mirza nasution: tinjauan konstitusional terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/d0400044.pdfmirza...

27
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Upload: dodat

Post on 12-May-2018

229 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Page 2: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i

BAB I

A. Latar Belakang ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. 1

B. Letak Hukum Tata Negara dalam Klasifikasi Hukurn ... ... ... ... ... ... . 4

C. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..... 5

D. Pengertian Konstitusi . . . ... . . . . . . ... . .. .. . . . . .. . ... . . . . . . .. . . .. . ..6

BAB II

A. Pelaksanaan Pemilu Dalam Negara Demokrasi ... ... ... ... ... ... ... ... ... 7

B. Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...16

C. Keuntungan dan Kerugian Sistem Distrik ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...17

Daftar Pustaka ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ii

Page 3: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

BAB I

A. Latar Belakang

Konstitusi pada dasarnya adalah kerangka masyarakat politik yang diorganisir dengan

dan melalui hukum yang menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang

permanen, fungsi dari alat-alat perlengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

Karena itu konstitusi juga mengandung makna sebagai kumpulan asas-asas penyelenggaraan

kekuasaan secara luas, hak-hak dari yang diperintah dan hubungan antar keduanya.

Suatu negara bangsa (nation state) lahir dengan latar belakang sejarah tertentu. Di

dalamnya terdapat bukan saja berkaitan dengan eksistensinya sebagai sebuah bangsa-bangsa,

tetapi juga dengan mengandung dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara bangsa itu sendiri.

Dalam konteks transformasi politik yang terjadi di dunia, terutama pasca perang dunia ke

kedua, banyak negara bangsa lahir karena dorongan nasib bersama akibat penindasan

kolonialisme yang sangat eksploitatif yang dilakukan dalam skala yang sangat luas, massif

dan kolektif. Karena itu konstitusi negara-negara baru setelah kolonialisme selalu

mengandung satu rumusan yang secara komprehensif meliputi pernyataan kemerdekaan,

dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara. Seringkali konstitusi negara-negara baru tersebut

sangat diwarnai oleh kemauan untuk menegakkan hak kolektif, dalam bentuk lahirnya sebuah

negara bangsa.1

Karena itu seringkali, hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individual warganya

kurang memperoleh pengaturan secara terperinci. Harus diakui Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 memiliki ciri demikian. Sehingga harus dikatakan, bahwa

penyusunan konstitusi demikian sangat dapat dimengerti, karena fase perjalanan bangsa saat

itu, mengharuskan ada suatu pilihan prioritas yang mesti diambil. Walaupun

1International Idea, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia, Laporan Hasil Konferensi

Yang Diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober 2001, hal. 45-47

1

Page 4: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

demikian, secara sosiologis dan filosofis, keberadaan konstitusi yang terkait dengan

proklamasi, sesungguhnya telah meneguhkan dasar bagi adanya “kontrak sosial” yang ideal,

seperti tercermin dalam pembukaan konstitusi Indonesia. Apalagi UUD 1945 menyebutkan,

bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD ialah

hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping UUD itu berlaku juga hukum dasar yang

tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek

penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

Nisbah konstitusi dan proklamasi kemerdekaan adalah suatu keharusan pada saatnya.

Tetapi perkembangan sutu bangsa juga menghendaki tahapan transformasi yang

berkelanjutan. Proklamasi kemerdekaan adalah moment liberalisasi politis, di mana secara

kolektif suatu bangsa melepaskan diri dari struktur kolonialisme dan imperialisme. Pada

perkembangannya suatu bangsa mengalami dinamika internal yang menghendaki kelanjutan

kebebasan kolektif dalam bentuk kebebasan yang luas dari individu warga negara.

Selanjutnya adalah keterlibatan yang lebih efektif warga negara terhadap proses bernegara itu

sendiri. Suatu proses menuju demokrasi kebutuhan yang tak terelakkan. Untuk tahap ini

maka nisbah konstitusi dan proklamasi sudah dianggap tidak cukup. Konstitusi perlu dan

harus dinisbatkan juga dengan demokrasi.

Karena itu konstitusi juga harus dimaknai sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi

warga negara. Dengan menggabungkan nisbat konstitusi, proklamasi dan demokrasi,

seringkali konstitusi diberikan pengertian dan batasan-batasan sebagai: pertama, seperangkat

norma yang mengandung dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara; kedua, seperangkat

peraturan yang mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara; ketiga,

seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara;

dan keempat, seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi

manusia kepada para warga negara dan penduduk negara.

2

Page 5: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Demokrasi dengan pemikiran di atas menjadi salah satu pilar dalam suatu konstitusi

yang ideal. Di sini disebutkan bahwa demokrasi hanyalah pilar utama atau benang merah

suatu konstitusi. Hal ini menegaskan bahwa demokrasi yang akan dikembangkan dalam

konteks suatu negara itu sendiri yang meliputi dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara.

Karena itu, demokrasi dalam pengaturan suatu konstitusi tetap diletakkan dalam keseluruhan

sistem konstitusionalisme. Demokrasi berkesinambungan akan sangat ditentukan

keberadaannya bila konstitusi secara sistematik mengandung hal-hal sebagai berikut:

1. Jaminan adanya pembagian fungsi lembaga-lembaga kenegaraan, sehingga terwujud

Checks and Balances.

2. Jaminan berfungsinya lembaga-lembaga mayarakat, sehingga terbangun suatu Civil

Society, sebagai basis tewujudnya demokrasi partisipatoris.

3. Adanya jaminan penghargaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk

negara, sehingga dengan demikian entitas kolektif, tidak dengan sendirinya

menghilangkan hak-hak dasar orang per orang.

4. Adanya jaminan atas pluralisme sosial di tengah masyarakat. Dalam hal ini hak-hak

minoritas terlindungi dari hegemoni mayoritas.

5. Adanya jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah.

6. Adanya jaminan atas prakarsa daerah untuk mengembangkan diri. Itu berarti otonomi

daerah harus diberikan seluas-luasnya sehingga memberikan keadilan politik, ekonomi

dan kultural.

7. Adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum

yang bebas.

8. Adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang

independen.

9. Adanya jaminan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat.

3

Page 6: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang sampai hari ini sudah mengalami

perubahan keempat, pada perubahan-perubahan berikutnya harus dapat mengakomodir

hal-hal tersebut di atas. Diharapkan, dengan demikian, konstitusi Indonesia ke depan dapat

memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi yang dicita-citakan.

Setiap peraturan hukum yang berlaku pada hakikatnya mengandung asas-asas tertentu.

Asas-asas itu berakar di dalam masyarakat dan selama masyarakat masih menerimanya, maka

peraturan hukum itu tetap dipertahankan. Demikian pula halnya dengan Hukum Tata Negara

positif, yang berlaku karena mencerminkan asas-asas tertentu yang hidup di dalam

masyarakat .

Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia belum menyelidiki secara mendalam

kaidah-kaidah Hukum Tata Negara positif, walaupun di sana-sini secara sepintas lalu akan

disinggung. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia hanya akan membahas asas-asas dan

pengertian-pengertian dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Indonesia.

B. Letak Hukum Tata Negara Dalam Klasifikasi Hukum

Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan “hukum” adalah rangkaian

peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat.

Peraturan-peraturan hukum ini tidak hanya mengatur hubungan antara dua atau lebih

orang-orang perseorangan, melainkan juga antara seorang oknum di satu pihak dan

sekelompok orang atau sebuah badan hukum di lain pihak.2

Dengan dikaitkannya perkataan “negara” dalam hukum tata negara, ada pendapat yang

menyimpulkan bahwa hukum tata negara itu adalah hukum yang pokok pangkalnya “negara”.

Sesungguhnya, perbedaan hukum tata

2 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,1985,

hal. 13-14

4

Page 7: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

negara dari lain-lain hukum ialah didasarkan pada materi yang diatur oleh hukum tata negara.

Tetapi apakah materi yang diatur oleh hukum tata negara? Penjelasan hal tersebut akan dapat

ditemukan melalui beberapa pandangan sarjana-sarjana hukum tata negara terkemuka.

Pandangan para sarjana tersebut cenderung berbeda satu sama lain, hal ini disebabkan oleh

adanya perbedaan dalam titik berat anggapan, pengaruh lingkungan serta pandangan hidup

masing-masing

Logemann, merumuskan : Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi

negara3

Wolhoff : Hukum Tata Negara adalah norma-norma hukum yang mengatur bentuk negara

dan organisasi pemerintahannya, susunan dan hak-kewajiban organ-organ

pemerintahan

Kusumadi Pudjosewojo : Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara

(kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang

menunjukkan masyarakat-masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan

beserta tingkatan imbangannya (hierarchie) yang selanjutnya menegaskan wilayah

dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya

menunjukkan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasan penguasa) dari

masyarakat-masyarakat hukum itu beserta susunan (terdiri dari seorang atau

sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat-alat

perlengkapan itu.4

C. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi

Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses

sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji.

3 Logemann, Over de theorie van een stellig staatsrecht, terjemahan Makkatutu, S.H., Ichtiar Baru-Van Hoeve,

Jakarta, hlm. 106-107 4 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1976, hlm. 82

5

Page 8: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh

hukum,yaitu sejak zaman sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan

hukum (semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M.). Athena

pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil

terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.5

D. Pengertian Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk.

Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau

menyusun dan menyatakan suatu negara.6

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai

istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.7

5 Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Jazim Hamidi, S.H. M.Hum, Ni’matul Huda, S.H., M. Hum, Teori Hukum dan

Konstitusi, Jakarta, RajaGrafindo, 1999, hlm. 1 6 Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10 7 Sri Soemantri M., Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam

Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29, juga periksa dalam Miriam Budiardjo,

Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm.95

6

Page 9: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

BAB II

A. Pelaksanaan Pemilu Dalam Negara Demokrasi

Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merupakan unsur yang harus ada dalam

pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di negara demokrasi dapat dipandang sebagai

awal dari paradigma demokrasi. Di samping unsur pemilihan umum, di negara demokrasi

juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Oleh karena itu jika pemilihan dapat

dipandang sebagai awal maka pertanggungjawaban kekuasaan harus dapat dipandang

sebagai akhir paradigma demokrasi.8 Pada akhir perjalanan demokrasi di setiap negara yang

pemerintahannya berbentuk republik, Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban

kekuasaan. Hubungan antara rakyat dengan Presiden pada saat pelantikan Presiden oleh

MPR dapat dipandang sebagai penerimaan perjanjian oleh Presiden untuk melaksanakan

pemerintahan demi kepentingan rakyat.9

Salah satu prinsip yang ada dalam pemerintahan modern adalah adanya

pertanggungjawaban. Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung

jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh

dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus

dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian pertanggungjawaban merupakan

syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi. Di negara demokrasi tidak

satupun

8 Dikutip dari Soewoto, Kekuasaan dan Tanggung jawab Presiden Republik Indonesia (Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan), (Disertasi: Universitas Airlangga), Surabaya, 1990, halaman.148 9 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981, halaman 42-43. Menurut Rousseau pada waktu kelahirannya tiap manusia sungguh-sungguh merdeka (tout homme est libre). Tetapi agar kepentingan dan hak-haknya terjamin, tiap-tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasannya kepada suatu organisasi yang diadakannya bersama-sama dngan orang lain yang disebut dengan “Negara”. Terhadap organisasi tersebut diserahkan kemerdekaan/alamiahnya dan di bawah organisasi itu manusia mendapat kembali kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas lingkungan undang-undang (status civilis). Pada hakikatnya yang berdaulat ialah rakyat sedangkan pemerintah hanya menjadi wakilnya saja. Apabila pemerintah tidak menjalankan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat maka pemerintah itu harus diganti, kedaulatan rakyat berdasarkan kehendak umum (volonte generale), dari hal tersebut Jean Jacques Rousseau terkenal dengan nama teori kedaulatan rakyat.

7

Page 10: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

kekuasaan yang tidak perlu pertanggungjawaban. Doktrin ini hanya berlaku untuk kekuasaan

dalam arti real power yang dilaksanakan oleh Presiden selaku kepala eksekutif. Kekuasaan

Kepala Negara yang not a real power tidak perlu dipertanggungjawabkan. Presiden yang

bertanggung jawab dalam negara republik secara politis mempertanggungjawabkan

kekuasaannya kepada pemilik kedaulatan.10

Menurut penjelasan UUD 1945 Presiden di Indonesia tunduk clan bertanggung jawab

kepada MPR. Dengan demikian , secara formal MPR setiap saat dapat bersidang meminta

pertanggungjawaban Presiden. Bila konsep ini dijalankan, setiap saat Presiden dapat

diberhentikan tetapi hal ini tidak menjamin kestabilan pemerintahan.

Dalam asas-asas umum perundang-undangan yang baik, dipersyaratkan bahwa setiap

produk perundang-undangan harus didasarkan atas alasan yang sah. Putusan penghentian

Presiden oleh MPR harus pula didasarkan atas alasan yang sah, tidak mengurangi kekuatan

berlaku TAP MPR, sepanjang TAP MPR tersebut belum dicabut. Pada sistem

perundang-undangn tidak dikenal putusan batal demi hukum (nietig van rechtwege) tanpa

melalui proses pencabutan.

Dalam TAP. MPR NO.VIII/MPR/2000 Tentang Laporan Tahunan Lembaga Tinggi

Negara pada sidang tahunan MPR 2000, Presiden mendapatkan penugasan, antara lain: di

bidang politik dan keamanan Presiden diminta perhatian yang sungguh-sungguh dan bersikap

tegas terhadap gerakan separatisme yang mengancam keutuhan Indonesia. Di bidang

ekonomi, Presiden diharapkan segera mempercepat penyehatan perbankan, membantu Bank

Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar rupiah, mempercepat program penyelesaian utang

dalam valuta asing perusahaan swasta nasional dan BUMN. Di bidang investasi, Presiden

ditugaskan menciptakan stabilitas politik dan keamanan, menjamin kepastian hukum dan

memperbaharui Undang-Undang Penanaman

10 Lihat Bonny dan Novan, penolakan pertanggungiawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR, Majalah Hukum

dan kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991, hal.1

8

Page 11: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Modal. Di bidang ekonomi kerakyatan, Presiden diminta menyediakan kredit program dalam

jumlah yang memadai untuk pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Di bidang hukum dan

HAM Presiden diminta sungguh-sungguh melaksnakan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Di bidang manajemen

pemerintahan, Presiden diminta memberikan tugas kepada Wakil Presiden melalui Keputusan

Presiden sesuai dengan pernyataan presiden yang disampaikan pada pidato jawaban terhadap

pemandangan umum fraksi-fraksi MPR di hadapan Sidang Tahunan MPR tanggal 9 Agustus

2000. Penugasan MPR sebagai tindak lanjut dari hasil pembahasan laporan tahunan Presiden,

merupakan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR dan harus dilaksanakan oleh Presiden.

Oleh sebab itu, haluan negara yang ditetapkan oleh MPR ini menjadi sebagian tolok ukur

keberhasilan Presiden. Ukuran menggunakan pelanggaran terhadap pelaksanaan haluan

negara sebenarnya sangat mudah didakwakan kepada Presiden atas permintaan DPR. Melalui

memorandum pertama, Presiden telah dipersalahkan tidak melaksanakan TAR MPR

No.XI/MPR/1998. Oleh karena itu Sidang Umum (SI) yang diselenggarakan sebagai tindak

lanjut dari memorandum kedua, dapat dibenarkan sebatas materi pertanggungjawaban atas

pelaksanaan TAP. MPR No. XI/MPR/1998.

Penyelenggaraan Sidang Umum (SI) dengan agenda pertanggungjawaban Presiden

melalui mekanisme yang diatur dalam TAP. MPR No.III/MPR/1978 tidak dapat dipercepat.

Sidang Istimewa MPR yang dipercepat hanya dapat dilaksanakan di luar jalur TAP MPR

No.III/MPR/1978 sehingga pelaksanaan harus langsung didasarkan UUD 1945. Di samping

itu, mated pertanggungjawaban harus di luar materi pelaksanaan TAP. MPR

No.XI/MPR/1998. Dalam hal terjadi Sidang Umum (SI) yang dipercepat, Presiden sangat

beralasan meminta MPR

9

Page 12: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

agar diberikan kesempatan untuk melaksanakan penugasan tersebut sampai habis masa

jabatannya.11

Apabila direnungkan secara mendalam, ukuran pelanggaran haluan negara dipahami

sebagai “Tidak dilaksanakannya atau belum dilaksanakannya” haluan negara yang ditugaskan

oleh MPR dan otoritas menentukan pelanggaran itu pada MPR atas prakarsa DPR maka

dengan mudah tanpa alasan hukum yang sah kekuatan suara mayoritas dapat menjatuhkan

Presiden dalam masa jabatannya. Apalagi dari sudut kelembagaan MPR adalah sebuah

lembaga kolektif dan komposit sedangkan lembaga kepresidenan adalah sebuah lembaga yang

dipimpin dan ditanggungjawabi satu orang yang dibantu oleh Wakil Presiden dan

pembantu-pembantu Presiden (cabinet), yang apabila dibahas secara logika manusia lebih.

Saat ini sedang berlangsung perdebatan aktif mudah untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden

karena sangat memungkinkan dalam memberikan suatu dukungan atau tidak terhadap

kebijaksanaan yang dijalankan oleh Presiden apalagi jika tidak didasarkan kepada suatu

alasan yang sah.

Di Indonesia peranan eksekutif dan legislatif dapat dilihat melalui apa yang

sesungguhnya menjadi kekuasaan, otoritas, tanggung jawab dan pertanggungjawaban

masing-masing lembaga tersebut. Di Indonesia, Presiden adalah Kepala Pemerintahan selain

juga Kepala Negara. Namun Presiden berada di bawah MPR. Dengan perkataan lain Presiden

adalah administrator negara tertinggi setelah MPR. Dengan demikian Presiden mempunyai

dua pertanggungjawaban baik kepada MPR maupun kepada konstitusi apakah pemilihan

langsung harus diterapkan untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden.

Diskusi semacam itu akan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap hubungan

Presiden dengan MPR. Jika langkah-langkah seperti ini diterapkan, fokusnya tidak hanya

pada proses pemilihan tetapi juga pada revisi kekuasaan dan status konstitusi dari

kepresidenan tersebut.

11 Harian Kompas, 14 Oktober 1999

10

Page 13: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Dalam konteks saat ini MPR yang menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Oleh karena itu presiden tidak mempunyai peranan dalam membuat kerangka GBHN ini,

maka ia mendapat tugas untuk menerapkan kebijakan tersebut sesuai dengan GBHN tersebut.

Hal ini berbeda dari sistem presidensial yang melakukan impeachment hanya bila terjadi

pelanggaran terhadap konstitusi, sumpah jabatan atau melakukan tindak kejahatan, MPR

dapat memberhentikan Presiden di tengah masa baktinya kalau terbukti melanggar kebijakan

nasional. Kedudukan konstitusional Presiden akan sangat terganggu walaupun prosesnya

dipertimbangkan secara lebih matang dan lebih berhati-hati daripada mosi tak percaya yang

bias menurunkan seorang Perdana Menteri.12

Dalam hal tersebut MPR adalah lembaga tertinggi yang menjalankan kedaulatan

rakyat. Kejadian akhir-akhir ini yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid

telah menegaskan hal ini dan memunculkan pertanyaan yang patut direnungkan apakah

Presiden-Presiden berikutnya akan dijatuhkan dengan cara serupa?

Dalam proses peninjauan konstitusi, Indonesia yang harus merevisi apakah MPR

sebagaimana yang ditetapkan sebagai lembaga yang melaksanakan tugas-tugas badan

tertinggi menetapkan GBHN yang selama ini ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara

yang menunjukkan adanya superioritas lembaga negara di negeri ini. Sehingga dalam

menjalankan sistem pemerintahannya Indonesia berada di antara sistem presidensial dan

parlementer dan garis tanggung jawab serta pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.

Dalam hal ini dapat muncul problem dalam kerangka sistem pemilu yaitu:

12 National Democratic Institute, On Presidential Constitution, Provisions Regarding The Presidency and The

Roles Of Heads Of State and Head Of Government (May 2001). Dikutip dari laporan hasil konferensi yang

berjudul “Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia” yang diadakan di Jakarta, pada

bulan Oktober 2001, International Idea, hal.103-104

11

Page 14: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

1. Mengapa masalah peranggungjawaban Presiden cenderung untuk dijadikan sarana

menjatuhkan Presiden dari jabatannya yang berakhir dengan pemberhentian Presiden?

2. Apakah layak secara hukum tindakan pemberhentian Presiden sebelum berakhir masa

jabatan berdasarkan nilai keadilan?

3. Faktor-faktor apa yang menjadi parameter penilaian pertanggungjawaban Presiden

dalam menjalankan kekuasaannya?

Pentingnya sistem petanggungjawaban Presiden dalam sebuah negara yang berbentuk

republik didasarkan kepada beberapa teori yang saling berkaitan.

Teori kedaulatan rakyat timbul sebagai reaksi dari kedaulatannya yang diprakarsai

oleh Jean Jacques Rousseau yang mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (Du

Contract Social) maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada

rakyat seluruhnya, yaitu natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai “Civil

Liberty”. 13

Sehingga kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat yang diselenggarakan dengan melalui

perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (volonte generale). Di Indonesia kedaulatan ini

tecermin dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan “Kedaulatan adalah di tangan

rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sesuai dengan

ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang

Dasarnya menganut faham kedaulatan rakyat.

Istilah kedaulatan dalam rangkaian kata kedaulatan rakyat adalah padanan kata istilah

Inggris “Souvereignity”. Sri Soemantri membagi aspek-aspek kedaulatan itu menjadi dua

macam aspek, yaitu: pertama,

13 Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996, hal.161. Dihimpun oleh T. Amir

Hamzah, S.H. dkk.

12

Page 15: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar (The Legal and The Political Souvereinity).14

Jika kedaulatan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dihubungkan dengan berbagai macam

aspek seperti dikemukakan di atas sehingga sampai kepada kesimpulan yaitu masalah yaitu

masalah di atas menyangkut ke dalam. Dengan demikian hal itu berarti kekuasaan MPR

sebagai “Body of person in the state over individuals or associations of individuals with in the

area of its jurisdiction”. 15

Berdasarkan ajaran teori kedaulatan rakyat yang mendasarkan diri kepada kemauan

rakyat dapat dihubungkan dengan ajaran demokrasi yang menggambarkan sebagai “The

government from the people, by the people, for the people”. Ajaran ini secara essensial

mengandung arti bahwa pemerintahan dimiliki dan dijalankan sendiri oleh rakyat (Rakyat

memerintah dari mereka sendiri). Menurut Bagir Manan pemerintahan demokrasi merupakan

pemerintahan yang paling mendekati fitrah manusia sebagai makhluk yang lahir dalam

kebebasan dan persamaan. Dalam lembaga rakyat mengatur dan mengurus diri mereka

sendiri. Pemerintahan semacam ini akan menjamin beriangsungnya kehidupan secara

tenteram dan damai, karena rakyat yang diperintah tidak mungkin mengganggu,

memberontak atau merebut kekuasaan terhadap aturan yang ditentukan dan dilaksanakan

sesuai dengan keamanan yang bertanggung jawab kepada rakyat tanpa melihat apakah itu

kerajaan atau republik.16

Teori yang berhubungan dengan ajaran kedaulatan rakyat tersebut sehubungan dengan

perkembangan kehidupan kenegaraan adalah ajaran pemisahan kekuasaan (saparation of

powers). Ajaran pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk membatasi

kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam

14 Bandingkan dengan tulisan James Bryce dalam bukunya “Studies in History and Jurisprudence”, two

volumes, vol.1, 1901, hal 51-73, membedakan antara “Legal Souvereignty” (De Jure) dan “Practical

Souvereignty” (De Facto). 15 Lihat rumusan C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960, hal.146 16 Bandingkan dengan Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976

13

Page 16: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan

tersebut dapat dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akan menimbulkan

penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang.17

Hal senada juga dapat dilihat dari pendapat Prof. Soepomo yang menyatakan kekuasaan

dan tanggung jawab terpusat kepada Presiden dan Presidenlah penjelmaan dari kedaulatan

rakyat.

Perbedaan pandangan terhadap perilaku Presiden dan lembaga kepresidenan dapatlah

dipandang sebagai hal yang menentang kedaulatan rakyat. Di sinilah tampaknya jelas dalam

struktur ketatanegaraan yang berlaku, lembaga kepresidenan menjadi kekuasaan yang absolut.

Oleh karena belum bakunya sistem pertanggungjawaban Presiden secara konstitusional

di Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementerkah atau presidensialkah? Hal ini

mungkin disebabkan belum diaturnya ketentuan tersebut secara konstitusional sebagaimana

dinyatakan Prof. Harun Alrasid, nyatalah bahwa mengenai persoalan apakah dasar

konstitusional dari pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, jawabnya adalah tidak ada.

Yang ada adalah dasar ekstra konstitusional.18 Jika dasar hukum konstitusional akan

dicari-cari dan hal ini biasanya merupakan kegemaran para yuris (ahli hukum), tentu saja

bisa, yaitu dengan menyandarkan diri pada ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 6 ayat (2)

UUD 1945.

Perbandingan hukum dipakai karena akan membandingkan latar belakang dan fungsi

lembaga eksekutif yang berlaku di Indonesia dalam hal pertanggungjawaban Presiden dengan

fungsi lembaga eksekutif dalam melaksanakan pertanggungjawaban di Amerika Serikat. Oleh

karena menurut pasal 4 UUD 1945 memegang kekuasaan pemerintahan maka hal ini

mengandung arti bahwa pejabat tersebut adalah

17 Bagir Manan, Op.Cit, ha1.9 18 Harun Alrasid, Hubungan Antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968, hal.10

14

Page 17: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

pemerintah. Tertebih lagi apabila hal itu dihubungkan dengan ketentuan pasal 17 UUD 1945,

yang mengatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Seperti

telah diutarakan di muka dengan mengadakan tinjauan perbandingan dengan Hukum Tata

Negara Amerika Serikat, dapat dikatakan bahwa menteri-menteri itu bukanlah merupakan

subjek terhadap kehendak dari DPR dan MPR.

Dengan kata lain, kekuasaan eksekutif di Indonesia seperti halnya yang berlaku di

Amerika Serikat dipegang oleh seorang pejabat saja yang menjalankan tugasnya untuk waktu

yang telah ditentukan19 yakni lima tahun. Dengan mempergunakan ciri-ciri sistem

pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial C.F. Strong, maka dapat

dikatakan bahwa sistem yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Indonesia itu

mengandung segi-segi parlementer berdasarkan pola Inggris dan segi-segi presidensial

berdasarkan pola Amerika Serikat.20 Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR

menimbulkan pendapat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjalankan sistem

pemerintahan campuran antara sistem parlementer dan presidensial.

Pertanggungjawaban presiden kepada MPR dipandang sebagai aspek parlementer

karena dianggap serupa dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen (Badan

Perwakilan Rakyat).Tidak dapat disangkal, MPR adalah badan Perwakilan Rakyat. Tetapi,

tidak dapat langsung disimpulkan bahwa karena bertanggung jawab kepada MPR sebagai

Badan Perwakilan Rakyat, maka dianggap terdapat segi parlementer. Dalam sistem

parlementer Pemerintah

19 Bandingkan dengan makalah T.A. Legowo yang berjudul “Paradigma Checks and Balances Dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif pada laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, Oktober, 2001 oleh International Idea. Dalam sistem presidensial, sejalan dengan gagasan pemisahan kekuasaan, presiden dan anggota-anggota badan legislative dipilih secara terpisah untuk masa jabatan tertentu. Presiden tidak mempunyai wewenang untuk memecat anggota legislatif Pemecatan dini baik anggota legislative maupun Presiden hanya dapat dilakukan melalui pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi khusus. Dalam kondisi normal, bahkan jika partai politik Presiden merpakan minoritas di badan legislatif, Presiden tetap akan berada dalam posisinya hingga akhir masa jabatan yang telah ditentukan dalam pemilihan umum. Tetapi pada umumnya sistem presidensial, masa jabatan presiden dibatasi untuk beberapa kali saja, karena faktor historis maupun untuk mencegah kelanggengan kekuasaan seorang Presiden yang terlalu kuat. 20 Sri Soemantri M, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hal.94-95

15

Page 18: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

mempertanggungjawabkan segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan.

Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan suatu pelanggaran tetapi berkaitan dengan

kebijakan (beleid). Berbeda dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang terbatas

kepada pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap haluan negara dan atau Undang-Undang dasar

sedangkan mengenai kebijakan (beleid) tidak dapat menjadi dasar meminta

pertanggungjawaban. Dari sifat pertanggungjawaban ini, pertanggungjawaban Presiden

kepada MPR lebih mendekati pranata impeachment daripada pertanggungjawaban

parlementer. Apa dasar pembatasannya UUD 1945 tidak memuat pembatasan

pertanggungjawaban? Pada bagian lain telah diuraikan bahwa sistem UUD 1945

menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Karena itu dipilih suatu sistem

pemerintahan (Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif riil) dan tidak betanggung jawab

kepada DPR tetapi kepada MPR. Untuk menjamin stabititas pemerintahan ini harus ada

mekanisme pembatasan sistem pertanggungjawaban Presiden. Apabila pertanggungjawaban

presiden kepada MPR serupa dengan pertanggungjawaban kabinet parlementer ini

dikhawatirkan akan mengganggu tujuan membentuk pemerintahan yang stabil. Karena itu,

sangat wajar apabila pertanggungjawaban Presiden kepada MPR dibatasi, yaitu mengenai

pelanggaran tertentu, dalam hal ini pelanggaran haluan negara dan atau UUD 1945.21

B. Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan Umum Indonesia dalam tahun 1999 dilaksanakan menurut sistem pemilihan

yang benar-benar unik di dunia. Pemilihan anggota-anggota legislatif dilaksanakan menurut

bentuk representasi proporsional menurut daftar kepartaian yang menjamin bahwa partai-

21 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Iskam Indonesia dengan Gama

Media, Yogyakarta, 1999. hal 1

16

Page 19: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

partai diwakili dalam proporsi yang cukup memadai dengan perolehan suara mereka.

Walaupun demikian, cara pengalokasian calon-calon individual untuk mewakili

distrik-disrik tertentu merupakan sumber kebingungan yang sangat besar dan tidak dapat

dikatakan telah berjalan dengan efektif. Tentu saja tidak ada pemilihan umum untuk posisi

yang paling berkuasa di Indonesia, yaitu posisi Presiden.

C. Keuntungan dan Kerugian Sistem Distrik

Sistem distrik digunakan secara luas di negara-negara seperti Indonesia, yakni

negara-negara yang luas dan mempunyai banyak daerah (propinsi dan kabupaten/kota).

Sistem ini digunakan oleh hampir sepuluh negara demokrasi yang telah mapan dan yang

terbesar di dunia dalam hal ukuran geografis maupun jumlah penduduk sebagai contoh:

Perancis, Amerika Serikat, India, Kanada, Australia, dll. Alasannya cukup sederhana, di

negara-negara yang luas dengan daerah-daerah geografi yang berbeda-beda. Perbedaan dan

keragaman harus diwakili di legislatif dengan menggunakan unit-unit wilayah sebagai dasar

untuk memilih anggota-anggota dewan.

Salah satu akibat diberikannya perwakilan distrik yang lebih besar biasanya adalah

untuk meningkatkan akuntabilitas pemilihan yaitu: akuntabilitas anggota-anggota individual

dewan terhadap daerah pemilihan mereka. Secara global dan internasional, sejumlah negara

yang luas dengan wilayah yang beragam dan yang menggunakan representasi proporsional

sedang juga mempertimbangkan perubahan ke sistem yang berdasarkan distrik dengan

maksud untuk mencapai akuntabilitas geografi yang lebih besar antara politisi dan daerah

pemilihan dan juga untuk membuat politisi lebih responsif terhadap pemilih mereka.

Menurut penelitian, politisi yang dipilih dari distrik-distrik yang secara geografis kecil

ukurannya lebih responsive dan lebih

17

Page 20: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

bertanggung jawab terhadap daerah pemilihan daripada mereka yang dipilih berdasarkan

daftar kepartaian yang luas. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras karena mereka yang

berasal dari kursi yang paling marjinal. Mereka inilah yang sadar benar bahwa setiap suara

akan sangat berarti dalam pemilihan umum berikutnya dan oleh karena itu mereka sangat

menekankan usaha melayani keperluan distrik.

Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik adalah layanan terhadap konstituen,

dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama untuk mewakili distrik

yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk serta melayani distrik tersebut.

Mayoritas negara-negara berkembang, misalnya layanan lokal sangat diperlukan untuk jalan

raya, pemeliharaan kesehatan dan sebagainya.

Oleh sebab itu muncul argumentasi yang mengatakan bahwa seorang anggota dewan

yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada seseorang yang kesetiaan

utamanya diberikan kepada partainya sendiri, suatu hal yang sering terjadi dalam sistem

representatif proporsional.

Problem yang akan muncul ketika sistem distrik diperkenalkan kepada masyarakat

adalah: sistem apa yang akan digunakan untu menghitung suara bagi kursi daerah? Ada

beberapa alternatif, alternatif yang paling mudah tetapi juga paling buruk adalah pluralitas

atau kompetisi untuk bisa memenangkan suara terbanyak dalam suatu distrik. Mereka yang

memenangkan suara terbanyaklah yang akan terpilih. Pilihan ini ialah pilihan terburuk sebab

dengan demikian seorang calon akan dapat dengan mudah terpilih walaupun ia

mengumpulkan suara lebih sedikit dari mayoritas. Sebagai contoh terdapat sepuluh orang

calon yang mengumpulkan jumlah suara yang kurang lebih sama. Dalam hal ini

pemenangnya adalah calon yang memenangkan sedikit lebih dari 10 persen suara.

Kemungkinan orang ini orang yang tidak populer.

18

Page 21: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Oleh karena itu, sejumlah negara yang menggunakan sistem distrik membuat peraturan

yang menjamin bahwa calon-calon yang menang harus menerima suara mayoritas absolut,

lebih dari 50 persen dari suara agar dapat terpilih. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa

cara tetapi kesemuanya agak merumitkan proses pemberian suara. Pertama-tama, harus

dilaksanakan pemilihan aduan seminggu atau lebih sesudah pemilihan pertama. Dalam

pemilihan ini biasanya dua calon utama yang berasal dari pemilihan pertama beradu satu

sama lain secara langsung dan pemenangnya akan dipilih. Teapi hal ini menimbulkan

kesulitan besar dalam hal administrasi dan biaya karena pada dasarnya dalam banyak kasus

yang terjadi diperlukan pemilihan umum yang kedua. Di sebagian negara-negara di dunia

dilaksanakan system “aduan segera”. Dalam hal ini kepada pemilih akan ditanyakan siapa

pilihan calon mereka yang kedua atau ketiga seandainya pilihan pertama mereka gagal untuk

terpilih. Suara preferensi ini menjadi urgen jika tidak terdapat calon yang memenangkan

suara mayoritas karena dengan demikian calon yang paling popular secara keseluruhan dapat

diputuskan.

Variabel penting lainnya dalam sistem distrik adalah keputusan mengenai bagaimana

distrik akan dialokasikan dan bagaimana batas-batas distrik ditentukan. Sebuah distrik terdiri

dari sejumlah unit pemerintahan seperti kabupaten. Sebagian dari unit ini mungkin memiliki

lebih banyak penduduk dari yang lainnya. Oleh sebab itu ada kebanyakan negara terdapat

peraturan bahwa batas-Batas distrik-distrik ini harus secara teratur disesuaikan sehingga akan

selalu terdapat bagian penduduk yang kurang lebih setara di setiap distrik. Dengan cara

seperti ini jelaslah bahwa sejumlah distrik dengan jumlah penduduk sedikit tidak mempunyai

otoritas yang sama dengan distrik-distrik yang mempunyai jumlah penduduk yang lebih

besar. Sebaliknya pula seluruh distrik mempunyai jumlah orang yang sama dalam batas yang

telah didefinisikan secara hukum, biasanya lebih kurang 10 %. Dengan

19

Page 22: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

demikian, hal ini berarti bahwa batasan-batasan harus selalu dibuat lagi dan disesuaikan.

Proses ini rumit dan diperkirakan menelan banyak biaya. Oleh sebab itu dalam beberapa hal,

dapat disetujui adanya disparitas dalam ukuran distrik yang berbeda-beda. Dengan cara ini

sejumlah negara secara sadar mengijinkan perwakilan yang berlebihan terhadap

daerah-daerah yang penduduknya kurang, terletak jauh atau berada di daerah perbatasan.

Semua variabel ini mengacu kepada asumsi bahwa memecah-memecah pemilihan dan

perwakilan menjadi ratusan daerah pemilihan yang kecil-kecil merupakan hal yang baik

untuk sebuah demokrasi. Walaupun demikian, sistem distrik ini jugs menimbulkan masalah

(problem). Oleh karena pemilihan umum secara nasional dipecah-pecah menjadi ratusan

lokal yang kecil-kecil, kecendrungannya mereka dapat menghukum partai-partai yang

mendapatkan dukungan nasional untuk gerakan yang berbasis daerah. Dampaknya adalah,

akan terdapat hasil keseluruhan yang tidak adil oleh karena sejumlah partai mungkin bisa

memenangkan sejumlah kursi dalam pemilihan nasional namum mereka hampir tidak

mungkin menang dalam tingkat-tingkat daerah. Lazimnya, pemilihan seperti itu lebih

memberikan kesempatan kepada partai-partai dengan kekuatan lokal yang paling kuat dan

memberikan hukuman kepada partai-partai yang lebih kecil. Oleh karena itu banyak pakar

dan sarjana yang menganalisis pelaksanaan pemilu merekomendasikan bahwa sistem yang

berdasarkan distrik harus dimodifikasi supaya dalam sistem itu termasuk pula sejumlah kursi

yang diperoleh secara perwakilan proporsional pada tingkat nasional.

Pada akhirnya partai-partai yang tidak memenangkan banyak kursi menurut distrik

akan dapat memperoleh perwakilan di dewan. Salah satu argumentasi yang menerima

pendekatan ini adalah bahwa sistem campuran ini mengkombinasikan sistem distrik dan

proporsional. Oleh sebab itu, sejumlah negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan

Thailand telah memilih sistem ini dalam akhir-akhir ini.

20

Page 23: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

Dalam sistem pemilihan gabungan pilihan-pilihan apa saja yang tersedia? Sistem

gabungan ini mempergunakan baik daftar partai untuk perwakilan proporsional maupun

distrik-distrik “yang menang penuh” untuk menjamin bahwa masalah-masalah perwakilan

geografi dan perwakilan proporsional minoritas dapat ditanggulangi. Dalam kenyataannya

system gabungan ini memberikan kepada si pemilik pilihan distrik dan pilihan partai pada

tingkat nasional oleh karena system ini memberikan dua kertas suara yang berbeda. Hal ini

berarti partai-partai minoritas yang kecil dan yang gagal dalam pemilihan distrik masih juga

dapat memenangkan kursi menurut alokasi proporsional bagi mereka hal tersebut merupakan

hadiah dari suara yang dikumpulkan.

Tetapi ada satu kelemahan dari jumlah pilihan yang lebih besar adalah hal ini bisa

menciptakan dua kelompok anggota dewan. Satu kelompok akan berterima kasih pada daerah

pemilihan mereka dan karena itu siap melakukan sesuatu untuk distrik mereka. Sedangkan

kelompok kedua adalah mereka yang dipilih dari daftar kepartaian. Kelompok ini akan

berterima kasih kepada pemimpin-pemimpin partai mereka dan tidak mempunyai ikatan

formal dengan pemilih mereka. Sehubungan dengan kelemahan ini kegagalan system

gabungan untuk menjamin adanya proporsionalitas yang menyeluruh berarti bahwa sejumlah

partai mungkin masih tidak bisa terwakili walaupun bisa memenangkan kursi dalam jumlah

yang cukup besar. Sistem gabungan ini dapat juga secara relatif bersifat kompleks, terutama

jika diperlukan dua suara dan dapat juga membingungkan para pemilih mengenai sifat dan

operasi sistem pemilihan.

Sistem gabungan telah diperkenalkan di beberapa negara demokrasi baru dalam sepuluh

tahun terakhir. Sistem ini menunjukkan ciri khusus rancangan sistem pemilihan di Asia.

Hal-hal penting yang harus diputuskan ketika sistem gabungan22 diperkenalkan adalah :

22 International Idea, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia,

Laporan Hasil Konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober, 2001, hal. 253-258

21

Page 24: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

1. Bagaimanakah keseimbangan antara kursi-kursi yang berasal dari pemilihan di

distrik-distrik beranggota tunggal dan kursi-kursi yang berasal dari pemilihan

berdasarkan daftar kepartaian? Pada beberapa negara, ada yang jumlah anggota-anggota

legislatif yang berasal dari pemilihan distrik yang lebih besar daripada mereka yang

berasal dari partai sedangkan dalam sejumlah negara lainnya hampir terdapat

keseimbangan yang sempurna. Dalam sejumlah kecil negara lainnya sebaliknya terdapat

jumlah anggota legislatif dari partai yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari

pemilihan distrik. Pada kenyataanya, negara-negara yang terdapat di kawasan Asia dan

Pasifik yang menggunakan sistem gabungan misalnya Jepang, Taiwan, Filipina dan

Thailand jumlah anggota legislatif dari distrik lebih banyak daripada yang berasal dari

partai. Misalnya di Filipina 80 persen dari kursi yang tersedia diperebutkan dalam

pemilihan berdasarkan pluralitas di distrik-distrik. Sisanya, 20 persen berasal dari

pemilihan berdasarkan perwakilan proporsional dari partai-partai. Masalah yang sangat

penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan adalah:

2. Apakah suara yang berdasarkan kepartaian digunakan untuk menciptakan keseimbangan

bagi hasil yang tidak proporsional yang berasal dari pemilihan distrik? Masalah ini sangat

penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan. Dalam sejumlah negara

misalnya Selandia Baru dan Jerman, kursi-kursi yang berasal dari partai dialokasikan

sedemikian rupa untuk menjamin adanya hasil menyeluruh pemilihan yang sepenuhnya

proporsional.Dengan kata lain, jika sebuah partai memenangkan 40 persen suara tetapi

hanya 30 persen dari kursi di distrik yang beranggota tunggal, maka kursi yang

berdasarkan daftar kepartaian akan dialokasikan sedemikian rupa sehingga secara

keseluruhan partai itu memenangkan 40 persen dari semua kursi. Namun demikian,

dalam beberapa negara, tidak terdapat keseimbangan antara keduanya dan

22

Page 25: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

kursi-kursi yang berasal dari daftar kepartaian hanyalah menjamin diperolehnya

pemilihan oleh partai-partai minoritas bukan berdasarkan geografi.

3. Akankah pemilih mempunyai dua suara, satu untuk calon distrik mereka dan yang lainnya

untuk partai atau hanya satu suara, yaitu hanya untuk calon distrik mereka? Pilihan ini

mempunyai dampak praktis yang besar. Bila digunakan hanya satu suara maka pilihan si

pemilih secara efektif dapat dihitung dua kali, sekali untuk menentukan pemenang dalam

suatu konstitusi dan satu kali lagi untuk menentukan alokasi daftar partai. Yang lebih

umum dalam sistem gabungan adalah bahwa seorang pemilih mempunyai dua suara, satu

untuk distrik pemilihan individu tempat mereka mendaftar dan yang satu lagi untuk daftar

nasional. Namun demukian, selama pemilihan untuk dua jenis anggota tidak sepenuhnya

terpisah seperti di Jepang dan Rusia, mungkin saja dijalankan sistem dengan satu suara

saja.

4. Jenis sistem pemilihan apa yang akan digunakan untuk kursi-kursi distrik? Pada

kenyataannya, kebanyakan contoh dari sistem gabungan menggambarkan kombinasi

antara perwakilan proporsional daftar partai dan pluralitas langsung yaitu pertarungan

mengenai siapa yang lebih dulu sampai. Dalam beberapa negara kontes dua ronde

(second round election) digunakan jika tidak ada yang memenangkan suara dalam

mayoritas mutlak di distrik-distrik. Oleh karena itu hal ini mengatasi masalah umum yang

biasa terdapat dalam sistem perwakilan proporsional, di mana seorang calon dalam

proporsi kecil suara menang atas lawan-lawannya yang bersal dari daerah yang terpecah

dan mengumpulkan sedikit kurang dari mayoritas. Sistem aduan awal menghilangkan

kemungkinan terjadinya hal ini, tetapi sistem inipun mempunyai masalah sendiri karena

ronde kedua dari pemilihan harus dilangsungkan seminggu atau dua minggu setelah

pemilihan pertama untuk memperebutkan

23

Page 26: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

sejumlah kursi. Salah satu cara untuk menghindarkan masalah ini adalah dengan

menggunakan “aduan langsung”.

24

Page 27: Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap ...library.usu.ac.id/download/fh/D0400044.pdfMirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi

Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1985

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia

dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999

Bonny dan Novan, Penolakan Pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR,

Majalah Hukum dan Kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991

C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta,

RajaGrafindo, 1999

Harun Alrasid, Hubungan Antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968

James Bryce, Studies in History and Jurisprudence, two volumes, vol. l

Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976

Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996

Sri Soemantri M, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta,

1984

T.A. Legowo,Paradigma Checks and Balances Dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif,

Jakarta, Oktober, 2001

25