merawat tradisi dan budaya sunda wiwitan di kampung pasir

94

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir
Page 2: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Kata Pengantar: Ira Indrawardana, M.Si.

Editor: Rakhmat Hidayat, PhD. Ireneus Mario Muljadi

Page 3: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

MERAWAT TRADISI DAN BUDAYA SUNDA WIWITAN DI KAMPUNG PASIR, GARUT Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Penerbit Laboratorium Pendidikan Sosiologi UNJ. © 2019, Penerbit Laboratorium Pendidikan Sosiologi UNJ, Jakarta Editor : Rakhmat Hidayat, PhD.

Ireneus Mario Muljadi Tata Letak : Ireneus Mario Muljadi Desain Sampul : Abby Faraz Airlangga Penerbit : Laboratorium Pendidikan Sosiologi UNJ Cetakan Pertama : Januari 2019 ISBN : 978-602-51952-7-3

Page 4: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut iii

KATA PENGANTAR

Memahami Fenomena Sunda Wiwitan Masa Kini1

Ira Indrawardana, M.Si. Dosen Antropologi FISIP Universitas Padjajaran & Warga Adat Karuhun

Urang Sunda (AKUR) Cigugur, Kuningan, Jawa Barat Secara antropologis, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme hingga monoteisme. Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam konsep “agama” sebagai konsepsi puncak dan perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia. Benarkah demikian? Pertanyaannya kemudian di manakah atau bagaimanakah posisi “agama minoritas” atau “sistem kepercayaan” lain yang seolah belum terakomodasi dalam ruang publik secara setara bahkan diperlakukan diskriminatif, seperti halnya para kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan kepercayaan atau “agama adat”. Sunda Wiwitan sebagai “Agama Adat” Sunda Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda”. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya), Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, Kampung Pasir Garut dan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah beberapa komunitas di Jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran-ajaran Sunda Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan lainnya biasanya dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau agama “luar” negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya). Biasanya kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja. Kondisi ini terjadi bagi mereka yang “kukuh” tidak mau dituliskan nama agama selain yang dianutnya (Sunda Wiwitan).

1 Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Majemuk Edisi 34, September-Oktober 2008.

Page 5: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

iv Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Padahal pihak aparat pembuat KTP terkadang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama dengan nama agama-agama yang (katanya) diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama dalam KTP-nya masih ada ketikan nama agama ”luar”. Keyakinan Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku “agama-agama adat” nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo, dan sebagainya. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih “pilih kasih” atau diskriminatif dalam perlakuan administrasi kenegaraan dan pemerintahan. Padahal sebelum adanya agama-agama “luar”, keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak/dilarang menyandang “gelar” atau titel “agama” karena konsep “agama hanya berlaku bagi agama-agama luar (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus, dan sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai “kepercayaan” atau “aliran kepercayaan”, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai “aliran sesat” oleh penganut agama ”luar”. Kenyataan ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non-adat generasi Sunda yang “mikukuh” ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan ”budaya spritual pendatang” dari luar. Sampai saat ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial (pelecehan, penghinaan, pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau diskriminasi yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan masih berlangsung. Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang ”bukan agama misi”, bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan sebagai sistem keyakinan atau “agama” hanya bagi mereka yang secara genealogis adalah Suku Sunda. Pertanyaannya kemudian, apakah orang suku Sunda boleh menganut keyakinan Sunda Wiwitan? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penduduk Kanekes yang berasal dari daerah Kaduketug (suatu nama daerah di wilayah Kanekes), mengatakan bahwa “ieu mah agama kami batur mah meunang. Sababna teu meunang soteh pedah pedah kami ge can karuhan bisa ngalaksanakeun flu bener tina agama kami (baca; Sunda Wiwitan)”. Artinya dan hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan masyarakat Kanekes adalah hanya

Page 6: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut v

diperuntukkan bagi kalangan mereka saja, dan orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan bahwa karena jangankan orang lain (selain orang Kanekes) boleh menganut keyakinan tersebut, orang Kanekes sendiri pun belum tentu bisa mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar. Di balik pernyataan itu tersirat bahwa orang Kanekes atau penganut Sunda Wiwitan tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai mengajak orang lain menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda Wiwitan “bukan agama misi atau syiar” yang orang lain boleh sembarangan menganutnya. Kemudian dari pernyataan itu (dan hasil wawancara selanjutnya dengan orang Kanekes tersebut) bahwa mereka sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap orang Kanekes dalam kaitannya dengan “budaya luar” atau sistem (tidak akan menjajah keyakinan “luar” (selain Sunda Wiwitan) bahwa mereka “embung dijajah jeung moal ngajajah” pengaruhi dan tidak mau dijajah (dipengaruhi)” karena sudah merupakan tugas mereka (orang Kanekes) untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur apa adanya. Keteguhan orang Kanekes sebagai penganut Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi dan budaya spiritual leluhur mereka apa adanya itu sesuai dengan prinsip keteguhan mereka bahwa “lojor tea meunang dipotong pondok tea meunang disambung” (secara harfiah berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk “disebarkan” kepada orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada sejak adanya “manusia Sunda” diciptakan oleh “Nu Ngersakeun” atau “Sang Hiyang Keresa” atau “Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji” (istilah causa prima bagi penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada hakikatnya diperuntukkan bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” berkepribadian sebagai keturunan (genealogis) “darah Sunda” (meski hal ini pada kenyataannya tidak mengikat secara ketat). Pemahaman bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk “dipropagandakan”, juga memiliki implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan “kepikiran” untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan), karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan

Page 7: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

vi Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut. Bagi penganut Sunda Wiwitan umumnya dan Orang Kanekes khususnya, dalam agama Sunda Wiwitan menitikberatkan kepada masalah “tuah” (amal, perbuatan). Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia, cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”. Hal ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan “pikukuh” atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat pada masing-masing “wewengkonnya” atau wilayahnya. Masyarakat Kenekes mendasarkan aturan “pikukuh” itu pada “Tri Tangtu” (tata wilayah aturan berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, “aturan pikukuh” yang dimaksud dikenal dengan “Pikukuh Tilu”.

-----oOo-----

Page 8: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut vii

DAFTAR ISI Kata Pengantar: Memahami Fenomena Sunda Wiwitan Masa Kini ... iii Daftar Isi ............................................................................................ vii Daftar Gambar ................................................................................... viii Daftar Tabel ....................................................................................... ix Daftar Skema ..................................................................................... x Bab 1 Antara Identitas dan Jati Diri Bangsa: Upaya Pelestarian

Seni Budaya ........................................................................... 1 Bab 2 Merawat Budaya dan Tradisi Sunda di Taman Atikan ............ 13 Bab 3 Adat Istiadat Pernikahan Warga Adat Karuhun Sunda

Wiwitan Kampung Pasir, Garut .............................................. 23 Bab 4 Peran Nonoman dalam Pelestarian Kearifan Lokal

Kepercayaan Sunda Wiwitan .................................................. 32 Bab 5 Kiprah Perempuan Sunda Wiwitan Kampung Pasir ................ 45 Bab 6 Toleransi Sosial di Tengah Keberagaman Masyarakat ........... 56 Bab 7 Advokasi Hak Sipil Penghayat Sunda Wiwitan untuk

Memperoleh Pengakuan dari Negara ..................................... 68 Daftar Pustaka ..................................................................................... 77 Daftar Kontributor ............................................................................... 81 Biodata Editor ..................................................................................... 82

Page 9: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

viii Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Kecamatan Samarang ........................................... 4 Gambar 1.2 Ata Sukanta, Sesepuh Adat ........................................... 5 Gambar 1.3 Seni Wawacan ............................................................... 6 Gambar 1.4 Kesenian Angklung Buncis ............................................ 7 Gambar 1.5 Anak-anak Taman Atikan ............................................... 10 Gambar 1.6 Nonoman Bermain Musik ............................................... 11 Gambar 2.1 Taman Atikan Sebagai Tempat Pembelajaran Informal . 16 Gambar 2.2 Aksara Sunda ................................................................ 19 Gambar 3.1 Informan Kunci ............................................................... 24 Gambar 3.2 Pangeran Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya

Ningrat ........................................................................... 26 Gambar 3.3 Upacara Adat Sunda ...................................................... 27 Gambar 3.4 Meungkeut Bumi ............................................................ 29 Gambar 3.5 Ikrar Jatukrami ............................................................... 30 Gambar 3.6 Aturan Tata Nikah Kawin ............................................... 31 Gambar 4.1 Peta Desa Cintakarya .................................................... 34 Gambar 4.2 Foto Bersama Nonoman Muda dan Harkat Ahadiyat ..... 35 Gambar 4.3 Tari Adat Selendang Khas Sunda Wiwitan ..................... 40 Gambar 4.4 Foto Bersama Harkat Ahadiyat dengan Hasil Karya

Ukiran ............................................................................ 43 Gambar 5.1 Foto Bersama Tating Sumirah (Kader Posyandu dan

Anggota PKK) ................................................................ 51 Gambar 5.2 Sikap Olah Rasa ............................................................ 52 Gambar 5.3 Kelompok Perempuan Angklung Buncis ........................ 53 Gambar 5.4 Taman Atikan dan Para Pengajar .................................. 54 Gambar 6.1 Ijin, Tokoh Muslim di Kampung Pasir ............................. 62 Gambar 6.2 Sesepuh Warga Adat Sunda Wiwitan ............................ 67 Gambar 7.1 Kartu Tanda Penduduk (KTP) Warga Adat Sunda

Wiwitan .......................................................................... 71 Gambar 7.2 Berita Acara Pernikahan Warga Adat Sunda Wiwitan .... 73

Page 10: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat Desa Cintakarya ................................................................. 15

Tabel 2.2 Profil Pengajar di Taman Atikan .......................................... 18 Tabel 2.3 Materi Pembelajaran Berdasarkan Usia di Taman

Atikan ................................................................................. 20 Tabel 4.1 Daftar Nama Ketua Nonoman ............................................ 42 Tabel 6.1 Penggunaan Lahan di Desa Cintakarya ............................. 58 Tabel 6.2 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat

Desa Cintakarya ................................................................. 59 Tabel 7.1 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat

Desa Cintakarya .................................................................. 70 Tabel 7.2 Data Kartu Keluarga Warga Adat Sunda Wiwitan ............... 72

Page 11: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

x Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

DAFTAR SKEMA Skema 1.1 Arti Penting Seni dan Budaya Warga Adat Sunda

Wiwitan .......................................................................... 9 Skema 1.2 Pelestarian Seni dan Budaya Sunda Wiwitan ................. 12 Skema 2.1 Relasi Sekolah Formal Tingkat Menengah Atas dengan

Taman Atikan ................................................................. 21 Skema 2.2 Sosialisasi Budaya Sunda Wiwitan Melalui Taman

Atikan ............................................................................. 22 Skema 4.1 Nilai Pitutuh Luhur Sebagai Landasan Nonoman dalam

Berperilaku ..................................................................... 37 Skema 4.2 Peran Nonoman dalam Aspek Sosial dan Budaya ......... 38 Skema 4.3 Peran Nonoman Sebagai Agen Reproduksi Budaya ...... 44 Skema 5.1 Kesetaraan Gender Pada Perempuan Sunda Wiwitan ... 50 Skema 5.2 Partisipasi Kelompok Perempuan Sunda Wiwitan

dalam Berbagai Bidang .................................................. 55 Skema 6.1 Sejarah Toleransi Sosial ................................................. 61 Skema 6.2 Respons Masyarakat Setempat ...................................... 63 Skema 6.3 Toleransi Warga Adat Sunda Wiwitan ............................ 65 Skema 6.4 Toleransi Sosial di Kampung Pasir ................................. 67 Skema 7.1 Advokasi Warga Adat Sunda Wiwitan ............................ 75

Page 12: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 1

Bab 1 Antara Identitas dan Jati Diri Bangsa: Upaya Pelestarian Seni Budaya

Pendahuluan

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki masyarakat yang bersifat heterogen. Bangsa di mana semua suku dapat hidup dan memiliki kehidupannya di bumi Nusantara. Berdasarkan kajian antropologi, Indonesia terdiri atas lebih dari 500 suku dan sub suku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan kebudayaan tersendiri (Indrawardana, 2014: 106). Dari ribuan suku yang hidup di bangsa dan negara ini, Suku Sunda merupakan salah satunya. Suku yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang terus dilestarikan. Budaya itu sendiri bermakna sebuah sistem dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Berkaitan dengan identitas dan jati diri bangsa, jati diri di sini tidak lain adalah karakteristik jiwa bangsa yang bersumber dari akar budaya masing-masing. Budaya-budaya daerah yang membentuk karakteristik masyarakatnya masing-masing, dengan sendirinya akan memberi jati diri pada setiap anak bangsa Indonesia (Manuaba, 1999: 58). Maka dapat dikatakan bahwa jati diri bangsa dapat terbentuk berakar pada identitas. Identitas sendiri berasal dari kata identity memiliki pengertian harfiah ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain (Winarno, 2011: 32). Proses pembentukan identitas yang dimiliki oleh bangsa ini salah satu caranya yaitu dengan mengupayakan pelestarian seni budaya. Khususnya pada masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Perkampungan yang dihuni oleh sekitar 132 kepala keluarga atau 700 penduduk tersebut dikenal sebagai warga adat Adat Karuhun Urang (AKUR). Warga adat di daerah Kampung Pasir terus menunjukan eksistensinya dalam bidang budaya yang terus berkembang dan lestari di daerah tersebut. Berbagai kegiatan yang terbentuk serta keterlibatan agen dari warga adat itu sendiri pada semua kalangan umur. Hal ini sejalan dengan filosofi Sunda dipandang dari segi etnis di mana Sunda berarti atau merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya suku dan bangsa lain di muka bumi, dalam hal ini berkaitan dengan kebudayaan Sunda yang melekat pada cara dan ciri manusa Sunda (Indrawardana, 2014: 114). Sejak kecil, warga adat sudah dikenalkan seluk beluk budaya yang ada di Kampung Pasir pada umumnya, dan Sunda Wiwitan pada khususnya. Budaya yang dimainkan seperti alat musik angklung buncis, dilantunkan seperti wawacan, dirayakan seperti seren taun yang berdasar pada

Page 13: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

2 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

penanggalan Sunda, dan sebagainya. Semua hal tersebut memiliki makna sebagai tuntunan dan bukan hanya sekadar tontonan. Bascom dalam Danandjaja (1997: 19) menyatakan ada empat peranan budaya daerah yakni: sebagai sistem proyeksi (projective system) yakni pencerminan angan-angan kolektif; sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); dan sebagai alat kontrol agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Terbukti, setiap perayaan berlangsung selalu dihadiri oleh ribuan masyarakat Sunda, yang pada dasarnya secara budaya, tidak meninggalkan tradisi kepercayaan Sunda itu sendiri meskipun telah banyak orang Sunda yang memeluk agama lain di luar kepercayaan asli Sunda Wiwitan. Menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Kampung Pasir khususnya yang masih kuat dengan tradisi leluhur untuk terus mempertahankan kearifan lokal yang ada. Budaya yang dimaksud pun bukan hanya seputar alat musik atau pemaknaan budaya secara fisik saja, tetapi ada hal-hal yang lain seperti filosofi-filosofi yang tertanam kuat bagi para manusa Sunda sehingga dapat membentuk pola perilaku seperti yang diharapkan sebagaimana orang Sunda itu sendiri seharusnya. Masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah dan silih asuh” yang bermakna untuk saling mengasihi, mengasah atau mengajari, serta saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban dan kerukunan. Selanjutnya yakni wawacan, seperti pupuh asmarandana dan sinom, yang didalamnya mengandung makna yang mendalam bermaksud menyampaikan pesan kepada yang dituju sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimaksudkan. Ada pula ajaran Pikukuh Tilu (Tri Tangtu) yang terdiri dari tri tangtu dina raga, tri tangtu di nagara, dan tri tangtu di buana yang semuanya bertujuan untuk mengingatkan pada masyarakat Sunda ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bersikap terhadap diri sendiri, bangsa dan negara serta alam semesta. Setelah itu, ada juga Cara Ciri Bangsa dan Manusa. Cara Ciri Bangsa di dalamnya termaktub rupa, rasa, bahasa, adat, budaya dan aksara. Sedangkan Cara Ciri Manusa terdiri dari welas asih, budi daya, budi basa, wiwaha, dan yuda naraga. Sebagai orang Sunda, ada baiknya terus selalu ingat bahwa hal-hal yang termaktub dalam Cara Ciri Bangsa diterapkan dalam kehidupan. Semua hal yang telah dipaparkan memiliki suluk silip siloka (penuh dengan filosofi) merupakan arti penting budaya Sunda Wiwitan itu sendiri dalam membentuk jati diri warga adat, sebagai pemersatu bangsa serta mempertahankan kearifan lokal yang ada secara berkelanjutan. Seperti anggota masyarakat tradisional lainnya, beberapa warga adat Sunda Wiwitan pun ada yang berpindah kepercayaan, beberapa warga ada yang tinggal di perkotaan atau hanya sekadar mencari pekerjaan yang dianggap lebih baik. Dengan adanya keberagaman dalam kepercayaan serta perbedaan domisili merupakan bentuk ketaatan yang dilakukan

Page 14: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 3

terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Agama apapun, kepercayaan apapun, di mana pun berada, budaya Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah (Fuadz, 2014). Gambaran saling mempertahankan keberadaan ciri-ciri budaya etnis Sunda begitu indah terlukiskan. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh warga adat di antaranya yakni menanamkan seni dan budaya sejak dini, peran nonoman dalam mempertahankan kesenian, memproduksi alat musik sendiri serta memahami bahwasanya seni dan budaya itu sebagai pembentuk jati diri bangsa pada umumnya, serta jati diri warga adat Sunda Wiwitan pada khususnya. Pentingnya berketuhanan dan berbudaya bagi masyarakat penganut Sunda Wiwitan tercermin pada menjaga sikap dan perbuatan sebagai manusia yang menjaga hubungan dengan sesama manusia, alam lingkungan dan Tuhan dari situlah kesadaran berbudaya akan terus tumbuh dan semakin kuat serta sebagai bukti bahwa manusia Sunda Wiwitan menjalankan amanat ciptaan kudrat dari Tuhan Yang Maha Esa (Indrawardana, 2014: 106). Dengan upaya pemberdayaan budaya daerah, berarti manusia telah berusaha memfungsikan budaya daerahnya. Jika manusia sepakat untuk menganggap bahwa pemberdayaan budaya daerah itu penting, kini manusia harus segera memikirkan bagaimana cara pemberdayaan dan revitalisasi budaya daerah itu sendiri, sehingga mampu memberikan dampak baik yang berkelanjutan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Deskripsi Lokasi Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak; sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit.

Page 15: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

4 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Gambar 1.1 Peta Kecamatan Samarang

Sumber: Google (2018) Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 sampai 123 hari per tahun dengan suhu rata-rata 18 – 25°C. Dengan letak geografis desa yang cukup strategis, membuat perkembangan Desa Cintakarya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Persawahan seluas 120.352 hektar, pemukiman 40 hektar, perkebunan 5.010 hektar, kuburan seluas 2,5 hektar, pekarangan 29,5 hektar, perkantoran 0,812 hektar, dan prasarana umum lainnya sebesar 3,5 hektar (2016). Namun, seiring berjalannya waktu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Desa Cintakarya, proporsi lahan pertanian terus berkurang karena digantikan oleh laham pemukiman tempat tinggal. Bukti laju pertumbuhan penduduk terus bertambah didukung oleh data administrasi pemerintahan yang rata-rata jumlah kepala keluarga di setiap RT naik di atas 60 kepala keluarga yang berada di 2 dusun, 6 RW, dan 31 RT. Penduduk di desa ini, mayoritas beragama Islam, tetapi kepercayaan Sunda Wiwitan terus lestari. Semuanya hidup berdampingan dengan saling menghormati sesama serta memelihara kerukunan satu sama lain, sehingga denyut nadi kehidupan seluruh masyarakat berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi perekonomian Desa Cintakarya pada umumnya sudah cukup baik, dengan dimilikinya mata pencaharian yang layak serta usaha dari setiap penduduk yang memiliki usaha musiman yang dilakukan di luar daerah, seperti di Jabodetabek. Dengan begitu, potensi masyarakat terus berkembang dan dapat memajukan desa.

Page 16: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 5

Seni Budaya Sebagai Identitas dan Jati Diri Bangsa Kebudayaan merupakan suatu produk dari suatu masyarakat dan juga merupakan aspek penting bagi identitas masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat pasti memberdayakan kebudayaannya agar tidak punah dan juga agar mereka tetap menjaga identitas mereka sebagai bagian dari suatu masyarakat. Sebuah argumen, yang dikenal dengan antiesensialisme, menyatakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang eksis; ia tidak memiliki kualitas universal atau esensial. Antiesensialisme merupakan hasil konstruksi diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini. Dengan kata lain, identitas itu dibentuk dan diciptakan ketimbang ditemukan oleh representasi, terutama oleh bahasa (Hidayat dan Marasabessy, 2017: 168). Seni pada hakikatnya adalah proses pekerjaan manusia yang hasilnya dapat diamati dan dipersepsi sebagai sesuatu yang indah dan bernilai. Seni dapat dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni adalah segala kegiatan manusia untuk mengkomunikasikan pengalaman batinnya pada orang lain. Pengalaman batin ini dapat divisualisasikan dalam tata susunan yang indah dan menarik sehingga dapat memancing timbulnya rasa senang atau puas bagi siapa saja yang menghayatinya. Visualisasi ini dapat ditangkap oleh tiga indra berikut: indra raba menjadi seni rupa; indera mata menjadi seni tari dan seni sastra; dan indra dengar menjadi seni musik/suara dan drama (Hidayat dan Marasabessy, 2017: 171).

Gambar 1.2 Ata Sukanta, Sesepuh Adat

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Seni budaya menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan dalam kebudayaan warga adat Sunda Wiwitan, terutama di Kampung Pasir. Seni dijadikan suatu bentuk identitas yang menjadi ciri khas dari warga adat Sunda Wiwitan. Kebudayaan Sunda Wiwitan ini telah dimulai pada saat Wiratma Wijaya yang diturunkan ke Omon Rahman, Engkon, dan Sukanta,

Page 17: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

6 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

dan dari para pendahulunya, Ata Sukanta yang meneruskannya hingga saat ini. Ata Sukanta adalah anak dari Omon Rahman, yang di mana seni dan budaya yang ada di Kampung Pasir diturunkan secara turun-menurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Kebudayaan yang diwariskan hingga saat ini menjadi salah satu bentuk aktivitas yang selalu dilestarikan dan dimainkan oleh warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir. Budaya yang dilestarikan oleh Ata Sukanta sejak kecil hingga saat ini adalah suatu bentuk kesenian yang didalamnya terdapat seperti seni wawacan, angklung buncis, dan reog, di mana kesenian yang ada menjadi salah satu bentuk identitas yang khas dari warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut, Jawa Barat. Ata Sukanta dalam melestarikan seni dan budaya menjadi salah satu sesepuh yang di mana diamanatkan untuk memegang di bidang seni dan budaya yang ada di Kampung Pasir sejak tahun 1950. Hingga saat ini, Ata terus melestarikan seni yang ada seperti seni wawacan (arti harafiah: wawasan). Wawacan adalah suatu kesenian yang dimana di dalam wawacan tersebut pada lirik di setiap baitnya memiliki makna dan arti untuk kehidupan, yang ditampilkan dan dimainkan pada saat ada proses kelahiran. Wawacan yang dimainkan oleh para sesepuh adat merupakan suatu bentuk wejangan bagi yang mendengar, tetapi disenikan artinya dilirikan dan dilantunkan layaknya seperti lirik lagu yang didendangkan oleh salah satu dari beberapa sesepuh yang secara bergantian melantunkan wawacan tersebut. Seni wawacan terdapat 18 judul yang disebut pupuh dan beberapa di antaranya ada yang sering dimainkan yaitu pupuh asmarandana, pupuh kinanti, pupuh sinom, dan pupuh dangdang gula, yang di mana pada setiap pupuh terdapat makna yang berbeda dan dialunkan secara berbeda oleh para sesepuh. Wawacan menjadi salah satu seni yang terus dilestarikan dan dipertahankan karena di dalam wawacan terdapat makna yang dapat menuntun seseorang didalam kehidupannya kelak. Untuk saat ini, seni wawacan tidak hanya dilantunkan oleh para sesepuh adat, tetapi juga sudah mulai diajarkan oleh generasi penerus, salah satunya oleh para nonoman atau pemuda warga adat.

Gambar 1.3 Seni Wawacan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Page 18: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 7

“Wawacan artinya adalah wawasan, di mana setiap orang hidup tanpa memiliki wawasan maka hidupnya tidak akan terarah, begitu pun jika seseorang hidup menggunakan wawasan, maka ke mana pun ia melangkah, ia tidak akan kesasar.”

Wawancara dengan Ata Sukanta (79), 31 Maret 2018, 09.10 WIB

Kesenian wawacan ini sudah diturunkan oleh adiknya Ata Sukanta, yaitu Ucu dan Lili yang salah satu anaknya dari Ucu, yaitu Yadi Suryadi yang menjadi seorang nonoman juga ikut mempertahankan dan melestarikan kesenian yang ada.

“Dalam adat kepercayaan Sunda Wiwitan ada yang disebut dengan cara ciri bangsa yang salah satu di dalamnya terdapat seni dan budaya, yang di mana seni dan budaya telah melekat dan menjadi ciri atau identitas dari warga adat Sunda Wiwitan.”

Wawancara dengan Yadi Suryadi (41), 31 Maret 2018, 09.40 WIB

Identitas seni dan budaya menjadi salah satu yang dijunjung tinggi oleh warga adat kerena dengan seni dan budaya, mereka dapat hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan yang lainnya. Kesenian sebagai bagian dari institusi budaya secara keseluruhan saling terkait dan memfungsikan di antara institusi budaya yang ada (Suherni, 2013: 184). Ketika mereka saling menjaga kesenian yang ada, maka toleransi antarwarga adat dengan warga sekitar pun ikut rukun dan damai. Salah satu bentuk kearifan lokal yang terus dilestarikan oleh warga adat di antaranya kesenian angklung buncis. Angklung buncis adalah suatu kesenian yang di dalamnya terdapat alat musik angklung dan dogdog. Sedangkan kata buncis sendiri memiliki makna yaitu “budaya urang nurutkeun cara ciri insan Sunda”. Dari makna itulah yang membuat Yadi Suryadi sebagai nonoman, tetap melestarikan dan memainkan kesenian yang menjadi budaya bagi warga adat Sunda Wiwitan.

Gambar 1.4 Kesenian Angklung Buncis

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Page 19: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

8 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Kesenian angklung buncis dimainkan oleh para ambu atau ibu warga adat Sunda Wiwitan, di mana ada yang memainkan alat musik angklung dan ada yang memainkan alat musik dogdog. Permainan angklung buncis dilakukan pada saat selesai panen padi, dan tidak hanya untuk selepas panen padi, tetapi juga dimainkan jika ada aletan (iring-iringan), penyambutan dan pelepasan tamu, dan jika ada kegiatan pemerintahan seperti 17 Agustus, mereka juga menampilkan angklung buncis sebagai iring-iringan kebudayaan.

“Angklung buncis adalah suatu seni yang dimainkan ketika ada panen padi. Jadi sehabis dari sawah, padi diikat dan dibawa ke rumah diiringi oleh angklung buncis di mana angklung buncis dimainkan ke empat penjuru mata angin ke timur, barat, utara, dan selatan, sebagai rasa syukur kepada alam atas hasil yang didapatkan.”

Wawancara dengan Ata Sukanta (79), 31 Maret 2018, 11.15 WIB

Bagi warga adat kesenian angklung buncis dijadikan suatu aktivitas kesenian yang rutin dilatih dan dimainkan baik untuk persiapan acara, maupun dalam kegiatan sehari-hari. Mereka berlatih angklung buncis sebagai bentuk kecintaan akan seni dan budaya Sunda.

“Kalau bukan kita sebagai penerus yang memainkan dan melestarikan seni dan budaya yang ada mau siapa lagi?”

Wawancara dengan Yadi Suryadi (41), 31 Maret 2018, 12.00 WIB

Yadi Suryadi sebagai nonoman sadar bagaimana pentingnya melestarikan seni dan budaya yang ada. Yadi bersama nonoman lainnya berusaha untuk melestarikan dengan cara memainkan alat musik yang ada, seperti alat musik kecapi, suling, dan angklung. Bahkan, beberapa alat musik yang dimainkan oleh warga adat itu dibuatnya sendiri. Mereka mencari bahan baku dari hutan seperti angklung yang dibuat dari bambu hitam yang mereka olah menjadi alat musik yang dikenal dengan angklung buncis. Jadi tidak hanya memainkannya saja sebagai bentuk identitas mereka, warga adat pun juga membuat alat musik nya itu sendiri. Bagi warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, seni dan budaya yang ada di dalam Cara Ciri Bangsa dijadikan suatu alat untuk menyatukan suku, ras, dan agama. Jika tidak dengan seni untuk bisa saling toleransi antarwarga adat kepercayaan dengan warga sekitar, dengan cara apalagi mereka bisa saling hidup berdampingan dan saling rukun satu dengan yang lain. Seni dijadikan kearifan lokal bagi warga adat karena dengan seni bukan hanya sebagai tontonan semata, tetapi juga dijadikan sebagai tuntunan dalam mengarungi kehidupan yang dijalankannya. Selain itu, seni dan budaya yang dilestarikan dan diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya adalah bentuk warga adat Sunda Wiwitan dalam mempertahankan identitas mereka

Page 20: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 9

sebagai penganut kepercayaan di Kampung Pasir, bentuk toleransi, gotong royong dan saling membantu antarwarga baik warga adat maupun warga sekitar membuat mereka saling hidup rukun dan damai.

Skema 1.1 Arti Penting Seni dan Budaya Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Analisis Peneliti (2018) Identitas budaya merupakan perasaan mengenai rasa memiliki, menjadi bagian pada suatu kelompok tertentu, sebuah konsepsi dan persepsi pribadi, serta terkait dengan kebangsaan, etnisitas, agama, kelas sosial, generasi, lokalisme, ataupun kelompok sosial yang memiliki karakteristik budaya masing-masing. Jadi dalam konteks ini, identitas budaya merupakan rincian karakteristik individu sekaligus karakteristik kelompok yang memiliki persamaan secara kultural, serta dapat secara jelas tampak ketika dibandingkan dengan karakteristik budaya kelompok lain. Sedangkan identitas budaya nasional merupakan campuran berbagai karakteristik budaya yang dimiliki individu maupun kelompok yang dianggap mampu mewakili karakteristik suatu negara (nation) dan seluruh masyarakatnya, serta tampak secara jelas ketika dibandingkan dengan identitas budaya nasional negara lainnya (Narottama, dkk., 2017: 184). Jika seni dan budaya terus dilestarikan dan dimainkan baik oleh para nonoman, para ambu dan abah, serta anak-anak yang ada di Kampung Pasir, maka terbentuklah suatu jati diri bangsa yang menjadi ciri dari bangsa Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multibudaya. Itulah yang menguatkan identitas nasional bangsa Indonesia. Identitas nasional (national identity) adalah kepribadian nasional atau jati diri nasional yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa yang lain (Kemenristekdikti, 2012: 11).

Cara Warga Adat dalam Melestarikan Seni Budaya Sunda Wiwitan Pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif

Page 21: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

10 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

(Eliana, 2013: 13). Warga adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir memiliki cara tersendiri dalam melestarikan seni dan budayanya.

“Untuk di zaman sekarang mengenai budaya, Abah tidak khawatir karena sudah ditanamkan sejak dini budaya itu. Bisa dikatakan dari anak-anak sampai dewasa seni terus dilakukan, mulai dari upacara adat selalu ditampilkan sehingga tidak takut dengan kemajuan teknologi sekarang.”

Wawancara dengan Ata Sukanta (79), 31 Maret 2018, 12.00 WIB

Dalam pelestarian seni dan budaya pada masyarakat Kampung Pasir dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, menanamkan seni dan budaya sejak kecil yaitu melalui sosialisasi di dalam keluarga dan pengajaran di taman atikan. Biasanya para orang tua mengasuh anak sesuai dengan pengalaman hidupnya karena orang tua berharap hidup anaknya menyerupai hidup mereka (Henslin, 2006: 77). Anak-anak Sunda Wiwitan mendapatkan pengajaran mengenai budaya Sunda melalui pengajaran di taman atikan ini. Taman atikan ini merupakan taman belajar. Di dalam taman atikan diajarkan jati diri Sunda dengan dasar Pikukuh Tilu dengan menggunakan lagu-lagu untuk mempermudah anak menangkap pelajaran, belajar aksara, dan lain-lain. Dengan adanya taman belajar ini, anak-anak bisa memahami adat Sunda Wiwitan sejak dini dan bisa tertanam menjadi jati diri bagi anak tersebut, sehingga pelestarian budaya tetap terus berjalan.

Gambar 1.5 Anak-anak Taman Atikan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

“Adanya taman atikan berawal dari lihat zaman sekarang anak-anak lebih cenderung cepat menangkap lagu-lagu dewasa dari pada lagu yang sesuai umurnya. Di taman atikan kita lebih mengajarkan jati diri, yaitu Sunda seperti: olah rasa yang maknanya berdoa

Page 22: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 11

bagaimana mensyukuri apa yang Tuhan kasih, bahkan sakit pun kita syukuri karena pada saat sakit berarti kita sedang lupa memperhatikan tubuh kita maka kita harus beristirahat.”

Wawancara dengan Lastri Sulastri (35), 31 Maret 2018, 16.00 WIB

Kedua, peran nonoman sangat penting dalam melestarikan seni dan budaya Sunda Wiwitan. Setiap nonoman (pemuda) sejak kecil sudah ditanamkan mengenai kebudayaan Sunda dan memiliki keahlian seni masing-masing sehingga saat dewasa, seni dan budaya sudah tertanam dan menjadi jati diri para nonoman di Kampung Pasir. Dalam penanaman nilai budaya kepada nonoman ini, nonoman tidak diharuskan menguasai semua kesenian. Akan tetapi, para nonoman mengetahui seni dan budaya serta dapat menekuni kesenian sesuai dengan minat dan keahlian masing-masing sehingga kesenian dan kebudayaan dapat tetap lestari dan teregenerasi.

“Untuk saya sebagai penerus harus bisa melestarikan dan tuntunan harus dijalankan kembali lagi ke cara ciri budaya walaupun saya kurang mahir dalam kesenian, tapi saya suka dengan lagu-lagu Sundanya. Setiap orang punya keahlian masing-masing, saya sendiri aksara Sunda tidak mahir, tapi saya bisa main kecapi, suling, dan bagaimana kita bisa menanamkan kesenian dan budaya bukan hanya sekadar tontonan, tapi juga menjadi tuntunan.”

Wawancara dengan Yadi Suryadi (41), 31 Maret 2018, 12.00 WIB

Gambar 1.6

Nonoman Bermain Musik

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Ketiga, membuat alat musik sendiri untuk melestarikan kesenian. Warga adat Kampung Pasir merupakan salah satu kampung yang terkenal dengan produksi alat musiknya, mulai dari kecapi, sampai angklung buncis yang

Page 23: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

12 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

dibuat dari bambu hitam, dan biasanya mendapat pesanan juga dari Cigugur. Dengan memproduksi alat musik sendiri, warga adat tidak perlu khawatir dalam mendapatkan alat musik yang menjadi ciri khas Sunda Wiwitan itu sendiri.

“Kita memproduksi kecapi, suling, angklung sendiri karena kita bukan hanya pelaku, tapi kita produktif dalam membuat alat musik, karena bisa dibilang Kampung Pasir ini pusat keseniannya Sunda Wiwitan”.

Wawancara dengan Ucu Jarkasu (68), 31 Maret 2018, 12.00 WIB

Cara-cara pelestarian seni dan budaya warga adat Sunda Wiwitan dari penjelasan di atas, hasilnya adalah seni budaya yang berfungsi sebagai identitas warga adat Sunda Wiwitan menjadi melekat di dalam masing-masing individu warga adat. Seni dan budaya ini tidak hanya memiliki makna bagi warga adat Sunda Wiwitan saja, tetapi menjadi jati diri bangsa di mana diajarkan kebersamaan, toleransi, gotong royong, dan sebagainya.

Skema 1.2 Pelestarian Seni dan Budaya Sunda Wiwitan

Sumber: Analisis Peneliti (2018) Dari skema di atas, Warga adat Sunda Wiwitan dalam melestarikan seni dan budayanya dilakukan melalui penanaman budaya sejak dini, yaitu dengan adanya taman atikan (taman belajar) di mana anak-anak diajarkan mengenai jati diri mereka yaitu Sunda Wiwitan, sehingga pada saat remaja atau dewasa meraka sudah memiliki pengetahuan dan keahlian dalam memainkan kesenian adat Sunda. Selanjutnya para nonoman (pemuda) bisa mempertahankan seni dan budaya dari apa yang sudah dipelajari sejak dini dan mulai belajar memproduksi alat musik khas Sunda Wiwitan agar tidak punah. Dengan penanaman seni dan budaya sejak kecil maka secara tidak langsung jati diri masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir terbentuk secara kuat dan bisa diimplementasikan ke dalam jati diri bangsa.

Page 24: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 13

Bab 2 Merawat Budaya dan Tradisi Sunda di Taman Atikan

Pendahuluan

Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dalam Nurdiana, 2016: 23), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dalam perspektif sosiologis yaitu telah menjadi lembaga sosial yang luas dan kompleks dalam mempersiapkan warga negara untuk berperan seperti yang diminta oleh lembaga sosial lainnya seperti keluarga, pemerintah, dan ekonomi (Schaefer, 2012: 105). Hak untuk mendapatkan pendidikan diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial yang ada di masyarakat. Dalam pendidikan terdapat suatu proses pembimbingan pembelajaran untuk mengembangkan sikap yang bertanggung jawab, kreatif berilmu, sehat, berakhlak mulia, dan juga dapat meningkatkan potensi diri. Masyarakat di Indonesia berhak mendapatkan pendidikan tanpa membeda-bedakan suku, ras, etnis, agama, kepercayaan, dan lainnya. Hal tersebut agar tidak terjadinya ketimpangan dalam dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mencerdaskan generasi bangsa secara menyeluruh. Pendidikan informal di masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir, Desa Cintakarya, hadir untuk menyosialisasikan kebudayaan dan tradisi masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir agar tidak hilang begitu saja. Masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir tidak hanya mengenyam pendidikan formal (sekolah) untuk meningkatkan kualitas diri, tetapi masyarakat adat Sunda Wiwitan mendirikan sebuah tempat untuk melangsungkan pembelajaran informal kepada anak-anak yaitu disebut “Taman Atikan”. Taman Atikan didirikan pada bulan Oktober 2014 atas dasar biaya sendiri dan gotong royong dari masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur. Taman Atikan didirikan pertama kali di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan yang dipelopori oleh Emi Ratna Gumilang yang merupakan kakak dari Pangeran Gumirat Barna Alam sebagai Rama Anom masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan. Taman Atikan yang berada di masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir merupakan hasil musyawarah dengan masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Page 25: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

14 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Fokus penelitian ini ingin menjelaskan proses sosialisasi kebudayaan dan tradisi melalui pendidikan informal kepada masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Terdapat dua jenis sosialisasi, yaitu: sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder yaitu proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya (Sunarto, 2004: 29). Taman Atikan sebagai tempat sosialisasi antara pengajar (ambu) dan anak-anak masyarakat Sunda Wiwitan Kampung Pasir yang di dalamnya terdapat penanaman nilai-nilai budaya dan tradisi sebagai wujud nyata dari pelaksanaan pendidikan informal. Hal menarik lainnya dari penelitian ini yaitu terdapat relasi antara pendidikan formal dengan pendidikan informal. Relasi yang terjadi antara sekolah dengan Taman Atikan di Kampung Pasir yaitu mengenai mata pelajaran agama di tingkat sekolah menengah atas. Pada saat pelaksanaan ujian mata pelajaran agama, soal yang diberikan kepada siswa Sunda Wiwitan Kampung Pasir dibuat dari Cigugur Kuningan, soal tersebut akan menjadi pengganti nilai mata pelajaran agama di sekolah.

Deskripsi Lokasi

Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak; sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 sampai 123 hari per tahun dengan suhu rata-rata 18 – 25°C. Dengan letak geografis desa yang cukup strategis, membuat perkembangan Desa Cintakarya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Persawahan seluas 120.352 hektar, pemukiman 40 hektar, perkebunan 5.010 hektar,

Page 26: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 15

kuburan seluas 2,5 hektar, pekarangan 29,5 hektar, perkantoran 0,812 hektar, dan prasarana umum lainnya sebesar 3,5 hektar (2016). Namun, seiring berjalannya waktu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Desa Cintakarya, proporsi lahan pertanian terus berkurang karena digantikan oleh laham pemukiman tempat tinggal. Penduduk Desa Cintakarya sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2016 yaitu sebanyak 6.121 orang. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2015 sebesar 2%. Pertumbuhan pendudukan disebabkan karena adanya perkawinan dan pertumbuhan penduduk secara alamiah (kelahiran). Hampir 75% penduduk Desa Cintakarya yang sudah menikah dan dalam masa usia produktif mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, keadaan pemukiman di Desa Cintakarya semakin padat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman. Dari data Desa Cintakarya bidang kependudukan, laju pertumbuhan penduduk dapat terlihat yaitu dari jumlah kepala keluarga yang terdapat di beberapa RT pada tahun-tahun sebelumnya. Terdapat jumlah kepala keluarga rata-rata terdiri dari 1.599 KK, sedangkan pada tahun 2018, rata-rata jumlah KK di setiap RT di atas 60 KK yang berada di 2 Dusun, 6 RW dan 31 RT.

Tabel 2.1 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat Desa Cintakarya

No. Mata Pencaharian Jumlah Angkatan Kerja

1 Pegawai Negeri Sipil 16 orang

2 TNI dan Polri 1 orang

3 Petani dan Buruh Tani 836 orang

4 Pedagang 177 orang

5 Peternak 78 orang

6 Wiraswasta 60 orang

7 Karyawan Swasta 32 orang

8 TKW/TKI 9 orang

Sumber: Data Desa Cintakarya Dari tabel tersebut menunjukan bahwa masyarakat di Desa Cintakarya sudah terbuka akan pentingnya pendidikan. Pendidikan rata-rata masyarakat di Desa Cintakarya yaitu lulusan SMA/SMK dan juga terdapat tingkat perguruan tinggi. Mayoritas masyarakat di Desa Cintakarya beragama Islam. Pertumbuhan dan perkembangan syiar Islam berjalan dengan baik, yaitu terdapat sarana keagamaan yang representatif. hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya masjid di setiap RW yang merupakan hasil swadaya masyarakat di lingkungan sekitarnya. Walaupun mayoritas beragama Islam, tetapi toleransi terhadap agama dan kepercayaan lain juga sangat tinggi dengan saling menghormati dan hidup rukun.

Page 27: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

16 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Metodologi Penelitian Metode penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu data berupa teks dan gambar. Metode ini memiliki langkah-langkah unik dalam analisis datanya, dan bersumber dari strategi penelitian yang berbeda-beda (Creswell, 2014: 245). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2018 dengan sasaran penelitian adalah masyarakat Sunda Wiwitan, yaitu masyarakat adat Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat. Sumber data penelitian terdiri dari dua. Pertama, data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber dengan mengajukan pertanyaan melalui wawancara yang mendasar dan mendalam. Kedua, data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai catatan, dokumentasi, maupun data yang ada di lokasi penelitian dari masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir.

Sejarah Pembangunan Taman Atikan Taman Atikan memiliki arti “taman didikan” didirikan pada bulan Oktober 2014 atas dasar biaya sendiri dan gotong royong dari masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur. Taman Atikan didirikan pertama kali di Cigugur, Kabupaten Kuningan yang dipelopori oleh Emi Ratna Gumilang atau biasa disapa Ratu Ami. Ratu Ami merupakan putri dari Pangeran Djati Kusuma dan merupakan kakak dari Pangeran Gumirat Barna Alam. Ratu Ami menjadi girang pangaping di Kampung Pasir, Garut. Ratu Ami juga sering mengikuti pelatihan dan seminar mengenai PAUD sehingga ilmu yang diperoleh kemudian diterapkan di Taman Atikan. Taman Atikan didirikan sebagai pusat Sunda Wiwitan ajaran Karuhun Urang.

Gambar 2.1 Taman Atikan Sebagai Tempat Pembelajaran Informal

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Pada perayaan 22 Raya Agung Seren Taun di Cigugur, Kuningan, masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir ikut merayakannya. Upacara Seren Taun merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh

Page 28: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 17

masyarakat agraris Sunda sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara non-verbal supaya manusia berlaku adil terhadap alam. Semua suku bangsa yang hidup di seluruh wilayah Nusantara mengenal tradisi ini. Jika di pantai utara dan selatan dikenal dengan upacara nyadran yang merupakan bentuk lain dari pesta pengucapan syukur (Rohyani, 2008: 5). Pada saat perayaan Seren Taun, masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir diberikan kesempatan untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat Cigugur Kabupaten Kuningan mengenai rencana didirikannya Taman Atikan di Kampung Pasir. Hal tersebut yang melatarbelakangi berdirinya Taman Atikan sebagai tempat belajar bagi anak-anak masyarakat adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir. Taman Atikan memiliki tujuan karena adanya panggilan jiwa melihat kenyataan anak-anak zaman sekarang sudah mulai melupakan jati diri bangsa. Sebagai warga adat sudah berkewajiban untuk menanamkan kepada generasi penerus mengenai nilai-nilai luhur bangsa, untuk ditanamkan sejak dini dengan cara bermain sambil belajar yang diharapkan akan menjadi pondasi dasar untuk cinta kepada tanah air dengan nilai luhur yang dimiliki bangsa kita. Saat ini Taman Atikan terdapat empat orang pengajar yang biasa disebut ambu, di antaranya: Wiwit, Lastri, Lina, dan Mimin. Keahlian yang dimiliki ambu sebagai pengajar sangat beragam, seperti: mengajarkan aksara Sunda, bermain alat musik, menari, kerohanian, dan kreativitas yang tinggi. Menurut salah satu pengajar di Taman Atikan, Wiwit Winarsih (29), mengajar di Taman Atikan atas dasar sukarela, artinya tidak ada pungutan biaya. Penerimaan murid di Taman Atikan tidak hanya dari kelompok masyarakat kepercayaan Sunda Wiwitan saja, tetapi dari masyarakat penganut agama lainnya juga dapat mendaftar di Taman Atikan.

Profil Pengajar di Taman Atikan Taman Atikan awalnya di pelopori oleh Emi Ratna Gumilang Dami Asih. Pengajar di Taman Atikan berjumlah empat orang. Pengajar di Taman Atikan di panggil dengan sebutan ambu (bahasa Sunda) yang artinya ibu. Pemilihan ambu di Taman Atikan berdasarkan musyawarah dan kesediaan dari orang tua murid di Taman Atikan. Ambu di Taman Atikan sendiri tidak digaji, melainkan mereka mengabdi. Motivasi para ambu menjadi pengajar di Taman Atikan yaitu tidak ingin melihat kebudayaan dan tradisi Sunda Wiwitan hilang begitu saja. Dengan adanya pendidikan informal diharapkan agar masyarakat Sunda Wiwitan, khususnya anak-anak dapat menanamkan budaya dan tradisi Sunda Wiwitan secara terus-menerus. Dalam proses pembelajaran di Taman Atikan, satu pelajaran tidak hanya mengandalkan satu ambu saja. Ambu di Taman Atikan mengajar secara acak pada setiap mata pelajaran. Dengan begitu, ambu di Taman Atikan diharapkan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam setiap mata pelajaran yang ada di Taman Atikan. Selain memberikan pengajaran mengenai mata pelajaran,

Page 29: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

18 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

ambu di Taman Atikan juga melakukan pendekatan khusus kepada murid-murid di Taman Atikan. Hal tersebut agar ambu dapat memberikan motivasi tersendiri supaya anak-anak terus semangat belajar di Taman Atikan sehingga kebudayaan dan tradisi Sunda Wiwitan tidak hilang begitu saja.

Tabel 2.2 Profil Pengajar di Taman Atikan

Foto Nama Pendidikan

Terakhir Alamat

Kegiatan Lain

Mintarsih SMP

Kampung Pasir, Desa

Cintakarya, Samarang,

Garut

Ibu Rumah Tangga

Nurlina Suratmi

SMP

Wiwit Winarsih

SMK

Lastri Sulastri

SMA

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Materi Berdasarkan Jenjang Usia di Taman Atikan Pembelajaran di Taman Atikan diadakan dua kali dalam seminggu. Materi yang diajarkan kepada anak-anak setiap bulannya dengan tema yang berbeda-beda. Materi yang diajarkan berkaitan dengan budaya Sunda Wiwitan dengan memanfaatkan alam sekitar sebagai media pembelajaran.

“Prinsip mengajar di Taman Atikan yaitu ngamumule yaitu melestarikan kebudayaan dan tradisi Sunda Wiwitan, salah satunya melalui pendidikan. Penerapannya dengan belajar aksara Sunda, tari-tarian, dan cara merawat alam sekitar. Media yang digunakan kebanyakan memanfaatkan alam dan benda di lingkungan sekitar.

Page 30: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 19

Materi pembelajaran di Taman Atikan tidak disamaratakan, yaitu berdasarkan usia anak.”

Wawancara dengan Lastri Sulastri (35)

Gambar 2.2

Aksara Sunda

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Aksara Sunda merupakan abjad untuk menuliskan bahasa Sunda. Aksara Sunda sebagai ciri khas dari kebudayaan Sunda memiliki peran penting dalam proses pembelajaran mata pelajaran bahasa Sunda selain di Taman Atikan. Hal tersebut sesuai dengan Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda, berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa Barat diharapkan bahasa, sastra, dan aksara Sunda mendapatkan perlakuan yang setara dengan bahasa dan sastra nasional bahkan bahasa asing (Sakti, 2012: 2). Pemberian materi pembelajaran di Taman Atikan tidak terlalu sulit karena materi yang diajarkan menggunakan metode belajar sambil bermain. Anak-anak masyarakat adat Sunda Wiwitan tidak merasa terbebani dengan materi pelajaran, justru hal tersebut membuat mereka bersemangat. Jika anak-anak masyarakat adat Sunda Wiwitan mulai jenuh atau bahkan tidak mau belajar maka akan diberikan nasihat oleh ambu sebagai pengajar di Taman Atikan.

“Kalau anak-anak tidak mau belajar, saya dan ambu yang lain selalu memberikan motivasi bahwa siapa lagi yang akan melestarikan budaya dan tradisi Sunda Wiwitan kalau bukan kalian (anak-anak) sebagai generasi penerus.”

Wawancara dengan Wiwit Winarsih (29)

Page 31: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

20 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Tabel 2.3 Materi Pembelajaran Berdasarkan Usia di Taman Atikan

Materi Pelajaran Jenjang Usia

1 – 3 4 – 6 7 – 12

Mengenal doa sebelum dan sesudah belajar √

Pembiasaan mengucapkan salam √ √ √

Pembiasaan meletakkan sepatu di tempatnya √ √ √

Pembiasaan mengucapkan ‘terima kasih’ √ √ √

Mengenal namanya dan huruf awal namanya √

Mengenal bentuk lingkaran √

Mengenal konsep angka 4 √

Mengenal urutan angka 1 sampai 5 √

Mengenal huruf √

Mengenal cara menggunakan gunting √ √ √

Mengenal cara naik-turun dari tempat yang lebih

tinggi √ √ √

Mengenal urutan dari paling kecil ke paling besar √

Mengenal cara menggunakan gunting sederhana √

Mengenal macam-macam pekerjaan di sekitar anak √

Mengenal alasan orang harus bekerja √

Mengenal apa dan tugas petani √

Mengenal tempat kerja petani √

Mengenal peralatan yang dipakai √

Mengenal konsep penuh-kosong √

Mengenal pasangan benda sehari-hari √

Mengenal pazel dua keping √

Mengenal warna cokelat √

Mengenal garis lengkung √

Menggelindingkan bola pada sasaran √ √

Melompat kedepan dengan dua kaki √ √

Bisa melipat walau belum rapi √

Sumber: Data Taman Atikan (2018)

Relasi Sekolah Formal dengan Taman Atikan Pengakuan sebagai multikultural dalam dunia pendidikan tentu mengimplikasikan adanya keinginan atas pengakuan keberadaan dan eksistensi pada setiap perbedaan yang ada. Suatu lembaga pendidikan formal diharapkan mampu memberikan layanan pada semua masyarakat dan tidak adanya perbedaan dalam pengajaran. Apabila dilihat dari UU No.

Page 32: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 21

25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, menimbang bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. Bagian kedua pada Pasal 4 menerangkan penyelenggara pelayanan publik berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (Farihah dan Izzati, 2016: 6). Berdasarkan pemaparan tersebut, pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan formal berkewajiban untuk memberikan pelayanan yang sama terhadap masyarakatnya. Artinya setiap masyarakat Indonesia diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal tanpa terkecuali. Akan tetapi, terdapat perbedaan pada masyarakat yang menjadikan pemerintah harus lebih meninjau dan memperhatikannya. Sama halnya dengan siswa/i yang mengenyam pendidikan formal tetapi memiliki kepercayaan tradisional yaitu Sunda Wiwitan. Oleh karena itu, terdapat relasi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya yaitu pada mata pelajaran agama di sekolah.

Skema 2.1 Relasi Sekolah Formal Tingkat Menengah Atas dengan Taman Atikan

Sumber: Analisis Peneliti (2018) Relasi antara pendidikan formal (sekolah) dan informal (Taman Atikan) yaitu pada mata pelajaran agama. Untuk mata pelajaran agama pada tingkat SD, mereka akan mendapatkan pelajaran agama yang tersedia di sekolah formal tempat mereka bersekolah (Islam atau Katolik) dan mengikuti pembelajaran seperti biasa. Hal ini juga terjadi pada anak setingkat SMP. Lain halnya untuk anak-anak yang setingkat SMA/SMK. Mereka akan mempelajari ajaran Sunda Wiwitan di Taman Atikan. Untuk keperluan ujian, masyarakat dari Sunda Wiwitan Kampung Pasir mendapatkan soal yang

Page 33: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

22 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

dibuat dari Cigugur yang dikirimkan ke sekolah. Selanjutnya nilai yang didapatkan selama pembelajaran akan diberikan kepada guru yang bersangkutan untuk pengisian kolom nilai mata pelajaran agama.

“Soal ujian untuk mata pelajaran agama di sekolah SMA/SMK tidak mengikuti dari sekolah. Akan tetapi, dibuat dari Cigugur Kuningan, kemudian sebagai pengganti pengisian nilai mata pelajaran agama di sekolah yaitu pada rapor, kecuali pada tingkat SD dan sederajatnya masih mengikuti ujian dengan mata pelajaran agama sesuai dengan sekolahnya.”

Wawancara dengan Wiwit Winarsih (29)

Penutup Masyarakat adat Kampung Pasir penganut kepercayaan Sunda Wiwitan sudah terbuka mengenai hal pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Hal tersebut ditandai dengan rata-rata lulusannya di antaranya SMA/SMK bahkan ada yang sampai tingkat perguruan tinggi. Masyarakat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir menyadari bahwa pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan potensi diri, dan juga ilmu yang didapatkan dari sekolah akan berguna bagi orang lain. Hal ini menandakan bahwa kepercayaan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir bersifat fleksibel, artinya kepercayaan tidak menghalangi untuk meningkatkan kualitas diri. Tidak hanya sebatas pendidikan formal, tetapi masyarakat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir juga mendirikan pendidikan informal. Tempat untuk melangsungkan proses pembelajaran pada pendidikan informal disebut Taman Atikan. Pembangunan Taman Atikan didasari adanya musyawarah dan kesepakatan bersama antara Sunda Wiwitan di Kampung Pasir dengan Cigugur. Tujuannya yaitu agar kebudayaan dan tradisi Sunda Wiwitan tidak hilang begitu saja, tetapi harus disosialisasikan melalui pendidikan.

Skema 2.2 Sosialisasi Budaya Sunda Wiwitan Melalui Taman Atikan

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Taman Atikan Sebagai Pendidikan Informal

Sosialisasi Melalui Media

• Alat Kesenian

• Tradisi

Page 34: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 23

Bab 3 Adat Istiadat Pernikahan Warga Adat Karuhun Sunda Wiwitan Kampung Pasir, Garut

Pengantar Indonesia adalah suatu bangsa untuk semua suku bangsa yang ada dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek kepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya. Kalau merujuk pada keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, kita akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan berbagai ekspresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang dilakukannya. Semua bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan landasan bersama sebagai bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai kepercayaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Indrawardana, 2014: 106). Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan, dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda, karena sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan mereka yang berbeda-beda (Hamzah, 2012: 3). Salah satunya adalah sistem kepercayaan yang ada di Suku Sunda, atau yang biasa disebut dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini mempunyai hukum adat istiadat serta ritual tersendiri, dalam hal beribadah termasuk hukum adat dalam pernikahan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi perkawinan yang sah menurut masing-masing agama dan kepercayaan yang dimaksud adalah agama atau kepercayaan yang diakui oleh negara, yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu, sedangkan kepercayaan Sunda Wiwitan sampai saat ini belum diakui oleh negara sebagai bagian dari agama. Lantas bagaimanakah dengan agama atau kepercayaan yang belum diakui oleh negara, termasuk kepercayaan Sunda Wiwitan, sedangkan warga adat Sunda Wiwitan sejak dari zaman dahulu dan sudah turun temurun melakukan pernikahan menurut hukum adatnya. Sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum adat bagi warga adat yang ada di Sunda Wiwitan adalah jika sudah melaksanakan semua tata tertib

Page 35: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

24 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

hukum adat perkawinan dan tidak ada pelanggaran, maka perkawinan itu sah menurut hukum adat. Pada dasarnya setiap keyakinan atau agama pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam melangsungkan proses pernikahannya, walaupun ada beberapa kemiripan atau hal yang hampir sama dalam rangkaian proses pernikahan tersebut. Kepercayaan Sunda Wiwitan mempunyai tradisi dan adat istiadat serta hukum pernikahan tersendiri yang berbeda dengan pernikahan agama kepercayaan yang lain. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mengambil fokus mengenai bagaimana pola pernikahan adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir ini. Salah satu contohnya adalah mengenai rangkaian proses penikahan yang terjadi didalam komunitas ADS atau Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, yang pada hakikatnya terbagi menjadi empat tahap, yaitu: pendekatan, perkenalan, pendidikan pra pernikahan, dan pernikahan. Tulisan ini menggambarkan rangkaian proses pernikahan adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Tulisan ini akan memaparkan bagian-bagian penting yakni antara lain: profil dan sejarah Komunitas ADS atau Sunda Wiwitan; penjabaran pola pernikahan warga adat Sunda Wiwitan; penjelasan mengenai istilah-istilah dalam ritual adat pernikahan beserta makna yang terkandung di dalamnya sejak sebelum pernikahan, pada saat ritual adat pernikahan berlangsung, hingga setelah ritual adat pernikahan usai. Selanjutnya dijabarkan pula syarat ketika akan melakukan pernikahan dan sanksi ketika melanggar aturan pernikahan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu suatu metode yang mempergunakan observasi dan wawancara sebagai acuannya. Observasi dilakukan pada tanggal 29 Maret – 1 April 2018. Pada saat itu juga dilakukan wawancara untuk mengambil dan memperdalam data agar lebih akurat. Kegiatan wawancara mencoba untuk menggali informasi dari empat narasumber inti, yaitu: Rama Anom, Entis Sutisna, Caca Sukarsa, dan Mimin Mitarsih.

Gambar 3.1 Informan Kunci

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Page 36: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 25

Profil Warga Adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir Komunitas ADS merupakan sebuah kepercayaan pada sejumlah masyarakat Sunda yang tersebar di daerah Jawa Barat, terutama yang ada pada daerah Kampung Pasir. Warga adat Kampung Pasir secara geografis merupakan warga yang berada di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat. Desa Cintakarya adalah salah satu desa di Kabupaten Garut yang tepatnya terletak di sebelah timur wilayah Kecamatan Samarang. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi, yakni mencapai 2.242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 – 123 hari dengan suhu rata-rata 18 – 25ºC. Warga adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir pada awal tahun 2018 terdiri dari 89 Kepala Keluarga (KK) dan sebanyak 307 jiwa, dengan jumlah kematian 2 tahun terakhir sebanyak 11 jiwa, dan jumlah kelahiran 6 jiwa. Warga adat Kampung Pasir merupakan salah satu kelompok adat yang masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat dalam masyarakatnya, mereka tetap melestarikan keyakinannya pada Sunda Wiwitan tanpa menutup diri pada kemajuan teknologi. Dengan hidup bermasyarakat bersama keyakinan yang berbeda seperti Islam dan Kristen membuat mereka semakin kuat akan solidaritas antaragama. Mereka saling menghormati serta menghargai keyakinan, dan kepercayaan masing-masing.

Sejarah Warga Adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir

Mayoritas masyarakat Sunda beragama Islam, tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan atau Jati Sunda. Di Indonesia sendiri pada dasarnya terdapat banyak ragam kepercayaan, dari berbagai macam kelompok adat yang tersebar dari berbagai wilayah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Kembali kepada pembahasan pada fokus awal, Sunda Wiwitan merupakan sebuah kepercayaan yang berasal dari tanah Pasundan yang keberadaannya tidak terlepas dari peran Pangeran Madrais sebagai pendiri dari cikal bakal lahirnya kepercayaan Sunda Wiwitan. Bagi masyarakat Sunda, mereka meyakini bahwa pendiri agama atau kepercayaan Sunda Wiwitan adalah Madrais yang nama lengkapnya Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat yang hidup sekitar tahun 1832 – 1939. Madrais sebenarnya nama pesantren yang dia dirikan di Cigugur yang sekarang menjelma menjadi paseban. Ayahnya yaitu Pangeran Alibasa, cucu dari Pangeran Sutajaya Upas, menantu Pangeran Kesepuhan adalah keturunan kedelapan dari Sunan Gunung Jati. Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Beliau mengajarkan Islam kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama. Beliau mengajarkan

Page 37: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

26 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

agama Islam (Al-Qur’an dan Hadits) disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Tujuannya ialah agar tidak diketahui oleh penjajah bahwa beliau sedang menyebarkan agama Islam. Dengan cara demikian ajaran Madrais disebut agama Jawa Sunda atau yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, saat itu ajaran Madrais ialah tauhid murni, hanya Allah yang wajib disembah (Nurazizah, 2016: 46).

Gambar 3.2 Pangeran Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Pada dasarnya, Agama Djawa Sunda (selanjutnya disebut ADS) merupakan salah satu kepercayaan lokal di Nusantara yang dipercayai oleh sejumlah masyarakat yang tersebar di wilayah Cigugur, Kuningan, beserta beberapa daerah lainnya di Jawa Barat seperti Kampung Pasir Garut. Dalam masyarakat penghayat ADS, kepercayaan ini disebut sebagai Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli sejak dahulu hingga saat ini. Kepercayaan Sunda Wiwitan dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi di berbagai daerah seperti situs Cipari Kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs Gunung Padang yang berada di Kabupaten Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan bahwa orang Sunda pada awalnya telah memiliki sistem kepercayaan. Nilai-nilai agama dan adat yang ada dalam kepercayaan Sunda Wiwitan diformulasikan dalam bentuk-bentuk peran dan pedoman yang harus dilakukan oleh para penghayat kepercayaan ini. Dalam hal ini seorang individu yang menjadi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan akan menginternalisasikan nilai agama dan adat yang berasal dari luar diri individu melalui proses sosialisasi. Hal inilah yang sekiranya menarik perhatian, bagaimana proses sosialisasi antargenerasi yang terjadi pada masyarakat penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan tersebut. Umumnya masyarakat penghayat mewarisi nilai-nilai agama dan adat melalui proses pengalaman bersama

Page 38: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 27

generasi sebelumnya. Sehingga nilai-nilai budaya dalam kepercayaan Sunda Wiwitan bisa dilestarikan secara turun temurun hingga saat ini. Selain itu juga, dalam internalisasi akan terjadi pula proses pelembagaan perilaku dan interaksi antarmasyarakat Sunda Wiwitan dalam hal kultural yang kemudian akan menghasilkan suatu identitas asli bagi masyarakat Sunda Wiwitan.

Penjelasan Upacara Ritual, Adat, dan Sunda Definisi dari ritual adalah perilaku formal yang ditentukan untuk acara-acara tidak seperti rutinitas teknis. Ritual mengacu pada keyakinan mistis (atau non-empiris) atas makhluk atau kekuasaan dianggap sebagai penyebab pertama dan terakhir dari semua efek. Dari definisi ini terlihat bahwa ritual (terutama dalam kalangan tradisionalis), masih ada kaitannya dengan yang Mahakuasa. Hal tersebut mengacu pada keyakinan-keyakinan mistis. Contoh untuk ritual ini adalah ritual-ritual keagamaan yang menyandarkan pada ajaran sebuah agama, atau ritual yang memang diwariskan oleh para leluhur (nenek moyang, sebagaimana dalam ritual perkawinan) (Maulana, 2013: 626).

Gambar 3.3 Upacara Adat Sunda

Sumber: Briedstory.com (2018) Upacara adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat. Maksudnya adalah sebuah upacara atau ritual yang dilakukan oleh suatu masyarakat tertentu dengan menggunakan adat masyarakat itu sendiri, seperti halnya dalam upacara pernikahan pada Sunda Wiwitan, yang mempunyai upacara adat tersendiri dalam melakukan pernikahan yang sudah turun-temurun sejak zaman nenek moyangnya dahulu. Ritual tersebut masih digunakan sampai saat ini oleh masyarakat adat itu sendiri, sebagai aturan di dalam melakukan proses suatu pernikahan. Ekadjati menjelaskan hal ini dengan dua kriteria. Pertama, orang yang secara geneologis dan berdasarkan sosial budaya berada dan dibesarkan di tanah Sunda. Kedua, orang atau

Page 39: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

28 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

sekelompok orang yang dibesarkan dalam budaya Sunda dan menghayati serta menjalankan nilai-nilai dan norma-norma budaya Sunda. Adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem. Sehingga yang dimaksud adalah upacara, ritual-ritual, tradisi yang masih digunakan/dilaksanakan/dipraktikkan oleh masyarakat Sunda Wiwitan sejak dahulu hingga saat ini dalam adat pernikahannya.

Proses Pernikahan Warga Adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir

Pernikahan tidak hanya didasari atas suka sama suka saja, tetapi hendaknya pernikahan dipersiapkan dengan matang, baik kematangan psikis maupun fisik. Menurut informasi dari Entis Sutisna yang merupakan salah satu sesepuh warga adat di Kampung Pasir, warga adat dapat memilih pasangan sesuai keinginannya walaupun pasangan tersebut berbeda keyakinan atau bukan dari Sunda Wiwitan. Selain itu, terdapat syarat bagi warga adat yang ingin menikah, yaitu seorang perempuan minimal harus berumur 20 tahun dan seorang laki-laki minimal harus berumur 25 tahun. Usia tersebut merupakan ketentuan yang menjadi dasar atau syarat umum bagi seseorang untuk menikah, tidak tergolong terlalu muda ataupun terlalu tua. Pada dasarnya setiap keyakinan atau agama pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam melangsungkan proses pernikahan, walaupun ada beberapa kemiripan dalam rangkaian proses pernikahan adat Sunda Wiwitan. Pernikahan bukan hanya tentang ikatan dua pasangan, tetapi ikatan pernikahan menyatukan kedua belah pihak keluarga. Salah satu contohnya mengenai rangkaian proses penikahan yang terjadi di dalam komunitas Sunda Wiwitan di Kampung Pasir ini, di mana pada prosesnya terbagi menjadi empat cara, yaitu: pendekatan, perkenalan, pendidikan pra pernikahan, dan pernikahan. Upacara pernikahan warga adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir ini diawali dengan proses pendekatan atau dalam istilah Sunda Wiwitan disebut dengan totoongan. Totoongan ini maksudnya adalah di antara kedua pasangan sudah saling tertarik atau disebut dengan istilah pacaran pada zaman sekarang. Ketika kedua pasangan sudah merasa yakin dan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius lagi, kedua pasangan tersebut harus membicarakannya kepada kedua orang tua masing-masing dan meminta izin untuk menikah. Kemudian pasangan laki-laki dan orang tuanya membicarakan mengenai rencana pernikahan kepada orang tua dari pihak perempuan, untuk mengutarakan keinginannya yaitu meminang perempuan yang sudah didekati atau dipacarinya tersebut, guna dinikahi atau dalam istilahnya disebut neundeun omong, yang bermaksud orang tua laki-laki datang ke orang tua perempuan (kedua belah pihak orang tua menceritakan tentang anak-anaknya, kemudian membicarakan mengenai kelanjutan dari

Page 40: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 29

hubungannya, apakah dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius atau tidak). Setelah kedua belah pihak orang tua laki-laki dan perempuan setuju perihal pernikahan tersebut, selanjutnya kedua orang tua berbicara kepada ais pangampis atau biasa disebut dengan pupuhu adat bahwa akan diadakan pernikahan dari anak-anak mereka. Kemudian kedua calon mempelai tersebut bertunangan atau melamar atau dalam istilahnya disebut dengan meungkeut bumi, yang bermakna bahwa kedua calon pengantin saling mengikat janji dengan simbol penggunaan dua selendang kuning dan putih. Warna kuning memiliki arti benar-benar tulus mencintai sedangkan warna putih berarti benar-benar mampu menerimanya dengan sepenuh hati (dengan hati yang bersih), ikhlas, dan menerima dengan apa adanya. Setelah itu barulah berlanjut pada proses penentuan tanggal diadakannya pernikahan. Setelah prosesi meungkeut bumi tersebut, kedua calon pengantin diberikan pendidikan pranikah atau disebut dengan masaran.

Gambar 3.4 Meungkeut Bumi

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Masar yaitu diberikannya pendidikan/ajaran sebelum menikah selama 100 hari. Masar ini diwajibkan bagi kedua calon mempelai pengantin untuk mengikutinya minimal tujuh kali pertemuan, dan yang memberikan pendidikannya adalah pupuhu adat. Dari rangkaian persiapan pernikahan seperti yang sudah disebutkan di atas, perihal yang terakhir adalah pernikahan ikrar jatukrami, yaitu proses mengikat janji atau disahkannya kedua mempelai oleh orang tua pihak perempuan. Sunda Wiwitan atau ADS (Agama Djawa Sunda) ini mempunyai aturan, hukum adat, norma yang biasa disebut patikrama, siksa, atau pikukuh. Hukum adat mengikat dalam artian walaupun belum tertulis tetapi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalam proses melangsungkan pernikahannya. Hukum adat tersebut berupa dokumen-dokumen yang memuat aturan-aturan tata pernikahan yang disebut dengan “Aturan Tata Nikah Kawin” Adat Karuhun Urang (AKUR) yang isinya memuat aturan-aturan pernikahan adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, yang terbagi ke dalam delapan pasal.

Page 41: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

30 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Gambar 3.5 Ikrar Jatukrami

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Ketika akan melangsungkan sebuah pernikahan, tidak hanya di dalam agama yang diakui oleh negara saja yang harus memenuhi beberapa persyaratannya, tetapi di dalam kepercayaan Sunda Wiwitan juga terdapat beberapa perlengkapan persyaratan administrasi perkawinan adat di Kampung Pasir. Adat Karuhun Urang (AKUR) sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan oleh masing-masing calon pengantin baik perempuan maupun laki-laki. Hal-hal selanjutnya yang harus dipersiapkan adalah: (1) fotokopi akta kelahiran; (2) fotokopi KTP; (3) fotokopi kartu keluarga; (4) surat keterangan nikah N1-N5 yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan; (5) fotokopi KTP ayah dari kedua calon pengantin; (6) fotokopi KTP saksi dari kedua calon pengantin; (7) pas foto berwarna bersamaan ukuran 4 × 6 cm sebanyak 5 lembar; (8) berita acara berlangsungnya pernikahan adat dengan format yang dikeluarkan oeh direktorat kepercayaan; dan (9) surat keterangan belum pernah menikah, yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, dinas kependudukan kota/kabupaten asal (untuk calon pengantin yang beda wilayah kota/kabupaten). Tidak hanya persyaratan yang harus dipenuhi ketika akan melangsungkan sebuah pernikahan, tetapi di dalam kepercayaan Sunda Wiwitan ini ada larangan yang tidak boleh dinikahkan dalam Adat Karuhun Urang (AKUR) Kampung Pasir ini, yaitu: (1) putra teges ka putra teges; (2) nikah ka lian bangsa; (3) putra ka putra; (4) putra teges ka putra sampeuran; (5) putu ka putu; (6) putra ka buyut; (7) buyut ka buyut; (8) dua saderek sabarayna teu kenging samertua; dan (9) teu kenging nikah ka tilas rayi atanapi ka tilas raka (turun ranjang atanapi unggah ranjang). Selain itu, warga adat Kampung Pasir melarang warganya melakukan penceraian. Bagi masyarakat Sunda, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan agar bersatu menjadi lorong-lorong atunggal. Dengan pernikahan, laki-laki dan perempuan dipersatukan oleh sang pencipta menjadi satu roh dan satu jiwa. Filosofi pernikahan bagi masyarakat Sunda adalah demikian, maka penceraian tidak boleh dilakukan atau haram hukumnya apabila dilakukan, kecuali kehendak Tuhan atau salah satu dari mereka ada yang meninggal dunia (Elis, 2010).

Page 42: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 31

Gambar 3.6 Aturan Tata Nikah Kawin

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Penutup Budaya pernikahan di berbagai daerah di Indonesia memiliki cara dan bentuk yang berbeda-beda pada prosesinya. Hal tersebut disebabkan karena sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan mereka yang tidak sama. Salah satunya kepercayaan Sunda Wiwitan yang berada di Kampung Pasir, Garut. Masyarakat warga adat Kampung Pasir ini masih menjaga erat nilai-nilai kebudayaan mereka, di antaranya seperti keyakinan, bahasa, dan juga kesenian. Selain menjaga erat nilai-nilai kebudayaan warga adat Kampung Pasir masih menjaga nilai dan moral serta adat istiadat. Adat istiadat yang masih dipegang teguh salah satunya yaitu adat proses pernikahan. Pernikahan merupakan bentuk hubungan ikatan baru yang akan ditempuh oleh calon pengantin baru, baik laki-laki dan perempuan yang akan diakui secara sah oleh masyarakat setempat, melalui restu kedua belah pihak keluarga. Dalam tradisi pernikahan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir ini, tidak jauh berbeda dengan pernikahan pada umumnya di mana masyarakat dapat memilih sendiri pasangan yang akan dinikahinya. Proses pernikahan atau rangkaian pernikahan setiap daerah memilki ciri khas tersendiri dalam melangsungkan prosesi pernikahannya, walaupun makna arti dari kata pernikahan adalah sama. Seperti halnya proses pernikahan pada warga adat Kampung Pasir ini, yang memiliki keunikan dan ciri khasnya tersendiri sehingga pada akhirnya akan membentuk suatu identitas yang melekat pada masyarakatnya. Hingga pada akhirnya perlahan demi perlahan akan membentuk sebuah simbol khusus guna memperkenalkan, mempertahankan eksistensi, dan keutuhan budayanya.

Page 43: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

32 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Bab 4 Peran Nonoman dalam Pelestarian Kearifan Lokal Kepercayaan Sunda Wiwitan

Pengantar

Pemuda merupakan generasi penerus perjuangan leluhur terdahulu dalam mewujudkan cita-cita suatu bangsa. Pemuda-pemudi di Indonesia sejak kecil telah ditanamkan nilai-nilai yang sarat akan budaya untuk melestarikan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Meskipun bangsa Indonesia memiliki perbedaan latar belakang ras, etnis, suku, budaya, dan agama yang berbeda, pemuda memiliki tugas untuk menjaga persatuan keanekaragaman itu demi terciptanya keharmonisan hubungan antarkelompok maupun suku di Indonesia. Ragam suku di Indonesia yang masing-masing memiliki kebiasaan dan kebudayaan berbeda-beda menghasilkan ragam adat dan tradisi setiap daerah bervariasi. Kebudayaan juga akan menghasilkan suatu kearifan lokal yang dibangun dalam masyarakat. Penekanan pada konteks “kearifan lokal kepercayaan” pada tulisan ini ingin memfokuskan bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah suatu kondisi sosial dan budaya yang di dalamnya terkandung khasanah nilai-nilai budaya serta kepercayaan yang menghargai dan adaptif dengan alam sekitar, serta tertata secara ajeg dalam suatu tatanan adat kepercayaan suatu masyarakat (masyarakat adat Sunda). Nilai-nilai tersebut diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman dalam keseharian masyarakat adat. Keberagaman di Indonesia juga menjadi faktor yang melatarbelakangi ragam agama yang dianut oleh masyarakatnya, termasuk aliran kepercayaan yang berlandaskan pada keyakinan terhadap ajaran nenek moyang atau roh halus. Namun secara politis, negara mengakui adanya enam agama formal yang sah secara atau telah diakui secara konstitusional, di antaranya adalah Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Pada faktanya, di Indonesia tidak hanya berkembang lima agama itu saja, masih ada kepercayaan ataupun keyakinan yang tumbuh di masyarakat Indonesia, salah satunya yaitu kepercayaaan Sunda Wiwitan. Meskipun Sunda Wiwitan tidak diakui sebagai kelompok agama oleh pemerintah, tetapi sebenarnya Sunda wiwitan merupakan agama asli bangsa Indonesia. Oleh karena itu, aliran kepercayaan Sunda Wiwitan termasuk ke dalam kelompok aliran yang tergolong ke dalam kepercayaan atau agama lokal (Syafi’ie dan Umiyati, 2012: 6). Hingga saat ini kepercayaan Sunda Wiwitan masih di pegang teguh oleh masyarakat Indonesia, khususnya di daerah Kampung Pasir RT 04 RW 04, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut masih bisa dijumpai sekelompok penganut Sunda Wiwitan yang masih menjaga

Page 44: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 33

kelestarian kepercayaan dan tradisi di dalamnya. Kepercayaan dapat berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 2009: 153). Dalam proses mempertahankan nilai-nilai adat dalam kepercayaan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, konsep Pitutuh Luhur yang diturunkan kepada anak keturunan sehingga menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat Sunda Wiwitan Kampung Pasir masih dapat mempertahankan nilai-nilai adat yang saat ini masih dilestarikan. Masyarakat kepercayaan Sunda Wiwitan terus berupaya mempertahankan nilai adat serta regenerasinya agar tidak hilang tergerus oleh zaman. Pitutuh Luhur berasal dari bahasa Sunda. Pitutuh berasal dari kata kukuh yang berarti teguh, konsisten, panceg lalu ditambah imbuhan kata pi untuk fungsi kata kerja. Sedangkan luhur merupakan leluhur yang dalam bahasa Indonesia berarti nenek moyang. Sehingga Pitutuh Luhur dapat didefinisikan sebagai, ketentuan dan aturan hidup yang harus dipegang teguh dan konsisten dalam kehidupan. Konsep Pitutuh Luhur inilah yang memberikan banyak esensi dalam kehidupan masyarakat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, sehingga nonoman sebagai generasi muda tetap taat terhadap ajaran-ajaran yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Di tangan pemuda, kepercayaan Sunda Wiwitan dan kearifan lokal yang didalami akan tetap hidup. Peran dari nonoman sebagai pewaris nilai-nilai adat Pitutuh Luhur yang masih dipertahankan hingga saat ini, menjadi gambaran bagaimana konsep kepercayaan dan adat sangat melekat dalam kelompok Sunda Wiwitan, sehingga sangat menarik untuk dijadikan sebuah penelitian.

Tinjauan Teoretis Wiwitan berarti mula, pertama, asal, pokok, sehingga Sunda Wiwitan dapat diartikan kepercayaan Sunda asli yang dianut oleh masyarakat Sunda. Dalam membahas kepercayaan Sunda Wiwitan bisa dikaitkan dengan konsep sosiobiologi. Menurut Wilson (Wilson, dalam Malesevic, 1975: 4), sosiobiologi adalah studi sistematis atas dasar biologis semua perilaku sosial. Sosiobiologi percaya bahwa perilaku sosial sangat ditentukan oleh strategi evolusi dan dapat dijelaskan secara memadai dengan berfokus pada asal-usul evolusi bentuk kehidupan. Sebuah gen diperlakukan sebagai unit dasar keturunan yang diturunkan dari orang tua ke keturunan, dan yang tujuannya hanya untuk mereplikasi dirinya sendiri. Gen adalah molekul yang terbuat dari bahan DNA. Dalam DNA mengandung informasi untuk membuat protein spesifik dan memiliki potensi replikasi. Pada studi kasus masyarakat adat Sunda Wiwitan, orang tua akan menurunkan ajaran kepada anak sebagai generasi penerus keberlangsungan adat Sunda Wiwitan. Dalam sosiobiologi, etnisitas tidak lebih dari bentuk kekerabatan yang diperpanjang, karena semua masyarakat manusia cenderung diatur atas dasar kekeluargaan tampaknya objektif bagi sosiobiologi bahwa sentimen etnis dianalisis sebagai sentimen kekeluargaan.

Page 45: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

34 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Kondisi Geografis Desa Cintakarya

Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak; sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit. Dalam perkembangannya, Desa Cintakarya tumbuh dan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh letak geografis desa yang cukup strategis.

Gambar 4.1 Peta Desa Cintakarya

Sumber: Google (2018)

Deskripsi Nonoman Sunda Wiwitan Kampung Pasir Pemuda merupakan satu identitas yang potensial dalam tatanan masyarakat sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsa (Satries, 2009: 89). Adapun pengertian pemuda menurut M. Samson Fajar dalam buku Menjadi Pemuda Pembangun Peradaban merupakan suatu identitas yang potensial sebagai

Page 46: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 35

penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan negara, bangsa dan agama. Pemuda juga memiliki peran sebagai pendekar intelektual dan sebagai pendekar sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula pemuda dalam masyarakat adat Sunda Wiwitan biasa disebut dengan nonoman yang berasal dari bahasa Sunda berarti pemuda-pemudi. Nonoman Sunda Wiwitan memiliki peran yang cukup berat untuk tetap melestarikan kearifan lokal adat Sunda di tengah tekanan dan diskriminasi yang mereka alami sebagai minoritas penghayat Sunda Wiwitan.

Gambar 4.2

Foto Bersama Nonoman Muda dan Harkat Ahadiyat

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Istilah nonoman ini memiliki definisi unik tersendiri bagi masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir. Menurut Harkat Ahadiyat salah satu tokoh masyarakat yang juga merupakan ketua nonoman di Kampung Pasir, nonoman warga Adat Sunda Wiwitan merupakan pemuda pemudi yang berkisar pada usia 17 sampai 35 tahun.

“Di sini pemuda biasa disebut nonoman, pemuda-pemuda tersebutlah yang akan melanjutkan adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan di sini. Jenjang umurnya itu berkisar antara 17 SAMPAI 35 tahun karena memang pemuda di sini sedikit, jadi yang sudah berumur 35 tahun masih disebut sebagai nonoman. Seperti saya ini misalnya, anak sudah pada besar masih disebut nonoman, bahkan masyarakat adat mempercayai saya sebagai tokoh ketua nonoman yang dituakan di kampung ini.”

Wawancara dengan Harkat Ahadiyat (35), 30 April 2018, 15.20 WIB

Dari kutipan di atas dapat didefinisikan bahwa nonoman Sunda Wiwitan tidak terpatok pada usia remaja saja, tetapi di umur 35 tahun masih disebut dengan nonoman. Harkat Ahadiyat sebagai tokoh yang dituakan nonoman tetap memiliki semangat yang tinggi dalam mengayomi nonoman muda untuk mempertahankan adat yang ada. Pada umur yang sudah tidak muda

Page 47: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

36 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

lagi itu justru dapat dilihat sebagai role mode atau panutan bagi nonoman muda untuk melanjutkan perjuangan melestarikan kearifan lokal adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir. Dapat dikatakan bahwa nonoman ialah pemuda-pemudi yang masih berkontribusi dalam melestarikan adat dan kebudayaan Sunda Wiwitan.

Eksistensi Nonoman dan Kearifan Lokal Sunda Wiwitan Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan minoritas yang masih dilestarikan hingga saat ini. Hal itu berdampak pada eksistensi nonoman Sunda Wiwitan di Kampung Pasir. Untuk dapat melangsungkan hidup, nonoman di Kampung Pasir yang telah lulus SMK mengadukan nasib mereka untuk mencari nafkah ke perkotaan seperti misalnya di daerah Bandung. Lulusan SMK cenderung lebih dominan dibandingkan lulusan SMA, karena orientasi mereka ialah agar bisa langsung bekerja tanpa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Nonoman biasanya akan melamar pekerjaan yang sesuai bidangnya ke perkotaan meskipun harus meninggalkan kampung kelahiran mereka. Bentuk eksistensi yang dilakukan oleh nonoman yang bekerja di perkotaan dilakukan dengan berbagai macam cara. Walaupun mereka pergi merantau ke kota, hal tersebut tidak membuat mereka lupa akan peran dan statusnya sebagai nonoman Sunda Wiwitan. Pada momen tertentu, nonoman yang merantau kembali pulang ke Kampung Pasir untuk melaksanakan acara adat kebudayaan Sunda Wiwitan. Berikut ini hasil kutipan wawancara dengan Eka Subarta, salah satu nonoman lulusan SMK jurusan perhotelan yang merantau ke Bandung.

“Saya bekerja di Bandung bagian perhotelan karena di sini lapangan pekerjaan masih sangat sedikit. Walaupun saya pergi merantau ke Bandung, saya tidak lupa akan kewajiban saya di sini sebagai nonoman untuk ikut dalam acara adat seperti pada acara malam 1 Suro dan kegiatan lainnya.”

Wawancara dengan Eka Subarta (21), 30 April 2018, 15.25 WIB

Dari pernyataan di atas disebutkan bahwa nonoman di Kampung Pasir masih sangat memegang teguh amanat leluhur untuk menjaga kearifan lokal yang mereka miliki. Menurut Apriyanto (2008), kearifan lokal merupakan berbagai nilai yang diciptakan, dilembagakan, dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Kearifan lokal tersebut tidak hanya adat dan kebudayaan yang dilakukan pada momen sakral saja, tetapi sikap ramah tamah dan toleransi antarumat beragama tetap dipegang teguh untuk menciptakan kehidupan yang damai. Bentuk Kearifan lokal tersebut merupakan sebuah Pitutuh Luhur atau nilai-nilai dasar dari leluhur yang menjadi pedoman bagi nonoman dan warga adat dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari.

Page 48: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 37

Skema 4.1 Nilai Pitutuh Luhur Sebagai Landasan Nonoman dalam Berperilaku

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Isi dari Pitutuh Luhur ialah cara ciri manusia dan cara ciri bangsa merupakan suatu hukum adi kodrati yang menjadi pondasi bagi nonoman untuk tetap melestarikan amanat dari leluhur. Hal ini sejalan dengan pemikiran Boudon dalam Malesevic (2004: 97), bahwa tindakan rasionalitas tidak hanya melalui motif utilitarian, tetapi juga melalui aksi sosial yang didorong oleh keyakinan kuat tertentu. Keyakinan yang dimiliki masyarakat adat Sunda Wiwitan ialah atas apa yang di amanahkan leluhur untuk tetap mempertahankan cara ciri bangsa. Selain itu, cara ciri manusia sebagai landasan dalam berprilaku agar dapat menjalakan kehidupan bersama secara harmonis. Prinsip cara ciri bangsa serta cara ciri manusia sudah di internalisasikan kepada nonoman sejak usia dini. Dalam penelitian Achdiani (2012: 153-158) memberikan suatu pemahaman bahwa pewarisan proses sosialisasi dan enkulturasi tradisi leluhur telah ditanamkan sejak anak-anak hingga dewasa. Hal ini bertujuan agar anak memiliki kemampuan hidup dalam tatanan era yang lebih luas secara global tanpa harus meninggalkan jati dirinya. Masyarakat adat yakin apabila cara ciri bangsa dan cara ciri manusia itu hilang maka jati diri bangsa juga akan hilang. Bangsa Indonesia terkenal akan budayanya yang sangat beragam, kebudayaan seperti aksara yang termasuk contoh dari cara ciri bangsa. Kebudayaan aksara asli Indonesia akan hilang apabila masyarakatnya sendiri tidak mampu melestarikan kebudayaan asli Indonesia. Maka dari itu, masyarakat adat Sunda Wiwitan khususnya di Kampung Pasir bertekad kuat untuk menjaga kebudayaan asli Indonesia agar tidak punah tergerus dengan modernisasi.

“Bangsa Eropa punya kebudayaan sendiri, begitu juga dengan bangsa Arab mereka punya kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan bangsa kita. Kalau cara-ciri bangsa tidak dipegang teguh ya bahasa asli kita maupun aksara asli Indonesia akan hilang kalau tidak kita lestarikan. Adik saya ada yang beragama Islam tapi jangan kearab-araban, kakak saya juga ada yang Kristen ya bukan Eropa. Jadi tetap diingatkan untuk pertahanin cara-ciri bangsa.”

Wawancara dengan Asep Kuswadi (47), 30 April 2018, 15.25 WIB

Pitutuh Luhur

Cara-Ciri Bangsa

Cara-Ciri Manusia

Nonoman Kampung

Pasir

Page 49: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

38 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya prinsip cara ciri bangsa dan cara ciri manusia yang dipegang teguh oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan membebaskan masyarakat adat untuk menganut agama lain. Banyaknya warga adat yang telah berpindah keyakinan tersebut bukan suatu penghalang bagi masyarakat adat Sunda Wiwitan untuk menjaga keeksistensiannya. Dengan adanya warga adat yang telah menganut agama lain, masyarakat adat Sunda Wiwitan berharap untuk tetap menjaga kebudayaan asli bangsa Indonesia. Melestarikan kebudayaan asli Indonesia justru yang menjadi esensi masyarakat adat maupun masyarakat Indonesia secara luas untuk tetap mempertahankan budaya yang ada.

Peran Nonoman dalam Aspek Sosial dan Budaya Menurut Dewi Wulan Sari (2009), peran adalah konsep tentang apa yang harus dilakukan oleh individu dalam masyarakat dan meliputi tuntutan-tuntutan perilaku dari masyarakat terhadap seseorang dan merupakan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Adapun menurut Soekanto (2006), suatu peranan mencakup tiga hal yaitu sebagai berikut. Pertama, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh indiviu dalam masyarakat. Ketiga, peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Skema 4.2 Peran Nonoman dalam Aspek Sosial dan Budaya

Sumber: Analisis Peneliti (2018) Bagi warga adat Sunda Wiwitan, peran nonoman sebagai penerus generasi dan pelestari budaya sangatlah penting, baik dalam aspek sosial maupun aspek budaya. Dalam menjalankan perannya, nonoman berpegang teguh pada Pitutuh Luhur yang merupakan pedoman hidup bagi seluruh warga adat Sunda Wiwitan. Kandungan isi dari Pitutuh Luhur meliputi dua prinsip, yaitu cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Cara-ciri manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, yaitu: welas asih atau cinta kasih, undak usuk

Peran Nonoman

Cara-Ciri Manusia Aspek Sosial

Cara-Ciri Bangsa Aspek Budaya

Page 50: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 39

atau sebutan tatanan dalam kekeluargaan, tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha atau sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Sedangkan cara-ciri bangsa ialah unsur-unsur dasar yang terdapat dalam kehidupan berbangsa, yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. berdasarkan dua prinsip tersebutlah nonoman menjalankan perannya.

“Dalam setiap kegiatan, peran nonoman berpedoman pada cara-ciri bangsa dan cara-ciri manusia. Dalam aspek sosial, nonoman berpedoman pada cara-ciri manusia di mana dalam cara-ciri manusia inilah terdapat prinsip-prinsip yang menuntun para nonoman agar menjalani peran sosialnya dengan baik. Sementara itu, dalam aspek budaya, nonoman berpedoman pada cara-ciri bangsa, di mana unsur dalam cara-ciri bangsa merupakan seni dan budaya yang dilestarikan oleh nonoman maupun warga adat Sunda Wiwitan.”

Wawancara dengan Harkat Ahadiyat (35), 30 April 2018, 15.20 WIB

Peran nonoman dalam aspek sosial yang berpedoman pada cara-ciri manusia diimplementasikan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kontribusi nonoman dalam kegiatan sosial, baik di dalam lingkungan warga adat maupun di luar warga adat. Dalam kurun waktu satu bulan sekali, nonoman melaksanakan kerja bakti guna menjaga kebersihan lingkungan hidup. Dalam pelaksanaan kerja bakti ini, nonoman bekerja bakti tidak hanya dengan warga adat, tetapi juga bekerja bakti dengan masyarakat di luar warga adat. nonoman pun aktif dalam kepanitiaan perayaan hari besar yang dirayakan oleh seluruh warga desa, seperti perayaan 17 Agustus, sumpah pemuda, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat beberapa kontribusi nonoman bagi warga desa yang membutuhkan bantuan, nonoman kerap kali memanfaatkan keahliannya dalam membangun rumah untuk membantu membangun kembali atau merenovasi rumah warga desa yang sudah tidak layak huni. Nonoman juga berkontribusi membantu upacara pemakaman setiap terdapat warga desa yang meninggal dunia. Dari semua pelaksanaan kegiatan sosial ini, nonoman percaya bahwa kebaikan yang telah dilakukan dan ditanamkan, akan berbuah kebaikan kembali.

“Setiap apa yang kami (nonoman) lakukan di dunia, mencerminkan apa yang akan kami tuai di akhirat. Jika kami berbuat baik pada semua orang, maka kami pun akan menerima balasan yang baik pula di akhirat nanti. Karena prinsip hidup kami adalah, hidup yang sempurna, mati yang sejati.”

Wawancara dengan Asep Kuswadi (47), 30 April 2018, 15.25 WIB

Page 51: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

40 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Adapun peran nonoman dalam aspek budaya yang berpedoman pada cara-ciri bangsa guna melastarikan adat dan kebudayaan sudah ditanamkan sedari nonoman di usia dini. Pada umur lima sampai tujuh belas tahun, nonoman rutin belajar berbagai macam kesenian, seperti seni musik, seni rupa, dan seni tari di taman atikan yang dilaksanakan satu minggu sekali. Pembelajaran kebudayaan sedari dini tersebut bertujuan agar melekatnya rasa cinta dan integritas adat dan kebudayaan Sunda Wiwitan dalam diri nonoman. Pada usia 17 tahun, nonoman diwajibkan memilih dan mengusai satu alat musik agar pelatihan dan pembelajaran semakin terkhususkan.

Gambar 4.3 Tari Adat Selendang Khas Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Tidak hanya sekadar belajar dan berlatih, nonoman juga kerap kali menunjukkan keahlian keseniannya dalam berbagai acara, seperti perayaan 1 Sura, HUT Garut, dan memenuhi beberapa undangan pernikahan yang memakai sistem tanpa tarif, jadi nonoman akan menerima bayaran seikhlasnya. Selain itu, pelatihan dan pementasan kesenian juga sebagai bentuk protes warga adat kepada pemerintah agar mendapatkan pengakukan dan legalitas.

“Dari pelestarian dan pementasan seni inilah bentuk protes kami kepada pemerintah, bahwa kami ingin diakui sebagai warga negara Indonesia secara legal. Karena kamilah yang terus melestarikan kesenian dan kebudayaan asli bangsa ini, tapi mengapa justru kami tidak diakui.”

Wawancara dengan Asep Kuswadi (47), 30 April 2018, 15.25 WIB

Dari penyataan tersebut, tersirat bahwa warga adat Sunda Wiwitan sangat berharap pengakuan dari pemerintah sebagai rakyat Indonesia yang legal. Selain bentuk protes dalam bidang kesenian, nonoman juga memanfaatkan media sosial sebagai wadah bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi

Page 52: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 41

agar warga adat Sunda Wiwitan diakui dan tidak dipandang sebelah mata, karena pada kenyataannya warga adat Sunda Wiwitan yang terus melestarikan kebudayan Sunda. Selain itu hubungan warga adat dengan warga yang memiliki kepercayaan berbeda tetap terjalin dengan baik, dan di tunjang oleh berbagai kegiatan sosial nonoman yang bermanfaat dan dapat membantu sesama warga sekitar.

Regenerasi Kaum Muda Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Kelompok minoritas menjadi entitas sosial yang tak dapat dinafikan keberadaannya. Di Indonesia pun kehadiran minoritas menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan di tengah hegemoni kelompok mayoritas. Graham C. Lincoln dalam Hussein (1992: 14) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai kelompok yang dianggap oleh elite-elite sebagai berbeda atau inferior atas dasar karakteristik tertentu dan sebagai konsekuensi diperlukan secara negatif. Pada konteks ini, kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan yang merupakan agama asli Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok minoritas di Indonesia yang masih bertahan. Kepercayaan Sunda Wiwitan yang terdapat di Kampung Pasir merupakan sebuah kepercayaan yang dipegang teguh oleh seluruh elemen masyarakat adat. Mulai dari anak-anak, kaum muda, orang tua, hingga para sesepuh (pupuhu). Pada bagian ini akan dibahas mengenai regenerasi kaum muda masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Garut. Kaum muda atau pemuda dalam bahasa Sunda disebut nonoman. Untuk tetap dapat meneruskan nilai-nilai leluhur serta ajaran Sunda Wiwitan maka dirasa perlu adanya regenerasi nonoman sebagai penerus tongkat estafet perjuangan eksistensi budaya Sunda Wiwitan. Labeling minoritas yang didapatkan pada masyarakat adat Sunda Wiwitan di Desa Cintakarya, tidak membuat takut akan berkurangnya masyarakat adat yang telah berpindah agama ataupun keyakinan. Masyarakat adat Sunda Wiwitan di Desa Cintakarya, Kampung Pasir memiliki prinsip yaitu tidak masalah memiliki anggota sedikit, tetapi semua masyarakat mematuhi aturan dan nilai-nilai yang ada, daripada memiliki anggota yang banyak namun membuat kericuhan. Rasa kekhawatiran tetap ada, tetapi masyarakat adat mengantisipasi hal ini dengan melaksanakan suatu kegiatan bagi para nonoman. Kegiatan kawah candra dimuka merupakan salah satu kegiatan bagi para nonoman muda yang bertujuan untuk menginternalisasi ajaran leluruh Sunda Wiwitan. Kegiatan ini diterapkan setiap malam minggu yang dipimpin oleh sesepuh adat. Adapun materi dalam kegiatan ini yaitu tauhid, ekonomi, aksara Sunda serta siraman rohani. Ada pula perkumpulan kelompok nonoman yang bisa dikatakan sebagai organisasi informal yang dibentuk oleh nonoman adat itu sendiri.

“Kalau nonoman di sini bukan seperti organisasi formal ya, melainkan kumpulan nonoman adat biasa. Ya atau bisa disebut juga organisasi yang informal. Tapi, tetap saja meskipun informal ada

Page 53: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

42 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

pengurusnya, seperti ketua, bendahara, dan sekertaris. Ada juga pembukuan dan catatan keuangan. Dalam segala hal juga yang ada di sini (di dalam kelompok nonoman) biasanya mah akan di musyarawahkan bersama-sama.”

Wawancara dengan Eka Subarta (21), 30 April 2018, 15.25 WIB

Dapat dilihat bahwa kelompok nonoman adat bukan organisasi formal melainkan organisasi informal yang bergerak di masyarakat adat. Eka Subarta juga menuturkan bahwa adanya kelompok nonoman membantu masyarakat adat menyelesaikan segala persoalan dan mencapai mufakat. Tidak ada unsur-unsur politis dalam kelompok nonoman, termasuk dalam pemilihan ketua kelompok nonoman adat. Semuanya dilakukan dengan musyawarah dan tidak didasarkan oleh unsur paksaan melainkan sukarela.

“Di sini tidak pernah ya ada pemilihan ketua seperti macam pilkada dicoblos begitu. Di sini semuanya dimusyawarahkan, ditunjuk, dan biasanya yang ditunjuk sebagai ketua itu adalah orang yang dituakan, orang yang bijaksana, dan biasanya yang sudah berumur ya. Selain itu yang terpenting orang itu kreatif, inovatif, serta punya visi misi yang mantap. Intinya mampulah pokoknya membawa anak-anak ini nanti bagaimana.”

Wawancara dengan Harkat Ahadiyat (35), 30 April 2018, 15.30 WIB

Dapat disimpulkan bahwa dalam pemilihan ketua nonoman tidak ada standardisasi yang formal, seperti standar usia atau pendidikan tertentu. Namun, menjadi ketua nonoman cenderung orang yang dituakan dan memiliki sikap yang bijaksana serta jiwa kepemimpinan yang baik, inovatif, kreatif dan merupakan seorang yang visioner. Selain itu, lama periode kepemimpinan ketua nonoman juga tidak ditetapkan secara pasti. Ketua nonoman yang terpilih menjalankan visi dan misi untuk meneruskan tongkat estafet pelestarian kearifan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir secara sukarela tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun.

Tabel 4.1 Daftar Nama Ketua Nonoman

No. Nama Periode

1 Wiharsa 2000 – 2005

2 Ukin 2005 – 2010

3 Ajat 2010 – 2015

4 Harkat Ahadiyat 2015 – sekarang *)

*) Periode tidak mutlak lima tahun, hanya perhitungan kasar dari narasumber

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Page 54: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 43

Tabel berikut merupakan tabel regenereasi kepemimpinan ketua kelompok nonoman yang dimulai oleh Wiharsa sebagai ketua nonoman pada era awal 2000an, lalu dilanjutkan oleh Ukin, kemudian Ajat, dan yang sekarang oleh Harkat Ahadiyat. Masing-masing dari ketua kelompok nonoman memiliki ciri khas dan karakteristiknya masing-masing. Seperti Wiharsa yang dikenal sebagai tokoh yang bijaksana, kemudian Ukin yang memiliki watak tegas, dan Ajat memiliki sikap yang kharismatik, serta Harkat Ahadiyat yang dipercaya mampu mengayomi anak-anak dan dinilai bijaksana. Harkat Ahadiyat sebagai tokoh nonoman pada masa ini memiliki sejumlah program kerja untuk membantu membangun perekonomian nonoman di Kampung Pasir. Salah satunya yaitu mendirikan toko oleh-oleh yang dikelola nonoman itu sendiri. Namun sayangnya hingga saat ini usaha tersebut belum terlaksana karena terkendala oleh minimnya lahan yang strategis. Usaha Harkat Ahadiyat dan nonoman lainnya tidak berhenti sampai di sana. Nonoman yang memiliki bakat dalam seni ukir yang kerap kali menghasilkan karya seni khas adat Sunda khususnya di Kabupaten Garut. Karya seni tersebut berupa ukiran binatang-binatang, ukiran buah jeruk khas Garut, kujang khas adat Sunda dan lain sebagainya. Produksi hasil karya kerajinan tersebut diajarkan secara turun-menurun kepada nonoman muda, sehingga terjadi reproduksi budaya. Hasil karya kerajinan ini telah di produksi dalam jumlah yang cukup besar yang merupakan pesanan dari masyarakat dalam kampung maupun luar kampung.

Gambar 4.4 Foto Bersama Harkat Ahadiyat dengan Hasil Karya Ukiran

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Penutup

Pemuda sebagai generasi penerus mengemban peran yang berat dalam meneruskan perjuangan cita-cita generasi sebelumnya. Status minoritas yang dialami masyarakat adat Sunda Wiwitan menjadi tugas besar yang diemban pemuda, khususnya di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Garut.

Page 55: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

44 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Pemuda sebagai agen atau aktor yang akan melanjutkan keberlangsungan budaya serta kearifan lokal yang dimiliki agar tetap hidup sesuai dengan amanat leluhur. Hasil akhir dari skema dan temuan menyebutkan bahwa nonoman adalah kaum muda warga adat Sunda Wiwitan yang berusia 17 sampai 35 tahun yang menjadi agen penerus kepercayaan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut. Selain sebagai penerus kepercayaan, nonoman juga berperan sebagai agen pelestari nilai dan budaya Sunda Wiwitan. Dalam mengimplementasikan nilai dan budaya adat, nonoman berpegang teguh pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pitutuh Luhur yang meliputi cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Pitutuh Luhur merupakan pedoman yang menjadi landasan atas nilai-nilai bagi warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, terutama bagi nonoman dalam menjalankan perannya. Terdapat dua aspek peran nonoman dalam mempertahankan kearifan lokal, yaitu aspek sosial dan aspek budaya. Dalam aspek sosial nonoman berpedoman pada cara-ciri manusia, sedangkan dalam aspek budaya, nonoman berpedoman pada cara-ciri bangsa. Nonoman adat Sunda Wiwitan senantiasa menerapkan nilai adat serta budaya yang telah terinternalisasi dalam dirinya sebagai pedoman dalam bertindak dan berperilaku di kehidupan sehari-hari.

Skema 4.3 Peran Nonoman Sebagai Agen Reproduksi Budaya

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Page 56: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 45

Bab 5 Kiprah Perempuan Sunda Wiwitan Kampung Pasir

Pengantar

Perempuan mempunyai keterlibatan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Umumnya, perempuan memegang peran lebih banyak dalam keluarga, seperti mengurus anak dan serta pekerjaan rumah tangga. Begitu juga dengan perempuan warga adat Sunda Wiwitan yang mempunyai peran dan kedudukannya dalam berbagai aspek. Sunda Wiwitan merupakan penamaan atas keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda” yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda (Indrawardhana, 2010: 112). Sunda Wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Sunda asli dari dahulu hingga saat ini. Sunda Wiwitan merupakan bagian dari kebudayaan Sunda, di mana orang Sunda secara turun-temurun adalah sebagai pewaris dan pemilik kebudayaan Sunda. Dalam ajaran sunda wiwutan terdapat ajaran Pikukuh Tilu. Pikukuh Tilu merupakan ajaran kuno suku Sunda. Istilah ini merupakan frasa berbahasa Sunda jika dilihat dari segi bahasa. Pikukuh Tilu berasal dari dua kata, pikukuh dan tilu. Pikukuh berarti yang bermakna suatu hal yang harus dipegang teguh karena sudah menjadi satu kepastian. Kata tilu merupakan kata bilangan yang dalam bahasa Indonesia berarti tiga. Jadi secara sederhana, Pikukuh Tilu bisa diartikan tiga hal yang harus senantiasa dipegang dalam kehidupan (Waluyajati, 2017: 106). Kepercayaan Sunda Wiwitan salah satunya dianut oleh masyarakat adat Kampung Pasir yang secara administratif terletak di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut. Warga adat Kampung Pasir merupakan bagian dari masyarakat adat Sunda Wiwitan yang ada di Cigugur, Kuningan. Komunitas adat yang hidup di tengah pemukiman penduduk ini masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan keyakinan Sunda Wiwitan yang mereka terima dari para leluhur. Semangat gotong royong, nilai-nilai penghargaan terhadap alam, serta nilai-nilai tradisi lainnya masih kuat dipegang. Kehidupan warga adat Kampung Pasir yang memegang teguh nilai-nilai Sunda Wiwitan tentunya tidak terlepas dari keterlibatan dan peran serta perempuan. Kelompok perempuan Sunda Wiwitan mempunyai partisipasi dalam pengembangan nilai-nilai tradisi Sunda Wiwitan, baik dalam bidang budaya, pendidikan, bahkan di dalam keluarga. Posisi perempuan Sunda Wiwitan dalam keluarga sangat penting dalam

Page 57: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

46 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

penanaman moral terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu perempuan Sunda Wiwitan merupakan sumber moral bagi anaknya agar dapat menjalani kehidupan sebagai seorang warga adat Kampung Pasir. Orang Baduy (Kanekes) yang juga mempunyai kepercayaan Sunda Wiwitan, mempunyai konsep religi tentang keambuan atau ambu (ibu, perempuan, ibu suci) yaitu ambu luhur, ambu tengah, dan ambu rarang. Ambu pada hakikatnya adalah perempuan yang mengayomi dan memelihara orang Baduy (Koentjaraningrat, 1993: 141). Perempuan juga memiliki kedudukan dan peran tersendiri dari masyarakat adat yang merupakan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Oleh karena itu kiprah perempuan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir dalam berbagai aspek kehidupan perlu dikaji seperti partisipasi perempuan dalam bidang budaya, pendidikan, serta moral dan peran perempuan Sunda Wiwitan.

Sistematika Penulisan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif ini menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi sehingga diharapkan dapat menganalisis data yang didapatkan dari lapangan secara detail. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data secara spesifik daripara partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema umum dan menafsirkan makna data (Creswell, 2012: 5). Metode penelitian kualitatif ini menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi sehingga diharapkan dapat menganalisis data yang didapatkan dari lapangan secara detail. Wawancara dilakukan dengan berberapa narasumber, yaitu Tating Sumirah, Elis Sulastri, Lastri Sulastri (Ambu Lastri), Nurlina Suratni (Ambu Lina), Wiwit Sunarsih (Ambu Wiwit), dan Abah Atta Sukanta.

Deskripsi Lokasi

Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak; sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung

Page 58: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 47

Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit. Kemudian, jarak dari ibukota provinsi sejauh 77 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 3 jam. Sedangkan jarak dari ibukota negara sejauh 257 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 7 jam. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 sampai 123 hari per tahun dengan suhu rata-rata 18 – 25°C. Dengan letak geografis desa yang cukup strategis, membuat perkembangan Desa Cintakarya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Persawahan seluas 120.352 hektar, pemukiman 40 hektar, perkebunan 5.010 hektar, kuburan seluas 2,5 hektar, pekarangan 29,5 hektar, perkantoran 0,812 hektar, dan prasarana umum lainnya sebesar 3,5 hektar (2016). Namun, seiring berjalannya waktu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Desa Cintakarya, proporsi lahan pertanian terus berkurang karena digantikan oleh laham pemukiman tempat tinggal. Keadaan penduduk Desa Cintakarya sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2016 adalah sebanyak 6.121 orang, sedangkan pertumbuhan laju penduduk dari tahun 2015 sebesar 2%. Pertumbuhan penduduk disebabkan karena adanya pertambahan penduduk melalui perkawinan maupun secara alami (kelahiran). Hampir 75% penduduk Desa Cintakarya yang sudah menikah dan dalam masa usia produktif mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, keadaan pemukiman di Desa Cintakarya semakin padat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan pertanian menjadi daerah pemukiman. Mayoritas penduduk beragama Islam, perkembangan serta pertumbuhan syiar Islam berjalan dengan baik, saling menghormati sesama serta memelihara kerukunan. Sarana keagamaan sudah representatif. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya masjid-masjid di setiap RW yang merupakan hasil swadaya masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dari sisi pemerintahan, laju pertumbuhan penduduk ini pun dapat terlihat yaitu dari jumlah kepala keluarga yang terdapat di beberapa RT yang pada tahun-tahun sebelumnya rata-rata terdiri dari 1.599 kepala keluarga, sedangkan pada tahun ini rata-ratajJumlah kepala keluarga di setiap RT di atas 60 kepala keluarga yang berada di 2 dusun, 6 RW, dan 31 RT. Dilihat dari mata pencahariannya, jumlah angkatan kerja penduduk Desa Cintakarya sebanyak 1.051 orang, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (16 orang), TNI dan Polri (1 orang), petani dan buruh tani (836 orang), pedagang (177 orang), peternak (78 orang), wiraswasta (60 orang), karyawan swasta (32 orang), dan TKW/TKI (9 orang).

Page 59: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

48 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Pada umumnya kondisi perekonomian di Desa Cintakarya sudah cukup baik, dilihat dari potensi penduduk rata-rata mempunyai mata pencaharian yang layak sehingga taraf hidup semakin membaik walaupun ada beberapa persen yang dapat dikategorikan masih kurang layak dan tercatat sebagai warga miskin. Dengan berbagai program bantuan yang digulirkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah hal tersebut memberikan perubahan yang signifikan di wilayah Desa Cintakarya. Banyaknya angkatan kerja yang melakukan kegiatan usaha musiman berlokasi di luar kota yaitu di daerah Jabodetabek dengan kegiatan usahanya berjualan mainan anak-anak, pakaian, dan makanan. Kegiatan ini dapat menunjang tingkat perekonomian yaitu sangat berpotensi berdaya guna dan berhasil guna yang dapat memicu dan menggerakkan pertumbuhan dan perkembangan desa.

Kajian Teoretis

Gender merupakan atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara struktural. Gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan sosial manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin (Marhumah, 2010: 3). Gender menurut Ruminiati (2016: 77) adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sebagai konsep dalam analisis sosial, gender mengacu pada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai bentuk budaya. Masyarakat menciptakan sikap dan perilaku berdasarkan jenis kelamin, termasuk menentukan apa yang seharusnya membedakan perempuan dan laki-laki. Menurut Judith Waters dan George Ellis dalam Widyatama (2006: 4), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktivitas seperti maskulintas atau feminitas. Secara garis besar, teori-teori gender dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok teori-teori nature yang mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Anatomi laki-laki, dengan sederet perbedaannya dengan perempuan, menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin tersebut. Laki-laki menjalankan peran-peran utama dalam masyarakat karena secara umum dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Kedua, kelompok teori-teori nurture yang melihat bahwa perbedaan karakter dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh faktor sosial budaya (Marhumah, 2010: 4). Perspektif ini menyimpulkan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faaktor biologis, tetapi dikonstruksikan oleh budaya, yakni relasi kuasa (power relation) yang seacara turun-temurun dipertahankan oleh laki-laki. Sejarah perbedaan

Page 60: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 49

gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara (Hermawati, 2007: 22). Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Hal ini terkadang menjadikan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan budaya yang telah terbentuk lama, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang, dan bersifat ke dalam atau ranah domestik. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.

Peran dan Kedudukan Perempuan Sunda Wiwitan Peran perempuan di dalam sebuah masyarakat bisa dikatakan berbeda-beda. Ada yang peran dan kedudukan itu sama, ada juga yang tidak. Di Desa Cintakarya, Kampung Pasir tepatnya, warga adat Sunda Wiwitan peran dan kedudukan perempuan itu sama. Tidak ada yang membedakan peran dan kedudukannya dengan laki-laki, atau bisa juga disebut adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah kondisi di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Sedangkan definisi kesetaraan gender dari USAID dalam Puspitawati (2012: 5) menyebutkan bahwa “gender equality permits women and men equal enjoyment of human rights, socially valued goods, opportunities, resources, and the benefits from development results (kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumber daya, dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan)”. Hal itu bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab, dan kesempatan tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Terlepas dari tanggung jawab mereka sebagai suami dan istri yang memiliki tanggung jawab dan tugas masing-masing. Kedudukan perempuan di Sunda Wiwitan dengan laki-laki itu sama. Tidak ada yang membedakan perempuan dengan laki-laki atau bisa disebut dengan kesetaraan gender. Perempuan di Sunda Wiwitan boleh untuk bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Namun, itu tidak terlepas dari tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu rumah tangga, yang mengurus anak-anak dan suami serta membereskan rumah.

Page 61: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

50 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

“Perempuan di Sunda Wiwitan bekerja sebagai ibu rumah tangga, tapi juga suka bantu-bantu suami di depan jaga-jaga toko, ya untuk membantu perekonomian keluarga juga. Kami para perempuan Sunda Wiwitan juga ikut berperan di luar rumah seperti ngajar di Taman Atikan juga ikut kesenian-kesenian gitu, kan kalo tidak ada yang mengajar anak-anak di Taman Atikan siapa lagi yang nanti mewariskan kebudayan-kebudayaan di Sunda Wiwitan?”

Wawancara dengan Wiwit dan Lastri, 31 Maret 2018

Peran perempuan di Sunda Wiwitan bisa dilihat dari beberapa aspek kehidupan. Dalam keluarga perempuan berperan untuk menanamkan dalam segi moral, mengajarkan sopan santun, cara-ciri manusia, dan cara-ciri bangsa, serta mengajarkan bagaimana anak-anaknya seharusnya berperilaku di luar rumah. Di luar rumah mereka berperan sebagai guru atau pengajar di Taman Atikan. Taman Atikan merupakan sebuah wadah yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya yang ada di Sunda Wiwitan. Di Taman Atikan ini anak-anak diajarkan tentang pengetahuan, budaya, dan moral agama. Perempuan-perempuan di Sunda Wiwitan banyak yang berperan sebagai pendidik di Taman Atikan. Perempuan Sunda Wiwitan tidak hanya berperan di dalam rumah sebagai sumber moral bagi anak-anaknya dan membantu suami mendapatkan sumber penghasilan lain, tetapi perempuan Sunda Wiwitan juga berperan di luar rumah untuk membantu anak-anak Sunda Wiwitan lain dalam mempelajari kebudayaan maupun kesenian Sunda Wiwitan. Dengan begitu, peran perempuan di luar rumah sangat penting untuk menunjang keberlangsungan kepercayaan Sunda Wiwitan dalam pelesatarian budaya.

Skema 5.1 Kesetaraan Gender Pada Perempuan Sunda Wiwitan

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Laki-Laki dan Perempuan

Sunda Wiwitan

Kesetaraan Gender

Tidak Ada Pembatasan Kegiatan dan

Aktivitas di Luar Rumah

Tidak Ada Pandangan Lebih Rendah Terhadap

Perempuan

Page 62: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 51

Partisipasi Kelompok Wanita Sunda Wiwitan Sebagai Sumber Moral Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, pengasuh, pengajar, pembimbing, dan pemberi contoh dalam keluarga. Orang tua terutama ibu atau ambu sangat berperan dalam menanamkan nilai moral sebagai peletak dasar perilaku bagi anak-anaknya. Dengan ditanamkannya nilai moral ibu, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik-buruk, atau benar-salah, sehingga anak dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak diharapkan akan lebih mudah menyaring perbuatan mana yang perlu diikuti dan perbuatan mana yang harus dihindari. Oleh karena itu, perempuan berpartisipasi sebagai sumber moral bagi anak-anaknya. Dalam hal ini sumber moral berarti dari mana nilai dan norma yang didapat oleh anak. Moral merupakan ukuran baik buruknya tentang sesuatu hal. Oleh karena itu, moral diperlukan dalam suatu keluarga, terutama pada anak yang perlu diajarkan tentang nilai dan norma yang ada di masyarakat, khususnya di Sunda Wiwitan. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, perempuan juga memiliki partisipasi dalam penanaman moral bagi anak-anaknya, sebab bagi mereka keturunannya merupakan penerus dari kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianutnya.

Gambar 5.1 Foto Bersama Tating Sumirah (Kader Posyandu dan Anggota PKK)

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

“Penanaman nilai-nilai Sunda Wiwitan itu perlu supaya nanti anak-anak dan keturunannya juga jadi penganut Sunda Wiwitan, tapi kalo ada anak saya pindah kepercayaan juga gak papa. Kita kan gak bisa maksa. Tapi, lebih ditekankan kalo dia bisa mewariskan kepercayaan Sunda Wiwitan juga.”

Wawancara dengan Tating Sumirah, 30 Maret 2018

Dalam Sunda Wiwitan penanaman moral yang ditekankan adalah cara-ciri manusa dan cara-ciri bangsa. Pada cara-ciri manusa terdapat unsur welas

Page 63: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

52 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

asih (cinta kasih) dan tata krama (tata perilaku). Pada unsur welas asih, anak diajarkan untuk saling menyayangi sesama manusia dan toleransi. Unsur tata krama dengan sesama manusia diterapkan dengan mengucapkan hal-hal sederhana seperti sampurasun, rampes, punten, dan lain-lain. Selain dengan manusia, tata karma juga dilakukan dengan alam sekitar. Pada cara-ciri bangsa terdapat unsur rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. Cara-ciri bangsa lebih menekankan pada kebudayaan Sunda, sehingga anak-anak diajarkan dan dikenalkan dengan kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda yang diajarkan biasanya berupa kesenian-kesenian asli Sunda Wiwitan. Selain itu, anak-anak Sunda Wiwitan juga diajarkan bagaimana melakukan tekad olah rasa atau meditasi. Ketentuan waktu olah rasa tepatnya tidak ditentukan secara detail sehingga dapat dilakukan kapan saja. Initinya olah rasa dilakukan dua kali sehari sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, bertujuan untuk mendekatkan diri pada yang mahakuasa, mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tata cara melakukan olah rasa yaitu duduk bersimpuh dan memejamkan mata serta fokus kemudian membaca doa.

Gambar 5.2 Sikap Olah Rasa

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Partisipasi Perempuan Sunda Wiwitan di Bidang Budaya Unsur budaya dalam Sunda Wiwitan sangat penting karena termasuk dalam salah satu cara-ciri bangsa. Oleh karena itu, warga adat Sunda Wiwitan turut serta dalam berpartisipasi melestarikan kebudayaan Sunda Wiwitan. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, selain laki-laki maupun anak-anak, perempuan juga ikut berperan dalam bidang kebudayaan, terutama kesenian. Kesenian Sunda Wiwitan Kampung Pasir terdapat di dalam lingkungan seni bernawa Purwawirahma, yang pusatnya terdapat di Cigugur, Kuningan. Istilah Purwawirahma berasal dari dua kata, yaitu purwa yang berarti wiwitan, dan wirahma yang berarti aturan. Purwawirahma lahir

Page 64: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 53

pada tahun 1967, dan sekarang diketuai oleh Atta Sukanta. Salah satu yang termasuk dalam ruang lingkupnya yaitu kelompok perempuan angklung buncis yang asal mulanya dari karuhun biasanya untuk penyambutan tamu serta perayaan besar seren taun. Upacara adat seren taun merupakan acara syukuran masyarakat agraris Sunda. Acara masyarakat adat tersebut masih tepelihara dan rutin digelar setahun sekali pada tanggal 22 Rayagung Tahun Saka. Prosesi upacara itu berpusat di halaman dan gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Seperti biasa, prosesi puncak upacara adat diwarnai penampilan aneka seni budaya tradisional. Seperti di antaranya, tari jamparing asih, tari buyung, angklung kanekes, angklung buncis, dan acara ngajayak. Selain itu terdapat kesenian mamaos cianjuran dan kelompok kesenian reog. Tujuan utama kelompok kesenian perempuan Sunda Wiwitan Kampung Pasir adalah untuk melestarikan budaya.

Gambar 5.3 Kelompok Perempuan Angklung Buncis

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Partisipasi Perempuan Sunda Wiwitan di Bidang Ekonomi

Pada umumnya, kondisi perekonomian di Desa Cintakarya sudah cukup baik, dilihat dari potensi penduduknya rata-rata mempunyai mata pencaharian yang layak sehingga taraf hidup semakin membaik walaupun ada beberapa persen yang dapat dikategorikan masih kurang layak dan tercatat sebagai warga miskin. Dengan berbagai program bantuan yang digulirkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hal tersebut memberikan perubahan yang signifikan di wilayah Desa Cintakarya (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, 2016). Ekonomi dalam sebuah keluarga merupakan komponen yang paling penting, karna ekonomi sebagai penunjang berlangsungnya kehidupan keluarga. Ekonomi dalam keluarga dapat dilihat melalui penghasilan dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. Penghasilan dalam keluarga dapat bersumber dari laki-laki maupun perempuan. Perempuan-perempuan dalam Sunda Wiwitan mayoritas adalah sebagai ibu rumah tangga. Namun, ada beberapa

Page 65: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

54 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

perempuan yang ikut serta membantu perekonomian keluarga. Seperti pada bidang pertanian terdapat suatu kelompok yang bernama Kelompok Tani anggotanya terdiri dari sepuluh orang perempuan yang mencakup seluruh RT Kampung Pasir, bukan hanya Sunda Wiwitan. Kegiatan yang dilakukan dalam Kelompok Tani adalah bertani seperti menanam seledri, tomat, daun bawang, sawi, dan sebagainya. Dengan bertani, perempuan-perempuan tersebut dapat menghemat belanja keperluan rumah tangga karena apa yang telah ditanam dapat dikonsumsi sendiri. Selain bertani, ada juga perempuan-perempuan yang membuat makanan (home industry) seperti lumpia yang kemudian dipasarkan ke beberapa daerah. Beberapa perempuan Sunda Wiwitan juga ada yang membuka usaha kecil-kecilan seperti warung sembako.

Partisipasi Perempuan Sunda Wiwitan di Bidang Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Samho dan Yanusari (2010) pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Seiring berjalannya waktu, warga Sunda Wiwitan di Kampung Pasir berkembang semakin banyak yang kurang lebih terdiri dari 90 kepala keluarga. Dengan adanya perkembangan jumlah penduduk Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Ratu Ami merasa bahwa perlu membuat wadah agar anak-anak Sunda Wiwitan di Kampung Pasir dapat memperoleh pengajaran.

Gambar 5.4 Taman Atikan dan Para Pengajar

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Taman Atikan didirikan oleh Ratu Emalia Wigarningsih yang merupakan kakak dari Gumirat Barna Alam (Rama Anom) sebagai bentuk wadah agar anak-anak Sunda Wiwitan di Kampung Pasir dapat memperoleh pengajaran nilai-nilai Sunda Wiwitan. Dengan adanya Taman Atikan, anak-anak Sunda Wiwitan dapat belajar tentang kebudayaan Sunda Wiwitan. Sebab masa anak-anak merupakan usia emas (golden age), sehingga perlu diajarkan nilai-nilai serta budaya tentang Sunda Wiwitan. Biasanya pengajaran di

Page 66: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 55

Taman Atikan dilakukan pada sore hari. Taman Atikan merupakan sebuah wadah yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya yang ada di Sunda Wiwitan. Pengajar di Taman Atikan terdapat berberapa perempuan-perempuan Sunda Wiwitan, yaitu: Lastri, Wiwit, Miming, dan Lina. Pengajar di Taman Atikan biasanya bersifat sukarelawan, sebab untuk melestarikan kebudayaan Sunda Wiwitan di kalangan anak-anak. Di Taman Atikan, anak-anak diajarkan budi pekerti, aksara Sunda, cara-ciri bangsa, dan cara-ciri manusia. Selain itu, diajarkan pula kesenian-kesenian khas Sunda dan juga diajarkan tarian tradisional.

Penutup Teori gender dibedakan menjadi dua. Pertama, kelompok teori nature. Peran laki-laki dan perempuan ditentukan berdasarkan faktor biologis. Laki-laki menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial, laki-laki menjalankan peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Kedua, kelompok teori nurture yang melihat perbedaan karakter dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan faktor sosial budaya, seperti: pembagian kerja laki-laki dan perempuan berdasarkan budaya yang secara turun-temurun oleh laki-laki. Sedangkan di Kampung pasir, Garut, Sunda Wiwitan ini berbeda dengan teori tersebut karena perempuan dan laki-laki di sini sama, tidak ada perbedaan (kesetaraan gender). Perempuan di sini diperbolehkan bekerja dan tetap mengerjakan tugas rumahnya dan laki-laki juga membantu pekerjaan istrinya di rumah dan bekerja. Selain bekerja dan mengerjakan tugas rumah, perempuan Sunda Wiwitan di Kampung Pasir juga berpartisipasi di lingkungan sekitar yaitu dalam bidang budaya, pendidikan, serta ekonomi.

Skema. 5.2 Partisipasi Kelompok Perempuan Sunda Wiwitan dalam Berbagai Bidang

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Partisipasi Perempuan

Domestik Sumber Moral

Publik

Lingkup Purnawirahma

Taman Atikan

Wirausaha

Page 67: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

56 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Bab 6 Toleransi Sosial di Tengah Keberagaman Masyarakat

Pengantar

Masyarakat Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kabupaten Samarang, Garut merupakan masyarakat multikultural dengan keanekaragaman agama. Sebagian besar penduduknya beragama Islam, sebagian lagi merupakan penganut ajaran Sunda Wiwitan atau sering disebut Agama Djawa Sunda (ADS). Perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat tidak menjadikan mereka harus pecah dan saling bermusuhan, karena bagi mereka semuanya adalah saudara. Masyarakat multikultural diharuskan memiliki sikap toleransi yang mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan serta saling menghargai satu sama lain. Puncak dari kebersamaan ini adalah perdamaian. Perdamaian yang terjadi merupakan hasil dari pola adaptasi masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan. Masyarakat selalu bersikap konformis sehingga perilaku menyimpang dan tindakan kriminal menjadi sangat rendah. Sebagai bangsa yang multikultur, para leluhur sudah menyadari akan pentingnya saling menghormati dan saling menghargai antar sesama walau berbeda. Hal ini tercermin dalam semboyan negara Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Kebersamaan dalam perbedaan menjadi bagian yang harus tetap dipertahankan dalam kehidupan setiap individu di negeri ini. Kebersamaan dalam perbedaan dapat terwujud dengan sikap saling menghargai dan menghormati dalam kehidupan sosial. Perbedaan disikapi sebagai sebuah keniscayaan, bahkan bagian dari sunatullah (given). Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk saling mengenal meski berbeda etnik, budaya bahkan agama. Agama seringkali diposisikan sebagai salah satu sistem acuan nilai (system of referenced value) dalam keseluruhan sistem tindakan (system of action) yang mengarahkan dan menentukan sikap dan tindakan umat beragama (Daulay, 2003: 61). Memahami agama, tidak sebatas pada pemahaman secara formal, melainkan harus dipahami sebagai sebuah kepercayaan, sehingga akan bersikap toleran kepada pemeluk agama lain. Akan tetapi, bila seseorang hanya memahami agama secara formal saja maka ia akan memandang bahwa hanya agamanya saja yang mempunyai klaim kebenaran tunggal dan paling baik. Sementara itu agama lain dipandang telah mengalami reduksionisme (pengurangan), karena itu tidak benar dan kurang sempurna. Menurut Mun’im A. Sirry, bahwa perbedaan agama sama sekali bukan halangan untuk melakukan kerjasama (dalam bidang sosial), bahkan Al-Quran menggunakan kalimat lita’arofu, supaya saling mengenal, yang kerap diberi konotasi “saling membantu”. Hubungan sesama warga negara yang muslim dan yang non-muslim sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan, dan kasih sayang.

Page 68: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 57

Cowald (1992: 5) menyatakan bahwa dunia selalu memiliki pluralisme agama. Mengenai realita dalam masyarakat yang plural ini, tulisan ini mencoba memberi suatu gambaran tentang toleransi sosial antara umat Islam dan warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut. Walaupun di desa ini mempunyai agama yang berbeda, tetapi dari beberapa agama (Islam dan Sunda Wiwitan) ini terjalin toleransi sosial yang sangat baik dan tidak menjadikan agama sebagai pembeda, sehingga dalam toleransi sosial keagamaan khususnya umat Islam dan warga adat Sunda Wiwitan ini menjadi sasaran dalam tulisan ini.

Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut, Provinsi Jawa Barat. Kampung Pasir merupakan daerah yang memiliki iklim sejuk. Masyarakat Kampung Pasir memiliki keberagaman dalam beragama, tetapi tidak mengalami perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 29 Maret sampai dengan 1 April 2018. Peneliti melakukan satu kali kunjungan ke lapangan. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimaksudkan penelitian ini dapat menjelaskan segala sesuatu yang sedang berlaku serta menginterpretasikan kondisi-kondisi yang ada dan sedang berlangsung. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah dengan metode observasi, wawancara, dan studi dokumen. Adapun yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah tokoh dari masing-masing agama, yaitu: Entis Sutisna dan Ata Sukanta sebagai pupuhu warga adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir; Sukarna sebagai warga adat Sunda Wiwitan; dan Ijin sebagai tokoh muslim di Kampung Pasir sekaligus mantan penganut ajaran Sunda Wiwitan. Dengan melaksanakan wawancara mendalam dan observasi, akan diperoleh data primer. Data primer ini tidak dalam bentuk angka-angka yang dapat diproses dalam metode kuantitatif. Jenis data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kualitatif yang tidak berbentuk angka-angka, sehingga penjabarannya dalam bentuk catatan lapangan (field notes). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni menekankan data-data yang bersifat gagasan, ide, nilai-nilai, dan pikiran yang tidak bisa diukur dengan angka. Metode kualitatif digunakan untuk memahami makna di balik data yang tampak. Pendekatan kualitaif dilakukan pada usaha menjawab pertanyaan melalui cara berfikir formal dan argumentatif.

Deskripsi Lokasi Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak;

Page 69: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

58 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit. Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 sampai 123 hari per tahun dengan suhu rata-rata 18 – 25°C. Dengan letak geografis desa yang cukup strategis, membuat perkembangan Desa Cintakarya terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Tabel 6.1 Penggunaan Lahan di Desa Cintakarya

No. Lahan Luas Lahan (Hektar)

1 Persawahan 120,352

2 Pemukiman 40

3 Tanah Perkebunan 5,010

4 Kuburan 2,5

5 Tanah Pekarangan 29,5

6 Tanah Perkantoran 0,812

7 Tanah Prasarana Umum 3,5

Sumber: Data Desa Cintakarya Namun, seiring berjalannya waktu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Desa Cintakarya, proporsi lahan pertanian terus berkurang karena digantikan oleh laham pemukiman tempat tinggal. Penduduk Desa Cintakarya sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2016 yaitu sebanyak 6.121 orang. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2015 sebesar 2%. Pertumbuhan pendudukan disebabkan karena adanya perkawinan dan pertumbuhan penduduk secara alamiah (kelahiran). Hampir 75% penduduk Desa Cintakarya yang sudah menikah dan dalam masa usia produktif mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, keadaan pemukiman di Desa Cintakarya semakin padat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman. Dari data Desa Cintakarya bidang kependudukan, laju pertumbuhan penduduk dapat terlihat yaitu dari

Page 70: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 59

jumlah kepala keluarga yang terdapat di beberapa RT pada tahun-tahun sebelumnya. Terdapat jumlah kepala keluarga rata-rata terdiri dari 1.599 KK, sedangkan pada tahun 2018, rata-rata jumlah KK di setiap RT di atas 60 KK yang berada di 2 Dusun, 6 RW dan 31 RT. Mayoritas penduduk Desa Cintakarya beragama Islam. Perkembangan serta pertumbuhan syiar Islam berjalan dengan baik, saling menghormati sesama serta memelihara kerukunan. Sarana keagamaan sudah representatif. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya masjid-masjid di setiap RW yang merupakan hasil swadaya masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Tabel 6.2 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat Desa Cintakarya

No. Mata Pencaharian Jumlah Angkatan Kerja

1 Pegawai Negeri Sipil 16 orang

2 TNI dan Polri 1 orang

3 Petani dan Buruh Tani 836 orang

4 Pedagang 177 orang

5 Peternak 78 orang

6 Wiraswasta 60 orang

7 Karyawan Swasta 32 orang

8 TKW/TKI 9 orang

Sumber: Data Desa Cintakarya

Kerangka Konseptual Sikap toleransi yang menghargai keragaman atau kemajemukan terhadap hal yang berbeda, membuka diri terhadap keyakinan yang berbeda, kerelaan untuk berbagi, mau berdialog, dan mau belajar mencari persamaan agar terhindar dari konflik. Sikap toleransi ini dijadikan sebagai potensi untuk mewujudkan masyarakat yang menghargai setiap perbedaan, karena perbedaan itu fitrah manusia yang heterogen. Toleransi menurut Hasyim (1979: 22) yaitu pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat. Sedangkan Poerwadarminto (1985: 124) mendefinisikan toleransi sebagai suatu sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri. Definisi toleransi beragama (religious tolerance) tidak mudah ditemukan secara eksplisit. Sebagian besar studi tentang toleransi beragama lebih

Page 71: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

60 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

banyak mendeskripsikan sikap yang disebut toleran. Powell dan Clarke (2002) menyatakan bahwa: an attitude of tolerance is only possible when some action or practice is objectionable to us, but we have overriding reasons to allow that action or practice to take place. Dalam pernyataan tersebut, tersirat bahwa toleransi adalah pengecualian (exception) atas hal-hal yang sebenarnya tidak disukai, tetapi tetap dibiarkan dilakukan. Definisi lain dikemukakan oleh Andrew Cohen (2004: 69), yang menyatakan bahwa an act of toleration is an agent‘s intentional and principled refraining from interfering with an opposed other (or their behaviour, etc.) in situations of diversity, where the agent believes she has the power to interfere. Dalam definisi tersebut, toleransi diartikan sebagai sikap untuk tidak mencampuri atau mengintervensi urusan atau perilaku pihak lainnya. Dari beberapa pendapat tersebut, toleransi dapat diartikan sebagai sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi bukanlah hal tentang seseorang harus mengorbankan kepercayaan yang dianut, melainkan toleransi memunculkan suatu sikap baru yang saling menghargai adanya sebuah perbedaan antarmasyarakat. Toleransi bukan suatu hal yang dapat memecahbelahkan umat, tetapi menjadi alat pemersatu antarumat kepercayaan.

Sejarah Toleransi di Kampung Pasir Masyarakat Kampung Pasir merupakan masyarakat yang multiagama, tetapi kehidupan mereka berjalan secara harmonis dan tidak ada konflik. Kedamaian dan kebersamaan begitu terasa mewarnai kehidupan mereka yang beragam keyakinan. Gotong royong dan kerja sama tetap terjalin dalam keseharian tanpa melihat perbedaan yang terjadi di antara mereka. Semuanya itu didasarkan atas dasar persamaan hak sebagai warga dan rasa saling menghormati serta saling menghargai atas setiap perbedaan yang sejak sedari dulu telah ditanamkan di Kampung Pasir ini. Berkenaan dengan kehidupan kemasyarakatan di Kampung Pasir, Ata Sukanta, warga Kampung Pasir penganut kepercayaan Sunad Wiwitan, mengungkapkan bahwa sejak zaman dahulu, para pendahulu Ajaran Sunda Wiwitan dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan masyarakat Kampung Pasir selalu bekerja sama dan tidak membedakan latar belakang agama dan kepercayaan mereka. Pada saat peringatan hari besar keagamaan apapun, semua anggota keluarga akan saling membantu walau mereka berlainan agama dan kepercayaan. Sejarah toleransi sosial tercipta karena di Kampung Pasir terdapat beberapa masyarakat yang berbeda keyakinan di tempat yang sama. Tentu saja hal tersebut merupakan sebuah keunikan atau menjadi ciri khas. Di Masyarakat Kampung Pasir, Desa Cintakarya memiliki keyakinan yang berbeda-beda, yakni: Islam dan Sunda Wiwitan yang masyarakatnya hidup rukun serta saling berdampingan. Hal ini dapat menjadi contoh dalam pola sikap multikulturalisme di masyarakat Indonesia.

Page 72: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 61

“Toleransi sosial di warga adat kampung adat ini diawali dari ajaran leluhur Sunda Wiwitan, di mana adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penganut ajaran Sunda Wiwitan harus menghayati segala keyakinan supaya saling menghargai antarumat beragama. Walaupun mereka (penduduk) di Kampung Pasir ini berbeda keyakinan, tetapi mereka mempunyai tujuan yang sama, yakni percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan manusia, yang menjadi perbedaannya yaitu dari hal peribadatannya saja.”

Wawancara dengan Ata Sukanta, 29 Maret 2018

Penganut ajaran Sunda Wiwitan telah menanamkan toleransi antarumat beragama sejak kecil, dan sudah mendarah daging, karena mereka mempunyai keyakinan bahwa kerukunan antarumat beragama harus dijunjung tinggi dalam ajaran Sunda Wiwitan.

“Prinsip-prinsip yang ditanamkan Sunda Wiwitan dalam menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama yaitu dengan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, mempertahankan nusa bangsa dan negara, menghargai diri pribadi (olah rasa), hidup jangan lepas dari musyawarah, dan hidup jangan lepas dari gotong royong.”

Wawancara dengan Entis Sutisna, 30 Maret 2018

Skema 6.1

Sejarah Toleransi Sosial

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Respons Masyarakat Sekitar Terhadap Warga Adat Sunda Wiwitan Perbedaan adalah sebuah ciri khas negara Indonesia. Namun, perbedaan bukan sebuah alat untuk memecah belah suatu kelompok, tetapi perbedaan dalam negeri ini adalah alat untuk menjadikan setiap individu bersatu. Dengan perbedaan masyarakat menjadikan rasa saling menghormati satu sama lain sebagai sikap yang sangat dikedepankan, kerena dengan begitu kehidupan akan menjadi tenteram walaupun mempunyai perbedaan satu dengan yang lain. Dapat dilihat salah satu perbedaan pada suatu wilayah yaitu di Desa Cintakarya. Di wilayah tersebut terdapat sebuah perbedaan

Sesepuh Sunda Wiwitan

Toleransi Sosial

Prinsip Ajaran Sunda Wiwitan

dalam Menjunjung Tinggi Kerukunan

Antarumat Beragama

Page 73: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

62 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

yang sangat terlihat di masyarakat desa tersebut yang mempunyai perbedaan kepercayaan. Berbedanya suatu kepercayaan tidak memecah belah rasa kekeluargaan karena mereka memiliki anggapan bahwa mereka masih memiliki persamaan budaya, tujuan, dan ras yang sama. Sebuah persamaan yang merujuk kepada sebuah rasa kekeluargaan yang sangat kental terasa tanpa memandang perbedaan antara warga, maka menimbulkan respons yang positif yang tercipta antara warga karena menanamkan sebuah rasa saling menghargai yang sangat besar. Respons yang tercipta antarwarga sekitar dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya respons yang diberikan oleh masyarakat muslim ketika suatu acara yang sedang dilakukan oleh masyarakat sekitar warga Sunda Wiwitan, maka warga muslim menghargai acara tersebut. Selain itu, tidak jarang pula warga Sunda Wiwitan ikut serta dalam acara yang sedang dilaksanakan oleh warga sekitar. Selain memberi respons yang positif terhadap warga Sunda Wiwitan, masyarakat sekitar dan warga Sunda Wiwitan pun mengadakan sesuatu yang dapat menyatukan antara dua belah pihak agar tidak adanya perpecahan. Tidak hanya dalam bidang kepercayaan yang dianut saja, tetapi toleransi pun tercipta pada sebuah kepercayaan kepemimpinan karena tidak adanya batasan pemimpin dalam mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin warga. Respons yang terasa begitu besar di antara warga sekitar dengan warga adat Sunda Wiwitan tidak mempunyai ciri khusus, karena mereka hidup tenteram dengan damai antarwarga.

“Kita memang menganut agama yang berbeda, tapi kita saling menghargai jadi kita hidup berdampingan dengan tenteram.”

Wawancara dengan Ijin, 31 Maret 2018

Gambar 6.1

Ijin, Tokoh Muslim di Kampung Pasir

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Page 74: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 63

Dalam mengambil keputusan yang diambil oleh seseorang yang sudah dewasa mengenai apa yang dianut untuk menjadi cara berkomunikasi dengan Tuhan, diberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada seseorang tersebut, karena mereka menganggap seseorang yang telah dewasa sudah bisa memberikan pertanggungjawaban terhadap apa yang akan mereka lakukan. Tidak hanya mengambil keputusan dalam menganut agama yang akan dipeluknya, warga sekitar pun memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk anggota keluarga bermain atau bergaul dengan warga adat Sunda Wiwitan, dalam kehidupan sehari-hari warga muslim di sekitar pun membuka pintu seluas-luasnya untuk warga Sunda Wiwitan untuk saling berbagi dalam hal berbagi rezeki kepada umat muslim. Contoh lain dalam respons yang diberikan oleh umat muslim seperti ada anggota keluarga orang muslim yang meninggal, mereka pun tidak jarang mengadakan tahlilan khusus untuk warga adat untuk mendoakan anggota keluarga yang meninggal, karena walaupun mereka menganut kepercayaan berbeda, tetapi mereka yakin bahwa mereka mempunyai tujuan yang sama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan waktu untuk acara mendoakan anggota keluarga antara warga adat dengan warga muslim bukan menjadi alasan perbedaan, tetapi perbedaan waktu tersebut dijadikan alat untuk saling menghargai antara sesama warga yang tinggal di lingkungan di sekitar dengan kepercayaan yang berbeda.

Skema 6.2 Respons Masyarakat Setempat

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018) Toleransi Sosial Kelompok Sunda Wiwitan terhadap Penduduk Sekitar Kerukunan antarumat beragama merupakan satu unsur penting yang harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnya berbagai macam suku, ras, aliran, dan agama. Untuk itu, sikap toleransi yang baik diperlukan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut agar kerukunan antarumat beragama dapat tetap terjaga, sebab perdamaian nasional hanya bisa dicapai kalau masing-masing golongan agama pandai menghormati identitas golongan lain (Natsir, 1988: 209). Sikap toleransi sangat dijunjung tinggi oleh warga adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir. Warga adat Sunda Wiwitan meyakini ajaran dari leluhur mereka bahwa setiap individu harus meyakini dan menghayati segala keyakinan supaya bisa saling menghargai

Agama dan Individu

Kebudayaan Toleransi

Page 75: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

64 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

antarumat beragama. Perbedaan keyakinan antarumat muslim dan warga ada Sunda Wiwitan menjadi salah satu bukti bahwa perbedaan bisa menyatukan mereka. Adanya persamaan budaya, yaitu budaya Sunda seperti keseniannya, bahasanya, dan ciri khasnya juga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya tingkat toleransi sosial di desa Kampung Pasir tersebut. Kerukunan antarumat beragama menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti. Empat prinsip yang dipegang teguh oleh warga adat Sunda Wiwitan adalah: (1) percaya terhadap Tuhan YME; (2) mempertahankan nusa dan bangsa; (3) menghargai diri pribadi (olah rasa); dan (4) hidup jangan lepas dari musyawarah. Kehidupan yang dijalani oleh mereka tidak lepas dari kegiatan gotong royong, saling menghargai satu sama lain, saling berbagi dan hidup rukun atau dalam istilah Sunda “akur”. Akur berarti mufakat, setuju, seiya-sekata, dan bersatu hati. Perwujudan kerukunan dan toleransi beragama dapat direalisasikan dengan dua cara. Pertama, bahwa setiap penganut agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan menghormati segala hak asasi pengikutnya. Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat beragama menekankan sikap saling mengerti, menghormati, dan menghargai (Sarjuni dan Supadi, 2011: 57). Bentuk nyata sikap toleransi warga adat Sunda Wiwitan Kampung Pasir terhadap masyarakat muslim terlihat jelas dalam tiga aspek kehidupan, yaitu: dalam hal peribadatan, dalam hal sosial, dan dalam hal kebudayaan. Warga adat Sunda Wiwitan tidak pernah membedakan keyakinan muslim dengan keyakinan mereka, karena mereka yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi jalan untuk mencapai tujuannya yang berbeda. Bahkan banyak dari warga adat Sunda Wiwitan memiliki kerabat yang beragama muslim. Oleh sebab itu, mereka sangat menjaga sikap toleransi agar terus selalu tertanam kuat. Sikap toleransi yang tercermin dalam hal peribadatan adalah saling menghargai dalam hal ibadah. Misalnya ketika bulan Ramadan tiba, anak-anak warga adat Sunda Wiwitan sudah ditanamkan untuk menghargai umat muslim yang berpuasa.

“Anak-anak warga adat sangat senang menyambut bulan Ramadan, mereka sudah mengerti bahwa mereka tidak boleh makan dan minum di depan umat muslim.”

Wawancara dengan Entis Sutisna, 31 Maret 2018

Hal tersebut menjadi bentuk nyata bahwa sikap toleransi warga adat sudah tertanam sejak kecil. Tempat ibadah umat muslim juga berada di antara warga adat Sunda Wiwitan, bahkan menurut Ijin, selaku warga muslim di Kampung pasir, dalam pembangunan masjid warga adat Sunda Wiwitan memberikan bantuan berupa materi. Dalam menyambut hari raya Idul Fitri, banyak warga adat yang ikut bersilaturahami untuk meminta maaf kepada

Page 76: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 65

warga muslim, berkumpul ditengah keluarga yang beragama Islam dan ikut serta dalam membantu persiapan serta ikut merayakannya. Dalam hal sosial juga sangat terlihat jelas sikap toleransinya, di mana warga adat Sunda Wiwitan cenderung selalu membantu masyarakat sekitar yang beragama muslim dalam hal apapun. Contoh nyata dalam hal sosial tersebut, yaitu warga adat Sunda Wiwitan membantu proses pemakaman umat muslim. Warga adat ikut mengurus sampai mengantar ke pemakamannya. Toleransi juga sangat terlihat jelas di sini, bahwa warga adat turut berduka dengan meninggalnya salah satu warga muslim dengan cara mengundur atau menunda acara yang sedang mereka lakukan dalam proses penyambutan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang sedang melakukan turun lapangan ke Kampung Pasir Desa Cintakarya. Dalam hal kebudayaan, antara warga adat dengan umat muslim tidak ada perbedaan karena mereka memiliki kebudayaan atau kesenian yang sama. Adanya sifat adat kesundaan yang tidak dapat dihilangkan karena adanya dasar cara-ciri bangsa dan cara-ciri manusia. Mereka mempunyai perasaan satu, yaitu sama-sama berasal dari tanah Sunda dan sudah menjadi kewajiban mereka untuk bisa melestarikan kebudayaan yang dimiliki oleh mereka. Seperti halnya dalam acara tahunan, warga adat selalu membantu dan berkontribusi untuk memeriahkan acara tahuanan mereka seperti tahun baru, HUT RI, dan lain-lain dengan cara ikut menampilkan kesenian mereka.

Skema 6.3 Toleransi Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Hal lain juga dirasakan oleh peneliti. Walaupun tuan rumah adalah penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, tetapi mereka menerima peneliti dengan tangan terbuka dan memberi kesempatan yang luas kepada peneliti untuk melaksanakan perintah agama. Mereka tidak memandang perbedaan keyakinan sebagai suatu masalah yang dapat memecah belah, karena bagi mereka kebersamaan dalam menjalani kehidupan adalah hal yang utama.

Page 77: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

66 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Meskipun warga adat Sunda Wiwitan menjadi kelompok minoritas di Kampung Pasir, tetapi tidak pernah ada konflik yang terjadi antara warga adat dengan umat muslim di daerah tersebut. Warga adat Sunda Wiwitan selalu mengajarkan suatu pandangan positif bahkan negatif harus dibalas dengan kebaikan.

Gambar 6.2 Sesepuh Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Penutup Toleransi adalah sikap saling menghargai antarberbagai perbedaan, baik budaya, suku, ras, bahkan keyakinan. Toleransi yang tercermin antara masyarakat sekitar dengan warga adat Sunda Wiwitan yang ada di Kampung Pasir sangat terlihat jelas dengan adanya sikap gotong royong dan saling menghargai perbedaan keyakinan yang dianut oleh masing-masing individu. Perbedaan keyakinan yang terjadi di tengah masyarakat tidak menjadikan mereka harus pecah dan saling bermusuhan, karena bagi mereka semuanya adalah saudara, semuanya beragama hanya caranya yang berbeda. Adanya sikap toleransi menghasilkan sebuah dampak yang positif antara masyarakat muslim dengan warga adat Sunda Wiwitan. Adanya toleransi dapat menjadi alat untuk hidup tenteram berdampingan antara masyarakat muslim dengan warga adat Sunda Wiwitan. Sikap toleransi tersebut menciptakan sebuah lingkungan yang harmonis dan terjalinnya rasa kekeluargaan yang sangat erat, sehingga tidak menimbulkan konflik yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Masyarakat Kampung Pasir di Desa Cintakarya merupakan masyarakat multikultural dengan keanekaragaman agama. Sebagian penduduknya beragama Islam, sebagian lagi penganut ajaran Sunda Wiwitan. Berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, keberagaman agama dalam masyarakat Kampung

Page 78: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 67

Pasir tidak pernah menimbulkan konflik yang berarti. Isu SARA yang menjadi penyulut api perpecahan tidak pernah terlihat. Masyarakat hidup dengan sikap toleransi yang mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan. Masyarakat saling menghargai satu sama lain. Puncak dari kebersamaan ini adalah perdamaian. Perdamaian yang terjadi merupakan hasil dari pola adaptasi masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan. Masyarakat selalu bersikap konformis sehingga perilaku menyimpang dan tindakan kriminal menjadi sangat rendah.

Skema 6.4 Toleransi Sosial di Kampung Pasir

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Page 79: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

68 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Bab 7 Advokasi Hak Sipil Penghayat Sunda Wiwitan untuk Memperoleh Pengakuan dari Negara

Pengantar

Indonesia merupakan negara merdeka di mana masyarakatnya memiliki hak untuk memeluk serta menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, yang tertulis bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan. Negara telah meresmikan dan mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu (Hidayat dan Marasabessy, 2017: 1). Indonesia sebagai negara yang multibudaya dan multikultural membuat bangsa ini memiliki kebudayaan yang beranekaragam, kebudayaannya ini mencakup unsur-unsur religi yang dipercaya pada masyarakat tertentu, salah satunya yaitu Sunda Wiwitan. Maka, dalam penelitian kali ini mengangkat masyarakat daerah Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut sebagai penghayat Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang Sunda terdahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai kepercayaan Sunda asli atau kepercayaan masyarakat asli sunda (Dixson, 2000: 203). Pada masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Garut mereka meyakini bahwa Sunda bukanlah sebagai sebuah etnis melainkan sebuah ajaran. Mereka mempertahankan kepercayaan asli sunda ini dengan istilah Tri Tangtu yaitu menjaga hubungan dengan Tuhan, alam, dan juga manusia. Sunda Wiwitan juga dapat dikatakan sebagai cagar budaya, bukan aliran agama, tetapi bisa diidentifikasikan sebagai penghayat religi-budaya setempat. Semboyan mereka, yaitu: “semua umat Tuhan, sepengertian tapi bukan sepengakuan”, artinya sekalipun tidak sepengakuan tetapi bisa sepengertian, walaupun tidak sama keyakinan tetapi dapat saling mengerti. Oleh karena itu masyarakat penghayat Sunda Wiwitan ini tidak membedakan agama lain seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu bahkan non-agama sekalipun, karena masyarakat adat selain merupakan religi budaya juga lebih mendasarkan diri pada masalah kemanusiaan (Kunto dan Prajarto, 2005: 24). Walaupun penghayat Sunda Wiwitan telah muncul sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada tahun 1840, keberadaan mereka masih belum diakui pemerintah hingga saat ini sebagai suatu komunitas religi yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, mereka masih terdiskriminasi, yang artinya bahwa mereka masih mendapatkan perbedaan perlakuan yang membuat mereka menjadi terpinggirkan (Fulthioni, 2009: 27). Berbagai upaya advokasi telah

Page 80: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 69

dilakukan untuk mendapat pengakuan dari negara, seperti mengajukan uji materi Pasal 61 Ayat 1 dan 2, serta Pasal 64 Ayat 1 dan 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) untuk memperjuangkan kolom agama dalam Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk agardapat diakui (International Law Making, 2013: 128). Fokus penelitian kali ini yaitu untuk menggali informasi lebih dalam mengenai bagaimana proses adminstratif hak sipil penghayat Sunda Wiwitan di Desa Cintakarya, Kampung Pasir, Garut, dan upaya-upaya yang dilakukan oleh penghayat Sunda Wiwitan untuk mendapat pengakuan dari negara, khususnya hak-hak administratif. Hak-hak yang belum terpenuhi tersebut membuat masyarakat komunitas Sunda Wiwitan merasa terdiskriminasi oleh pemerintah. Mereka sebagai warga negara Indonesia telah melaksanakan kewajibannya sebagai wargan negara Indonesia tetapi belum memperoleh haknya yang sesuai.

Profil Warga Adat Sunda Wiwitan Warga Adat Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan pada sejumlah masyarakat Sunda yang tersebar di daerah Jawa Barat, terutama yang ada pada daerah Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Garut. Kepercayaan Warga Adat Sunda Wiwitan ini sebenarnya bukan hanya terdapat pada daerah Garut saja, tetapi juga tersebar di Kuningan, Jawa Barat. Namun, di sini akan lebih fokus meneliti warga Adat Sunda Wiwitan yang ada pada daerah Kecamatan Samarang karena daerah ini sebagai salah satu tempat dilestarikannya dan masih terdapat kepercayaan tersebut. Mayoritas penduduk beragama Islam, tetpai terdapat agama Katolik serta penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, dan mereka saling menghormati sesama serta memelihara kerukunan. Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut memiliki luas wilayah yakni sebesar 173.095 hektar. Ditinjau dari geografisnya yang berada di wilayah timur kabupaten Garut, batas-batas yang ada meliputi: sebelah utara yaitu Desa Cintaasih; sebelah timur yakni Desa Kersamenak; sebelah selatan yaitu Desa Banjarsari; serta sebelah barat yakni Desa Sirnasari. Secara administratif terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun I yang mencakup: Kampung Ckamiri, Kampung Barujati, Kampung Cimanggah, Kampung Babakan Palah, dan Kampung Pasir; serta Dusun II yang mencakup: Kampung Pasir Tengah, Kampung Bariluk, Kampung Somong, Kampung Tunggeureung, Kampung Lamping, dan Kampung Saradan. Kedua dusun tersebut kemudian terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT. Dengan luas wilayah yang ada, adapun klasifikasi jarak dari kantor pemerintah kecamatan sejauh 2,5 km serta membutuhkan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sementara itu, jarak dari ibukota kabupaten sejauh 7 km dengan waktu tempuh selama kurang lebih 30 menit.

Page 81: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

70 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Cintakarya secara umum berupa dataran pada ketinggian 700 – 900 mdpl. Curah hujan rata-rata cukup tinggi mencapai 2,242 mm dengan jumlah hari hujan efektif antara 98 sampai 123 hari per tahun dengan suhu rata-rata 18 – 25°C. Dengan letak geografis desa yang cukup strategis, membuat perkembangan Desa Cintakarya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Persawahan seluas 120.352 hektar, pemukiman 40 hektar, perkebunan 5.010 hektar, kuburan seluas 2,5 hektar, pekarangan 29,5 hektar, perkantoran 0,812 hektar, dan prasarana umum lainnya sebesar 3,5 hektar (2016). Namun, seiring berjalannya waktu, dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Desa Cintakarya, proporsi lahan pertanian terus berkurang karena digantikan oleh laham pemukiman tempat tinggal. Penduduk Desa Cintakarya sampai dengan akhir bulan Desember tahun 2016 yaitu sebanyak 6.121 orang. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2015 sebesar 2%. Pertumbuhan pendudukan disebabkan karena adanya perkawinan dan pertumbuhan penduduk secara alamiah (kelahiran). Hampir 75% penduduk Desa Cintakarya yang sudah menikah dan dalam masa usia produktif mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, keadaan pemukiman di Desa Cintakarya semakin padat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman. Dari data Desa Cintakarya bidang kependudukan, laju pertumbuhan penduduk dapat terlihat yaitu dari jumlah kepala keluarga yang terdapat di beberapa RT pada tahun-tahun sebelumnya. Terdapat jumlah kepala keluarga rata-rata terdiri dari 1.599 KK, sedangkan pada tahun 2018, rata-rata jumlah KK di setiap RT di atas 60 KK yang berada di 2 Dusun, 6 RW dan 31 RT.

Tabel 7.1 Mata Pencaharian dan Angkatan Kerja Masyarakat Desa Cintakarya

No. Mata Pencaharian Jumlah Angkatan Kerja

1 Pegawai Negeri Sipil 16 orang

2 TNI dan Polri 1 orang

3 Petani dan Buruh Tani 836 orang

4 Pedagang 177 orang

5 Peternak 78 orang

6 Wiraswasta 60 orang

7 Karyawan Swasta 32 orang

8 TKW/TKI 9 orang

Sumber: Data Desa Cintakarya

Page 82: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 71

Dinamika Adminstrasi Kependudukan Sipil Warga Adat Sunda Wiwitan

Setelah membahas profil dari Warga Adat Sunda Wiwitan, pembahasan selanjutnya ialah terkait dengan dinamika administrasi kependudukan sipil yang meliputi KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, buku nikah, ijazah, dan SKHUN. Seluruh Warga Adat Sunda Wiwitan yang tersebar di Indonesia ialah wujud kepercayaan yang dianut oleh para penghayat dari leluhur terdahulu. Wujud kepercayaan ini pun tidak hanya Sunda Wiwitan saja, tetapi juga ada Kejawen, Parmalim, dan sebagainya yang berupaya untuk mendapatkan pengakuan administratif dari negara. Kejawen merupakan kepercayaan yang telah dianut oleh masyarakat Jawa sejak lama, di mana reguitas orang Jawa bersifat vertikal diukur dari pemahaman dan tindakan konkretnya sebagai hamba Tuhan. Simbol simplifikasi kebahasaan semacam ngawula (taat kepada Tuhan) dan mung titah sawantah (hanya hamba sahaya), dan tepa slira (memahami orang lain) menjadi karakter asli sikap religius orang Jawa (Mulyana, 2006: 4). Sementara Parmalim adalah keyakinan yang dianut oleh sebagian komunitas etnis Batak. Pemeluk agama Parmalim bersikeras dengan keyakinan yang kukuh bahwa Malim adalah sebuah agama yang diyakini sebagai kepercayaan yang turun-temurun dari keturunan pertama darah Batak, menyebut diri sebagai Ugamo Malim yang artinya agama Malim (Situmorang, 2017; 3). Walaupun para penghayat merasa bahwa mereka belum mendapat perlakuan yang wajar atau mendapat tempat sejajar dengan agama yang diakui di Indonesia, tetapi perkembangan dan eksistensinya tetap ada sampai saat ini. Persoalan dalam mendapatkan hak tersebut berbeda-beda di setiap daerahnya, baik yang terjadi pada penghayat Kejawen, Parmalim, maupun Sunda Wiwitan. Seperti yang dialami oleh Warga Adat Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya dalam mengupayakan mendapat status kepercayaan di kolom agama. Warga Adat Sunda Wiwitan tersebut mengakui bahwa mengalami kesulitan dalam mendapatkan status kepercayaan, walaupun ada beberapa masyarakat yang telah memiliki KTP dengan status agama kepercayaan.

Gambar 7.1 Kartu Tanda Penduduk (KTP) Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Page 83: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

72 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Namun, dalam mendapatkannya pun tidak merata sejak tahun 2015. Masih terdapat warga adat yang kolom agama di KTP berisi tanda strip (—). Adminduk Capil memberikan alasan bahwa “kepercayaan” tidak masuk ke daftar agama yang diakui di Indonesia.

“Kalo di RT/RW udah ngisi kepercayaan, tapi nanti di kecamatan dikasih tahu kalo kepercayaan nggak masuk ke data yang ada. Jadinya strip atau malah jadi agama lain misalnya Katolik.”

Wawancara dengan Miming Supartika (46), 31 Maret 2018

Kolom agama yang tertera pada kartu keluarga pun sama halnya dengan KTP. Warga Adat Sunda Wiwitan belum mendapat pemenuhan hak-hak administratif tersebut. Berdasarkan sumber yang ditemukan, terdapat ketidakmerataan kolom agama yang berisi kepercayaan dan tanda strip.

“Waktu ditanya, bilangnya kolom agama buat kepercayaan nggak muat.”

Wawancara dengan Miming Supartika (46), 31 Maret 2018

Tabel 7.2

Data Kartu Keluarga Warga Adat Sunda Wiwitan

Telah terdapat keterangan

“kepercayaan” pada kolom agama

sejak 2012

Belum terdapat keterangan atau

tanda strip pada kolom agama dari

2016

RT/RW 01/04 = 18 KK RT/RW 01/04 = 8 KK

RT/RW 02/04 = 2 KK RT/RW 02/04 = 7 KK

RT/RW 04/04 = 10 KK RT/RW 04/04 = 12 KK

Total Kepala Keluarga = 30 Total Kepala Keluarga = 27

Total Keseluruhan Kepala Keluarga = 57

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Kedua hal tersebut membuktikan sebagai tindakan diskriminasi terhadap warga adat Sunda Wiwitan dengan agama-agama resmi atau yang diakui di Indonesia. Dengan adanya diskriminasi tersebut, maka sulit pula bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia, terutama dari hak sipil. Adanya diskriminasi dalam kolom agama di KTP membuat warga adat Sunda Wiwitan sulit dalam mengurus pernikahan di kantor sipil. Kelengkapan surat-surat mereka ditolak oleh kantor sipil karena tidak tertulisnya agama pada KTP mereka. Namun, penolakan kantor sipil tidak menyurutkan niat warga adat Sunda Wiwitan untuk menikah. Mereka tetap menikah tanpa ada surat keterangan dari kantor sipil. Pada akhirnya mereka menikah secara adat Sunda Wiwitan yang sudah ditulis pada berita

Page 84: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 73

acara. Pernikahan mereka tidak dihadiri oleh penghulu, tetapi salah satu pengurus kantor sipil, yang juga merangkap sebagai pupuhu adat Sunda Wiwitan turut menghadiri acara pernikahan mereka. Hingga saat ini, penolakan berkas-berkas pernikahan oleh Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan masih terus berlanjut. Oleh sebab itu, warga adat Sunda Wiwitan yang sudah menikah tidak memiliki buku atau surat nikah.

Gambar 7.2 Berita Acara Pernikahan Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Dokumentasi Pribadi (2018)

Advokasi Warga Adat Sunda Wiwitan Diskriminasi yang dirasakan pada warga adat Sunda Wiwitan yang terletak di daerah Garut ini mengenai permasalahan berbagai masalah administratif kewarganegaraan. Hal ini menjadi suatu polemik yang meresahkan. Warga adat Sunda Wiwitan sebagai warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan KTP, kartu keluarga, dan surat nikah. Berdasarkan keresahan yang dirasakan bersama oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan, mereka mencoba bergerak untuk berjuang memperoleh haknya sebagai warga negara. Langkah pengadvokasian yang dilakukan meliputi beberapa hal. Pertama, kepala keluarga dari setiap keluarga adat Sunda Wiwitan menuju Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil wilayah setempat untuk menanyakan perihal mengapa status di kolom KTP dan kartu keluarga yang hanya ditulis dengan tanda strip (—). Masyarakat adat Sunda Wiwitan kemudian meminta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tersebut untuk mengubah kolom agama mereka berdasarkan status kepercayaan yang mereka anut. Kedua, langkah yang ditempuh masyarakat adat Sunda Wiwitan yaitu dengan membawa keresahan bersama ini ke pusat penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan.

Page 85: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

74 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Mereka berdiskusi dan berkonsolidasi mengenai berbagai permasalahan diskriminasi yang terjadi perihal masalah administratif yang dirasakan. Ketiga, masyarakat adat sunda wiwitan yang diwakilkan oleh Sri Dewi Kanti yang merupakan adik dari Pangeran Gumirat Barna Alam melakukan pengadvokasian menuju Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara agar memperoleh pengakuan dari negara pada kolom KTP maupun kartu keluarga. Selain itu, Sri Dewi Kanti juga menjadi juru bicara atau perwakilan warga Sunda Wiwitan dan bergabung dengan kelompok-kelompok penghayat kepercayaan. Perjuangan masyarakat adat Sunda Wiwitan dalam memperjuangkan haknya memperoleh bantuan pengadvokasian dari organisasi kemasyarakatan salah satunya seperti Ikatan Mahasiswa Angkatan Muda Siliwangi (IMA-IMS). Organisasi ini merupakan organisasi kepemudaan berbasis kemahasiswaan sebagai organisasi kader serta perjuangan politik berbasis budaya intelektual. IMA-IMS ini memiliki visi utama menjaga adat dan masyarakat sunda. Serta salah satu misi IMA-IMS adalah memperjuangkan masyarakat adat, termasuk aksi yang dilakukan untuk masyarakat adat di Cigugur sebagai salah satu misi yang dijalankan oleh organisasi IMA-IMS dan sebagai bentuk pengadvokasian yang dilakukan oleh IMA-IMS untuk bersama-sama memperjuangkan hak masyarakat adat Sunda Wiwitan (www.ams.or.id). IMA-AMS sebagai organisasi perjuangan berbasis budaya untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat adat Sunda Wiwitan melakukan konsolidasi massa aksi bersama 36 organisasi kemasyarakatan yang tergabung didalam forum IMAH GEDE, di mana IMAH GEDE merupakan wadah perhimpunan berbagai organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, lembaga swadaya masyarakat yang merespons permasalahan-permasalahan di Jawa Barat khususnya yang berkaitan dengan adat dan budaya Sunda. Langkah pertama yang dilakukan oleh IMA-AMS yang dibantu oleh forum IMAH GEDE, yaitu mendorong advokasi dengan melakukan audiensi bersama pemerintah daerah, terutama lembaga legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat. Adapun pemuda-pemudi yang tergabung dalam IMAH GEDE memiliki misi yang sama, yakni memperjuangkan masyarakat adat. Setelah berusaha mencoba melakukan audiensi, tidak ada satupun anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang menghadiri permohonan dari IMA-IMS dan forum IMAH GEDE. Kemudian mereka melakukan demonstrasi massa besar-besaran di pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat di Bandung (bedaitubisa.com). Negara kurang konsisten dalam memberikan hak masyarakat Sunda di Jawa Barat. Masyarakat adat semakin termarginalkan bahkan oleh negaranya sendiri yang seharusnya melindungi hak mereka. Hingga saat ini, belum ada keputusan yang jelas mengenai kejelasan perihal hak sipil. Mereka masih menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini, regulasi pemerintah belum merata, masih banyak warga adat Sunda Wiwitan yang belum mendapatkan hak mereka sebagai WNI.

Page 86: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut 75

Selain itu, warga adat Sunda Wiwitan juga terus memperjuangkan haknya ketika terjadi kesalahan dalam penulisan pada kolom agama. Seperti misalnya, mereka sudah menuliskan kepercayaan, tetapi yang diterima bisa beragam agama lainnya. Di sini, mereka tetap memperjuangkannya dengan cara terus meminta untuk diperbaiki kembali perihal kesalahan penulisan kolom agama oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dalam hal ini, masyarakat adat Sunda Wiwitan melakukan pengadvokasian tidak hanya bagi penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, tetapi bagi para penghayat kepercayaan lain yang ada di Indonesia. Warga adat Sunda Wiwitan masih sangat berharap atas kebijakan pemerintah mengenai hak mereka sebagai warga negara. Dengan segala advokasi yang telah dilakukan, mereka masih berharap mendapatkan hak sipil dan pengakuan sebagai sebagai Warga Negara Indonesia.

Skema 7.1 Advoasi Warga Adat Sunda Wiwitan

Sumber: Analisis Peneliti (2018)

Penutup Di Indonesia masih terdapat keberadaan beberapa penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mengacu pada keyakinan leluhur terdahulu yang dilestarikan hingga saat ini serta ajaran dan arahan hidup dari para tokoh pendiri kepercayaan tersebut. Setiap kepercayaan yang dianut oleh penghayat sebenarnya adalah keberagaman dari setiap daerah yang juga berupaya dan menginginkan keberhasilan atas pengakuan dari negara khususnya hal administratif. Termasuk juga warga adat Sunda Wiwitan di dalamnya. Sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 Ayat 1 bahwa semua warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jika mengacu pada pasal tersebut, seharusnya keberadaan masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya. Tidak lantas cenderung teralienasi secara kehidupan sosial, terutama

Administrasi Kependudukan Warga Adat Sunda Wiwitan

Terdiskriminasi dengan UU No. 23 Thn. 2006 Pasal 61 dan UU No. 24 Thn. 2013 Pasal 64

Revisi ke Mahkamah Konstitusi

Page 87: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

76 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

diskriminasi yang terjadi dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan. Maka dalam hal ini, pemerintah diharapkan bisa berlaku lebih arif dan terbuka dalam melihat upaya-upaya mereka dalam memperjuangkan penyetaraan hak-hak sipilnya. Upaya yang sudah dilakukan oleh warga adat Sunda Wiwitan sampai dengan saat ini belum dapat dikatakan berhasil, tetapi sudah ada respons yang muncul dari pemerintah. Seperti misalnya, pihak administratif memberikan satu agama induk yang ada di Indonesia (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lainnya) agar tetap mendapatkan hak administratif sebagai Warga Negara Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut tidak ditanggapi oleh warga adat Sunda Wiwitan. Mereka justru melakukan protes dan meminta pembenaran dalam kolom agama, tetapi yang terjadi setelahnya sama saja. Isi dalam kolom agama tetap salah satu dari agama yang diakui di Indonesia, bukan sesuai dengan kepercayaan mereka. Menurut warga adat Sunda Wiwitan, keutuhan tradisi jauh lebih penting dari sekadar kebutuhan administrasi, walaupun sampai saat ini masih terjadi diskriminasi sistemik terhadap komunitas kaum penghayat. Oleh sebab itu, hingga hari ini warga adat Sunda Wiwitan terus memperjuangkan hak-haknya, khususnya hak administratif sebagai Warga Negara Indonesia.

Page 88: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Sunda Wiwitan Garut 77

DAFTAR PUSTAKA Achdiani, Yani. 2012 “Sosialisasi dan Enkulturasi Tradisi Penganut

Madraisme dalam Keluarga di Kampung Cireundeu, Kota Cimahi” dalam Indonesia Journal of Dialetics UNPAD Bandung.

Apriyanto. 2008. “Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian Lingkungan Hidup”. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Cowarld, Harold. 1992. Pluralisme Agama; Tantangan Bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius.

Creswell, John W. 2014. Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosif, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Daulay, Zainuddin, dkk. 2003. Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Deprtemen Agama.

Dixson, Roger L. 2000. “Sejarah Suku Sunda” dalam Jurnal Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol. 1, No. 2.

Eliana, Rizki. 2013. “Pelestarian Bahan Pustaka Langka Melalui Proses Reproduksi Foto di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia”. Semarang: Universitas Diponegoro. (Skripsi)

Elis, Suryani. 2010. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bandung: Ghalia Indonesia.

Fajar, M. Samson. 2010. Menjadi Pemuda Pembangun Peradaban. Jakarta: Quanta.

Farihah, Irzum dan Afina Izzati. 2016. “Pendidikan Kaum Minoritas” dalam Jurnal Pendidikan Penelitian Islam STAIN Kudus, Vol. 11 No. 1.

Fathi Royyani, Muhammad. 2008. “Upacara Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat: Tradisi Sebagai Basis Pelestarian Lingkungan” dalam Herbarium Bogoriense, LIPI-399-415. Pusat Penelitian Biologi Bogor.

Fuadz, Masykur. 2014. Eksistensi Sunda Wiwitan. Surabaya: Universitas Airlangga.

Fulthioni. 2009. Memahami Diskriminasi; Buku Saku untuk Kebebasan Beragama. Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).

Hamzah, Iri. 2012. “Pelaksanaan Pernikahan Adat Suku Anak dalam Menurut Hukum Adat dan UU No. 1 tahun 1974 (Studi Kasus di Taman Nasional Bukit 12 Jambi)”. Yogyakarta: Perbandingan Madzab UIN Sunan Kalijaga. (Skripsi)

Hanifah, Nurdina. 2016. Sosiologi Pendidikan. Sumedang: Sumedang Press.

Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antaragama. Surabaya: Bina Ilmu.

Page 89: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

78 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga.

Hermawati, Tanti. 2007. “Budaya Jawa dan dan Kesetaraan Gender” dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1. Halaman 18-24.

Hidayat, Rakhmat dan Fauzan Marasabessy (ed.). 2017. Perspektif

Relijiusitas dan Gerakan Sosial Komunitas ADS Cigugur, Kuningan. Jakarta: Labsos UNJ.

Hussein, Teuku Cemal. 1992. “Posisi Kelompok Minoritas Magribi dalam Masyarakat Prancis Pada Dasawarsa 1980”. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. (Skripsi)

Indrawardana, Ira. 2014. “Berketuhanan dalam Persepktif Kepercayaan Sunda Wiwitan” dalam Jurnal Melintas, Vol. 30, No. 1.

International Law Making. 2013. “Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1, No. 1.

Kemenristekdikti. 2012. Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan. Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Koentjaraningrat. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

__________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kunto, Kurniawan dan Nunung Prajarto. 2005. “Hak Asasi Manusia di

Indonesia (Menuju Democratic Goverment)” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, No. 3.

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Cintakarya Tahun 2016. Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity, London: SAGE

Publication, Ltd. Manuaba, Putera. 1999. “Budaya Daerah dan Jati Diri Bangsa:

Pemberdayaan Cerita Rakyat dalam Memasuki Otonomi Daerah dan Globalisasi” dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, Vol. 12, No. 4. Halaman 57–66.

Marhumah, Ema. 2010. Konstruksi Sosial Gender di Pesantren: Studi Kuasa Kiai Atas Wacana Perempuan. Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang.

Maulana, Mumin. 2013. “Upacara Daur Hidup dalam Pernikahan Adat Sunda” dalam Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA). Faculty of Ushuluddin Syarif Hidayatullah Islamic State University, Jakarta, Vol. 13, No. 5. Halaman 626.

Mulyana. 2006. “Spiritual Jawa: Meraba Dimensi dan Pergaulatan Religuitas Orang Jawa dalam Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. 1, No. 2.

Narottama, Naraya, dkk. 2017. “Proses Pembentukan Identitas Budaya Nasional dan Promosi Pariwisata Indonesia di Eropa (Studi Kasus Diaspora Bali di Prancis)” dalam Jurnal Kepariwisataan dan Hosipitalitas, Vol. 1, No. 2.

Natsir, M. 1988. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah. Nurazizah, Novi. 2016. “Etika Sunda (Studi Naskah Sanghyang Karesian)”.

Semarang: UIN Walisongo. (Skripsi)

Page 90: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Sunda Wiwitan Garut 79

Poerwadaminta, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Powell, Russell dan Steve Clarke. 2002. Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines.

Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: IPB Press.

Ruminiati. 2016. Sosio-Antropologi Pendidikan Suatu Kajian Multikultural. Malang: Gunung Samudera.

Sakti, Gita Tresna, dkk. 2012. “Komunikasi Instruksional Pengajar Dalam Membentuk Sikap Anggota Untuk Melestarikan Aksara Sunda Sebagai Budaya Sunda” dalam Jurnal Mahasiswa Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 1.

Samho, Bartolomeus. dan Yanusari Oscar. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-tantanga Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Sarjuni dan Didiek Ahmad Supadie. 2011. Pengantar Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Satries, Wahyu Ishardino. 2009. “Peran Serta Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat” dalam Jurnal Madani Edisi I. Halaman 89–93.

Schaefer, Richad T. 2012. Sosiologi. Jakarta: Salemba Humanika. Situmorang, Nelita. 2017. “Eksistensi Agama Lokal Parmalim: Studi Kasus

di Nomonatif Penghayat Nomor 35 Desa Air Kulium Mandau Bengkalis” dalam Jom FISIP, Vol. 4, No.1.

Soekanto, Soerjono. 2002. Teori Peranan. Jakarta: Bumi Aksara. Suherni. 2013. Etnisitas, Kreativitas, dan Identitas dalam Wacana Seni

Budaya Bangsa. Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.

Antropologi Indonesia 69. Syafi’ie, M dan Nova Umiyati. 2012. To Fulfill and To Protect: Membaca

Kasus-Kasus Aktual Tentang Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

Waluyajati, Roro. 2017. “Agama Djawa Sunda” dalam Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya 1.

Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender Dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Winarno. 2011. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi (Konsep dan Teori). Bandung. Refika Aditama.

Page 91: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

80 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

Referensi dari Internet Sejarah Angkatan Muda Siliwangi (www.ams.or.id). Diakses pada tanggal 3 Juni 2018 pukul 17.10 WIB. Perempuan dan Upaya Advokasi Sunda Wiwitan (bedaitubiasa.com).

Diakses pada tanggal 3 Juni 2018 pukul 15.15 WIB.

Page 92: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Sunda Wiwitan Garut 81

DAFTAR KONTRIBUTOR

BAB KONTRIBUTOR

Bab 1 Antara Identitas dan Jati Diri Bangsa: Upaya Pelestarian Seni Budaya

Firda Nur Aisah Ida Ayu Shinta Indah Permata Muhammad Ilham Adi Wijaya

Bab 2 Merawat Budaya dan Tradisi Sunda di Taman Atikan

Dini Rachmania Miftahul Janah Nadya Aulia Arma Ulfah Amalia

Bab 3 Adat Istiadat Pernikahan Warga Adat Karuhun Sunda Wiwitan Kampung Pasir, Garut

Abad Tri Budiman Jasmin Janati Puspa Siti Rahmawati

Bab 4 Peran Nonoman dalam Pelestarian Kearifan Lokal Kepercayaan Sunda Wiwitan

Alda Putri Arisani Inayah Ramadhanti Indana Zulfa

Bab 5 Kiprah Perempuan Sunda Wiwitan Kampung Pasir

Khairatun Nikmah Mutiara Imami Rila Sari Siti Rodiyah

Bab 6 Toleransi Sosial di Tengah Keberagaman Masyarakat

Detya Rohmatika Kusuma Winda Oktavia Refni Maulani Andriyani Billy Yulis Mayor

Bab 7 Advokasi Hak Sipil Penghayat Sunda Wiwitan untuk Memperoleh Pengakuan dari Negara

Heni Puspasari Sekar Sari Pramesthi Wahyu Linda

Page 93: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

82 Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Garut

BIODATA EDITOR

Rakhmat Hidayat adalah dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Dia mendapatkan gelar PhD. dalam bidang Sosiologi Pendidikan dari Universite Lumeiere Lyon 2, Prancis (2014). Pernah menjadi peneliti doktoral di UMR Triangle-Institut Français de l’Éducation (IFE), Lyon, Prancis. IFE adalah lembaga penelitian yang fokus pada kajian pendidikan dan berada dalam jaringan Ecole Normale Superieur (ENS) Lyon, Prancis. Pernah

menjadi research fellow di Universitat Leipzig, Jerman pada bulan Mei – Juni 2015 dengan sponsor DAAD dalam program Exploring Legal Cultures (ELC). Pada bulan Mei 2016 pernah menjadi guest lecturer di Universitat Leipzig, Jerman. Dia menjadi editor buku Prof. Dr. Muchlis R. Ludin yang berjudul Mempertegas Politik Pendidikan, Menyongsong Visi Baru Universitas (2008) dan Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi Kebangsaan (2008). Penulis juga menjadi editor buku Nurhasan Zaidi berjudul Dakwah, Politik, dan Kebangsaan (2009). Buku yang ditulisnya yaitu: Pengantar Sosiologi Kurikulum (2011, RajaGrafindo Persada), Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan, dan Pemikiran (2013, RajaGrafindo Persada), dan Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim (2014, RajaGrafindo Persada). Ia dapat dihubungi melalui surel berikut: [email protected].

Ireneus Mario Muljadi, lahir di Jakarta, 28 Juni 1997. Perjalanan pendidikannya diawali dari jenjang Pendidikan Dasar di SD Santa Theresia Depok (2003–2009), Pendidikan Menengah Pertama di SMP Desa Putera Jakarta (2009–2012), dan Pendidikan Menengah Atas di SMA Kolese Gonzaga Jakarta (2012–2015). Saat ini menjadi mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta. Prestasi yang pernah diraih

antara lain: Juara II Lomba Mengarang Memperingati Hari Kartini di SD Santa Theresia (2007), dan Juara III Siswa Berprestasi SMP Desa Putera (2012). Ia juga pernah mewakili SMP Desa Putera dalam mengikuti Olimpiade Matematika yang diselenggarakan MGMP Matematika Jakarta Selatan selama 3 kali berturut-turut (2009–2011). Selama bersekolah di SMA Kolese Gonzaga pernah mendapat predikat cumlaude sebanyak 4 kali. Pada tahun 2015 ia menerima penghargaan Art Award dari SMA Kolese Gonzaga atas kontribusinya menjadi pemain dan sutradara teater Kolese Gonzaga.

Karya-karya penelitian yang pernah dibuat selama bersekolah di SMA Kolese Gonzaga di antaranya: Pemberian Tugas Kelompok Kaitannya dengan Kreativitas Siswa Kelas XII SMA Gonzaga Jakarta (2014), dan Tingkat Pengetahuan Siswa Kelas XII SMA Gonzaga Mengenai Ejaan yang Disempurnakan Serta Penggunaan Kata Baku dalam Bahasa Indonesia (2014). Sementara itu, penelitian yang pernah dibuat selama menjadi mahasiswa

Page 94: Merawat Tradisi dan Budaya Sunda Wiwitan di Kampung Pasir

Sunda Wiwitan Garut 83

Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, baik secara individual maupun berkelompok, di antaranya:

1. Lokasi Industri Sebagai Tolak Ukur Efisiensi Kerja Buruh: Studi Kasus di Pabrik Tahu AS, Limo, Depok, Jawa Barat (berkelompok, 2016);

2. Pengaruh Berorganisasi Terhadap Proses Belajar Mahasiswa Program Studi Sosiologi Pembangunan UNJ Angkatan 2015 (berkelompok, 2017);

3. Dari Karakter ke Nilai-Nilai Kristiani: Studi Kasus di SMAK 7 BPK Penabur, Jakarta Timur (berkelompok, 2017);

4. Internalisasi Nilai Agama dan Adat di Masyarakat Adat Kampung Cireundeu, Jawa Barat (berkelompok, 2017);

5. Krisis Air Tanah di Jakarta Utara: Studi Kasus di Kelurahan Sunter Jaya (berkelompok, 2017);

6. Pergantian Kepemilikan Warung Makan Sebagai Sarana Pengembangan Kewirausahaan dalam Keluarga: Studi Kasus di Ayam Prothol Mas Nano dan Bude Wiwid Depok Utara (individual, 2017);

7. Transformasi Kedai Lenia Depok: Dari Warung Tenda Menjadi Kedai Kecil (individual, 2017);

8. Pilihan Rasional dalam Menentukan Jenjang Pendidikan Menengah Pemuda Desa: Studi Kasus di MAN 1 dan SMK Al-Musyawirin Desa Weru Kidul, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (berkelompok, 2017);

9. Perencanaan, Strategi, dan Evaluasi Pembelajaran Sosiologi di SMAN 36 Jakarta (berkelompok, 2017);

10. Perilaku Membuang Sampah Sebagai Patologi Sosial Masyarakat Desa Mandalakasih (berkelompok, 2018)

Selain aktif dalam melakukan penelitian, ia juga menjadi editor Bunga

Rampai Hasil Penelitian Kuantitatif: Pendidikan, Ekonomi, dan Gaya Hidup (2018), Kurikulum Berbasis Keagamaan dalam Perspektif Sosiologi (2018), dan Problem Ekologis Perkotaan: Studi Pada Kota DKI Jakarta dan Tangerang Selatan (2018). Ia dapat dihubungi melalui surel: [email protected].