metode kritik hadits

8
Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 200100150 ME P .................................................. ME A. Pendahuluan Pada masa permulaan isla sabda-sabdanya selain Al-Quran berhubungan dengan tulisan se adanya kecenderungan bahwa menyimpulkan beberapa kemun Pencatatan hadits para sahabat diperb Pencatatan hadit d dan hadits. Pencatatan hadit d dan diperbolehkan Pencatatan hadits d Pencatatan hadits dari pada Al-Quran Hadits yang pernah dicatat Al-Shahifah Al-Shad shahifah al-shahiha Al-Majmuah, meru dan Ibn Mas’ud. Pada masa tabi’in besar mendapat perhatian secara resm menjadi khalifah. Peletak batu 002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015 1 RANGKUMAN ETODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III Oleh Nama : Muhamad Anugrah NIM : 20010015002 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2015 .......................................................................... RANGKUMAN ETODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III am, Rasulullah saw tidak merestui para penul n, Rasulullah saw memerintahkan menghapus s elain Al-Quran, tetapi pada beberapa peristiwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh ngkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yait dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika isla rbolehkan mencatatnya. dilarang bagi mereka yang belum bisa membedak dilarang bagi sahabat yang dapat memahami ha n bagi yang sulit memahaminya. dilarang jika dicampuradukan dengan Al-Quran. dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan n. t oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada du diqah ialah pencatatan hadits oleh Abdullah B ah ditulis oleh Hammam Bin Munabih. upakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Ab dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pe mi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam 5 ............................ lis wahyu mencatat segala catatan yang a lainnya terungkap karena itu, ulama tu : am sudah menyebar kan antara Al-Quran adits dengan mudah, n mempelajari hadits ua bentuk yaitu : Bin Amr Bin Ash, al- bi Thalib, Ibn Abbas egkodifikasian hadits ul Aziz (99 – 110 H) m satu kitab adalah

Upload: muhamad-anugrah

Post on 12-Apr-2016

21 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

metode kritik hadits

TRANSCRIPT

Page 1: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana U

METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

.............................................................................................................................

METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III

A. Pendahuluan

Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat

sabda-sabdanya selain Al-Quran

berhubungan dengan tulisan selain

adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama

menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :

• Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah me

para sahabat diperbolehkan mencatatnya.

• Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara

dan hadits.

• Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,

dan diperbolehkan bagi yang sulit me

• Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukan dengan

• Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits

dari pada Al-Quran

Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bent

• Al-Shahifah Al-Shadiqah

shahifah al-shahihah ditulis oleh Hammam Bin Munabih.

• Al-Majmuah, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas

dan Ibn Mas’ud.

Pada masa tabi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits

mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99

menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab

Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

1

RANGKUMAN

METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III

Oleh

Nama : Muhamad Anugrah

NIM : 20010015002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2015

.............................................................................................................................

RANGKUMAN

METODE KRITIK HADITS BAB I S/D BAB III

Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat

Quran, Rasulullah saw memerintahkan menghapus segala catatan yang

berhubungan dengan tulisan selain Al-Quran, tetapi pada beberapa peristiwa lainn

adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama

menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :

Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah me

para sahabat diperbolehkan mencatatnya.

Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara

Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,

dan diperbolehkan bagi yang sulit memahaminya.

Pencatatan hadits dilarang jika dicampuradukan dengan Al-Quran.

Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits

Quran.

Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bent

Shadiqah ialah pencatatan hadits oleh Abdullah Bin Amr Bin Ash, al

shahihah ditulis oleh Hammam Bin Munabih.

, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas

bi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits

mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99

menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab

2015

......................................................................................................................................................

Pada masa permulaan islam, Rasulullah saw tidak merestui para penulis wahyu mencatat

, Rasulullah saw memerintahkan menghapus segala catatan yang

, tetapi pada beberapa peristiwa lainnya terungkap

adanya kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw tidak mutlak. Oleh karena itu, ulama

menyimpulkan beberapa kemungkinan sebab timbulnya mukhtalaf tersebut, yaitu :

Pencatatan hadits dilarang pada permulaan islam, tetapi ketika islam sudah menyebar

Pencatatan hadit dilarang bagi mereka yang belum bisa membedakan antara Al-Quran

Pencatatan hadit dilarang bagi sahabat yang dapat memahami hadits dengan mudah,

Pencatatan hadits dilarang jika para sahabat lebih mengutamakan mempelajari hadits

Hadits yang pernah dicatat oleh sahabat pada zaman Rasulullah saw ada dua bentuk yaitu :

ialah pencatatan hadits oleh Abdullah Bin Amr Bin Ash, al-

, merupakan hadits yang dikumpulkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas

bi’in besar dan berakhirnya sahabat generasi terakhir, pegkodifikasian hadits

mendapat perhatian secara resmi dari pemerintahan waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (99 – 110 H)

menjadi khalifah. Peletak batu pertama mengumpulkan hadits nabi saw dalam satu kitab adalah

Page 2: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

2

Muhammad Bin Syihab Az-Zuhri. Pada masa ini hadits nabi masih tercampur dengan fatwa sahabat

dan fatwa tabi’in. Kitab al-muwatha imam malik dipandang sebagai kitab tertua yang sampai ke

tangan umat islam, karena karya al-Zuhri tidak diketemukan.

Pada masa imam Bukhari terjadilah puncak ilmu hadits dan penilaian hadits secara kritis

karena beliaulah yang mula-mula menghimpun hadits shahih, pada zaman beliaulah diklasifikasikan

hadits secara marfu’, mauquf, mursal. Imam Syafi’i sebagai Nashir Al-Sunah yang sekaligus sebagai

peletak dasar epistemologi hadits, yang tersusun dalam kitabnya ar-Risalah. Pembagian hadits

secara eksplisit antara hadits shahih, hasan dan dhaif terjadi pada zaman al-tirmidzi (w. 279 H).

Adapun kriteria keshahihan suatu hadits adalah sebagai berikut, yaitu :

1. Itishal Al-Sanad

Bersambungnya sanad merupakan langkah pertama dalam meyakinkan penisbatan suatu

hadits kepada nabi saw. Setelah itu baru dibicarakan mengenai rawi yang meriwayatkannya.

Beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, diantaranya sebagai

berikut :

• Mencatat semua rawi dalam sanad yang akan diteliti.

• Mempelajari masa hidup masing-masing rawi.

• Mempelajari shigat tahammul wal ‘ada, yaitu bentuk lafal ketika menerima atau

mengajarkan hadits.

• Meneliti guru dan murid.

2. Adalat Al-Rawi

Menurut al-Razi, Adil didefinisikan sebagai kekuatan rohani (kualitas spiritual) yang

mendorong untuk berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan

melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muruah,

seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, serta bergurau secara

berlebihan.

3. Dhabit Al-Rawi

Dhabit ialah kemampuan rawi memelihara hadits, baik melalui hafalan maupun catatan, yaitu

mampu meriwayatkan hadits sebagaimana diterimanya.

4. Tidak Syadzdz

Syadzdz ialah apabila rawi yang tsiqat (terpercaya) dalam suatu hadits menyalahi hadits lain

yang rawinya lebih tsiqat dibandingkan rawi pada hadits pertama.

5. Tidak Ada Illat

Illat artinya penyakit atau sesuatu yang menyebabkan keshahihan hadits ternodai. Illat yang

ada pada suatu hadits tidak tampak suatu jelas melainkan samar-samar, sehingga sulit ditemukan,

Page 3: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

3

kecuali oleh ahlinya. Oleh karenanya, hadits semacam ini akan banyak ditemukan pada tiap rawi

yang tsiqat sekalipun.

Ilmu jarh dan ta’dil mulai muncul sejak abad pertama dan berkembang pada abad kedua

hijriah, yaitu ketika banyak terjadi peristiwa besar dalam sejarah yang melibatkan para politisi,

sehingga carut marut politik dan perebutan kekuasaan dikhawatirkan memicu pembuatan hadits

palsu.

Kualifikasi para sahabat lebih difokuskan pada ke-dhabit-annya daripada keadilannya. Ilmu

hadits menyebut mereka sebagai adil secara keseluruhan. Para jarrih dan muaddil berbeda-beda

dalam memandang ke-tsiqat-an seorang rawi, ada yang tasahul, lebih longgar dan yang tasyaddud

lebih ketat. Sebagai contoh al-Hakim tasyahul dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal,

dan tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum.

Dhabit dan ‘adil tidak difahami sebagai syarat ilahiyah dalam diri seorang rawi dalam bentuk

kemaksuman, tetapi ukuran manusia biasa. Seorang perawi dikatakan marjuh apabila memiliki aib

sebagai berikut :

• Ia seorang bid’ah

• Mukhalafah, menyalahi periwayatannya dengan orang yang lebih tsiqat darinya.

• Ghalath, banyak keliru dalam periwayatan.

• Jahalah al-hal, keadaannya tidak diketahui.

• Da’wa al-inqitha, dituduh sanadnya tak bersambung.

B. Kualifikasi Rawi Dalam Sudut Tinjau Ke-Tsiqat-An

1. Kualifikasi Rawi Dalam Keadilannya

Pengertian adil adalah sifat yang tertanam kuat dalam diri yang membawa pelakunya pada

ketetapan takwa dan muru’ah. Adapun yang dimaksud takwa adalah menjauhnya seseorang

terhadap perbuatan buruk berupa kefasikan dan kebid’ahan, sedangkan yang dimaksud muru’ah

adalah terpeliharanya manusia dari hal-hal yang tercela secara adat kebiasaan.

Syarat-yarat adil menurut Nur al-din ‘Itir, yaitu :

• Hendaklah ia seorang muslim

• Hendaklah ia seorang balig

• Hendaklah ia seorang berakal

• Hendaklah ia seorang yang bertakwa

• Hendaklah ia menjaga muru’ah

a. Keadilan Sahabat

• Menurut khawarij mereka menolak pandangan mengenai seluruh sahabat itu adil

• Murjiah menganggap para sahabat merupakan orang-orang yang dapat dipercaya

dan tidak perlu dipertimbangkan tentang apa yang diperbuatnya.

• Mu’tazilah tidak sepakat dengan keadilan sahabat. Kaum mu’tazilah tidak

mengakui keberadaan sunah, karena mereka mergukan keorisinalannya dari Nabi

Muhammad saw.

Page 4: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

4

• Syi’ah, mereka berpendapat tidak semua sahabat adil, terutama adalah para

sahabat yang mereka anggap merebut kekuasaan dari Ali Bin Abi Thalib.

• Ahli sunnah, ahli sunnah mengganggap semua sahabat adil, dan menyerahkan

persoalan pertentangan para sahabat kepada Allah SWT.

b. Keadilan Selain Sahabat

Para rawi terdiri atas sahabat, tabi’in, muhadramin, al-mawali dan tabiy tabi’in.

Pada periode setelah sahabat tidak berlaku lagi adanya kaidah keadilan secara menyeluruh,

karena pada periode ini aktivitas untuk meneliti keadilan rawi sangat efektif. Muncul dan

menjamurnya hadits-hadits palsu yang disebarkan atas dasar kepentingan kelompok masing-masing,

menyebabkan gencarnya para muhaditsin melakukan penelitian atas keadilan para rawi yang

meriwayatkan hadits.

2. Kualifikasi Rawi Dalam Ke-Dhabit-Annya

Kedhabitan rawi ditunjukan dalam kapasitias pemahaman, kecerdasan, dan dalam

penerimaan serta periwayatan hadits.

Seorang perawi mutlak menduduki maqam ini agar ia mampu menyampaikan kembali

secara baik dan benar apa yang dimaksud rasul saw, baik secara lafal atau makna. Seorang rawi

memiliki kesadaran dalam mengambil hadits. Setelah itu ia berjanji setia untuk menyampaikannya

dengan baik seperti ia mengambil dalam permulaan. Kemudian ke-dhabit-an rawi dalam memelihara

hadits itu bisa dengan mengingatnya atau menuliskannya.

Syarat Dhabit, yaitu :

• Rawi harus sadar, dalam arti dia harus mengetahui apa yang didengar dan dikatakannya.

• Rawi itu harus hafiz terhadap haditsnya, dalam arti ia tidak tertuduh dalam pemalsuan

(terhadap hadits yang diriwayatkannya)

Seorang perawi dalam memelihara hafalannnya harus memperhatiakan hal-hal sebagai

berikut, yaitu :

• Berusaha mempelajari hadits yang shahih, menerimanya dengan baik, baik dengan

mendengarnya ataupun dengan yang lainnya.

• Memelihara hadits yang sudah diterima dari gurunya, baik dengan mengingatnya atau

dengan menuliskannya. Dhabi shadr, meriwayatkan hadits yang dihafalkannya, dhzbit

kitab, meriwayatkan hadits melalui kitabnya.

Gelar keahlian para rawi

• Amir al-mukminin fi al-hadits,

• Al-hakim, gelar bagi yang menguasai hadits-hadits yang diriwayatkannya baik secara

matan, sifat rawi, ta’dil dan tarjih, sejarah hidup rawi dan guru-gurunya. Mereka yang

menghafal lebih dari 300.000 hadits. Ex. Ibnu Dinar, Al-Laits Bin Sa’ad, Imam Malik Bin

Anas, Imam Syafi’i

Page 5: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

5

• Al-Hujjah, yang menghafal 300.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan

ta’dilnya. Ex, Hisyam Bin Urwah, Muhammad Abdullah Bin Amr

• Al-hafizh, mereka yang hafal 100.000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan

ta’dilnya. Ex. Al-Iraqi, Syarifudin Al-Dimyati, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil ‘Ied

• Al-muhaddits, mereka yang hafal 1000 hadits lengkap dengan sanad, rawi, jarh dan

ta’dilnya, tingkatan hadits, mampu memahami al-kutub as-sitah, musnad ahmad, sunan

baihaqi, u’jam al-thabrani. Ex. Atha’ Bin Abi Rabah dan Al-Zabidi.

• Al-musnid, mereka yang memiliki keahlian meriwayatkan hadits lengkapdengan

sanadnya, baik menguasai ilmunya ataupun tidak. Mereka ini disebut juga dengan al-

thalib, al-mubtadi dan al-rawi.

C. Sejarah Perkembangan Ilmu Jarh Wa Ta’dil

1. Pengertian Jarh Wa Ta’dil

a. Pengertian Jarh Wa Ta’dil Secara Harfiah

Jarh atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga diartikan sebagai aib

atau mengaibkan. Sedangkan ta’dil berarti lurus, meluruskan; ta’dil berarti pula tazkiyah yaitu

membersihkan atau menganggap bersih.

b. Pengertian Jarh Wa Ta’dil Menurut Istilah

Jarh secara istilah artinya tersifatinya seorang rawi dengan sifat tercela sehingga tertolak

riwayatnya. Sedangkan ta’dil artinya tersifatinya seorang rawi yang mengarah pada diterimanya

periwayatan. Orang yang dinilai adil adalah yang tidak cacat urusan agama dan muruahnya, sehingga

kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syarat terpenuhi. Ilmu jarh dan ta’dil

artinya ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela perawi dan mengadilkannya.

Dalam kerangka jarh dan ta’dil, maka para perawi hadits adalah mereka yang memiliki

persyaratan berikut :

• Islam, riwayat orang kafir tidak boleh diterima.

• Baligh, orang yang meriwayatkan hadits disyaratkan dewasa karena kedewasaan ini

seseorang akan mendapat taklif, tuntutan pertanggungjawaban terhadap yang

perkataan dan perbuatannya.

• Adil, suatu sifat yang mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan

selalu terpelihara kehormatan pribadinya (muruah).

• Dhabi, kuat hafalan dan daya tangkapnya.

Menurut imam malik, tidak boleh diterima hadits dari empat kelompok di bawah ini, yaitu :

• Jangan diterima dari orang yang diktehui kebodohannya.

• Jangan diterima dari pendusta.

• Jangan diterima dari pelaku hawa nafsu.

• Seorang ahli ibadah, apabila dia tidak memahami dan mengetahui yang

diriwayatkannya.

Page 6: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

6

2. Hukum Men-Jarh Dan Men-Ta’dil

Menurut Ibnu Daqiqi al-Ied jika tidak sangat mendesak tidak dibenarkan mencerca seseorang ,

mencela dibutuhkan jika terpaksa, walaupun tetap dalam batas-batas wajar.

Dengan demikian, pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu :

• Mencela seseorang diperbolehkan bila diperlukan dalam periwayatan hadits.

• Tidak dibenarkan mengungkapkan bebagai macam keaiban jika sudah cukup dengan

satu macam saja.

• Mencela orang yang meriwayatkan hadits termasuk keadaan memaksa.

Al-Hafizh An-Nawawi mengatakan bahwa hukum men-tarjih seseorang yang meriwayatkan

hadits bukan hanya sekedar boleh, tetapi juga wajib; ini dilakukan tidak lain untk membela

kepentingan syariat Islam.

3. Latar Belakang Terjadinya Jarh Wa Ta’dil

Pertumbuhan ilmu jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits; ini adalah sebagi

usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits shahih dan dhaif. Berikut adalah tujuh

periode perkembangan hadits, yaitu :

• Masa turun wahyu

• Masa khulafaur rasyidin, masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.

• Masa perkembangan dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits.

• Masa pembukuan hadits.

• Masa pen-tashih-an hadits.

• Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadits

• Masa membuat syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits

hukum dan menyusun dalam kitab-kitab jami’.

a. Masa Turunnya Wahyu

Pada periode pertama hanya Rasulullah saw yang menjadi pusat perhatian umat islam, baik

mengenai lisan maupun perbuatannnya. Para sahabat langsung menanyakan persoalan itu kepada

Rasulullah atau menyuruh orang lain yang dipercaya. Rasulullah saw menyampaikan risalah melalui

berbagai cara, yaitu :

• Mengajar secara bertahap, dari tauhid ke hukum, gamapang ke sulit, dsb.

• Medan pengajaran, Rasulullah saw selalu memilih tempat yang sesuai untuk

mengajar. Contoh Darul Arqam di Mekah.

• Variasi waktu, waktu diatur agar tidak membosankan.

• Penerapan ilmu, bukan hanya teori tetapi praktek juga.

• Keluwesan dalam mendidik dan mengajar, mempergunakan bahasa yang lembut

dan berbagai contoh.

• Memelihara kebersamaan dari masyarakat yang heterogen, mengajar dengan

memperhatikan audience.

Page 7: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

7

• Memudahkan dan tidak bertindak kasar, Rasulullah saw menyediakan waktu dan

tempat khusus untuk mengajar bagi wanita.

Cara-cara shahabat menerima ajaran Rasulullah saw, yaitu :

• Majelis Rasulullah, Rasulullah saw membuat majelis khusus, kemudian shahabat

mendatanginya.

• Kasus-kasus yang dialami sendiri oleh Rasulullah saw, apabila Rasulullah saw

menjumpai suatu persoalan yang kiranya penting, maka akan disampaikan

kepada para shahabat.

• Peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap kaum muslimin. Manakala sahabat

menemukan suatu persoalan, maka hal tersebut akan disampaikan kepada

Rasulullah saw.

• Peristiwa-peristiwa yang disaksikan para sahabat bagaimana Rasulullah saw

melakukannnya.

b. Masa Khulafa Al-Rasyidin

• Masa Abu Bakar dan Umar, pada masa ini yang diutamakan dipelajari dan

disebarluaskan adalah al-Quran; sedangkan mengenai hadits tidak menjadi

pengajarn khusus sebagaimana al-Quran.

• Masa Utsman dan Ali Bin Abi Thalib, pada masa ini bepergian dari satu kota ke

kota lain dalam rangka mencari ilmu dan informasi tentang hadits banyak

dilakukan oleh para shahabat dan thabi’in besar.

c. Masa Perkembangan Riwayat

Pada masa ini marak pembuatan hadits palsu, dikarenakan fitnah yang melanda umat islam,

kelompok-kelompk yang dicuragai membuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :

• Syiah (pembela Ali), kelompok ini banyak membuat hadits palsu yang memuji Ali

dan ahli bait, imamah dan wilayah yang hanya untuk Ali karena beliau adalah wali

Nabi.

• Ahli sunnah wal jama’ah, bersifat netral, hanya mengikuti pemerintahan yang

sedang berkuasa.

• Khawarij, golongan ini mencela Utsaman bin Affan, Ali bin Abi Thali dan

Muawiyah.

• Murjiah, tidak menyetujui pemahaman khawarij yang mengkafirkan orang

berdosa besar.

• Mu’tazilah, golongan yang menggap fasik orang yang berdosa besar.

Adapun alasan banyak orang yang mebuat hadits palsu adalah sebagai berikut, yaitu :

• Perbedaan pandangan politik, demi mempertahankan keutuhan dan kelestarian

politik masing-masing, umat islam pada masa itu membuat hadits palsu dan

mengatasnamakan Rasulullah saw dlam fatwa-fatwanya.

• Kaum zindiq, orang-orang kafir dan membenci islam. Mereka sengaja membuat

hadits palsu, agar mat islam ragu kepada agamanya.

• Ta’ashub kebangsaan, qabilah, bahasa, negara, dan imam madzhab.

Page 8: Metode Kritik Hadits

Nama : Muhamad Anugrah, NIM : 20010015002, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Bandung, 2015

8

• Pendongeng dan orator, untuk menyemarakan susana mereka menambah-

nambah hadits dan dongeng-dongeng atas nama Rasulullah saw.

• Perbedaan fiqih dan kalam,

• Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan

pengetahuan agama. Sengaja membuat hadits palsu sesuai ibadah yang mereka

sukai (taghrib) dan dorongan untuk membenci suatu amal (tarhrb)

Menurut Ibn Sirrin menjadi jelas bahwa fitnah, bid’ah dan tersebarluasnya hadits palsu

merupakan pendorong utama dari muhadditsin untuk membicarakan hadits dari segala seginya,

termasuk didalamnya membicarakan sanad dan matannya sekaligus.

4. Para Perintis Ilmu Jarh Wa Ta’dil

Para sahabat yang pernah memperkatakan sanad adalah IbnAbbas (w. 96 H) dan Anas bin

Malik (w. 93 H). Dilakalangan thabi’in adalah Al-Syu’bi (104 H), Ibn Sirin (110 H), dikalangkan thabi’it

thabi’in adalah Ibn Ma’in (233 H), Ahmad Bin Hambal (241 H) dsb.

Referensi

Abdurrahman, M, Metode Kritik Hadits, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2013)