modernisme dan fundamentalisme dalam … · web viewkomentar terhadap buku "modernisme dan...

22
MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM SOROTAN Komentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" Karya Yusril Ihza Mahendra A. Pendahuluan Buku yang berjudul "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" ini pada mulanya merupakan disertasi Yusril Ihza Mahendra untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada 1993. Saya (Muh. Isa Anshory) tidak akan mengomentari keseluruhan isi buku ini, baik berupa kritik maupun apresiasi 1 , namun hanya akan menekankan pada bagian Pendahuluan yang menggambarkan desains penelitian secara umum dan bagian Kesimpulan yang berisi jawaban atas rumusan masalah pada bagian Pendahuluan. Agar mendapatkan gambaran yang utuh dan tidak terputus, saya sampaikan terlebih dahulu ringkasan dari dua bagian tersebut dalam makalah ini sebelum saya memberikan komentar terhadap buku ini. B. Ringkasan Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam" a. Latar Belakang Masalah Secara tersirat, Yusril mengemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan tema penelitian tentang 1 Mengenai kritik terhadap buku ini, silakan lihat Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press. 1

Upload: phungkien

Post on 21-May-2018

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM SOROTAN

Komentar Terhadap Buku

"Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi

(Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)"

Karya Yusril Ihza Mahendra

A. Pendahuluan

Buku yang berjudul "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam;

Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" ini pada

mulanya merupakan disertasi Yusril Ihza Mahendra untuk memperoleh gelar Doctor of

Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada 1993. Saya (Muh. Isa Anshory) tidak akan

mengomentari keseluruhan isi buku ini, baik berupa kritik maupun apresiasi1, namun hanya

akan menekankan pada bagian Pendahuluan yang menggambarkan desains penelitian secara

umum dan bagian Kesimpulan yang berisi jawaban atas rumusan masalah pada bagian

Pendahuluan. Agar mendapatkan gambaran yang utuh dan tidak terputus, saya sampaikan

terlebih dahulu ringkasan dari dua bagian tersebut dalam makalah ini sebelum saya

memberikan komentar terhadap buku ini.

B. Ringkasan Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam"

a. Latar Belakang Masalah

Secara tersirat, Yusril mengemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi

pemilihan tema penelitian tentang modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam.

Beberapa alasan itu dapat diringkas sebagai berikut:

- Menurut Yusril, modernisme dan fundamentalisme merupakan dua fenomena global

yang dapat dijumpai dalam berbagai masyarakat yang menganut "agama-agama

dunia", seperti Yahudi, Hindu, Kristen, dan Islam. Terkait dengan Islam, kedua

fenomena itu telah banyak diperbincangkan orang. (hal. 3) Dengan demikian, sumber

mengenai tema ini tersedia dan mudah didapatkan.

- Yusril ingin ikut mengambil bagian dalam diskursus akademis tentang modernisme

dan fundamentalisme Islam, khususnya di kalangan pengikut mazhab Sunni. (hal. 4)

Dilihat dari aspek kemampuan, seorang intelektual seperti Yusril sudah tentu

memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian mengenai tema ini.

1 Mengenai kritik terhadap buku ini, silakan lihat Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press.

1

Page 2: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

- Yusril berusaha untuk membahas masalah modernisme dan fundamentalisme Islam

dalam kajian ini dengan menggunakan perspektif ilmu politik. Menurutnya, perspektif

demikian akan memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menganalisis modernisme

dan fundamentalisme sebagai dua "aliran politik" atau dua "ideologi politik". Kedua

aliran itu akan dihubungkan dengan partai-partai Islam yang oleh penulis-penulis

sebelumnya telah dikategorikan sebagai partai beraliran "modernis" dan

"fundamentalis". Menurut Yusril, pendekatan seperti itu cukup menarik untuk

dilakukan. (hal. 4)

b. Perumusan Masalah

Dalam penelitiannya ini, Yusril merumuskan dua permasalahan utama:

1. Apakah pandangan-pandangan dasar (karakteristik) "modernisme" dan

"fundamentalisme" jika dihubungkan dengan doktrin Islam?

2. Sejauh manakah pandangan-pandangan dasar kedua aliran itu mempengaruhi

organisasi, program dan perilaku politik partai modernis dan partai fundamentalis?

(hal. 5)

c. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan yang ingin dicapai Yusril dalam studi ini. Pertama,

mempertajam karakteristik dan fundamentalisme untuk menghindari kesalahpahaman

dalam penggunaannya sebagai istilah teknis dalam suatu kajian ilmiah. Kedua, kajian ini

ingin menunjukkan adanya pengaruh, yaitu adanya "elektif afinitas" atau "pilihan yang

sesuai antara pandangan-pandangan dasar modernisme dan fundamentalisme dengan

organisasi dan program partai-partai modernis dan fundamentalis, serta "konsistensi

psikologis" antara pandangan-pandangan dasar itu dengan perilaku aktor-aktor politiknya.

(hal. 10-11)

d. Metode Penelitian

Terkait dengan metode penelitian, Yusril membaginya menjadi tiga. Pertama,

pembahasan tentang alasan pembatasan ruang lingkup kajian. Kedua, metode

pengumpulan data. Ketiga, metode analisis yang dipakai dalam studi ini.

1. Pembatasan Ruang Lingkup Kajian

2

Page 3: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

Secara periode waktu, studi ini dibatasi pada perkembangan modernisme dan

fundamentalisme Islam selama dua dekade, yakni antara 1940-1960. Alasan pembatasan

tersebut didasarkan pada pertimbangan utama bahwa dalam masa itu "perseteruan"

pendapat antara kedua aliran itu bisa diamati secara lebih jelas dibandingkan dengan

masa-masa yang lain. Tahun 1940-an merupakan tahun-tahun akhir kolonialisme di

negeri-negeri Islam. Menjelang kemerdekaan itu, kaum modernis dan fundamentalis

mulai memperdebatkan gagasan-gagasan mereka berkaitan dengan masa depan negeri

mereka dengan isu utama bagaimana meletakkan posisi yang sesuai bagi Islam di alam

kemerdekaan nanti. Setelah kemerdekaan diperoleh, perdebatan kedua kelompok ini

semakin jelas. Kaum modernis yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, terus

ditantang oleh kaum fundamentalis yang menuntut tegaknya "negara Islam yang

sebenarnya" dan ditegakkannya syari'ah Islam secara menyeluruh. Di negeri-negeri

Muslim tertentu, kaum modernis terlibat perdebatan yang sangat sengit dengan golongan-

golongan sekuler, juga mengenai tempat yang sesuai bagi agama di dalam negara.

Perdebatan-perdebatan itu mulai "mereda" –setidaknya untuk sementara—ketika

memasuki dekade 1960, setelah pihak tentara mengambil alih kekuasaan pemerintah sipil.

(hal. 48-49)

2. Metode Pengumpulan Data

Kajian ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Data

primer diperoleh melalui wawancara tidak formal dengan mantan tokoh-tokoh utama

Masyumi. Mereka, antara lain, adalah Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,

Mohamad Roem, Boerhanoeddin Harahap, Anwar Harjono, M. Yunan Nasution,

Mohammad Sardjan, Zainal Abidin Ahmad, Osman Raliby, dan Muhammad Ali

Hanafiah Lubis. Wawancara dengan tokoh-tokoh Jamâ'at-i-Islâmî dilakukan dengan Syed

Asad Gilani, Khurram Jah Murrad, Akhlaq Ahmed, dan Abdurrahman Qureishi. Di

samping wawancara secara langsung, data primer juga dikumpulkan dari dokumen-

dokumen resmi yang disimpan dalam arsip Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî.

Data sekunder diperoleh dari penerbitan-penerbitan Masyumi dan Jamâ'at-i-

Islâmî, media massa umum, hasil-hasil studi para sarjana yang diterbitkan dalam berbagai

media massa, jurnal, buku-buku, makalah-makalah dan tesis serta laporan penelitian

yang belum diterbitkan. Data sekunder juga diperoleh dari wawancara tidak formal

dengan tokoh-tokoh di luar Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî, tetapi dipandang relevan

dengan topik-topik tertentu yang ditelaah dalam studi ini. Tokoh-tokoh dimaksud antara

3

Page 4: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

lain adalah Dr. Mr. Teuku Mohammad Hasan, mantan gubernur Sumatra, menteri Agama

dan anggota Parlemen Indonesia, dan Dr. Inamullah Khan, seorang mantan politikus

Pakistan dan kini menjadi Sekretaris Jenderal World Islamic Conggres yang bermarkas di

Karachi. (hal. 55)

3. Metode Analisis

Penulis berusaha untuk melakukan analisis secara "obyektif" terhadap makna

"subyektif" dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik modernis dan

fundamentalis. Untuk membantu analisis tersebut, penulis menghubungkan motif suatu

tindakan dengan pandangan-pandangan dasar yang dianutnya. Motif tindakan-tindakan

tertentu aktor-aktor politik partai modernis dan fundamentalis dapat dipahami dengan

menghubungkan tindakan-tindakan tersebut dengan dua tipe rasionalitas tindakan sosial,

yang oleh Weber disebut sebagai "Zweckrationaliat" dan "Wertrationaliat".

Zweckrationaliat merupakan tipe rasionalitas yang mencakup pemilihan dan

pertimbangan sadar yang berkaitan dengan tujuan dari suatu tindakan. Rasionalitas tipe

ini secara sadar juga mempertimbangkan pilihan "alat-alat" atau "cara-cara" yang akan

digunakan untuk mencapai tujuan itu. Pilihan itu juga mempertimbangkan berbagai

implikasinya. Wertrationaliat merupakan tipe tindakan yang kurang mementingkan

pilihan dan pertimbangan sadar mengenai "alat-alat" dan "cara-cara" seperti di dalam

Zweckrationaliat, namun yang penting tujuan dari suatu tindakan dapat tercapai. (hal. 56-

57)

e. Studi Kepustakaan

Ada banyak kajian mengenai modernisme dan fundamentalisme yang pernah

dilakukan oleh para penulis sebelumnya. Yusril menyampaikan nama beberapa penulis

beserta rumusan definisi mereka tentang modernisme dan fundamentalisme. Dalam

makalah ini (yaitu Modernisme dan Fundamentalisme dalam Sorotan) hanya akan

disebutkan nama para sarjana yang pendapatnya tentang modernisme dan

fundamentalisme dinukil oleh Yusril tanpa menuliskan bagaimana bunyi pendapat

mereka dan terdapat dalam buku apa karena hanya sekadar untuk menunjukkan bahwa

Yusril telah melakukan studi kepustakaan. Para sarjana yang telah mengemukakan

pendapatnya tentang rumusan modernisme antara lain adalah Ahmad Hassan, Chehabi,

Mukti Ali, Fazlur Rahman, Bassam Tibi, Hamilton Gibb, Wilfred C. Smith, Edward Said,

Marshal G.H. Hodgson, Robert N. Bellah, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, dan Leonard

4

Page 5: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

Binder. (hal. 12-16) Sementara itu, para sarjana yang telah mengemukakan pendapatnya

tentang rumusan fundamentalisme antara lain adalah Jan Hjarpe, Leonard Binder, Allan

Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi, Bruce Lawrence, Fazlur Rahman,

Fouad Ajami, dan Hrair Dekmejian. (hal. 17-20)

f. Kerangka Pemikiran Teoretis

Berdasarkan pendapat-pendapat beberapa sarjana terkemuka mengenai

modernisme dan fundamentalisme seperti yang telah disebutkan dalam studi kepustakaan,

Yusril akhirnnya merumuskan definisi kedua aliran itu. Menurutnya, modernisme dan

fundamentalisme diartikan sebagai dua ideologi atau aliran politik yang sama-sama

berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Keduanya sama-sama bertujuan untuk

membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang

termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah itu. Namun demikian, meskipun kedua aliran

itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin

menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Modernisme cenderung

menafsirkan doktrin secara elastis dan fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung

menafsirkannya secara rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini,

menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-

masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah

dan tradisi Islam; (c) ijma'; (d) pluralisme (kemajemukan); dan (e) hikmah. Perbedaan

kecenderungan penafsiran terhadap lima masalah ini yang menjai faktor terpenting untuk

membedakan modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam. (hal. 29)

Mengacu pada lima masalah di atas, Yusril kemudian merumuskan karakteristik

modernisme dan fundamentalisme. Ringkasnya sebagai berikut:

No Masalah Modernisme Fundamentalisme

1 Ijtihad Modernisme melihat bahwa dalam

masalah-masalah mu'amalah

(kemasyarakatan), doktrin hanya

memberikan ketentuan-ketentuan

umum yang bersifat universal. Oleh

karena itu, ijtihad (pemikiran bebas)

harus digalakkan. Ijtihad

memungkinkan corak pengaturan

doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan

umum itu dapat diimplementasikan ke

Fundamentalisme memandang

bahwa corak pengaturan doktrin

bersifat total dan serba mencakup.

Tidak ada masalah-masalah yang

berhubungan dengan kehidupan

manusia di dunia ini yang luput dari

jangkauan doktrin yang serba

mencakup itu. Karena itu, ijtihad

dengan sendirinya dibatasi hanya

kepada masalah-masalah dimana

5

Page 6: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

dalam suasana konkret, yaitu suasana

masyarakat yang ada pada suatu zaman

dan tempat tertentu.

doktrin tidak memberikan petunjuk

dan pengaturan sampai detail-detail

persoalan.

2 Preseden zaman

awal, serta

sejarah dan

tradisi Islam

Modernisme memandang tradisi awal

Islam yang dicontohkan oleh Nabi

Muhammad dan para sahabat beliau –

terutama zaman Khulafa'ur Rasyidin—

hanyalah mengikat dalam hal prinsip-

prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-

hal yang terperinci. Oleh karena itu,

preseden awal Islam di zaman Nabi dan

para sahabat tidak harus diikuti sampai

pada perincian-perincian berdasarkan

pada prinsip perubahan yang berlaku

dalam masyarakat. Warisan tradisi

zaman ini pun, dengan sendirinya

tidaklah mengikat generasi-generasi

kaum Muslim yang hidup di zaman

kemudian.

Fundamentalisme memandang

preseden zaman awal Islam adalah

mengikat secara keseluruhan; baik

dalam prinsip maupun perincian-

perinciannya. Fundamentalisme

berpendapat bahwa orang-orang

yang hidup di zaman awal lebih

memahami maksud-maksud doktrin.

Zaman awal Islam, yaitu zaman

Nabi dan para sahabat, adalah zaman

ideal yang wajib diwujudkan di

segala zaman.

3 Ijma' Modernisme memandang bahwa ijma'

(konsensus) yang dicapai oleh generasi

terdahulu dapat diperbarui oleh

generasi yang hidup di zaman

kemudian. Hal ini dilakukan jika

faktor-faktor psikologis, sosial, politik,

dan ekonomi yang melatarbelakangi

ijma' itu juga telah berubah. Pembaruan

ijma' ini, menurut kaum modernis,

termasuk juga kemungkinan

memperbarui ijma' para sahabat Nabi.

Kaum modernis juga memperluas

konsep tradisional mengenai ijma' –

yaitu konsensus mayoritas para ulama

fiqh mengenai sesuatu masalah hukum

—menjadi konsensus mayoritas kaum

Muslim, atau wakil-wakil mereka, pada

suatu zaman dan tempat tertentu.

Fundamentalisme memandang ijma'

zaman sahabat Nabi adalah ijma'

yang mengikat generasi-generasi

kaum Muslim hingga akhir zaman.

Ijma' demikian tidak dapat diubah

oleh ijma'-ijma' yang dibuat oleh

generasi yang hidup setelah mereka.

4 Pluralisme

(kemajemukan)

Modernisme melihat pluralisme dengan

sikap positif dan optimis. Kaum

modernis berkeyakinan bahwa selama

Fundamentalisme cenderung

memandang negatif dan pesimis

kepada pluralisme. Masyarakat

6

Page 7: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

dunia ini masih ada, selama itu pula

pluralisme akan tetap ada.

cenderung dilihat secara hitam putih,

yaitu antara masyarakat Islami yang

meyakini dan mengamalkan doktrin

secara kaffah dengan masyarakat

jahiliyah yang tidak meyakini dan

mengamalkannya.

5 Hikmah Bagi kaum modernis, hikmah

(kebijaksanaan) akan ditemukan di

mana saja di muka bumi ini, termasuk

pada umat-umat dan kelompok-

kelompok di luar Islam. Modernisme

cenderung bersikap terbuka untuk

beradaptasi dan mengakulturasi

prinsip-prinsip doktrin dengan hikmah

yang telah disumbangkan oleh

masyarakat-masyarakat yang

mendukung peradaban lain. Dorongan

mencari hikmah itu adalah seiring

dengan kecenderungan kaum modernis

yang lebih berorientasi pada

penyelesaian masalah yang dihadapi

secara konkret, dengan pendekatan

yang bercorak pragmatis dan

kompromistis.

Hikmah tidak perlu dicari dalam

masyarakat-masyarakat yang telah

jelas bersifat jahiliyah itu. Oleh

karena itu, fundamentalisme

cenderung bersifat tertutup dari

kemungkinan beradaptasi dan

berakulturasi dengan prestasi-

prestasi peradaban yang telah

dikembangkan oleh masyarakat lain.

(hal. 29-32)

g. Kesimpulan

Yusril kemudian melakukan pemaparan fakta-fakta mengenai partai Masyumi di

Indonesia dan partai Jamâ'at-i-Islâmî di Pakistan, kemudian menganalisis fakta tersebut

berdasarkan karakteristik modernisme dan fundamentalisme yang telah ia rumuskan.

Kesimpulan sekaligus jawaban dari perumusan masalah yang ia ajukan sebelumnya

adalah sebagai berikut:

1. Modernisme dan fundamentalisme memiliki pandangan-pandangan dasar

(karakteristik yang terkait erat dengan perbedaan kecenderungan dalam menafsirkan

doktrin untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik. (hal. 304) Karakteristik

tersebut secara ringkas sebagaimana telah disebutkan pada bagian kerangka pemikiran

teoretis di atas.

7

Page 8: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

2. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi organisasi dan tipologi

program partai modernis (Masyumi) dan partai fundamentalis (Jamâ'at-i-Islâmî).

a. Kecenderungan Tipologi Organisasi

Partai Islam modernis pada umumnya didirikan secara kolektif untuk

menyatukan potensi dan aspirasi umat. Tujuan partai bersifat terbatas untuk satu

negara tertentu. Untuk mencapai tujuannya, partai modernis cenderung terbuka dan

kompromis dengan golongan lain. Struktur organisasi mengadaptasikan antara nilai-

nilai universal Islam dengan struktur organisasi modern dari Barat. Kepemimpinan

partai menggunakan otoritas legal rasional dengan tanpa menghapuskan otoritas

tradisional dan kharismatik. Oleh karena itu, kepemimpinan partai cenderung

didominasi tokoh berlatar belakang pendidikan Barat. Peran ulama cenderung kurang

penting. Cenderung menjadi partai massa.

Partai Islam fundamentalis pada umumnya didirikan oleh seorang tokoh

sebagai reaksi terhadap kelompok-kelompok Muslim "sekuler" dan modernis. Tujuan

partai bersifat luas dan global (sedunia). Untuk mencapai tujuannya, partai

nonkompromistis. Struktur organisasi terpusat pada Ketua Partai. Kepemimpinan

cenderung monolitik. Cenderung menjadi partai elite dan ekslusif. (hal. 306-307)

b. Kecenderungan Tipologi Program

Di antaranya adalah pengaruh terhadap program politik. Partai Islam modernis

tidak begitu mengutamakan sebutan "negara Islam" atau "Islam sebagai dasar negara",

namun yang lebih penting adalah menstransformasikan nilai-nilai universal Islam ke

dalam hukum dan praktek penyelenggaraan negara. Sebaliknya, sebutan tadi

merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar bagi partai fundamentalis. Partai Islam

modernis berusaha untuk mengadaptasikan nilai-nilai universal Islam di bidang

politik dengan gagasan-gagasan politik Barat modern serta menolak usaha untuk

menegakkan kembali struktur pemerintahan zaman para khalifah. Adapun partai Islam

fundamentalis kebalikan dari dua hal tersebut. (hal. 308-310)

C. Komentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam"

Yusril berusaha untuk mengikuti prosedur penelitian ilmiah dalam menulis kajian di

buku ini. Meskipun singkat, ia menyebutkan alasan penelitian yang dilakukannya pada

bagian awal bab I (Pendahuluan). Kemudian ia mengajukan dua rumusan masalah yang

dijawabnya dalam bab Kesimpulan. Ia juga dengan jelas menyebutkan tujuan penelitian, studi

kepustakaan terhadap karya-karya terkait yang sudah ada sebelumnya, metode penelitian, dan

8

Page 9: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

kerangka pemikiran teoretis. Dalam mengumpulkan data, Yusril berusaha mengambil dari

sumber primer dan sekunder sehingga menjadikan karya ilmiah bisa dipertangunggjawabkan

dari sisi sumber.

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam karya ini. Beberapa di

antaranya bahkan merupakan perkara yang sangat fatal. Perkara pertama dan sangat mendasar

adalah penggunaan istilah modernisme dan fundamentalisme dalam kajian ini. Kedua istilah

ini berasal dari Barat dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Dalam bahasa

Arab, modernisme sering disebut dan diidentikkan dengan tajdîdiyah (pembaharuan). Ada

pula yang menyebutnya dengan hadâtsah. Sementara itu, fundamentalisme sering disebut

dengan ushûliyah. Kedua istilah ini (tajdîdiyah dan ushûliyah) sebenarnya tidak akan didapati

jika kita membuka kamus-kamus lama bahasa Arab. Kita hanya mendapatkan kata dasar

istilah itu, yaitu al-jadîd dan al-ashlu (dasar sesuatu). Kedua istilah ini pun dalam bahasa

Arab dan wacana pemikiran Islam mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda

dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh

banyak orang. Penggunaan istilah dengan perbedaan pemahaman dan substansi tersebut akan

membawa implikasi yang sangat fatal; terlebih jika dikaitkan dengan agama. Dalam Islam,

tajdîd ad-dîn diartikan sebagai upaya untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali

ajaran agama yang ditinggalkan, memurnikannya dari perkara-perkara baru yang bukan

bagian darinya (bid'ah), serta mengaplikasikannya dalam realita dan perkembangan

kehidupan.2 Adapun istilah ushûliyah biasanya dikaitkan dengan kajian ushul fikih yang

bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari

teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah 'legislasi' umum serta pokok-pokok

tasyri'iyah general, seperti: (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf,

(3) apa yang menjadi objek ijtihad, (4) nasakh hukum, dan (5) ta'arudh 'pertentangan' an

tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)."3 Dengan merujuk pada dua pengertian ini,

tajdîd ad-dîn tidak dapat dipisahkan dari ushûliyah.

Pengertian ini tentu jauh berbeda dengan pengertian modernisme dan

fundamentalisme dalam perspektif Barat; termasuk juga pengertian yang digunakan Yusril

dalam bukunya. Selain itu, kedua pengertian tadi bukan pengertian yang dimaksudkan

kebanyakan orang; termasuk juga yang dimaksudkan Yusril dalam bukunya. Dalam

perspektif Barat, modernisme dan fundamentalisme merupakan dua aliran yang saling

bertentangan. Keduanya lahir dari permasalahan yang dihadapi Barat yang berakar dari 2 Amamah, 'Adnan Muhammad. Tt. At-Tajdîd fî Al-Fikr Al-Islâmy. KSA: Dâr Ibn Al-Jauzy. Hal. 19. 3 Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema

Insani Press. Hal. 13-14.

9

Page 10: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Masalah ini tidak didapati dalam Dunia

Islam karena Islam merupakan agama wahyu yang tidak menentang usaha pengembangan

ilmu pengetahuan. Harun Nasution menyatakan bahwa modernisme dalam masyarakat Barat

mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat

istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang

ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan aliran ini

segera memasuki lapangan agama. Modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai

tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan Protestan

dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Aliran ini akhirnya membawa pada timbulnya

sekulerisme di masyarakat Barat.4

Sementara itu, fundamentalisme –sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Imarah—

pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad XIX

M dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani

kembalinya Al-Masih as secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya guna

mengatur dunia ini, seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia. Prototipe

pemikiran yang menjadi cirri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh

teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks

mana pun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbul-simbul

sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab suci.5

Meskipun mengakui sulit untuk mencari istilah selain modernisme dan

fundamentalisme sehingga penggunaan keduanya terpaksa dilakukan, Yusril akhirnya

terjebak pada kesalahan metodologis dalam menganalisis fenomena politik Partai Masyumi

dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî. Baik disadari atau tidak, Yusril terpengaruh oleh perspektif Barat

yang memandang modernisme dan fundamentalisme sebagai dua aliran yang memiliki

perbedaan dalam menafsirkan teks Bibel. Pengaruh itu sangat kental terlihat ketika Yusril

mengajukan konsep "modernisme dan fundamentalisme Islam" setelah mengemukakan

pendapat para sarjana Barat dan atau mereka yang terpengaruh Barat dalam Studi

Kepustakaan dengan menekankan pada perbedaan kecenderungan dalam menafsirkan

doktrin. Menurut Yusril, modernisme cenderung menafsirkan doktrin secara elastis dan

fleksibel. Sementara fundamentalisme cenderung menafsirkannya secara rigid dan literalis.

Penafsiran terhadap Al-Quran maupun penjelasan (syarh) terhadap As-Sunnah dalam

Islam merupakan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang mapan. Keduanya terikat erat 4 Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan

Bintang. Hal. 11.5 Imarah. Op. cit. hal. 10.

10

Page 11: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

dengan syarat-syarat yang ketat. Dalam menafsirkan Al-Quran misalnya, mufassir harus

menguasai minimal 15 macam pengetahuan sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin

As-Suyuthi.6 Selain itu, ia harus memperhatikan manhaj penafsiran. Belum lagi aspek

kepribadian yang juga tidak boleh diabaikan. Menafsirkan nash secara elastis dan fleksibel

tanpa memperhatikan ketentuan dan kaidah justru akan melahirkan pemahaman yang rusak.

Konsekuensinya, hal ini akan mengantarkan kaum "modernis Islam" sebagai orang-orang

yang merusak agamanya.

Kecenderungan penafsiran secara rigid dan literal yang disematkan pada kaum

"fundamentalis Islam" adalah pernyataan yang tidak benar. Seluruh aliran pemikiran Islam

yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul hadits, kaum zhahiriyah maupun

kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majaz (metafor) dan takwil

terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir terjadi ijma' bahwa nash-nash yang tidak

bisa ditakwilkan, yang dalam istilah ahli ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara

sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan

perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada

yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, dan ada

yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak

oleh mazhab-mazhab Islam.7

Kesalahan mendasar dalam mendikotomikan "modernisme dan fundamentalisme

Islam" tersebut berimplikasi pada kerancuan karakteristik yang dibuat Yusril terhadap kedua

aliran itu. Dalam makalah ini, saya tidak akan membahasnya karena tujuan penulisan

makalah adalah untuk melihat desains penelitian; bukan mengkritisi penelitian secara rinci.

Untuk lebih jelasnya, silakan baca buku Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran

Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra karya Adian Husaini.

Selain kesalahan metodologis, Yusril juga terjebak dalam kesalahan generalisasi

ketika membuat pembatasan temporal penelitian. Yusril menyatakan alasan dimulainya

kajian pada 1940 karena pada tahun-tahun akhir kolonialisme di negeri-negeri Islam itu

"kaum modernis dan fundamentalis mulai memperdebatkan gagasan-gagasan mereka

berkaitan dengan masa depan negeri mereka dengan isu utama bagaimana meletakkan posisi

yang sesuai bagi Islam di alam kemerdekaan nanti." Terlepas dari pro-kontra dikotomi

6 15 pengetahuan tersebut adalah bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqâq, al-ma'âni, al-bayân, al-badî', ilmu qira'ah, ushuluddin, ushul fikih, asbâbun nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, fikih, hadits-hadits, dan ilmu muhibah. Silakan lihat: Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125.

7 Imarah. Op. cit. hal. 14.

11

Page 12: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

"modernisme dan fundamentalisme Islam", ternyata peristiwa seperti itu tidak terjadi di

Indonesia. Memang Yusril menguraikan adanya kritik yang dilakukan oleh Al-Maududi

terhadap Liga Muslim pimpinan Ali Jinnah pada pembahasan motif pembentukan partai

fundamentalis (hal. 86-96), namun fenomena perdebatan antara tokoh-tokoh yang mewakili

Islam mengenai posisi Islam setelah merdeka nanti tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, tokoh-

tokoh yang mewakili Islam dari berbagai latar belakang organisasi yang berbeda pada masa

penjajahan bersatu dalam perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mereka

terlibat perdebatan sengit dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler dan nonmuslim hingga

tercapailah rumusan kompromi pada 22 Juni 1945 yang disebut dengan Piagam Jakarta.

Dalam Piagam Jakarta tersebut dicantumkan kalimat, "Negara berdasarkan Ketuhanan

dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Namun sehari

setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kalimat itu dicoret oleh Moh. Hatta atas desakan

seorang opsir Jepang yang menyampaikan "ancaman" seorang tokoh Kristen dari Indonesia

Timur. Dengan demikian, terdapat perbedaan kondisi antara India dan Indonesia pada saat itu

(1940-an) lengkap dengan permasalahan yang dihadapi umat Islam di kedua negeri ini. Jika

kondisi dan permasalahan yang dihadapi saja berbeda, maka wajar apabila motif

pembentukan Partai Masyumi dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî juga berbeda. Hal ini tidak lantas

bisa dijadikan justifikasi mengenai kecenderungan tipologi partai modernis dan

fundamentalis dalam motif pembentukan partai.

D. Penutup

Demikianlah sedikit komentar yang bisa saya tuliskan terhadap buku "Modernisme

dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan

Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" karya Yusril Ihza Mahendra. Meskipun menyimpan data-

data sejarah mengenai Masyumi dan Jamâ'at-i-Islâmî yang cukup bermanfaat, namun karya

Yusril ini tidak lepas dari kesalahan fatal. Kesalahan mendasar adalah pendikotomian antara

"modernisme Islam" dan "fundamentalisme Islam" dengan karakter-karakter yang dibuatnya.

Kesalahan metodologis ini dapat berimplikasi pada kesalahan kesimpulan. Hal itu karena

konsep dan teori sebagai alat analisis untuk melakukan pendekatan dalam suatu kajian

berfungsi sebagai konstruk yang memberi bentuk bangunan penelitian. Jika konsep dan

teorinya bermasalah, tentu bentuk bangunan penelitiannya pun juga bermasalah. Dengan

demikian, memposisikan Masyumi sebagai partai modernis dengan pengertian dan karakter

yang dibuat Yusril akan mendorong kesimpulan orang bahwa Masyumi adalah partai yang

merusak Islam. Ini bertentangan dengan kenyataan sejarah. Memposisikan Jamâ'at-i-Islâmî

12

Page 13: MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME DALAM … · Web viewKomentar Terhadap Buku "Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai

sebagai partai fundamentalis dengan pengertian dan karakter yang dibuat Yusril juga akan

mendorong kesimpulan orang bahwa Jamâ'at-i-Islâmî adalah partai radikal, tidak ramah, dan

tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Terlebih dalam wacana publik yang didominasi media massa Barat dan sekuler pada

saat ini, istilah modernisme dan fundamentalisme sudah menjadi tidak netral lagi. Kantor-

kantor berita Barat maupun banyak media massa di negeri Muslim sudah terbiasa

menggunakan istilah modernisme dalam arti yang positif. Modernisme dianggap merupakan

usaha untuk mengadaptasikan Islam ke dalam nilai-nilai modern dan up to date. Sebaliknya,

istilah fundamentalisme digunakan untuk menyebut gerakan-gerakan Islam berhaluan keras.8

Terkait dengan tema kajian Yusril, pemosisian sebagai partai fundamentalis dapat juga

berimplikasi pada buruknya citra Jamâ'at-i-Islâmî. Wallâhu a'lam bish shawâb.

DAFTAR PUSTAKA

Amamah, 'Adnan Muhammad. Tt. At-Tajdîd fî Al-Fikr Al-Islâmy. KSA: Dâr Ibn Al-Jauzy.

Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125.

Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press.

Imarah, Muhammad. 1999. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam; Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan). Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

8 Husaini, Adian. 2000. Yusril Versus Masyumi; Kritik Terhadap Pemikiran Modernisme Islam Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Dea Press. Hal. 27-28.

13