menuntut akuntabilitas arbiter

Upload: agus-benj

Post on 05-Jul-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Menuntut Akuntabilitas Arbiter

    1/3

    Menuntut Akuntabilitas Arbiter

    Membaca tulisan yang dimuat dalam investor daily tanggal 02 Mei 2016, yang berjudul,“diskresi pada perikatan, mungkinkah?”, saya tergelitik untuk turut memberikan sumbangsihpemikiran, uneg-uneg terkait dengan untouchable -nya lembaga arbiter ini. Keberadaan arbiterbukan asing lagi dalam sengketa perdata, khususnya perniagaan. Supaya penyelesaian sengketaperniagaan diharapkan tidak menang-kalah, merangkul seluruh kepentingan para pihak, tidakmenimbulkan masalah baru, cepat, biaya tidak mahal dan responsif, maka eksistensi lembagaini dipandang sangat tepat dibanding dengan lembaga peradilan umum yang ada.

    Melihat pada definisinya, arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage(Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berartikekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan” atau damai oleh arbiter atauwasit. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral, independensi dan tidak memihakkepada salah satu pihak yang bersengketa. Sementara dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa, lebih merujuk pada carapenyelesaian suatu sengketa yang didasarkan pada perjanjian arbitrase. Melihat pada definisitersebut, dapat disimpulkan bahwa arbiter adalah cara penyelesaian diluar peradilan yangdiperjanjikan para pihak kepada arbiter yang mempunyai kekuasaan untuk menyelesaikansengketa menurut kebijaksanaannya.

    Kebijaksanaan disini tentunya, bukan sesuatu pedoman yang tanpa patokan. Pasal 12UU Arbitrase mensyaratkan seorang arbiter setidaknya menguasai bidangnya secara aktif sekurang-kurangnya 15 tahun. Sekurang-kurangnya selama lima belas tahun bukanlah suatuwaktu yang singkat, dan selama itu pula penguasaan bidang ilmu tersebut harus dibuktikandengan pedoman keilmuan yang standar. Apa yang disampaikan dalam tulisan Sdr. AgusBudianto, mengenai diskresi yang digunakan sebagai pertimbangan majelis arbiter dalamsebuah perjanjian sangatlah disayangkan. Diskresi lahir dan berkembang dalam doktrin hukumpublik, bahkan hal tersebut dipertegas dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang AdministrasiPemerintahan.

    Demikian juga dalam kasus PT. Bukit Dharmo Property melawan Wika, majelis arbiterdianggap lalai dalam memeriksa perkara dan memutus sidang, majelis arbiter seharusnyamemutus perkara berdasarkan kaidah hukum materil, seperti bukti perjanjian dan praktekkebiasaan bisnis yang berlaku. Selain itu, majelis arbiter memutuskan menolak permohonanpenggugat (PT. BDP) ketika mengajukan pemeriksaan lokasi proyek di Surabaya yang menjadiobjek perkara. Padahal, peninjauan lokasi dibutuhkan demi memenuhi asas obektivitassehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pokok perkara. Di beberapa persidangan sudahtampak bahwa para arbiter terbukti memiliki etikad buruk ketika memeriksa dan memutussengketa antara kami dan WIKA di Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

  • 8/16/2019 Menuntut Akuntabilitas Arbiter

    2/3

    Riak-riak ketidakpuasan terhadap penyelesaian oleh lembaga arbitrase, tidakprofesional ataupun keberpihakan arbiter bukan saja satu dua kasus ini saja, bahwa beberapakasus yang sudah diangkat dalam penelitian akademis (Rengganis, PascaUI, 2011). Dalamkacamata hukum saya yang masih lemah ini, bukankah dalam UU Arbitrase disebutkan, bahwa

    para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur danadil?; bukankah semakin banyak pihak yang mengajukan pembatalan atas putusan arbitertersebut, justru “kepercayaan” terhadap arbiter semakin dipertanyakan?. Disinilah letak“penyalahgunaan pengetahuan” untuk memihak pihak-pihak yang mempunyai kekuatan dankekuasaan. Bukankah lembaga yang berbasis kepercayaan sudah saatnya akuntable?, bukankahlembaga korporasi dan pemerintah sendiri sudah ada good governance , dimana letakgovernance lembaga arbiter?, masyarakat butuh akuntabilitas arbiter !!

    Akuntabilitas diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkankeberhasilan atau kegagalan pelasanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaranyang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yangdilaksanakan secara periodik (Mardiasmo:2006). Sebagai sebuah kewajiban bagi stakeholder’suntuk melaporkan tujuan daripada organisasi, termasuk juga cara bagaimana tujuan tersebutdapat tercapai. Setidaknya, berkaca pada implementasi akuntabilitas publik, terdapat beberapahal yang harus dilakukan oleh organisasi, antara lain menurut Mahmudi (2010:28).Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran; Akuntabilitas Manajerial; Akuntabilitas Program;Akuntabilitas Kebijakan; dan Akuntabilitas Finansial.

    Setidaknya, dalam diri arbiter atau organisasi yang membidangi arbitrase wajibmenjalankan akuntabilitas hukum dan kejujuran dalam SOP-nya. Tujuan dari akuntabilitas iniadalah untuk menghindari penyalahgunaan jabatan dan jaminan adanya kepatuhan hukumadalah pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik untuk berperilaku jujur dalam bekerjadan menaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabillitas kejujuran berarti penyajianinformasi yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Akuntabilitas hukum dan peraturan terkaitdengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang diisyaratkandalam penggunaan sumber daya publik. Akuntabilitas hukum menghendaki kepatuhanterhadap hukum dan peraturan lain dalam mengoperasikan organisasi sektor publik.Akuntabilitas hukum menjamin ditegakannya hukum. Akuntabilitas kejujuran berhubungandengan penghindaran penyalahgunaan jabatan.

    Jika dalam UU Arbitrase (No. 30 Tahun 1999), terdapat klausula pasal 70 berkaitandengan pembatalan putusan arbitrase. “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapatmengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelahputusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukandokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan

  • 8/16/2019 Menuntut Akuntabilitas Arbiter

    3/3

    diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaansengketa. Dalam penjelasan disebutkan, permohonan pembatalan hanya dapat diajukanterhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonanpembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila

    pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, makaputusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untukmengabulkan atau menolak permohonan.

    Apabila pasal ini dipakai sebagai mekanisme akuntabilitas, saya rasa kurang pas.Kalaupun dibilang, pihak yang tidak menerima putusan arbitrase bisa mengajukan pembatalanke Pengadilan Negeri, ini bukan sebuah akuntabilitas tetepi hak setiap warga untukmendapatkan keadilan dan perlakukan dihadapan hukum yang adil oleh negara ( vide : Pasal 28Dayat 1 UUD 1945). Bagaimana dengan arbiter yang menggunakan pertimbangan hukum yangsalah?, bukankah kita pahami, pembatalan-pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilannegeri – MA sekalipun, menunjukkan arbitrase sebagai institusi penyelesaian yang “abu-abu”,bagaimana dengan arbiter yang seperti menggunakan doktrin deskresi dalam perjanjian?,bagaimana pertanggung jawaban arbiter ini?, bagaimana pertanggungjawaban arbiter secarahukum dan institusi?. Apakah semua ini dikembalikan kepada keinginan para pihak untukmenyelesaikan atau tidak menyelesiakan; menggunakan atau tidak menggunakan arbitrase?,itupun juga bukan jawaban yang wise . Sudah saatnya negara memikirkan bagaimana bentukakuntabilitas bagi arbiter, lembaga pengawasan, sebagaimana terhadap hakim-hakim olehKomisi Yudisial, mungkin dapat dijadikan pedoman. Semoga tulisan ini memberikan sebuahpemikiran bersama, bahwa akuntabilitas sangat dituntut keberadaannya dalam lembaga yangberbasis kepada kepercayaan, terlebih tuntutan adanya good governance kepada masyarakat.

    Ditulis oleh:

    Dwi Putra Nugraha, SH., MHDosen Fakultas HukumUniversitas Pelita Harapan