model kelembagaan nazhir dalam pengelolaan...

104
MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA Tesis Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Master Ekonomi (M.E) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Diajukan oleh ANGGRAENI WENNY SAFITRI NIM 21160850000013 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

Upload: others

Post on 12-Apr-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR

DALAM PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA

Tesis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Master

Ekonomi (M.E) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Diajukan oleh

ANGGRAENI WENNY SAFITRI

NIM 21160850000013

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 2: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

i

Page 3: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

ii

Page 4: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

iii

Page 5: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

iv

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pengelolaan wakaf

produktif di Indonesia berikut prioritas strategi yang dapat ditawarkan dengan pendekatan

Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

Akademisi dan praktisi yang berkecimpung dalam dunia wakaf produktif. Hasil penelitian ini

menunjukan bawa permasalahan yang muncul dalam pengelolaan wakaf produktif di

Indonesia terdiri dari 4 aspek penting yaitu : 1) masalah sumber daya manusia; 2) masalah

informasi dan teknologi; 3) Masalah syariah dan 4) masalah regulasi. Adapun prioritas

strategi untuk mengembangkan wakaf produktif yaitu 1) penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf; 2) Aspek penguatan tata kelola (good nazhir governance), 3) aspek

pembentukan lembaga pendidikan, sosialisasi dan edukasi wakaf, 4) aspek dukungan regulasi

dari Pemerintah. Implikasi penelitian ini menemukan bahwa menyusun prioritas masalah

wakaf tetap penting untuk dilakukan karena keterbatasan sumber daya, dengan menyusun

prioritas masalah akan mendorong pengumpulan dan distribusi wakaf produktif yang lebih

maksimal di masa yang akan datang.

Kata Kunci : Kelembagaan, Wakaf, ANP.

Page 6: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

v

Abstrak

This study aims to identify the factors inhibiting the management of productive waqf in

Indonesia and the strategic priorities that can be offered with the Analytic Network Process

(ANP) approach. Respondents consist of the Indonesian Waqf Board (BWI), academics and

practitioners who are involved in the world of productive waqf. The result of this study

indicates that the problems that arise in the management of productive waqf in Indonesia

consist of 4 important aspects, namely: 1) human resource problems; 2) information and

technology issues; 3) Sharia issues and 4) regulatory issues. The strategic priorities for

developing productive waqf are 1) strengthening information systems and waqf technology;

2) aspects of strengthening governance (good nazir governance), 3) aspects of the formation

of educational institutions, socialization and education of waqf, 4) aspects of regulatory

support from the Government. The implication of this research is that it is still important to

prioritize waqf issues due to limited resources, by setting priority issues will encourage the

maximum collection and distribution of productive waqf in the future.

Keywords: Institutional, Waqf, ANP.

Page 7: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Puji Syukur kepada Allah SWT, yang maha mengetahui. Salawat dan salam untuk

Nabi Muahammad SAW, penghulu ilmu. Semoga limpahan salawat dan salam ini merembes

kepada semua keluarga, sahabat, dan umat beliau, terutama al‟ ulama waratsah al-anbiya‟.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Ekonomi (M.E) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang sudah memberikan

dukungan moril dan materil, do‟a yang diucapkan terus tiada henti serta virus semangat bagi

penulis dalam penyelesaian tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang begitu besar atas dukungan tersebut. Oleh karena itu izinkan penulis untuk

menghaturkan hormat dan ungkapan rasa terima kasih kepada :

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, LC.,

MA. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA, QIA., BKP., CRMP, selaku Dekan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Herni Ali HT., M.M, selaku Kepala Program Studi Magister Perbankan Syariah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Asyari Hasan,

SH.I.,M.Ag, selaku pembimbing dan Sekertaris Program Studi Magister Perbankan

Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Sofyan Rizal, M.Si, selaku penasehat akademik atas arahan dan waktu yang

telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi membimbing dengan penuh kesabaran.

Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah SWT.

4. Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H selaku Penguji Ahli atas masukan berharga

yang diberikan kepada penulis demi penyempurnaan tesis ini, semoga Allah SWT

membalas budi baik itu dengan kebahagiaan.

Page 8: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

vii

5. Kedua orangtua terkasih Bapak Mayor Inf. Ahsyan Nyampa dan Ibu Siti Arah yang

tiada henti-hentinya memberikan kekuatan dalam setiap do‟a, penulis bersimpuh sebagai

wujud terima kasih yang tak bertepi.

6. Kak Isyana Kurniasari Konoras, Kak Erlin K Tobamba, Anggi Husain, Windy Gabara,

Faradilla, Wiwin Aplodita Daniel & Kak Mega Octaviany yang membuka jalan kepada

penulis sehingga bisa melanjutkan kuliah di Jakarta.

7. Keluarga Besar Magister Ekonomi dan Bisnis angkatan 2016 teman berjuang yang tak

hentinya terus menyemangati penulis.

8. Director Lembaga Smart Consulting Bapak Aam Rusydiana yang membantu penulis

selama ini terutama dalam membuka jalan bertemu dengan para responden.

9. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen (HMJM) STIEM Bongaya

Makassar.

10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam.

11. Para senior Himpunan Mahasiswa Islam/KAHMI Abangda Akbar Tandjung, Abangda

Fatah Yasin (Bulog), Ayunda Ir. Farida Liestijati (Bulog), Suryani SF Motik (Ketum DPP

HIPPI), Imas Sidiq (Wasekjend DPP HIPPI), dan Yunda Alm. Yunda Reni Marlinawati

yang memberikan dukungan kepada penulis semoga Allah SWT membalas budi baik itu

dengan kebahagiaan.

12. Keluarga besar Pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah DKI Jakarta, Ketum Reza Artha,

Bu Sekjend Diantri Lapian, Ka‟ Temi Sumarlin, Ka‟ Asri, Ka‟ Safri Haliding, Mas Angga,

Andrean, Sunarmo, terima kasih atas dukungan dalam proses penelitian.

13. Keluarga besar Amir Hamzah Squad, Titi Haryati, Mutya Gustina, Samsudiarti, Ulfa Nur

Habibah, Rumitria Dinar, Susanti, Diah Anggun, Baiq Asma, dan Eva Nurpadillah yang

selama ini memberikan lingkungan yang nyaman bagi penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini.

Page 9: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

viii

14. Adinda Eva Musdalifah (Universitas Brawijaya) & Annisa Khairani (UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta) yang telah bersedia menjadi teman diskusi dan memberikan

informasi yang saya butuhkan, semoga kebaikannya diberikan balasan yang setimpal.

Akhirnya, penulis mempersembahkan tesis ini kepada almamater dan civitas akademika

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga ini menjadi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan

yang berguna untuk adik-adik mahasiswa penerus Magister Ekonomi dan Bisnis UIN, dan

tidak lupa penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan akan dibalas berlipat ganda oleh Allah

Ahsanal Jazaa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Jakarta, Agustus 2020

Penulis

Page 10: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

ix

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ........................................................................................................... 1

B. Batasan Penelitian ..................................................................................................... 11

C. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 13

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 14

E. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemikiran Ekonomi Kelembagaan ............................................................................ 15

1. Teori Biaya Transaksi ........................................................................................... 18

2. Teori Institusional dan Keagenan ......................................................................... 19

3. Teori Governance Perusahaan .............................................................................. 21

4. Teori Planned of Behavior .................................................................................... 21

B. Teori Lembaga dan Mikro Ekonomi Islam ............................................................... 24

1. Pengelola Wakaf (Nazhir) .................................................................................... 28

2. Pengelolaan Harta Wakaf ..................................................................................... 30

3. Pendistribusian Harta Wakaf ................................................................................ 34

4. Akuntabilitas Pengelolaan Wakaf ......................................................................... 37

C. Penelitian Terdahulu .................................................................................................. 41

D. Kerangka Berpikir .................................................................................................... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .......................................................................................................... 47

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................................... 47

C. Populasi dan Sampel.................................................................................................. 48

Page 11: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

x

D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................ 49

E. Metodologi Analisis Data .......................................................................................... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Konvensional ............................................... 54

B. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Islam ............................................................ 55

C. Gambaran Umum dan Objek Penelitian .................................................................... 58

D. Prioritas Masalah ....................................................................................................... 61

E. Jaringan Analytic Network Process (ANP) ............................................................... 64

F. Hasil Sintesis ............................................................................................................. 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 71

B. Saran .......................................................................................................................... 71

REFERENSI

LAMPIRAN

Page 12: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 47

Tabel 3.2 Komposisi Responden ........................................................................................ 48

Tabel 3.3 Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik ...................................................... 51

Page 13: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia ......................................................... 3

Gambar 1.2 Struktur Sukuk Al-Intifa‟ Dalam Pengembangan Zam Zam Tower ............... 10

Gambar 4.1 Institusi Wakaf di Indonesia ........................................................................... 60

Gambar 4.2 Jaringan Analytic Network Process (ANP) .................................................... 65

Gambar 4.3 Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia .......... 65

Gambar 4.4 Hasil Sintesis Cluster Informasi Teknologi .................................................... 66

Gambar 4.5 Hasil Sintesis Cluster Regulasi ....................................................................... 67

Gambar 4.6 Hasil Sintesis Cluster Sumber Daya Manusia ................................................. 68

Gambar 4.7 Hasil Sintesis Cluster Syariah ......................................................................... 69

Gambar 4.8 Hasil Sintesis Cluster Strategi ......................................................................... 69

Page 14: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah Islam, lembaga wakaf memainkan peran penting dalam menyediakan

fasilitas publik seperti masjid, sekolah agama, universitas dan ruang publik (Cizaksa,

1998:43; Qahf, 1998:10). Banyak contoh yang menunjukan bagaimana wakaf memberikan

dampak positif bagi perekonomian masyarakat. Misalnya yang terjadi di Singapura,

Malaysia, dan Pakistan (Karim, 2007 & 2010; Mohsin, 2014 & 2016; Shirazi, 2014) dalam

Paksi dkk (2020:52). Kasus-kasus tersebut menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan

wakaf yang dilakukan dengan baik mampu membawa dampak positif terhadap peningkatan

aktivitas ekonomi masyarakat.

Potensi pemanfaatan asset wakaf di Indonesia sesungguhnya cukup besar. Mohsin

mencatat potensi wakaf di Indonesia sebesar $14 Milyar per tahun, lebih besar dari negara

lain yang ia teliti, seperti Malaysia ($1,4 Milyar), Mesir ($6,5 Milyar), dan Pakistan ($8

Milyar) (Mohsin, 2007:12). Namun demikian penggunaannya masih terbatas pada kegiatan

yang secara ekonomi tergolong non-produktif. Disamping itu asset-aset yang diwakafkan

juga masih terbatas pada tanah dan bangunan saja.

Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya membangun masjid atau menyediakan

lahan pemakaman melalui wakaf, melainkan menyediakan segala kebutuhan sosial-ekonomi

masyarakat. Hukum wakaf memberikan kelonggaran bagi umat muslim untuk

mengembangkannya selama tidak melanggar ajaran Islam (Mohsin dkk, 2016:3). Umat

Muslim didorong untuk kreatif dan inovatif dalam mengelola wakaf, baik dalam

meningkatkan pendapatan yang diterima dari wakaf juga meningkatkan variasi layanan yang

dapat diberikan melalui wakaf sesuai kebutuhan masyarakat.

Kemampuan penggalangan dana Lembaga filantropi Islam di Indonesia terus

Page 15: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

2

mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kepercayaan publik terhadap kinerja

mereka. Dalam hal penggalangan dana, beberapa Lembaga seperti Dompet Dhuafa

memperlihatkan perkembangan di usianya yang relative muda. Menurut studi PIRAC (Public

Interest Research and Advocacy Center), kebanyakan LAZIS yang dikelola masyarakat sipil

ini sanggup menggalang dana ZIS dan Wakaf sehingga mencapai antara 2,5-15 miliar rupiah

per tahun, dalam tempo relative singkat (Saidi, 2003 dalam Abubakar dkk, 2006:133).

Bahkan hanya dalam tempo lima tahun, Dompet Dhuafa (DD) berhasil mencatat perolehan

dana zakat, infak, sedekah, melebihi jumlah ZIS yang dikumpulkan BAZIS DKI Jakarta.

Sepanjang tahun 2000, BAZIS DKI Jakarta berhasil menggalang dana ZIS sebesar 8,5 miliar

rupiah per tahun. Sedangkan Dompet Dhuafa mencatat perolehan lebih tinggi sebesar 11,45

miiar rupiah.

Namun demikian, meski dianggap cukup berhasil, perkembangan yang ditunjukan

oleh BAZIS dan LAZIS belum mencerminkan kebangkitan filantropi Islam. Pasalnya,

sebagaimana dilaporkan oleh S. Sinansari Ecip, dana ZIS yang dapat diserap oleh Lembaga-

lembaga filantropi di atas belumlah memadai untuk upaya-upaya pemberdayaan masyarakat

yang kurang mampu di Indonesia. Sebagaimana pernah dilaporkan, potensi dana zakat

masyarakat Islam diperkirakan berkisar antara 6-9 triliun rupiah per tahun. Sementara dana

yang baru bisa diserap oleh BAZIS dan LAZIS di Indonesia masih terbilang sedikit, yakni

sebesar 6%, dimana BAZIS menyerap 4% sementara LAZIS sekitar 2%. (Ecip, 2003 dalam

Abubakar dkk, 2006:134).

Ada banyak asumsi yang bisa kita bangun untuk menjawab masalah perwakafan di

Indonesia diantaranya adalah lemahnya manajemen (Kamil, 2016:131; Sadeq, 2002:135;

Saad dkk, 2013:73, tanah wakaf yang terlantar (Huda, 2016:2), Nazhir tidak professional

(Chowdury, 2012:4 ; Hasanah, 2012:68), pendapatan dari pengelolaan wakaf tidak cukup

membiayai operasional (Abdullah, 2010 & Chowdury, 2012:4), Sistem informasi yang buruk

Page 16: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

3

(Nizar A.N, 2017:41; Mohammad, 2006:27), kurangnya akuntabilitas (Fikri dkk, 2010:2).

Sementara itu Sulaiman & Zakari (2013:2) menegaskan bahwa evaluasi kinerja sangat

penting dilakukan dilembaga wakaf mengingat salah satu ciri dari wakaf adalah

kelestariannya. Ini dapat dilakukan dengan menentukan efisiensi dan efektivitas lembaga.

Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PBB)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat

konsumtif (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan lain

menunjukan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid dan mushollah (79%) daripada

peruntukkan lainnya seperti kuburan, Lembaga Pendidikan, dan sarana umum. Data ini

menunjukan bahwa asset tanah wakaf yang tersebar di Indonesia masih dikelola secara

konsumtif belum kearah produktif. Padahal, pengelolaan wakaf seharusnya dikembangkan

secara produktif agar dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebab,

substansi atau ruh dari ajaran wakaf adalah produktifitas (al-Shan‟ani, 1349:87)

Kondisi diatas menunjukan hambatan dan sekaligus peluang filantropi Islam di

Indonesia. Kondisi inilah yang ditanggapi Mulyadi dkk dalam E-Zakat : Redesign the

Collection and Distribution of Zakat yang mengungkapkan bahwa sistem E-Zakat merupakan

terobosan penting dalam teknologi untuk meningkatkan efisiensi penghimpunan dan

penyaluran Zakat Maal. Sistem ini akan memudahkan pembayar zakat dalam memenuhi

kewajibannya tanpa mengalami kesulitan untuk menemukan lembaga zakat ('amil).

Mekanisme pembayarannya mudah dan diharapkan dapat mendorong orang kaya untuk lebih

semangat membayar zakat. Pada gilirannya, jumlah zakat yang terkumpul dapat ditingkatkan.

Bisa juga digunakan untuk menerima skema pembayaran lain, seperti Infaq dan Sedekah. Ini

juga bisa menjadi desain untuk menerima santunan (waqaf) dan kurban (Qurban) di masa

depan. (Mulyadi, Hakim, A.R, Mulazid, A.S., Supriyono & Meiria, Endah,2018:435)

Islam memandang produktivitas sebagai suatu keseimbangan pencapaian manfaat di

Page 17: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

4

dunia dan manfaat di akhirat. Konsep produktivitas ini hendaknya diterapkan bukan hanya

pada kegiatan perekonomian yang sifatnya duniawi saja terkait proses input-output produksi,

melainkan juga dalam segala aspek peribadatan khususnya dalam bidang distribusi ZISWAF

yang merupakan salah satu metode distribusi kekayaan dalam Islam (Paksi dkk, 2020:59).

Dari sudut pandang produktivitas, pemanfaatan harta wakaf dapat dibagi menjadi dua

jenis yaitu wakaf langsung dan wakaf produktif. Wakaf langsung yakni wakaf yang langsung

dapat diterima manfaatnya sebagai pelayanan bagi mauquf alaih seperti pembangunan

masjid, pondok pesantren dan madrasah. Sementara itu, wakaf produktif adalah wakaf yang

pokoknya digunakan untuk kegiatan produktif atau dikelola sedemikian rupa agar

mendatangkan hasil dan hasilnya itu yang akan diberikan kepada yang berhak sesuai tujuan

wakaf. (Qahaf dalam Lamuri, 2014:327)

Wakaf produktif dapat diartikan sebagai suatu tindakan wakaf yang mampu

menghasilkan , secara terus menerus. Dalam lingkup ekonomi, yang dimaksud dengan wakaf

produktif adalah kemampuan asset wakaf untuk terus menghasilkan pendapatan bagi

masyarakat (Paksi dkk, 2020:1).

Sementara itu Dahwan menegaskan bahwa wakaf produktif adalah memindahkan

harta dari upaya konsumtif menuju produktif dan investasi dalam bentuk modal produksi

yang dapat memproduksi dan menghasilkan sesuatu sehingga dapat dimanfaatkan pada masa

mendatang, baik oleh pribadi, kelompok maupun masyarakat luas. Dengan demikian, wakaf

produktif merupakan kegiatan menabung dan berinvestasi seccara bersamaan (Dahwan,

2008:73).

Page 18: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

5

Gambar 1.1

Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia

Ga

Sumber : Siwak Kemenag (2020)

Penggunaan asset wakaf seperti pada penjelasan gambar 1.1 belum dapat dikatakan

sebagai bentuk wakaf produktif karena belum mampu menghasilkan pendapatan secara rutin

bagi masyarakat, bahkan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengelolaannya.

Pemaknaan Wakaf sesungguhnya bisa lebih luas, tidak terbatas pada properti tanah dan

bangunan. Banyak asset yang berpotensi untuk diwakafkan selain dari kedua asset tersebut.

Demikian halnya dengan penggunaannya yang masih bisa dieksplorasi lebih jauh.

Pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti

luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.

Terlebih jika merujuk hadis Riwayat Muslim, tentang Umar Bin Khattab yang mewaakfkan

kebun kurmanya (Siddiqi, 2005) dalam Paksi (2020:2). Dalam hadis tersebut dijelaskan

bahwa Rasulullah SAW menyarankan agar Umar tetap merawat kebun tersebut dan

menyedekahkan hasil panennya kepada orang-orang yang membutuhkan. Hasil tersebut dapat

Page 19: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

6

dijadikan landasan pentingnya mengelola wakaf secara produktif, dimana hasil pengelolaan

wakaf secara langsung dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Contoh lain pengelolaan wakaf produktif adalah wakaf yang dilakukan oleh Usman

bin Affan r.a melalui sumur Raumah (Ambrose dkk, 2015:2) Sumur tersebut tetap dipelihara

pada masa bani Umayyah dan menghasilkan kebun Kurma. Selanjutnya pada masa

pemerintahan Arab Saudi modern, hasil kebun kurma tersebut ditabung dan diolah menjadi

hotel yang hasil pengelolaannya digunakan untuk membiayai kebutuhan masyarakat miskin.

Karena lembaga wakaf memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan organisasi

nirlaba, penggalangan dana merupakan elemen penting untuk menjalankan lembaga tersebut.

Metode penggalangan dana yang berfungsi, sesuai, dan efektif diperlukan untuk

mengamankan sumber daya manusia dan keuangan yang diinginkan. Meskipun wakaf dalam

beberapa kategori merupakan hal yang umum di dunia Muslim, penggalangan dana wakaf

yang terorganisir dalam skala besar masih merupakan fenomena yang luar biasa bagi

komunitas Muslim (Lindhal & Conley, 2002 :91 dalam Sulthoni, 2018: 62).

Sementara itu, Warwick menegaskan bahwa penggalangan dana tidak hanya sebagai

upaya untuk mendapatkan dana bagi organisasi, tetapi juga mencakup pembentukan basis

donor, membuat donor aktif, terlihat dan efisien (Warwick dalam Sulthoni & Saad, 2018:62).

Model penggalangan dana dalam pengembangan harta wakaf dapat dilakukan dengan

skema tradisional dan modern. Secara tradisional yaitu al-hikr, al ijaratyn, al-istibdal dan al-

mursad yang telah dilakukan oleh lembaga wakaf di beberapa negara muslim. (Kahf, 1998

dalam Sulthoni dan Saad, 2018:63).

Pertama, al-hikr adalah sewa jangka panjang, model ini dikembangkan oleh para ahli

hukum Islam di pertengahan abad ketiga hijriah untuk mencegah harta wakaf dijual, karena

menjual properti wakaf menurut mayoritas fuqaha klasik dilarang. Kahf mengusulkan bahwa

Nazhir memberikan hak sewa jangka panjang dengan nominal sewa periodik. Model ini

Page 20: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

7

memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya Nazhir memperoleh dana yang cukup

besar yang dapat digunakan membiayai properti wakaf lainnya, yang pada gilirannya dapat

menghasilkan lebih banyak pendapatan. Kerugiannya adalah hak untuk menggunakan tanah

telah diberikan kepada penyewa untuk jangka waktu yang sangat lama, dibeberapa negara

hingga sembilan puluh sembilan tahun. Selain itu, sewa jangka panjang dapat mendorong

penyewa untuk menjual dan mewarisi properti yang akan menciptakan masalah lain, yaitu

mengambil alih hak properti, karena ahli waris penyewa akan mengklaim kepemilikan

properti dalam jangka panjang.

Kedua, al-ijaratyn (sewa dengan pembayaran ganda), model ini muncul sebagai

akibat dari kehancuran sebagian besar properti wakaf oleh konstatinopel. Pada saat itu,

sebagian besar layanan sosial bergantung pada wakaf. Untuk mengatasi ini, mereka harus

memulai metode ganda untuk membiayai dan merekonstruksi properti wakaf yang rusak ini.

Kelemahan model ini dana sewa yang diterima oleh departemen wakaf harus dihabiskan

untuk merekonstruksi dan merenovasi properti wakaf untuk kepentingan penyewa dengan

sewa berkala nominal. Satu-satunya keuntungan adalah karena properti wakaf masih milik

depertemen wakaf.

Ketiga, al-istibdal (subtitusi). Model ini untuk menukar properti wakaf dengan

properti lain atau dengan uang tunai untuk merenovasi properti wakaf yang lama. Menurut

mayoritas ahli hukum Islam jika properti wakaf tidak mampu menghasilkan pendapatan

karena lokasi atau usia bangunan maka dapat diganti dengan yang baru dengan cara menukar.

Keuntungan dari model ini adalah menyediakan likuiditas yang diperlukan untuk merenovasi

properti wakaf yang lama.

Keempat, al-mursad. Pembayaran uang muka dibayarkan oleh penyewa untuk

dikreditkan oleh Departemen Wakaf terhadap sewa berkala yang disepakati dan berlaku

setelah rekonstruksi. Keuntungan dari mode ini adalah bahwa tanah wakaf dikembangkan

Page 21: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

8

tetapi kerugiannya adalah penyewa akan mengklaim kepemilikannya atas tanah ini setelah

waktu yang lama (Mohsin,2007:4)

Model penggalangan dana untuk pengembangan harta wakaf juga dapat dilakukan

dengan skema modern yaitu Venture Philanthropy of Waqf (VPWM), Value-based Capital

Model of Waqf (VBCM) dan Social Entreprise Waqf Fund Model (SEWF) (Scarlata dan

Alemany dalam Sulthoni dan Saad, 2018:73).

Venture Philanthropy of Waqf Model (VPWM) akan menghasilkan sumber pendanaan

baru untuk mencapai keuntungan finansial dan sosial dari kegiatan investasi. Wakif

memberikan dana kepada Nazhir yang kemudian akan berinvestasi dalam wirausaha sosial

yang memiliki potensi dan dampak sosial yang tinggi. Tujuan utama VPWM adalah untuk

mencapai dan memaksimalkan manfaat sosial daripada berkonsentrasi pada maksimalisasi

keuntungan seperti yang dicapai dalam modal ventura tradisional. Berbeda dengan modal

ventura konvensional yang biasanya memperoleh investasi dari investor kaya, seperti

Grameen Bank di Bangladesh. Sebaliknya, VPWM mengakumulasi modal dari kontribusi

wakaf. Dalam struktur organisasi, model keuangan mikro pada prinsipnya sama dengan

bisnis yang memaksimalkan keuntungan tetapi dimodifikasi menjadi berorientasi sosial

karena target memberdayakan masyarakat miskin dan usaha mikro.

Dalam skema Value-based Capital Model of Waqf (VBCM) ini semua modal harus

diinvestasikan, dan pendapatannya harus dikumpulkan. Pendapatan ini harus dipisahkan

menjadi pendapatan yang dapat didistribusikan dan biaya. Pendapatan yang dibagikan akan

dibagikan kepada penerima wakaf sedangkan dana yang akan digunakan untuk pengeluaran

disimpan di akun cadangan. Dana ini bisa ditempatkan pada dana yang lebih besar (hedge

fund). Ini dilakukan untuk mengkompensasi kerugian di salah satu akun modal utama. Selain

itu, penerapan VBCM dalam wakaf juga diproyeksikan akan mengurangi masalah non

likuiditas aset wakaf. dan dengan demikian mendorong umat untuk berkontribusi bagi

Page 22: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

9

pengembangan lembaga wakaf lebih lanjut. (Zakaria, Samad dan Shafii dalam Sulthoni dan

Saad, 2018:75)

Social Entreprise Waqf Fund Model (SEWF) merupakan praktik perbaikan dalam

penghimpunan dana, pengelolaan, pemeliharaan yang dilaksanakan oleh lembaga wakaf di

banyak negara. Model ini menyeimbangkan perolehan pendapatan dengan penciptaan

dampak sosial untuk kepentingan umum dalam memastikan kemakmuran itu beredar dari

orang kaya kepada orang miskin. Ini adalah sebuah model yang tampaknya cocok untuk

mengatasi beberapa keberlanjutan lembaga wakaf di suatu negara (Arshad dan Haneef dalam

Sulthoni dan Saad, 2018:79).

Dalam mengelola wakaf berbeda dengan mengelola Zakat, Infaq atau Sedekah (ZIS)

karena Nazhir harus mampu mempertahankan “pokoknya”, pokoknya inilah yang harus

diinvestasikan ke berbagai macam kegiatan yang tidak bertentangan dengan Islam sehingga

pokoknya akan bertambah dan hasilnya akan dipergunakan oleh penerima wakaf.

Kholid,dkk (2007:6) mengungkapkan bahwa terus menerus bergantung pada

penerimaan asset wakaf dari wakif akan menciptakan masalah ketahanan dalam kontribusi

wakaf itu sendiri. Oleh sebab itu, Nazhir wakaf perlu melakukan proyek-proyek yang

profitable untuk membiayai sektor-sektor dasar yang dibutuhkan masyarakat dalam hal ini

yang direkomendasikan berupa Sukuk Al-Intifa‟a. Model pengelolaan wakaf secara modern

ini disebut juga wakaf corporation, dapat ditemui dalam proyek pembangunan Zam-zam

Tower.

Zam-zam Tower adalah sebuah menara yang berada di kota Mekkah, Arab Saudi, dan

dekat dengan Masjidil Haram. Zam-zam Tower berdiri di atas lahan yang diwakafkan oleh

Arab Saudi dibawah pengelolaan King Abdul Aziz Waqf (KAAW) sebagai Nazhir. Lahan

Wakaf tersebut oleh KAAW disewakan kepada Konglomerasi BinLaden Group dengan

Page 23: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

10

sistem konsesi yang disebut BOT (Build-Operate-Transfer) dengan jangka waktu hingga 28

tahun.

Menurut Kholid,dkk (2009:15), kontrak konsesi mewajibkan BinLaden Group untuk

membangun pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan hotel untuk King Abdul Aziz Waqf

(KAAW) sebagai bentuk pembayaran BinLaden Group kepada KAAW. Kemudian,

BinLaden Group mensubkontrakan konsesinya kepada Munshaat, sebuah perusahaan properti

yang berbasis di Kuwait. Mushaat.

Pembiayaan megaproyek senilai 390.000.000 US ini dilakukan oleh Munshaat dengan

penerbitan Sukuk Intifa‟a dengan jangka waktu 24 tahun. Sukuk Intifa‟a adalah sejenis sukuk

yang memungkinkan pembelinya untuk menyewa ruang yang berada dalam kompleks Zam-

zam Tower selama jangka waktu tertentu. Jumlah unit sukuk yang terbeli setara dengan

jumlah hak waktu penyewaan yang dimiliki oleh pembeli tersebut. Pembeli dapat

menggunakannya untuk keperluan sendiri atau dikontrakkan kepada pihak lain (Ahmed

dalam Kholid dkk (2009:12).

Gambar 1.2

Struktur Sukuk Al-Intifa’ Dalam Pengembangan Zam Zam Tower

Proyek pembangunan Zam-zam Tower merupakan contoh model wakaf modern atau

waqf corporation yang dilakukan oleh Arab Saudi. Akan tetapi pada kenyataannya

perwakafan di Indonesia belum mampu memainkan perannya dan bahkan sebaliknya banyak

Page 24: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

11

permasalahan yang muncul, seperti tidak sedikit tanah wakaf yang terlantar, sengeketa tanah

wakaf oleh ahli waris (Huda dkk, 2016:2).

Pengelolaan wakaf di Indonesia masih tergolong tradisional dan secara ekonomi

kurang produktif. Aset wakaf di Indonesia mayoritas berupa sekolah, masjid dan pemakaman.

Namun demikian, bukan berarti di Indonesia pengelolaan wakaf secara produktif tidak dapat

ditemukan sama sekali. Hanya saja pengelolaan wakaf yang lebih produktif baru dilakukan

dalam skala yang lebih kecil bila dibandingkan dengan pengelolaan wakaf mainstream di

Indonesia.

Lembaga Nazhir Dompet Dhuafa memiliki program wakaf bisnis dan usaha. Dalam

program ini, wakif akan menyerahkan usaha yang dimiliki kepada Dompet Dhuafa untuk

dikelola sebagai asset wakaf. Adapun jenis-jenis usaha yang dapat diserahkan meliputi

layanan publik seperti klinik, sekolah, universitas, dan sarana olahraga atau usaha komersial,

meliputi minimarket, restoran, waralaba, pabrik, dan hotel.

Walaupun pada dasarnya semua masalah wakaf perlu diselesaikan, menyusun prioritas

masalah tetap penting untuk dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya, baik sumber

daya dana, maupun sumberdaya waktu yang dimiliki oleh institusi atau Lembaga wakaf.

Menyusun prioritas masalah juga akan membantu pengelola wakaf atau nazhir dalam

menyusun rencana strategis dan menyusun agenda kerjanya. Berdasarkan latar belakang yang

dijelaskan di atas maka penulis memandang penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut

terkait pengelolaan wakaf produktif pada lembaga Nadzhir di Indonesia dengan mengangkat

judul “Model Kelembagaan Nadzhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif di Indonesia”

B. Batasan Penelitian

Pengelolaan asset wakaf diklasifikasikan menjadi tiga fase yaitu pengumpulan,

investasi dan alokasi. Fase pengumpulan dan investasi bertujuan mendapatkan dana yang

akan digunakan dalam memberdayakan masyarakat. Fase ketiga adalah langkah penting

Page 25: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

12

dimana Nadzhir mengelola kekayaan wakaf untuk mendapatkan laba yang diinginkan.

Nadzhir pada titik ini, harus mengelola dana dengan baik. Mohammad dalam Sulthoni dan

Saad (2018:59) mengidentifikasi kendala utama dalam mengembangkan properti wakaf.

yakni ketentuan hukum yang tidak memadai, system informasi yang buruk, kurangnya tenaga

terlatih, kurangnya kepercayaan dan sumber keuangan yang tidak mencukupi.

Pengelolaan yang professional dan modern dalam mengembangkan harta wakaf dapat

dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :

1. Kelembagaan

Pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf dapat dilakukan secara produktif baik

dengan cara pengumpulan, investasi, produksi, perdagangan, pertambangan,

perindustrian, agrobisnis, pembangunan Gedung, apartemen, rumah susun, pasar

swalayan, pertokoan, perkantoran dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan

Syariah. Harta wakaf memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien sehingga esensi

wakaf yang tetap asset/pokok modalnya, dan abadi manfaatnya untuk masyarakat dapat

bertahan lama dan tujuan filosofis dari wakaf sebagai shadaqah jariah dapat diwujudkan.

2. Pengelolaan Operasional

Dalam pengelolaan harta wakaf secara produktif harus ditetapkan standar operasional

pengelolaan yaitu : Batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar

menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Dalam kajian

ilmu manajemen bahwa yang disebut dengan pengelolaan operasional adalah proses-

proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi operasi. Keputusan yang

dimaksud disini ialah berkenaan dengan lima fungsi utama manajemen operasional yaitu

: proses, persediaan, tenaga kerja dan mutu.

3. Kehumasan (Pemasaran)

Dalam mengelola harta wakaf, kehumasan atau pemasaran merupakan aspek yang

Page 26: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

13

memiliki posisi yang penting. Aspek ini berfungsi untuk memperkuat image bahwa

wakaf dikelola oleh Nadzhir yang professional dan wakaf betul-betul dapat

dikembangkan dengan memperkuat system informasi dan teknologi wakaf. Selain itu,

pemasaran bertugas memperkenalkan bahwa wakaf tidak hanya berorientasi pada pahala

oriented, tetapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek

kesejahteraan umat manusia, khususnya kaum dhuafa.

4. Sistem Keuangan

Akuntabilitas dapat menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat kepada lembaga.

Karena itu akuntabilitas menjadi sesuatu yang penting karena akan mempengaruhi

legitimasi terhadap lembaga pengelola wakaf. Dengan demikian akuntabilitas bukan

semata-mata berhubungan dengan pelaporan keuangan dan program yang dibuat,

melainkan berkaitan pula dengan persoalan legitimasi public.

Dalam penelitian ini penulis mengurai permasalahan wakaf produktif di Indonesia

kemudian mencoba memberikan strategi dalam upaya membangun wakaf produktif

berdasarkan skala prioritas kepada Nadzhir dalam menyusun rencana strategis dan menyusun

prioritas agenda kerjanya menggunakan model ANP. Agar penelitian ini lebih terfokus pada

hal-hal yang akan dicapai sesuai dengan tujuan penelitian maka penulis ingin membatasi

penelitian ini pada “Faktor-faktor penghambat pengelolaan wakaf produktif di Indonesia”.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas maka perumusan masalah adalah sebagai

berikut :

1. Apa saja prioritas permasalahan yang menyebabkan pengelolaan wakaf di Indonesia

belum produktif?

2. Bagaimana strategi yang dapat diberikan atas permasalahan tersebut berdasarkan skala

prioritas?

Page 27: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

14

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang serta perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas , tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prioritas permasalahan pengelolaan wakaf produktif di Indonesia

berdasarkan metode ANP.

2. Untuk mengetahui strategi yang dapat diberikan atas permasalahan pengelolaan wakaf

produktif di Indonesia.

E. Manfaaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Pada dasarnya masih banyak aspek yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan wakaf di

Indonesia, khususnya pada aspek kelembagaan serta tata kelola wakaf dalam meningkatkan

produktivitas harta wakaf. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan

pemikiran dan masukan akademik serta bahan kajian ilmiah yang bersifat informatif bagi

akademisi, praktisi dan pemerhati wakaf.

2. Manfaat Praktis

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah agar para pengelola wakaf

(Nadzhir) dapat lebih memproduktifkan asset wakaf untuk memberdayakan masyarakat.

Prioritisasi masalah dan strategi dalam pengembangan wakaf produktif ini hendaknya dapat

memberi masukan tepat kepada seluruh pihak terkait, masalah apa yang seharusnya lebih

dahulu diselesaikan dan solusi mana yang paling tepat.

Page 28: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemikiran Ekonomi Kelembagaan

Teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji

fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya dan

yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Jadi, pada aras ini, teori ekonomi kelembagaan

paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial

memiliki dua dimensi yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan

(persoalan) negara, ilmu sosial tidak hanya mempunyai daya penjelas atau kapasitas

interpretative, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila

bersinggungan dengan (urusan) masyarakat, maka ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu

sosial kritis. Ilmu-ilmu sosial instrumental dapat dimaknai sebagai disiplin ilmu sosial yang

bertujuan akhir pada tindakan, yaitu pada dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu soial

kritis memiliki tujuan akhir pada emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam

dengan memerdekakan kesadaran dari keadaannya yang tak reflektif (Kleden, 1997:27-28)

dalam Yustika (2006: 75). Dengan pijakan ini, setidaknya ilmu sosial mengusung pesan

penting : tidak ada kebenaran tunggal.

Ahli kelembagaan berusaha membuat model pola/pattern models (teori-teori),

sementara ahli neoklasik berusaha menyusun model-model prediktif (teori-teori). Model-

model pola menjelaskan perilaku manusia (human behavior) dengan menempatkannya secara

cermat di dalam konteks kelembagaan dan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku

manusia dengan menyatakan secara cermat asumsi-asumsi dan menarik kesimpulan implikasi

(prediksi) dari asumsi tersebut.

Inti dari paham kelembagaan (institusionalsm) adalah mengenai kelembagaan

(institutions), kebiasaan (habits), aturan (rules), dan perkembangannya (evolution). Namun,

Page 29: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

16

ahli kelembagaan tidak akan berusaha membangun model tunggal umum berdasarkan ide-ide

tersebut. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai perilaku

manusia (human agency), kelembagaan, dan perkembangan sifat dari proses ekonomi menuju

ide-ide dan teori-teori khusus, yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesifik

atau tipe ekonomi (Hudgson, 1998:168) dalam Yustika (2006:78).

Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner, dan nonprediktif.

Ahli ekonomi kelembagaan pada umumnya fokus kepada konflik daripada keharmonisan,

pada pemborosan (inefisiensi) daripada efisiensi, dan pada ketidakpastian dibandingkan

pengetahuan yang sempurna. Mereka pada umumnya menolak keseragaman pasar sebagai

mekanisme alokasi yang tidak bias dan mekanisme distribusi. Di samping itu, ahli

kelembagaan tetap merawat secara konsisten persepsi yang jelas mengenai perbedaan antara

biaya/manfaat privat dan social (privat and social cost/benefits). Intinya, pusat kepentingan

dari kelembagaan kepada eksistensi dari penyimpangan kekuasaan dan hak khusus (privilege)

dari anggapan tentang perilaku individu yang atomistik (atomistic individual) (Miller,

1988:51).

Pada level motivasi, ekonomi kelembagaan telah mengenal pentingnya perilaku

manusia „non rasional‟ (non-rational human behavior) dalam pembuatan keputusan ekonomi

(Radner, 1996:1363). Perilaku haus pada kekuasaan dan petualangan, rasa kemerdekaan, sifat

mementingkan orang lain, keinginan tahu, adat dan kebiasaan semuanya dapat menjadi

motivasi yang kuat dari perilaku ekonomi individu. Lewat pijakan inilah ahli kelembagaan

sangat kritis terhadap asumsi ekonomi neoklasik. Sifat-sifat institusionalisme, yaitu holistic,

sistemis, evolutive, yang dikombinasikan dengan apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan,

konflik, dan pengenalan pentingnya perilaku manusia non-rasional telah membedakan aliran

ekonomi kelembagaan dengan ekonomi konvensional. Pada titik ini, dianggap model-model

formal tidak dapat menangani tentang variabilitas, spesifitas kelembagaan, dan non-

Page 30: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

17

generalisasi perilaku individu (Wilber dan Harrison, 1988:106).

Keluhan inilah yang menjadi titik pijak pendekatan ekonomi kelembagaan untuk

mengembangkan sebuah pandangan baru, yang meyakini bahwa individu atau kelompok

bergerak tidak hanya dengan motif tunggal: laba (ekonomi). Sebaliknya individu/kelompok

merupakan entitas yang memiliki multiekspektasi dan hal itu menjadi dasar bagi mereka

untuk mengambil keputusan.

Analisis tentang keterkaitan dan dampak kelembagaan pada kebijakan publik

dianggap tidak lengkap tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan

analisis kelembagaan. Ilmu Ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya, ilmu ekonomi

instutusi baru (Neo institusional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi

(transaction cost) dan tindakan kolektif (collective action) (Ostrom, 1990:46).

Di dalam analisis biaya, transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan

penguasaan sumber daya alam atau factor produksi (property rights), ketidakseimbangan

akses dan penguasaan informasi (information assymmetry) serta tingkah laku oppurtunistik

(opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu

ekonomi biaya transaksi (transaction cost economy) sedangkan yang lain menyebutnya

sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigma).

Sebagian pakar kelembagaan hanya memusatkan perhatian pada kode etik dan aturan

main, sedangkan sebagian lainnya hanya melihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan

manajemennya. Kebanyakan analis kelembagaan saat ini, memadukan organisasi dan aturan

main. Analisis mungkin akan menjadi komplek tetapi bisa dicari hal-hal pragmatis yang bisa

diterjemahkan ke dalam strategi pengembangan. Logika analisis institusi bisa dipakai untuk

menjelaskan kegagalan pemerintah dan negara atau kegagalan pasar atau kegagalan berbagai

model pembangunan. (Amalia, 2009:36-37).

Permasalahan kelembagaan dapat ditemui dalam penelitian Yustika “Corporate

Page 31: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

18

Governance of Sugar Mills in East Java : A Transaction Cost Economics Perspective”. Ia

mengurai bagaimana penerapan ekenomi kelembagaan pada masalah industri gula di

Indonesia. Baginya, masalah mendasar pabrik gula adalah inefisiensi manajemen yang

mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Dalam konteks biaya transaksi pasar, pabrik gula harus

berhubungan dengan banyak pihak, seperti petani tebu, koperasi, distributor, lembaga hukum

(notaris), bank, dan lain sebagainya. Selain itu pabrik gula melakukan penyesuaian kebijakan

pemerintah (biaya transaksi politik) agar dapat beroperasi dengan lancar. Masalah lain adalah

proses pengambilan keputusan seringkali terlambat, fungsi pengawasan dari Direksi tidak

berjalan dengan baik. Yustika dalam penutup penelitiannya mengusulkan restrukturisasi tata

kelola perusahaan dan aspek pengawasan (Yustika, 2007:17).

1. Teori Biaya Transaksi

Pendekatan biaya transaksi yang dikemukakan oleh Coase berawal dari adanya

observasi bahwa banyak keputusan alokasi sumber daya dalam operasi perusahaan tidak

dapat dilakukan secara efisien melalui mekanisme harga (pasar). Dalam hal ini, sumber daya

cenderung mengalir ke wilayah yang menawarkan harga tertinggi. Hal ini sering kali

mendorong tingginya biaya transaksi. Biaya transaksi disini mencakup biaya untuk mencari

informasi mengenai harga relatif barang yang akan ditransaksikan, biaya untuk mengadakan

dan menegosiasikan kontrak dan biaya yang muncul karena adanya pungutan-pungutan

selama transaksi. Coase menjelaskan bahwa ketika alokasi sumber daya tidak dikelola

melalui mekanisme pasar namun dikelola secara bijak melalui aktivitas internal perusahaan,

hal ini akan menghemat biaya transaksi. (Coase, 1937:386).

Perusahaan akan tetap eksis jika perusahaan tersebut mampu meminimalkan biaya

untuk menyediakan input produksi, khususnya melalui minimisasi biaya “membuat input”

melalui integrasi vertikal (penyediaan seluruh input secara mandiri oleh perusahaan) atau

meminimalkan biaya “membeli input” melalui kesempatan yang ada di pasar seperti joint

Page 32: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

19

venture atau aliansi. Kelemahan dari pandangan ini adalah tidak dipertimbangkannya agency

cost dan evolusi dalam perusahaan. Teori ini juga tidak menjelaskan bagaimana proses

integrasi vertikal harus dilakukan, terutama mengingat proses transfer modal insani (human

capital) sulit untuk dilakukan dan nilai modal insani juga sulit untuk ditentukan (Kanterelis

dalam Arsyad & Kusuma, 2014 : 47).

2. Teori Institusional dan Keagenan

Teori institusional (institusional theory) dan teori keagenan (agency theory)

merupakan dua teori yang saling melengkapi dalam mengungkapkan praktek pelaporan

keuangan perusahaan (Falkman dan Tagesson, 2008:271 dan Pina dkk, 2010:350). Teori

Institusional menyatakan bahwa organisasi merespon tekanan-tekanan dari konteks

institusional mereka (Dimaggio dan Powell, 1983:147, dan Carpenter dan Feroz, 2001:565).

Respon yang dimaksud seperti adopsi praktek-praktek serta struktur yang diterima secara

sosial sebagai pilihan organisasional yang tepat dalam upaya memperolah legitimasi dari

konteks institusional mereka. Pelaporan keuangan lembaga pengelola wakaf merupakan

upaya dalam rangka memperoleh legitimasi dari lingkungan institusional yaitu Wakif, Badan

Wakaf Indonesi (BWI) dan masyarakat.

Teori keagenan perusahaan (principal-agent theory of the firm) merupakan perluasan

dari teori neoklasik yang dalam analisisnya memasukan elemen keagenan perusahaan. Teori

ini menekankan pembahasannya pada permasalahan ketidaksempurnaan informasi dan

permasalahn keagenan (principal agen) yang terjadi dalam proses interaksi antara pemilik

perushaan dan stakeholders lain atau manajer dan pekerja. Teori ini juga membahas

mekanisme pengukuran kinerja agen yang tepat dan mekanisme insentif yang efektif untuk

mendorong kinerja agen. Kelemahan teori ini terkait dengan 1) visibilitas 2) asumsi kontrak

yang tidak sempurna dan kompleks (complicated incomplete contracts) sehingga sulit untuk

dimodelkan, dan 3) tidak dipertimbangkannya biaya transaksi dan evolusi perusahaan.

Page 33: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

20

Akuntabilitas sebetulnya timbul sebagai konsekuensi logis atas adanya hubungan

antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) sehingga muncul hubungan yang dinamis

berupa agent-principal relationship. Principal dalam hal ini memberikan kewenangan penuh

pada agent untuk melakukan aktivitas operasi organisasi. Sebagai konsekuensi atas

wewenang ini, maka agent harus mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada principal.

Gray, Owen dan Mounders (1991:6) mendefinisikan akuntabilitas sebagai : the onus,

requirement or responsibility to provide account (by no means necessarily a financial

account) jor reckoning of action of which one is held responsible.

Principal melepaskan kontrol atas sumber daya kepada agent, memberikan instruksi

atas ekspektasi tentang penggunaan sumber daya. Kemudian agent bertanggung jawab atas

pelaksanaan aktivitas dan pemberian tersebut. Hubungan agent dan principal dalam kajian ini

(yaitu: konteks manajemen keuangan organisasi pengelola wakaf) lebih luas dari pengertian

di atas. Dalam pengertian umum seperti di atas, principal adalah pemegang saham

(stockholders). Principal dalam konteks pengelolaan wakaf adalah pemberi amanah atau

Wakif dan agent adalah pengelola wakaf atau Nazhir. Ini berarti bahwa Nazhir harus

mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya kepada Wakif dan Mauquf Alaih.

Akuntabilitas berarti kewajiban dasar bagi sebuah badan (negara, bisnis, LSM) untuk

memperhatikan masyarakat atau pemegang saham bagi berbagai kegiatan dan prestasi

mereka. Prinsip ini menjamin bagi masyarakat bahwa mereka memiliki kesempatan untuk

mengetahui siapa dan bagaimana keputusan dibuat serta apa alasan yang mendasarinya. Pada

saat yang sama, prinsip transparansi merujuk pada sikap terbuka seseorang kepada

masyarakat agar mereka mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan adil, seraya tetap

mencermati hak-hak dasar dan kerahasiaan perusahaan selaku unsur yang bekerja.

Dalam konteks ini, transparansi menjadi kontrol publik terhadap organisasi pengelola

wakaf sehingga transparansi dikaitkan dengan tingkat akses bagi masyarakat untuk

Page 34: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

21

mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Masyarakat harus mengetahui sejumlah hal,

antara lain: piagam organisasi, dan mekanisme kontrol internal dan eksternal. Audit eksternal

harus dilakukan untuk mendorong transparansi organisasi-organisasi pengelola wakaf,

sesuatu yang sejauh ini belum dilakukan. Dengan demikian, akuntabilitas organisasi-

organisasi modern menjadi jelas (Herlina dalam Abidin dan Rukmini, 2004:197). Menurut

teori Keagenan, pelaporan keuangan merupakan sebuah upaya untuk mengurangi asimetri

informasi antara Lembaga wakaf (Nazhir) sebagai agen dan para wakif sebagai principal

(Laswad dkk, 2001:58)

3. Teori Governance Perusahaan

Melengkapi pandangan teori biaya transaksi, Wiliamson mengajukan teori perusahaan

berbasis tata kelola (governance). Governance membahas cara terbaik terkait bagaimana

perusahaan dapat mengelola hubungan kontrak dengan rekan bisnisnya. Dalam hal ini,

berbeda dengan Coase yang lebih menekankan pada minimisasi biaya transaksi sebelum dan

ketika kontrak terjadi, Wiliamson lebih menekankan pada minimisasi biaya pasca kontrak,

misalnya biaya untuk monitoring kontrak.

Pemikiran Wiliamson terkait teori Governance didasarkan pada sejumlah pelajaran

dari teori organisasi, yaitu : 1) adanya fenomena bounded rationality yang eksis dalam

perusahaan serta adanya kontrak yang incomplete (dimana kemauan rekan bisnis untuk

menjalani kontrak dimasa depan tidak bisa dpastikan) pada kontrak yang kompleks, 2)

struktur governance harus didesain berdasarkan semua bentuk outcome yang mungkin terjadi

dan perilaku (kebiasaan) yang umum terjadi dalam perusahaan, 3) unit analisis yang paling

penting dalam perusahaan adalah transaksi transaksi, dan 4) struktur organisasi dapat

disesuaikan dengan perubahan kondisi yang terjadi.

Berdasarkan keempat hal tersebut, Wiliamson membangun teori perusahaan dimana

organisasi atau hirarki diinterpretasikan sebagai struktur governance. Sementara itu, transaksi

Page 35: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

22

terdiri dari elemen-elemen konflik dan ketidakpatuhan namun juga menawarkan potensi

benefit bagi kedua belah pihak yang bertransaksi. Menurut teori ini, struktur governance yang

efektif menjadi sarana untuk mengurangi konflik, meningkatkan kepatuhan terhadap kontrak,

dan menciptakan kondisi untuk tercapainya manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan

kontrak. (Wiliamson dalam Arsyad dan Kusuma, 2014:48)

Yuliafitri dan Rivaldi (2017:8) dalam penelitannya “Pengaruh Penerapan Prinsip-

Prinsip Good Governance dan Promosi Terhadap Penerimaan Wakaf Tunai” menegaskan

bahwa Good Governance yang masih lemah menyebabkan kepercayaan kepada Nazhir

berkurang hal ini semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas pada lembaga

wakaf. Selain itu, hasil penelitan ini juga menuliskan bahwa terdapat pengaruh yang positif

namun tidak signifikan dari penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap

penerimaan wakaf tunai yang artinya semakin baik penerapan prinsip-prinsip good

governance maka akan semakin tinggi pula penerimaan wakaf tunai pada lembaga pengelola

wakaf di Indonesia.

4. Theory of Planned Behavior (TPB)

Sebuah teori populer di bidang psikologi sosial adalah theory of planned behavior

yang merupakan perluasan dari teori aksi penalaran dimana pada dasarnya mencoba untuk

menjelaskan perilaku orang (Fishbein & Ajzen dalam Faisal, 2019:238) dan telah diterapkan

pada berbagai situasi perilaku (Gopi & Ramayah, 2007:349). Fokus utama dari teori ini

adalah niat perilaku sebagai awal sebelum melakukan perilaku yang sebenarnya. Teori ini

menegaskan bahwa elemen kunci yang ada pada individu sebelum dia bertindak. Dengan kata

lain, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seseorang, seperti sikap dan norma subjektif,

bekerja melalui niat untuk mempengaruhi apakah seseorang benar-benar akan bertindak

berdasarkan niat atau tidak. Teori ini pada dasarnya mendalilkan bahwa keputusan seseorang

Page 36: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

23

untuk benar-benar (sukarela) bertindak (atau tidak bertindak) ditentukan oleh niat seseorang

untuk bertindak (atau tidak bertindak).

Theory of planned behavior (TPB) pada umumnya digunakan dalam menjelaskan

perilaku sosial, penelitian Faisal meneliti tentang wakaf tunai dengan berdasarkan pada teori

theory of planned behavior (TPB) dimana niat untuk mematuhi pemberian wakaf tunai

menjadi fokus utama penelitian. Untuk menjelaskan perilaku orang, theory of planned

behavior (TPB) dapat diterapkan secara tepat untuk menjelaskan niat perilaku dalam

melakukan pemberian uang tunai karena teori ini relevan dalam memprediksi perilaku

sukarela (Ajzen dalam Faisal, 2019:239). Dalam konteks pemberian uang tunai, kepatuhan

untuk memilih wakaf uang tunai pada dasarnya adalah perilaku sukarela. Penelitian Faisal

mengurai hubungan antara penerimaan wakaf tunai melalui sikap, norma subjektif, dan

religiusitas. Sikap dan norma subjektif ditemukan berpengaruh dalam menentukan partisipasi

wakaf tunai pada masyarakat Indonesia. Selain sikap dan norma subjektif, Faisal

menambahkan religiusitas pada penelitian ini, hasilnya menunjukan bahwa religiusitas

berpengaruh signifikan terhadap niat perilaku waqif untuk berpartisipasi pada wakaf tunai.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan Arifin berjudul “Theory of Planned

Behaviour in Intention to Pay Cash Waqf”. Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif. Teknik samplingnya ialah probabilitas dengan simple random sampling. Metode

pengambilan data yang digunakan ialah survey responden sebanyak 100 sampel. Hasilnya

ialah terdapat pengaruh signifikan antara sikap, norma subjektif dan control perilaku yang

disadari terhadap intensi membayar wakaf uang. (Ratnasari dan Arifin, 2017:6)

Sementara itu, menurut Johari, Alias, Shukor dkk, dalam penelitiannya yang berjudul

“Factors That Influence Repeat Contribution of Cash Waqf in Islamic Philantropy”. Metode

yang digunakan metode kuantitatif berdasarkan observasi responden, dan analisis data

menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukan bahwa perintah/kewajiban agama,

Page 37: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

24

kemurahan hati, familiar dengan Lembaga wakaf, dan akses wakaf uang berpengaruh

signifikan terhadap intensi untuk kembali berwakaf uang, sedangkan kepercayaan tidak

berpengaruh signifikan (Johari, 2015:73)

B. Teori Lembaga dan Mikro Ekonomi Islam

Secara teoretis, kelembagaan filantropi Islam, meskipun bagian dari ibadah (ritual

keagamaan yang langsung berhubungan dengan Tuhan), tetapi juga memiliki fungsi sosial

yang bertujuan menciptakan keadilan sosial. Agenda menciptakan keadilan sosial ini terlihat

dari pernyataan Al-Quran yaitu Q.S Al-Baqarah yang menjelaskan bahwa setiap muslim

selain harus melaksanakan sholat juga harus berzakat. Sementara itu Q.S Al Hasyr : 7

menjelaskan bahwa zakat, sedekah, wakaf pada dasarnya bertujuan, “Agar harta kekeayaan

tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya”.

كينىوالمس م و الي ت لقرب ى ٱف للوو للرسولو لذىىر سولومنأىلالقر ى وع ل ء ٱلل آا ف آم

ي كون دول ة وابنالسبيل ال غني آءمنكم ك يل كمكمالرسولف خ ذوهو م ان ه ت و م آا ب ين

(۷) و ش ديدالعق ابانالل و و الت قواال ع نوف ان ت هوا

Artinya: Harta rampasan fa‟i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari

penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,

orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan

hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul

kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan

bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.

Namun, permasalahannya adalah mengapa dalam realitasnya tampaknya tidak ada

hubungan yang signifikan antara filantropi Islam (zakat, infak, sedekah dan wakaf) dengan

Page 38: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

25

keadilan sosial atau keadilan distribusi ekonomi bagi masyarakat Muslim. Kalaupun ada

hubungan, agaknya tidak begitu signifikan. Kamil (2016:131) menuliskan bahwa ada banyak

asumsi yang bisa kita bangun untuk menjawab problem filantropi Islam (ZIS dan Wakaf)

ketika dihubungkan dengan Keadilan Sosial.

Pertama, problem manajemen. Baginya manajemen lembaga organisasi ZIS dan

Wakaf di Indonesia masih lemah, hal ini menimbulkan rasa kurang percaya dari masyarakat.

Kenyataan ini bisa kita rujuk pada tidak ada atau kurangnya identifikasi dan penggalangan

muzakki (yang berzakat) dan terutama dalam mendistribusikan zakat, tidak adanya klasifikasi

mustahiq (yang menerima). Kecuali lembaga seperti Dompet Dhuafa Republika, para

mustahik pada umumnya tidak dibagi kedalam kelompok mustahik yang kategori konsumtif

yang diberi ikan dan kategori produktif yang berhak diberi kail (Birton, 2001:25-27).

Selain itu tentu saja kita juga bisa merujuk pada manajemen rekrutmen dana dan

pengelolaannya yang umumnya masih lemah seperti dalam mengakses bank, dalam

transparansi, akuntansi, distribusi, sumber daya manusia, dan program yang ditawarkan.

Bahkan yang lebih parah terjadi dalam manajemen wakaf. Wakaf di Indonesia pada

umumnya dikelola oleh orang-orang (nazhir) yang tidak jelas statusnya, tugas dan

kewajibannya, serta banyak dirangkap oleh takmir masjid. Karenanya dan juga karena PP

No.28/1977 yang menyulitkan kepengurusan tanah wakaf, mayoritas tanah wakaf pata tahun

sekitar 2002 tidak bersertifikat (Suhadi, 2002:131-133,135-136).

Kedua, problem kultur, yaitu kultur konsumerisme dan kultur tradisionalisme dalam

pengeluaran zakat. Masyarakat, baik pengelola ZIS maupun penerima, kebanyakan lebih

cenderung menerima uang wakaf atau barang yang disumbangkan kemudian dihabiskannya

daripada memutar uang untuk kepentigan produksi. Demikian juga dengan kultur tradisional

terutama di pedesaan, dalam pengeluaran zakat. Masyarakat mengeluarkan zakatnya tidak

kepada seluruh atau sebagian mustahiq tetapi hanya kepada para pemimpin agama sebagai

Page 39: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

26

sabilillah, mereka tidak menyalurkannya pada Mustahik lain (Ali, 1988:54-56).

Ketiga, pemahaman masyarakat terbatas, Jika dibanding pemahaman mereka tentang

sholat, dan persepsi masyarakat yang melihat ajaran filantropi Islam lebih sebagai ibadah

daripada sebagai kelembagaan atau media untuk kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini

khususnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa sebagian besar tanah wakaf (sekitar 75%)

untuk kepentingan tempat ibadah, bukan untuk kepentingan umum seperti pendidikan,

kesehatan, dan sosial ekonomi (Ali, 1998:54-56, dan Suhadi,2002:136)

Keempat, tingkat ekonomi masyarakat kita yang memang lemah, yang karenanya

walaupun mereka memiliki semangat filantropi yang tinggi, tetapi jumlahnya tidak besar. Hal

ini terlihat dari tingkat angka kemiskinan yang semakin meningkat. Jika pada akhir 1997,

berdasarkan alat ukur konsumsi kalori per kapita, pengeluaran per kapita, dan kebutuhan fisik

minimum jumlahnya 25 juta orang, maka pada tahun 2000 menjadi 100 juta orang (Birton,

2001:24). Karena itu, cukup wajar bila hasil penelitian Zaim Zaidi “Peluang dan Tantangan

Kedermawanan Islam” memperlihatkan bahwa kebiasaan memberi masyarakat Indonesia

lebih tinggi dibanding Thailand, Filipina, Amerika Serikat, Jerman dan Prancis, tetapi nilai

nominalnya dibawah Thailand dan Filipina (Saidi, dalam Kamil, 2016:133).

Kelima, persoalan etos zakat masyarakat menengah ke atas (yang masuk kategori

muzakki) yang mungkin masih lemah, karena antara lain, sebelum keluarnya UU Zakat,

adanya hambatan besarnya angka pajak yang harus dibayar, sementara zakat pun harus juga

dibayar.

Keenam, persoalan struktural atau kebijakan makro pemerintah yang tidak berpihak

pada kaum miskin. Pembahasan terkait ini diungkapkan Wibowo (2001) dalam “Ideologi dan

Cetak Biru Ekonomi Indonesia: Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan yang bekeadilan

Sosial”. Menurutnya, bagi petani sulit mengalami kesejahteraan ekonomi sekalipun dibantu

oleh filantropi Islam, karena kebijakan liberalisasi pertanian pada tahun 2000 yang

Page 40: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

27

menetapkan tarif bea masuk 0% untuk komoditas pangan yang menyebabkan Indonesia

mendapat lipmpahan beras ekspor yang sangat banyak dan harga gabah dalam negeri pun

turun drastic. Ini belum lagi ditambah dengan kebijakan subsidi BBM dan listrik. Sementara

itu, lewat rekapitalisasi perbankan, konglomerasi diuntungkan (Wibowo, 2001:1-6 dan

Kontan No.12 tahun VII, 23 Desember 2002).

Ketujuh, problem kalam dan fikih. Dalam teologi Islam, dalam pengertian ilmu kalam

tradisional, kurang atau bahkan tidak memihak pada social justice. Teologi Islam atau ilmu

kalam merupakan teologi istana atau priestly theology (teologi kaum pendeta). Titik tekan

teologi Islam tidak menyentuh ranah sosial, padahal idealnya teologi harus memanusiakan

manusia atau cinta kepada sesama manusia. Mengingat teologi adalah dasar (ushul) untuk

fikih atau hukum Islam (furu‟), maka problem yang hampir sama pun muncul dalam fikih

atau hukum Islam sebagai turunannya. Ada banyak hal yang masih dipersoalkan ulama dalam

pengembangan filantropi Islam. Misalnya, penggunaan zakat untuk peningkatan ekonomi

jangka Panjang kaum miskin yang masih dipersoalkan kalangan tertentu, apalagi untuk

penerbitan buku dan fakir miskin non muslim, dipersoalkan atau bahkan ditolaknya

kemungkinan sebagian uang dari zakat fitra didepositokan untuk kepentingan kaum Muslimin

karena ada larangan menyerahkan zakat fitra kepada mustahiq pasca lebaran atau Idul Fitri,

dan kenyataan fikih masa pertengahan yang tidak mengenal zakat pendapatan. Problem-

problem kelembagaan diatas menjadi mendesak untuk dicarikan jalan keluar dalam upaya

mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi (Kamil, 2016:133).

Sementara itu, telaah mengenai otoritas dan kredibilitas dalam pengorganisasian

filantropi Islam di Indonesia dalam kerangka „isu-isu sektor ketiga‟ yang di dalamnya

dielaborasi peran organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat kita temukan dalam tulisan

Latief “Politik Filantropi Islam di Indonesia” (2017:30). Baginya jawaban atas pertanyaan

mengenai lembaga manakah yang paling otoritatif dan kredibel menjadi penggerak filantropi

Page 41: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

28

Islam di Indonesia, dan pada tingkatan manakah gerakan gerakan filantropi ini dapat berperan

lebih efektif, negara atau masyarakat adalah dengan memeriksa ulang konsep otoritas dan

kredibilitas.

Latief menegaskan konsep otoritas terkait dengan persoalan kebijakan, legalitas dan

rekognisi dari sebuah lembaga formal seperti negara terhadap organisasi-organisasi filantropi

yang ada dimasyarakat. Dalam hal otoritas, pemerintah telah memberikan dukungan yang

luas bagi pengembangan wakaf dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 tahun

2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.

Sementara konsep „kredibilitas‟ mencakup kapasitas organisasi, akuntabilitas,

kompetensi dan rekognisi dari stakeholders. Dalam praktekya perwakafan di Indonesia saat

ini menghadapi persoalan yang cukup rumit, karena umumnya merupakan wakaf non

produktif dan biaya operasionalnya terkesan membebani masyarakat. Oleh sebab itu,

pengelolaan harta wakaf membutuhkan manajemen modern dalam mengelolanya.

Sebagaimana terungkap dalam paradigma baru tentang wakaf produktif yaitu :

1) Asas Kebadian manfaat

2) Asas Pertanggungjawaban/responsibility

3) Asas Profesional Manajemen

4) Asas Keadilan Sosial.

1. Nazhir (Pengelola Wakaf)

Dalam literatur fikih, pengelola wakaf disebut Nazhir yang berarti penjaga, manajer,

administrator, kepala atau direktur. Selain itu, ia disebut muttawali, yang berarti pengurus,

yang diberi kuasa atau berkomitment, eksekutif, manajer, atau direktur (Munawwir,

1984:1533) . Menurut as-Shan‟ani, pengertian Nazhir adalah orang atau pihak yang berhak

untuk bertindak terhadap harta wakaf, baik untuk memelihara, mengerjakan berbagai hal

Page 42: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

29

yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik, maupun mendistrubusikan hasilnya

kepada orang yang berhak menerimanya. Mengingat tugasnya yang berat ini, Nazhir boleh

terdiri dari dua orang atau lebih, agar bisa dilakukan pembagian tugas.

Dalam pengertian Nazhir diatas, maka dalam konteks perwakafan, Nazhir memegang

peranan dan tugas yang sangat penting yaitu membuat dan mempertahankan agar harta wakaf

dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus menerus. Untuk itu harta

wakaf harus dijaga, dipelihara, dikelola dan dikembangkan secara produktif baik dengan cara

pengumpulan, investasi, penanaman odal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,

pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pengembangan Gedung, apartemen,

rumah susun pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana Pendidikan ataupun sarana

kesehatan dengan usaha usaha yang tidak bertentangan dengan syariah sehingga

menghasilkan keuntungan . Penjelasan ini sejalan dengan penelitian Mohsin dalam“The

Institution of Waqf : A Non – Profit Institution to Financing the Needy Sector (2007), ia

mengusulkan mengumpulkan seluruh wakaf uang dan menginvestasikannya kemudian

hasilnya dimanfaatkan untuk membiayai sektor yang membutuhkan.

Mengingat tugas Nazhir yang berat maka mereka berhak mendapatkan gaji dari hasil

harta wakaf yang dikelolanya itu sesuai dengan kinerjanya dan standar penggajian yang

umum (ajr al-mitsl). Terkait gaji yang diterima oleh pengelola wakfa, Muhammad Abu

Zahrah dalam “Muhadarat Fi al-Waqf” (2004) membolehkannya hingga 15% dari

penghasilan harta wakaf seperti yang berlaku di Mesir saat ini. Sementara itu, pembicaraan

bolehnya Nazhir memperolah gaji ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim

yang menyebutkan “Tidak ada larangan bagi pengelola harta wakaf memakan hasilnya

dengan baik”. Adapun, dasar penentuan gaji oleh wakif adalah kaidah Ushul Fikih : “Pada

prinsipnya hak pengelolaan wakaf adalah hak wakif”. Karenanya bagi nazhir yang belum

memperoleh gaji dari hasil wakaf dapat mengajukan kepada pemerintah yang berwenang agar

Page 43: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

30

bisa memperolehnya. Jika tidak, maka ia tetap tidak boleh mengambilnya , karena bagian

nazhir harus diminta izinnya kepada pemerintah yang berwenang. (Kamil,2016:163).

Namun, menurut al-Qurthubi dan juga Ibn Taimiyyah, pertimbangan atau ketentuan

wakif dalam jumlah, atau bahkan larangannya kepada nazhir untuk mendapatkan gaji atau

bagian, boleh tidak diperhatikan, jika hal itu tidak sesuai dengan kepatutan atau adat. Selain

itu, sebagai hak, nazhir kaya yang tidak berhak membutuhkan gaji sekalipun boleh

memperoleh gaji/bagian dari hasil wakaf yang dikelolanya (Sabiq, 1365 H:261-262, al-

Asqalani, Tth:191, Ibrahim, as-Sayyid dalam al-Amin (ed.), 1979:209-215, Depag,

2004:31,43-44 dan Zahrah. 2004:324-328, 339-346 dalam Kamil:2016:163)

2. Pengelolaan Harta Wakaf

Nazhir atau Mutawalli merupakan salah satu bagian dari Mauquf Alaih. Posisi Nazhir

adalah sebagai manajer yang mewakili Wakif dalam mengelola aset wakaf. Dalam berbagai

kitab fikih Nazhir memang bukanlah sebaagi salah satu rukun wakaf. Namun demikian,

jumhur ulama sepakat bahwasanya Wakif harus menunjuk seorang sebagai manajer wakaf

yang bertugas untuk mengatur, merawat, melindungi dan mengembangkan aset wakif agar

bisa tetap dimanfaatkan oleh masyarakat dan tidak rusak sia-sia (Hasan, 2015 ; Sulistiani,

2017) dalam Paksi (2020 :41).

Sebagai pengelola, dalam fikih nazhir memiliki wewenang melakukan suatu aktivitas

yang memungkinkan benda wakaf lebih berkembang dan bermanfaat lagi bagi publik, tetapi

dengan memperhatikan syarat yang dikemukakan wakif dalam ikrar (pernyataan) wakafnya.

Sementara dalam urusan penggantian harta wakaf dan perubahan peruntukannya, baik fikih

klasik maupun pertengahan tidak mengaturnya secara detail. Pembahasan mengenai hal ini

hanya dalam fikih modern, yang intinya nazhir wakaf diperbolehkan melakukan

pengembangan harta secara produktif dengan terencana, terukur dalam kegiatan harian dan

mudah dievaluasi. (Kamil,2016:164).

Page 44: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

31

Caranya antara lain dengan mendepositokan harta wakaf dalam bentuk uang di bank,

mengeluarkan sertifikat yang berisi pencantuman nilai uang tertentu untuk dijadikan modal

pengembangan wakaf atau dibelikan harta wakaf, membuat perusahaan bersama, membuat

lembaga amil zakat untuk rekrutmen modal pengembangan harta wakaf, dan membeli harta

dari dari hasil harta wakaf atau hasil usaha.

Cara lainnya adalah penginvestasian harta benda wakaf, baik langsung maupun tidak

langsung. Misalnya dengan membangun gedung perkantoran atau perumahan diatas tanah

wakaf dimana modalnya berasal dari pengelolaan harta wakaf lain atau pinjaman perbankan

syariah, lalu gedung itu disewakan. Namun, dalam peminjaman modal dari Bank, harus

dimungkinkan harta wakaf tidak menjadi hilang seperti lewat asuransi syariah. Karenanya,

model penyewaan yang bisa dipilih oleh nazhir adalah model hukr atau ijaratain. Hukr

adalah sewa berjangka panjang dengan pembayaran (dibayar sekaligus) di muka yang besar

dan pemabayaran secara periodik oleh pihak lain yang mau bekerjasama dengan nazhir.

Sedangkan ijaratain adalah sewa dengan dua kali pembayaran, di muka dan periodik, tetapi

jumlah pembayaran di muka lebih kecil dari Hukr, hanya cukup untuk rekonstruksi saja.

Dalam hal ini, nazhir wakaf hanya menyediakan tanah saja. Menurut Ahmad Muhammad as-

Sa‟ad dan Muhammad Ali al‟-Umri , pengembangan harta wakaf juga bisa lewat kerjasama

pertanian dan istishna‟, yakni melakukan penjualan barang tertentu dalam tempo yang

disyaratkan untuk dikerjakan terlebih dahulu. Lebih jelasnya, al-Istishna‟ adalah kontrak jual

beli dimana harga atas barang dibayar lebih dulu, atau diangsur sesuai dengan jadwal dan

syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli, diproduksi dan

diserahkan kemudian (Asyub, 2000:70-72-77,93-109, Hasanah 2002, Dirjen Bimas Islam

Depag, 2003:98-102 dalam Kamil 2016:164).

Di negara-negara Muslim, pengembangan wakaf sebagaimana diatur fikih modern

telah dipraktekkan. Di Mesir misalnya, lembaga pengelola wakaf selain telah melakukan

Page 45: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

32

kerjasama dalam bidang pertanian dan peternakan juga dibidang industri dan konstruksi.

Salah satunya dengan perusahaan industry gula, permadani, kimia, besi, susu, makanan,

kertas, tenun, dan konstruksi rumah dan gedung.

Bahkan, dalam fikih, baik klasik maupun modern, nazhir wakaf pun dibolehkan

melakukan penukaran benda wakaf seperti dijual, lalun hasilnya disatukan dengan harta

wakaf lainnya sebagaimana yang terjadi di Libya dan Mesir. Tindakan ini dibenarkan dalam

fikih kalangan Hanabilah (Mazhab Hanbali), Hanafiyah dan sebagian Syafi‟iyah. Sebagian

besar Syafi‟iyah dan Malikiyah memang melarang penggantian benda wakaf seperti masjid

oleh benda lain dengan dijual terlebih dahulu, sekalipun masjidnya menjadi roboh. Alasannya

karena Harfiah larangan Nabi untuk mejualnya dalam hadis riwayat Bukhori dan Muslim.

Sebagaimana diungkap oleh ad-Dimyathi (Tth:179) dalam bukunya I‟anah at-Thalibin Jilid

III, sebuah buku terkenal di kalangan Pesantren di Indonesia, bahwa Imam Hanafi memang

membolehkan menjual barang-barang wakaf yang ada di masjid yang hendak roboh, lalu

digunakan lagi untuk masjid.

Namun, mayoritas Syafi‟iyah (Imam Nawawi, Imam as-Suyuthi, Ibn Hajar al-

Haitami, Imam Syairazi dan Syaikh Nawawi Banten) tidak membolehkannya, sekalipun

hendak roboh. Kenati begitu, tulis ad-Dimyati, Imam Subki dari kalangan Syafi‟iyah

membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar dengan benda yang sama, dan

digunakan untuk kemaslahatan (as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000:19-20, Zahrah,2004:159-163,

dan Dirjen Bimas Islam Depag, 2003:77 dalam Kamil,2016:165). Karena mayoritas

Syafi‟iyah melarangnya itu, maka ide penukaran harta benda wakaf di Indonesia agaknya

tidak popular di kalangan ulama.

Namun, menurut Muhammad Amin, sesungguhnya harus dibedakan antara penjualan

sebagai salah satu bentuk penukuran benda wakaf dalam bentuk masjid dengan di luar

masjid. Dalam benda berbentuk masjid kecuali Hanabilah yang membolehkannya, para ulama

Page 46: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

33

sepakat melarangnya. Sedangkan di luar benda wakaf masjid, para ulama di luar Hanabilah

pun pada dasarnya memandang boleh, selama keadaan memang benar-benar

menghendakinya. Bahkan, sebagian ulama Syafi‟iyah juga ada yang membolehkan penjualan

tikar masjid untuk diganti dengan tikar yang lebih baik atau untuk kemaslahatan masjid

lainnya yang tahan lama (al-Malibari, Tth : 90 dan Rasyid, 1995 : 344).

Sementara itu, Hanabilah membolehkan penjualan masjid atau barang masjid jika

dibutuhkan, seperti karena sudah sempit yang tidak mungkin lagi bisa dimanfaatkan.

Demikian juga boleh dijual, jika penduduk kampung berpindah tempat dan meninggalkan

masjid yang mereka bangun, padahal di tempat pemukiman baru, mereka tidak mampu

membangun masjid yang baru. Argumennya adalah perbuatan Umar bin Khattab yang telah

mengganti masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru, dan tempatnya pun beliau

pindahkan, sehingga tempat masjid yang lama menjadi pasar. Bahkan, Ibn Taimiyah justru

menganjurkannya, jika dipandang lebih maslahat. Hal itu sama dengan seorang yang

mewakafkan kuda pada saat peperangan. Jika perang telah usai, kuda wakaf tersebut boleh

dijual dan hasilnya dibelikan harta benda wakaf lain.

Dalam hal ini, proses penggantian dinilai para fuqaha terutama Ibn Taimiyah dan juga

Muhammad Abu Zahrah sebagai cara mengabadikan benda wakaf. Ibn Taimiyah dalam hal

ini memandang prinsip : “Nushush al-Wakif ka Nushush as-Syar‟I (pernyataan atau ikrar

wakif seperti pernyataan syariat) yang sering dijadikan hujjah (argumen) oleh banyak ulama,

tidak harus dipegang teguh secara Harfiah. Ia agaknya menyadari kemungkinan harta wakaf

berkurang atau habis manfaatnya. Sebab itu, menurutnya yang terpenting adalah

mempertahankan tujuan hakiki pensyariatan wakaf, sehingga tidak melakukan penyia-nyiaan

harta wakaf. Sebab itulah, larangan menukar atau menjual harta wakaf dari wakif boleh

dikesampingkan. Ia pun bahkan membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang

ditetapkan wakif karena situasi dan menghendakinya. Katanya : “Sesungguhnya yang

Page 47: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

34

menjadi pokok adalah menjaga kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Allah telah

mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala

kerusakan (Amin, 1991:122-125 dalam Kamil:2016:166)

Sebagaimana isu penggantian, di Indonesia, perubahan peruntukan wakaf ini juga

merupakan isu yang tidak popular, karena dominannya doktrin “Syarat yang dikemukakan

wakif sama dengan teks agama, kecuali jika menyalahi aturan agama” (lihat ad-Damyati, Tth

:169, al-Malibari, Tth : 88 dan al-Bajuri, Tth : 84 dalam Kamil,2016:167).

3. Pendistribusian Harta Wakaf

Mengenai penggunaan hasil pengelolaan wakaf, dalam literatur fikih dijelaskan bahwa

wakaf atau hasilnya boleh digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid),

lembaga pendidikan dan para gurunya, kebutuhan minum, pengurusan mayit seperti

pembelian kain kafan, pembangunan dan rehabilitas jembatan, untuk para penghuni penjara,

rumah sakit, perpustakaan, pembangunan hotel atau pemondokan untuk para musafir, dan

lainnya. Bahkan berbeda dengan sedekah lainnya, sebagian wakaf atau manfaatnya pun,

seperti buku dan Al-Qur‟an, boleh didistribusikan atau dimanfaatkan oleh orang kaya yang

tidak berhak menerima zakat (as-Syaibani, Tth : 294-295, „Asyub, 2000:31, al-Hanafi, 1902:

122, dan as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000 : 9-17 dalam Kamil,2016:167).

Dalam fikih, wakaf agaknya bisa disebut sebagai institusi keadilan sosial Islam yang

mengandaikan tidak ada atau sangat sedikitnya orang yang dikecualikan dalam

pemanfatannya, termasuk non Muslim. Soal ini, meskipun Syafi‟iyah dalam permasalahan

zakat berpendapat tidak sahnya zakat jika diserahkan kepada fakir miskin yang non-Muslim,

sekalipun diperintahkan penguasa, tetapi berbeda sekali dalam soal wakaf (al-Malibari, Tth

:53). Sebagian Fikih Syafi‟iyah membolehkannya seperti Imam an-Nawawi dalam bukunya

ar-Raudhah menjelaskan mengenai sahnya wakaf kepada non-Muslim satu kewarganegaraan

(dzimmi), baik dari seorang Muslim maupun dari sesama non-Muslim dzimmi.

Page 48: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

35

Namun menurutnya, syaratnya adalah : (1) Benda yang diwakafkannya tidak

mengandung dan tidak diperuntukkan untuk kemaksiatan seperti tikar untuk gereja dan lain-

lain. (2) Benda wakafnya boleh dimiliki non-Muslim tidak seperti Qur‟an dan Budak Islam,

walaupun alas an kedua ini bisa diperdebatkan (an-Nawawi, Tth., Jilid IV : 381 sebagaimana

dikutip Ibrahim, 2002 : 16-17).

Demikian juga dengan buku fikih modern seperti fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq (1365

H : 263) yang juga membolehkan pemberian wakaf kepada non-Muslim dzimmi seperti

kepada kaum Kristiani. Alasan yang dikemukakan Sabiq adalah karena telah dipraktikkan

Shafiyyah, istri Nabi, yang mewakafkan hartanya sendiri kepada saudaranya yang Yahudi

(Lihat juga Dirjen Bimas Islam Depag, 2003 : 47-48 dan as-Syaibani, Tth:340). Namun

demikian, mengingat buku ar-Raudhah an-Nawawi di pesantren Indonesia bukan rujukan

utama, sementara buku Fiqh Sunnah (terjemahannya) agaknya hanya menjadi rujukan kaum

modernis yang jumlahnya tidak mayoritas, bahwa pandangan bahwa wakaf boleh diberikan

kepada non-Muslim merupakan pandangan fikih yang tidak popular.

Kecuali alasan di atas, jika wakaf dianalogkan dengan zakat dalam soal bolehnya

memberikan zakat kepada dzimmi (non-Muslim yang berada yang berada dalam lindungan

Negara Muslim), maka menurut Yusuf Qardhawi alas an lainnya adalah karena : (1)

keumuman kata fakir miskin dalam Al-Taubah [9]:60 sebagai penerima sedekah, baik yang

wajib seperti zakat maupun yang sunnah seperti wakaf, dan (2) berdasarkan Q.S Al-

Mumtahanah [60]:8. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir kamu

dari negerimu”.

ين والا يرجوكم من ديااركم اان ت اب اروهم وات قسطو كم الل لا ي ان ه ا ه عان الذينا لا ي قاتلوكم ف الد

(۸ها يب المقسطيا )ان الل الايهم

Page 49: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

36

Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang

yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung

halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Ia berpendapat demikian dengan mengikuti pendapat Ibn Sirin, Al-Zuhri, Zufar

(sahabat Abu Hanifah) Ikrimah, Jabir Ibn Zaid yang membolehkannya (Sabiq, 1365 H:293

dan Qardhawi, 1996 :684-688).

Argumen lain dimunculkan oleh Abdul Mannan, ekonom Islam. Dalam

pandangannya, istilah masakin (orang-orang miskin) sebagai penerima sedekah apa saja

termasuk hasil wakaf, berdasarkan filologi Semith yang dilaksanakan Umar bin Khattab,

sesungguhnya menunjuk pada orang-orang non-Muslim di suatu Negara Islam. Selain itu,

kata muallaf (mereka yang hatinya direbut) dan Sabilillah (di jalan Allah) pun bisa dijadikan

argument. Baginya, kata muallaf memiliki empat makna : mereka yang direbut hatinya agar

tutut membantu kaum Muslimin, tidak berbuat hal-hal yang merugikan kaum Muslimin, agar

memeluk agama Islam dan agar membujuk rakyat dan sukunya bersama-sama memeluk

Islam. Kata sabilillah (di jalan Allah) juga pengertiannya luas. Diantaranya adalah

meringankan penderitaan kalangan non-Muslim (Mannan, 1997 : 231).

Dalam pendistribusian hasil wakaf, sebagian fuqaha mendasarkan pada istihsan

(memandang baik suatu tindakan) atau karena alasan maslahat yang dibenarkan oleh hadis

riwayat Abdullah bin Mas‟ud bahwa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka

menurut Allah pun baik. Karena itu dalam pendistribusian hasil wakaf, seorang nazhir wakaf

bisa merujuk pada alasan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Kemaslahatan yang disebut oleh as-Syathibi (730-790 H) sebagai dharuriyat (mendesak),

baik untuk menjaga agama (hifzh al- din), nyawa (hifzh al-nafs), kebebasan berpikir (hifz al-

„aql), reproduksi (hifzh al-nasl) dan hak-hak ekonomi (hifzh al-mal).

Page 50: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

37

Menurut as-Syathibi, kemaslahatan merupakan inti syariah Islam, dalil universal, dan

perenial hukum Islam. Bahkan, menurut al-„Iz bin „Abd as-Salam, seluruh hukum Islam

sesungguhnya nadalah untuk kemaslahatan manusia. As- Syathibi pun berpendapat juga

bahwa jika terjadi perbedaan antara dalil Naqli (Al-Quran dan Hadis) dengan kemaslahatan,

maka keduanya harus dikompromikan. Lebih jauh, at-Thufi (657-716 H) dan Ibn Rusyd

(1127-1198) berpendapat bahwa ketika keduanya sulit dikompromikan, maka kemaslahatan

atau temua akal harus didahulukan. Caranya menurut Ibn Rusyd, lewat proses takwil

(memahami teks dari makna zahirnya menuju makna batin yang juga dikandung teks) (as-

Syathibi, Tth : 7-8, 28-29, Suratmaputra, Tth 83-93. As-Sa‟ad dan al-„umri, 2000:30, dan Ibn

Rusyd, 1999:31-32 dalam Kamil, 2016).

Jadi, batasan sejauh mana hasil wakaf khairi boleh didistribusikan adalah sejauh

kemaslahatan menghendakinya, walaupun diktum ini tentu saja akan ditolak oleh kalangan

yang berpandangan bahwa “prinsip ketentuan wakif adalah teks agama” yang mutlak. Diktum

ini juga tampaknya akan ditolak oleh mereka yang terlalu terbelenggu oleh fikih klasik

pertengahan.

4. Akuntabilitas Pengelolaan Wakaf

Agar akuntabilitas pengelolaan dan pendistribusian hasil wakaf terpelihara, maka

dalam sebagian buku fikih modern dijelaskan bahwa para nazhir wakaf hendaknya dalam

bertransaksi, mengembangkan atau mendistribusikan harta wakaf mengikuti aturan akuntansi

yang benar, dimana semua transaksi harus ada bukti tertulisnya. Dengan mengutip Q.S 2 : 282,

Muhammad Abu Zahrah menilai bahwa bukti tertulis lebih meyakinkan, tidak meragukan.

ين ال مان و ااي هاا الذينا ا ي اي انتم بدا مسام ااكتب و ا اذاا تادا ناكم كااتب ااجا والياكتب ب ي

... بالعادل

Page 51: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

38

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis

diantara kamu menuliskannya dengan benar...” Ia dan juga „Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub mengharuskan pelaksanaan audit

(pemeriksaan keuangan) kepada para nazhir wakaf agar diketahui tingkat akuntabilitasnya.

Meskipun begitu, keduanya sepakat bahwa nazhir yang dinilai akuntabel cukup diaudit secara

global saja, demi membuatnya lebih bersemangat dalam mengelola, karena dengan begitu

mereka tidak merasa dicurigai (Zahrah, 2004:346-356).

Selain Q.S 4 : 283, menurut Fauzi Kamal Adham ahli manajemen dalam perspektif

Islam yang pikirannya layak digunakan bagi pengembangan fikih wakaf, keharusan audit

juga sejalan dengan Q.S 4 : 58 yang memerintahkan ditegakkannya keadilan dan amanah.

متم ب ايا الناس اان تاكموا بالعادل ااهلهاا ت ال ن ها ياأمر كم اان ت ؤادوا الام ان الل وااذاا حاكا

عاان الل ها نعم ياعظكم به اان الل ي (٥۸باسي را ) ها كاانا سا

Artinya: Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu

menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran

kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

Q.S 17 : 13-14 yang menjelaskan bahwa Tuhan akan memeriksa semua tindakan

hamba-Nya di akhirat kelak yang harus diteladani hambaNya sesuai dengan anjuran hadis.

انساان االزامن ( اق راأ كتااباكا ۳۱ه مانشورا )با ي لق ماة كت وانرج لاه ي اوما القي ئرا ف عنقه ه ط واك

(۳٤) وما عالايكا حاسيبا بن افسكا الي ا كاف

Page 52: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

39

Artinya: “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di

lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan

terbuka” 13. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung

atas dirimu”. 14

Selain itu, Q.S 3 :104 juga menganjurkan amar ma‟ruf dan nahyi munkar, dimana

kegiatan audit yang akan menjaukan seorang nazhir penyelewengan merupakan bagian dari

nahyi munkar.

عروف واي ان هاونا عان والتاكن منكم امت يادعونا الا الاي واياامرونا بالما

( ۳۱٤ئكا هم المفلحؤنا )وااول المنكار

Artinya: “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka

itulah orang-orang yang beruntung.

Lagi pula jika audit tidak dilaksanakan, maka sesuai Q.S 5 : 78-79, itu berarti kaum

Muslimin melakukan tindakan sebagaimana kebiasaan orang-orang Yahudi yang enggan

melakukan nahyi munkar yang dikecam Quran (Adham, 2001 : 311-312).

ا عال اسراا بان لعنا الذينا كافاروا من لكا باا عاصاوا و ذ لساان دااودا واعيسا ابن مارياا ءي

ان وا ي اعتادونا ) ( ۸۷لابئسا ماا كاان وا ي افعالونا ) اعالو ( كاان وا لا ي ات انااهاونا عان منكار ۸۸كا

Artinya: “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Daud dan

„isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas”

78. “Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat.

Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat” 79.

Page 53: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

40

Selain audit, untuk terpeliharanya akuntabilitas nazhir, mendesak juga dilakukan hal-

hal yang menunjukan transparansi. Meskipun dalam fikih keharusan transparansi ini tidak

dibahas, tetapi alasannya : pertama, dalam hadis Nabi riwayat Turmudzi, Ahmad, dan ad-

Darimi dijelaskan bahwa dosa adalah sesuatu yang membuat hati pelakunya merasa gundah

dan ketika melakukannya takut dilihat orang (CD ROM Hadis). Jadi, berdasarkan hadis ini

bisa dikatakan ciri perbuatan dosa adalah perbuatan yang takut jika dilakukan secara

transparan. Sementara perbuatan baik adalah perbuatan yang salah satu cirinya tidak takut

jika dilakukan secara transparan oleh pelakunya. Kedua, mengingat harta wakaf adalah harta

publik, maka dalam memanajnya juga harus melibatkan publik dalam persoalan publik

diwajibkan sebagaimana perintah Q.S 3:159 atau 42 : 38 yang menganjurkan dilakukannya

musyawarah dan tradisi Nabi Muhammad yang selalu melibatkan publik dalam persoalan

publik.

م ابماا راهاة منا الل ن فاضوا من حاولكا ه لنتا لا ااعف والاوء كنتا اظا غاليظا القالب لا

م واشااورهم ف الامر هم وااست اغفر لا عالا الل عان ان اللها يهب المت اواكليا ه ااذاا عازامتا ات اواك

(۳٥۷)

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri

dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan

bersmusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah

membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang

yang bertawakkal.

Page 54: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

41

Bahkan, bukan saja audit dan transparansi yang lebih banyak berkaitan dengan

keuangan, tetapi juga harus dilakukan pengawasan manajemen secara umum. Hal ini

sebagaimana tindakan Umar bin Khattab saat musyawarah yang di dalamnya para pengelola

wakaf menyhampaikan laporan pertanggungjawaban. Ia dalam forum ini mencari informasi

banding dari sumber informasi lain selain dari pihak pengelola wakaf. Misalnya dari wakif,

penerima, atau pengamat (Adham, 2001:313-320).

C. Pelitian Terdahulu

No

.

Nama

Peneliti

Jurnal

Penelitian

Metode dan

Variable

Persamaan

dan

Perbedaan Kesimpulan

1

Rusydian

a & Devi

Journal Al-

Awqaf (2018)

“Analisis

Pengelolaan

Wakaf Uang

di Indonesia :

Pendekatan

Metode

Analytic

Network

Process

(ANP)

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

dengan

menggunakan

software “Super

Decision”

Persamaan :

Metode

Kualitatif

Menggunaka

n Alat

Analisis ANP

Perbedaan :

Rusydian dan

Devi

mengurai

permasalahan

wakaf uang

di Indonesia

dari 4 aspek

yaitu :

Kepercayaan,

Syariah,

SDM dan

Sistem.

Sementara

dalam

penelitian ini

mengurai

permasalahan

wakaf

produktif di

Indonesia

dari 3 aspek

SDM,

Syariah,

Regulasi dan

Dari penelitian ini

penguraian aspek

masalah secara

keseluruhan

menghasilkan urutan

prioritas :

1). Masalah

Kepercayaan,

2) Masalah Syatiah,

3) Masalah SDM,

4) Masalah Sistem

Page 55: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

42

IT.

2

Huda,

Rini,

Mardoni,

Khudori,

&

Anggraen

i

Journal of

Economic

Coorperation

&

Development

Vol. 38 No.1

(2017)

“Problems,

Solutions &

Strategies

Priority for

Waqf in

Indonesia”

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

dengan

menggunakan

software “Super

Decision”

Persamaan :

Metode

Kualitatif

Menggunaka

n Alat

Analisis ANP

Perbedaan :

Penelitian

Huda

membagi

permasalahan

wakaf mejadi

3 aspek yaitu

: Nazhir,

Regulasi dan

Wakif.

Sementara

dalam

penelitian ini

mengurai

permasalahan

wakaf

produktif di

Indonesia

dari 4 aspek

yaitu : aspek

SDM,

Syariah,

Regulasi dan

IT.

Metode yang

digunakan dalam

artikel ini adalah

metode kualitatif

dengan alat analisis

Analytic Networking

Process (ANP). Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa

prioritas permasalahan

wakaf di Indonesia

terletak pada aspek

nazhir yang bukan

profesi utama.

Masalah kedua adalah

regulasi yang tidak

tersosialisasi dengan

baik. Masalah ketiga,

rendahnya pengetahuan

wakif. Solusi utama

permasalahan nazhir

adalah dengan

mentransformasikanny

a dari Nazhir individu

menjadi Nazhir

institusi.

3

Firdaus,

Nuruddin

&

Hasmawa

ti

Budapest

International

Research and

Critics

Institute

Journal

(BIRCI

Journal) Vol.

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

dengan

menggunakan

software “Super

Persamaan:

Metode

Kualitatif,

alat analisis

Analytic

Network

Process.

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

prioritas permasalahan

dalam pengelolaan

wakaf tunai di

Sumatera Barat adalah :

1)Sumber daya

manusia,

Page 56: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

43

2 No.3

Agustus

(2019)

“Problematic

Analysis of

Cash Waqf

Management

in West

Sumatera

through ANP

Approach”

Decision”

Perbedaan :

Penelitian

Firdaus dkk

mengurai

faktor

penting yang

menjadi

kendala

dalam

pengembang

an wakaf

tunai di

Sumatera

Barat.

Sementara

penelitian ini

mengurai

permasalahan

wakaf

produktif di

Indonesia.

2) Regulasi

3) Akuntabilitas

4) Produk.

Penulis menegaskan

pentingnya nazhir

profesional dalam

mengelola wakaf uang.

4

Nasution,

Nasution

& Qorib

The

International

Journal of

Sciences and

Humanities

Invention, Vol

5, 2018

“Cash Waqf

on

Organization

of

Muhammadiy

ah Area of

Muhammadiy

ah North

Sumatra

Approach

ANP (Analytic

Network

Process)

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

Persamaan:

Metode

Kualitatif,

alat analisis

Analytic

Network

Process.

Perbedaan :

Penelitian

Nasution dkk

mengkaji

strategi

pengelolaan

wakaf uang

di organisasi

Muhammadi

yah wilayah

Sumatera

Utara,

dengan

menggunaka

n alat analisis

ANP

(Analytic

Network

Process)

Penelitian Nasution

dkk menegaskan bahwa

prioritas strategi yang

dapat ditawarkan

berdasarkan ANP

adalah sebagai berikut :

1) Sosialisasi

Program

2) Segementasi

wakaf tunai

3) Memperkuat

manajemen

4) Optimaslisasi

investasi

5) Program

Pendidikan dan

Kerjasama

pihak ketiga

Page 57: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

44

5

Hidayati,

Indrawan

&

Madihah

Proceeding of

the 6th Asian

Academic

Society

International

Conferenc

(AASIC),

2018

“Analysis

Management

of Cash Waqf

on Innovative

Instrument for

Economic

Development

(A Case Study

in Indonesian

Waqf

Deposite)

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

Persamaan :

Metode

Kualitatif

Menggunaka

n Alat

Analisis ANP

Penelitian

Hidayati dkk

membagi

permasalahan

wakaf

menjadi 3

aspek yaitu:

Pemerintah,

Sumber Daya

Manusia dan

Masyarakat.

Sementara

dalam

penelitian ini

mengurai

permasalahan

wakaf

produktif di

Indonesia

yang terdiri

dari aspek

SDM,

Syariah,

Regulasi dan

IT.

Penelitian ini mengurai

permasalahan yang

muncul dalam

pengembangan wakaf

uang di Indonesia,

peneliti membagi

permasalahan tersebut

menjadi 3 aspek yaitu:

Pemerintah, Sumber

Daya Manusia, dan

Masyarakat. Dengan

menggunakan metode

ANP diperoleh

prioritas strategi untuk

menyelesaikan masalah

pengumpulan wakaf

uang di Indonesia,

terdiri dari pelatihan

urutan pertama,

sertifikasi nadzir dan

pengangkatan profesi,

optimalisasi sosialisasi

kepada masyarakat,

pelaporan dana wakaf

secara rutin dan

terakhir memberikan

dukungan infrastruktur

untuk mengakomodasi

lembaga wakaf.

6

Ali,

Yuliani,

Mulitsah

&

Abdullah

Journal Al-

Falah, Journal

of Islamic

Economics

Vol.3 N0.1

(2018)

“Aspek-aspek

prioritas

manajemen

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

Persamaan :

Metode

Kualitatif

Menggunaka

n Alat

Analisis ANP

Perbedaan :

Ali dkk

Masalah internal

pengelolaan wakaf

yang paling prioritas

adalah kurangnya

kompetensi pengelola

wakaf atau nazhir dan

profesionalisme nazhir.

Prioritas aspek solusi

Page 58: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

45

waqf di

Indonesia”

mengurai

permsalahan

wakaf di

Indonesia

dibagi

menjadi 2

yaitu

masalah

internal dan

eksternal.

Sementara

dalam

penelitian ini

mengurai

permasalahan

wakaf

produktif di

Indonesia

yang terdiri

dari aspek

SDM,

Syariah,

Regulasi dan

IT.

internal manajemen

wakaf di Indonesia

pada hasil analisis

adalah peningkatan

kompetensi nazhir

Berdasarkan masalah

dan solusi tersebut,

terdapat tiga strategi

yang dapat menjadi

alternatif. Namun, yang

menjadi prioritas paling

penting adalah dengan

melakukan sosialisasi

dan edukasi secara

komprehensif kepada

semua elemen.

7

Astuti,

Basri, &

Tanjung

Tazkia Islamic

Finance and

Business

Review

Vol.13 N0.1

(2019)

“Analysis of

Nazhir

Accountability

Implementatio

n in

Empowerment

of Productive

Metode

Kualitatif. Alat

analisis Analytic

Network

Process (ANP)

Persamaan :

Metode

Kualitatif

Menggunaka

n Alat

Analisis ANP

Perbedaan :

Penelitian

Astuti dkk

menganalisis

Penerapan

Akuntabilitas

Hasil penelitian ini

menunjukkan masih

banyak masalah dalam

penerapan akuntabilitas

diantaranya adalah

pemahaman

masyarakat tentang

hukum wakaf masih

lemah, nazhir tidak

professional, sistem

yang tidak terintegrasi,

nazhir tidak transparan

serta peran BWI dan

Page 59: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

46

Waqf in

Indonesia”

Nazhir dalam

Pemberdayaa

n Wakaf

Produktif di

Indonesia

Kemenag belum

maksimal.

Implikasi dari

penelitian ini adalah

identifikasi

permasalahan dan

solusi yang bisa

diterapkan oleh nazhir,

BWI dan Kemenag

untuk meningkatkan

produktifitas mereka

agar dapat membawa

maslahah untuk umat.

D. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir

Page 60: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif-kualitatif dimana bertujuan untuk menangkap

suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar dan praktisi Syariah tentang masalah

wakaf produktif di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah metode ANP dan diolah

dengan menggunakan software “Super Decision”.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi hal-hal yang menjadi masalah

dalam pengelolaan wakaf produktif di Indonesia, kemudian untuk dapat dipakai sebagai

landasan dalam memberikan berbagai alternatif pemecahan dan strategi kebijakan yang tepat

untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan masukan-masukan

kepada stakeholder terkait seperti lebaga Nadzhir, Badan Wakaf Indonesia sebagai wakil

pemerintah yang mengurusi ihwal wakaf untuk dapat mengambil policy action yang tepat

untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh

dari hasil wawancara (indepth interview) dengan pakar dan praktisi, yang memiliki

pemahaman tentang permasalahan yang dibahas. Dilanjutkan dengan pengisian kuesioner.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tabel 3.1

Lokasi dan Waktu Penelitian

No. Waktu Penelitian Lembaga

1 Periode April – Mei 2019 Dompet Dhuafa

Republika, Yayasan

Badan Wakaf Haji

Page 61: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

48

Akrom di Bogor dan

Jakarta

2 Periode Februari-Maret 2020 Lembaga Riset,

SMART Indonesia di

Bogor

3 Periode Februari-Maret 2020 Badan Wakaf Indonesia

di Gedung Bayt Al-

Quran, TMII/Jakarta

Timur.

C. Populasi dan Sampel

Pemilihan responden pada penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan

pemahaman responden terhadap permasalahan wakaf produktif di Indonesia. Jumlah

responden dalam penelitian ini terdiri dari tujuh orang pakar atau praktisi dengan

pertimbangan berkompeten. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka

adalah orang-orang yang menguasai atau ahli di bidangnya. Oleh karena itu responden yang

dipilih dalam survey ini adalah para pakar/peneliti ekonomi Islam dan praktisi yang

berkecimpung dalam dunia wakaf produktif di Indonesia.

Tabel 3.2

Komposisi Responden

No. Nama responden Afiliasi Kelembagaan Industri Perwakilan

1 Aam Rusydiana Smart Indonesia Lembaga Riset Akademisi

2 Abrista Devi Universitas Ibn Khaldun Pendidikan Akademisi

3 Kamaluddin Dompet Dhuafa Keuangan Syariah Praktisi

4 Agung Prijo Nugroho Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom Keuangan Syariah Praktisi

5 Rifki Ismal Bank Indonesia Keuangan Syariah Praktisi

6 Nur S Buchori Badan Wakaf Indonesia Filantropi Islam Government

7 Nurul Huda Badan Wakaf Indonesia Filantropi Islam Government

Page 62: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

49

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam melakukan

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Adapun teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Teknik Wawancara

Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer yang didapat dari

hasil wawancara (indepth interview) dengan pakar dan praktisi, yang memiliki pemahaman

tentang permasalahan yang dibahas.

2. Kuesioner

Dalam rangka mendapatkan data primer tentang persepsi para pakar, praktisi dan

regulator tentang permasalahan seputar pengembangan wakaf produktif di Indonesia dalam

kerangka model ANP yang telah dirancang, survey menggunakan kuesioner dilakukan.

Responden terdiri dari dua orang pakar, tiga orang praktisi, dan dua orang regulator.

Dalam analisis ANP jumlah sampel/responden tidak digunakan sebagai patokan

validitas. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah orang-orang

yang ahli di bidangnya. Oleh karena itu responden yang dipilih dalam survey ini adalah

pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas pengembangan

Wakaf Produktif di Indonesia.

3. Teknik Kepustakaan

Teknik kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi terhadap

buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya

dengan masalah yang diteliti.

4. Teknik Dokumentasi

Page 63: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

50

Teknik dokumentasi adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa

data-data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan seta pemikiran tentang

fenomena yang masih faktual dan sesuai dengan masalah penelitian.

E. Metode Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian analisis kualitatif – kuantitatif dimana bertujuan

untuk menangkap suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar dan praktisi syariah

tentang masalah wakaf produktif di Indonesia sehingga mampu mengurangi kemiskinan di

Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah metode ANP dan diolah dengan

menggunakan software “Super Decision”.

1. Gambaran Umum Metode ANP

Analytic Network Process (ANP) juga merupakan teori matematis yang

mampu menganalisa pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk

menyelesaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk

penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara

penguraian sistematis disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh

prioritas terbesar. ANP juga mampu menyelesaikan model faktor-faktor dependence

serta feedbacknya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP

yaitu dengan melakukan pertimbangan dan validasi atas pengalaman empirical.

2. Landasan ANP

ANP memiliki empat aksioma yang menjadi landasan teori, antara lain:

a. Resiprokal; aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai

perbandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C,

yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki

elemen B, maka PC (EB,EA) = 1/Pc (EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih

besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.

Page 64: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

51

b. Homogenitas ; menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan dalam

struktur kerangka ANP sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang

dapat menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan penilaian elemen

pendukung yang mempengaruhi keputusan.

Tabel 3.3

Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik

Definition Intensity of Importance

Equal Importance 1

Weak 2

Moderate Importance 3

Moderate Plus 4

Strong Importance 5

Strong Plus 6

Very Strong or demonstrated importance 7

Very, very strong 8

Extreme Importance 9

Sumber: Saaty, 2006

c. Prioritas ; yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala interval

(0.1) dan sebagai ukuran dominasi relative.

d. Dependence Condition ; diasumsikan bahwa susunan dapat dikomposisikan

kedalam komponen-komponen yang membentuk bagian berupa cluster.

3. Tahapan Penelitian

Tahapan pada Metode ANP antara lain :

a. Konstruksi Model

Konstruksi Model ANP disusun berdasarkan literature review secara teori

maupun empiris dan memberikan pertanyaan pada pakar dan praktisi wakaf serta

melalui indepth interview untuk mengkaji informasi secara lebih dalam untuk

memperoleh permasalahan yang sebenarnya.

Page 65: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

52

b. Kuantifikasi Model

Tahap Kuantifikasi model menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa

pairwise comparison (perbandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk

mengetahui mana diantara keduanya yang lebih besar pengaruhnya) lebih

dominan dan seberapa besar perbedaannya melalui skala numeric 1-9. Data hasil

penilaian kemudian dikumpulkan dan diinput melalui software super decision

untuk diproses sehingga menghasilkan output berbentuk prioritas dan

supermatriks. Hasil dari setiap responden akan diinput pada jaringan ANP

tersendiri.

c. Sintesis dan Analisis

1) Geometric Mean

Untuk mengetahui hasil penilaian individu dari para responden dan

menentukan hasil pendapat pada satu kelompok dilakukan penilaian dengan

menghitung geometric mean (Saaty dalam Rusydiana dan Devi, 2006:15).

Pertanyaan berupa perbandingan (Pairwise comparison) dari responden akan

dikombinasikan sehingga membentuk suatu consensus. Geometric Mean

merupakan jenis penghitungan rata-rata yang menunjukan tendensi atau nilai

tertentu dimana memiliki formula (Ascarya dalam Rusydiana dan Devi,

2011:15).

2) Rater Agreement

Rater Agreement adalah ukuran yang menunjukan tingkat kesesuaian

(persetujuan) para responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam satu

cluster. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur rater agreement adalah

Kendall‟s Coeficient of Concordance (W;0 < W ≤ 1). W=1 menunjukan

kesesuaian yang sempurna (Ascarya, 2011).

Page 66: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

53

Untuk menghitung Kendall‟s (W), yang pertama adalah dengan memberikan

rangking pada setiap jawaban kemudian menjumlahkannya.

i = ∑jm

= 1ri.j

Nilai rata-rata dari total rangking adalah :

R =

m (n 1)

Jumlah kuadrat defiasi (S), dihitung dengan formula :

S = ∑

Sehingga diperoleh Kendall‟s W, yaitu :

W =

Jika nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian

atau pendapat dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna.

Sedangkan ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka

menunjukan adanya ketidaksesuaian antar jawaban responden atau jawaban

bervariatif (Ascarya dalam Rusydiana dan Devi, 2011:16).

Gambar 3.1

Tahapan Penelitian

Sumber : (Ascarya, 2005)

Page 67: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

54

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Konvensional

Nomenklatur organisasi pada umumnya dibagi ke dalam tiga sektor berbeda yang

saling berkelindan. „Sektor Pertama‟ bernama negara atau pemerintah (state agencies) yang

bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui perangkat-

perangkat hukum dan kebijakan. „Sektor Kedua‟ adalah organisasi-organisasi swasta yang

tujuannnya tidak lain dari mengakumulasikan modal dan melakukan pengembangan unit-unit

yang bersifat profit. „Sektor Ketiga‟ direpresentasikan oleh organisasi-organisasi sosial atau

organisasi nirlaba (non-profit). Organisasi pada sektor ini bertujuan antara lain untuk

memberikan pelayanan (service) atas kebutuhan dasar masyarakat dan menyediakan model

pendampingan (advocacy) bagi masyarakat dengan didasarkan pada sistem kemandirian (self-

reliace). (Latief, 2017:31-32).

Sejatinya, ketiga jenis organisasi tersebut memiliki tugas, wewenang dan wilayah garap

yang berbeda, Namun faktanya, seiring dengan kompleksitas kehidupan masyarakat,

ketiganya sering dikontestasikan dalam suatu arena dimana mereka memiliki tujuan dan

kepentingan yang sama, misalnya dalam program pemberdayaan masyarakat, pengentasan

kemiskinan, dan pemberantasan kebodohan. Pemerintah, swasta maupun organisasi

masyarakat memiliki hak dan kewenangan untuk berpartisipasi dalam memberikan solusi

terhadap problem tersebut dengan cara, kewenangan dan kapasitasnya masing-masing, Setiap

negara memiliki kebijakan yang berbeda antara satu sama lain dalam memberikan “porsi”

kewenangan kepada masing-masing sektor, bergantung kepada karakter “ideologi” negara

tersebut. Indonesia sendiri memiliki karakter dan pengalaman sosial politik yang berbeda

dengan negara-negara lain.

Page 68: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

55

Beberapa organisasi sektor ketiga telah mengembangkan wilayah garapnya menjadi

lebih luas, meski belum secara „utuh‟memasuki sektor kedua yang lebih bersifat profit. Saat

ini, melalui inisiatif masyarakat, ribuan sekolah, pesantren, klinik, rumah sakit, dan berbagai

sentra ekonomi telah berdiri dan dioperasikan sebagai bentuk evolusi organisasi masyarakat

sipil. (Latief, 2017:37-38).

Dalam kajian ilmu konvensional, produktivitas merupakan rasio antara output

disbanding input. Produktivitas mengukur seberapa efisien input yang digunakan dalam

proses produksi mampu menghasilkan output pada tingkat tertentu (Krugman, 1997) dalam

Paksi (2020:53).

Produktivitas menjadi penting dalam kajian ekonomi baik di lingkup mikro maupun

makro, khususnya untuk mengukur efektivitas produksi suatu negara maupun perusahaan.

Dengan meningkatkan produktivitas di skala nasional, standar hidup layak di masyarakat bisa

meningkat. Hal tersebut disebabkan peningkatan produktivitas akan mendorong peningkatan

pendapatan masyarakat dan daya belinya. Dengan daya beli yang meningkat, masyarakat

akan mampu membeli barang dan jasa yang lebih berkualitas untuk dikonsumsi seperti

kebutuhan sandang, pangan, dan papan, Pendidikan, serta kemampuan berkontribusi pada

lingkungan sekitar.

Negara dan perusahaan akan terus berupaya mendorong peningkatan

produktivitasnya. Terdapat lima hal yang secara umum akan mendorong tingginya

produktivitas dalam jangka Panjang, yaitu investasi, inovasi, keahlian tenaga kerja,

entrepreneurship, dan kompetisi (ONS, 2007) dalam Paksi (2020: 53).

B. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Islam

Konsep produktivitas dalam Islam pada dasarnya sedikit berbeda dengan konsep

produktivitas dalam kajian ilmu ekonomi konvensional. Konsep produktivitas dalam ilmu

ekonomi konvensional hanya mengarah pada aspek material dalam kehidupan duniawi saja

Page 69: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

56

yang berbasis pada pemahaman materialis. Padahal, dalam Islam selain kehidupan duniawi

juga dipercaya akan adanya kehidupan akhirat, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-

An‟am ayat 162. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman dan memerintahkan manusia

untuk menyerahkan segala urusan hidup matinya hanya untuk Allah SWT (Al-Haddad, 2012)

dalam Paksi (2020:56). Maka seharusnya konsep produktivitas juga mengarah kepada

keduanya.

Hal tersebut menjadi kunci perbedaan konsep produktivitas dalam Islam dan dalam ilmu

duniawi lainnya. Menjadi produktif dalam Islam artinya seorang muslim harus selektif dalam

memilih kegiatan yang dijalaninya, bukan hanya membawa keuntungan pada duniawinya saja

melainkan juga memaksimalkan pahala untuk kehidupan akhiratnya. Walaupun demikian,

pandangan tentang mengoptimalkan input dan output tidak sepenuhnya salah. Islam

memandang produktivitas sebagai suatu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat,

bukan salah satu diantara keduanya.

Jika melihat makna produktivitas dalam ekonomi Islam, akan ditemui bahwa konsep

produktivitas dapat dikaitkan dengan kelancaran distribusi harta. Distribusi menjelaskan

bagaiman pembagian kekayaan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Secara umum

distribusi mencegah adanya penumpukan harta pada satu pihak saja. Perekonomian Islam

mengenal dua metode distribusi kekayaan, yaitu melalui pasar dan non-pasar. Dalam

distribusi melalui pasar, harta didistribusikan melalui transaksi perdagangan barang dan jasa

yang terjadi sehari-hari. Sementara distribusi melalui non-pasar terjadi diantaranya lewat

zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Pentingnya produktivitas dalam Islam juga dapat dibuktikan melalui konsepsi Ihya‟ul

Mawa‟at (Mangunjaya, 2009) dalam Paksi (2020 : 58). Ihyaul Mawa‟at berasal dari dua kata

yaitu Ihya‟ yang artinya hidup dan mawa‟at yang berarti mati. Sementara secara istilah,

artinya adalah menghidupkan lahan-lahan yang sudah mati. Lahan-lahan mati yang dimaksud

Page 70: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

57

adalah lahan-lahan produktif yang tidak dimiliki oleh siapa pun atau lahan yang dimiliki oleh

seseorang namun dibiarkan terbengkalai tanpa dimanfaatkan.

Konsep Ihya‟ul Mawa‟at bertujuan untuk mencegah adanya lahan-lahan yang tidak

digarap secara produktif. Umat Muslim dianjurkan untuk menggarap lahan-lahan tidak

produktif tersebut sesuai dengan fitrah-nya baik untuk lading maupun peternakan. Tujuannya

adalah agar tanah-tanah tersebut menghasilkan sayur, buah, atau hasil tanaman dan produksi

lainnya yang mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Secara umum perintah untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif tersebut dapat

ditemukan dalam surat An-Nahl (16) ayat 13-15 yang menunjukkan bahwa bumi dan

seisinya memang telah dipersiapkan oleh Allah untuk dikelola dan diambil hasilnya demi

memenuhi kebutuhan manusia. Disamping itu, terdapat pula hadis Rasulullah SAW yang

diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa‟I dan Turmudzi yang menyatakan bahwa jika seseorang

menggarap lahan-lahan mati atau tidak bertuan makai a berhak atas lahan tersebut (Al-

Hafizh, 2012) dalam Paksi (2020:58).

Konsep Ihya‟ul Mawa‟at dapat dijadikan analogi untuk harta-harta jenis lainnya. Harta-

harta yang disimpan selain tanah dan bangunan hendaknya memang dimanfaatkan secara

lebih produktif daripada dibiarkan terbengkalai dan tidak menghasilkan suatu apapun. Tentu

konsep produktif yang dimaksud adalah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam yaitu

keseimbangan antara perolehan duniawi dan akhirat, bukan hanya salah satu diantara

keduanya.

Demikian halnya dengan pengelolaan wakaf. Sebagaimana disebutkan dalam UU

No.41/2004 Tentang Wakaf bahwa tujuan wakf adalah sebagai sarana kegiatan ibadah,

Pendidikan, Kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, serta untuk kemajuan peningkatan

ekonomi umat, maka wakaf yang ada juga harus dikelola sebaik-baiknya agar menjadi wakaf

yang produktif.

Page 71: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

58

C. Gambaran Umum & Objek Penelitian

1. Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom

Unsur AKROM pada Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom berasal dari nama H.

Akrom bin H. Abdussalam, seorang ulama independen sekaligus pengusaha ternak dan

pertanian yang sukses dari Tulungagung, Jawa Timur. H. Akrom memiliki sekitar 200

ekor sapi perah di beberapa lokasi di Tulungagung dan Kediri. Saat masih belia, Haji

Akrom sudah memiliki perkebunan seluas lebih kurang 6 hektar. Di usi mudanya Hj

Akrom menuntut ilmu hingga ke kota suci Madinah di Saudi Arabia. Tahun 1920,

setelah beberapa tahun menimba ilmu di pondok Tihamah di Madinah, beliau kembali ke

Tanah Air.

Sejak masih muda, Haji Akrom telah mengajarkan ilmunya di sejumlah pondok

pesantren, dan banyak murid beliau yang kini menjadi tokoh sukses. Karena kepiawaian

dalam dakwah dan usaha perniagaannya yang sukses, Haji Akrom pun memiliki

pengaruh yang luar biasa di kalangan warga dan tokoh di Tulungagung saat itu. Namun

kesuksesan duniawi tidak membuat Haji Akrom lupa diri. Sebaliknya, beliau justru

menjadi orang yang sangat dermawan dan peduli pada sesama. Ini terbukti dari sejumlah

bidang tanah di Tulungagung yang beliau wakafkan untuk pembangunan masjid dan

lembaga pendidikan.

Tahun 2015, para cucu Haji Akrom memutuskan untuk melanjutkan perjuangan

beliau, dengan mendirikan Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom di Tulungagung, agar

kebaikan-kebaikan beliau terus mengalir dan semakin banyak orang yang merasakan

manfaatnya. Pada awal 2017, Akrom Foundation cabang Jakarta pun didirikan. Semua

pengurus intinya adalah orang-orang profesional yang berpengalaman di bidang

fundraising. Salah satu misi utama kami saat mendirikan cabang Jakarta adalah ingin

menjadikan Akrom Foundation sebagai yayasan yang semakin besar dan semakin

Page 72: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

59

profesional, sehingga semakin banyak masyarakat yang terbantu, dan semoga semakin

banyak amal jariyah yang mengalir untuk Haji Akrom.

2. Yayasan Dompet Dhuafa

Yayasan Dompet Dhuafa sebagai organisasi masyarakat sipil yang bergerak

dalam filantropi Islam untuk tujuan pelayanan sosial, pemberdayaan dan penanggulangan

bencana dan program kemanusiaan lainnya (Helmanita,2005). Yayasan Dompet Dhuafa

merupakan organisasi amal nirlaba Islam yang didirikan pada 1993. Organisasi ini

terdaftar sebagai Yayasan di Departemen Sosial Indonesia, dan diatur dalam undang-

undang zakat nomor 38/1999 sebagai organisasi Amil Zakat di tingkat Nasional.

Selanjutnya mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia No 41 tahun 2004

tentang wakaf, Yayasan Dompet Dhuafa Republika juga telah terdaftar di Badan Wakaf

Indonesia sebagai Nazhir pada 16 Juni 2011.

Formulasi baru pengembangan wakaf uang dalam bentuk investasi yang

dilakukan Lembaga wakaf Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi yang nyata

dalam mendorong pembangunan sosial, Pendidikan dan ekonomi kaum dhuafa.Dompet

Dhuafa telah mampu membangun rumah sakit, sarana niaga, dan menginvestasikan

kepada perkebunan dan peternakan (Ulpah & Jahar, 2019:8).

3. Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga independen untuk mengembangkan

perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh

kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. Kelahiran Badan Wakaf

Indonesia (BWI) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan

dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan

Page 73: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

60

Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau

Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan

Pelaksana dan Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua

dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana

merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas

pelaksanaan tugas BWI.

Gambar 4.1

Institusi Wakaf di Indonesia

Sumber : Ascarya (2007:37)

Sejak berdiri pada tahun 2007, Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang lahir

berdasarkan amanat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memiliki peran yang

signifikan dalam dinamika pengelolaan wakaf yang ada di Indonesia. Keberadaan BWI

telah diatur dalam undang-undang wakaf secara jelas dan terperinci, dari pasal 47 sampai

dengan pasal 61 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Pada pasal 57 disebutkan bahwa

untuk pertama kali, pengangkataan keanggotaan BWI diusulkan kepada Presiden oleh

menteri. Sedangkan BWI dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota

sesuai dengan kebutuhan

President

Ministry of Religious Affairs

PUBLIC PRIVATE

Waqf Institution (WI)

BWI Regional

WI Regional

National Sharia Board (Indonesian Council of Ulama)

BWI (as Operator)

BWI Regional

WI Regional

Waqif (Endower)

Nazhir(Manager/Endower)

Mauquf Alaih(Beneficiary)

Indonesian Waqf Board (BWI)

(as Regulator)

Page 74: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

61

Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia yaitu 1). Melakukan pembinaan terhadap

nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; 2). Melakukan

pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; 3).

Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda

wakaf; 4) Memberhentikan dan mengganti nazhir; 5). Memberikan persetujuan atas

penukaran harta benda wakaf; 6). Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah

dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. (Aziz,2017:3).

Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh)

orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. (Pasal

51-53, UU No.41/2004). Badan Wakaf Indonesia mempunyai visi “Terwujudnya lembaga

independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk

mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sementara misi BWI adalah

“Menjadikan BWI sebagai lembaga professional yang mampu mewujudkan potensi dan

manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan

masyarakat”.

D. Prioritas Masalah Wakaf

Permasalahan dalam hal pengembangan wakaf produktif di Indonesia dapat dibagi

menjadi empat aspek yang terdiri dari aspek sumber daya manusia (SDM), aspek Syariah,

aspek regulasi dan aspek Informasi dan Teknologi. Cluster-cluster secara keseluruhan

dikelompokkan menjadi cluster masalah dan strategi pengembangan wakaf produktif di

Indonesia yaitu :

1. Aspek

Masalah pengembangan wakaf produktif di Indonesia berdasarkan hasil wawancara

kepada para pakar dan praktisi disertai dengan kajian literature maka diperoleh 4 aspek

utama, yaitu :

Page 75: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

62

a. Sumber Daya Manusia (SDM), banyak hal yang menjadi pertimbangan mengapa

aspek SDM dijadikan salah satu aspek utama dalam mengurai masalah

pengembangan wakaf produktif di Indonesia. Di Jawa Tengah misalnya, banyak

ditemui kurangnya pemahaman dan keterampilan Nazhir dalam mengelola harta

wakaf. Harta wakaf hanya digunakan untuk sarana ibadah dan kesulitan dana untuk

biaya pengelolaannya. Fuad (2008:3) menjelaskan bahwa kebanyakan nazhir

menganggap tugas mereka adalah menunggu dan menjaga wakaf yang diamanatkan

kepada mereka. Bahwa tugas Nazhir adalah mengurus, memelihara,

mengembangkan, dan melestarikan harta yang diwakafkan nampaknya belum banyak

dipahami.

Selain itu, berdasarkan kinerja professional nazhir, Lembaga riset UIN Syarif

Hidayatullah, CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) menyampaikan

hasil riset yang salah satu masalahnya adalah hanya sedikit Nazhir wakaf (16%)

yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh (full timer). Sebaliknya mayoritas

Nazhir wakaf (84%) mengakui tugasnya sebagai Nazhir hanyalah pekerjaan

sampingan (part time).

b. Masalah Syariah,

Hasil pengelolaan wakaf, dalam literatur fikih, juga dijelaskan selain boleh

digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid), Lembaga Pendidikan

dan para gurunya, pembangunan hotel atau pemondokan untuk para musafir, juga

kebutuhan minum, pengurusan mayat seperti pembelian kain kafan, pembangunan

dan rehabilitasi jembatan, untuk para penghuni penjara, rumah sakit dan

perpustakaan. Bahkan berbeda dengan sedekah lainnya, Sebagian wakaf atau

manfaatnya pun, seperti buku dan al-Quran, boleh didistribusikan atau dimanfaatkan

oleh orang kaya yang tidak berhak menerima zakat (as-Syaibani, Tth:294-295,

Page 76: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

63

„Asyub, 2000:31, dan al-Hanafi, 1902:122 dan as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000:9-17

dalam (Kamil, 2016:179).

Penjelasan para ahli diatas dapat dipahami, karena dasar dari pendistribusian

hasil wakaf adalah ishtisan (hal-hal yang dipandang baik) atau alasan kemaslahatan

(istishlah) yang dibenarkan oleh hadis Riwayat Abdullah bin Mas‟ud. Dalam

pendistribusian hasil wakaf, seorang Nazhir wakaf bisa merujuk pada alasan untuk

mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan merujuk pada konsep

kemaslahatan yang disebut oleh as-Syathibi (730-790 H).

Jadi sejauh mana hasil wakaf khairi boleh didistribusikan adalah sejauh

kemaslahatan menghendakinya. Tentu saja, catatannya adalah dictum ini akan ditolak

oleh kalangan yang memegang teguh kaidah fikih “Syarth al-waqif kanash as-

syar‟i‟‟ (syarat diajukan pewakaf sama dengan agama”. Diktum kemaslahatan itu

juga tampaknya akan ditolak oleh mereka yang terlalu terbelenggu oleh fikih klasik

dan pertengahan (Kamil, 2016:179).

c. Masalah Regulasi,

UU Wakaf yang ada saat ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :

1) sumber pembiayaan BWI masih dibawah alokasi Kementerian Agama RI. Hal ini

kontradiksi dengan pasal 47 ayat (2) UU Wakaf.

2) UU Wakaf masih sebatas mengatur dan menguatkan wakaf uang, sementara

pengaturan mengenai benda bergerak lainnya belum diakomodir sepenuhnya

3) Dalam pengelolaan wakaf uang dalam ketentuan UU Wakaf masih sebatas

memanfaatkan Lembaga Keuangan Syariah, menurutnya hal ini akan

memperkecil pengembangan wakaf uang itu sendiri (Rahman, 2016).

d. Masalah Informasi dan Teknologi,

Page 77: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

64

Pusat data dan informasi wakaf secara umum belum terdigitalisasi, sehingga

perlu dibentuk system informasi wakaf (SIWAK) oleh pemerintah sebagai unsur

pendukung yang bertugas dalam bidang pengelolaan data dan informasi terkait

wakaf. Selain berfungsi sebagai marketing, lembaga ini berperan dalam menciptakan

transparansi dan akuntabilitas institusi wakaf melalui informasi yang jelas terkait

perkembangan harta wakaf secara periodik yang mencakup wakaf secara terperinci,

baik dalam hal fundrising wakaf, pengelolaan dan pengembangan, dalam bentuk

dokumen, arsip, kepustakaan, laporan dan lain sebagainya.

Lebih jauh, lembaga ini juga bertugas dalam standarisasi system informasi

wakaf pada masing-masing institusi wakaf dan juga berkewajiban untuk

mempublikasikan data dan informasi wakaf kepada instansi pemerintahan, media

visual dan cetak, media sosial. Langkah serupa, juga bisa melakukan kerja sama

dengan pusat data dan informasi lembaga lain yang dapat diakses masyarakat secara

langsung terkait wakaf. Upaya-upaya tersebut akan lebih meyakinkan dan

meningkatkan kredibilitas nazhir dan institusi wakaf (Muljawan, 2016:169).

2. Strategi

Alternative dalam model ANP yang ditawarkan penulis adalah strategi-strategi

yang dapat dilakukan agar wakaf produktif dapat dikembangkan secara maksimal.

Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa pakar dan studi literature maka

diperoleh uraian strategi berdasarkan skala prioritas diantaranya adalah :

a. Penguatan sistem informasi dan teknologi

b. Penguatan tata Kelola (Good Nazhir Governance).

c. Pembentukan Lembaga Pendidikan, sosialisasi dan edukasi wakaf.

d. Dukungan regulasi pemerintah

E. Jaringan ANP

Page 78: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

65

Berdasarkan identifikasi masalah dan strategi pengembangan wakaf produktif di

Indonesia yang telah dikemukakan di atas, selanjutnya terbentuklah jaringan ANP seperti

berikut ini :

Gambar 4.2

Model Jaringan ANP

F. Hasil Sintesis

Gambar 4.3

Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster Kriteria

Berdasarkan diagram di atas terdapat empat kriteria yang menjadi masalah utama

0 0.1 0.2 0.3 0.4

1. SDM

2.Regulasi

3. IT

4.Syariah

Kriteria

Page 79: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

66

dalam pengelolaan wakaf produktif, yaitu aspek sumberdaya manusia, aspek regulasi, aspek

informasi dan teknologi dan aspek syariah. Dari ketiga aspek tersebut, sumberdaya manusia

menjadi masalah utama dalam pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar

0.3478, diikuti oleh aspek informasi dan teknologi dengan nilai bobot sebesar 0.2077, aspek

syariah dengan nilai bobot sebesar 0.2172, dan aspek regulasi dengan nilai bobo terendah

sebesar 0.2077. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0.204 (w= 0.204) yang berada

pada skala lemah sampai moderat, yang menandakan bahwa para pakar memiliki jawaban

yang variatif dalam menentukan prioritas menganai masalah pengelolaan wakaf produktif.

Gambar 4.4

Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster Informasi dan Teknologi (IT)

Berdasarkan diagram di atas, terdapat tiga asek yang menjadi masalah dari sisi

informasi dan teknologi, yaitu aspek lemahnya informasi wakaf, aspek database wakaf belum

terkomputerisasi, dan aspek belum optimalnya sistem informasi wakaf. Dari aspek tersebut,

database wakaf belum terkomputerisasi menjadi masalah utama pada sisi informasi dan

teknologi dengan nilai bobot sebesar 0.4068, diikuti oleh aspek lemahnya informasi wakaf

dengan nilai bobot sebesar 0.3024, dan aspek belum optimalnya sistem informasi wakaf

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

1. Informasi Wakaf

2. Database Wakaf

3. Optimalisasi Wakaf

Informasi Teknologi

Page 80: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

67

dengan nilai bobot terendah sebesar 0.2908. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar

0.25 (W = 0.25). Nilai tersebut berada pada skala lemah – moderate, yang menandakan

bahwa para pakar memiliki jawaban yang cukup variatif dalam menentukan prioritas masalah

pada cluster informasi dan teknologi.

Gambar 4.5

Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster Regulasi

Berdasarkan diagram di atas terdapat tiga aspek pada cluster regulasi, yaitu aspek UU

wakaf tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan, aspek lemahnya sistem pengawasan dari

pemerintah dan aspek BWI yang masih merangkap regulator/operator. Dari ketiga aspek

tersebut, UU wakaf tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan menjadi masalah utama

pada sisi regulasi pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar 0.484, diikuti oleh

aspek lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah dengan nilai bobot sebesar 0. 3108, serta

aspek BWI yang masih merangkap regulator/operator memiliki bobot terendah dengan nilai

sebesar 0.2807. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0.0357 (W = 0.0357). Nilai

tersebut berada pada skala „tidak sampai lemah‟yang menandakan bahwa jawaban para pakar

mengenai prioritas masalah pada sisi regulasi sangat variatif.

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45

1.UU Wakaf

2.Pengawasan Regulator

3. Peran Rangkap BWI

Regulasi

Page 81: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

68

Gambar 4.5

Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster Sumberdaya Manusia

Berdasarkan diagaram di atas terdapat tiga aspek pada sisi sumberdaya manusia yaitu,

aspek relatif rendahnya profesionalisme nazhir, aspek lemahnya inovasi, dan aspek trust-

amanah pengelola wakaf (nazhir). Dari ketiga aspek tersebut, terdapat dua aspek yang

menjadi masalah utama pada sisi sumberdaya manusia dengan nilai bobot sebesar 0.3359,

yaitu aspek relatif rendahnya profesionalisme nazhir dan aspek lemahnya inovasi, dikuti oleh

aspek trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) dengan nilai bobot terendah sebesar 0.3282.

Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0 (W = 0), yang menandakan bahwa jawaban

para pakar mengenai prioritas masalah pada sisi sumberdaya manusia sangat variatif.

Gambar 4.6

Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster syariah

0.324 0.326 0.328 0.33 0.332 0.334 0.336 0.338

1. Profesionalisme Nazhir

2 Lemahnya Inovasi

3 Trust

Sumberdaya Manusia

Page 82: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

69

Berdasarkan diagram di atas terdapat tiga aspek pada sisi syariah, yaitu aspek Syafii‟-

sentris, aspek Tidak adanya DPS pada lembaga wakaf, dan aspek kurangnya ahli wakaf yang

profesional. Dari ketiga aspek tersebut, kurangnya ahli wakaf yang professional menjadi

masalah utama pada sisi syariah pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar

0.5303, diikuti oleh aspek Syafii‟-sentris dengan nilai bobot 0.2381, dan aspek Tidak adanya

DPS pada lembaga wakaf memiliki bobot terendah dengan nilai sebesar 0.2315. Nilai rater

agreement dari cluster ini sebesar 0.3112 (W= 0.3112). Nilai ini berada pada skala „moderate

sampai kuat‟, yang menandakan bahwa para pakar cukup sepakat dalam menentukan prioritas

masalah pada sisi syariah.

Gambar 4.7

Hasil Sintesis Sub Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Cluster Strategi

Berdasarkan diagram di atas terdapat empat aspek strategi peningkatan pengelolaan

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

1.Syafii' sentris

2.Tidak Ada DPS

3. Ahli Wakaf Kurang

Syariah

0.235 0.24 0.245 0.25 0.255 0.26

1.Lembaga Edukasi Wakaf

2. Dukungan Pemerintah

3. Penguatan Sistem Informasi

4.Tata Kelola

Strategi

Page 83: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

70

wakaf produktif, yaitu, aspek pembentukan lembaga pendidikan, sosialisasi, dan edukasi

wakaf, aspek dukungan regulasi dari pemerintah, aspek penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf, dan aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance). Dari

keempat aspek tersebut, penguatan sistem informasi dan teknologi wakaf menjadi

prioritas utama untuk meningkatkan pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot

sebesar 0.2569, diikuti oleh aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance)

dengan nilai bobot sebesar 0.2553, kemudian aspek pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi, dan edukasi wakaf dengan nilai bobot sebesar 0.2448, dan aspek dukungan

regulasi dari pemerintah dengan nilai bobot terendah sebesar 0.2423. Nilai rater

agreement dari cluster ini sebesar 0.0418 (W = 0.0418). Nilai tersebut menandakan

bahwa jawaban para pakar mengenai prioritas strategi untuk meningkatkan pengelolaan

wakaf produktif sangat variatif.

Page 84: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

71

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukan bahwa permasalahan yang muncul dalam

pengembangan wakaf produktif di Indonesia terdiri dari empat aspek penting yaitu

: aspek sumber daya manusia (SDM), aspek Informasi dan Teknologi, aspek

syariah, dan aspek regulasi. Penguraian aspek masalah secara keseluruhan

menghasilkan urutan prioritas :1) Masalah Sumber Daya Manusia, dimana prioritas

nomor satu adalah relatif rendahnya profesionalisme Nazhir, 2) Masalah Informasi

dan Tekonologi yaitu database wakaf belum terkomputerisasi, 3) Masalah Syariah

yaitu kurangnya ahli wakaf yang profesional 4) Masalah Regulasi yaitu UU Wakaf

tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan.

2. Strategi yang dapat dibangun untuk mengembangkan wakaf produktif berdasarkan

urutannya terdiri dari : 1) Penguatan sistem informasi dan teknologi wakaf, 2)

Aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance), 3) Aspek pembentukan

lembaga pendidikan, sosialisasi, dan edukasi wakaf, 4) Aspek dukungan regulasi

dari pemerintah.

B. Saran

1. Undang-undang wakaf yang telah ada di Indonesia telah mengatur berbagai hal

berkenan dengan wakaf. Selanjutnya, perlu usaha yang lebih ketat dari pemerintah

dalam mengawal dan memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan,

guna meningkatkan produktivitas asset wakaf dan perbaikan tata kelola wakaf di

Indonesia. Pemerintah memiliki wewenang dan tanggung jawab, khususnya dalam

administrasi wakaf serta penegakan aturan-aturannya. Disamping itu, pemerintah

Page 85: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

72

juga harus menerbitkan aturan-aturan tambahan agar undang-undang tersebut

menjadi lebih operasional dalam pelaksanaannya.

2. Mengembangkan sistem pelaporan wakaf yang terstandardisasi dan sistem informasi

wakaf nasional, yang dapat dimulai dengan pelaporan terstandarisasi secara berkala

(bulanan, triwulanan dan / atau tahunan) dari lembaga wakaf daerah ke kantor

pusatnya Badan Wakaf Indonesia.

3. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperluas kajian penelitian akademik

terkait tentang wakaf. Prioritas masalah dan strategi dalam pengembangan wakaf

produktif ini hendaknya dapat memberi masukan tepat kepada seluruh pihak terkait

masalah apa yang seharusnya lebih dahulu diselesaikan dan solusi mana yang paling

tepat.

4. Penelitian selanjutnya dengan pendekatan Analytic Network Proces (ANP)

disarankan agar dapat menambah jumlah responden dari pihak-pihak yang terkait

yang dipandang paham akan masalah perwakafan di Indonesia.

Page 86: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

73

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H., & Rukmini, M. (2004). Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan

Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jurnal Akuntansi. Jakarta:

Piramedia.

Adham, Fauzi Kamal. (2001), Al-Idarah al-Islamiyyah, Dirasah Muqaranah Bainah an-

Nizham al-Islamiyyah Wa al-Wadh‟iyyah al-Haditsah, Beirut:Dar An-Nafa‟is.

Ahmed, Habib. (2007).Waqf Based Microfinance: Realizing The Sosial Role of Islamic

Finance. Paper Presented the International Seminar on “Integrating Awqaf in the

Islamic Financial Sector”.

Amalia, E. (2009). Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo.

Ambrose, Aslam Mohamed, Hanafi Hanira, The Possible Role of Waqf in Ensuring A

Sustainable Malaysian Federal Government Debt, Journal Elsevier Procedia

Economics and Finance 31 (2015) 333 – 345.

Arsyad, Lincolin. Kusuma, E.S. (2014). Ekonomika Industri, Pendekatan Struktur, Perilaku,

dan Kinerja. Yogyakarta:UPP STIM YKPN.

Ascarya, (2005). Analytic Network Process (ANP) Pendekatan Baru Studi Kualitatif”.

Makalah disampaikan pada Seminar Intern Program Magister Akuntansi Fakultas

Ekonomi di Universitas Trisakti. Jakarta.

Ascarya, & Dimson, E. (2007), Endowment Asset Management (Investment Strategies in

Oxford and Camridge), Oxford University Press. New York, NY.

Ascarya, Sukmana R., & Rahmawati, (2017). Cash Waqf and Islamic Microfinance

Institutions: Business Model in Indonesia, Paper presented at the “2nd

Islamic

Finance, Banking & Business Ethics Global Conference 2017, INCEIF April 18-

19, 2017, Kuala Lumpur, Malaysia.

Aziz, Muhammad, (2017). Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam mengembangkan

Prospek Wakaf Uang di Indonesia, Journal JES, Vol 2, 2017.

Birton, Nur A., dkk., 2001, Prospek dan Tantangan Koperasi Syariah di Pasar-pasar DKI

Jakarta, Jakarta: Puslitbang FE UMJ, 2001.

Budiman, A.A, 2011, Akuntabilitas Pengelola lembaga Wakaf, Jurnal Walisongo, Vol 19,

Nomor 1, hlm 75-102.

Carpenter, V. dan Feroz,H. (2001). Institutional Theory and Accounting Rule Choice.

Accounting, Organization and Society Vol.26, 565-596.

Page 87: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

74

Chandra Hari,, Rahman Asmak Ab., (2010) Waqf Investment : A Case Study of Dompet

Dhuafa Republika, Indonesia”, Journal Syariah jilid 18 Bil.1 163-190

Chowdhury. (2012). Problems of Waqf administration and proposal for improvement : A

study in Malaysia, Journal of Internet Banking & Commerce 17, 1-8

Chowdury,M.S., Chowdury, I.A, Muhammad, M.Z and Yasoa,M.R. (2012), Problem

Administration and Proposals for Improvement : a Study in Malaysia, Journal of

Internet Banking and Commerce, pp.2-6

Cizakca, M. (1998), Awqaf in history and its implications for modern Islamic Economies,

Islamic Economic Studies, Vol.6 No.1, pp. 43-70.

Coase R. (1937). The nature of firm. Economica News Series, Vol 4 (16): 386-405.

Dahlan, R. (2016). Analisis Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia, Journal Bisnis dan

Manajemen Volume 6 (1)

Dahwan. (2008). Pengelolaan Benda Wakaf Produktif, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama,

Vol.IX, No.1 : 71-85.

Departemen Agama, (2004). Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Wakaf (Nazhir), Jakarta :

Depag.

Dham, Fauzi Kamal, (2001). Al-Idarah al-Islamiyyah, Dirasah Muqaranah Baina an-Nizham

al-Islamiyyah Wa al-Wadh‟iyyah al-Haditsah, Beirut : Dar An-Nafa‟is. Dalam

Kamil, 2016. Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan. Jakarta :

Rajagrafindo Persada.

Dimaggio, P dan Powell,W. (1983). The Iron Cage Revisited : Institutional Isomorphism and

Collective Rationality in Organization Fields, American Sosiological Review

,Vol.48 pp 147-160.

Faisal, M, (2019), Sikap, Norma Subjektif, Religiusitas, dan Partisipasi Terhadap Wakaf

Tunai, Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Yarsi, Vol.4. No.1

Falkman, P dan Tagesson, T. (2008). Accrual Accounting Does Not Necessarily Mean

Accrual Accounting : Factors that Counteract Compliance with Accounting

Standards in Swedish Municipal Accounting, Scandinavian Journal of

Management Vol.24 : 271-283.

Fathurrahman, (2012), Wakaf dan Usaha Penanggulangan Kemiskinan Tinjauan Hukum

Islam Peraturan Perundangan di Indonesia (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di

Kabupaten Bandung), Disertasi tidak dipublikasikan, Universitas Indonesia.

Fauza, N, (2015). Rekonstruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar Pengelolaan Wakaf dari

Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum Vol. 9 No. 2 Juli 2015 hlm.161-171

Gopi,M. Ramayah,T. 2007. Applicability of theory of planned behavior in predicting

intention to trade online, International Journal of Emerging Markets. Vol.2 No.4,

Page 88: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

75

pp 348-360.

Gray, Rob, David L,Owen, Keith Mounders, (1991). Accountability, Corporate Social

Reporting and the Social Audit, Journal of Business, Finance, and Accounting”

(Spring), hlm 39-50. Dalam Muhammad Rifki, 2006, Akuntabilitas Keuangan pada

Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal

Akuntansi dan Investasi, Vol.7.No.1, hlm.34-55, Universitas Islam Indonesia.

Hanefah, M.M, (2010), Waqf Models In Iskandar Malaysia: An Analysis, Conference

Proceedings, The 4th Islamic Banking, Accounting and Finance Seminar.

International Islamic University Malaysia.

Hashim, M. (2012), Islamic perception of business ethics and the impact of secular thoughts

on islamic business ethics, International Journal of Academic Research in Business

and Social Sciences, Vol. 2 No. 3, pp. 98-120.

Helmanita, K., (2005). “Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern :

Pegalaman Dompet Dhuafa‟‟, Jakarta.

Herlina, Lusi, (2004). “Pengembangan Transparansi dan Akuntabilitas di KPPM”, Jakarta:

PIRAC, Ford Foundation dan Tifa. Dalam Muhammad Rifki, 2006, “Akuntabilitas

Keuangan pada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Daerah Istimewa

Yogyakarta”, Jurnal Akuntansi dan Inventasi, Vol.7.No.1, hlm.34-55, Universitas

Islam Indonesia.

Huda, H, dkk (2016). Manajemen Pengelolaan Wakaf di Indonesia Timur. Junral Ekonomi

dan Keuangan, Vol 20 No.1

Huda, N, (2014). Akuntabilitas sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf, Journal Akuntansi

Multiparadigma, Volume 5 Nomor 3.

Huda, N, dkk (2017). “Problems, Solutions and Strategies Priority for Waqf in Indonesia”.

Journal of Economic Cooperation and Development, Vol.38 No.1

Hudgson, Geoffrey M, 1998. The Approach of Institusional Economics. Journal of Economic

Literature. Vol.1, No.2, September-November: 30-58.

Johari, F dkk. (2015). Factors that influence repeat contributionof cash waqf in Islamic

Philantropy. Journal Malaysian Accounting Review, Volume 14 No.2, pp 55-78

Kahf, M. (1998), Financing development of awqaf properties, International Seminar on

awqaf and economic development, Pan Pacific Hotel, Kuala Lumpur, 2-4 March.

Kamil, S. (2016), “Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan : dari Politik

Makro Ekonomi Hingga Realisasi Mikro”, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Kholid, M dkk. (2007). Waqf Management through Sukuk al Intifa‟a:A Generic Model.

Journal Awqaf, Vol.9 ,No.17, 11-27

Lamuri,A.B. (2014). “Pengelolaan Wakaf Alkhairaat Palu Sulawesi Tengah”, Jurnal Studia

Page 89: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

76

Islamika, Vol 11 No.2 hal.315-346.

Laswad, F., Fisher, R., dan Oyelere, P. (2001). Local Authorities and Financial Reporting on

the Internet, Chartered Accountants Journal, 58-60.

Latief, H, (2017). “Politik Filantropi Islam di Indonesia : Negara, Pasar, Dan Masyarakat

Sipil”, Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Mohsin, Magda Ismail, (2007).The Institution of Waqf : A Non – Profit Institution to

Financing the Needy Sector, Paper presented to a conference “Research and

Development: The Bridge between Ideals and Realities”, IIUM International

Conference on Islamic Banking and Finance.

Mohsin, Magda Ismail, (2013). Financing through cash waqf : a revitalization to finance

different needs. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and

Management,Vol.6 No.4.

Mohsin, Magda Ismail, Hisham D., Murat C., Syed Othman A., Shaikh Hamzah A., Seyed

Kazem S., Thamina A., & Mohammed O. (2016). Financing The Development Of

Old Waqf Properties; Classical Principles And Innovative Practices Around The

World. New York: Palgrave Macmillan; Springer Science Business Media.

Mohsin, Magda Ismail. (2017). Past, present and future of family waqf. In Syed Khalid

Rashid (Ed.), Waqf laws and management (pp.46-56). Kuala Lumpur, Malaysia:

IIUM Press.

Mulyadi, Hakim, A.R, Mulazid, A.S, Supriyono, Meiria, E. (2018). E-Zakat:Redesign the

Collection and Distribution of Zakat. International Conference in Islamic Finance,

Economics and Business, KnE Social Sciences, pages 433.

Munawwir, A.W. (1984). “Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia”. Jogjakarta: Pondok

Pesantren Al-Munawwir, 1533.

Nadya, F.A dkk. (2018). Strategy of Optimalization Cash Waqf in Indonesia, Journal

Syarikah, Vol 4 No 2 Desember.

Paksi, Girindra Mega, (2020). Wakaf Bergerak:Teori dan Praktik di Asia .Malang : Penerbit

Peneleh.

Pina, V.Torres,L. dan Royo, S. (2010). Is E-Government Promoting Convergence Towards

More Accountbale Locar Government?, International Public Management Journal

13 (4), 350-380.

Radner, R .(1996). Bounded Rationality, Indeterminacy, and the Theory of the Firm. The

Economic Journal, Vol 106. Issue 438. September: 1360-1373.

Making with the Analytic Network Process. Economic, Political, Social and Technological

Applications with Benefits, Opportunities, Cost and Risks, Spinger.RWS.Publicatio

Ratnasari, R.T., & Arifin, M.H. (2007). “Theory of Planned Behavior in Intention to Pay

Page 90: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

77

Cash Waqf, Repository Unair, 1-6.

Rusydiana, Devi A, (2017). Analisis Pengelolaan Dana Wakaf Uang di Indonesia :

Pendekatan Metode Analytic Network Process (ANP). Journal Al-Awqaf Jurnal

Wakaf dan Ekonomi Islam.

Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G, (2006). Decision, Pittsburgh.

Sabiq, Sayyid, (1365 H), Fiqh Al-Sunnah, Jilid 1 dan III, Kairo: Dar al-Tsaqafah al-

Islamiyyah.

Sulaiman, M. and Zakari, M.A. (2013), Efficiency and effectiveness of waqf institutions in

Malaysia: toward financial sustainability, 9th International Conference in Islamic

Economics and Finance, Istanbul, 9-11 September

Sulthoni, Muhammad, Saad Md Norma. (2018). Waqf Fundrising Management: a Conceptual

Comparison Between Traditional and Modern Methods in the Waqf Institutions,

Vol 8 No 1, 57-86.

Ulpah, Maria & Jahar, S. (2019). Investasi Wakaf Uang : Studi Kasus pada Dompet Dhuafa

dan Al Azhar Peduli Umat, Vol. 9 No.2

Undang-undang No 41 tahun 2004.

Yuliafitri, Indri, Rivaldi I.E. (2017). Pengaruh Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance

dan Promosi Terhadap Penerimaan Wakaf Tunai. Jurnal Infestasi Vol.13 No.1 pp

217-226.

Yustika, (2006). Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori & Strategi. Malang : Bayumedia

Publishing.

Page 91: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

78

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Aam Slamet Rusydiana

2. Afiliasi Kelembagaan : SMART Indonesia

3. Industri : Lembaga Riset

4. Kualifikasi Pendidikan : S2

5. Pengalaman kerja : 7 tahun

6. Tanggal pengisian kuesioner : 2 Juni 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

Page 92: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

79

ASPEK STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 93: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

80

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Abrista Devi, M.E.I

2. Afiliasi Kelembagaan : Universitas Ibn Khaldun

3. Industri : Pendidikan

4. Kualifikasi Pendidikan : S2

5. Pengalaman kerja : Dosen, Peneliti

6. Tanggal pengisian kuesioner : 2 Juni 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

ASPEK STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 94: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

81

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 95: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

82

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Agung Prijo Nugroho

2. Afiliasi Kelembagaan : Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom

3. Industri : Keuangan Syariah dan Wakaf

4. Kualifikasi Pendidikan : S1

5. Pengalaman kerja : 25 tahun

6. Tanggal pengisian kuesioner : 8 Juni 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 96: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

83

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 97: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

84

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Kamaluddin

2. Afiliasi Kelembagaan : Dompet Dhuafa

3. Industri : Keuangan Syariah

4. Kualifikasi Pendidikan : S1

5. Pengalaman kerja : Dosen, Peneliti

6. Tanggal pengisian kuesioner : 22 Mei 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 98: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

85

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 99: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

86

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Nur S Buchori

2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia

3. Industri : Filantropi Islam

4. Kualifikasi Pendidikan : S3

5. Pengalaman kerja : Dirut di beberapa BPRS

6. Tanggal pengisian kuesioner : 4 Juni 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 100: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

87

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 101: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

88

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Prof. Nurul Huda

2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia

3. Industri : Wakaf

4. Kualifikasi Pendidikan : S3

5. Pengalaman kerja : Komisioner BWI

6. Tanggal pengisian kuesioner : 23 Mei 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 102: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

89

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v

Page 103: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

90

Lampiran Kuesioner

“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”

1. Nama Responden : Prof. Nurul Huda

2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia

3. Industri : Wakaf

4. Kualifikasi Pendidikan : S3

5. Pengalaman kerja : Komisioner BWI

6. Tanggal pengisian kuesioner : 23 Mei 2020

KRITERIA

No Aspek Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 SDM v

2 Regulasi v

3 Informasi Teknologi

(IT)

v

4 Syariah v

SUBKRITERIA

No Indikator Skala Numerik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

ASPEK SDM

1 Relatif rendahnya profesionalisme

nazhir

v

2 Lemahnya inovasi v

3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v

ASPEK REGULASI

1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu

penyempurnaan

v

2 Lemahnya sistem pengawasan dari

regulator

v

3 BWI yang masih merangkap

regulator/operator

v

ASPEK IT

1 Lemahnya teknologi informasi

lembaga wakaf

v

2 Belum Optimalnya sistem informasi

wakaf

v

3 Database wakaf belum

terkomputerisasi

v

ASPEK SYARIAH

1 Masih syafii‟-sentris v

2 Tidak adanya DPS pada lembaga

wakaf

v

3 Kurangnya ahli wakaf yang juga

profesional

v

STRATEGI

1 Pembentukan lembaga pendidikan,

sosialisasi dan edukasi wakaf

v

Page 104: MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),

91

2 Dukungan (support) regulasi dari

Pemerintah

v

3 Penguatan sistem informasi dan

teknologi wakaf

v

4 Penguatan tata kelola (Good nazhir

governance)

v