model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

11
SP6114: Tata Kelola Lingkungan Model Pengelolaan Bantaran Sungai di Perkotaan Ramadhani Pratama Guna (1) (1) Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 24012056. ABSTRAK Bantaran sungai merupakan salah satu wilayah di beberapa kota besar di Indonesia yang seringkali dijadikan tempat bermukim. Masalah timbul ketika pemukiman yang tumbuh di wilayah ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak baik berupa pengurangan fungsi sungai dan bantarannya sebagai sumber kehidupan dan sumber air, sebagai tempat tinggal dan beraktivitas (rekreasi, transportasi air, dan aksesoris kota), dan sebagai recycle alami bagi keseimbangan ekosistem. Penataan wilayah inipun menjadi isu klasik yang seperti tiada kunjung selesai. Dengan berbagai realitas dan keterbatasan yang dialami pemerintah terkait, gagasan-gagasan mengenai multi-level governance mengemuka. Penelitian ini mencoba untuk mencari model pengelolaan bantaran sungai dengan segala keterbatasan yang ada, dengan melibatkan berbagai stakeholders. Peran berbagai stakeholders ini kemudian dipetakan agar mendapat pemahaman yang komprehensif beserta peran yang dapat dilakukan. Kata-kunci: Bantaran sungai, kota besar, peran stakeholders PENGANTAR Bantaran sungai adalah salah satu isu krusial dalam penataan lingkungan terutama di kota-kota besar. Bandung, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Malang adalah contoh kota-kota besar di Indonesia yang mengalami masalah pada penataan lingkungan di seputar bantaran sungai. Hal ini dikarenakan seakan-akan belum ada contoh yang benar-benar terlihat berhasil dan konkrit dalam mengatasi masalah-masalah seputar penataan bantaran sungai. Permasalahan yang timbul berkaitan dengan bantaran sungai adalah semakin menjamurnya pemukiman kumuh yang bermukim di bantaran sungai. Sebagian besar dari pemukiman tersebut juga mengambil tepian sungai untuk bangunan, sehingga pondasi- pondasi bangunannya langsung ditancapkan di aliran sungai. Tidak hanya itu, sistem sanitasi, pengelolaan kebersihan, dan manajemen airpun tidak terkelola dengan baik. Hal ini kemudian menyebabkan masalah-masalah turunan seperti banyaknya pembuangan sampah, pembungan Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 1

Upload: ramadhani-pratama

Post on 30-Jun-2015

267 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

Model Pengelolaan Bantaran Sungai di Perkotaan

Ramadhani Pratama Guna(1)

(1)Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 24012056.

ABSTRAK

Bantaran sungai merupakan salah satu wilayah di beberapa kota besar di Indonesia yang seringkali dijadikan tempat bermukim. Masalah timbul ketika pemukiman yang tumbuh di wilayah ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak baik berupa pengurangan fungsi sungai dan bantarannya sebagai sumber kehidupan dan sumber air, sebagai tempat tinggal dan beraktivitas (rekreasi, transportasi air, dan aksesoris kota), dan sebagai recycle alami bagi keseimbangan ekosistem. Penataan wilayah inipun menjadi isu klasik yang seperti tiada kunjung selesai. Dengan berbagai realitas dan keterbatasan yang dialami pemerintah terkait, gagasan-gagasan mengenai multi-level governance mengemuka. Penelitian ini mencoba untuk mencari model pengelolaan bantaran sungai dengan segala keterbatasan yang ada, dengan melibatkan berbagai stakeholders. Peran berbagai stakeholders ini kemudian dipetakan agar mendapat pemahaman yang komprehensif beserta peran yang dapat dilakukan.

Kata-kunci: Bantaran sungai, kota besar, peran stakeholders

PENGANTAR

Bantaran sungai adalah salah satu isu krusial dalam penataan lingkungan terutama di kota-kota besar. Bandung, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Malang adalah contoh kota-kota besar di Indonesia yang mengalami masalah pada penataan lingkungan di seputar bantaran sungai. Hal ini dikarenakan seakan-akan belum ada contoh yang benar-benar terlihat berhasil dan konkrit dalam mengatasi masalah-masalah seputar penataan bantaran sungai.

Permasalahan yang timbul berkaitan dengan bantaran sungai adalah semakin menjamurnya pemukiman kumuh yang bermukim di bantaran sungai. Sebagian besar dari pemukiman tersebut juga mengambil tepian sungai untuk bangunan, sehingga pondasi-pondasi bangunannya langsung ditancapkan di aliran sungai. Tidak hanya itu, sistem sanitasi, pengelolaan kebersihan, dan manajemen airpun tidak terkelola dengan baik. Hal ini

kemudian menyebabkan masalah-masalah turunan seperti banyaknya pembuangan sampah, pembungan limbah organik rumah tangga, dan pencemaran sungai. Parahnya, di beberapa daerah penduduk bantaran sungai tersebut menggunakan air sungai untuk beraktivitas seperti mencuci motor, mencuci pakaian, dan lainnya.

Hal lain yang menyebabkan masalah ini semakin berlarut adalah sudah menjamurnya pemukiman ini sehingga langkah yang dapat diambil adalah langkah “pengobatan” bukan “pencegahan”. Sedangkan untuk melakukan hal tersebut perlu effort yang luar biasa besar baik dari segi waktu, tenaga, ataupun uang. Pemerintah yang terkaitpun tidak bisa berbuat banyak karena ketebatasan pendanaan.

Oleh karena itu, rumusan masalah yang akan menjadi arah pembahasan penelitian ini adalah:

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 1

Page 2: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

1. Seperti apa gambaran ideal kondisi bantaran sungai di kota-kota besar?

2. Bagaimana pengelolaan yang baik dalam upaya perwujudan kondisi ideal tersebut?

METODE

Metode Pengumpulan DataMetode yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah metode kualitatif. Metode pertama ialah menelusuri literatur, tulisan, dan makalah mengenai pengelolaan bantaran sungai di kota-kota besar. Metode kedua ialah dengan mewawancarai penduduk yang tinggal di bantaran sungai, dalam penelitian ini yang menjadi tujuan wawancara adalah penduduk bantaran Sungai Cikapundung, Kota Bandung. Metode ketiga ialah dengan observasi langsung ke lapangan. Dalam hal ini penulis melakukan observasi di bantaran Sungai Cikapundung, Kali Citepus, dan Kali Cidurian, keduanya di Kota Bandung.

Metode Analisis DataSetelah data terkumpul dan sudah dianggap cukup, penulis akan menganalisisnya dengan metode kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan teori-teori dan topik dalam tata kelola lingkungan untuk membantu dalam analisis rumusan masalah yang telah ditetapkan.

PEMBAHASAN

Impian Tentang Bantaran SungaiHampir semua kota-kota besar di Indonesia dilintasi oleh aliran sungai, baik kota di hilir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, ataupun kota di pertengahan dan hulu seperti Bandung, Batu, Malang, dan Yogyakarta. Sungai-sungai ini beragam mulai dari yang besar dan mempunyai lembah (basin) yang juga besar hingga yang kecil namun berkelok-kelok.

Sungai-sungai yang melewati perkotaan ini berperan sangat penting bagi kehidupan masyarakatnya. Dunlap dan Catton (1993) mengemukakan model umum peran lingkungan atas kehidupan manusia. Ketiga peran itu adalah living space, supply depot, dan waste repository. Perhatikan skema model pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Fungsi Lingkungan dan Keteririsannya (Dunlap, 1993)

Sehingga peran sungai dalam hal ini bisa dibagi menjadi:1. Supply depot, yaitu sebagai

penyedia sumber kehidupan. Misalnya, sumber air baku bagi manusia, sumber ikan air tawar, sumber makanan bagi ekosistem sungai dan rawa, bahkan hingga sumber energi untuk menggerakkan turbin.

2. Living space, yaitu sebagai ruang kehidupan atau habitat. Misalnya, ruang untuk transportasi air, ruang untuk rekreasi sederhana, dan ruang publik.

3. Waste repository, yaitu untuk tempat “tenggelamnya” (sink) sampah dan kotoran. Misal, untuk pembuangan sampah dedaunan, bangkai hewan, dan lainnya. Tentunya masih dalam tahap yang wajar (di bawah ambang tercemar dan daya dukung lingkungannya).

Berangkat dari peran sungai inilah gambaran ideal mengenai bantaran sungai dapat direkonstruksikan. Gambaran dalam hal ini hanya saya

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 2

Page 3: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

batasi pada gambaran fisik sungai. Sementara hal yang menyangkut sosial budaya masyarakat akan lebih banyak dibahas pada bagian setelah ini. Untuk menunjang berfungsinya sungai sebagai supply depot, kebersihan sungai merupakan hal yang mutlak. Sehingga bantaran sungai haruslah didesain untuk mencegah masyarakat membuang sampah ke sungai.

Untuk menunjang fungsi sebagai living space, bantaran sungai harus bisa menjadi penunjang masyarakat untuk beraktivitas. Bantaran sungai harus rapi, tertata, dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sungai di kota besar dataran rendah sangat berpotensi untuk menjadi jalur transportasi dan aksesoris kota, sehingga bantarannyapun harus menjadi ruang publik. Sedangkan untuk kota besar di dataran tinggi dimana banyak jeram, sungai dapat menjadi area hijau dan aksesoris kota, sedangkan bantarannya dapat menunjang untuk daerah ruang terbuka hijau.

Sedangkan fungsi sungai sebagai waste repository menandakan bahwa tidak mengapa bila bantaran sungai ditanami pepohonan dan hidup hewan-hewan. Guguran daun yang jatuh ke sungai tidak akan membuat sungai menjadi tercemar karena sungai mempunyai mekanisme penguraian alami.

Realitas Lapangan dan MasalahnyaAdapun realitas yang ada di lapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Pemukiman kumuh dan padat penduduk adalah pemandangan yang mencolok di bantaran sungai kota besar. Tumpukan sampah kerap terlihat di sungai yang bantarannya sudah tidak tertata dengan baik. Realitas ini dapat dilihat di beberapa wilayah di bantaran Sungai Ciliwung, Cipinang, dan Krukut untuk di Provinsi DKI Jakarta; Sungai Cikapundung, Kali Citepus, dan Kali Cidurian di Kota Bandung; Sungai Code

dan Kali Winongo di Yogyakarta; Sungai Brantas di Malang, dan lainnya.

Pada sisi kependudukan, beberapa penelitian pada bantaran sungai di kota besar menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di kawasan bantaran tersebut adalah pendatang (Afrilyanti, 2012). Lebih lanjut, Chotib (2011) mengemukakan bahwa jumlah pendatang di bantaran sungai ini berkisar 55% - 85% dibandingkan penduduk asli. Sehingga faktor migrasi menjadi salah satu pendukung bagi masalah ini.

Migrasi dalam konteks ini tidak menjadi masalah ketika pemilihan lokasi tidak di bantaran sungai. Namun, ada faktor lain yang menyebabkan para pendatang ini tetap memilih bantaran sungai. Faktor ini adalah lokasi yang strategis. Lokasi strategis ini maksudnya lokasi yang dekat dengan bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, seperti pertokoan, perkantoran, gedung kesenian, dan bank (Bintarto, 1977). Lokasi strategis inilah yang memang pada kota-kota besar dekat dengan sungai utamanya, seperti sungai-sungai yang telah disebutkan di atas. Sedangkan bila ditelusuri sungai-sungai ini sampai wilayah yang agak jauh dari lokasi strategis, pemukiman kumuh yang menempati bantaran sungai ini semakin berkurang.

Pada lain sisi, pemukim ini mayoritas dari golongan menengah ke bawah (Afrilyanti, 2012). Sehingga, memilih lokasi “sisa” di bantaran sungai adalah suatu prioritas mengingat harga yang relatif murah dan lokasi strategis.

Pekerjaan rata-rata pemukim di bantaran sungai kota-kota besar biasanya mengikuti atau menyesuaikan lokasi-lokasi strategis yang ada di dekatnya. Afrilyanti (2012) mengungkapkan bahwa karena di dekat bantaran sungai tempat ia meneliti (Sungai Way Awi, Kota Bandar

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 3

Page 4: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

Lampung) terdapat pasar dan pertokoan, banyak penduduk di bantaran sungai tersebut berprofesi sebagai pedagang, baik skala kaki lima, kecil, dan besar. Anggani (2005) mengungkapkan bahwa mayoritas penduduk bantaran sungai tempat penelitiannya (BKT Kaligawe, Kota Semarang) berprofesi sebagai buruh industri dan buruh bangunan. Memang daerah Kaligawe adalah daerah industri dan dekat dengan Pelabuhan Tanjung Mas. Seperti itu pula daerah Plesiran (bantaran Sungai Cikapundung, Kota Bandung) yang dekat dengan kampus ITB dan kantor pemerintahan dan bisnis (kawasan Cihampelas dan sekitarnya), penduduk (asli dan pendatang) mayoritasnya adalah mahasiswa dan karyawan. Serupa, daerah Babakan Ciamis Kota Bandung yang dekat dengan kantor-kantor swasta, penduduknya mayoritas sebagai pedagang dan karyawan. Sehingga jenis aktivitas pada lokasi strategis sangat berkaitan dengan pekerjaan penduduk di bantaran sungai dekat lokasi strategis tersebut. Melemahkan keterkaitannya berpotensi menimbulkan konflik.

Permasalahan selanjutnya adalah sudah lamanya waktu menetap penduduk di bantaran sungai ini. Ada yang sudah 4 tahun bahkan yang sudah mencapai puluhan tahun. Masalah ini semakin terakumulasi seiring dengan berjalannya waktu dan tidak tegasnya peraturan mengenai bantaran sungai. Adanya UU Nomor 7 Tahun 2004 (Tentang Sumber Daya Air) dan PP Nomor 38 Tahun 2011 (Tentang Sungai) tidak dilaksanakan dengan baik. Padahal, dalam PP Nomor 38 Tahun 2011 sudah jelas ditentukan mengenai lebar sempadan/bantaran sungai, yang berkisar 10 – 30 meter bergantung kedalaman sungai.

Permasalahan yang sekaligus menjadi keterbatasan adalah dana dari pemerintah terkait, terutama pemerintah kota. Besarnya area yang

harus ditata tidak sebanding dengan anggaran yang dipunya, sehingga strategi umum yang dapat dilakukan ada dua. Pertama, penataan secara bertahap dalam waktu yang relatif panjang. Cara ini memerlukan komitmen yang kuat dari segenap pihak (pemerintah dan masyarakat) juga estafet antar periode kepemimpinan. Kedua, penataan dengan lebih masal, di banyak area. Sumber pendanaan dapat dari pemerintah pusat dan swasta. Waktu yang dibutuhkan untuk cara ini relatif lebih singkat dibanding cara pertama, namun membutuhkan anggaran dan usaha yang relatif lebih besar.

Bantaran Sungai adalah Tanggung Jawab BersamaBerangkat dari peran lingkungan yang ditawarkan Dunlap dan Catton (1993) pada bagian Gambaran Ideal Bantaran Sungai Kota Besar model pengelolaan sungai dapat dikembangkan. Pengelolaan sungai kota besar adalah pengelolaan terintegrasi yang bertujuan untuk meningkatkan peranan sungai sebagai supply depot, living space, dan waste repository. Sehingga dari tiga tujuan tersebut, peran pengelolaan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat dan swasta.

Pertanyaannya adalah mengapa swasta ikut berperan? Ada dua alasan yang dapat mendukung hal ini. Pertama, di kota-kota besar di Indonesia, banyak juga pihak swasta yang bertempat di bantaran sungai, sehingga mereka juga tidak dapat dipisahkan dalam kerja sama untuk mengelola bantaran sungai. Kedua, terkait dengan living space, bahwa swasta lebih dapat berperan dalam penyediaan living space. Hal ini berkaitan dengan bentuk pengorganisasian swasta yang lebih kokoh dan baku sehingga perwujudan living space yang baik juga dipengaruhi oleh professionalitas swasta.

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 4

Page 5: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

Realitas lapangan dan keterbatasan yang telah dibahas di atas memberikan sedikit gambaran bahwa permasalahan bantaran sungai bukan hal yang sederhana. Sehingga permasalahan ini menuntut peran tidak hanya dari pemerintah, namun juga swasta dan masyarakat. Terlebih lagi ketika pemerintah mempunyai keterbatasan dalam pendanaan. Dengan karakteristik ini, tipe pengelolaan yang bisa diterapkan adalah tipe campuran antara terpimpin dan mekanisme pasar (Bernstein, 2002). Sehingga dari pencampuran ini (terpimpin dan mekanisme pasar) akan terbentuk pemerintahan lokal dalam arti sekecil-kecilnya di masyarakat. Pemerintahan lokal ini boleh jadi merupakan inisiatif dari warga, misal dalam bentuk komunitas atau organisasi kemasyarakatan lainnya, atau berupa “persatuan” antara aktor swasta (private) dan masyarakat (Eckerberg

dan Joas, 2004). Konsep ini kemudian diberi istilah Multi-level Governance.

Struktur Pengorganisasian Multi-level GovernanceKonsep multi-level governance adalah konsep pemerintahan lebih kecil di tataran yang lebih lokal. Dalam konteks banyaknya stakeholder seperti yang ada dalam pengelolaan bantaran sungai ini, struktur pengorganisasian harus dielaborasi. Kuswartojo (2009) mengungkapkan bahwa struktur pengorganisasian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan karakternya: kokoh kaku, daya tahan/lenting tinggi, dan labil. Lebih jauh, Kuswartojo (2009) juga mengungkapkan bahwa proses dalam penyelenggaraan lingkungan dapat dibagi 3 (tiga) jenis: baku, adaptif, dan tidak jelas. Dalam bentuk matriks, pengorganisasian dan proses penyelenggaraan ini disajikan sebagai berikut.

Tabel 1 Struktur Pengorganisasian dan Penyelenggaraan Lingkungan

PROSESBAKU ADAPTIF TIDAK JELAS

STRUKTUR PENGORGANISASIA

N

KOKOH KAKU

Mapan dan mekanistik

Perlu waktu utk penyesuaian

Berbasis kewenangan/ kekuasaan

DAYA TAHAN/ LENTING TINGGI

Penyesuaian dgn prosedur

Responsif, adaptif, fleksibel

Tidak efektif

LABIL Berbasis prosedur

Tidak efektif Kusut oleh blm terbentuk-nya sistem

Dalam konteks pengelolaan bantaran sungai dan multi-level governance, struktur dan proses yang harus dikedepankan adalah yang bersifat responsif, adaptif, dan fleksibel. Hal ini dikarenakan masyarakat di sekitar bantaran sungai adalah masyarakat yang dinamis dan dari berbagai macam latar belakang, seperti yang telah di bahas pada bagian realitas lapangan. Sehingga, struktur pengorganisasian yang harus dibentuk adalah struktur yang mempunyai daya tahan/lenting

tinggi, sedangkan proses yang dikedepankan adalah proses adaptif.

Pemerintah kota/kabupaten yang berkaitan dengan bantaran sungai ini dapat membentuk tim khusus yang terdiri dari kepala-kepala wilayah yang lebih kecil, seperti kecamatan dan kelurahan. Pada level ini struktur pengorganisasian yang dibentuk adalah struktur yang baku. Sedangkan pada level di bawahnya struktur ini lebih adaptif. Tokoh-tokoh masyarakat,

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 5

Page 6: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

komunitas, organisasi kepemudaan lokal dan elemen lainnya adalah aktor utama pada level ini. Peran swasta terutama pengelola operasional masuk di level bawah ini. Oleh karena itu, banyaknya aktor di level organisasi ini membawa konsekuensi pada keharusan struktur yang adaptif.

Peran Aktor UtamaPeran pemerintah, dalam hal ini pemerintah kota yang bersangkutan memang cukup dominan. Seringkali, meskipun konsep multi-level governance berkembang dan peran pemerintah telah terkikis oleh penerapan konsep tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemerintah tetap sentral dalam banyak pengambilan keputusan (Eckerberg dan Joas, 2004). Sehingga wajar bila pemerintah menempati peran terbanyak.

Dalam kasus pengelolaan sungai di Sungai Cikapundung, Bandung; Kali Pepe, Solo; dan Sungai Brantas di Surabaya, pemerintah setempat menjadi inisiatornya. Inisiator dalam hal ini berupa pembentukan organisasi tingkat lokal dan pendanaan. Mengenai pendanaan untuk melakukan hal ini dapat diambil dari APBD. Sekiranya masih kurang, pemerintah setempat dapat menerapkan konsep Polluter Pays Principle (PPP) yang ditawarkan oleh Bernstein (2002). Panjangnya aliran sungai dan luasnya wilayah kehidupan (meliputi pemukiman, industi, dan komersial) di sekitar aliran sungai perkotaan sangat rentan terhadap pencemaran. Konsep PPP ini dapat diterapkan bagi para pencemar, sehingga bayaran atas pencemarannya dapat langsung dirasakan dalam bentuk transformasi atas upaya recovery kondisi alam bantaran sungai. Sedangkan untuk sosialisasi, dapat memanfaatkan sumber daya masyarakat, mulai dari lingkup kelurahan, RW, hingga RT.

Pemerintah dapat berperan dalam pembinaan wirausaha; penjaminan akses usaha agar penataan bantaran sungai tidak menghilangkan sumber penghasilan penduduk sekitar; pembuatan aturan agar rumah menghadap ke sungai (pengubahan budaya bahwa sungai bukan tempat pembuangan); resettlement (pemindahan tempat tinggal); penyediaan lahan untuk pembagunan rumah susun/apartemen subsidi; pembangunan pedestrian tepi sungai (seperti di tepi Kali Pepe di Solo); pembangunan jalan tepi sungai; dan penghijauan bantaran sungai. Mengenai pendanaan, selain dari APBD, program seperti pembinaan kewirausahaan dan penjaminan akses usaha dapat ditawarkan ke bank-bank BUMN dan BUMD. Sedangkan untuk pembangunan jalan dan pedestrian dapat menggunakan pendanaan APBD ataupun NGO internasional. Konsep PPP yang telah dibahas di atas juga dapat diterapkan untuk hal ini.

Sedangkan dalam upaya meningkatkan fungsi waste repository, pemerintah harus menjaga agar daya repository sungai tidak terlampaui. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penyediaan penampungan sampah sementara, setingkat RT atau RW, bisa dalam bentuk lahan atau gerobak sampah. Pendekatan ini cukup penting mengingat pada beberapa daerah di bantaran Sungai Cikapundung, seperti Babakan Ciamis dan Braga, masyarakatnya sudah mempunyai kesadaran dan kemauan untuk tidak membuang sampah ke sungai. Namun, akibat tidak berjalannya pengelolaan gerobak sampah sumbangan Pemerintah Kota Bandung, masyarakat sekitar tidak mempunyai pilihan mudah untuk membuang sampah. Pilihannya adalah membuang sampah di kelurahan yang berbeda (dengan jarak yang agak jauh) atau membuang sampah ke sungai. Pada akhirnya ada saja oknum-oknum yang membuang sampah ke Sungai Cikapundung.

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 6

Page 7: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

Pendekatan selanjutnya adalah penegakkan hukum bagi pembuangan sampai di sungai. Anggaran untuk penyediaan penampungan sampah sementara ini dapat diperoleh dari hukuman (dalam bentuk denda) terhadap pelaku pembuangan sampah, mirip dengan konsep PPP.

Peran swasta dalam pengelolaan bantaran sungai dapat dilibatkan terutama dalam perwujudan peran sungai sebagai living space. Peran-peran ini antara lain penyediaan area pedagang, pengelolaan bersama tranportasi air (sehingga keuntungannya bisa dibagi dengan koperasi warga), pembangunan rumah susun, penghijauan kawasan pemukiman, penyediaan penampungan sampah sementara, dan lainnya.

Dalam konteks multi-level governance, penyatuan unsur swasta dan masyarakat dapat diterapkan pada pembinaan komunitas peduli lingkungan. Pihak swasta dapat menggunakan program CSR untuk mendanai pengembangan komunitas ini dan terjun langsung dalam kegiatan-kegiatan komunitas ini.

Mengenai rumah susun, masyarakat yang dipindahkan tentunya harus mendapat ganti yang setimpal, baik dari segi luas bangunan, luas tanah, harga, dan sebagainya tanpa adanya depresiasi. Rumah susun inipun perlu disubsidi oleh pemerintah. Dana untuk subsidi ini dapat diambil dari APBD, APBN, atau keduanya. Dalam penempatanpun harus dilakukan dengan sangat adil, hingga jangan sampai harta pribadi penduduk jadi berkurang setelah dipindahkan. Seperti realitas di daerah Plesiran Bandung, dimana banyak penduduknya yang membuka usaha kontrak kamar (indekost). Penggantian ini harus dihitung juga sehingga, misalnya, di rumah susun nantinya pemilik ini

mendapatkan kamar sebanyak apa yang ia punya sebelumya.

Peran masyarakat dalam hal pengelolaan bantaran sungai lebih ditekankan kepada kegiatan-kegiatan kolektif. Kegiatan-kegiatan kolektif ini pada dasarnya bertujuan untuk dua hal yang akhirnya akan berkorelasi. Tujuan pertama adalah untuk pembiasaan baik dari frekuensi kegiatan ataupun banyaknya aktor yang melakukan hal tersebut. Pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi karakter dan secara akumulatif akan menjadi budaya (Agustian, 2004). Akumulasi kebiasaan dan menjadi karakter ini pada akhirnya menjadi sarana pembelajaran dan peningkatan pengetahuan (knowledge) bagi masyarakat sehingga ada proses belajar dengan praktek (learning by doing). Inilah yang menjadi tujuan kedua, yaitu proses pembelajaran. Pembelajaran ini yang kemudian menjadi titik temu gagasan dan harapan akan kesadaran lingkungan secara kolektif, yang tadinya gagasan dan harapan ini sangat beragam. Sehingga dari hal ini timbul apa yang dinamakan pembelajaran sosial (Milbrath, 1989).

Berangkat dari pembelajaran sosial inilah peran masyarakat dikembangkan. Tujuannya adalah bertemunya beragam gagasan dan harapan mengenai kesadaran lingkungan. Oleh karena itu, masyarakat bisa berperan dalam memilah sampah, penebaran benih ikan, gotong royong pembersihan sungai, hukuman sosial, pembentukan koperasi warga, meningkatkan perilaku proaktif, menginisiasi komunitas peduli lingkungan, urban farming, dan lainnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

KesimpulanKesimpulan dari pembahasan mengenai bantaran sungai ini antara lain:

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 7

Page 8: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

1. Bantaran sungai yang ideal tidak hanya mencakup bantaran itu saja, namun juga berkaitan dengan kualitas lingkungan sungai tersebut, perilaku penduduk di sekitarnya, dan apa dampak langsungnya kepada sungai.

2. Pengelolaan bantaran sungai pada hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan peranan sungai dan bantarannya sebagai supply depot, living space, dan waste repository.

3. Konsep pengelolaan bantaran sungai harus diawali dari pemahaman yang baik akan kondisi sekitar bantaran sungai dan segala keterbatasan untuk mewujudkan kondisi idealnya.

4. Pengelolaan bantaran sungai ini kemudian dielaborasi dengan struktur pengelolaan yang adaptif, responsif, dan fleksibel.

5. Selanjutnya, pemetaan mengenai peran berbagai macam stakeholders dapat dilakukan untuk mengetahui potensi-potensi multi-level governance.

6. Peran masyarakat pada pengelolaan bantaran sungai harus ditujukan untuk membangkitkan pembelajaran sosial (social learning) sehingga kesadaran-kesadaran akan lingkungan semakin kuat dengan bersatunya gagasan dan harapan yang beragam di masyarakat terhadap lingkungan.

Saran Penelitian ini mempunyai keterbatasan dan kekurangan sehingga kedepannya dapat dikembangkan penelitian-penelitian lebih lanjut agar penelitian ini dapat lebih kuat. Penelitian kedepannya dapat difokuskan pada aspek sosial masyarakat terutama pembentukan dan perubahan budaya-budaya yang terjadi pada penduduk sekitar bantaran sungai.

Selain itu, penelitian-penelitian pada daerah bantaran sungai di perkotaan

haruslah lebih spesifik. Hal ini dikarenakan besarnya variabel atau unsur yang mempengaruhi perilaku sosial, alam, dan korelasi keduanya. Tidak hanya besar, namun variabel dan unsur ini juga sangat variatif. Sehingga, kemungkinan besar pengelolaan bantaran sungai suatu kota dengan kota lainnya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Afrilyanti, A. R., 2012. Deskripsi Penduduk Bermukim di Bantaran Sungai Way Awi Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung Tahun 2012. Jurnal Sosiologi FKIP Universitas Lampung.

Agustian, A. G., 2004. The ESQ Way 165. Jakarta: Arga Publishing.

Anggani, Hening., 2005. Analisis Lingkungan Pemanfaatan Bantaran Sungai Banjir Kanal Timur (Studi Kasus di Kelurahan Kaligawe Semarang). Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.

Bernstein, S., 2002. Liberal Environmentalism and Global Environmental Governance. Jurnal Global Environmental Politics Massachusetts Institute of Technology, 2 (3).

Bintarto., 1977. Pola Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Chotib., 2011. Minat Bertransmigrasi Penghuni Bantaran Sungai dan Banjir Kanal Timur DKI Jakarta. Jurnal Ketransmigrasian, 28 (1 Juli 2012), 25 -33.

Dunlap, R. E. dan Catton, W. R. Jr., 1993. Towards an Ecological Sociology: the Development, Current Status and Probable Future of Environmental Sociology. The Annuals of the International Institute of Sociology.

Eckerberg, K. dan Joas, M., 2004. Multi-level Environmental Governance.

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 8

Page 9: Model pengelolaan bantaran sungai perkotaan

SP6114: Tata Kelola Lingkungan

Jurnal Local Environment, 9 (5), 405 – 412.

Kuswartojo, T., 2009. Pengorganisasian Penyelenggaraan Lingkungan. Slide Kuliah Magister Studi Pembangunan.

Milbrath, L. W., 1989. Envisioning a Sustainable Society: Learning Our Way Out. Albany: SUNY Press.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011

Tentang Sungai.

Magister Studi Pembangunan, SAPPK ITB | 9