merebut kembali benih petani

22
I. Buruknya Kondisi Perbenihan Benih dalam kehidupan ini memiliki tugas sebagai penerus keturunan dengan sifat dan karakter tertentu dari makhluk hidup/ induk sebelumnya. Benih adalah awal dari siklus kehidupan tanaman yang pada saat ini cenderung selalu ditujukan dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan akan pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi manusia selalu menjadi permasalahan utama di dunia yang tiada habisnya. Sejarah membuktikan bahwa banyak negara yang bisa menjadi sangat kokoh atau begitu mudah jatuh tergantung dari bagaimana negara ini menerapkan kebijakan politik pangan mereka. Konsep kedaulatan pangan berusaha untuk mendudukan dengan benar politik pangan negara-negara di dunia agar terwujudnya keadilan atas pangan, yang ternyata sangat membutuhkah sebuah prasyarat yakni terciptanya kedaulatan petani atas benih. Namun yang terjadi adalah banyak kesalahan dan permasalahan dalam politik perbenihan yang diterapkan di Indonesia hingga saat ini. Untuk memahami semua permasalahan itu, melakukan upaya perlawanan dari kondisi yang salah tersebut, melakukan upaya-upaya menemukan solusi dan gerakan alternatif untuk merebut kembali kedaulatan petani atas benih, kami dari Pusat Perbenihan Nasional SPI mempersembahkan buku saku ini. Sebuah bukti kerja nyata yang bisa menjadi sumbangsih dalam menumbuhkan bibit dan benih perjuangan kaum tani untuk merebut kembali kedaulatan petani atas benih demi terwujudnya kedaulatan pangan.

Upload: titis-priyowidodo

Post on 22-Apr-2015

879 views

Category:

Education


3 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Merebut kembali benih petani

I. Buruknya Kondisi Perbenihan

Benih dalam kehidupan ini memiliki tugas sebagai penerus keturunan dengan sifat dan karakter tertentu dari makhluk hidup/ induk sebelumnya. Benih adalah awal dari siklus kehidupan tanaman yang pada saat ini cenderung selalu ditujukan dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan akan pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi manusia selalu menjadi permasalahan utama di dunia yang tiada habisnya.

Sejarah membuktikan bahwa banyak negara yang bisa menjadi sangat kokoh atau begitu mudah jatuh tergantung dari bagaimana negara ini menerapkan kebijakan politik pangan mereka. Konsep kedaulatan pangan berusaha untuk mendudukan dengan benar politik pangan negara-negara di dunia agar terwujudnya keadilan atas pangan, yang ternyata sangat membutuhkah sebuah prasyarat yakni terciptanya kedaulatan petani atas benih.

Namun yang terjadi adalah banyak kesalahan dan permasalahan dalam politik perbenihan yang diterapkan di Indonesia hingga saat ini. Untuk memahami semua permasalahan itu, melakukan upaya perlawanan dari kondisi yang salah tersebut, melakukan upaya-upaya menemukan solusi dan gerakan alternatif untuk merebut kembali kedaulatan petani atas benih, kami dari Pusat Perbenihan Nasional SPI mempersembahkan buku saku ini. Sebuah bukti kerja nyata yang bisa menjadi sumbangsih dalam menumbuhkan bibit dan benih perjuangan kaum tani untuk merebut kembali kedaulatan petani atas benih demi terwujudnya kedaulatan pangan.

Perkembangan benih untuk memenuhi kebutuhan manusia

Sejarah perbenihan adalah berawal dari dimulainya kegiatan petani yang dengan gigih mampu mencari, menyeleksi, menggunakannya untuk berproduksi dan kemudian mengolahnya untuk mendapatkan benih kembali. Melalui semua proses itu tanaman mengalami apa yang disebut dengan domestifikasi, dan kemudian petani benar-benar menjadi pemilik atas benih tersebut. Benih yang sangat sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Melalui proses domestifikasi oleh petani yang berlangsung ribuan tahun tersebut telah dihasilkan banyak sekali benih bermutu dan berkualitas. Tercatat 250,000 varietas benih bisa digunakan sebagai tanaman

Page 2: Merebut kembali benih petani

pangan, hingga 10,000 jenis pernah ditanam sebagai bahan pangan, 150 jenis masih ditanam di seluruh dunia dan 12 jenis sanggup menghidupi 90% pangan dunia. Namun hingga saat ini hanya 4 jenis yang mendominasi pangan dunia yakni: jagung, beras, gandum, dan kentang.

Dalam kegiatan pertanian setiap petani akan selalu membutuhkan benih yang sesuai dengan keinginannya dalam memproduksi pangan. Pada masa lalu sebelum berkembangnya teknologi pemuliaan benih dan segala peraturan dan kesempatan yang memungkinkan individu atau sebuah lembaga berbadan hukum melakukan pemuliaan dan produksi benih, petani selalu berupaya untuk menjaga kelestarian benih untuk kegiatan budaya pertaniannya.

Namun hingga saat ini benih sudah mengalami perkembangan yang sungguh jauh dari kondisi tersebut. Pergeseran arti benih bagi kelangsungan dan kesatuan dalam kegiatan budidaya pertanian terpisahkan begitu saja sebatas input dan sarana produksi yang dapat dipenuhi dari luar. Hal itu dikarenakan di Indonesia (sejak tahun 1970-an) telah banyak sekali dipergunakan benih-benih unggul yang tidak mempertimbangkan dengan seksama akan keberlanjutan dan keadilan dalam kegiatan pertanian.

Kebutuhan benih yang tinggi: senjata perusahaan benih untuk mengeruk keuntungan

Ketergantungan manusia terhadap benih sangat tinggi, manusia menggunakan lebih dari 100 spesies sebagai sumber karbohidrat, lebih dari 100 spesies legum menjadi sumber protein dan lemak, 450 spesies tanaman buah, 250 spesies sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral, 70 spesies sebagai sumber dari spices/ bumbu-bumbuan, 40 spesies dipergunakan untuk minuman/ beverages, 300 spesies dipergunakan untuk bahan konstruksi dan furniture, 1.000 spesies menjadi bunga/ tanaman hias (ornamental plants) dan lebih dari 940 spesies adalah sumber obat-obatan. Untuk lebih mudah mamahami lihat tabel di bawah:

Tabel 1. Kebutuhan sumber keanekaragaman hayati tanaman bagi manusia (diolah dari berbagai sumber).

NoJumlah Spesies

Digunakan manusia sebagai

1. > 100 Sumber karbohidrat2. > 100 Legum, sumber protein dan lemak 3. 450 Tanaman buah

2

Page 3: Merebut kembali benih petani

4. 250 Sayuran, sumber vitamin dan mineral5. 70 Spices/ bumbu-bumbuan6. 40 Minuman/ beverages7. 300 Bahan konstruksi dan furniture8. 1.000 Bunga/ tanaman hias (ornamental plants)9. 940 Sumber obat-obatan

Kebutuhan yang tinggi atas benih dipengaruhi juga oleh jumlah penduduk dunia yang cenderung memiliki pertumbuhan yang tinggi pula. Terkhusus Indonesia, jumlah penduduknya sampai tahun 2010 sudah mencapai sekitar 238 juta jiwa. (BPS, 2010). Berikut Tabel 2. menyajikan gambaran kebutuhan benih padi, jagung dan kedelai yang terus meningkat (Kompas, 9 September 2008).

Tabel 2. Gambaran kebutuhan benih padi, jagung, dan kedelai yang terus meningkat

Perusahaan menjadikan kergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap benih menjadi ide dasar perusahaan-perusahaan untuk mengeruk keuntungan dari perdagangan benih. Pangsa pasar perusahaan benih ini adalah para petani. Oleh karena itu perusahaan berupaya sebisa mungkin untuk membuat petani mengalami ketergantungan kepada benih yang dihasilkan oleh perusahaan daripada benih yang dihasilkan oleh petani sendiri. Berikut Tabel 3. menyajikan gambaran proyeksi investasi perusahaan benih di Indonesia (Bisnis Indonesia, 30 Maret 2009).

Tabel 3. Proyeksi produksi benih padi hibrida

3

Page 4: Merebut kembali benih petani

(Sumber: Bisnis Indonesia, 30 Maret 2009)

Semua produk (termasuk benih) yang dihasilkan oleh perusahaan selalu diupayakan untuk menciptakan ketergantungan. Oleh karena itu perusahaan benih lebih memilih untuk memproduksi benih unggul yang dihasilkan dari teknologi rekayasa genetik (baik itu benih hibrida maupun benih dengan teknologi molekuler). Selain disebut benih unggul benih seperti ini di kalangan petani sering disebut sebagai benih mandul, yang artinya benih yang akan dihasilkan dari tanaman tersebut tidak akan membawa sifat/ produktivitas yang sama dengan waktu penanaman yang pertama. Upaya perusahaan untuk menciptakan ketergantungan ini justru di-amin-i dan difasilitasi oleh pemerintah dengan dijalankannya proyek revolusi hijau dalam dunia pertanian. Oleh karena itu sejak 1970-an hingga saat ini akibat revolusi hijau tersebut telah menciptakan sifat ketergantungan yang tinggi dari petani terhadap benih unggul yang dihasilkan oleh perusahaan.

Kemudian kondisi ini juga diperburuk dengan dikeluarkannya berbagai Undang-undang dan Peraturan oleh pemerintah yang berkaitan dengan benih namun justru banyak digunakan oleh kalangan di luar petani yakni, perusahaan, peneliti, dan pemulia (selain petani). UU dan Peraturan ini dalam penerapannya hingga saat ini justru telah mengakibatkan; ketergantungan petani terhadap benih unggul milik perusahaan, mengkebiri kreatifitas dan pengetahuan tradisional petani dalam menghasilkan benih, dan menjadi alat hukum untuk mengkriminalkan petani jika memproduksi dan memperdagangkan benih kepada petani lain.

Agenda kriminalisasi tersebut pada dasarnya mengarahkan petani untuk tidak masuk ke wilayah pemuliaan dan perdagangan benih. Dengan kata lain cukup jadi konsumen akhir atau penerima bantuan subsidi pemerintah. Dalam lima tahun terakhir, bantuan benih dari pemerintah berturut-turut sebesar 0,1 triliun (2005), 0.1 triliun (2006), 0.5 triliun

4

Page 5: Merebut kembali benih petani

(2007), 1 triliun (2008), 1.6 triliun (2009) dan 1.6 triliun (2010). Namun pada kenyataannya daya serap penyaluran benih tersebut rendah. Di samping sebagian petani menolak karena kualitas benih bantuan tersebut rendah, sebagai contoh mudah terserang hama.

Benih Ada di Tangan Siapa?

Saat ini Indonesia hanya menguasai 4% benih jagung, 5% kacang panjang dan tidak menguasai sama sekali benih tanaman padi, dimana tanaman padi menjadi pangan pokok masyarakat di Indonesia. Penguasaan koleksi benih berada di negara-negara dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi sehingga hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan dan monopoli terhadap akses benih.

5

Page 6: Merebut kembali benih petani

Tabel 4. Penguasaan benih tanaman pangan utama di dunia

ETC Group (Action Group on Erosion, Technology and Concentration), 2008, organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi, pembangunan keanekaragaman budaya, ekologi, dan HAM, melaporkan 90% dari benih yang tercatat dikuasai oleh negara industri dan 80% benih terbaru hasil penelitian sedang beredar dan diperjualbelikan. Benih-benih tersebut sudah terdaftar dan dipatenkan. Artinya, rantai pangan sekarang sudah berada di tangan negara maju yang disokong oleh perusahaan benih multinasional dan hal ini tentunya akan menyulitkan akses terhadap pangan. ETC Group juga menyebutkan trend penguasaan benih oleh perusahaan swasta terus meningkat per tahunnya. Sebagai perbandingan, penguasaan pasar benih dunia oleh 10 perusahaan benih pada tahun 1996 hanya sebesar 37%, pada tahun 2004 angka penguasaan mencapai 49%, pada tahun 2005 angkanya mencapai 51% dari total pangsa pasar sebesar 19.000 juta dollar AS dan terus meningkat pada tahun 2006 dimana angka penguasaan menjadi 57% atau 13.014 juta dollar AS di seluruh dunia. Dan pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 5. yang menunjukkan penguasaan perusahaan atas benih.

6

Page 7: Merebut kembali benih petani

Tabel 5. Penguasaan perusahaan atas benih

Sumber: ETC Group

Selain permasalahan benih yang telah dikuasai oleh perusahaan multinasional sehingga sangat merugikan petani juga muncul masalah lain yaitu semakin menurunnya/ erosi kekayaan sumber keanekaragaman hayati akibat petani meninggalkan benih lokal dan berpaling pada benih-benih unggul (superior) dari perusahaan. Kekhawatiran terhadap permasalahan-permasalahan tersebut mendorong berbagai peneliti (diawali tahun 1970) untuk mengembangkan pusat penelitian koleksi spesies tertentu. Koleksi yang dikembangkan di beberapa peneti di dunia ini telah mencapai jumlah yang cukup besar. International Rice Research Institure (IRRI), 2005, melaporkan sudah menyimpan 3 juta lebih benih padi dari seluruh dunia. Namun permasalahan baru pun muncul, karena material, data, dan informasi genetic yang ada di lembaga semacam ini lebih sering diakses oleh peneliti dan perusahaan untuk melakukan pengembangan benih demi menciptakan benih unggul baru yang justru akan semakin menyebabkan ketergantungan petani terhadap benih-benih tersebut. Akibatnya justru membuka peluang yang besar bagi perusahaan multinasional untuk melakukan penguasaan akses benih secara sepihak dan bahkan monopoli.

7

Page 8: Merebut kembali benih petani

Tabel 6. Menunjukkan penguasaan lembaga penelitian atas benih

Sementara untuk di Indonesia, pusat-pusat penelitian tanaman yang menguasai atau menyimpan benih-benih yang melakukan koleksi benih di antaranya adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor - BB-Biogen (plasma nutfah tanaman pangan) dan Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi - BB-LITPA. Selanjutnya Lampiran 1. menyajikan 20 (dua puluh) pusat-pusat penelitian tanaman yang koleksi benih.

Penguasaan benih di Indonesia

Sejak Indonesia melaksanakan proyek revolusi hijau 1970-an benih-benih yang dihasilkan perusahaan transnasional telah menyerang secara massal. Perusahaan sukses menggantikan benih lokal dengan benih-benih unggul hasil rekayasa genetika (transgenic crop). Lebih dari 10.000 padii varietas lokal hilang, dan petani mengalami ketergantungan terhadap benih-benih unggul tersebut. Lebih buruk lagi, pemerintah melakukan impor ribuan ton benih hibrida karena tingginya permintaan petani.

Pemerintah tidak mendorong petani untuk menangkarkan benih secara mandiri. Sebaliknya, pemerintah justru mengkebiri kreatifitas petani dan seringkali dikriminalkan dengan tuduhan sertifikasi illegal dan pencurian benih. Bahkan pemerintah justru membuka program investasi di bidang benih yang lebih luas. Dari Tabel 7. terlihat bahwa beberapa perusahaan pengelola benih diantaranya: PT Shang Hyang SRI, PERTANI, PT. Syngenta Indonesia, PT. Bayer Indonesia, PT. BISI Internasional, Charoen Pokhpand, PT. Dupont Indonesia (Pioneer), PT. Biogene Plantation, PT. Tanindo Intertraco, PT. Sumber Alam Sutera, dan Monagro (anak perusahaan Monsanto).

8

Page 9: Merebut kembali benih petani

Tabel 7. Penguasaan perusahaan benih di Indonesia

(data diperoleh dari berbagai sumber)

Benih dan Perundang-undangan

Hingga kini, kebijakan pemerintah untuk mendukung dan melindungi kegiatan konservasi sumberdaya genetik oleh petani belum ada, bahkan beberapa produk hukum yang ada justru menghambat kreatifitas petani dan hanya melindungi perusahaan industri benih. Diantara Produk hukum tersebut adalah UU Sistem Budidaya Tanaman (UU No. 12 tahun 1992) dan UU Perlindungan Varietas Tanaman (UU No 29 tahun 2000). Hingga kini, belum ada perlindungan hukum tentang penyilangan, pertukaran dan perdagangan benih oleh/ antar petani. Keadaan ini mempersulit kaum tani sebab mereka tak mungkin melakukan pengujian dan syarat-syarat ilmiah yang sulit diakses oleh petani (uji-uji laboratorium, uji multilokasi, penyusunan sil-silah keturunan benih yang ditangkarkan, dll.). Prosedur rumit dalam penerapan pelepasan varietas sangat menyulitkan petani untuk melakukan pemuliaan tanaman.

Beberapa produk hukum yang ditampilkan pada Tabel 8 di atas menjadi alat untuk menghentikan kreatifitas petani bahkan menjadi alat kekuasaan untuk menjerat petani ke dalam hukum pidana.

Tabel 8. Produk hukum yang menjerat petani penangkar benih.

9

Page 10: Merebut kembali benih petani

Beberapa Undang-Undang dan Peraturan yang berhubungan dengan Sumberdaya Genetika di Indonesia adalah sbb:

Tabel 9. Undang-Undang dan Peraturan yang berhubungan dengan Sumberdaya Genetika di Indonesia

10

Page 11: Merebut kembali benih petani

Dampak penerapan kebijakan benih yang salah

Kerap kali kebijakan Pemerintah Indonesia menyudutkan petani penangkar. Politik Perbenihan juga tak mampu mengayomi kepentingan dan kehendak petani penangkar. Selama 4 dekade terakhir berbagai permasalahan mencuat diantaranya :

1. Beberapa jenis spesies tanaman dan varietas tanaman lokal ataupun benih liar sulit ditemukan dan dikenali oleh petani untuk ditanam.

2. Benih lokal sangat sulit didapatkan, sehingga sulit pula bagi petani untuk melakukan pemuliaan

3. Ketergantungan kaum tani terhadap benih komersil dari perusahaan tinggi

4. Harga benih dari perusahaan mahal membuat pengeluaran dari rumah tangga petani meningkat.

5. Serangan hama yang mengakibatkan gagal panen, akibat benih yang seragam dan pertanian monokultur.

6. Perubahan agroklimat dan kondisi lingkungan akibat perubahan iklim (salinitas, suhu, curah hujan, keasaman, kemarau, lahan kritis, dll.)

7. Menurunnya kemampuan petani untuk melakukan seleksi benih dan penyilangan untuk mendapatkan varietas baru.

8. Kriminalisasi terhadap para petani kecil yang melakukan kegiatan penyilangan, produksi serta perdagangan benih, akibatnya petani menjadi takut untuk melakukan pemuliaan, produksi dan perdagangan benih.

9. Banyaknya areal hutan dan lahan konservasi sebagai sumber wild variety yang dirubah menjadi areal perkebunan.

10. Kualitas benih yang diperdagangkan banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani.

11. Meningkatnya impor benih

Petani, Paten dan benih di meja hijau

Beberapa petani pemulia jagung di kabupaten Kediri mengalami nasib harus berurusan dengan meja hijau, hal ini terjadi pada kurun waktu tahun 2004-2007, 9 petani seperti bapak Tukirin, Suprapto, Budi Purwo Utomo, Jumidi, Dawam, Kusen, Slamet, Burhana Juwita Mochamad Ali dan Maman Nurrohman terpaksa berurusan dengan pengadilan dan masuk penjara dikarenakan melanggar UU No. 12 Tahun 1992 yaitu UU Sistem Budidaya Tanaman. Tiga petani jagung, bapak Misdi, Jumadi dan Kuncoro ditangkap oleh aparat Kepolisian Resort Kediri sejak bulan

11

Page 12: Merebut kembali benih petani

Desember 2009 hingga Januari 2010 dengan dakwaan menyimpan, mengedarkan dan memperjual belikan benih tanpa izin dan label (sumber: Aliansi Petani Indonesia dalam Belajar dari Pengalaman: Kasus Petani Jagung di Kediri, Jawa Timur Dampak Penerapan Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) UU No. 12 Tahun 1992).

Aliansi Petani Indonesia (API) menjelaskan bahwa dalam perbenihan, regulasi yang berlaku meliputi UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 tahun 1992, PP tentang Perbenihan Tanaman No. 44 tahun 1995, Kep. Mentan No.803/Kpts/ OT.210/7/97 tentang sertifikasi dan pengawasan mutu benih bina, Kep. Mentan No.1017/Kpts/OT/TP.120/ 12/1998 tentang ijin produksi benih bina, ijin pemasukan benih dan pengeluaran benih bina, serta peraturan perbenihan lainnya yang masih berlaku. Ternyata dalam pelaksanaannya, peraturan ini masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu. Terutama, banyak celah ditemukan pada tingkatan UU yang menyebabkan sulitnya hakim untuk memutuskan dakwaan.

Sebagai contoh pasal 61 (1) “6”junto pasal 14 (1) UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman sering digunakan untuk menuduh petani melakukan sertifikasi liar. Namun kegiatan sertifikasi liar terkait dengan perbuatan mengedarkan benih dengan label palsu atau proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan prosedur tersebut ternyata tidak sesuai pada kasus petani yang dituduh melakukan sertifikasi liar. Hal ini dikarenakan bahwa benih hibrida yang dijual bebas dipasaran termasuk kategori benih sebar dengan label biru. Keputusan menteri ini tidak mencantumkan mengenai dilarangnya pengembangan benih dengan label biru. Sehingga apa yang dilakukan oleh petani merupakan tindakan legal.

Dalam peraturan perundang-undangan pertanian terkait perbenihan harus dilakukan pembenahan. Karena secara empirik, UU pertanian sulit untuk diterapkan terutama pengertian yang rancu akan isi pasal-pasal yang tertulis di dalamnya. Celah pertama dapat dilihat pada UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 tahun 1992, pasal 6 ayat 1 dan 2 yang tumpang tindih antara kebebasan petani namun juga berkewajiban.

Pada ayat 1, menyebutkan akan kebebasan petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun pada ayat 2, petani juga berkewajiban untuk berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam pasal 57. Lebih lanjut pasal 6 harus di crosscheckkan dengan pasal 57. Ternyata pasal 57 pun memiliki pengertian yang

12

Page 13: Merebut kembali benih petani

berbeda dengan pasal 6. “Antara pasal 57 dan pasal 6 itu terlepas, sehingga penyuluh dari PKP (Program Komunikasi Pertanian), menjadi serba ragu-ragu. Hal ini menjadi multi tafsir. Harus disempurnakan hubungan antara pasal 57 dengan pasal 6 sehingga petugas dari PKP tidak sia-sia.

Pada pasal 6 ayat 3, disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu dan ketentuan selanjutnya diatur dalam PP. Hingga kini, belum ada PP yang mengatur ketentuan tersebut.

Celah kedua dapat dilacak dalam pasal 9, yakni tidak sistematisnya ayat 1 dan 2. Pengertian antara kedua ayat tersebut berbeda, ayat 1 menjelaskan tentang penemuan varietas unggul dilanjutkan pada ayat 2 tentang pencarian dan pengumpulan plasma nutfah. Hal yang sama juga ditemukan pada pasal 11. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang orang atau badan hukum yang dimaksud. Sehingga dapat menimbulkan multi tafsir dan penyusupan kepentingan pihak tertentu.

Dimana petani, pemulia tanaman, perusahaan benih (pelaku usaha) harus dijelaskan dengan rinci karena perannya di lapang berbeda. Terkait dengan kasus perbenihan, maka berdasarkan isi dari pasal ini, petani pun memiliki hak untuk menciptakan varietas unggul.

Kemudian terkait pasal 14 ayat 1, tertulis bahwa sertifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin. Dalam hal ini dipertanyakan perihal izin yang dimaksud, karena kebiasaan petani sangat berbeda dengan kegiatan pemulia tanaman pada umumnya. Kebiasaan petani, selain menjual hasil panennya juga menyimpan sebagian untuk pembenihan berikutnya.Pada pasal 48, yang melakukan usaha budidaya tanaman tertentu di atas skala tertentu wajib memiliki izin. Tidak ada pengertian yang jelas mengenai skala disini. Skala tertentu yang dimaksud meliputi luasan lahan, manajemen, jenis tanaman, jumlah tanaman, jumlah investasi, tingkat tekhnologi, dan lain-lain yang digunakan dalam budidaya tanaman. Jadi pengertian tersebut mengarah pada pemilik modal. Jika berdasarkan pengertian tersebut, maka menjadi tidak mungkin bagi petani kecil untuk memenuhinya.

Terakhir pada UU Sistem Budidaya Tanaman, tampak pada pernyataan ‘barangsiapa’ yang disebutkan pasal 61 ayat 1. Kata ‘barangsiapa’ dalam hal ini bisa menunjuk pada siapa saja, baik perorangan maupun badan hukum sehingga dapat menjadi rancu. Selain dalam UU No.12

13

Page 14: Merebut kembali benih petani

tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, celah ditemukan juga pada PP No.44 tahun 1995 khususnya pada pasal 20. Pasal ini menyebutkan tentang pengecualian kewajiban uji adaptasi dan penilaian terhadap varietas yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan selera konsumen.

Sesungguhnya aktifitas penanaman silang tidak ada kaitannya dengan aktivitas sertifikasi liar. Pembuatan benih untuk ditanam sendiri ataupun diperjual belikan antar petani sudah menjadi warisan budaya Indonesia. Oleh karena itu jika melihat peran Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), terjadi kerancuan di bidang struktural. Untuk menangani penyimpangan dalam perbenihan, terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tubuh BPSB yang berkoordinasi langsung di bawah POLRI. Hal ini menyebabkan overlapping peran, bagaimana ia sebagai penyidik bila juga bertugas di bagian pembinaan ataupun pengawasan. Padahal jika sebagai pembina berarti ia berperan sebagai penyuluh yang mengarahkan petani agar mendapatkan ijin. Kondisi ini diperparahkan lagi kenyataan di lapangan bahwa ada banyak orang PPNS yang tidak mengerti tentang aspek hukum, sementara aparat dari POLRI tidak mengerti tentang teori dan metodologi perbenihan (Sumber: API).

14