metode pemahaman hadis di indonesia: studi...
TRANSCRIPT
METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA:
Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh:
Ira Nur Azizah
NIM: 21170340000014
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (S2) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Desember 2019
Ira Nur Azizah
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis dengan judul “METODE PEMAHAMAN HADIS DI INDONESIA:
STUDI ATAS PEMIKIRAN T.M. HASBI ASH-SHIDDEIQY” yang ditulis oleh
Ira Nur Azizah, NIM. 21170340000014, telah diujikan dan dinyatakan lulus dalam
sidang munaqasyah Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2019. Tesis
tersebut telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji serta
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.Ag) pada
Program Studi Tafsir Hadis dengan Konsentrasi Hadis.
TIM PENGUJI
Dr. Bustamin, M.Si.
NIP. 19630701 199803 1 003
Ketua Tim Penguji
………………………………………….
Dr. Atiyatul Ulya, M.A.
NIP. 19700112 199603 2011
Penguji I
………………………………………….
Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag
NIP. 19650817 200003 1 001
Penguji II
………………………………………….
Dr. Ahmad Fudhaili, M.A.
NIP. 19740510 200501 1 009
Pembimbing I/Penguji III
………………………………………….
Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A.
NIP. 19780424 201503 1 001
Pembimbing II/Penguji IV
………………………………………….
Dr. Ahmad Fudhaili, M.A.
NIP. 19740510 200501 1 009
Sekretaris Tim Penguji
………………………………………….
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam tesis ini berdasarkan pada
Pedoman Penulisan Tesis yang digunakan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
iv
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ` ء
y ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasra
u ḏammah و
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara untuk vokal panjang (madd) di dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas ا
v
ī i dengan daris di atas ي
ū u dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif
dan lam, kemudian dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-zahrah bukan az-zahrah, al-
nisā` bukan an-nisā`.
5. Syaddah (Tasydīd)
Dalam sistem tulisan Arab, syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan tanda
( ). Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,
seperti الدين = al-dīn.
6. Ta marbūṯah
Jika huruf ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/, seperti عائشة = „Āisyah. Hal yang sama
juga diterapkan jika huruf ta marbūṯah diikuti dengan na’at, seperti معة اإلسالميةالجا
= al-jāmi‟ah al-Islāmiyyah. Namun jika ta marbūṯah diikuti dengan isim maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/, seperti وحدة الوجود = wahdat al-
wujūd.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya, seperti الغزالي = al-Ghazāli.
vi
DAFTAR ISTILAH
Metode : Berasal dari kata method yang berarti cara dan langkah.
Secara umum metode dapat didefinisikan sebagai sebuah
prosedur atau cara yang ditempuh untuk menggapai
sebuah tujuan tertentu.
Metodologi : Berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan “logos” yang
berarti cara dan ilmu. Sedangkan menurut istilah,
metodologi berarti ilmu tentang cara atau analisis teoritis
tentang suatu cara.
Integral : Meliputi semua bagiannya yang utuh, lengkap dan
sempurna serta saling mengikat satu sama lain.
Meunasah : Sebutan yang digunakan oleh masyarakat Aceh terhadap
bangunan umum di desa-desa yang berfungsi sebagai
tempat dilaksanakannya upacara agama, proses belajar-
mengajar materi ke-Islaman dan bermusyawarah.
vii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi metode pemahaman hadis T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy dan upayanya dalam mengembangkan kajian pemahaman hadis
di Indonesia. Pembacaan terhadap karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada bidang
hadis menunjukkan bahwa dalam memahami hadis ia menggunakan beberapa
langkah dan metode, yaitu memahami hadis dengan petunjuk al-Qur‟an, mentakwil
hadis-hadis musykīl, mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan, merujuk
pada sejumlah referensi dan menggunakan beberapa pendekatan yang meliputi
pendekatan historis, bahasa dan kesehatan. Adapun upaya Hasbi dalam
mengembangkan kajian hadis di Indonesia tergambar dari langkahnya untuk
menyajikan karya syarah hadis berbahasa lokal disaat hal tersebut masih jarang
ditemui pada awal sampai pertengahan abad ke-20 karena ulama-ulama yang hidup
sebelum Hasbi menulis kitab syarah hadis dalam bahasa Melayu dan Arab. Di
samping itu, konsumen atau pembaca dari karya Hasbi adalah para mahasiswa dan
masyarakat secara umum, sehingga membuatnya berbeda dari karya-karya
sebelumnya yang lebih cenderung dikaji oleh para santri di pesantren.
Penelitian ini mendukung pendapat Hasep Saputra dan Dede Rodliyana yang
menyatakan bahwa kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia telah
sampai pada perkembangan yang dinamis. Hal tersebut tercermin dari usaha para
pengkaji hadis di Indonesia dalam merekonstruksi metodologi pemahaman hadis agar
dapat menyesuaikan dengan kondisi zaman sehingga lebih dapat diterima oleh
masyarakat. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy menjadi salah seorang ulama yang
mengambil peran dalam bidang ini, yaitu dengan menerapkan metode pemahaman
kontekstual dalam menjelaskan hadis-hadis Nabi Saw. Karakteristik yang melekat
pada karya-karya hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga merupakan bukti bahwa
perkembangan kajian terhadap metode pemahaman hadis di Indonesia adalah benar
adanya.
Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya-karya T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis meliputi buku 2002 Mutiara Hadis, Koleksi
Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam dan Sejarah
Perkembangan Hadis. Di samping itu, ada juga sumber sekunder yang diambil dari
tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif dalam bentuk library research (riset kepustakaan).
Data yang sudah dikumpulkan kemudian dikaji dengan analisis deskriptif.
viii
الملخص
يهدف ىذا البحث إىل استكشاف طرق فهم احلديث لألستاذ تنكو حممد حسيب الصديقييبدو يف جمال احلديث بعد االستقراء اىل تصانيفو. و وجهوده ىف تطوير دراسة فهم احلديث ىف إندونيسيا
لكرمي، القرآن ا داللةفهم احلديث، وىي فهم احلديث النبوي مستندا إىل لنو يستخدم عدة الطرق أعدة ادلراجع ومستخدما إىلمستمدا و وتأويل األحاديث ادلشكلة، واجلمع بني األحاديث ادلختلفة،
جهوده ىف تطوير دراسة احلديث اموأ اليت تشمل ادلنهج التارخيي واللغوي والصحي. العديد ادلناىجب يفكان نادر احلدوث ذإ شرح احلديث باللغة احملليةكتب تقدمي لو يفمن عمالنبوي بإندونسيا يتصور
و واللغة يمنتصف القرن العشرين حيث كان العلماء الذين عاشوا حينئذ يكتبون كتب احلديث باللغة ادلالدما جيعلها خمتلفة ،ىم الطالب وعامة الناس حسيب الصديقيمصنفات اء قر جبانب ذلك ان العربية. و
ادلعاىد اإلسالمية. الطالب يف متيل اىل تعلمهاالسابقة اليت التصانيف عن طرق عنيدعم ىذا البحث رأي ىاسيب سابوترا وديدي رضيانا اللذين صرحا بأن البحوث
ديث دارسي احلجهود وذلك يتصور من .السريعتطور الفهم احلديث يف إندونيسيا قد وصلت إىل أكثر لدى ببوال قمتكون حىتالزمان لتكون مطابقا حبالة إعادة بناء طرق فهم احلديث يف إندونيسيا ب
ىذا اجملال بتطبيق طريقة فهم دورا ىاما يف اخذاجملتمع. أصبح األستاذ حسيب عادلا من العلماء الذي احلديثية، ىي دليل على تصانيفوديث السياقي يف شرح األحاديث النبوي. واخلصائص الكامنة يف احل
طرق فهم احلديث يف إندونيسيا. دراسة صحة تطوير، األستاذ حسيب يف احلديث النبوي مصنفاتيسية ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي وادلصادر الرئ
التاريخ وادلقدمة يف علم احلديث، ،جمموعات أحايث األحكام ،احلديث درر 2002كتاب منها: والنقاط الرئيسية يف علم الدراية ، مشاكل احلديث كأساس لتعزيز الشريعة اإلسالميةو تاريخ تطور
ذا البحث. هبذات صلة اليت كانت إىل ادلصادر األخرى من الكتبويستخدم الباحث احلديث النبوي.حتليلها يتم ، والبحث ادلكتيبجمال نوعية يفالطريقة الوالطريقة ادلستخدمة يف ىذا البحث ىي
طريق التحليل الوصفى. مباستخدا
ix
ABSTRACT
This study aims to explore the methods of T.M. Hasbi Ash Shiddiqy on
understanding of Hadith and his efforts in developing hadith studies in Indonesia. The
reading of his works in the field of Hadith shows that he used a several methods in
understanding the Hadith, namely understanding the Hadith with the guidance of the
Qur'an, interpreting the problematic Hadiths, compromising the contradictory
Hadiths, referring on a number of references and using several approaches which
include historical, language and health approaches. As for his efforts in developing
hadith studies in Indonesia it is reflected in his steps to present the explanation of
Hadiths in the local language at a time in which it was still rarely encountered in the
early to mid-20th century when the scholars who lived before Hasbi wrote the book
of hadith in the Malay and Arabic language. In addition, the readers of his writings
are students and the general public that makes it different from previous works that
are more likely to be studied by students in the Islamic boardings.
This study supports the opinions of Hasep Saputra and Dede Rodliyana who
stated that the studies of the methods of understanding of Hadith in Indonesia has
reached a dynamic development. This is reflected in the efforts of the Hadith scholars
in Indonesia to reconstruct the methodology of Hadith understandings so that it can
adjust to the conditions of the times and more acceptable to the community. Hasbi
became one of the scholars who took a role in this field by applying the method of
contextual understanding in explaining the Hadiths of the Prophet – pbuh - . The
characteristics inherent in the works of Hasbi, are also the evidence of the
development of studies on the methods of understanding of Hadith in Indonesia.
The main sources used in this research are the works of T.M Hasbi Ash
Shiddiqy in the field of Hadith including the book of 2002 pearls of Hadith, the
collections of legal Hadiths, the history and introduction to the science of Hadith, the
main points of science of diraya, the problems of Hadith as a basis for the
development of Islamic law and the history of the development of Hadith. In
addition, the other sources are also taken from relevant books in this study. The
method used in this research is qualitative in the form of library research. The data
that had been collected was then processed and analyzed using descriptive-analysis
method.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt yang berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Metode
Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” ini
dengan baik. Salawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, kepada keluarganya, sahabat dan para pengikutnya.
Selesainya tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si selaku Ketua Program Magister Fakultas
Ushuluddin dan Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag selaku Sekretaris Program
S-2 Magister Fakultas Ushuluddin.
4. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.A. dan Bapak Dr. Abdul Wahid Hakim M.A.
selaku dosen pembimbing penulisan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya karena telah dengan sabar membimbing,
mengarahkan dan memotivasi penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Dr. Bustamin, SE, M.Si, Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.A. dan Bapak Dr.
Muhammad Zuhdi Zaini, M.A. selaku Tim Penguji sidang munasqasyah yang
telah memberi banyak saran dan masukan dalam perbaikan tesis ini.
6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen yang mengajar
di Program Magister yang telah mendidik dan memberikan berbagai macam
ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu berikan dapat
bermanfaat dan menjadi amal jariyah.
7. Teruntuk Ayahanda Sari Muda dan Ibunda Desi Narti, penulis menyampaikan
rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kasih sayang,
xi
kesabaran, kepercayaan, dukungan dan doa yang tidak henti-hentinya
diberikan kepada penulis. Semoga Ayah dan Ibu selalu disayang Allah Swt
dan bahagia di dunia maupun di akhirat nanti. Dan juga, untuk Adinda
Muhammad Aldi Aripan yang selalu menyemangati kakaknya, terimakasih
sudah tumbuh menjadi anak yang baik, terimakasih untuk segalanya.
8. Segenap karyawan/i akademik Fakultas Ushuluddin yang telah membantu
penulis selama menjalani perkuliahan.
9. Teman-teman di Magister Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang telah
berjuang bersama penulis selama duduk di bangku kuliah. Perjalanan masih
panjang, kawan!
10. Keluarga besar di kampung, Maknga, Makwo (almh.), Wak Rilo (alm.), Wo
Ang, Wak Abang Yon, Wak Oki, Wak Dang Lik, Wak Ema, Datuk Gajah,
Mamang Cut dan semua nama yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis
selama ini.
11. Teman-teman penulis di manapun berada, Martiyul, Mbak Apil, Chapap,
Ipeh, Ciul, Nelfi, Alumni PPAH Bengkulu, MF 2023, TXT members dan
semua rekan seperjuangan yang selalu memberi support dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan menjadi amal jariyah
bagi mereka dan Allah Swt balas dengan sebaik-baiknya balasan.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa ilmu yang dimiliki penulis masih
sangat minim sehingga tulisan ini pasti memiliki kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Akhirnya, hanya kepada Allah penulis mengharap ridha dan
mengucap rasa syukur. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan yang memberi
motivasi kepada kita agar senantiasa mengkaji hadisnya. Amin.
Ciputat, 24 Desember 2019
Ira Nur Azizah
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. iii
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................. 9
D. Kajian Terdahulu yang Relevan ........................................................... 9
E. Kerangka Teoritik ................................................................................. 14
F. Metodologi Penelitian ........................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 18
BAB II PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS
A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis ..................................................... 20
B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia ........................................... 31
C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia .............................. 36
BAB III SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
A. Biografi T.M. Ash-Shiddieqy ............................................................... 48
1. Riwayat Hidup ................................................................................ 48
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir ............................................. 50
3. Karya-karya .................................................................................... 57
B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ............................. 63
1. Bidang Tafsir .................................................................................. 64
2. Bidang Fiqih ................................................................................... 68
3. Bidang Hadis ................................................................................... 71
xiii
BAB IV PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
A. Metode Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy ....................... 89
1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur‟an .............................. 89
2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl ..................................................... 94
3. Merujuk pada Sejumlah Referensi .................................................. 101
4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalif .................................... 106
5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan ............................ 111
B. Upaya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan
Kajian Pemahaman Hadis di Indonesia ................................................ 142
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 146
B. Saran-saran ............................................................................................ 147
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis menempati posisi yang istimewa dalam Islam yaitu sebagai salah satu
sumber syariat dan hujjah bagi kaum muslimin.1 Di samping itu, hadis juga
mempunyai peran yang strategis berupa penjelas bagi ajaran-ajaran yang masih
umum dan global dalam Al-Qur‟an.2 Karena kedudukannya tersebut, ia dijadikan
pedoman hidup sekaligus referensi untuk permasalahan-permasalahan yang dihadapi
manusia. Sama halnya dengan Al-Qur‟an, proses pembacaan terhadap hadis juga
membutuhkan interpretasi lebih lanjut dan mendalam untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh dan komprehensif, terutama pada hadis-hadis yang redaksinya
sulit dipahami atau tampak bertentangan. Jika penjelasan terhadap Al-Qur‟an disebut
dengan tafsir, maka pada kajian hadis dikenal istilah fahm, fiqh dan syarh. Beberapa
istilah tersebut mengacu pada satu definisi yaitu aktivitas memahami makna yang
terkandung dalam hadis.
Kajian terhadap pemahaman hadis tidak lepas dari perkembangan hadis itu
sendiri. Hadis mulai berkembang dan menjadi kajian yang mandiri didukung oleh
pengkodifikasian yang diprakarsai oleh Muhammad bin Syihāb al-Zuhri (w. 124 H)
atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) pada masa Dinasti Umayyah.
Hal tersebut telah memberi dampak yang sangat besar pada kelanjutan kajian hadis
dalam Islam.3 Namun pada awalnya, kajian mengenai pemahaman hadis memang
tidak se-intens kajian terhadap periwayatannya. Hal ini dikarenakan ulama
1 Ibnu Naṣiruddīn al-Dimasyqī, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata Salaf
yang Terpendam (833H/1429M), Terj. oleh Faisal Saleh Dkk (Jakarta: Penerbit Akbar, 2008), h. 107. 2 Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group 2016), h. 24.
3 Meskipun hasil tadwīn yang dilakukan oleh al-Zuhri tidak sampai kepada kita, namun sudah
cukup memotivasi ulama yang lain untuk mengumpulkan dan menyusun kitab tadwin hadis pada masa
selanjutnya. Ulama yang berhasil menyusun kitab hadis dan karyanya dapat dibaca oleh umat Islam
saat ini adalah Malik bin Anas dengan karyanya Al-Muwaṭṭa’. Sehingga kitab ini dianggap sebagai
kitab hadis pertama yang terkodifikasi secara utuh. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010), h. 47-48.
2
mutaqaddimīn lebih terfokus pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis.4 Di
samping itu, pada masa awal Islam hampir tidak ada permasalahan yang berkenaan
dengan pemahaman redaksi hadis, karena para sahabat dapat bertanya langsung
kepada Nabi Saw mengenai hal-hal yang belum jelas dan belum mereka pahami.5
Kalaupun terjadi perselisihan di antara sahabat, maka penyelesaiannya selalu
dikembalikan kepada Nabi Saw.6
Setelah beberapa generasi terlewati, barulah sebagian dari hadis-hadis Nabi
Saw mulai terlihat sulit untuk dipahami (musykīl) dan bahkan beberapa darinya
dipandang mukhtalīf atau bertentangan satu sama lain.7 Salah satu faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut adalah ekspansi wilayah Islam yang semakin meluas ke
luar wilayah Arab. Sehingga muncul berbagai masalah mengenai pemahaman redaksi
hadis yang terasa aneh dan asing pada masa-masa berikutya.8 Menanggapi hal
tersebut, para ulama kemudian menulis dan melahirkan karya berupa kitab-kitab yang
secara khusus membahas tentang penjelasan terhadap hadis. Maka satu per-satu kitab
syarah hadis pun mulai bermunculan, diawali dengan kitab Tafsīr fī Al-Muwaṯṯā’
yang ditulis oleh Abdullah bin Nāfi‟ al-Masr al-Saigh (w. 186 H) yang merupakan
syarah dari kitab Al-Muwaṯṯā’. Kemudian diikuti dengan kitab A’lām al-Sunan karya
Abu Sulaimān Hammād bin Muhammad al-Khiṯābi (w. 388 H) yang merupakan
syarah kitab Shahih al-Bukhāri dan lain-lain. Geliat terhadap penulisan kitab syarah
ini semakin marak dilakukan pada abad pertengahan yang pada masa tersebut lahir
4 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 5 Nabi Muhammad Saw merupakan mufassir dan mubayyin yang diberi legitimasi langsung
oleh Allah Swt untuk menerangkan semua dalil-dalil agama. ketika beliau masih hidup, para sahabat
tidak mengalami kesulitan dalam memahami ajaran agama karena kehadiran Nabi Saw sebagai tempat
bertanya. Lihat: Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, Terjemah Oleh Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 3-8. 6 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, Cet-2 ( Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 22. 7 Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia,” Studi Al-Qur’an dan
Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45. 8 Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode
Memahami Hadis Nabi, h. 6.
3
kitab-kitab syarah legendaris seperti Fath al-Bāri Syarh Sahīh al-Bukhāri dan Al-
Minhāj Syarh Sahīh Muslim.9
Perkembangan hadis semakin mengalami peningkatan dari masa ke masa.
Pada awalnya ia hanya dikaji di wilayah Arab dan sekitarnya saja. Namun setelah
Islam menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, kajian-kajian ke-Islaman seperti
syarah dan pemahaman hadis juga turut mengalami perkembangan. Perluasan
wilayah yang dilakukan pada masa ke-khalifahan Islam lambat laun juga berhasil
menyentuh daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.10
Adapun Islam pertama kali
masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-7, beberapa pendapat mengatakan
abad ke-8 dan ke-1311
yang masing-masing darinya mempunyai argumentasi
pembuktian yang kuat. Terlepas dari teori-teori tersebut, sudah dapat dipastikan
bahwa kajian terhadap pemahaman hadis terjadi jauh setelah masuknya Islam ke
Indonesia.
Hal tersebut erat kaitannya dengan kenyataan bahwa perkembangan kajian
hadis di Indonesia tergolong sedikit lebih lambat dibandingkan ilmu-ilmu ke-Islaman
yang lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen, hadis
merupakan mata pelajaran yang relatif baru di pesantren dan dan belum dijadikan
kurikulum resmi pada lembaga pendidikan sebelum abad ke-20 di Indonesia. Pada
saat itu, para santri hanya menemui hadis-hadis sebagai pendukung dan penjelas mata
9 Sandi Santosa, “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis,” Diroyah: Ilmu Hadis 1, No. 1
(September 2016), h. 82-83. 10
Masuknya Islam ke daerah Asia Tenggara lewat media dakwah dan dagang, bukan
penaklukan. Hal ini tidak lepas dari peran para pedagang muslim yang berasal dari India (ada juga
yang menyebutnya pedagang dari Arab). Para pedagang tersebut melakukan aktifitas perdagangan dan
sekaligus memperkenalkan tata cara jual beli dalam Islam. Karena dalam berinteraksi dengan
penduduk pribumi para pedagang tersebut menanamkan adab-adab yang ramah dan toleran, ajaran-
ajaran Islam yang mereka bawa dapat cepat diserap dan diterima. Lihat: Dudung Abdurrahman Dkk,
Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Cet-2 (Yogyakarta: LESFI, 2004), h. 318. 11
Teori pertama mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, yaitu pada
abad ke-7 M. Pendapat ini diperkuat dengan dokumen yang ditulis oleh Chu Fan Chi yang dikutipnya
dari catatan Chou Ku-Fei mengenai sebuah perkampungan Islam di Pantai Barus yang dikenal dengan
sebutan Ta-Shih. Teori kedua menyatakan kalau Islam datang dari Gujarat pada abad ke-8 M dengan
bukti berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka 1297 bercorak Gujarat.
Sedangkan teori yang terakhir mengatakan kalau Islam datang dari Persia pada abad ke-12 M karena
maraknya paham Syi‟ah pada awal kemunculan Islam di Indonesia, seperti tabuik atau tabot. Lihat:
Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi Agama dan Masyarakat 12, No. 1
(Juni 2016), h. 117-119 dan Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 193-196.
4
pelajaran yang lain seperti fiqih dan akidah.12
Namun meskipun perkembangannya
mengalami keterlambatan, hal tersebut bukan berarti para ulama sama sekali tidak
memberi perhatian pada kajian hadis, terbukti dengan lahirnya beberapa karya dalam
bidang tersebut pada masa-masa selanjutnya.
Adapun mengenai kajian terhadap metodologi pemahaman hadis di Indonesia
pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu dengan mengambil penjelasan
dari kitab-kitab syarah yang ditulis oleh para ulama. Tercatat bahwa pada abad ke-17
sampai 19 M belum ada buku yang secara mandiri memaparkan langkah-langkah
sistematis dalam memahami hadis. Sehingga, untuk memetakan metode yang
ditempuh para ulama Indonesia dalam memahami hadis hanya dapat ditelusuri dari
kitab-kitab syarah yang mereka tulis.13
Kitab-kitab tersebut sudah mempunyai
karakteristik tersendiri baik dari segi metodologi,14
pendekatan,15
dan mazhab16
yang
digunakan, hanya saja para ulama yang menulis tidak menjelaskannya secara
langsung dan detail mengenai metode yang mereka gunakan.
Memasuki abad ke-20, kajian hadis di Indonesia menapaki babak baru dengan
munculnya banyak pemikir hadis yang mumpuni dan menghasilkan karya-karya yang
cemerlang. Salah seorang tokoh yang ikut mengambil peran dalam pengembangan
kajian pemahaman hadis di Indonesia adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Ia
merupakan ulama yang berasal dari Aceh dan termasuk salah seorang tokoh
12
Lihat: Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung:
Mizan, 1999), h. 29 dan 161. 13
Geliat penulisan kitab syarah hadis di Indonesia sudah dimulai pada abad ke 17 dengan
munculnya karya yang ditulis para ulama seperti Abdul Rauf al-Sinkili yang menulis kitab Syaraḥ
Latīef ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi. Disusul dengan Hidāyat al-Ḥabīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb
yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniri. Keterangan lebih lanjut baca: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di
Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 47-50. 14
Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama
dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh.
Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2
(2016): h. 266. 15
Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu:
pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga,
Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 16
Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis
klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan
tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah
bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya.
Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.
5
pembaharu yang giat menyuarakan tentang pentingnya ijtihad. Hasbi juga dikenal
sebagai seorang akademisi yang produktif menulis. Sepanjang hidupnya ia telah
menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) dan 8 judul (26 jilid) di antaranya merupakan
tulisannya dalam bidang hadis yang meliputi tentang sejarah perkembangan hadis,
ulūm al-hadīts dan syarah hadis.17
Jika dilihat dari beberapa karya Hasbi dalam bidang hadis, memang tidak ada
yang secara khusus membahas tentang metode pemahaman hadis. Namun metode
yang ia gunakan dapat dilihat dari langkahnya menjelaskan hadis-hadis di dalam
karya syarahnya.18
Dari pembacaan terhadap karyanya tersebut, diketahui bahwa di
samping memahami hadis secara tekstual Hasbi juga menerapkan pemahaman
kontekstual pada hadis.19
Menurutnya, dalam memahami hadis adalah sesuatu yang
sangat penting untuk memperhatikan „illat yang terkandung di dalamnya, karena hal
tersebut dapat mempengaruhi status hukum dan pengamalannya.20
Di samping itu,
dalam memahami hadis Hasbi juga sangat berpedoman kepada Al-Qur‟an. Langkah
inilah yang kemudian membuatnya berkesimpulan bahwa tidak ada syafa’at kubra
karena tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan keberadaannya secara tegas.21
17
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya, h. 265-276. 18
Diketahui bahwa Hasbi menulis dua karya dalam bidang syarah hadis yang ia kemas dalam
beberapa jilid. Karyanya dalam bidang syarah juga dipandang unik karena ditulis dalam bahasa lokal.
Hal tersebut membuatnya berbeda dari ulama-ulama sebelumnya yang menulis kitab syarah dalam
bahasa Arab seperti Nawawi al-Bantani (1815-1897) yang menulis kitab syarah berjudul Tanqīh al-
Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab al-Hadīs dan Mahmūd al-Tarmasi (1868-1920) yang menulis kitab Al-
Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al-Khairiyyah. Maka hadirnya syarah hadis dalam bahasa
Indonesia merupakan sesuatu yang baru kala itu. Langkah yang dilakukan oleh Hasbi ini bukan tidak
mempunyai alasan. Sebagaimana dikutip oleh Noer Chalida, bahwa Hasbi mengungkapkan tujuannya
menulis syarah hadis dalam bahasa Indonesia adalah agar masyarakat dapat dengan mudah memahami
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw, dengan begitu Islam juga dapat lebih cepat diterima oleh
mereka. Lihat; Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,” Al-Hikmah 5, No. 2
(Oktober 2017): h. 90. 19
Menurut Ramli istilah kontekstual belum familiar dalam kajian hadis di Indonesia sebelum
abad ke-20. Lihat: Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia,
Jurnal Analytica Islamica, Volume 4 No. 2, 2015, h. 232. 20
“Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”,
hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang
jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy,
Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid
VII, h. 65. 21
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I 9Jakarta; Buan Bintang, 1961) h. 409.
6
Pada sisi lain, Hasbi juga seringkali mengemukakan pendapat yang dinilai
berbeda dari ulama kebanyakan seperti pemahamannya mengenai shalat Jum‟at yang
menurutnya merupakan pengganti shalat Zuhur pada hari Jum‟at sehingga semua
laki-laki dan perempuan wajib mendirikan shalat Jum‟at baik di masjid atau
sendirian.22
Ia juga berpendapat bahwa mengqashar shalat diperbolehkan di dalam
safar selama si musāfir tidak berniat untuk mukim di tempat yang ia kunjungi dan
tidak ada batasan waktunya karena hadis yang menjelaskan hal tersebut juga tidak
ditemukan.23
Pendapat-pendapat yang ia kemukakan selalu ia sandarkan dengan hadis
Nabi Saw. Maka menjadi sesuatu yang penting untuk diteliti bagaimana cara Hasbi
dalam menetapkan sebuah hukum dan apa metode yang ia gunakan dalam memahami
hadis hingga ia mempunyai kesimpulan yang berbeda dari ulama jumhur.
Dari pemaparan di atas, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian
terhadap metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
melalui beberapa karyanya dalam bidang hadis. Selain dikarenakan belum ada
penelitian yang menyoroti hal tersebut secara komprehensif, Hasbi juga tidak
mengungkapkan secara pribadi metode yang ia gunakan dalam memahami hadis dan
juga tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut. Sehingga jalan untuk
mengetahui hal tersebut adalah dengan mengkaji karya-karya beliau dalam bidang
hadis untuk kemudian dipetakan secara sistematis. Dengan mempertimbangkan
alasan-alasan tersebut, maka tesis ini dengan judul “Metode Pemahaman Hadis di
Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” laik untuk dikaji pada
penelitian lebih lanjut.
22
Hasbi menjelaskan tentang hal ini dalam sebuah bab yang cukup panjang. Penjelasan
selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4 (Bandung: Al-
Ma‟arif, 1974), h. 209. Lihat juga: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), h. 389. 23
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4, h. 332 dan Ash-Shiddieqy, Pedoman
Shalat, Cet-11, h. 430.
7
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi, antara lain:
a. Dari konteks sejarah, perkembangan kajian hadis di Indonesia dianggap
mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan cabang-cabang keilmuan
yang lain seperti Tafsir dan Fikih.
b. Metode pemahaman hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan
perkembangan. Seperti halnya pemahaman kontekstual yang sebelumnya
tidak dikenal dalam kajian pemahaman hadis dan baru muncul serta
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh hadis Indonesia pada pertengahan abad ke-20.
Kemunculan metode ini menimbulkan tanda tanya, apakah metode yang
diterapkan oleh ulama klasik sudah tidak relevan untuk dijadikan pegangan
dalam memahami hadis Nabi Saw pada masa kontemporer ini.
c. Dalam upayanya untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy mempunyai cara tersendiri yaitu dengan menghadirkan kitab
syarah dalam bahasa lokal. Hal tersebut menjadikan karyanya berbeda dari
ulama-ulama sebelumnya karena mayoritas dari mereka menulis kitab hadis
dalam bahasa Arab dan Melayu. Namun langkah yang ditempuh oleh Hasbi
ini tidak sepenuhnya menguntungkan karena karya syarahnya sulit untuk
mendunia dan tidak populer di kalangan pesantren yang mayoritas pesantren
lebih mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab.
d. Di samping dikenal sebagai ulama hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga
disebut sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Paham
pembaharuan yang ia anut sedikit banyaknya telah mempengaruhi pola pikir
dan caranya dalam membaca teks agama, sehingga tidak jarang pendapatnya
mengenai suatu hukum sangat berbeda dengan yang diyakini oleh ulama
jumhur.
e. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan ulama yang produktif. Ia
menghasilkan 72 judul buku (142 jilid) yang 8 judul (26 jilid) di antaranya
8
membahas tentang hadis. Namun dari delapan karyanya pada bidang hadis, ia
tidak menulis karya khusus terkait metode pemahaman hadis. T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy juga tidak menjelaskan secara eksplisit metode yang ia
gunakan dalam memahami hadis, sehingga jalan untuk mengetahui
metodologinya adalah dengan mengkaji semua karyanya dalam bidang hadis
dan kemudian memetakannya.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang sudah diidentifikasi, penelitian ini akan dibatasi
hanya pada pembahasan seputar metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi Saw dengan merujuk pada karya-karyanya
pada bidang hadis. Adapun karya yang ia tulis dalam bidang hadis antara lain adalah
2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, Sejarah Perkembangan Hadis Sejarah Perkembangan Hadis Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam,
Beberapa Rangkuman Hadis, dan Rijal al-Hadith. Dari delapan karyanya tersebut,
penulis hanya akan meneliti enam buku yang disebutkan paling awal karena pokok
pembahasan dalam tesis ini terkait dengan metode pemahaman hadis sehingga karya
beliau seperti Beberapa Rangkuman Hadis dan Rijal al-Hadith tidak dijadikan
sebagai sumber penelitian.
Adapun alasan penulis memilih T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sebagai tokoh
yang akan dikaji pada penelitian ini karena beliau merupakan salah seorang tokoh
pembaharu di Indonesia. Di samping itu, beliau juga merupakan seorang akademisi
yang mempunyai kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Beliau aktif mengajar di
berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, dan juga mempunyai banyak karya di bidang
hadis yang karya-karyanya tersebut terus dicetak dan dikaji. Dengan ini tentu saja
pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh pada cara pandang murid-murid,
pembaca setianya dan juga masyarakat Indonesia secara umum.
9
3. Rumusan masalah
Berdasarkan pembatasan di atas, maka penulis merumuskan dua masalah
pokok, yaitu:
a. Bagaimana metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis Nabi
Saw?
b. Bagaimana upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengembangkan kajian
pemahaman hadis di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka secara
garis besar tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan, mengetahui dan
memetakan metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy di dalam karya-karyanya pada bidang hadis.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Sebagai sumbangan ilmiah bagi para akademisi dan para peminat kajian hadis
terutama yang berkenaan dengan perkembangan metodologi pemahaman
hadis di Indonesia.
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam kemajuan kajian
hadis di Indonesia dan dapat menarik minat peneliti lain untuk melakukan
penelitian-penelitian lanjutan yang berkenaan dengan tema yang sama.
D. Kajian Terdahulu yang Relevan
Dalam mempersiapkan tesis ini, penulis telah melakukan penelusuran
terhadap beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai keterkaitan dengan tema
tentang metode pemahaman hadis dan pemikiran hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
M. Alfatih Suryadilaga menulis sebuah buku berjudul Metodologi Syarah
Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.24
Buku ini berisi pembahasan tentang
24
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer
(Yogyakarta: Kalimedia, 2017).
10
beberapa metode, pendekatan dan pola yang digunakan para ulama dalam mensyarah
hadis. Alfatih menyimpulkan bahwa ada tiga metode dalam syarah hadis, yaitu
metode tahlili, metode ijmali dan metode muqaran. Pendekatan dalam kajian syarah
hadis juga ada tiga yaitu pendekatan historis, sosiologi dan antropologi. Adapun pola
dalam syarah hadis ada empat, antara lain memahami hadis dengan Al-Qur‟an,
memahami hadis dengan hadis, memahami hadis dengan literasi bahasa dan dengan
ijtihad. Di dalam buku ini, Alfatih juga menguraikan metodologi dari beberapa kitab
kitab hadis sebagai pelengkap.
Sebuah tulisan yang berjudul Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis
ditulis oleh A. Shamad juga membahas mengenai pendekatan-pendekatan yang bisa
digunakan dalam kajian pemahaman hadis.25
Tulisan ini diterbitkan oleh SEAR
(South East Asia Regional Forum Intellectual Qoran Hadith) dan berkolaborasi
dengan UIN Ar-Raniry. Penelitiannya berkenaan dengan beberapa pendekatan dalam
memahami hadis, yaitu pendekatan linguistik, historis dan sosiologis. Dalam
penelitiannya, A. Shamad juga membuat pembahasan khusus tentang pendekatan
kontekstual dalam memahami hadis. Ia menuturkan bahwa sudah seharusnya
pendekatan kontekstual berupa peninjauan terhadap historisitas hadis lebih
dikembangkan, karena ada hadis-hadis yang jika dipahami secara tekstual akan
terlihat seperti tidak komunikatif lagi dengan zaman.
Sebelumnya Yūsuf al-Qarḍāwi juga pernah menulis sebuah buku yang
berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Dalam bukunya ini, ia
menguraikan beberapa metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis Nabi
Saw. Muḥammad al-Ghazāli juga mengarang sebuah kitab yang berjudul Al-Sunnah
al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts dan sudah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dengan judul Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.26
Di dalam buku tersebut dibahas mengenai
otoritas Nabi Saw dalam menyampaikan hadis sebagai sumber hukum Islam,
25
A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,” Al-Mu’assirah 13, No. 1
(Januari 2016): 34-45. 26
Muḥammad al-Ghazāli, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual (Bandung: Mizan, 1996).
11
metodologi kritik hadis dan beberapa pemahaman hadis ditinjau dari pendekatan para
ulama Fiqh dan ulama Hadis.
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Liliek Channa AW dengan judul
Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.27
Penelitiannya
membahas tentang metode dalam memahami hadis secara tekstual dan kontekstual
dan beberapa cara dalam menginterpretasi hadis dari konteksnya. Menurutnya, untuk
merealisasikan hadis sebagai dalil yang berlaku sepanjang zaman dibutuhkan
pendekatan dari segi konteks hadis. Namun, ada konsekuensi yang harus dihadapi
dari pemahaman hadis kontekstual yaitu, arti hadis bisa saja menjadi tawaqquf
(diabaikan) jika hadisnya bersifat temporal, selain itu pemahaman kontekstual juga
akan memberikan penjelasan yang berbeda dengan yang tersurat dalam teks.
Mewakili beberapa pemikir hadis modern di Indonesia Said Agil al-
Munawwar menghasilkan sebuah karya berjudul Asbābul Wurūd: Studi Kritik Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.28
Buku ini merupakan terjemahan dari
kitab Asbāb al-Wurūd al-Hadīts wa al-Luma’ fi Asbāb al-Hadīts karya Jalāl al-Dīn
al-Suyūṯi dengan penambahan beberapa bab mengenai pemahaman hadis. Buku ini
berupaya untuk memberikan penjelasan tentang asbāb al-wurūd, fungsi dan
urgensinya dalam memahami hadis. Di samping itu, M. Syuhudi Ismail juga menulis
sebuah buku yang berkenaan dengan metodologi memahami hadis ia beri judul Hadis
yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal29
yang secara umum memaparkan tentang penjelasan
beberapa hadis berdasarkan pengelompokannya secara tekstual dan kontekstual.
Penelitian yang dilakukan oleh Badri Khaeruman berjudul Perkembangan
Hadis di Indonesia pada Abad XX30
menjelaskan tentang perjalanan perkembangan
kajian hadis di Indonesia. Agung Danarta juga melakukan penelitian serupa dengan
27
Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna
XV, No. 2 (Desember 2011): 391-414. 28
Said Agil al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 29
M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani Al-Hadis tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 2009). 30
Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Dirayah Ilmu
Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.
12
judul Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan.31
Muhajirin menulis sebuah buku berjudul Kebangkitan Hadits din Nusantara.32
Karya
lain yang berhubungan dengan kajian hadis di Indonesia juga dihasilkan oleh Muh.
Tasrif dengan judul Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad
XVII-Sekarang.33
Pada awalnya tulisannya ini dipublikasikan dalam jurnal namun
sekarang sudah dicetak dalam bentuk buku dengan judul Kajian Hadis di Indonesia:
Sejarah dan Pemikiran.
Adapun sebuah penelitian terkait perkembangan kajian hadis di Indonesia
juga pernah dilakukan oleh Muhammad Dede Rodliyana. Penelitiannya terfokus pada
pergeseran pemikiran Ulūm al-Hadīts di Indonesia yang pada kesimpulannya ia
mengungkapkan bahwa seiring berjalannya waktu metodologi yang digunakan oleh
para ulama terkait Ulūm al-Hadīts telah mengalami perkembangan.34
Kesimpulan
yang serupa juga disampaikan oleh Hasep Saputera di dalam penelitiannya. Ia
menyatakan bahwa telah terjadi perkembangan pada kajian pemahaman hadis di
Indonesia, terbukti dengan langkah yang ditempuh oleh para pengkaji hadisnya yang
berusaha untuk merekonstruksi metodologi kajian hadis agar dapat diterima oleh
masyarakat pada saat ini. pergeseran yang terjadi pada pemahaman hadis di Indonesia
juga tampak dari munculnya metode-metode baru yang digunakan oleh para ulama
dalam memahami hadis seperti antropologi, sosiologi dan hermeneutic. Namun secara
keseluruhan metode-metode tersebut terangkum dalam dua tipologi, yaitu
pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual.35
Sedangkan penelitian yang khusus membahas tentang M. Hasbi Ash-
Shiddieqy salah satunya adalah yang ditulis oleh Nourouzzaman Shiddiqi berjudul
Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Di dalam buku ini dijelaskan secara
31
Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya Pemetaan,”
Tarjih, Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82. 32
Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantra (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016). 33
Muh. Tasrif, “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dari Abad XVII-
Sekarang,” Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari 2004). 34
Muhammad Dede Rodliyana, “Pergeseran Pemikiran Ulum al-Hadis dan Pengaruhnya
terhadap Pemikiran Ulum al-Hadis di Indonesia,” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2003. 35
Hasep Saputra. “Perkembangan Studi Hadis di Indonesia: Pemetaan dan Analisis
Genealogi.” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2014.
13
lengkap mengenai biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy berikut beberapa poin-poin
penting dari ide pemikirannya.36
Penelitian lainnya berjudul Kontribusi Pemikiran
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis yang ditulis oleh Aan Supian.
Penelitian ini berisi tentang pemikiran Hasbi mengenai periode hadis, kriteria hadis
shahih dan dhaif serta sedikit pembahasan tentang metode syarah hadis yang beliau
gunakan.37
Hefni Julidar Daulay melakukan penelitian dengan judul Pemikiran Hadis
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu
Pembahasan Pertama (Taharah).38
Secara umum penelitian ini membahas tentang
perbedaan antara pemikiran fikih Hasbi dengan pemahaman yang dianut oleh umat
Islam kebanyakan.
Setelah melacak dan menelusuri literatur-literatur yang berkenaan dengan
tema yang dibahas dalam tesis ini, penulis melihat bahwa kebanyakan dari penelitian
tersebut hanya menguraikan pembahasannya secara sepintas dan dalam bab-bab
tertentu saja. Di samping itu, terdapat beberapa hal yang menjadikan penelitian ini
berbeda dari kajian terdahulu, yaitu:
1. Penelitian ini akan mengkaji tentang metodologi T.M. Hasbi Ash- Shiddieqy
dalam memahami hadis. Kajian terdahulu mengenai kontribusi T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis sudah pernah dilakukan, namun masih
dalam porsi yang sangat umum dan belum menyentuh ranah metodologi
pemahaman hadis yang ditawarkan oleh beliau.
2. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
merupakan salah satu tokoh awal yang membuka wacana baru dalam kajian
pemahaman hadis di Indonesia, baik dari segi metodologi atau
karakteristiknya.
36
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997). 37
Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,”
Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): 270-291. 38
Hefni Julidar Daulay, Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku Koleksi
Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah), Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN
Sumatera Utara.
14
E. Kerangka Teoritik
Salah satu bentuk kajian dalam bidang hadis adalah studi tokoh. Studi yang
dimaksud berupa kajian terhadap kontribusi tokoh dalam bidang hadis meliputi
karya-karya dan pemikiran serta ide yang disampaikan secara langsung maupun
dalam bentuk tulisan. Maka dari itu metode yang digunakan oleh seorang tokoh
dalam memahami hadis merupakan bagian dari kajian dalam kategori ini. Adapun
penelitian ini berupaya untuk mengetahui metode pemahaman hadis salah seorang
tokoh di Indonesia yang hidup pada pertengahan abad ke-20, T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy. Juga include di dalam penelitian ini pembahasan mengenai perkembangan
kajian hadis di Indonesia dan epistemologi hadis beliau secara umum.
Dalam meneliti metode pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi, penulis
menggunakan teori komparatif tekstual-kontekstual. Sebagaimana sudah lumrah di
dunia akademik bahwa komparatif berarti perbandingan. Maka dalam penelitian ini
selain mengkaji pemikiran Hasbi penulis juga melakukan peninjauan terhadap
pemikiran ulama-ulama lain dalam tema yang sama. Hal ini ditujukan untuk memilah
antara pemikiran serta idenya yang original dan pemikirannya yang terinspirasi dari
ulama lain atau bahkan memang secara jelas mengutipnya sebagai rujukan. Di dalam
karya-karyanya, Hasbi seringkali mengutip perkataan-perkataan ulama seperti Ibnu
Hajar dan imam mazhab fikih yang empat, namun pada beberapa tempat ia tidak
menyebutkan sumbernya sehingga besar kemungkinan hal tersebut merupakan hasil
ijtihadnya sendiri.
Dalam praktiknya terdapat sebuah metode yang sangat menonjol dari Hasbi
dalam memahami hadis yaitu dengan berpegang teguh pada petunjuk al-Qur‟an. Jika
ia menemukan sebuah hadis bertentangan kandungannya dengan yang tertera di
dalam al-Qur‟an, maka ia akan menolak hadis tersebut sekalipun sanadnya shahih.
Sebagai contoh pemahamannya tentang syafa‟at berupa penyelamatan manusia dari
api neraka. Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan firman Allah Swt yang
menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat menyelamatkan manusia dari api
neraka. Pemahaman hadis dengan merujuk kepada petunjuk al-Qur‟an sebenarnya
telah dipraktikkan oleh ulama-ulama terdahulu dan juga ulama kekinian seperti Yusuf
15
al-Qarḏāwi dan Muhammad al-Ghāzali,39
sehingga metode ini bukanlah original dari
Hasbi. Namun dalam hal ini memang Hasbi terlihat lebih berani dibandingkan ulama-
ulama yang lain karena dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap hadis yang
kandungannya bertentangan dengan al-Qur‟an.
Adapun tekstual dan kontekstual merupakan istilah yang juga sudah familiar
di kalangan pengkaji hadis. Tekstual merupakan pemahaman terhadap hadis yang
terfokus pada makna harfiyah teks, sedangkan kontekstual merupakan pemahaman
hadis yang bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan asal usul (asbab al-wurud)
hadis serta konteks yang mengitarinya.40
Dalam kajian hadis, pemahaman kontekstual
sulit untuk dihindari karena hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam berbagai corak
dan bentuk yang terkadang dianggap bertolak belakang dan tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.41
Di samping itu, karena semakin kompleksnya problem hidup
manusia, ada ranah yang tidak tersentuh oleh hadis sebagai sumber ajaran kedua
setelah al-Qur‟an.42
Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif untuk menjawab semua
tuntutan yang ada serta untuk menghindari misunderstanding dan misperception
terhadap kandungan hadis.
Sebuah konsep yang disampaikan oleh Muhammad „Abid al-Jābiri tentang
tradisi menunjukkan bahwa pemahaman hadis yang hanya ditarik dari literal teksnya
tanpa mempertimbangkan asumsi sosial yang melingkupinya sangat rentan
menimbulkan kesalahpahaman. Dengan demikian dibutuhkan alternatif dan
kreatifitas dari para ulama yang diharapkan dapat mengatasi krisis makna yang
dimunculkannya. Beliau menyatakan bahwa hadis yang sampai kepada umat Islam
adalah warisan tradisi masa lalu yang tidak lain merupakan gambaran dari aktifitas-
aktifitas yang dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat, dan setiap tradisi pasti
39 Penjelasan selengkapnya lihat: Yusuf Qardhawi, Metode Memahami as-Sunnah dengan
Benar, Penerjemah Saifullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), h. 105, dan Muhammad al-
Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penerjemah
Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. 11. 40
Liliek Channa AW, Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal
Ulumuna Vo. XV Nomor 2, Desember 2011, h. 395. 41
Tasbih, Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana Islam
Nusantara, Jurnal Al-Ulum Vol. 16 No. 1, Juni 2016, h. 82. 42
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
h. 182.
16
mengalami transformasi yang dinamis. Secara tekstual memang interpretasi dari
sebuah hadis tidak berubah, namun jika terus dipahami secara tekstual maka makna
teks tidak akan mampu berdialaog dengan keadaan zaman.43
Dalam perkembangannya, metode pemahaman hadis telah menunjukkan
dinamika yang nyata. Ulama klasik misalnya, mereka lebih cenderung memahami
hadis secara tekstual karena pada saat itu memang pemahamahan dengan
mempertimbangkan hal-hal yang berada di luar teks belum terlalu dibutuhkan.
Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, metode yang pada
awalnya hanya diwarnai dengan corak tekstual kemudian berkembang hingga
memunculkan istilah seperti pemahaman kontekstual dan lain sebagainya. Maka
berangkat dari kenyataan bahwa terdapat dua aliran pemahaman hadis, penelitian ini
dititikberatkan pada upaya melihat kecenderungan Hasbi, apakah beliau seorang
tokoh yang tekstualis atau kontekstualis.
Dari beberapa penjelasan Hasbi terhadap hadis-hadis yang terdapat di dalam
karya-karyanya, terlihat bahwa ia tidak konsisten dengan satu pemahaman saja. Pada
satu kesempatan ia memahami hadis secara tekstual dan pada kesempatan yang lain ia
memahami hadis secara kontekstual. Sebagai contoh, ia memahami hadis tentang
mengqashar shalat dalam safar secara tekstual dan memahami hadis tentang perintah
untuk mematikan lampu ketika hendak tidur secara kontekstual dan mengatakan
bahwa karena ‘illat yang terkandung di dalamnya telah hilang maka perintah tersebut
sudah tidak berlaku lagi. Para pembaca yang mengkaji penjelasan Hasbi mengenai
hadis ini tentu akan menilai dan menggolongkannya sebagai tokoh yang
kontekstualis. Namun sejatinya beliau merupakan tokoh yang lebih cenderung
memahami hadis secara tekstual.
43
Teori ini diungkapkan oleh Muhammad Abid al-Jābiri di dalam kitabnya al-Turāts wa al-
Hadatsah: Dirāsah wa Munāqasyah, cetakan Beirut tahun 1991 halaman 45 dan dikutip oleh
Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrūr dan al-Qarḏāwi,”
Disertasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tahun 2004, h. 13.
17
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (Library Research) yang bersifat
kualitatif. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengumpulkan data dan menelaah
buku-buku, literatur-literatur, catatan dan laporan sehingga menghasilkan data yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang sudah dirumuskan.44
2. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan
sumber sekunder. Adapun yang menjadi sumber primer adalah karya-karya T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis, yaitu 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-
hadis Hukum, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis
dan Sejarah Perkembangan Hadis. Sedangkan sumber sekunder diambil dari karya-
karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang keilmuan Islam secara umum. Di
samping itu juga diambil dari karya-karya yang mengangkat tema yang relevan
dengan penelitian ini seperti jurnal, artikel, majalah dan tulisan-tulisan lainnya.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur primer yaitu buku-
buku M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis. Adapun metode yang digunakan
dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode ini
dilakukan dengan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan tema yang akan
dibahas pada penelitian berupa buku, jurnal dan lain sebagainya.45
Maka pada
penelitian ini, penulis akan mengumpulkan semua data yang relevan dengan tema
penelitian, baik berupa karya-karya dalam bidang metodologi pemahaman hadis
ataupun yang membahas tentang kontekstualisasi hadis secara umum.
44
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27. 45
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara,
1989), h. 231.
18
4. Analisis Data
Dalam mengolah dan menganalisa data yang sudah dikumpulkan, penulis
menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode deskriptif dalam penelitian
bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan, peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu
yang berkaitan dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan.46
Adapun pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu hadis. Lebih lanjut,
langkah operasional yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a)
Mendeskripsikan gambaran umum tokoh yang dibahas pada penelitian ini, mulai dari
riwayat hidup, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya; b) Membaca secara
teliti karya-karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bidang hadis; c) Menganalisa
metodologi yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis;
d) Merumuskan dan memetakan secara komprehensif langkah-langkah yang T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy gunakan dalam memahami hadis; e) Langkah terakhir adalah
menarik kesimpulan dari analisa yang dilakukan dalam penelitian untuk melihat
metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini disusun dalam lima bab yang terdiri dari pasal-pasal terkait, dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan sebagai bangunan awal penulisan tesis.
Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka atau
penelitian terdahulu yang relevan, kerangka teori, metodologi penelitian dan
sitematika penulisan. Bab ini sangat penting karena sebagai pondasi yang menunjang
jalannya proses penelitian pada bab-bab selanjutnya.
Bab kedua membahas gambaran umum tentang metode pemahaman hadis di
Indonesia. Hal ini perlu untuk dibahas sebagai bagian landasan teori. Pada awal bab
diuraikan mengenai mengenai sejarah metode pemahaman hadis secara umum dari
46
Setyosar Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: PT. Kencana,
2010), h. 36.
19
masa klasik hingga kontemporer. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang
perkembangan hadis di Indonesia. Pada akhir bab diuraikan tentang dinamika yang
terjadi pada metodologi pemahaman hadis di Indonesia.
Bab ketiga membahas tentang sketsa biografis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Pembahasan pada bab ini diawali dengan uraian mengenai riwayat hidup T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, latar belakang pendidikan dan karya-karya yang beliau hasilkan.
Kemudian dilanjutkan dengan uraian mengenai kotokohan beliau di Indonesia. Di
samping sebagai tokoh hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga dikenal sebagai tokoh
tafsir dan fikih. Maka pada bab ini dipaparkan mengenai kontribusi beliau dalam
bidang hadis, tafsir dan fikih serta sekilas tentang pemikirannya pada masing-masing
bidang tersebut.
Bab keempat berisi jawaban atas masalah yang telah dirumuskan pada bab
pertama. Pada bab ini dibahas mengenai metode yang digunakan oleh T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Karena beliau diketahui tidak
mengungkapkan sendiri metodologi pemahaman hadis yang ia gunakan dan juga
tidak menulis karya khusus dalam bidang tersebut, maka pada bab ini akan dibahas
mengenai metode yang ia terapkan ketika memahami hadis dengan menyandarkannya
pada penjelasan-penjelasan terhadap hadis yang ia paparkan di dalam karya-
karyanya. Pada akhir bab diuraikan tentang upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
mengembangkan kajian hadis di Indonesia.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang ditarik dari
pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya. Pada kesimpulan akan terjawab
pertanyaan dari masalah-masalah yang sudah dirumuskan pada bab pertama. Di
samping itu, juga berisi beberapa saran bagi dunia akademik untuk menggali lebih
spesifik tentang tema terkait dan mengembangkannya. Terakhir adalah daftar pustaka
yang menjadi rujukan penulis dan lampiran-lampiran.
20
BAB II
PERKEMBANGAN METODE PEMAHAMAN HADIS
A. Sejarah Metode Pemahaman Hadis
Hadis memegang peranan yang sangat penting dalam Islam yakni sebagai
salah satu sumber otoritatif yang dijadikan hujjah dalam berbagai permasalahan hidup
manusia. Darinya dapat diketahui perkataan dan perbuatan Nabi Saw yang harus
diteladani oleh kaum muslimin. Banyak nash yang menjelaskan tentang kehujjahan
hadis, mulai dari al-Qur‟an, perbuatan sahabat dan perintah Allah Swt yang mujmāl
dalam al-Qur‟an yang membutuhkan penjelasan dari Nabi Saw.1 Salah satu ayat al-
Qur‟an yang menjelaskan tentang kehujjahan hadis adalah QS. An-Nisa ayat 59
tentang perintah mentaati Allah Swt dan Nabi Saw.2 Taat kepada Nabi Saw di dalam
ayat ini maksudnya adalah mengikuti semua perintahnya, baik perintah untuk
melakukan sesuatu atau perintah agar tidak melakukannya, sebagaimana yang tertera
dalam sunnahnya yang shahih.3 Maka mengikuti dan meneladani Nabi Saw
merupakan sebuah keharusan bagi kaum muslimin.4
Untuk menempati kedudukan yang tinggi dan istimewa sebagai sumber
hukum kedua setelah al-Quran, pada prakteknya hadis harus melalui fase yang
1 Mannā‟ al-Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 30-34. 2 Ayat yang dimaksud berbunyi “…ياأيها الريي أهىا أطيعىا هللا وأطيعىا السسىل وأولي األهس هكن” yang
artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan
kepada ūlil amri di antara kalian” 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Lentera
Hati: Jakarta, 2002), h. 483. 4 Meskipun telah jelas dalil yang menyebutkan tentang kehujjahan hadis, namun masih ada
golongan yang enggan menerima hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Mereka menganggap al-
Qur‟an sebagai satu-satunya sumber otoritatif dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Padahal
langkah yang mereka tempuh sungguh keliru karena hampir seluruh hukum yang tertera di dalam al-
Qur‟an masih bersifat ām dan penjelasannya hanya dapat ditemukan di dalam hadis Nabi Saw.
Kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum dalam Islam dikenal dengan sebutan kaum
inkar sunnah. Sebagai contoh kelompok ini adalah Jam’iyyah Ahli Qur’an yang muncul pada tahun
1906 di India dan Pakistan. Di samping itu gerakan serupa juga muncul di Mesir yang tergambar
dalam tulisan Muhammad Taufīq Ṣidqi dalam majalah al-Manār. Pada tahun 1080-an di wilayah Asia
Tenggara juga muncul gerakan inkar sunnah di Malaysia yang dipelopori oleh Kassim Ahmad.
Pemikirannya tentang inkar sunnah tertuang dengan jelas dalam buku Hadis Satu Penilaian Semula
yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah Kassim di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Lihat: Zikri Darussamin, “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia,” Alfikra: Jurnal Ilmiah
Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.
21
panjang.5 Sebut saja pada sejarah awal pengkodifikasiannya, hadis baru
dikodifikasikan pada masa Umar bin Abdul Azīz (w. 101 H) yang memerintah
Dinasti Umayyah di saat al-Qur‟an telah dikumpulkan dan dikodifikasi lebih awal
pada masa Al-Khulafā` Al-Rāsyidūn.6 Dari segi kitābah pun al-Qur‟an mendapat
mandat khusus dari Nabi Saw agar para sahabat menulis setiap kali wahyu turun.
Sedangkan untuk penulisan hadis para sahabat lebih cenderung berhati-hati dan
menahan diri karena mereka ingin menjaga dan menyelamatkan al-Qur‟an. Oleh
sebab itu, permasalahan yang timbul pada kajian hadis yang notabennya adalah ẕanni
al-wurūd lebih kompleks dibanding al-Qur‟an yang bersifat qaṯ’iy al-wurūd.7
Dalam kajian hadis terdapat dua unsur penting yaitu sanad dan matan. Sanad
merupakan rangkaian nama perawi yang memindahkan matan dari sumber
primernya.8 Ia adalah gerbang awal yang harus dilalui sebelum memasuki
pembahasan yang lebih mendalam terhadap matan hadis.9 Studi sanad akan
mengantarkan pada pengetahuan mengenai otentisitas sebuah hadis dengan melihat
ketersambungannya sampai kepada Nabi Saw. Sedangkan matan adalah redaksi atau
isi hadis. Penamaan “matan/mutūn” didasarkan karena ia adalah bagian yang tampak
atau yang menjadi poin dari sebuah hadis. Oleh sebab itulah definisi matan
sebenarnya merupakan representasi dari maknanya secara bahasa.10
Baik sanad
maupun matan sama-sama mempunyai kedudukan yang penting dalam kajian hadis.
5 Abdul Malik Ghozali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah dalam
Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h.
120. 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986), h.11. 7 Dalam penetapan hukum istilah qaṯ’iy al-wurūd dan ẕanni al-wurūd bukanlah sesuatu yang
asing. Safi Hasan Abu Ṯalib mengatakan bahwa qaṭ’iy al-wurūd merupakan nash-nash yang sampai
kepada kita secara pasti dan tidak ada keraguan terhadapnya karena ia diriwayatkan secara mutawātir.
Sedangkan ẕanni al-wurūd adalah nash-nash yang tidak diriwayatkan secara mutawātir sehingga masih
sering diperdebatkan Al-Qur‟an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam bersifat qaṯ’iy al-wurūd
sedangkan hadis keberadaanya bersifat ẕanni al-wurūd. Lihat: Safi Hasan Abu Ṯālib, Tatbi al-Syarī’ah
al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah (Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990), h. 62. 8 Muḥammad „Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh (Beirut: Dār al-Fikr,
1989), h. 32. 9 Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2, No. 2
(Desember 2017): h. 288. 10
Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2
(Oktober 2015): h. 180.
22
Jika sebuah hadis matannya shahih namun sanadnya tidak shahih, maka hadis
tersebut tidak bisa dijadikan hujjah begitupun sebaliknya.11
Meskipun keduanya merupakan komponen yang sama-sama penting, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa kajian hadis kontemporer lebih terfokus pada bagian
matan. Sementara jika melirik pada catatan sejarah, keadaan ini berbanding terbalik
dengan ketika hadis pertama kali hadir di tengah-tengah umat Islam.12
Sebenarnya hal
ini cukup beralasan karena kajian sanad bisa dianggap sudah selesai. Kitab-kitab al-
Jarh Wa al-Ta’dīl13 sudah merangkum dengan jelas nama-nama perawi lengkap
dengan riwayat hidup, guru dan murid, serta komentar para ulama kritikus hadis
terhadap mereka. Sedangkan kajian matan belum dapat dikatakan selesai. Hal ini
dikarenakan peradaban yang terus berkembang, ditambah lagi situasi dan kondisi di
saat hadis disampaikan dan konteks saat ini sungguh berbeda. Sehingga kajian
11
Menurut Kamaruddin, penting untuk melakukan pengkajian pada sanad dan matan dengan
tidak menganaktirikan salah satunya. Karena shahihnya sebuah sanad belum dapat menjamin
matannya juga shahih. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa penilaian “buruk” yang disematkan
kepada perawi merupakan sebuah asumsi, ditambah lagi seorang perawi yang dianggap tsiqah pada
saat yang sama juga dapat dinilai sebaliknya oleh kritikus hadis yang lain. Dengan adanya kritik
matan, penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diverifikasi. Beberapa hal yang telah
disebutkan merupakan alasan mengapa kajian matan juga penting dan tidak dapat diabaikan serta
mendapat kedudukan yang sama dengan kajian sanad. Lihat: Kamaruddin Amin, Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009), h. 56. 12
Dahulunya, ulama-ulama klasik terutama pada periode sahabat dan tabi‟in lebih terfokus
pada pembuktian ke-otentikan sebuah hadis dibanding pada kajian redaksi hadis. Lihat: Abdul
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami
Hadis Nabi, Cet-2 (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 5. 13
Al-Jarh dan al-Ta’dīl merupakan disiplin ilmu dalam kajian hadis yang meneliti para
periwayat dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Al-Jarh berasal dari Bahasa Arab
jaraha-yajrahu-jarhan-jarahan yang berarti melukai. Menurut istilah al-Jarh adalah sifat yang terlihat
pada seorang perawi yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalnnya sehingga ia gugur dan
ditolak periwayatannya. Sedangkan al-ta’dīl adalah kebalikan dari al-jarh yaitu memberikan sifat
kepada perawi sehingga bersihlah namanya dan tampaklah keadilan pada dirinya. Ilmu Al-Jarh wa al-
Ta’dīl merupakan salah satu hal pokok yang harus dipahami oleh pengkaji hadis. IImu ini sudah ada
semenjak dahulu, bahkan pada masa Nabi Saw masih hidup. Beberapa sahabat contohnya menguji
kedhabitan sahabat lain yang menyampaikan sebuah riwayat dengan menanyai sahabat yang lain
sebagai saksi. Hal inilah yang dipraktikkan oleh Umar bin al-Khattāb sebelum beliau menerima
periwayatan dari seorang sahabat. Para ulama terdahulu telah mengumpulkan informasi mengenai
kredibilitas perawi dipandang dari keadilan dan kedhabitannya. Informasi tersebut kemudian mereka
rangkum dalam bentuk kitab dan mayoritas dari kitab-kitab tersebut dapat kita akses pada saat ini,
seperti kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl karya Abu Harim al-Rāzi, Ma’rīfah al-Rijāl karya Yahya bin Ma‟īn,
al-Ḏu’afā` karya al-Bukhāri, al-Tsiqāt karya Ibnu Hibbān dan lain-lain. Dari kitab-kitab inilah
diperoleh pengetahuan tentang riwayat hidup dan kepribadian perawi yang sangat membantu dalam
aktifitas pengkajian sanad hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis
(Jakarta: Amzah, 2014), h. 98-100 dan Ali Imron, “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil,” h. 287-302.
23
terhadap matan hadis masih menjadi fokus para ulama hingga saat ini dalam usaha
mereka untuk mendapatkan makna yang komprehensif dan acceptable.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pada awalnya perhatian ulama
lebih terfokus pada kajian sanad atau lebih tepatnya pada pembuktian keorisinilan
sabda Rasulullah Saw. Sebagai contoh sikap Abu Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) dan
Umar bin al-Khaṯṯāb (w. 23 H) yang sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis yang
menyebar di kalangan para sahabat pasca wafatnya Rasulullah Saw. Al-Hāfiẕ Al-
Dzahabi (w. 131 H) dalam kitabnya Tadzkirāt al-Huffāẕ mengatakan bahwa Abu
Bakr Al-Siddīq (w. 13 H) merupakan orang yang pertama kali bersifat hati-hati dalam
menerima hadis.14
Pernah suatu kali seorang nenek datang menemui Abu Bakr untuk
meminta pembagian waris. Kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak menemukan
dalam al-Qur‟an dan juga tidak mengetahui kalau Nabi Saw pernah menyebutkan
sesuatu mengenai harta warisan untuk nenek tersebut. Kemudian Abu Bakr bertanya
kepada para sahabat yang hadir kala itu dan berdirilah al-Mughīrah sembari
mengatakan, “Rasulullah Saw pernah memberikan nenek seperti dia sepertiga
bagian.” Lalu Abu Bakr bertanya lagi, “Apakah ada orang lain bersamamu?”
Kemudian Muhammad bin Maslamah (w. 46 H) mengiyakan bahwa ia menyaksikan
hal serupa. Maka setelah mendengar dua kesaksian sahabat tersebut, Abu Bakr pun
melaksanakan ketentuan itu untuk sang nenek.15
Selain Abu Bakr al-Siddīq, Umar bin al-Khaṯṯāb juga dikenal dengan
kebijaksanaan dan kehati-hatiannya dalam menyampaikan dan menerima hadis.16
14
Walaupun banyak menerima hadis, Abu Bakar diketahui sangat sedikit dalam
meriwayatkannya. Beliau hanya meriwayatkan 132 hadis padahal beliau adalah sahabat terdekat yang
selalu membersamai Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan bahwa selain berhati-hati dalam
menerima hadis, Abu Bakr juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan. Lihat: T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 23. 15
Mustafa al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 25. 16
Karena kehati-hatiannya tersebut, sempat beredar kabar yang menyatakan bahwa Umar
menahan tiga orang sahabat karena banyak menuturkan hadis. Tiga orang sahabat tersebut adalah Ibnu
Mas‟ūd, Abu al-Dardā‟ dan Abu Dzar. Namun kabar ini diragukan kebenarannya karena banyak
kejanggalan seperti tidak mungkinnya Umar menahan Ibnu Mas‟ūd agar tidak menyampaikan hadis di
saat Ibnu Mas‟ūd adalah seorang tokoh besar dari kalangan sahabat yang bahkan Umar sendiri yang
mengirimnya ke Irak untuk berdakwah di sana. Rasanya mustahil jika Umar menahan atau melarang
Ibnu Mas‟ūd menyampaikan hadis. Meskipun kisah di atas diragukan kebenarannya, namun tidak
menghilangkan fakta bahwa Umar adalah sosok sahabat yang tegas dalam penyeleksian hadis. Lihat:
24
Sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa suatu hari ada seorang
sahabat datang ke rumah Umar. Ia mengucapkan salam kepada Umar dari balik pintu
tiga kali, namun karena tidak ada jawaban dan tidak dipersilahkan masuk ia pun
pergi. Lalu Umar menyuruh seseorang untuk mengejarnya, dan Umar pun bertanya
kepadanya, “Kenapa engkau pergi?” Sahabat tersebut pun menjawab, “Aku
mendengar Rasulullah Saw bersabda, „Jika salah seorang dari kamu memberi salam
tiga kali dan tidak dijawab maka hendaklah ia kembali‟.” Mendengar ucapan sahabat
tersebut Umar tidak langsung mempercayainya dan berkata kepadanya, “Kamu harus
mendatangkan bukti kepadaku untuk itu atau aku akan berbuat sesuatu kepadamu
(jika hal tersebut tidak benar)”. Maka ia pun menghampiri para sahabat yang lain
dengan pucat pasi dan menceritakan kepada mereka. Lalu diutuslah salah seorang di
antara mereka untuk datang menemui Umar dan menyampaikan bahwa berita yang
dibawa oleh sahabat itu adalah benar.17
Dari beberapa riwayat yang telah disebutkan, terlihat bahwa Abu Bakr dan
Umar tidak akan menerima periwayatan kecuali jika orang yang menyampaikannya
dapat mendatangkan saksi atau sahabat lain yang juga mendengar dari Nabi Saw hal
yang sama.18
Namun bukan berarti mereka tidak menerima hadis yang hanya
disampaikan oleh seorang periwayat. Pada beberapa kesempatan Umar diketahui juga
menerima periwayatan dari satu orang perawi. Sebagai contoh adalah penerimaan
Umar terhadap riwayat dari Sa‟ad bin Abi Waqqās (w. 54 H) tentang dibolehkannya
mengusap kedua kasut ketika berwudhu. Juga pada kasus tentang Umar hendak
merajam wanita yang gila. Namun hal tersebut ia urungkan setelah mendengar
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan,
1999), h. 110. 17
Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan
Kaum Sunni, h. 25-26. 18
Fakta mengenai para sahabat mutaqaddimīn, terutama Umar bin al-Khaṭṭāb, yang sangat
berhati-hati dalam mengambil riwayat dan meminta bukti serta saksi dari sahabat lain ditafsirkan
dengan cara yang berbeda oleh kaum ortodoks dan modernis. Kaum ortodoks memandang bahwa sikap
tegas dari Umar tersebut dikarenakan semangatnya terhadap agama dan kesungguhannya untuk
membukukan al-Qur‟an dengan cermat. Sedangkan kaum modernis memandang sikap tegas Umar
dalam menyeleksi hadis dikarenakan kecurigaannya terhadap kebiasaan berdusta atas nama Nabi Saw.
Lihat: Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, h. 68.
25
riwayat dari seorang sahabat mengenai diangkatnya pena dari tiga perkara dan salah
satunya adalah dari orang yang gila.19
Adapun wacana terhadap kajian matan sebenarnya juga sudah muncul sejak
masa Nabi Saw dan setelah wafatnya beliau. Ummu al-Mukminīn Siti Aisyah (w. 58
H) dikenal memiliki kecerdasan dan banyak bertanya kepada Nabi Saw, suaminya.
Dengan pengetahuannya yang luas dan ketelitian yang luar biasa, dalam berbagai
kesempatan Aisyah diketahui mengkitik riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para
sahabat jika tidak sesuai dengan pemahaman yang seharusnya. Sebagai contoh sebuah
riwayat dari Umar tentang menangisi mayat, berbunyi, “Sesungguhnya mayat akan
diazab karena tangis/ratapan keluarganya atas kematiannya”. Menanggapi riwayat
tersebut, Aisyah berkata:
رحم اهلل عمر واهلل ما حدث رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أن اهلل يعذب املؤمن ببكاء أحد, ولكن 20ىوزرا أخر وازرة قال: حسبكم القرأن: وال تزر , مثقال: أن اهلل يزيد الكافر عذابا ببكاء أهله عليه
“Semoga Allah merahmati Umar, demi Allah Rasulullah Saw tidak pernah
berkata bahwa Allah akan mengazab orang mukmin dengan tangisan seseorang, akan
tetapi beliau berkata: Sesungguhnya Allah menambah siksaan pada orang kafir
karena tangisan keluarganya. Kemudian Rasulullah melanjutkan: Cukuplah bagi
kamu ayat al-Qur‟an “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain.”
Riwayat di atas merupakan salah satu contoh kritik yang Aisyah berikan
kepada sahabat Umar karena menurutnya isi dari riwayat tersebut tidak sesuai dengan
pemahamannya sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an. Namun yang perlu
digaris bawahi, kritikan yang dilontarkan oleh Aisyah kepada riwayat yang
disampaikan oleh para sahabat bukanlah karena tidak percaya atau menuduh mereka
berdusta, namun ia hanya berprasangka bahwa mungkin saja sahabat yang
meriwayatkan keliru dalam memahami sabda Nabi Saw atau salah mendengar.
19
Al-Sibā‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan
Kaum Sunni, h. 29. 20
Lihat: Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al-
Janā`iz Bab 32 (Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 172 dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-
Naisabūry, Sahih Muslim, Kitab Al-Janā`iz Bab 9, hadis nomor 22, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah,
1991), h. 638.
26
Sebagaimana pernah berkata, “Sesungguhnya engkau menceritakan riwayat kepadaku
bukan dari orang yang berdusta dan engkau tidak termasuk orang yang berdusta,
namun hanya salah mendengar.”21
Kehati-hatian Aisyah terhadap riwayat para
sahabat dan kritikannya terhadap matan hadis yang disampaikan oleh Umar
merupakan bukti bahwa para sahabat juga memberikan perhatian terhadap kajian
matan hadis, meskipun porsinya tidak sebesar perhatian mereka terhadap kajian sanad
hadis/pembuktian keorisinilan sabda Nabi Saw.
Lebih lanjut, dalam memahami matan hadis para ulama terbagi menjadi dua
golongan yaitu yang memahami secara tekstual dan yang memahami secara
kontekstual. Pemahaman tekstual merupakan metode paling awal yang digunakan
dalam memahami hadis Nabi Saw. Para sababat dan tabi‟in lebih cenderung
menggunakan metode ini. Di samping karena dahulu ketika Nabi Saw masih hidup di
tengah-tengah kaum muslimin, ia dijadikan tumpuan dan tempat bertanya,
pemahaman tekstual menjadi metode paling awal dalam memahami hadis karena hal
yang akan pertama kali terbesit ketika membaca sebuah teks tentu adalah apa yang
tesurat. Tekstual sendiri berasal dari kata teks yang sesuatu yang tertulis atau kata-
kata asli dari pengarangnya.22
Namun metode ini memiliki sebuah kelemahaman yang
paling mendasar yaitu makna dan ruh yang terkandung di dalam redaksi hadis
menjadi asing di tengah konteks yang terus berkembang.23
Sedangkan waktu dan
kondisi sosial tidak mungkin mundur atau berhenti, maka kenyataan bahwa dalam
memahami hadis memerlukan pendekatan lain di samping pendekatan tekstual tidak
dapat diabaikan.
21
Hal ini disampaikan oleh Badruddin al-Zarkasyi, sebagaimana dikutip oleh Mimi Rahma
dalam penelitiannya. Selengkapnya lihat: Mimi Rahma Sari, “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu
Kritik Hadis,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8. Adapun hadis
tentang Aisyah menganggap bahwa sahabat salah dengar atau mungkin lupa berbunyi sebagai berikut:
...أها سوعت عائشح وذكس لها أى اتي عوس يقىل: إى الويت ليعرب تثكاء الحي عليه فقالت عائسح: غفس هللا ألتي عثد السحوي أها إه لن
عليه وسلن يهىديح يثكى عليها فقال: إهن ليثكىى عليها وإها لتعرب في قثسها يكرب ولكه سي أو أخطأ إوا هس زسىل هللا صلى هللا
Lihat: Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab 24 Hadis
nomor 1006 (Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t) h. 180. 22
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h.
1035. 23
Liliek Channa AW, “Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual,” Ulumuna
17, No. 2 (Desember 2011): h. 393.
27
Berbeda halnya dengan pemahaman tekstual yang lebih mengunggulkan
pemaknaan berdasarkan unsur linguistik, pemahaman kontekstual mencoba keluar
dari ranah tersebut dan mempertimbangkan unsur lain seperti sosial, politik, sejarah,
budaya dan lain-lain dalam usaha memahami kandungan teks pada saat diturunkan,
dipahami dan diterapkan.24
Pemahaman kontekstual terhadap hadis diharapkan dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di kehidupan manusia sekaligus
menjadi alternatif dalam memahami hadis-hadis yang musykīl dan diragukan oleh
sebagian kelompok disebabkan redaksi matannya. Karena tidak dapat dipungkiri,
dewasa ini banyak pemahaman yang sempit terhadap hadis yang menyebabkan
timbulnya sikap radikalisme, anarkisme dan berbagai sikap lainnya dengan
mengatasnamakan ajaran agama.25
Metodologi pemahaman hadis kontekstual sebenarnya sudah dipraktikkan
pada masa Nabi Saw, hanya saja belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang terkonsep
seperti yang dipakai pada saat ini.26
Salah satu riwayat yang membuktikan bahwa
wacana kontekstual dalam memahami hadis sudah ada sejak masa Nabi Saw adalah
pemahaman para sahabat terhadap sabda Nabi Saw mengenai pelaksanaan shalat
Ashar di perkampungan Bani Quraizah. Hadis tersebut diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar (w. 73 H), berbunyi:
حدثنا عبد اهلل بن حممد بن أمساء: حدثنا جويرية بن أمساء عن نافع عن ابن عمر قال: قال النيب صلى ال يصلي أحد العصر إال ف بن ق ريظة. فأدرك ب عضهم العصر ف الطريق، اهلل عليه وسلم يوم األحزاب:
24
Muhammad Hasbiyallah, “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-nilai
Al-Qur‟an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34. 25
Muhammad Nurudin, “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global (Analisis
Hadis Ijtima‟i),” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 228. 26
Ketika Nabi Saw masih hidup, beliau adalah teks Islam yang menjadi rujukan dan tempat
mengadu para sahabat. Semua teks yang beliau ucapkan dari lisannya dapat dengan mudah dipahami.
Begitupun jika para sahabat ragu dan kurang mengerti, mereka dapat langsung menanyakannya kepada
Nabi Saw. Kondisi berubah pasca wafatnya Nabi Saw, karena teks hidup yang selama ini hadir di
tengah-tengah sahabat telah tiada. Maka kala itu yang tersisa hanyalah para sahabat selaku saksi
sejarah, yang masing-masing dari mereka mempunyai kenangan dan pengalaman yang berbeda-beda.
Lihat: Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat Berbasis
Tekstualisme (Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018), h. 170.
28
فذكر ذلك للنيب صلى .نصلي حت نأتي ها. وقال ب عضهم: بل نصلي، ل يرد منا ذلك ف قال ب عضهم: ال هم 27اهلل عليه وسلم ف لم ي عنف واحدا من
“Janganlah ada satupun yang shalat „Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraiẕah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu „Ashar di tengah jalan, maka
berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain
mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari
kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah Saw, namun beliau tidak
mencela salah satunya.”
Dalam menyikapi sabda Nabi Saw tersebut, sebagian sahabat memahaminya
secara tekstual sebagai perintah untuk shalat di kampung Bani Quraiẕah. Sebagian
sahabat yang lain memandang hadis tersebut sebagai isyarat Nabi Saw agar para
sahabat bersegera menuju Bani Quraiẕah. Para sahabat dari golongan kedua tetap
melaksanakan shalat meskipun belum sampai di kampung Bani Quraiẕah sedangkan
sahabat yang memahami sabda Nabi Saw tersebut secara tekstual menunggu tiba di
tempat tujuan baru kemudian melaksanakan shalat meskipun sebenarnya waktu shalat
sudah masuk.28
Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi Saw, beliau tidak mencela
salah satu dari dua golongan sahabat yang bersangkutan. Hal ini memberi pengertian
bahwa tidak ada dosa atau larangan bagi mereka yang ingin berijtihad dalam
memahami teks agama.
Fakta di atas merupakan bukti bahwa wacana pemahaman kontekstual sudah
ada pada masa Nabi Saw. Akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta menjadikannya
langsung populer di kalangan pengkaji hadis. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa
kajian kontekstual terhadap hadis Nabi Saw semakin menunjukkan perkembangannya
ketika Imam al-Syāfi‟i (w. 204 H) menulis kitab yang berkenaan dengan penyelesaian
terhadap hadis mukhtalīf. Karya yang beliau beri judul Ikhtilāf al-Hadīs29
telah
membuka cakrawala baru dalam kajian pemahaman hadis dalam Islam.
27
Al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab Al-Maghāzi Bab 30 Hadis nomor 4119, h. 562. 28
Uraian ini disampaiakan oleh M. Quraish Shihab di “Kata Pengantar” dalam buku
Muhammad Al-Ghazāli, Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw, Cet-6 (Bandung: Mizan, 1998), h. 8-9. 29
Kitab ini berisi penyelesaian hadis-hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan. Kitab
ini merupakan karya pertama al-Syāfi‟ī yang memperbincangkan tentang mukhtalaf al-hadīs, dan
karya beliau yang terakhir di sepanjang hidupnya menurut Joseph Schacht. Lihat: Abu Irfah, “Karya
29
Dalam menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif, al-Syāfi‟ī (w. 204 H)
menawarkan beberapa metode penyelesaian. Selain dengan langkah nasakh mansūkh
dan tarjīḥ, beliau juga menggunakan metode kompromi. Menurut Edi Safri,
sebagaimana yang dikutip oleh Kaizal Bay, metode penyelesaian hadis yang
dikemukakan oleh al-Syāfi‟ī dengan metode kompromi terdiri dari beberapa bentuk,
di antaranya adalah penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual, penyelesaian
dengan kaidah Ushul Fiqih, pemahaman koleratif dan penyelesaian dengan takwīl.
Terkhusus dalam bidang penyelesaian dengan pemahaman kontekstual, al-Syāfi‟ī
fokus memperhatikan keterkaitan hadis dengan peristiwa yang melatarbelakanginya
(konteksnya).30
Salah satu contoh adalah pemahamannya terhadap hadis tentang
larangan meminang seorang perempuan yang berada di bawah pinangan orang lain.
Dalam sebuah riwayat Nabi Saw melarang perbuatan tersebut, namun di riwayat yang
lain disebutkan bahwa beliau pernah meminangkan Fāṯimah binti Qais (w. 50 H)
untuk Usāmah bin Zaid (w. 54 H) yang sebenarnya telah dipinang oleh Abu Jahm dan
Mu‟āwiyah (w. 60 H). Kedua hadis yang kontra ini diselesaikan oleh al-Syāfi‟ī (w.
204 H) dengan menggunakan pendekatan asbāb al-wurūd. Menurut beliau, kedua
riwayat tidaklah bertentangan, karena disampaikan oleh Nabi Saw dalam kasus yang
berbeda.31
Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith,” artikel diakses pada 14 Juni 2019 dari
abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html 30
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i,” Ushuluddin
17, No. 2 (Juli 2011): h. 189. 31
Hadis tentang pinangan ini mempunyai dua sisi yang bertentangan. Hadis pertama
melarang pinangan di atas pinangan orang lain, sedangkan hadis kedua menyatakan bahwa Nabi Saw
sendiri pernah meminang Fāṯimah binti Qais untuk Usāmah bin Zaid yang kala itu telah dipinang oleh
Abu Jahm dan Mu‟āwiyah. Secara lahiriyah, kedua hadis ini memang tampak kontradiktif. Namun al-
Syāfi‟ī menjelaskan bahwa kedua hadis ini pada hakikatnya tidaklah bertentangan, karena mempunyai
konteks yang berbeda. Hadis pertama memiliki makna tersendiri dan berlaku pada kondisi dan situasi
tertentu, tidak pada kondisi yang lainnya. Sedangkan hadis kedua tidak termasuk dalam kondisi dan
situasi yang dimaksud oleh hadis pertama. Hadis pertama mempunyai latar belakang dimana seorang
sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang seseorang yang meminang perempuan disaat saudaranya
telah meminang perempuan terlebih dahulu. Maka dijawablah oleh Nabi Saw sebagaimana yang tertera
dalam hadis pertama. Pada hadis kedua ada dua hal yang mesti diperhatikan yaitu: a) kenyataan bahwa
Nabi Saw meminang Fāṯimah untuk Usāmah karena sebenarnya Fatimah secara pribadi belum
menerima pinangan Mu‟āwiyah maupun Abu Jahm; b) Al-Syāfi‟ī meyakini bahwa keadaan yang
terjadi pada Fatimah tidaklah sama dengan keadaan yang dijelaskan pada hadis pertama. Maka
sebenarnya tidak ada pertentangan pada dua hadis ini dan penyelesaiannya adalah dengan
30
Metode pemahaman hadis kontekstual semakin dilirik oleh para pengkaji
hadis terutama pada abad kontemporer ini. Pada paruh pertama abad ke-20
Muhammad Syahrūr32
hadir dan mengemukakan idenya mengenai dua tipologi yaitu
al-sunnah al-Rasūliyah dan al-sunnah al-Nabawiyah. Al-sunnah al-Rasūliyah adalah
istilah yang ia maksudkan untuk risalah yang diturunkan kepada Nabi Saw sebagai
wahyu berupa syi‟ar agama, tatanan nilai, amar ma’rūf dan nahi munkar yang wajib
diikuti, ditaati dan dijadikan uswah. Sedangkan al-sunnah al-Nabawiyah dijelaskan
Syahrūr sebagai apa yang dikatakan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi Saw.
Termasuk semua hal yang berhubungan dengan Nabi Saw sebagaimana yang tertera
dalam kitab-kitab sirah, meliputi kisah tentang kepribadian beliau dan ijtihad-ijtihad
yang beliau lakukan dalam perkara sosial dan kepemimpinan militer. Menurut
Syahrūr, sunnah dalam kategori kedua bukan tergolong wahyu dan tidak bersifat
mutlak sehingga tidak mengharuskan pengaplikasiannya di semua zaman.33
Pemahaman kontekstual hadis yang ditawarkan oleh Syahrūr sebenarnya telah
dikemukakan terlebih dahulu oleh al-Dahlawy34
dua abad sebelumnya. Perbedaannya
hanya dari segi istilah yang mereka gunakan. Al-Dahlawy juga mengategorikan
sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah risālah dan sunnah ghairu risālah.
Pembagian ini berdasarkan fungsi Nabi Saw yang menurut al-Dahlawy bisa
berkedudukan sebagai pembawa risalah dan bisa sebagai manusia biasa. Maka
terhadap hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw ranah risālah (wahyu), wajib untuk
mempertimbangkan konteks saat hadis yang bersangkutan disampaikan oleh Nabi Saw (kontekstual).
Lihat: Kaizal Bay, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’ī, h. 191-192. 32
Nama lengkapnya adalah Muhammad Syahrūr ibn Daib ibn Daib Syahrūr dan berasal dari
Damaskus, Syiria. Ia lahir pada 11 April 1938. Sama seperti tokoh-tokoh pemikir Islam yang lain,
Syahrūr juga menghasilkan karya-karya dalam berbagai bidang keilmuan. Namun karyanya yang
paling mendapatkan sorotan adalah Al-Sunnah Al-Rasūliyyah wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah: Ru’yah
Jadīdah. Karyanya ini menjadi fenomenal tidak lain dikarenakan oleh kontroversinya. Di dalam kitab
tersebutlah Syahrūr mengemukakan pendapatnya mengenai tipologi sunnah. 33
Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap
Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89. 34
Nama lengkapnya adalah Quṯ al-Dīn Ahmad bin al-Syah Abd al-Rahīm bin Wajih al-
Syahīd bin Muqaddam bin Mansūr bin Ahmad bin Mahmūd bin Qiwām al-Dīn. Namun ia lebih
dikenal dengan nama Syah al-Dahlawy. Ia lahir pada tahun 1114 H/1703 M di Delhi, India. Dari kecil
ia sudah dididik dalam lingkungan yang islami, bahkan pada usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur‟an
seluruhnya. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Ḥujjatullah al-Bālighah, bahkan W.C.
Smith menyebut kitab ini sebagai karya terbesar al-Dahlawy. Lihat: Ghazali Munir, “Pemikiran
Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-Dahlawi,” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.
31
ditaati dan diikuti. Yang tergolong dalam sunnah risālah adalah segala berita tentang
alam akhirat, keberadaan malaikat serta ijtihad dan istinbāṯ hukum yang dilakukan
oleh Nabi Saw yang merupakan petunjuk dari Allah Swt. Sedangkan sunnah kategori
kedua atau sunnah ghairu risālah adalah berita yang disampaikan Nabi Saw dalam
posisinya sebagai manusia biasa, seperti pengobatan, kebiasaan-kebiasaan beliau
yang tidak berhubungan dengan ibadah dan hal-hal lain yang sifatnya insidental.
Maka, umat Islam tidak diwajibkan untuk mengikuti sunnah dalam kategori ini.35
Demikianlah kemudian pemahaman kontekstual semakin menjamur di masa
kontemporer ini. Ia menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikaji oleh para ulama, bahkan
beberapa dari mereka menulis kitab khusus yang berkenaan dengannya. Di Indonesia
sendiri, dikenal tokoh seperti M. Syuhudi Ismail yang menulis buku “Hadis Nabi
yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani Al-Hadits tentang Ajaran Islam yang
Universal, Temporal dan Lokal” dan Ali Mustafa Yaqub yang menulis buku “Cara
Benar Memahami Hadis”. Tidak hanya berbentuk buku, dewasa ini banyak pengkaji
hadis yang juga menulis tentang metode kontekstual dalam memahami hadis dan
menerbitkannya di dalam jurnal dan artikel yang lebih mudah diakses melalui
internet.
Demikianlah sejarah perkembangan metode pemahaman hadis yang pada
awalnya sangat sederhana dan cenderung tekstualis hingga akhirnya terus
berkembang dan memunculkan metode-metode baru seiring dengan majunya
peradaban. Konteks zaman yang terus berubah dan semakin kompleksnya problem
hidup manusia menjadi faktor penting dari terjadinya perkembangan metode dalam
memahami hadis.
B. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia
Sejarah perkembangan hadis di Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari
sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara. Diketahui bahwa Islam
35
Fatichatus Sa‟diyah, “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode
Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84.
32
pertama kali hadir di Nusantara melalui kegiatan perdagangan.36
Pada awalnya para
pedagang yang datang tidak tertarik pada permasalahan politik, budaya dan agama.
Namun karena Islam semakin berjaya di wilayah Timur Tengah, menjadikan para
pelancong dan pelaut muslim termotivasi untuk menyebarkan Islam bersamaan
dengan melakukan transaksi dagang.37
Adapun pedagang yang datang selain berasal
dari Timur Tengah, diketahui juga datang dari India dan Cina. Menurut Sartono
Kartodirdjo, sebagaimana dikutip oleh Atno, hubungan perdagangan antara India dan
Cina sudah terjalin sejak awal Masehi. Salah satu alasan yang melatarbelakangi
terjadinya transaksi perdagangan ini kemungkinan besar dikarenakan sudah
familiarnya sistem angin dan bintang yang berlaku di Laut Cina dan Laut Hindia,
sehingga pelayaran dari Barat dan Timur atau sebaliknya dapat berpola dengan teratur
dan tetap.38
Kegiatan perdagangan yang berlangsung pun menjadikan beberapa titik
wilayah di Nusantara sebagai tempat berlabuh dan singgah kapal-kapal yang datang.39
Islam datang ke wilayah Nusantara dengan damai, bukan melalui perang
ataupun penaklukkan. Sementara itu, ada beberapa teori tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Salah satu teori mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali
di Pesisir Aceh pada abad ke-7 M. Teori ini didukung oleh beberapa tokoh seperti
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Niemann, Hamka, M. Yunus Jamil dan A.
Hasjmi.40
Teori ini diperkuat dengan ditemukannya dokumen yang ditulis oleh Chu
Fan Chi yang dikutipnya dari catatan Chou Ku-Fei mengenai perkampungan Muslim
36
Kegiatan dagang yang berlangsung ketika itu menjadi penopang dalam proses Islamisasi.
Lihat.: Abd. Rasyid Rahman, “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu Kajian
Historis,” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2 (Oktober 2017): h. 117. 37
Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016),
h. 25. 38
Atno, Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia, dalam RISTEKDIKTI:
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, h. 1. 39
Seperti para pelayar dari Arab yang berdagang di Nusantara yang memiliki rute tersendiri,
hampir separuh wilayah yang mereka lewati adalah Indonesia. Pelayaran mereka dimulai dari Aden,
kemudian menyisiri pantai menuju Maskat, Raisut, Siraf, Guadar, Daibul, Malabar (Gujarat, Keras,
Quilon dan Kalicut), lalu menyusuri pantai Karamandel, Akyab (sekarang Myanmar), Selat Malaka
Peureulak (daerah Aceh Timur), Lamno (pantai Aceh sebelah barat), Barut, Padang, Banten, Cirebon,
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, Makassar, Ternate dan Tidore. Lihat: Ahmad Syafrizal,
“Sejarah Islam Nusantara,” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h. 236-237. 40
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII (Bandung: Mizan, 1994), h. 31.
33
di Pantai Barus yang populer dengan sebutan Ta-Shih. Teori kedua mengatakan
bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-8 M dari Gujarat. Hal ini didukung
dengan bukti penemuan batu nisan Sultan Malik as-Saleh yang bertuliskan angka
1297 bercorak huruf Gujarat. Adapun teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang
pada abad ke-12 M dan dibawa dari Persia. Teori ini muncul karena maraknya paham
Syi‟ah pada masa tersebut, seperti tradisi tabot atau tabuik.41
Ketika Islam masuk ke Indonesia, dengan serta-merta ajarannya pun juga
perlahan berkembang di masyarakat. Berkat peran para tokoh agama, Islam
mengalami perkembangan yang cukup signifikan.42
Berbagai cabang keilmuan Islam
mulai dikenal, seperti kajian terhadap al-Qur‟an (tafsir), fiqih, tasawuf, hadis dan
lain-lain. Namun, dibandingkan dengan keilmuan Islam yang lain, studi hadis
terbilang sulit dan tidak gampang. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa pada
abad ke-17 dan 18, kajian Islam yang dominan sangat marak dan diminati, sehingga
kajian terhadap hadis terlupakan. Padahal pada masa tersebut hadir dua ulama yang
telah berkontribusi besar dalam merintis kajian hadis pertama kali di Indonesia,
mereka adalah Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658 M) dan Abdul Rauf As-Sinkili (w. 1693
M).43
Nuruddin Ar-Raniri dianggap sebagai perintis pertama kajian hadis di
Indonesia. Beliau menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb
yang dilabeli sebagai kitab hadis Melayu yang pertama.44
Pada masa yang sama,
Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab yang berjudul Syarah Latīf ‘ala
Hadītsan li Imām al-Nawawi. Kedua kitab ini masih berbentuk manuskrip, sehingga
untuk mengadakan pengkajian terhadapnya membutuhkan usaha yang gigih. Satu-
41
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007), h.
193-196. Sebagai perbandingan lihat: Latifa Annum D, “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia,” Studi
Agama dan Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119. 42
Hal ini tidak luput dari peran para ulama Indonesia, yang menurut Azyumardi Azra,
sebagaimana dikutip oleh Muhajirin, para ulama secara konsekuen berangkat ke Timur Tengah untuk
menimba ilmu. Dan sebagian dari mereka juga mendapatkan ijazah untuk mengajar di halaqah
Masjidil Haram. Sekembalinya dari Timur Tengah, masing-masing dari mereka mengajar dan berkarya
dengan menulis kitab-kitab tentang Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara , h. 37. 43
Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 46. 44
Umma Farida, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam
Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 1 (2017): h. 2.
34
satunya tempat yang menyimpan manuskrip dari kitab ini adalah PNM (Perpustakaan
Negara Malaysia).
Jika membaca catatan sejarah, diketahui perkembangan kajian hadis tergolong
sedikit lambat dibandingkan ilmu-ilmu yang lain. Menurut Ramli, keterlambatan ini
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, mulai dari awal masuknya Islam
di Indonesia sampai sekitar abad ke-20.45
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Martin Van Bruinessen yang menyoroti perkembangan studi Islam di pesantren. Data
yang didapatkan dari penelitiannya menunjukkan bahwa hadis merupakan mata
pelajaran yang tergolong baru dipelajari di pesantren karena belum dijadikan sebagai
kurikulum resmi sebelum abad ke-20. Posisi hadis pada saat itu hanya “mendukung”
mata pelajaran lainnya.46
Dalam arti lain, hadis belum mendapatkan tempat yang
mandiri karena hanya dapat ditemukan sebagai pelengkap di dalam kitab-kitab pada
mata pelajaran Islam yang lain. Sebagai contoh, di dalam kitab fiqih pada bab shalat,
akan ditemui hadis-hadis tentang shalat sebagai dalil-dalil penjelas.
Namun, berkembang dengan lambat bukan berarti tidak berkembang sama
sekali. Hadis tetap diminati para ulama dan akademisi muslim, meski tidak terlalu
marak seperti kajian tafsir dan fiqih. Kehadiran Ar-Raniri dan As-Sinkili telah
memotivasi ulama-ulama pada masa selanjutnya untuk mengkaji hadis dan menulis
kitab-kitab yang berkenaan dengannya. Pada abad ke-19, dikenal sesosok ulama yang
berkontribusi besar dalam kemajuan hadis di Indonesia. Beliau adalah Muhammad
Mahfūẕ bin Abdullah bin Abdul Mannān al-Tarmasi, atau lebih familiar dengan nama
al-Tarmasi.47
Beliau merupakan pemegang isnad yang sah dalam tranmisi pengajaran
Shahih Bukhari, ia bahkan berhak untuk memberikan ijazah kepada para muridnya
yang telah menguasai Shahih Bukhari. Al-Tarmasi berjasa dalam mengembangkan
kajian hadis di pesantren, kemudian usahanya tersebut dilanjutkan oleh muridnya
KH. Hasyim Asy‟ari yang mengelola pondok hadis terkenal, Tebu Ireng. Pada masa
45
Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, “Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia,”
Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263. 46
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Cet-3 (Bandung: Mizan,
1999), h. 29 dan 161. 47
Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia Sebuah Upaya Pemetaan,”
Tarjih, Edisi 7 (Januari 1994): h. 73-74.
35
KH. Hasyim Asy‟ari inilah kajian hadis mulai mengalami perkembangan di daerah
Jawa, khususnya di Jawa Timur. Beliau mengadakan pengajian hadis yang secara
khusus mengkaji kitab Shahih Bukhari. Majelis hadis tersebut mendapat respon baik
dari masyarakat dan banyak para penggiat hadis dari berbagai daerah di Jawa yang
turut serta meramaikannya.48
Pada abad ke-20, Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis.
Paham-paham pembaharuan dari Timur dan ilmu-ilmu modern dari Barat ikut
berperan dalam membuat hal ini menjadi mungkin. Dengan masuknya paham-paham
ini, banyak perubahan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Pada bidang hadis salah
satunya, konsekuensi yang harus diterima adalah kenyataan bahwa paham tersebut
membawa studi hadis menjauh dari proses awal yang tradisional. Hal ini sontak
menimbulkan berbagai respon dari umat Islam di Indonesia. Namun satu hal yang
pasti, bahwa tidak semua umat Islam menerima ide pembaharuan ini. Maka dengan
demikian seolah-olah prospek kajian hadis di Indonesia berjalan menuju dua arah
yang berbeda. Pada satu sisi, berkeinginan untuk mempertahankan ciri Islam yang
tradisional, dan pada sisi yang lain bersemangat untuk mengadakan pembaharuan
dengan menerima ide-ide modernitas.49
Menurut Daud Rasyid, sebagaimana dikutip oleh Badri, tercatat sekitar 69
orang ulama hadis pada paruh pertama abad ke-20 di Indonesia. Namun Daud tidak
menjelaskan batasan-batasan dan kriteria yang ia gunakan ketika menilai seseorang
layak digolongkan sebagai seorang muhaddis/ulama hadis yang ia maksud.
Kemungkinan besar, angka tersebut didasarkan oleh pemahaman seseorang terhadap
hampir seluruh cabang ilmu dalam Islam. Jadi, 69 orang yang dikategorikan oleh
Daud Rasyid belum tentu semuanya merupakan ulama yang benar-benar mendalami
hadis, seperti At-Tarmasi misalnya. Sedangkan Badri mengungkapkan bahwa ulama
Indonesia hadis pada abad ke 20 ada delapan orang, antara lain Ahmad Khatib bin
Abdul Latif Minangkabau (1959-1918), Muhammad Mahfūẕ bin Abdullah At-
48
Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi Lisan/Tulisan
hingga Berbasis Digital,” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h. 117. 49
Badri Khaeruman, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX,” Diroyah: Jurnal
Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 190.
36
Tarmasi (1878-1919), Hasyim Asy‟ari (1865-1946), A. Hassan (1886-1957),
Munawar Khalil (1908-1960), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1974), Abdul Qadir
Hassan Bangil (w.1984) dan Muhammad Yasin bin Isa Padang al-Makky (1916-
1960).50
Memasuki awal abad 21, fenomena kajian hadis menunjukkan perkembangan
yang pesat, baik kualitas maupun kuantitas. Hal ini tergambar dari semakin
banyaknya program studi Hadis dan Ilmu Hadis di Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia. Di samping itu, semakin maraknya penulisan skripsi, tesis dan disertasi
yang meneliti hal-hal terkait dengan hadis. Tidak hanya itu, pada masa ini juga
banyak buku-buku tentang hadis yang diterbitkan.51
Muhajirin di dalam karyanya
“Kebangkitan Hadis di Nusantara” menyebutkan 78 judul buku dengan tema hadis,
dan menurutnya buku-buku tersebut belum dapat mewakili semuanya karena
jumlahnya lebih dari itu. Ia juga menambahkan bahwa perbedaan antara karya-karya
tentang hadis pada tahun tahun 90-an dan 2000-an terletak pada usaha
penerjemahannya. Pada tahun 90-an penerjemahan kitab hadis dari bahasa asing ke
dalam Bahasa Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2000-an.52
C. Dinamika Metode Pemahaman Hadis di Indonesia
Kenyataan bahwa pemahaman hadis juga merupakan bagian dari pengkajian
hadis menyebabkan perkembangan keduanya senantiasa beriringan. Di Indonesia,
perkembangan hadis memang terbilang sedikit lebih lambat dibanding cabang
keilmuan Islam yang lain. Namun kondisi tersebut sudah tidak terjadi lagi sekarang,
karena dewasa ini hadis sudah menjadi salah satu kajian yang paling diminati dan
digemari oleh para akademisi muslim di Indonesia. Mengenai kajian terhadap
pemahaman hadis, pada awalnya dilakukan dengan sangat sederhana yaitu
50
Badri, “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX., h. 192. 51
Ramli Abdul Wahid dan Dedi Masri, Perkembangan Terkini Studi Hadis di Indonesia, h.
264. 52
Semakin sedikitnya penerjemahan kitab-kitab hadis ke dalam bahasa lokal pada tahun
2000-an menunjukkan bahwa para intelektual muslim, terkhusus para pengkaji hadis di Indonesia
semakin menaruh perhatian yang mendalam terhadap hadis. Hal ini bukanlah sebuah kemunduran,
melainkan pertanda bahwa kajian hadis semakin berkembang dan mendapat posisi yang layak di dalam
wacana keilmuan Islam. Lihat: Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 148-153.
37
mengambil penjelasan-penjelasan dari kitab syarah hadis secara tekstual dan tidak
melirik metode serta pendekatan selain dari pendekatan kebahasaan yang bersifat
tradisionalis.53
Sejak kedatangan Islam ke Indonesia, pemahaman tekstual
berkembang dengan sangat baik. Di samping nalar para ahli hadis, pemahaman
tekstual juga berperan sebagai sentral dalam mengorisinalisasi tradisi-tradisi
keagamaan dan memformulasikan kebudayaan Islam di Indonesia.54
Metode pemahaman hadis senantiasa mengalami dinamika dan
perkembangan. Sebagaimana halnya dengan metode pemahaman hadis klasik yang
terus berkembang dan memunculkan metode-metode baru pada abad kontemporer ini.
Pada awalnya metode pemahaman hadis yang digunakan oleh para ulama hadis klasik
cenderung tekstualis,55
kemudian metode tersebut terus berkembang hingga akhirnya
pada abad kontemporer dikenal istilah-istilah baru seperti hermeneutika, semiotika
dan kontekstual. Maka begitu pula dengan praktek kajian pemahaman hadis yang
berlangsung di Indonesia yang juga terus berdinamika dari masa ke masa. Karena
bagaimanapun, stuck di satu metode pemahaman hadis dirasa kurang cukup dalam
memenuhi tuntutan zaman, sehingga para ulama terus berupaya menemukan alternatif
terbaik untuk menjawab semua tuntutan tersebut.
Untuk melacak dinamika metodologi pemahaman hadis di Indonesia harus
merujuk kepada kitab-kitab syarah yang telah ditulis oleh para ulama. Karena
menurut catatan sejarah, pada awal munculnya kajian hadis di Indonesia, para ulama
belum menulis kitab-kitab yang secara khusus menerangkan tentang metodologi
dalam memahami hadis, sehingga untuk melihat langkah yang mereka tempuh dalam
memahami hadis harus merujuk pada kitab yang mereka tulis, terutama kitab syarah
hadis. Di Indonesia, tercatat bahwa penulisan kitab syarah hadis sudah mulai
53
Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” Analytica
Islamica 3, No. 2 (2014): h. 209. 54
Ahmad Ubaydi Hasbillah, Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat
Berbasis Tekstualisme, h. xx. 55
Pada awal Islam, sebagian ulama sudah puas dengan mengatakan “Allah Yang Maha
Mengetahui maksud-Nya” (Wa Allahu a’lam). Namun ketika zaman berubah, dan peradaban yang
terus-menerus menunjukkan perkembangan sehingga problem-problem kehidupan yang muncul juga
semakin kompleks. Pada titik ini, pemahaman yang bersifat literalisme sulit untuk memuaskan
pemikiran beberapa pihak. Lihat: Hasep Saputra, “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di
Indonesia,” Al-Quds: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 43-44.
38
dilakukan pada abad ke 17. Langkah awal ini diprakarsai oleh Nuruddin al-Raniri
yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb. Usaha
pensyarahan hadis juga dilakukan oleh Abdul Rauf al-Sinkili yang melahirkan karya
berupa kitab yang ia beri judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi.56
Pada abad ke-19 seorang ulama asal Banten juga menghasilkan karya dalam
bidang syarah hadis. Beliau adalah Nawawi al-Bantani (1815-1897) dengan karyanya
yang berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Pada akhir abad 19
dan awal abad 20, Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) juga menulis seuah kitab syarah
hadis berjudul Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah. Meskipun
hampir semua ulama yang menulis kitab syarah hadis di atas lahir di Indonesia,
uniknya semua kitab tersebut ditulis dalam Bahasa Arab dan Melayu.57
Baru
kemudian pada pertengahan abad ke-20, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
berinisiatif untuk menulis sebuah kitab syarah berbahasa Indonesia. Hal ini
merupakan salah satu hal yang ia cita-citakan, karena menurutnya salah satu langkah
untuk mengembangkan ajaran Islam di Indonesia adalah dengan menyajikan kajian-
kajian dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat.
Adapun kitab-kitab tersebut mempunyai karakteristiknya tersendiri baik dari
segi metodologi,58
pendekatan,59
dan mazhab60
yang digunakan, tergantung siapa
yang menulisnya. Warna dari sebuah karya juga dipengaruhi oleh latar belakang
intelektual penulis, seperti kepada siapa dia berguru dan dimana dia menuntut ilmu.
56
Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 47-50. 57
Hal ini besar kemungkinan dikarenakan latar belakang pendidikan mereka yang rata-rata
merupakan tamatan dari Timur Tengah. Di samping itu, ghirah atau semangat mereka untuk
melanjutkan tradisi penulisan kitab dalam Islam yang dari awal sudah ditulis dalam Bahasa Arab juga
bisa menjadi alasan yang lain. 58
Dalam kajian syarah hadis dikenal beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama
dalam mensyarah yaitu tahlili (analisis), ijmali (global) dan muqarin (komparatif). Lihat: Moh.
Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Studi Hadis 2, No. 2,
(2016): h. 266. 59
Menurut Alfatih Suryadilaga, terdapat tiga pendekatan dalam syarah hadis yaitu:
pendekatan historis, pendekatan sosiologi dan pendekatan antropoloogi. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga,
Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 57-83. 60
Mazhab atau aliran syarah hadis terbagi dalam dua kategori, yaitu mazhab ulama hadis
klasik dan ulama hadis kontemporer. Mazhab klasik lebih cenderung tekstual (original meaning) dan
tema sesuai dengan susunan kitab induknya, sedangkan mazhab kontemporer tema kajian syarah
bersifat kontekstual (applicable meaning) dan tema kajian tidak harus sesuai dengan kitab induknya.
Lihat: Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. xx.
39
Metodologi syarah hadis di Indonesia terus mengalami dinamika dan perkembangan.
Sebagaimana dahulu pada masa awal penulisan kitab syarah di Indonesia, tidak
ditemukan istilah-istilah seperti pemahaman kontekstual, semantik dan hermeneutik.
Seiring berubahnya keadaan sosial, berkembangnya peradaban dan semakin
kompleksnya problem hidup manusia, istilah-istilah tersebut kemudian muncul dan
mulai digunakan dalam kajian pemahaman hadis pada pertengahan tahun 1990-an.61
Penulisan kitab syarah hadis pertama di Indonesia dilakukan oleh Nuruddin
Ar-Raniri yang menulis kitab berjudul Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb.
Selain sebagai kitab syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab
hadis Melayu yang menjadi tolak ukur munculnya kajian hadis pertama kali di
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Hidāyat al-Habīb fi al-
Targhīb wa al-Tarhīb juga dikenal dengan sebutan al-Fawā`id al-Bahiyah li al-
Ahādīs al-Nabawiyyah. Meskipun memiliki nama yang berbeda, kedua kitab ini
hakikatnya adalah sama, yang membedakan hanyalah Hidāyat al-Habīb masih
berbentuk manuskrip sedangkan al-Fawā`id al-Bahiyah sudah dicetak dalam bentuk
kitab. Menurut Abdullah sebagaimana dikutip Alimron, sejauh ini hanya satu tempat
yang menyimpan teks Hidāyat al-Habīb yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM).
Namun penelitian terbaru menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga terdapat di
Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih dalam versi tidak lengkap.62
Literatur yang membahas mengenai kitab Hidāyat al-Habīb sangat sedikit
sehingga sulit untuk melakukan pelacakan terhadapnya. Penelitian yang mengupas
mengenai deskripsi kitab ini pernah dilakukan oleh Azyumardi Azra dan Oman
Fathurrahman. Menurut Azra, tujuan Ar-Raniri menulis kitab Hidāyat al-Habīb
adalah karena kepeduliannya terhadap pengetahuan dan pemahaman masyarakat
mengenai tuntunan Nabi Saw mengenai syariat Islam. Kitab ini memuat 831 hadis
yang diambil dari 22 kitab hadis seperti Shahih al-Bukhāri, Shahih Muslim dan kitab
hadis lainnya. Pada sisi lain, Abdul Rauf al-Sinkili juga menulis sebuah kitab dengan
judul Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi yang merupakan penjelasan
61
Ramli, “Perkembangan Metode pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232. 62
Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah Hidāyat al-
Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.
40
ringkas dari 40 hadis (al-Arba’īn al-Nawawi). Langkah yang ditempuh oleh As-
Sinkili dalam menulis kitabnya adalah dengan menghimpun hadis-hadis Nabi Saw
yang shahih, namun hanya menulis matannya saja dan tidak menulis isnad hadisnya.
Menurut Azyumardi Azra, sebagaimana yang dikutip oleh Umma Farida, As-Singkili
bertekad untuk menulis kitab syarah terhadap Arba’īn Nawawi dikarenakan
kepeduliannya terhadap kaum awam agar mereka mudah mengkaji dan memahami
kandungan hadis-hadis yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari.63
Baik kitab Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-Nawawi maupun Hidāyat al-
Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb masih sangat minim literatur yang membahasnya.
Di samping itu, kitab tersebut diketahui masih berbentuk manuskrip dan belum
dicetak dalam bentuk buku. Namun, dari ulasan singkat yang kemukakan oleh Azra
dan Oman, tampaknya kedua kitab ini belum menerapkan metodologi pensyarahan
modern seperti kontekstual, hermeneutik dan semiotika. Hal ini tergambar dari tujuan
Ar-Raniri dan As-Sinkili menulis kitab-kitab tersebut, yakni untuk memudahkan
masyarakat dalam memahami hadis Nabi Saw. Sehingga, dalam hal ini sisi
tekstualitas dari sebuah redaksi hadis lebih memungkinkan untuk diterima dan
dicerna oleh masyarakat muslim kala itu. Ditambah lagi, persoalan-persoalan agama
yang muncul pada awal masuknya Islam di Indonesia tentu tidak serumit persoalan
yang harus dihadapi pada saat ini. Karena kajian pada saat itu terfokus pada tema
pokok ajaran agama seperti tauhid dan rukun Islam yang lima.64
Pada abad ke-19, Nawawi al-Bantani (1815-1897) menulis sebuah kitab yang
berjudul Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubāb al-Hadīs. Kitab ini berisi 404 hadis,
namun yang disyarah oleh al-Bantani hanya 360 hadis. Fakhri dalam penelitiannya
membagi metode pemahaman hadis al-Bantani kepada dua tipologi, yaitu metode
tekstual dan intertekstual. Metode tekstual untuk hadis-hadis yang bisa dipahami
63
Umma, “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam
Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia,” h. 4. 64
Hal inilah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah Saw. Sebagaimana yang tercatat dalam
sejarah, bahwa dakwah beliau terbagi pada dua periode yaitu periode Mekah dan periode Madinah.
Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, beliau fokus mendakwahkan tauhid , memperbaiki kerusakan
akidah dan kejahiliyaan. Lihat: Hasan Basri, “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah,” Al-Munzir
7, No. 2 (November 2014): h. 29.
41
secara mandiri tanpa harus dihubungkan dengan riwayat lain, dan metode
intertekstual untuk hadis-hadis yang perlu penjelas dari selain redaksinya sendiri,
seperti riwayat lain dan pendapat-pendapat para ulama.65
Di samping menggunakan
dua metode yang telah disebutkan, al-Bantani juga menerapkan beberapa pendekatan
dalam menjelaskan potongan-potongan hadis, seperti pendekatan kebahasaan.66
Di samping itu, kitab Tanqīh al-Qaul juga kental dengan corak sufi. Dalam
menjelaskan sebuah hadis, al-Bantani seringkali mengutip pendapat ulama, seperti
Imam al-Ghazāli dan Abdul Qadīr al-Jailāni. Salah satu hadis yang beliau pahami
dengan jalan tasawuf adalah hadis tentang faḏīlah shalat wajib. Menurutnya, seluruh
gerakan yang dilakukan dalam shalat menyimpan makna yang dalam. Seperti gerakan
mengangkat kedua tangan yang bermakna seorang hamba sedang mengakui bahwa
dirinya telah melakukan maksiat dan penuh kesalahan, sehingga ia seolah berkata,
“Wahai Tuhanku, tolong hamba yang terjebak dalam jurang kemaksiatan ini.”
Kemudian gerakan rukū’ merupakan bentuk merendahkan diri di hadapan Sang Ilahi.
Gerakan bangun dari rukū’ menggambarkan permintaan seorang hamba agar ia
terbebas dari dosa-dosa. Posisi sujud seolah-olah seorang hamba berkata, “Dari
65
Fakhri Tajuddi Mahdy, “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh al-Qaul
al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,” (Tesis S2 UIN Alauddin
Makassar, 2016), h. 98. 66
Salah satu pendekatan yang al-Bantani gunakan pendekatan kebahasaan. Hal ini tercermin
ketika beliau memahami hadis pada bab tentang Fī Faḏīlah al-Farīḏah (Bab Keutamaan shalat
fardhu). Pada hadis ketujuh dalam bab ini membahas sabda Nabi Saw (صلىا كوا زأيتوىي). Al-Bantani
menjelaskan bahwa kata “ra`aitumūnī” maknanya adalah “’alimtmūnī”. Maka, meskipun umat Islam
tidak pernah berjumpa dengan beliau, tetap memiliki kewajiban untuk mendirikan shalat karena telah
mengetahui tentang perintah shalat, dan juga tata caranya juga diketahui dari riwayat-riwayat yang
shahih. Di samping itu, al-Bantani juga menerapkan pendekatan antropologi (mempertimbangkan
tatanan nilai masyarakat tertentu). Salah satu contohnya adalah ketika al-Bantani memahami hadis
pada bab tentang Fī Faḏīlah ‘Iyādah al-Marīḏ (Bab Keutamaan Menjenguk Orang yang Sakit). Hadis
tersebut berbunyi, “ال تجة عيادج الوسيض إال تعد ثالثح أيام” (tidak wajib menjenguk orang sakit kecuali setelah
tiga hari). Al-Bantani menjelaskan hadis ini dengan mengatakan bahwa batasan tiga hari tersebut
berdasarkan kebiasaan orang Arab yang biasanya menjenguk orang sakit jika ia telah sakit selama tiga
hari. Ia menambahkan, bahwa batasan ini disesuaikan dengan ‘urf yang berlaku. Sebagaimana
diketahui bahwa pendekatan antropologis merupakan bagian dari pemahaman kontekstual. Maka
dalam hal ini, menurut penulis, al-Bantani telah mempraktekkan metode kontekstual dalam kitab
syarahnya, namun hal tersebut bersifat tidak baku dalam artian hanya dalam bentuk praktek dan belum
terkonsep secara sistematis. Karena pada saat itu belum dikenal istilah kontekstual apalagi hermeneutik
dan semiotika. Inilah yang disampaikan oleh Ramli Abdul Wahid, menurutnya istilah kontekstual,
hermeneutika, semiotika, dan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, sosiologis, psikologis
dan antropologis baru muncul di Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Ramli,
“Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia,” h. 232.
42
materi (tanah) inilah Engkau menciptakanku, Ya Allah”. Disaat bangun dari sujud,
seolah seorang hamba berkata, “Engkau telah mengeluarkanku”, dan gerakan sujud
yang kedua, seorang hamba seolah berkata, “Ke sinilah aku akan kembali lagi”. Pada
gerakan bangkit dari sujud yang kedua, seolah seorang hamba berkata, “Dari sini
jualah aku dikeluarkan untuk yang kedua kalinya”. Sedangkan makna salam adalah,
“Ya Allah berilah aku kitabku dari arah kanan dan jangan Engkau beri aku kitabku
dari arah kiri.”67
Tradisi penulisan kitab syarah hadis terus berlanjut hingga paruh akhir abad
19 dan awal abad 20. Pada periode ini Mahmud al-Tarmasi (1868-1920) menulis
kitab Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarḥ al-Mihnah al-Khairiyyah. Kitab ini berisi empat
puluh hadis pilihan dan ditulis dalam bahasa Arab.68
Berbeda dengan al-Bantani yang
menggunakan metode ijmali dalam kitab syarahnya,69
al-Tarmasi menggunakan
metode tahlili. Hal ini tergambar ketika beliau menjelaskan makna dari kata
“bismillah” dengan panjang lebar, mulai dari mencantumkan hadis terkait lengkap
dengan sanadnya,70
dilanjutkan dengan keutamaan-keutamaan apabila
membacanya.71
Kenyataan bahwa al-Tarmasi menggunakan metode tahlili dalam
menjelaskan hadis-hadis dalam kitab syarahnya, memberi pengertian bahwa ia
berkemungkinan besar juga memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal di luar
redaksi hadis.
Pada abad ke-20 dan paruh awal abad ke-21 di Indonesia, dikenal istilah baru
dalam memahami hadis yaitu metode pemahaman kontekstual. Pada masa tersebut
juga muncul beberapa tokoh seperti M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, dan Ali
Mustafa Yaqub yang menerapkan metode kontekstual di dalam karyanya. Tokoh
67
Nawawi Al-Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs (Jakarta: Dār al-
Kutub al-Islāmiyah, 2011), h. 12. 68
Muhajirin, Kebangkitan Hadits di Nusantara, h. 108-109. 69
Dalam mensyarah hadis, al-Bantani menggunakan metode ijmali. Beliau secara pribadi
mengemukakan dalam mukadimah kitabnya, bahwa penjelasan yang ia cantumkan dalam Tanqīh al-
Qaul sangat singkat. Hal tersebut ia lakukan sesuai dengan permintaan orang-orang di Jawa. Lihat: Al-
Bantani, Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs, h. 8. 70
Diketahui bahwa kitab-kitab syarah hadis yang ditulis oleh para ulama Indonesia
sebelumnya hanya mencantumkan redaksi hadisnya saja dan tidak menyertakan sanad hadisnya. 71
Mahmud al-Tarmasi, Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah
(Kementerian Agama RI: T.tp, 2008), h. 2.
43
pertama yaitu M. Syuhudi Ismail, memandang Islam sebagai ajaran yang sifatnya
umum dan diperuntukkan untuk semua umat manusia serta relevan dengan perubahan
sosial. Beliau memahami bahwa posisi Nabi Saw diutus sebagai rahmat bagi semesta
alam. Namun pada sisi lain ia juga meyadari bahwa kenyataannya Nabi Saw hidup
dalam batas ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, menurutnya hadis Nabi
merupakan sumber otoritatif Islam yang pada satu sisi bersifat universal, namun pada
sisi yang lain juga bersifat temporal dan lokal.72
Atas dasar inilah, Syuhudi kemudian
membagi pemahaman hadis kepada dua tipologi, yaitu pemahaman tekstual dan
kontekstual. Langkah ini beliau tempuh agar umat Islam tidak mudah men-ḏa’if-kan
hadis-hadis yang sanadnya ṣaḥiḥ atau ḥasan hanya karena redaksinya tidak sesuai
dengan kaidah kashahihan matan.73
Salah satu contoh pemahaman Syuhudi terhadap hadis dengan metode
kontekstual tercermin dari penjelasannya mengenai hadis larangan melukis.
حدثنا احلميدي حدثنا سفيان قال حدثنا األعماش عن مسلم قال : كنا مع مسروق ف دار يسار بن منري فرأى ف صفته متاثيل فقال : مسعت عبد اهلل قال : مسعت النيب صلى اهلل عليه وسلم يقول : إن
74أشد الناس عذابا عند اهلل يوم القيامة املصورون
“Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidy, telah menceritakan kepada
kami Sufyān, ia berkata telah menceritakan kepada kami al-A‟māsy dari Muslim ia
berkata: Kami sedang bersama Masrūq di rumah Yasar bin Numair, dan kami melihat
terdapat beberapa lukisan. Maka ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat dari
Allah Swt pada hari kiamat kelak adalah para pelukis.”
Cukup banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang larangan menggambar
makhluk bernyawa. Pada hadis yang lain disebutkan bahwa pelakunya akan dituntut
72
Universal adalah yang berlaku umum, untuk semua orang dan setiap waktu. Temporal yaitu
sesuatu yang berhubungan dengan waktu-waktu tertentu, sedangkan lokal adalah terjadi dan berlaku
pada suatu tempat tertentu/tidak merata. 73
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h.
90. 74
Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, Kitab al-Libas Bab
89 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 1511.
44
untuk memberikan nyawa kepada yang dilukisnya pada hari kiamat dan pada riwayat
lain juga disebutkan bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat
lukisan. Berbagai hadis yang berkenaan dengan larangan melukis dan memajang
lukisan disabdakan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah Saw, karena
berhubungan dengan konsekuensi bagi pelakunya pada Hari Kiamat kelak.75
Larangan melukis yang disabdakan Nabi Saw mempunyai latar belakang
hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi Saw, masyarakat belum lama terlepas dari
kepercayaan menyekutukan Allah Swt dalam bentuk menyembah berhala-berhala.
Nabi Saw berusaha menjauhkan umat Islam dari hal-hal yang dikhawatirkan akan
mengembalikan mereka kepada kemusyrikan. Jika „illat hukumnya76
memang
demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan akan terjebak kepada
kemusyrikan, khususnya dalam penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan
memajang lukisan diperbolehkan. Berdasarkan analisis sejarah tersebut maka
Syuhudi memahami hadis itu secara kontekstual.77
Tokoh yang juga mendukung metode pemahaman hadis kontekstual adalah
Daniel Djuned. Ia menulis sebuah buku dalam bidang hadis berjudul Ilmu Hadis:
Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Di dalam buku tersebut Daniel
mengungkapkan bahwa merupakan sesuatu yang urgent untuk mencari format baru
dan melakukan rekonstruksi terhadap metodologi pemahaman hadis ulama klasik.
Karena banyak pemahaman terhadap hadis yang terlalu kaku dan hanya
mengandalkan sisi tekstualitas matan saja. Hal tersebut membuat usaha yang pada
awalnya bertujuan untuk “pemurnian” malah terjebak menjadi “pengikisan” terhadap
ajaran agama Islam itu sendiri.78
75
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 36-37. 76
Dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang berbunyi: الحكن يدوز هع العلح وجىدا و عداها
“Hukum itu berkisar pada „illatnya, keberadaan dan ketiadaannya.” Dalam arti, jika illatnya ada, maka
hukumnya ada, namun jika illatnya lenyap, maka hukumnya juga ikut lenyap. 77
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang
Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 37. 78
Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2010), h. 5.
45
Daniel menekankan pendekatan historis dan pertimbangan terhadap kondisi
sosial kultural dalam memahami hadis. Memahami hadis tanpa mempertimbangkan
latar belakang sejarah merupakan sebuah kekeliruan. Ia juga mengatakan bahwa
istilah kontekstual sangat erat kaitannya dengan asbāb al-wurūd. Ada sebagian orang
yang mendefinisikan kontekstual dengan asbāb al-wurūd itu sendiri. Namun, Daniel
secara pribadi mengatakan bahwa kontekstual lebih luas daripada sekedar asbāb al-
wurūd karena konteks tidak hanya meliputi ruang dan waktu namun juga
circumstances (lingkungan) seperti antropologis, geografis, sosio-kultural dan lain
sebagainya.79
Daniel juga menyebutkan bahwa budaya Arab dan non-Arab memiliki
ketidaksamaan sehingga dalam memahami hadis juga perlu mempertimbangkan
konteks antropologis dan geografisnya. Sebagai contoh adalah hadis tentang safar
yang dilakukan oleh perempuan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
نافع عن ابن حممد بن املثىن قاال: حدثنا حيىي )وهو القطان( عن عبيد اهلل أخربينو حدثنا زهري بن حرب 80ال تسافر املرأة ثالثا إال مع ذي حمرم ال: لى اهلل عليه وسلم قعمر: أن رسول اهلل ص
“Menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin al-Matsna
mereka berkata: menceritakan kepada kami Yahya (yaitu al-Qaththan) dari
Ubaidillah, menceritakan kepadaku Nafi‟ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw
berkata: Wanita dilarang berpergian selama tiga hari kecuali didampingi
mahramnya.”
Redaksi hadis tersebut di atas melarang para perempuan melakukan safar
sendirian kecuali jika ditemani oleh mahram. Sedangkan pada saat ini sangat banyak
keperluan yang menuntut perempuan untuk melakukan kegiatannya sendirian, seperti
studi ke luar negeri dan menunaikan haji. Maka tentu akan memakan biaya yang lebih
besar jika mengharuskan mereka untuk berpergian dengan mahramnya. Di samping
itu, tidak semua perempuan memiliki mahram. Sehingga hal tersebut akan
mempersulit kaum perempuan terutama ketika hendak menunaikan ibadah haji.
Menurut Daniel bukan seperti ini konklusi yang diinginkan oleh agama. Zaman
79
Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 179. 80
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj al-Naisabūri, Sahih Muslim, Kitab al-Hāj Bab 74
Hadis ke-413, h. 975.
46
ketika hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Saw dengan zaman sekarang sudah
berbeda. Dahulu kendaraan yang digunakan adalah kuda atau unta sedangkan
sekarang sudah ada pesawat terbang, kereta api dan kendaraan lainnya yang mudah
untuk diakses. Maka menurut Daniel jika keamanan terjamin, perempuan boleh saja
melakukan safar tanpa harus didampingi mahramnya.81
Di samping M. Syuhudi Ismail dan Daniel Djuned, Ali Mustafa Yaqub juga
mengambil andil dalam mengembangkan kajian metode pemahaman hadis di
Indonesia. Dalam wacana kajian hadis, Ali Mustafa Yaqub mengungkapkan bahwa
sebuah hadis pada dasarnya dipahami secara tekstual, namun jika tidak
memungkinkan maka boleh dipahami secara kontekstual. Menurut beliau terdapat
beberapa aspek yang harus diperhatikan ketika memahami hadis secara kontekstual,
yaitu asbāb al-wurūd al-hadīs, makāni wa zamāni (lokal dan temporal), ‘illah al-
kalām (hubungan kausalitas) dan sosio-kultural.82
Pemikiran Ali Mustafa Yaqub mengenai kontekstualisasi hadis tergambar
ketika beliau memahami hadis tentang surban. Hadis yang dimaksud berbunyi,
“Perbedaan antara kita dari kaum musyrikin adalah kain surban (yang dikenakan) di
atas kopiah.” Belakangan ini pemakaian serban sudah mengalami inflasi di Indonesia.
Para ulama dan tokoh agama tidak banyak lagi yang memakai serban, sedangkan
orang-orang yang tidak sampai kepada level para ulama malah berbondong-bondong
memakainya. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa melihat para pemusik, pejoget
dan penabuh gendang yang mengenakannya pada bulan Ramadhan. Tidak ada yang
benar-benar mengetahui tujuan mereka memakai serban tersebut, apakah karena
sekedar fashion atau memang ingin mengikuti sunnah Nabi Saw.
Menanggapi hadis tentang serban di atas, Ali Mustafa Yaqub mengatakan
bahwa serban merupakan salah satu dari banyaknya tradisi bangsa Arab yang setiap
81
Daniel, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis h. 180-182. 82
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 152.
Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam karyanya: Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami
Hadisi, Cet-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2019). Di dalam buku tersebut, beliau memaparkan hadis-
hadis yang dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan metode dalam memahaminya. Bagian-bagian
yang dimaksud seperti memahami hadis dengan majaz, takwīl, pengetahuan tentang illat dalam hadis,
pertimbangan terhadap budaya, kondisi geografis Arab dan asbāb al-wurūd.
47
muslim boleh mengikuti atau mengabaikannya. Serban merupakan pakaian kemuliaan
yang dipakai oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Arab. Sedangkan pakaian
kemuliaan di setiap wilayah berbeda-beda. Penutup kepala di Asia Tenggara dikenal
dengan songkok hitam sedangkan penduduk Turki menggunakan topi turbus.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, selama seseorang mengenakan penutup kepala, baik
dengan songkok, turbus atau lainnya maka ia dihitung telah mengikuti sunnah Nabi
Saw.83
Ditambah lagi, karena serban yang dikenakan oleh Nabi Saw merupakan
penyesuaian dengan tradisi Arab maka hadis tentang serban tergolong dalam sunnah
yang harus dipahami secara kontekstual. Nilai moral yang didapat dari hal ini adalah
bahwa mengenakan serban bukanlah sebuah tuntutan bagi kaum muslimin.84
Dari pelacakan terhadap metode pemahaman hadis yang diterapkan oleh para
ulama Indonesia di dalam kitab syarahnya, terlihat bahwa memang benar metode
tersebut mengalami dinamika. Yang pada awalnya cenderung tekstual, kemudian
beranjak memasuki era baru yang menggunakan pendekatan di luar literalis teks
seperti pendekatan dan tasawuf, sebagaimana yang diterapkan oleh Nawawi al-
Bantani pada paruh awal abad ke-19.85
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,
al-Tarmasi mendobrak tradisi penulisan kitab syarah hadis sebelumnya86
dengan
menerapkan metode tahlili dalam mensyarah hadis. Dinamika metode pemahaman
hadis terus terjadi hingga pada paruh akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 muncul
metode baru yang dikenal dengan sebutan metode pemahaman hadis kontekstual.
83
Ali Mustafa Yaqub, Cara benar Memahami Hadisi, h. 90-91. 84
Miski, “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban
dalam Konteks Indonesia,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 28. 85
Pada masa ini, juga terlihat bahwa fokus para ulama adalah memberikan pemahaman yang
benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Karena Islam belum lama masuk ke Indonesia, di tambah
lagi kajian hadis yang belum begitu marak dibandingkan kajian-kajian ke-Islam-an lainnya, para ulama
berupaya menyajikan kajian yang sederhana dan mudah dimengerti saja. Seperti halnya al-Bantani
yang lebih memilih untuk menerapkan metode ijmali dibanding tahlili di dalam kitab syarahnya. Ini
menunjukkan bahwa poin utama yang ingin diraihnya adalah pemahaman umat dan mengesampingkan
dulu hal-hal di luar itu. 86
Kitab-kitab syarah hadis sebelumnya, seperti Syarah Latīf ‘ala Hadītsan li Imām al-
Nawawi, Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tartīb dan Tanqīh al-Qaul al-Ḥadīs fī Syarḥ Lubāb al-
Ḥadīs ditulis dengan metode ijmali (global dan ringkas).
48
BAB III
SKETSA BIOGRAFIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
A. Biografi T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia
dilahirkan di Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara pada 10 Maret 1904 M atau 22
Dzulhijjah 1321 H. Orang tua Hasbi adalah tokoh dan keturunan ulama yang
terpandang di tengah masyarakat. Ayahnya merupakan seorang hakim kepala di Lhok
Seumawe bernama Teungku Muhammad Husayn bin Muhammad Su'ud yang berasal
dari anggota rumpun Teungku1 Cik di Simeuluk Semalanga, keturunan Faqir
Muhammad (Muhammad al-Ma‟ṣum). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amra
binti Teungku Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadhi Cik Maharaja
Mangkubumi. Ia juga merupakan keponakan Abdul Jalil yang mempunyai julukan
Teungku Cik di Awe Geutah, seorang ulama yang ikut bertempur melawan Belanda
di Aceh.2
Menurut silsilah keluarga, ayah Hasbi merupakan keturunan ke-36 dari
khalifah pertama Islam, Abu Bakr al-Shiddīq (w. 12 H). Silsilah ini menjadikan
Hasbi sebagai keturunan ke-37 dan atas dasar ini jugalah gelar Ash-Shiddieqy
melekat di belakang namanya.3 Jika dijabarkan, silsilah keluarganya adalah
Muhammad Hasbi ibn Muhammad Su‟ūd ibn Muhammad Taufīq ibn Fāṯimī ibn
Ahmad ibn Ḏiyā‟ al-Ḏīn ibn Muhammad Ma‟sūm ibn Ahmad Alfar ibn Mu‟aiy al-
Ḏīn ibn Khawajaki ibn Darwīs ibn Muhammad Zāhid ibn Marwaj al-Ḏīn ibn Ya‟qūb
ibn „Alā al-Ḏīn ibn Bahā‟ al-Ḏīn ibn Amīr Kilāl ibn Syammas ibn Abd al-Azīz ibn
Yazīd ibn Ja‟far ibn Qāsim ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Siddīq.4
1 Teungku adalah sapaan untuk laki-laki dewasa di Aceh dan secara khusus merupakan gelar
yang disematkan kepada seorang pakar atau tokoh agama. 2 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 3. 3 Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 369. 4 Aan Supian, “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis,”
Mutawatir 4, No. 2 (Desember 2014): h. 273.
49
Hasbi tumbuh dalam lingkungan yang taat beragama dan mendapatkan
pelajaran tentang Islam langsung dari ayahnya. Ia juga diasuh dalam kasih sayang dan
didikan ibunya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 1910
ibunya meninggal dunia. Ketika itu usia Hasbi masih terbilang sangat dini yaitu enam
tahun.5 Setelah ibunya wafat, ia dirawat oleh Teungku Syamsiyah yang merupakan
saudara ibunya yang tidak mempunyai anak laki-laki.6 Ia berada dalam asuhan
bibinya hanya dalam waktu dua tahun karena pada tahun 1912 Teungku Syamsiyah
berpulang ke rahmatullah. Sejak saat itu, Hasbi pun memutuskan untuk tinggal
bersama kakaknya, Teungku Maneh. Namun meskipun tinggal dengan kakaknya,
Hasbi lebih sering tidur di meunasah atau surau sampai kemudian nyantri dari dayah
ke dayah. Ia hanya sesekali bertemu ayahnya ketika akan belajar dan mendengarkan
fatwanya.7
Sejak kecil Hasbi telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Ia juga telah
menampakkan sikapnya yang ingin bebas dan tidak mau terikat dengan kungkungan
tradisi yang berlaku. Ayahnya selalu melarang agar tidak bergaul terlalu bebas
dengan teman-temannya, sebaliknya ia justru tidur di meunasah (musholla) dengan
mereka. Ayahnya juga selalu menyuruh salah seorang muridnya untuk menggendong
Hasbi ketika bepergian. Namun Hasbi tidak ingin dimanja atau diperlakukan secara
spesial. Ketika bermain sepeda bersama teman-temannya, malah dialah yang
mengayuh sepeda dan membonceng temannya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak
kecil sifat kepemimpinan sudah mengalir dalam diri Hasbi. Ditambah lagi, sifatnya
yang enggan terikat dengan peraturan dan tradisi inilah yang dikemudian hari
menjadikan ia sangat keras dalam menolak taklid buta.8
Hasbi tumbuh menjadi pemuda yang rajin dan sangat gemar membaca. Ia
menjadikan membaca sebagai hobi terbesarnya. Seringkali ia menyibukkan dirinya
untuk membaca sendiri di kamarnya atau di tempat-tempat lain seperti perpustakaan.
5 Depag RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam, 1992), h. 767. 6 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur‟ān, Ed. 3, Cet ke-6 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 299. 7 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 8.
8 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 9.
50
Semangatnya dalam membaca tidak hanya sebatas pada buku-buku berbahasa Arab
atau aksara Arab saja. Ia juga membaca buku-buku yang ditulis dengan aksara latin
dan bahasa lain selain Arab dan Melayu, seperti Belanda. Bagi Hasbi, belajar bisa
dengan siapa saja dan darimana saja, sebagai contoh ia mempelajari aksara latin dari
sahabatnya yang bernama Teungku Muhammad. Sedangkan untuk Bahasa Belanda ia
belajar dari seorang Belanda yang minta diajari Bahasa Arab ketika ia berada di
Kutaraja.9
Menginjak usia sembilan belas tahun, Hasbi menikah dengan Siti Khadijah,
seorang perempuan yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya.
Pernikahannya ini tidak berlangsung lama karena Siti Khadijah meninggal dunia
ketika melahirkan anak pertama mereka. Kemudian, Hasbi menikah lagi dengan
Teungku Nyak Asiyah binti Teungku Haji Hanum, saudara sepupunya. Teungku Haji
Hanum atau yang juga dikenal dengan Teungku Haji Nom merupakan saudara
kandung dari ibu Hasbi, Teungku Amrah. Dengan istri keduanya inilah ia
menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayatnya. Dari pernikahan tersebut ia
dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan.10
Pada tanggal 9 Desember 1975 setelah beberapa hari memasuki masa
karantina untuk pelaksanaan haji, Hasbi menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya
dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada saat upacara
pelepasan jenazahnya, Buya Hamka hadir dan memberikan kata sambutan dan
pemakamannya dilepas oleh Mr. Moh. Rum.11
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir
Hasbi telah khatam mengaji al-Qur‟an dari usia delapan tahun. Ayahnya
adalah guru pertamanya yang mengajarkannya banyak konten ilmu agama. Dari
ayahnya ia belajar qira‟ah dan tajwid. Ayahnya jualah yang pertama kali
9 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 14-15.
10 N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 10.
11 Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-
Qur‟ān, h. 300.
51
mengirimnya ke dayah.12
. Hasbi dilarang masuk ke sekolah Gubernemen karena takut
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Nasrani dan pada sisi lain ayahnya juga
mengharapkan Hasbi untuk menjadi seorang ulama.13
Pada tahun 1912 ia belajar di
Dayah Teungku Cik di Piyeung untuk mempelajari Bahasa Arab khususnya nahwu
dan saraf. Setelah satu tahun belajar disana, kemudian Hasbi pindah ke Dayah
Teungku Cik di Bluk Bayu. Pada tahun berikutnya, ia belajar di Dayah Blang Kabu
Gendong, kemudian melanjutkan pelajarannya di Blang Manyak dan Kurok. dan pada
1916 melanjutkan pembelajarannya di dayah Teungku Cik Idris di Tanjungan Barat.
Dua tahun kemudian atau tepatnya pada 1918 ia pindah ke dayah Teungku Cik Hasan
di Kruengkale hingga tahun 1920 dan resmi mendapatkan syahadah pada tahun
berikutnya sebagai tanda bahwa ia sudah layak dan cakap untuk mendirikan dayah
sendiri.14
Sepulangnya dari Kruengkale, Hasbi bertemu dengan Syeikh Muhammad ibn
Salim al-Kalāli, salah seorang anggota kelompok pembaharu pemikiran Islam di
Indonesia yang tinggal di Lhokseumawe. Darinya Hasbi belajar banyak dan mendapat
kesempatan untuk membaca kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh pembaharu dan
juga majalah-majalah yang berisi tentang pembaharuan pemikiran Islam yang
diterbitkan di Padang, Singapura dan Pulau Pinang. Kehadiran Syeikh al-Kalāli
sangat berarti dalam kehidupan Hasbi karena selain mendapat banyak pencerahan dan
12
Dayah adalah semacam lembaga pendidikan Islam dan dakwah tertua di Aceh.
Keberadaannya telah banyak membantu perkembangan dan pembangunan peradaban Islam di Aceh.
Hingga saat ini hampir pada tiap-tiap wilayah di Nanggroe (negeri) berdiri dayah. Sebagian dayah ada
yang berpusat di masjid, tapi kebanyakan dayah mempunyai balai tersendiri seperti aula yang terpisah
dari masjid sebagai tempat belajar dan shalat berjamaah. Pelajaran di dayah diajarkan dalam berbahasa
Arab dan bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab juga. Di antara ilmu yang diajarkan di dayah
adalah Akidah, Tauhid, Fiqih, Tasawuf, Tarikh, Tafsir, Hadis, Nahwu dan Dakwah. Para murid yang
baru masuk dayah tidak langsung berguru pada Teungku Syeikh (Pemimpin Dayah) namun terlebih
dahulu harus belajar pada teungku-teungku di rangkang. Dan hal ini diterapkan pada hampir seluruh
dayah yang ada di Aceh, seolah sudah menjadi aturannya. Lihat: Muhsinah Ibrahim, “Dayah, Masjid,
Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh,” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli-
Desember 2014): h. 24. 13
Mansun Tahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan
Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia” Al-Aḥwāl 1, No. 1 (2008): h. 124. 14
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 13.
52
inspirasi, Syeikh al-Kalali lah yang menyarankan agar Hasbi berangkat ke Surabaya
untuk belajar di perguruan al-Irsyad.15
Pada tahun 1926 ia berangkat ke Surabaya dan mulai belajar di Madrasah Al-
Irsyad. Pada saat itu Al-Irsyad di bawah kepemimpinan Umar Hubes, salah seorang
murid Ahmad Surkati.16
Benar kalimat bijak yang mengatakan bahwa lingkungan
dapat mempengaruhi dan membentuk seseorang. Karena menuntut ilmu dan hidup di
lingkungan yang dibina oleh para guru yang menyuarakan ijtihad dan menolak taklid,
Hasbi pun juga banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran mereka, terutama
Ahmad Surkati yang mendidiknya secara langsung di kelas khusus (takhassus)
Madrasah Al-Irsyad. Di madrasah ini Hasbi berkesempatan untuk memperdalam
kemampuan Bahasa Arab dan cabang-cabang keilmuan Islam lainnya. Di samping
itu, penguasaannya terhadap Bahasa Arab juga didukung karena ia berteman dengan
orang-orang Arab di Surabaya, mereka seringkali bermain sepakbola bersama. Hasbi
juga mondok di rumah salah seorang Arab. Setelah belajar di Madrasah Al-Irsyad
selama kurang lebih satu setengah tahun Hasbi dinyatakan lulus dengan predikat baik
pada tahun 1927.17
Pendidikan di Madrasah Al-Irsyad adalah pendidikan formal terakhir yang
ditempuh oleh Hasbi. Setelah menamatkan pembelajarannya di Al-Irsyad ia
memfokuskan diri untuk memperkaya diri dengan banyak membaca dan belajar
secara otodidak. Berkat semangat belajar dan membacanyan yang tinggi, Hasbi
menghasilkan banyak sekali karya tulis baik dalam bentuk buku maupun artikel. Ia
menerima dua gelar Doktor Honoris Causa karena jasanya terhadap pengembangan
15
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 15. 16
Ahmad Surkati adalah ulama keturunan Arab yang melakukan reformasi terhadap
pendidikan dan praktek keagamaan di Indonesia. Kehidupan intelektualnya dan pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Jamāluddin Al-Afghāni. Nama lengkapnya adalah Ahmad
bin Muhammad Surkati Al-Anṣāri. Ia lahir di Pulau Arqu dekat Dongola pada tahun 1975. Pada
awalnya, Ahmad Surkati mengajar di Mekah, namun kemudian ia bertolak ke Hindia atau lebih
tepatnya ke Jawa, Indonesia. Kedatangannya ke Indonesia menimbulkan pertanyaan dan kontroversi
bagi kalangan muslim Arab Internasional. Hal tersebut ia jawab dengan menjelaskan bahwa
perantauannya dikarenakan ia merasa lebih bisa menebar banyak manfaat dan berkontribusi untuk
Islam di Jawa. Lihat: Rusydi Baya‟qub, “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati,” Al-
Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224. 17
Tahir, Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan Relevansinya
dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 125.
53
Perguruan Tinggi Islam dan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia. Salah satu gelar
tersebut ia peroleh dari Unisba (Universitas Islam Bandung) pada tanggal 22 Maret
1975, dan satu lagi dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober
1975.18
Hasbi juga mendapatkan gelar fungsional guru besar. Dalam surat keputusan
pengangkatannya sebagai guru besar tertulis Guru Besar dalam Bidang Pengetahuan
Hadis, meskipun ia juga konsen mengajar fiqih dan ushul fiqih. Pidato
pengukuhannya sebagai Guru Besar berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan
Zaman.19
Pidato ini disampaikan melaui orasi ilmiah dalam acara peringatan setengah
tahun pergantian nama PTAIN menjadi IAIN pada tahun 1961.20
Di samping giat menuntut ilmu, Hasbi juga berkeinginan kuat untuk
mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Langkah awal yang dilakukan olehnya adalah
dengan membangun dayah atau madrasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak
muslim di Aceh.21
Pada tahun 1924, atas usahanya berdirilah madrasah di Buloh
Beureughang. Pembangunan madrasah ini mendapat dukungan penuh dari Teungku
Raja Itam Uleebalang. Namun sangat disayangkan madrasah ini harus dibubarkan
karena keberangkatan Hasbi ke Surabaya untuk menimba ilmu di Al-Irsyad. Alhasil
madrasah ini hanya berusia dua tahun. Sepulangnya dari Surabaya, pada tahun 1928
Hasbi bersama gurunya, Syeikh Kalāli22
mendirikan madrasah di Lhokseumawe yang
18
Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-
Qur‟ān, h. 300. 19
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 28. 20
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008) , h. 204. 21
Tercatat dalam sejarah bahwa menjelang abad ke-20 pendidikan di Aceh sempat mengalami
kemunduran karena terjadinya perang dengan Belanda. Kemudian mulai bangkit kembali setelah
perang usai, ditandai dengan bermunculan dayah-dayah yang didirikan oleh para ulama. Hasbi
merupakan salah satu tokoh yang ikut mengambil andil dalam memajukan pendidikan di ranah
kelahirannya ini. Lihat: Najamuddin, Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945 (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005), h. 54. 22
Nama lengkapnya adalah Syekh Muhammad bin Sālim al-Kalāli. Ia lahir di Hadramaut
pada tahun 1856 dan wafat di Lhokseumawe pada tahun 1946. Ia merupakan pencetus lahirnya Al-
Imam, majalah Islam pertama di dunia Melayu yang terbit dalam Bahasa Jawiy bersama dengan
sahabatnya Syekh Ṭahir Jalāl al-Dīn al-Azhāry. Majalah ini berisi suara pembaharuan untuk umat
Islam di Asia Tenggara yang kala itu masih berada di bawah tekanan para penjajah. Setelah bertemua
dengan Hasbi, ialah yang mengajari dan menunjuki Hasbi Bahasa Arab dan menyarankannya untuk
bersekolah di Al-Irsyad Surabaya. Sumber: Taqiyuddin Muhammad, Al-Kalaliy: Pembaharu yang
Terlupa di Tengah Kota, diakses pada 15 Mei 2019 pukul 15:40 WIB dari misykah.com/al-kalaliy-
pembaharu-yang-terlupa-di-tengah-kota/
54
dinamai Al-Irsyad juga. Meskipun senama dengan Al-Irsyad yang ada di Surabaya,
kedua madrasah ini tidak mempunyai hubungan organisatoris yang menjadikannya
terhubung dengan gerakan al-Irsyād wa al-Islah.23
Hanya saja, dalam pemberian
materi dan proses belajar mengikuti kurikulum dan ide-ide yang dikembangkan di Al-
Irsyad Surabaya.24
Ketika sekolah Al-Irsyad dibangun dan mulai mendapat perhatian dari
masyarakat, pada saat bersamaan Abdullah TB juga sedang membangun sebuah
dayah di Uteun Bayi Lhokseumawe. Entah karena motif ingin menjatuhkan atau ada
faktor lain, Abdullah TB memulai kampanyenya dengan menyebutkan bahwa murid-
murid yang bersekolah di Al-Irsyad akan sesat seperti Hasbi. Sekolah yang memakai
kursi dan papan tulis adalah praktek orang kafir dan mengakibatkan ada anak yang
duduk di depan dan yang lain duduk di belakang. Kampanye yang disuarakan oleh
Abdullah TB rupanya berhasil membuat sekolah yang dibangun Hasbi kehabisan
murid. Hasbi tidak memberikan reaksi apapun, pikirnya untuk menghindari konflik
lebih lanjut. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya. Pada langkah
selanjutnya, ia memulai untuk membangun sekolah baru yang letaknya di Krueng
Mane, lebih kurang 20 KM dari Lhokseumawe. Berkat bantuan Teungku Ubit
23
Disebut juga dengan Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād, merupakan sebuah organisasi yang
didirikan atas inisiatif Ahmad Surkati. Sebelum organisasi ini terbentuk, Ahmad Surkati telah terlebih
dahulu membuka sebuah sekolah yang bernama Madrasah Al-Irsyād Al-Islāmiyah pada tahun 1913.
Baru kemudian pada 16 September 1914 terbentuklah Jam‟iyyāt al-Iṣlaḥ wa al-Irsyād sebagai
organisasi yang akan menaungi Madrasah Al-Irsyād. Organisasi ini mempunyai misi utama yaitu
untuk melakukan reformasi pada praktek Islam dan menerapkan sistem baru dengan konsep
pendidikan modern. Di samping itu, misi penting lain yang ingin dicapai adalah untuk membasmi
semua bentuk bid‟ah, syirik dan khurafat serta mewujudkan kesetaraan dalam kehidupan dengan tidak
membeda-bedakan kedudukan sayyid dan non-sayyid. Karena menurut mereka perbedaan status
tersebut hanya akan membuat stratifikasi sosial dalam masyarakat. Salah satu pendapat Ahmad Surkati
mengenai kesetaraan ini adalah mengizinkan seorang syarīfah menikah dengan pria non-alawiyah.
Prinsip yang dibawa oleh organisasi ini juga banyak terinspirasi dari pemahaman yang dikembangkan
oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyīd Riḍa di Mesir. Baca: Abdul Aziz Bin Fauzi,
Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab
Kampong Ampel Surabaya Utara, dalam AntroUnairDotNet, Volume 2 No. 2, No 1, Januari-Februari
2013, h. 233. Sebagai perbandingan, baca: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-
1942 (Jakarta: LP3ES,1980) , h.73. 24
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 20.
55
saudaranya Teungku Luthan, Uleebalang Krueng Mane ia berhasil mendirikan
madrasah yang ia namai Al-Huda.25
Namun lagi-lagi madrasah Al-Huda juga harus mengalami nasib yang sama
dengan madrasah Al-Irsyad. Usia madrasah ini hanya seumur jagung karena terjadi
perselisihan dan persaingan antara kakak-beradik Teungku Ubit dan Tengku Luthan.
Sengketa ini membuat Madrasah Al-Huda tidak mendapat izin dari penguasa
setempat. Akhirnya madrasah inipun harus ditutup dan dicabut izinnya berdasarkan
Ordanansi Guru tahun 1905 No. 550 yang diperbaharui pada tahun 1925. Setelah
kejadian ini Hasbi memutuskan pulang ke Lhokseumawe. Tidak berkelang lama, ia
kemudian memulai kehidupan yang baru di Kutaraja. Kepindahaannya ke Kutaraja
sebenarnya bukan murni keinginannya. Tapi dilatarbelakangi oleh protes dan reaksi
para tokoh masyarakat terhadap bukunya yang berjudul Penoetoep Moeloet.26
Sepertinya dimanapun Hasbi berada, keinginannya untuk menebar ilmu
tetaplah sama. Di Kutaraja ia juga meniti karirnya sebagai seorang guru. Ia menjadi
pengajar di beberapa tempat kursus yang dikelola oleh JIBDA (Yong Islamieten Bon
Daerah Aceh). Ia juga menjadi pengajar di sekolah HIS dan MULO
Muhammadiyah.pada tahun 1937 ia diminta untuk mengajar di Jadam Montasik.
Kemudian pada tahun 1941 ia menjadi pendidik sekaligus pembina di Ma‟had Imanul
Mukhlis atau MIM (Ma‟had Iskandar Muda) di Lampaku. Setelah beberapa tahun di
Kutaraja, Hasbi kembali lagi ke Lhokseumawe. Di Lhokseumawe ia mendirikan
sebuah dayah di samping rumahnnya sebagai tempat untuk memberi pengajaran
tentang Islam setiap usai shalat Subuh dan Magrib. Setahun sebelum
keberangkatannya ke Yogyakarta atau pada tahun 1948, ia diminta oleh Bupati Aceh
Utara untuk mengajar dan menjadi Pimpinan di Sekolah Menengah Islam (SMI) di
Lhokseumawe.27
25
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 26
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 21. 27
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 25-26.
56
Pada tanggal 20-25 Desember 1949 Hasbi bertolak ke Yogyakarta untuk
menghadiri KMI (Kongres Muslimin Indonesia) ke XV.28
Sepulang dari acara
tersebut, ia mendapat tawaran dari Menteri Agama, KH Wahid Hasyim untuk
menjadi salah satu tenaga Pengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN). Dalam menanggapi tawaran ini, pada awalnya ia masih ragu. Pada satu sisi
ia bahagia karena ilmunya akan digunai dan mendapat penghargaan, pada sisi yang
lain ia ragu karena membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan ia hadapi. Ia
khawatir akankah nanti ia bisa menghidupi keluarganya di Yogyakarta. Namun
karena semangatnya untuk mengabdi sangat besar, keraguan tersebut segera ia tepis
dan meyakinkan pilihannya. Maka pada bulan Januari 1951, dengan membawa anak
dan istrinya Hasbi pun berangkat ke Yogyakarta.
Setapak demi setapak jalan karir ia lalui. Pada awalnya ia hanya menjadi
tenaga pengajar biasa, kemudian naik ke jabatan direktur. Tidak berkelang lama, ia
dipercayai untuk memegang matakuliah Hadis. Pada tahun 1960 PTAIN beralih
menjadi IAIN, oleh keputusan Menteri Agama No. 35 Hasbi pun diangkat menjadi
Dekan Fakultas Syari‟ah. Ia menduduki jabatan ini selama 12 tahun, hingga tahun
1972. Pada waktu bersamaan, Hasbi juga diminta oleh Kolonel Syammun Gaharu
(Panglima Kodam I/Iskandar Muda) dan Ali Hasjmy (Gubernur Provinsi Daerah
Istimewa Aceh) untuk menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Darussalam Aceh yang
berinduk ke IAIN Yogyakarta. Jabatan rangkap ini ia jalani selama kurang lebih dua
tahun, yaitu dari September 1960 sampai 12 Desember 1962.
Pada tahun 1963-1966 Hasbi menjadi Pembantu Rektor III di samping
menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di IAIN Yogyakarta. Di samping menjadi Dekan
dan juga Pembantu Rektor III, ia mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Ia
mengajar di UII (Universitas Islam Indonesia) dari tahun 1964. Ia juga mengajar dan
sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syari‟ah di Unnissula (Universitas Islam Sultan
Agung) di Semarang dari tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Pada tahun
28
Pada acara Kongres tersebut Hasbi hadir sebagai perwakilan Muhammadiyah. Ia
menyampaikan sebuah makalah berjudul “Pedoman Perjuangan Islam Mengenai Sosial Kenegaraan.
Lihat: Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”
Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.
57
1961 sampai tahun 1971, Hasbi menjabat sebagai rektor Universitas Al-Irsyad
Surakarta, dan rektor di Universitas Cokroaminoto yang awalnya adalah Akademi
Agama Islam (AAI) Surakarta.29
Hasbi mengabdikan dirinya untuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan
dalam waktu yang cukup lama. Namun, kontribusinya yang paling menonjol adalah
ketika menetap di Yogyakarta. Dalam proses belajar mengajar Hasbi menggunakan
metode dialogis atau diskusi. Dalam berpendapat dan menjawab pertanyaan dari
murid-muridnya, ia juga bersikap bijaksana. Ia tidak serta-merta menolak atau
mengesampingkan pendapat yang berbeda dengannya. Namun terlebih dahulu di
komparasikan, ditarjih, baru kemudian memilih pendapat yang terkuat. Hal ini
berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Nourouzzaman Shiddiqi kepada
beberapa murid-murid Hasbi.30
3. Karya-karya
Sebuah karya akan abadi meskipun tangan yang menulisnya telah tiada. Para
ulama, tokoh agama dan ilmuan sekalipun tentu ingin mengabadikan tulisannya
dalam bentuk buku, tidak ubahnya dengan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia tergolong
ulama yang produktif dalam berkarya dan sudah mulai menulis dari tahun 1930.
Karya tulis pertamanya adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet.
Pada tahun 1933 ia menulis artikel di Soeara Atjeh. Begitupun pada beberapa tahun
setelahnya ia masih giat menulis, bahkan pada 1937 ia menjadi pemimpin redaksi
sekaligus penulis sejumlah artikel majalah bulanan edisi Fiqih Islami Al-Ahkam. Pada
tahun 1939-1940 ia menjadi penulis tetap di majalah bulanan seperti Pedoman Islam
dan Pandji Islam yang diterbitkan di Medan.31
Sepanjang karir intelektualnya, ia
telah menghasilkan 72 judul buku yang mencakup di dalamnya 142 jilid. Dari 72
buah buku yang ia tulis, 36 di antaranya merupakan buku fiqih, 6 judul buku dalam
bidang ilmu Al-Quran dan tafsir, 8 judul buku dalam bidang hadis, 5 judul buku
29
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, h. 205. 30
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 31. 31
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 53-55.
58
dalam bidang tauhid atau ilmu kalam dan 17 judul yang lain merupakan buku-buku
dalam bidang Islam secara umum.32
Berikut rincian dari karya-karya Hasbi. Dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-
Qur‟an ia menulis enam judul buku: 1) Beberapa Rangkaian Ajat, diterbitkan oleh
Penerbit Al-Ma‟arif Bandung dan berisi 44 halaman; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur‟an/Tafsir, diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta dan berisi 308
halaman. Buku ini sudah dicetak beberapa kali, yaitu pada tahun 1954, 1955, 1961,
1965, 1972, 1974 1977 dan 1980; 3) Tafsir Al-Qur‟an Majied (An-Nur)33
, pertama
kali diterbitkan pada tahun 1956 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 4) Tafsir al-
Bayān 2 jilid berisi 1647 halaman, diterbitkan pertama kali pada tahun 1966 oleh
Penerbit Al-Ma‟arif Bandung; 5) Mu‟djizat Al-Qur‟an, 56 halaman, diterbitkan oleh
Penerbit Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1966; 6) Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Media
Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, 319 halaman, diterbitkan oleh Bulan Bintang
Jakarta pada tahun 1972.34
Dalam bidang hadis Hasbi menulis delapan judul buku, di antaranya adalah:
1) Beberapa Rangkuman Hadis, 45 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma‟arif
Bandung pada tahun 1952; 2) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 420 halaman,
diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta dan
hingga saat ini masih terus dicetak; 3) 2002 Mutiara Hadis,35
8 jilid, diterbitkan
32
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 33
Tafsir An-Nur merupakan salah satu karya fenomenal dalam bidang tafsir di Indonesia.
Tafsir ini ditulis oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy selama kurang lebih 10 tahun, yaitu dari tahun 1952-
1961 dikala ia sedang sibuk menjadi tenaga pengajar dan terlibat dalam aktifitas-aktifitas ilmiah di
Yogyakarta. Di antara hal yang melatarbelakangi Hasbi tergerak untuk menulis tafsir ini adalah karena
ia merasa perlu adanya penafsiran Al-Qur‟an dalam Bahasa Indonesia agar masyarakat yang tidak
mengerti Bahasa Arab bisa memahami Al-Qur‟an dengan mudah dan praktis. Lihat: T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, Jilid I (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. xi.
Tafsir An-Nur juga merupakan kitab tafsir pertama yang diterbitkan di Indonesia, menjadikannya
sebagai pelopor dan pencetus di khazanah perpustakaan tanah air. Sumber:
www.referensiagama.blogsspot.com/2011/01/tafsir-nur-karya-prof-dr-hasbi-al-html?m=1,diakses pada
12 Mei 2019 pukul 24.45 WIB. 34
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 265. 35
Buku 2002 Mutiara Hadis merupakan karya Hasbi dalam bidang syarah hadis. Buku yang
terdiri dari 8 jilid ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan merupakan salah satu pelopor buku tentang
syarah hadis yang penulisannya dalam Bahasa Indonesia. Karena pada masa-masa sebelumnya,
penulisan kitab syarah hadis oleh ulama Indonesia masih menggunakan Bahasa Arab, seperti Tanqih
al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis karya Nawawi al-Bantani (1815-1897), Al-Khil‟ah al-
59
pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta. Tiap-tiap jilidnya
dicetak pada tahun yang berbeda, Jilid I (1954, 1955, 1961, 1975), Jilid II (1956,
1975, 1981), Jilid III (1962, 1977), Jilid IV-V (1977), Jilid VI (1979), Jilid VII
(1980). Sedangkan untuk jilid ke-delapan belum diterbitkan; 4) Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, 2 jilid, diterbitkan pertama kali pada tahun 1958 oleh Penerbit Bulan
Bintang Jakarta; 5) Problematika Hadis sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, 63
halaman, diterbitkan pada 1964 oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta; 6) Koleksi
Hadis-hadis Hukum, 11 jilid, pertama kali dicetak pada tahun 1970 oleh Penerbit Al-
Ma‟arif Bandung; 7) Ridjalul Hadis, 187 halaman, diterbitkan pada tahun 1970 oleh
Penerbit Matahari Masa Yogyakarta; 8) Sejarah Perkembangan Hadis, 187 halaman,
diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973.36
Pada bidang fiqih, Hasbi menulis beberapa buku sebagai berikut: 1) Sedjarah
Peradilan Islam, 92 halaman; 2) Tuntunan Qurban, 68 halaman; 3) Pedoman Shalat,
520 halaman; 4) Hukum-hukum Fiqh Islam, 677 halaman; 5) Pengantar Hukum
Islam, 2 jilid; 6) Pedoman Zakat, 316 halaman; 7) Al-Ahkam (Pedoman Muslimin),
240-250 halaman, 8) Pedoman Puasa, 384 halaman; 9) Kuliah Ibadah, 272 halaman;
10) Pemindahan Darah (Blood Transfusion) Dipandang dari Sudut Hukum Agama
Islam, 25 halaman; 11) Ichtisar Tuntunan Zakat dan Fitrah, 64 halaman; 12) Sjari‟at
Islam Mendjawab Tantangan Zaman 46 halaman; 13) Peradilan dan Hukum Acara
Islam 46 halaman; 14) Poligami Menurut Sjari‟at Islam, 40 halaman; 15) Pengantar
Ilmu Fiqh, 227 halaman; 16) Baital Mal Sumber-sumber dan Penggunaan Keuangan
Negara Menurut Adjaran Islam, 48 halaman; 17) Zakat sebagai Salah Satu Unsur
Pembina Masjarakat Sedjahtera, 71 halaman; 18) Asas-asas Hukum Tatanegara
Menurut Sjari‟at Islam, 88 halaman; 19) Sedjarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah karya Mahmud al-Tarmasi (1868-1920), Risalah Ahl al-
Sunnah wa al-Jama‟ah karya Hasyim Asy‟ari (1871-1947) dan Al-Tabyin al-Rawi Syarah Arba‟in
Nawawi karya Muhammad Kasyful Anwar (1887-1940). Motif Hasbi menulis syarah hadis dalam
bahasa lokal masih sama dengan latarbelakangnya ketika menulis kitab tafsir An-Nur (30 jilid) dalam
Bahasa Indonesia. Menurutnya, untuk memahamkan masyarakat Indonesia tentang ajaran Islam, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyajikan buku-buku tentang Islam dengan
bahasa yang mudah dimengerti. Lihat: Noer Chalida, “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis,”
Al-Hikmah 5, No. 2 (Oktober 2017): h. 90. 36
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 266-268.
60
Hukum Islam, 292 halaman; 20) Hukum antar Golongan dalam Fiqh Islam, 163
halaman; 21) Perbedaan Mathla‟ Tidak Mengharuskan Kita Berlainan pada Memulai
Puasa, 35 halaman; 22) Ushul Fiqh (Sekitar Ijtihad Bir Ra‟ji dan Djalan-djalannya,
32 halaman; 23) Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 139 halaman; 24) Beberapa
Problematika Hukum Islam, 40 halaman; 25) Kumpulan Soal Jawab, 108 halaman;
26) Pidana Mati dalam Sjari‟at Islam, 40 halaman; 27) Sebab-sebab Perbedaan
Faham para Ulama dalam Menetapkan Hukum Islam, 19 halaman; 28) Pokok-pokok
Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam, 336 halaman; 29)
Pengantar Fiqh Mu‟amalah Serie I, 215 halaman; 30) Fakta-fakta Keagungan
Syari‟at Islam, 54 halaman; 31) Falsafah Hukum Islam, 488 halaman; 32) Fiqh Islam
Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, 168 halaman; 33) Pengantar
Ilmu Perbandingan Madzhab, 92 halaman; 34) Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama
dalam Membina Hukum Islam, 40 halaman; 35) Dinamika dan Elastisitas Hukum
Islam, 40 halaman dan 36) Pedoman Haji, 262 halaman.37
Karya tulis Hasbi dalam bidang Tauhid/Kalam tercatat sebanyak lima judul
buku, antara lain: 1) Peladjaran Tauhid, 56 halaman, terbit pada tahun 1954; 2)
Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, 208 halaman, terbit pada tahun 1973; 3)
Fungsi Akidah dalam Kehidupan Manusia dan Perpautannya dengan Agama, terbit
pada tahun 1973; 4) Studi Aqidah Islam, 52 halaman, terbit pada tahun 1974 dan 5)
Hakikat Islam dan Unsur-unsur Agama, 117 halaman, terbit pada tahun 1977.
Selain menulis buku-buku seputar tafsir, hadis, fiqh dan kalam, Hasbi juga
menulis buku-buku tentang pengetahuan Islam yang umum, di antaranya adalah: 1)
Al-Islam, 2 jilid, terbit pertama kali tahun 1950; 2) Pedoman Berumah Tangga, terbit
tahun 1950 dan sudah dicetak sebanyak lima kali; 3) Sejarah Peradilan Islam, terbit
tahun 1952; 4) Dasar-dasar Ideologi Islam, terbit tahun 1953; 5) Sedjarah Islam,
Pemerintahan Amawijah Timur, terbit tahun 1953; 6) Sedjarah Islam Pemerintahan
Abbasiyah, terbit tahun 1953; 7) Peladjaran Sendi Islam, 67 halaman; 8) Sedjarah
dan Perdjuangan 40 Pahlawan Utama dalam Islam, terbit tahun 1955; 9) Dasar-
dasar Kehakiman dalam Pemerintahan Islam, terbit tahun 1955; 10) Pedoman Dzikir
37
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 268-273.
61
dan Do‟a, terbit pertama kali tahun 1951; 11) Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah,
128 halaman; 12) Lembaga Pribadi, terbit tahun 1956; 13) Ulum al-Lisan al-Arabi
(Ilmu-ilmu Bahasa Arab), tiga jilid, terbit tahun 1967; 14) Problematika Bulan
Ramadhan, 59 halaman; 15) Lapangan Perjoangan Wanita Islam, 40 halaman; 16)
Problematika Idul Fitri, 34 halaman dan 17) Gubahan Dzikir dan Do‟a, Istimewa
dalam Pelaksanaan Ibadah Haji, terbit tahun 1975.38
Karya tulis Hasbi tidak semuanya ia bukukan, sebagian darinya berbentuk
artikel yang terbit dalam majalah-majalah dan jurnal.39
Artikel yang ia tulis mencapai
50 judul, antara lain: Ilmoe Moeshathalah Ahli Hadits (1940), Sejarah Hadis-hadis
Tasjri (1940), Dewan Tafsir (1940), Hoekoemnja Perempoean Keloear ke Tanah
Lapang Boeat Mengerdjakan Sembhjang Hari Raya atau Mendengarkan Choetbah
(1940), Islam Memboetoehi Pemoeda (1940), Pandoe Moeslimin: Moeda Pahlawan
Empat Poeloeh (1940), Mengoepas Faham Soekarno tentang Memoedakan
Pengertian Islam, Kewadjiban Kembali kepada Al-Qur‟an dan as-Soenah, Imam dan
Islam, Choetbah Idul Adha, Maulid Nabi Sepanjang Ilmoe Fiqih dan Tarich,
Me‟moedahkan Pengertian Islam, Maksoed-maksoed dan Toejoean Islam, Poeasa
Ramadhan dan Toejoean al-Qur‟an, Toentoenan Berhari Raja Menoeroet Agama
Islam, Menghidupkan Hukum Islam dalam Masjarakat (1948), Tugas Hidup Pribadi
Muslim terhadap Dirinja (1951), Status Aqiedah dalam Agama Islam (1952), Hukum-
hukum Penjembelihan Qurban (1952), Kembali kepada Sunnah Dasar Persatuan
Ummat yang Kokoh (1952), Dasar-dasar Pokok Hukum Islam (!954), Perguruan
Tinggi dan Masjarakat (1955), Apa Sebenarnya Hukum Islam Itu (1956),
Pemeliharaan Anak-anak Jatim dalam Islam, Menghadapi Bulan Rajab: Bulan
Sembahjang dan Rahasia-rahasia jang Terpendam di Dalamja (1966), Apa Hukumja
Membatasi Kelahiran Ditinjau dari Segi Hukum Sjara (1967), Kedudukan Keadilan
38
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 274-276. 39
Beberapa jurnal yang menerbitkan tulisan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy di antaranya adalah
Jurnal Pedoman Islam (4 judul), Jurnal Aliran Moeda (1 judul), Jurnal Lasjkar Islam (3 judul), Jurnal
Pandji Islam (7 judul), Jurnal Aliran Islam (2 judul), Jurnal Hikmah (6 judul), Jurnal Asj‟Sjir‟ah:
Gema Fakultas Sjari‟ah (6 judul), Jurnal Sinar Darussalam (3 judul), Jurnal Suara Muhammadijah (9
juduul), Jurnal Al-Djami‟ah (4 judul) dan Jurnal Panji Masyarakat (2 judul). Selebihnya artikel yang ia
tulis terbit di dalam majalah bulanan.
62
dalam Pembangunan Masjarakat (1967), Fiqih Islam; Fakta-fakta Keistimewaannya
(1967), Hadits-hadits Ihja‟ Ulumuddin Ditinjau dari Ilmu Djarhi wa Ta‟dil (1968 dan
1969), Ulama dan Sardjana (1971), Hari Hidjrah adalah Titik Tolak Sedjarah Baru
(1968), Hukum Pidana Mati dalam Sjariat Islam (1968), Sekelumit Pembahasan
tentang Ilmu Qiraat dan Kepentingannja (1970), Muhammad Rasulullah SAW
(1969), Seljang Pandang tentang Nikah dan Talak dalam Sjariat Islam (1970),
Menjingkap Falsafah Rahasia Isra‟ dan Mi‟radj (1970), Malam Nishfu Sja‟ban
Wadjar Diperingati Sebagai Malam Pergantian Qiblat (1970), Tilawatil Qur‟an dan
Hukum Memusabaqahkannja (1971), Beberapa Masalah di Sekitar Puasa Ramadlan
(1973), Masalah Lailatul Qadr dan I‟tikaf (1973), Mengarahkan Pandangan pada
Ru‟yah Makkah Tidak Menimbulkan Problem Negatif (1973), Zakat Sebagai Salah
Satu Unsur Pembina Masjarakat Sedjahtera (!969), Dinamika dan Elastisitas Hukum
Islam (1973), Mengapa Saya Menyalahi Jumhur dan Mewajibkan Jum‟at Juga atas
Orang yang Tidak ke Mesjid (1974), Data-data Keuniversalan Syariat Islam (1975),
Tugas Para Ulama Sekarang dalam Memelihara dan Mengembangkan Qur‟an,
Hadits dan Fiqh dalam Generasi yang Sedang Berkembang (1973), Beberapa
Problematika Hukum Islam (1973), dan Ilmu-ilmu yang Mutlak Diperlukan oleh Para
Pembina Hukum Islam (1975).40
Orang bijak mengatakan, “Jika kamu ingin menjadi pembicara yang baik
maka banyak-banyaklah mendengar. Jika kamu ingin menjadi penulis yang handal
maka banyak-banyaklah membaca.” Hal ini sangat sesuai dengan perjuangan Hasbi
yang dengan ketekunannya dalam membaca, ia berhasil melahirkan karya tulis yang
sangat banyak dan diakui oleh publik. Hasbi juga menerima tanda penghargaan
sebagai salah seorang dari sepuluh penulis terkemuka di Indonesia pada tahun
1957/1958.41
40
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 276-281. 41
Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid “Al-Nūr” Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy:
Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah, XV, No. 1 (2015):
h. 85.
63
B. Sumbangsih Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Islam
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy telah memulai aktifitas belajar dan mengajar dari
usia muda. Seiring dengan proses tersebut, ia juga muncul sebagai tokoh masyarakat
yang banyak memberikan pencerahan berupa ceramah agama dan kajian ke-Islaman.
Pada periode awal dakwahnya ia membawa tema pokok seperti Iman, Islam dan
Ihsan. Tema-tema tersebut menjadi lebih mendalam sejak ia bertemu dengan para
tokoh pembaharu dan menyerap pemikiran-pemikiran mereka. Ia mulai berdakwah
dengan tema-tema tajdīd (pembaharuan) seperti pemberantasan terhadap bid‟ah dan
khurafat,42
serta mengkritik praktek ushalli,43
talqin,44
kenduri atas kematian, amalan
membakar kemenyan ketika berdoa dan ziarah ke makam wali untuk membuat
permohonan. Kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh Hasbi tergolong keras, sehingga
respon yang ia terima dari masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi-tradisi
tersebut juga sama kerasnya dengan kritikan yang ia berikan.45
Namun penolakan dan respon kurang baik yang diterima tidak berpengaruh
sedikitpun terhadap Hasbi. Ia tetap melanjutkan misinya untuk mengajarkan Islam
yang benar dan lurus kepada masyarakat di Indonesia. Tidak hanya dengan
memberikan dakwah dan ceramah secara langsung, ia juga menulis sekian banyak
buku dalam berbagai tema, seperti hadis, tafsir dan fikih. Sehingga dengan hal ini ia
tidak hanya dikenal sebagai seorang da‟i, namun juga akademisi yang mahir dalam
42
Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”
Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96. 43
Usalli adalah melafalkan niat saat akan melaksanakan shalat. Sebenarnya hal ini sudah
menjadi topik perbincangan ulama-ulama terdahulu, seperti halnya imam empat mazhab. Menurut
kesepatakan pengikut mazhab Imam Syafi‟i (Syafi‟iyah) dan Imam Hanbal (Hanabilah) membaca niat
sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan para pengikut Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Abu
Hanifah (Hanafiyah) mengatakan bahwa hal tersebut tidak disyari‟atkan kecuali bagi orang-orang yang
sering ragu dan was-was hatinya (mengenai apakah ia sudah berniat atau belum). Ini membuktikan
bahwa masalah tentang melafalkan niat sebelum shalat bukanlah hal yang baru. Namun karena hal
tersebut merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat (melafalkan niat), jadi
mereka sedikit terkejut ketika Hasbi mengemukakan kritikannya. 44
Talqin adalah membisikkan (menyebutkan) kalimat syahadat dekat orang yang akan
meninggal atau dalam bentuk doa untuk mayat yang baru dikuburkan. Lihat: Depdiknas, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, T.t), h. 996. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa talqin ada
dua macam, yaitu talqin sebelum meninggal dan talqin sesudah mayat dikuburkan. Yang dikritik oleh
Hasbi adalah praktek talqin yang kedua. 45
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 17.
64
banyak bidang keilmuan. Pada kalangan pengkaji hadis Hasbi lebih dikenal sebagai
tokoh hadis, demikian pula halnya pada kalangan pengkaji al-Qur‟an dan fiqih ia
lebih dikenal sebagai tokoh tafsir dan fiqih. Adapun kajian lebih lanjut mengenai
pemikiran Hasbi dalam beberapa bidang ilmu ini akan dijelaskan pada pembahasan
selanjutnya.
1. Bidang Tafsir
Sepanjang riwayat hidupnya, Hasbi menghasilkan dua tafsir yang dinamai
dengan Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Bayan. Tafsir al-Qur‟an al-
Majid al-Nur atau lebih sering disebut dengan Tafsir al-Nur pertama kali diterbitkan
pada tahun 1956 dan menyusul cetakan kedua pada tahun 1965. Tafsir ini terdiri dari
sepuluh jilid ditulis dalam bahasa latin ejaan lama.46
Adapun Tafsir al-Bayan pertama
kali dicetak pada tahun 1966 dan dicetak kembali pada tahun 2002 karena besarnya
permintaan dari masyarakat. Tafsir ini terdiri dari dua jilid dan pada tiap jilidnya
berisi lima belas juz. Pada kata pengantar Tafsir al-Bayan, Hasbi menjelaskan bahwa
yang melatarbelakanginya menulis Tafsir al-Bayan adalah karena ia menyadari ada
hal-hal yang terlewatkan dan belum ia jelaskan secara rinci dalam Tafsir al-Nur.47
Sehingga ia berkeinginan untuk mengembangkan dan menyempurnakan karya
tafsirnya dengan menjelaskan lafaz-lafaz ayat secara lebih mendalam.48
Sebagai contoh adalah, kata alīf lām mīm pada QS. al-Baqarah: 2 di dalam
Tafsir al-Nur hanya ditafsirkan oleh Hasbi dengan “Allah lebih mengetahui
maksudnya.” Sedangkan di dalam tafsir al-Bayan, ia tafsirkan dengan, “Para
mufassirīn mempunyai beberapa pendapat dalam memaknakan alīf lām mīm. Lafaz
ini mutasyābih dan diletakkan pada permulaan surat untuk menarik perhatian
pendengar dan untuk mengisyaratkan bahwa al-Qur‟an tersusun dari huruf-huruf,
46
Andi Miswar, “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nur‟ Karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy:
Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara,” Adabiyah 15, No. 1 (2015): h.
86. 47
Sulaiman Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy,” Farabi” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18, No. 2
(Desember 2018): h. 107-108. 48
Lihat “Pembuka Kata” dalam T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan, Vol. I, Edisi II
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. xi.
65
yang dari huruf-huruf tersebutlah orang Arab menyusun perkataannya. Maka mereka
tidak akan sanggup menandinginya dan nyatalah bahwa al-Qur‟an bukan perkataan
manusia.” Maka dari sampel ini jelaslah bahwa Hasbi berupaya untuk
mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara lebih mendalam di
dalam Tafsir al-Bayan.49
Di samping Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Hasbi juga menulis beberapa
judul buku dalam bidang Tafsir dan Ilmu Al-Qur‟an, seperti Beberapa Rangkaian
Ajat, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir, Mu‟djizat Al-Qur‟an dan Ilmu-
ilmu Al-Qur‟an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur‟an. Di antara semua
karyanya dalam bidang ini, Tafsir al-Nur merupakan yang paling awal ditulis dan
tercatat sebagai kitab tafsir berbahasa Indonesia pertama yang diterbitkan di
Indonesia dan tentu saja ini merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi Hasbi.50
Hadirnya kitab tafsir yang ditulisnya ini, telah membawa perubahan di Indonesia
terutama bagi masyarakat yang sangat membutuhkan penjelasan terhadap ayat-ayat
al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia sehingga dapat dengan mudah dipahami.
Sebenarnya jauh sebelum itu, pada abad ke-17 sudah hadir sebuah kitab tafsir yang
ditulis oleh ulama Indonesia, yaitu Tarjumān al-Mustafīd karya Abdurrauf Singkili,
namun kitab ini ditulis dalam bahasa lokal Melayu dengan aksara Arab (Jawa).51
Selain dengan menulis tafsir berbahasa lokal, langkah yang juga ditempuh
oleh Hasbi untuk mengembangkan kajian tafsir di Indonesia adalah menerapkan
metodologi dan corak yang sangat memungkinkan untuk dapat dipahami dengan
mudah oleh masyarakat. Dalam penulisan tafsirnya, Hasbi menggunakan metode
tahlili dan maudhū‟i. Metode tahlili yang ia gunakan terlihat dari upayanya
menganalisa dan menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek. Sedangkan
49
Ibrahim, “Khazanah Tafsir Nusantara: Telaah atas Tafsir al-Bayan Karya T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy,” 107-108. 50
Pada pertengahan abad ke-20, di samping hadirnya Tafsir al-Nur dan al-Bayan, juga
dikenal Tafsir al-Azhar yang diselesaikan oleh Hamka pada tahun 1966 disaat ia menjadi tahanan
pada masa pemerintahan orde lama. Lihat: Arivaie Rahman, “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir
Nusantara: Studi Komparatif Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,” Journal of
Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h. 8-9. 51
Arivaie Rahman, “Tafsir Tarjumān al-Mustafīd Karya Abd al-Rauf Al-Fanshuri: DIskursus
Biografi, Kontestasi, Politis-Teologis dan Metodologi Tafsir,” Miqot 42, No. 1 (Januari-Juni 2018): h.
3.
66
metode maudhū‟i tergambar dari caranya mengelompokkan ayat-ayat ke dalam satu
tema sentral. Adapun tafsir Hasbi sangat kental dengan corak fikih. Terutama pada
ayat-ayat ahkām, ia akan lebih menonjolkan sisi hukum yang terkandung di
dalamnya. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, karena Hasbi menghasilkan lebih
dari 30 judul entri dalam bidang fikih, menunjukkan bahwa ia merupakan pakar
dalam bidang tersebut.
Dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an, sumber yang dipakai oleh Hasbi adalah
dalil naqli dan ijtihad, sehingga tafsirnya merupakan campuran dari tafsir bi al-
ma‟tsūr dan tafsir bi al-ra‟yi. Digolongkan sebagai tafsir bi al-ma‟tsūr karena dalam
menafirkan al-Qur‟an Hasbi bersandar pada nash al-Qur‟an, hadis dan riwayat dari
sahabat. Di samping itu, ia juga berpedoman pada kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-
Qur‟an al-Adzīm karya Ibnu Katsīr (w. 774 H) dan Tafsir Jamī‟ al-Bayān karya Ibnu
Jarīr al-Ṯabary (w. 310 H). Adapun disebut sebagai tafsir bi al-ra‟yi karena Hasbi
menggunakan penalaran dan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Tafsir yang ditulis oleh Hasbi juga memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri,
yaitu berupaya untuk menyesuaikan maksud ayat dengan realita sosial yang
berkembang di masyarakat. Salah satu contohnya adalah penafsiran Hasbi terhadap
ayat tentang perintah mengenakan jilbab. Di dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 59
disebutkan:
وب ناتك ونساء المؤمنني يدنني عليهن من جلبيبهن ذلك أدن أن ي عرفن فل النب قل لزواجك يا أي ها .رحيما غفورا اللو وكان ي ؤذين
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Dalam menafsirkan ayat di atas Hasbi terlebih dahulu menyebutkan asbāb al-
nuzūl-nya yaitu bahwa pada masa Nabi Saw kaum perempuan sering diganggu oleh
sekelompok pemuda, dan mereka juga mengganggu perempuan-perempuan yang
merdeka. Ketika ditanyakan kepada orang-orang tersebut kenapa mereka
67
mengganggu perempuan yang merdeka, jawaban mereka selalu sama yaitu mereka
menyangka kalau perempuan yang diganggunya adalah budak. Maka turunlah ayat ini
yang menyuruh para perempuan untuk mengenakan jilbab agar mereka mudah
dikenali dan tidak diganggu lagi oleh orang-orang tersebut. Setelah menyajikan latar
belakang dari turunnya ayat tersebut, Hasbi kemudian mengungkapkan bahwa hukum
yang terkandung di dalamnya adalah agar para perempuan berpakaian layak dan
sopan serta menjauhkan diri dari sikap-sikap yang dapat menimbulkan fitnah. Ia tidak
menyebutkan detailnya seperti wajib menutup kepala dan seluruh badan kecuali
telapak tangan dan wajah.52
Menanggapi tafsiran yang dilakukan oleh Hasbi mengenai ayat jilbab ini,
Sudariyah dalam penelitiannya berjudul “Konstruksi Tafsir al-Qur‟anul Majid An-
Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy” mengungkapkan bahwa dari penjelasan Hasbi
tampak sekali ia berupaya untuk memahami kondisi sosial dan kemasyarakatan di
Indonesia. Langkah tersebut ditempuh oleh Hasbi dengan tujuan agar tafsirnya lebih
mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Pendapat ini dapat
dipertanggungjawabkan karena jika menelusuri sejarah, memang pada pertengahan
abad ke-20 mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani, baik laki-laki
maupun perempuan. Sehingga jika jilbab dipahami sebagai kain penutup kepala dan
badan, maka akan sedikit menyulitkan para perempuan yang bekerja di sawah atau di
ladang.53
Lebih lanjut, sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, Hasbi
mempunyai enam judul buku dalam bidang tafsir dan ilmu al-Qur‟an. Jadi pemikiran
serta ide-idenya yang berkaitan dengan tafsir juga dapat ditemukan pada buku-buku
tersebut. Salah satu pemikiran Hasbi yang menarik untuk dikaji adalah tentang naskh
wa mansūkh dalam al-Qur‟an. Menurutnya tidak ada ayat al-Qur‟an yang me-naskh
dan juga tidak ada ayat yang mansukh. Hasbi memandang golongan yang mengatakan
bahwa ada ayat yang mansukh telah bersikap berlebih-lebihan. Yang demikian karena
52
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur (Semarang: Pustaka Rizki
Putera, t.t.), h. 45. 53
Sudariyah, “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟an Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy,”
Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h, 104.
68
beberapa alasan, yaitu: a) Mereka menggolongkan ayat-ayat umum yang di-takhsis
sebagai ayat yang mansūkh, padahal makna dan keadaan keduanya berbeda; Sebagian
dari mereka ada yang mengatakan bahwa ayat yang me-naskh dapat di-naskh pula,
seperti ayat ke- 6 surat al-Kāfirūn di-naskh oleh ayat ke- 5 dari surat al-Taubah, dan
kemudian ayat ke- 5 dari surat al-Taubah juga di-naskh oleh ayat ke-29 dari surat al-
Taubah dan c) Mereka membagi naskh kepada tiga, yaitu naskh hukum tidak tilawah,
naskh tilawah tidak hukum dan naskh hukum dan tilawah. Tindakan-tindakan yang
seperti ini tidaklah tepat menurut Hasbi. Lebih Dalam hal ini ia mengatakan,
“Sikap berlebih-lebihan dari sebagian ulama tentang naskh dan mansūkh
kadang-kadang tidak masuk akal. Perlulah diketahui dan dipegangi bahwa
ayat al-Qur‟an smeuanya muhkam, bukan mansūkh, terkecuali jika ada dalil
yang tegas yang menunjukkan kepada ke-mansūkhannya.”54
Adapun yang dimaksud oleh Hasbi dengan “dalil yang tegas” adalah
keterangan dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabat beliau yang menyatakan
dengan jelas bahwa sebuah ayat telah di naskh oleh ayat lain. Hasbi juga
menambahkan bahwa dalam perkara naskh tidak dapat berpegang kepada pendapat
ahli-ahli tafsir dan tidak pula dari ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang
benar.55
2. Bidang Fiqih
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan perhatian dan keseriusan yang besar
terhadap kajian fikih, terbukti dengan banyaknya karya yang ia hasilkan dalam
bidang tersebut.56
Salah satu pemikirannya yang ia tuangkan di dalam karyanya
adalah tentang sumber hukum dalam Islam yang menurutnya terbagi menjadi dua,
yaitu sumber yang disepakati (al-adillah al-muttafaq „alaihā) dan sumber yang
masih diperdebatkan (al-adillah al-mukhtalaf fīha). Sumber yang disepakati oleh para
54
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam
Menafsirkan al-Qur‟an, Ed. 3 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 146. 55
Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-
Qur‟an, h. 147. 56
Tercatat bahwa Hasbi menghasilkan tiga puluh enam judul buku dalam bidang fikih
sepanjang hidupnya. Selengkapnya lihat: Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan
Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 268-273.
69
fuqahā‟ adalah al-Qur‟an, hadis, ijmā‟ dan qiyās. Sedangkan sumber yang masih
diperdebatkan adalah istihsān, maslahah mursalah, „urf, istishāb, sadd al-zarāi‟ dan
mazhab sahabi.57
Namun dari semua sumber tersebut, yang menjadi sumber pokok
adalah al-Qur‟an dan hadis karena selebihnya merupakan kombinasi antara dalil naqli
dan akal manusia. Adapun Hasbi, sebagaimana dijelaskan oleh Nourouzzaman,
menggunakan enam sumber, yaitu empat sumber yang disepakati oleh fuqahā‟
ditambah ra‟yu dan urf.58
Di samping itu, pemikiran dalam bidang fikih yang juga dikembangkan oleh
Hasbi adalah “Fikih Indonesia”, bahkan ini dianggap sebagai tema pokok dari
pemikirannyanya di bidang hukum. Melalui tulisannya yang berjudul
“Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat” Hasbi menuturkan bahwa
eksistensi praktek hukum Islam di Indonesia telah menjadi sesuatu yang asing dan
kehadirannya tidak dianggap lagi disebabkan ketidakmampuannya dalam
mengakomodir tuntutan perubahan zaman. Berangkat dari kenyataan tersebutlah ide
tentang fikih Indonesia lahir dan terus dikembangkan oleh Hasbi. Secara umum, yang
dimaksud dengan fikih Indonesia adalah keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum
Islam pada hakikatnya memberikan ruang gerak yang luas bagi pengembangan
ijtihad-ijtihad baru. Oleh karenanya, menurut Hasbi gerakan penutupan pintu ijtihad
merupakan ide lama yang harus segera ditinggalkan.59
Fikih Indonesia juga dapat didefinisikan sebagai fikih yang ditetapkan sesuai
dengan kepribadian, watak dan tabi‟at Indonesia.60
Dari definisi ini terlihat bahwa
57
MasnunTahir, “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan
Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,” Al-Ahwal 1, No. 1 (2008): h. 133. 58
Ra‟yu yang dimaksud oleh Hasbi meliputi semua upaya ijtihad yang dilakukan oleh ulama,
seperti istihsān, istishāb, syar‟u man qablanā, maslahah mursalah, syadd al-zarāi‟ dan lain
sebagainya. Lihat: Nurouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 105-124, dan Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis,
Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 55. 59
Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir
Syadzali,” h. 29-30. 60
Pengembangan fikih dengan jenis ini juga dapat ditemui di berbagai negara, seperti fikih
Hijaz yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Hijaz, fikih
Mesir yaitu fikih yang terbentuk atas dasar kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Mesir. Lihat:
Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,” h.
31.
70
yang ingin disampaikan oleh Hasbi dari ide fikih Indonesia adalah untuk meninjau
dan mempertimbangkan lokalitas masyarakat setempat sebagai bagian dari proses
penetapan hukum, jadi hukum tidak bersifat sempit dan kaku. Karena menurut Hasbi
fikih baru berfungsi dengan baik ketika dapat menyesuaikan dengan kondisi
masyarakat sebagai objek tujuan dari pensyari‟atan hukum itu sendiri.61
Salah satu contoh pengaplikasian fikih Indonesia yang diharapkan oleh Hasbi
adalah dalam masalah zakat. Menurutnya, dalam prosesi pembayaran zakat harus ada
campur tangan dan keterlibatan pemerintah karena satu paket dengan upaya
penyejahteraan kehidupan rakyat. Ia menambahkan, bahwa zakat merupakan ibadah
yang erat kaitannya dengan aktifitas sosial antara si kaya dan si fakir. Oleh karena itu
dalam pandangannya zakat dapat dipungut dari orang-orang non muslim untuk
diserahkan kembali kepada yang membutuhkan dari golongan mereka. Pendapat ini ia
sandarkan pada kebijakan Umar bin al-Khaṯṯāb yang memberikan zakat kepada kafir
zimmi yang renta dan miskin. Umar juga pernah memungut zakat dari kaum Nasrani
Bani Tughlab. Pembayaran zakat model ini ia pandang sangat relevan dengan usaha
pembangunan negara yang membutuhkan banyak modal di samping menyejahterakan
rakyat di Indonesia.62
Poin penting lainnya yang ingin disampaikan oleh Hasbi terkait fikih
Indonesia adalah agar para mujtahid bersikap elastis dan lentur dalam memahami
nash-nash hukum. Sikap ini sudah terlebih dahulu terlihat dari diri Hasbi yang tidak
ingin terpaku pada mazhab tertentu. Jika biasanya ulama hanya berpegang pada satu
mazhab fikih yang diyakininya, berbeda halnya dengan Hasbi yang menerima dan
membuka diri kepada semua aliran mazhab dalam Islam.63
Hal ini sesuai dengan
pengakuannya sendiri, “Kita harus mempelajari fikih tingkat tinggi secara muqaranah
61
Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi
Ash-Shiddiqi,” Islamuna 3 No. 1 (Juni 2016): h. 30. 62
Maimun “Fiqih Nusantara: Kontekstualisasi Hukum Islam dalam Pandangan T.M. Hasbi
Ash-Shiddiqi,” h. 31. 63
Hasbi menuturkan bahwa dalam menetapkan sebuah hukum harus terlebih dahulu
melepaskan diri dari taklid terhadap mazhab tertentu. Sikap fanatik inilah yang menurutnya menjadi
penghalang bagi lahirnya fikih berkepribadian Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Lihat: Toha
Ma‟arif, “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali,”
Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2 (Agustus 2015): h. 31.
71
dan jangan terbatas dalam mazhab tertentu.”64
Ia menganjurkan para mujtahid untuk
melakukan perbandingan terhadap hukum yang ditetapkan oleh ulama, baik dari
sunni, syi‟ah dan lain-lain.65
Dari beberapa karyanya pun terlihat bahwa ia tidak
hanya mengambil pendapat dari satu imam mazhab saja, ia seringkali mengutip dari
Hanafiyah, namun pada kesempatan lain juga menyandarkan pendapatnya pada
pendapat kelompok Syafi‟iyah, Hanābilah dan Malikiyah.
Lebih lanjut, pemikiran Hasbi sebagai seorang tokoh pembaharu di Indonesia
dengan giat menyuarakan ijtihad kepada umat Islam. Menurutnya, sekalipun nash-
nash al-Qur‟an dan hadis yang shahih dan mutawatir adalah qath‟iyyah al-tsubūt yang
tidak ada keraguan lagi bahwa ia datang dari Allah Swt dan benar-benar dituturkan
oleh Nabi Muhammad Saw, namun tidak semuanya qath‟iyyah al-dalalah. Hal inilah
yang menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad dalam rangka menangkap intisari
dan kandungannya secara tepat.66
Di dalam buku-bukunya, Hasbi seringkali
menyinggung tentang ijtihad dan batasan-batasannya. Ia menuturkan, bahwa boleh
saja berijtihad dan menakwilkan nash-nash yang samar maknanya, tapi dengan syarat
tidak boleh lupa dengan akarnya. Sebagai contoh, perbedaan pendapat tentang
membaca basmalah di awal shalat. Boleh saja berbeda pendapat dan berijtihad dalam
perkara ini, namun terlepas dari masalah membaca secara nyaring atau tidak
nyaringnya, tidak boleh menghilangkan hukum asal yaitu kewajiban membaca al-
Fātihah dalam shalat.
3. Bidang Hadis
Hadis merupakan salah satu dari beberapa cabang ilmu yang didalami oleh
Hasbi di samping tafsir dan fikih. Dengan ketekunannya dalam belajar dan membaca,
ia membuktikan bahwa seseorang yang hanya menempuh jalur otodidak pun dapat
menjadi pakar jika ia bersungguh-sungguh. Dalam bidang hadis Hasbi menghasilkan
64
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan
Tuntas (Jakarta: Bulan Bintang, 1975. 65
T.M. Hasbi Ahs-Shiddieqy menulis secara khusus terkait bahasan ini. Di dalam bukunya
tersebut ia menjelaskan tentang sistem dan prinsip hukum yang dipegangi oleh kelompok Sunni dan
Syi‟ah. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997). 66
Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 38.
72
delapan judul buku yang dua di antaranya merupakan syarah atau penjelasan hadis,
sedangkan selebihnya berkenaan dengan ilmu hadis dan sejarah pengantarnya.
Seorang bijak mengatakan bahwa untuk memetakan pemikiran seseorang, dapatlah
dilihat dari karya yang ia hasilkan. Maka untuk membaca dan memetakan pemikiran
Hasbi mengenai hadis Nabi Saw, penulis merujuk kepada beberapa karya tulisnya
dalam bidang terkait. Adapun pembahasan tentang hal ini dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yaitu defenisi hadis dan sunnah, kedudukan sanad dan matan dalam
kajian hadis dan kriteria keshahihan hadis.
a. Definisi Hadis dan Sunnah
Keistimewaaan Islam terletak pada orisinalitas dan otentisitas sumber-sumber
hukumnya. Kaum muslimin telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum
kedua setelah al-Qur‟an yang disampaikan melalui metode transmisi (periwayatan)
dan kritik (naqd) dengan kaidah-kaidah tertentu yang menyertainya.67
Dengan
demikian, riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang digolongkan sebagai hadis maqbūl68
dapat dijadikan hujjah dan pedoman yang dipercaya bagi umat Islam. Kehujjahan
hadis tidak hanya dijelaskan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr: 7 dan QS. An-Nisā`:
59), namun juga dari lisan Nabi Muhammad Saw sendiri. Sebagaimana sabda beliau:
حدثنا علي بن حجر حدثنا بقية بن الوليد عن حبري بن سعد عن خالد بن معدان عن عبد الرمحن عن ها العرباض بن عمر السلمي عن سارية قال: وعظنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم موعظة وجلت من
ها العي ون، ف قلنا : يا رسول اهلل، كأن ها موعظة مودع، فأوصنا، ق ال : أوصيكم القلوب، وذرفت من ر عليكم بت قوى اهلل عز مع والطاعة وإن تأم عبد، فإنو من يعش منكم فسي رى اختلفا وجل، والس
67
Umma Farida, “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif Ushuliyyin
dan Muhadditsin” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237. 68
Hadis maqbūl merupakan hadis yang memenuhi syarat-syarat penerimaannya sehingga
dapat dijadikan sebagai pedoman dan hujjah bagi kaum muslimin. Persyaratan yang dimaksud adalah
ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi yang adil dan ḏabīṯ serta tidak syādz dan tidak memiliki
cacat („illat). Ulama membagi hadis maqbūl kepada dua bagian, yaitu shahih dan hasan. Sedangkan
tingkatannya terbagi kepada empat, antara lain shahih li dzātihi, shahih li ghairih, hasan li dzātihi dan
hasan li ghairihi. Lihat: Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Mustolah Hadith (Jakarta: PT
Hadikarya Agung, 1984), h. 96, dan Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah
Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 116.
73
واجذ، و ها بالن اكم ومدثات المور، إي كثريا. ف عليكم بسنت وسنة اللفاء الراشدين المهدي ني عضوا علي 69فإن كل بدعة ضللة
“Menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, menceritakan kepada kami
Baqiyyah bin al-Walīd bin Sa‟d dari Khālid bin Ma‟dān dari Abdurrahmān dari Amr
al-Sulami dari al-„Irbād bin Sāriyah ia berkata: „Rasulullah shallallahu`alaihi wa
sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata
kami berlinang. Maka kami berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan
nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.‟ Rasulullah shallallahu`alaihi wa
sallam bersabda: „Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta‟ala, tunduk
dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang
budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya
perbedaan pendapat. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan
ajaran Khulafā‟ al-Rāsyidīn yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah
dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-
adakan, karena semua perkara bid‟ah adalah sesat‟.”
Potongan hadis yang berbunyi “Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap
ajaranku……gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham” sudah cukup
untuk menunjukkan bahwa hadis dapat dijadikan pedoman bagi kaum muslimin
dalam urusan-urusannya. Di samping itu, juga terdapat sebuah hadis yang
membicarakan hal serupa yaitu, “Sungguh telah aku tinggalkan dua perkara
kepadamu yang kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu
al-Qur‟an dan Sunnah Rasul-Nya.”70
Dua riwayat ini menunjukkan bahwa
kehujjahan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya dijelaskan oleh al-
Qur‟an, namun juga dari lisan sang penerima wahyu sendiri, yaitu Nabi Muhammad
Saw.
Adapun terkait definisi, para muhadditsīn mengartikan hadis sebagai segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik berupa ucapan, perbuatan, taqrīr,
sifat atau sirah beliau, sebelum dan sesudah kenabian.71
Sedangkan menurut para
69
Abu Īsa Muhammad bin Saura al-Tirmidzī, Jāmi‟al-Tirmidzī, Hadis No. 2676 (Riyāḏ: Bait
al-Afkār al-Dauliyyah, t.t), h. 433. Lihat juga: Abu Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟āts al-Sijistāni, Sunan
Abī Dāwud, Hadis No. 4607 (Riyāḏ: Bait al-Afkār al-Dauliyyah, t.t.), h. 504. 70
Mālik bin Anas, Al-Muwaṯṯā`, Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi, Jilid 5, Kitab
al-Jāmi‟, Hadis no. 3338 (Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004), h. 1323. 71
Mannā‟ al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman, Cet-8
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 22.
74
usūliyyīn, hadis merupakan segala yang disandarkan kepada Nabi Saw setelah
kenabian. Adapun yang terjadi sebelum kenabian tidak termasuk hadis menurut
mereka, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan sesuatu yang
menjadi konsekuensinya atau yang mempunyai dampak hukum, dan hal ini hanya
dapat terjadi setelah kenabian.72
Menanggapi perbedaan yang dikemukakan oleh para
ulama mengenai definisi hadis, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa hal
tersebut terjadi karena berlainan sudut pandang. Para muhadditsīn membahas pribadi
Nabi Saw sebagai uswah hasanah bagi umat Islam. Oleh sebab itulah mereka pada
umumnya menukil segala sesuatu yang berasal dengan Nabi Saw, dari budi
pekertinya, riwayat perjalanannya, tutur-katanya, keutamaannya, baik yang
berdampak pada hukum syar‟i maupun tidak. Berbeda halnya dengan sudut pandang
para usūliyyīn yang membahas pribadi Nabi Saw sebagai pengatur undang-undang,
sehingga mereka memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan soal penetapan
hukum saja.73
Dalam disiplin „ulūm al-hadīts dikenal beberapa istilah yang disebut-sebut
sebagai murādif dari hadis, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Khabar merupakan
bentuk mufrad dari akhbar yang berarti berita (al-nabā`).74
Sedangkan menurut
istilah berarti segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw atau dari selain Nabi Saw
seperti dari sahabat, tābi‟īn, tābi‟ al-tābi‟īn atau yang datang dari siapapun bahkan
orang-orang pada abad ini. Hal ini memberi pengertian bahwa makna khabar lebih
umum daripada hadis, seluruh hadis adalah khabar namun tidak semua khabar adalah
hadis.75
Selanjutnya atsar menurut bahasa al-baqiyyah atau baqiyyah al-saiyk yang
berarti peninggalan atau bekas sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ada yang
menyamakannya dengan hadis dan ada juga yang membedakan keduanya dan
72
al-Qattān, Pengantar Studi Ilmu Hadits, h. 22. 73
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 13-14. 74
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet-2 (Jakarta: Amzah, 2013), h. 10. 75
Amru Abd al-Mun‟im Salīm, Al-Mu‟allim Fī Ma‟rīfah „Ulūm al-Hadīs wa Taṯbīqātihi al-
„Ilmiyyah wa al-„Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs (Riyāḏ: Dār al-Tadmuriyyah, 2005), h. 12.
75
berpendapat bahwa atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat
(mauqūf) dan tabi‟īn (maqṯū‟).76
Adapun term yang paling sering disandingkan dengan hadis adalah sunnah.
Jika ditinjau dari definisinya menurut bahasa, hadis dan sunnah memiliki makna yang
berbeda. Hadis merupakan bentuk ism dari kata al-tahdīts yang berarti al-ikhbār atau
pemberitaan77
dengan bentuk jamak ahādits78
, sedangkan sunnah menurut bahasa
berarti al-ṯarīqah atau jalan yang dilalui. Jika ditinjau dari segi istilah, sebagian
ulama ada yang menyamakan definisi keduanya dan sebagian yang lain
membedakannya. Para muhadditsīn berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara
hadis dan sunnah kecuali dalam segi etimologi.79
Dalam hal ini, Hasbi tampaknya
kurang sejalan dengan pendapat yang menyatakan hadis dan sunnah memiliki definisi
yang sama.
Menurut Hasbi, hadis dan sunnah merupakan dua term yang berbeda, baik
dari segi bahasa maupun istilah.80
Hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi Saw, meskipun hanya terjadi sekali sepanjang hidupnya dan walaupun
hanya diriwayatkan dari seorang perawi saja. Sedangkan sunnah merupakan adalah
istilah bagi amaliyah yang mutawātir,81
yaitu cara Nabi Saw melaksanakan suatu
ibadah bersama dengan para sahabat, lalu para sabahat terus melakukannya. Begitu
seterusnya ibadah yang sama juga dilakukan pada masa tābi‟īn, meskipun lafalnya
tidak mutawātir namun cara pelaksanaannya mutawātir. Hal yang ingin ditekankan
oleh Hasbi di sini adalah bahwa sunnah merupakan pelaksanaan yang mutawātir atau
melekat dan terus dilakukan. Maka sekalipun dari segi penukilan redaksinya tidak
76
Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 11. 77
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 1. 78
Subhi al-Sālih, Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh (Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1988),
h. 3. 79
Ibnu Nashirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar Klarifikasi Kitab Hadis; Permata Salaf
yang Terpendam, Penerjemah Faisal Saleh (Jakarta: AKBAR Media Eka Sarana, 2008), h. 128. 80
Menurut istilah syara‟, sunnah adalah jalan yang dijalani dalam agama, karena telah biasa
dijalani oleh Rasulullah dan oleh para salaf al-salih setelah wafatnya Rasulullah. Lihat: T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 29. 81
Istilah mutawatir biasanya selalu dihubungkan dengan proses penyampaian sebuah riwayat.
Adapun yang dimaksud dengan amaliyah mutawātirah adalah amalan-amalan yang dilakukan dari
masa ke masa, sehingga beberapa pihak mungkin memandangnya sebagai sebuah “tradisi” karena terus
berlangsung dan telah mendarah daging di tengah masyarakat.
76
mutawātir, jika pengamalannya terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi,
hal tersebut tetap digolongkan sebagai sunnah menurut Hasbi.82
Lebih lanjut, menurut Hasbi sesuatu yang ditradisikan dan telah dipraktekkan
umat Islam memiliki nilai mutawātir „amaly. Praktek inilah yang digolongkan
sebagai sunnah mutawātirah, sunnah mutāba‟ah dan sunnah ma‟lūmah. Ia
menambahkan bahwa boleh jadi ada sunnah yang lepas dari rekaman sejarah atau
tidak termaktub di dalam kitab-kitab hadis dalam bentuk tulisan. Meskipun praktek-
praktek keagamaan yang tidak tertera dalam bentuk tulisan, hal tersebut masih
digolongkan sunnah menurut Hasbi.83
Dewasa ini juga dikenal istilah kajian Living
Sunnah atau penelitian terhadap “sunnah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.”
Hal ini cukup booming dan bahkan Living Sunnah menjadi salah satu disiplin ilmu
dalam kajian hadis kontemporer yang dijadikan fokus pembahasan di beberapa
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.
Jika selama ini di dalam disiplin ilmu hadis dikenal istilah hadis fi‟li dan hadis
qauli, maka Hasbi pun membagi sunnah kepada dua tipologi, yaitu sunnah fi‟liyah
dan sunnah tarkiyah. Sunnah fi‟liyah merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh
Nabi Saw. Amaliyah Nabi Saw yang mengandung dasar ibadah maka hukumnya
sunnah menurut Hasbi. Sedangkan untuk amaliyah Nabi Saw dan tidak mengandung
unsur ibadah, maka hal tersebut menegaskan kebolehannya saja, dalam artian bahwa
perbuatan tersebut tidak haram jika dilakukan.84
Adapun sunnah tarkiyah merupakan
amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw. Maka meninggalkan amalan tersebut
82
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 17-18. 83
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet-2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 22. 84
Dalam hal ini Hasbi mengutip beberapa pendapat ulama seperti al-Amidi dan al-Syaukāni.
Menurut al-Amidy, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw bukan atas dasar ibadah dan tidak ada
dalil yang memerintahkan untuk mengerjakannya secara tegas, maka perbuatan tersebut tidak wajib
dan juga tidak sunnah melainkan hanya pertanda bahwa hal tersebut diperbolehkan. Pada sisi lain,
menurut al-Syaukāni perbuatan yang seperti itu sunnah hukumnya. Sebagai contoh adalah pemakaian
jubah yang Nabi Saw memakainya namun tidak beliau mewajibkan umatnya untuk menggunakannya.
Menurut al-Syaukāni jubah itu sunnah sedangkan menurut al-Amidi hal tersebut menjadi tanda bahwa
memakai jubah tidak dilarang oleh Nabi Saw. Dari dua pendapat ulama di atas, Hasbi tampaknya lebih
sepandapat dengan al-Amidi. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 33-34.
77
dihitung sebagai bentuk ketaatan.85
Namun hal ini tidak serta merta menunjukkan
kalau pengamalan terhadap hal-hal yang ditinggalkan oleh beliau menjadi sebuah
dosa atau larangan. Sebagaimana kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti
Nabi Saw pada hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, begitu juga
dengan perintah untuk meninggalkan pekerjaan yang tidak beliau lakukan.86
Di dalam salah satu tulisannya Hasbi menjelaskan makna dari mengikuti
Rasulullah dan kewajiban umat untuk mengamalkan hadis. Ia mengatakan bahwa
makna dari mengikuti Rasulullah adalah menjalankan semua titah-titahnya jika sabda
yang beliau tuturkan bersifat umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan waktu.
Maka dari itu, semua hadis yang dinyatakan shahih dan tidak berlawanan dengan
petunjuk al-Qur‟an wajib diikuti oleh umat muslim secara keseluruhan, tidak hanya
muslim Arab atau muslim Eropa, namun kaum muslimin seluruhnya. Pada akhir
penjelasannya Hasbi menambahkan, hal tersebut berlaku selama hadisnya bersifat
umum, dan jika ada dalil yang menunjukkan kekhususannya (jika dilihat dari asbāb
al-wurūd-nya) maka tidak ada kewajiban untuk mengikutinya.87
Dari penjelasan di atas, tampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pendapat Hasbi dengan pendapat ulama-ulama lain terkait definisi hadis dan sunnah.
Pada beberapa bagian di dalam tulisannya, ia hanya mengungkapkan hal-hal yang
menjadi sebab perbedaan di kalangan muhadditsīn dan fuqahā‟, yang tidak lain
dikarenakan perbedaan cara pandang mereka terhadap kedudukan Nabi Saw. Ulama
hadis memandang Nabi Saw sebagai uswah sedangkan ulama fikih memandang Nabi
Saw sebagai pengatur undang-undang. Tetapi terlepas dari pendefinisian-
85
Al-Qasṯalāni sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi mengatakan, “Apabila Rasulullah Saw
tidak melakukan sebuah amalan, maka tidak mengerjakan amalan tersebut termasuk sunnah.” Baca:
Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 36. 86
Di dalam tulisannya Hasbi sudah memikirkan kemungkinan beberapa pihak yang akan
mempertanyakan mengenai amalan yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi Saw dan
mengatakan, “Bukankah amalan yang ditinggalkan oleh Nabi Saw dan dikerjakan oleh para sahabat
sangat banyak?”. Ia menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “meninggalkan sesuatu” adalah Nabi
Saw meninggalkan amalan-amalan yang sebenarnya tidak ada halangan bagi beliau untuk
mengerjakannya, seperti Nabi Saw meninggalkan azan (tidak mengumandangkannya) pada solat Hari
Raya. Lihat: Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 35. 87
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 128.
78
pendefinisian tersebut, hadis dan sunnah disepakati oleh ulama sebagai segala sesuatu
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw.
b. Kedudukan Sanad dan Matan dalam Kajian Hadis
Sanad dan matan merupakan dua komponen penting dari hadis yang
keberadaan dan ketiadaannya sangat berpengaruh terhadap status diterima atau
ditolaknya sebuah periwayatan. Para ulama bersepakat mengenai pentingnya
pengetahuan mengenai sanad dan bahkan menyebutnya sebagai bagian dari agama.
Sebagaimana perkataan Abdullah bin Mubārak (w. 181 H), “Sanad merupakan bagian
dari agama, maka seandainya sanad hadis tidak ada, niscaya orang-orang akan dengan
bebas mengatakan apa saja yang ia kehendaki.”88
Muhammad bin Sīrīn (w. 110 H)
juga mengatakan, “Sesungguhnya pengetahuan mengenai hadis adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama itu.”89
Begitu pula dengan
pentingnya pemahaman terhadap matan yang merupakan isi dari sebuah hadis.
Karena apa artinya sebuah rangkaian sanad jika tidak disertai matan.
Adapun mengenai pengertian sanad, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan
definisi yang tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan sama dengan definisi menurut
para jumhur. Ia menuturkan bahwa sanad menurut bahasa berarti ssesuatu yang kita
bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya. Sedangkan menurut istilah artinya
jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis.90
Sebagai contoh, ada seorang
perawi mengatakan, “Telah mengabarkan kepadaku Nāfi‟, ia mendengar dari
Abdullah bahwa Rasulullah Saw bersabda begini ….” Maka perkataan perawi yang
berupa rangkaian nama yang disebutkan sampai kepada Nabi Saw dinamakan sanad.
88
Diriwayatkan oleh Iman Muslim di dalam kitab Shahihnya dengan redaksi sebagai berikut:
عثا يقىل: سعت عبد هللا ب انبازك يقىل: -ي أهم يسو –ذ صاوحدثي يحد ب عبد هللا ب قه ب قال: سعت عبدا اإلساد ي
شاء يا شاء نى ال اإلساد نقال ي اندي
Lihat: Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, Cet-1
(Beirūt: Dār al-Fikr, 2003), h. 17. 89
Ungkapan Ibnu Sīrīn ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya
dengan redaksi sebagai berikut:
قال: إ ه , فاظرحدثا حس ب انسبيع حدثا حاد ب شيد ع أيىب وهشاو ع يحد ب سيسي تأخرو ديكى ا انعهى دي سوا عLihat: Al Naisabūry, Sahih Muslim, Bab Muqadimah, h. 16.
90 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, Cet-4 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 42.
79
Namun Hasbi juga menyebutkan bahwa rangkaian nama perawi yang sampai kepada
Nabi Saw dapat disebut dengan ṯarīq, wajh, dan terkadang juga dinamai isnad.91
Hasbi mendefinisikan isnad sebagai menerangkan sanad hadis. Maka makna
dari “Saya isnad-kan hadis” adalah saya sebutkan sanadnya, saya terangkan jalan
datangnya riwayat ini. Dalam memahami makna sanad dan isnad, Hasbi memiliki
langkah yang dapat mempermudah dalam membedakan kedua term tersebut dengan
mengkategorikan keduanya seperti ism dan fi‟il. Ia memahami sanad sebagai bentuk
dari “sesuatu”, sedangkan isnad merupakan kegiatan atau proses. Di samping sanad
dan isnad, juga dikenal istilah musnid dan musnad. Musnid merupakan sebutan bagi
orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan sanadnya, baik dia mengetahui
benar tentang sanad tersebut ataupun tidak.92
Adapun yang dinamakan dengan
musnad adalah hadis yang disebutkan dengan keterangan sanadnya sampai kepada
Nabi Saw.93
Musnad juga merupakan sebutan untuk kitab hadis yang penyusunan
babnya disesuaikan dengan daftar nama rawi tertinggi atau sahabat.94
Hasbi
menyadari bahwa sanad merupakan bagian yang sangat penting dari sebuah hadis.
Menurutnya, keberadaan sanad dalam Islam merupakan sebuah keistimewaan karena
tidak ada agama lain yang mempunyai silsilah sanad bersambung seperti yang ada di
91
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 92
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, Cet-6 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 384. 93
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 147. 94
Terdapat beberapa tipologi penulis kitab hadis menurut para ulama yang salah satu di
antaranya adalah kitab musnad. Di samping itu, juga dikenal kitab juz`u yang berarti kitab yang
disusun dengan mengumpulkan hadis-hadis dengan satu tema seperti kitab al-Jihād dan al-Zuhūd
karya Ibn al-Ṯābari. Selanjutnya juga dikenal kitab aṯrāf yang merupakan kitab yang penulisannya
dengan menyebutkan potongan hadisnya saja/awal matan tanpa menyebutkan matan seluruhnya.
Contoh kitab yang ditulis dengan tipe ini adalah Atrāf Shahīhain karya Abu Mas‟ūd Ibrāhīm bin
Muhammad al-Dimasyq. Kemudian juga terdapat kitab al-Sunan yang yang disusun berdasarkan bab-
bab fikih seperti kitab Sunan Abu Dawūd karya Abu Dawūd al-Sijistani. Selanjutnya juga dikenal kitab
al-Mustadrak yang menghimpun hadis-hadis yang tidak terdapat di dalam kitab shahih seperti Shahih
al-Bukhāri dan Shahih Muslim. Salah satu contoh kitab tergolong dalam jenis ini adalah al-Mustadrak
„ala Sahīhaini karya Muhammad bin Abdullah al-Hākim al-Naisabūri. Di samping itu juga dikenal
kitab al-Mustakhraj yang disusun dengan mengambil hadis dari kitab tertentu namun mengambil jalur
sanad yang berbeda. penyusun kitab menempuh sanad dari gurunya, tapi gurunya mempunyai jalur
sanad yang sama dengan sanad dari penyusun kitab yang ia takhrijatau dua guru tersebut bertemu pada
rangkaian sanad di atasnya. Contoh kitab yang ditulis yang tergolong jenis ini adalah Mustakhraj Abu
Awanah „ala Muslim. Selengkapnya lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3 (Jakarta: Prenada Media Group
2016) h. 112-128, dan Arif Wahyudi, “Mengurai Peta Kitab-kitab Hadits: Kajian Referensi atas Kitab-
kitab Hadits,” Al-Ihkam 8, No.1 (Juni 2013): h. 5-7.
80
dalam Islam. Mungkin agama lain seperti Yahudi dan Nasrani juga menggunakan
periwayatan, namun kebanyakan riwayat dari mereka tidak bersambung.95
Mengenai
keutamaan sanad Hasbi mengatakan,
“Maka nyatalah keutamaan sanad, dengan dialah diketahui maqbūl dan
mardūd mana yang sah diamalkan dan mana yang tidak sah diamalkan. Dialah
jalan yang kita tempuh untuk menetapkan hukum syari‟at Islam.”96
Adapun matan menurut bahasa adalah tengah jalan, punggung bumi atau bumi
yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan adalah lafaz-lafaz hadis
yang dengan lafaz-lafaz itulah terbentuk makna.97
Matan juga disebut sebagian
bagian inti dari sebuah hadis karena berisi pesan dan berita yang disampaikan oleh
Nabi Saw.98
Menurut Hasbi, sebuah hadis belum dapat dipandang shahih hanya
karena sanadnya shahih, harus ada penelitian lebih lanjut terhadap kedudukan
matannya. Mengenai hal ini ia mengatakan,
“Kemudian perlu kita ketahui bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan
karena sanadnya telah shahih, jika matannya nyata berlawanan dengan
keterangan-keterangan yang lebih kuat daripadanya. Tidak cukup untuk
menshahihkan sesuatu hadis, melihat kepada sanadnya saja, sebagaimana
yang dilakukan oleh sebahagian ahli jumud dan taqlīd.”99
Dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa ia tidak ingin mengunggulkan
salah satu dari sanad atau matan. Sikapnya ini seperti berada di tengah-tengah antara
pemikiran Muhammad al-Ghazāli (w. 1996) dan al-Albāni (w. 1999). Al Ghazāli
dikenal sebagai ulama yang lebih menekankan kajian matan dari pada kajian sanad
hadis, sementara al-Albāni lebih menekankan kepada kajian sanad hadis. Bukan
berarti menafikan keberadaan salah satunya, namun dari cara mereka dalam
menyikapi sebuah hadis dan menentukan keshahihannya sangat bergantung pada
matan hadis (menurut al-Ghazāli) dan sanad (menurut al-Albāni). Sebagai contoh, al-
95
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 51 96
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 49. 97
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 44. 98
Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis,” Esensia 16, No. 2
(Oktober 2015): h. 180. 99
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 116.
81
Ghazāli berpendapat bahwa hadis yang sanadnya berstatus ḏa‟īf masih dapat
digunakan sebagai dasar fatwa ketika matan hadis tersebut tidak bertentangan dengan
al-Qur'an dan ajaran Islam. Pada sisi lain al-Albāni mendha‟ifkan beberapa hadis di
dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim karena kualitas dari sanadnya yang ia
pandang tidak memenuhi persyaratan dari hadis shahih.100
Maka adalah Hasbi yang
ingin kajian terhadap sanad dan matan imbang dan tidak berat sebelah.
Hasbi menganggap sanad dan matan sebagai dua komponen penting yang
membangun sebuah hadis. Secara teori, memang ia tidak banyak menjelaskan rincian
mengenai sanad dan matan, namun perhatiannya terhadap keberadaan keduanya
tergambar dengan jelas dari langkah-langkahnya dalam mensyarah hadis. Baik di
dalam buku 2002 Mutiara Hadits maupun Koleksi Hadis-hadis Hukum yang
merupakan karyanya dalam bidang syarah, sebelum masuk kepada penjelasan hadis,
biasanya Hasbi menyebutkan terlebih dahulu kedudukan dari sanad hadis yang akan
dibahas.101
Ia juga menjelaskan status perawi hadis, seperti tsiqah atau tidaknya rawi
yang meriwayatkan. Demikian halnya Hasbi juga menaruh perhatian yang besar
terhadap kajian matan hadis. Hal tersebut telihat dari caranya menambahkan satu
kriteria (di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh jumhur) dalam
menetapkan keshahihan sebuah hadis, dan kriteria tersebut berhubungan dengan
matan. Penjelasan mengenai hal tersebut akan dipaparkan pada pembahasan
selanjutnya.
c. Kriteria Keshahihan Hadis
Al-Qur‟an dan hadis sama-sama mempunyai posisi istimewa dalam Islam,
namun keduanya tidaklah sama. Kehujjahan al-Qur‟an bersifat ḏarūri (harus diterima
dan diamalkan tanpa perlu diperiksa keabsahannya). Sedangkan hadis masih
100
Muhammad Nāsir al-Dīn al-Albāni, Ḏa‟īf al-Adab al-Mufrad, Penerjemah Hery Wibowo
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 16. Lihat juga: Sri Purwaningsih, “Kritik terhadap Rekonstruksi
Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali,” Theologia 28, No. 1 (2017): 75-102. 101
Sebagaimana Hasbi mensyarah hadis tentang permulaan wahyu kepada Rasulullah Saw.
Pada awal syarahannya, ia menjelaskan terlebih dahulu status hadisnya yaitu bagian dari hadis mursal.
Hal tersebut dikarenakan Aisyah, selaku periwayat, tidak mendapati masa ketika hadis tersebut
disampaikan. Aisyah mendengarnya dari sahabat yang lain. Selengkapnya lihat: M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadiets, Jilid I, Cet-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 322.
82
memerlukan penelitian lebih lanjut dalam rangka untuk membuktikan kebenarannya.
Pasalnya ketika wahyu al-Qur‟an diturunkan, Nabi Saw langsung menyuruh para
sahabat untuk menulisnya. Berbeda dengan hadis yang penulisannya tidak semarak
al-Qur‟an dan hanya dicatat oleh beberapa sahabat saja di dalam catatan pribadi
mereka.102
Sebelum pada akhirnya dikodifikasi pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz (w. 101 H), selama kurang lebih seratus tahun hadis hanya beredar secara oral
tradition (dari mulut ke mulut) dengan berpegang pada ingatan para sahabat.103
Dengan jangka waktu yang cukup lama ini, tentunya mustahil para perawi yang
merupakan manusia biasa dapat luput dari keliru dan khilaf, sehingga penelitian
terhadap kredibilitas mereka menjadi sesuatu yang sangat urgent.104
Para ulama menetapkan beberapa poin yang harus dipenuhi oleh sebuah hadis
sehingga dapat digolongkan sebagai hadis shahih. Mannā‟ al-Qaṯṯān dan Nural-Dīn
„Itr mengemukakan beberapa poin tersebut, antara lain ittisāl al-sanad, „adālah al-
ruwāt, ḏabṯ al-ruwāt, „adam al-syudzūdz dan „adam al-illah.105
Lima kriteria ini juga
dikemukakan oleh ulama seperti Muhammad „Ajaj al-Khātib, Mustafa al-Sibā`i dan
102
Beberapa sahabat diketahui telah menuliskan hadis yang mereka dengar dari Nabi Saw,
seperti Abdullah bin Amru bin As, beliau mempunyai sahīfah yang dinamai sādiqah. Hal ini mungkin
akan membuat beberapa orang bingung karena pada faktanya ada riwayat yang menyebutkan tentang
larangan menulis hadis, sebagaimana sabda Nabi Saw, “Janganlah kalian menulis –apa yang kamu
dengar dariku- selain al-Qur‟an. Barangsiapa yang menulis selain al-Qur‟an maka hapuslah.” (HR.
Muslim Kitab al-Zuhd). Namun pada sisi lain juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada saat
Fath Makkah Nabi Saw menyuruh menulis perihal penyelesaian sebuah kasus dengan bersabda,
“Tuliskanlah ini untuk Abu Syah!” (HR. al-Bukhāri Kitab al-Ilm). Mustafa Azami mengomentari dua
hadis yang tampak kontadiktif ini dan mengungkapkan bahwa sejatinya tidaklah demikian. Ia
menjelaskan larangan menulis yang dimaksud oleh hadis yang pertama disabdakan pada situasi dan
kondisi khusus, sehingga larangan menulis hadis tidak berlaku untuk setiap saat. Di samping itu,
menulis hadis yang dilarang adalah jika menulisnya pada lembaran yang sama dengan al-Qur‟an
karena takut akan tercampur antara keduanya. Lihat: Radinal Mukhtar Harahap, “Hadis pada Masa
Nabi Muhammad Saw dan Sahabat,” Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h.
42, dan Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 77-81. 103
Namun yang penting untuk digaris bawahi disini adalah bahwa daya ingat yang dimiliki
oleh para sahabat tentu berbeda dengan yang manusia pada umumnya. Abd al-Nasr, sebagaiman
dikutip oleh Idri, menjelaskan bahwa Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
berupa kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga mereka dapat meriwayatkan al-Qur‟an, hadis dan
syair dengan sangat baik, seakan-akan mereka membaca sebuah buku. Lihat: Idri, Studi Hadis, Cet-3
(Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 35-36. 104
Erwati Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan Pemahamannya,”
Al-A‟raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145. 105
Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 34 dan Nuruddin „Itr, Ulumul Hadis, Penerjemah
Mujiyo Cet-2 (Banfung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 241-242.
83
disepakati oleh jumhur muhadditsīn menyetujuinya.106
Maka bisa dikatakan bahwa
poin-poin tersebut sudah menjadi standar umum keshahihan sebuah hadis.
Sebenarnya, jauh sebelum itu ulama seperti al-Bukhāri (w. 256 H) dan Muslim (261
H) telah memiliki kriteria tersendiri dalam menetapkan keabsahan sebuah hadis.
Namun baik al-Bukhāri maupun Muslim tidak menjelaskannya secara lugas, ulama-
ulama yang hidup setelah merekalah yang meneliti dan memetakan metode yang
digunakan oleh keduanya.
Dalam penelitian terhadap sanad hadis, al-Bukhāri menetapkan beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar hadisnya digolongkan shahih. Syarat-syarat tersebut
memiliki poin yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama
muta`akhkhirīn, antara lain perawi yang meriwayatkan harus adil, ḏābiṯ, tsiqah dan
tidak mudallis, sanadnya harus bersambung (muttashil), tidak munqathi‟, mursal atau
mu‟dhal. Adapun berkenaan dengan ittisāl al-sanad yang ditetapkan oleh al-Bukhāri,
Ibnu Hajar al-Asqalāny (w. 852 H)107
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
bersambungnya sanad tidak hanya harus sezaman melainkan harus adanya liqa‟
(pertemuan) antara guru dan murid meskipun hanya sekali saja.108
Maka dapat ditarik
kesimpulan, bahwa al-Bukhari menetapkan syarat dari ittishal al-sanad, yaitu
mengharuskan adanya mu‟assarah (sezaman) dan liqa‟ (pertemuan).
Di samping itu itu, menurut Hammam Abdurrahim, al-Bukhari menetapkan
beberapa kriteria tingkat perawi, yaitu: a) Tingkatan pertama adalah perawi yang
106
Lihat: Mustafa al-Sibā`i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni, Penerjemah Nurcholish Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 61 dan
Muhammad Ajaj al-Khātib sebagaimana dikutip oleh Aziz, “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik
Sanad, Matan dan Pemahamannya”, h. 146. 107
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad Abu al-Faḏl al-Kināni al-Syāfi‟i,
lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajr al-Asqalani. Ia lahir di Mesir pada bulan Sya‟ban tahun 773 H.
Dikenal sebagai seseorang yang gemar dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Hajr telah mengelilingi banyak
negeri seperti Mekah, Hijāz, Syām, Irāq dan masih banyak lagi. Keilmuannya mencakup berbagai
cabang, tidak hanya mempelajari hadis dan ilmu hadis, ia juga mendalami ilmu tafsir dan fiqih. Selama
hidupnya ia berhasil mengarang 150 kitab yang meliputi beberapa cabang keilmuan seperti hadis,
fiqih, ilmu al-Qur‟an dan tarikh. Dari semua karyanya ini, yang paling populer adalah Fath al-Bāri
yang merupakan kitab syarah Shahih al-Bukhāri yang beliau karang selama bertahun-tahun. Biografi
Ibnu Hajar selengkapnya lihat: Muhammad bin Ismā‟īl al-San‟ani, Subul al-Salam, Jilid I (Mesir:
Maktabah Mustafa al-Bāb al-Halby, T.t), h.5. 108
Masrukin Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan
Tadh‟if menurut Bukhari,” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember 2016): h. 286.
84
dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ dan lama bersama gurunya; b) Tingkatan
kedua adalah perawi yang dikenal sebagai seorang yang adil, ḏābiṯ, namun sebentar
bersama gurunya; c) Tingkatan ketiga adalah perawi yang lama kebersamaannya
dengan gurunya namun kurang ḏābiṯ; d) Tingkatan keempat adalah perawi yang
sebentar bersama gurunya dan kurang ḏābiṯ; dan e) Tingkatan kelima adalah perawi
yang terdapat cela dan cacat pada dirinya. Dari lima tingkatan yang disebutkan di
atas, al-Bukhāri memilih tingkatan yang pertama dari para perawi untuk di ambil
periwayatannya.109
Ini menunjukkan bahwa keriteria yang dipakai oleh al-Bukhari
berkualitas sangat tinggi.
Muslim juga menerapkan kriteria keshahihan yang sama dengan al-Bukhāri,
hanya saja yang menjadi perbedaan adalah mengenai standar dari ketersambungan
sanad yang ditetapkan oleh keduanya. Menurut Muslim, walaupun sebuah hadis
diriwayatkan secara „an‟anah asal diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, maka
predikat hadisnya sudah memenuhi status qabūl al-riwayah dan bisa dijadikan
hujjah.110
Di samping itu, Muslim juga tidak mensyaratkan harus adanya liqa‟, jika
sudah terbukti bahwa guru dan murid sezaman (mu‟assarah), maka itu sudah cukup
menurutnya. Hal inilah yang mendasari para ulama lebih mengunggulkan kitab
Shahih al-Bukhari daripada Shahih Muslim.
Persyaratan dari shahihnya sebuah hadis tidak banyak mengalami perubahan.
Karena terlihat bahwa para ulama muta`akhkhirīn juga menerapkan kaidah yang sama
dengan yang telah digunakan oleh ulama terdahulu. Tidak ubahnya dengan Hasbi
yang juga mengutarakan hal serupa mengenai kriteria keshahihan hadis. Ia
mendefinisikan hadis shahih dengan:111
ما تصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثلو وسلم من شذوذ وعلة
“Hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang adil
dan kokoh ingatannya, tidak terdapat keganjilan dan cacat yang memburukkannya.”
109
Muhsin, “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih dan Tadh‟if
menurut Bukhari, h. 287. 110
Marzuki, Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Jurnal Humanika
Volume 6 No. 1, Maret 2006, h. 34. 111
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162.
85
Hasbi menuturkan bahwa tidak tergolong shahih semua hadis yang munqaṯi‟
dan mursal.112
Begitu pula tidak termasuk hadis shahih jika perawinya terdapat cacat
dan tidak kuat hafalannya atau memiliki banyak kekeliruan. Adapun yang dimaksud
dengan syādz menurut Hasbi adalah keganjilan seperti menyalahi riwayat dari orang-
orang yang terpercaya. Terhindar dari „illat atau cacat maksudnya adalah tidak
mengandung kesalahan-kesalahan yang tersembunyi. Sebagai contoh adalah
didapatinya sebuah fakta bahwa di antara perawi yang meriwayatkan hadis ada yang
tidak kuat hafalannya, padahal sebelumnya ia diketahui kuat ingatannya.113
Illat yang
terdapat di dalam hadis hanya dapat ditemukan dengan pengkajian secara menyeluruh
dan mendalam dan tidak sembarang orang dapat mengetahuinya.
Dari lima syarat yang harus dipenuhi hadis shahih, tiga di antaranya berkaitan
dengan sanad yang mencakup ketersambungan sanad, „adālah al-ruwāt dan ḏabṯ al-
ruwāt, sedangkan dua lainnya berkaitan dengan matan. „Adālah al-ruwāt atau
keadilan perawi tidaklah sama maknanya dengan adālah dalam syahādah
(persaksian). Adil yang dimaksud dalam hal ini bukanlah menimbang sama rata. Di
dalam disiplin ilmu hadis, seorang perawi akan digolongkan adil jika ia muslim, taklīf
dan terbebas dari sebab-sebab kefasikan serta dapat mejaga murū`ah.114
Hasbi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menjaga murū`ah adalah menjauhkan diri
dari segala macam dosa besar. Ia juga menambahkan, bahwa periwayatan tidak
terbatas untuk kaum laki-laki saja, wanita dan para budak riwayatnya juga dapat
112
Hadis munqaṯi‟ merupakan hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Dari
definisi ini, maka munqaṯi‟ mencakup hadis mursal, mu‟allaq dan mu‟ḏal. Sementara itu, hadis mursal
adalah hadis yang gugur perawinya pada tingkatan sahabat. Ulama tidak sepenuhnya bersepakat
mengenai status dari hadis mursal. Jumhur muhadditsīn dan beberapa ahli ushul dan fuqahā`
berpendapat bahwa hadis mursal tergolong ḏa‟īf dan menganggapnya sebagai hadis yang tertolak atau
mardūd karena tidak ada kepastian mengenai keadaan dari perawi yang gugur. Pendapat kedua
mengatakan bahwa hadis mursal adalah shahih dan dijadikan hujjah. Pendapat ini masyhur di kalangan
mazhab Abu Hanīfah, Mālik dan Ahmad. Mereka mengatakan bahwa mustahil para tabi‟in akan
mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah Saw…” kecuali jika mereka benar-benar mendengarnya dari
para sahabat yang tsīqah. Pendapat terakhir datang dari al-Syāfi‟i yang mengatakan bahwa hadis
mursal para tabi‟in senior dapat diterima dan dijadikan hujjah dengan syarat yang memursalkan hadis
adalah dari golongan pembesar tabi‟in dan ada hadis dari jalur lain yang mendukungnya.
Selengkapnya lihat: Al-Qattān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, h. 72-73. 113
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 162. 114
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 32.
86
diterima. Adapun ḏabṯ, menurut Hasbi adalah perhatian penuh seorang perawi
terhadap hadis (memperhatikan dan selalu memelihara hafalannya) yang ia terima
dan memahami kandungan darinya hingga ia menyampaikannya kepada orang lain.115
Ia juga menambahkan, bahwa ḏabṯ-nya seorang perawi juga disyaratkan dengan harus
menjaga kitabnya dengan baik, tidak disentuh oleh tangan-tangan kotor jika ia
meriwayatkan dari catatannya. Karena orang yang lengah (mughaffal) tidak dapat
diterima periwayatannya.116
Jika memperhatikan definisi ḏabṯ yang dikemukakan
oleh Hasbi, tampaknya ia memilih tingkatan ḏabṯ yang paling tinggi.117
Terlepas dari lima syarat keshahihan hadis yang telah dijelaskan di atas, pada
salah satu tulisannya Hasbi menambahkan hal lain yang menjadi kriteria hadis shahih.
Menurutnya, sebuah hadis dapat digolongkan sebagai hadis shahih jika tidak
bertentangan dengan nash mutawatir dan tidak menyalahi kaidah agama yang telah
disepakati. Jadi, jika sebuah hadis memiliki sanad yang shahih namun tidak
memenuhi dua syarat di atas, maka hadis tersebut tertolak. Hal ini tergambar dari
caranya memahami hadis tentang Nabi Saw terkena sihir. Hadis tersebut diriwayatkan
dari Aisyah r.a (w. 58 H), menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah disihir oleh
seseorang sehingga beliau merasa mendatangi isteri-isterinya padahal beliau tidak
melakukannya. Beberapa ulama menolak hadis ini karena dianggap telah
merendahkan derajat kenabian. Begitu pula halnya dengan Hasbi, meskipun hadis ini
terdapat di dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim, ia tidak menerimanya
115
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid 2, h. 33. 116
Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Dirayah Hadits, Jilid I, h. 110. 117
Para ulama diketahui memberikan definisi yang beragam terhadap term ḏabṯ. Sebagaimana
yang dikutip oleh Syuhudi Ismail di dalam salah satu bukunya, bahwa Ibnu Hajar al-Asqalāny
mengartikan ḏābiṯ sebagai seorang yang kuat hafalannya terhadap apa yang ia dengar dan mampu
menyampaikannya kapan saja ia menghendaki. Pada sisi lain juga ada ulama yang mengartikan orang
yang ḏabṯ sebagai seseorang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, memahaminya
dengan pemahaman yang mendetail dan menghafalnya secara sempurna hingga ia menyampaikannya
kepada orang lain. Meskipun redaksi yang disampaikan oleh ulama berbeda-beda, prinsip mereka
dalam mendefinisikan ḏabṯ sebenarnya sama. Dari definisi-definisi tersebut, Syuhudi kemudian
merumuskannya menjadi beberapa tingkatan, yaitu perawi yang hafal dengan sempurna hadis yang
diterimanya dan mampu menyampaikan dengan baik apa yang hafal kepada orang lain dan perawi
yang hafal hadis yang ia terima dengan sempurna dan mampu menyampaikan apa yang ia hafal serta
paham dengan baik hadis yang dihafalnya tersebut. Tingkatan yang kedua inilah yang digunakan Hasbi
dalam mendefinisikan term ḏabṯ. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet-4 (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 140.
87
karena menurutnya hal ini bertentangan dengan nash mutawatir dan kaidah agama. Ia
mengatakan,
“Apabila kita perhatikan sebab-sebab menolak sebuah hadis walaupun ia
dipandang shahih sanadnya, yaitu berlawanan dengan nash-nash yang
mutawātir dan berlawanan dengan kaidah agama yang disepakati, yaitu
keharusan terpeliharanya Nabi daripada terkena sihir, maka hadis Bukhari dan
Muslim ini haruslah ditolak.”118
Pada beberapa karyanya, Hasbi juga menyinggung tentang status hadis ḏa‟īf
dan pengamalannya. Ia menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak bisa menetapkan sebuah
hukum, baik yang wajib maupun yang sunnah.119
Menurutnya, sebuah hukum
haruslah berasal dari sumber yang kuat, dalam hal ini yang ia maksud adalah hadis
shahih dan hasan. Sedangkan hadis ḏa‟īf tidak mempunyai kedudukan yang sama
kuat dengan hadis shahih dan hasan. Beberapa ulama membolehkan penggunaan
hadis ḏa‟īf jika berhubungan dengan faḏā`il al-a‟māl. Hasbi menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan boleh menjadikan hadis ḏa‟īf dalam perkara faḏā`il al-a‟māl jika
kedudukannya sekedar untuk menjelaskan keutamaan-keutamaan amal yang telah
disebutkan di dalam hadis shahih atau hasan.120
Jadi jika hadis ḏa‟īf berdiri sendiri
dan membuat hukum (yang sebenarnya tidak pernah dijelaskan di dalam hadis shahih
atau hasan), maka hal tersebut tidak dapat diterima.
Adapun perihal kehujjahan hadis ḏa‟īf, para ulama memiliki pandangan yang
berbeda-beda. Al-Bukhāri dan Muslim menjelaskan bahwa hadis ḏa‟īf tidak dapat
diamalkan secara mutlak, baik pada perkara ahkām maupun faḏā`il al-a‟māl, karena
sebuah hukum harus didasarkan pada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Saw yang shahih.
Hal ini berbanding jauh dengan pendapat yang dipegang oleh Abu Dawūd (w. 275 H)
dan Ahmad (w. 241 H). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nuruddin Itr dalam
kitabnya bahwa Abu Dawūd dan Ahmad membolehkan penggunaan hadis ḏa‟īf
dengan dalil bahwa hadis ḏa‟īf lebih kuat daripada ra`yi perorangan.121
Sementara itu,
Ibnu Hajar berpendapat bahwa hadis ḏa‟īf boleh digunakan pada masalah faḏā`il al-
118 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273.
119 Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1976) , h. 17.
120 Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid‟ah, h. 100.
121 Nuruddin Itr, Manhāj al-Naqd fi Ulūm al-Hadīs, Cet-2 (Beirūt: Dār al-Fikr, 1979) , h. 291.
88
a‟māl dengan beberapa syarat, yaitu jika ḏa‟īf-nya tidak berlebihan, atau perawi yang
meriwayatkan bukan pendusta dan hadis tersebut tidak keluar dari kaidah Islam serta
masuk dalam cakupan hadis pokok (juga dijelaskan dalam hadis shahih).122
Pendapat
yang dipegangi oleh Hasbi lebih mendekati pendapat Ibnu Hajar, bahwa hadis ḏa‟īf
dapat digunakan dalam perkara faḏā`il al-a‟māl dengan syarat hukum pokoknya
sudah dijelaskan di dalam hadis yang lebih kuat statusnya.
Dari pemaparan tentang kriteria keshahihan dalam perspektif Hasbi di atas,
tampaknya ia tetap meneruskan pondasi yang telah dibangun oleh ulama-ulama
klasik. Pondasi yang dimaksud adalah lima syarat khusus agar sebuah hadis
digolongkan sebagai hadis shahih, meliputi ittisāl al-sanad, diriwayatkan dari perawi
yang adil dan ḏābiṯ serta tidak mempunyai syazd dan „illat. Lima kriteria keshahihan
hadis ini juga dikemukakan oleh beberapa ulama seperti Mannā‟ al-Qaṯṯān, Mahmūd
al-Ṯahhān di dalam karya mereka.123
Namun Hasbi di dalam tulisannya
mengungkapkan bahwa ada satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu matan
hadisnya tidak bertentangan dengan nash mutawatir dan juga tidak menyalahi kaidah
agama yang telah disepakati.124
122
Abdul Rokhim, “Hadis Dla‟īf dan Kehujjahannya: Telaah terhadap Kontroversi Penerapan
Ulama sebagai Sumber Hukum,” Al-Ihkam 1, No. 2 (Desember 2009): h. 194-195. 123
Penjelasan selengkapnya baca: Mannā‟ Al Qaṯṯān, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 117 dan Mahmūd Al
Ṯahhān, Taisīr Musṯalah al-Hadīs, Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t), h. 34-35. 124
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 273.
89
BAB IV
PEMAHAMAN HADIS T.M. HASBI ASH-SHIDDIEQY
A. Metodologi Pemahaman Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy memilih untuk menulis karya hadisnya dalam
bahasa Indonesia bukan tanpa alasan. Pada berbagai kesempatan beliau
mengungkapkan bahwa salah satu langkah yang harus ditempuh oleh akademisi
Islam dalam negeri untuk mengembangkan kajian hadis di Indonesia adalah dengan
menyuguhkan karya-karya yang ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah
dimengerti oleh masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi motivasi beliau, hingga
akhirnya dengan semangat yang dimiliki ia berhasil menulis berbagai karya hadis
yang cemerlang, termasuk dua karya besarnya mengenai syarah hadis yaitu “2002
Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis-hadis Hukum”. Adapun terkait dengan metode
pemahaman yang beliau gunakan dalam memahami hadis tercermin dengan jelas dari
penjelasan yang terdapat di dalam karya syarahnya tersebut dan juga dari penjelasan
secara sepintas di dalam karya-karyanya yang lain. Di bawah ini akan dipaparkan
beberapa metode pemahaman hadis yang digunakan oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
1. Memahami Hadis dengan Petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami hadis dengan benar dan agar tidak jatuh pada kekeliruan
harus di bawah naungan al-Qur‟an. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa hadis dan
al-Qur‟an memiliki hubungan yang integral dan saling mengikat.1 Hubungan antara
keduanya dapat diibaratkan dengan simbiosis mutualisme. Bagaimana tidak, beberapa
ayat al-Qur‟an yang sifatnya masih umum, penjelasan dan rinciannya dapat
ditemukan di dalam hadis. Sebagai contoh, dalil tentang perintah mendirikan shalat
yang tertera dengan tegas di dalam al-Qur‟an namun masih bersifat sangat umum.
Semua tata cara dan ketentuannya dijelaskan oleh hadis. Demikian halnya dengan
1 Tasbih, Kedudukan dan Fungsi hadis sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Al-Fikr Volume
14 No. 3, Tahun 2010, h. 331.
90
hadis yang keberadaannya senantiasa berkisar dalam cakrawala al-Qur‟an dan tidak
pernah melampauinya.2
Dalam memahami hadis Hasbi selalu merujuk kepada al-Qur‟an. Hal ini
tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang syafa‟at berikut ini:
شاء اهلل ريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: لكل نيب دعوة فأريد إنعن أيب ىيت يوم القيامة )رواه البخاري ومسلم( أن أختيب دعوت شفاعة ألم
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, telah bersabda Rasulullah Saw: Bagi tiap-
tiap Nabi ada permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk
syafa‟at bagi umatku di Hari Kiamat.”3
عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: كل نيب سأل سؤاال, أو قال: يت يوم القيامة )رواه البخاري ومسلم(لكل نيب دعوة قد دعا ا فاستجيبت, فجع لت دعوت شفاعة ألم
“Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, telah bersabda Nabi Saw: Tiap-tiap Nabi
telah meminta sesuatu permintaan, atau Nabi Saw berkata: Bagi tiap-tiap Nabi ada
do‟a yang diperkenankan, maka aku jadikan do‟aku syafa‟at bagi umatku di Hari
Kiamat.”4
Zahir dari hadis di atas menunjukkan bahwa setiap Nabi mempunyai satu doa
yang diyakini pasti akan dikabulkan oleh Allah Swt. Adapun Nabi Muhammad Saw
menahan doanya yang pasti dikabulkan itu untuk beliau doakan pada Hari Kiamat
sebagai syafa‟at untuk umatnya. Hasbi menjelaskan, hadis ini juga menunjukkan
betapa besarnya kasih sayang dan perhatian Nabi Saw kepada umatnya.5 Nabi Saw
tidak meminta hal lain ketika diberi kesempatan untuk meminta sesuatu yang pasti di-
ijābah oleh Allah Swt, beliau lebih memilih untuk mentakhirkan doa tersebut pada
2 Amir Hamzah Nasution Dkk, “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam Kitab Kaifa
Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah,” At-Tahdis: Journal of Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni
2017): h. 148 3 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h.
405. 4 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 405.
5 Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang penyayang. Kasih sayang yang ia beri
tidak hanya kepada orang yang menyukainya saja, namun juga ia tunjukkan kepada orang yang
memusuhinya. Banyak riwayat yang menceritakan tentang beberapa orang yang memusuhi dan bahkan
berencana untuk membunuhnya, malah beliau balas dengan mendoakan orang tersebut dan justru
memohon agar mereka diberi ampunan karena mereka tidak mengerti. Lihat: Usiono, “Potret
Rasulullah sebagai Pendidik,” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.
91
saat yang benar-benar dibutuhkan dan memberikannya kepada umatnya dalam bentuk
syafa‟at.6 Penjelasan Hasbi ini menujukkan bahwa ia membenarkan adanya syafa‟at
yang diberikan oleh Nabi Saw untuk umatnya. Namun ia juga menyatakan bahwa
syafa‟at itu sebenarnya tidak ada karena ada ayat al-Qur‟an menunjukkan
ketiadaannya.7 Maka dalam hal ini yang ditolak oleh Hasbi adalah syafa‟at yang
diberikan Nabi Saw kepada penghuni neraka agar mereka dikeluarkan dari neraka.8
Syafa‟at merupakan tema yang banyak diperbincangkan oleh ulama.
Mayoritas ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw kelak pada Hari Akhir akan
memberikan syafa‟at kepada umatnya, yang bahkan dengan syafa‟at beliau ada umat
Islam terselamatkan dari siksa api neraka. Namun pendapat tersebut tidak bulat,
karena ada ulama yang tidak sepakat dengan hal tersebut, salah satunya adalah Hasbi.
Menurutnya, banyak ayat al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa syafa‟at itu
sebenarnya tidak ada sama sekali. Di antara ayat al-Qur‟an yang dimaksud adalah
QS. Al-Baqarah: 254, QS. Hūd: 105; 108 dan QS. al-Anbiyā`: 28.9
(52ال بيع فيها وال خلة وال شفاعة )سورة البقرة: “(Yaitu hari) dimana tidak ada jual-beli dan tidak ada lagi syafa‟at.”
(2)سورة األنبياء: وال يشفعون إال لمن ارتضى“Dan mereka tiada memberi syafa‟at melainkan kepada orang yang diridhoi
Allah Swt.”
(1خالدين فيها مادامت السماوات واألرض إال ماشاء ربك )سورة ىود: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki.”
6 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 406.
7 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408.
8 Syafa‟at terbagi menjadi beberapa macam, antara lain adalah syafa‟at yang diberikan Nabi
Saw kepada umatnya pada saat di Padang Mahsyar, syafa‟at Nabi Saw kepada calon penghuni surga
agar segera masuk ke dalam surga, syafa‟at Nabi Saw untuk meringankan siksa pamannya Abu Ṯālib
di neraka dan syafa‟at yang diberikan sesama manusia (sebagaimana di dalam hadis dijelaskan bahwa
jika seorang muslim wafat dan dishalatkan oleh lebih dari empat puluh orang jama‟ah maka ia berhak
mendapatkan syafa‟at). Sumber: Abu Ibrahim Arman bin Amri, “Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8
Oktober 2019 dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html 9 Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 407.
92
Ayat pertama menyatakan bahwa tidak ada lagi syafa‟at pada Hari Akhir,
sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa syafa‟at hanya dapat diberikan kepada
orang yang Allah Swt ridhoi. Ayat ketiga memberi pengertian bahwa setiap manusia
yang telah terjerumus ke dalam neraka, maka tidak ada jalan keluar baginya, mereka
kekal di dalamnya. Ayat-ayat ini menurut Hasbi merupakan dalil yang jelas
menunjukkan bahwa sebenarnya syafa‟at itu tidak ada. Tidak ada yang dapat
menyelamatkan manusia dari siksa neraka karena dosa yang telah ia perbuat selama
di dunia. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari neraka adalah dirinya
sendiri. Hasbi menjelaskan,
“Kalau demikian, maka tidak ada nash di dalam al-Qur‟an yang tepat dan
tegas menyatakan adanya syafa‟at itu.”10
Ia melanjutkan penjelasannya, bahwa memang benar ada hadis yang
menyatakan tentang keberadaan syafa‟at, Di antaranya:
يت فمن كذب ا مل ي ن لها شفاعيت ألىل الكبائر من أم“Syafa‟atku untuk orang-orang yang berdosa besar dari umatku. Maka
barangsiapa yang mendustakannya (tidak percaya), tidak akan memperolehnya.”11
Namun menurutnya perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap makna
syafa‟at yang diterangkan oleh hadis tersebut dan bagaimana keadaan syafa‟at di
dunia dan di akhirat. Karena pendefinisian atas sesuatu akan sangat mempengaruhi
seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Adapun menurut bahasa syafa‟at12
berasal
10
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 11
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet-3, Jilid I, h. 408. 12
Definisi syafa‟at yang dikemukakan oleh para ulama berbeda-beda sesuai dengan konteks
atau nash yang sedang dibicarakan. Seperti halnya Abu al-Qāsim yang memaknai kata syafa‟at dalam
QS. al-Fajar:3 dengan tiga definisi yaitu makhluk yang tersusun, hari Idul Aḏha dan keturunan Adam.
Adapun al-Raghīb al-Asfhāni memaknai syafa‟at sebagai bergabung dengan yang lain untuk
memberikan pertolongan. Al-Syaukāni mengartikannya sebagai menghubungkan orang lain kepada
tuannya. Menurut Abu Bakr Jābir al-Jazairi syafa‟at adalah meminta orang lain menjadi perantara
antara dirinya dengan seorang penguasa untuk menyampaikan apa yang ia perlukan. Muhammad Alwy
al-Māliky memaknainya sebagai doa, sementara Abdul Aziz mengartikannya sebagai suatu
pertolongan dari Allah Swt. Selengkapnya lihat: Abu al-Qāsim al-Husain bin Muhammad, Al-
Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān (T.tp: Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.), h. 348, dan Fahruddien,
93
dari kata al-syaf’u (ganda) atau lawan dari kata al-witr (tunggal), yaitu menjadikan
sesuatu yang witr menjadi ganda seperti satu menjadi dua dan tiga menjadi empat.
Sedangkan menurut istilah, syafa‟at berarti memberikan manfaat kepada seseorang
atau menolak mudharat, dalam hal ini yang dimaksud dengan memberikan manfaat
adalah dengan memohonkan ampunan baginya dari dosa-dosanya.13
Pengertian inilah
yang dipercayai oleh kaum muslimin hingga saat ini.
Hal ini tidak sama dengan pemahaman yang dipegangi oleh Hasbi.
Menurutnya, syafa‟at yang dikenal di dunia ini adalah seseorang meminta belas kasih
agar orang yang dimintainya melakukan sebuah perbuatan atau meninggalkan yang
sebaliknya. Sebagai contoh adalah seseorang yang dihukum meminta belas kasih dari
hakim yang menimpakan hukuman terhadapnya. Maka hakim yang adil tidak mau
menerima syafa‟at yang semacam ini. Jika ia memenuhi permohonan dari orang yang
meminta belas kasih agar tidak diberi hukuman padahal sudah terbukti bersalah,
maka ia tergolong hakim yang zolim. Hal seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh
Allah Swt di Hari Akhir nanti.14
Karena irādat Tuhan adalah menurut ilmu-Nya yang
azali tidak dapat di ubah dan digantikan.15
Maka jika seorang manusia yang telah
ditentukan untuk masuk neraka dikarenakan oleh dosa-dosanya, tidak ada seorang
pun yang dapat mengubah ketentuan tersebut.
Lebih lanjut, Hasbi menuturkan maksud dari hadis “Bagi tiap-tiap Nabi ada
permohonannya, maka aku insyā`Allah akan menyimpan doaku untuk syafa’at bagi
umatku di Hari Kiamat” lebih mengarah kepada kenyataan bahwa Allah Swt
memberikan kemuliaan kepada pemohon syafa‟at (para Nabi). Ia mengatakan,
“Para muta`akkhirīn seperti Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa syafa‟at
adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi lalu diperkenankan oleh Allah Sw.
Dan syafa‟at dalam arti ini tidak berarti Tuhan surut (menghentikan) dari
“Syafa‟at dalam al-QUr‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi” (Tesis S2 Pascasarjana IAIN
Surakarta, 2017), h. 31-38. 13
Nurliana Damanik, “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis”, Shahih:
Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2017): h. 72. 14
Manusia sebagai makhluk yang lalai dan tidak luput dari kesalahan tentu dapat melakukan
hal yang zolim, namun mustahil hal tersebut terjadi kepada Allah Swt. Ia adalah zat Yang Maha
Agung dan terhindar dari segala cela. 15
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 408.
94
kehendak-Nya lantaran permintaan seorang pemohon syafa‟at. Hanya saja
melahirkan suatu kemuliaan terhadap pemohon syafa‟at. Tidak ada dalam
syafa‟at ini sesuatu yang memenuhi kerakusan orang-orang yang tertipu
dengan bermudah-mudah dan meringan-ringankan perintah agama karena
berharap akan syafa‟at itu.”16
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi berupaya memahami hadis
dengan cara membandingkan kandungannya dengan ayat al-Qur‟an yang menjelaskan
tema serupa. Jika ternyata kandungannya bertentangan dengan yang dijelaskan oleh
al-Qur‟an maka ia akan lebih memilih untuk berpegang kepada al-Qur‟an.
Demikianlah langkah yang ditempuh Hasbi ketika memahami hadis syafa‟at. ia
menyatakan bahwa syafa‟at tidak akan dapat menyelamatkan manusia dari api neraka
sekalipun Nabi Muhammas Saw yang memintanya kepada Allah Saw, karena irādah-
Nya tidak dapat diubah. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan hadis-hadis
shahih yang menjelaskan tentang syafa‟at? Maka dalam hal ini hendaknya kita
mencermati hal-hal yang menjadi kriteria hadis shahih menurut Hasbi. Selain dari
lima kriteria yang sudah lumrah digunakan oleh para ulama, ia juga menetapkan satu
persyaratan lagi yaitu tidak bertentangan dengan nash mutawātir. Ayat-ayat al-Qur‟an
yang berkenaan dengan syafa‟at tidak dengan tegas menjelaskan mengenai
keberadaannya, dan bahkan pada QS. al-Baqarah: 254 disebutkan bahwa pada Hari
Akhir nanti tidak akan ada jual beli dan syafa‟at. Atas dasar inilah Hasbi kemudian
menunjukkan sikapnya yang menolak keyakinan bahwa manusia dapat diselamatkan
dan dikeluarkan dari neraka kerena syafa‟at dari Nabi Saw.
2. Mentakwil Hadis-hadis Musykīl
Hadis musykīl adalah hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata yang
janggal dan asing sehingga diperlukan ilmu khusus untuk memahaminya yaitu ilmu
musykīl hadīs.17 Salah satu contoh pemahaman Hasbi terhadap hadis musykīl adalah
tentang muslim makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus.
Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
16
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Cet ke-3, Jilid I, h. 409. 17
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Idea Press, 2006), h. 83.
95
عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إن ادلؤمن يأكل يف معى واحد ري ومسلم(وإن الكافر أو ادلنافق يأكل يف سبعة أمعاء )رواه البخا
“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Sesungguhnya
orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan sesungguhnya orang kafir dan
munafik itu makan dalam tujuh usus.”18
ريا, فأسلم فكان يأكل أكل قليل, فذكر عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رجل كان يأكل أكل كث ذلك للنيب صلى اهلل عليو وسلم فقال: إن ادلؤمن يأكل يف معى واحد و الكافر يأكل يف سبعة أمعاء
)رواه البخاري ومسلم(“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Bahwasannya seorang lelaki selalu makan
banyak, maka dia masuk agama Islam lalu dia makan sedikit. Hal tersebut
diterangkan orang kepada Nabi Saw, kemudian beliau bersabda, „Sesungguhnya
orang-orang mukmin, makan dalam satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh
usus.”19
Beberapa kalangan memandang asing bahkan sinis hadis ini karena
redaksinya yang sulit diterima oleh akal. Bagaimana mungkin seorang mempunyai
lebih dari satu usus disaat struktur tubuh manusia semuanya adalah sama, terlepas
dari agama apapun yang ia anut.20
Maka menurut Hasbi hadis ini tidak dapat
dipahami secara tekstual karena merupakan bentuk kiasan. Karenanya hendaklah
hadis tersebut ditakwil. Ia mengungkapkan,
“Maksud hadis ini adalah menggambarkan bahwa orang mukmin merelekan
sedikit yang diperoleh dari harta keduniaan, sedangkan orang kafir berlomba-
lomba mencari keduniaan sebanyak mungkin. Juga memberi pengertian
bahwa para mukmin dianjurkan supaya tidak terlalu banyak makan, karena
yang demikian itu menimbulkan nafsu kebinatangan dan lain-lain yang
menimbulkan kerusakan.”21
18
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 92. 19
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 92. 20
M. Fatih, “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang
Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits,” Progressa Journal of Islamic
Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131. 21
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 93.
96
Dari penjelasan di atas, hadis tentang perbedaan perut mukmin dan kafir
dipahami Hasbi dengan dua makna. Pertama, bahwa orang mukmin hendaknya tidak
tamak dengan kenikmatan duniawi karena ia bersifat fana, dan hal tersebut juga yang
membedakan antara muslim dan kafir karena orang kafir lebih mendahulukan nafsu
duniawi dibanding mengingat akhirat. Kedua, bahwa orang mukmin hendaknya tidak
menganggap makan sebagai tujuan hidup, dengan rakus dan tidak kenal kenyang.
Inilah yang menjadi poin pembeda antara mukmin dan kafir.22
Jika demikian, maka
tidak ada yang perlu diragukan dari hadis tentang perbedaan usus orang mukmin dan
kafir, karena maksud yang ingin disampaikan oleh Nabi Saw bukanlah tentang
perbedaan anatomi susunan tubuh namun perbedaan sifat dan karakter yang dimiliki
oleh keduanya.
Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang tidak ada iman
pada orang yang berbuat maksiat. Hadis tersebut berbunyi:
عن أبو ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال يزن الزان حي ي زن وىو مؤمن وال مؤمن )وزاد يف رواية( وال يشرب اخلمر حي يشرا وىو مؤمن وال يسرق السارق حي يسرق وىو
)رواه البخاري ومسلم( ينتهب ن هبة ذات شرف ي رفع الناس إليو أبصارىم فيما حي ي نتهبها وىو مؤمن
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Tidaklah berzina
seorang pezina, ketika ia berzina sedang ia beriman. Tidaklah sesorang minum
khamar ketika ia meminumnya sedang ia beriman. (dalam riwayat lain ditambahkan)
tidaklah seseorang merampas sesuatu hak orang lain yang mempunyai nilai tinggi,
yang penglihatan manusia tertuju kepadanya, ketika ia merampasnya sedang ia
beriman.”23
Hadis ini merupakan salah satu yang diperselisihkan maknanya oleh para
ulama. Ada yang berpendapat bahwa orang yang bermaksiat telah hilang imannya
22
Dalam memahami hadis pada tema ini, Hasbi juga menyertakan beberapa hadis sebagai
penguat. Salah satunya adalah riwayat yang berbunyi: بع فى اندوياهم أهم انجوع غدا فى األخرة إن أهم انش
“Sesungguhnya orang-orang yang sangat kekenyangan di dunia, itulah orang-orang yang menderita
kelaparan di akhirat”, dan ره كثر مطعمه يقسى قهبه مه ره قم مطعمه ومه قم تفك كثر تفك “Barangsiapa banyak
bertafakkur, niscaya sedikitlah makannya, dan barangsiapa yang sedikit bertafakkur, niscaya
banyaklah makannya dan kesatlah hatinya.” Kedua hadis ini menganjurkan umat Islam untuk tidak
rakus dalam menghadapi makanan dan sederhana dalam meakan merupakan salah satu ciri orang yang
gemar bertafakkur. Lihat: Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 94-95. 23
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 451.
97
sementara sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tidak
sempurnanya imannya dan bukan hilang seluruhnya. Golongan Khawārij menjadikan
hadis ini sebagai salah satu pegangan dalam mengkafirkan para pelaku dosa besar.24
Sementara itu Ibnu Battal (w. 449 H), sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nuh,
mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan ancaman bagi pelaku maksiat. Ia juga
menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan iman dalam hadis tersebut adalah iman
yang sempurna, maka jika seseorang bermaksiat imannya menjadi lebih rendah
dibanding yang terbebas dari melakukannya.25
Dalam memahami hadis ini, Hasbi memandang perlu dilakukan pentakwilan
karena mengingat ada hadis lain yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. (w. 32 H)
bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Lā Ilāha Illa Allah
masuk surga walaupun ia berzina dan walaupun ia mencuri.” Ia juga menampilkan
QS. An-Nisā`: 48, “Bahwasannya Allah tidak mengampuni dosa orang yang
mempersekutukannya dan mengampuni dosa yang selain itu.” Dengan dasar dua nash
ini, Hasbi menuturkan bahwa hadis tersebut tidak dapat dipahami dari zahirnya saja.
Karena baik al-Qur‟an maupun hadis mengatakan hal yang sebaliknya.26
Jika
memang pezina, pencuri dan peminum khamar tercabut iman dari hatinya, maka ia
menjadi kafir, sedangkan orang yang kafir tidak masuk surga. Hal ini tentu
berlawanan dengan kandungan hadis riwayat Abu Dzar dan ayat al-Qur‟an yang telah
disebutkan di atas.
Pada sisi lain Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr aṯ-Ṯhabary (w. 311 H)
menyatakan bahwa makna hadis tersebut adalah dicabutnya semua nama baik (seperti
wal-wali Allah) dari orang yang melakukan maksiat, kemudian dilekatkan gelar
24
Kaum Khawārij meyakini bahwa siapa saja melakukan dosa besar tergolong kafir. Pendapat
ini bermula dari kekecewaan mereka terhadap peristiwa Tahkim hingga kemudian mereka menganggap
kafir semua yang tidak berhukum dengan hukum Allah (QS. al-Mā`idah: 44). Keyakinan ini kemudian
menjadi lebih luas sehingga melingkupi perihal martakib al-kabā`ir (capital sinner), yang juga mereka
golongkan sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam. Zina, mabuk-mabukan dan mencuri
termasuk dosa besar, maka dari itulah mereka menyebut pelakunya sebagai tidak lagi beriman. Mereka
pun menjadikan hadis ini sebagai penguat argumen mereka di samping al-Qur‟an. Selangkapnya lihat:
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet-6 (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), h. 31-32. 25
Muhammad Nuh Siregar, “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat”, Shahih:
Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6. 26
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 169.
98
“pencuri”, “pezina”, “pemabuk” kepada mereka. Hasbi secara pribadi menyatakan
bahwa pelaku maksiat berkurang imannya bukan lenyap seluruhnya. Oleh karena itu
pezina, pencuri, peminum khamar tidak dipandang kafir. Jika mereka bertaubat, maka
gugurlah dosa mereka, namun jika perbuatan tersebut terus-menerus dilakukan maka
itu merupakan urusannya dengan Allah Swt kelak di Hari Akhir.27
Ia menjelaskan,
“Apabila hadis ini dipegangi zahirnya, maka dipahami bahwa pezina kala ia
berzina tercabut daripadanya iman dan tidak dipandang mukmin lagi, dan jika
ditakwilkan makan pezina ketika berzina hanya dipandang kurang imannya.”
Dari dua keadaan ini Hasbi lebih memilih untuk mentakwil hadis tersebut. Ia
juga memberikan makna kepada pencuri, peminum khamar dan pezina dengan
perbuatan-perbuatan lain yang menurutnya masih dalam kategori yang sama.
Menurutnya, hadis ini mencakup segala rupa maksiat. Zina yang dimaksud dari hadis
pada pembahasan ini mencakup semua syahwat. Pencurian meliputi segala
kegemaran pada keduniaan dan haus pada barang yang haram. Khamar mencakup
semua yang menghambat manusia dari mengingat Allah Swt dan menyebabkan lalai
dari menunaikan hak-hakNya.28
Maka sekalipun perbuatan maksiat seperti berzina,
mencuri dan meminum khamar tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetap
saja harus dihindari. Termasuk hal-hal yang merupakan indikasi-indikasi dari ketiga
perbuatan tersebut, juga harus dijauhi dan ditinggalkan.
Selanjutnya adalah pemahaman Hasbi terhadap hadis tentang Nabi Musa
memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Disebutkan dalam sebuah
riwayat:
و وت إىل موسى عليهم السلم. فلما جاءه صك
ف فقأ عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أرشل ملك ادلنو فرجع إ نو وقال: ارجع فقل لو يضع عي ىل ربو.فقال: أرسلتين إىل عبد ال يريد ادلوت. ف رد اهلل عليو عي
يده على مت ث ور. فلو بكل ما غطت بو يدىبكل شعرة سنة. قال: أي ريب! ث ماذا؟ قال: ث ادلوت.
27
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 170. 28
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 171.
99
قدسة رمية حبجر. قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو قال: فاآلن.
فسأل اهلل أن يدنيو من األرض ادلره إىل جانب الطريق عند الكثيب األحر )رواه البخاري ومسلم( وسلم: ف لو كنت ث ألري تكم قب
“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, „Malaikat maut diutus untuk mendatangi
Nabi Mūsa. Ketika sampai di tempatnya Mūsa, beliau memukul malaikat itu, sampai
lepas matanya. Kemudian Malaikat ini kembali menemui Rabbnya. Ia mengadu,
„Engkau mengutusku untuk menemui hamba yang tidak menghendaki kematian.‟
Kemudian Allah mengembalikan matanya, dan berfirman, „Kembali temui Mūsa,
sampaikan kepadanya, „Silahkan dia letakkan tangannya di punggung sapi, maka usia
Mūsa akan ditambahkan sejumlah bulu yang ditutupi tangannya, setiap satu bulu
dihitung satu tahun.‟ Mūsa bertanya, „Wahai Rabbku, lalu setelah itu apa yang
terjadi?‟ Allah menjawab, „Setelah itu, mati.‟ Mūsa berkata, „Kalau begitu, sekarang
saja.‟ Lalu Musa memohon kepada Allah agar didekatkan ke tanah suci (Baitul
Maqdis), sejauh lemparan sebuah batu‟, Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw
bersabda, „Sekiranya aku berada disana, tentulah aku perlihatkan kuburannya di
pinggir jalan di sisi tumpukan pasir merah‟.”29
Sebagian ulama kontemporer memandang hadis di atas sebagai hadis musykil
karena redaksinya yang dianggap sulit diterima oleh akal sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.30
Malaikat merupakan makhluk mulia dan
mempunyai kedudukan yang istimewa karena ketaatannya kepada Allah Swt.31
Pada
sisi lain, bagaimana mungkin seorang Nabi yang merupakan manusia pilihan
melakukan aksi seperti memukul malaikat hingga matanya terlepas. Beberapa
keadaan yang diceritakan di dalam hadis tersebut memerlukan penjelasan lebih
mendalam agar kandungannya tidak disalahpahami. Hasbi menjelaskan hadis ini
dengan cara mentakwilnya. Ia mengatakan,
“Dan dapat juga hadis ini kita takwil. Maksudnya, Mūsa dapat mengalahkan
hujjah malaikat maut dalam perdebatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
Allah mengembalikan mata malaikat maut adalah memenangkan hujjahnya
atas hujjah Mūsa.”32
29
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 552. 30
Nizar Ali, Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil (Yogyakarta: Penerbit
Teras, 2008), h. 72. 31
Abd Kahar, “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an”, JPIK 1,
No. 2 (September 2018): h. 286. 32
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 560.
100
Namun Hasbi juga tampaknya tidak begitu teguh dengan pendapatnya karena
pada penjelasan lebih lanjut terhadap hadis ini ia juga menyebutkan bahwa Nabi
Mūsa mengira yang datang menemuinya adalah manusia yang hendak berbuat jahat
kepadanya. Maka karena itulah ia memukul wajah orang yang datang menemuinya
tersebut.33
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Hasbi tidak memahami hadis musykīl
secara tekstual. Ia memahaminya dengan memalingkan makna zahirnya kepadanya
makna yang lebih tepat dan lebih dapat diterima. Hasbi membedakan kandungan
hadis yang bermakna sebenarnya dengan makna yang berbentuk kiasan. Langkah ini
juga digunakan oleh ulama hadis yang lain, seperti Yūsuf al-Qarḏāwi. Di dalam salah
satu karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul
“Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw” ia juga menyebutkan metode tersebut.34
Untuk memahami hadis-hadis yang tidak bermakna hakiki atau mengandung kiasan,
hendaklah ditakwil. Demikian yang dijelaskan oleh Hasbi dan Yūsuf al-Qarḏāwi.
Adapun takwil secara bahasa berasal dari kata ala-ya`ūlu-aulan ( - ال – يأول
yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah, takwil adalah mengembalikan (اوال
atau memalingkan makna harfiyah sebuah teks kepada maknanya yang
tersembunyi.35
Hasbi menuturkan bahwa jika ditemukan pertentangan antara akal dan
naql maka jalan yang harus ditempuh adalah takwil bagi naql. Untuk mendukung
penyataannya tersebut ia mengutip perkataan Ibnu Rusyd (w. 594 H) di dalam Fashl
Maqāl, “Jika syara‟ menurut lahirnya berlawanan dengan akal, hendaklah
ditakwilkan.” Dalam proses takwil, Hasbi memberikan beberapa rambu-rambu yang
harus diingat dan dipatuhi, yaitu: a) Tidak boleh menafsirkan nash sekedar agar
menyesuaikannya dengan akal tanpa memperdulikan riwayat yang shahih b) Takwil
hanya boleh diterapkan pada nash-nash selain sifat Tuhan dan aqā`id karena nash
33
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 558. 34
Kitab aslinya berjudul Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnati al-Nabawiyyah dan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan juga telah beberapa diterbitkan. Adapun penjelasan
Yūsuf al-Qarḏāwi mengenai metode membedakan makna hakiki dan kiasan, lihat: Yūsuf al-Qarḏāwi,
Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Penerjemah Muhammad al-Baqir, Cet- 4 (Bandung: Karisma,
1995), h. 167-188. 35
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 7 (Jakarta: Lentera hati, 2006), h. 353.
101
tentang kedua hal tersebut harus dipahami sesuai dengan pemahaman salaf, sahabat
dan tabi‟in c) Takwil boleh diterapkan terus-menerus pada nash-nash yang tidak
berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, asalkan tidak merusak suatu ketetapan
syara‟ yang sudah jelas dan tegas hukumnya.36
Maka dari pernyataan Hasbi di atas, telihat bahwa menurutnya ada beberapa
hal yang menjadikan sebuah hadis digolongkan sebagai hadis musykīl sehingga
menghendaki pentakwilan, antara lain: Pertama, ketika redaksinya sulit untuk
diterima akal. Contohnya ia mentakwil Hadis tentang muslim makan dengan satu
usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus karena hal tersebut dan hadis tentang
Nabi Musa As. memukul malaikat maut yang datang menemuinya. Kedua, ketika
redaksinya tidak satu alur dengan yang dijelaskan oleh hadis yang lain.37
Hal ini
tergambar dari pemahamannya terhadap hadis tentang tidak ada imam di dalam hati
para pemaksiat (pezina, pencuri dan peminum khamar).
3. Merujuk pada Sejumlah Referensi
Dalam memahami hadis, Hasbi banyak merujuk kepada pendapat-pendapat
para ulama. Langkah ini sebenarnya tidak hanya diterapkan oleh Hasbi, namun juga
oleh kebanyakan ulama lainnya. Seperti halnya Ibnu Hajr al-Asqalāni di dalam Fath
al-Bāri, tidak jarang beliau mengutip pendapat dari ulama lain sebagai referensi.38
Adapun Hasbi dalam memahami hadis merujuk kepada pendapat-pendapat para
fuqahā` seperti imam mazhab yang empat. Di samping itu ia juga mengutip perkataan
muhadditsīn seperti Ibnu Hajar (w. 852 H) dan al-Nawawi (w. 676 H). Bahkan dapat
dikatakan bahwa Hasbi sangat menjadikan dua ulama ini sebagai panutan, karena
hampir pada setiap penjelasan hadis, pendapat dari dua ulama ini tidak pernah
36
N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 37
Namun tidak semua hadis yang semacam ini harus ditakwil karena Hasbi juga menawarkan
metode lain jika sebuah hadis redaksinya tampak bertentangan dengan hadis yang lain. Hal ini akan
akan dijelaskan pada pembahasan tersendiri. 38
Sebagai contoh Ibnu Hajar merujuk kepada pendapat Imam al-Syāfi‟i, Ahmad bin Hanbal,
Ishāq bin Rāhawaih dan lain-lain yang dinukil oleh Abu al-Qāsim al-Lālikā‟i di dalam Kitāb al-
Sunnah. Ia juga merujuk kepada pendapat Sufyān al-Tsaury, Mālik bin Anas al-Auzā‟i dan ulama-
ulama fikih lainnya yang dinukil oleh Abd al-Razzāq di dalam musannaf-nya. Lihat: Ahmad bin Ali
bin Hajr al-Asqalāni, Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri, Jilid 1 (Riyāḏ: Dār al-Ṯibah, 2005), h.
95.
102
ketinggalan. Ia juga merujuk kepada pendapat ulama seperti Ibnu Qudamah (w. 629
H), al-Baghāwi (w. 516 H) dan Ibnu Daqīq al-Īed (702 H).
Pemahaman Hasbi terhadap hadis dengan merujuk kepada berbagai referensi
atau pendapat para ulama tercermin dari penjelasannya terhadap hadis tentang
kewajiban shalat Jum‟at. Penjelasannya tentang shalat Jum‟at sedikit berbeda dengan
yang menjadi keyakinan umat Islam kebanyakan. Selama ini, pemahaman yang
berkembang di masyarakat, terutama di Indonesia, adalah shalat Jum‟at wajib untuk
laki-laki dengan jama‟ah harus lebih dari 40 orang.39
Di samping itu, khotbah
merupakan salah satu rukunnya dan siapa saja yang benar-benar memiliki uzur atau
halangan untuk tidak shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, maka ia melaksanakan
shalat Zuhur.
Namun hal ini sangat berbeda dengan penjelasan yang dikemukakan oleh
Hasbi. Menurutnya, pada hari Jumat tidak ada shalat Zuhur empat rakaat karena
sudah diganti oleh shalat Juma‟at dua rakaat.40
Shalat Jum‟at diwajibkan untuk semua
kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Jika berhalangan tidak ke masjid,
maka tidak mengapa melakukannya sendirian di rumah karena mendengarkan
khotbah bukanlah rukun dan syarat dari shalat Jumat. Jadi, bagi siapa yang tidak
sempat melaksanakan shalat Jumat di masjid, ia boleh shalat dimanapun ia bisa, dan
bukan shalat Zuhur tapi shalat Jumat. Berkenaan dengan hal ini Hasbi berkata:
“Sesungguhnya jama‟ah shalat Jum‟at itu tidak diisyaratkan mempunyai
bilangan tertentu. Perbedaan antara jama‟ah Jum‟at dengan jama‟ah yang lain-
lain hanyalah pada khutbah saja. Karena itu, wajiblah atas tiap-tiap
segolongan manusia mendirikan shalat Jum‟at, dimana saja ia berada. Dan
tidak boleh seseorang mengundurkan diri dari jama‟ah Jum‟at dan tidak boleh
mendirikan Zuhur hanya karena bilangan jama‟ahnya tidak banyak. Juga tidak
boleh mendirikan Zuhur sesudah ber-Jum‟at yang dikerjakan dengan bilangan
yang tidak cukup banyak itu (40 orang). Tidak dapat diragui bahwa
mengerjakan shalat Zuhur sesudah shalat Jum‟at atas jalan ikhtiyāṯ, adalah
39
Pendapat ini disandarkan pada ajaran Mazhab Syafi‟i yang banyak dipakai oleh masyarakat
Indonesia. Sedangkan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa minimal jumlah jama‟ah adalah tiga orang,
Mazhab Maliki dua belas orang. Menurut Ibnu Hajr terdapat lima belas pendapat, dan yang paling
banyak adalah delapan puluh jama‟ah. Lihat: Ali Abubakar, “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil
dan Pendapat Ulama”, Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171. 40
N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 179.
103
bid‟ah muhdatsah. Orang yang mengerjakannya berdosa karena yang
demikian berarti menambahkan agama.”41
Mengenai kewajiban shalat Jum‟at, Hasbi menampilkan beberapa hadis,
antara lain sebagai berikut:
ع النداء )رواه أبو داود( عن عبد اهلل بن عمر قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلمعة على من س“Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at itu wajib bagi
mereka yang mendengar seruan (azan).”42
)رواه الشوكان يف عن حفصة قالت: إن النيب صلى اهلل وسلم قال: رواح اجلمعة واجب على كل متلم ضية(
الدرر ادل
“Dari Hafsah ia berkata, bahwasannya Nabi Saw bersabda: Pergi ke Jum‟at itu
wajib bagi mereka yang sudah bermimpi (sudah sampai umur).”43
Dari dua hadis di atas, Hasbi menjadikannya dalil dari diwajibkannya shalat
Jum‟at untuk masing-masing pribadi muslim sebanyak dua raka‟at. Pemahaman ini ia
sandarkan kepada hadis Umar, “Sembahyang Jum‟at dua raka‟at, sembahyang
musafir dua raka‟at, sempurna bukan qashar.” Ia juga mengatakan bahwa tidak
mengapa tidak melakukannya secara berjam‟ah jika memang berhalangan, namun
tetap harus melaksanakannya ketika sendirian. Hasbi sendiri telah menyatakan bahwa
shalat Jum‟at dinamakan shalat Jum‟at bukan karena dilaksanakan secara berjama‟ah
tapi karena ia dilakukan pada hari Jum‟at. Sehingga sekalipun tidak dilakukan secara
berjama‟ah, tidak apa-apa.44 Ia mengatakan,
“Sebab dinamai shalat Jum‟at dengan shalat Jum‟at ialah karena kita
mengerjakannya pada hari Jum‟at, sebagaimana halnya „Ied. Dinamainya
dengan shalat „Ied disebabkan kita mengerjakannya pada hari „Ied (raya).”45
41
Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 389. 42
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974), h.
209. 43
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 209. 44
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 218. 45
Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393.
104
Pendapatnya mengenai kebolehan melaksanakan shalat Jum‟at sendirian ia
kuatkan dengan mengutip pentahqiqan yang dilakukan oleh Muhammad Ahmad
Syakir (w. 1377 H), yaitu jama‟ah bukanlah syarat sah shalat Jum‟at, hanya saja jika
dengan sengaja meninggalkan jama‟ah padahal tidak ada halangan maka orang
tersebut akan berdosa. Lebih lanjut Hasbi menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak
menghadiri jama‟ah Jum‟at ke masjid, hendaklah ia mengerjakan dua raka‟at juga
(shalat Jum‟at sendirian). Karena menurutnya, “Tidak ada hadis –walau satupun-
yang menyuruh mengerjakan Zuhur karena tidak menghadiri jama‟ah Jum‟at.” Hasbi
juga menambahkan, “Jika saja ada yang mengatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah
melakukan shalat Jum‟at dengan tidak berjama‟ah, yang demikian itu menunjukkan
bahwa wajib berjama‟ah, maka kami akan menjawab, „Shalat fardhu yang lain pun
tidak pernah Nabi Saw lakukan dengan tidak berjama‟ah, apakah berjama‟ah menjadi
syarat sahnya?‟.”46
Di samping itu, Hasbi juga menjelaskan sebuah hadis tentang orang-orang
yang gugur dari kewajiban shalat Jum‟at berjama‟ah. Hadis tersebut berbunyi sebagai
berikut:
عن طارق بن شهاب قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: اجلمعة حق واجب على كل مسلم يف مجاعة إال أربعة, عبد مملوك أو امرأة أو صيب أو مريض
“Dari Ṯāriq bin Syihāb ia berkata, Nabi Saw bersabda: Jum‟at adalah hak
yang wajib (tugas yang diberatkan) kepada setiap muslim dalam berjama‟ah, kecuali
empat golongan yaitu budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang
sakit.”47
Menurut Hasbi, potongan hadis yang berbunyi “Jumat itu hak wajib bagi tiap-
tiap muslim dalam berjama‟ah kecuali bagi empat golongan yaitu hamba sahaya,
wanita, anak kecil dan orang sakit” menunjukkan bahwa mereka tidak wajib untuk
shalat Jum‟at berjama‟ah di masjid, bukan berarti tidak wajib mengerjakan Jum‟at.48
Karena yang dipahami oleh Hasbi bahwa shalat Jum‟at adalah wajib bagi seluruh
46
Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11, h. 393. 47
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 210. 48
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 219.
105
kaum muslimin, sehingga sekalipun ada golongan yang dikecualikan oleh Nabi Saw
dari kewajiban untuk berjama‟ah, tetap wajib untuk mendirikannya di manapun ia
berada dan dalam kondisi apapun yang sedang ia hadapi.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa hal yang dipahami
Hasbi dari hadis-hadis tentang shalat Jum‟at adalah: Pertama, hukum shalat jum‟at
adalah wajib ‘ain.49
Kedua, shalat Jum‟at adalah pengganti Shalat Zuhur pada hari
Jum‟at, jadi seandainya seseorang berhalangan tidak dapat berjama‟ah maka orang
tersebut wajib shalat Jum‟at dan hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Ketiga, khutbah bukanlah rukun shalat Jum‟at, jadi tidak mengapa jika shalat Jum‟at
dilakukan tidak berjama‟ah jika sedang mempunyai uzur sehingga tidak dapat
melaksanakannya secara berjama‟ah. Keempat, menurut Hasbi yang dimaksud
dengan empat golongan yang dikecualikan dari perintah untuk shalat Jum‟at adalah
mereka yang tidak berkewajiban untuk melaksanakan shalat Jum‟at secara
berjama‟ah namun tetap wajib melaksanakannya di rumah.
Dalam memahami hadis dengan tema shalat Jum‟at ini, Hasbi juga merujuk
kepada pendapat beberapa ulama seperti Ibnul Mundzir (w. 319 H) yang mengatakan
bahwa shalat Jum‟at adalah fardhu „ain. Pada sisi lain Al-Khaṯṯābi (w. 388 H)
menyatakan bahwa di antara para ulama ada yang menetapkan hukum shalat Jum‟at
sebagai fardhu „ain dan ada juga yang fardhu kifayah. Kebanyakan fuqaha‟ yang
menetapkan fardhu kifāyah adalah dari pendapat Syafi‟iyah dalam al-Qadim. Dengan
menyandarkan pendapatnya kepada Ibnul Araby (w. 543 H), Hasbi membantah
pernyataan dari al-Khaṯṯābi (w. 388 H) mengenai kalimat “kebanyakan ulama”,
karena menurutnya imam yang empat telah muwāfakat menetapkan bahwa shalat
Jum‟at adalah fardhu „ain walaupun masing-masingnya mempunyai syarat-syaratnya
tersendiri. Hasbi mengatakan,
49
Wajib ‘ain adalah suatu kewajiban untuk mengerjakan perintah Allah Swt dan wajib mutlak
harus dilakukan oleh tiap-tiap individu muslim. Contoh amalan yang hukumnya wajib „ain adalah
shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Di samping itu juga dikenal istilah wajib kifayah yang
merupakan suatu kewajiban yang tidak menghendaki seluruh individu untuk melakukannya, jika pada
suatu lingkungan ada sebagian orang yang melaksanakannya maka hal tersebut sudah cukup. Contoh
amalan yang hukumnya wajib kifayah adalah mengurus jenazah hingga menguburkannya dan
membersihkan masjid.
106
“Menurut penyelidikan kami sesudah memperhatikan pendapat-pendapat
fuqaha` dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan masalah ini,
bahwasannya Jum‟at itu diwajibkan atas tiap-tiap pribadi (mukallaf) sebanyak
dua rakaat, baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun dikerjakan atas
berjama‟ah. Jum‟at itu bukanlah diwajibkan atas jama‟ah saja, tetapi
diwajibkan atas masing-masing pribadi, dalam arti baik dikerjakan sendiri-
sendiri ataupun dikerjakan berjama‟ah, tetap dikerjakan sebanyak dua
raka‟at.”50
Dari pernyataan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa menurutnya jika
seseorang tidak mengerjakan shalat Jum‟at berjama‟ah maka harus menggantinya
dengan shalat dua raka‟at sendirian.51
Pendapat ini ia sandarkan kepada pentahqiqan
ulama yang ia kutip untuk memperkuat penjelasannya. Maka di sini tampak bahwa
salah satu metode yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis adalah dengan
merujuk pada beberapa referensi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa ijtihad-ijtihad
yang dilakukan oleh para ulama sangat membantu proses pemahaman hadis, terutama
dengan membandingkan satu perndapat dengan pendapat lainnya untuk menemukan
yang lebih tepat dan mendekati kebenaran.
4. Mengkompromikan Hadis-hadis Mukhtalīf
Hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw tidak semuanya dapat langsung
dipahami dengan melihat redaksinya saja, ada sebagian darinya yang memerlukan
kajian lebih lanjut dan mendalam. Salah satu hadis yang harus dikaji secara
mendalam adalah hadis-hadis yang terlihat bertentangan atau hadis mukhtalīf. Kajian
terhadap hadis mukhtalīf mendapat sorotan lebih dari para ulama, tercermin dari
upaya mereka dalam melahirkan karya-karya pada bidang tersebut.52 Adapun
mengenai definisinya, hadis mukhtalif diartikan sebagai hadis maqbūl yang
redaksinya kontradiktif dengan hadis maqbūl lainnya dan memungkinkan untuk
50
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 217. 51
Ridwan Hasbi, “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi,” Jurnal Ushuluddin 18, No.
1 (Januari 2012): h. 78. 52
Banyak kitab dalam bidang ilmu mukhtalīf hadīs yang ditulis oleh para ulama, seperti
Ikhtilāf al-Hadīs karya Imam al-Syāfi‟i, Takwīl Mukhtalīf al-Hadīs karya al-Hāfiz Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainawari, Musykil al-Atsar karya al-Ṯahawi dan Musykil al-Hadis wa
Bayānuhu karya Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode
Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 208-209.
107
dikompromikan.53 Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga kriteria
yang menjadi patokan sehingga digolongkan sebagai hadis mukhtalīf yaitu
kontradiktif secara lahiriah, merupakan hadis yang maqbūl dan memungkinkan untuk
dikompromikan.
Para ulama berupaya memberikan alternatif dalam penyelesaian hadis yang
bertentangan. Beberapa metode yang mereka tawarkan antara lain adalah Al-jam’u wa
al-taufīq, al-naskh, al-tarjīh dan al-tawaqquf.54 Metode al-jam’u yaitu
pengkomromian antara hadis-hadis yang berlawanan dengan cara mentakhsis hadis
yang umum atau mentaqyidkan yang mutlak.55 Adapun metode al-naskh dilakukan
dengan cara meneliti sejarah datangnya dua hadis yang bertentangan kemudian hadis
yang diketahui datang terlebih dahulu akan mansūkh atau dihapus.56 Selanjutnya
metode al-tarjīh dilakukan dengan membandingkan dalil-dalil dari kedua hadis yang
tampak bertentangan untuk mengetahui di antara keduanya mana yang lebih kuat dan
dapat diunggulkan.57 Metode yang terakhir adalah al-tawaqquf atau meninggalkan
untuk beristidlal dengan kedua hadis yang bertentangan dan pindah beristidalal
dengan hadis yang lain. Metode ini hanya dilakukan ketika metode satu, dua dan tiga
tidak dapat diterapkan, namun ini sangat jarang terjadi.58
53
Mahmūd Al-Ṯahhān, Taisīr Musṯalāh al-Hadīs, (Singapura: Al-Haramain, 1980), h. 56. 54
Muhammad Misbah, “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi
Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid”, Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108. 55
Salah satu contoh dari penerapan metode ini adalah pada hadis tentang pencurian. Hadis
pertama berisi tentang seorang pencuri telur dan tali dipootng tangannya, sedangkan hadis kedua berisi
tentang pencuri yang mencapai ¼ dinar dipotong tangannya. Kedua hadis ini tidak bertentangan, jika
dikompromikan maka hadis kedua membatasi kemutlakan hadis pertama. Lihat: Khon, Takhrij dan
Metode Memahami Hadis, h. 200. 56
Contoh dari penerapan metode ini adalah hadis tentang pelarangan menyimpan daging
kurban selama lebih dari tiga hari dan kemudian Nabi Saw membolehkannya. Larangan tersebut telah
mansūkh karena dinaskh oleh pernyataan Nabi Saw tentang kebolehannya. Lihat: Khon, Takhrij dan
Metode Memahami Hadis, h. 201. 57
Contoh penerapan metode ini adalah hadis tentang puasa ketika belum mandi junub saat
subuh. Hadis-hadis tentangnya tampak bertentangan karena riwayat pertama (dari Abu Hurairah)
menjelaskan bahwa tidak sah puasa seseorang yang pada waktu subuh mandi wajib. Sementara riwayat
kedua (dari Aisyah) menyatakan bahwa Nabi Saw pernah mandi junub saat subuh dan siangnya
berpuasa Ramadhan. Ulama mengunggulkan hadis dari Aisyah dengan alasan Aisyah sebagai istri
Nabi Saw tentu lebih mengetahui perihal apa saja yang dilakukan oleh suaminya. Lihat: Khon, Takhrij
dan Metode Memahami Hadis, h. 204. 58
Contohnya adalah hadis tentang membaca basmalah di waktu shalat ketika membaca al-
Fātihah. Pada hadis pertama disebutkan bahwa Nabi Saw tidak membaca basmalah dan memulai al-
Fātihah dengan alhamdulillāhi rabbil’ālamīn. Sementara hadis kedua menerangkan bahwa Nabi Saw
108
Salah satu hadis yang ia selesaikan dengan metode al-jam’u adalah hadis
tentang penyakit menular pada unta. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
ة, عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: ال عدوى وال صفر وال ىامنها فقال أعريب: يا ر األجرب ف يدخل ب ي ا الظباء, ف يأت البعي رسول اهلل فما بال إبلى تكون ىف الرمل كأن
ل؟ )رواه البخاري ومسلم( ف يجرا؟ فقال: فمن أعدى األو
“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda, „Tidak
ada penularan, tidak ada cacing dan tidak ada burung hantu‟, seorang Arab dusun
bertanya, „Wahai Rasulullah, mengapakah unta-untaku yang berada di padang pasir
seolah-olah dia binatang kijang, kemudian datanglah unta yang berkurap lalu
mencampurinya dan menumbuhi kurap padanya?‟, Nabi Saw menjawab, „Maka siapa
yang menimbulkan penyakit terhadap yang pertama?‟.”59
Poin penting yang digaris bawahi oleh Hasbi dari hadis di atas adalah Nabi
Saw menyatakan bahwa tidak ada istilah penularan penyakit pada unta, karena jika
memang penyakit itu dapat menular, maka siapa yang menularkan penyakit kepada
unta yang membawa penyakit pertama kali? Namun pada hadis lain disebutkan
bahwa Nabi Saw melarang seseorang membawa untanya yang sakit berbaur dengan
unta yang sehat, seolah-olah beliau memberitahu jika unta-unta tersebut berbaur maka
akan terjadi penularan. Hadis yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:
عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال ي وردن ممرض على مصح )رواه البخاري ومسلم(
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda, „Janganlah orang yang
mempunyai unta yang berpenyakit membawa untanya kepada orang yang mempunyai
unta yang sehat‟.”60
membaca dengan keras basmalah di awal al-Fātihah. Kedua riwayat ini tidak dapat ditarjih karena
redaksinya yang sama-sama berbunyi “Aku shalat di belakang Nabi…” Jika saja salah satu riwayat
tidak menyebutkannya maka mungkin tarjih bisa dilakukan. Namun karena kenyataannya kedua
riwayat masing-masing menyebutkannya maka hadis-hadis tersebut dibiarkan (tawaqquf). Lihat: Khon,
Takhrij dan Metode Memahami Hadis, h. 205-207. 59
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320. 60
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 320.
109
Kedua hadis di atas statusnya adalah shahih, namun lahir teksnya
menunjukkan pertentangan. Maka untuk menyelesaikannya Hasbi menggunakan
metode kompromi. Ia menjelaskan,
“Lahir hadis ini berlawanan dengan hadis yang telah lalu, sedang keduanya
adalah shahih. Karena itu perlu kita kumpulkan. Maka cara
mengumpulkannya adalah, hadis pertama menetapkan bahwa penyakit-
penyakit itu tidak berpindah dengan sendirinya. Sementara hadis kedua
menetapkan bahwa agama menghendaki supaya kita menjauhkan diri dari
sesuatu yang dapat menghasilkan kemelaratan dengan qadar Allah, supaya
apabila kebetulan kita menjadi sakit sesudah bercampur dengan orang sakit
tidaklah tumbuh kepercayaan bahwa percampuran itu yang menyebabkan kita
sakit, sehingga menimbulkan penyesalan yang tidak habis-habisnya.”
Dari penjelasan Hasbi di atas dapat dipahami bahwa dua hadis di atas tidaklah
bertentangan. Nabi Saw menyampaikan larangan agar tidak membawa unta yang
sakit berbaur dengan unta yang sakit bertujuan agar umat Islam tidak mempunyai
kepercayaan bahwa “penyakit itu menular” jika pada akhirnya unta yang sehat
menjadi ikut sakit. Itu adalah bentuk antisipasi dari Nabi Saw karena pada waktu itu
berkembang di masyarakat kepercayaan bahwa penyakit itu dapat ditularkan dari satu
individu kepada individu yang lain. Maka tidak ada pertentangan antara hadis
pertama dan kedua, karena pada intinya tidak ada penyakit yang menular.
Metode al-jam’u juga diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis tentang
perkara yang pertama kali dihisab di akhirat. Pada riwayat pertama disebutkan,
“Perkara yang pertama kali dihisab di antara manusia pada Hari Kiamat adalah
perkara darah.” Sementara pada riwayat kedua disebutkan, “Perkara yang pertama
kali dihisab dari seoarang hamba adalah shalatnya.” Jika dibaca dari redaksinya saja,
sebagian orang mungkin akan terperangkap dalam dugaan-dugaan bahwa kedua hadis
tersebut bertentangan, padahal pada hakikatnya tidak. Menurut Hasbi, hadis tersebut
tidaklah bertentangan, karena hadis pertama merupakan hisab pertama yang terjadi
antara manusia dengan manusia, sedangkan hadis kedua adalah hisab pertama antara
110
manusia dalam kedudukannya sebagai hamba dengan Allah Swt. Oleh karena itu
sangat penting untuk membaca redaksi hadis secara teliti.61
Metode yang sama juga digunakan oleh Hasbi dalam menyelesaikan hadis
tentang jangka waktu pengembalian luqatah (barang temuan). Pada hadis pertama
disebutkan:
وسلم فسألو عن اللقطة عن زيد بن خالد رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو فقال: اعرف عفاضها ووكاءىا, ث عرفها سنة, فإن جاء صاحبها واال فشأنك ا, قال: فضالة الغنم؟
ئب. فضالة اإلبل؟ قال: ما لك وذلا؟ معها سقاؤىا وح ذائها, ترد ادلاء قال: ىي لك أو ألخيك أو للذا )رواه البخاري ومسلم( وتاكل الشجر حت ي لقاىا ر
“Dari Zaid bin Khālid r.a. ia berkata: Seorang lelaki pernah datang menemui
Nabi Saw dan menanyakan tentang luqaṯah, maka beliau bersabda, „Kenalilah
kantong dan talinya, lalu umumkanlah selama setahun. Jika datang pemiliknya (maka
berikanlah), jika tidak, maka itu terserahmu.‟ Lelaki tersebut bertanya lagi, „Lalu
bagaimana dengan kambing yang hilang?‟ Beliau menjawab, „Itu untukmu, untuk
saudaramu atau untuk serigala.‟ Ia bertanya lagi, „Lalu bagaimana dengan unta yang
hilang?‟ Beliau menjawab, „Apa urusanmu dengannya, sesungguhnya ia memiliki
tempat airnya dan sepatu kakinya, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan
pepohonan sehingga ditemui oleh pemiliknya‟.”62
Sementara itu pada hadis kedua disebutkan:
وجدت صرة على عهد النيب صلى اللو عليو وسلم فيها مائة دينار عن أيب بن كعب رضي اهلل عنو قال: لى اللو عليو وسلم ف قال عرف ها حوال ف عرف ت ها حوال ث أت يت ف قال عرف ها حوال فأت يت ا النيب ص
ت ها ووكاءىا ل اع ف عرف ت ها حوال ث أت يتو ف قال عرف ها حوال ف عرف ت ها حوال ث أت يتو الرابعة ف قا رف عد )رواه البخاري ومسلم( ووعاءىا فإن جاء صاحب ها وإال استمتع ا
“Dari Ubay bin Ka‟an r.a. ia berkata: Di zaman Nabi Saw aku pernah
menemukan bungkusan berisi uang seratus dinar lalu aku menemui Nabi Saw dengan
membawa barang tersebut, maka beliau berkata, „Umumkanlah (agar diketahui orang)
selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun. Kemudian aku datangi lagi
beliau dan beliau berkata, „Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan
selama setahun lagi. Kemudian aku datangi lagi beliau dan beliau berkata,
61
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 49-50. 62
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 142.
111
„Umumkanlah selama satu tahun.‟ Maka aku lakukan selama setahun lagi. Kemudian
aku temui beliau untuk yang keempat kali lalu beliau berkata, „Kenalilah jumlah
isinya dan bungkusan serta penutupnya, nanti bila ada yang datang sebagai
pemiliknya berikanlah namun bila tidak ada yang datang maka nikmatilah‟.”63
Pada hadis pertama dijelaskan bahwa menurut jawaban Nabi Saw atas
pertanyaan sahabat, jika sudah ditemukan selama setahun dan tidak ada pemiliknya
yang mencarinya maka barang tersebut boleh disimpan. Sedangkan pada hadis kedua,
seorang sahabat baru bertanya kepada Nabi Saw selama empat tahun berturut-turut
dan disuruh untuk menunggu pemiliknya mencarinya. Baru pada tahun yang keempat
Nabi Saw memperbolehkannya untuk menyimpannya. Redaksi dari dua hadis ini
bertentangan karena perbedaan dalam jangka waktu sehingga barang temuan dapat
disimpan atau dimiliki. Namun menurut Hasbi, pada hakikatnya hadis-hadis tersebut
tidak bertentangan. Ia mengatakan, “Untuk mempertemukan dua hadis yang tersebut
ini, kita dapat mengatakan bahwa satu tahun adalah batas minimum, sedangkan tiga
tahun adalah batas maksimun.”64
Dengan demikian, kedua hadis tersebut tidak
bertentangan, hanya saja salah satunya mentaqyidkan yang lainnya.
Dalam memahami hadis-hadis yang bertentangan tampaknya Hasbi hanya
fokus pada satu metode saja, yaitu al-jam’u atau kompromi. Penulis tidak
menemukan metode lain yang ia gunakan untuk menyelesaikan hadis yang
bertentangan di dalam karyanya selain dari metode kompromi. Hal ini cukup berbeda
dengan ulama-ulama hadis yang lain, yang biasanya memberikan beberapa metode
dalam memahami hadis yang kontradiktif. Seperti Imam al-Syāfi‟i yang menawarkan
empat langkah penyelesaian yang dimulai dengan kompromi, al-naskh, al-tarjīh dan
al-tawaqquf.
5. Memahami Hadis dengan Berbagai Pendekatan
Dalam mengkaji hadis diperlukan seperangkat instrument seperti pendekatan-
pendekatan yang ditawarkan oleh para ulama untuk membantu proses
pemahamannya. Sebagaimana diketahui, hadis disampaikan oleh Nabi Muhammad
63
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 143. 64
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid 6, 1979, h. 146.
112
Saw lebih kurang empat belas abad yang lalu kepada kaum muslimin di wilayah
Jazirah Arab. Riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Saw semuanya disampaikan
berbahasa Arab, sehingga untuk memahaminya tidak dapat luput dari aturan-aturan
yang berlaku dalam bahasa Arab. Selain memahami ilmu bahasa, seorang pengkaji
hadis juga perlu memperhatikan konteks sejarah ketika hadis disampaikan oleh Nabi
Saw,65
dengan demikian keshahihan hadis tidak hanya dilihat dari satu segi saja,
namun juga dari perspektif yang lain.66
Maka dalam hal ini dikenal istilah pendekatan
historis yaitu dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi
sebuah hadis. Di samping itu, pendekatan-pendekatan lain seperti sains dan
antropologis juga turut mewarnai perkembangan kajian pemahaman hadis seiring
dengan berputarnya roda zaman dan semakin tersebar luasnya hadis di seluruh
kalangan.
Dengan adanya pendekatan-pendekatan dalam diskursus hadis, diharapkan
akan mampu mengantarkan umat kepada pemaknaan yang relatif lebih tepat dan
akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.67
Pendekatan-pendekatan
dalam memahami hadis telah diterapkan para ulama sesuai dengan porsi yang mereka
butuhkan. Tidak ubahnya dengan tokoh yang dibahas pada penelitian ini, T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. Dalam memahami hadis, langkah yang juga ditempuh oleh Hasbi
adalah dengan menerapkan beberapa pendekatan, seperti pendekatan bahasa,
pendekatan historis, pendekatan sains dan pendekatan logika. Di bawah ini akan
diuraikan mengenai pendekatan yang digunakan oleh Hasbi dalam memahami hadis.
a. Pendekatan Bahasa
Sebagaimana telah disebutkan di atas, hadis seluruhnya disampaikan oleh
Nabi Saw dalam bahasa Arab dan beliau merupakan orang yang paling fasih lisannya
di kalangan Arab ketika itu. Maka dari itu kaidah-kaidah dalam bahasa Arab menjadi
65
Moh. Muhtador, “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis,” Riwayah:
Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 268. 66
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Pemahaman Hadis Nabi, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang,
2007), h. 25. 67
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hinga Kontemporer
(Yogyakarta: Kalimedia, 2017), h. 60.
113
sebuah poin penting yang harus senantiasa diperhatikan ketika memahami hadis.68
A.
Shamad mengemukakan beberapa objek penelitian dari pendekatan bahasa, antara
lain adalah:69
a) Struktur bahasa, apakah sesuai dengan susunan dan kaedah bahasa
Arab atau tidak; b) Kata-kata yang terdapat di dalam teks hadis, apakah menggunakan
kata-kata yang lumrah digunakan pada masa Nabi Saw atau yang muncul kemudian;
c) Matan hadis harus menggambarkan bahasa kenabian; dan d) Menelusuri makna
kata yang tertera di matan hadis, apakah kata yang diucapkan oleh Nabi Saw
memiliki kesamaan dengan yang dipahami oleh peneliti.70
Setelah memperhatikan
beberapa objek dari pendekatan bahasa ini, tampaknya Hasbi dalam memahami hadis
tidak pernah terlepas dari poin pertama. Hal ini tergambar dari langkahnya yang
hampir pada setiap bab hadis yang ia syarah selalu mencantumkan makna redaksi
hadis ditinjau dari kedudukannya di kaidah-kaidah bahasa Arab.
Sebagai contoh yaitu pemahamannya terhadap hadis tentang pemeliharaan
aurat. Hadis tersebut berbunyi:
قل معهم احلجارة رضي اهلل عنو قال جابر بن عبد اهللعن : أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم كان ي ن و يابن أخي! لو حللت إزار ك فجعلتو على منكب يو دون احلجارة. للكعبة وعليو إزاره فقال لو العباس عم
ا )رواه البخاري ومسلم(عليو. فما روي بعد ذالك عربان قال فحلو فجعلو على منكب يو. فسقط مغشيا
“Jābir bin Abdulllah berkata: Bahwa Rasulullah Saw mengangkat batu untuk
Ka‟bah bersama dengan jema‟ah Quraisy dan pada saat itu beliau mengenakan
sarung. Maka Abbas pamannya berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Apakah
tidak lebih baik engkau tinggalkan sarungmu dan meletakkannya di bahumu sebagai
landasan batu?” Jābir melanjutkan: Maka Nabi Saw kemudian melepaskan sarungnya
dan meletakkan di atas bahunya. Seketika itu Nabi Saw pun rebah pingsan. Maka
tidak pernah orang melihat Nabi bertelanjang setelah kejadian itu.”71
68
Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer, h. 112. 69
Lihat: Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 76, dan A. Shamad, “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis,”
Al-Mu’ashirah 13, No. 1 (Januari 2016): h. 35. 70
Bahasa kenabian yang dimaksud adalah disampaikan dengan singkat, padat, jelas dan
mengandung nilai dakwah. 71
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596.
114
Dalam menjelaskan hadis ini, Hasbi memperhatikan redaksi matan dari segi
susunan kalimatnya. Kata izār ia artikan sebagai mā yuttajaru bihi atau kain yang
dipinggangkan. Menurutnya, kata ini bisa dipandang muzakkar atau mu`annats. Term
yang mempunyai makna yang sama dengan izār adalah mi’zar. Lebih lanjut, Hasbi
memaknai kata lau yang terdapat dalam teks hadis ini dapat diartikan “jikalau” dan
juga dapat dimaknai “apakah tidak lebih baik” atau “mudah-mudahan”, dan masing-
masing dari makna ini dapat mempengaruhi syarahannya. Jika memaknai kata lau
dengan jikalau, maka ia menjadi syarṯiyyah dan jawab-nya dibuang, yaitu lakāna
ashala ‘alaika (maka itu akan lebih menggampangkan bagi dirimu).72
Contoh lain dari pemahaman hadis dengan pendekatan bahasa menurut Hasbi
adalah hadis tentang larangan bunuh diri.
اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: من تردى من جبل فقتل رضي عن ثابت بن ضحاكو يف يده ى سا فقتل نفسو فسم نفسو فهو يف نار جهنم يرتدى فيو خالدا خملدا فيها أبدا ومن حتس
ىاه يف نار جهنم خالدا خملدا فيها أبدا ومن قتل نفسو حبديدة فحديدتو يف يده يأ ا يف بطنو يف يتحس )رواه البخاري ومسلم( نار جهنم خالدا فيو خالدا خملدا فيها أبدا
“Dari Tsābit bin Ḏahhāk r.a. ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Siapa yang
menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka Jahanam dia akan
menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang meneguk racun
sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di
neraka Jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya
dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia
tusuk perutnya di neraka Jahanam, kekal selamanya‟.”73
Pada salah satu potongan hadis disebutkan kata taradda,74
yang jika dilihat di
kamus berarti jatuh. Pada hal ini, Hasbi memberi penjelasan lebih rinci bahwa yang
dimaksud dengan taradda dalam hadis ini adalah menjatuhkan atau menghempas diri
dari tempat yang tinggi agar hilang nyawanya. Ia juga mengatakan makna kata
72
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 596-597. 73
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 74
Di dalam kamus Bahasa Arab, akan banyak ditemukan variasi dari kata yang mirip dengan
taradda. Kata radda-yaruddu-raddan berarti mengembalikan, menolak, menjawab. Sedangkan
raddada berarti mengulang-ulang. Taraddada berarti ragu-ragu atau bimbang. Kata taradda-yataraddi
sendiri berarti jatuh atau kadaluwarsa. Lihat: Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta:
Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), h. 140.
115
jahannam yang tidak munsarif karena tergolong a’jamiyah atau bukan berasal dari
bahasa Arab. Ia menambahkan bahwa latar belakang penamaan jahannam, yang
dinamakan demikian karena jauh sekali dasarnya.75
Pendekatan bahasa yang
diterapkan Hasbi dalam memahami hadis terlihat sangat sederhana, namun hal ini
tentu akan memudahkan pembaca untuk memahami makna hadis karena ia memilah
kata-kata yang menurutnya perlu untuk dibahas dari segi kebahasaannya. Di samping
itu, dengan mencantumkan kaidah nahwu dan sharaf dalam penjelasan hadis juga
menjadi nilai tambah, karena mendukung umat Islam yang non-Arab untuk
mendalami dan memahami bahasa Arab.
Di samping memberikan perhatian terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab dalam
memahami hadis, Hasbi juga menunjukkan bahwa ia merupakan ulama yang
tekstualis. Hal ini tergambar dari langkahnya yang seringkali menonjolkan sisi literal
teks hadis yang sedang ia jelaskan. Ia biasanya menggunakan kalimat “zahir hadis ini
menunjukkan…” untuk menerangkan kandungan sebuah hadis. Salah satu contoh
hadis yang dipahami oleh Hasbi secara tekstual adalah hadis tentang mengqashar76
shalat dalam safar. Beberapa hadis yang ia cantumkan pada bahasan tema ini adalah
sebagai berikut:
قال: صحبت النيب صلى اهلل عليو وسلم, فكان ال يزيد يف السفر على رضي اهلل عنو عن ابن عمر ركعت ي وابا بكر وعمر وعثمان كذلك )رواه البخاري ومسلم(
“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Aku telah menyertai Nabi Saw, maka beliau
tidak melebihi dua raka‟at (ketika shalat) dalam safar. Abu Bakr, Umar dan Utsmān
juga demikian.”77
75
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 1, Cet-3, h. 246. 76
Secara bahasa, qasr berarti berarti memendekkan. Sedangkan menurut istilah meringkas
jumlah raka‟at shalat yang awalnya empat raka‟at menjadi dua raka‟at, dan shalat yang bisa diqasr
hanyalah yang berjumlah empat raka‟at saja sehingga Magrib dan Subuh tidak bisa diqasr. Lihat:
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1989) , h. 344,
dan Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani Dkk, Jilid II
(Jakarta: Gema Insani, 2010), h.424. 77
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, Cet-1 (Bandung: Al-Ma‟arif, 197), h.
317.
116
قال: صلة السفر ركعتان وصلة األضحى ركعتان وصلة الفطر ركعتان وصلة رضي اهلل عنو عن عمر اجلمعة ركعتان, تام غري قصر, على لسان ممد صلى اهلل عليو وسلم )رواه أحد والنسائ وابن ماجو(
“Dari Umar r.a. ia berkata: Shalat safar itu dua raka‟at, shalat Ḏuha dua
raka‟at, shalat „Ied Fitri dua raka‟at, shalat Jum‟at dua raka‟at. Yang demikian itu
sempurna, bukan qasr, menurut penetapan Muhammad saw.”78
ل ف علمنا, فكان رضي اهلل عنو عن ابن عمر مما قال: إن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أتانا وحنن ضل علمنا أن اهلل عز وجل أمرنا أن نصلي ركعت ي يف السفر )رواه النسائ(
“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw datang kepada
kita sedang kita adalah orang yang tidak tau apa-apa, lalu beliau mengajari kita. Maka
di antara hal yang beliau ajarkan adalah bahwasannya Allah Azza wa Jalla
memerintahkan kita untuk shalat dua raka‟at di dalam safar.”79
Lebih lanjut, Hasbi menampilkan beberapa hadis yang berkaitan dengan
jangka waktu Nabi Saw dalam safar80
dan selama itu juga beliau terus mengqasr
shalatnya.81
: إنو )أبا ىريرة( صلى مع النيب صلى اهلل عليو وسلم إىل مكة ىف ادلسري رضي اهلل عنو قالعن أيب ىريرة إىل أن رجعوا ركعت ي ركعت ي )رواه أبو داود( وادلقام
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, bahwasannya beliau shalat bersama Nabi
Saw dalam perjalanan dari Mekah dan dikala bermukim di sana sampai ia kembali
dua raka‟at dua raka‟at.”82
78
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 79
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 319. 80
Para ulama berbeda pendapat mengenai jangka waktu safar sehingga membolehkan
seseorang terus-menerus menqasr shalatnya. Mazhab Mālik dan Syāfi‟i berpendapat jika musafir sudah
berniat menetap di tempat tujuannya selama empat hari maka shalatnya tidak boleh di qasr lagi.
Sedangkan Mazhab Abu Hanīfah menyatakan bahwa jika musafir sudah berniat mukim di tempat
tujuannya selama lima hari maka ia tidak boleh lagi menqasr shalatnya. Lihat: Beni Firdaus,
“Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat”, Alhurriyah: Jurnal Hukum
Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173. 81
Dalil mengenai keringanan bagi para musāfir untuk mengqasr shalatnya selain terdapat di
dalam hadis juga dijelaskan oleh ayat al-Qur‟an yaitu QS. An-Nisā`: 101 yang artinya, “Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” 82
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330.
117
: خرجنا مع النيب صلى اهلل عليو وسلم من ادلدينة إىل مكة, فصلى مالك رضي اهلل عنو قالعن أنس بن ركعت ي حت رجعنا إىل ادلدينة. قلت: أقمتم ا شيئا؟ قال: أقمنا ا عشرا )رواه البخاري ركعت ي
ومسلم(“Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Kami bepergian bersama Nabi Saw dari
Madinah ke Mekah, maka kami shalat dua raka‟at-dua raka‟at sampai kami kembali
ke Madinah. Aku berkata (Yahya bin Ishāq): Apakah kalian bermukim di sana? Anas
menjawab: Kami bermukim di sana selama sepuluh hari.”83
لة )رواه : أقام النيب صلى اهلل عليو وسلم بتب وك عشرين يوما يقصر الصرضي اهلل عنو قالعن جابر أحد وأبو داود(
“Dari Jābir r.a. ia berkata: Nabi bermukim di Tabūk selama dua puluh hari
dan beliau menqasr shalatnya.”84
: غزوت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم وشهدت معو الفتح, رضي اهلل عنو قالعن عمران بن حصي . يقول: يا أىل الب لدة, صلوا أرب عا فإنا سفر )رواه أبو فأقام مبكة ثان عشرة ليلة ال يصلي إال ركعت ي
داود(“Dari Imrān bin Husain r.a. ia berkata: Aku ikut berperang bersama Nabi Saw
dan kami sama-sama menyaksikan penaklukkan kota Mekah, maka Nabi Saw
bermukim di Mekah selama delapan belas malam, beliau selalu shalat dua raka‟at
(ketika di Mekah). Nabi bersabda: Wahai penduduk Mekah, kalian harus shalat empat
raka‟at, kami ini orang safar (sedang dalam safar).”85
قال: خرجت إىل ابن عمر فقلت: ما صلة ادلسافر؟ قال: ركعت ي اهلل عنو رضيعن ثامة بن شراحيل جاز؟ قال: وما ذو ااز؟ قلت: مكان
ركعت ي إال صلة ادلغرب ثلثا. قلت: ارأيت أن كنا بذي ادل
لة أو خس عشرة ليلة, فقال: أيها الرجل كنت أذرب يجان. ال نتمع فيو و نبيع فيو ونكث عشرين لي ركعت ي )رواه أحد( أدري, قال: أرب عة أشهر أو شهرين, فأري ت هم يصلونا ركعت ي
“Dari Tsumāmah bin Syurāhīl r.a. ia berkata: Aku datang menemui Ibnu
Umar dan bertanya padanya: Apa itu shalat musāfir? Ibnu Umar menjawab: dua
raka‟at-dua raka‟at kecuali untuk shalat Magrib yang tetap tiga raka‟at. Aku bertanya
lagi: Bagaimana pendapatmu mengenai jika kita berada di dzi al-majāz? Ia
83
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 330. 84
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333. 85
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 333.
118
menjawab: Apa itu dzu al-majāz? Aku berkata: Sebuah tempat, kita berkumpul di
sana, dan berdagang di sana dan berdiam di sana selama dua puluh malam atau lima
belas hari. Ia kemudian menjawab: Wahai kawan, aku pernah berada di Adzrabijān,
„Tsumamah melanjutkan: aku tidak ingat empat bulan atau dua bulan yang beliau
katakan‟, maka saya lihat para sahabat shalat dua raka‟at-dua raka‟at.”86
Hasbi mempunyai pendapat yang sedikit berbeda dalam hal mengqasr shalat
ketika di perjalanan. Menurutnya ketika seseorang sedang dalam safar, maka ia boleh
mengqasr shalatnya, sekalipun safarnya dalam jangka waktu yang lama (bertahun-
tahun), selama musafir tidak berniat untuk bermukim di tempat yang ia kunjungi.87
Maka selama itu juga seseorang boleh mengqasr shalatnya menjadi dua raka‟at-dua
raka‟at.88
Ia mengatakan,
“Menurut pentahqiqan kami, apabila kita memasuki suatu tempat dan berdiam
di sana selama beberapa hari sedang kita tetap dalam keadaan safar, yakni
tidak bermaksud untuk menetap di sana, bolehlah kita terus-menerus
mengqasrkan shalat. Nabi Saw bermukim di Tabuk selama dua puluh hari
dengan terus-menerus melakukan qasr, beliau tidak mengatakan tidak boleh
qasr kalau lebih banyak dari hari beliau berada di Tabuk. Kebetulan pada
waktu itu beliau bermukim di sana selama dua puluh hari. Bermukim di suatu
tempat dalam keadaan safar tidaklah mengeluarkan kita dari hukum safar,
baik panjang atau pendek. Seperti keadaan para jama‟ah haji yang bermukim
di Mekah menanti masa pulangnya. Walaupun mereka di sana tinggal sampai
dua bulan atau lebih, namun mereka dinamakan orang musafir karena mereka
tidak bermaksud menetap di sana.”89
86
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 335. 87
Hasbi menyatakan bahwa seseorang akan tetap dihitung sebagai musāfir disaat niatnya
tidak untuk mukim, selama apapun ia bepergian. Imam al-Syāfi‟i juga mendasarkan kebolehan qasr
dalam safar dengan niat. Namun menurutnya jika seseorang menetap di suatu tempat tanpa meniatkan
batas waktunya maka otomatis ia menjadi seorang yang mukim jika lebih dari empat hari. Lihat: Yeni
Sri Whayuni dan Yusrizal bin Razali, “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk Kebolehan Qasar
Shalat”, Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1
(Januari-Juni 2019): h. 16-17. 88
Ia tidak hanya berpendapat bahwa shalat pada waktu safar boleh di qasr, lebih dari itu
menurutnya shalat dua raka‟at pada safar merupakan sebuah tuntutan. Ia mengatakan, “Apabila
seseorang pergi merantau (bersafar), maka dituntutlah adanya mengerjakan shalat yang seharusnya
empat raka‟at menjadi dua raka‟at saja.” Pendapatnya ini ia sandarkan kepada beberapa riwayat seperti
yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khaṯṯāb, Aisyah, Ibnu Abbās dan Ibnu Umar yang menyatakan
bahwa shalat pada waktu safar adalah dua raka‟at. Di samping itu Hasbi juga banyak mengutip
pendapat para ulama klasik. Selengkapnya lihat: T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cet-11
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 430-431. 89
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 331-332.
119
Hal ini ia sandarkan pada hadis-hadis yang ia cantumkan pada bab safar,
sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pada hadis-hadis di atas disebutkan
bahwa Nabi Saw pernah melakukan safar selama delapan belas hari, dua puluh hari,
dan beliau terus menerus melakukan qashar. Di samping itu, Hasbi juga banyak
mengutip riwayat-riwayat yang berisi tentang amalan para sahabat yang menqasr
shalatnya dalam safar dengan jangka waktu yang cukup lama. Sebagaimana riwayat
dari Nāfi‟ (w. 117 H) yang mengatakan bahwa Ibnu Umar (w. 73 H) pernah menqasr
shalatnya selama enam bulan di saat safar. Hafs bin Ubaidillah mengabarkan bahwa
Anas bin Mālik (w. 93 H) tinggal di Syām selama beberapa tahun dan terus mengqasr
shalatnya. Al-Hasan berkata bahwa ia pernah bermukim bersama Abdurrahmān bin
Samurah (w. 50 H) di Qabūl selama dua tahun dengan mengqasrkan shalatnya. Hasbi
mengatakan,
“Maka setelah kita mengetahui petunjuk Nabi Saw dan petunjuk para sahabat
dalam masalah qasr sembahyang di kala kita singgah di suatu tempat, sedang
kita masih dalam keadaan safar, tertolaklah paham yang mengatakan bahwa
apabila kita bermukim di suatu tempat selama empat hari penuh tidak boleh
qasr lagi.”90
Dari pemaparan mengenai hadis safar di atas, dapat disimpulkan bahwa Hasbi
memahaminya secara tekstual. Ia menangkap makna tersurat dari redaksi hadis
tentang safar tanpa melihat sisi-sisi lain yang mengiri hadis tersebut seperti
historisitas atau kondisi sosial yang menjadi qarīnah. Sebagaimana pemahamannya
terhadap hadis tentang Nabi Saw pernah bersafar ke Tabuk selama belasan hari dan
selama itu pula beliau selalu mengqashar shalatnya. Ia menangkap makna hadis
tersebut dari redaksinya saja dan tidak melihat kondisi serta situasi yang terjadi pada
saat itu yang rupanya sedang ada gejolak perang dan keadaannya sedang tidak aman.
Maka disaat safar dilakukan selama bertahun-tahun dan bukan dalam keadaan yang
tidak aman, bukankah lebih baik jika melaksanakan shalat dengan bilangan raka‟at
yang sempurna?
90
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid IV, h. 332.
120
b. Pendekatan Historis
Hadis disampaikan oleh Nabi Saw pada waktu dan kondisi tertentu, dan hal
tersebut merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah dan dipungkiri. Teks
hadis tidak lepas dari dampak perjalanan waktu, demikianlah yang disampaikan oleh
Daniel Djuned. Bagaimana tidak, hadis telah melalui pejalanan dari hulu ke hilir,
yaitu dari guru pertama, Rasulullah Saw sampai kepada pembuku hadis, dan telah
mengalami imbasan sejarah dengan segala konsekuensinya. Kenyataan ini
menyebabkan pemahaman atas sebuah hadis membutuhkan pendekatan yang
beragam, salah satunya dengan memperhatikan dimensi historis.91
Wacana tentang
pendekatan ini sebenarnya telah muncul di kalangan ulama hadis terdahulu, semenjak
dikenal ilmu asbāb al-wurūd.92
Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi
Saw bersifat kasuistik, lokal temporal bahkan temporal, oleh karenanya
memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis menjadi sangat penting untuk
menghindarkan dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud sebuah hadis.93
Pertanyaan mendasar yang digunakan dalam pendekatan historis adalah
“Mengapa Nabi Saw bersabda demikian?” dan “Bagaimana kondisi pada saat hadis
tersebut disampaikan, kepada siapa dan dimana?” Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan ini akan memberi keterangan mengenai status sebuah hadis, apakah
bersifat umum atau khusus untuk pribadi dan wilayah tertentu. Dengan pendekatan
historis pengkaji hadis juga harus jeli dalam memperhatikan kedudukan Nabi Saw
ketika menyampaikan sebuah hadis. Karena dalam sejarah hidupnya Nabi Saw
91
Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 32. 92
Asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan wurūd. Kata asbāb merupakan bentuk
jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Sedangkan wurūd merupakan masdar dari kata warada-
yaridu yang berarti datang. Adapun menurut istilah, asbāb al-wurūd berarti ilmu yang menerangkan
latar belakang datangnya hadis dan beberapa hal yang relevan dengannya. Latar belakang tersebut bisa
berupa pertanyaan dari sahabat atau respon Nabi Saw mengenai sebuah kejadian. Asbab al-wurud
mempunyai peran yang sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang
sebuah hadis. Lihat: Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah,
2014), h. 177. 93
Abdul Mustaqim Dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi
(Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Kalijaga, 2008), h. 7.
121
mempunyai banyak peran, di antaranya adalah sebagai Rasulullah, kepala negara,
hakim dan juga sebagai manusia biasa.94
Hasbi menyadari pentingnya pendekatan historis dalam kajian pemahaman
hadis. Dalam menjelaskan kandungan sebuah hadis, ia terlebih dahulu mencantumkan
asbāb al-wurūd dari hadis tersebut baru kemudian masuk ke penjelasannya. Contoh
dari penerapan pendekatan historis oleh Hasbi adalah pemahamannya terhadap hadis
tentang meringankan bacaan shalat. Hadis tersebut berbunyi:
مسعود األنصاري رضي اهلل عنو قال: جاء رجل إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: يا عن أىبر عن صلة الغداة من أجل فلن مما يطيل بنا فيها. قال: فما رأيت النيب صلى رسول اهلل إن واهلل ألتأخ
غضبا يف موعظة منو يئذ. ث ق رين فأيكم ما اهلل عليو وسلم قط أشد ال: يا أيها الناس إن منكم من ف )رواه البخاري ومسلم( صلى بالناس فليوجز فإن فيهم الكبري الضعيف وذا احلاجة
“Abu Mas‟ūd al-Ansāri berkata, “Seorang laki-laki datang menemui
Rasulullah Saw dan berkata: Wahai Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya saya
menarik diri dari shalat subuh berjama‟ah dikarenakan si Fulan, lantaran ia
memanjangkan bacaannya untuk kami”, Abu Mas‟ūd menambahkan, “Aku belum
pernah melihat Nabi Saw lebih keras marahnya dalam memberi pelajaran daripada
hari itu” , kemudian Nabi Saw bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya sebagian
dari kalian telah menjauhkan manusia (dari agama), maka siapa saja di antara kalian
yang melaksanakan shalat berjama‟ah, hendaklah ia ringkaskan, karena di antara
kalian ada yang telah tua, ada yang lemah dan ada yang mempunyai keperluan.”95
Riwayat lain dengan tema yang sama berbunyi:
عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: إذا صلى أحدكم للناس )رواه البخاري ول ما شاءفليخفف فإن منهم الضعيف والسقيم والكبري وإذا صلى أحدكم لنفسو فليط
ومسلم(
“Abu Hurairah berkata bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: Jika salah
seorang dari kalian sholat untuk manusia (menjadi imam), maka hendaklah
meringankan (bacaannya) karena di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit,
94 Zainuddin, “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer,”
Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181. 95
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 524.
122
ada yang sudah renta. Namun jika salah seorang di antara kalian shalat sendirian,
maka panjangkanlah (bacaannya) sebagaimana yang ia mau.”96
Menanggapi hadis di atas, Hasbi menjelaskan bahwa ada peristiwa yang
menjadi latar belakang Nabi Saw menyampaikan hadis ini. Ia mengatakan,
“Bahwasannya ada seorang lelaki yang namanya tidak diketahui oleh ahli
hadis menerangkan kepada Rasulullah bahwa dia tidak menghadiri jama‟ah
sembahyang subuh karena imamnya memanjangkan shalat itu. mendengar
aduan tersebut, beliau menjadi sangat marah dan dengan nada marah beliau
memberikan pelajaran kepada para sahabat. Beliau bersabda, „Sungguh di
antara para sahabat ada yang menyebabkan orang lari dari agama dengan jalan
memanjangkan shalat yang menyebabkan para makmum mengalami
kesukaran.‟ Dan beliau memberi nasehat agar para imam yang bersembahyang
dengan jama‟ah meringkas bacaannya, tidak memanjangkannya karena di
antara jama‟ah tersebut ada orang tua, yang lemah dan bekeperluan.”97
Dua hal yang dapat dipetik dari asbāb al-wurūd hadis di atas yaitu bahwa
Nabi Saw menyuruh umatnya yang ditunjuk sebagai imam shalat agar tidak
keterlaluan dalam memanjang-memanjangkan bacaannya karena orang yang berbuat
demikian tergolong sebagai “orang yang membuat orang lain lari dari agama.”98
Di
samping itu, Hasbi menerangkan bahwa Nabi Saw menampakkan kemarahannya
untuk memberi ketegasan kepada para sahabat agar mereka memperhatikan dengan
benar setiap ajaran agama. Sekarang timbul pertanyaan, apakah Nabi Saw tetap akan
menyampaikan hal ini jika tidak ada sahabat yang mengadu tentang perkara tersebut?
Jawabannya ada para riwayat lain dari Anas bin Mālik (w. 93 H),
عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: أن النيب صلى اهلل عليو قال: إن ألدخل يف الصلة وأنا أريد و من بكائو ة وجد أم يب فأتوز يف صلت مما أعلم من شد إطالتها فأسع بكاء الص
96
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 97
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 526. 98
Disebut dengan dapat membuat orang lari dari agama karena bacaan shalat dari imam shalat
sangat berkemungkinan besar dapat membuat para jama‟ah enggan untuk mengikuti shalat berjama‟ah
lagi. Terutama untuk orang-orang yang dijelaskan oleh Nabi Saw yaitu orang yang sudah tua, orang
yang sakit dan orang yang mempunyai keperluan mendesak. Maka ketika orang-orang pergi
meninggalkan shalat jama‟ah atau menjadi malas untuk berjama‟ah lagi dikarenakan bacaan shalat
yang panjang, pada saat itulah seseorang yang menjadi imam disebut telah membuat orang lain lari
dari agama.
123
“Dari Anas bin Mālik r.a. ia berkata, bahwa Nabi Saw bersabda:
Sesungguhnya aku masuk menjadi imam sembahyang dan aku berniat untuk
memanjangkannya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku ringankan
bacaan shalatku, lantaran aku mengetahui bahwa pikiran ibunya sangat terganggu
karena tangisan bayinya itu.”99
Dari hadis di atas tampak jelas bahwa Nabi dengan sendirinya menjelaskan
sikap yang beliau ambil ketika menjadi imam dan mengurungkan niatnya untuk
memanjangkan bacaan shalat karena mendengar suara tangisan bayi. Hal ini
menunjukkan bahwa sekalipun tidak ada yang mengadu kepada Nabi Saw hukum
untuk tidak memanjang-memanjangkan bacaan shalat tetap akan ada. Maka hadis
terkait meringankan bacaan shalat hukumnya adalah umum dan universal, berlaku
untuk semua ruang dan waktu.
Berikutnya akan diuraikan mengenai hadis tentang perintah untuk
memanjangkan jenggot dan mencukur kumis yang juga dipahami Hasbi dengan
pendekatan historis. Hadis tersebut berbunyi:
صلى اهلل عليو وسلم: من لن يأخذ من شاربو فليس عن زيد بن أرقم رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل منأ )رواه أحد والنسائ والرتمذي(
“Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa
tidak memangkas kumisnya, bukanlah dia dari golongan kami.”100
وارب وارخوا اللحى عن زيد بن أرقم رضي اهلل ع نو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: جزوا الش خالفوا اوس )رواه أحد ومسلم(
“Dari Zaid bin Arqam r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Guntinglah
kumis dan panjangkanlah jenggot, hendaklah kamu menyalahi (berbeda dengan)
orang-orang Majūsi.”101
عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: خالفوا ادلشركي وفروا اللحى وارب )رواه أحد والبخاري ومسلم( واحفوا الش
99
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, h. 525. 100
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 101
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210.
124
“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Hendaklah kamu
membedakan diri dari orang-orang musyrik, perihalah jenggot dan guntinglah
kumis.”102
Menurut catatan sejarah, di wilayah jazirah Arab sebelum dan setelah
datangnya Islam terdapat sejumlah kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Di
antara mereka ada yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan sebagiannya adalah
Majusi.103
Maka dari itu, karena kondisi kegamaan yang sangat beragam, Allah Saw
memerintahkan Nabi Muhammad Saw agar memiliki identitas untuk membedakan
umat Islam dengan kepercayaan lainnya.104
Dalam hal ini, beberapa hadis yang
disampaikan oleh Nabi Saw menjelaskan tindakan yang dapat memberi identitas
kepada umat Islam yaitu dengan memelihara jenggot dan memangkas kumis.105
Sebagaimana tertera dalam tiga hadis di atas, zahir teksnya memberi pengertian
bahwa Nabi Saw menganggap orang yang tidak memanjangkan jenggot dan tidak
memangkas kumis sebagai “laisa minna” atau bukan dari bagian kami.
Para ulama mempunyai pandangannya tersendiri dalam menanggapi hadis ini.
Para ulama salaf, sebagaimana diterangkan oleh Hasbi, menyukai untuk memelihara
jenggot. Namun jika memelihara jenggot dengan tujuan untuk aksi dan mengalimkan
diri, maka hal tersebut tidak mereka sukai. Adapun mengenai kumis, menurut ulama
seperti Abu Hanīfah (w. 148 H) dan Abu Yūsuf (w. 182 H) memelihara rambut dan
kumis lebih utama daripada menggutingnya. Al-Nawawi (w. 676 H) juga menuturkan
bahwa pendapat yang terpilih adalah kumis itu digunting hingga kelihatan tepi bibir
dan jangan dicukur seluruhnya.106
Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) menjelaskan dalam
kitabnya, bahwa banyak ulama mazhab yang mengamalkan hadis menggunting kumis
102
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 210. 103
Muhammad Yamin, “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw,” Ihyā` al-
Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017):, h. 110. 104
Pada masa Nabi Saw, kaum musyrikin tidak mencukur kumis dan juga tidak
memanjangkan jenggotnya hingga lebat. Sehingga Nabi Saw menyuruh kaum muslimin untuk
melakukan hal yang berbeda dari mereka yaitu dengan mencukur kumis dan memelihara jenggot.
Selengkapnya lihat: Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2019), h. 59 105
Mahmudi, “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian,”
Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273. 106
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.
125
dan memelihara jenggot dan menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut merupakan
sebuah keutamaan yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Di samping hal
tersebut perintah Nabi Saw, menggunting kumis dan memanjangkan jenggot juga
merupakan fitrah manusia yang harus diperlihara.107
Sementara itu, ulama muta`akhkhirīn seperti Yusuf Qarḏāwi menjelaskan
bahwa hadis tersebut mengandung perintah Nabi Saw agar umat Islam berbeda
dengan orang-orang yang selain Islam. Akan tetapi, bukan berarti kaum muslimin
tidak boleh mencukur jenggot karena ia akan terus tumbuh memanjang. Maka
menurut al-Qarḏāwi boleh mencukur jenggot dengan alasan untuk merapikannya.108
Ulama muta`akhkhirīn lainnya seperti Ali Mustafa Yaqub menuturkan, karena tujuan
dari disampaikannya hadis tentang jenggot dan kumis oleh Rasulullah adalah untuk
membedakan kaum muslimin dan musyrik, maka untuk berbeda tidak hanya dengan
mencukur kumis dan memelihara jenggot, tapi dapat dilakukan dengan cara yang lain
seperti dalam hal pakaian dan nama atau lain sebagainya.109
Dalam memahami hadis-hadis di atas, Hasbi berpendapat bahwa pada saat ini
memanjangkan jenggot bukanlah sesuatu yang mutlak harus dilakukan dan
mencukurnya juga tidak dilarang. Menurutnya, ada illat yang menjadi latar belakang
dari disampaikannya hadis tersebut oleh Nabi Saw. Dalam hal ini Hasbi mengatakan,
“Bila kita meninjau hadis-hadis ini dengan pandangan yang luas, jauh dan
mendalam, nyatalah bahwa sebabnya Nabi menyuruh sahabat-sahabatnya
memangkas kumis dan memelihara jenggot ialah supaya membedakan diri
dari orang-rang Majusi dan musyrikin. Orang-orang Majusi dan musyrikin di
zaman Nabi tidak memangkas kumis dan tidak memanjangkan jenggot.”110
Maka jelaslah bahwa penyebab dari perintah Nabi Saw untuk memotong
kumis dan memelihara jenggot adalah sebagai pembeda antara kaum muslimin dan
orang-orang musyrik. Lebih lanjut, Hasbi menuturkan bahwa hal tersebut telah
berubah. Memelihara jenggot tidak lagi menjadi standar pembeda antara muslim dan
107
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam
Berbagai Aspek Kehidupan, Penerjemah Achmad Sunarto (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 71-72. 108
Yusūf Qarḏāwi, Halal dan Haram dalam Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009),
h. 125-127. 109
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 214. 110
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 211.
126
muslim, bahkan dewasa ini banyak dijumpai orang-orang non-muslim yang
berjenggot panjang dan lebat.111
Sehingga hadis tentang perintah Nabi Saw untuk
memanjangkan jenggot dan mencukur kumis ini harus dipahami secara kontekstual,
karena bersifat lokal-temporal. Bersifat lokal karena hadis tersebut disampaikan Nabi
Saw kepada bangsa Arab muslim yang rata-rata memiliki rambut yang subur, dan
bersifat temporal karena illat yang tersembunyi di dalam hadis tersebut telah
terhapus.
Menurut Hasbi, sesuai dengan kaidah Ushul, apabila illat112
dari sesuatu telah
hilang maka hukumnya pun ikut lenyap. Oleh karena itu, umat Islam telah terlepas
dari kewajiban untuk memotong kumis dan memanjangkan jenggot di masa sekarang.
Ia mengatakan,
“Menurut kaidah Ushul, apabila telah hilang illat sesuatu, maka hilanglah
hukum yang disebabkan illat atau motif itu. Maka menurut kaidah ini,
memelihara jenggot tidaklah lagi menjadi lambang perbedaan antara orang-
orang Islam dengan orang-orang yang bukan Islam. Dengan keterangan yang
singkat ini, jelaslah sudah bahwa memotong jenggot di masa kini tidak lagi
terlarang, karena illatnya sudah tidak berlaku lagi.”113
Pendekatan historis yang diterapkan oleh Hasbi dalam memahami hadis juga
tercermin dalam pemahamannya tentang hadis rajam. Di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim disebutkan:
: إن اهلل بعث ممدا صلى اهلل عليو وسلم باحلق و أنزل عليو عن عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنو قالوعيناىا, رجم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم رمجنا الكتاب فكان أنزل اهلل أية الرجم فقرأناىا وعقلناىا و
د أية الرجم يف كتاب اهلل, فيضلوا برتك بعده. فأخشى, إن طال بالناس زمان, أن يقل قائل: واهلل ما ن
111
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212. 112
Illat memegang peranan yang sangat penting dalam hukum Islam. Di kalangan ushuliyyin,
ia didefinisikan sebagai suatu dasar yang melatarbelakangi penetapan hukum syara‟. Setiap ketentuan
hukum yang diturunkan Allah dalam bentuk perintah dan larangan pasti mempunyai alasan tersendiri.
Maka disaat „illat atau alasan dari sebuah perkara hilang, hukum yang terkandung di dalamnya juga
ikut hilang. Demikianlah yang diatur di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih. Lihat: Romli, “Illat dan
Pengembangan Hukum Islam”, Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222. 113
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212.
127
نة فريضة أنزذلا اهلل. والرجم يف كتاب اهلل حق على من زن, إذا أحصن من الرجال الن , ساء إذا قامت الب ي )رواه البخاري ومسلم( أو كان احلبل أو اإلعرتاف
“Umar bin al-Khaṯṯāb berkata: „Bahwasannya Allah Swt mengutus
Muhammad Saw membawa ajaran agama yang benar dan menurunkan kepadanya al-
Qur‟an. Maka di antara yang telah Allah Swt turunkan adalah ayat rajam. Kami telah
membacanya, kami terus memahaminya dan menghafalnya. Rasulullah Saw telah
menjatuhkan hukuman rajam dan kami juga menjatuhkan hukum rajam sesudahnya.
Aku takut jika telah berlalu beberapa masa, datanglah seseorang yang mengatakan,
„Demi Allah kami tidak mendapati ayat rajam di dalam al-Qur‟an‟, maka mereka
menjadi sesat karena meninggalkan fardhu yang telah Allah turunkan. Rajam adalah
sebuah hak dalam al-Qur‟an yang dijatuhkan pada pelaku zina, jika yang berzina
adalah laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, apabila cukup bukti atau telah
hamil atau mengaku berzina.”114
Rajam115
merupakan salah satu fenomena hukum dalam Islam yang
mengalami pro-kontra di masyarakat dan berbagai negara. Beberapa kalangan
menolak pemberlakuan rajam, karena menurut mereka perlu diadakan peninjauan
kembali terhadap dalil-dalil tentang hukuman bagi pezina yang terdapat di dalam al-
Qur‟an dan hadis. Sebagaimana diketahui bahwa dalil tentang rajam hanya terdapat di
dalam hadis dan tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an. Yang terdapat di dalam al-
Qur‟an hanyalah penjelasan tentang hukuman cambuk seratus kali (QS. An-Nūr:
2).116
Maka dari itu, beberapa kelompok seperti Azāriqah dari golongan Khawārij
menetapkan bahwa hukuman bagi pezina baik yang muhsan dan ghairu muhsan
adalah dicambuk seratus kali. Namun ulama yang menyepakati hukuman rajam bagi
pelaku zina muhsan berpendapat bahwa hadis tentang rajam adalah shahih dan dapat
men-takhsīs QS. An-Nur:2.117
114
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 72. 115
Kata rajam berasal dari Bahasa Arab rajama-yarjumu-rajmun yang berarti melempar
dengan batu. Menurut istilah, rajam adalah hukuman yang berupa ditanam dalam tanah dan dilempari
dengan batu sampai yang diberi hukuman mati. Hukuman rajam juga dipertontonkan didepan khalayak
umum agar memberi efek jera kepada yang menyaksikannya. Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 32. 116
Ali, “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam,” Ilmiah Islam Futura
14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32. 117
Rokhmadi, “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana Islam,” At-
Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.
128
Pada sisi lain, jika ditinjau dari setting historis, hukuman rajam telah
diterapkan oleh umat pra-Islam dan penjelasannya terdapat di dalam Taurat. Maka
terjadi kesulitan untuk mengetahui status dari teks hadis tentang rajam, apakah bagian
dari wahyu atau tidak karena pada kenyataannya rajam bukan hanya berasal dari
syari‟at Islam. Mengenai hal ini, Nizar Ali berpendapat bahwa dahulu hukuman rajam
pernah beliau jatuhkan kepada orang Islam dan Yahudi. Untuk kaum Yahudi,
hukuman rajam yang diberikan oleh Nabi Saw adalah wajar karena rajam merupakan
ajaran dari kitab suci mereka, Taurat. Namun, menurut Nizar hadis yang menjelaskan
tentang hukum rajam yang dijatuhkan kepada kaum muslimin tidak diketahui persis
waktunya. Sehingga timbul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa rajam yang
diberlakukan pada masa Nabi Saw terjadi sebelum QS. An-Nūr:2 diturunkan. Maka
siapapun pasti ingin menjadikan al-Qur‟an sebagai acuan utama daripada
memberlakukan sebuah hadis yang tidak diketahui waktu pelaksanaanya secara
pasti.118
Lebih lanjut, Hasbi menjelaskan bahwa rajam bukanlah sebuah hukum yang
mutlak harus dilakukan. ia berpegang pada kenyataan bahwa tidak ada satu ayatpun
di dalam al-Qur‟an yang menyuruh umat Islam untuk menerapkan hukuman tersebut.
Ia juga berpendapat bahwa dalam memahami hadis perlu peninjauan terhadap fungsi
dan kedudukan Nabi Saw ketika menyampaikan hadis. Karena di samping
berkedudukan sebagai Rasulullah beliau juga merupakan seorang hakim dan Kepala
Negara yang mengurus berbagai hal seperti pengangkatan gubernur dan pengerahan
tentara.119
Hasbi mengatakan,
“Menurut pemeriksaan saya, hukuman rajam disini bukan hukuman mutlak,
tetapi suatu hukuman yang diserahkan pelaksanaannya kepada pertimbangan
hakim. Karenanya al-Qur‟an tidak menegaskan hukuman yang demikian saja,
hanya menyerahkan kepada pertimbangan Rasul yang bertindak sebagai
hakim.”120
118
Nizar Ali, Rekonstruksi Hukuman Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, h. 5-6. 119
Hasbi, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 154. 120
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 75-76.
129
Ketika suatu hadis disampaikan oleh Nabi Saw dalam kedudukannya selain
sebagai “Rasulullah”, maka hadis tersebut tidak dapat menjadi sebuah ketetapan
hukum yang mutlak. Pemahaman ini juga dipegangi oleh tokoh seperti Muhammad
Syahrūr121
yang mengemukakan ide tentang sunah rasul dan sunah nabi, serta al-
Dahlawi (w. 1176 H)122
yang membagi sunnah kepada dua tipologi yaitu sunnah
risālah dan sunnah ghairu risālah. Maka pada poin ini, Hasbi telah mengkonfirmasi
bahwa dirinya membolehkan hukuman selain rajam pada pelaku zina muhsan, dengan
menyesuaikan terhadap siapa yang memiliki kuasa menjadi hakim. Hal yang sama
juga ditemukan pada pembahasan tentang hukuman cambuk bagi peminum khamar.
Menurut Hasbi, hukuman rajam ataupun peminum khamar termasuk uqūbah
tafwiḏiyyah atau uqūbah yang diserahkan kepada keputusan hakim. Jika dahulu Nabi
Saw mencambuk peminum khamar sebanyak empat puluh cambukan, kemudian
Umar mencambuk delapan puluh kali, maka dalam pandangan Hasbi pada saat ini
boleh mencambuk empat ratus kali, sesuai dengan perkembangan masa dan
keputusan hakim.123
121
Muhammad Syahrūr membagi hadis/sunnah kepada dua tipologi yaitu al-sunnah al-
rasūliyah dan al-sunnah al-nabawiyah. Al-sunnah al-rasūliyah adalah setiap yang beliau lakukan dan
ucapkan dalam kapasitasnya sebagai seorang utusan Allah Swt dan merupakan wahyu yang harus
dipatuhi. Sedangkan al-sunnah al-nabawiyah adalah semua yang Nabi Saw sampaikan atau ijtihad
yang beliau lakukan dalam kapasitasnya sebagai selain utusan Allah Swt (hakim, pemimpin dan
manusia biasa) dan sunnah dalam kriteria ini bukan termasuk wahyu sehingga tidak mengharuskan
pengamalannya pada setiap zaman. Contoh dari sunnah kategori kedua menurut Syahrūr adalah talak
(ayat al-Qur‟an berawalan “yā ayyuha al-nabi”). Menurutnya, talak merupakan praktek sunnah yang
dilakukan Rasul dalam kapasitasnya sebagai Nabi, maka diperlukan talak yang sesuai dan cocok untuk
zaman sekarang. Selengkapnya lihat: Azhari Andi, dkk., “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran
Muhammad Syahrur terhadap Sunnah,” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89, dan Fakhrul
Akmi, “Pemikiran As-Sunnah Kontemporer Muhammad Syahrur: Studi terhadap Kitab As-Sunnah Ar-
Rasuliyah wa As-Sunnah An-Nabawiyah,” (Tesis S2 Pascasarjana UIN Sumatera Utara, 2018), h. 81. 122
Ide yang dikemukakan oleh al-Dahlawy sebenarnya tidak jauh berbeda dari yang
diutarakan oleh Muhammad Syahrur. Tipologi yang beliau buat berdasarkan fungsi Nabi Saw yang
menurut al-Dahlawy dapat berkedudukan sebagai Rasulullah (pembawa risalah) atau sebagai manusia
biasa. Semua hal yang berasal dari Nabi Saw yang berkenaan dengan berita ghaib seperti keberadaan
malaikat serta ijtihad beliau atas petunjuk Allah Swt termasuk ke dalam sunnah risalah yang patut
diamalkan dan ditaati. Sedangkan semua hal yang berasal dari Nabi Saw seperti kebiasaan-kebiasaan
beliau yang tidak berhubungan dengan ibadah termasuk ke dalam sunnah ghoiru risālah, yang kaum
muslimin tidak diwajibkan untuk mengikuti dan mengamalkannya. Lihat: Fatichatus Sa‟diyah,
“Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode Pemahaman Hadis,” (Tesis S2 UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84. 123
Ash-Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, h. 78-
79.
130
Hadis selanjutnya yang dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah
hadis tentang larangan memakai wadah dari emas dan perak.
عن حذيفة بن اليمان رضي اهلل عنو قال: سعت رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يقول: ال تشربوا يف ي يا ولكم يف األخرة )رواه أحد و ىب والفضة والتأكلوا يف صحافهما فإنما ذلم ىف الد انية الذ
البخاري(
“Dari Huzaifah bin al-Yamāni r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Janganlah kamu minum di piala emas dan perak, jangan kamu makan di
piring emas dan perak, karena sesungguhnya dua jenis barang itu buat mereka di
dalam dunia dan buat kamu di akhirat.”124
Dalam memahami hadis di atas, Hasbi mencoba menjelaskannya dari segi
latar belakang sejarah dari larangan makan dan minum dari bejana yang dibuat dari
emas dan perak. Menurut Hasbi, larangan ini tidak disampaikan oleh Nabi Saw tanpa
sebab. Nabi Saw melarang kaum muslimin kala itu memakai wadah dari emas dan
perak untuk mencegah timbulnya individualistis di tengah masyarakat. Dahulunya
emas dan perak dijadikan sebagai salah satu alat tukar, alias mata uang. Maka jika
banyak kaum muslimin yang memakai emas dan perak sebagai wadah tempat air,
dikhawatirkan akan terjadi ketidakseimbangan sosial dan menghancurkan perasaan
orang-orang miskin dan fakir. Hasbi menjelaskan,
“Menurut penyelidikan kami, mungkin sekali Nabi mencegah kita memakai
piring dan piala emas dan perak untuk tempat makan dan minum, adalah
sebagai suatu dasar untuk mencegah pembendaharaan emas dan perak oleh
seseorang. Emas dan perak dijadikan untuk alat tukar-menukar yang
diperedarkan di masyarakat. Maka jika dibenarkan membuat piring dan piala
untuk makan dan minum dari emas dan perak, dapatlah orang-orang tamak,
menumpuk-numpuk emas dan perak dalam satu rumah, yang menyebabkan
timbul kepincangan hidup dalam masyarakat.”125
Dengan mengetahui historisitas dari disampaikannya hadis tentang larangan
memakai wadah dari emas dan perak, maka dapat dipahami bahwa Nabi Saw
melarang perilaku tersebut untuk menghindari perbedaan kasta antara si kaya dan si
124
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5 (Jakarta: PT Magenta Bhakti
Guna, 1994), h. 72. 125
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 74-75.
131
miskin. Islam adalah agama yang melestarikan sistem persamaan bagi sesama
manusia, hal ini tergambar dari hal yang paling kecil sekalipun yaitu shalat
berjama‟ah. Ketika shalat dilaksanakan, semua berdiri sesuai dengan shaf yang ia
dapatkan, tidak ada aturan bahwa orang yang kaya harus di barisan shaf terdepan atau
sebaliknya. Maka dari itu, hikmah dari larangan memakai emas dan perak sebagai
wadah makan selain karena menyebabkan ketimpangan sosial, namun juga
menyebabkan orang miskin bersedih hati. Jika hal ini ditarik ke zaman kontemporer,
disaat alat tukar bukan lagi menggunakan emas dan perak melainkan dengan mata
uang, maka larangan tersebut ikut hilang.126
Namun tetap saja, menggunakan emas
dan perak sebagai wadah disaat ada wadah lain dari bahan yang lebih terjangkau
tampaknya sedikit berlebihan. Karena Nabi Saw mengajarkan umatnya untuk hidup
sederhana.127
Hadis lain yang juga dipahami Hasbi dengan pendekatan historis adalah hadis
tentang mematikan lampu ketika hendak tidur. Di dalam hadis disebutkan:
ل, أو عن جابر بن عبد اهلل رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا كان جنح اللي نئذ فإذا ذىب ساعة من الليل واغلقوا األبواب واذكر وا صبيانكم فإن الشياطي ت نتشر حي وا أمسيتم فكف
)رواه البخاري ومسلم( اسم اهلل فإن الشيطان ال ي فتح بابا مغلقا
“Dari Jābir bin Abdillah r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila
telah mulai gelap malam atau telah mulai masuk ke malam hari, maka laranglah anak-
anak kecilmu (keluar rumah), karena setan-setan berkeliaran pada saat itu. tetapi jika
telah berlalu beberapa saat dari malam hari, maka biarkanlah mereka. Dan kuncilah
126
“Disaat „illat dari sesuatu hilang, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga lenyap”,
hal ini seringkali disebutkan oleh Hasbi di beberapa pembahasannya tentang hadis (hadis tentang
jenggot dan hadis tentang larangan memakan dua kurma dalam satu suapan. Lihat: Ash-Shiddieqy,
Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 212; Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid
VII, h. 65. 127
Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang sangat sederhana dan zuhud. Beliau tidak
berlebih-lebihan dalam segala sesuatunya. Banyak riwayat yang berisikan kabar tentang sifat zuhud
yang beliau miliki. Salah satunya adalah Nabi Saw pernah menahan lapar sampai-sampai mengikat dua
batu di perutnya. Padahal kala itu beliau adalah orang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat
dihormati, jika ingin, beliau bisa saja dengan mudah mendapatkan segala hal yang beliau mau. Namun
beliau lebih memilih hidup sederhana dan tidak menggunakan kedudukannya sebagai alasan untuk
berfoya-foya. Lihat: Khairil Ikhsan Siregar, “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan
Aplikasinya dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis,” Studi Al-Qur’an:
Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.
132
pintu-pintu rumah serta sebutlah nama Allah, sesungguhnya setan tidak dapat
membuka pintu yang telah dikunci‟.”128
ركوا النار يف ب ي وتكم حي تنامون عن ابن عمر رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: ال ت ت )رواه البخاري ومسلم(
“Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Janganlah kamu
membiarkan api menyala di rumah-rumahmu ketika kamu tidur‟.”129
Redaksi hadis di atas menunjukkan larangan yang disampaikan Nabi Saw agar
kaum muslimin tidak menghidupkan lampu ketika tidur. Yang demikian merupakan
pemahaman secara tekstual. Namun menurut Hasbi makna hadis ini harus digali
secara mendalam lebih dari sekedar pembacaan terhadap teksnya. Menurutnya, dalam
memahami hadis ini perlu pertimbangan terhadap konteks yang meliputinya, salah
satunya yaitu dengan melihat asbāb al-wurūd-nya. Ia kemudian menampilkan sebuah
hadis yang mengandung sebab larangan tersebut keluar dari lisan Nabi Saw. Hadis
tersebut berbunyi sebagai berikut:
ث بشأنم النيب صلى عن أيب موسى رضي اهلل عنو قال: احت رق بيت بادلدينة على أىلو من الليل فحدا ىي عدو لكم فإذا نتم فأطفئوىا عنكم )رواه البخاري ومسلم( اهلل عليو وسلم قال: إن ىذه النار إن
“Dari Abu Mūsa r.a ia berkata: Telah terbakar sebuah rumah di Madinah
beserta isinya pada suatu malam. Maka orang menceritakan hal tersebut kepada Nabi
Saw lalu beliau bersabda, „Sesungguhnya api ini adalah musuh bagi kamu, karena itu
apabila kamu tidur, maka padamkanlah api terhadap dirimu‟.”130
Dari keterangan hadis di atas terlihat bahwa ada hal yang menjadi latar
belakang Nabi Saw menyampaikan larangan tersebut yaitu karena kekhawatiran
beliau akan terjadinya kebakaran karena hal tersebut pernah menimpa penduduk
Madinah. Menurut Hasbi, jika kekhawatiran terhadap terjadinya kebakaran sudah
128
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 26. 129
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 26. 130
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 27
133
tidak ada, maka perintah untuk mematikan lampu ketika tidur juga tidak harus
dijalankan lagi. Hasbi menuturkan,
“Perintah ini adalah suatu anjuran untuk menghindarkan kita dari
kemungkinan terjadinya kebakaran. Apabila tidak ada kekhawatiran kepada
terjadinya kebakaran, maka sudah barang tentu tidak diperintahkan supaya
kita memadamkan lampu di malam hari.”131
Hasbi menganggap bahwa perintah untuk memadamkan lampu ketika tidur
hanyalah sebuah petunjuk dan bukanlah sebuah kewajiban. Ia berpegang pada
kenyataan bahwa ‘illat yang terkandung di dalam hadis tersebut telah hilang sehingga
tidak menghendaki pengamalannya lagi. Maka jelas menurutnya hadis tentang
perintah memadamkan lampu ketika tidur ini merupakan bagian dari hadis yang
hukumnya bersifat sementara atau temporal. Ia menjelaskan,
“Perintah itu sebenarnya merupakan suatu petunjuk belaka, bukan sesuatu
yang diwajibkan. Untuk menghindari kebakaran. Dan di masa dahulu, lampu
yang dipakai adalah lampu minyak yang apabila tersenggol sedikit oleh tikus
dan semacamnya akan menimbulkan kebakaran. Apabila „illat tersebut tidak
ada lagi, maka tentulah hukum memadamkan lampu di malam hari tidak
tergolong perintah yang harus dijalankan lagi.”132
Lebih lanjut, Hasbi juga menjelaskan kandungan hadis tentang menjawab
salam dari orang non-muslim. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas
disebutkan bahwa cara menjawab salam dari orang non-muslim adalah dengan
mengucapkan “wa ‘alaikum”.
أنس بن بن مالك رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: إذا سلم عليكم أىل الكتاب عن فقولوا وعليكم )رواه البخاري ومسلم(
“Dari Anas bin Mālik r.a ia berkata: Nabi Saw bersabda, „Apabila ahli kitab
mengucapkan salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum‟.”133
131
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 132
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 28. 133
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.
134
Perihal ini menjadi perdebatan di antara para ulama. Tidak hanya seputar
menjawab salam, hukum mengucapkan salam terlebih dahulu kepada non-muslim
juga diperselisihkan.134
Ulama yang membolehkan untuk mengucapkan dan
menjawab salam dari kaum non-muslim mengatakan bahwa adalah hal yang
manusiawi untuk memberi penghormatan kepada mereka selama hati dan keyakinan
tetap pada Islam. Sementara itu juga ada ulama yang menentang keras perbuatan
tersebut karena di dalam hadis sudah dijelaskan bahwa tidak boleh memulai salam
dengan alasan apapun dan juga apabila mereka yang memulai maka jawablah dengan
“wa ‘alaikum” saja.
Adapun mengenai jawaban “wa‘alaikum” terhadap salam yang diucapkan
oleh non-muslim harus ditelusuri latar belakang historisnya, menurut Hasbi. Karena
ternyata ada hal yang menjadi penyebab Nabi Saw menjawab salam dari non-muslim
dengan ucapan tersebut. Hal ini didasarkan oleh riwayat Ibnu Umar:
عن عبد اهلل بن عمر قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو سلم: إذا سلم عليكم اليهود فإنا يقول ام عليك فقل وعليك )رواه البخاري ومسلم( أحدىم الس
“Dari Abdullah bin Umar ra.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, „Apabila
orang Yahudi memberi salam kepadamu maka sesungguhnya mereka mengatakan al-
sāmu ‘alaika, maka dari itu jawablah wa’alaika‟.”135
Di samping itu juga ada riwayat dari Aisyah:
عن عائشة رضي اهلل عنها قالت: دخل رىط من الي هود على رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم فقالوا: ام عليك ف فهمتها, فقلت: عليكم السام واللعنة. فقال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: مهل يا الس
134
Sayyid Quṯb mewakili ulama yang tidak menyetujui pengucapan salam kepada non-
muslim. Menurutnya, salam tidak selayaknya diucapkan kepada orang-orang yang bukan muslim
karena itu merupakan sebuah tahiyyah (penghormatan) dan budaya khas Islam. Pada sisi lain,
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam (penulis kitab Bulūgh al-Marām) mengungkapkan bahwa
memang benar umat Islam tidak boleh memulai salam kepada non-muslim, namun jika mereka yang
terlebih dahulu mengucapkan salam maka harus dijawab dengan wa ‘alaikum (bagimu juga). Lihat:
Sayyid Quṯb, Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān, Penerjemah As‟ad Yasin Dkk, Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), h. 471, dan Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syarh Bulūgh al-Marām, Penerjemah
Thahirin Suparta Dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 363. 135
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 225.
135
ب الرفق يف األمر كلو. فقلت: يا رسول اهلل أومل تسمع ما قالوا؟ قال رسول اهلل صلى عائشة! فإن اهلل ي اهلل عليو وسلم: فقد قلت وعليكم )رواه البخاري ومسلم(
“Dari Aisyah r.a. ia berkata: Segolongan Yahudi datang ke tempat Rasulullah
Saw dan berkata al-sāmu ‘alaika, aku memahaminya, karena itu aku menjawab
„alaikum al-sāmu wa la’natuhu‟, maka Rasulullah Saw bersabda, „Perlahan-lahan
wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah Swt menyukai kita berlemah-lembut dalam
setiap urusan‟. Aku menjawab, „Ya Rasulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang
mereka katakan?‟ Rasulullah menjawab, „Sesungguhnya aku telah mengucapkan
wa’alaikum‟.”136
Dari riwayat di atas, tampak bahwa penyebab Nabi Saw menjawab wa
’alaikum pada salam dari orang non-muslim karena mereka bukan mengucapkan al-
salāmu melainkan al-sāmu atau kematian atasmu. Menurut Hasbi, jika salam yang
diucapkan oleh orang non-muslim benar (al-salāmu ‘alaikum) maka wajiblah dijawab
dengan wa ‘alaikum al-salām karena jawaban yang diberikan Nabi Saw sebagaimana
yang diterangkan oleh hadis di atas adalah cara beliau untuk mengimbangi salam dari
orang yang mengucapkan salam kepadanya. Hasbi menuturkan,
“Hadis ini memberi pengertian bahwa Rasulullah tetap berlaku lunak terhadap
siapa saja yang beliau hadapi dan memerintahkan pula agar kita juga
melakukan hal yang demikian walaupun yang kita hadapi itu orang kafir. Dan
dari hadis ini kita dapat mengambil pengertian pula, bahwa apabila orang kafir
itu benar-benar mengucapkan „al-salāmu ‘alaikum‟, maka wajib pula kita
menjawab, „wa ‘alaikum al-salām‟. Karena Nabi menyuruh kita menjawab
„wa ’alaikum‟ saja adalah untuk mengimbangi salam orang Yahudi yang telah
diterangkan itu.”137
Dari pemaparan mengenai beberapa hadis di atas, terlihat bahwa Hasbi
memberikan perhatian yang cukup besar terhadap kondisi dan situasi yang mengiringi
disampaikannya sebuah hadis oleh Nabi Saw. Hal ini merupakan bukti bahwa dalam
memahami hadis ia menggunakan pendekatan historis yang besar kemungkinan
keberadaannya menjadikan kandungan sesebuah hadis menjadi kondisional atau
136
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 226. 137
Ash Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 7, h. 228-229.
136
menyesuaikan. Maka dengan demikian sebenarnya Hasbi juga telah menunjukkan
identitasnya sebagai ulama yang mendukung pemahaman kontekstual.
Hal ini tergambar dari penjelasannya terhadap hadis tentang perintah
memelihara jenggot yang setelah ditelusuri latar belakang dan kondisi yang
meliputinya menunjukkan adanya ‘illat atau alasan Nabi Saw memerintahkannya,
yaitu sebagai pembeda antara kaum muslimin dan yang bukan muslim. Namun alasan
yang dimaksud telah hilang seiring berkembangnya peradaban manusia, sehingga
menurut Hasbi memanjangkan jenggot tidak menjadi sebuah kewajiban lagi.
Pemahaman yang demikian hanya dilakukan oleh tokoh yang kontekstualis, karena
jika Hasbi memahaminya secara tekstual saja, tentu ia akan mengatakan bahwa
memanjangkan jenggot adalah wajib.
c. Pendekatan Sains atau Kesehatan
Di samping menggunakan pendekatan bahasa dan historis, pada beberapa
tema hadis Hasbi juga menjelaskannya dengan mengaitkannya pada pengetahuan
tentang sains dan kesehatan. Sebagaimana pemahamannya terhadap hadis tentang
cara membersihkan bejana bekas jilatan anjing. Di dalam sebuah riwayat disebutkan:
عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: إذا ولغ الكلب يف إناء أحدكم سلو سبع مرات )رواه النساء(ف لريقو ولي غ
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, bersabda Rasulullah Saw: Apabila anjing
menjilat bejana seseorang, hendaklah ditumpahkan air dalam bejana itu, kemudian
hendaklah dibasuhnya tujuh kali.”138
Hasbi juga mencantumkan riwayat dari Abu Hurairah yang berbunyi sebagai
berikut:
عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو قال: قال النيب صلى اهلل عليو وسلم: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيو الكلب راب )رواه البخاري ومسلم( أن ي غسلو سبع مرات أوالىن بالت
138
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 39.
137
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Nabi Saw bersabda: Cara kamu
menyucikan bejana yang dijilati anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali, yang
pertama dari yang tujuh itu dengan tanah.”139
Dalam memahami hadis di atas, Hasbi terlebih dahulu menjelaskan asbāb al-
wurūd nya. Asbāb al-wurūd dari hadis tersebut adalah Abdullah bin Mughaffal (w. 57
H) menerangkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuh semua
anjing. Beberapa waktu kemudian, Rasulullah berkata lagi, “Mengapa anjing terus-
terusan dibunuh?” Sesudah itu beliau membolehkan orang memelihara anjing buruan,
anjing gembala dan anjing penjaga tanaman. Nabi juga bersabda: Apabila anjing
menjilati bejana kamu, basuhlah tujuh kali dan gosoklah dengan tanah pada kali ke
delapan.”140
Semua ahli fiqih dan jumhur sepakat tentang keharusan untuk membasuh
bejana bekas jilatan anjing. Yang banyak diperselisihkan adalah cara membasuhnya.
Hasbi dengan cermat mengemukakan tentang penyebab dari diwajibkannya
membasuh bejana yang dijilat anjing dari segi kesehatan. Dalam hal ini ia
mengatakan,
“Dalam ilmu kedokteran ada disebutkan, bahwa ada penyakit yang terdapat
pada moncong anjing yang tak dapat dibasmi oleh yang selain dari tanah.
Maka memakai tanah ini adalah untuk membasmi bahaya kuman-kuman di
mulut anjing. Karena itu, jika terdapat benda cair yang dapat menghilangkan
bahaya kuman moncong anjing itu, tentulah boleh kita memakainya. Para
dokter telah menerangkan hikmat dari membasuh jilatan anjing sekian kali
banyaknya. Sebab perintah membasuh jilatan anjing ditekankan ialah karena
dalam perut besar anjing ada terdapat cacing tambang yang sangat kecil
(kuman-kuman penyakit anjing gila), panjangnya 4 mm. Apabila anjing berak,
keluarlah telur-telur bersama beraknya. Apabila anjing membersihkan
badannya dengan lidahnya, seperti biasa dilakukan anjing, berlumurlah
lidahnya dengan cacing-cacing itu. Maka apabila anjing menjilat air dalam
suatu bejana, lengketlah telur-telur atau kuma-kuman itu padanya. Kalau air
itu diminum oleh manusia, masuklah ke dalam perutnya kuma-kuman dan
telur-telur itu dan beranaklah ia di dalam perut, lalu merusaklah dinding
pencernaan dan masuklah ke dalam saluran darah yang menyebabkan timbul
penyakit otak, jantung dan paru-paru. Karena membedakan antara anjing yang
berpenyakit dengan yang tidak, sukar sekali.”141
139
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 45. 140
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 46. 141
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1, Cet-5, h. 47-48.
138
Dari keterangan yang dikemukakan oleh Hasbi di atas, terlihat bahwa ia
berusaha untuk memberikan alasan yang logis dari perintah untuk membasuh bejana
yang dijilat oleh anjing. Namun yang penulis garis bawahi dari uraian di atas adalah
sikap Hasbi yang luwes dalam tata cara membersihkan bejana yang dimaksud.
Menurutnya, karena zaman yang sudah berperadaban dan berkembang ini
menyediakan sabun dengan berbagai merek dan kualitas tinggi, maka boleh tidak
memakai tanah dan diganti dengan sabun saja. Karena alasan dari Nabi Saw
menyuruh untuk membersihkan bejana yang dijilati anjing adalah khawatir jika hal
tersebut dapat merusak kesehatan umat Islam. Maka disaat sudah ada benda yang
dapat menghilangkan “sebab” dari keharusan membasuh bejana yang dijilati anjing,
maka menurut Hasbi sah-sah saja jika memakai benda lain selain tanah. Ia juga
menambahkan, bahwa hadis-hadis di atas hanya menunjukkan kepada kenajisan
mulut anjing saja dan meqiyaskan seluruh badan anjing kepada mulutnya tidak
dibenarkan.142
Lebih lanjut, Hasbi juga menggunakan sebuah istilah “naluri budi” dalam
memahami hadis. Hadis yang ia pahami dengan naluri budi berkenaan dengan
meminum kencing unta. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
عكل أو قال عرينة قدموا على رسول اهلل صلى اهلل عن أنس بن مالك رضي اهلل عنو قال: إن رىنا منعليو وسلم فاجت ووا ادلدينة فأمر ذلم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم بلقاح وأمرىم أن يرجوا فيشرب وا من
)رواه البخاري ومسلم( أب واذلا وألبانا
“Dari Anas bin Mālik RA ia berkata: Bahwasannya serombongan orang dari
kabilah Ukal atau „Urainah datang ke Madinah, maka Nabi Saw menyuruh berikan
kepada mereka beberapa ekor unta betina dan menyuruh mereka tinggal di luar kota.
Mereka pergi bertempat di luar kota dan mereka minum kencing-kencing unta dan
susu-susunya.”143
Ia menerangkan, “Menurut pendapat kami hadis ini tidak perlu rasanya
ditegaskan syara‟. Cukup diserahkan pada naluri budi kita sendiri-sendiri. Naluri budi
142
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid 2, Cet-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 95. 143
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, Cet-4, Edisi 2 (Jakarta: Karya
Unipress, 1993), h. 55-57.
139
yang sehat tentu menyatakan kencing unta itu menjijikkan. Kalau demikian, najislah
ia dan hendaklah kita membersihkan diri dari padanya.”144
Naluri budi yang
dimaksud oleh Hasbi adalah wijdān atau perasaan hati. Siapapun yang berpikiran dan
berperasaan yang sehat tentu akan memandang bahwa air kencing (baik yang berasal
dari manusia atau hewan) merupakan sesuatu yang kotor. Maka dari itu, patutlah hal
tersebut untuk dihindari dan tidak dikonsumsi.
Dari pemaparan pada sub-bab ini, tampak bahwa beberapa pemahaman Hasbi
terhadap hadis memang sedikit berbeda dari ulama mayoritas. Maka dalam hal ini
yang perlu diperhatikan adalah metode yang ia gunakan dalam memahami hadis.
Sama halnya dengan ulama lain, ketika memahami hadis Hasbi juga menerapkan
langkah-langkah seperti memahami hadis dengan al-Qur‟an dan riwayat hadis yang
lain. Namun tidak hanya itu, ia juga sangat menyandarkan pemahamannya kepada
amalan para sahabat dan pendapat para ulama. Karena kadar perhatiannya terhadap
perkataan para sahabat dan ulama yang besar-lah sehingga ia dengan tegas
menyatakan bahwa tidak ada shalat Zuhur pada hari Jum‟at dan mengqasr shalat
ketika safar meskipun dalam jangka waktu yang lama.145
Dalam memahami hadis, Hasbi menggunakan beberapa metode yang sebagian
darinya sama dengan yang telah dikemukakan oleh ulama klasik dan sebagian darinya
merupakan hasil dari olah pikir ia sendiri. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji
adalah kriteria keshahihan yang ditetapkan oleh Hasbi. Ia menambahkan satu kriteria
di samping lima kriteria yang sering digunakan oleh ulama, yaitu matan hadis tidak
bertentangan dengan nash mutawātir dan juga tidak bertentangan dengan kaidah
agama yang telah disepakati. Ia menolak hadis tentang Nabi Saw terkena sihir karena
144
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid I, h. 57. 145
Hasbi merupakan tokoh yang turut serta dalam menyuarakan ijtihad dan menolak taqlid.
Ketika membaca karya-karyanya akan ditemukan fakta bahwa Hasbi banyak mengutip dan
menyandarkan pendapatnya pada pandangan ulama-ulama terdahulu, yang demikian mungkin saja
akan membuat beberapa orang menganggapnya jumud. Namun, menurut Hasbi mengutip pendapat
ulama terdahulu tidaklah termasuk taqlid. Jika menyandarkan pendapat kepada ulama terdahulu
termasuk taqlid, maka sama saja dengan mengatakan bahwa telah taqlid orang-orang yang berpegang
pada pendapat salaf dan mutaqaddimīn. Bagi Hasbi, seseorang baru dikatakan taqlid ketika ia bertaqlid
pada pendapat ulama muta’akhkhirīn yang hidup pada kurun waktu lima ratus atau dua ratus tahun
belakangan ini yang mereka lebih banyak berpegang pada pendapat imam mazhab mereka dibanding
al-Qur‟an dan hadis. Lihat: N. Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 125-127.
140
menurutnya kandungan hadis tersebut bertentangan dengan kaidah yang telah
disepakati yaitu Nabi Saw sebagai manusia yang mulia dan senantiasa mendekatkan
diri kepada Allah Swt tidak mungkin terkena sihir. Padahal hadis tersebut terdapat di
dalam Shahih al-Bukhāri dan Shahih Muslim.
Hal yang sama juga terjadi ketika Hasbi memahami hadis tentang syafa‟at. Ia
berkesimpulan bahwa syafa‟at yang berupa penyelamatan manusia dari api neraka
tidak ada karena di dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada
syafa‟at pada Hari Akhir. Di samping itu, adalah sebuah ketidakmungkinan jika Allah
Swt mengubah ketetapan-Nya terhadap seorang hamba. Seseorang yang telah dihisab
dan ditentukan untuk masuk neraka tidak mungkin dapat diselamatkan dari siksaan
sekalipun itu adalah syafa‟at dari Nabi Saw. Demikianlah pemahaman yang diyakini
oleh Hasbi. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam memahami hadis Hasbi sangat
berpatokan kepada petunjuk al-Qur‟an, sehingga jika ada sebuah hadis yang
kandungannya tidak satu alur dengan penjelasan yang tertera di dalam al-Qur‟an
maka ia akan cenderung menunjukkan penolakannya terhadap hadis yang
bersangkutan.
Dalam memahami hadis, di samping menggunakan pemahaman tekstual,
Hasbi juga menggunakan pemahaman kontekstual. Hasbi memberikan perhatiannya
terhadap perkembangan zaman dengan keterkaitannya dengan ketetapan hukum.
Menurut Hasbi, peradaban manusia akan membawa fatwa-fatwa baru karena hukum
timbul mengikuti keadaan. Ia menyadari bahwa perkembangan zaman dan kemajuan
peradaban yang dialami oleh umat manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat
dielakkan. Maka ketika terjadi perkara-perkara baru, akal diharapkan mampu untuk
mengimbangi keadaan tersebut. Hal inilah yang mendorong Hasbi untuk
menggunakan metode kontekstual dalam memahami hadis.146
146
Pemahaman kontekstual meraih puncak kepopulerannya di kalangan akademisi hadis
Indonesia pada akhir abad dua puluh dan awal abad dua puluh satu. Maka dikenal-lah tokoh-tokoh
seperti KH. Ali Mustafa Yaqub, M. Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, Nizar Ali dan lain-lain sebagai
ulama yang mencurahkan perhatiannya di bidang ini. Dari beberapa tokoh ini, Hasbi tercatat telah
dahulu menulis karya yang memuat tentang pemahaman kontekstual terhadap hadis dengan terbitnya
dua bukunya sekitar tahun 1950-1970 yaitu 2002 Mutiara hadis Nabi dan Koleksi Hadis-hadis Hukum.
Meskipun dua karyanya ini tidak berisi tentang pemahaman kontekstual secara utuh dan mendalam,
141
Beberapa hadis yang dipahami oleh Hasbi secara kontekstual adalah hadis
tentang memelihara jenggot, hadis menjawab salam dari non-muslim, hadis
mematikan lampu saat hendak tidur, hadis larangan menggunakan wadah dari emas
dan perak. Pemahaman hadis yang digunakan oleh Hasbi sangat erat hubungannya
dengan ‘illat yang terkandung di dalam sebuah hadis. ‘Illat yang ia maksudkan adalah
segala sesuatu yang menjadi latar belakang ditetapkannya hukum, termasuk di
dalamnya alasan, sebab dan tujuan Nabi Saw menyabdakan sebuah hadis. Menurut
Hasbi, ketika ‘illat dari sebuah hadis hilang, hukum yang terkandung di dalam hadis
tersebut juga ikut lenyap. Demikianlah ia memahami hadis tentang memelihara
jenggot, yang menurutnya ‘illat hukumnya sudah hilang sehingga perintah untuk
memanjangkan jenggot dan memotong kumis sudah tidak harus dijalankan lagi pada
saat ini. Begitupula halnya dengan hadis mematikan lampu saat hendak tidur. Karena
„illat hukum yang terkandung di dalamnya berupa kekhawatiran akan terjadinya
kebakaran sudah tidak ada lagi (sudah ada listrik), maka boleh untuk tidak mematikan
lampu ketika hendak tidur.
Hal yang sama juga berlaku pada hadis tentang menjawab salam dari orang
non-muslim. Karena alasan Nabi Saw menjawab “wa ‘alaikum” kepada non-muslim
adalah karena mereka bukan mengucap salam melainkan al-sāmu ‘alaikum, maka
disaat alasan tersebut telah berubah atau jika orang non-muslim mengucap salam
dengan benar wajib dijawab dengan benar pula. Demikian juga pada hadis tentang
larangan memakai wadah dari emas dan perak. Menurut Hasbi, karena „illat hukum
yang terkandung di dalamnya sudah lenyap, maka larangan untuk memakai wadah
dari emas dan perak juga hilang seiring dengan lenyapnya ‘illat tersebut.
Selanjutnya, dalam memahami hadis musykīl Hasbi cenderung menggunakan
takwil. Namun menurutnya tidak semua hadis musykīl boleh ditakwil. Hadis musykīl
namun beberapa hadis yang terdapat di dalamnya telah ia pahami dengan metode tersebut. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa wacana dan nalar kontekstual Hasbi sudah ada pada saat itu. Tokoh lain
menulis dan menerbitkan karyanya pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Seperti halnya M.
Syuhudi Ismail dengan karnyanya “Hadis Tekstual dan Kontekstual” pertama terbit pada tahun 1984,
Nizar Ali dengan karyanya “Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil” terbit pertama kali
pada tahun 2008, Daniel Djuned dengan karyanya “Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu
Hadis” terbit pada tahun 2010 dan K.H. Ali Mustafa Yaqub dengan karyanya “Cara Benar Memahami
Hadis” terbit pertama kali pada tahun 2014.
142
yang boleh ditakwil adalah hadis yang sulit diterima oleh akal dan hadis yang
kandungannya menunjukkan perbedaan dengan yang dijelaskan oleh al-Qur‟an.
Dalam mentakwil hadis Hasbi juga memberikan rambu-rambu, yaitu tidak boleh
mensyarah hadis sekedar untuk menyesuaikannya dengan akal tanpa melirik hadis
shahih yang lain, takwil hanya boleh diterapkan pada hadis-hadis yang tidak
berkenaan dengan sifat Tuhan dan aqā`id, dan boleh menerapkan takwil terus-
menerus pada hadis-hadis yang tidak berhubungan dengan sifat Tuhan dan aqā`id
selama tidak merusak suatu ketetapan syara‟ yang sudah tegas hukumnya.147
Adapun
dalam memahami hadis yang kontradiktif Hasbi tampaknya hanya menggunakan satu
metode saja, yaitu kompromi atau al-jam’u. Hal ini tergambar dari langkahnya
memahami hadis di dalam dua karyanya pada bidang syarah, yaitu 2002 Mutiara
Hadis dan Koleksi Hadis-hadis Hukum.
B. Upaya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Mengembangkan Kajian
Pemahaman Hadis di Indonesia
Perkembangan kajian hadis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga
periode, yaitu periode awal (abad ke-17-18), periode kedua (abad ke-19) dan periode
ketiga (abad ke-20 hingga sekarang). Hal inilah yang diungkapkan oleh Ahmad
Fudhaili di dalam penelitiannya mengenai geneologi perkembangan hadis di
Nusantara.148
Menurutnya, masing-masing periode memiliki ciri khas dan
karakteristik yang berbeda-beda. Pada periode pertama misalnya, karya-karya hadis
yang dihasilkan oleh ulama Indonesia masih dalam ruang lingkup yang sangat
terbatas berupa antologi hadis-hadis pilihan yang diarahkan untuk menjadi pedoman
bagi pembinaan praktek ibadah.149
Kitab-kitabnya juga ditulis dalam bahasa Melayu
147
N. Shiddiqi, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, h. 130-131. 148
Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,”
Laporan Penelitian UIN Syarid Hidayatullah Jakarta, 2018, h. 203-209. 149
Hal ini juga dikemukakan oleh Muh. Tasrif di dalam penelitiannya. Hanya saja ada sedikit
perbedaan antara Muh. Tasrif dan Ahmad Fudhaili, menurut Muh. Tasrif periode pertama terjadi pada
abad ke 17-19 sedangkan menurut Ahmad Fudhaili periode pertama terjadi pada abad ke 17-18.
Namun hal ini tidak merubah kenyataan bahwa kajian hadis di Indonesia pertama kali berkembang dan
dikenal pada abad ke 17 dengan munculnya kitab-kitab hadis yang ditulis oleh ulama pada abad 17.
143
dan aksara pegon.150
Pada periode kedua kitab-kitab hadis cenderung ditulis di dalam
bahasa Arab dan banyak dikaji di pesantren-pesantren. Sedangkan periode ketiga
adalah masa dimana muncul tokoh-tokoh yang melahirkan karya-karya dengan
inisiatif-inisiatif yang baru. Ulama pada periode ketiga mayoritas menulis karya-
karyanya dengan bahasa lokal, sehingga hal tersebut dapat memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk memahaminya. Namun hal yang demikian juga berpengaruh pada
konsumen yang membaca karya mereka. Pada periode kedua karya-karya ulama
banyak dikaji oleh para santri, sedangkan karya ulama para periode ketiga lebih
banyak dikaji oleh para akademisi, mahasiswa dan masyarakat secara umum.151
Dari beberapa periode yang telah disebutkan di atas, kajian hadis meraih
puncaknya pada periode ketiga. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh hadis yang
melahirkan karya-karya yang cemerlang. Salah satu tokoh pada periode ketiga adalah
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ia telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan
dan memberikan warna baru dalam pengkajian hadis di Indonesia, terutama pada
bidang pemahaman hadis. Peran dan kontribusinya tercermin dari karya-karyanya
yang terus dikaji hingga saat ini oleh banyak kalangan, baik oleh akademisi hadis
maupun masyarakat biasa. Karya-karya yang dihasilkan oleh Hasbi juga terus dicetak
dan diperbaharui hingga awal abad ke-21. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kontribusinya terus hidup di tengah-tengah masyarakat meskipun tangan yang
menulisnya telah tiada.
Hasbi telah berhasil mendobrak tradisi penulisan kitab hadis di Indonesia. Ia
hadir dengan delapan karyanya dalam bidang hadis yang dua di antaranya merupakan
karyanya mengenai syarah hadis. Dalam menulis karyanya, Hasbi memfokuskan
dirinya untuk menulis karya dalam bahasa Indonesia karena menurutnya hal pertama
yang harus dilakukan agar kajian Islam dapat berkembang dan tersebar di Indonesia
Lihat: Muh. Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Perkembangan (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2007), 171. 150
Sebagai contoh adalah kitab Hidāyah al-Habīb fī al-Targhīb wa al-Tarhīb karya ar-Raniri.
Kitab ini merupakan kitab hadis berbahasa Arab yang disertai dengan penjelasan-penjelasan berbahasa
Melayu terawal yang muncul di Indonesia. Lihat: Ahmad Fudhaili, “Perkembangan Hadis di
Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 204. 151
Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 203-
209.
144
adalah dengan menyajikan karya-karya dalam bahasa yang dapat dengan mudah
dipahami oleh masyarakat secara umum. Langkah yang ditempuhnya ini berbeda dari
ulama-ulama yang hidup sebelumnya yang mayoritas menulis karya syarahnya
dengan bahasa Arab dan sebagian lain dengan bahasa Melayu.
Dari konteks sejarah juga terlihat bahwa sebelum abad ke-20 hampir tidak ada
kitab hadis produk ulama dalam negeri yang berbahasa Indonesia. Sebut saja kitab
Hidāyat al-Habīb fi al-Targhīb wa al-Tarhīb karya Nuruddin al-Raniri152
yang
penjelasannya ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Pegon. Kemudian pada
abad ke-19 juga lahir beberapa kitab seperti Tanqīh al-Qaul al-Hasis fi Syarḥ Lubab
al-Hadīs karya Nawawi al-Bantani dan Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syaraḥ al-Mihnaḥ al-
Khairiyyah karya Mahmūd al-Tarmasi, yang keduanya ditulis dalam bahasa Arab
asli. Maka hadirnya karya Hasbi berupa syarah hadis merupakan sesuatu yang baru
dalam sejarah kajian hadis di Indonesia dan menjadi salah satu ciri khas yang melekat
pada Hasbi sebagai tokoh hadis kala itu. Tentu saja hal tersebut juga erat kaitannya
dengan perkembangan kajian pemahaman hadis, karena penjelasan Hasbi tentang
hadis dan juga metode yang beliau gunakan di dalam karya syarahnya ketika
menjelaskan sebuah hadis juga merupakan bagian dari kajian pemahaman.
Lebih lanjut, langkah yang ditempuh oleh Hasbi untuk menulis karya hadis
berbahasa Indonesia pada satu sisi memang mempunyai kelebihan, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa hal tersebut juga memiliki kekurangan. Kelebihannya tentu saja
dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat karena ditulis dalam bahasa nasional
yang pasti diketahui oleh semua penduduk Indonesia. Sedangkan kekurangannya
terletak pada sulitnya karya tersebut untuk mendunia karena tidak ditulis dengan
bahasa Internasional seperti bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kitab tersebut mungkin
saja dapat mendunia namun harus melalui proses yang panjang, di antaranya adalah
152
Kitab ini diklaim sebagai kitab syarah hadis pertama di Indonesia Selain sebagai kitab
syarah hadis pertama, karya Ar-Raniri ini juga merupakan kitab hadis Melayu yang menjadi tolak ukur
munculnya kajian hadis pertama kali di sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Indonesia.
Namun sejauh ini akses terhadap kitab ini sangat terbatas karena diketahui hanya satu tempat yang
menyimpan teksnya yaitu Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), dan sebuah penelitian terbaru
menyatakan bahwa teks kitab tersebut juga ada di Perpustakaan Manuskrip Malaysia, meskipun masih
dalam versi tidak lengkap. Lihat: Alimron, “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas
Naskah Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri,” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-7.
145
dengan diterjemahkan terlebih dahulu. Di samping itu, karya Hasbi dalam bidang
hadis yang ia tulis dalam bahasa Indonesia juga kurang dapat diterima oleh oleh para
santri. Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia mayoritas menggunakan kitab-kitab
berbahasa Arab. Hal ini erat hubungannya dengan “Arab oriented” yang
menyebabkan beberapa kelompok tidak menggolongkan karya berbahasa Indonesia
sebagai sebuah “kitab”. Menurut mereka sebuah karya dapat disebut sebagai kitab
hanya jika ditulis dalam bahasa Arab.153
Lebih lanjut, jika diperhatikan ulama-ulama sebelum Hasbi atau lebih
tepatnya yang hidup pada periode perkembangan hadis pertama dan kedua menulis
kitabnya dengan menyesuaikan pada kondisi dan kebutuhan masyarakat kala itu. Pada
periode awal masyarakat banyak yang baru mengenal Islam, sehingga kitab-kitab
hadis ditulis dengan ringkas dan lebih diarahkan pada praktik-praktik keagamaan saja
seperti kewajiban-kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh kaum muslimin.154
Maka sudah jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai oleh ulama pada periode ini
adalah masyarakat secara umum. Sedangkan pada periode kedua, sasaran yang ingin
dituju oleh para ulama tampaknya adalah para santri dan program pembelajaran hadis
di pesantren. Kitab-kitab hadis pada masa ini juga ditulis dalam bahasa Arab sangat
sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pesantren. Adapun Hasbi sebagai tokoh
yang masuk dalam periode ketiga menjadikan mahasiswa dan masyarakat umum
sebagai sasaran dari karya-karya hadis yang ia hasilkan. Hal ini didukung oleh
kenyataan bahwa Hasbi adalah dosen yang aktif mengajar di Perguruan Tinggi Islam
kala itu. Maka adalah sesuatu yang sangat memungkinkan jika karyanya dijadikan
sebagai buku wajib mahasiswa dan rujukan pada mata kuliah hadis di tempat ia
mengajar.
153
Fudhaili, “Perkembangan Hadis di Nusantara: Studi Genealogi dan Metodologi,” h. 211-
212. 154
Hurin‟in Am, “Karakteristik Karya Hadis di Indonesia Abad XVII hingga Awal Abad
XXI,” Tesis Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU) 2017, h. 111.
146
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini
menghasilkan beberapa kesimpulan berupa jawaban dan respon yang selaras dengan
masalah yang telah dirumuskan. Kesimpulan pokok dari penelitian ini adalah terkait
dengan metode T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam memahami hadis. Dari pembacaan
terhadap karya-karya beliau pada bidang hadis, terutama yang berkenaan dengan
syarah seperti karyanya yang berjudul “2002 Mutiara Hadis” dan “Koleksi Hadis-
hadis Hukum”, ditemukan beberapa metode yang beliau gunakan dalam memahami
hadis, yaitu antara lain: a) Memahami hadis dengan petunjuk al-Qur’an; b)
Mentakwil hadis-hadis musykīl; c) Merujuk pada sejumlah referensi; d)
Mengkompromikan hadis-hadis yang bertentangan. Di samping itu, dalam memahami
hadis Hasbi juga menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahasa,
pendekatan historis dan pendekatan sains atau kesehatan.
Selanjutnya, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga mempunyai upaya tersendiri
untuk mengembangkan kajian pemahaman hadis di Indonesia. Upaya tersebut
tergambar dari langkah beliau dalam menyajikan kajian berbentuk karya-karya syarah
yang sengaja beliau tulis dalam bahasa lokal. Hasbi secara pribadi menyatakan bahwa
hal pertama yang harus dilakukan agar kajian hadis dapat diterima dan berkembang di
Indonesia adalah dengan memberikan kajian-kajian dalam bahasa yang mudah
dimengerti oleh masyarakat. Hal ini juga membuat Hasbi stand out karena berhasil
menghadirkan karya hadis berbahasa lokal disaat mayoritas ulama-ulama yang hidup
sebelumnya menulis karya hadis mereka dalam bahasa Melayu (abad ke 17-18) dan
bahasa Arab (abad ke-19).
Adapun langkah yang ditempuh oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam
menghasilkan karya-karya hadis berbahasa lokal mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya terdapat pada sisi penerimaan dan jangkauan
perkembangannya yang dapat menyentuh masyarakat luas secara umum. Sedangkan
147
kekurangannya adalah karyanya menjadi sulit untuk mendunia karena tidak ditulis
dalam bahasa Internasional (Arab atau Inggris). Di samping itu, karya-karya yang
ditulis dalam bahasa Indonesia sulit untuk masuk lembaga pesantren. Mayoritas
pesantren tidak menggunakan buku-buku berbahasa Indonesia karena menurut
mereka karya-karya tersebut adalah “buku” bukan “kitab”. Hal ini juga erat kaitannya
dengan “Arab Oriented” yang dianut oleh beberapa pesantren sehingga mereka lebih
mengutamakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai kajian pokok bagi para santrinya.
B. Saran-saran
Penelitian ini sifatnya tidak mutlak, sehingga jika di kemudian hari ditemukan
kekeliruan atau terdapat penelitian yang lebih akurat, maka kesimpulan dari
penelitian ini dapat disesuaikan. Oleh karena itu dengan selesainya penelitian yang
berjudul “Metode Pemahaman Hadis di Indonesia: Studi atas Pemikiran T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy” ini diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca. Penulis
juga menghimbau kepada para akademisi hadis di Indonesia dapat memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap pengkajian mengenai metodologi pemahaman
hadis. Karena sejauh ini penelitian terkait metode pemahaman hadis masih terbilang
sedikit dibandingkan kajian-kajian hadis yang lain seperti studi hadis tematik dan
sejarah perkembangan hadis.
148
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga
Modern. Cet-2. Yogyakarta: LESFI. 2004.
Abu Ṯālib, Safi Hasan. Tatbi al-Syarī’ah al-Islāmiyah fī al-Bilād al-Arabiyyah.
Kairo: Dār al-Nahḏah al-Arabiyah, 1990.
Abubakar, Ali. “Reinterpretasi Shalat Jumat: Kajian Dalil dan Pendapat Ulama.”
Media Syariah XIII, No. 2 (Juli-Desember 2011): h. 171.
Ali. “Pengaruh Tradisi Arab Pra Islam terhadap Hukuman Rajam.” Jurnal Ilmiah
Islam Futura 14, No. 1 (Agustus 2014): h. 32.
Ali, Nizar. Hadis Versus Sains: Memahami Hadis-hadis Musykil. Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2008.
Alimron. “Teks dan Konteks Kitab Hadis Melayu Pertama: Studi atas Naskah
Hidāyat al-Ḥabīb Karya Ar-Raniri.” Diyā al-Afkār 6, No. 1 (Juni 2018), h. 6-
7.
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta:
Penerbit Hikmah, 2009.
Andi, Azhari. dkk. “Reinterpretasi Sunnah: Studi Pemikiran Muhammad Syahrur
terhadap Sunnah.” Living Hadis 1, No. 1 (Mei 2016): h. 88-89.
Annum, Latifa D. “Kajian Proses Islamisasi di Indonesia.” Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 12, No. 1 (Juni 2016): h. 117-119.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina
Aksara, 1989.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadits. Cet-2. Jakarta: Bulan
Bintang, 1988.
_______. Ilmu-ilmu Al-Qur’ān: Membahas Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-
Qur’ān. Ed. 3. Cet ke-6. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
_______. Pedoman Shalat. Cet-11. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
_______. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
_______. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur. Jilid I. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2000
149
_______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
_______. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
_______. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Cet-2. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009.
_______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid I. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
_______. Pokok-pokok Dirayah Hadits. Jilid 2. Cet-6. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid I. Cet-3. Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 2. Cet-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
_______. 2002 Mutiara Hadits. Jilid 6. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
_______. 2002 Mutiara Hadis. Jilid 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 1. Cet-5. Jakarta: PT Magenta Bhakti
Guna, 1994.
_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 3. Cet-2. Bandung: Al-Ma‟arif. 1972.
_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 4. Bandung: Al-Ma‟arif, 1974.
_______. Koleksi Hadis-hadis Hukum. Jilid 5. Bandung: Al-Ma‟arif, 1976.
________. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997.
Al Asqalāni, Ahmad bin Ali bin Hajr. Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-Bukhāri. Riyāḏ:
Dār al-Ṯibah, 2005.
Atno. “Teori Masuknya Agama dan Budaya Islam ke Indonesia” RISTEKDIKTI:
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG dalam Jabatan Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, h. 1.
Aziz, Erwati. “Fitrah Perspektif Hadith: Studi Kritik Sanad, Matan dan
Pemahamannya.” Al-A’raf 14, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 144-145.
Aziz, Mahmud dan Yunus, Mahmud. Ilmu Mustolah Hadith. Jakarta: PT Hadikarya
Agung, 1984.
150
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.
Al Bantani, Nawawi. Tanqīh al-Qaul al-Hadīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs. Jakarta: Dār
al-Kutub al-Islāmiyah, 2011.
Basri, Hasan. “Manajemen Dakwah Rasul SAW di Mekkah.” Al-Munzir 7, No. 2
(November 2014): h. 29.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarh Bulūgh al-Marām. Penerjemah
Thahirin Suparta Dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i.”
Ushuluddin 17, No. 2 (Juli 2011): h. 189.
Baya‟qub, Rusydi. “Konstruksi Pemikiran Reformasi Islam Ahmad Surkati.” Al-
Adalah 15, No. 2 (Desember 2012): h. 224.
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Cet-3. Bandung:
Mizan, 1999.
Al Bukhāri, Muhammad bin Ismāīl bin al Mughīrah. Sahih al-Bukhāri. Kitab Al-
Janā`iz Bab 32. Riyāḏ: Maktabah al-Rusyd, 2006.
Bustamin. Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ushul Press, 2009.
Bustamin dan Salam, M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Chalida, Noer. “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis.” Al-Hikmah 5, No. 2
(Oktober 2017): h. 92.
Channa, Liliek AW. Memahami Makna Hadis secara Tekstual dan Kontekstual.”
Jurnal Ulumuna 15, No. 2 (Desember 2011): h. 395.
Damanik, Nurliana. “Konsep Syafa‟at dalam Perspektif al-Qur‟an dan al-Hadis.”
Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam, (Jan-Des 2017): h. 72.
Danarta, Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia: Sebuah Upaya
Pemetaan.” Jurnal Tarjih Edisi 7 (Januari 2004): h. 73-82.
Darussamin, Zikri. “Kassim Ahmad Pelopor Inkar Sunnah di Malaysia.” Alfikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman 8, No. 1 (Januari-Juni 2009): h. 3.
151
Daulay, Hefni Julidar. “Pemikiran Hadis T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Buku
Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid Satu Pembahasan Pertama (Thaharah),”
(Tesis Prodi Tafsir Hadis UIN Sumatera Utara).
Al Dimasyqī, Ibnu Naṣiruddīn. Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis Permata
Salaf yang Terpendam (833H/1429M). PenerjemahaFaisal Saleh Dkk.
Jakarta: Penerbit Akbar, 2008.
Djuned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2010.
Fahruddien. “Syafa‟at dalam al-Qur‟an: Suatu Kajian atas Tafsir al-Maraghi,” (Tesis
S2 Pascasarjana IAIN Surakarta, 2017), h. 31-38.
Farida, Umma. “Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: Perspektif
Ushuliyyin dan Muhadditsin.” YUDISIA: Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam 6, No. 1 (Juni 2015): h. 237.
_______. “Kontribusi Nur Ad-Din Ar-Raniri dan Abd Ar-Rauf As-Sinkili dalam
Pengembangan Kajian Hadis di Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3,
No. 1 (2017): h. 2.
Firdaus, Beni. “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Jama‟ dan Qashr Shalat.”
Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam 2, No. 2 (Juli-Desember 2017): h. 173.
Fatih, M. “Pemahaman Hadis „Makan dengan Tiga Jari‟ dan „Perbedaan Usus Orang
Mumin dan Orang Kafir Ketika Makan‟: Kajian Ma‟anil Hadits.” Progressa
Journal of Islamic Religious Instruction 1, No. 1 (Februari 2017): h. 131.
Al Ghazāli, Muḥammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1996.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Ghozali, Abdul Malik. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah
dalam Ta‟wīl Mukhtalaf al-Ḥadīs.” Kalam: Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam 8, No. 1 (Juni 2014): h. 120.
Harahap, Radinal Mukhtar. “Hadis pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat.”
Al-Bukhāri: Jurnal Ilmu Hadis 1, No. 1 (Januari-Juli 2018): h. 42.
Hasbi, Ridwan. “Paradigma Shalat Jum‟at dalam Hadits Nabi.” Jurnal Ushuluddin
18, No. 1 (Januari 2012): h. 78.
152
Hasbillah, Ahmad Ubaydi. Nalar Tekstual Ahli Hadis: Akar Formula Kultur Moderat
Berbasis Tekstualisme. Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2018.
Hasbiyallah, Muhammad. “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan
Nilai-nilai Al-Qur‟an.” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-
Hadits 12, No. 1 (Juni 2018): h. 34.
Ibnu Amri, Abu Ibrahim Arman. Mengenal Syafa‟at,” diakses pada 8 Oktober 2019
dari https:// almanhaj.or.id/2734-mengenal-syafa‟at.html
Ibnu Anas, Mālik. Al-Muwaṯṯā`. Ditahqiq oleh Muhammad Musṯafa Al-A‟ẕāmi. Jilid
5, Kitab al-Jāmi’. Abu Dabi: Mu`assasah Zayed bin Sulṯān, 2004.
Ibnu Fauzi, Abdul Aziz. “Dinamika Gerakan Al-Irsyad dalam Mempengaruhi
Perubahan Sosial Warga Keturunan Arab Kampong Ampel Surabaya Utara.”
AntroUnairDotNet 2, No. 2 (Januari-Februari 2013): h. 233.
Ibnu Muhammad, Abu al-Qāsim al-Husain. Al-Mufradāt fi Gharīb al-Qur’ān. T.tp:
Maktabah Nizar Mustafa al-Bāz, t.t.
Ibrahim, Muhsinah. “Dayah, Masjid, Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan dan
Lembaga Dakwah di Aceh.” Al-Bayan 21, No. 30 (Juli-Desember 2014): h.
24.
Idri. Studi Hadis. Cet-3. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Imron, Ali. “Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta‟dil.” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 2,
No. 2 (Desember 2017): h. 288.
Irfah, Abu. “Karya Ulama: Kitab Ikhtilaf al-Hadith.” Artikel diakses pada 14 Juni
2019 dari abusyahmin.blogspot.com/2013/07/kitab-ikhtilaf-al-hadith.html
Ismail, M. Syuhudi. Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Cet-2. Jakarta:
Bulan Bintang, 2009.
_______. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet-4. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis. Penerjemah Mujiyo. Cet-2. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.
Al Jawziyah, Ibnu al-Qayyim. Petunjuk Nabi Saw Menjadi Hamba Teladan dalam
Berbagai Aspek Kehidupan. Penerjemah Achmad Sunarto. Jakarta: Rabbani
Press, 1998.
153
Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir: 1890-1960, Penerjemah Ilyas Hasan.
Bandung: Mizan, 1999.
Kahar, Abd. “Eksistensi dan Keistimewaan Malaikat Jibril AS dalam Al-Qur‟an.”
JPIK 1, No. 2 (September 2018): h. 286.
Khaeruman, Badri. “Perkembangan Hadis di Indonesia pada Abad XX.” Jurnal
Dirayah Ilmu Hadis 1, No. 2 (Maret 2017): h. 187-202.
Al Khaṭīb, Muhammad „Ajjāj. Uṣūl al-Hadīs Ulūmuhu wa Musṯalāhuh. Beirut: Dār
al-Fikr, 1989.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.
Ma‟arif, Toha. “Fiqih Indonesia menurut Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi, Hazairin
dan Munawir Syadzali.” Pengembangan Masyarakat Islam 8, No. 2
(Agustus 2015): h. 31.
Mahdy, Fakhri Tajuddi. “Metodologi Syarah Hadis Nabi Saw: Telaah Kitab Tanqīh
al-Qaul al-Hasīs fī Syarh Lubāb al-Hadīs Karya Imam Nawawi Al-Bantani,”
(Tesis S2 UIN Alauddin Makassar, 2016), h. 98.
Mahmudi. “Pemahaman Hadis tentang Memelihara Jenggot dalam Konteks
Kekinian.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 3, No. 2 (2018): h. 272-273.
Marzuki. “Kritik terhadap Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.” Jurnal
Humanika 6, No. 1 (Maret 2006): h. 34.
Maulana, Luthfi. “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits: Dari Tradisi
Lisan/Tulisan hingga Berbasis Digital.” Esensia 17, No. 1 (April 2016): h.
117.
Misbah, Muhammad. “Hadis Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih:
Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidāyatul Mujtahid.” Riwayah: Jurnal Studi
Hadis 2, No. 1 (2016): h. 108.
Miski. “Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman
Serban dalam Konteks Indonesia.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 1
(2016): h. 28.
Miswar, Andi. “Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid „Al-Nūr‟ Karya T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy: Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam
Nusantara.” Adabiyah XV, No. 1 (2015): h. 85.
154
Muhajirin. Kebangkitan Hadits di Nusantara. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2016.
Muhammad, Taqiyuddin. “Al-Kalaliy: Pembaharu yang Terlupa di Tengah Kota.”
Artikel diakses pada 15 Mei 2019 dari misykah.com/al-kalaliy-pembaharu-
yang-terlupa-di-tengah-kota/
Muhsin, Masrukin. “Metode Bukhari dalam al-Jami‟ al-Shahih: Telaah atas Tashhih
dan Tadh‟if menurut Bukhari.” Holistic al-Hadis 2, No. 2 (Juli-Desember
2016): h. 286.
Muhtador, Moh. “Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis.”
Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h. 266.
Al Munawwar, Said Agil dan Mustaqim, Abdul. Asbabul Wurud: Studi Kritik Hadis
Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
Munir, Ghazali. “Pemikiran Pembaharuan Teologi Islam Syah Wali Allah Ad-
Dahlawi.” Teologia 23, No. 1 (Januari 2012): h. 18.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi. Cet-2. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2016.
Al Naisabūry, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjāj. Sahih Muslim. Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1991.
_______. Sahih Muslim. Beirūt: Dār al-Fikr, 2003.
Najamuddin. Perjalanan Pendidikan di Tanah Air: Tahun 1800-1945. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2005.
Nasution, Amir Hamzah. Dkk. “Kontribusi Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi dalam
Kitab Kaifa Nata‟amal Ma‟a As-Sunnah Nabawiyah.” At-Tahdis: Journal of
Hadith Studies 1, No. 1 (Januari-Juni 2017): h. 148.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.
Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
155
Nurudin, Muhammad. “Signifikansi Pemahaman Kontekstual pada Era Global
(Analisis Hadis Ijtima‟i.” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, No. 2 (2016): h.
228.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1985.
Punaji, Setyosar. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: PT.
Kencana, 2010.
Qarḏāwi, Yusūf. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2009.
_______. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad al-Baqir.
Cet- 4. Bandung: Karisma, 1995.
Al Qaṯṯān, Mannā‟. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Penerjemah Mifdhol Abdurrahman.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Quṯb, Sayyid. Tafsīr Fī Dzilāl al-Qur’ān. Penerjemah As‟ad Yasin Dkk. Jilid 2.
Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Rahman, Abd. Rasyid. “Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kemerdekaan: Suatu
Kajian Historis.” Lensa Budaya: Journal of Cultural Sciences 12, No. 2
(Oktober 2017): h. 117.
Rahman, Arivaie. “Al-Fatihah dalam Perspektif Mufasir Nusantara: Studi Komparatif
Tafsir al-Qur‟an Majid an-Nur dan Tafsir al-Azhar,.” Journal of
Contemporary Islam and Muslim Societies 2, No. 1 (Januari-Juni 2018), h.
8-9.
Rokhmadi. “Hukuman Rajam bagi Pelaku Zina Muhsan dalam Hukum Pidana
Islam.” At-Taqaddum 7, No. 2 (November 2015): h. 311.
Romli. “Illat dan Pengembangan Hukum Islam.” Intizar 20, No. 2 (2014): h. 222.
Sa‟diyah, Fatichatus. “Pemikiran Hadis Shah Waliyullah Al-Dahlawi tentang Metode
Pemahaman Hadis.” (Tesis S2 UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 82-84.
Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2007.
Al Sālih, Subhi. Ulūm al-Hadīts wa Musṯalahuh. Malaysia: Dār al-Ilm li al-Malāyīn,
1988.
156
Salīm, Amru Abd al-Mun‟im. Al-Mu’allim Fī Ma’rīfah ‘Ulūm al-Hadīs wa
Taṯbīqātihi al-‘Ilmiyyah wa al-‘Amaliyyah: Musṯalah al-Hadīs. Riyāḏ: Dār
al-Tadmuriyyah, 2005.
Al San‟āni, Muhammad bin Ismā‟īl. Subul al-Salam. Jilid I. Mesir: Maktabah
Mustafa al-Bāb al-Halby, t.t.
Santosa, Sandi. “Melacak Jejak Pensyarahan Kitab Hadis.” Jurnal Diroyah: Ilmu
Hadis 1, No. 1 (September 2016): h. 82-83.
Saputra, Hasep. “Geneologi Perkembangan Studi Hadis di Indonesia.” Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Hadis 1, No. 1 (2017): h. 45.
Sari, Mimi Rahma. “Aisyah dan Kontribusinya dalam Ilmu Kritik Hadis,” (Tesis S2
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 7-8.
Shamad, A. “Berbagai Pendekatan dalam Memahami Hadis.” Al-Mu’ashirah 13, No.
1 (Januari 2016): h. 35.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia:Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Lentera Hati: Jakarta, 2002.
Al Sibā`i, Mustafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah
Pembelaan Kaum Sunni. Penerjemah Nurcholish Madjid. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991.
Siregar, Khairil Ikhsan. “Kesederhanaan Pribadi Nabi Muhammad dan Aplikasinya
dalam Fakta Sosial: Sebuah Kajian Nilai Al-Qur‟an dan Hadis.” Jurnal Studi
Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berfikir Qur’an 9, No. 1 (2013): h. 54.
Siregar, Muhammad Nuh. “Hadis tentang Keimanan Orang yang Berbuat Maksiat.”
Shahih: Jurnal Kewahyuan Islam (Jan-Des 2019): h. 5-6.
Sudariyah. “Konstruksi Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-
Shiddieqy.” Shahih 3, No. 1 (Januari-Juni 2018): h. 96.
Supian, Aan. “Kontribusi Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Kajian Ilmu Hadis.”
Mutawatir: Jurnal Tafsir Hadis 4, No. 2 (Desember 2014): h. 271.
Suprapto, Bibit. Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.
157
Suryadi. “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis.” Esensia 16, No.
2 (Oktober 2015): h. 180.
Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis dari Klasik hingga Kontemporer.
Yogyakarta: Kalimedia, 2017.
Syafrizal, Ahmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Ulumuna 2, No. 2 (Desember 2015): h.
236-237.
Al Ṯahhān, Mahmūd. Taisīr Musṯalah al-Hadīs. Singapura-Jeddah: Al-Haramain, t.t.
Tahir, Mansun. “Pemikiran T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy: Sumber Hukum Islam dan
Relevansinya dengan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia.” Al-Aḥwāl 1,
No. 1 (2008): h. 124.
Al Tarmasi, Mahmud. Al-Khil’ah al-Fikriyyah Syarh al-Mihnah al-Khairiyyah.
Kementerian Agama RI: T.tp, 2008.
Tasbih. “Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis: Refleksi terhadap Wacana Islam
Nusantara.” Jurnal Al-Ulum 16, No. 1 (Juni 2016): h. 82.
Tasrif, Muh. “Studi Hadis di Indonesia: Telaah Historis Studi Hadis dariAbad XVII-
Sekarang.” Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis 5, No. 1 (Januari
2004).
Al Tirmidzī, Abu Īsa Muhammad bin Saura. Jāmi’al-Tirmidzī, Kitab al-Janā`iz Bab
24. Beirūt: Bait al-Afkār al-Dauliyyah t.t.
Usiono. “Potret Rasulullah sebagai Pendidik.” Ansiru 1, No. 1 (Juni 2017): h. 206.
Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Metode Pemahaman Hadis di Indonesia.”
Jurnal Analytica Islamica 4, No. 2 (2015): h. 232.
Wahid, Ramli Abdul dan Masri, Dedi. “Perkembangan Terkini Studi Hadis di
Indonesia.” Miqot 40, No. 2 (Juli-Desember 2018): h. 263.
Wahyuni, Yeni Sri dan Bin Razali, Yusrizal. “Batas Waktu Musafir Bermukim untuk
Kebolehan Qasar Shalat.” Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-
undangan dan Pranata Sosial IX, No. 1 (Januari-Juni 2019): h. 16-17.
Yamin, Muhammad. “Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad Saw.” Ihyā` al-
Arabiyyah: al-Sunnah 3, No. 1 (2017): h. 110.
Yaqub, Ali Mustafa. Cara benar Memahami Hadisi. Cet-3. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2019.
158
_______. Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 1989.
Zainuddin. “Metodologi Pemahaman Hadis Islamolog dan Ulama Kontemporer.”
Jurnal Substantia 14, No. 2 (Oktober 2012): h. 181.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyien al-Kattani
Dkk. Jilid II. Jakarta: Gema Insani, 2010.