miniref distosia bahu

Upload: ardyansyah-nasution-md

Post on 18-Jul-2015

677 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Distosia bahu adalah suatu kegawat daruratan pada bidang obstetri, sukar diprediksi dan jika ditemukan sulit untuk diterapi karena tidak adanya algoritma manajemen yang benar-benar terbukti dalam penanganannya. Karena fakta-fakta tersebut, dan karena distosia sering dikaitkan dengan cedera akibat melahirkan yang permanen sehingga kejadian ini menjadi salah satu kegawat daruratan obstetri paling menakutkan. Belum ada cara untuk memastikan akan terjadinya distosia bahu pada suatu persalinan. Kejadian distosia bahu yang jarang, menjadikan manajemennya sulit untuk diajarkan secara aplikatif. Banyak dokter kandungan dan bidan menjadi cemas, akan hal yang terjadi tak terduga, yaitu retraksi kepala bayi secara ke arah perineum secara tiba-tiba, segera setelah persalinan. Hal ini yang juga disebut "turtle sign" dan dapat menyebabkan "furor operativum"atau operasi secara membabi-buta, menyebabkan tenaga medis mengambil langkahlangkah yang biasanya tidak akan diambilnya. Dalam tatalaksana persalinan dengan distosia bahu harus diingat prinsip 4P yaitu "no panicking, no pushing, no pulling, no pivoting" ( jangan panik, jangan didorong, jangan ditarik dan jangan diputar ). Saat distosia terjadi, penanganan ibu dan janin yang optimal hanya mungkin terjadi jika tenaga medis atau paramedis sepenuhnya memahami sifat dari masalah dan mekanisme yang terlibat, memiliki pilihan tatalaksana yang jelas, dan mampu menjalankan tatalaksana tersebut tanpa tergesa-gesa ataupun penggunaan kekuatan fisik yang berlebihan. 1,2,3,4,5,6 Creasy dan Resnik menyatakan bahwa pleksus brakialis dapat mengalami cedera ketika terjadi traksi ke bawah yang berlebihan, fleksi lateral atau ekstensi kepala dan leher janin dalam upaya untuk melahirkan bahu anterior. Traksi yang kuat pada kepala bayi ketika terjadi distosia bahu adalah mekanisme yang dapat menyebabkan cedera pada pleksus brakialis. Cedera Pleksus brakialis yang tidak berhubungan dengan persalinan adalah fenomena yang jarang terjadi. Cedera Pleksus brakialis pada saat persalinan kebanyakan berhubungan dengan distosia bahu. 7,8 Dignam menyebutkan hal-hal yang esensial dalam pengelolaan distosia bahu sebagai berikut : (1) pertimbangan risiko manfaat, (2) pengetahuan yang akurat (3) tindakan terencana yang tersusun dengan baik. dan (4) kecepatan dalam tindakan. Cunningham, dalam Williams Obstetri, menggunakan huruf miring untuk menekankan bahwa praktisi obstetri harus fasih dalam prinsip-prinsip pengelolaan kejadian ini. 2,3 Walaupun insiden kejadian distosia bahu cukup rendah akan tetapi diperlukan pemahaman cara mendiagnosis serta manajemen dalam menghadapi kejadian ini dalam rangka mengurangi morbiditas pada bayi yang dilahirkan serta mengurangi potensi tuntutan terhadap penolong persalinan. 2,4

1

BAB II DISTOSIA BAHU II.1 Definisi American College of Obstetricians dan Gynecologists (ACOG) mendefinisikan distosia bahu sebagai suatu keadaan diperlukannya tambahan manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan biasa dengan mantap kearah bawah pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bahu anterior. Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari kesulitan tersebut. 1,2,3 Menurut Smeltzer pada tahun 1986, distosia bahu adalah kegagalan bahu dengan spontan melewati pelvis, setelah kepala lahir. Kasser & Pallaske menyatakan distosia bahu sebenarnya terjadi ketika bahu depan tertahan dibelakang sympisis pubis. Ini merupakan kelainan yang ditandai oleh situasi pada mana pelvis ibu baik pintu masuk atau pintu keluar tidak dapat mengakomodasikan lebar bahu fetus (janin). Ketika kepala bayi telah lahir dan ada perlambatan putaran bahu kedalam diameter antero-posterior atau ketidakmampuan untuk melahirkan bahu dengan mekanisme persalinan biasa.2,3

Spong, salah seorang editor Williams Obstetri terbaru, beserta rekan mendefinisikan distosia bahu sebagai memanjangnya waktu persalinan dari tubuh janin setelah lahirnya kepala (misalnya, lebih dari 60 detik) sehingga diperlukan tambahan manuver obstetri. Interval 60-detik dipilih karena dalam penelitian mereka ada dua deviasi standar di atas nilai rata-rata untuk waktu persalinan kepala sampai ke tubuh tanpa komplikasi, diantaranya yang utama adalah penurunan ph arteri umbilikalis sebanyak 0,04 satuan setiap 60 detik keterlambatan. Spong dan kawan-kawan mengemukakan bahwa definisi yang objektif akan memfasilitasi penelitian selanjutnya tentang pencegahan dan manajemen distosia bahu. Meskipun banyak peneliti dan klinisi memberikan definisi kejadian ini, distosia bahu tetap merupakan suatu keadaan tanpa definisi yang jelas. 1,3,9,10

II.2 Insidensi Angka kejadian distosia mungkin sulit untuk ditetapkan kecuali jika mencakup sejumlah besar persalinan secara universal. Perbedaan ini disebabkan kriteria yang berbeda antar peneliti dan perbedaan karakteristik populasi. Pada tahun 1995, Baskett & Allen menyatakan prosentase kejadian distosia bahu diperkirakan 0,2% - 0,6% dari semua persalinan pervaginam. Insidensi dapat meningkat dan hampir mendekati 1 : 100 kelahiran pada masyarakat eropa yg akan berbeda pada populasi masyarakat lain. Sebuah studi di Singapura menyimpulkan bahwa berat badan lahir > 3600 gram menaikkan kemungkinan terjadinya distosia bahu 16,1 kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan dengan berat bayi lahir < 3600 gram. Hansmann dan Hincker mengatakan insiden akan meningkat pada persalinan bayi besar sampai dengan 2% - 3% jika berat lahir >4000 gr. Apabila menggunakan definisi tambahan dari Spong yang menyatakan bahwa distosia bahu 2

sebagai jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi > 60 detik, maka insidensinya meningkat menjadi 11%. Sementara dari segi gender jumlah bayi laki-laki yang mengalami insiden distosia bahu adalah sebesar 55% - 68% lebih besar dibandingkan bayi perempuan. 71% dari semua bayi yang cedera saat persalinan adalah akibat distosia bahu. Lebih dari 70% kasus distosia bahu terjadi dengan bayi dengan berat > 4.000 g. 2,3,11

II.3 Klasifikasi Distosia bahu, menurut O'Leary, dibagi menjadi 4 derajat yang mempunyai penanganan yang berbeda-beda. Penentuan derajat distosia bahu tidak dapat dilakukan sampai proses persalinan selesai dilakukan, karena penilaian dilakukan berdasarkan pada jumlah, jenis manuver yang dikerjakan untuk mengatasi distosia bahu yang mana manuver ini dilakukan secara berurutan mulai dari yang paling sederhana sampai dengan tindakan perabdominam. Semakin banyak dan rumit jenis manuver yang digunakan untuk menuntaskan distosia bahu, semakin tinggi juga derajat keparahan distosia bahu tersebut, seperti yang digambarkan di tabel 1.12

Derajat

Tatalaksana Manuver McRoberts

I ( Ringan )

Manuver Mazzanti (Tekanan suprapubis ) Manuver Woods

II ( Sedang )

Manuver Rubin Manuver Jacquemier's - Barnums (melahirkan bahu posterior) Manuver Gaskin Mematahkan tulang Clavicula

III ( Berat ) IV ( Tidak dapat dilahirkan )

Simfisiotomi Manuver Zavanelli ( pemutaran sefalik ) diikuti dengan tindakan perabdominam Histerotomi

Tabel 1. Klasifikasi distosia bahu beserta tatalaksana yang dianjurkan. Dikutip dari: Shoulder Dystocia and Birth Injury: Prevention and Treatment 3rd Ed. James A. O'Leary, William N. Spellacy, M.D Humana Press.Inc. New York, USA 2009

3

II. 4 Faktor Predisposisi Belum ada cara untuk memastikan akan terjadinya distosia bahu pada suatu persalinan. Meskipun sebagian besar distosia bahu dapat ditolong tetapi terjadi komplikasi dapat menimbulkan kekecewaan pasien terhadap penolong persalinan. Penolong persalinan perlu mengidentifikasi faktor predisposisi / faktor risiko terjadinya distosia bahu dan mengomunikasikan akibat yang dapat terjadi pada ibu keluarganya Untuk mencegah terjadinya tuntutan. kewaspadaan diperlukan pada setiap pertolongan persalinan dan semakin diperlukan bila terdapat faktor-faktor yang meningkatkan risiko makrosomia. Adanya DOPE (diabetes, obesity, prolonged pregnancy, excessive fetal size or maternal weight gain)' dapat meningkatkan risiko kejadian distosia bahu.1,13

II.4.1. Diabetes Diabetes mellitus pada ibu adalah suatu faktor resiko yang independen untuk kejadian distosia bahu. Langer dan rekan mencatat pada persalinan dengan berat bayi > 3500 gram secara signifikan kejadian distosia bahu lebih besar pada bayi dengan ibu penderita diabetes dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes, begitu juga terhadap kejadian cedera pada persalinan dan mortalitas perinatal. Pada populasi normal penderita diabetes mellitus mempunyai resiko kejadian distosia bahu 6x lebih besar. Beberapa klinisi menyimpulkan penyebab dari kejadian distosia bahu pada ibu dengan diabetes lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes adalah karena perbedaan antopometri janin makrosomia dengan ibu penderita diabetes dibandingkan terhadap janin makrosomia dengan ibu bukan penderita diabetes. Mc Farland dan rekan-rekannya melaporkan bahwa bayi-bayi makrosomia dengan ibu penderita diabetes mempunyai lingkar bahu dan lingkar ekstremitas yang lebih lebar, rasio ukuran kepala ke bahu yang lebih pendek, kadar lemak tubuh lebih tinggi, serta lipatan kulit ekstremitas yang lebih tebal dibandingkan dengan bayi makrosomia yang ibunya bukan penderita diabetes dengan berat badan dan panjang tubuh lahir yang sama. Penanganan diabetes yang intensif akan mengurangi risiko makrosomia dan kejadian distosia bahu. 2,3,8,14,15

II.4.2 Obesitas Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas dapat diukur dengan menentukan BMI yang merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan "indeks", BMI sebenarnya adalah rasio atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki nilai BMI sebesar 30 atau lebih. 12,13,16

4

Beberapa temuan, diantaranya, obesitas dan persalinan lama dihubungkan dengan kejadian distosia bahu. ACOG dan banyak peneliti menyatakan bahwa " obesitas maternal berasosiasi terhadap makrosomia sehingga wanita dengan obesitas berisiko terhadap kejadian distosia bahu". Pun demikian obesitas bukanlah faktor risiko yang independen terhadap kejadian distosia bahu. 1,2,12,17

II.4.3. Makrosomia Definisi yang diusulkan untuk makrosomia termasuk kasus-kasus di mana bayi besar untuk usia kehamilan (lebih dari 90 persentil untuk usia kehamilan tertentu) atau lebih berat dari batas yang ditentukan. Beberapa praktisi klinis menggunakan batasan berat bayi > 4000 g sebagai bayi besar, > 4500 g sebagai bayi sangat besar dan > 5000 g sebagai bayi luar biasa besar. ACOG menggunakan batas 4500-g untuk mendiagnosis makrosomia karena, pada berat badan ini,terlihat adanya peningkatan yang tajam morbiditas ibu dan bayi. Apapun definisi yang digunakan, komplikasi yang paling serius untuk bayi makrosomia adalah distosia bahu, dan risiko ini jelas meningkat dengan meningkatnya berat badan lahir. Nesbitt dan rekan memeriksa kejadian distosia bahu selama 1-tahun di California dan melaporkan persentase distosia bahu tanpa riwayat diabetes pada ibu sebesar 5,2% untuk bayi dengan berat 4000-4250 g, 9.1% untuk bayi dengan berat 42504500 g, 14,3% untuk bayi dengan berat 4500-4750 g dan 21,1% untuk bayi dengan berat 4750-5000 g. Sebuah studi d Swedia pada bayi yang lahir antara tahun 1973 dan 1984 dengan bobot yang lebih besar dari atau sama dengan 5700 g, dilaporkan 40% kejadian distosia bahu. Meskipun makrosomia meningkatkan resiko terjadinya distosia bahu, hampir setengah dari kasus distosia bahu terjadi dengan berat bayi kurang dari 4000 g. 1,3,12,13,18 Meskipun tampaknya pengukuran USG lebih unggul untuk pemeriksaan klinis dalam memprediksi makrosomia, tingkat kesalahan hingga 20% harus dipertimbangkan saat melakukan USG menjelang aterm. Penelitian prospektif yang dilakukan Chauhan dan rekan, pada lebih dari 100 orang perempuan, menyimpulkan bahwa perkiraan berat lahir bayi berbeda 10% dari berat lahir sesungguhnya pada 66,1% kasus dengan prediksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan 42,4% dengan menggunakan USG (panjang tulang femur dan lingkar perut). Hasil ini selanjutnya divalidasi oleh penelitian prospektif yang melaporkan sensitivitas prediksi makrosomia(yang didefinisikan sebagai berat >4000 lahir g) dengan pemeriksaan klinis sebesar 68% dan ultrasonografi sebesar 58%. Ada Lebih dari 50 rumus untuk menghitung perkiraan berat dengan menggunakan USG. Rumus yang diusulkan oleh Cohen dan kawan-kawan yaitu dengan mengurangi diameter biparietal dari diameter perut ("Abdominal circumference" dibagi dengan 3,14). Cohen dan kawan-kawan menemukan bahwa nilai 2,6 cm pada bayi yang ibunya menderita diabetes mellitus, mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif yang sangat baik dalam

mengidentifikasi janin berisiko tinggi mendapatkan cedera pada saat persalinan. Elliott dan rekan melaporkan dalam penelitian mereka terhadap bayi dari ibu penderita diabetes, bedah sesar untuk semua 5

janin dengan diameter dada-biparietal 1,4 cm dapat mengurangi morbiditas traumatif dari 27% menjadi 9%. Winn dan rekan meneliti parameter USG manakah yang mempunyai korelasi terbaik terhadap

diameter bisakromial dari janin dan menyimpulkan bahwa pengukuran lingkar dada janin adalah yang paling akurat. 12,13,15,17,18,19 Dengan adanya teknologi USG 3 dimensi, pengukuran estimasi berat janin menjadi semakin akurat, akan tetapi hal ini terbatas oleh ketersediaan alat USG 3 dimensi itu sendiri dan klinisi yang betul-betul terampil dalam mengoperasikan alat tersebut. ACOG menyatakan bahwa " untuk janin-janin yang diduga makrosomia, akurasi dari biometri dalam memperkirakan berat janin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan palpasi secara klinis ( manuver Leopold) ". 2,15 Pada tahun 2002, The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) meninjau penelitian penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based yang dikeluarkan oleh the United States Preventive Services Task Force. Hasilnya menyimpulkan bahwa -sebagian besar bukti-bukti terbaru sejalan dengan pandangan bahwa:

1. 2. 3.

Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah karena tidak ada metode yang

akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang akan mengalami komplikasi ini. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya makrosomia bukan merupakan strategi

yang beralasan. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan perkiraan berat lahir janin

lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 g. Tawarkan untuk dilakukan seksio sesarea pada persalinan vaginal berisiko tinggi: janin luar biasa besar (> 5 kg), janin sangat besar (> 4,5 kg) dengan ibu diabetes, janin besar (> 4 kg) dengan riwayat distosia bahu pada persalinan sebelumnya, kala II yang memanjang dengan bayi besar.1,2,3,20

II.4.4 Faktor-faktor risiko minor II.4.4.1 Riwayat Persalinan dengan Distosia bahu Insidensi dari distosia bahu berulang dikabarkan berkisar antara 1,1% sampai dengan 16,7% melalui beberapa penelitian retrospektif. ACHOIS ( The Australian Carbohydrate Intolerance Study in Pregnant Woman ) atau yang dikenal dengan "Penelitian Intoleransi Karbohidrat pada Wanita Hamil di Australia" mengemukakan bahwa bahwa tidak ada asosiasi persalinan sebelumnya dengan distosia bahu terhadap risiko kejadian distosia bahu pada persalinan selanjutnya. Sementara itu ACOG menyatakan bahwa " dikarenakan kebanyakan pada persalinan berikutnya (setelah persalinan sebelumnya dengan distosia bahu)tidak terkomplikasi oleh distosia bahu, manfaat dari seksio sesaria elektif pada pasien dengan riwayat distosia bahu, masih dipertanyakan". 2,12,13

6

II.4.4.2 Partus Presipitatus dan persalinan lama Partus presipitatus dihubungkan dengan menigkatnya insidensi kejadian distosia bahu. Pada partus presipitatus beberapa klinisi mengemukakan bahwa rotasi tubuh menjadi diameter oblik tidak terjadi, sehingga pada saat mencapai tepi atas pelvis terjadi posisi bahu anteroposterior yang persistent. Menurut Baskett dan Allen, persalinan lama, meningkatkan insidensi distosia bahu sebesar 3x lipat, akan tetapi hal ini dibantah oleh Mc Farland dan rekan yang menganalisa 276 kasus distosia bahu terhadap 600 kontrol dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara distosia bahu dengan persalinan lama. 2,13

II.4.4.3 Usia Ibu dan Gender Usia ibu pada saat kehamilan juga dihubungkan dengan kejadian distosia bahu. Hal ini lebih disebabkan meningkatnya insidensi keadaan medis tertentu seiring dengan bertambahnya usia, contohnya seiring bertambahnya umur maka semakin tinggi kemungkinan seorang wanita menderita diabetes maupun mengalami obesitas, akan tetapi Langer dan rekan tidak menemukan adanya kontribusi yang signifikan dari pertambahan usia ibu terhadap kejadian distosia bahu.2,13

Dari segi gender jumlah bayi laki-laki yang mengalami insiden distosia bahu adalah sebesar 55% - 68%, lebih besar dibandingkan bayi perempuan. Dildy dan Clark mengemukakan postulat bahwa rata-rata berat lahir bayi laki-laki lebih berat dibandingkan dengan bayi perempuan, sehingga risiko makrosomia juga lebih besar. Hal tersebut dimungkinkan juga oleh karena dimensi anthromorphic antara bayi laki-laki dengan perempuan berbeda walaupun dengan berat lahir yang sama sebagaimana terlihat pada bayi-bayi dengan ibu penderita diabetes terhadap bayi-bayi dengan ibu non diabetes walaupun dengan berat lahir yang sama, tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.1,3,13

II.4.4.4 Persalinan pervaginam operatif Nesbitt, dkk adalah satu dari sekian banyak peneliti yang melaporkan peningkatan distosia bahu pada persalinan pervaginam operatif, khususnya ekstraksi mid-pelvik. Pasien obstetri haruslah diberi penjelasan mengenai risiko, keuntungan, dan juga alternatif dari forceps maupun ekstraksi vakum sebelum proses persalinan. Dalam proses persalinan, keseluruhan skenario klinik haruslah dipertimbangkan dan diantisipasi secara cermat ketika mengambil keputusan untuk melaksanakan persalinan pervaginam operatif.

Penatalaksanaan dalam menggunakan forceps atau vakum harus dilakukan dengan sangat berhati-hati pada persalinan dengan kecurigaan makrosomia. Ada beberapa perbedaan dalam hal asosiasi antara distosi bahu dengan persalinan pervaginam operatif, beberapa pendapat menyatakan tidak berhubungan, sementara pendapat lain menyatakan persalinan pervaginam operatif secara signifikan meningkatkan insiden distosia bahu. Pada beberapa penelitian didapatkan penggunaan forceps dan ekstraksi vakum secara sekuensial meningkatkan risiko distosia bahu dan cedera plexus brachial. Pada banyak penelitian beberapa faktor 7

dihubungkan terhadap kejadian distosia bahu, seperti diabetes, usia ibu, jumlah paritas dan pernah melahirkan bayi makrosomia, akan tetapi, Belfort dan kawan-kawan melakukan analisis regresi yang multipel dan medapatkan hanya tiga faktor yang signifikan secara statistik berhubungan dengan kejadian distosia bahu yaitu : berat lahir, diabetes, dan persalinan pervaginam operatif. 2,3,13,14

8

BAB III PENATALAKSANAAN PERSALINAN DENGAN DISTOSIA BAHU

Tindakan-tindakan preventif sejak mulai antenatal sudah dapat dilakukan, walaupun hal ini belum dapat meramalkan ataupun mencegah secara pasti, akan tetapi tindakan-tindakan preventif seperti menilai perkembangan janin ataupun pelatihan simulasi persalinan dengan distosia bahu dapat membantu baik bagi pasien maupun tenaga medis dan paramedis yang merawat pasien. Tatalaksana pada saat persalinan seperti dijabarkan di tabel 1, harus sesuai urutan dan sesuai berdasarkan derajat keparahannya. Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktik obstetrik harus mengetahui betul prinsip-prinsip penyulit dan penatalaksanaan. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk prediksi luaran neonatal. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan daya meneran dari ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi. 2,7,8,12,13 Dignam [7] menyebutkan hal-hal yang esensial dalam pengelolaan distosia bahu sebagai berikut : (1) pertimbangan risiko manfaat, (2) pengetahuan yang akurat (3) tindakan terencana yang tersusun dengan baik. dan (4) kecepatan dalam tindakan. Cunningham dalam Williams Obstetri menggunakan huruf miring untuk menekankan bahwa praktisi kebidanan harus fasih dalam prinsip-prinsip pengelolaan kejadian ini. Zuspan dan Quilligan menekankan bahwa dalam kebanyakan kasus, persalinan dapat dilakukan tanpa cedera "jika" dokter kandungan fasih dengan tindakan manipulatif dan operatif tertentu. Penggunaan kata "jika" pantas mendapat penekanan besar karena dapat memiliki implikasi hukum yang signifikan. 2,3,6

III.1 Manajemen Antepartum III.1.1Konseling Antenatal Karena tidak ada metode yang akurat untuk memprediksi suatu kehamilan akan mengalami distosia bahu, konseling antenatal harus dilakukan secara individual dan mendalam untuk setiap pasien. Idealnya konseling ini menjadi diskusi pada saat antenatal dan harus mencakup diskusi tentang riwayat distosia bahu dengan atau tanpa cedera lahir baik pada ibu maupun bayi, estimasi berat janin saat ini dibandingkan dengan berat badan lahir bayi sebelumnya, usia kehamilan, adanya intoleransi glukosa ibu dan atau diabetes, dan riwayat trauma perineum berat, riwayat inkontinensia. Hasil diskusi diharapkan akan memberikan solusi dari pilihan-pilihan tentang kelahiran secara caesar, induksi persalinan, manajemen kehamilan, dan persalinan pervaginam baik secara spontan maupun persalinan pervaginam operatif jika harus dilakukan. Menghormati otonomi pasien sangatlah penting terutama pada pasien dengan riwayat (atau faktor risiko yang signifikan untuk) distosia bahu. Melahirkan per vaginam ataupun bedah caesar adalah pilihan yang dapat dilakukan tergantung dengan keadaan pasien, janin serta pilihan pasien sendiri, 9

tentunya setelah di berikan "inform consent " yang jelas sebelumnya sehingga pasien benar-benar mengerti dan memahami tindakan dokter serta konsekuensi dari keputusannya dikemudian hari. 1,2,3,5,10,21

III.1.2 Pelatihan manajemen distosia bahu Meskipun tidak ada bukti bahwa pelatihan pengelolaan distosia bahu meningkatkan luaran neonatal. Latihan keterampilan akan membantu meningkatkan kesiapan dari semua anggota tim. Deering dan rekan menerbitkan sebuah laporan di mana residen dibagi dua kelompok secara acak, kelompok pertama adalah para residen dengan pelatihan manajemen distosia bahu selama setahun dengan menggunakan sebuah simulator persalinan obstetrik terhadap kelompok kontrol, para residen yang tidak diberikan pelatihan khusus. Mereka menemukan bahwa resdien yang terlatih memiliki skor lebih tinggi secara bermakna pada semua kategori penilaian, termasuk ketepatan waktu intervensi, kemampuan melakukan manuver dan kinerja secara keseluruhan. Crofts dan rekan mengembangkan sebuah manekin untuk pelatihan dan menemukan bahwa pengelolaan tatalaksana distosia bahu semakin menigkat dengan adanya pelatihan tersebut. Namun, kemajuan dalam penelitian ini secara statistik tidak signifikan.2,10,11,19

III.1.3 Seksio Sesaria Elektif Meskipun OLeary dan Leonetti pada tahun 1990 menyatakan sekali distosia bahu,selalu operasi sesar, laporan terbaru menunjukkan bahwa seksio sesaria tidak selalu merupakan pilihan bijaksana untuk persalinan setelah persalinan sebelumnya dengan distosia bahu. Sebagaimana dinyatakan oleh ACOG, manfaat seksio sesaria elektif secara universal dipertanyakan pada pasien dengan riwayat distosia bahu. Lalu bagaimanakah manajemen persalinan ibu dengan bayi yang diduga makrosomia? (dengan dan tanpa riwayat distosia bahu). Sebuah publikasi baru-baru ini menganalisa cara kelahiran dan kelangsungan hidup bayi makrosomia dan menyimpulkan bahwa seksio sesaria bisa mengurangi risiko kematian neonatus pada bayi yang beratnya 5000 g . Semua temuan-temuan di atas didasarkan pada berat lahir dan bukan pada taksiran berat janin. 12,13,15 Seksio sesaria tidak 100% handal untuk menghindari kelumpuhan plexus Brachialis yang permanen, seperti yang akan dibahas kemudian. Peningkatan kemampuan klinisi untuk memprediksi berat janin dengan akurat bisa meningkatkan manfaat seksio sesaria elektif/profilaktik. Akan tetapi, sekarang konsep seksio sesaria profilaktik untuk mencegah distosia bahu dan sekuele permanennya tidak didukung oleh data klinik maupun teoritis. ACOG menyatakan bahwa seksio sesaria elektif untuk mencegah distosia bahu bisa dipertimbangkan untuk dugaan makrosomia janin bila taksiran berat janin 5000 g pada wanita tanpa diabetes. 1,2,3,8,12 Nassar dan kawan-kawan melaporkan persalinan pervaginam bisa dilakukan pada 88,9% kehamilan yang memungkinkan persalinan dengan bayi dengan berat lahir 4500 g dengan risiko 15,5% risiko distosia 10

bahu, 3% risiko cedera plexus brachial dan 7,7% risiko trauma perineal. ACOG merekomendasikan bahwa, karena induksi tidak meningkatkan luaran ibu atau janin, dugaan janin makrosomia pada pasien yang non diabetes bukan merupakan indikasi untuk induksi persalinan. Berdasarkan opini ahli, ACOG lebih lanjut lagi merekomendasikan, bahwa pasien penderita diabetes dengan perkiraan berat janin > 4500 g bisa ditawari seksio sesaria profilaktik. Walaupun ACOG merekomendasikan dengan batasan berat badan tersebut, pada kenyataannya lebih dari 70% kasus distosia bahu terjadi dengan bayi dengan berat > 4.000 g, sehingga alangkah baiknya apabila direncanakan seksio sesaria terhadap ibu dengan perkiraan berat janin > 4000 gram. 2,10,12,19

III.2 Tatalaksana Intrapartum Sebelum proses persalinan, perkiraan berat badan harus selalu tercatat meskipun estimasi berat janin memiliki marjin error. Sejalan dengan itu, penilaian terhadap adekuasi panggul pasien haruslah dilakukan dan didokumentasikan baik pada saat kunjungan prenatal maupun pada saat persalinan. Tatalaksana pasien bersalin termasuk didalamnya pencatatan partograf, akan tetapi perlu diingat bahwa partograf bukanlah merupakan alat prediksi distosia bahu. 2,10 Jika dokter mempertimbangkan kemungkinan distosia bahu, beberapa tindakan pencegahan dapat dilakukan. Umumnya meliputi memposisikan pasien, pengosongan kandung kemih pasien sebelum persalinan, adanya kehadiran asisten, misalnya perawat, bidan atau dokter lainnya. Penggunaan manuver McRobert sebelum diagnosis klinik distosia bahu tidak secara signifikan merubah kekuatan penarikan yang dilakukan pada kepala janin saat melahirkan pervaginam pada pasien multipara . Walaupun telah dikenali beberapa faktor risiko, akan tetapi distosia bahu seringkali terjadi tanpa adanya faktor risiko, oleh karena itu semua praktisi klinis baik dokter spesialis, dokter umum, bidan dan perawat harus mempersiapkan diri dengan kemampuan manajemen terhadap kejadian emergensi obstetri ini pada saat persalinan. 2,3,4

III.2.1 Batasan Waktu Sayangnya, tidak ada algoritma penanganan yang baik untuk mengelola distosia bahu. Biasanya, distosia bahu akan didahului dengan adanya tanda klasik turtle sign, dimana setelah kepala janin dilahirkan, kepala akan tertarik kembali ke perineum ibu. Distosia bahu, biasanya tidak terdiagnosa sampai traksi pada kepala janin ke arah bawah gagal untuk melahirkan bahu anterior. Pada titik ini, salah satu perhatian utama adalah: Berapa lama dapat berlalu tanpa risiko hipoksia janin? menghindarkan janin dari hipoksia akibat kompresi di leher dan kongesti vena sentral, serta kompresi tali pusat, pengurangan aliran intervilus plasenta akibat dari peningkatan tekanan intrauterin berkepanjangan, dan bradikardi janin sekunder . Stallings dan rekan-rekan melaporkan bahwa janin dengan distosia bahu mengalami penurunan yang signifikan secara statistik tetapi tidak signifikan secara klinis, dalam rata-rata parameter gas arteri 11

umbilikalis (pH 7.23 versus 7.27). Wood pada tahun 1973 melaporkan penurunan pH 0,14 U / menit selama persalinan tungkai. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa pH kurang dari 7,00 mungkin terjadi akibat penundaan persalinan selama 2 atau 3 menit. Adalah wajar untuk menganggap bahwa disfungsi neurologis permanen terkait dengan memanjangnya waktu persalinan kepala-bahu. Ketika distosia bahu dijumpai, klinisi harus menunjuk anggota tim untuk menandai waktu. Pencatatan waktu diperlukan baik untuk dokumentasi dan untuk memungkinkan penilaian ulang periodik tentang seberapa parah distosia bahu. Reaksi pertama dokter pada persalinan yang sulit adalah mengerahkan tenaga yang lebih besar dari normal, sehingga meningkatkan kemungkinan risiko cedera janin . Walaupun hal ini dijumpai, dokter penolong dan asisten harus tenang dan menyelesaikan manuver dan mengatasi distosia bahu tersebut. Jika hadir, staf pendukung yang memadai, termasuk staf perawat, dokter anak, staf anestesiologi, dan dokter kandungan lainnya, harus dipanggil ke ruang bersalin. 2,3,4,5,6,9,12,13

III.2.2 Episiotomi Distosia bahu biasanya adalah obstruksi yang disebabkan oleh tulang dan bukan akibat dari halangan jaringan lunak. Manajemen dengan episiotomi dikaitkan dengan hampir tujuh kali lipat peningkatan kejadian trauma perineum tanpa manfaat mengurangi terjadinya depresi neonatal atau cedera pleksus brakialis. Keputusan untuk melakukan episiotomi harus didasarkan pada keadaan klinis, seperti Fourchette vagina yang sempit pada pasien primigravida atau kebutuhan untuk melakukan manipulasi janin. Episiotomi hanya dilakukan atas pertimbangan yang matang dan atas indikasi yang benar-benar membutuhkan tindakan tersebut. 2,4,12

III.2.3 Manuver-manuver dalam tatalaksana intrapartum Manuver dalam tatalaksana distosia bahu terbagi dua, yaitu manuver-manuver awal ( initial manuvers) dan manuver pilihan akhir ( last resort manuvers ). Manuver-manuver awal digunakan untuk mengatasi distosia bahu derajat ringan sampai dengan sedang. Sementara manuver pilihan akhir digunakan untuk mengatasi distosia bahu derajat berat sampai dengan yang tidak dapat dilahirkan pervaginam. Jika manuver - manuver awal tidak berhasil membebaskan bahu, maka bisa dilanjutkan dengan manuver pilihan akhir. Pada tahun 1991 The American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan langkah langkah berikut ini urut-urutannya bergantung pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator sebagaimana tercantum di tabel 2.2,10,12

12

Manuver-manuver dalam tatalaksana distosia bahu McRoberts Mazzanti Manuver-manuver awal ( Initial maneuvers ) Wood's corkscrew Rubin's Jacquemier's - Barnums (Melahirkan lengan posterior) Gaskin (Posisi all four ) Mematahkan tulang Clavicula Manuver pilihan terakhir ( Last-resort maneuvers ) Simfisiotomi Zavanelli Histerotomi Tabel 2. Manuver-manuver dalam tatalaksana distosia bahu. Dikutip dari : Gottlieb A et al, Shoulder Dystocia: An Update, Elsevier Saunders, Obstet Gynecol Clin N Am 34 (2007) 501531

III.2.3.1 Distosia bahu ringan (Derajat I) III.2.3.1.1 Manuver McRoberts dan Manuver Mazzanti ( Penekanan Suprapubik ) O'Leary membagi derajat distosia bahu berdasarkan pada respon terhadap tindakan yang diambil, mulai dari yang paling mudah sampai ke kombinasi prosedur prosedur yang ada (Tabel 1). Langkah pertama dan paling sederhana adalah tekanan langsung pada daerah suprapubik menggunakan telapak tangan lebih baik daripada menggunakan kepalan tangan, dengan tekanan diarahkan sedikit ke bawah dan lateral dari tulang kemaluan sebagaimana dipraktekkan oleh Mazzanti. Tekanan ini harus diarahkan pada kedua sisi garis tengah dari perut ibu untuk memaksa bahu ke diameter oblik dari panggul. Tenaga harus diarahkan untuk mengadduksi bahu anterior. Hal ini biasanya berhasil hanya dengan bentuk lebih ringan dari distosia bahu. Dengan distosia ringan di mana teknik di atas gagal, O'Leary melakukan manuver McRoberts. Manuver ini ditemukan oleh Gonik dkk. Pada tahun 1983 dan dinamai sesuai dengan nama dokter yang mempopulerkan penggunaannya di University of Texas di Houston, yaitu dr. William A. McRoberts, Jr. Manuver McRoberts tidak mengubah ukuran panggul ibu, manuver ini membuka jalur relatif sakrum ( meluruskan sakrum ) terhadap tulang belakang segmen lumbal sehingga memungkinkan simfisis pubis meluncur di atas bahu janin, sehingga bahu anterior dari janin dapat terbebas. Prosedur ini sangat efektif, satu-satunya kelemahan adalah dibutuhkannya dua asisten. Gonik dan rekan menunjukkan bahwa posisi McRoberts mengurangi kekuatan mengedan hingga 37% untuk beban endogen (gaya ibu) dan sampai 47% untuk beban eksogen (tekanan dari dokter penolong), sehingga mengurangi peregangan pleksus brakialis. Gonik dan rekan juga mencatat peregangan yang lebih besar pada kekuatan endogen dibandingkan dengan 13

kekuatan eksogen. Pada penelitian lain, Buhimschi dan rekan melaporkan bahwa menggunakan posisi McRoberts memperbesar tekanan intrauterin yang disebabkan oleh kontraksi saja sebesar hampir dua kali lipat. 2,3,4,7,10,12,13 Menurut ACOG], kinerja manuver McRoberts (Gambar 1 dan 2), dengan atau tanpa tekanan suprapubik, merupakan penatalaksanaan awal yang baik untuk distosia bahu. Penanganan secara sukses terhadap kasus distosia dengan Manuver McRoberts oleh O'Leary didapatkan sebanyak 36 dari 40 kasus ( 4 kasus gagal ) atau sebesar 90%. Manuver McRoberts mudah, aman dan dapat dilakukan dengan cepat. Setiap pelaku tindakan obstetrik sebaiknya memahami serta dapat mengaplikasikan manuver ini. Manuver McRoberts saat ini direkomendasikan sebagai teknik awal untuk disimpaksi bahu anterior. Dalam penelitian retrospektif dari 236 kasus distosia bahu di Pusat Kesehatan Universitas Los Angeles, California Selatan, manuver ini saja dapat mengatasi 42% kasus distosia bahu. Pada kasus distosia, manuver McRoberts menurunkan morbiditas maternal dan neonatal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manuver ini dapat mengurangi kekuatan ekstraksi bahu janin dan mengurangi peregangan plexus brachialis.2,3,7,8,12

Gambar 1. Manuver Mc.Roberts dilakukan dengan bantuan 2 orang asisten ( 1 orang pada masing-masing kaki) untuk membantu hiperfleksi dari tungkai pasien, dipadukan dengan manuver Mazzanti ( tekanan pada daerah suprapubik ) dengan telapak tangan ataupun kepalan tangan kearah dada janin ( mengadduksikan bahu anterior ) untuk membebaskan bahu anterior ( sesuai arah panah ) dan bukan penekanan sekuat tenaga kearah bawah.

14

Gambar 2. Manuver McRoberts tidak mengubah ukuran panggul ibu, manuver ini membuka jalur relatif sakrum ( meluruskan sakrum ) terhadap tulang belakang segmen lumbal sehingga memungkinkan simfisis pubis meluncur di atas bahu janin, sehingga bahu anterior dari janin dapat terbebas.

III.2.3.2 Distosia bahu sedang (Derajat II) III.2.3.2.1 Manuver Wood's Manuver Wood's atau Rubin (yang merupakan rotasi kebalikan dari manuver Wood's), diterapkan pada distosia bahu sedang. Pada tahun 1943, Woods melaporkan bahwa dengan memutar bahu belakang secara progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut sebagai manuver Wood's corkscrew. Manuver Woods corkscrew mengaplikasikan tekanan pada bahu posterior. Penolong persalinan mengabduksikan bahu posterior dengan memberikan tekanan ke permukaan anterior dari bahu posterior. Bahu kemudian diputar 180 derajat secara spiral dan progresif sehingga bahu anterior yang terimpaksi dapat terbebas. 1,2,4,12,14 Wood menyatakan Manuver ini biasanya tidak berhasil pada distosia yang lebih berat, sehingga apabila tidak berhasil dalam membebaskan bahu anterior sebaiknya tidak usah berlama-lama dalam menerapkannya. Wood membuat model persalinan yang disebut wooden model yang menunjukkan bahwa meskipun sebuah objek mungkin terlalu besar untuk dilahirkan melalui panggul, dengan gerakan seperti memutar baut, persalinan dapat dipermudah. Karenanya pada distosia bahu Wood merekomendasikan gerakan memutar harus dilakukan dengan mengerahkan tekanan pada permukaan anterior (klavikula) dari bahu posterior bayi. Harus sangat ditekankan bahwa semua gerakan rotasi dilakukan dengan tekanan pada tulang skapula dan klavikula dan jangan dilakukan pada kepala bayi. 2,10,12

15

Gambar 3. Manuver Wood's corkscrew. Manuver ini menerapkan tekanan pada permukaan clavicular dari bahu posterior sehingga memungkinkan rotasi (A) yang membebaskan bahu anterior (B) di belakang simfisis ibu.

III.2.3.2.2 Manuver Rubin Pada tahun 1964, Rubin merekomendasikan manuver yang merupakan kebalikan dari manuver Woods, dilakukan dengan cara penolong persalinan memberikan tekanan ke permukaan posterior dari bagian bahu janin yang paling mudah dijangkau (baik bahu anterior maupun posterior) sehingga memberi efek adduksi bahu janin (Gambar 4). Gurewitsch dan rekan-rekan mengembangkan simulasi untuk persalinan dan menetapkan bahwa manuver Rubin anterior membutuhkan traksi yang lebih kecil dibandingkan posisi McRoberts ataupun Rubin posterior sehingga peregangan plexus brachialis juga berkurang, sehingga manuver Rubin anterior lebih sering dipraktekkan. Pada manuver Rubin anterior, posisi akhir punggung janin menghadap ke arah anterior. Pada manuver ini Rubin menekankan pentingnya membawa kedua bahu bayi ke arah dada sehingga terjadi adduksi kedua bahu bayi, dan jika pada awalnya terletak di diameter anteroposterior dari panggul, manuver ini menempatkan bahu ke diameter obliq dari panggul. Manuver ini lebih sukses jika dikombinasikan dengan tekanan suprapubik. 1,2,4,12,14

16

Gambar 4. Manuver Rubin Anterior. III.2.3.2.3 Manuver Jacquemier's - Barnum's ( melahirkan lengan posterior ) Cara melahirkan lengan posterior pertama kali dideskripsikan oleh Barnum pada tahun 1945. Untuk melakukan manuvernya, penekanan dilakukan pada fossa antecubiti untuk menghasilkan flexi dari lengan janin. Lengan kemudian disapu diatas dada janin dan dilahirkan diatas perineum (Gambar 5). Rotasi dari tubuh janin untuk melahirkan bahu posterior kadang-kadang diperlukan. Menggenggam dan menarik langsung lengan janin dan memberi tekanan ke poros midhumeral harus dihindari bila mungkin, karena dapat terjadi patah tulang, meskipun cedera ini biasanya sembuh tanpa morbiditas jangka panjang. Melahirkan lengan posterior efektif menciptakan pengurangan 20% diameter bahu,dan menurut Poggi dan rekan, mengurangi obstruksi bila dibandingkan dengan posisi McRoberts. Poggi lebih merekomendasikan memprioritaskan melahirkan lengan posterior pada algoritma manajemen dan menyatakan bahwa, ketika badan janin gagal untuk dilahirkan setelah melahirkan lengan posterior, dokter harus langsung melanjutkan ke teknik kedaruratan, seperti mematahkan klavikula, manuver Zavanelli, atau simfisiotomi. 2, 3,6,12,21

17

Gambar 5. Manuver Jacquemier's - Barnum's . A.) Jari operator masuk ke dalam vagina menelusuri humerus dari lengan posterior bayi. B.) Dengan menjaga agar siku tetap dalam keadaan fleksi, lengan disapukan melewati dada. C.) Tangan bayi di raih, lengan di ekstensikan melewati wajah. Lengan posterior dilahirkan melalui vagina.

III.2.3.2.4 Manuver Gaskin Gaskin mengusulkan suatu manuver yang menempatkan pasien dalam posisi ''all-fours''(bertumpu diatas keempat ekstremitas) (Gambar 6) untuk mengatasi distosia bahu. Posisi all fours menyebabkan efek gravitasi sehingga ruang dalam rongga sakrum meningkat untuk memfasilitasi lahirnya bahu posterior dan lengan. Bruner dan rekan melaporkan serangkaian 82 kasus penanganan distosia bahu yang dilakukan dengan memposisikan wanita yang akan melahirkan dengan distosia bahu, dengan bertumpu diatas kedua tangan dan kedua lututnya. Sebanyak 68 perempuan (atau 83%) dilaporkan tidak memerlukan manuver tambahan tanpa terjadi peningkatan morbiditas ibu atau janin. 2,3,4,12

Gambar 6. Manuver Gaskin. Posisi "all four ". Posisi ini memanfaatkan efek gravitasi sehingga ruang kearah sacrum ibu menjadi lebih luas, untuk memudahkan melahirkan lengan dan bahu posterior. 18

III.2.3.4 Distosia bahu berat ( Derajat III ) III.2.3.4.1 Mematahkan Clavicula Mematahkan tulang klavikula telah banyak dijelaskan dalam literatur-literatur lama, dengan melakukan tekanan menggunakan jari kearah atas pada klavikula janin terhadap ramus pubis dari ibu. Meskipun tindakan ini akan mengurangi diameter bisacromial, ada risiko signifikan dari kerusakan pada pleksus brakialis dan pembuluh darah paru dari janin. Pada tahun 1895, Prof. Phamenoff dari Kazan, Rusia, menerbitkan jurnal tentang suatu tindakan operatif yang dinamakannya cleidotomy. Tindakan cleidotomy adalah mematahkan klavikula dengan pisau bedah atau gunting bedah dan sebaiknya dilakukan setelah adanya kematian intrauterin karena secara teknis sulit dilakukan dan membawa risiko bagi janin yang signifikan.2,6,10,12

III.2.3.4.2 Simfisiotomi Karena morbiditas ibu signifikan yang terkait dengan simfisiotomi, termasuk cedera kandung kemih dan infeksi, tindakan ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan hidup janin. Untuk melakukan simfisiotomi, pasien harus ditempatkan di posisi litotomi dengan kaki disanggah dengan kuat, biasanya dengan bantuan asisten, 1 orang pada masing-masing kaki pasien. Kemudian, jika memungkinkan, kateter transurethral harus dipasang. Operator, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, memposisikan uretra kearah lateral dan menginsisi sebagian dari bagian cephalad simfisis dengan pisau bedah. Goodwin dan rekan menyajikan serangkaian kasus di mana simfisiotomi darurat dilakukan pada tiga pasien dalam upaya menyelamatkan janin setelah 12, 13 dan 23 menit. Hasilnya semua bayi kemudian meninggal akibat anoksia yang parah. Goodwin menunjukkan bahwa, karena kurangnya pengalaman operator dan morbiditas ibu pada tindakan ini, manfaat dari simfisiotomi darurat masih belum jelas. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa dikarenakan prosedur ini memakan waktu setidaknya 2 menit sejak keputusan dibuat, simfisiotomi harus mulai dikerjakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 sampai 6 menit sejak lahirnya kepala janin. 2,11,12,22Gambar 7. Simfisiotomi. transurethral A.) harus Kateter dipasang.

Operator, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, uretra kearah

memposisikan

lateral dalam rangka melindungi kandung kemih. B.) Tujuan insisi adalah memisahkan

A

B

kartilago os pubis.

19

III.2.3.5 Distosia Bahu" Undelivered " ( Derajat IV ) III.2.3.5.1 Manuver Zavanelli Dalam manajemen distosia bahu, simfisiotomi, pemutaran sefalik ( manuver Zavanelli ) diikuti dengan histerotomi, dan adalah manuver pilihan akhir. Manuver Zavanelli pada dasarnya adalah kebalikan dari proses kelahiran dimana leher janin difleksikan, pembalikan restitusi, kepala dirotasikan kembali ke posisi occipito- anterior, dan tekanan digital diterapkan untuk memposisikan kepala kembali ke dalam kavum uteri. Penggunaan tokolitik (misalnya, terbutaline atau nitrogliserin) dapat digunakan bersama dengan halotan atau anestesi umum lainnya untuk memfasilitasi keberhasilan manuver ini yang diikuti dengan histerotomi atau seksio sesaria. Di antara 59 kasus yang dilaporkan oleh O'Leary, hanya 6 (10,2%) pemutaran sefalik yang gagal. Sandberg merangkum literatur selama 12 tahun tentang manuver Zavanelli dan melaporkan tingkat keberhasilan keseluruhan adalah 92%. Sandberg menganalisa berbagai cedera yang dialami oleh bayi yang dimanipulasi dengan manuver Zavanelli dan menyimpulkan sebagian besar cedera tersebut dialami karena manipulasi pra-Zavanelli dan hipoksia berkepanjangan. 2,3,4,11,12,23 Komplikasi pada ibu dilaporkan mencakup ruptur uterus dan ruptur vagina, tapi kemudian Sandberg menyatakan bahwa cedera ini tidak langsung berhubungan dengan prosedur Zavanelli. Dia menyimpulkan bahwa dalam kebanyakan kasus pemutaran sefalik, manuver Zavanelli adalah mudah dan kebanyakan berhasil, walaupun dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman sebelumnya. Meskipun demikian, ACOG menyatakan bahwa manuver Zavanelli dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas janin dan morbiditas ibu dan manuver ini hanya dilakukan dalam kasus-kasus distosia bahu berat yang tidak responsif dengan aplikasi manuver yang umum digunakan ( undelivered ).2,3,12,23

Gambar 8. Manuver Zavanelli

20

III.2.3.5.2 Histerotomi Penerapan histerotomi atau insisi segmen atas rahim membantu penekanan secara langsung maupun pemutaran sefalik ( manuver Zavanelli ). Tekanan secara langsung dapat membantu rotasi bahu agar dapat dibebaskan, atau langsung membebaskan bahu anterior yang dilanjutkan dengan persalinan pervaginam. Pemutaran sefalik juga dapat memfasilitasi atau mempermudah persalinan per abdominam. Penerapan histerotomi atau insisi segmen atas rahim tidak selalu efektif, dan dapat terjadi konsekuensi yang berat.2,3,4,12

Gambar 9. A.) Melahirkan lengan posterior dengan bantuan histerotomi. B.) Tangan operator berada intraabdominal dapat mendorong, merotasi bahu anterior agar dapat dilahirkan pervaginam, atau sesudah dilakukan histerotomi dilakukan manuver Zavanelli untuk selanjutnya dilakukan seksio sesarea.

21

III.2.4. Manuver yang harus dihindari III.2.4.1 Penekanan pada fundus uteri Meskipun tidak ada bukti yang baik mengenai peranan penekanan pada fundus dalam tatalaksana distosia bahu, penekanan pada fundus seringkali diterapkan dalam tatalaksana distosia bahu untuk menekan bahu di pinggir panggul dan meningkatkan tekanan intrauterin, sehingga risiko cedera neurologis permanen dan cedera ortopedik meningkat . Hankins menerbitkan sebuah laporan kasus yang melibatkan cedera tulang belakang pada segmen thorax dengan cedera neurologis permanen ketika penekanan pada fundus diterapkan dalam upaya untuk mengatasi distosia bahu. Buletin ACOG tentang distosia bahu melaporkan bahwa "penekanan pada fundus lebih lanjut dapat memperburuk distosia bahu dan mungkin juga mengakibatkan ruptur uteri''. Oleh karena itu hendaknya menghindari penekanan fundus dalam tatalaksana distosia bahu. Setiap lilitan tali pusat, jika tidak dapat dilonggarkan melalui kepala janin, tidak harus dipotong dan dijepit jika mungkin. 2,3,10,12,24 Penundaan persalinan yang berkisar dari 3 sampai 7 menit. Flamm melaporkan kasus di mana dijumpai lilitan tali pusat ketat pada distosia bahu parah yang tidak dijepit ataupun dipotong. Flamm menyatakan bahwa jika tali pusat tersebut terputus,''bayi berisiko menderita cedera neurologis permanen atau meninggal sebelum lahir ''. Stallings dan rekan berspekulasi bahwa, bahkan dalam kejadian distosia bahu dengan lilitan tali pusat, sirkulasi tali pusat dapat terus berlanjut dan memotong tali pusat dapat menyebabkan hipoksia dan hipotensi janin selama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi distosia bahu.2,8,10,12

III.2.4.2 Traksi berlebihan saat persalinan pada kepala janin Traksi yang berlebihan yang diterapkan pada saat persalinan dapat menyebabkan trauma pada pleksus brakhialis. Cedera pada saat lahir bukan merupakan satu-satunya penyebab trauma pleksus brakhialis. Selain penggunaan traksi yang berlebihan, cedera juga disebabkan oleh usaha normal pada saat melahirkan. Sekitar 34% dari cedera pleksus brakhialis tidak berhubungan dengan distosia bahu. 2,8

III.2.4.3 Hiperfleksi berlebihan pada manuver McRoberts Posisi McRoberts memiliki risiko. Upaya lanjutan pada manuver McRoberts pada distosia bahu yang parah sering dikaitkan dengan meningkatnya traksi, yang dapat menyebabkan peningkatan risiko cedera pleksus brakialis. Gherman dan rekan menerbitkan sebuah laporan kasus yang melibatkan simfisiolisis dan transien neuropati femoralis terkait dengan manuver McRoberts. Meskipun kasus ini dilaporkan, para peneliti tetap menyarankan posisi McRoberts sebagai teknik awal dalam pengelolaan distosia bahu akan tetapi disarankan agar berhati-hati terhadap hiperfleksi dan abduksi paha ibu ke perut yang terlalu agresif " yang dapat memperbesar risiko simfisiolisis dan transien neuropati femoralis. 2,8,12

22

III.3 Tata Laksana Post Partum Distosia bahu adalah salah satu dari empat penyebab umum dari tuntutan medis dan diperkirakan kurang lebih hingga 11 % dari tuntutan akibat tindakan obstetrik. Setelah semua proses persalinan yang sulit pada distosia bahu, harus diadakan diskusi dengan pasien dan keluarga. Peristiwa-peristiwa proses persalinan seharusnya didokumentasikan oleh anggota tim yang terlibat .Pasien biasanya trauma oleh kejadian ini dan mereka layak mendapat informasi lengkap,langsung dan akurat mengenai ,manuver persalinan yang digunakan dan alasan di balik manajemen yang dilakukan. 10,11,12 Jika terjadi cedera pleksus brachialis, dokter seharusnya tidak berspekulasi tentang penyebabnya. Acker(132) merekomendasikan suatu bentuk formulir untuk kejadian distosia bahu yang mencakup informasi berikut: 1.) kapan dan bagaimana distosia didiagnosis 2.) kemajuan persalinan (fase aktif dan kala II) 3.) posisi dan rotasi kepala bayi 4.) apakah dilakukan episiotomy 5.) anestesi yang dilakukan 6.) estimasi kekuatan penarikan bahu yang dilakukan 7.) durasi, dan hasil dari manuver yang dilakukan 8.) catatan adekuasi panggul sebelum persalinan dimulai 9.) luaran ibu dan bayi setelah proses persalinan 10.) Informasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga bahwasanya telah terjadi distosia bahu

Sayangnya sebagian besar kasus distosia bahu tidak mempunyai dokumentasi yang lengkap seperti yang diajukan Acker. Tanda-tanda vital, jumlah perdarahan, kontraksi uterus, semua harus didokumentasikan dan diikuti perkembangannya sebagaimana penatalaksanaan pasca persalinan pada umumnya. 2,10,12

23

BAB IV SEKUELE PASKA PERSALINAN DENGAN DISTOSIA BAHU

IV.1 Sekuele neonatal pada distosia bahu McFarland,dkk menemukan bahwa morbiditas ibu dan janin meningkat seiring banyaknya manuver yang diaplikasikan pada distosia bahu. Trauma janin berhubungan dengan distosia bahu termasuk juga trauma pada pleksus brakhialis, fraktur klavikula atau humerus, dan yang jarang adalah hipoksia atau kematian neonatus. Laporan adanya trauma pleksus brakhialis selama persalinan oleh karena distosia bahu bervariasi mulai dari 4% sampai 40%. walaupun beberapa penelitian case control melaporkan adanya peningkatan 18-21 kali lipat risiko terjadinya trauma pleksus brakhialis pada janin dengan berat badan > 4500gr. Literatur-literatur obstetrik melaporkan kejadian Erbs Palsy permanen ( merupakan salah satu jenis cedera pleksus brakialis, yang terdiri dari rami ventral saraf tulang belakang C5-C8, dan T1) adalah kurang dari 10%. Cedera menetap lebih sering pada janin dengan berat badan > 4500 gr dan pada janin dengan ibu penderita DM. Literatur-literatur pediatrik dan ortopedik melaporkan trauma permanen terjadi pada 15% - 25% kasus.2,4,8,12

IV.1.1 Cedera Plexus Brachialis Traksi yang berlebihan yang diterapkan pada saat persalinan dapat menyebabkan trauma pada pleksus brakhialis. Cedera pada saat lahir bukan merupakan satu-satunya penyebab trauma pleksus brakhialis. Kerusakan pada nervus spinalis C5-C8 yang menyebabkan Erb's atau Erb-duchenne palsy ( 80% dari semua trauma pleksus brakhialis ). Postur klasik merupakan hasil dari paralisis atau kelemahan dari otot bahu, otot fleksor siku, dan otot supinator lengan. Lengan yang terkena menggantung kebawah, dan berputar, ,memanjang dan berpronasi secara internal. Seringkali, nervus C7 juga ikut terlibat , menyebabkan hilangnya persarafan dari lengan bawah, pergelangan tangan dan ekstensor jari. Hilangnya ekstensi menyebabkan fleksi pada pergelangan tangan dan jari meringkuk ( waiters tip position ). Trauma pada saraf frenikus disertai kelumpuhan diafragma dapat timbul akibat kerusakan pada segmen C4. Avulsi dari C8-Th1 menyebabkan Klumpkes palsy, yang khas dengan kelemahan pada otot triseps, pronator lengan bawah, dan fleksor pergelangan tangan yang menyebabkan kelemahan tangan seperti cakar ( clawlike) dengan fungsi lengan dan bahu yang masih normal. Fungsi lengan atas membedakan antara Klumpke palsy dengan Erb palsy, sayangnya hanya 40% dari klumpke palsy yang sembuh setelah 1 tahun . 8,10,11,12 Selain penggunaan traksi yang berlebihan, cedera juga disebabkan oleh usaha normal pada saat melahirkan. Sekitar 34% dari cedera pleksus brakhialis tidak berhubungan dengan distosia bahu. Efek kompresi simfisis pubis terhadap pleksus brakhialis, dan tekanan intrauterine yang abnormal oleh karena 24

adanya anomaly uterus, seperti leiomioma segmen bawah uterus anterior, septum intrauterine, atau uterus bikornu. Apapun penyebabnya, perawatan bayi baru lahir dengan cedera pleksus brakhialis haruslah melibatkan pendekatan multidisiplin termasuk didalamnya pediatrik, neurologi, dan rehabilitasi medik.2,8,12

IV.1.2 Fraktur Fraktur ortopedi hampir selalu sembuh dengan terapi suportif sederhana dan tidak menyebabkan cacat permanen. Fraktur klavikula sering terjadi tanpa adanya distosia bahu, insiden fraktur klavikula pada keadaan distosia bahu dari sekitar 3% - 9,5% dengan peningkatan risiko pada bayi dengan berat lahir besar.2,12

IV.1.3 Kematian janin Kejadian kematian perinatal karena distosia bahu berkisar dari 0% - 2,5%. Rouse dan rekan-rekannya menyimpulkan " meskipun distosia bahu dapat mengakibatkan kematian perinatal, hal ini jarang terjadi ".2,12

IV.1.4 Sekuele pada ibu dengan kejadian distosia bahu Dari sebuah studi pada 236 pasien dengan distosia bahu dilaporkan 11% kejadian perdarahan postpartum dan 3,8% laserasi perineum derajat keempat. Hal Ini tidak tergantung dari jenis manuver yang digunakan untuk mengatasi distosia ini. Komplikasi pada ibu lainnya termasuk laserasi vagina, cervix, dan atonia kandung kemih. Perlu dicatat bahwa manuver usaha terakhir, seperti manuver Zavanelli dan simfisiotomi, sering dikaitkan dengan risiko signifikan morbiditas ibu. 2,12,23

25

BAB V KESIMPULAN

Distosia bahu merupakan suatu kegawat daruratan obstetri yang sulit diprediksi dan rawan terjadi tuntutan terhadap penolong persalinan dengan kejadian tersebut, disebabkan komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi baik terhadap ibu maupun janin. Manajemen pada persalinan dengan distosia bahu dapat dimulai sejak kunjungan antenatal, dalam rangka mengantisipasi faktor-faktor risiko serta mengenali pasien-pasien yang berisiko terhadap kejadian ini. Pelatihan persalinan dengan distosia bahu pada tenaga medis dan non medis yang terlibat dalam proses persalinan dapat membantu baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, kesigapan dalam mengambil keputusan maupun tatalaksana jika dijumpai kasus distosia bahu. Tawarkan untuk dilakukan seksio sesarea pada persalinan vaginal berisiko tinggi: janin luar biasa besar (> 5 kg), janin sangat besar (> 4,5 kg) dengan ibu diabetes, janin besar (> 4 kg) dengan riwayat distosia bahu pada persalinan sebelumnya, kala II yang memanjang dengan bayi besar. Pada saat persalinan dengan distosia bahu harus diingat prinsip 4P ( don't panic, don't push, don't pull, don't pivot ) atau , jangan panik, jangan mendorong fundus uteri, jangan menambah tenaga traksi, jangan memutar kepala bayi. Jika dijumpai distosia bahu segera panggil bantuan atau asisten, kemudian lakukanlah manuvermanuver langkah demi langkah mulai dari yang paling sederhana, kombinasi, sampai dengan tindakan atau manuver yang lebih invasif. ACOG merekomendasikan langkah-langkah manuver dan urut-urutannya bergantung pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator . Pada saat persalinan selesai perhatikan keadaan ibu, bayi di tangani oleh bagian pediatri terutama divisi neonatologi. Dokumentasi kejadian-kejadian pada saat persalinan tersebut harus lengkap dan diberi penjelasan kepada ibu dan keluarganya tentang kejadian tersebut, serta tatalaksana yang telah digunakan, beserta tujuannya. Dokumentasi pencatatan tersebut juga berguna dikemudian hari apabila terjadi litigasi hukum terhadap penolong persalinan.

26

DAFTAR PUSTAKA

1.

Siswihanto R, Distosia Bahu, dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi IV, cetakan IV, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2011; 599605.

2.

Gottlieb A et al, Shoulder Dystocia: An Update, Elsevier Saunders, Obstet Gynecol Clin N Am 34, Colorado, Denver, 2007; 501531 Cunningham, FG et.al. Abnormal Labour in Williams Obstetrics, 23rd ed. Prentice Hall International Inc. McGraw-Hill Companies. Connecticut. 2010.

3.

4.

Akoury H, Blouin D et al, Advances in Labour and Risk Management, Alarm Course Syllabus, 14th Edition, The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada, 2009.

5.

Samil,S, Prawirohardjo S. Pengambilan Keputusan Klinik dalam: Ilmu Bedah Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Edisi I, Cetakan VII, Jakarta, 2007; 62

6.

Squire C, Shoulder Dystocia in Emergencies Around Childbirth 2nd Ed. Radcliffe Publishing Ltd, London, United Kingdom, 2011; 125-148

7.

Creasy R.K, Management of Labor & Delivery , Blackwell Science, Massachusetts, USA, 1997

8.

Benjamin K. Part 1. Injuries to brachial plexus: mechanisms of injury and identification of risk factors. Adv Neonatal Care 2005;5(4):1819.

9.

Spong CY, Beall M, Rodrigues D, et al. An objective definition of shoulder dystocia: prolonged head-to-body delivery intervals and/or the use of ancillary obstetric maneuvers. Obstet Gynecol 1995;86:4336.

10.

Hofmeyr J.G, Neilson P.J et al, Shoulder Dystocia in A Cochrane pocketbook: Pregnancy and childbirth, John Wiley & Sons Ltd. West Sussex, UK, 2010, 292-294

11.

Doumouchtsis

S,

Shoulder

Dystocia

in

OXFORD

DESK

REFERENCE:

OBSTETRICS and GYNAECOLOGY, Oxford University Press Inc. New York, USA, 2011; 420-42527

12.

O'Leary J, Spellacy N, Shoulder Dystocia and Birth Injury: Prevention and Treatment 3rd Ed. Humana Press.Inc. New York, USA 2009

13.

Nesbitt TS, Gilbert WM, Herrchen B. Shoulder dystocia and associated risk factors with macrosomic infants born in California. Am J Obstet Gynecol 1998;179(2):476 80.

14.

Brown P.S, Obstetrics Emergencies in DEWHURST'S TEXTBOOK of OBSTETRICS & GYNAECOLOGY 7th Ed, Blackwell Publisihing, 2007, Chapter 18; 155

15.

Cohen B, Penning S, Major C, et al. Sonographic prediction of shoulder dystocia in infants of diabetic mothers. Obstet Gynecol 1996;88:103. Baker, N.P et al, Shoulder Dystocia in Obstetric by Ten Teachers, 18 th Ed. Bookpower / ELST, Great Britain, 2006; 283-5

16.

17.

Lerner H, Shoulder Dystocia : Facts, Evidence and Conclusions, FSb Associates, 2007

18.

Mir S, Ahmad A. Shoulder Dystocia, JK Science Article, Vol. 12 No. 4, Kashmir India , Oct-December 2010

19.

German R, Shoulder Dystocia in Protocols for high risk pregnancies 5th Ed, Blackwell Publishing Ltd, UK, 2010, 529

20.

Pernol,M.L et al, Nonvertex presentations,Shoulder dystocia, and Cord accidents in Benson & Pernol Handbook of Obstetrics and Gynecology ; 10th Ed. McGraw-Hill Companies. 2001; 403

21.

Poggi SH, Spong CY, Allen RH. Prioritizing posterior arm delivery during severe shoulder dystocia. Obstet Gynecol 2003;101(5):106872.

22.

Goodwin TM, Banks E, Lynnae K, et al. Catastrophic shoulder dystocia and emergency symphystiotomy. Am Jour Obstet Gynecol 1997;177:463464.

23.

Sandberg EC. The Zavanelli maneuver: 12 years of recorded experience. Obstet Gynecol 1999;93:3127.

24.

Callahan L et al, Complications of Labour and Delivery in Blueprints OBSTETRICS & GYNAECOLOGY 5th Ed. Lippincot Williams and Wilkins, Philadelphia, 2009; 7578

28