model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

24
. ISSN: 2088-6241 [Halaman 22 45] . Jurnal Review Politik Volume 05, Nomor 01, Juni 2015 MODEL STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Listiyono Santoso dan Dewi Meyrasyawati Universitas Airlangga [email protected], [email protected] Abstract This study attempts to create a cultural strategy to eradicate corruption in Indonesia. Various obstacles to eradicate the culture of corruption in Indonesia along with descriptions of cultural conditions which encourage corruption were easily found. Using a descriptive analytical technique this study tries to reveal corruptive behavior and its scope as well as find a variety of cultural problems. Massive corruption in Indonesia seems to draw us a conclusion that corruption has been the culture of our nation. As a cultural problem, corruption should be carefully addressed within the context of culture. Therefore, a firm model of anti-corruption education, which put emphasis on cultural mentality and formation of anti-corruption behavior for society, is urgently required. Such education should integrate within itself anti-corruption values, which put and see corruption as a common enemy for all. Education as such is expected to form a positive attitude and anti-corruption behavior. Key Words: Corruption, mentality, cultural strategy, and education Abstrak Penelitian ini bertujuan membuat strategi kebudayaan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Berbagai kendala budaya korupsi di Indonesia yang telah ditemukan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif untuk mengungkapkan perilaku korupsi, serta menemukan berbagai masalah budaya. Bagaimana korupsi besar-besaran di Indonesia tampaknya memberikan kesimpulan bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa kita. Sebagai masalah budaya, maka korupsi juga perlu dipahami dalam konteks budaya. Oleh sebab itu, dibutuhkan model pendidikan anti korupsi menyangkut perspektif mentalitas budaya dan pembentukan perilaku anti-korupsi di masyarakat kita. Kata Kunci: Korupsi, mentalitas, strategi budaya, dan pendidikan

Upload: vonhi

Post on 31-Dec-2016

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

. ISSN: 2088-6241 [Halaman 22 – 45] .

Jurnal Review Politik Volume 05, Nomor 01, Juni 2015

MODEL STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Listiyono Santoso dan Dewi Meyrasyawati

Universitas Airlangga

[email protected], [email protected]

Abstract

This study attempts to create a cultural strategy to eradicate

corruption in Indonesia. Various obstacles to eradicate the culture of

corruption in Indonesia along with descriptions of cultural conditions

which encourage corruption were easily found. Using a descriptive

analytical technique this study tries to reveal corruptive behavior and

its scope as well as find a variety of cultural problems. Massive

corruption in Indonesia seems to draw us a conclusion that corruption

has been the culture of our nation. As a cultural problem, corruption

should be carefully addressed within the context of culture. Therefore,

a firm model of anti-corruption education, which put emphasis on

cultural mentality and formation of anti-corruption behavior for

society, is urgently required. Such education should integrate within

itself anti-corruption values, which put and see corruption as a

common enemy for all. Education as such is expected to form a positive

attitude and anti-corruption behavior.

Key Words: Corruption, mentality, cultural strategy, and education

Abstrak

Penelitian ini bertujuan membuat strategi kebudayaan untuk

memberantas korupsi di Indonesia. Berbagai kendala budaya korupsi

di Indonesia yang telah ditemukan. Penelitian ini menggunakan

teknik analisis deskriptif untuk mengungkapkan perilaku korupsi,

serta menemukan berbagai masalah budaya. Bagaimana korupsi

besar-besaran di Indonesia tampaknya memberikan kesimpulan

bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa kita. Sebagai masalah

budaya, maka korupsi juga perlu dipahami dalam konteks budaya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan model pendidikan anti korupsi

menyangkut perspektif mentalitas budaya dan pembentukan perilaku

anti-korupsi di masyarakat kita.

Kata Kunci: Korupsi, mentalitas, strategi budaya, dan pendidikan

Page 2: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

23 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

Pendahuluan

Masifnya korupsi di Indonesia ditengarai telah menjadi

ancaman serius bagi kehidupan kebangsaan. Korupsi telah

meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan ber-

negara, karena kepentingan publik yang seharusnya dibiayai

oleh negara, ternyata harus terhambat karena dikorupsi oleh

pengelola negara. Korupsi tidak hanya mengakibatkan keru-

gian keuangan negara, melainkan kian menyulitkan negara

menjalankan pembangunan nasional di berbagai bidang. Kian

hari, korupsi seolah tidak berkurang. Hampir setiap hari di

berbagai media massa selalu saja muncul pemberitaan terkait

penyelewengan keuangan negara tersebut.

Masifnya korupsi, seolah mengindikasikan bahwa korupsi

telah menjadi bagian buruk dalam perilaku pengelolaan penye-

lenggaraan negara di Indonesia. Hampir tidak pernah ada

unsur birokrasi di negara ini yang steril dari penyelewengan.

Tiap kewenangan pengelolaan keuangan negara seperti harus

berakhir dengan penyelewengan. Tidak heran jika Kompas (5

Desember 2012) melansir temuan bahwa institusi maupun

perorangan yang mengkorupsi uang negara sepanjang 2004

sampai 2012 lebih banyak didominasi oleh kalangan birokrasi,

meskipun tidak dipungkiri kalangan swasta dan partai politik

juga punya kecenderungan melakukan korupsi.

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang

dalam tiga (3) tahap, yaitu elitis, endemik, dan sistemik. Pada

tahap elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas di

lingkungan para elit atau pejabat. Pada tahap endemik, korup-

si mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Diakhiri

dengan tahap kritis menjadi sistemik, ketika setiap individu di

dalam sistem terjangkiti penyakit serupa. Penyakit korupsi di

bangsa ini banyak pihak menyebut sebagai tahap paling kritis,

karena hampir setiap bidang organisasi pemerintahan tidak

bisa steril dari perilaku korupsi (Djaya, 2010: 28).

Korupsi sebagai perilaku penyimpangan kekuasaan berpo-

tensi dilakukan oleh siapa saja, termasuk birokrasi yang seha-

Page 3: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

24

rusnya menjadi penjaga gawang bagi diberlakukannya sema-

ngat anti korupsi pun hingga para penegak hukum. Hal ini

menunjukkan betapa korupsi tidak saja menjadi persoalan

hukum, melainkan juga merupakan persoalan mentalitas kebu-

dayaan. Artinya, orang yang sangat mengerti dan paham

tentang hukum pun dapat terjerat kasus korupsi, apalagi yang

lain. Jika demikian, korupsi bukanlah sekedar persoalan

hukum dan hanya bisa didekati dari aspek hukum semata,

melainkan juga aspek lain yang melingkupinya. Aspek hukum

hanyalah melihat korupsi sebagai problem yuridis semata

dengan melihat perilaku dari sudut pandang hukum. Bahwa

korupsi merupakan kasus hukum memang tidak bisa dipung-

kiri, tapi semata melihat korupsi hanya dalam perspektif

hukum semata jelas menyederhanakan persoalan.

Menjelaskan korupsi hanya sebagai fenomena hukum bela-

ka, cenderung menyederhanakan kompleksitas korupsi, apalagi

yang melanda pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Sejarah

panjang korupsi di Indonesia, terutama sejak diberlakukannya

sistem pemerintahan modern yang di dalamnya mulai menge-

nal adanya pembagian kekuasaan dan kepemilikan. Proses

pembagian kekuasaan dan kepemilikan ini berimplikasi pada

batas-batas fasilitas yang sudah diatur sedemikian rupa terkait

dengan pengelolaan kewenangan. Transisi sistem kekuasaan

yang demikian ternyata tidak mampu mengubah sistem kebu-

dayaan yang selama ini melembaga. Birokrasi modern tidak

serta merta menggeser sistem kebudayaan yang berakar dalam

tradisi. Birokrasi modern yang seharusnya menjadi garda

terdepan dalam pelayanan publik yang anti pemberantasan

korupsi, justru memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan

penyalahgunaan kekuasaan.

Korupsi selalu banyak terjadi dalam lingkungan birokrasi.

Tidak saja karena adanya kecenderungan hasrat pribadi,

melainkan juga adanya konstruksi mentalitas yang turut mem-

bangun keinginan seseorang melakukan korupsi dari fasilitas

atau akses kekuasaan yang dimilikinya. Menurut Haryatmoko

Page 4: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

25 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

(2004: 123) korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya

menggunakan kemampuan, campur tangan karena posisinya

untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh,

uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya.

Karenanya, wajar jika disebut bahwa setiap korupsi tidak bisa

dipisahkan dari interaksi dengan kekuasaan. Orang yang

terjun di dunia politik masih dengan mentalitas animal

laborans (Hannah Arendt, 1958) yang orientasi kebutuhan

hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi masih sangat

dominan, yang akhirnya menjadi politik kekuasaan dan atau

birokrasi sebagai tempat mata pencarian utama. Dalam posisi

demikian, sindrom yang akhirnya menyertai adalah korupsi.

Artikel ini lebih diorientasikan pada konstruksi korupsi

dalam perspektif kebudayaan, terutama menyangkut problem

kultural yang melingkupi terjadinya perilaku korupsi sekaligus

pemberantasannya yang kemudian diharapkan dapat

menciptakan strategi kebudayaan dalam pemberantasan

korupsi. Namun demikian, penelitian ini sesungguhnya tidak

hanya terfokus pada individu an sich, melainkan melihat

berbagai perilaku korupsi dalam perspektif kebudayaan. Fokus

yang hendak diungkapkan adalah kondisi kebudayaan terwu-

jud dalam aktivitas berpola manusia yang mendorong

terjadinya perilaku korupsi. Sebagai penelitian lapangan yang

pendekatan lebih bersifat diskriptif naratif, karena didasarkan

pada kemampuan melakukan konklusi dari berbagai peristiwa

korupsi, sekaligus pengalaman pelaku korupsi yang memben-

tuk habituasi korupsi. Sumber informasi data didapatkan dari

wawancara dan observasi kepada para expert dalam bidang

perilaku korupsi, disertai dengan kroscek kepada pelaku

korupsi dan lingkup sosial mereka.

Menelusuri Akar Sejarah Korupsi di Indonesia

Onghokham dalam Mochtar Lubis dan James C. Scot

(1985:115-116) mengatakan bahwa korupsi adalah satu gejala

sosial dan politik dalam sejarah dan masa kini. Dalam tulisan

tersebut Onghokham mengungkapkan tentang sumber-sumber

Page 5: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

26

tradisional dari gejala korupsi di Indonesia yang bermula dari

ketika adanya pemisahan antara kepentingan pribadi dengan

kepentingan publik. Pada masa kerajaan, korupsi memang

tidak dikenal, karena saat itu belum ada pemisahan secara

jelas antara kepemilikan privat dengan kepemilikan publik.

Raja sebagai pemimpin tradisional kerajaan menganggap

bahwa keseluruhan sumberdaya dalam wilayahnya adalah

milik raja sebagai pribadi. Semua penghasilan kerajaan

menjadi bagian dari kepemilikan pribadi.

Korupsi baru diketahui ketika sistem pemerintahan modern

mulai dikenal, ketika kolonialisme Belanda mulai memisahkan

antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Dalam

sistem tersebut, sudah mulai dikenal istilah pejabat sebagai

orang yang diberi wewenang (otoritas/kekuasaan), karena

dipercaya umum, dan penyalahgunaan darinya adalah

pengkhianatan terhadap kepercayaan umum yang diberikan

kepadanya. Korupsi kemudian menjadi istilah yang

menyertainya. Korupsi muncul dari penyalahgunaan kewena-

ngan (abuse of power) yang berakibat pada kerugian kepen-

tingan umum atau negara. Korupsi dalam konteks ini dapat

berupa penyelewengan keuangan negara, pemerasan atau

pungutan liar, suap, hingga menarik keuntungan dari

kewenangan.

Pemisahan kepemilikan pribadi dengan kepemilikan umum

dalam masa-masa transisional tersebut menciptakan perilaku

korup pada pengelola kewenangan atau pejabat. Hal ini bisa

dimengerti karena meskipun sistem pemerintahan dikelola

dengan logika birokrasi modern, tetapi karena sistem kebuda-

yaan yang melingkupinya masih bersifat feodalis-patrimonial,

maka birokrasi tetap menjadi alat pengalihan kekuasaan

kewenangan dengan wajah modern saja.

Pengaruh kehidupan feodalistik-patrimonial yang melem-

baga cukup lama dalam kenyataannya tidak bisa hilang dalam

ruang batin masyarakat Indonesia. Tata kelola kewenangan

kekuasaan dengan prinsip kerja modern pun tak mampu meng-

Page 6: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

27 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

geser sifat patrimonial di dalamnya. Wajah modernitas biro-

krasi dengan langgam tradisional begitu kukuh dalam penge-

lolaan kewenangan. Tidak heran jika mengapa isu korupsi,

kolusi dan nepotisme adalah trending topic yang tidak pernah

selesai dan selalu muncul ke permukaan dalam berbagai

peristiwa penyelewengan kekuasaan. Sebagai bangsa dengan

kultur patrimonial (baca: paternalistik) yang kuat, unsur-unsur

kekerabatan hampir tidak pernah bisa dilepaskan dalam

hampir semua pengelolaan kekuasaan. Hal yang menarik ada-

lah bahwa sistem kekerabatan di Indonesia tidak bersifat

tunggal, melainkan ia bisa saja melibatkan keluarga „batih‟

atau keluarga besar yang tidak melulu berarti ayah-ibu dan

anak. Prinsip “keluarga batih” itu mengartikan bahwa hubu-

ngan kekerabatan itu bisa dirunut secara geneologis dalam

konsep „trah‟ (dalam tradisi Jawa), yakni sebuah hubungan

darah meskipun tidak harus sekandung.

Dengan perspektif di atas, jelas bahwa korupsi dalam ke-

nyataannya tidak bisa dilepaskan dalam konteks alam kultural

masyarakat dalam memahami kepemilikan pribadi maupun

kepemilikan publik. Transisi demokrasi terkait dengan refor-

masi birokrasi akhirnya belum mampu mengubah watak

mentalitas birokrasi dan juga masyarakat dalam memahami

kepemilikan publik. Tidak itu saja, perspektif publik tentang

kekuasaan lebih berorientasi kepada kepemilikan kewenangan

penuh atas kekuasaan tersebut. Orientasi inilah yang

kemudian memiliki kecenderungan bagi terjadinya

penyelewengan pengelolaan kekuasaan.

Tidak berlebihan jika setiap kekuasaan di negeri ini, selalu

berpotensi melahirkan koruptor. Korupsi –akhirnya- berkem-

bang sebagai masalah kebudayaan. Meskipun demikian pen-

tingnya korupsi dalam perspektif kebudayaan, tetapi pende-

katan ini belum memperoleh tempat tempat penting dalam

kajian keilmuan di Indonesia, meskipun sesungguhnya membe-

rikan pengaruh penting bagi perjalanan masa depan bangsa

ini.

Page 7: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

28

Menurut Said dan Nizar Suhendra sebagaimana dikutip

Siswanto (2011: 2) setidaknya ada dua hal yang membuat

korupsi tidak memperoleh tempat dalam kajian keilmuan,

terutama kajian kebudayaan, pertama, korupsi masih dipan-

dang sebagai masalah mikro yang dampaknya dianggap kurang

signifikan bagi tumbuhnya suatu bangsa. Korupsi seolah hanya

berkaitan dengan problema ekonomi yang kemudian masuk

dalam wilayah hukum, padahal perilaku korupsi adalah

mewujudkan cacat moral yang dialami oleh pelakunya. Jika

korupsi begitu masif di segala bidang, maka kecacatan moral

tersebut juga menunjukkan kecacatan moral bangsa ini, kedua,

sistem berpikir bangsa ini sudah menempatkan soal korupsi se-

bagai kondisi yang sudah dimaklumi, karena begitu dominan-

nya perbuatan korupsi melingkupi kehidupan ini sehari-hari.

Sebagian besar rakyat Indonesia agaknya tidak terganggu lagi

oleh masalah korupsi, karena kegiatan kesehariannya berada

di tengah lingkungan yang serba korup.

Mengacu pada perspektif demikian, seolah membenarkan

sinyalemen Magnis Suseno (2003) di atas tentang kultur

kepura-puraan warga masyarakat terhadap perilaku menyim-

pang warga lainnya terkait dengan kepemilikan harta benda.

Artinya, warga masyarakat dalam kultur pembiaran (ommision

culture) memiliki kecenderungan untuk membiarkan berbagai

praktek ketidakjujuran dalam memperoleh harta benda, karena

menghindari disharmonisasi sosial dan agar terlepas dari

anggapan perusak tatanan. Dalam sistem kutlural yang demi-

kian, maka keinginan seseorang membuka praktik penyim-

pangan perilaku ekonomi justru berakibat ‟fatal‟ bagi kehidu-

pan sosialnya. Itulah sebabnya, mengapa para peniup peluit

(whistle blower) berbagai perilaku korup justru menjadikan

mereka sebagai ‟pesakitan‟ dan ‟terpidana‟. Seolah dalam

struktur kebudayaan yang demikian, seorang yang seharusnya

menjadi ‟pahlawan‟ pemberantasan korupsi berakhir menjadi

‟pecundang‟.

Page 8: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

29 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

Korupsi dikatakan sebagai warisan budaya dan buah dari

budaya patrimonial akar-akarnya sudah ditemukan dalam

kerajaan dan masyarakat tradisional Indonesia. Onghokham

(1986: 6) mengatakan bahwa di dalam kerajaan tradisional,

tidak ada perbedaan antara kekayaan pribadi dan kekayaan

„umum‟. Antara kekayaan milik keluarga kerajaan atau

kekayaan milik negara. Kekayaan dalam kultur demikian

seringkali dijadikan alat untuk „membeli‟ loyalitas para pejabat

penting, panglima dan bupati maupun para elite lainnya. Dana

politik biasanya merupakan bagian dari kekayaan ini dan

kekayaan itu harus digunakan untuk menjaga stabilitas

kedudukan. Dengan kata lain, kekayaan raja dan elit politik

adalah bagian dari pembiayaan struktur politik dan ekonomi.

Dalam konteks ini maka dinamika struktur politik dan sosial

tradisional berada dalam dominasi feodalisme (Siswanto, 2011:

20).

Nalar feodalisme dan kultur patrimonial telah menjadi

bagian tidak terpisahkan dalam dinamika sosial masyarakat di

Indonesia sampai sekarang. Dominasi sistem kebudayaan yang

demikian telah membentuk solidaritas sosial yang cukup kuat,

meskipun juga termasuk kepada hal-hal yang dianggap me-

langgar hukum, termasuk di dalamnya korupsi. Solidaritas dan

soliditas sosial pelaku korupsi yang bersifat massal memberi-

kan implikasi begitu kompleks dan rumit pada upaya

pemberantasan korupsi. Tampaknya benar jika disebutkan

bahwa meskipun sistem dalam birokrasi sudah menjadi

modern, tetapi kalau cara berpikir dan sistem sosialnya masih

kental dengan nuansa patrimonial, niscaya pemberantasan

korupsi selalu terkendala pada mentalitas kebudayaan yang

ada. Begitu pula, meskipun, berbagai upaya pemberantasan

korupsi begitu gencar dilakukan hingga dengan pendekatan

moral berupa kampanye melalui leaflet dan pendidikan anti

korupsi, tetapi ketika kultur patrimonial masih dominan, maka

upaya tersebut seperti pesan untuk dilupakan. Ada ruang batin

yang masih perlu diungkapkan terkait dengan pemahaman

masyarakat terhadap filosofi uang dan kekuasaan. Kesalahan

Page 9: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

30

memahami konsep kekuasaan dan kepemilikan harta benda

memiliki kecenderungan kuat mendorong perilaku penguasa

melakukan korupsi terus menerus.

Selain itu, pemberantasan terhadap korupsi juga menda-

patkan hambatan ketika masyarakat masih mengedepankan

shame culture (budaya rasa malu), dan masih jauh dari guilt

culture (budaya rasa bersalah). Menurut Bertens (1994: 32) pa-

da sebagian besar warga masyarakat dunia berkembang,

kebudayaan rasa malu lebih cukup tinggi daripada budaya rasa

bersalah. Dalam kajian antropologi budaya shame culture

memiliki ciri-ciri: 1) dikedepankan perasaan malu berbuat yang

tidak baik, tapi tidak dikenal rasa bersalah; 2) sebuah

kebudayaan yang memperhitungkan „hormat‟, „reputasi‟, „nama

baik‟, „status‟, dan „gengsi‟; 3) kejahatan bukan sebagai suatu

yang buruk, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan; 4)

sanksi muncul dari luar. Sedangkan guilt culture bercirikan: 1)

sebuah kebudayaan yang menekankan pengertian „dosa‟, dan

„kebersalahan‟; 2) kejahatan adalah dosa sekalipun tidak

diketahui orang; dan 3) sanksi muncul dari dalam diri yang

melakukan.

Korupsi dalam Persepsi Publik dan Moralitas

Kekuasaan

Berdasar pada pemetaan fakta korupsi pada bagian

sebelumnya, akan dicoba diuraikan tentang relasi antara

moralitas dengan kekuasaan. Perspektif yang salah terkait

dengan kekuasaan, sering mendorong subjek kuasa mudah

melakukan praktik korupsi, baik yang disadari maupun tidak.

Fenomenologi korupsi ini berupaya untuk menjelaskan betapa

hasrat atau naluri kuasa dari subjek kuasa begitu kuat

sehingga cenderung menempatkan kekuasaan sebagai segala-

nya. Kekuasaan sebagai amanah, berubah bentuknya menjadi

fasilitas bagi hidup dan kehidupannya. Menjadi wajar ketika

praktik korupsi dalam kenyataannya selalu melibatkan keku-

asaan.

Page 10: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

31 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

Menguatnya birokrasi dan parpol sebagai pelaku korupsi,

seolah mengasumsikan bahwa reformasi birokrasi ternyata

tidak berbanding dengan reformasi di bidang pemberantasan

korupsi. Seolah selalu saja ada modus baru dari setiap bentuk

pemberantasan korupsi dilakukan, Hal ini menguatkan suatu

indikasi bahwa watak korupsi di Indonesia mudah dilakukan

oleh birokrasi yang masih menunjukkan wajah patrimonialnya.

Watak korupsi dalam birokrasi patrimonial yang kemudian

didukung oleh perilaku elit politik mendukung kian masifnya

praktik korupsi yang melibatkan oknum birokrasi dan oknum

partai politik.

Korupsi kemudian menjadi sebuah fenomena yang sifatnya

massal, yang dalam perspektif Bourdieu disebut sebagai

banalitas korupsi. Dimana korupsi tidak lakukan oleh sendiri,

termasuk juga tidak dinikmati sendiri. Korupsi selalu meli-

batkan suatu lingkaran struktural di dalamnya. Banalitas

korupsi tersebut akhirnya memberikan suatu kesan bahwa

korupsi dapat diletakkan dalam konteks kebudayaan, yakni

terkait dengan persoalan mentalitas serta persepsi yang salah

terkait dengan pengelolaan kekuasaan. Kekuasaan dalam

konteks ini tidaklah berarti kekuasaan politik semata, melain-

kan berbagai hal terkait dengan kekuasaan kewenangan.

Fenomenologi korupsi menempatkan korupsi sebagai objek

empiris. Kembali kepada objek korupsi secara langsung

merupakan bagian tidak terpisahkan dari bagaimana kita

mempersepsikan korupsi dalam masyarakat maupun dalam

birokrasi. Karena penelitian ini salah satunya berupaya

mengungkapkan bagaimana persepsi masyarakat terhadap

perilaku korupsi, maka fenomenologi menjadi pendekatan

penting untuk dilakukan. Masyarakat menjadi objek yang

dianggap memiliki pengalaman yang secara langsung berhada-

pan dengan fakta korupsi yang melibatkan kekuasaan.

Page 11: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

32

Melalui wawancara dengan beberapa orang di Sidoarjo 1

menunjukkan, suatu fakta bahwa masyarakat cenderung tidak

memiliki perhatian penuh terhadap perilaku seorang pejabat

dari unsur birokrasi yang hidup di lingkungan sekitarnya.

Kalau ada perhatian, masyarakat lebih menempatkan gaya

hidup elit birokrasi tersebut sebagai hak privat yang tidak

boleh diganggu oleh orang lain. Masyarakat cenderung tidak

peduli, meskipun orang tersebut merupakan pejabat publik

yang perilaku hidupnya juga perlu diawasi oleh publik. Bagi

masyarakat tersebut, jikalau perilaku hidup yang berlebihan

itu dilakukan dianggap sebagai kewajaran, karena orang

tersebut merupakan pejabat yang mestinya mendapatkan

fasilitas dari jabatannya.

Persepsi ini tentu saja menarik. Bisa jadi ini bukan fakta

yang bersifat lokal, melainkan umum berlaku dalam sistem

sosial kita yang memang menganut prinsip sikap hormat dan

prinsip rukun (Suseno, 1999: 39-60). Menggunakan anggapan

Hildred Geertz, Magnis Suseno menyebut adanya dua kaidah

paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat kita,

terutama yang hidup di Jawa, yakni: 1) dalam setiap situasi

manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak

sampai menimbulkan konflik; 2) menuntut agar manusia

dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan

sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan

kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai kerukunan,

dan kedua disebut sebagai sikap hormat. Setiap bentuk

interaksi pergaulan masyarakat Jawa setidaknya menggu-

nakan kedua prinsip tersebut sebagai kerangka normatif dalam

menentukan tindakan.

Masyarakat dengan sistem sosial yang demikian meng-

hendaki suatu keadaan yang harmonis dalam masyarakat.

Keadaan ini mengharuskannya meniadakan berbagai bentuk

1Wawancara dilakukan kepada sejumlah orang (6 orang) yang memiliki

kedekatan lingkungan dengan tersangka kasus korupsi di Kemenag

Sidoarjo (inisial LH) dan seorang mantan pejabat pemda (inisal NA).

Page 12: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

33 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

ketegangan dalam masyarakat atau antar pribadi sehingga

hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.

Masyarakat biasanya menjadi tuntutan kerukunan sebagai

yang selayaknya dipatuhi melalui pencegahan segala hal yang

mengganggu kerukunan dan keselarasan.

Dalam konteks demikian, setidaknya terdapat dua segi

tuntutan kerukunan. Pertama, masalahnya bukan pada

penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk

tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada.

Prinsip ini bersifat negatif, karena hanya menuntut pence-

gahan segala kelakuan yang mengganggu keselarasan dan

ketenangan. Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak

menyangkut sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan

penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Hal yang diatur

adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara,

yang dicegah adalah konflik-konflik yang terbuka. Itulah

sebabnya, mengapa masyarakat kita selalu menuntut agar

setiap individu bersedia menomorduakan atau melepaskan

kepentingan-kepentingan pribadi, agar tidak terjadi benturan

kepentingan satu sama lain (Suseno, 1999: 39-40).

Prinsip meniadakan konflik ini membuat masyarakat kita

memiliki sikap untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak

secara tidak langsung. Masyarakat mampu menutupi kekece-

waannya melalui kebiasaan berpura-pura (ethok-ethok). Ke-

mampuan ini dianggap sebagai keutamaan hidup, sebagai seni

yang tinggi dan bernilai positif. Terhadap yang tidak

disukainya, masyarakat akan menyampaikan melalui sikap

tidak langsung atau menyembunyikan perasaan kekecewaan

tersebut, kecuali pada keluarga inti.

Konstruksi sistem nilai ini tentu saja berimplikasi kepada

sikap dan persepsi masyarakat terhadap gaya hidup pejabat

dalam lingkungan sekitarnya. Keinginan untuk hidup harmo-

nis cenderung membuat masyarakat tidak terbiasa kritis

terhadap gaya hidup pejabat publik, yang semestinya diawasi

oleh sistem dan oleh publik. Inilah yang kemudian membuat

Page 13: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

34

kultur pembiaran (ommision culture) terhadap penyimpangan

kekuasaan oleh masyarakat. Hal yang biasa dilakukan

biasanya adalah pejabat tersebut hanya menjadi „perbincangan‟

rutin dalam obrolan di pos ronda atau warung kopi, tanpa ada

penyelesaian yang pasti. Masyarakat sudah terlanjur mene-

rima prinsip rukun sebagai bagian dari tatanan sosial yang

harus dijaga. Agar kerukunan dalam masyarakat terjaga, maka

seseorang tidak boleh membuat suatu aktivitas yang

mengganggu tertib sosial yang sudah ada.

Sikap tidak kritis ini bisa dimengerti sebagai akibat dari

ketidakmampuan memisahkan satu individu dengan jabatan

yang melekatnya. Terlebih pada masyarakat yang masih

bersifat tradisional, meskipun sistem sosialnya sudah menjadi

modern. Pada kondisi masyarakat ini, seorang pejabat tetap

dianggap sebagai tokoh masyarakat yang harus dihormati dan

disegani. Mirip dengan sistem feodalistik yang menempatkan

pejabat sebagai priyayi dari lingkungan keraton (ndalem) yang

harus dijunjung tinggi martabat sosialnya dan harus tercukupi

fasilitas hidupnya. Oleh sebab itu, bagi mereka menjadi aneh

rasanya jika seorang pejabat dalam sebuah lingkungan biro-

krasi tidak memiliki fasilitas yang menunjang kehidupannya

dan keluarganya, seperti rumah mewah, mobil, dan harta

benda lainnya.

Pendidikan Anti Korupsi sebagai Strategi Kebudayaan

Sebagaimana diketahui, meski korupsi merupakan peris-

tiwa hukum, tapi korupsi tidaklah sekedar persoalan hukum

semata. Ada banyak faktor yang terlibat dan membentuk

perilaku mengapa muncul perilaku korup. Selain karena ada

faktor keserakahan penguasaan harta benda, juga terkait

dengan problema kebudayaan yang terwarisi dari sikap,

persepsi dan perilaku yang menjadi penyimpangan kebiasaan-

kebiasaan dalam pengelolaan kewenangan kekuasaan.

Misalnya, persepsi terhadap kekuasaan yang menempatkannya

sebagai jabatan, ketidakmampuan membedakan antara kepe-

milikan privat dan kepemilikan publik, sehingga berimplikasi

Page 14: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

35 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

kepada penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepen-

tingan privat, diperparah dengan perilaku banalitas korupsi;

dimana korupsi tidak lagi dilakukan secara personal, melain-

kan dilakukan secara komunal. Realitas ini mengindikasikan

ada tren baru dalam perilaku korupsi, bahwa kejahatan akan

menjadi lebih aman jika dilakukan secara bersama dan

disembunyikan bersama-sama pula. Istilah korupsi berjamaah

menjadi tepat untuk menunjukkan terjadinya banalitas korupsi

tersebut. Sebagian besar kasus korupsi, baik melalui meka-

nisme mark up, pembelian dan kegiatan fiktif tidak mungkin

dilakukan perorangan, melainkan sistemik direncanakan oleh

sekelompok orang yang memiliki kekuasaan kewenangan.

Dalam perspektif di atas, menjadi penting dilakukan

mekanisme kontrol terhadap pengelolaan kekuasaan sekaligus

juga internalisasi pendidikan anti korupsi kepada khalayak

terkait dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap

korupsi. Selama ini mekanisme kontrol sebenarnya sudah

dilakukan melalui sistem pengawasan melekat (waskat) ter-

hadap pelaksanaan pengelolaan kewenangan kekuasaan.

Namun demikian, meskipun sistem pengawasan sudah dise-

lenggarakan, korupsi dalam kenyataannya tidaklah surut,

justru kian masif dan mengalami proses modifikasi secara

ekstrem (FGD dengan dosen 24 April 2014 dan mahasiswa, 16

Mei 2014). Hal tersebut ditandai dengan kian banyaknya

kasus-kasus korupsi yang terungkap dan disidangkan di

pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kian banyak

kasus korupsi diungkapkan, di satu sisi merupakan prestasi

bagi KPK dan penegak hukum, di sisi lain menunjukkan ironi

dalam pengelolaan birokrasi pemerintahan yang bersih.

Realitas ini seolah mengindikasikan bahwa kian ketatnya

pengawasan, tetap saja bisa dilakukan upaya menyiasatinya,

sehingga korupsi sulit dibuktikan.

Berdasar pada kondisi yang demikian, tampaknya

pengawasan terhadap perilaku korup yang dilakukan oleh

aparatur negara, tidak hanya dilakukan oleh pihak internal

Page 15: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

36

maupun eksternal, melainkan juga perlu dilakukan oleh

masyarakat luas. Masyarakat perlu mendapatkan pendidikan

anti korupsi yang baik agar mereka mendapatkan informasi

yang benar terkait dengan apa dan bagaimana korupsi bisa

terjadi, serta apa yang harus mereka lakukan ketika

mencurigai atau menemukan fakta terjadinya korupsi di

sekitar mereka.

Pertama, internalisasi pendidikan anti korupsi ke dalam

sistem pembelajaran. Setidaknya sebagai salah satu

pengkondisian agar masyarakat, memiliki kemampuan untuk

mencegah terjadinya korupsi. Kedua, peningkatan wawasan

masyarakat melalui pembentukan simpul-simpul anti korupsi.

Mengapa masyarakat perlu dilibatkan? Bukan sebagai penegak

hukum, melainkan sebagai kelompok non pemerintah yang

berpartisipasi dalam mengawal pengelolaan pemerintahan

yang transparan dan bersih.

Pendidikan anti korupsi dalam konteks ini meliputi

internalisasi ke dalam mata pelajaran atau kuliah untuk

siswa/mahasiswa dan internalisasi dalam dunia kehidupan

untuk masyarakat. Siswa/mahasiswa dan masyarakat (non

akademik) harus dilibatkan sebagai komponen sosial utama

dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka adalah

kekuatan di luar negara yang dapat berfungsi efektif

mengontrol perilaku birokrasi pengelola pemerintahan.

Asumsinya sederhana, pengelola birokrasi pemerintahan

adalah anggota masyarakat yang hidup dalam lingkungan

warga. Masyarakatlah yang sesungguhnya paling dekat dengan

mereka, sehingga memiliki informasi yang baik terhadap profil

setiap orang yang menjadi birokrat pengelola pemerintahan.

Profil itulah yang dapat dijadikan informasi terkait dengan

sepak terjang birokrat dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan anti korupsi bukanlah sekedar penyebarluasan

pengetahuan tentang korupsi, melainkan upaya internalisasi

nilai-nilai moralitas publik kepada masyarakat agar mereka

memiliki kepedulian terhadap kepemilikan publik (kekayaan

Page 16: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

37 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

negara sebagai milik bersama). Ada tiga (3) hal upaya yang

dilakukan dalam rangka keberhasilan menciptakan masyara-

kat anti korupsi, yakni: 1) pembiasaan dan penciptaan peri-

laku; 2) internalisasi melalui pendidikan; 3) komitmen bersama

yang ditegakkan melalui public policy (kebijakan publik) yang

mengarusutamakan kepentingan bersama. Ketiga model

pendekatan ini dianggap representatif dalam rangka

menciptakan masyarakat anti korupsi. Hal ini karena perilaku

korupsi sesuungguhnya menyangkut juga persoalan (nilai)

karakter yang terbentuk dalam kebiasaan hidup sehari-hari.

Pendidikan anti korupsi dianggap menjadi salah satu

strategi kebudayaan dalam rangka membangun masyarakat

anti korupsi. Bagi peneliti, sektor pendidikan dianggap sebagai

sarana paling efektif dalam rangka menyebarluaskan ide-ide

gerakan anti korupsi dan mencetak generasi yang jujur dan

profesional. Di setiap negara, selalu menjadi pendidikan seba-

gai strategi kebudayaan dalam membangun peradaban bangsa.

Strategi kebudayaan harus dipahami sebagai suatu siasat yang

direncanakan dalam membangun sebuah peradaban atau

kondisi masyarakat yang diinginkan. Strategi kebudayaan ini

diletakkan dalam rangka membangun suatu mentalitas dan

perilaku sosial masyarakat yang diharapkan sesuai dengan

sistem nilai yang hendak diwujudkan.

Bercermin dari realitas tersebut, pendidikan jelas

merupakan strategi kebudayaan yang paling penting dalam

rangka membangun masa depan masyarakat yang anti korupsi.

Pembiasaan dan penciptaan perilaku peserta didik yang sejak

awal terinternalisasi nilai-nilai yang anti perilaku koruptif,

nepotif, dan kolutif, diarahkan pada pola pembiasaan yang

berlanjut ketika mereka menjadi bagian penting dalam masya-

rakat. Pendidikan merupakan strategi kebudayaan yang pen-

ting dalam rangka menciptakan generasi muda yang memiliki

kejujuran dan anti korupsi. Melalui pendidikan, diharapkan

tercipta generasi muda yang memiliki integritas kepribadian,

sehingga ketika saat menjadi pemimpin dan bekerja di

Page 17: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

38

birokrasi pemerintahan atau yang lainnya mampu mencipta-

kan good governance yang transparan dan jujur.

Mengubah mentalitas memang bukanlah hal mudah. Meski

hal itu bukanlah tidak mungkin dilakukan. Keinginan mela-

kukan revolusi mental patut diapresiasi sebagai bagian penting

dalam rangka mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang

mendorong terjadinya korupsi. Revolusi mental itu meng-

andaikan suatu penanganan ekstrem yang efektif mengubah

karakter. Dalam perspektif peneliti, hal tersebut hanya mung-

kin dilakukan melalui dua jalan, sebagaimana disebutkan di

atas, yakni strategi memaksa dan strategi mendorong. Pertama

berorientasi kepada bentuk-bentuk paksaan, terutama melalui

berbagai kebijakan (sistem/aturan) yang bersifat preventif

terhadap kemungkinan munculnya perilaku korupsi. Sedang-

kan yang kedua, menginisiasikan pembiasaan dan penciptaan

perilaku positif agar terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang

positif juga.

Mengubah perilaku yang sudah melembaga membutuhkan

kerja serius dari semua pihak. Salah satu yang paling efektif

adalah melalui pendidikan. Mengapa pendidikan? Pertama,

setiap anak bangsa pernah melalui proses persekolahan.

Penanaman nilai-nilai anti korupsi menjadi bagian integral

dari penanaman nilai karakter bangsa. Setiap anak bangsa

selayaknya mendapatkan pembelajaran yang mengarusutama-

kan pelembagaan nilai-nilai karakter bangsa. Pendidikan

menjadi sarana efektif dalam rangka membentuk perilaku atau

kebiasaan anak didik yang berorientasi kepada nilai-nilai

positif yang disepakati. Kedua, pendidikan dipercaya sebagai

transfer pengetahuan sekaligus transfer nilai. Artinya, melalui

pendidikan terjadi proses pewarisan nilai dari generasi satu ke

generasi lainnya. Nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai luhur

yang berperan membangun karakter bangsa. Karenanya,

proses pendidikan sangat efektif dijadikan sebagai tempat

dimana nilai-nilai karakter yang anti korupsi dapat

ditanamkan.

Page 18: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

39 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

Model Strategi Kebudayaan Pemberantasan Korupsi

Strategi kebudayaan ini menginisiasikan dua kegiatan yang

bertumpu pada dua hal, yakni teknologisasi budaya dan

rekayasa budaya. Teknologisasi budaya merupakan suatu

upaya menjadikan masyarakat ‟dipaksa‟ peduli terhadap

berbagai gejala-gejala anomali, terkait dengan praktik hidup

seorang individu yang menjadi bagian dalam lingkungan

tersebut. Rekayasa budaya lebih merupakan upaya mendorong

masyarakat untuk hidup tertib sosial secara baik. Keduanya

hanya berbeda dalam tindakan praksis, karena yang pertama

lebih bersifat sebagai strategi memaksa, yang kedua sebagai

strategi mendorong.

Pada masyarakat yang masih serba permisif dan longgar

terhadap berbagai pelanggaran hukum atau norma, maka

strategi memaksa menjadi suatu pilihan logis, sedangkan pada

masyarakat yang sudah mulai rasional-tertib, maka strategi

mendorong untuk peduli pada upaya pemberantasan korupsi

adalah pilihannya. Dengan demikian, setelah terbentuknya

suatu model strategi kebudayaan pemberantasan korupsi,

diharapkan dapat dilakukan suatu eksperimentasi penerapan

model pada lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat

suatu RT/RW sebagai prototipe pengembangan model tersebut.

Secara garis besar, strategi kebudayaan dalam rangka

pemberantasan korupsi tersebut berdasar dari adanya temuan

penting dalam penelitian tahun pertama: 1) kian masifnya dan

sistematisnya korupsi yang terjadi di berbagai birokrasi

pemerintahan; 2) korupsi yang sistematis terjadi bukan karena

lemahnya sistem pengawasan, melainkan karena menguatnya

kecenderungan habituasi korupsi tersebut; 3) ditemukannya

kendala-kendala kultural yang berdampak pada lemahnya

upaya pemberantasan korupsi.

Strategi kebudayaan yang pertama adalah teknologisasi

kebudayaan. Teknologisasi kebudayaan adalah istilah yang

diciptakan dalam rangka menciptakan kepatuhan publik

kepada moralitas publik. Mengacu pada konsep strategi

Page 19: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

40

kebudayaan Van Peursen (1988: 9-15) dan Koentjaraningrat

(1994: 52) yang secara jelas menggambarkan bahwa berbagai

kebiasaan dalam masyarakat yang terbentuk akibat dari masih

belum selesainya proses perkembangan pemikiran umat

manusia. Kedua pemikir kebudayaan tersebut secara eksplisit

menyebutkan bahwa jika kita percaya bahwa proses berpikir

umat manusia itu berkembang dari yang sederhana (mistik) ke

yang lebih kompleks (fungsional logis), diperlukan berbagai

proses belajar yang terus menerus dari masyarakat tersebut

untuk setia dan tunduk pada proses berpikir yang berpijak

pada kebenaran ilmu pengetahuan. Artinya, kebiasaan yang

hidup dan berkembangan dalam masyarakat memang perlu

diatur berdasarkan pada kajian fungsional logis (keilmuan),

yang memang sudah dapat dipertanggungjawabkan secara

keilmuan.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, maka konsep

teknologisasi kebudayaan sebagai strategi memaksa seseorang

atau sekelompok orang mengikuti aturan dalam suatu ikatan

moral kelompok, setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa

cara, yakni: 1) regulasi kebijakan pengelolaan kekuasaan

politik dan ekonomi; 2) pembatasan jumlah kekayaan bagi

birokrasi/PNS, terutama pengelola kekuasaan; 3) pakta

integritas anti korupsi setiap pengelola kekuasaan yang

memiliki kewenangan mengelola keuangan negara; 4) regulasi

rekrutmen pegawai dan pejabat, terutama kriteria etika, moral,

dan integritas.

Teknologisasi kebudayaan itu sifatnya adalah „memaksa‟

setiap individu penyelenggara pemerintahan dan yang terlibat

kerjasama dengannya untuk hidup dibawah sistem yang

bersifat imperatif tersebut. Teknologisasi kebudayaan ini

seperti sistem panopticon-nya Foucault yang selalu mengawasi

dan memantau perilaku kehidupan penyelenggara

pemerintahan, tidak hanya dalam lingkup pekerjaannya,

melainkan juga bagaimana kehidupan keseharian mereka. Hal

yang paling sederhana dalam konsep teknologisasi kebudayaan

Page 20: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

41 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

adalah „pembatasan ruang gerak‟ bagi setiap penyelenggara

negara dalam akses kepemilikan harta benda. Bukan berarti

tidak boleh memiliki harta benda, melainkan membatasi

kepemilikan, terutama yang bersumber dari kekayaan negara.

Setiap PNS wajib melaporkan harta kekayaan dan sumber-

sumbernya, sekaligus membuktikan darimana asal usul harta

kekayaan itu diperoleh. Sistem pelaporan harus disertai

dengan verifikasi di lapangan secara terbuka oleh publik. Hal

ini agar publik juga mengetahui bahwa seorang birokrat

sebagai pelayan publik dapat mempertanggungjawabkan harta

kepemilikannya secara transparan. Selama ini memang ada

kewajiban pelaporan harta kekayaan, tetapi hampir tidak

pernah diverifikasi di lapangan. Kalaupun ada verifikasi,

dalam banyak hal lebih dilakukan ketika ada proses-proses

politik semata.

Sedangkan yang kedua adalah rekayasa budaya sebagai

strategi mendorong seseorang atau sekelompok orang agar

berkehidupan sesuai dengan ikatan moral kelompok, dapat

dilakukan melalui: 1) civic education terkait dengan korupsi

dan ruang lingkupnya; 2) memberikan ruang partisipasi publik

terhadap persoalan-persoalan korupsi; 3) pembiasaan dan

penciptaan perilaku anti korupsi sejak dini, terutama

diinternalisasikan melalui pendidikan. Sebagaimana dijelaskan

di atas, pendidikan, utamanya pendidikan dasar sesungguhnya

bukanlah sekedar pendidikan akademik, melainkan penana-

man integritas kepribadian. Pendidikan merupakan strategi

kebudayaan paling strategis dalam rangka membangun

kualitas sumberdaya manusia yang memiliki integritas sebagai

pribadi maupun integritas sebagai warga negara.

Hal ini karena meminjam terminologi Aristoteles,

sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif (2013), kebaikan manusia

sebagai manusia tidak selamanya beriringan dengan kebaikan

manusia sebagai warga negara. Diharapkan melalui

pendidikan dapat menjadi salah satu pilar dalam membangun

masyarakat yang memiliki civic virtue atau keutamaan hidup

Page 21: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

42

sebagai warga sipil, yakni memiliki tanggungjawab moral dan

penghargaan terhadap etika publik berbangsa dan bernegara.

Pendidikan lebih diletakkan sebagai rekayasa kebudayaan,

karena hasilnya baru dapat dilihat pada masa depan. Rekayasa

kebudayaan tidak lain adalah suatu proses pembentukan

generasi masa depan yang memiliki nilai karakter yang baik

dan anti korupsi. Pembentukan nilai-nilai karakter, tidaklah

cukup dilakukan satu atau dua tahun, apalagi hanya satu atau

dua mata kuliah dalam sistem pembelajaran, melainkan suatu

mekanisme pembelajaran karakter sejak dini –sejak pendi-

dikan dasar hingga perguruan tinggi--, agar tujuan pendidikan

sebagai mekanisme transfer nilai karakter (transfer of value)

terlaksana secara baik.

Sebagaimana ditulis oleh Durkheim (1964) dan Neil

Postman (1999) bahwa pendidikan dasar, terutama untuk anak

usia pra-konvensional (usia 6-16 tahun) lebih tepat diarahkan

sebagai pendidikan bagi pembentukan dasar kepribadian

mereka. Dasar kepribadian menjadi penting dan utama dalam

rangka menciptakan generasi yang berkarakter utama. Tidak

berlebihan jika disebutkan bahwa pendidikan dasar merupa-

kan penjaga gawang bagi kepribadian bangsa. Ketika

pendidikan dasar gagal mengupayakan terinternalisasinya

pendidikan karakter, maka jangan salahkan jika ke depan

terbentuk generasi yang bisa jadi cerdas dalam penguasaan

ilmu-ilmu pengetahuan, tetapi tidak berintegritas.

Sistem pendidikan yang mengarusutamakan kepada

penciptaan perilaku berkarakter jelas memerlukan mekanisme

pembicaraan yang serius dan mendalam, terutama, dalam

pemberlakuan kurikulum yang hendak diterapkan kepada

peserta didik. Artinya, pendidikan harus dipercaya sebagai

strategi kebudayaan paling penting yang menentukan keberha-

silan pembentukan karakter siswa. Tampaknya hampir tidak

ada institusi formal yang dapat diandalkan dalam

pembentukan karakter, kecuali keluarga dan sekolah. Karena-

nya, desain kurikulum harus benar-benar diarahkan pada

Page 22: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

43 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

terjadinya pembentukan dan perubahan perilaku siswa didik

menjadi lebih baik (Durkheim, 1974).

Sebagai peristiwa kebudayaan, maka melawan korupsi

yang sudah melembaga dan membudaya harus dengan budaya

yang anti korupsi (Wirawan, 2013). Selain melalui rekayasa

kebudayaan tersebut diatas, memang harus ada teknologisasi

kebudayaan sebagai cara memaksa setiap individu berperilaku

anti korupsi. Caranya dengan mengintervensi ketiga komponen

korupsi, baik sebagai kognisi, sebagai perilaku maupun sebagai

artefak kebudayaan agar mengarah pada sistem kebudayaan

yang anti korupsi. Pertama, mengintervensi sistem kognisi

masyarakat agar terbangun masyarakat dengan keutamaan

nilai anti korupsi. Cara ini biasanya melalui program

pendidikan, karena pendidikan merupakan alih pengetahuan

sekaligus alih nilai (value). Kedua, mengintervensi perilaku

melalui keteladanan moral dari elit politik. Ketiga, melalui

penciptaan artefak kebudayaan yang meminimalisir peluang

terjadinya korupsi, seperti pembuatan e-KTP, layanan satu

pintu atau satu atap dalam urusan pelayanan publik serta

pelaporan kekayaan bagi setiap pejabat publik.

Penutup

Masifnya korupsi ditengarai telah menjadikan fakta

korupsi sebagai fakta kebudayaan. Tindakan korupsi sebagai

fakta hukum memang mencerminkan bahwa peristiwa korupsi

memang merupakan peristiwa hukum, tapi masifnya tindak

pidana korupsi memberikan alasan rasional yang kuat bahwa

fakta korupsi haruslah tetap diletakkan dalam konteks

kebudayaan. Artinya, ada sikap mental dalam tradisi berpe-

rilaku masyarakat yang berpotensi memberikan peluang

terjadinya korupsi, sekaligus juga membiarkan korupsi selalu

terjadi secara terus menerus.

Keterkaitan antara mentalitas kebudayaan dengan korupsi

menunjukkan bukti bahwa pemberantasan dan pencegahan

korupsi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum,

melainkan juga melalui pendekatan kebudayaan. Diperlukan

Page 23: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi

Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

44

suatu strategi kebudayaan sebagai model pencegahan dan

pemberantasan korupsi, melalui:1) pembiasaan dan penciptaan

perilaku; 2) internalisasi pendidikan; 3) komitmen bersama

dalam ikatan kelompok. Strategi kebudayaan yang dimaksud

tersebut menginisiasikan dua hal kegiatan, yakni:1) teknologi-

sasi kebudayaan atau strategi memaksa; 2) rekayasa kebu-

dayaan atau strategi mendorong. Teknologisasi budaya

diperlukan ketika masyarakat masih dalam posisi permisif;

masih terbuka dan sulit diajak menuju kebaikan. Masyarakat

dalam kondisi yang serba permisif (serba longgar), memang

memerlukan suatu aturan main, agar mereka bertanggung-

jawab sebagai manusia dalam ikatan kelompok. Sedangkan

rekayasa kebudayaan, diperlukan sebagai mekanisme jangka

panjang melalui proses-proses pendidikan yang berorientasi

pada pembentukan masyarakat anti korupsi.

Teknologisasi kebudayaan bersifat memaksa publik untuk

taat kepada sistem norma yang berlaku, sementara rekayasa

kebudayaan lebih bersifat mendorong terjadinya perubahan

perilaku masyarakat. Kedua strategi kebudayaan tersebut

dijalankan untuk dua kepentingan, yakni jangka pendek dan

jangka panjang. Jangka pendek dibuat berbagai aturan yang

sangat ketat yang tidak memungkinkan peluang korupsi ter-

jadi, sedangkan jangka panjang lebih berorientasi kepada

pengembangan persepsi, sikap dan perilaku publik agar memi-

liki karakter kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus

ketika berkesempatan menjadi pejabat negara dapat memiliki

self control yang mengantisipasi kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan.

Daftar Rujukan

Alatas, Syeh Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman, Jakarta: LP3ES

Ambardi, Kuskridho, 2009. Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: KPG dan LSI

Djaja, Ermansjah, 2012. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika

Page 24: model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di

Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati

45 Jurnal Review Politik

Volume 05, No 01, Juni 2015

Fromm, Erich, 1995. Masyarakat yang Sehat, terjemahan Thomas bambang Murtianto, Jakarta: Yayasan Obor

Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London: Routledge.1997.

Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Hutington, 2000, Membangun Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Oboro

Hartiningsih, Maria (ed)., 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: Kompas

Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas

Klitgaard, Robert, 1998, Melawan Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Koentjaraningrat, 1993, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta: Gramedia

Lubis, Mochtar, 2001. Manusia Indonesia, Jakarta: Buku Obor

Onghokham, 1986, ’Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah’ dalam Prisma, Jakarta: LP3ES

Siahaan, Monang, 2013, Korupsi, Penyakit Sosial yang Mematikan, Jakarta: Elex Media Komputindo

Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup. Cet. 9. Jakarta: Gramedia Utama

Wattimena, Reza A.A., 2013, Filsafat Anti Korupsi, Yogyakarta: Kanisius

Wibowo, Agus, 2013, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Widoyoko, Danang, et.al. 2006, Saatnya Warga Melawan Korupsi, Panduan Citizen Report Card untuk Pendidikan, Jakarta: ICW.

‘Pelemahan Lembaga AntiKorupsi Pengaruhi IPK Indonesia;’ data didapat dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c056-

2c84058/pelemahan-lembaga-antikorupsi-pengaruhi-ipk-indone-sia ; internet; diakses 1 Maret 2013.

Kompas, 9 Oktober 2013

Kompas, 22 September 2011

Kompas, 8 Februari 2013