artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
DESCRIPTION
“Untuk itu, ciptakan suatu kadensi (: peningkatan) akuntabilitas. Pemimpin yang sukses secara tertib dan berkala membuat pertanggunggugatan komitmen yang telah dibuatnya,” demikian kata Stephen R. Covey. Pertanggunggugatan (akuntabilitas) adalah disiplin atau roadmap keempat yang ditawarkan Covey bagi para pemimpin atau eksekutif dalam kondisi dunia yang sedang berubah cepat. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk mempertanggung gugat (obligation to answer) apa saja yang telah dicapai, termasuk pertanggungjawaban (responsibility) untuk menentukan tindakan (obligation to act) apa yang akan dilakukan. Demikian pula, pemerintahan daerah harus mempertanggung-gugatkan pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada mereka baik pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pertanggunggugatan pemerintah daerah menyangkut pelaksanaan desentralisasi politik, administratif dan fiskal. Melalui tulisan ini penulis ingin mengupas sedikit gambaran dinamika implementasi dan upaya yang dapat ditempuh dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.TRANSCRIPT
Menyoal Desentralisasi Fiskal: Mempertanyakan Akuntabilitas Keuangan Pemerintahan Daerah1
Suryanto
Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
ABSTRAK “Untuk itu, ciptakan suatu kadensi (: peningkatan) akuntabilitas. Pemimpin yang sukses secara tertib dan berkala membuat pertanggunggugatan komitmen yang telah dibuatnya,” demikian kata Stephen R. Covey. Pertanggunggugatan (akuntabilitas) adalah disiplin atau roadmap keempat yang ditawarkan Covey bagi para pemimpin atau eksekutif dalam kondisi dunia yang sedang berubah cepat. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk mempertanggung gugat (obligation to answer) apa saja yang telah dicapai, termasuk pertanggungjawaban (responsibility) untuk menentukan tindakan (obligation to act) apa yang akan dilakukan. Demikian pula, pemerintahan daerah harus mempertanggung-gugatkan pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada mereka baik pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pertanggunggugatan pemerintah daerah menyangkut pelaksanaan desentralisasi politik, administratif dan fiskal. Melalui tulisan ini penulis ingin mengupas sedikit gambaran dinamika implementasi dan upaya yang dapat ditempuh dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
1 Ditulis untuk Jurnal Ilmu Administrasi STIA LAN Jakarta
2
Pendahuluan
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama dikenal
dalam sejarah Mesopotamia pada 4000 SM dengan dikenalnya hukum Hamurabi
yang mewajibkan seorang raja mempertanggungjawabkan tindakannya kepada
pihak yang memberi wewenang (wangsit). Konsep akuntabilitas publik didasari
pemikiran bahwa rakyat tidak hanya berhak mengetahui pada pelaporan
pertanggungjawaban keuangan saja, tetapi juga non-keuangan, atau yang lebih
dikenal dengan sebutan akuntabilitas kinerja. Dalam kaitan ini, setiap pimpinan
instansi/satuan kerja pemerintah wajib melaporkan hasil kerjanya kepada
atasannya yang memberi tugas dan wewenang (amanah), dan kepada publik sesuai
dengan peraturan dan perundangannya yang berlaku (Inpres No 7/1999). Dengan
kata lain, menurut Inpres No. 7/1999 tersebut ternyata akuntabilitas memiliki dua
cabang yakni akuntabilitas keuangan dan non-keuangan. Kedua-duanya itu, baik
aspek keuangan maupun non-keuangan haruslah dapat dipertanggunggugatkan
kepada pemberi mandat (pemerintah tingkat di atasnya) dan masyarakat luas.
Ada dua hal penting yang harus dilakukan oleh pejabat/pengurus suatu
lembaga publik agar terhindar dari fitnah, dua hal tersebut adalah transparansi dan
akuntabilitas. Dewasa ini banyak pimpinan lembaga publik seperti sekolah,
koperasi, partai politik, LSM dan lain-lain yang mencantumkan transparansi dan
akuntabilitas sebagai VISI dan MISI lembaga publik tersebut, tanpa mengerti dan
memahami kedua konsep tersebut yang terlihat dari minimnya publikasi Laporan
Keuangan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan atas lembaga-
lembaga tersebut.
Transparansi berasal dari kata transparan yang artinya – kurang lebih – bisa
melihat tanpa bisa menyentuh dan mencium aroma benda yang ada dibalik bungkus
yang transparan. Misalkan, seorang penjual daging sapi menjual daging dengan cara
mengemasnya dalam plastik yang tertutup rapat, penjual daging tersebut dikatakan
sudah menerapkan konsep transparansi karena calon pembeli dapat melihat barang
dagangannya secara langsung meskipun tertutup oleh plastik. Pada tahap ini calon
pembeli hanya dapat mengetahui melalui penglihatannya bahwa yang dijual adalah
benar daging sapi dan bukan daging babi, dan calon pembeli tidak akan mendapati
daging yang dimaksud adalah daging sapi yang sudah busuk atau kadaluwarsa.
Demikian pula dalam suatu organisasi, implementasi konsep transparansi
dilakukan dengan menerbitkan Laporan Keuangan secara berkala yang meliputi
Neraca, Laporan Rugi Laba dan Arus Kas. Dengan diterbitkanya Laporan Keuangan
secara berkala, maka pihak-pihak yang berkepentingan dapat melihat dan kemudian
menganalisa serta memonitor aktivitas organisasi secara umum, para pengguna
tidak dapat mengetahui kebenaran/kewajaran atas isi laporan keuangan tersebut.
Adapun akuntabilitas diambil dari kata accountable artinya dapat
dipertanggungjawabkan. Pada tahap ini, melanjutkan contoh di atas, pedagang sapi
harus bisa membuktikan bahwa daging yang dibungkus adalah benar daging sapi
yang segar bukan daging sapi yang busuk. Untuk itu pedagang sapi harus membuka
bungkus plastik yang menyelubungi daging dan mempersilakan calon pembeli
untuk memeriksa isi dari bungkusan daging tersebut.
4
Demikian pula yang terjadi pada suatu organisasi, implementasi konsep
akuntabilitas dilakukan dengan pemeriksaan (audit) secara berkala atas Laporan
Keuangan yang diterbitkan oleh pejabat/pengurus lembaga publik. Namun tentu
saja hasil dari pemeriksaan (audit) tidak akan mampu mengungkap seluruh
penyimpangan yang terjadi, karena hal ini sangat tergantung pada banyak faktor.
Akan tetapi dengan adanya audit yang komprehensif, setidaknya penyimpangan-
penyimpangan tersebut dapat diungkap dan dicarikan jalan keluar terbaik.
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama
desentralisasi fiskal memerlukan adanya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini
menjadi prasyarat penting demi terpenuhinya tujuan pemberian otonomi daerah,
yaitu (1) meningkatnya kesejahteraan masyarakat, (2) meningkatnya
pelayanan umum, dan (3) meningkatnya daya saing daerah. Dalam bahasa awam,
persoalan desentralisasi fiskal tersebut dapat dirumuskan dalam kalimat
pertanyaan sebagai berikut: sejauhmanakah pertanggungjawaban pemerintahan
daerah atas seluruh anggaran yang telah dibelanjakannya, guna mencapai tujuan
otonomi daerah?
Desentralisasi Fiskal: Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal berdasarkan UU Nomor 22 Tahun
1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, terdapat tiga jenis transfer keuangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (PKKOD-LAN, 2006), yaitu :
1. Subsidi Daerah Otonom (SDO). Sebagian besar dana SDO digunakan untuk
membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah. Dua pertiga SDO diberikan
kepada pemerintah tingkat provinsi dan sepertiga sisanya menjadi milik
pemerintah kabupaten/kota. SDO dikategorikan sebagai specific grant karena
bersifat khusus dan peruntukannya sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat
yaitu membiayai belanja pegawai di daerah. Sejak Tahun Anggaran (TA)
1999/2000 digunakan istilah Dana Rutin Daerah (DRD) sebagai nama pengganti
SDO.
2. Bantuan Inpres. Bantuan Inpres (banpres) ditujukan untuk memberikan
bantuan pembangunan daerah, baik yang bersifat umum maupun khusus
diberikan atas Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan tersebut adalah
penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan keterbatasan kemampuan
pemerintah daerah untuk membiayai urusan tersebut. Program Bantuan Inpres
diberikan setiap tahun kepada pemerintah daerah tingkat I, daerah tingkat II,
maupun desa. Bantuan inpres dikategorikan sebagai block grant dimana
pengalokasiannya didasarkan pada jumlah penduduk. Sejak TA 1999/2000
Bantuan Inpres berganti istilah menjadi Dana Pembangunan Daerah (DPD).
3. Daftar Isian Proyek (DIP). Subsidi dan bantuan dapat dikategorikan sebagai
bantuan antar tingkat pemerintahan karena menjadi bagian dari anggaran
pemerintah daerah. DIP dikategorikan sebagai in-kind allocation, karena
walaupun dananya mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam
anggaran pemerintah daerah.
6
Dalam era otonomi daerah, bentuk hubungan keuangan pemerintah pusat
dan daerah terdiri dari :
1. Desentralisasi
Implikasi langsung dari kewenangan/urusan yang diserahkan kepada daerah
adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan
keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan
untuk membiayai kewenangan/urusan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan
mengikuti pembagian kewenangan/urusan atau money follows function. Hal ini
berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan
pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan
menjadi tanggungjawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan
yang ada.
Sejalan dengan pembagian kewenangan/urusan, maka pengaturan pendanaan
daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas
desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pendanaan penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas
beban APBN, dan pendanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
tugas pembantuan dilakukan atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang
menugaskan. Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepada daerah
diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan
pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan
(grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD.
Secara umum sumber dana bagi daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan
(Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum/DAU, dan Dana Alokasi Khusus/DAK), dan
Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama
langsung dikelola oleh pemerintah daerah melalui APBD, sedangkan yang
lainnya dikelola oleh pemerintah pusat melalui kerjasama dengan pemerintah
daerah.
2. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Dana perimbangan dapat diartikan sebagai block grant atau transfer dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dimana penggunaan sepenuhnya
diserahkan kepada pemerintah daerah, sedangkan dalam hubungan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, pemerintah pusat ikut campur tangan
langsung atas penggunaannya. Hubungan ini dapat dikatakan semacam joint
venture antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dekonsentrasi
merupakan pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat di provinsi. Dalam pelaksanaannya, instansi yang
melaksanakan adalah dinas provinsi sebagai perangkat pemerintah daerah
provinsi. Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang/urusan tersebut
sebenarnya merupakan urusan pemerintah pusat, maka pendanaan atas
pelaksanaan urusan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan
8
bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika kegiatan tersebut
menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak pemerintah pusat
dan dipertanggungjawabkan melalui APBN.
Penugasan pemerintah pusat yang dilimpahkan melalui dekonsentrasi antara
lain fasilitasi kerjasama dan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam
wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban
umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum pemeintah daerah
kabupaten/kota, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa bentuk hubungan
tugas pembantuan hampir sama dengan dekonsentrasi, namun dalam hal ini
yang menjadi sasaran pemerintah pusat adalah pemerintah
kabupaten/kota/desa serta sifatnya bukan pelimpahan kewenangan/urusan
tapi penugasan. Disamping itu, pihak yang memberi penugasan bukan hanya
dari pusat tetapi juga dapat dilakukan oleh tingkatan pemerintahan diatasnya
seperti dari pemerintah provinsi ke kabupaten atau kabupaten ke desa. Dalam
hal urusan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota/desa berasal pemerintah
pusat, maka dana yang digunakan berasal dari APBN. Sebagai akibatnya, bila ada
pendapatan maka hasilnya harus mengalir ke pemerintah pusat.
3. Pinjaman Daerah
Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam
hal sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan
dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal),
pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri
(Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari Luar Negeri dengan
persetujuan dan melalui Pemerintah Pusat (penerusan pinjaman). Sumber
pinjaman dapat berasal dari sumber di luar keuangan Negara, yaitu jika
pinjaman berasal dari lembaga swsta atau masyarakat langsung.
A. Dana Perimbangan
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat pemerintahan dapat independent di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan kewenangan/urusannya. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Pada hakekatnya, kebijakan belanja daerah diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab dengan tujuan untuk (a) meningkatkan efisiensi sumber daya manusia, (b) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat, (c) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pusat dan Daerah (vertical fiskal imbalance), dan antardaerah (horizontal fiskal imbalance), dan (d) mempertimbangkan kebijakan fiskal khususnya untuk mendukung kebijakan makro ekonomi.
Sejak tahun 2001 dana dari APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk Dana Perimbangan, yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Dana desentralisasi dialokasikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yang akan menjadi bagian dari penerimaan daerah dalam APBD.
Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Di samping Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) sebagaimana diuraikan di atas, kepada daerah juga dialokasikan dana penyesuaian yang terdiri dari Dana Penyesuaian Murni dan Dana Penyesuaian Adhoc. Dana Penyesuaian murni dialokasikan untuk mengemban amanat Penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 sampai tahun anggaran 2007 dimana alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005.
10
Dalam Undang-undang tersebut juga diamanatkan bahwa apabila DAU untuk provinsi tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada daerah provinsi yang bersangkutan dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara.
Sementara itu, Dana Penyesuaian Adhoc dialokasikan apabila ada kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap pos anggaran tertentu dalam belanja daerah dan hanya bersifat sebagai bantuan yang tidak mencakup seluruh kebutuhan pendanaan pos anggaran yang bersangkutan.
Berdasarkan UU No.r 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dialokasikan dana penyesuaian khusus untuk peningkatan pendidikan kesehatan yang jumlahnya setara 2% dari pagu DAU nasional. Pengalokasian dana otonomi khusus tersebut berlaku selama 20 tahun sejak tahun 2002 (sampai dengan tahun 2022). Penyaluran dana otonomi khusus tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan setiap triwulan.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH terdiri dari (a) DBH Pajak; dan (b) DBH Sumber Daya Alam (SDA).
DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan : Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam : kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; dan pertambangan panas bumi.
DBH Pajak Penghasilan (PPh) WP Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagihasilkan dengan perimbangan 80% bagian pusat dan 20% bagian daerah. Dua puluh persen (20%) bagian daerah tersebut dibagi dengan perimbangan 60% bagian kabupaten/kota dan 40% bagian provinsi. DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dibagihasilkan dengan perimbangan 10% bagian pusat dan 90% bagian daerah.
Bagian daerah ini dibagikan dengan rincian 16,2% bagian provinsi, 64,8% bagian kabupaten/kota dan 9% untuk biaya pungutan. Sepuluh persen (10%) bagian pusat dibagikan ke daerah dengan perimbangan 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
DBH BPHTB dibagi dengan imbangan 20% bagian pusat dan 80% bagian daerah. Delapan puluh persen (80%) bagian daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum DAerah provinsi dan 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota. Duapuluh persen bagian pemerintah pusat dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
DBH sektor kehutanan terdiri dari penerimaan Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi dibagikan dengan perimbangan 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional dan 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil.
DBH sektor Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. Penerimaan Pertambangan Umum terdiri atas Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) dan Penerimaan Iuran Eksplorasi (Royalti). Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi bagian daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota. DBH Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
12
undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk pemerintah dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk daerah.
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi yang merupakan bagian daerah dibagi dengan imbangan 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil dan dan 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk pemerintah dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah.
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi yang merupakan bagian daerah dibagi dengan imbangan 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang merupakan bagian daerah sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasiikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Setengah persen (0,5%) untuk anggaran pendidikan dasar dibagikan dengan perimbangan 0,1% (satu sepersepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% (dua sepersepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil dan 0,2% (dua sepersepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Ketentuan ini mulai berlaku mulai tahun 2009.
DBH Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan Negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DBH Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan Negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Penerimaan dalam rangka otonomi khusus berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya alam setelah dikurangi pakaj, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.
Mulai tahun kesembilan setelah berlakunya undang-undang ini pemberian tambahan penerimaan tersebut menjadi sebesar 35% (tiga puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas alam.
Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Papua dari sumber daya alam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus tersebut menjadi 35% (tiga puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas alam. Rincian persentase dana bagi hasil menurut UU No. 33 Tahun 2004 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 13.1. Dana Bagi Hasil Menurut UU 33 Tahun 2004
(dalam persentase)
No.
Jenis Penerimaan
UU No.33 Tahun 2004 UU Otonomi Khusus
Pusat
Pro
v
Kab/ Kota
Penghasil
Kab/Kota dalam
Propinsi Bersangku
tan
NAD
Papua
1. PBB *1) - 16,2 64,8(+) + - - 2. BPHTB - 16 64(+) + - - 3. PPh
Perorangan 80 8 12 - - -
14
No.
Jenis Penerimaan
UU No.33 Tahun 2004 UU Otonomi Khusus
Pusat
Pro
v
Kab/ Kota
Penghasil
Kab/Kota dalam
Propinsi Bersangku
tan
NAD
Papua
4. Kehutanan : - - IHPH 20 16 64 - - - PSDH 20 16 32 32 - - Dana
Reboisasi 60 - 40 - - -
5. Pertambangan Umum :
Iuran Tetap (Land Rent)
20 16 64 - - -
Royalti 20 16 32 32 - - 6. Perikanan 20 - - 80*2) - - 7. Minyak Bumi
*3) 84,5 3,1 6,2 6,2 +55*
4) +55*5)
8. Gas Bumi *3) 69,5 6,1 12,2 12,2 +40*4)
+40*5)
9. Panas Bumi 20 16 32 32 - - Sumber : Undang-undang Nomor 33 tahun 2004
Keterangan : *1) = Upah pungut 9% *2) = Dibagikan merata ke seluruh kabupaten/kota *3) = 0,5% untuk menambah anggaran pendidikan mulai tahun
2009 *4) = Berlaku 8 Tahun, Mulai Tahun ke-9 DBH Minyak Bumi =
+35%, DBH Gas Bumi = +20% *5) = Berlaku 25 Tahun, Mulai Tahun ke-26 DBH Minyak Bumi
= +35%, DBH Gas Bumi = +20%
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah dana yang sifatnya block grant dan penggunaannya sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah. Selain itu DAU juga berfungsi sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antar daerah (equalization grant). Adanya penerimaan DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber
pendanaan untuk menghindari kemungkinan ketidakmampuan Daerah dalam mendanai pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Disamping itu, DAU juga digunakan sebagai alat untuk mengkoreksi horizontal imbalance yaitu untuk memperkecil kesenjangan pendanaan antar Daerah sebagai akibat dari pembagian Dana Bagi Hasil yang alokasinya didasarkan atas Daerah penghasil sehingga kondisi tersebut cenderung menguntungkan Daerah tertentu. DAU juga dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan atau variasi pendapatan maupun kondisi keuangan antar Daerah dimana alokasi DAU dilakukan berdasarkan formulasi yang lebih mempertimbangkan sisi kemampuan keuangan dan kebutuhan Daerah.
Formula dari perhitungan DAU tersebut didasarkan pada konsep celah fiskal (fiskal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiskal need) dengan potensi Daerah (fiskal capacity) serta Alokasi Dasar yang dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pagu DAU dialokasikan sekurang-kurangnya sebesar 25,5% dari Penerimaan Dalam Negeri Neto yaitu Penerimaan Dalam Negeri setelah dikurangi Bagi Hasil dan Dana Reboisasi sampai dengan tahun 2007.
a. Kebutuhan Fiskal
Kebutuhan fiskal adalah kebutuhan daerah untuk mendanai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam menyediakan pelayanan publik (expenditure needs) karena setiap daerah (subnation) harus dapat menyediakan pelayanan publik minimum kepada masyarakat yang berada di wilayahnya. Kebutuhan suatu daerah dihitung berdasarkan proksi terhadap jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestic bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia.
KbF = TPR (1 IP + 2 IW + 3 IKK + 4 IPM + 5 IPDRB) Keterangan : TPR : Total Pengeluaran Rata-rata APBD; IP : Indeks Jumlah Penduduk; IW : Indeks Luas Wilayah; IKK : Indeks Kemahalan Konstruksi; IPM : Indeks Pembangunan Manusia; IPDRB/cap : Indeks PDRB per kapita : Bobot Indeks. Catatan : Bobot 1, 2, 3, 4, dan 5, ditentukan dengan mempergunakan pendekatan uji statistik regresi sederhana.
b. Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan berdasarkan sumber-sumber yang dimilikinya. Kapasitas daerah dicerminkan oleh potensi penerimaan daerah yang merupakan akumulasi dari potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan penerimaan bagi hasil dan Sumber Daya Alam (SDA) yang diterima oleh daerah.
16
KpF = PAD + DBH SDA + DBH Pajak Keterangan : PAD : Pendapatan Asli Daerah DBH Pajak : Dana Bagi Hasil Pajak, terdiri dari :
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan PPh : PPh Pasal 21 dan PPh WPODPN
DBH SDA : Dana Bagi Hasil Sumber Daya
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 33 Tahun 2004, daerah yang memiliki nilai celah fiskal (CF) negative dan nilai negative tersebut lebih kecil dari alokasi dasar (AD), maka daerah tersebut akan menerima DAU sebesar AD setelah dikurangi nilai CF. Sementara itu daerah yang memiliki nilai CF negative dan nilai negative tersebut sama atau lebih besar dari AD, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Adapun daerah yang memiliki nilai CF sama dengan nol maka daerah tersebut menerima DAU sebesar AD.
Untuk daerah otonom baru (pemekaran) alokasi DAU setelah disahkannya undang-undang pembentukan daerah otonom bersangkutan. Penghitungan DAU secara nasional untuk daerah pemekaran dilakukan setelah data dasar penghitungan DAU untuk daerah yang bersangkutan tersedia. Dalam periode perhitungan DAU pada tahun yang bersangkutan apabila data tersebut belum tersedia, maka penghitungan DAU-nya dilakukan menyatu dengan daerah induknya berdasarkan proporsi belanja pegawai, jumlah penduduk dan luas wilayah masing-masing. Alokasi DAU per Daerah ditetapkan oleh Presiden, sedangkan penyaluran DAU ke daerah dilakukan oleh Menteri Keuangan sebesar 1/12 dari plafon DAU setiap bulannya. Sejak berlakunya UU No.33 Tahun 2004 sampai dengan tahun anggaran 2007 DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% (dua puluh lima setengah persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Ketentuan mengenai alokasi DAU mulai dilaksanakan sepenuhnya mulai tahun anggaran 2008.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Yang dimaksud dengan daerah tertentu disini adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan, dengan demikian tidak semua daerah nantinya akan mendapatkan alokasi DAK.
Kebijakan DAK tahun 2006 adalah (1) Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan dibawah rata-rata nasional, dalam rangka
mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah, (2) Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan kepulauan, perbatasan darat dengan negara lain, tertinggal/terpencil, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan, (3) Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan daerah dialihkan secara bertahap menjadi DAK. Adapun pengalokasian DAK TA. 2006 mempunyai 3 (tiga) kriteria, yaitu:
a. Kriteria Umum
Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, yang dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai, dimana nantinya daerah yang memiliki kemampuan keuangan dibawah rata-rata nasional, diprioritaskan untuk mendapatkan alokasi DAK.
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD - Belanja Pegawai Daerah
Penerimaan Umum = PAD+DAU+(DBH-DBHDR) Belanja Pegawai Daerah = Gaji PNSD
Rata-Rata Nasional Total Kemampuan Keuangan Daerah
secara nasional Kemampuan Keuangan =
Daerah Jumlah Daerah
b. Kriteria Khusus
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, seperti Undang-Undang otonomi khusus NAD dan Papua, dimana nantinya seluruh daerah (kabupaten/kota) di provinsi NAD dan Papua akan diprioritaskan mendapat alokasi DAK.
Yang dimaksud dengan karakteristik daerah adalah antara lain daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, serta daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dimana nantinya selain kemampuan keuangan daerah, karakteristik daerah juga akan digunakan dalam menentukan daerah yang akan mendapatkan alokasi DAK.
Semakin besar bobot karakteristik suatu daerah semakin besar juga kemungkinannya daerah tersebut mendapatkan alokasi DAK, meskipun memiliki kemampuan keuangan di atas rata-rata. Untuk setiap karakteristik, suatu daerah akan mendapatkan bobot tertentu, semakin banyak karakteristik suatu daerah, akan semakin besar pula bobotnya.
c. Kriteria Teknis
18
Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis, yang dicerminkan dengan indikator-indikator, yaitu :
1) Pendidikan, yang meliputi jumlah Ruang Kelas SD Rusak Berat dan Indeks Kemahalan Konstruksi.
2) Kesehatan, dalam arti Human Poverty Index (Indeks kemiskinan masyarakat), yang meliputi Jumlah Puskesmas (Perawatan dan Non Perawatan), Puskesmas Pembantu (Pustu), Poliklinik Bersalin Desa (Polindes) dan Puskesmas Keliling (Perairan dan Roda Empat); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
3) Infrastruktur, meliputi :
a) Infrastruktur Jalan . Kondisi kemantapan jalan Kabupaten/Kota (km); Pelayanan jalan terhadap wilayah (km2/km); Bobot beban lalu-lintas (smp/km); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
b) Infrastruktur Irigasi. Kerapatan Daerah Irigasi terhadap wilayah (ha/km2); Kinerja Daerah Irigasi (ha); Luas Daerah Irigasi fungsional (ha); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
c) Infrastruktur Air Bersih Perdesaan. Jumlah desa yang membutuhkan sarana air bersih (Desa); Jumlah Desa (Desa); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
4) Kelautan dan Perikanan, mencakup Luas Baku Usaha Budidaya (ha); Produksi Perikanan Budidaya (ton); Jumlah Balai Benih Ikan (unit); Produksi Perikanan Tangkap (ton); Jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (unit); Jumlah Nelayan/Pembudidaya Ikan (jiwa); Panjang Pantai (km); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
5) Prasarana Pemerintahan Daerah, yang mempertimbangkan kebutuhan minimum prasarana gedung kantor untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terutama Kabupaten/Kota sebagai dampak Pemekaran Tahun 2003 serta daerah-daerah pemekaran tahun sebelumnya yang belum memiliki prasarana pemerintahan (gedung kantor).
6) Pertanian, mencakup jumlah Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) (unit); Produksi Benih/Bibit (ton); Jumlah Penangkar Benih/Bibit (kelompok); Jumlah Kelembagaan/Balai Perbenihan/Pembibitan (unit); serta Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
Besaran alokasi DAK suatu Daerah, ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria-kriteria tersebut nantinya akan terlebih dahulu di indeks-kan dan di komposit-kan sehingga menjadi bobot untuk menentukan besaran alokasi untuk masing-masing daerah.
Penggunaan DAK TA. 2006 akan diarahkan untuk mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar pada bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang infrastruktur, bidang kelautan dan perikanan, serta bidang pertanian.
DAK Bidang Pendidikan digunakan untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar (wajar) 9 (sembilan) tahun bagi masyarakat. Kegiatan DAK Bidang Pendidikan diarahkan untuk membiayai rehabilitasi ruang kelas SD dan MI termasuk sarana meubeulairnya. DAK Bidang Kesehatan digunakan untuk dapat meningkatkan daya jangkau dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu.
Kegiatan DAK Bidang Kesehatan diarahkan untuk Peningkatan fisik Puskesmas Pembantu (Pustu) menjadi Puskesmas; Peningkatan fisik Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan; Rehabilitasi fisik dan/atau pengadaan Puskesmas Keliling Perairan, Puskesmas Terapung, serta Puskesmas Keliling Roda Empat beserta peralatannya; Rehabilitasi/ Pembangunan gedung Puskesmas/Pustu/Pondok Bersalin Desa (Polindes) dan peralatannya; Pengadaan Kendaraan Roda Dua untuk Petugas Puskesmas; serta Rehabilitasi/Pembangunan rumah dinas Dokter, Perawat dan Bidan Puskesmas.
DAK Bidang Infrastruktur digunakan untuk mempertahankan tingkat pelayanan transportasi, mempertahankan tingkat pelayanan jaringan irigasi untuk mendukung program ketahanan pangan, perbaikan sistem air bersih sederhana, penyediaan dan pengadaan sistem air bersih sederhana di perdesaan. Kegiatan DAK Bidang Infrastruktur diarahkan untuk kegiatan :
1) Pemeliharaan jalan (termasuk jembatan) Kabupaten/Kota yang menghubungkan antar kecamatan dan desa/kelurahan;
2) Operasi dan pemeliharaan dan atau rehabilitasi ringan jaringan irigasi Kabupaten/Kota dan bangunan pelengkapnya untuk menunjang produksi pertanian;
3) Rehabilitasi/fungsionalisasi sistem sarana air bersih perdesaan yang ada, dan pembangunan sistem sederhana sarana air bersih perdesaan (pengadaan pengolah air sederhana, perpipaan, dan unit distribusi).
DAK Bidang Kelautan dan Perikanan digunakan untuk meningkatkan prasarana dasar di bidang perikanan khususnya yang menunjang pengembangan perikanan tangkap dan budidaya. Kegiatan DAK Bidang Kelautan dan Perikanan diarahkan untuk Penyediaan/Rehabilitasi Prasarana Pendaratan Ikan; Penyediaan/Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Perikanan Budidaya termasuk mendorong penyediaan benih; Penyediaan sarana perikanan tangkap, seperti rumpon, kasko, mesin, jaring dan sarana penunjang untuk penyediaan bahan bakar bagi nelayan; serta Penyediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil perikanan.
DAK Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah digunakan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai akibat dari pemekaran daerah. Kegiatan Bidang DAK Prasarana Pemerintahan Daerah diarahkan untuk pembangunan/perluasan gedung kantor pemerintahan daerah.
20
DAK Bidang Pertanian digunakan untuk meningkatkan sarana/prasarana pertanian mendukung ketahanan pangan dan agribisnis. Kegiatan DAK Bidang Pertanian diarahkan untuk Pengadaan Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan); Mendorong Penyediaan Benih/Bibit Bermutu; Prasarana untuk Penangkar Benih/Pembibitan; serta Prasarana Kelembagaan Perbenihan/ Pembibitan. Untuk menyatakan komitmen dan tanggung jawab daerah dalam pelaksanaan program yang dibiayai oleh DAK, maka daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10 % (sepuluh persen) dari alokasi DAK untuk membiayai kegiatan fisik.
Dana Pendamping wajib dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005. Dalam hal Daerah tidak menganggarkan Dana Pendamping, pencairan DAK tidak dapat dilakukan. Dana Pendamping dicantumkan dalam Rencana Definitif dan Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA)/Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK).
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melaporkan Daerah-Daerah yang tidak menyediakan dana pendamping kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan. Alokasi DAK per daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tata cara penyaluran DAK juga diatur oleh Menteri Keuangan.
Dinamika Implementasi Desentralisasi Fiskal dan Akuntabilitas Kinerja Keuangan Daerah
Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan
accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau
dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan
responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian
accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas
sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk
melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban
untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.
Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat
pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang
menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan
kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat
tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk
negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat
bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak
suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja
yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat
elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu
22
menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang
diformulasikannya.
Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan
tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui
laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk
memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu
dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus
diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi
dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan
finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau
melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan
audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang
kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit
internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas
finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan
dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi
penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan
stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran
tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan
tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber
daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif
umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala
departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara.
Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk
berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber
daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa
tertentu.
Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya
konsep akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan
akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggungjawaban mereka kepada
atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang
disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung.
Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak
eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan
akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui
rantai komando tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah
keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku
para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural
tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu
diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan
24
badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat
saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk
menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai
kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan
dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru
(new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja
formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu
departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau
lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti
media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan
ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi,
tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.
Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat
mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu
organisasi, karena pencapaian tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu
maupun unit organisasi. Tujuan tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik
organisasi, rencana kinerja, dan program kerja tahunan, dengan tetap berpegangan
pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup efektif dapat berupa laporan tahunan
tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan target-target serta aspek
penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber
daya manusia dan lain-lain.
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru.
Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep
akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif
kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang
mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan
masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak
mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada
akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu
munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
dan administrasi negara di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru
dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung
oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan
pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good
governance.
UNDP menegaskan bahwa prinsip-prinsip good governance antara lain terdiri dari
partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi kesepakatan,
kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Tergambarkan jelas
bahwa akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam good governance.
Beberapa negara maju di Eropa seperti jerman dan Inggris telah menerapkan
konsep akuntabilitas hampir di setiap aspek kepemerintahan sejak tahun 1970-an.
Inggris di era John Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan
26
menyusun Output and Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri
kepada departemen/badan di lingkungan kepemerintahan dan Guidence on Annual
Report yang berisikan petunjuk dalam menyusun laporan tahunan suatu badan
kepada menteri, parlemen, dan masyarakat umum. Disamping itu pemerintah
Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services for The Future: Modernisation,
Reform, Accountability yang intinya adalah setiap keputusan hendaknya jangan
hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan atau penyerapan dana
untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang diberikan dan
perbaikan-perbaikan.
Berbeda dengan Inggris, Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi,
menetapkan bahwa keterlibatan pusat (central involvement) dalam kegiatan setiap
menteri dibatasi pada masalah kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal
keuangan. Dari pola pemerintahan ini, maka pemerintah sesuai dengan
tingkatannya secara formal mempunyai akuntabilitas (public accountability) kepada
parlemen di tiap tingkatan pemerintahan (federal, negara bagian, dan lokal).
Demikian pula dengan menikmati tingkat independen operasional yang tinggi, maka
seorang menteri dapat secara leluasa melakukan kegiatannya, dan dengan demikian
konsep dan prinsip akuntabilitas dapat dilakukan secara komprehensif .
Di Indonesia, sosialisasi konsep akuntabilitas dalam bentuk Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (AKIP) telah dilakukan kepada 41 Departemen/LPND. Di
tingkat unit kerja Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja
yang bersangkutan, oleh karenannya capaian dan cakupannya masih tergolong
rendah.
Dengan komitmen tiga pihak yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekretariat
Negara, dan BPKP, maka pemerintah mulai memperlihatkan perhatiannya pada
implementasi akuntabilitas ini. Hal ini terlihat jelas dengan diterbitkannya Inpres
No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini
menginstruksikan setiap akhir tahun seluruh instansi pemerintah (dari eselon II ke
atas) wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK). Dengan LAK seluruh
instansi pemerintah dapat menyampaikan pertanggungjawabannya dalam bentuk
yang kongkrit ke arah pencapaian visi dan misi organisasi.
Perkembangan penyelenggaraan negara di Indonesia memperlihatkan upaya
sungguh-sungguh untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang berorientasi pada
pemenuhan amanah dari seluruh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun
1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menguraikan
mengenai azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan
pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan suatu
pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi akuntabilitas
merupakan sufficient condition atau kondisi yang harus ada .
Wujud lain dari implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara khususnya di
pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan
menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang
akan di capainya. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara anggaran
pemerintah (APBN dan APBD) dengan kinerja yang akan dicapainya berdasarkan
perencanaan stratejik tersebut.
28
Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa
hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep
akuntabilitas di Indonesia antara lain adalah; rendahnya standar kesejahteraan
pegawai sehingga memicu pegawai untuk melakukan penyimpangan guna
mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas akuntabilitas, faktor budaya
seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibanding
pelayanan kepada masyarakat, dan lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan
kurangnya dukungan terhadap faktor punishment jika sewaktu-waktu terjadi
penyimpangan khususnya di bidang keuangan dan administrasi.
Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah
dan seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya
implementasi akuntabilitas disamping faktor moral hazard individu pelaksana
untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah.
Upaya Pembenahan
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya.
Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya
terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan
kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara
hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan
pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan
landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat
dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya.
Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara
signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan
administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan
hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang
sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap
pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal
adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga
peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum
yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang
gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu
konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat.
Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan
menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa
membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19,
Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara
langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa
negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen
terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen.
30
Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa
memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga
dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan
partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah
didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang
bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga
menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan
akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi
otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat
otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi
terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang
tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat
dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang
menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan
bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering
memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif
permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit
pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol
hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi
administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan
struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan
beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas.
Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan
politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen.
Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal
ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam
konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas
berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas
sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya,
misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan
media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum
para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media
massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus
diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam
konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran
media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya
peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga
konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas
pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap
informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan
Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional
(dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan
pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi
32
Good Local Governnce
anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai
informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang
dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit
dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara,
pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk
menjalankannya.
Gambar 1 Akuntabilitas dan Good Local Governance
Sumber: Ket: D=Demokrasi, T=Transparansi, E=Efektivitas, E1=Efisiensi, K=Kompetisi Akuntabilitas sejatinya adalah kunci dari konsep good governance yang kini sedang
menguat dalam geliat dan situasi dunia yang sedang mengglobal. Dari gambar 1
tersebut dapat dijelaskan bahwa akuntabilitas menjunjung tinggi equitable dan
responsivenes to people’s needs merupakan resultante dari proses dan prinsip-
prinsip good governance (transparansi, efectivitas, efisiensi) serta globalisasi
(demokrasi dan kompetisi). Dengan kata lain, dalam konteks globalisasi, good
governance telah menjadi parameter dan tuntutan masyarakat terhadap kinerja
Akuntabilitas:
- equitable
- responsive to
people’s
needs
E
D
T
K
E1
aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah yang semula bersandar pada prinsip
responsibility (tanggung jawab) dan obligation (kewajiban) kini harus berubah ke
arah accountability.
Manfaat Akuntabilitas
Akuntabilitas kinerja paling tidak memberi manfaat (pertama) masyarakat
ingin mengetahui seberapa besar efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan setiap
kegiatan publik oleh pemerintah, yang notabene dibiayai oleh uang rakyat. Hal ini
merupakan salah satu tolok ukur utama dari akuntabilitas dan transparansi. Kedua,
pemerintah dapat sekaligus mengintrospeksi diri terhadap kemampuan dari setiap
program yang dijalankan apakah mengarah pada tujuan pada periode akhir
perencanaan. Sayangnya konsep akuntabilitas publik masih dijalankan setengah
hati untuk menjadi budaya kerja di Indonesia. Banyak pihak mengartikan
akuntabilitas publik hanya terbatas pada pelaporan pertanggungjawaban keuangan
saja, hanya mencakup pertanggungjawaban anggaran semata.
Akibatnya, suatu penyelenggaraan pemerintahan yang telah melaporkan
alokasi dana yang digunakan dianggap sudah selesai mempertanggungjawabkan
kegiatannya secara memadai terlepas dari apakah kegiatan yang dilaksanakan
memberi manfaat atau tidak, terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal
ini pada gilirannya membuka peluang yang besar bagi praktik-praktik
penyimpangan dana dan sumber daya lainnya. Yang lebih berbahaya munculnya
34
penyimpangan gaya lama dengan pola dan modifikasi baru. Sesungguhnya
akuntabilitas publik harus diikuti oleh pengukuran secara komprehensif terhadap
keluaran, hasil, dan manfaat yang benar-benar dapat dirasakan dan dilihat
masyarakat, serta pada gilirannya dengan memperhitungkan dampak.
Oleh karena itu, akuntabilitas kinerja pemerintahan tidak lagi terjebak dalam
pola pertanggungjawaban administratif belaka, yang dapat diinterpretasikan
sebagai apologi terhadap temuan penyimpangan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Dengan cara ini kinerja suatu instansi pemerintah pada suatu tahun tertentu dapat
dibandingkan kinerjanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika hal ini dapat
dikonkritkan maka dapat menjadi salah satu pola alternatif bagi pola
pertanggungjawaban (LPJ) seorang kepala eksekutif.
Akhirnya, yang perlu dipahami bahwa pemahaman dan kesadaran mengenai
pentingnya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah membutuhkan komitmen dari
seluruh pihak terkait, pemerintah, legislatif dan masyarakat. Keterlibatan
masyarakat maupun legislatif bukan diartikan sekadar menghadirkan dalam
berbagai pertemuan, rapat kerja, dialog interaktif atau apa pun namanya, tetapi apa
yang dapat mereka (masyarakat dan legislatif) berikan terhadap pemecahan suatu
masalah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.
Penutup
Kesimpulan dalam penulisan ini adalah:
a. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu
atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan
yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk
kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan
menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.
b. Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan
secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan
yang berhubungan langsung dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap
instansi pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan
reofrmasi birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam
implementasi akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor
budaya, dan lemahnya penerapan hukum di Indonesia.
Saran dalam penulisan ini adalah:
1. Penerapan akuntabilitas di instansi pemerintah seharusnya didukung adanya
upaya perbaikan kesejahteraan pegawai.
2. Hilangkan budaya ewuh pakeuwuh yang berpotensi kolusi dalam
penyelenggaraan kepemerintahan/jajaran birokrasi dan utamakan asas
pertanggungjawaban dalam setiap kegiatan.
3. Tegakkan hukum secara konsisten khususnya dalam lingkungan
birokrasi/pemerintahan.
36
Daftar Pustaka
Ir. Tatag Wiranto, MURP adalah Direktur Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah Bappenas dan Kandidat Doktor pada Program Pascasarjana Program Studi Administrasi Publik Unive. Gadjah Mada http://kspws.wordpress.com/2008/04/09/laporan-keuangan-tahun-2008/ http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/ Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo) http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/AkuntabilitasDiklatKesos.pdf Steven R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People (2007).