pemahaman hadis larangan menebang pohon bidara

79
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA (Kajian Kualitas Sanad Hadis dan Pemahaman Hadis) Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: AHMAD BAIHAQI NIM: 1112034000134 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2018 M.

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG

POHON BIDARA

(Kajian Kualitas Sanad Hadis dan Pemahaman Hadis)

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi

Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

AHMAD BAIHAQI

NIM: 1112034000134

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M.

Page 2: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

i

Page 3: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

ii

Page 4: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

iii

Page 5: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

iv

Pedoman Transliterasi

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ṭ ṭ ط a a ا

ẓ ẓ ظ b b ة

„ ‘ ع t t د

gh gh غ ts th ث

f f ف j j ج

q q ق ḥ ḥ ح

k k ك kh kh ر

l l ه d d د

dz dh m m ذ

r r n n ر

w w و z z ز

s s h h ش

, , ء sy sh ظ

y y ي ṣ ṣ ص

h h ح ḍ ḍ ض

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

ā ā أ

ī ī إى

ū ū أو

Page 6: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

v

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan kehujahan hadis

larangan menebang pohon bidara sebagaimana diriwayatkan oleh Abū Dāwūd

dalam Sunannya. Selain itu penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui

pemahaman yang komprehensif terkait larangan menebang pohon dengan

dikaitkan dengan usaha pelestarian lingkungan atau go green.

Penelitian ini akan menggunakan metode pemahaman hadis yang digunakan

oleh al-Qarḍāwī. Menurutnya suatu hadis dapat dipahami dengan, di antaranya

tiga pendekatan. Pertama dengan petunjuk al-Qur‟an, kedua, dengan

menghimpung hadis-hadis secara tematik, dan ketiga, memahami hadis

berdasarkan konteks sosio-historisnya. Adapun bentuk dari penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research), dengan sumber peimer kitab Sunān Abī

Dāwūd. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah kitab-kitab hadis

yang memiliki korelasi dengan pembahasan ini seperti Kutub al-Sittah dan Kutub

al-Rijāl.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, bahwa

kualitas hadis larangan menebang pohon adalah ṣaḥīḥ karena diriwayatkan rawi-

rawi yang tsiqah. Dengan demikian hadis ini dapat dijadikan sebagai dalil atau

hujjah terkait dengan larangan merusak lingkungan hidup. Kedua, Hadis ini

memiliki pemahaman bahwa larangan menebang pohon bidara oleh Nabi Saw.

berlandaskan konteks sosial yaitu tujuan dari pohon tersebut untuk tempat

berteduh bagi para musafir, sehingga seandainya ditebang akan menyusahkan

musafir karena terik matahari. Ketiga, menebang pohon bidara tentu

diperbolehkan selama tidak mengganggu kemaslahatan hidup manusia dan

makhluk lainnya. Keempat, hadis ini pula dapat dijadikan sebagai landasan

teologis untuk melestarikan lingkungan hidup (go green) karena banyak didukung

oleh ayat-ayat al-Qur‟an.

Kata Kunci: Hadis, Abū Dāwūd, Pemahaman Hadis, Pohon Bidara

Page 7: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

vi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji beserta syukur kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam yang

telah melimpahkan rahmat, kurnia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul PEMAHAMAN

LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA (STUDI KAJIAN

KUALITAS SANAD HADIS DAN PEMAHAMAN HADIS). Salawat dan

salam bagi baginda Rasulullah SAW., sebagai sebaik-baik contoh dan teladan

bagi seluruh umatnya.

Sebagai karya tulis yang jauh dari kata sempurna, tentunya di dalam

skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan

tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian

ini.

Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa

objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai

usaha mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “hadis larangan

menebang pohon bidara”. Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya dapat

menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Setara (S1). Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi

pembaca umumnya. Tak lupa, penulis ucapkan rasa terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah mendukung, mendorong dan mendo`akan sehingga dapat

Page 8: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

vii

terselesaikannya karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih ini penulis sampaikan

kepada:

1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta

jajarannya; Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Lilik Ummi

Kaltsum, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir

(IQTAF) dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku sekretaris

Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF).

2. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran serta

dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon

maaf yang sebesar-besarnya jika selama bimbingan penulis banyak

merepotkan. Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala

urusan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Amin.

3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah ikut membimbing penulis selama menimba ilmu di kampus tercinta

ini yang sekaligus sebagai dosen penguji proposal penulis. Semoga Ibu

selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala urusan dan selalu berada

dalam lindungan Allah SWT. amin.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu al-

Qur`an dan Tafsir yang telah memberikan ilmu serta motivasi, bimbingan

Page 9: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

viii

dan pengalamannya kepada penulis. Dan tidak lupa pula kepada seluruh

staff dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada keluarga besar H.Jauhary, terutama kedua orang tua tercinta,

bapak H. Syahruddin dan Ibu Hj. Ariyah yang tiada henti-hentinya

memberikan doa-doa, membiayai, merawat, membesarkan, memotivasi,

memberi semangat, mendidik serta memberikan dukungan untuk penulis.

Untuk saat ini hanya ini yang mampu anakmu berikan. Dan tak lupa

kepada semua kakak-kakak, Ahmad zaini, Siti Marfuah, ipah Fauziah.

yang selalu memberikan motivasi semangat dalam menyelesaikan studi

ini.

7. Teman-teman seperjuangan, seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis

angkatan 2012,:Anisul Fahmi, Ridho Ilahi, Yasir Muharrom, Neng Ayu,

Farhana, Fathiyatul Makkiyah, Inayah dan lain-lain yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-satu seluruh nama-nama kalian seangkatan, tetapi

percayalah pertemanan kita akan selalu dikenang. Kepada teman-teman

yang pernah satu pondokan di DARHIK dengan penulis: Setyo Hari,

Zuyin, Aldi, Adnan, Sayid, Jajang, Sahlan, Pandi, Ipeh, putri dan yang

lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala

urusanku dan urusan kalian diberi kemudahan. Amin.

8. Kepada segenap teman-teman satu perjuangan, alumni Daarul Muttaqqin

yang tergabung ke dalam perkumpulan INADA Ciputat: Satria, Sulfi,

Page 10: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

ix

Azmi, Zakariya, Ais, Farha, Fuji, Ayu sam setia, dan masih banyak

lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, tetapi yakinlah

bahwa hal ini tidak mengurangi rasa terimakasih penulis atas kebersamaan,

dan persaudaraannya..

9. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga dapat

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Ciputat, 3 Juli 2018,

Ahmad Baihaqi

Page 11: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Persetujuan Pembimbing .......................................................................... i

Lembar Pengesahan Panitian Ujian ......................................................... ii

Lembar Pernyataan Orisinalitas .............................................................. iii

Pedoman Transliterasi ............................................................................... iv

Abstrak ........................................................................................................ v

Kata Pengantar .......................................................................................... vi

Daftar Isi ..................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7

D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8

E. Metodologi Penelitian ...................................................... 9

F. Sistematika Penulisan ...................................................... 11

BAB II CARA MEMAHAMI HADIS NABI SAW. VERSI YUSUF

AL-QARḌAWĪ

A. Memahami Hadis Berdasarkan Petunjuk al-Qur‟an ........ 13

B. Menghimpun Hadis-Haadis Secara Tematik ................... 18

C. Memahami Hadis Berdasarkan Konteks Sosio-Historis .. 21

BAB III KAJIAN TAKHRIJ HADIS LARANGAN MENEBANG

POHON BIDARA

A. Deskripsi Umum Hadis .................................................... 26

B. Skema Sanad .................................................................... 28

C. Kajian Sanad Hadis .......................................................... 29

D. Tabel Sanad Hadis ........................................................... 40

E. Hukum Hadis ................................................................... 42

BAB IV PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG

POHON BIDARA

A. Makna Umum Konteks Historis Hadis Larangan

Menebang Pohon Bidara ..................................................

45

B. Petunjuk Qur‟anik tentang Larangan Berbuat

Kerusakan ........................................................................

49

C. Anjuran Menanam Pohon dalam Hadis Nabi Saw .......... 51

Page 12: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

xi

D. Signifikansi dan Relevansi Hadis Larangan Menebang

Pohon Bidara ....................................................................

55

E. Islam dan Lingkungan Hidup: Refleksi Atas Hadis

Larangan Menebang Pohon Bidara ..................................

58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................... 63

B. Saran-Saran ...................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 65

Page 13: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan bumi sebagai hunian bagi makhluk-Nya dalam

mengarungi kehidupan di dunia ini. Sebagai tempat hunian, bumi menyediakan

berbagai macam sarana kebutuhan hidup seperti kebutuhan pangan, sandang dan

papan yang terdapat di laut dan gunung. Allah Swt. menegaskan di dalam al-

Qur‟an, surat al-Baqarah [2] ayat 29; bahwa semua yang diciptakan-Nya di muka

bumi tak lain untuk kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk lainnya.

Semua itu sebagai bentuk karunia dan manifestasi kasih sayang Tuhan terhadap

makhluk-Nya.

Namun dalam perjalanannya, manusia tak jarang melakukan berbagai

macam kerusakan di muka bumi. Allah Swt. dalam surat al-Rūm [30] ayat 41; pun

menegur dan menegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut

disebabkan ulah perbuatan manusia. Senada dengan teguran di atas, pada Surat al-

Baqarah [2] ayat 12, Allah Swt. juga menegaskan bahwa sesungguhnya manusia

telah membuat kerusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak menyadarinya.

Padahal, Allah Swt. telah memberikan mandat kepada manusia agar selalu

menjaga, merawat dan memakmurkan bumi, bukan merusaknya.

Secara historis, kerusakan di muka bumi ini juga telah dikhawatirkan oleh

para malaikat tepatnya pada saat awal mula penciptaan manusia itu sendiri. Hal

itu, terekam jelas dalam al-Quran Surat al-Baqarah [2] ayat 30, di mana Allah

Swt. berfirman:

Page 14: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

2

فطد فهب وإذ ق لئنخ إ جبعو ف الرض خيفخ قبىىا أرجعو فهب به رثل ىي

( ى ب ل رعي ش ىل قبه إ أعي دك وقد طجخ ثذ بء وذ (03وطفل اىد

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang

akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami

senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” Tuhan

berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Ayat di atas menjelaskan tentang sikap para malaikat yang seakan

mempertanyakan kebijakan Allah ketika hendak mengangkat seorang dari

makhluk-Nya untuk dijadikan sebagai khalifah atau pemimpin yang akan

mengatur, melestarikan, dan menyejahterakan dunia ini. Para malaikat merasa

keberatan dan terus mempertanyakan lantaran mereka memprediksi bahwa pada

dasarnya seorang yang akan diangkat sebagai khalifah tersebut akan membuat

kerusakan di dunia yang akan diserahkan kepadanya. Keterangan di atas

menjelaskan bahwa sesungguhnya kerusakan di muka bumi ini telah diprediksi

oleh makhluk Allah yang lain seperti malaikat. Seorang makhluk Allah yang akan

diangkat menjadi khalifah menurut para ulama adalah Adam atau manusia.1

Prediksi yang tercatat jelas dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat

30 di atas memiliki relevansi dengan kerusakan yang sering kali terjadi di muka

bumi ini oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab dan selalu

berbuat kerusakan untuk keuntungan dirinya sendiri. Di antara bentuk kerusakan,

kehancuran, yang dilakukan akibat perbuatan manusia seperti kebakaran hutan,

banjir, longsor, dan lainnya.

1 Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr (Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997), h. 41.

Page 15: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

3

Kebakaran hutan misalnya, hampir selalu terjadi setiap tahun dibeberapa

daerah di Indonesia.2 Sebagian manusia juga seringkali memanfaatkan bumi dan

isinya secara bebas dan tak terbatas, sehingga berakibat pada perubahan

lingkungan menuju kerusakan dunia yang berkelanjutan, salah satunya ialah

terjadinya pemanasan global (global warming) dengan segala dampak negatif

yang diakibatkannya.3 Hal ini, tentu akan sangat berdampak pada hilangnya

kesejahteraan hidup manusia. Oleh karenanya, masalah tersebut harus segera

dibenahi dan dicarikan solusi untuk menyelamatkan keadaan bumi ini supaya

tetap lestari.

Berbagai fenomena kerusakan alam yang banyak terjadi dewasa ini, pada

gilirannya menuntut sejumlah kalangan agar berupaya membenahinya. Salah satu

upaya yang diwacanakan yaitu dengan melakukan penyelamatan lingkungan atau

biasa disebut dengan istilah go green. Maksud dari istilah go green ialah upaya

penghijauan atau reboisasi dengan cara menggalakan penanaman pohon.

Penanaman pohon tersebut diharapkan dapat meminimalisir atau mencegah

pemanasan global, meminimalisir kejadian longsor dan banjir yang kerapkali

terjadi disetiap musim penghujan diberbagai daerah di Indonesia.4

2 Banyak korban kebakaran hutan yang hampir selalu terjadi setiap tahun di negeri ini.

Pada tahun 1997-1998, telah terjadi kebakaran utan yang sangat dahsyat sehingga merusak sekitar

9,7 juta hektar hutan dan lahan di tanah air. Kebakaran terjadi diseluruh pulau. 6,5 juta hektar di

Kalimantan, 1, 75 hektar di Sumatera, 100 ribu hektar di Jawa, 400 ribu hektar di Sulawesi, dan 1

juta hektar di Papua. Selengkapnya, lihat Fakhrudin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam

Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 39. 3 Sukandamuri, Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global (Yogyakarta: Andi,

2010). Pemanasan global ialah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan

daratan bumi. Pemanasan global terjadi akibat ada peningkatan kadar gas rumah kaca. Lihat

Mukono, Aspek Kesehatan Pencemaran Udara (Surabaya: Airlangga University Press, 2011), h.

54. 4 Selengkapnya, lihat Suhendri Cahya Purnama, Islam dan Go Green. Artikel diakses dari

http://www.daaruttauhiid.org/artikel/read/global/226/islam-dan-go-green.html. Pada 17 Agustus

2017.

Page 16: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

4

Kejadian-kejadian yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam merusak

ekosistem di muka bumi ini dan membuat kerusakan di berbagai tempat ini tentu

tidaklah diperintahkan oleh Allah, bahkan perbuatan tersebut termasuk kategori

perbuatan yang tercela dan tidak diridhoi Allah Swt.

Apabila kita merujuk pada doktrin teologis yang terdapat di dalam ayat suci

al-Qur‟an, maka akan kita dapatkan bahwa Allah Swt. memberikan teguran keras

kepada umat manusia agar tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini yang

menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem yang justru akan membuat kerugian

sendiri bagi kehidupan umat manusia ke depannya. Allah berfirman dalam Surat

al-A„raf [7] ayat 56, bahwa:

ذ ول رفطدوا ف الرض ثعد إصلدهب و رد عب إ الل ادعى خىفب وط قرت

( ذط (65اى

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)

memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan

diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat

dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Bukan hanya terdapat di dalam al-Qur‟an saja, pengertian go green yang

memiliki tujuan untuk usaha penghijaun bumi ini mendapatkan legitimasi dari

hadis Nabi Saw. dalam riwayat al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra, sebagai

berikut:

: وضي صيى الل عي أص، قبه: قبه رضىه الل »ع طي ب غرش غرضب، أو

خ إل مبذ ى صدقخ ، أو ثه طب ر، أو إ ط «سرع زرعب، فأمو 5

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi saw telah bersabda: Tidaklah seorang

Muslim menanam suatu tanaman, kemudian hasil tanamannya dimakan oleh

burung, manusia dan hewan, melainkan akan menjadi shadaqah bagi

pemiliknya.

5 Aḥmad bin Ḥusayn bin „Alī bin Mūsā‟ al-Bayhaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,

1994), 6, 137.

Page 17: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

5

Hadis di atas memiliki pemahaman bahwa seorang yang menanam pohon

akan dihitung oleh Allah sebagai amalan baik baginya. Ini menunjukkan bahwa

dalam hadis di atas secara eksplisit Nabi Saw. menganjurkan supaya setiap

individu menanam pohon apa pun yang berguna untuk usaha pelestarian

lingkungan yang akan dicatat sebagai perbuatan baik.

Hadis riwayat al-Bayhaqi di atas yang menyatakan bahwa seorang muslim

yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh burung,

manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi ṣadaqah bagi orang yang

menanamnya. Tak hanya itu, pada hadis di atas, Nabi saw juga seolah hendak

menegaskan bahwa orang yang menanam pohon akan mendapatkan banyak

keuntungan. Hal itu, karena pahala menanam pohon akan terus mengalir kepada

pemiliknya selama pohon tersebut masih ada. Selama pohon yang ditanam oleh

seseorang, walaupun orang yang menanam pohon tersebut telah meninggal dunia,

bisa memberi manfaat kepada orang lain, atau bahkan untuk binatang sekalipun,

maka seorang yang menanam pohon akan tetap menuai pahala atas perbuatan baik

yang pernah dikerjakan tersebut. Dari sini, dapat dikatakan bahwa semangat go

green dalam bentuk anjuran penanaman pohon mendapat legitimasi langsung dari

Nabi Saw.

Semangat go green juga dapat dijumpai dalam hadis lain riwayat Abu

Dawud dalam Sunan Abi Dawud di mana Nabi Saw. pernah mengancam

sahabatnya yang menebang pohon bidara dengan suatu ancaman yang dapat

Page 18: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

6

berujung pada siksaan kelak di akhirat.6 Hal itu, sebagaimana terekam pada hadis

berikut.

، قبه: قبه رضىه الل دجشئ قطع ضدرح -صيى الل عي وضي-ع عجد الل ث " :

ة الل رأض ف اىبر" .صى7

Dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, "Rasulullah Saw. bersabda:

"Barangsiapa menebang pohon bidara, maka Allah akan membenamkan

kepalanya dalam api neraka."

Hadis di atas secara substansial menegaskan terkait larangan menebang

pohon bidara. Bahkan, Nabi Saw. memberi ancaman keras bahwa siapa saja yang

menebang pohon bidara, maka Allah Swt. akan membenamkan kepalanya ke

dalam api neraka. Oleh karenanya, hadis ini kian menegaskan terkait pentingnya

merawat pepohonan sebagai bagian dari upaya go green.

Melihat fenomena kemasyarakatan yang kian kompleks terkait dengan

hubungan antara manusia dan alam, sekiranya sudah saatnya hubungan di antara

keduanya berjalan seirama dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan

(simbiosis mutualisme). Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari manusia

sebagai makhluk yang diamanati oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini

untuk selalu menjaga alam lingkungan dan tempat huni bagi mereka dengan

sebaik-baiknya. Maka perlu adanya bentuk pemahaman kepada manusia bahwa

sesungguhnya kesadaran untuk senantiasa merawat dan menjaga lingkungan itu

sangat penting dan mendapat anjuran dari Nabi Saw.

Dalam penelitian ini, penulis akan menyuguhkan bentuk doktrinal dari Nabi

Saw. terkait dengan usaha pelestarian lingkungan sebagai mana hadis yang

6 Bidara atau widara (ziziphus mauritiana) adalah sejenis pohon kecil penghasil buah yang

tumbuh di daerah kering. Tanaman ini dikenal pula dengan nama daerah seperti widara (Jawa),

Kok (Rote), Kon (Timor), bedara (Alor), kalanga (Sumba) dan rangga (Bima). Lih. K. Hayne,

Tumbuhan Berguna Indonesia (Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987), Jld. 3, h. 1270. 7 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009), Jld. 4,

h. 530.

Page 19: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

7

diriwayatkan oleh Abū Dāwūd di dalam kitab sunannya tentang larangan

menebang pohon bidara. Namun demikian, pertanyaan krusial yang muncul

berkaitan dengan hadis ini ialah, bagaimana kualitas hadis tersebut? kemudian,

apa yang dikatakan para ulama terkait substansi hadis tersebut. Hal ini menarik

untuk dikaji untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang maksud

ucapan Nabi Saw. di atas dalam hubungannya dengan go green.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi pada hadis

yang mendukung usaha pelestarian lingkungan atau go green. Dalam hal ini hadis

riwayat Abū Dāwūd dalam kitab sunannya tentang larangan memotong pohon

bidara akan menjadi fokus kajian.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kualitas dan kehujahan hadis yang menyangkut larangan

menebang pohon bidara sebagaimana riwayat Abū Dāwūd dalam Kitab

Sunannya?

2. Bagaimana cara memahami hadis tentang larangan menebang pohon

bidara dalam konteks usaha pelestarian lingkungan atau go green?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

Pertama, mengetahui kualitas hadis tentang larangan menebang pohon

bidara yang diriwayatkan Abū Dāwūd di dalam Kitab Sunannya.

Page 20: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

8

Kedua, untuk menjelaskan kehujahan hadis tersebut kepada masyarakat

secara luas

Ketiga, untuk memahami hadis larangan menebang pohon bidara secara

komprehensif

Adapun Manfaat dari penelitian ini adalah;

Pertama, mendeskripsikan dan menguraikan kualitas dan kehujahan hadis

larangan menebang pohon bidara

Kedua, memberikan pemahaman secara utuh tentang hadis larangan

menebang pohon kepada masyarakat

Ketiga, sebagai penguat landasan teologis untuk melarang masyarakat

berbuat semena-mena kepada tumbuhan dan alam sekitar

D. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa tulisan yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan

dilakukan oleh penulis yang berpusat pada usaha penghijauan dan penyelamatan

lingkungan hidup, di antaranya sebagai berikut:

Penelitian (skripsi) yang ditulis oleh Nur Istikhomah yang berjudul „Go

Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟.8 Penelitian ini

hanya mengemukakan tentang kualitas dan kehujahan hadis riwayat al-Tirmidzi

dengan nomer indeks 1387 tanpa ada analisis dan memahami muatan makna dari

hadis yang dikajinya tersebut. Padahal memahami muatan hadis merupakan salah

satu kajian yang sangat urgen untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat

8 Nur Istikhomah, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟,

Skripsi (Surabaya: UIN Sby, 2014).

Page 21: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

9

tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, bukan semata menilai kualitas

hadis dengan sahih dan dianggap bisa menjadi hujah.

Selanjutnya ada artikel dari Fadl Ihsan tentang „Pahala Bagi Seorang yang

Menanam Pohon di Dunia‟ dalam buletin al-Tauhid.9 Fadl membicarakan tentang

berbagai macam hadis yang berkaitan dengan anjuran menanam pohon dan

menilai kualitas dan kehujahan hadis di atas, tetapi ia tidak mengekpos tentang

cara memahami hadis tersebut secara komprehensif. Sehingga, walaupun ada

beberapa bagian hadis yang sama dengan penelitian yang penulis angkat namun

berbeda dengan Fadl, penulis akan mengekpos cara memahami hadis tersebut

secara komprehensif sesuai dengan pendapat-pendapat ulama yang memiliki

otoritas di bidang yang bersangkutan.

Adapula buku yang ditulis oleh Erni Misran, dkk yang berjudul Think Green

Go Green yang membahas tentang seluk beluk urgensi penghijauan dalam

konteks kekinian.10

Di dalam buku ini sempat mengutip penjelasan hadis riwayat

Abu Dawud tentang larangan menebang pohon bidara sebagai dasar legitimasi

ketidakbolehan dalam merusak lingkungan, namun tidak disertai dengan

pencantuman kualitas dan kehujahan hadis tersebut. Terlebih buku ini tidak

menghadirkan bentuk pemahaman cara baca terhadap hadis tersebut, kecuali

ditinjau dari perspektif sains modern.

E. Metodologi Penelitian

1. Sumber Data

9 Fadl Ihsan, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin al-

Tauhid, edisi 121, tahun 2011. 10 Erni Misran, dkk, Think Green Go Green (Jakarta: Pustaka Jingga, 2013).

Page 22: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

10

Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menjadikan sumber buku

pustaka sebagai kajian utama (library reseach), yaitu meneliti sejumlah buku-

buku kepustakaan dan sejumlah literatur lainnya yang berkaitan dengan obyek

pembahasan.

Sebagai data primer, penulis akan merujuk langsung pada literatur hadis,

terutama sejumlah kitab induk hadis semisal al-Kutub al-Sittah (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,

Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Ibn Mājah, Sunan al-Nasā’ī, Sunan al-Tirmidzī dan Sunan

Abī Dāwūd). Tak hanya itu, penulis juga akan merujuk pada kitab Rijāl al-Hadīts

seperti kitab Siyar A‘lām al-Nubalā karya al-Dzahabī, Tahdzīb al-Kamāl karya

al-Mīzzī, Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibn al-Ḥajar al-„Asqalānī dan lain sebagainya.

2. Teknik Pegumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di sebagian

besar perpustakaan yang menyediakan literatur di bidang hadis seperti

perpustakaan Ushuluddin UIN Jakarta, perpustakaan pascasarjana UIN Jakarta

dan perpustakaan lainnya yang menyediakan berbagai literatur hadis lainnya.

Sebagai langkah awal, penulis terlebih dahulu akan melacak seberapa

banyak kitab-kitab induk hadis yang merekam keberadaan hadis terkait larangan

menebang pohon bidara. Pelacakan ini tentunya dilakukan dengan menggunakan

metode takhrij hadis. Adapun metode takhrij yang digunakan dalam penelitian ini

ialah metode takhrij digital, yaitu berupa Maktabah Syamilah.

Langkah selanjutnya, untuk mengetahui dan memastikan kualitas hadis di

atas, penulis akan menelaah pendapat para kritikus hadis terkait kredibilitas dan

intelektualitas semua periwayat yang meriwayatkan hadis. Hal ini dilakukan

Page 23: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

11

dengan cara merujuk langsung pada Kitab Rijāl al-Hadīts sebagaimana yang telah

disebutkan.

Tak hanya itu, untuk menguji kualitas matan sekaligus memahaminya,

penulis akan coba melakukannya melalui beberapa hal, yaitu: 1). Memahami

hadis melalui petunjuk al-Quran, 2). Memahami hadis melalui riwayat yang

semakna, dan 3). Memahami hadis melalui perkataan para ulama. Yang terakhir

ini dilakukan dengan cara merujuk pada sejumlah kitab syarah hadis.

3. Teknik Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda. Adapun

transliterasi dalam penulisan skripsi ini akan mengacu pada transliterasi yang

berasal dari ketentuan Jurnal Ilmu Ushuluddin tahun yang diterbitkan oleh

HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2013.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian yang penulis lakukan akan dibagi ke dalam lima bab pembahasan.

Bab pertama berisi pendahuluan, yang di dalamnya terdiri dari latar

belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu, permasalahan yang

ada, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan dalam

rumusan masalah tersebut, akan dituliskan pula metodologi penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini.

Bab kedua adalah kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan teori yang menjelaskan cara memahami hadis yang

Page 24: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

12

dikemukakan oleh Yūsuf al-Qarḍawī. Menurutnya, suatu hadis dapat dipahami

dengan melalui tiga macam pendekatan yaitu pertama, memahami hadis

berdasarkan petunjuk al-Qur‟an, kedua, memahami hadis yang memiliki

kandungan makna yang sama dan ketiga, adalah memahami hadis berdasarkan

konteks historis ketika suatu hadis dikemukakan oleh Nabi Saw.

Bab ketiga berisi tentang takhrij hadis tentang larangan menebang pohon

bidara. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui letak keberadaan hadis

larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan disertakan pula kajian sanad

hadis yang mencakup nilai kredibilitas, intelektualitas para perawi hadis.

Selanjutnya adalah akan dihukumi status dari hadis yang ditakhrij apakah ṣaḥīḥ,

ḥasan, ḍa‘īf atau bahkan mauḍū‘.

Sedangkan bab keempat merupakan bab inti pembahasan yaitu seputar

memahami hadis larangan menebang pohon bidara. Pada bab ini akan

dikemukakan gambaran umum tentang maksud ucapan nabi Saw. berkaitan

dengan larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan digali nilai-nilai yang

terkandung di dalam hadis tersebut dengan disesuaikan konteks sosial budaya

yang melingkupi eksistensi dari hadis tersebut.

Bab lima merupakan penutup. Pada bab ini penulis akan menjawab

pertanyaan masalah dalam penelitian hadis yaitu seputar kualitas dan kehujahan

hadis larangan menebang pohon bidara. Selain itu juga pada bab ini akan

menjawab tentang pemahaman secara komprehensif tentang hadis larangan

menebang pohon sebagai legitimasi akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.

Page 25: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

13

BAB II

CARA MEMAHAMI HADIS NABI SAW.

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas terkait cara atau

metode dalam memahami hadis Nabi Saw. Hal ini dilakukan sebagai kerangka

teori untuk memaknai hadis larangan menebang pohon bidara. Dalam hal ini,

penulis akan menggunakan metode pemahaman hadis Yūsuf al-Qarḍāwī yang

terdapat dalam karyanya berjudul “Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-

Nabawiyyah.11

Kendati demikian, penulis tidak akan menggunakan semua metode

pemahaman hadis al-Qarḍāwī, melainkan hanya beberapa poin yang kiranya

relevan dengan pembahasan yang sedang dikaji. Beberapa metode atau

pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengungkap

makna atau pesan inti yang terkandung dalam hadis larangan menebang pohon

bidara. Adapun beberapa metode yang menurut penulis relevan dan akan

digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.

A. Memahami Hadis Berdasarkan Petunjuk al-Qur’an

Salah satu metode yang digunakan al-Qarḍāwī dalam memahami hadis

Nabi Saw ialah memahaminya berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal itu, karena

hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayin li al-hukm). Oleh karenanya,

menurut al-Qarḍāwī, tidaklah mungkin ia bertentangan dengan naṣ al-Qur‟an itu

11 Dalam memahami hadis Nabi Saw, al-Qarḍāwī menggunakan beberapa langkah antara

lain: (1). Memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. (2). Menghimpun hadis secara tematik

(3). Menggabungkan atau mentarjih hadis-hadis yang bertentangan. (4). Memahami hadis

berdasarkan konteks sosio historisnya. (5). Membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan

yang tetap. (6). Membedakan antara ungkapan yang hakiki dan majaz. (7). Membedakan antara

yang ghaib dan yang nyata. (8). Memastikan makna kata-kata dalam hadis. Selengkapnya lihat

Yūsuf al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dār al-Wafā, 1996),

h. 93-110.

Page 26: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

14

sendiri. Al-Qarḍāwī juga menegaskan bahwa jika ada seseorang yang menduga

adanya hadis Nabi saw yang bertentangan dengan naṣ al-Quran, maka dapat

dipastikan bahwa hadis tersebut tidaklah ṣaḥīḥ, atau pemahamannya lah yang

keliru. Bahkan, boleh jadi adanya dugaan pertentangan tersebut hanyalah bersifat

semu dan bukan hakiki.12

Sebagai legitimasi terkait pentingnya memahami hadis

berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ini, al-Qarḍāwī mengutip ayat al-Quran surat al-

An„ām [6] ayat 115; yaitu.

ل لكلماتو وىو السميع العليم وتت كلمة ربك صدقا وعدل ل مبد

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur‟an) sebagai kalimat yang

yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya

dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Dalam konteks kajian ilmu hadis, al-Qarḍāwī bukanlah orang pertama

yang memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Jauh sebelum al-Qarḍāwī,

para ulama lainnya juga telah melakukan hal yang sama. Dalam beberapa kitab

syaraḥ hadis misalnya, para ulama pada umumnya mengutip ayat al-Qur‟an

terlebih dahulu sebelum menjelaskan makna atau substansi hadis. Hal ini untuk

melihat dan memastikan tentang sejauhmana suatu hadis memiliki basis legitimasi

dari ayat-ayat al-Qur‟an. Bahkan, jika menelisik lebih jauh ke belakang, hal

semacam ini sesungguhnya telah dilakukan oleh Umm al-Mu’minīn „Ā‟isyah Ra.

pada saat mengkritik hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat lantaran

bertentangan dengan naṣ al-Qur‟an.13

Dalam riwayat al-Bukhārī dan Muslim diceritakan bahwa „Ā‟isyah

mengkritik Abdullah bin „Umar yang melarang menangisi mayat. Adapun

12 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 93. 13 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.tn), Jld. 2, h. 81., Muslim bin al-

Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2010), Jld. 2, h. 620.

Page 27: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

15

landasan Abdullah melarang menangisi mayat merujuk pada hadis Nabi Saw.

yang mengatakan bahwa “sesungguhnya mayat akan diadzab karena tangisan

keluarganya”. Spontan „Ā‟isyah merespon pandangan dan pemahaman Abdullah

bin „Umar yang dinilai kurang tepat. „Ā‟isyah menilai bahwa Abdullah bin „Umar

telah keliru memahami hadis ini atau boleh jadi ia lupa.14

„Ā‟isyah mengungkapkan alasan bahwa hadis ini diucapkan Nabi Saw.

pada saat bertemu dengan orang Yahudi yang sedang menangis di kuburan. Nabi

Saw. mengatakan; “mereka menangisinya dan dia (mayat) akan diadzab di dalam

kuburnya. Penolakan Aisyah terhadap riwayat Abdullah bin Umar dikarenakan

larangan menangisi mayat tersebut bertolak belakang dengan surat al-Najm [53]

ayat 38, yang berbunyi أل تزر وازرة وزر أخرى . Ayat tersebut mempunyai arti bahwa

seseorang tidaklah memikul dosa orang lain.

Sementara itu, di era kontemporer, muncul tokoh semisal Muḥammad al-

Ghazālī dengan karyanya berjudul “al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayn Ahl-al-Fiqh

wa Ahl-Ḥadīts”. Dalam karyanya tersebut, ia menegaskan bahwa salah satu

langkah dalam melakukan kritik matan ialah dengan cara menguji validitas matan

hadis berdasarkan al-Qur‟an. Jika secara substansial bertentangan dengan al-

Qur‟an, maka secara otomatis dapat dipastikan bahwa ia bukanlah hadis ṣaḥīḥ,

melainkan hadis ḍa‘īf.15

Salah satu contoh memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ialah

hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Mālik tentang keberadaan orang

tua Nabi Saw. di neraka.

14 Muḥammad bin „Alī al-Syawkānī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā’ al-Akhbār

(Mekah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.), Juz. 4, h. 111-2. 15 Muḥammad al-Ghazālī, Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts

(Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣhr, 2012), h. 169.

Page 28: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

16

عن أنس أن رجلا قال يا رسول الله أين أب قال ف النار ف لما ق في دعاه ف قال إن أب وأباك ف النار

Dari Anas bin Mālik diceritakan, ada seorang lelaki bertanya, wahai

Rasulullah saw, di manakah bapakku berada? Nabi saw menjawab,

(bapakmu) di neraka. Ketika ia berpaling, Nabi saw memanggilnya dan

berkata, sesungguhnya bapakku dan bapakmu di Neraka.16

Hadis yang mengatakan bahwa keberadaan ayah/bapak Nabi Muhammad

Saw. di neraka, baik ditinjau secara matan dan sanad adalah valid, benar. Hal ini

karena hadis tersebut terdapat di dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang dinilai sebagai

salah satu kitab hadis paling valid selain Ṣaḥīḥ al-Bukhari. Dengan demikian,

secara kualitas, ia masuk dalam katagori hadis Ṣaḥīḥ yang dapat dijadikan sebagai

landasan dalil (ḥujjah).

Apabila dilihat dari kronologis sebab diucapkannya (asbāb al-nuzul) hadis

ini, maka akan diketahui bahwa hadis ini diucapkan oleh Nabi Saw. sebagai

jawaban atas pertanyaan seorang sahabat tentang keberadaan bapaknya. Nabi saw

pun menjawab bahwa “bapakku dan bapakmu di neraka”.

Secara tekstual, hadis ini terkesan problematis karena menyatakan bahwa

orang tua Nabi Saw berada di neraka. Pertanyaannya, benarkah orang tua Nabi

Saw berada di neraka? apa yang menyebabkan orang tua Nabi Saw berada di

neraka? Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mencoba memahami hadis di atas berdasarkan

petunjuk al-Qur‟an. Yang menjadi permasalahan utama dalam hadis ini ialah

terkait makna redaksi أث أة Apakah kata . إ (ayah/bapak) di sana bermakna

“bapak” dalam pengertian ayah kandung, ataukah mengandung kata tersebut

memiliki makna dan arti lain selain ayah kandung?

16 Al-Ḥusayn Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim,

(Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, t.th.), Vol. 1, h. 191.

Page 29: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

17

Menurut al-Qarḍāwī, kata أة pada hadis di atas tertuju kepada pamannya

Nabi Saw yaitu Abu Thalib, yang telah merawat Nabi Saw setelah ditinggal wafat

kakeknya, Abd al-Muthalib. Pemaknaan kata أة dengan makna ع (paman(

merupakan hal yang lumrah dalam bahasa Arab, bahkan dapat dijumpai dalam al-

Qur‟an. Ia kemudian mengutip surat al-Bāqarah [2] ayat 133 sebagai berikut.17

ب عدي قالوا ن عبد أم كنتم شهداء إذ حضر ي عقوب الموت إذ قال لبنيو ما ت عبدون من ا واحدا وحن لو مسلمون ل وإسحاق وي عقوب إل إب راىيم وإساعيو آبائك ك وإل إل

Adakah kamu hadir ketika Ya‟qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika

ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah

sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu

dan Tuhan bapak moyangmu, Ibrahim, Isma‟il, dan Ishak, (yaitu) Tuhan

Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.

Pada ayat di atas, makna kata آثبء yang merupakan bentuk jamak dari kata

tertuju kepada Isma‟il, padahal Ismail bukanlah bapaknya Ya‟qub, melainkan أة

pamannya. Akan tetapi, dalam hal ini al-Qur‟an menggunakan kata أة dan bukan

kata ع . Dengan adanya bukti normatif dari al-Qur‟an yang menunjukkan makna

kata أة bukan semata memiliki arti tunggal sebagai bapak kandung, maka kata

tersebut pada dasarnya memiliki kemungkinan lebih dari satu kata atau

pengertian, yaitu bisa bermakna paman.

Sementara itu, anggapan bahwa makna kata أة pada hadis di atas ialah

tertuju kepada Abū Ṭālib (paman Nabi Saw.), didasarkan pada fakta historis

bahwa ia telah menolak untuk mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya.

Kejadian tersebut banyak direkam di dalam hadis ṣaḥīḥ seperti Ṣaḥīḥ Muslim

yang menyatakan bahwa pada akhir hayat wafatnya Abū Ṭālib, Nabi Saw.

17 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.

Page 30: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

18

memintanya untuk mengucapkan kalimat tauhid supaya ia (Nabi) dapat

menyelamatkannya di akhirat kelak. Namun sampai akhir nafas berhenbus, Abū

Ṭālib tidak mengucapkan kalimat yang dikehendaki Nabi Saw. Maka dengan

demikian, di dalam kitab-kitab hadis, paman Nabi Muhammad Saw. dimasukkan

ke dalam orang yang tidak beriman dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Tatapi

hukuman yang akan diterimanya di neraka kelak, merupakan hukuman yang tidak

seberat orang-orang kafir musyrikin yang memusuhi dan membenci Nabi Saw.18

B. Menghimpun Hadis-Hadis Secara Tematik

Menurut al-Qarḍāwī, hal lainnya yang mesti dilakukan dalam memahami

hadis Nabi ialah menghimpun atau memadukan hadis-hadis ṣaḥīḥ yang berkenaan

dengan tema tertentu. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan yang

mutasyabih (belum jelas maknanya) kepada yang muḥkam (jelas maknanya),

mengaitkan yang muṭlak (terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), serta

menafsirkan yang „am (umum) dengan yang khāṣ (khusus). Sehingga, makna

yang dimaksudkan dapat diketahui dengan jelas dan tidak bertentangan satu

dengan yang lainnya.

Pendapat al-Qarḍāwī ini, sama persis dengan pandangan Ali Mustafa

Ya‟qub. Ia berkata:

“Secara redaksional, hadis Nabi Saw. adakalanya bersifat umum, dan

adakalanya bersifat khusus. Oleh karenanya, hadis Nabi yang bersifat

umum, mesti dipahami dengan hadis Nabi yang bersifat khusus. Begitu

pula lafadz hadis yang muṭlak, muqayyad, mujmal dan mubayan.

Hendaklah mengaitkan yang muṭlak dengan yang muqayyad dan

menafsirkan yang mujmal dengan yang mubayan. Dengan kata lain, hadis

18 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.

Page 31: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

19

Nabi yang tidak jelas maknanya, mesti ditafsirkan dengan hadis yang jelas

maknanya”.19

Pandangan Ali Musthafa Ya‟qub terkait keharusan memahami hadis

secara tematik ini, pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari kaidah yang

dikemukakan oleh Aḥmad bin Hanbal bahwa “hadis akan terasa sulit dipahami

jika periwayatannya tidak dikumpulkan dalam satu tema, karena hadis saling

menafsirkan satu dengan yang lainnya”. (al-Ḥadīts Idzā Lam Tajma‘ Ṭurūqahu

Lam Tafhamhu wa al-Ḥadīts Yufassir Ba‘ḍuhu Ba‘ḍan).20

Sebagai sebuah contoh ialah terkait hadis larangan menjulurkan pakaian di

bawah mata kaki sebagaimana tercatat di dalam Sunan al-Kubrā karya al-Nasā‟ī,

yang diriwayatkan dari Abū Dzar Ra. sebagai berikut.

ثلاثة ل يكلمهم اللو ي وم القيامة : م ل س و و ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ر ال ق ال ق ر ذ ب أ ن ع ، والمنفق سلعتو والمسبل إزاره ول ي نظر إليهم ول ي زكيهم ولم عذاب أليم: المنان با أعطى،

باللف الكاذب

Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari

kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Mereka

bertiga akan mendapatkan siksa yang pedih. Pertama, orang yang

mengungkit-ungkit pemberian (sedekah), kedua, orang yang isbal

(menjulurkan pakaian di bawah mata kaki), dan ketiga, orang yang

melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.21

Secara tekstual, hadis ini memberi ancaman keras salah satunya kepada

orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki (musbil). Hadis ini

dijadikan landasan oleh sebagian kalangan menyangkut larangan menjulurkan

19 Ali Mustafa Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat:

Maktabah Darussunnah, 2016), h. 119. 20 Khaṭīb al-Baghdādī, al-Jāmi‘ li Akhlak al-Rāwī wa Ādab al-Sāmi‘ (Riyaḍ: Maktabah

al-Ma„ārif, t.tn). h. 212. 21 Aḥmad bin Syu„ayb al-Nasā‟ī, Sunan al-Kubrā’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

1991), Vol. 5, h. 588.

Page 32: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

20

pakaian di bawah mata kaki. Bahkan, sebagian golongan berani memberikan

stigma negatif terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki

sebagai orang yang tak paham agama karena dinilai menyalahi sabda Nabi Saw.

tentang larangan isbal.22

Padahal, jika hadis tersebut dipahami secara utuh, yaitu dengan cara

menghimpun semua hadis-hadis yang berkenaan dengan tema tersebut, tentu

mereka akan terhindar dari sikap ekstrim semacam itu. Menurut al-Qarḍāwī,

ungkapan اىطجو إزار tidak dapat dipahami secara literal, melainkan harus

dipahami dengan melihat hadis lainnya. Al-Bukhārī di dalam Ṣaḥīḥnya

meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Abdullah bin „Umar sebagai

berikut.

هما أن رسول اللو صلى الله عن ابن عمر رضي إل من الله عليو وسلم قال ل ي نظر الله عن جر ث وبو خيلاء

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:

“Allah Swt. tidak akan memandang kepada orang yang menjulurkan

pakaiannya karena sombong”.23

Menurut al-Qarḍāwī, hadis ini mentaqyid” (mengikat) keumuman hadis

sebelumnya yaitu tentang larangan menjulurkan pakaian sampai mata kaki

(isybal). Keberadaan kata خلء yang bermakna “sombong” pada hadis ini, menjadi

penjelas bagi hadis sebelumnya. Artinya, ancaman keras yang ditegaskan oleh

hadis larangan berbuat isybal, sesungguhnya tertuju kepada kelompok yang

menjulurkan pakaiannya dengan disertai sikap sombong. Dengan demikian, yang

mesti digaris bawahi dalam hal ini bukanlah menjulurkan pakaian di bawah mata

22 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 123. 23

Al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭauq al-Najah, t.tn.), Vol. 7, h. 141.

Page 33: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

21

kaki, melainkan adanya sikap sombong dari orang atau kelompok yang

bersangkutan.

C. Memahami Hadis Berdasarkan Konteks Sosio-Historis

Selain dua perangkat yang telah dijelaskan di atas, hal lainnya yang mesti

dilakukan dalam memahami hadis ialah memperhatikan konteks sosio-historis

yang melatari munculnya suatu hadis. Hal itu, karena suatu hadis tidaklah muncul

dengan sendirinya. Ia tidak muncul dalam ruang yang kosong, melainkan dilatar

belakangi oleh sebab dan tujuan.24

Sebagai contoh ialah hadis terkait larangan

berpergian bagi perempuan kecuali dengan mahramnya.25

Aḥmad bin Hanbal

dalam Musnadnya dan al-Ṭabrānī dalam Mu‘jam al-Kabīr meriwayatkan hadis

yang berasal dari Abū Ma„bad, bekas budak dari Ibn „Abbās, sebagai berikut:

ى الله ل ص الله ل و س ر ب ط : خ ل و ق ي اس ب ع ن اب ت ع س ال ق اس ب ع ن اب ل و د م ب ع م ب أ ن ع : ول تسافر امرأة إل ومعها ذو مرم م ل س و و ي ل ع

Dari Abi Ma‟bad (Mawla Ibn Abas), bahwa aku pernah mendengar Ibn

Abas berkata: Nabi saw pernah berkhotbah lalu bersabda: Janganlah

seorang perempuan berpergian kecuali bersama mahramnya. 26

Hadis ini menyatakan terkait larangan berpergian bagi perempuan kecuali

dengan mahramnya. Konteks yang melatarbelakangi adanya ucapan Nabi Saw.

tersebut dikemukakan oleh „Adil Mursyid, pentahqiq kitab Musnad Aḥmad bin

24

Pada dasarnya, memahami hadis berdasarkan konteks sosio historis merupakan

pengembangan dari sabab al-wurūd al-hadīts. Terkait sabab al-wurūd ini, Ibn Taimiyah

menegaskan bahwa sebagaimana pentingnya sabab al-nuzūl dalam konteks kajian al-Quran, maka

dalam konteks kajian hadis, pengetahuan menyangkut sabab al-wurūd juga sangat dibutuhkan oleh

seorang ahli fiqh ataupun mujtahid sehingga tak terjebak pada sebuah pemahaman yang keliru.

Selengkapnya, lihat „Alī Nayif al-Syuhūd, al-Mufaṣṣal fī ‘Ulūm al-Hadīts (t.tp.: Hay‟at al-„Ilmiyah

wa al-Khairiyah, 2008), h. 132. 25 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145. 26 Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 2001),

Jld. 3, h. 408., , Abū al-Qāsim, al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Kabīr (Mosul: Maktabah al-Ulum wa al-

Hikam, 1983), Vol. 11, h. 425.

Page 34: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

22

Hanbal, bukan diartikan sebagai usaha pengekangan bagi seorang perempuan.

Bahkan hal ini dilakukan sebagai usaha melindungi perempuan dari segala

tindakan yang tidak baik. Kondisi ini diambil karena mengingat kondisi bangsa

Arab pada saat itu tidak aman dan memungkinkan bagi seorang perempuan

melakukan bepergian di luar rumah tanpa didampingi oleh seorang mahramnya.27

Oleh karena itu, seorang perempuan mendapat larangan bepergian baik itu

satu hari, dua, hari atau bahkan tiga hari tanpa didampingi oleh suami, bapak atau

keluarganya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya bentuk pelarangan dalam

hadis Nabi di atas sangat disebabkan dan dipengaruhi oleh kondisi sosial dan

historis ketika suatu hadis diucapkan.

Hadis tentang larangan bepergian bagi seorang perempuan tentu menjadi

problematis ketika diterapkan dalam konteks kekinian di mana kondisi sekarang

yang relatif lebih aman dan tenteram dibandingkan dengan pada masa dulu

khususnya di Arab. Sehingga hal ini memerlukan kajian lanjutan untuk

memahami hadis tersebut secara komprehensif dengan melihat berbagai macam

cara dan metode seperti mempertimbangkan kondisi sosial pada masa itu sehingga

dapat dipahami dalam konteks kekinian.

Dalam hal ini, al-Qarḍāwī memahami hadis tersebut berdasarkan konteks

sosio-historisnya. Menurutnya, hadis tersebut muncul dalam konteks sosial jazirah

Arab yang sangat rawan. Di mana seseorang yang hendak berpergian mesti

melewati gurun pasir dengan mengendarai unta atau keledai. Situasi gurun pasir

pada saat itu sangatlah gersang dan sepi dari kehidupan. Hal ini, tentu akan sangat

membahayakan bagi perempuan jika ia berpergian sendirian. Oleh karena itu,

27 „Adil Mursyid, dalam komentar taḥqīq kitab Musnad Aḥmad bin Hanbal. Aḥmad bin

Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal, Jld. 3, h. 408.

Page 35: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

23

sangatlah wajar jika Nabi saw melarang seorang perempuan untuk berpergian

kecuali ditemani mahramnya.28

Akan tetapi, keadaannya berbeda dengan konteks sekarang, di mana

perempuan yang hendak berpergian bisa menggunakan kendaraan semisal

pesawat terbang yang di dalamnya terdapat seratus penumpang bahkan lebih.

Sehingga, tidak ada lagi yang layak dikhawatirkan menyangkut keamanan

perempuan sekalipun ia berpergian tanpa ditemani mahramnya.

Tak hanya itu, bahkan para ulama telah membolehkan bagi perempuan

untuk pergi menunaikan haji meskipun tanpa ditemani mahram atau suaminya.

Hal ini, sebagaimana pernah dilakukan Aisyah Ra. ketika menunaikan haji

bersama istri-istri Nabi lainnya tepatnya pada masa khalifah „Umar bin Khaṭṭab.

Pada saat itu, tak seorang pun yang ditemani mahramnya, melainkan ditemani

„Utsmān bin „Affān dan „Abd al-Raḥman bin „Auf.29

Pentingnya memahami hadis berdasarkan konteks sosio-historis juga dapat

dilihat pada saat memahami hadis lainnya yaitu menyangkut kepemimpinan

Quraisy sebagai berikut. Al-Ṭabrānī dalam Mu‘jam al-Awsaṭ meriwayatkan hadis

yang berasal dari „Alī bin Abī Ṭālib, sebagai berikut:

ة من ق ريش م ل س و و ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ر ال ق ال ق ي ل ع ن ع الأئم

Dari „Alī Ra, bahwa Nabi saw bersabda: Para pemimpin itu dari golongan

Quraisy.30

28 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149. Bandingkan

dengan Muḥammad Azīz „Ābidīn, al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt fī al-Qur’ān wa al-Sunnah

(Damaskus: Dār al-Mahabah, 2011), h. 14. 29 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149. 30 Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Kairo: Dār al-

Haramain, 1415 H), Vol. h. 357. Lihat juga Abū Ya„lā al-Muṣīlī al-Tamīmī, Musnad Abī Ya‘lā,

(Damaskus: Dār al-Ma‟mūn, 1984), Vol. 6, h. 321.

Page 36: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

24

Secara tekstual, hadis di atas hendak menegaskan bahwa mengangkat

seorang pemimpin dari golongan Quraisy merupakan sebuah keharusan.

Konsekuensi logisnya ialah adanya larangan untuk mengangkat seorang

pemimpin di luar golongan Quraisy. Dengan mengacu pada makna literal hadis

ini, kelompok ektrimis seperti Islamic State Irak and Suriah (ISIS) meyakini

bahwa mengangkat pemimpin yang berasal dari golongan Quraisy merupakan

sebuah keharusan. Sehingga, pada tahun 2014, mereka mengangkat Abū Bakar al-

Baghdādī sebagai pemimpin (khalifah).31

Namun demikian, pertanyaan yang

muncul kemudian ialah, bagaimana substansi atau pesan moral dari hadis

tersebut? Dalam konteks sosio-historis seperti apa hadis tersebut diucapkan oleh

Nabi Saw.?

Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mengutip pendapat Ibn Khaldun bahwa alasan

utama Nabi Saw. mensyaratkan pemimpin dari golongan Quraisy lantaran mereka

merupakan suku terkuat dan memiliki ‘aṣabiah yang tinggi pada saat itu.

Sehingga, kiranya logis jika Nabi memilih suku Quraisy sebagai pemimpin.

Dengan perkataan lain, yang menjadi prinsip utama bukanlah karena faktor

keturunan, melainkan karena kekuatan, solidaritas dan pengaruh yang dimiliki

oleh golongan Quraisy pada saat itu. Jika demikian alasannya, menurut al-

Qarḍāwī, maka pengamalan hadis di atas tak dapat digeneralisasi dalam konteks

sekarang.32

Kiranya logis jika Nabi Saw. pada saat itu mensyaratkan pemimpin

harus selalu dari golongan Quraisy. Alasannya, di samping memiliki pengaruh

kuat dan ‘aṣabiah yang tinggi, konon mereka juga merupakan suku yang paling

mendominasi bangsa Arab saat itu.

31 Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Ciputat: el-

Bukhari Institute, 2017), h. 92. 32 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 150.

Page 37: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

25

Sejarah juga telah mencatat, bahwa mereka merupakan suku terkemuka

dibandingkan suku atau kabilah-kabilah lainnya di jazirah Arab. Oleh karenanya,

dengan berbekal pengaruh, solidaritas, dominasi dan kewibawaan yang mereka

miliki, diharapkan dapat mencegah perpecahan dan meredam konflik antar

golongan. Sehingga, pada akhirnya dapat menjaga keberlangsungan dan stabilitas

pemerintahan dengan baik.33

Selain dari pada itu, dalam konteks sekarang, sangat sulit jika mengangkat

memimpin harus selalu dari golongan Quraisy. Terlebih, umat Islam telah tersebar

ke berbagai penjuru dunia. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa generalisasi

pengamalan makna hadis di atas dalam konteks sekarang sangatlah irasional dan

tidak relevan.

Beberapa uraian di atas, kian menegaskan terkait pentingnya memahami

hadis berdasarkan konteks sosio-historis yang melatarinya. Oleh karena itu,

tidaklah berlebihan sekiranya dikatakan bahwa memahami hadis dengan cara

meletakkan pada konteks historisnya tak lain merupakan sikap yang arif dan

bijaksana. Dengan melihat konteks historis suatu hadis dikemukakan, diharapkan

dapat mendapatkan bentuk pemahaman hadis yang holistik dan komprehensif dan

meminimalisir penyalahgunaan hadis karena didapatkan dari hasil pengamatan

dan pemahaman hadis yang parsial.

33

Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 93.

Page 38: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

26

BAB III

KAJIAN TAKHRIJ HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

Pada bab ini, penulis akan menguji kualitas sanad hadis larangan

menebang pohon bidara. Sebagai langkah awal, penulis terlebih dahulu akan

melakukan takhrij hadis. Hal ini penting dilakukan, bukan hanya untuk dapat

mengetahui letak atau sumber keberadan hadis tersebut, melainkan juga untuk

mengungkap seberapa banyak hadis tersebut direkam dalam sumber-sumber

primer hadis. Selanjutnya, penulis akan berusaha melacak dan menghadirkan

biografi sekaligus penilaian para ulama kritikus hadis terkait masing-masing

periwayat. Terakhir ialah penjelasan mengenai hukum hadis tersebut, apakah

ṣaḥīḥ, ḥasan, ḍa‘īf, atau bahkan mawḍū‘?

A. Deskripsi Umum Hadis

Berdasarkan takhrij hadis yang telah penulis lakukan, menunjukan bahwa

secara referensial, hadis larangan menebang pohon bidara terdapat dalam

beberapa kitab induk hadis. Sekurang-kurangnya, ada tiga kitab induk hadis yang

merekam keberadaan hadis tersebut yaitu Sunan Abī Dāwūd karya Abū Dāwūd,

Sunan al-Nasā’ī karya al-Nasā‟ī dan Mu‘jam al-Awsaṭ karya Abū al-Qāsim al-

Ṭabrānī. Ketiga sumber tersebut merekam hadis larangan menebang pohon bidara

dengan redaksi matan yang sama persis tanpa dijumpai adanya perbedaan sedikit

pun. Adapun beberapa riwayat yang dimaksud ialah sebagai berikut.

Page 39: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

27

1. Riwayat Abū Dāwūd

ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع ج ي ر ج ن اب ن ع ة ام س أ و ب ا أ ن ر ب خ ى أ ل ع ن ب ر ص ا ن ن ث د ح و ي ل ع ى الله ل ص - الله ل و س ر ال ق ال ى ق ش ب ح ن ب الله د ب ع ن ع م ع ط م ن ب ي ب ج ن ب د م م ن ب د ي ع س 1«. من قطع سدرة صوب اللو رأسو ف النار » -م ل س و

2. Riwayat al-Nasā‟ī

ج ي ر ج ن ا ب ن ث د ح ال ق د ي ز ي ن ب د ل ا م ن ث د ح ال ق ان ر ال ر م ع و ب أ د م م ن ب د ي م ال د ب ع أ ب ن أ الله ول س ر ال ق ال ق ي م ع ث ال الله د ب ع ن ع ي ب ج ن ب د م م ن ب د ي ع س ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع

2 من قطع سدرة صوب اللو رأسو ف النار : م ل س و و ي ل ع ى الله ل ص

3. Riwayat al-Ṭabrānī

ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع ج ي ر ج ن ب ن ع م اص ع و ب ا أ ن ث د ح ال ق م ل س م و ب ا أ ن ث د ح من قطع سدرة ) م ل س و و ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ر ال ق ال ي ق ش ب ح ن ب الله د ب ع ن ع د م م ن ب د ي ع س

3(اللو رأسو ف النار صوب

1 Abū Dāwūd Sulaimān bin Asy„ats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kitab

al-„Arabī, tt), Vol. 4, h. 530. 2 Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī al-Nasā‟ī, Sunan al-Nasā’ī (Beirut:

Mu‟assasah al-Risālah, tt), Vol. 8, h. 21. 3 Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Riyaḍ, Dār al-

Haramayn, tt), Vol. 5, h. 182.

Page 40: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

28

B. Skema Sanad

Nabi Saw.

Abdullah bin Ḥubsyi

Sa„īd bin Muḥammad

„Utsmān bin Abī Sulaimān

Ibn Juraij

Abū Usāmah Mikhlad Abu „Āṣim

Naṣr bin „Alī „Abd al-Ḥamīd bin Muḥammad Abū Muslim

Abū Dāwūd Al-Nasā‟ī Al-Ṭabrānī

Skema sanad di atas menunjukkan bahwa hadis larangan menebang pohon

bidara masuk dalam katagori hadis gharīb al-muṭlak4 yang merupakan bagian dari

hadis ahad. Hal itu, karena pada fase (ṭabaqat) sahabat, tak seorang pun yang

meriwayatkan hadis tersebut kecuali Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī. Begitu

pula pada dua fase setelahnya, hadis tersebut juga masing-masing hanya

diriwayatkan oleh satu orang periwayat, yaitu Sa„īd bin Muḥammad dan „Ustmān

4 Yang dimaksud dengan gharīb al-Muṭlak ialah hadis yang ketersendirian (gharabah)nya

terjadi pada awal sanad. Dengan kata lain, pada fase sahabat, hanya ada satu orang sahabat yang

meriwayatkan. Selengkapnya, lihat Maḥmūd al-Ṭaḥḥān, Taysīr Musṭalaḥ al-Ḥadīts (Beirut: Dār

al-Fikr, t.tn), h. 28.

Page 41: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

29

bin Abī Sulaimān. Penyebaran hadis tersebut baru terjadi tepatnya oleh Ibn Juraij.

Melalui Ibn Juraij ini, hadis tersebut kemudian tersebar kepada tiga jalur sanad,

yaitu sanad Abā Dāwūd, al-Nasā‟ī dan Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī.

C. Kajian Sanad Hadis

Dalam hal ini, penulis akan membagi pembahasan berdasarkan jalur sanad

masing-masing periwayat tanpa melakukan pengulangan terkait biografi (tarājum)

beberapa periwayat yang telah dijelaskan sebelumnya, semisal Abdullah bin

Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān

dan Ibn Juraij. Keempat periwayat tersebut hanya akan dijelaskan pada

pembahasan sanad yang terdapat dalam Abū Dāwūd.

Sanad Abū Dāwūd

Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad Abū Dāwūd ini terdapat tujuh

periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin

Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū Usāmah, Naṣr bin „Alī dan

terakhir ialah Abū Dāwūd. Di bawah ini, akan dijelaskan secara spesifik terkait

profil masing-masing periwayat.

1. Abdullah bin Ḥubsyi (w. 72 H.)

Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī. Kunyahnya

ialah Abū Qatīlah. Ia merupakan seorang sahabat Nabi Saw. yang tinggal di

Page 42: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

30

Mekah. Ia meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi Saw., salah satunya ialah hadis

terkait larangan menebang pohon bidara5 sebagaimana yang sedang penulis kaji.

Dengan melihat status Abdullah bin Ḥubsyi yang merupakan seorang

sahabat Nabi Saw, maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa ia merupakan

seorang yang „adil (‘adl), tanpa harus melacak komentar ulama mengenai

kredibilitasnya. Hal itu, berdasarkan kaidah populer dalam ilmu hadis bahwa

setiap sahabat adalah „adil (al-ṣaḥābah kulluhum ‘udūl).

2. Sa‘īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im (w. 120 H.)

Nama lengkapnya ialah Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ„im al-

Nawfalī, al-Madanī. Ia meriwayatkan hadis langsung dari para sahabat Nabi Saw.

di antaranya Abdullah bin Ḥubsyi, Abū Hurairah, dan juga dari kakeknya, yaitu

Jubair bin Muṭ„im. Sementara itu, beberapa muridnya yaitu „Utsmān bin Abī

Sulaimān, Abdullah bin Wahhāb dan beberapa ulama lainnya.6

Terkait Sa„īd bin Muḥammad ini, penulis tidak menemukan komentar para

ulama mengenai kredibilitasnya kecuali Ibn Ḥibbān yang menilainya sebagai

seorang yang tsiqah (terpercaya).7 Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ia

merupakan seorang yang dapat diterima periwayatannya.

3. ‘Utsmān bin Abī Sulaimān )w. 130 H. )

5 Abū „Amr Yūsuf bin „Abdullah al-Qurṭubī, al-Isti‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb (Beirut: Dār

al-Jīl, 1412 H.), Vol. 3, h. 887., Lihat juga Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, al-Iṣābah fī

Tamyīz al-Ṣaḥābah (Beirut: Dār al-Jīl, 1992), Vol. 4, h. 52. 6 „Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim al-Rāzī, al-Jarh wa al-Ta‘dil (Beirut: Dār Iḥyā‟ Turāts

al-„Arabī, 1952), Vol. 4, h. 57. 7 Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad al-Tamīmī, al-Tsiqāt (Beirut: Dār al-Fikr,

1975),Vol. 4, h. 290.

Page 43: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

31

Nama lengkapnya ialah „Utsmān bin Abī Sulaimān bin Jubair bin Muṭ„im

bin „Adī bin Naufal, al-Qurasyī al-Makkī. Al-Mīzī mengutip pernyataan Ibn

Ḥibbān bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān merupakan seorang Qaḍī di Mekah.8

Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya yaitu Sa‘īd bin

Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im, Nāfi„ bin Jubair bin Muṭ„im, Syu„aib bin

Khālid al-Khats„amī dan lain-lain. Adapun muridnya ialah Ibn Juraij, Ismā„īl bin

Umayyah, Sufyān bin „Uyainah dan sejumlah ulama lainnya.

Sementara itu, sejumlah ulama hadis semisal Aḥmad bin Hanbal, Yaḥyā

bin Ma„īn dan Abū Ḥātim al-Rāzī menilai bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān

merupakan seorang yang tsiqah (terpercaya). Al-Mīzī juga mengatakan bahwa

nama „Utsmān bin Abī Sulaimān dikutip oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya.9

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān

merupakan seorang periwayat yang sangat tsiqah dan dapat diterima

periwayatannya.

4. Ibn Juraij (w. 150 H.)

Nama lengkapnya ialah „Abd al-Mālik bin „Abd al-„Azīz bin Juraij al-

Qurasyi.10

Ia memiliki dua kunyah yaitu Abū Khālid dan Abū al-Wālid.11

Beberapa guru Ibn Juraij yaitu „Ustmān bin Abī Sulaimān, Yaḥyā bin

Abdullah, Ya„lā bin Hākim, Zayd bin Aslam, Isḥāk bin Abī Ṭalḥah, Ṣāliḥ bin

Kaisān, A„ṭa bin Abī Rabāh, dan lain-lain. Adapun murid-muridnya, yaitu Abū

8 Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl (Beirut:

Mu‟assasah al-Risālah, 1980), Vol. 19, h. 384. 9 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 19, h. 384. 10 Sulaimān bin Khalāf bin Sa„d, al-Ta‘dīl wa al-Tajrīḥ (Riyaḍ: Dār al-Liwā, 1986), 2,

904. 11 Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥammād al-Daulabī, al-Kunā wa al-Asmā (Beirut: Dār Ibn

Ḥazm, 2000), Vol. 2, h. 505.

Page 44: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

32

Usāmah, Yaḥyā bin Sa„īd al-Umawī, Yaḥyā bin Sa„īd al-Anṣārī, Hisyām bin

Yūsuf al-Ṣan„ānī dan lain-lain.12

Yaḥyā bin Ma„īn menilai bahwa Ibn Juraij merupakan seorang yang

tsiqah. Ulama lainnya semisal Yaḥyā bin Sa„īd menilai Ibn Juraij sebagai seorang

yang jujur (ṣadūq).13

Kredibilitas Ibn Juraij juga dapat dipastikan karena ia

termasuk periwayat yang tercantum dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, salah satunya pada

saat meriwayatkan hadis terkait dzikir setelah shalat.14

Dari sini, dapat dikatakan

bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.

5. Abū Usāmah (w. 201 H.)

Nama lengkapnya ialah Ḥammād bin Usāmah bin Zayd al-Qurasyī.

Kunyahnya ialah Abū Usāmah al-Kūfī.15

Abū Usāmah meriwayatkan hadis dari

sejumlah ulama yaitu Ibn Juraij, Abū Isḥāk al-Fazarī, Aḥwaṣ bin Hākim al-

Syāmī, Bisyr bin Khālid al-Kūfī, Ajlah bin Abdullah al-Kindī, Bahz bin Hākim,

Usāmah bin Zayd al-Laitsī, Sa„d bin Sa„īd al-Anṣārī dan sejumlah ulama

lainnya.16

12 Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar

al-Fikr, 1984), Vol. 6, h. 357. 13 Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Vol. 6, h. 358. 14 Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,

(Beirut: Dar Thauq al-Najah, tt), Vol. 1, h. 168. Adapun hadis yang dimaksud ialah sebagai

berikut:

ث نا عبد الرزاق قال أخب رنا ح ث نا إسحاق بن نصر قال حد قال أخب رن عمرو أن أبا معبد مول ابن عباس أخب ره ابن جريج دهما أخب ره أن رفع الصوت بالذكر حين ي نصرف الناس من ال صلى اللو علي أن ابن عباس رضي اللو عن و مكتوبة كان على عهد الن

وسلم Dari Ibn „Abbas mengatakan bahwa mengeraskan suara dzikir ketika selesai menunaikan ibadat

shalat wajib dilakukan pada masa Nabi Saw. 15

Al-Mizi, Tahdzib al-Kamal, Vol. 7, h. 217. 16 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 7, h. 218.

Page 45: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

33

Adapun muridnya yaitu Naṣr bin ‘Alī, Yaḥyā bin Ma„īn, Aḥmad bin

Hanbal, Abū Khaitsamah bin Zuhair bin Ḥarb, Sufyān bin Waqi„ bin Jarrāḥ, „Alī

bin al-Madīnī, Utsmān bin Muḥammad bin Abī Syaibah, Muḥammad bin Idrīs al-

Syāfi‟ī dan beberapa ulama lainnya.17

Aḥmad bin Hanbal menilai, bahwa Abū Usāmah merupakan seorang

ulama yang tsiqah dan ṣaduq.18

Bahkan, ketika Aḥmad bin Hanbal ditanya oleh

anaknya, siapakah yang lebih tsiqah dalam bidang hadis antara Abū „Āṣim dan

Abū Usāmah? Beliau menjawab, Abū Usamāh jauh lebih tsiqah sekalipun

dibandingkan dengan seratus orang semisal Abū „Āṣim (Abū Usāmah atsbat min

mi’ah mistli Abī ‘Āṣim).19

Tak hanya itu, Abū Usamāh juga merupakan periwayat yang namanya

tercantum dalam Ṣaḥīḥ Muslim.20

Dengan demikian, keberadaan nama Abū

Usamāh sebagai salah seorang periwayat dalam Ṣaḥīḥ Muslim menunjukan bahwa

ia merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal ini berdasarkan pandangan umum

dalam ilmu hadis bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim

ialah orang-orang tsiqah.

6. Naṣr bin ‘Alī (w 250 H)

Nama lengkapnya adalah Naṣr bin „Alī bin Naṣr bin „Alī bin Ṣaḥbānī bin

Abī al-Azdi bin al-Jahḍamī. Kunyahnya ialah Abū „Amr al-Baṣri.

17 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 7, h. 220. 18 Syams al-Dīn bin Abī Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin „Utsmān bin Qaimaz al-

Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā )Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1985), Vol. 9, h. 277. 19 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 277. 20 Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih al-Aṣbihānī, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-

Ma‟rifah, tt),Vol. 1, h. 158 .

Page 46: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

34

Naṣr bin „Alī berguru pada sejumlah ulama hadis di antaranya Abū

Usāmah, Aḥmad bin Mūsā al-Khazā‟ī, Ismā„īl bin „Ulayah, Ismā„īl bin

Muḥammad bin Jahadah, Bisyr bin al-Mufaḍḍal, Bisyr bin „Amr al-Zahrānī,

Ḥātim bin Wardanī dan sejumlah ahli hadis lainnya.21

Adapun murid-muridnya terdiri para imam besar dalam ilmu hadis yaitu

al-Bukhārī, Muslim, al-Tirmidzī, Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī, Ibn Mājah, Ibn Abī al-

Dunyā, Abdullah bin Aḥmad, Ibn Khuzaimah, Ibn Sa„īd, Abū Ḥāmid al-Haḍramī

dan sejumlah ulama hadis lainnya.22

Sementara itu, secara kredibilitas, al-Nasā‟ī dan Abū Ḥātim al-Rāzī

menilai bahwa Naṣr bin „Alī adalah seorang ulama yang tsiqah.23

Tak hanya itu,

dengan melihat beberapa nama besar muridnya di atas, yang sebagian besarnya

merupakan para imam ahli hadis semisal al-Bukhāri dan Muslim, menunjukan

bahwa Naṣr bin „Alī merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal itu, karena al-

Bukhārī dan Muslim tidak mungkin meriwayatkan hadis kecuali dari seorang

yang tsiqah. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Naṣr bin „Alī merupakan

seorang ulama yang dapat diakui, baik secara kredibilitas, maupun

intelektualitas.24

7. Abū Dāwūd (w. 275 H.)

Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Asy‟ats bin Iṣḥāk bin Basyīr bin

Syidād al-Azdī al-Sijistānī. Kunyahnya adalah Abū Dāwūd. Abū Dāwūd

merupakan seorang ulama besar dalam ilmu hadis, sekaligus sebagai penulis kitab

21 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, h. 355. 22 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 12, h. 133. 23

Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355. 24 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355.

Page 47: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

35

Sunan yang selama ini dikenal dengan sebutan Sunan Abī Dāwūd. Ia dikenal

sebagai seorang yang tsiqah dan hāfīẓ.25

Sanad al-Nasā’ī

Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad al-Nasā‟ī ini terdapat tujuh

periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin

Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Mikhlad bin Yazīd, „Abd al-Ḥāmid

bin Muḥammad dan terakhir ialah al-Nasā‟ī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait

profil masing-masing periwayat.

1. „Abdullah bin Ḥubsyi, profil dan penilaian para ulama terkait beliau

telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama

terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait

beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah

dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

5. Mikhlād bin Yazīd (w 193 H )

Nama lengkapnya ialah Mikhlād bin Yazīd al-Qurasyī al-Ḥaranī,

Kunyahnya ialah Abū Yaḥyā. Ada pula yang mengatakan Abū al-Ḥusein.

Ia berguru kepada Ibn Juraij, Yaḥya bin Sa„īd al-Anṣārī, Yūnus bin Abī

Isḥāk dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yaitu „Abd Ḥāmid bin

25 Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, Taqrīb al-Tahdzīb (Suriah: Dār al-Rasyid,

1986), 1, 250.

Page 48: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

36

Muḥammad, Aḥmad bin Hanbal, Isḥāk bin Rahawaih, Aḥmad bin Bakar al-

Ḥaranī dan sejumlah ulama lainnya.

Yaḥya bin Ma„īn, Abū Dāwūd dan Ya„qūb bin Sufyān menilai bahwa

Mikhlād bin Yazīd merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim

menilainya sebagai seorang yang jujur (ṣadūq). Dengan mengacu pada komentar

positif yang dikemukakan beberapa ulama tersebut, dapat dikatakan bahwa

periwayatan Mikhlād bin Yazīd dapat dipertanggungjawabkan. 26

6. ‘Abd al-Ḥāmid bin Muḥammad (w. 266 H.)

Nama lengkapnya ialah „Abd al-Ḥāmid bin Muḥammad bin al-Mustam bin

Ḥākim bin „Amr. Kunyahnya adalah Abū „Amr al-Harani.

Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Mikhlād bin Yazīd, „Abd al-

Jabbār bin Muḥammad al-Khaṭābī, „Utsmān bin Muḥammad al-Ṭarā‟ifī, Mughīrah

bin Sufyān dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yaitu al-Nasā’ī, Abū „Awānah

al-Isfarā‟inī, Abū „Arūbah dan beberapa ulama hadis lainnya.

Ibn Ḥibbān dan al-Nasā‟ī menilai bahwa „Abd al-Hāmid merupakan

seorang yang tsiqah.27

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa periwayatan

„Abd al-Hāmid dapat dipertanggungjawabkan.

7. al-Nasā’ī (w. 303 H.)

Nama lengkapnya ialah Aḥmad bin Syu‟aib bin „Alī al-Nasā‟ī. Kunyahnya

ialah Abū „Abd al-Raḥmān.

26

Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 10, h. 69. 27 Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 6, h. 110.

Page 49: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

37

Beberapa gurunya yaitu Isḥāk bin Rahawaih, Hisyām bin „Ammār, Suwaid

bin Naṣr dan lain lain. Adapun murid-muridnya yaitu Abū Basyar al-Daulabī, Abū

Ja„far al-Ṭaḥāwī dan beberapa ulama lainnya.

Al-Nasā‟ī merupakan seorang ḥāfīẓ dan dijuluki sebagai syaikh al-Islam

dalam bidang hadis. Ia juga merupakan penulis kitab Sunan al-Kubrā atau yang

selama ini dikenal dengan Sunan al-Nasā’ī.28

Sanad al-Ṭabrānī

Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad al-Ṭabrānī ini terdapat tujuh

periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khat„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin

Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū „Āṣim, Abū Muslim dan

terakhir ialah al-Ṭabrānī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait profil masing-

masing periwayat.

1. Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, profil dan penilaian para ulama

terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd

2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama

terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait

beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah

dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.

28 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 14, h. 125.

Page 50: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

38

5. Abū ‘Āṣim (w. 212 H.)

Nama lengkapnya ialah Ḍaḥḥāk bin Mikhlād bin Ḍaḥḥāk bin Muslim bin

Ḍaḥḥāk al-Syaibānī. Kunyahnya ialah Abū „Āṣim al-Baṣrī.

Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Ibn Juraij, Abān bin Ṣam„ah,

Bakar bin „Abd al-Azīz bin Bakrah dan beberapa ulama lainnya.29

Adapun murid-

muridnya yaitu Abū Muslim al-Kājī, Muḥammad bin „Abd al-Mālik al-Daqīq,

Ḥārīts bin Abī Usāmah, Abdullah bin Munīr, Ibrāhīm bin Ya„qub al-Jawzanī dan

beberapa ulama lainnya tak terkecuali al-Bukhārī.30

Yaḥyā bin Ma„īn dan „Abdullah al-„Ījli menilai bahwa Abū „Āṣim

merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim al-Rāzī menilainya

sebagai seorang yang jujur (ṣaduq).31

Oleh karenanya, dengan melihat kredibilitas

Abū „Āṣim tersebut, dapat disimpulkan bahwa periwayatannya dapat

dipertanggungjawabkan.

6. Abū Muslim (w. 291 H.)

Nama lengkapnya ialah Ibrāhīm bin Abdullah bin Muslim bin Mā„iz bin

al-Muhājir al-Baṣrī. Kunyahnya ialah Abū Muslim al-Kajī.

Ia berguru kepada sejumlah ulama hadis di antaranya ialah Abū ‘Āṣim,

Muḥammad bin „Abdullah al-Anṣārī, „Abd al-Raḥmān bin Ḥammād al-Syu‟atsī,

„Abd al-Mālik al-Aṣmā„ī dan sejumlah ulama lainnya. Adapun murid-muridnya

29

Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281. 30

Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 480. 31 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281.

Page 51: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

39

yaitu Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī, Ismā„īl al-Ṣaffār, Abū Bakr al-Najad, Farūq al-

Khaṭābī, Aḥmad bin Ja„far al-Khutūlī dan lain-lain.32

Al-Dāruquṭnī dan sejumlah ulama hadis lainnya menilai bahwa Abū

Muslim merupakan seorang yang tsiqah. Beliau juga merupakan seorang yang

ḥāfīẓ dalam bidang hadis.33

Dengan demikian, berdasarkan penilaian tersebut

dapat ditegaskan bahwa Abū Muslim merupakan seorang yang kredibel dan dapat

diterima periwayatannya.

7. Al-Ṭabrānī (w. 360 H.)

Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Aḥmad bin Ayūb bin Maṭīr bin al-

Lakhmī al-Syāmī al-Ṭabrānī. Kunyahnya ialah Abū al-Qāsim. 34

Ia meriwayatkan hadis dari Abū Muslim al-Kajī, Isḥāk bin Ibrāhīm al-

Miṣrī, Idrīs bin „Abd al-Hākim al-Ḥaddād dan lain-lain. Adapun murid-muridnya

yaitu Abū Khalīfah al-Jamhī dan beberapa ulama lainnya.

Dalam bidang ilmu hadis, al-Ṭabrānī merupakan seorang muhadis besar. Ia

bahkan dijuluki sebagai muhadīts al-Islām. Beberapa karyanya yang paling

populer ialah Mu‘jam al-Kabīr, Mu‘jam al-Awsaṭ dan Mu‘jam al-Ṣaghīr. Al-

Ṭabrānī merupakan seorang ḥāfīẓ al-ḥadīts dan tsiqah.35

Berdasarkan data

tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa hadis yang .diriwayatkannya dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

32

Syams al-Dīn Abū 'Abd Allah Muḥammad bin Aḥmad bin „Utsmān al-Dzahabī, Tārīkh

al-Islām wa-Wafayah al-Masyāhir wa al-A‘lām (Beirut: Dār al-Gharb al-Islamī, 2003), Vol. 6, h.

911. 33 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 13, h. 423. 34 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 16, h. 119. 35 Al-Dzahabī, Tadzkirah al-Huffāẓ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998), Vol.3, h.

87.

Page 52: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

40

D. Tabel Sanad

Berikut ini adalah tabel yang merupakan kesimpulan berdasarkan hasil

pengkajian seluruh rangkaian sanad.

Sanad Abū Dāwūd

No Nama Wafat Guru Keterangan

1.

Abdullah bin

Ḥubsyi

72 H Nabi Saw Bertemu

2.

Sa„īd bin

Muḥammad bin

Jubair

120 H

Abdullah bin

Ḥubsyi

Bertemu

3.

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

130 H

Sa īd bin

Muḥammad bin

Jubair

Bertemu

4. Ibn Juraij 150 H

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

Bertemu

5. Abū Usāmah 201 H Ibn Juraij Bertemu

6. Naṣr bin „Alī 250 H Abū Usāmah Bertemu

7. Abū Dāwūd 275 H Naṣr bin „Alī Bertemu

Page 53: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

41

Sanad al-Nasā’ī

No Nama Wafat Guru Keterangan

1.

Abdullah bin

Ḥubsyi

72 H Nabi Saw Bertemu

2.

Sa„īd bin

Muḥammad bin

Jubair

120 H

Abdullah bin

Ḥubsyi

Bertemu

3.

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

130 H

Sa„īd bin

Muḥammad bin

Jubair

Bertemu

4. Ibn Juraij 150 H

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

Bertemu

5. Mikhlād bin Yazīd 193 H Ibn Juraij Bertemu

6.

„Abd al-Ḥāmid bin

Muḥammad

266 H

Mikhlād bin

Yazīd

Bertemu

7. al-Nasā‟ī 303 H

„Abd al-Ḥāmid

bin Muḥammad

Bertemu

Page 54: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

42

Sanad al-Ṭabrānī

No Nama Wafat Guru Keterangan

1.

Abdullah bin

Ḥubsyi

72 H Nabi Saw Bertemu

2.

Sa„īd bin

Muḥammad bin

Jubair

120 H

Abdullah bin

Ḥubsyi

Bertemu

3.

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

130 H

Sa„īd bin

Muḥammad bin

Jubair

Bertemu

4. Ibn Juraij 150 H

„Utsmān bin Abī

Sulaimān

Bertemu

5. Abū „Āṣim 212 H Ibn Juraij Bertemu

6. Abū Muslim 291 H Abū „Āṣim Bertemu

7. al-Ṭabrānī 360 H Naṣr bin „Alī Bertemu

E. Hukum Hadis

Setelah melacak komentar dan penilaian para ulama kritikus hadis terkait

masing-masing periwayat dalam seluruh rangkaian sanad di atas, dapat dijumpai

bahwa sejumlah periwayat yang ikut andil dalam meriwayatkan hadis larangan

menebang pohon bidara terdiri dari para periwayat yang “tsiqah”. Seluruh

Page 55: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

43

periwayat di atas terbukti sebagai orang-orang yang memenuhi kriteria keṣaḥīḥan

suatu hadis. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seluruh

sanad atau jalur periwayatan hadis di atas, baik sanad Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī

maupun al-Ṭabrānī bernilai “ṣaḥīḥ” dan dapat dipertanggungjawabkan menurut

standar ilmiah ilmu hadis. Dengan kata lain, hadis larangan menebang pohon

bidara dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah sekaligus sebagai landasan dalam

menghukumi usaha-usaha terkait penebangan suatu pohon atau merusak

kelestarian lingkungan.

Page 56: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

44

BAB IV

PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara spesifik terkait pemahaman

hadis larangan menebang pohon bidara. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada

bab ini ialah, bagaimana makna atau substansi hadis larangan menebang pohon

bidara? sejauh mana hadis tersebut mendapat legitimasi dalam al-Qur‟an? adakah

hadis lain yang secara substansial melegitimasi hadis tersebut? dalam konteks apa

hadis tersebut diucapkan oleh Nabi Saw? dan lain sebagainya.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, sekurang-kurangnya ada

tiga langkah yang akan penulis lakukan. Pertama, penulis coba memahami dan

menjelaskan hadis tersebut berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal ini bukan hanya

untuk memastikan adanya ayat al-Qur‟an yang melegitimasi hadis tersebut,

melainkan juga untuk menunjukkan bahwa hadis tersebut selaras dengan isi

kandungan al-Qur‟an. Kedua, penulis coba menjelaskan makna hadis tersebut

dengan cara menghimpun riwayat-riwayat yang semakna (Wiḥdah al-

Mawḍū‘iyyah fī al-Ḥadīts). Hal ini juga penting dilakukan dengan harapan

menemukan riwayat yang lebih spesifik sehingga potensial saling menafsirkan

antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, atau yang terakhir ialah penulis coba

menghadirkan konteks sosio-historis yang pernah melatari kemunculan hadis

larangan menebang pohon bidara. Dengan mengacu kepada konteks historisnya,

diharapkan dapat memahami hadis tersebut secara holistik.

Tak hanya itu, pada bagian terakhir dari bab ini, penulis akan menjelaskan

relevansi hadis larangan menebang pohon bidara dalam konteks sekarang,

Page 57: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

45

terutama kaitannya dengan penghijauan lingkungan (Goo Green) sebagai bagian

dari upaya pencegahan terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat

ini tengah mengancam kehidupan masyarakat.

A. Makna Umum dan Konteks Historis Hadis Larangan Menebang Pohon

Bidara

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa

hadis larangan menebang pohon bidara dapat dijumpai dalam beberapa kitab

induk hadis seperti Sunan Abī Dāwūd, Sunan al-Nasā’ī, dan Mu‘jam al-Awsaṭ,

namun, sejauh pengamatan penulis, tak dijumpai adanya literatur hadis ataupun

keterangan para ulama yang secara ekplisit menjelaskan terkait sabab al-wurūd

hadis larangan menebang pohon bidara. Tentu hal tersebut akan berdampak pada

bentuk pemahaman atas hadis tersebut. Apakah larangan tersebut berlaku secara

umum, ataukah hanya berlaku dalam konteks tertentu?

Dengan perkataan lain, hadis tentang larangan menebang pohon tak dapat

ditemukan konteks sosial dikemukakannya hadis tersebut oleh Nabi Saw.

Walaupun demikian ada sedikit keterangan yang dikemukakan oleh Abū Dāwūd

ketika ditanya tentang pemahaman hadis larangan menebang pohon bidara. Abū

Dāwūd menjelaskan bahwa pohon bidara yang dimaksud dalam matan hadis

tersebut ialah pohon bidara yang tumbuh di daerah Padang pasir. Abū Dāwūd

mengatakan di dalam Sunan Abī Dāwūd sebagai berikut;

ف ة ر د س ع ط ق ن م ن ع ي ر ص ت م ث ي د ا ال ذ ى ال ق ف ث ي د ا ال ىذ ن ع م ن ع د او د و ب أ ل ئ س ار الن ف و س أ ر الله ب و ا ص ه ي ف و ل ن و ك ي ق ح ي غ ا ب م ل ظ ا و ث ب ع م ائ ه لب ا و ل ي ب الس ن ا اب ب ل ظ ت س ي ة لا ف

Abū Dāwūd ditanya tentang makna hadis larangan menebang pohon

bidara. Ia menegaskan bahwa hadis tersebut cukup ringkas. Artinya,

Page 58: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

46

barangsiapa yang menebang pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir,

yang merupakan tempat berteduh para musafir dan hewan ternak tanpa ada

kemaslahatan sedikitpun, maka Allah swt akan menuangkan air panas ke

atas kepalanya di neraka nanti.1

Pernyataan Abū Dāwūd di atas mengisyaratkan bahwa hadis larangan

menebang pohon bidara sesungguhnya terikat oleh konteks, yaitu pohon bidara

yang tumbuh di daerah padang pasir. Pernyataan Abū Dāwūd di atas juga

mengisyaratkan bahwa di daerah padang pasir saat itu, pohon bidara merupakan

tempat berteduh bagi para musafir dan binatang ternak. Sehingga, menebang

pohon bidara di padang pasir tentu sangat mengganggu kemashlahatan, terutama

bagi para musafir dan binatang ternak. Keduanya akan kehilangan tempat

berteduh jika pohon bidara ditebang. Oleh karenanya, sangatlah wajar sekiranya

Nabi Saw. melarang bahkan memberi ancaman keras kepada orang yang

menebangnya.

Penjelasan di atas, sekali lagi, menunjukkan bahwa larangan menebang

pohon bidara tidak berlaku mutlak pada setiap keadaan, melainkan terikat oleh

konteks yang mengitarinya. Dengan perkataan lain, menebang pohon bidara tentu

dibolehkan selama tidak mengganggu kemaslahatan hidup manusia dan makhluk

lainnya.

Abū Dāwūd menjelaskan bahwa makna hadis tersebut adalah larangan

menebang pohon bidara dimaksudkan sebagai suatu tindakan merusak (menebang

pohon) bidara yang sedang tumbuh kokoh di padang pasir. Pada umumnya orang-

orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, ketika sampai di tengah-tengah

padang gurun nan gersang akan mencari tempat untuk berteduh supaya keletihan

1 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361.

Page 59: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

47

dalam dirinya hilang. Dengan adanya pohon bidara di tengah padang gurun pasir

itu, seorang musafir akan berteduh untuk sementara waktu di pohon tersebut.

Sebenarnya makhluk yang memanfaatkan keberadaan pohon bidara di

tengah gurun bukan hanya sebatas pada manusia saja. Namun binatang ternak

yang dibawa para mufasir atau binatang yang hidup di padang pasir pada

umumnya menjadikan pohon tersebut sebagai tempat berteduh karena dinilai

sangat sejuk. Sehingga wajar apabila Nabi Saw. memberikan peringatan keras

terhadap sahabat dan umat Islam untuk tidak menebang pohon yang tumbuh di

padang pasir yang digunakan sebagai tempat untuk berteduh tanpa adanya unsur

kemaslahatan lainnya. Apabila ada orang yang melanggar aturan dan sabda Nabi

Saw. tersebut maka Allah Swt. akan menuangkan air panas ke atas kepalanya

kelak di neraka atau dalam pengertian lain orang yang melanggar aturan Nabi

Saw. tersebut akan menerima siksaan yang berat.2

Al-Ṭaḥāwī dalam Syarḥ Musykil al-Ātsār pernah mempermasalahkan

hadis larangan menebang pohon bidara. Menurut pendapat al-Ṭaḥāwī, bahwa

hadis tentang larangan menebang pohon telah dihapus status hukumnya

(mansūkh) dari yang sebelumnya memiliki hukum haram, menjadi boleh.

Pernyataan mansukh dari al-Ṭaḥāwī didasarkan pada pendapat „Urwah bin Zubair

yang membolehkan menebang pohon bidara dan menjadikannya sebagai olahan

dan bahan pembuatan pintu dan perkakas rumah lainnya.3

Abū Dāwūd mengabadikan kisah dan pendapat „Urwah bin Zubair dalam

Sunnannya. Ia meriwayatkan hadis dari Ḥasan bin Ibrāhīm bahwa „Aku pernah

bertanya kepada Hisyām bin „Urwah bin Zubair tentang hukum menebang pohon

2 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361. 3 Abū Ja„far al-Ṭaḥāwī, Syarḥ Musykil al-Ātsār (Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 2008),

Jld. 6, h. 425-7.

Page 60: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

48

bidara. Pada saat ia bersandar di pintu ia berkata; „apakah engkau perhatikan

bahan pintu dan kusen ini?‟. Pintu dan kusen ini terbuat dari pohon bidara milik

„Urwah. Dahulu „Urwah bin Zubair menebang pohon tersebut yang tumbuh di

tanahnya dan berkata, „boleh saja menebang pohon bidara‟.4

Dalam persoalan ini al-Sayūṭī tampaknya lebih memilih pendapat yang

cenderung kompromis bahwa larangan menebang pohon bidara dalam hadis

tersebut hanya dimaksudkan untuk pohon bidara yang tumbuh di tanah haram.

Adapun pohon yang tumbuh di daerah dan wilayah lain tidak ada larangan untuk

menebang pohon. Pendapat al-Sayūṭī di atas merupakan usaha kompromis dan

telaah mendalam atas riwayat Abū Dāwūd dan al-Ṭabrānī di dalam kitab Raf‘u al-

Ḥidzr ‘An Qat‘ al-Ṣidr.5

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa secara substansial, hadis

larangan menebang pohon bidara hendak menegaskan terkait pentingnya menjaga

dan merawat lingkungan, bukan merusaknya tanpa ada kemaslahatan sedikitpun

bagi kehidupan manusia. Adapun perkataan al-Ṭaḥāwī yang menilai larangan

menebang pohon bidara telah dimansūkh tampaknya tidak menjadikan status

hukum dan semangat merawat lingkungan ikut terhapus pula. Apalagi klaim

mansūkh oleh al-Ṭaḥāwī bersandarkan pada pendapat „Urwah semata.

Sedangkan susbtansi ucapan Nabi dalam hadis tersebut sangat jelas dan

bersifat umum. Keumuman tersebut adalah anjuran untuk merawat lingkungan

dan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Berbeda keadaan dan

permasalahan jika seseorang yang melakukan penebangan terhadap pohon yang

dikhawatirkan membahayakan keselamatan umat manusia karena akan rawan

4 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 368. 5 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Ḥāwī li al-Fatāwī (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1982),

Jld. 2, h. 212.

Page 61: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

49

tumbang dan sebagainya. Maka dalam kasus-kasus tertentu seseorang boleh

melakukan tindakan menebang pohon dengan alasan kemaslahatan umat.

Ibn Mulqin al-Anṣārī mengatakan di dalam al-Tawḍīḥ li Syarḥ al-Jāmi‘ al-

Ṣaḥīḥ bahwa boleh hukumnya menebang pohon dengan tujuan untuk

dimanfaatkan kayunya, atau untuk ditanam pohon lainnya, atau dengan tujuan

kemaslahatan manusia yang lebih besar. Ibn Mulqin memberikan landasan

argumentasi bahwa kebolehan tersebut dengan alasan kemaslahatan umat dapat

ditemukan dalam sejarah ketika Nabi Muḥammad Saw. menebang pohon untuk

kepentingan pembuatan Masjid Nabawī.6

B. Petunjuk Qur’anik Tentang Larangan Berbuat Kerusakan

Jika dikaji lebih jauh, larangan membuat kerusakan alam mendapat

legitimasi langsung dalam al-Quran. Beberapa ayat al-Quran yang berkenaan

dengan hal ini yaitu sebagai berikut.

QS. al-A„raf [7]: 56

قريب من الله إن رحت وه خوفا وطمعا ول ت فسدوا ف الأرض ب عد إصلاحها وادع المحسنين

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)

memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan

diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah

amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

QS. al-Baqarah [2]: 12.

6 Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syaḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ (Qatar: Wizārat al-Awqāf wa

al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009), Jld. 4, h. 261.

Page 62: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

50

ا حن مصلحون ) هم ىم المفسدون ( أل إن 11وإذا قيل لم ل ت فسدوا ف الأرض قالوا إن يشعرون ن ل ك ول

“Dan bila dikatakan kepada mereka “Janganlah kamu membuat kerusakan

di muka bumi”, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami adalah orang-

orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah

orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak

menyadarinya”.

QS. Ar-Rum [30]: 41

ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ي رجعون

“Telah nampak kerusakan di bumi akibat ulah manusia, supaya Allah

menyadarkan atas apa yang manusia lakukan. Hal demikian supaya

mereka kembali [ke jalan-Nya]”.

QS. al-Qaṣaṣ [28]:77.

ل يب المفسدين الله ول ت بغ الفساد ف الأرض إن "

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

QS. al-Baqarah [2]: 205.

(536ل يب الفساد ) والله وإذا ت ول سعى ف الأرض لي فسد فيها وي هلك الرث والنسل

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk

mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Dari penjabaran dan penyebutan beberapa ayat al-Qur‟an di atas, memiliki

konklusi besar bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak boleh

Page 63: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

51

(dilarang) berbuat keonaran, kerusuhan, kerusakan dan perbuatan merusak lainnya

di muka bumi. Bahkan, pada ayat terakhir di atas, Allah Swt. secara eksplisit

mengatakan bahwa Dia tidak menyukai kerusakan dan kebinasaan, baik berupa

kerusakan tanaman-tanaman ataupun binatang ternak.

Senada dengan beberapa ayat di atas, pada surat al-Hūd [11] ayat 61; Allah

swt berfirman.

ىو أنشأكم من الأرض واست عمركم فيها فاست غفروه ث توبوا إليو

„Dia telah menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu

pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian

bertaubatlah kepada-Nya‟.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dari

tanah, kemudian menjadikan mereka sebagai pemakmur di muka bumi ini.

Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa di samping menjadikan manusia sebagai

penguasa (khalīfah), Allah Swt. juga memberikan mandat kepada umat manusia

agar selalu menjaga, merawat, melindungi dan memakmurkan bumi, bukan

membuat kerusakan di dalamnya.

Dengan mengkomparasikan pesan beberapa ayat di atas, dapat ditarik

sebuah kesimpulan bahwa larangan menebang pohon bidara yang terdapat di

dalam hadis Nabi Saw., sesungguhnya mendapat legitimasi dalam al-Quran dan

selaras dengan prinsip universal ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemashlahatan.

C. Anjuran Menanam Pohon dalam Hadis Nabi Saw.

Page 64: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

52

Sebagai mana telah disinggung di atas, bahwa larangan menebang pohon

bidara, dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya merawat lingkungan. Jika

menelaah literatur hadis, dapat dijumpai bahwa hadis larangan menebang pohon

bidara, juga mendapat legitimasi dari sejumlah hadis lainnya. Al-Baihaqī dalam

kitab Sunan al-Kubrā meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Anas bin

Mālik sebagai berikut:

ا ع ر ز ع ر ز ي و ا أ س ر غ س ر غ ي م ل س م ن ا م م م ل س و و ي ل ع ى الله ل ص الله ل و س ر ال ق ال ق س ن أ ن ع ة ق د ص و ل ت ان ك ل إ ة م ي ب و أ ان س ن إ و أ ر ي ط و ن م ل ك أ ي ف

Dari Anas bin Mālik ra, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Tidaklah

seorang Muslim menanam suatu tanaman, kemudian hasil tanamannya

dimakan oleh burung, manusia dan hewan, melainkam akan menjadi

sadaqah bagi pemiliknya.7

Senada dengan hadis di atas, dalam riwayat Muslim bin Ḥajjāj dalam

Ṣaḥīḥ Muslim juga diriwayatkan sebagai berikut:

ر إل كان لو صدقة إل ي وم المسلم غرسا ف يأكل فلا ي غرس منو إنسان و ل دابة و ل طي القيامة

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan

manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah

baginya sampai hari kiamat.”8

Kedua Hadis di atas secara eksplisit menjelaskan terkait anjuran menanam

pohon. Bahkan, pada hadis tersebut Nabi Saw. mengatakan bahwa seorang

Muslim yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh

burung, manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi pahala sadaqah bagi

7 Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,

1994), Vol. 6, h. 137. 8 Muslim bin Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naysabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār

al-Jil, tt), Vol. 3, h. 1189.

Page 65: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

53

pemiliknya. Di samping itu, pada hadis di atas, Nabi Saw. juga seolah hendak

menegaskan bahwa menanam pohon merupakan bagian dari ibadah, karena pahala

menanam pohon akan terus mengalir kepada pemiliknya selama pohon tersebut

masih ada dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.9

Tak hanya itu, hadis terkait larangan menebang pohon bidara, juga

mendapat legitimasi dari hadis lainnya yang secara substansial menjelaskan terkait

anjuran menanam pohon. Aḥmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang bersumber

dari Anas bin Mālik, sebagai berikut:

وبيد أحدكم فسيلة ، فإن استطاع أن ل قال رسول الله صلى اللو عليو وسلم : إن قامت الساعة ي قوم حت ي غرسها ف لي فعل

"

Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang di antara kalian

terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia

menanamnya, maka lakukanlah”.10

Hadis di atas menarik untuk diamati. Pada hadis di atas, Nabi Saw.

memerintahkan bahwa pada hari kiamat kelak, jika ada seseorang yang memiliki

bibit pohon yang belum ditanam, maka hendaknya ia menanam bibit pohon

tersebut sekalipun kiamat telah terjadi. Padahal, pada hari kiamat kelak, Allah

Swt. akan membinasakan bumi beserta segala isinya.11

Sehingga, menanam pohon

dalam situasi seperti itu tentu merupakan sesuatu yang sia-sia. Namun, alih-alih

9 Jenis ibadah semacam ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk ibadah sosial. Pasalnya,

manfaat menanam pohon tidak hanya dirasakan oleh pemiliknya secara individual, melainkan juga

oleh orang-orang disekitanya bahkan oleh burung sekalipun. Dalam konteks ilmu fiqh, ibadah

sosial lebih utama dibandingkan dengan ibadah individual. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh

bahwa al-Muta‘ādī Afḍal min al-Qāṣir. Penjelasan spesifik terkait kaidah tersebut, dapat dilihat

dalam Muḥammad Yāsīn bin „Īsā‟ al-Fadānī, Fawā’id al-Janiyyah (Beirut: Dār al-Mahjah al-

Bayḍā, 2008), h. 514. 10 Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟asasah al-Risālah, 1999),

Vol. 20, h. 296. 11 QS. al-Nazi‟at, [79] : 6. Lihat juga QS. al-Haqqah [69]: 13-17.

Page 66: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

54

memerintahkan hal lain, dalam situasi genting seperti itu, Nabi Saw.

memerintahkan umatnya untuk menanam bibit pohon yang belum ditanam.

Secara implisit, hadis ini mengandung pesan moral yang sangat

mendalam. Pada hadis tersebut, Nabi Saw. seolah ingin menegaskan betapa

pentingnya menanam pohon sehingga memerintahkan seseorang agar menanam

bibit pohon yang ia punya sekalipun dalam situasi yang amat genting semisal hari

kiamat. Dengan demikian, secara substansial, hadis di atas melegitimasi hadis

larangan menebang pohon bidara. Artinya, pemahaman sebaliknya (mafhūm

mukhālafah) dari hadis di atas ialah adanya larangan untuk menebang pohon

secara liar yang dapat mengganggu kemaslahatan hidup umat manusia.

Hadis lainnya yang juga menarik diamati ialah hadis terkait larangan

menebang pohon pada saat perang. Al-Baihaqī meriwayatkan hadis tersebut yang

berasal dari sahabat Khālid bin Zayd sebagai berikut:

عن خالد بن زيد، قال: خرج مع رسول الله صلى الله عليو وسلم مشي عا لأىل مؤتة حت عدو الله وعدوكم بالشام، ب لغ ثنية الوداع، ف وقف ووق فوا حولو، ف قال: " اغزوا باسم الله ف قاتلوا

[ وستجدون فيهم رجال ف الصوامع معتزلين من الناس فلا ت عرضوا لم، وستجدون 166]ص:ا امرأة، ول صغيا ضرعا، ول آخرين للشيطان ف رءوسهم مفاحص فافلقوىا بالس يوف، ول ت قت لو

كبيا فانيا، ول ت قطعن شجرة، ول ت عقرن نلا، ول ت هدموا ب يتا "

Dari Khālid bin Zayd berkata: Suatu ketika ia keluar bersama Nabi Saw.

untuk memerangi penduduk Mu‟tah. Setibanya di bukit Wada‟, Nabi Saw.

dan pasukannya berhenti lalu Nabi saw berkata: Berperanglah dengan

nama Allah Swt. Perangilah musuh Allah dan musuhmu di Syam. Dan

kalian akan menjumpai sekelompok orang di suatu tempat yang

memisahkan diri dari manusia. Maka janganlah menyerang/menghalangi

mereka. Dan kalian juga akan menjumpai sekelompok orang yang

kepalanya menjadi tempat berdiam setan, maka pukulah dengan pedang.

Dan janganlah membunuh perempuan, anak kecil dan orang yang sudah

tua renta. Jangan pula menebang pohon, merusak pohon kurma dan

merusak rumah.12

12 Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā, Vol. 9, h. 194.

Page 67: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

55

Hadis di atas, menjelaskan terkait kisah Khālid bin Zayd bersama Nabi

Saw. dan para sahabat lainnya ketika hendak melakukan peperangan. Pada saat

itu, Nabi Saw. mengingatkan terkait larangan-larangan yang mesti dihindari dalam

peperangan, di antaranya ialah terkait larangan menebang pohon. Dengan

demikian, secara substansial, hadis di atas kian menguatkan subtansi hadis

larangan menebang pohon bidara.

D. Signifikansi dan Relevansi Hadis Larangan Menebang Pohon Bidara

Signifikansi hadis tentang larangan menebang pohon bidara adalah sebagai

landasan teologis dalam rangka menggalakkan program penghijauan lingkungan

(goo green). Program tersebut penting dilakukan sebagai bentuk pencegahan

terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat ini tengah mengancam

kehidupan masyarakat global.

Sebagaimana telah disinggung pada bab awal, bahwa dewasa ini telah

terjadi pemanasan global yang diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya

karena banyaknya penebangan liar. Sebagian kalangan kerap melakukan

penebangan liar demi kepentingan kelompoknya tanpa mempertimbangkan sisi

kemaslahatan hidup manusia. Akibatnya, bumi terancam mengalami pemanasan

di atas rata-rata yang pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya beberapa

bencana alam semisal tanah longsor, gempa bumi, banjir dan lain sebagainya.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah bencana tersebut kerap terjadi

dibeberapa belahan bumi khususnya di wilayah Indonesia. Tak pelak, persoalan

ini telah mengundang perhatian serius dari berbagai pihak. Mereka dituntut untuk

Page 68: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

56

mampu menghadirkan sebuah solusi sebagai tindakan preventif dalam mencegah

berbagai kemungkinan terburuk yang dapat diakibatkan oleh adanya pemanasan

global.

Berkaitan dengan problem tersebut, kiranya apa yang pernah Nabi saw

katakan terkait larangan bahkan ancaman keras bagi seseorang yang menebang

pohon bidara tanpa mempertimbangkan kemaslahatan bagi kehidupan di

sekitarnya tentu menemukan relevansinya. Dengan didukung oleh naṣ al-Qur‟an

dan beberapa hadis lainnya, hadis larangan menebang pohon bidara tersebut dapat

menjadi landasan teologis sebagai bentuk peringatan bagi sejumlah kalangan yang

kerap kali melakukan penebangan liar.

Oleh karenanya, dalam konteks ini, peran agamawan tentu akan sangat

dibutuhkan oleh berbagai pihak. Para agamawan diharapkan mampu

menyampaikan sekaligus memahamkan substansi atau pesan moral yang

terkandung di balik hadis tersebut. Oleh karenanya, sekali lagi, dengan berpijak

pada hadis tersebut, dapat ditegaskan bahwa larangan menebang pohon secara liar

memiliki dasar teologis yang kuat dalam hadis Nabi Saw.

Larangan dalam hadis Nabi Saw. tentang menebang pohon bidara dalam

usaha pelestarian dan penghijauan lingkungan dapat dikaitkan dengan peran

manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Allah telah menyerahkan bumi ini

menyangkut pelesarian bumi dari hal-hal yang dapat menghancurkan kepada

manusia dan tidak kepada makhluk Allah lainnya. Ini berarti bahwa manusia

sebagai seorang khalifah di bumi memiliki peran sangat penting dalam usaha

pelestariannya.

Page 69: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

57

Sudah diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai

akal pikiran. Dengan akalnya, manusia dapat melakukan apa yang dikehendaki

karena di dalam tubuhnya terdapat nafsu. Nafsu memiliki dua arah

kecenderungan, yaitu nafsu baik (ḥasanah, muṭma’innah) dan nafsu buruk

(sayyi’ah/lawwāmah). Apabila manusia dikendalikan oleh nafsu yang baik dengan

melalui pertimbangan akal yang matang, maka ia akan melakukan perbuatan-

perbuatan yang menjurus pada hal yaang baik (positif). Sedangkan apabila

manusia dikendalikan oleh nafsu yang buruk maka ia akan melakukan hal-hal

yang buruk (negatif). Dalam konteks pelesatrian dan penghijauan lingkungan (go

green), maka manusia hendaknya terus untuk bisa melakukan hal-hal yang

bersifat positif untuk menjadikan bumi ini menjadi damai dan tenang.13

Dengan kata lain manusia merupakan makhluk satu-satunya yang dapat

mengubah keadaan alam atau bumi ini. Nasib bumi ke depan ada di tangan

manusia. Manusia dapat mengubah keadaan alam baik secara positif maupun

negatif. Bahkan diera postmodern seperti sekarang ini, di mana manusia tengah

dilimpahi kekayaan intelektual informasi dan teknologi, manusia dapat melakukan

apapun yang dikehendakinya. Maka dengan pesatnya kemajuan teknologi yang

diciptakan manusia, sudah selayaknya teknologi yang dirancang tersebut

menambah keimanan manusia kepada Allah dengan memanfaatkannya untuk

kepentingan manusia dan alam lingkungannya. Segala kentuk keburukan yang

akan menjadi dampak dari perkembangan teknologi selayaknya diminimalisir

semaksimal mungkin. Bahkan justeru sebaliknya, manusia dengan ilmu dan

teknologi yang dimiliki harus mampu memperbaiki keadaan lama lingkungan

13 Ulfah Utama, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains (Malang: UIN

Malang press, 2008), h. 69-70.

Page 70: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

58

yang rusak akibat bencana atau yang ditimbulkan oleh kekhilafan manusia.

Manusia dengan ilmu dan teknologinya tersebut harus menciptakan lingkungan

alam yang kondusif, indah, sehat dan segar untuk kelangsungan manusia dan alam

sekitarnya.14

E. Islam dan Lingkungan Hidup: Refleksi Atas Hadis Larangan

Menebang Pohon Bidara

Salah satu prinsip ajaran Islam dalam kaitannya dengan usaha pelestarian

lingkungan hidup adalah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan

keseimbangan dan harmoni antar anggota alam semesta seperti manusia, binatang,

tumbuhan dan lainnya. Unsur terpenting yang dapat mengendalikan prinsip

tersebut terletak pada manusia sebagai khalifah di bumi ini. Selain itu manusia

harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesimbangan dan

berinteraksi secara benar dengan alam dan lingkungan lainnya.

Keseimbangan dan harmoni alam semesta terangkai di dalam al-Qur‟an

surat al-Furqan [25] ayat 2:

(5وخلق كل شيء ف قدره ت قديرا )

„Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-

ukurannya secara rapih‟.

Unsur keseimbangan juga tercatat dalam surat al-Raḥmān [55] ayat 5-8;

( والسماء رف عها ووضع الميزان 5( والنجم والشجر يسجدان )6الشمس والقمر بسبان ) (8( أل تطغوا ف الميزان )7)

14 Syamsul Bahri, Humanisasi Lingkungan, Merajuk Pemikiran Islam (Makasar: UIN

Makasar Press, 2011), h. 34-5.

Page 71: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

59

„Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Bintang dan pohon

tunduk kepada-Nya. Allah meninggikan langit dan dan meletakkan

neracanya‟.

Seyyed Mohsen Miri mengatakan bahwa apabila manusia dapat menjaga

kelestarian alam, menjaga unsur keseimbangan dan harmoni tersebut berarti

manusia telah menjadi khalifah dengan baik karena sedari awal alam semesta ini

diciptakan untuk kepentingan manusia.15

Dengan memperhatikan beberapa landasan teologis baik dari al-Qur‟an

maupun hadis Nabi Saw. tentang pentingnya menjaga dan melestarikan

lingkungan hidup maka dapat diambil konklusi bahwa hukum pemeliharaannya

adalah wajib dan merusaknya adalah haram. Apabila doktrin ini dikaitkan dengan

metode hukum Islam yaitu lima konsep pokok (al-Ḍarūriyyah al-Khamsah),16

yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, maka pemeliharaan atas

kelima maslahah pokok ini terkait langsung dengan pemeliharaan terhadap

lingkungan.

Konsepsi Islam tentang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama

dengan kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya dapat

dikatakan bahwa lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok

agama. Menjaga shalat adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara

agama. Lingkungan yang bersih sebagai infrastruktur untuk menjalankan shalat

juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya shalat

seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk berwudhu‟ atau

tempat untuk melaksanakan shalat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis

15 Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan

Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 33-34. 16 Al-Ghazālī, al-Muṣtasyfā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tn), h. 286.

Page 72: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

60

pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam konteks keberadaan

lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok agama dapat dibaca dari

kaidah fiqih yang menjelaskan “mā-lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa al-

wājib” (sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga

menjadi wajib) artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam rangka

memelihara agama.

Kewajiban pemeliharaan terhadap jiwa sebagai tujuan pokok agama juga

terkait langsung dengan kewajiban memelihara lingkungan. Tanah longsor, erosi,

lumpur lapindo akibat eksploitasi lingkungan dan sebagainya merupakan bentuk-

bentuk pengerusakan terhadap eksistensi jiwa manusia. Maka kewajiban untuk

memelihara lingkungan pada dasarnya adalah kewajiban untuk memelihara jiwa

manusia. Sehubungan dengan perintah ini, Allah Swt. melarang untuk melakukan

pembunuhan dan eksploitasi lingkungan. Dalam surat al-Maidah (5) ayat 32:

ا من ق تل ن يعا ومن أحياىا فكأن ا ق تل الناس ج فسا بغي ن فس أو فساد ف الأرض فكأنيعا أحيا الناس ج

“Siapa yang membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka

bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Dan

siapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan ia telah

memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.

Berkaitan dengan pemeliharaan jiwa, Islam juga memerintahkan untuk

memelihara akal sebagai tujuan pokok agama. Perhatian agama terhadap

kesehatan akal sangat terkait dengan kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-sālim fī

jism al-sālim/ akal yang baik terletak pada tubuh yang sehat). Jawaban praktis

adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan yang bersih, baik dan tidak

tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan yang baik. Dengan

Page 73: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

61

begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan kewajiban

pemerliharaan terhadap akal.

Memelihara keturunan sebagai tujuan agama yang keempat adalah syari‟at

yang diwajibkan kepada manusia. Kewajiban itu sekaligus dengan bentuk kualitas

yang terjamin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisā‟ [4] ayat 9;

وليخش الذين لو ت ركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم

“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka

khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka‟.

Generasi yang tidak memiliki iman, tidak memiliki resources (sumber

daya) ekonomi, tidak memiliki lingkungan yang baik dan sebagainya. Lingkungan

dengan segala sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk

keberlangsungan hidup manusia. Merusak lingkungan dengan mengeksploitasinya

tanpa perhitungan, akan merusak kehidupan dan penghidupan generasi

selanjutnya. Oleh sebab itu memelihara lingkungan sama wajibnya dengan

memelihara keturuanan.

Eksploitasi alam merupakan salah satu bentuk pengerusakan terhadap

harta sebagai tujuan pokok agama kelima, karena alam adalah karunia Allah untuk

kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Air, pohon-pohonan, mineral bumi

dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan diberikan

untuk kebutuhan makhluk-Nya. Nabi Muḥammad Saw. dalam salah satu sabdanya

melarang kaum muslimin mencabut rumput pada waktu melaksanakan ibadah

haji. Demikian juga larangannya terhadap tanah yang diterlantarkan: maka orang

Page 74: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

62

yang menggarapnya diperbolehkan mengambil jadi hartanya (konversi tanah).

Demikian perhatian Islam terhadap kemaslahatan manusia dan alam sekitarnya.17

Sebagai agama dengan spirit raḥmatan li al-‘ālamīn Islam meletakkan

pemeliharaan lingkungan sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok

agama. Kemaslahatan lingkungan tidak hanya berimplikasi positif terhadap

pemeliharaan kelangsungan hidup manusia tetapi juga untuk lingkungan itu

sendiri. Karena bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas.

Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya

kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat

nonremovable, yang tidak mungkin tergantikan.

Di Indonesia eksploitasi yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap

Sumber Daya Alam (SDA) sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan

mencemaskan. Berbagai kerusakan alam yang diakibatkan ulah tangah manusia

telah memberi dampak negatif bagi ekosistem alam dan berdampak secara

langsung bagi kesejahteraan manusia. Sehingga sangat relevan apabila semangat

hadis Nabi Saw. tentang larangan menebang pohon bidara seperti yang penulis

kemukakan sangat penting untuk diperhatikan. Bahwa menebang pohon

diperbolehkan sejauh terdapat kemaslahatan bagi manusia. Apabila tidak memiliki

maslahat bagi manusia dan justeru merusak ekosistem alam yang sudah mapan,

maka hal ini yang dilarang dalam aturan normatif dalam Islam.

17 Abrar, „Islam dan Lingkungan‟, dalam Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, No.1, Vol. 1,

2012, h. 22.

Page 75: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

63

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa penjelasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya,

mengantarkan penulis pada beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, terkait aspek sanad. Berdasarkan analisis yang telah penulis

lakukan terhadap masing-masing periwayat yang ikut andil dalam meriwayatkan

hadis larangan menebang pohon bidara, menunjukkan bahwa seluruh sanad atau

jalur periwayatan hadis tersebut berkualitas Ṣaḥīḥ, baik sanad Abū Dāwūd, al-

Nasā‟ī maupun al-Ṭabrānī. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sanad hadis

tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Kedua, terkait aspek matan. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada

bab IV, bahwa secara substansial, hadis larangan menebang pohon bidara terikat

oleh konteks, yaitu pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir tempat berteduh

para musafir dan binatang ternak tanpa mempertimbangkan kemaslahatan.

Dengan kata lain, menebang pohon bidara tentu diperbolehkan sejauh

mempertimbangkan sisi kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.

Dalam konteks sekarang, substansi atau pesan hadis tersebut menemukan

relevansinya, yaitu dalam rangka menggalakan penghijauan lingkungan (goo

green) sebagai tindakan preventif terjadinya pemanasan global (global warming).

Oleh karenanya, secara umum, hadis terebut hendak menegaskan terkait

pentingnya merawat lingkungan dan menjaga kemaslahatan. Selain itu,

kandungan matan hadis larangan menebang pohon bidara memiliki basis

Page 76: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

64

legitimasi dalam sejumlah teks-teks keagamaan, baik al-Qur‟an maupun hadis

Nabi Saw.

B. Saran

Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari beberapa persoalan lainnya yang

berkaitan dengan hadis-hadis goo green. Penulis menilai, masih ada celah untuk

dilakukan penelitian lanjutan salah satunya terkait kualitas hadis anjuran

menanam pohon pada hari kiamat sebagaimana yang telah disinggung pada bab

IV. Oleh karenanya, penulis merekomendasikan bagi para peneliti setelahnya

untuk melakukan penelitian lanjutan terkait hal ini.

Penulis juga merekomendasikan kepada pihak pemerintah untuk

memberikan hukuman yang seberat beratnya kepada individu atau kelompok yang

secara jelas merusak lingkungan. Kepada masyarakat juga dihimbau untuk tetap

melestarikan lingkungan supaya tetap terjaga sampai anak cucunya kelak.

Khususnya untuk setiap individu untuk menggalakkan pentingnya melestarikan

lingkungan seperti menanam pohon dan tidak merusaknya secara sembarangan.

Page 77: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

65

Daftar Pustaka

Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd. Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009.

Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal. Kairo: Mu‟assasah al-Risālah,

2001.

Al-Aṣbihānī, Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-

Ma‟rifah, ttn.

Al-„Asqalānī, Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar, Tahdzīb al-Tahdzīb. Beirut: Dār al-Fikr,

1984.

_______, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Beirut: Dār al-Jil, 1992.

Al-Baghdādī, Khaṭīb, al-Jāmi‘ li Akhlāk al-Rāwī wa Ādāb al-Sāmī. Riyaḍ:

Maktabah al-Ma‟arif, t.tn.

Bahri, Syamsul, Humanisasi Lingkungan, Merajuk Pemikiran Islam. Makasar:

UIN Makasar Press, 2011.

Al-Baihaqī, Aḥmad bin Husain bin „Alī bin Mūsā‟, Sunan al-Kubrā. Mekah: Dār

al-Bāz, 1994.

Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā„īl bin Ibrāhīm bin Mughīrah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.

Beirut: Dār Ṭuq al-Najah, ttn.

Al-Daulabī, Muḥammad bin A mad bin Ḥammād, al-Kunā wa al-Asmā. Beirut:

Dār Ibn Hazm, 2000.

Al-Dzahabī, Syams al-Dīn bin Abū Bakar, Siyar A‘lām al-Nubalā. Kairo:

Mu‟assasah al-Risālah, 1985.

_______. Tārikh al-Islām wa Wafayah al-Masyāhīr wa al-A‘lām. Beirut: Dār al-

Gharb al-Islāmī, 2003.

_______. Tadzkirah al-Ḥuuffāẓ. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998.

Al-Ghazālī, al-Muṣtasyfā. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.tn.

Al-Ghazāli, Muḥammad, Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

Ḥadīts. Kairo: Dār al-Kutub al-Misṣr, 2012.

Hayne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya,

1987.

Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ. Qatar: Wizārat al-

Awqāf wa al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009.

Ibn Sa„īd, al-Ta‘dīl wa al-Tajrīḥ. Riyaḍ: Dār al-Liwā, 1986.

Page 78: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

66

Ihsan, Fadl, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin

al-Tauhid, edisi 121, tahun 2011.

Istikhomah, Nur, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks

1387‟, Skripsi. Surabaya: UIN Sby, 2014.

Mangunjaya, Fachruddin M., dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan

Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Mangunjaya, Fakhrudin M., Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2005.

Misran, Erni, dkk, Think Green Go Green. Jakarta: Pustaka Jingga, 2013.

Al-Mīzī, Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj, Tahdzīb al-Kamāl.

Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1980.

Muḥammad „Aziz „Abidin, al-Tsawābit wa al-Mutaghayirāt fī al-Qur’ān wa al-

Sunnah. Damaskus: Dār al-Maḥabbah, 2011.

Mukono, Aspek Kesehatan Pencemaran Udara. Surabaya: Airlangga University

Press, 2011.

Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2010.

Al-Nasā‟ī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī, Sunan al-Nasā’ī.

Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, ttn.

Al-Qarḍāwī, Yūsuf, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dār

al-Wafā, 1996.

Al-Qurṭubī, Abū „Amr Yūsuf bin „Abdullah, al-Isti‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb.

Beirut: Dār al-Jīl, 1412 H.

Al-Rāzī, „Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl. Beirut: Dār Iḥyā

Turāts al-„Arabī, 1952.

Al-Ṣābūnī, Muḥammad „Alī, Ṣafwat al-Tafāsir. Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997.

Sukandamuri, Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta:

Andi, 2010.

Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Ḥāwī li al-Fatāwī. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah,

1982.

Al-Syawkānī, Muḥammad bin „Alī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā al-

Akhbār. Makah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.

Al-Syuhūd, „Alī Nayif, al-Mufaṣṣal fī ‘Ulūm al-Ḥadīts. t.tp.: Hay‟at al-„Ilmiyah

wa al-Khairiyah, 2008.

Page 79: PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA

67

Al-Tamīmī, Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad, al-Tsiqāt. Beirut: Dār al-Fikr,

1975.

Al-Ṭabrānī, Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad, Mu‘jam al-Awsaṭ. Riyaḍ, Dār al-

Ḥaramayn, tt.

Al-Ṭaḥḥān, Maḥmūd, Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts. Beirut: Dār al-Fikr, t.tn.

Al-Ṭaḥāwī, Abū Ja„far, Syarḥ Musykil al-Atsār. Beirut: Mu‟assasah al-Risālah,

2008.

Utama, Ulfah, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains.

Malang: UIN Malang press, 2008.

Yaqub, Ali Mustafa, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2016.