merekam jejak pasar modal indonesia.pdf

Upload: muhammad-arief-dwi-utama

Post on 16-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Merekam Jejak Pasar Modal Indonesia oleh : Basri Pohan

    Pada tanggal 10 Agustus 2005 yang lalu merupakan Ultah ke-28 diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia. Paket deregulasi pemerintah dari tahun 1987 sampai dengan tahun 1995 telah membawa dampak bagi perkembangan pasar modal. Jumlah perusahaan yang melakukan Penawaran Umum bertambah menjadi 248 Emiten pada tahun 1995 atau meningkat 10 kali dari tahun 1987. Infrastruktur seperti fasilitas simpan meminjam Efek, repo Surat Utang Negara, perdagangan obligasi order driven, remote trading, dan rencana otomasi penyelesaian transaksi Reksa Dana hampir mengikuti praktik internasional. Sampai dengan Oktober 2005 ketergantungan dunia usaha terhadap pasar modal sebagai sumber pendanaan mencapai Rp. 357,73 triliun atau 50 persen lebih dibanding dengan kredit perbankan Rp. 665,5 triliun. Aktifitas pasar modal Indonesia pasca lebaran tahun ini kurang semarak. Sebelumnya IHSG sempat mengalami penurunan yang cukup tajam pada posisi paling rendah 1000,87 tetapi mencatat rekor tertinggi 1192 pada awal Agustus 2005. Terhadap Reksa Dana terjadi penurunan Nilai Aktiva Bersih (NAB) sebagai dampak dari penjualan yang cukup besar khususnya untuk Reksa Dana Pendapatan Tetap. Tercatat per 28 Oktober 2005 NAB Reksa Dana hanya Rp. 31,9 triliun. Padahal sebelumnya NAB mencapai Rp. 104 triliun dan sempat menjadi perhatian otoritas perbankan yang dikhawatirkan membayangi stabilitas keuangan Indonesia. Dari sisi eksternal kecenderungan meningkatnya suku bunga internasional dan ketatnya persaingan bisnis ditingkat lokal dan global berdampak pada kinerja Emiten. Dalam perkembangannya, tantangan tersebut semakin diperberat oleh potensi resiko dari fenomena ketidakseimbangan global yang dipicu oleh defisit neraca berjalan dan defisit anggaran Amerika Serikat. Potensi tersebut dapat mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi dunia dan kestabilan pasar modal global. Fenomena lain adalah meningkatnya harga minyak dunia dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah serta tren menaiknya suku bunga SBI selanjutnya mempengaruhi kinerja Emiten. Melihat besaran- besaran kondisi ekonomi makro selama triwulan ketiga tahun ini sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap kinerja pasar modal di masa yang akan datang. Agenda Yang Tertunda Pada tahun 2003 telah dibentuk komite yang mengkaji hasil studi demutualisasi bursa. Komite ini bertugas menyosialisasikan hasil kajian, memilih alternatif model demutualisasi bursa, melaksanakan langkah- langkah restrukturisasi lembaga bursa, dan menyusun business plan serta pelaksanaan demutualisasi Bursa Efek. Sampai saat ini isu demutualisasi bursa tersebut belum jelas. Sepertinya sangat tergantung dari dukungan DPR melalui perubahan Undang-Undang Pasar Modal. Menurut data federasi bursa dunia dalam satu dekade ini beberapa Bursa Efek di belahan dunia telah berubah menjadi entitas usaha dengan profit oriented melalui demutualisasi. Terakhir Bursa Efek yang telah didemutualisasi adalah Bursa Malaysia.

  • Melalui demutualisasi dapat dinilai kinerja manajemen bursa, terjadi pemisahan kepemilikan, manajemen dan keanggotaan bursa. Tujuan lain adalah sebagai persiapan menghadapi persaingan global sesama Bursa Efek yang semakin ketat dan mengurangi beban pengaruh anggota bursa terhadap manajemen bursa. Nasdaq sebagai Bursa Efek terbesar kedua di Amerika Serikat juga sedang menghadapi ancaman persaingan dari electronic communications networks (ECN) dan alternative trading system (ATS) yang juga menyediakan sarana perdagangan yang dapat mempertemukan order pemodal. Sementara itu ide pemungutan fee dari pelaku pasar modal juga menjadi agenda yang masih tertunda, padahal direncanakan akan diterapkan pada awal tahun 2005 ini. Otoritas pasar modal Thailand semenjak tahun 1991 telah mengenakan fee sebesar 0,02 persen sampai dengan 0,08 persen dari nilai emisi dan menerima 50 juta Baht pertahun dari Bursa Efek Thailand. Apabila otoritas pasar modal Indonesia mengenakan fee maka sudah terkumpul penerimaan negara Rp. 236,28 miliar yang bersumber dari pengenaan fee 0,08 persen terhadap Rp. 295,35 triliun nilai emisi tahun 1996 sampai dengan 2004. Belum lagi kontribusi dari SROs dan lisensi fee dari Perusahaan Efek, Wakil Perusahaan Efek, profesi, dan lembaga penunjang pasar modal dan sanksi denda. BAPEPAM sampai dengan akhir September 2005 mengatur dan mengawasi 19.281 pihak diantaranya 5 SROs, 17.051 orang Wakil Perusahaan Efek, 170 Perusahaan Efek dan 2055 lembaga profesi dan penunjang pasar modal. Belum termasuk 511 Emiten atau perusahaan publik dan 322 Reksa Dana. Sejak Oktober 2002 menurut Undang-Undang nomor 24 tentang Surat Utang Negara BAPEPAM diberi tugas mengatur dan mengawasi perdagangan Surat Utang Negara. Terakhir sesuai Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah BAPEPAM juga mengatur dan mengawasi Penawaran Umum Obligasi Daerah. Sangat pantas BAPEPAM disediakan anggaran yang memadai seperti yang telah diamanatkan Undang-Undang Pasar Modal. Agenda lain yang ramai dibicarakan adalah perjalanan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diwarnai tarik ulur berbagai kepentingan yang merepresentasikan dinamika politik di negeri ini. Semula menurut Undangundang Bank Indonesia, OJK akan terbentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2002. Tetapi disepakati OJK terbentuk paling lambat tahun 2010. Bahkan Menteri Keuangan akan menjadikan OJK sebagai sistem pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan dalam satu atap secara independen, konsisten tanpa diskriminasi. S ebagai langkah awal berdirinya OJK, Presiden telah menyetujui penggabungan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Aspek Likuiditas Menurut data Bursa Efek Jakarta (BEJ) dari akhir tahun 2004 sampai triwulan pertama tahun 2005 masih terdapat 61,6 persen atau 207 Emiten yang sahamnya tercatat di papan pengembangan. Bahkan dalam triwulan pertama tahun ini dari 310 Emiten yang listed di BEJ, hampir 9 persen atau 29 Emiten yang sahamnya tidak ditransaksikan dan 54,5 persen ditransaksikan dengan frekuensi lebih kecil dari 0,1 persen dari total frekuensi perdagangan. Sebelumnya dari Agustus 2001 sampai dengan Agustus 2003, hampir setiap

  • bulan kurang lebih 12,34 persen saham tidak ditransaksikan dan hampir 66 persen saham di BEJ atau 200 Emiten lebih yang sahamnya ditransaksikan lebih kecil dari 0,1 persen dari total frekuensi perdagangan. Kemudian ketika pemilihan 3 Emiten peraih top performing listed companies tahun 2005 versi majalah investor 233 Emiten atau 70,61 persen tereliminasi karena tidak memenuhi persyaratan keaktifan transaksi dan pemegang saham kurang dari 300 pihak. Bagi pemodal yang memiliki saham jenis ini kehilangan pintu keluar dari BEJ. Mereka kesulitan menjual kembali pada harga wajar. Saham yang mereka pegang tergolong saham tidak likuid atau sering disebut saham tidur. Banyak faktor yang menyebabkan saham menjadi tidak likuid. Bisa disebabkan frekuensi perdagangan sangat sedikit sebagai akibat minimnya jumlah pemegang saham tersebut. Dan juga dikarenakan saham yang tersedia diperdagangkan sedikit (free float). Atau juga informasi mengenai Emiten saham tersebut sangat minim dan persepsi negatif riwayat perusahaan. Saham tidak likuid lebih cenderung akan ditransaksikan apabila pelaku pasar memiliki informasi lebih atas saham tersebut. Likuiditas saham sangat berkaitan dengan tempat dimana saham itu diperdagangkan. Pasar disebut likuid jika saham yang dicatatkan gampang dijual dan dibeli pada harga pasar yang berlaku. Atau dimungkinkan menjual dalam volume besar secara cepat tanpa mempengaruhi harga secara signifikan. Penyebab lain adanya saham tidur disebabkan sarana perdagangan itu sendiri seperti continous auction di BEJ. Terjadi mismatch antara ketersediaan pembeli dan penjual pada periode tertentu pada saham tertentu. Saham tidur ini dikhawatirkan menjadi virus dan mengancam keuangan pemodal yang kebetulan terlanjur memiliki saham ini dalam jumlah besar. Bursa Efek yang masih memiliki banyak saham tidur dianggap belum mencapai maksud dan tujuan dari pendiriannya. Adalah tugas Bursa Efek sebagai secondary market yang menyediakan likuiditas saham, sebagai sarana tabungan jangka pendek, dan sekaligus perantara bagi perusahaan pencari modal jangka panjang. Target BEJ menambah pemodal menjadi 2 jutaan dalam 3 tahun ke depan akan sulit dicapai jika aspek likuiditas ini terabaikan. Pemodal menjadi frustasi karena broker sudah enggan meneruskan pesanan nasabah atas saham tidur tersebut. Agar dapat terjual kadang-kadang broker membuat harga sendiri. Bursa Efek yang menganut market maker ada kewajiban menampilkan harga beli dan jual. Selisih harga beli dan jual menjadi kompensasi inventory risk yang ditanggung market maker. Berikut ini beberapa upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi aspek likuiditas. Yang pertama, menyediakan sarana perdagangan alternatif. Dengan kemajuan teknologi sangat dimungkinkan menyediakan call auction versi elektronik seperti yang dilakukan beberapa Bursa Efek luar negeri. Sistem ini agak mirip dengan pra pembukaan di BEJ. Dengan call auction volatilitas harga berkurang dan pasar terbuka lebar bagi setiap pemodal. Disini terjadi pencarian harga (price discovery) secara efisien sehingga harga tunggal atas suatu saham menjadi nilai konsensus yang lebih merefleksikan keinginan pelaku pasar. Kelebihan lain adalah memberikan suasana perdagangan yang termonitor dan pemodal akan lebih terkonsentrasi pada saham-saham tertentu. Dengan call aution waktu perdagangan dapat dimulai dari jam 10 pagi sampai dengan 3 sore. Kemudian

  • dialokasikan selama 30 menit untuk pencarian harga (price discovery). Setelah itu jam 3.30 sore ditentukan harga konsensus. Untuk tahap awal sahamsaham dari kelompok perdagangan jasa dan investasi dapat diperdagangkan dengan sistem ini. Selanjutnya saham lain dapat diikutsertakan sesuai dengan free float dan riwayat keuangan Emiten. Penggunaan sarana perdagangan ini tergantung pada kemauan BEJ dan BAPEPAM. Pendapatan BEJ dari fee transaksi dalam jangka pendek akan berkurang. Yang kedua, memperlonggar persyaratan saham yang dapat dijadikan saham induk (underlying) Kontrak Opsi Saham (KOS). Menurut BEJ saham yang memenuhi syarat likuiditas seperti frekuensi, volatilitas, dan kapitalisasi pasar tertentu dapat menjadi saham induk KOS. BEJ khawatir saham tidak likuid menjadi sasaran manipulasi. Harga saham tidak likuid dapat diatur agar KOS posisi out the money atau at the money menjadi in the money. Yang menjadi pertanyaan apakah karena saham kurang likuid yang dapat diatur tidak boleh menjadi saham induk? Padahal KOS itu sendiri adalah upaya pertaruhan dengan volatilitas. Sepanjang suatu saham juga volatile, maka dapat dipertimbangkan menjadi saham induk. Karena membeli saham kurang likuid itu mahal, maka pelaku pasar akan bersedia bertaruh atas fluktuasi harga dan mereka akan masuk ke pasar KOS. Hal ini sejalan dengan tujuan KOS yaitu menggiring pemodal spekulator masuk pasar KOS. Karena ada unsur premium dan proses pencarian harga (price discovery) yang merefleksikan persepsi pasar maka saham kurang likuid dapat menjadi likuid. Yang ketiga, penyelesaian transaksi KOS tidak harus dengan cash settlement seperti yang disyaratkan BEJ sekarang ini. Dengan cash settlement juga dimungkinkan penjual (writer) dapat menjual sebanyakbanyaknya KOS tanpa menyerahkan saham. Semakin banyak KOS yang dijual maka resiko bawaannya juga semakin meningkat. Situasi ini dapat memancing pembeli atau penjual KOS memainkan harga untuk mengamankan posisinya. Untuk itu BEJ perlu mempertimbangkan penyelesaian KOS tidak harus dengan cash tetapi juga dengan delivery. Yang perlu diperhatikan BEJ menetapkan KOS yang beredar dengan underlying saham kurang likuid tersebut tidak melebihi rata-rata volume transaksi saham tersebut dalam periode tertentu. Misalnya saham XYZ dengan free float 1,5 miliar saham, maka KOS XYZ hanya diterbitkan dengan underlying kurang dari free float (1,5 miliar saham). Akses informasi transaksi Informasi asimetris ada di pasar modal manapun. Bagi pemodal yang memiliki sedikit informasi mendapatkan petunjuk dari informasi yang tersedia di wilayah publik. Pasar non reguler yang ada di BEJ seperti pasar tunai, pasar negosiasi, dan pasar tutup sendiri mengandung informasi berharga bagi pelaku pasar. Karena pasar ini merupakan negosiasi langsung dua pihak tanpa memperhatikan prioritas pihak-pihak lain, seperti prioritas waktu, maka harga yang terbentuk tidak mencerminkan semua kekuatan pasar saat itu. Tercatat di BEJ selama tahun 2004 dari total volume perdagangan 76.834.317.217 saham atau 22,94 persen adalah transaksi non reguler. Sisanya 77,06 persen atau 334.934.023.000 saham adalah transaksi reguler. Dari 22,94 persen tersebut sebanyak 56.497.349.432 saham atau 73,5 persen adalah tutup sendiri. Dan selama triwulan pertama 2005 nilai transaksi tutup sendiri mencapai Rp. 34,7 triliun

  • atau 35,08 persen dari total nilai transaksi reguler. Pada pasar modal luar negeri seperti New York Stock Exchange (NYSE) menyediakan 4 sesi untuk transaksi jenis ini. Kenapa saham yang memiliki hak dan kewajiban yang persis sama memiliki harga yang jauh berbeda pada saat yang sama? dan sejauh mana transaksi tersebut berguna bagi pemodal? Transaksi ini umumnya melibatkan pemodal institusi/besar dengan berbagai cara dan teori untuk keuntungan pribadinya. Mereka menggunakan public information dan non public information untuk menghargai suatu saham. Mereka bisa saja sudah menerima atau memiliki informasi lebih dari beberapa publikasi perusahaan atau dari pertemuan dengan para analis saham. Informasi tersebut mungkin tidak diperoleh pemodal lain. Kalaupun ada tidak semua pemodal memiliki keahlian menilai informasi tersebut. Pemodal A berdasarkan informasi yang dimilikinya menganggap saham ABC sangat menarik. Volume perdagangan saham ABC meningkat menjadi 5 juta saham yang sebelumnya hanya rata-rata 2 juta saham selama enam bulan terakhir. Pemodal lain mengalami kesulitan menginterpretasikan kenaikan volume tersebut jika tidak memiliki informasi pasar non reguler. Seandainya broker melapor kepada Bursa Efek bahwa pemodal A telah membeli 3 juta saham ABC, maka pemodal lain dapat menggunakan informasi ini untuk menghargai saham ABC. Kemudian pemodal A kembali berinisiatif membeli saham ABC setelah memiliki 3 juta saham, maka pemodal lain dapat mempertimbangkan hal itu sebagai sinyal positif. Logika pasar juga akan berlaku apabila pemodal A menjual saham ABC. Sampai saat ini BEJ tidak menyatakan bahwa transaksi jenis ini akan tersedia bagi pemodal. Informasi transaksi tersebut akan berguna sekalipun tersedia setelah sesi perdagangan tutup. BEJ dapat meminta anggotanya untuk menyediakan informasi transaksi ini kepada publik. Volume, nama pembeli, dan penjual akan menjadi informasi berharga bagi pemodal yang tidak mempunyai banyak informasi di pasar. Bila pemodal diberikan signal melalui data informasi transaksi maka efisiensi harga semakin meningkat. Dan menjadi bermanfaat bagi pemodal karena perhitungan IHSG BEJ belum berdasarkan saham yang tersedia diperdagangkan (free float shares) pada hari itu. Informasi penting lain adalah transaksi yang dilakukan direktur atau komisaris Emiten dan pihak yang memiliki 5% (lima perseratus) atau lebih saham. Menurut peraturan transaksi mereka wajib dilaporkan kepada BAPEPAM selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya transaksi. Sayangnya informasi transaksi ini masih sangat terbatas dan tidak dapat diakses secara cepat oleh pemodal. Pemodal meyakini mereka sebagai orang dalam Emiten dianggap mengetahui lebih banyak mengenai prospek usaha Emiten dibanding dengan pihak lain. Meskipun pemodal tidak memperoleh informasi verbal dari mereka tetapi minimal dapat diamati dari perilaku transaksinya. Untuk itu otoritas pasar modal perlu menyediakan informasi tersebut secara merata dan mempertimbangkan untuk mempercepat waktu pelaporan dari 10 hari menjadi selambatnya- lambatnya 2 hari setelah terjadi transaksi. (Basri)