modul 3 standardisasi sistem kerja

28
MODUL 3 MATRIKULASI S2 2015 LABORATORIUM REKAYASA SISTEM KERJA DAN ERGONOMI PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Upload: fiqan

Post on 04-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Contoh Modul Praktikum

TRANSCRIPT

Page 1: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 18

MODUL 3

MATRIKULASI S2

2015

LABORATORIUM REKAYASA SISTEM KERJA DAN ERGONOMI PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015

STANDARDISASI SISTEM KERJA

Page 2: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 1

a. Tujuan Praktikum

Melalui praktikum ini, praktikan diharapkan:

1. Mampu memahami berbagai metode pengukuran waktu kerja serta kelebihan dan

kekurangan dari masing-masing metode.

2. Mampu melakukan pengukuran waktu kerja yang mencakup pemilihan elemen-elemen

operasi, pengukuran waktu siklus, pengolahan data hingga menentukan waktu baku untuk

suatu kegiatan perakitan.

3. Mampu melakukan perancangan stasiun kerja permesinan untuk operator berdasarkan

prinsip‐prinsip ergonomi dan rekayasa sistem kerja.

b. Dasar teori

Perancangan sistem kerja akan menghasilkan beberapa alternatif rancangan sistem kerja. Dari

beberapa alternatif tersebut harus dipilih alternatif yang terbaik. Sutalaksana et al [2006]

menyatakan bahwa pemilihan alternatif rancangan sistem kerja harus berlandaskan empat kriteria

utama, yaitu:

1) Kriteria waktu

2) Kriteria fisik

3) Kriteria psikis

4) Kriteria sosiologis

Dari keempat kriteria ini, suatu sistem kerja dipandang baik bila memberikan waktu penyelesaian

pekerjaan tercepat, penggunaan tenaga fisik paling ringan, dan memberi dampak psikis dan

sosiologis paling rendah.

Selain itu, faktor manusia (pekerja) pun harus dapat banyak perhatian. Manusia adalah variabel

hidup, dengan berbagai sifat dan kemampuannya memberikan pengaruh yang sangat besar atas

keberhasilan suatu sistem kerja dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang

suatu sistem kerja yang baik, diperlukan perhatian terhadap kemampuan dan keterbatasan manusia.

1. Pengukuran Waktu Kerja

Pengukuran waktu dilakukan untuk mendapatkan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja

normal secara wajar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam suatu sistem kerja terbaik. Secara

umum teknik pengukuran waktu terbagi dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Page 3: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 2

1. Langsung

Pengukuran dilakukan langsung di tempat kerja. Terdapat dua metode yaitu:

Metode jam henti (stopwatch)

Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang

dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Pada modul ini,

pengukuran dilakukan menggunakan metode jam henti.

Contoh: operator pabrik pada kegiatan perakitan, cenderung memiliki tipe

pekerjaan yang sama/konstan antarwaktu.

Metode sampling

Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang

memiliki variasi tugas. (Ditentukan dengan jadwal yang random, biasa menggunakan

tabel bilangan random)

Contoh: sekretaris, karena pekerjaan sekretaris bisa bervariasi di banyak waktu.

Kelebihan pengukuran waktu secara langsung yaitu praktis. Pengamat hanya perlu mengukur

waktu. Sedangkan kekurangannya adalah dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk

mengumpulkan banyak data, agar memenuhi tingkat kepercayaan dan keyakinan tertentu.

Selain itu, biaya yang dikeluarkan relatif mahal.

2. Tidak langsung

Perhitungan waktu tanpa berada di tempat kerja. Terdapat dua data yaitu:

Data waktu baku

Berisi data dari waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang

telah diteliti pada waktu yang lalu. Data waktu tersebut berisi elemen-elemen

gerakan baku. Apabila terdapat kegiatan yang memiliki elemen gerakan yang sama

dengan kegiatan yang waktunya sudah ada sebelumnya, maka waktu penyelesaian

pekerjaan tersebut sudah dapat ditentukan. Data ini biasanya digunakan oleh

perusahaan dan terdapat perbedaan antara satu perusahaan dan lainnya.

Data waktu gerakan

Data waktu dari elemen-elemen gerakan baku. Perbedaannya dengan waktu baku

adalah data elemen gerakan sudah terstandarisasi dan siap pakai. Data waktu

gerakan ini biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga Eropa. Beberapa metodanya

adalah:

Page 4: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 3

Work Factor (WF)

Maynard Operation Sequence Time (MOST)

Motion Time Measurement (MTM)

Standard Data System (SDS)

Kelebihan perhitungan waktu secara tidak langsung yaitu:

Waktu relatif singkat

Biaya lebih murah

Pengembangan metode dan perancangan produk

Sedangkan kekurangannya adalah:

Data waktu gerakan belum lengkap

Data waktu gerakan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja

Tabel yang digunakan untuk orang Eropa tidak dapat digunakan di Indonesia (Baru

sedikit penelitian mengenai data waktu baku di Indonesia)

Untuk sistem kerja yang bersifat homogen, repetitif, dan memiliki produk nyata yang

terukur(kuantitatif); pengukuran waktu kerja secara langsung dapat menggunakan metode

jam‐henti. Sutalaksana et al [2006] menyatakan secara terperinci langkah‐langkah yang harus

dilakukan dalam pengukuranwaktu dengan metoda jam‐henti. Salah satu langkah yang penting

dilakukan didalamnya adalah melakukan pemilahan elemen operasi, seperti yang dikembangkan

oleh Gilberth.

Tahapan perhitungan yang dilakukan hingga mendapatkan waktu baku digambarkan dalam Gambar

1.

Gambar 1 Tahapan Perhitungan Waktu Baku

Keterangan: P= faktor penyesuaian

L= faktor kelonggaran

Page 5: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 4

Faktor penyesuaian diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dalam

keadaan tidak wajar sehingga hasil perhitungan waktu siklus perlu disesuaikan atau dinormalkan

terlebih dahulu agar mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Sedangkan kelonggaran adalah

waktu yang diberikan kepada operator untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan

fatigue, dan gangguan-gangguan yang tidak terhindarkan oleh operator.

Pengertian waktu siklus, waktu normal, dan waktu baku adalah sebagai berikut:

Waktu Siklus

Waktu siklus adalah waktu akumulasi dari setiap elemen‐elemen pekerjaan yang ada di

sebuah stasiun kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Waktu Normal

Waktu yang dibutuhkan untuk seorang operator dalam keadaan normal. Definisi keadaan

normal disini adalah operator yang bekerja dengan tidak terlalu cepat (ahli) atau operator

yang tidak pada tahap pembelajaran.

Waktu Baku

Waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator untuk menyelesaikan suatu pekerjaan

spesifik dengan mempertimbangkan kondisi internal (kemampuan, keahlian, dll) maupun

eksternal (lingkungan).

Pengolahan waktu baku perakitan berdasarkan data yang diperoleh saat praktikum adalah:

Uji Keseragaman Data

Uji Kecukupan Data

Perhitungan Waktu:

1. Waktu Siklus

Keterangan: = rata-rata subgrup

Nsubgrup = banyak subgrup

2. Waktu Normal

Keterangan: = faktor penyesuaian

Page 6: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 5

3. Waktu Baku

Keterangan: = faktor kelonggaran

2. Perancangan Stasiun Kerja

Dalam merancang stasiun kerja, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Jenis stasiun kerja

Stasiun kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam berdasarkan posisi tubuh pada saat

bekerja:

1. Stasiun kerja untuk operator duduk

Stasiun kerja untuk operator duduk sesuai untuk situasi:

Semua objek (material, alat, dll) yang dibutuhkan dalam bekerja dapat diambil

dengan mudah dan berada dalam jangkauan tangan dalam posisi duduk

Pekerjaan tidak membutuhkan gaya/tenaga yang besar

Pekerjaan memerlukan kontrol yang teliti pada bagian kaki dan tangan

Objek yang dipegang tidak lebih dari 15 cm jauhnya dari landasan kerja

Pekerjaan dilakukan dalam waktu yang lama

Gambar 2 Stasiun Kerja Operator Duduk (1)

Sumber: B4D3 Consultant

Page 7: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 6

Gambar 3 Stasiun Kerja Operator Duduk (2)

Sumber : Barnes, 1963; Squire, 1956

2. Stasiun kerja untuk operator berdiri

Stasiun kerja untuk operator berdiri sesuai untuk situasi:

Tidak tersedia tempat untuk menyangga kaki dan lutut.

Sering dilakukan penangan untuk objek yang berat (lebih dari 4.5 kg).

Sering dilakukan gerakan menjangkau yang terlalu jauh/dekat.

Sering dilakukan pekerjaan dengan aktivitas menekan ke bawah.

Mobilitas untuk bergerak di sekitar stasiun kerja tinggi.

Gambar 4 Stasiun Kerja Operator Berdiri

Sumber : Workplace Health, Safety and Compensation Commission of New Brunswick

Selain itu terdapat beberapa rekomendasi ergonomik tentang ketinggian landasan kerja

posisi berdiri yang didasarkan kepada ketinggian siku berdiri, yaitu sebagai berikut ini:

Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian tinggi , landasan kerja yang

direkomendasikan adalah 5 – 10 cm di atas tinggi siku berdiri.

Page 8: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 7

Untuk pekerjaan yang melibatkan banyak peralatan dan material , tinggi landasan

kerja yang direkomendasikan adalah 10 – 15 sm di bawah tinggi siku berdiri.

Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan kerja

yang direkomendasikan adalah 15 – 40 cm di bawah tinggi siku berdiri.

3. Stasiun kerja untuk operator duduk berdiri

Desain stasiun kerja sangat ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan.Baik

desain stasiun kerja untuk posisi duduk maupun berdiri, keduanya memiliki keuntungan

dan kerugian. Clark (1996) mencoba mengambil keuntungan dari ke kedua posisi

tersebut dan mengombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi duduk dan berdiri

menjadi satu desain dengan batasan sebagai berikut:

Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada saat tertentu dan dalam posisi berdiri pada

saat yang lainnya. Perubahan posisi kerja dilakukan bergantian;

Pekerja perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40 cm ke depan dan atau 15 cm di atas

landasan kerja; dan

Tinggi landasan kerja antara 90-120 cm merupakan ketinggian yang paling tepat dan

baik untuk posisi duduk maupun berdiri.

Gambar 5 Stasiun Kerja Operator Duduk Berdiri

Sumber : Das and Grady, 1983a

b. Bidang Kajian Ergonomi

Terdapat lima bidang kajian ergonomi, yaitu biomekanika, antropometri, fisiologi,

penginderaan, dan psikologi kerja. Pada modul ini, bidang kajian yang dijelaskan dibatasi

mengenai visual display dan aspek lingkungan fisik.

Page 9: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 8

1. Perancangan Visual Display

a. Tingkat Pemahaman

Tipe kalimat

Broadbent (1977) menyatakan bahwa kalimat yang sederhana dan dalam bentuk aktif,

lebih mudah untuk dipahami.

Kata perintah

Kata‐kata yang digunakan dalam kalimat perintah harus sesuai dengan perintah yang

akan dikerjakan.

Dalam pemasangan visual display, hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Display harus dapat dilihat dan dibaca dengan baik oleh siapapun, dari semua sudut

yang dikehendaki, serta pada saat kapanpun (siang atau malam hari).

2. Display tidak boleh menimbulkan perbedaan penafsiran atas artinya.

3. Display hendaknya memiliki warna yang cukup kontras dengan lingkungan

sekelilingnya.

4. Display ditempatkan pada sudut pandang normal.

5. Display tidak terhalangi oleh benda‐benda lain.

6. Hindari timbulnya bayangan pada permukaan display yang berasal dari penutupnya

atau dari bagian display yang lain.

7. Hindari distorsi optikal akibat pantulan lampu pada display.

b. Legibilitas

Legibilitas adalah sifat mudah dibaca, yaitu sifat kemudahan untuk membedakan dan

mengenali antara huruf dan angka.

Font Case

Text dapat ditampilkan dalam lowercase (huruf kecil) atau uppercase (huruf kapital).

Poulton (1967) mengatakan bahwa teks dengan lowercase lebih mudah dibaca

daripada teks dengan uppercase seluruhnya. Hal ini disebabkan ketajaman huruf

lowercase lebih tinggi daripada uppercase.

Font Size

Dalam buku Engineering Psychology and Cognitive Ergonomics, menyatakan bahwa

font size memiliki peranan penting dalam ketersampaian informasi dari suatu

Page 10: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 9

tulisan. Perbandingan antara lebar, tebal, dan tinggi huruf menentukan kemampuan

sebuah tulisan atau teks dapat dibaca atau dilihat dengan jelas. Perbandingan antara

lebar dan tinggi huruf yang sering digunakan adalah 3:5, sedangkan untuk tebal dan

tinggi huruf perbandingannya adalah 1:5.

Gambar 6 Lebar, Tebal, dan Tinggi Huruf

Sumber: Heglin,1973.

Selain itu, warna huruf dan latar belakang (kekontrasan) juga

mempengaruhikemampuan baca sebuah tulisan.Heglin (1973) menyatakan

beberapa kekontrasan huruf yang baik:

Dengan pencahayaan yang baik, perbandingan tebal‐tinggi tulisan black on

white adalah 1:6 sampai 1:8, sedangkan untuk white on black adalah

1:8sampai 1:10.

Jika pencahayaan dikurangi, tulisan dengan huruf yang tebal lebih mudah

dibacadaripada tulisan dengan huruf tipis.

Jika kekontrasan tulisan dengan latar belakang rendah, maka huruf yang

sebaiknya digunakan adalah huruf tipe boldface dengan

perbandingantebal/lebar dan tinggi yang rendah (misalnya 1:5).

Untuk tulisan yang terang, perbandingan tebal‐tinggi huruf yang digunakan

adalah 1:12 sampai 1:20.

Untuk huruf hitam dengan latar belakang yang sangat terang, digunakan

huruf yang sangat tebal.

Font Style

Font Style yang mudah dibaca adalah font style yang cenderung lebih simple, tegas,

dan tidak terlalu banyak ukiran/lekukan(subjektif).

Kontras warna

Kontras warna yang baik dapat mempengaruhi kecepatan membaca. Menurut

Kodak, berikut warna-warna yang sesuai untuk display:

Page 11: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 10

Tabel 1 Tingkat Kekontrasan Warna

c. Keterbacaan

Keterbacaan adalah kemampuan suatu tulisan mudah untuk dibaca (membedakan antar

kata dan spasi).

• Jarak pembacaan

Menurut Berger dalam Sutalaksana (1979), huruf dapat dilihat dari jauh berdasarkan

tebal dan tinggi huruf. Menurut Kodak, ukuran huruf tergantung pada jaraknya:

Tabel 2 Jarak Pembacaan

Layout

Keterbacaan juga penting hubungannya dalam penentuan border dan spacing. Sebagai

contoh: border harus dibuat agak tebal dan diberi spacing.

Page 12: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 11

Spasi antar huruf

Moriarty dan Scheiner (1984) mengatakan bahwa tulisan dengan spasi huruf yang dekat

atau rapat lebih cepat dibaca daripada tulisan dengan spasi huruf biasa.

Spasi antar baris

Wilkins dan Nimmo‐Smith (1987) menyatakan bahwa kejelasan isi sebuah tulisan akan

semakin baik bila spasi antar baris dari tulisan tersebut semakin besar.

2. Lingkungan Fisik

Dalam perancangan sistem kerja, lingkungan fisik di sekitar tempat kerja perlu diperhatikan

karena performansi kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik

kerjanya. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud adalah:

1. Iklim Kerja

Iklim kerja terdiri dari suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara, serta panas radiasi.

Suhu

Suhu menunjukkan derajat panas benda. Suhu mempengaruhi kualitas kerja seseorang.

Dengan suhu yang nyaman, maka akan tercipta sistem kerja yang baik sehingga dapat

meningkatkan performansi kerja seseorang.

Kelembaban

Kelembaban adalah jumlah air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan

dalam persentase. Semakin panas dan semakin lembab lingkungan, maka semakin banyak

oksigen yang diperlukan, sehingga mempercepat berdetaknya denyut jantung. Oleh

karena itu, dalam suatu lingkungan kerja harus dilakukan penyesuaian temperatur dan

kelembabannya.

Page 13: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 12

Kecepatan gerakan udara

Kecepatan gerakan udara berkaitan dengan sirkulasi udara. Untuk menjaga agar udara di

sekitar tempat kerja tetap sehat dalam artian mengandung oksigen yang cukup, udara

harus bersirkulasi dengan baik.

Panas radiasi

Panas radiasi dapat menyebabkan kenaikan suhu pada tempat kerja sehingga dapat

mempercepat kelelahan pekerja.

2. Kebisingan

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki telinga yang dapat

menyebabkan hal-hal berikut.

Mengganggu konsentrasi

Mengurangi ketenangan kerja

Menyulitkan komunikasi

Merusak pendengaran dalam jangka waktu panjang

Untuk mengetahui kebisingan yang terjadi, terdapat parameter-parameter sebagai berikut.

Durasi

Intensitas

Frekuensi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. 1405 tentang Persyaratan Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, standar untuk tingkat kebisingan di ruang kerja

adalah maksimal 85 dBA.

Berdasarkan Keputusan Tenaga Kerja Nomor : KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang

Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, nilai ambang batas kebisingan adalah sebagai berikut.

Page 14: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 13

Tabel 3 Nilai Ambang Batas Kebisingan

3. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja. Pencahayaan

mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melihat objek secara jelas, cepat, dan benar.

Kemampuan mata melihat objek secara jelas ditentukan oleh ukuran objek, derajat kontras

antara objek dan sekelilingnya, luminensi, dan lama melihat. Selain itu, letak sumber cahaya

juga mempengaruhi efektivitas mata dalam melihat.

Standar pencahayaan berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan No. 07 Tahun

1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan Dalam Tempat Kerja

dijelaskan dalam tabel berikut.

Kondisi Intensitas (lux)

Penerangan darurat 5

Halaman dan jalan perusahaan 20

Pekerjaan membedakan benda kasar 50

Pekerjaan membedakan benda sepintas lalu 100

Pekerjaan membedakan barang kecil agak teliti 200

Page 15: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 14

Pekerjaan membedakan yang teliti dari barang kecil dan halus 300

Pekerjaan membedakan barang halus dengan kontras sedang dan dalam

waktu lama 500 - 1000

Pekerjaan membedakan barang sangat halus dengan kontras yang sangat

kurang dan dalam waktu lama 1000

Tabel 4 Standar Pencahayaan

4. Getaran

Getaran adalah gerakan yang teratur dari suatu benda atau media dengan arah

bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Getaran membutuhkan struktur mekanik

sebagai media transmisi, yaitu mesin, bangunan, tubuh manusia, dll. Getaran dapat

mempengaruhi konsentrasi bekerja dan mempercepat datangnya kelelahan.

Tabel 5 Nilai Ambang Batas Getaran

Sumber : Pusat K3 Kemenakertrans RI

5. Bau-bauan dan debu

Bau-bauan dan debu dapat mempengaruhi konsentrasi kerja, kelainan pernafasan,

dan kepekaan penciuman pekerja.

6. Warna

Warna yang terdapat pada lingkungan kerja, seperti pada dinding, benda kerja,

kemasan produk, dan lain-lain dapat memberikan efek psikologis pekerja (kuning

memberikan efek kesegaran, oranye memberikan efek kehangatan, dsb.)

Page 16: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 15

c. Prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja yang perlu diketahui

Beberapa prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja lainnya yang perlu diketahui dalam

melakukan perancangan stasiun kerja usulan adalah 5S, pokayoke, dan SMED.

1. 5S

5S merupakan lima kata yang berasal dari bahasa Jepang yang diartikan ke dalam bahasa

Inggris dan diawali dengan huruf S. 5S adalah metode yang digunakan dalam mengatur dan

mengelola ruang kerja (workspace) dan aliran kerja (workflow) yang bertujuan untuk

menghilangkan pemborosan, memperbaiki aliran kerja, dan mengurangi proses yang tidak

diperlukan. Dalam bahasa Indonesia, 5S sering dikenal dengan nama 5R, yaitu:

1. Seiri = Sorting = Ringkas

Ringkas dalam hal ini berarti dapat memilah mana alat/barang yang dibutuhkan dan

yang tidak dibutuhkan dalam suatu sistem kerja. Memiliki barang yang tidak

dibutuhkan dalam suatu sistem kerja tidak membawa nilai tambah sehingga

sebaiknya disingkirkan.

2. Seiton = Straighten or Set in Order = Rapi

Setelah meringkas, selanjutnya adalah merapikan atau mengorganisasikan peralatan

di sistem kerja. Merapikan ini dimaksudkan untuk meletakkan dengan peralatan di

tempat yang mudah bagi orang untuk menemukan atau menggunakan

peralatannya.

3. Seisō = Sweeping = Resik

Resik seperti arti katanya yaitu bersih. Resik dalam sistem kerja berarti menjaga

kebersihan di sistem kerja tersebut, seperti menyapu lantai, mencuci peralatan, dan

sebagainya.

4. Seiketsu = Standardizing = Rawat

Rawat berarti menjaga kondisi peralatan/barang pada sistem kerja tetap ringkas,

rapi, dan resik. Perawatan juga digunakan untuk menjaga kondisi peralatan tetap

baik.

5. Shitsuke = Sustaining = Rajin

Rajin ini berarti tetap mempertahankan 4S sebelumnya. Kedisiplinan dalam

melaksanakan 4S dapat mengurangi banyak pemborosan.

Page 17: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 16

Gambar 7 Alur Penggunaan 5S

Sumber : http://www.tpfeurope.com

2. Poka Yoke

Poka Yoke dalam bahasa Jepang dari Yokeru berarti untuk menghindaridan Poka berarti

kesalahan karena ketidakhati-hatian. Maka, Poka Yoke berarti alat untuk menghindari

kesalahan. Dalam literatur barat Poka Yoke dikenal sebagai mistake proofing. Dengan Poka

Yoke maka jumlah cacat produk akan berkurang karena mencegah atau mengoreksi

kesalahan secepatnya. Poka Yoke terdiri dari 2 kategori, yaitu Prevention dan Detection.

Gambar 8 Gambar USB menyatakan bagian atas kabel untuk mencegah kesalahan

Sumber : http://agilesoftwaredevelopment.com

Page 18: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 17

3. SMED

SMED atau Single Minute Exchange Dies yaitu suatu metode untuk meminimasi waktu setup

dari satu jenis produk ke produk lainnya. Ada dua jenis setup, yaitu setup internal dan setup

eksternal. Setup internal adalah setup yang dapat dilakukan jika mesin mati atau mesin tidak

beroperasi sedangkan setup eksternal adalah setup yang dapat dilakukan pada keadaan

mesin menyala atau tanpa mematikan mesin. Tahap dalam SMED terdiri dari identifikasi

pekerjaan, identifikasi mana yang merupakan setup internal dan setup eksternal, dan

kemudian merekayasa agar setup internal berkurang sehingga sedemikian sehingga setup

dapat dilakukan dengan mematikan mesin sesedikit mungkin. Hal inilah yang akan

meminimasi waktu setup.

Gambar 9 Prinsip SMED

Sumber : http://eng.managerservices .nl

Page 19: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 18

Daftar Pustaka

Eastman Kodak Company. Ergonomic Design for People at Work. (1983). Belmont, California:

Lifetime Learning Publications.

Hirano, Hikayuki. The Complete Guide to Just-in-Time Manufacturing Vol.2 (1990). New York :

CRC Press.

Niebel, B. W., & Freivalds, A. Methods, Standards and Work Design. (1999). New York: Mc-

Graw-Hill.

Salvendy, G. Handbook of Human Factors and Ergonomics. (1997). New York: John Wiley &

Sons Inc.

Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik

Perancangan Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Page 20: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 19

Flowchart Praktikum

Gambar 7 Flowchart Praktikum

Alat dan Bahan

Sub-assembly dongkrak (disediakan oleh asisten)

Stopwatch (boleh menggunakan hp/jam digital)

Lembar pengamatan

Lima lembar drawing

Tabel penyesuaian Westinghouse

Tabel kelonggaran

Data antropometri (persentil)

Data kondisi lingkungan fisik

Peta Pekerja Mesin (PPM) usulan terbaik

Lampiran dibawa terpisah saat Responsi dan Praktikum

Page 21: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 20

Penulisan Laporan

Laporan dibuat dengan susunan sebagai berikut:

Cover Lembar Pengesahan Lembar Asistensi Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

1.3 Flowchart Pengerjaan Laporan

BAB 2 PENGOLAHAN DATA 2.1. Rekapitulasi Data

2.1.1 Data Waktu Perakitan 2.1.2 Data Kondisi Lingkungan Fisik

2.2. Pengujian Data Waktu 2.2.1 Uji Seragam 2.2.2 Uji Cukup

2.3. Proses Perhitungan Waktu Baku 2.4. Desain Stasiun Kerja Existing

2.4.1. Stasiun Kerja Keseluruhan Existing 2.4.2. Stasiun Kerja Satu Mesin Existing

2.5. Desain Perbaikan Stasiun Kerja 2.5.1. Stasiun Kerja Keseluruhan

2.5.2. Stasiun Kerja Satu Mesin

BAB 3 ANALISIS 3.1 Analisis Pemilihan Nilai Faktor Penyesuaian dan Faktor Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu

Baku 3.2 Analisis Pemilihan Dimensi Perancangan Stasiun Kerja 3.3 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Satu Mesin 3.4 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Keseluruhan 3.5 Analisis Penggunaan Waktu Baku di Industri

3.6 Analisis Input dan Output Modul

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 4.2 Saran

4.2.1 Saran Untuk Praktikum 4.2.2 Saran Untuk Asisten

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Page 22: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 21

Format laporan mengikuti ketentuan sebagai berikut :

a. Ukuran kertas A4 b. Margin : kiri 2.5 cm; kanan-atas-bawah 2 cm c. Dicetak bolak-balik d. Jenis font

Isi laporan : Calibri 10 Judul bab dan sub bab : Cambria 11 Bold

e. Spasi : Multiple 1.2 f. Align: Justified g. Header

Kiri : Modul 4 – Standardisasi Sistem Kerja Kanan : Nama dan NIM Asisten

h. Footer : Kiri : NIM Anggota Kelompok (13413xxx – 13413xxx – dst) Kanan : Nomor halaman

i. Cover: nama dan nomor mata kuliah, judul modul, nomor kelompok, nama masing-masing anggota

kelompok, nama laboratorium, logo ITB, prodi, fakultas, dan tahun.

Page 23: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 22

Lampiran

Lampiran 1 - Tabel Penyesuaian Westinghouse

Tabel 1 Penyesuaian Metode Westinghouse yang Sudah Disesuaikan untuk Orang Indonesia

Page 24: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 23

Sumber: Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik Perancangan

Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Ciri-ciri setiap kelas antara lain :

Super skill :

1. Bekerja secara sempurna

2. Tampak seperti telah terlatih sangat baik

3. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sulit untuk diikuti

4. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainya tidak terlampau terlihat karena

lancarnya

5. Tidak terkesan adanya gerakan berpikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjaka

Excellent Skill :

1. Percaya pada diri sendiri

2. Tampak cocok dengan pekerjaannya

3. Terlihat terlatih baik

4. Bekerja dengan teliti sehingga tidak banyak melakukan pengukuran atau pemeriksaan lagi

5. Gerakan kerja dan urutan dikerjakan tanpa kesalahan

Page 25: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 24

6. Bekerja cepat tapi halus

7. Bekerja berirama dan terkoordinasi

Good Skill :

1. Kualitas hasil baik

2. Bekerja lebih cepat dibanding pekerja lainya

3. Dapat memberi petunuk pada pekerja lain

4. Tidak memerlukan banyak pengawasan

5. Tidak ada keragu-raguan

6. Bekerja stabil

7. Gerakan cepat

Average Skill :

1. Gerakan cepat tapi tidak cepat

2. Terlihat adanya pekerjaan perencanaan

3. Bekerja cukup teliti

4. Secara keseluruhan cukup memuaskan

5. Mengkoordinasikan tangan dan pikiran cukup baik

Fair Skill :

1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik

2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya

3. Terlihat adanya perencanaan sebelum melakukan gerakan

4. Tidak tampat terlalu yakin akan pekerjaan yang dilakukan

5. Saat tidak fokus, output akan sangat rendah

6. Tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup

Poor Skill :

1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran

2. Gerakan kaku

3. Terlihat ketidakyakinan pada urutan gerakan

4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan

5. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan kerja

Page 26: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 25

6. Sering melakukan kesalahan

Lampiran 2 – Tabel Kelonggaran

Tabel 2 Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Page 27: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 26

Catatan: H. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi Pria ( 0-2.5 %) dan Wanita ( 2-5%).

Page 28: Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja

MODUL 4 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 27

Lampiran 3 – Lembar Pengamatan

LEMBAR PENGAMATAN

Nama Pengamat :

Hari/Tanggal :

Jam Pengamatan :

Stasiun Pengamatan: Duduk/Berdiri