menyoal rohingya

10
“Menyoal Rohingya” Oleh: Ichsan Maulana Menulis tentang Rohingya tak ubahnya tentang bagaimana kita merangkai aksara sisi kemanusiaan, pada setiap helaan nafas betapa berartinya sebuah nyawa, akan detak jantung yang saban waktu diburu kematian. Duka, pilu, lara, serta segenap kesengsaraan sudah menjadi menu utama dalam kehidupan mereka. Setidaknya begitulah sekapur sirih refleksi pahit-getirnya perjuangan etnis Rohingya. Prahara yang menyelimuti kehidupan mereka menjadi cambuk yang begitu perih menyayat rasa kemanusiaan itu sendiri. Betapa tidak, Rohingya menjadi asing di negeri sendiri, bahkan lebih dari itu, seolah-olah mereka adalah “hama” yang harus dibasmi, dan dianggap sebagai sesuatu yang akan menimbulkan masalah pada masa mendatang di negeri orang. Memilih bertahan di negara sendiri sama halnya dengan mensedekahkan hak hidup untuk dipaksa cabut oleh para pembasminya menuju kematian. Nekat mencari suaka ke negara orang dengan harapan ada uluran tangan untuk menyambut kedatangan mereka, tak ubahnya seperti mengundi nasib. Terlunta-lunta di lautan, tak jarang mati dalam petualangan menyelamatkan nyawa, bahkan

Upload: edward-culles-sanchez

Post on 01-Sep-2015

9 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ICM

TRANSCRIPT

Menyoal Rohingya

Oleh: Ichsan Maulana

Menulis tentang Rohingya tak ubahnya tentang bagaimana kita merangkai aksara sisi kemanusiaan, pada setiap helaan nafas betapa berartinya sebuah nyawa, akan detak jantung yang saban waktu diburu kematian. Duka, pilu, lara, serta segenap kesengsaraan sudah menjadi menu utama dalam kehidupan mereka. Setidaknya begitulah sekapur sirih refleksi pahit-getirnya perjuangan etnis Rohingya. Prahara yang menyelimuti kehidupan mereka menjadi cambuk yang begitu perih menyayat rasa kemanusiaan itu sendiri. Betapa tidak, Rohingya menjadi asing di negeri sendiri, bahkan lebih dari itu, seolah-olah mereka adalah hama yang harus dibasmi, dan dianggap sebagai sesuatu yang akan menimbulkan masalah pada masa mendatang di negeri orang. Memilih bertahan di negara sendiri sama halnya dengan mensedekahkan hak hidup untuk dipaksa cabut oleh para pembasminya menuju kematian. Nekat mencari suaka ke negara orang dengan harapan ada uluran tangan untuk menyambut kedatangan mereka, tak ubahnya seperti mengundi nasib. Terlunta-lunta di lautan, tak jarang mati dalam petualangan menyelamatkan nyawa, bahkan tragisnya mereka juga ditolak di negeri orang. Rohingya tidak sedang bercanda dengan takdir!.

Persoalan Rohingya tidaklah sederhana, banyak sisi yang bisa diurai. Mulai dari akar permasalahan utama, siapakah mereka sebenarnya? Kenapa tragedi Rohingya bisa terjadi? Siapa dalang dibalik semua ini? Apa tujuannya? Mengapa harus Rohingya? Kenapa negara Myanmar begitu sulit menerima keberadaan mereka, dan masih banyak pertanyaan lainnya yang jika diuraikan tentu begitu rumit dan kompleks. Namun pada kesempatan ini penulis mencoba melihat persoalan Rohingya dengan perspektif penulis sendiri.

Politik Identitas

Myanmar merupakan negara bekas jajahan Inggris. Struktur kepemerintahan Inggris mengharuskan semua kelompok masyarakat diatur dan dikatagorikan ke dalam etnik tertentu. Sebagaimana catatan Shamsul AB (2004). Dari catatan tersebut jelaslah bahwa dalam strata sosial masyarakat Myanmar yang diwarisi oleh Inggris mengenai sistem kepemerintahaannya, mereka mengenal sekaligus mengimplementasikan pembagian kelas sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tragisnya adalah etnis Rohingya menempati urutan terbawah, bahkan yang lebih memilukan lagi mereka tak dianggap. Rohingya dijustifikasi sebagai etnis haram, Rohingya bukan pribumi asli Myanmar. Mereka tidak diakui sebagai bagian dari negara Myanmar, bagi Myanmar, Rohingya berasal dari Banglades. Malangnya, Banglades pun tidak mau menerima keberadaan mereka.

Ketika junta militer Myanmar berkuasa ada indikasi mereka menkontruksikan sebuah pemahaman kepada rakyat Myanmar bahwasanya etnis Rohingya ialah alien yang asal muasalnya tak jelas, orang-orang Rohingya dianggap pendatang karena mereka masuk disaat kolonialisme Inggris berkuasa di Myanmar. Keberadaan mereka tak diharapkan, bahkan opini publik pun dibentuk sedemikian rupa agar kebencian itu tumbuh sehingga pihak-pihak yang memiliki maksud tertentu bisa dengan mudah memobilisasi masa untuk melawan, mengusir, bahkan membunuh Rohingya yang dianggap sebagai etnis haram. Di sisi lain, agamawan di Myanmar juga memiliki andil negatif yang begitu besar terhadap persoalan ini, dalam hal ini mereka adalah para biksu-biksu. Mereka menggunakan dalih-dalih agama untuk memprovokasi demi menggugat eksistensi Rohingya itu sendiri. Salah seorang tokoh paling populer dari para agamawan itu adalah Biksu Wiratu. Bahkan beberapa waktu yang lalu majalah TIME menjadikan foto Biksu Witaru sebagai cover majalah tersebut dengan tema Biksu Pembenci Muslim.

Jadi, dari ragam persoalan yang melatar belakangi terkait Rohingya, ada satu benang merah yang dapat dilihat. Etnis Rohingya adalah bentuk eksklus; tak mendapatkan tempat, sekaligus tak dianggap dalam sistem politik maupun ekonomi di Myanmar. Kemudian, adanya pergeseran problem daripada permasalahan sebenarnya. Yang pada awal mulanya dikarenakan perdebatan histori, kini sudah merembes pada isu agama. Betapa berlikunya takdir yang sedang dihadapi dan dilalui orang-orang Rohingya. Sudah luka, bernanah pula! Begitulah analogi sederhananya.

Penulis menaruh curiga; jangan-jangan ada sejarah yang sengaja coba dibelokkan oleh Myanmar, jika tak ingin dikatakan ingin menghilangkan. Terhadap keberadaan etnis Rohingya; jangan-jangan persoalan Rohingya sengaja digunakan oleh pihak di luar negara Myanmar sebagai corong untuk memecah-belahkan Islam di Asia Tenggara dengan pendekataan sentimen agama, kemanusian maupun sisi heroik. Dimana negara-negara ASEAN akan berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan sebagai penolong bagi orang-orang Rohingya guna mendapatkan citra positif di mata dunia. Tetapi membiarkan kita sesama negara Asia Tenggara untuk terus menumbuhkan sikap dendam terhadap agama tertentu. Ini dikontruksikan oleh pihak lain sebagai investasi di masa yang akan datang supaya negara-negara ASEAN berperang sesamanya dengan dasar utama konflik bertumpu pada sentimen agama yang dikaitkan dengan isu-isu strategis lainnya.

Dugaan tersebut bila direnungi dan dipikirkan masak-masak tentu bisa diterima dengan logis oleh pikiran kita. Pun begitu, paranoid yang terlalu jauh bukanlah perkara yang sehat pula, meski memang tidak ada salahnya jua. Deretan panjang hipotesa tersebut berguna baik bagi kita yang notabene adalah bagian dari bangsa Asia Tenggara untuk mewaspadai segala kemungkinan yang ada, karena dalam dunia ini selalu menghadirkan kejutan, terlebih jika kaitannya adalah urusan politik, tak jarang malapeta adalah kejutan yang acapkali mewarnai setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Audit Sosial

Kehadiran Rohingya di tanah serambi mekkah menghadirkan ragam tanggapan dan sambutan. Ada pihak dengan suka rela membantu, ada juga yang menyangsikan keberadaan mereka dengan segala kecurigaan. Masyarakat Aceh yang terkenal dengan sosial yang tinggi, suka berderma, apalagi menyangkut dengan sisi kemanusian terlebih Rohingya adalah muslim, sungguh telah membangkitkan rasa kepedulian yang tinggi. Lihatlah, dimana-mana dilakukan penggalangan dana, mulai dari masyarakat biasa, LSM, sampai mahasiswa. Hampir di setiap persimpangan lampu merah mahasiswa dari pagi hingga malam setia mengutip uluran tangan masyarakat Aceh. Langkah ini penting sebagai bentuk mobilisasi perpanjangan tangan masyarakat yang hendak membantu, karena tidak mungkin semua masyarakat terjun langsung ke kamp penampungan Rohingya. Pihak yang pro dengan segala rasa kemanusiaannya tanpa ada kepentingan apapun di dalamnya adalah pahlawan yang tak ternilai jasanya. Dengan adanya mereka, bantuan lebih mudah dan cepat disalurkan, masyarakat Aceh mendapatkan akses yang baik untuk membantu saudaranya entah dengan alasan atas nama sesama muslim ataupun atas nama kemanusiaan. Hal ini menjadi implikasi lain bahwa Aceh pernah terpuruk saat musibah Tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh beberapa tahun silam. Aceh saat itu menerima bantuan dari berbagai pihak, tanpa terkecuali. Maka, disisi lain momentum membantu Rohingya adalah wujud lain bangsa Aceh untuk berterimakasih kepada dunia, walaupun kali ini Rohingya mendapat giliran untuk hal tersebut.

Di lain pihak, ada sebahagian masyarakat Aceh yang tidak begitu setuju dengan tindakan Aceh menampung Rohingya dengan bantuan yang menurut mereka eksklusif, dimanjakan, serba dimudahkan. Mereka menyerang dengan alasan; bagaimana kita membantu orang lain sedangkan rakyat Aceh sendiri masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan! Kehadiran Rohingya hanya akan menambah beban baru! Kalau Rohingya, begitu cepat tanggap kita membantu sedangkan tetangga sendiri sepiring lauk makan saja jarang kita berikan!. Serta masih banyak tuduhan tendesius lainnya.

Pernyataan seperti itu tidaklah sepenuhnya salah jika kita mau melihat dari perspektif poros tengah; melihat dari dua sisi dengan komparasi yang proporsional. Namun hal tersebut keliru secara audit sosial. Mengapa? Karena tidak Apple to Apple. Tidak bisa kita bandingkan kondisi Rohingya dengan tingkat kemirisan yang menggeruk iba serta keimanan dalam rentan waktu yang amat terdesak dengan tingkat kemiskinan di sekeliling kita yang sudah kronis lagi kritis. Kemiskinan yang terjadi di Aceh banyak faktor penyebabnya, salah satunya adalah ketimpangan sosial dan pembangunan, kelalaian kita dalam mempraktekkan sikap serta sifat hablumminannas. Terkait hal ini penulis teringat dengan sebuah istilah dalam dunia kedokteran yang disebut dengan Triase. Triase merupakan sebuah pengelompokan korban/pasien berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, trauma atau efek yang ditimbulkan. Sebagai contoh kasus: jika terjadi kecelakaan massal, prioritas utamanya adalah korban yang paling berat lagi sekarat. Bukan pasien yang hanya luka sedikit, misal jari kelingkingnya luka. Tapi pasien dengan luka terparah! Misal kepalanya hancur, semua tulangnya patah, dsb.

Begitulah perumpamaan terhadap audit sosial yang mendera masyarakat Aceh hari ini terkait dengan Rohingya. Problem Rohingnya mendesak! Dan sedang dalam keadaan amat sekarat. Jadi tidak bijak bila dikomparasikan dengan keadaan sosial yang timpang di Aceh yang sudah berlangsung jauh-jauh hari. Sebenarnya bisa saja kita menyerang balik dengan dalih; kenapa ketika persoalan Rohingya ada, baru hal-hal seperti ini muncul dan diperdebatkan? Jangan-jangan ketimpangan dan realitas sosial di Aceh hanya alat bagi oknum-oknum tertentu untuk menyerang mereka yang tulus ikhlas mau membantu Rohingya!. Jadilah masyarakat Aceh yang bijak dengan nilai-nilai Acehisme yang utuh. Tidak mencampur adukkan setiap permasalahan yang ada. Ingat, kita pernah terpuruk dan dengan senang hati masyarakat dari berbagai penjuru dunia mengulurkan bantuan untuk kita, dan mereka tidak mempersalahkan hal-hal demikian. Kita patut belajar bagaimana berterimakasih yang baik dan benar.

Saran dan Solusi

Sebagai konklusinya, persoalan Rohingya adalah masalah kemanusian itu sendiri. Bagaimana memperlakukan manusia menjadi manusia seutuhnya. Jika persoalan Rohingya tidak tuntas, rakyat Aceh patut mengukur kembali sejauh mana kadar keimanannya. Bangsa ASEAN wajib bersatu serta mendesak Negara Myanmar untuk mengakui keabsahan etnis Rohingya. Bila perlu didesak dengan ancaman! Agar Myanmar tidak keras kepala. Kalaupun kemudian Myanmar tetap membangkang, opsi mendepak Negara Myanmar adalah tindakan yang baik juga tak berlebihan, mengingat butuh ketegasan bangsa ASEAN untuk mempercepat penyelesaian permasalahan ini. IOM dan UNHCR selaku pihak yang menanggani Rohingya seyogyanya mengupayakan pelayanan yang cepat dan maksimal guna mencari Negara ke tiga untuk menampung keberadaan Rohingya. Terakhir tak lupa kita berharap para nelayan mendapatkan aspresiasi lebih dari berbagai pihak, karena mereka adalah pahlawan pertama yang menyelamatkan Rohingya di lautan saat tidak ada kepastian antara hidup dan mati di tengah samudra. Serta apresiasi kepada segenap masyarakat Aceh yang telah sudi kiranya bahu-membahu membantu keberadaan etnis Rohingya selama mereka berada di tanah Serambi Mekkah, Aceh. Hanya kepada Allah lah kita memohon pinta semoga balada Rohingya cepat menemukan titik terangnya. Amin ya rabbal ala,in. Wallaualam.

Penulis adalah mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Syiah Kuala. Asal daerah: Lhokseumawe. Penikmat dan pemerhati isu-isu sosial.

Cp: 085276812132. Facebook: Ichsan Maulana Icm.

Email: [email protected]