menuju pengelolaan sda hayati

13
MENUJU PENGELOLAAN SUMBERDAYA HAYATI YANG EFISIEN 1 Iwan Nugroho PENDAHULUAN Di dalam perspektif ilmu ekologi, apa yang dikenal sebagai biological diversity atau keragaman hayati adalah suatu kondisi yang mendukung persyaratan stabilnya sistem lingkungan di muka bumi. Secara normatif, disinilah manusia beraktifitas melalui konsep- konsep pembangunannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan kehidupannya dalam dimensi ruang bumi yang terbatas namun dituntut mampu menjangkau dimensi waktu antar generasi yang tak terbatas. Dari sisi ini, kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar munculnya paradigma pembangunan yang baru, yaitu sustainable development atau sering disebut dengan pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan. Paradigma baru di atas ternyata penuh kontroversi dalam pandangan ekonom yang berorientasi klasik atau neoklasik yang sangat mengandalkan kepada pasar. Ia justru dipandang sebagai konsep pembangunan anti pertumbuhan, dan memang hal tersebut nampaknya benar (Portney, 1990) sehingga sempat mengangkat dikotomi antara memacu pertumbuhan atau menyelamatkan lingkungan (Kneese, 1990). Ekonom klasik maupun neoklasik terpukul karena dibatasi aksesnya terhadap common dan public resources. Mereka dipaksa untuk memahami nilai-nilai baru yang sama sekali belum terbayang sebelumnya, yaitu menempatkan sistem ekonomi sebagai bagian dari subsistem biofisik (Holden, 1990). Muaranya adalah kepada dua hal yaitu kelestarian fungsi ekologi dan tatanan kelembagaan. Artinya segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya sebagai input hingga alokasi outputnya, maupun distribusinya hendaknya mempertimbangkan kepada 1 Disajikan dalam Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996

Upload: iwan-nugroho

Post on 12-Jun-2015

1.407 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

4. Iwan Nugroho. 1996. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hayati yang Efisien: Tinjauan dari sudut pandang ekonomi sumberdaya alam. Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996

TRANSCRIPT

Page 1: menuju pengelolaan sda hayati

MENUJU PENGELOLAAN SUMBERDAYA HAYATI YANG EFISIEN1

Iwan Nugroho

PENDAHULUAN

Di dalam perspektif ilmu ekologi, apa yang dikenal sebagai biological diversity atau

keragaman hayati adalah suatu kondisi yang mendukung persyaratan stabilnya sistem

lingkungan di muka bumi. Secara normatif, disinilah manusia beraktifitas melalui konsep-

konsep pembangunannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan kehidupannya dalam dimensi

ruang bumi yang terbatas namun dituntut mampu menjangkau dimensi waktu antar generasi

yang tak terbatas. Dari sisi ini, kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar munculnya

paradigma pembangunan yang baru, yaitu sustainable development atau sering disebut

dengan pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan.

Paradigma baru di atas ternyata penuh kontroversi dalam pandangan ekonom yang

berorientasi klasik atau neoklasik yang sangat mengandalkan kepada pasar. Ia justru

dipandang sebagai konsep pembangunan anti pertumbuhan, dan memang hal tersebut

nampaknya benar (Portney, 1990) sehingga sempat mengangkat dikotomi antara memacu

pertumbuhan atau menyelamatkan lingkungan (Kneese, 1990). Ekonom klasik maupun

neoklasik terpukul karena dibatasi aksesnya terhadap common dan public resources.

Mereka dipaksa untuk memahami nilai-nilai baru yang sama sekali belum terbayang

sebelumnya, yaitu menempatkan sistem ekonomi sebagai bagian dari subsistem biofisik

(Holden, 1990). Muaranya adalah kepada dua hal yaitu kelestarian fungsi ekologi dan

tatanan kelembagaan. Artinya segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya sebagai input

hingga alokasi outputnya, maupun distribusinya hendaknya mempertimbangkan kepada

1 Disajikan dalam Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996

Page 2: menuju pengelolaan sda hayati

2

terpeliharanya fungsi-fungsi ekologi lingkungan maupun aspirasi masyarakatnya, dan

manfaat yang dihasilkan-sebagai kepuasan fisik maupun estetika-mempunyai dimensi waktu

yang panjang antar generasi.

Pada akhirnya mutlak diperlukan atau diciptakannya mekanisme kelembagaan dalam

masyarakat untuk mengaplikasikan paradigma di atas, melalui kajian sosial, teknis, maupun

ekonomi untuk menjalankan sistem produksi secara efisien. Tidak disangsikan lagi,

kerjasama di antara pakar dari berbagai bidang diperlukan untuk menerjemahkannya ke

dalam rumusan konsep dan praktek pembangunan (Sayer, 1995).

Melalui tulisan ini dicoba untuk mengkaji kelembagaan tersebut terutama dalam

kajian ekonomi keragaman sumberdaya hayati, atau disebut juga sumberdaya hayati, agar

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat sepanjang masa.

PENDEKATAN PENGELOLAAN

Pendekatan ini mengandung prinsip, aturan atau kaidah mendasar tentang

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (selanjutnya ditulis pengelolaan SDA), yang

memberikan kerangka rumusan bagaimana kebijaksanaan atau kajian ekonomi kelak akan

diterapkan, sekaligus menjamin keefisienan pengelolaannya. Pengelolaan SDA, termasuk di

dalamnya sumberdaya hayati, dapat didekati penelaahannya melalui dua cara, yaitu:

1. Property Right System (Tietenberg, 1994;p. 32)

Property Right System (PRS) merupakan kumpulan kepemilikan, hak-hak

(privileges), dan batasan-batasan bagi pelaku-pelaku pembangunan agar dalam pengelolaan

sumberdaya hayati berjalan secara efisien dan menuju suatu tingkat kesejahteraan maksimal

secara berkelanjutan. PRS memiliki empat ciri dan harus diberlakukan semuanya (lengkap).

Pertama universality, maksudnya status kepemilikan sumberdaya harus terspesifikasi

dengan jelas. Siapa yang berkepentingan. Apakah itu hak milik, hak sewa, hak

menggunakan, dan hak-hak lainnya yang disepakati. Adanya kekaburan status kepemilikan

Page 3: menuju pengelolaan sda hayati

3

mengakibatkan pengelolaan yang tidak terendali sehingga menghabiskan sumberdaya itu

sendiri (open-acces).

Kedua, exclusivity. Pemilik menanggung semua manfaat dan beaya sebagai akibat

kepemilikan tadi. Kegagalan menerapkan ciri ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang

disebut eksternalitas. Ketiga, transferability. Maksudnya adalah bahwa hak kepemilikan

tersebut dapat dipindahtangankan secara sah tanpa paksaan. Terakhir, enforceability. Hal

ini menyangkut jaminan keamanan terhadap individu pemilik sumberdaya dari individu

lainnya.

Sumberdaya hayati sebagai public resources secara jelas tidak memenuhi ciri ke dua

dan ke empat. Implikasinya adalah sangat mungkin untuk menimbulkan ketidak-efisienan

dalam pengelolaannya. Public resources memiliki sifat un-rivalry in consumtion, artinya

bila sumberdayanya sudah dikonsumsi seseorang, maka orang lain yang akan mengkonsumsi

barang yang sama tidak dirugikan dalam jumlah maupun kualitasnya.

2. Materials Balance (Kneese, Ayres, D'Arge, 1973)

Pendekatan ini melihat secara obyektif terhadap suatu fenomena materi dan alirannya

(materials balance). Sumberdaya input, output, atau materi apapun diperhitungkan dalam

proporsi yang sebenarnya. Sumberdaya input dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan output yang

merugikan (polusi) dialokasikan dengan cara-cara yang aman dan tidak dianggap lagi

sebagai aib atau kesalahan. Disinilah kemudian pilihan-pilihan kebijaksanaan dirumuskan,

misalnya tudingannya adalah wabah penyakit, maka kebijaksanaan ditujukan untuk menekan

materi atau mikroba yang membahayakan itu (Ahearne, 1989) dan sekaligus mendorong

peningkatan kualitas lingkungan dan estetika yang lebih baik (Easterling III, 1990).

Demikian pula sebaliknya, bila dimungkinkan terjadinya kepunahan spesies tertentu atau

timbulnya polutan yang belum ada teknologi pengolahannya akibat suatu proyek

pembangunan, maka kegiatannya harus dihentikan.

Page 4: menuju pengelolaan sda hayati

4

Penerapan pendekatan ini memerlukan ketelitian yang mendalam dan spesifik

tentang kondisi fisik lingkungan, jumlah penduduk, tingkat konsumsi, teknologi, dan

informasi lainnya. Kelengkapan informasi ini penting untuk merumuskan konsep

pengelolaan sumberdaya agar supaya materi apapun yang merugikan tidak mengakibatkan

dampak buruk bagi masyarakat dan sistem produksinya. Karena alasan ini pula, ada

keinginan kuat mendesentralisasikan (otonomi) pengelolaan SDA ke wilayah lokal (Schwab,

1988).

KONSEP PENILAIAN

Salah satu teknik analisis atau penilaian (valuation) yang sering digunakan adalah

Benefit-Cost Analysis (BCA). Ia dapat digunakan untuk menilai suatu kegiatan, proyek, atau

bahkan suatu regulasi (peraturan) khususnya yang berkaitan dengan upaya-upaya

pengelolaan SDA (Portney, 1990). Berkembangnya teknik penilaian ini merupakan

pendorong sekaligus pemicu para ekonom untuk lebih memahami paradigma pembangunan

yang berkelanjutan. Sebelumnya tidak ada alat analisis yang digunakan terhadap upaya-

upaya pengelolaan SDA sekitar tahun 1970. Tetapi pada saat ini setiap pembuat keputusan

atau yang melaksanakan amanat badan legislatif telah dibekali dengan BCA dengan tujuan

agar keputusan-keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang

lingkungan dan sosial yang lebih luas.

Perhitungan beaya dihubungkan dengan jumlah uang yang diperlukan untuk

mengkompensasi dari bahaya atau resiko akibat kegiatan yang hendak dilaksanakan,

misalnya munculnya wabah penyakit, bencana banjir, kehilangan pekerjaan, sehingga

mereka tetap tidak dirugikan (tetap kaya) seperti sebelum dilaksanakannya kegiatan.

Dengan kata lain, pengukuran beaya mirip dengan pengeluaran-pengeluaran untuk beaya

Page 5: menuju pengelolaan sda hayati

5

kesehatan, rekonstruksi saluran irigasi, dan lain-lain. Sebaliknya, perhitungan manfaat

melibatkan penilaian yang pasti dari hasil kegiatan dan menerjemahkannya ke dalam

pengaruh-pengaruh fisik seperti hilangnya wabah penyakit, peningkatan produksi tanaman,

masa pakai bangunan yang lebih lama dan pengaruh menguntungkan lainnya.

Ada prospek atau rasa optimis terhadap makin baiknya konsep penilaian yang terkait

dengan beaya dan manfaat. Penilaian dapat dilakukan ke segala aspek mulai dari

perencanaan hingga implementasi hal-hal yang teknis dalam wujud ukuran-ukuran ekonomi

yang mudah dipahami. Dan tekniknya akan terus disempurnakan menyusul kelemahan-

kelemahan yang ditemui, antara lain:

1. Tidak ada standart atau baku ukuran penilaian.

2. Tidak menjelaskan sasaran atau lokasi yang menanggung beban beaya atau manfaat yang

ditimbulkan.

3. Masih ditemukan kesulitan untuk memberikan penilaian terhadap peubah-peubah SDA

(pricing the priceless)

4. Ada aspek ketidak-menentuan (uncertainty) terutama terhadap penilaian kondisi SDA di

masa mendatang.

5. Terbatasnya kemampuan untuk menilai semua peubah yang diperkirakan terkait dengan

yang dianalisis.

6. Adanya subyektifitas atau superficial dalam penilaian.

7. Hasil analisis sering terabaikan dalam pengambilan keputusan. Total Economic Value Use Value Non-use Value Direct Use Indirect Use Option Baquest Existence Value Value Value Value Value

Page 6: menuju pengelolaan sda hayati

6

Output can be Functional Future direct Value of leaving Value from knowledge consumed benefit and indirect use and non-use of continued existence, directly use value values for spring based on ,e.g. moral moral conviction food, bimass, ecological biodiversity, habitat, habitats, recreation, functions, conserved irreversible endangered health flood control habitat changes species Decreasing ‘tangibility’ of value to individuals Gambar 1. Klasifikasi teknik penilaian SDA (Munasinghe and Lutz, 1993)

Dikemukakan Munasinghe and Lutz (1993), konsep dasar teknik penilaian

bersumber dari willingness to pay (WTP) setiap individu terhadap kenikmatan atau

pelayanan yang telah ia dapatkan dari SDA sekitarnya. Besarnya adalah setara luas area di

bawah kurva permintaan Hicksian (compensated demand curve), yang sudah berwujud nilai

atau ukuran ekonomi. Selanjutnya WTP dapat digunakan untuk menghitung nilai ekonomi

dari beragam sumberdaya (Gambar 1) yang ada dimuka bumi ini, dimulai dari nampak

nyata (tangible) hingga yang paling sulit dihitung (intangible).

KEBIJAKSANAAN EKONOMI

Proses pembangunan yang didambakan dalam kebijaksanaan ekonomi adalah

terjaminnya keefisienan pengelolaan SDA dan keberlanjutan sistem produksi, yang

didukung mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi dan mendorong

mekanisme pasar pada tingkat yang efisien, dan di dalam nuansa keseimbangan suplai dan

permintaan antara produk barang dan jasa serta kelestarian fungsi lingkungan. Manusia

mendapatkan kepuasan yang seimbang antara produk yang dikonsumsi dan dari kenyamanan

lingkungan sekitarnya. Berikut disajikan beberapa hal penting yang berkaitan dengan hal

yang dikemukakan di atas.

1. Kondisi Dasar

Page 7: menuju pengelolaan sda hayati

7

Untuk melihat posisi dimana pembangunan berkelanjutan ditempatkan, sangat baik

kiranya mereview ideologi yang ada di dalam pengelolaan SDA (O'Riordan dan Turner,

1983 dalam Pierce dan Turner, 1990; p. 12-15). Empat ideologi tersebut berturut-turut

adalah extreme cornucopian, accommodating, communalist, dan deep ecology. Yang

pertama orientasinya sangat ekstrim mengejar pertumbuhan, eksploitatif, dan

menggantungkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar untuk memaksimumkan GDP.

Sementara itu menuju ke urutan terakhir semakin berorientasi ekstrim preservasionis, non-

eksploitatif, dan mendambakan pertumbuhan yang didasari moral dan etika untuk

melindungi SDA.

Memilih satu atau lebih dari empat ideologi di atas sangat tergantung dari aspirasi

dan perilaku masyarakat yang dicerminkan dari tingkat konsumsi, dan teknologinya. Seiring

dan sekaligus untuk mendukung hal tersebut, menurut Randall (1987;p. 380) kebijaksanaan

ekonomi hendaknya dapat mencapai sasaran-sasaran berikut:

1. Kebijaksanaan pengelolaan SDA didasarkan kepada keseimbangan penilaian beaya dan

manfaat.

2. Penetapan insentif dalam kebijaksanaan ekonomi pengelolaan SDA.

3. Pendefinisian strategi dan tanggungjawab pengelolaan SDA ke arah desentralisasi atau

otonomi.

4. Kerjasama antara berbagai pihak dalam perumusan kebijaksanaan pengelolaan SDA.

2. Alokasi sumberdaya hayati

Tietenberg (1994;p. 39) mengemukakan bahwa keragaman sumberdaya hayati

berkaitan dengan (1) jumlah keragaman genetik dalam satu spesies dan (2) jumlah spesies

dalam satu komunitas organisme. Yang pertama berkaitan dengan fungsinya sebagai

cadangan untuk mengembangkan benih baru yang unggul, dan ke dua berkaitan dengan

ketergantungan, keseimbangan dan stabilitas di dalam komunitas untuk mendukung atau

melindungi sistem produksi.

Page 8: menuju pengelolaan sda hayati

8

Alokasi terhadap sumberdaya hayati sebagai input sistem produksi harus dilakukan

secara cermat dan efisien agar tidak menyebabkan jumlahnya merosot sehingga akhirnya

mengganggu sistem produksi.

Alokasi yang efisien hendaknya dapat diterjemahkan melalui pasar (Gambar 2),

dimana kurva permintaan tiap individu (katakan A dan B) dijumlahkan secara vertikal.

Kurva marginal cost (MC) mendatar menunjukkan ciri public resources mempunyai beaya

yang relatif konstan meskipun alokasinya berubah. Total alokasi yang efisien bagi kedua

individu terletak di Q*. Pada kondisi ini, A diharuskan mengalokasikan sejumlah qa dengan

harga Pa dan B mengalokasikan sejumlah qb dengan harga Pb. Atau secara total nilai untuk

membeli atau menyediakan keragaman sumberdaya hayati tersebut adalah (Pa x Q*) + (Pb x

Q*) atau MC x Q*. Nampak bahwa baik A maupun B secara bersama-sama membeli

meskipun dengan jumlah dan harga yang berbeda. Instrumen kebijaksanaan yang akan

diambil, sekalipun sangat sulit, harus mampu mengidentifikasikan perbedaan tersebut

sekaligus mengantisipasi insentif terhadap alokasi yang melanggar kesepakatan.

Ketidakefisienan dalam alokasi public resources biasanya muncul akibat adanya free

rider. Yang terakhir adalah seseorang yang memperoleh keuntungan dari menikmati public

resources tanpa upaya membeli atau menyediakannya. Misalnya dalam kasus di atas, hanya

A saja yang membayar sementara B memperoleh gratis. Dalam kondisi demikian, ada

kecenderungan berkurangnya insentif, yakni sebesar Pb x Q*, untuk menyediakan public

resources kembali seperti semula. Bila hal ini berlanjut maka kepunahan dan ketidak-

stabilan akan terjadi.

3. Instrumen Kebijaksanaan

Instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan keragaman sumberdaya hayati hampir

mirip dengan pengendalian lingkungan sekalipun tidak sama benar. Ia juga dapat ditransfer

atau diperdagangkan meskipun tidak secara bebas karena ciri-ciri keragaman hayati sama

sekali berbeda dengan polusi. Berikut disajikan beberapa instrumen tersebut:

Page 9: menuju pengelolaan sda hayati

9

a. Pajak (charges)

Pajak dikenakan kepada siapa saja yang menikmati kepuasan atau pelayanan yang

dihasilkan oleh sumberdaya hayati. Adanya alokasi yang berlebihan harus dipajak agar

insentif penyelamatannya juga meningkat mengimbangi penurunan kuantitas keragamannya.

Ada dua pengertian tentang pajak dalam hubungannya dengan struktur beaya alokasi, yaitu

real resources cost dan transfer cost. Yang pertama dibebankan kepada industri yang

mengalokasi sumberdaya sehingga meningkatkan struktur beayanya. Dan kedua, pajak

dibebankan kepada masyarakat konsumen sehingga membatasi kepuasannya dalam

menikmati sumberdaya. Secara keseluruhan keduanya tidak akan berbeda tanggapannya

dalam menuju alokasi yang efisien. Harga Mikroba (Rp/unit) Permintaan Pasar (DA+DB) MC

Page 10: menuju pengelolaan sda hayati

10

Pa DA Pb DB qb qa Q* Jumlah Mikroba (unit)

Gambar 2. Alokasi sumberdaya hayati (Tietenberg, 1994;p. 40)

b. Kuota (Individual Transferable Quotas)

Kuota diberikan oleh pemerintah kepada industri melalui mekanisme yang

disepakati, misalnya melihat pengalaman sebelumnya. Sistem kuota yang efisien harus

terspesifikasi dengan jelas dalam hal: (1) jumlah dan nama spesies atau bahkan strain yang

dialokasi tiap individu, (2) total sumberdaya hayati yang digunakan industri berada pada

tingkat yang efisien, dan (3) kuota dapat ditransfer di antara individu.

Setiap individu bebas keluar masuk dalam industri untuk memperoleh kuota asal

mempunyai struktur cost lebih rendah. Aliran transfer kuota ini akan berlangsung terus

sehingga menghasilkan keadaan dimana tiap individu bersaing menekan struktur costnya,

melalui perbaikan managemen dan penggunaan teknologi baru. Atau sebaliknya, kemajuan

teknologi akan menekan cost.

c. Perlindungan sumberdaya hayati

Untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau maksud perlindungan lainnya, sangat

diperlukan upaya untuk menyelamatkan sumberdaya hayati tertentu dari alokasi pada saat

ini. Hal ini bertujuan (1) upaya antisipasi kelemahan ilmu pengetahuan saat ini untuk suatu

keperluan yang tidak dapat diperkirakan (uncertainty) di masa mendatang, dan (2) upaya

diskon (discount future) alokasi saat ini bagi kepentingan pengelolaan SDA bagi generasi

mendatang.

Sayer (1995) mengemukakan hampir setiap negara telah mencadangkan sebagian

wilayahnya, darat atau lautan, untuk perlindungan sumberdaya hayati di dalam taman-taman

Page 11: menuju pengelolaan sda hayati

11

nasionalnya. Kecenderungan demikian nampak meningkat baik dari jumlah maupun luas

totalnya. Di daerah tropika diperkirakan ada 250 taman nasional dengan luas total lebih dari

100 ribu kilometer persegi.

KESIMPULAN

Pembangunan yang berkelanjutan sebagai paradigma baru nampaknya semakin

dipahami. Mulai muncul kesadaran di antara berbagai pakar, ahli ekologi maupun ekonom,

mengenali kendala satu sama lain untuk merumuskannya ke dalam mekanisme kelembagaan

yang diinginkan, dalam rangka mempertahankan stabilitas ekosistem dan sistem produksi.

Telah tersedia perangkat pendekatan property right system maupun materials

balance, yang dapat digunakan, tergantung mana yang dipilih, untuk menjamin alokasi

sumberdaya hayati secara efisien, melalui instrumen kebijaksanan pajak, kuota, maupun

melalui upaya untuk melindunginya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahearne, J. F. 1989. Will nuclear power recover in a greenhouse? Resources.

94(Winter):14-17. Easterling III, W. E. 1990. The question of climate as a natural resource. Resources.

100(Summer):13-17. Holden, C. 1990. Multidiciplinary look at a finite world. Science. 249(July 6,

1990):16&19. Kneese, A. V. 1990. Confronting future environmental challenges. Resources.

99(Spring):15-17. _____________., R. U. Ayres, and R. C. D'Arge. 1973. Economics and Environment: A

materials balance approach. In: Enthoven, A. C. and A. M. Freeman III (eds.). Problems of the Modern economy. W. W Norton and Company, Inc. 25-36.

Munasinghe, M. and E. Lutz. 1993. Environmental economics and valuation in

development decisionmaking. In: Munasinghe (ed.). Environmental Economics and Natutal Resources Management in Developing Countries. Commitee of International Development Institution on the Environment (CIDIE)-World Bank, Washington. 17-71.

Page 12: menuju pengelolaan sda hayati

12

Pierce, D. W. and K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. Harvester Wheatscheaf.

Portney, P. R. 1990. Taking the measure of environmental regulation. Resources.

99(Spring):2-4. Randall, A. 1987. Resources Economics. John Wiley & Son, Toronto. 433p. Sayer, J. A. 1995. Science and international nature conservation. Paper was submitted in

inaugural lecture for the Prince Bernhard Chair at the University of Utrecht, Dept. Plant Ecology and Evolutionary Biology. March 16, 1995. PO Box 800.84, 3508 TB Utrecht, The Netherlands. Scientific publication In: Center for International Forestry Research (CIFOR) Occasional Paper No 4, March 1995, Bogor. 14p.

Schwab, R. M. 1988. Environmental federalism. Resources. 92(Summer):6-9. Tietenberg, T. H. 1994. Environmental Economics and Policy. HarperCollins College

Publishers, New York. 432p.

Page 13: menuju pengelolaan sda hayati

13