

Jelaskan masing-masing peran secara singkat.

3. Apa perbedaan antara peran mediasi dan negosiasi? Jelaskan pada saat

kondisi apa keduanya digunakan?

E. EVALUASI

D. LEMBAR KERJA

Page 69: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 57

4. Keterampilan menumbuhkan kesadaran diperlukan pada kondisi seperti apa

saja yang sekiranya cocok?

5. Pada saat apa atau kondisi seperti apa seorang pendamping harus

melakukan konfrontasi terhadap kelompok?

6. Apa yang Anda pahami tentang upaya membangun konsensus dan

keterampilan apa saja yang dibutuhkan dalam melakukan upaya tersebut.

Kerja pendampingan yang dilakukan pendamping sosial dianggap identik

dengan kerja komunitas. Jim Ife (2013) dalam bukunya, Community Development in

a`n Uncertain World, menyebutkan empat peran dalam kerja komunitas: fasilitatif,

edukasional, representasional, dan teknikal (p. 307). Karena keterbatasan ruang,

peran fasilitasi dalam pokok bahasan ini hanya mengambil dua peran pertama,

fasilitatif dan edukasional, karena sangat penting dan relevan.

Sebetulnya, sebagian keterampilan dalam peran representasional dan teknikal

juga relevan bagi para pendamping. Oleh karena itu, Anda dapat memasukkan kedua

peran tersebut dalam pembelajaran diklat sejauh waktu cukup tersedia. Minimal

Anda bisa memperkenalkan keduanya kepada peserta untuk memperkaya

pengetahuan mereka.

Enam pertanyaan yang diangkat dalam evalusi di atas setidaknya mampu

dijawab empat pertanyaan, sehingga Anda dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan

pembelajaran. Namun jika masih belum merasa yakin dapat menjawab empat di

antaranya, Anda dapat membaca kembali pokok bahasan 2 dalam modul ini.

F. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT

Page 70: MODUL 6 - Kemensos

58 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Page 71: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 59

BAB IV TEKNIK FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL

Selaku pendamping Anda pasti sering mengadakan pertemuan sekaligus

memimpin untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka sosialisasi atau

penyuluhan program, pertemuan kelompok untuk curah pendapat merencanakan

suatu kegiatan, upaya untuk penumbuhan kesadaran, dan juga pengambilan

keputusan. Sebagian juga mungkin pernah memberikan pelatihan untuk peningkatan

atau pembekalan keterampilan tertentu bagi suatu komunitas. Bahkan mungkin Anda

pernah menemui perbedaan pendapat antara dua kelompok di masyarakat sehingga

Anda harus membantu dalam proses pengembilan keputusan yang mampu

mengakomodasi semua pandangan dan kepentingan.

Pada Box 4.1. digambarkan situasi faktual negara kita saat ini. Dari kondisi

faktual tersebut, tindakan apa yang akan Anda lakukan selaku pendamping sosial di

wilayah dampingan masing-masing? Sebelum melakukan tindakan di lapangan,

mungkin Anda akan berkoordinasi dulu dengan sejumlah pihak yang dapat dihubungi

untuk berkonsultasi dan mencari informasi. Suatu pertemuan virtual dengan pihak-

pihak yang dapat membantu mungkin juga dilakukan terlebih dahulu untuk

memutuskan tindakan yang tepat. Berikutnya, bisa jadi Anda akan mengadakan

pertemuan dengan kelompok penerima manfaat yang Anda dampingi dengan tujuan

menyampaikan informasi, melakukan penyadaran, dan meningkatkan kapasitas

mereka untuk mencegah penularan. Pertemuan tersebut tentunya dengan tetap

menjaga protokol kesehatan.

A. DESKRIPSI SINGKAT

Page 72: MODUL 6 - Kemensos

60 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

BOX 4.1 Sejak awal 2020 virus novel corona (Covid-19) mulai menyerang kota Wuhan, China. Virus mematikan ini dengan mudah tersebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejak kasus pertama ditemukan, Pemerintah bersama masyarakat melakukan upaya keras bahu-membahu untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di antaranya adalah himbauan menjaga jarak sosial dan/atau fisik (social/physical distancing), sering mencuci tangan dengan sabun, dan pola hidup sehat dengan olahraga teratur dan makan bergizi. Namun masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengindahkan anjuran pemerintah dan protokol kesehatan dari petugas medis.

Kondisi tersebut mendorong Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara, untuk meminta SDM kesejahteraan sosial agar turut berkontribusi dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Selaku pendamping sosial, Anda sudah diminta secara langsung oleh Menteri Sosial. Tindakan apa yang akan Anda lakukan di wilayah masing-masing?

Pada bab sebelumnya telah disampaikan bahwa pendamping menjalankan

berbagai peran dalam pendampingan, entah sebagai broker, mediator, fasilitator, atau

pendidik. Namun, keterampilan fasilitasi harus dikuasai tidak saja ketika pendamping

berperan sebagai fasilitator. Melainkan, kemampuan melakukan tersebut juga sangat

penting dalam memerankan mediator, broker, pendidik atau pelatih (edukator), dan

berbagai peran lain.

Untuk proses fasilitasi yang sifatnya langsung tatap muka dan harus

mengumpulkan banyak orang dalam ruangan atau di suatu tempat terbuka, di sini

akan dijelaskan prinsip dan pola partisipasi dalam pertemuan kelompok dan

Page 73: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 61

pembelajaran untuk orang dewasa. Pertemuan kelompok yang dimaksud bisa dalam

konteks diskusi, curah pendapat, penumbuhan kesadaran, atau dalam pengambilan

keputusan. Berikutnya disajikan sejumlah teknik fasilitasi yang sifatnya praktis yang

dapat diterapkan dalam sejumlah konteks tersebut.

Pertemuan yang dimaksud di sini bisa dalam berbagai konteks yang melibatkan

kelompok, komunitas, atau masyarakat penerima manfaat. Contoh bentuknya dapat

berupa pertemuan biasa, diskusi, sarasehan, rembugan, curah pendapat, pembuatan

konsensus, pengambilan keputusan, musyawarah RT/RW atau desa, penyuluhan,

pelatihan atau pembelajaran. Tahapan yang dilalui dan proses yang terjadi akan

sangat beragam pula.

Melihat kembali contoh kasus pada Box 4.1, sejumlah kemungkinan tindakan

yang Anda lakukan dapat berupa pertemuan awal dengan sejumlah pihak dan

mengadakan semacam penyuluhan dan/atau pelatihan untuk peningkatan kapasitas.

Untuk melakukan hal ini tentu membutuhkan teknik-teknik fasilitasi tertentu.

Misalnya terkait bagaimana mengkomunikasikan gagasan untuk meyakinkan sejumlah

pihak, bagaimana proses menentukan keputusannya, dan bagaimana menyampaikan

informasi yang tepat dan mudah dipahami oleh kelompok atau komunitas dampingan.

Selain itu, Anda juga diharapkan mampu membekali keterampilan bagi mereka

tentang bagaimana menerapkan protokol kesehatan dalam keseharian.

Sebelum mempelajari sejumlah teknik fasilitasi untuk melakukan berbagai

kemungkinan tersebut, di sini akan dijelaskan secara sekilas tahapan dalam

pertemuan/diskusi dan sejumlah prinsip pembelajaran orang dewasa.

B. FASILITASI DALAM PERTEMUAN

Page 74: MODUL 6 - Kemensos

62 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

1. Tahapan dan Proses Pertemuan

Pertemuan atau diskusi untuk membahas apapun memiliki tahapan tertentu

agar tujuannya tercapai. Secara garis besar, ada lima tahapan pertemuan atau diskusi

menurut Hogan (2003: 214). Seperti terlihat pada Gambar 4.1, tahapan tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Ungkap masalah

Menyampaikan informasi tentang suatu masalah atau isu.

b. Umpan balik

Mendiskusikan sebab-sebabnya dan bagaimana masalah muncul dan meluas.

c. Penyelesaian masalah

Bagaimana dan dengan menggunakan cara apa saja untuk menyelesaikan

masalah tersebut.

d. Pengambilan keputusan

Solusi yang mana yang akan dipilih kemudian diterapkan.

e. Rencana aksi

Siapa akan melakukan apa, kapan, dan sumberdaya apa saja yang digunakan.

Ungkap Masalah

Umpan Balik

Penyelesaian Masalah

Pengambilan keputusan

Rencana Aksi

Gambar 4.1. Tahap dalam pertemuan/diskusi Sumber: Hogan (2003: 214, dengan perubahan)

Page 75: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 63

Setting atau layout pertemuan/diskusi juga dapat bersifat tradisional maupun

interaktif. Pertemuan setting tradisional berpusat pada pemimpin pertemuan

(Gambar 4.2). Sedangkan dalam pertemuan interaktif, format dan hasil pertemuan

akan menjadi perhatian utama. Interaksi tidak hanya bersifat dua arah antara

pendamping dan peserta, tetapi multi-arah. Pendamping berperan sebagai fasilitator

yang berkedudukan sama dengan anggota kelompok. Lihat Gambar 4.3.

Gambar 4.2. Layout pertemuan tradisional

Gambar 4.3. Layout pertemuan interaktif

Pada layout pertemuan interaktif, biasanya ada papan (board) untuk menulis

atau menempelkan kertas plano. Papan tulis atau kertas plano diletakkan di depan

untuk menuangkan hasil kesepakatan pertemuan/diskusi. Hasil kesepakatan ini dapat

Page 76: MODUL 6 - Kemensos

64 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

dipegang dan direkam oleh siapapun sebagai acuan tidak saja bagi fasilitator atau

pemimpin pertemuan/diskusi, tetapi juga bagi semua anggota. Tujuannya agar data

dan/atau segala hasil kesepakatan tidak diubah sembarangan oleh satu atau dua

orang saja. Struktur atau format tulisan pada papan tergantung pada tujuan. Misalnya

ketika membahas suatu rencana aksi, yang ditulis dapat meliputi 4W (what, who,

when, dan where): agenda dan/atau rincian agenda, rencana/tindakan, nama

penanggung jawab (siapa melakuan apa), kapan, dan dimana.

2. Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa

Ada sejumlah prinsip pembelajaran orang dewasa yang dapat diterapkan

dalam pertemuan kelompok atau komunitas, dimana pendamping berperan sebagai

fasilitator yang memberikan penyuluhan ataupun pelatihan. Vella (2002) menghimpun

12 prinsip dan praktik pembelajaran sebagai berikut:

a. Identifikasi kebutuhan.

Minta partisipasi dari peserta untuk mengidentifikasi atau menamai apa yang

dipelajari.

b. Keamanan

Peserta dibuat aman dan nyaman dari sisi lingkungan fisik dan proses

pembelajaran. Tempat pertemuan yang aman dan suasana belajar yang

nyaman akan membuat betah peserta dan mau kembali lagi di pertemuan

berikutnya.

c. Hubungan yang baik

Bangun hubungan baik antara fasilitator dan peserta.

d. Sekuensi dan penguatan

Materi dibuat runtut dan harus ada penekanan untuk menaati kesepakatan

yang telah dibuat.

e. Praktik

Melakukan praktik disertai refleksi pembelajaran atau disebut juga belajar

sambil praktik.

f. Rasa hormat (respek)

Page 77: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 65

Kontribusi dan pengalaman peserta harus dihargai. Peserta juga dihormati

sebagai pengambil keputusan. Mereka akan semangat belajar sesuatu yang

baru ketika pendapat dan pengalaman mereka diakui.

g. Ide, perasaan/afeksi, dan aksi. Koneksi atau koherensi antara pikiran,

perasaan, dan perbuatan.

h. Manfaat langsung

Orang dewasa butuh manfaat atau kegunaan langsung dari hasil belajar terkait

pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

i. Kejelasan peran

Peran yang jelas mana guru mana murid dapat berdampak pada komunikasi

dan proses pembelajaran. Pembelajaran orang dewasa membutuhkan

hubungan yang setara antara fasilitator dan peserta dan antar mereka sendiri.

Dan memahami peran mereka membutuhkan waktu dan penyesuaian.

j. Kerja tim

Fasilitator harus mendorong peserta untuk bekerja sama dan saling

membantu. Hal ini dapat membuat masing-masing peserta merasa nyaman

dan tidak merasa ditinggalkan sendiri dalam proses pembelajaran. Hasil

belajar juga akan lebih mudah diterapkan dalam keseharian.

k. Keterlibatan

Keterlibatan semua peserta secara aktif merupakan prinsip penting untuk

menjamin kualitas pembelajaran kelompok. Orang dewasa lebih cepat

memahami ketika mereka turut terlibat secara aktif dalam proses

pembelajaran, dari pada hanya pasif menerima informasi.

l. Akuntabilitas

Skenario pembelajaran harus jelas bagi peserta. Peserta dipastikan memahami

apa aktivitas yang harus dilakukan dalam pembelajaran dan bagaimana

mempraktikkan apa yang tealh dipelajari.

Selain 12 prinsip tersebut, Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi

Pertemuan Bulanan Kelompok PKH (Anonim, tt.) menambahkan sejumlah prinsip

Page 78: MODUL 6 - Kemensos

66 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

sebagai berikut:

m. Aturan 20/40/80

Efektivitas pesan secara audio hanya 20%, visual 40%, dan gabungan audio-

visual ditambah praktik 80%. Maka, praktik dalam pembelajaran harus

dimaksimalkan.

Untuk melengkapi aturan terebut, di sini ditambahkan informasi dari Loch

(2010). Seperti terlihat pda Gambar 4.4, persentase pesan yang diingat

pembelajar untuk aktivitas membaca tidak lebih dari 10%. Berikutnya

mendengarkan (20%), melihat (30%), melihat dan mendengar (50%), dan

berbicara (80%). Aktivitas yang paling efektif untuk diingat para pembelajar

adalah berbicara dan melakukan, yakni mencapai 90%.

Gambar 4.4. Persentase aktivitas pembelajaran yang diingat

Sumber: Loch (2010: 10)

n. Relevansi dengan pengalaman sebelumnya

Ini terkait dengan prinsip manfaat langsung di atas bahwa orang dewasa lebih

suka dan lebih cepat mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru yang

masih ada kaitan dengan apa yang telah diketahui dan dapat dilakukan di

kehidupan nyata. Harus ada relevansi langsung yang dapat segera mereka

gunakan atau terapkan dalam aktivitas keseharian. Relevansi masa depan juga

BACA

DENGAR

LIHAT

LIHAT & DENGAR

BICARA

BICARA & LAKUKAN

Page 79: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 67

penting bahwa apa yang mereka pelajari berguna untuk masa yang akan

datang.

o. Motivasi ingin belajar

Keinginan untuk belajar membuat orang dewasa lebih cepat menangkap

materi pembelajaran. Maka fasilitator harus menciptakan suasana atau kondisi

yang membuat peserta termotivasi.

p. Kejelasan pesan

Pesan yang disampaikan di depan peserta harus jelas, yakni dengan kalimat

sederhana, lugas, dan mudah dipahami peserta. Akan lebih efektif jika pesan

yang disampaikan diperkuat dengan visualisasi.

q. Umpan balik

Melalui umpan balik fasilitator dapat mengetahui bagian mana yang telah

dipahami dan mana yang belum atau dapat melihat sisi kekuatan dan

kelemahan peserta.

r. Pengakuan (konfirmasi)

Dengan perhatian dan pujian terhadap hal-hal kecil atau sepele, peserta akan

menyadari bahwa setiap kemajuannya dalam pembelajaran sangatlah berarti.

s. Dialogis interaktif (dua-arah)

Pembelajaran dilakukan secara dialogis tentang topik apa saja terkait

pengalaman hidup peserta. Fasilitator mengajak mereka untuk mempelajari

sikap atau perilaku baru yang masih terkait dengan pengalaman hidup mereka.

Dalam rangka mengembangkan suasana pembelajaran orang dewasa yang

nyaman dan menyenangkan, Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi Pertemuan

Bulanan Kelompok PKH (Anonim, tt.) di atas juga memberikan sejumlah tips sebagai

berikut:

a. Tempat yang cukup lega dan nyaman

b. Perlengkapan seperlunya

c. Mengelola tempat duduk

d. Menggunakan/memanggil nama partisipan/peserta

e. Membantu peserta menghapal nama

Page 80: MODUL 6 - Kemensos

68 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

f. Komunikasi non-verbal (non kata-kata)

g. Teknik mendengarkan aktif (menyimak)

h. Teknik menyatakan kembali (parafrase)

Sebagian tips tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam subbab teknik

fasilitasi dalam pertemuan berikut ini.

Sejumlah teknik yang dihimpun di sini merupakan teknik dasar fasilitasi bagi

para pendamping sosial dalam melakukan pertemuan dengan kelompok atau

komunitas penerima manfaat. Konteks pertemuan yang dimaksud dapat berupa

diskusi, pembuatan kesepakatan, dan pembelajaran atau pelatihan dalam rangka

peningkatan kapasitas penerima manfaat. Teknik dasar fasilitasi tersebut terdiri dari:

teknik bertanya, mendengarkan aktif, komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi terbuka,

curah pendapat, chartwriting, penggunaan media dalam fasilitasi, teknik fasilitasi

dalam pembuatan kesepakatan, dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit. Khusus untuk

komunikasi dialogis, teknik dasar fasilitasi ini dibahas dalam modul tersendiri, yaitu

Modul Komunikasi dalam Pendampingan Sosial.

1. Teknik Bertanya

Teknik bertanya dalam dalam melakukan fasilitasi dapat diuraikan dalam

sikap/perilaku fasilitatif yang diperlukan ketika bertanya; prinsip bertanya; teknik

bertanya, dan teknis mengajukan pertanyaan.

a. Sikap/perilaku fasilitatif dalam bertanya (Hogan, 2003)

Menggali gagasan

- Meminta/menggali penjelasan peserta

- Menggali pikiran peserta lebih dalam

- Mencoba mengungkap maksud di balik ucapan peserta

C. TEKNIK FASILITASI DALAM PERTEMUAN

Page 81: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 69

Pikiran terbuka

- Mendorong pemikiran kreatif

- Pertanyaan implisit/tidak langsung.

Misalnya: Saya penasaran dengan ... ; Saya masih bertanya-tanya

bagaimana Anda akan menerapkan hal itu?

Fokus dan runtut

- Mengurutkan

- Melacak/merinci

Maksimalkan partisipasi

- Mendorong atau memancing pertanyaan/pendapat/ide

- Menyeimbangkan (mempersilakan pendapat yang berbeda atau

berlawanan)

- Memberi ruang/kesempatan (kepada peserta untuk berpendapat. Atau

dengan Round Robin untuk semua peserta untuk memberi kesempatan

berbicara)

- Memberi waktu berpikir sejenak

Mendengarkan pendapat umum

- Menyimpulkan (perbedaan dan kesamaan)

Mempercepat, namun bukan berarti diburu-buru

- Perhatikan waktu

Tantangan

- Memberi perintah/pesan secara implisit atau tidak langsung. Misalnya:

sepulang dari pertemuan ini Anda mulai mempraktikkannya di rumah

bersama pasangan dan anak-anak.

- Gunakan intonasi, ritme, penekanan, atau kecepatan berbicara

Masukan kognitif

- Susun atau gunakan cerita tertentu yang dapat memuat atau

menggambarkan hal-hal yang abstrak dalam hidup.

Metaprocessing

Page 82: MODUL 6 - Kemensos

70 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

- Diskusi proses. Misalnya: Apa yang sedang terjadi sesaat dalam

kelompok? Apakah Anda tetap mengikuti aturan main bersama?

Pinning down the wafflers

- Mengumpulkan contoh dan persepsi: Meminta peserta untuk berbicara

yang jelas dan spesifik, dengan mengambil contoh untuk menghindari

generalisasi.

- ‘Saya’ bukan ‘kami’: menghindari sikap atau posisi mengatasnamakan

semua, padahal hanya pendapat pribadi.

b. Prinsip bertanya (Anonim, tt.):

Mulailah dengan pertanyaan yang mudah ditanggapi

Gunakan kalimat pendek, gamblang, dan sederhana dengan bahasa

keseharian

Hindari menggunakan bahasa/istilah abstrak, teoretis konseptual,

akademis/ilmiah

Di awal, gunakan pertanyaan terbuka (yang memungkinkan banyak

jawaban, tanpa dibatasi) dan hindari pertanyaan tertutup (yang jawabannya

mengarah ke ya/tidak, tahu/tidak tahu, ada/tidak ada, dan lain-lain).

Bertanya hanya satu topik, tidak dua atau lebih sekaligus.

Berikan waktu peserta untuk berpikir, terutama untuk pertanyaan agak

sulit. Tetapi tidak membiarkan terlalu lama. Sekiranya kurang dari 10 detik.

Hindari bertanya langsung dengan pertanyaan kenapa atau mengapa di

awal.

Sebaiknya hindari pertanyaan yang menggiring atau mengarahkan (leading)

sehingga terkesan menjebak, kecuali jika diperlukan untuk mengunci

komitmen untuk melakukan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata.

Mengarahkan dalam rangka merinci komitmen/kesediaan.

Siapkan alur atau rute pertanyaan, misal dari hal-hal umum ke yang lebih

terperinci. Dari tur besar ke tur kecil.

Ada baiknya fasilitator bertanya sambil mengikuti rangkaian cerita

Page 83: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 71

pembicara. Maksudnya, pertanyaan yang diajukan selalu terkait dengan

cerita, tidak berdiri sendiri.

c. Beberapa teknik bertanya (Anonim, tt.):

Teknik tur besar dan tur kecil atau bertanya dari yang umum ke yang detail.

Pertanyaan apresiatif – pertanyaan pengecualian

Terkadang diskusi dalam pertemuan berkembang ke arah negatif yang

membahas soal kegagalan, masalah, atau hambatan sehingga membawa ke

pesimisme. Maka, fasilitator dapat menngunakan pertanyaan pengecualian

untuk mengarahkan diskus ke hal-hal yang membangkitkan optimisme.

Pertanyaan pihak ketiga

Dipakai ketika fasilitator membahas kebiasaan buruk yang mungkin

dilakukan peserta. Untuk menghindari ketersinggungan atau merasa

dipojokkan, caranya adalah dengan menceritakan kelompok lain.

d. Teknis mengajukan pertanyaan (Pusdiklat JPPPIW, 2017: 66):

Pertanyaan yang diangkat singkat dan jelas, tidak panjang lebar. Pastikan

bahwa peserta merasa jelas dengan pertanyaan yang diajukan, terutama

jika ditujukan untuk peserta tertentu.

Hindari bertanya yang membuat peserta “gelagapan” atau menjadi gugup.

Pertanyaan-pertanyaan tendensius atau dengan gaya menghakimi

biasanya membuat peserta gelagapan.

Hindari mengajukan pertanyaan yang berpotensi mengundang debat

kusir. Misalnya jika ada pertanyaan dari satu peserta kemudian dilempar

kepada peserta yang lain.

Tabel 4.1 menghimpun sejumlah teknik dalam bertanya beserta tujuan dan

contoh-contohnya.

Page 84: MODUL 6 - Kemensos

72 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Tabel 4.1. Contoh-contoh teknik mengajukan pertanyaan

No. Nama teknik Tujuan Contoh bertanya

1. Parafrase: Fasilitator menggunakan kalimatnya

Minta klarifikasi Minta penjelasan

pokok gagasan sendi-ri untuk mengulang kalimat peserta

“Anda tadi mengatakan bahwa … apakah saya benar?”

“Kalau saya tidak salah tangkap Anda tadi mengusulkan …”

2. Menggali ide: Fasilitator mengulang kalimat peserta & meminta penjelasan lebih lanjut

Pengembangan/pen-dalaman gagasan

“Anda tadi mengatakan bahwa …, bisa memberi contoh kongkrit?”

“Apa maksud Anda tentang …”

3. Mirroring: Fasilitator mengulang kalimat penting peserta persis seperti yang diucapkannya

Efek netralitas Efek membangun

saling percaya

Anda tadi mengatakan: “…. …,”

Anda tadi mengusulkan: “….. …”

4. Menghimpun ide: Fasilitator meminta semua peserta menyampaikan gagasan tanpa didiskusikan, hanya klarifikasi (parafrase) dan memberi penekanan penting

Peserta merasa terlibat semua

“Sekarang, saya harap semua peserta menyam-paikan gagasan sebanyak mungkin tentang …”

“Sekarang kita daftar dulu usulan Anda sekalian…”

5. Menggilir (stacking): Fasilitator mengatur pergiliran peserta berbicara agar setiap orang mengetahui kapan bisa mengambil kesempatan bicara dan kapan harus mendengarkan

Peserta merasa nyaman Peserta menghargai aturan bicara

“Pembicaraan kita akan dibagi dalam termin, silakan 3 orang berbicara pada termin pertama…”

“X berbicara pertama, Z yang kedua, dan Y berikutnya …”

6. Mengatur alur diskusi (tracking): Fasilitator menjaga alur/arah pembicaraan atau gagasan yang berkembang dengan banyak dimensi (fakta, pengalaman, ide)

Peserta tidak fokus pada gagasan sendiri

Peserta melihat semua dimensi secara seimbang

“Sebelum pembicara baru, saya akan rumuskan dulu pokok-pokok penting diskusi tadi…”

“Saya kira ada 4 hal penting yang muncul dalam diskusi …”

7. Encouraging: Fasilitator melakukan beberapa cara membuat peserta mengawali keterlibatannya (berbicara, menanggapi, merespons)

Peserta yang diam saja, mulai ambil bagian Peserta yang dominan, dibatasi

“Ada yang punya gagasan mengenai hal ini?”

“Bu Y punya gagasan lain?” “Bagaimana pendapat Pak X?” “Ada yang mau bertanya?”

8. Menyeimbangkan: Fasilitator meminta peserta menyampaikan sudut pandang lainnya

Peserta melihat berbagai sudut pandang

“Apakah ada cara lain untuk memahami sengketa ini…”

“Ada 3 pandangan yang muncul tentang.… ada yang lain?”

9. Making space: Fasilitator menyampaikan kalimat dorongan (tapi tidak memaksa)

Peserta merasa nyaman untuk berpartisipasi

“Anda mau bicara Bu?” “Pak X mau usulkan sesuatu?”

10. Intentional silence: Fasilitator membuat eskpresi untuk menunjukkan sedang berpikir dulu

Peserta mau memikirkan lagi

“Hmmm… tunggu sebentar…” “Sebentar kita renungkan

dulu….”

Sumber: Tim Pe-PP (2007: 76-7, dengan perubahan)

Page 85: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 73

BOX 4.3 (Contoh Mirroring) Fabian: Kalau Ani kan suka foto. Rina,

nyanyi. Kalau saya sukanya olahraga. Bu Guru.

Guru : Olahraga? Fabian: Iya Bu..., berenang. Guru : Berenang, di...? (menggali yang

terlalu umum) Siswa : Di sungai belakang rumah, Bu.

Rumah saya kan sampingan dengan sama sungai Ciereng.

(Rimbatmaja, 2018: 85)

BOX 4.2 (Contoh Parafrase) Guru: Anak-anak, siapa yang bisa menjelaskan

mengapa terjadi gerhana bulan? Kiki : Saya, Bu Guru. Guru: Ya, bagaimana, Kiki? Kiki : Gerhana terjadi karena bayangan bulan

menutupi bumi. Guru: Ok, jadi menurut Kiki, karena bumi tertutup

bayangan bulan. Begitu ya? Rina : Iya Bu Guru. Saya diberitahu begitu dari

kakak saya. Guru: Oh, kakakmu, ya. Sip. Siapa lagi? Nah, Umi? Umi : ..... (bicara) (Rimbatmaja, 2018: 85)

2. Mendengarkan Aktif

Berikut adalah keterampilan mendengarkan aktif atau fasilitatif, seperti dalam

Kaner et al. (2007) dan Hogan (2003):

a. Menghormati/respek terhadap perbedaan gaya komunikasi

b. Melakukan parafrase atau

menyatakan kembali yang

disampaikan peserta

dengan kata-kata yang

lugas, sederhana, dan lebih

dimengerti peserta lain.

c. Mengenali perasaan

melalui gerak-gerik, mimik

muka, nada suara,

penggunaan bahasa dalam

berbicara, dan lain-lain.

Fasilitator harus mampu

membaca yang tersirat

kemudian merespons-nya secara tepat.

d. Merefleksikan perasaan dan maksud peserta

e. Menunjukkan empati

f. Menggunakan kata-kata peserta atau

partisipan, tapi beda intonasi. Ini

disebut mirroring atau

memantulkan. Mirroring bisa

membangun kepercayaan, tapi tidak

juga terlalu sering.

g. Meringkas kata-kata peserta

h. Menggali dan mengumpulkan

gagasan, yaitu dengan memparafrase

Page 86: MODUL 6 - Kemensos

74 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

BOX 4.4. TIPS DALAM MEMFASILITASI Tampil meyakinkan Bersikap terbuka Fokus pada topik bahasan Menyadari keterbatasan diri-sendiri

dan orang lain Selalu belajar mengkalkulasi Menggunakan waktu secara efektif Kreatif Pandai membaca situasi Menghormati dan memberi

penghargaan Mengenali kekuatan dan kelemahan

pribadi Sumber: Tim Pe-PP (2007: 34-5)

pernyataan anggota kemudian menggali dengan pertanyaan terbuka atau

dengan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung

i. Stacking, yakni mengatur giliran siapa-siapa yang akan bicara secara

bergantian

j. Tracking adalah menjaga alur diskusi/pertemuan berdasarkan sejumlah tema

gagasan yang muncul, sehingga diskusi akan membahas dan mengurai satu

per-satu tanpa ada satu tema gagasan penting yang terlewat.

k. Mendorong anggota untuk bersuara menyatakan pendapat

l. Menyeimbangkan, yakni memberi kesempatan kepada yang lain untuk

mengungkapkan pandangan lain yang berbeda dengan pandangan yang sudah

disampaikan anggota lain sebelumnya

m. Memberi kesempatan bagi anggota yang pendiam atau malu-malu

n. Memvalidasi, yakni keterampilan menyetujui dan menerima pendapat atau

perasaan anggota tanpa harus menyatakan bahwa pendapatnya benar.

o. Menghubungkan, berarti meminta anggota untuk menjelaskan relevansi

sebuah pernyataan yang baru saja disampaikan dengan topik utama

p. Mendengarkan pendapat umum, yakni dengan menandai apa saja yang masih

menjadi perbedaan atau belum disetujui dan mengarahkan fokus pada wilayah

mana saja yang disetujui/

disepakati bersama.

q. Mendengarkan dengan cara

pandang tertentu

r. Menyimpulkan bersama peserta

3. Fasilitasi Diskusi Terbuka

Diskusi terbuka pembicaraan

bersama dalam kelompok secara tidak

terstruktur, bersifat obrolan, dan santai

kekeluargaan. Setiap orang bebas

menyampaikan pendapat untuk

Page 87: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 75

mengeluarkan isi pikiran, bahkan terkadang di luar konteks dan tema diskusi. Diskusi

terbuka semacam ini juga mirip dengan tahapan Groan Zone atau tahap kritis dalam

proses pengambilan keputusan (Kaner et al., 2007).

Pada intinya, menurut Kaner et al. (2007), fasilitator dapat memainkan peran

dalam diskusi terbuka terkait dua hal pokok:

a. Mengatur siapa-siapa yang akan berbicara dan kapan mendapat giliran

b. Menjaga diskusi agar fokus pada tema utama

Teknik fasilitasi yang dipakai umumnya sama dengan fasilitasi pertemuan atau

pengambilan keputusan, terutama misalnya: stacking, tracking, menjaga

keseimbangan, memberi kesempatan untuk yang pendiam atau malu-malu, mengatur

batas waktu, parafrase, mirroring, menggali opini, dan mengurutkan tema atau fokus

diskusi.

4. Curah Pendapat

Curah pendapat dalam diskusi berguna untuk membahas tujuan-tujuan

tertentu. Teknik ini sangat membantu dalam menghimpun hal-hal penting, misalnya:

terkait tujuan atau target kelompok/komunitas penerima manfaat; mencari penyebab

dari suatu masalah atau akibat; cara-cara membangun tim yang solid; berbagai

masalah atau kendala yang mungkin muncul dari suatu program/kegiatan; dan lain-

lain (Kaner et al., 2007).

Berikut adalah hal-hal penting dalam melakukan curah pendapat (Anonim, tt.):

a. Fokus pada kuantitas, bukan kualitas pendapat

b. Dorong ide-ide liar dan bebas

c. Tahan untuk menilai, mem-vonis, atau men-judge baik-buruk atau benar-salah.

d. Bangun ide-ide baru dari ide yang sudah muncul

Tips yang dapat dipraktikkan dalam melakukan curah pendapat ditunjukkan

Tabel 4.2. Kolom sebelah kiri adalah hal-hal baik yang dapat dilakukan dalam

melakukan curah pendapat (DO), sementara kolom kanan adalah yang seharusnya

dihindari (DON’T).

Page 88: MODUL 6 - Kemensos

76 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Tabel 4.2. Tips dalam memfasilitasi curah pendapat

DO DON’T

Sering-sering lakukan mirroring Jangan menginterupsi atau menyela

Ingatkan semua untuk tidak melakukan koreksi atau penilaian (judgement)

Jangan katakan, “kita sudah membahas hal itu tadi.”

Perlakukan ide-ide yang dianggap lucu atau kurang penting sama halnya dengan ide-ide penting dan brilian

Jangan katakan, “oh, bagus juga.” Jangan katakan, “ide yang tadi tidak perlu

ditulis di flipchart ini kan?

Bergerak aktif dan lakukan kontak mata kepada semua untuk menjaga perhatian, serta pompa semangat kelompok

Jangan banyak memberi kesempatan kepada yang pandai atau yang vokal-vokal

Dorong betul partisipasi penuh semua anggota: “Mari kita dengarkan anggota yang belum bicara.”

Jangan mengernyitkan dahi, mengangkat alis, atau gerak-gerik nonverbal lain yang menunjukkan ketidaksetujuan

Sering-sering mengulang tujuan utama dari diskusi/pertemuan

Jangan langsung menyerah ketika diskusi menemui kebuntuan

Mulai dengan flipchart baru sebelum fliphart sebelumnya penuh

Jangan terus-terusan ambil peran sebagai pemimpin, fasilitator, atau pencatat hasil diskusi pada flipchart

Ingatkan betul terkait waktu jika sudah hampir habis

Jangan dulu memulai proses curah pendapat sebelum ada kesepakatan durasi waktu

Dorong dan pancing munculnya ide-ide kreatif yang lain setelah ide pertama sudah cukup

Jangan buru-buru atau menekan kelompok. Hening atau diam selalu berarti mereka sedang berpikir

Sumber: Kaner et al. (2007: 121)

5. Chartwriting

Tingkat partisipasi anggota dalam suatu kelompok diskusi atau pertemuan

sering kali tidak seimbang karena hanya sebagian saja yang banyak bersuara,

sementara yang lain hanya duduk dan mendengarkan. Namun kondisinya bisa

berubah ketika ide-ide anggota dalam pengambilan keputusan dituliskan pada papan

tulis atau kertas plano (flipchart). Menuliskan hasil diskusi atau pertemuan kelompok

pada papan tulis atau kertas diistilahkan sebagai chartwriting.

Chartwriting berguna untuk memvalidasi atau merekam pendapat anggota

dalam menyampaikan pesan. Dengan ditulis, pendapatnya merasa dihargai dan

Page 89: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 77

dianggap penting. Selain itu, chartwriting juga dapat mengikat ingatan atau memori

kelompok. Ingatan kelompok tidak hanya berguna sebagai alat untuk merekam atau

mencatat, tetapi dapat menjadi wahana untuk mendorong partisipasi penuh semua

anggota kelompok.

Berikut adalah sejumlah teknik chartwriting yang dapat dipraktikkan dalam

fasilitasi kelompok diskusi atau pengambilan keputusan (Kaner et al., 2007):

a. Penulisan huruf (huruf kapital, tulisan jelas dan tebal, tulisan tegak, tidak

jarang-jarang, dan memakai huruf balok, bukan tulisan latin)

b. Memakai spidol warna (tidak hanya dengan spidol hitam)

c. Pemakaian simbol (tidak semua yang ditulis pada flipchart adalah melulu

huruf, tapi dengan simbol-simbol yang khas dan menarik. Misalnya dengan

menggunakan bullet, tanda bintang, tanda panah, tanda tanya, emoticon, atau

simbol-simbol lain yang familiar dan menarik)

d. Format atau struktur tulisan (format tulisan dapat menggunakan penomoran

atau item per-item, tabel, grafik, diagram, mind map, alur proses (flowchart),

cabang pohon, dan lain-lain)

e. Jarak spasi tulisan (tidak terlalu renggang atau rapat, batas tepi tidak mepet

pinggir kertas, garis bawah judul atau kata kunci penting, kasih jarak antar

baris, dan lain-lain)

f. Menggunakan tips dan teknik berikut:

Kalimat yang ditulis mudah dibaca

Tidak ragu menuliska kata “saya” atau “kita”

Menuliskan kata-kata kunci (baik berupa kata benda ataupun kata kerja

verbal) sebagai prioritas

Kata-kata sifat (adjektif) dan keterangan (adverb) tidak menjadi prioritas

Menggunakan singkatan atau akronim yang standar dan familiar

Setiap halaman/lembar kerta plano diberi judul

Meminta anggota untuk selalu mengecek bersama (proofreading)

Page 90: MODUL 6 - Kemensos

78 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

6. Penggunaan Media dalam Fasilitasi

Tim Pe-PP (2007) menjelaskan bahwa dalam konteks pembelajaran partisipatif,

media merupakan alat yang didesain untuk membantu peserta belajar untuk

menjabarkan realitas kehidupannya. Di sini, media harus lebih banyak digunakan oleh

peserta, bukan oleh fasilitator semata. Alat, bahan, atau teknologi yang dapat

dimanfaatkan sebagai media pun sebaiknya bersifat lokal, yang tersedia di masyarakat

itu sendiri. Meskipun penggunaan media berbasis teknologi modern pun bukan

berarti tidak boleh, sejauh tidak menyulitkan masyarakat setempat maupun fasilitator

itu sendiri.

Dalam penggunaan media, fasilitator harus menguasai jenis media, fungsi

media, cara membuat dan cara kerjanya. Pemilihan media harus disesuaikan dengan

karakteristik peserta. Pemanfaatan media dari berbagai sumber juga harus relevan

dengan materi dan sesuai kebutuhan. Ada banyak media yang dapat dibuat dan

digunakan secara cepat dan mudah, misalnya: lembar penugasan, lembar

kasus/cerita, lembar/panduan praktik, skenario bermain peran, permainan (games),

gambar sederhana, foto, transparansi yang sudah diisi, kartu metaplan, dan kertas

plano. Sedangkan media lain yang perlu dipersiapkan khusus dan dapat melibatkan

peserta contohnya adalah: komik/cerita bergambar, komik foto (fotonovela), poster,

film/video, boneka, wayang (kulit atau golek), cerita, flipchart, dan dongeng digital.

Penggunaan permainan sebagai media dalam pertemuan atau pembelajaran

bias berupa games, energizers, atau ice-braking. Para pendamping sebaiknya

mengenali dan menguasai berbagai permainan sebagai media dalam pembelajaran.

Kumpulan jenis dan ragam permainan dapat dicari di berbagai sumber. Media

permainan dapat ditujukan untuk:

a. Memudahkan penyampaian substansi materi. Permainan menjadi semacam

wahana untuk mentransfer pengetahuan atau keterampilan tertentu sehingga

dinilai lebih mangkus.

b. Menghilangkan kebosanan, memecah kebuntuan, dan membuat nyaman

peserta.

Tim Pe-PP (2007) merinci sejumlah fungsi media dalam pertemuan atau

Page 91: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 79

pembelajaran sebagai berikut:

a. Sebagai alat berbagi pengalaman (media diskusi)

Media yang digunakan untuk fungsi ini adalah media yang sekiranya dapat

mendorong semua peserta berdiskusi dan bertukar pikiran atau pikiran.

Langkah-langkahnya bisa dicontohkan sebagai berikut:

Fasilitator membagikan media sebagai bahan diskusi dan menjelaskan cara

penggunaannya

Peserta melakukan diskusi kelompok sesuai instruksi

Menampilkan hasil diskusi melalui media tertentu secara pleno:

- Hasil diskusi atau analisis kasus ditampilkan secara visual, missal dalam

bentuk gambar, diagram, skema, table

- Hasil analisis kasus dirumuskan di atas flipchart

- Pelajaran yang dapat dipetik ditulis pada kertas metaplan

b. Sebagai alat berbagi peran

Media dimanfaatkan untuk melaksanakan suatu kegiatan sekaligus melakukan

pembagian tugas (siapa mengerjakan apa). Dengan menjelaskan cara kerjanya,

media yang digunakan dapat berupa lembar praktik atau kerja kelompok,

simulasi atau bermain peran, dan media permainan (games).

c. Sebagai alat penyadaran dan motivasional

Media yang digunakan dapat berupa poster, lembar kasus, role-play,

drama, permainan, atau dongeng digital dan cuplikan film yang

menggugah. Berikutnya dilanjutkan dengan melakukan refleksi melalui

diskusi.

Dalam diskusi, fasilitator mengembangkan proses penyadaran dengan

mengajukan sejumlah pertanyaan kunci yang bersifat reflektif bagi

perenungan akan sikap dan nilai. Perenungan Bersama ini diarahkan untuk

mengambil pelajaran yang bias dipetik (lessons learned) dari pembelajaran

media tersebut.

Fasilittaor juga dapat mengembangkan proses motivasional dengan

menyiapkan pertanyaan kunci untuk merangsang pendapat atau gagasan

Page 92: MODUL 6 - Kemensos

80 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

untuk malakukan tindakan dalam situasi nyata yang sedang dialami, yang

kurang-lebih serupa dengan situasi yang ditampilkan dalam media

pembelajaran.

d. Sebagai alat bantu penjelasan

Media dimanfaatkan untuk menjelaskan materi atau tugas kelompok.

Misalnya powerpoint, flipchart, atau kertas metplan untuk menjelaskan

penugasan atau hasil kesimpulan kepada peserta. Atau sebaliknya, peserta

dapat menggunakan media untuk menjelaskan atau menggambarkan

sesuatu.

Fasilitator kemudian meminta tanggapan, masukan, komentar, atau

pertanyaan dari peserta terhadap penjelasan.

e. Sebagai alat analisis

Media digunakan sebagai alat bantu untuk melihat semua sudut pandang

dan berbagai kemungkinan faktor yang saling berkaitan terhadap suatu

masalah. Media harus mampu menggambarkan suatu kerangka/sistem

pemikiran agar mudah digunakan untuk menganalisis permasalahan.

Fasilitator menjelaskan terlebih dahulu cara penggunaan media, seperti

gambar, lembar kasus, role-play, analisis SWOT atau analisis pohon

masalah.

Dengan media yang disediakan, peserta melakukan analisa masalah

terkait sebab-akibat masalah, mengembangkan alternatif pemecahan

masalah, dan menentukan rencana tindakan yang dipilih.

7. Teknik Fasilitasi dalam Pembuatan Kesepakatan

Fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan atau pengambilan keputusan harus

didahului pemahaman tentang dinamika kelompok, seperti telah diuraikan pada Bab

2. Kaner et al. (2007) kemudian melengkapi uraian dasar tentang konsep tersebut

dengan sejumlah teknik dasar fasilitasi. Untuk tingkat pelatihan dasar, teknik-teknik

yang dikuasai terutama pada tahap proses berpikir divergen, yakni tahap menggali

dan mengembangkan gagasan kelompok. Teknik-teknik fundamental bagi fasilitator di

Page 93: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 81

antaranya meliputi: keterampilan mendengarkan fasilitatif, teknik menulis, fasilitasi

diskusi terbuka, dan curah pendapat (brainstorming). Sebagian teknik ini telah

diuraikan di atas.

Secara umum, fasilitasi yang dilakukan didasarkan atas dinamika dalam proses

pengambilan keputusan yang terdiri dari tiga tahap. Pusdiklat JPPPIW (2017) turut

mengadaptasi konsep dari Kaner et al. (2007) tersebut. Seperti ditunjukkan Gambar

4.5, teknik-teknik fasilitasi yang dibutuhkan dalam tiga tahap dimaksud adalah:

Gambar 4.5. Proses pengambilan keputusan/perumusan kesimpulan bersama

Sumber: Tim Pe-PP (2007: 105)

a. Tahap divergen

Berbagi pengalaman

Membeberkan semua fakta

Menumpahkan atau mencurahkan informasi

Memahami persoalan secara utuh dari berbagai sudut pandang dan

pengalaman

Page 94: MODUL 6 - Kemensos

82 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

b. Zona kritis

Teknik analisis informasi

Teknik intervensi

Teknik mengajukan pertanyaan

Teknik merumuskan pokok-pokok bahasan untuk mempersempit

pembahasan

c. Tahap konvergen

Kriteria/indikator yang disepakati

Media visual: skema, diagram, alur

Tim Pe-PP (2007) merinci sejumlah cara untuk merumuskan kesepakatan di

dalam kelompok seperti pada Tabel 4.3.

8. Teknik Fasilitasi dalam Situasi Sulit

Dalam melakukan fasilitasi pertemuan atau diskusi kelompok, fasilitator

seringkali menemui situasi sulit. Pusdiklat JPPPIW (2017) mencontohkan situasi sulit

yang mungkin ditemui sebagai berikut:

a. Terjadinya salah paham,

b. Warga mulai jemu, tegang, bingung dan jengkel, orang yang kesal sukar

berpikir jernih,

c. Perhatian masyarakat menurun.

d. Sebagian peserta diskusi merasa terpaksa memimpin pembicaraan tanpa

mereka tahu pemecahannya.

e. Ada yang tidak sabar ingin cepat pulang.

f. Ada pula yang jengkel tapi berusaha untuk tetap tenang.

Berperan selaku fasilitator yang memandu jalannya diskusi atau pertemuan,

seorang pendamping tentu harus mengantisipasi berbagai situasi yang mungkin

muncul. Selain harus memahami ragam karakter peserta pertemuan, pendamping

harus mampu mengambil tindakan tertentu sesuai situasi sulit yang muncul.

Page 95: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 83

Tabel 4.3. Teknik pengambilan keputusan atau perumusan kesepakatan/kesimpulan Bersama

Cara Pengertian Kapan cara ini positif Kapan cara ini negatif

Self-authorization

Keputusan/kesimpulan satu orang dianggap sudah disepakati bersama

Orang tersebut meng-ambil kesimpulan dengan tepat

Waktu terbatas

Kesimpulan tidak tepat

Orang tersebut mendominasi

Waktu masih ada

Plops

Kesimpulan seseorang tidak ditanggapi/ diterima peserta lain

Bisa memicu diskusi lebih kritis

Mematikan diskusi kalau orang lain segan untuk berargumentasi

Handclaps

Keputusan/kesimpulan satu orang disambut/ didukung peserta lainnya dengan tepuk tangan

Orang tersebut meng-ambil kesimpulan dengan tepat

Pengetahuan orang memperkaya diskusi

Kesimpulan tidak tepat

Orang tersebut terlalu mendominasi

Baiting

Seseorang mencoba mengambil kesimpulan untuk melontarkan gagasan dan berusaha meyakinkan peserta lain

Orang tersebut mendorong proses diskusi kritis (cara ini perlu didorong

-

Majority rule

Kesimpulan berdasarkan pendapat terbanyak peserta, bisanya melalui proses voting

- Peserta kurang mendapat hikmah belajar (cara ini perlu dihindari)

Konsensus

Kesimpulan langsung bersama peserta

Ada proses diskusi yang memadai sebelum sepakat.

Tidak ada proses diskusi.

Sumber: Tim Pe-PP (2007: 106, dengan perubahan)

Berikut adalah contoh-contoh situasi sulit yang diadaptasi dari Pusdiklat

JPPPIW (2017: 70-73) dan bagaimana teknik untuk menanganinya:

a. Menangani peserta yang selalu bicara

Fasilitator sebaiknya tidak perlu berusaha mengendalikan peserta yang ingin

bicara. Namun, upaya difokuskan untuk mendorong peserta lain yang pasif

untuk berpartisipasi.

b. Menangani peserta yang mulai jemu

Page 96: MODUL 6 - Kemensos

84 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Ketika diskusi atau pertemuan sudah cukup lama atau materi yang cukup

berat, wajar jika peserta menjadi Lelah dan jemu. Ketimbang meminta atau

memaksa peserta untuk kembali fokus, lebih bagus ajak peserta untuk istirahat

sejenak, minum kopi, atau dengan melakukan ice-breaking.

c. Menangani situasi rendahnya partisipasi peserta

Rendahnya partisipasi peserta mungkin disebabkan karena metode diskusi

atau pembejalaran yang kurang sesuai atau kurang menarik. Lagi-lagi, daripada

meminta peserta untuk berpartisipasi, fasilitator mengubah metode yang

mampu membuat peserta aktif, missal dengan metode curah pendapat, diskusi

kelompok kecil, presentasi kelompok, dan lain-lain.

Strategi dalam menjalankan diskusi agar peserta berpartisipasi untuk berdialog

dan saling belajar adalah dengan cara membentuk (Anonim, tt.):

Diskusi kelompok kecil;

Diskusi kelompok berpindah; atau

Diskusi pengelompokan ide dengan tahap:

- Tahap 1: saling memahami

- Tahap 2: mengelompokkan

- Tahap 3: memilih

d. Menangani ‘debat kusir’ antara dua peserta

Jika terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan, hindari untuk berupaya

menyelesaikan konflik tersebut. Sebaiknya berupaya untuk melibatkan peserta

lain yang kurang aktif. Terkait hal yang menjadi perdebatan, jadikan tema

tersebut menjadi masalah bersama, bukan hanya menjadi persoalan dua orang

yang berkonflik tadi. Caranya, misalkan fasilitator melontarkan pertanyaan:

“Siapa lagi yang punya pendapat tentang hal ini?” “Ada pendapat lain terkait

masalah ini?”

e. Menangani peserta yang diam saja

Untuk peserta yang tampak ragu-ragu mengungkapkan pendapat, fasilitator

bias memberinya kesempatan. Namun juga tidak terlalu sering dilakukan,

Page 97: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 85

karena malah akan merasa menjadi pusat perhatian. Fasilitator bisa juga

menggunakan metode lain yang sekiranya dapat lebih memberi kesempatan

kepada peserta yang diam saja.

f. Menangani peserta yang berbisik-bisik atau bersenda gurau

Sekali-kali perlu meminta peserta secara sopan atau dengan bercanda untuk

fokus pada pertemuan/diskusi atau berlaku sewajarnya. Jika terus-terusan,

bias jadi ada yang tidak pas dengan pertemuan atau pembelajaran.

Mungkin topik yang dibahas kering dan membosankan?

Apakah peserta membutuhkan istirahat atau permainan?

Atau mungkin peserta lebih menyukai metode lain, seperti diskusi dalam

kelompok kecil?

g. Menangani keterlambatan para peserta

Fasilitator sebaiknya memulai pertemuan sesuai kesepakatan waktu. Sambil

menunggu peserta datang, mulai lebih dulu dengan diskusi. Selanjutnya

meminta kesepakatan dengan peserta yang sudah datang untuk menunda

pertemuan dan memastikan berapa lama.

h. Menangani peserta yang mengulang-ulang pembicaraan

Peserta mengulang-ulang pendapat biasanya merasa pendapatnya belum

dipahami atau belum diakomodir. Maka, ringkaslah penjelasannya atau

parafrase pokok pendapatnya hingga dia merasa gagasannya sudah

dimengerti.

i. Menangani peserta yang meributkan hal-hal ‘remeh-temeh’

Meminta atau menasehati peserta untuk tidak mempermasalahkan hal-hal

yang remeh-temeh terkadang dinilai kurang bijak. Sebaiknya ajaklah peserta

untuk kembali ke permasalahan pokok.

j. Menangani peserta yang sungkan karena kehadiran pejabat/orang penting

Fasilitator dapat mencoba cara-cara berikut ini untuk mengatasi peserta yang

sungkan:

Berikan giliran pertama bicara kepada petinggi tersebut.

Gunakan metode diskusi kelompok kecil.

Page 98: MODUL 6 - Kemensos

86 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Peserta dipersilakan untuk menuliskan pendapat/pikiran mereka di kertas

masing masing.

Kemudian minta mereka untuk membacakannya.

Sediakan waktu untuk petinggi tersebut untuk mengungkapkan

pikirannya.

k. Menangani gangguan dari luar

Gangguan dari luar bisa berupa kejadian-kejadian terkini yang menjadi bahan

pembicaraan para peserta, sehingga dapat mengganggu konsentrasi mereka.

Misal terkait pandemi Covid-19, soal pilkada, pilwu, dan lain-lain. Kurang baik

juga jika fasilitator mengabaikan gangguan tersebut. Sebaiknya luangkan

waktu sejenak untuk membicarakannya. Sesudah mereka merasa puas, ajak

peserta untuk kembali ke topik pertemuan.

Sejumlah teknik fasilitasi yang diuraikan baik untuk pembelajaran atau

pelatihan maupun untuk diskusi/pertemuan dan pengambilan keputusan tidak secara

khusus hanya dipraktikkan untuk masing-masing konteks tersebut. Ada teknik-teknik

atau prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan untuk keduanya dengan

penyesuaian tertentu, namun ada juga yang sifatnya spesifik.

Pertemuan atau diskusi biasanya memiliki tahapan umum berupa ungkap

masalah, umpan balik, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, hingga

rencana tindakan. Sedangkan untuk pertemuan dalam konteks pembelajaran, prinsip-

prinsip penting dalam pembelajaran orang dewasa dirinci secara cukup detail yang

dapat menjadi pegangan ketika mempraktikkan sejumlah teknik-teknik fasilitasi

terkait pembelajaran.

Teknik-teknik fasilitasi yang bersifat dasar bagi para pendamping selaku

fasilitator dalam pertemuan meliputi: teknik bertanya, mendengarkan aktif,

komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi terbuka, curah pendapat, chartwriting,

E. RANGKUMAN

Page 99: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 87

penggunaan media dalam fasilitasi, teknik fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan,

dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit. Teknik lain semacam komunikasi dialogis dapat

dipelajari di modul lain yang terkait.

LK. 6.4. Praktik Teknik Fasilitasi dalam Pertemuan (90 menit)

Berikut adalah langkah-langkah untuk mempraktikkan sejumlah teknik fasilitasi dalam

pertemuan kelompok/komunitas:

1. Peserta dibagi dalam 3 kelompok

2. Masing-masing kelompok mengambil 1 dari 4 tema berikut (bisa diundi):

a. Tema 1: Fasilitasi pertemuan dan/atau diskusi

b. Tema 2: Proses perumusan kesepakatan

c. Tema 3: Peningkatan kapasitas melalui pembelajaran

d. Tema 4: tema bebas

3. Setiap kelompok mendiskusikan pengalaman konkret di lapangan. Pilih salah

1 yang sesuai dengan tema yang dipilih, kemudian gali pengalaman tersebut.

4. Susun/kembangkan skenario dari kasus yang telah dibuat untuk melakukan

praktik fasilitasi dengan simulasi atau bermain peran (role playing).

5. Mendorong semua kelompok agar role play melibatkan seluruh anggota

kelompok.

6. Masing-masing kelompok melakukan role play secara bergantian di depan 2

kelompok lain.

7. Kelompok yang tidak sedang tampil harus memperhatikan dengan saksama.

8. Seluruh anggota kelompok yang sedang tidak tampil memegang 2 lembar

FORM PENILAIAN SIMULASI/ROLE-PLAY (TABEL 4.4) untuk menilai performa

dua kelompok lain yang tampil.

9. Debriefing hasil simulasi atau role play.

F. LEMBAR KERJA

Page 100: MODUL 6 - Kemensos

88 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

TABEL 4.4. FORM PENILAIAN SIMULASI/ROLE-PLAY

No. ASPEK PENILAIAN Skor penilaian

Penjelasan

(kata kunci)

1. Cara fasilitator mengatur posisi duduk/tempat diskusi agar bisa mendukung proses partisipasi.

2. Cara fasilitator menyampaikan maksud dan tujuan belajar (apakah jelas dan bisa dipahami peserta).

3. Sistematika penjelasan fasilitator dalam mengantarkan pokok-pokok bahasan

4. Cara bertanya (apakah bersifat terbuka dan mendorong diskusi peserta).

5. Fasilitator memberikan kesempatan bicara pada peserta secara merata.

6. Fasilitator mendorong peserta untuk mengajukan gagasan/pendapat.

7. Cara fasilitator mengatasi perbedaan pendapat/kepentingan.

8. Netralitas fasilitator (tidak memihak, melainkan mendorong proses saling menghargai perbedaan pendapat).

9. Cara fasilitator merumuskan kesepakatan (ketepatannya).

10. Fasilitator mengecek informasi dari seseorang kepada orang lain.

11. Fasilitator menggunakan bahasa yang mudah dimengerti peserta

12. Penguasaan fasilitator terhadap materi.

13. Keterampilan fasilitator dalam menggunakan alat bantu/media.

14. Sikap tubuh fasilitator apakah sopan (sikap yang tidak sopan misalnya: berkacak pinggang).

15. Pengelolaan (manajemen) waktu yang tepat oleh fasilitator.

Sumber: Adaptasi dari Tim Pe-PP (2007: 40, dengan perubahan)

Page 101: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 89

1. Uraikan tahapan umum dalam pertemuan atau diskusi

2. Sebutkan 10 saja prinsip pembelajaran orang dewasa. Uraikan secara

ringkas.

3. Apa yang Anda ketahui tentang aturan 20/40/80.

4. Dalama teknik mendengarkan secara aktif, ada keterampilan melakukan

parafrase dan mirroring. Jelaskan keduanya dan bila perlu dengan contoh.

5. Sebutkan hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan yang sebaiknya dihindari

dalam memfasilitasi curah pendapat.

6. Jelaskan tiga saja fungsi dari penggunaan media dalam pembelajaran.

7. Jelaskan teknik-teknik fasilitasi yang dibutuhkan dalam proses pengambilan

keputusan atau pembuatan kesepakatan, khususnya pada tahap konvergen.

Apabila dapat menjawab lima dari tujuh pertanyaan dalam evaluasi di atas

dengan benar, artinya Anda sudah memenuhi kriteria belajar tuntas. Jawaban dari

sejumlah pertanyaan dalam evaluasi tersebut tidak secara khusus disertakan dalam

modul ini, namun Anda dapat mengecek materi modul yang terkait dengan jawaban.

Aka tetapi, jika masih belum yakin, Anda perlu melakukan pembelajaran ulang,

khususnya pada bagian yang belum Anda kuasai.

Dalam pokok bahasan ke-3 ini hanya membahas sejumlah teknik fasilitasi

dengan pertimbangan modul ini diperuntukkan bagi peserta pelatihan dasar. Namun

demikian, jika Anda merasa sudah cukup menguasi modul ini, Anda dapat

G. EVALUASI

H. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT RESOLUSI KONFLIK

Page 102: MODUL 6 - Kemensos

90 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mengeksplorasi bahan bacaan yang ada dalam Daftar Pustaka atau dari referensi lain

yang relevan.

Metode yang digunakan juga berupa pembelajaran eksperiensial dimana kasus

yang diangkat untuk role play dikonstruksi dari pengalaman peserta di lapangan.

Seandainya ada metode atau pendekatan lain dan penggunaan media tertentu yang

dinilai lebih tepat juga sangat dinantikan demi perbaikan proses pembelajaran.

Page 103: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 91

BAB V PENUTUP

Modul fasilitasi dalam pendampingan membahas tiga pokok bahasan utama,

yaitu: (1) fasilitasi dan konsep pendampingan sosial; (2) peran dan keterampilan

fasilitasi; dan (3) teknik fasilitasi dalam pertemuan. Pokok bahasan pertama lebih

bersifat konsep dasar fumdamental yang menunjang kapasitas para pendamping

sosial dalam melakukan fasilitasi di lapangan. Pokok bahasan kedua terkait peran-

peran yang dapat dimainkan oleh pendamping selaku fasilitator dalam membantu

para penerima manfaat dalam menyelesaikan masalah, pemenuhan kebutuhan, atau

pengembangan kapasitas mereka. Dan pokok bahasan terakhir merupakan teknik-

teknkk fasilitasi yang bersifat dasar bagi para pendamping.

Kemampuan melakukan fasilitasi dan aktivitas pendampingan sosial di

lapangan saling terkait erat. Tujuan pendampingan sosial harus diarahkan pada

kemandirian para penerima manfaat. Kemandirian merupakan salah satu tujuan dari

pemberdayaan masyarakat yang sangat menitikberatkan adanya partisipasi. Fasilitasi,

pemberdayaan, dan partisipasi merupakan landasan konsep yang fundamental dalam

melakukan pendampingan sosial.

Dalam aktivitas pendampingan sosial di lapangan, penting bagi pendamping

untuk memahami konsep tentang dinamika kelompok dalam proses perumusan

kesepakatan dan konsep pembelajaran orang dewasa. Saat memfasilitasi perumusan

kesepakatan kelompok/komunitas, pendekatan terhadap kelompok lebih bersifat

konvensional. Konsep tentang dinamika proses yang meliputi tahap konvergen, kritis,

dan divergen. sangat krusial untuk dikenali dan pendamping harus memiliki sejumlah

A. KESIMPULAN

Page 104: MODUL 6 - Kemensos

92 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

keahlian untuk mengatasi dan memandu proses hingga mampu mencapai titik

kesepakatan yang mencerminkan aspirasi anggota kelompok/komunitas.

Model pembelajaran orang dewasa sangat cocok diterapkan dalam praktik

fasilitasi dalam pelatihan atau peningkatan kapasitas penerima manfaat. Konsep

pembelajaran andragogi dan model pembelajaran eksperiensial sangatlah penting

dalam mempraktikkan fasilitasi untuk konteks pembelajaran. Para penerima manfaat

sebagai manusia dewasa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan

anak usia sekolah, sehingga pendekatan dan strategi pembelajaran harus dibedakan.

Tahapan dalam melakukan pertemuan atau diskusi dapat menjadi pedoman dalam

praktik, termasuk bagaimana mengatur setting pertemuan dan prosesnya. Sejumlah

sikap dan perilaku fasilitatif sangat baik diterapkan dalam pertemuan, diskusi,

ataupun pengambilan keputusan. Hal ini akan dibahas dalam bab terakhir tentang

teknik fasilitasi.

Sejumlah peran dan juga keterampilan fasilitasi diperkenalkan sebagai pokok

bahasan kedua. Berangkat dari ‘Jendela Johari’, fasilitator dapat memainkan

kemungkinan peran sebagai: moderator, motivator, narasumber, atau mediator.

Mengacu pada Jim Ife (2013), peran pendamping sosial yang dapat dimainkan

meliputi: animasi sosial; dukungan; pemanfaatan keahlian dan sumberdaya;

pengorganisasian; komunikasi personal; penumbuhan kesadaran; mediasi dan

negosiasi; melakukan konfrontasi; membangun konsensus; fasilitasi kelompok; dan

berbagi informasi dan memberikan pelatihan.

Dalam setiap pertemuan atau diskusi, ada tahapan yang bersifat umum.

Tahapan yang dimaksud dari mulai ungkap masalah, umpan balik, penyelesaian

masalah, pengambilan keputusan, hingga rencana tindakan. Dalam konteks

pembelajaran, prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa menjadi dasar ketika

pendamping menerapkan sejumlah teknik-teknik fasilitasi. Teknik fasilitasi tersebut

meliputi: teknik bertanya, mendengarkan aktif, komunikasi dialogis, fasilitasi diskusi

terbuka, curah pendapat, chartwriting, penggunaan media dalam fasilitasi, teknik

fasilitasi dalam pembuatan kesepakatan, dan teknik fasilitasi dalam situasi sulit.

Page 105: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 93

Kompetensi dasar yang dibangun dari modul ini adalah bahwa peserta mampu

menjelaskan konsep tentang fasilitasi dan pendampingan sosial serta sejumlah

konsep terkait, yakni pemberdayaan dan partisipasi, konsep dinamika kelompok, dan

konsep pembelajaran bagi orang dewasa. Pendamping juga mampu mempraktikkan

sejumlah peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi dalam berbagai bentuk

pertemuan.

Materi dalam modul ini masih bersifat dasar fundamental. Para peserta

diharapkan dapat mengeksplorasi lebih jauh sejumlah referensi yang menjadi acuan

modul ini dan juga berbagai referensi lain yang relevan. Jadi modul ini tentu saja

bukan satu-satunya referensi untuk dalam peningkatan kapasitas fasilitasi yang

dibutuhkan. Modul ini juga masih jauh dari sempurna sehingga segala saran dan

masukan sangat dinanti demi perbaikan berkelanjutan.

Berbagai usulan dapat disampaikan pada saat pelaksanaan TOT atau diklat

secara langsung atau via e-mail: [email protected].

.

B. TINDAK LANJUT

Page 106: MODUL 6 - Kemensos

94 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Page 107: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 95

Adams, R. (2003). Social Work and Empowerment, 3rd edition. New York: Palgrave

Macmillan. Anonim (tt.). Buku Panduan Pendamping PKH dalam Sesi Pertemuan Bulanan

Kelompok PKH. Barker, R.L. (2003). The Social Work Dictionary. NASW Press. Hogan, C. (2000). Facilitating Empowerment: A Handbook for Facilitators, Trainers, &

Individuals. London: Kogan Page. Hogan, C. (2002). Understanding Facilitation: Theory and Principles. London: Kogan

Page. Hogan, C. (2003). Practical Facilitation: A Toolkit of Techniques. London: Kogan Page. Hogan, C. (2007). Facilitating Multicultural Groups: A Practical Guide. London: Kogan

Page. https://pixabay.com/vectors/ Huraerah, A. (2008). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan

Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora. Ife, J. (2013). Community Development in an Uncertain World: Vision, Analysis and

Practice. New York: Cambridge University Press. Kaner, S., Lind, L., Toldi, C., Fisk, S, & Berger, D. (2007). Facilitator’s Guide to

Participatory Decision-Making. Second Edition. San Francisco: Jossey-Bass. Loch, A. (2010). Methods for Trainers, Lecturers and Facilitators. Bonn, Germany:

Inwent-International Weiterbildung und Entwicklung gGmbH. Pusdiklat JPPPIW (2017). Modul Pendampingan dalam Penyelenggaraan Rumah

Swadaya. Semarang: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan, Permukiman, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah.

Rimbatmaja, R. (2018). Guru Fasilitator Membuat Kelas Nyaman dan Menyenangkan. Jakarta: Lapangan Kecil

Suharto, E. (2009). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Susantyo et al. (2018). Optimalisasi Peran dan Fungsi Pendamping Sosial. Jakarta: Puslitbang Kesos.

Tim Pe-PP (2007). Panduan untuk Fasilitator Infomobilisasi: Teknik Fasilitasi Partisipatif Pendampingan Masyarakat. Jakarta: Bappenas – UNDP.

Vella, J. (2002). Learning to Listen, Learning to Teach: The Power of Dialogue in Educating Adults. Revised Edition. Jossey-Bass.

DAFTAR PUSTAKA

Page 108: MODUL 6 - Kemensos

96 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

BIODATA PENYUSUN MODUL

Dr. Toton Witono, ST., MA.

Lahir di Cirebon, 15 Februari 1976. Pendidikan formal terakhir diselesaikan di program doktoral jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia tahun 2015. Pendidikan master diperoleh dari program Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) konsentrasi Social Work, UIN Sunan Kalijaga tahun 2005. Pendidikan sarjana dituntaskan di dua perguruan tinggi berbeda, yaitu di Universitas

Gadjah Mada (Fakultas Teknik) dan UIN Sunan Kalijaga (Fakultas Ushuluddin). Sedangkan, pendidikan dasar hingga menengah diselesaikan di tempat asalnya, Cirebon.

Pengalaman kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Sosial dimulai tahun 2006. Sejak 2007 ditugaskan di unit kerja Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional I Sumatera di Kota Padang. Tahun 2019 baru bisa pindah ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (Pusdiklat Kesos) dengan jabatan Widyaiswara Ahli Madya.

Diklat, workshop, atau kursus yang pernah diikuti antara lain: 6-month Course in English for Academic Purpose (EAP) di IALF Denpasar, Bali; McGill University Summer Session tentang Social Work di Montreal, Canada; workshop Alternative Research Methodologies (ARM) oleh SEASREP Foundation-SEPHIS di University of the Philippines, Manila, Filipina; Diklat Kewidyaiswaraan Berjenjang Tingkat Madya di Kemenhan-LAN; workshop e-learning oleh Pusdiklat Kesos & GIZ; dan berbagai TOT/TOF di Pusdiklat Kesos.

Tulisan yang pernah dipublikasikan berupa book chapters, prosiding, dan artikel jurnal. Jurnal yang menerbitkan beberapa artikelnya antara lain: Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis (UIN Sunan Kalijaga); Quantum: Jurnal Ilmiah Kesejahteraan Sosial (BBPPKS Regional I Sumatera); Welfare: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial (UIN Sunan Kalijaga); Jurnal Sosio Konsepsia (Puslitbang Kesos, terakreditasi LIPI); dan Talent Development & Excellence (terindeks Scopus, Q2). Pengalaman mengelola jurnal ilmiah dimulai sejak tahun 2007. Sampai sekarang masih dipercaya mengelola jurnal Quantum (BBPPKS Regional I Sumatera) sebagai redaktur. Mulai 2020 ini juga membantu tim Jurnal Pusdiklat Kesejahteraan Sosial sebagai editor.

Korespondensi dan komunikasi biasa dilakukan melalui surel: [email protected] atau [email protected]

Page 109: MODUL 6 - Kemensos

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 97

Page 110: MODUL 6 - Kemensos

98 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial