menjelaskan bahwa, - abstrak.ta.uns.ac.id file5) kualitas tingkah laku afektif, kognitif, dan...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Prestasi Olahraga Angkat Besi
a. Pengertian Prestasi Olahraga Angkat Besi
Prestasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem
Keolahragaan Nasional (UU SKN) No. 3 Tahun 2005 Pasal 1 pada butir ke 17
dijelaskan bahwa, prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan
atau kelompok olahragawan dalam kegiatan olahraga.
Widodo (2000: 594) menjelaskan bahwa, “prestasi adalah hasil yang telah
dicapai. Prestasi pada umumnya merupakan suatu perwujudan pencapaian tingkat
keberhasillan tentang suatu tujuan atau bukti suatu keberhasilan”. Prestasi olahraga
erat kaitannya dengan suatu pencapaian keberhasilan, seperti yang dijelaskan oleh,
Rahmat Hermawan (2012) dalam Disertasinya bahwa, keberhasilan prestasi akan
tercapai bila di dukung dengan program latihan yang terencana, berjenjang dan
berkelanjutan, serta didukung pula dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sesuai dengan bidang dan cabang olahraganya. Selanjutnya,
Komenpora (1993), dalam Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Olahraga
Prestasi yang dikutip oleh Rahmat Hermawan (2012) dalam Disertasinya
menjelaskan bahwa, untuk mencapai prestasi yang maksimal harus berdasarkan
analisis faktor penentu (diterminasi)/ indikator bakat meliputi:
1) Prestasi/preforma yang telah dicapai
2) Indikator dari peningkatan prestasi
12
3) Memiliki peningkatan prestasi yang lebih cepat daripada anak yang tidak
berbakat
4) Memiliki kualitas mental yang baik
5) Memiliki motivasi intrinsik
6) Stabilitas peningkatan prestasi
7) Daya toleransi terhadap beban latihan (adaptasi)
8) Memiliki jiwa kompetitif yang tinggi
9) Mudah mempelajari dan menguasai suatu keterampilan yang baru
M. Furqon (1995) menjelaskan bahwa, prestasi olahraga adalah tindakan yang
sangat kompleks yang tergantung kepada banyak faktor, kondisi, dan pengaruh-
pengaruh lain. Selanjutnya Martin dalam M. Furqon (1995) menetapkan unsur-unsur
prestasi olahraga sebagai berikut:
1) Keterampilan dan teknik yang diperlukan, dikembangkan, dikuasai, dan
dimantapkan (diotomatisasikan).
2) Kemampuan-kemampuan yang didasarkan pada pengaturan-pengaturan latihan
penyehatan badan, kemampuan gerak, kemampuan belajar dan koordinasi.
3) Tingkah laku yang memadai untuk situasi sportif tertentu, misalnya perubahan
kompetitif atau kondisi-kondisi latihan, stres, kekalahan dan sebagainya.
4) Pengembangan strategi (taktik)
5) Kualitas tingkah laku afektif, kognitif, dan sosial.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa,
prestasi olahraga angkat besi merupakan suatu tindakan yang kompleks dan dapat
memberikan hasil upaya maksimal. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu prestasi
khususnya pada prestasi olahraga angkat besi, diperlukan suatu usaha yang benar-
benar harus diperhitungkan secara matang melalui proses pola pembinaan yang
tersetruktur, terencana, dan terprogram, serta mengacu pada indikator-indikator
13
yang sesuai dengan kajian bidang keilmuan dan memahami secara mendalam dari
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan prestasi olahraga angkat besi.
Dalam olahraga angkat besi, hal yang paling didambakan bagi seorang lifter
adalah pencapaian hasil yang maksimal pada saat pertandingan. Oleh karena itu,
untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal, seorang lifter harus memiliki bekal
penguasaan teknik gerakan mengangkat beban yang baik, dan kesiapan fisik yang
didukung melalui program latihan yang bertujuan meningkatkan performance
penampilan, serta memperhatikan faktor-faktor lainnya yang dapat berdampak pada
pencapaian prestasi olahraga angkat besi.
b. Olahraga Angkat Besi
Weightlifting adalah suatu cabang olahraga tersendiri, dimana para atlet
berlomba-lomba untuk mengangkat beban seberat mungkin dalam kelas masing-
masing oleh karena hal ini akan menentukan apakah akan keluar sebagai juara atau
tidak (Harsono, 1988). lebih lanjut Chiu L and Schilling dalam jurnal Allen Hedrick
dan Hiroaki Wada (2008) menjelaskan bahwa:
“Weightlifting is a sport in which athletes attempt to lift as much weight aspossible in the snatch and clean and jerk”.
Angkat besi adalah olahraga di mana atlet mencoba untuk mengangkat beban
seberat mungkin dalam gerakan angkatan snatch dan angkatan clean and jerk.
Selanjutnya menurut Joseph D. Fortin (1997), dalam jurnal penelitiannya
menjelaskan:
“In Olympic weightlifting the athlete attempts to lift his or her maximumamount of weight in two overhead lifts: the snatch, and the clean and jerk.Selanjutnya ….““The snatch involves pulling the weight from the floor,catching it overhead in a squatting position, and then driving it upward to astanding position. The clean and jerk is a two-movement maneuver. In the
14
clean, the athlete pulls the weight from the floor, catches it at shoulder height ina squatting position, and then assumes an erect position. The jerk consists ofaccelerating the weight from the shoulders to an overhead position”.
Dalam pendapat tersebut, diperjelas bahwa olahraga angkat besi atau Olympic
Weightlifting merupakan upaya atlet untuk mengangkat beban berat secara
maksimal dangan menggunakan dua jenis angkatan yaitu, angkatan snatch dan
angkatan clean and jerk. Dalam angkat besi terdapat dua jenis angkatan, dimana
pada jenis angkatan snatch yaitu mengangkat beban dengan cara menarik beban dari
lantai hingga beban berada pada posisi pegangan diatas kepala dengan posisi
jongkok, kemudian melanjutkan gerakan dari posisi jongkok hingga posisi badan
tegak lurus. Pada jenis angkatan clean and jerk, yaitu mengangkat beban dengan dua
tahap, pertama pada tahap clean atlet menarik beban dari posisi lantai hingga berada
pada posisi pegangan dengan ketinggian sebahu dalam posisi jongkok, dan
kemudian mengasumsikan pada posisi tegak, kedua pada tahap jerk beban yang
semula pada posisi bahu dilanjutkan dengan angkatan maksimal hingga posisi beban
berada di atas kepala.
Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa, olahraga angkat besi dan angkat berat merupakan cabang olahraga yang
mengutamakan persaingan dalam mengangkat beban berat (barbell), yang dilakukan
dengan menggunakan jenis-jenis angkatan yang dipertandingkan, diantaranya: jenis
angkatan snatch dan angkatan clean and jerk pada olahraga angkat besi.
c. Peraturan Olahraga Angkat Besi
Peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam olahraga angkat besi
(weightlifting) mengacu pada peraturan International Wightlifting Federation
15
(IWF), dan PABBSI (Persatuan Angkat Besi dan Angkat Berat Seluruh Indonesia).
adapun perturan tersebut diantaranya:
1) Jenis Batang Bar dan Barbell Yang Dipergunakan
Berdasarkan peraturan yang ditetapkan International Weightlifting
Federation (Technical and Competition Rules and Regulations 2013-2016),
batang bar yang digunakan berdiameter 28-29 milimeter (1.1 in) untuk lifter
laki-laki, dan diameter 25 milimeter (0,98 in) untuk lifter wanita. Panjang batang
barbell 2,2 meter (7,2 ft) dengan berat tidak lebih dari 25kg (55lb) untuk lifter
laki-laki, dan untuk lifter wanita panjang batang barbell 2,1 meter (6,9ft) dengan
berat 15kg (33lb). Pelat beban (barbell) yang digunakan berlapiskan karet solid
dengan kode warna pada setiap ukuran berat beban yang diantaranya: merah
25kg (55lb), biru 20kg (44lb), kuning 15kg (33lb), hijau 10kg (22lb), putih 5kg
(11lb). Kerah atau cincin yang digunakan menggunakan ukuran standard dengan
berat 2,5kg (5,5lb) untuk lifter laki-laki dan wanita.
Gambar 2.1 Batang Barbell Untuk lifter PutraSumber: IWF Technical and Competition Rules and Regulations 2013-2016
Gambar 2.2 Batang Barbell Untuk Lifter PutriSumber: IWF Technical and Competition Rules and Regulations 2013-2016
16
2) Kelas Yang Dipertandingkan
Kelas yang diperlombakan dalam angkat besi mengacu pada rules and
regulations IWF sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Pembagian Kelas Pada Lifter Putra
Laki-laki
52.0 kg Up to 52.0 kg
56.0 kg Up to 56.0 kg
60.0 kg 56.01 kg to 60.0 kg
67.5 kg 60.01 to 67.5 kg
75.0 kg 67.51 to 75.0 kg
82.5 kg 75.01 to 82.5 kg
90.5 kg 82.51 to 90.5 kg
100.0 kg 90.51 to 100.0kg
110.0 kg 100.01 to 110.0kg
125.0 kg 110.01 to 125.01kg
+125 kg 125.01 >
Sumber: IWF Technical and Competition Rules and Regulations 2013-2016
Tabel 2.2 Klasifikasi Pembagian Kelas Pada Lifter Wanita
Wanita
44.0 kg Up to 44.0 kg
48.0 kg Up to 48.0 kg
52.0 kg 48.01 kg to 52.0 kg
56.5 kg 52.01 to 56.5 kg
60.0 kg 56.51 to 60.0 kg
67.5 kg 60.01 to 67.5 kg
75.5 kg 67.51 to 75.5 kg
82.0 kg 75.51 to 82.0kg
90.0 kg 82.01 to 90.0kg
+90.0 kg 90.01 >
Sumber: IWF Technical and Competition Rules and Regulations 2013-2016
17
3) Jenis Angkatan Yang Dipertandingkan
Dalam kompetisi olahraga angkat besi mengacu pada rules and regulations
IWF jenis angkatan yang dipertandingkan meliputi: Angkatan Snatch, dan
Angkatan Clean and Jerk
4) Penghitungan Score
Dalam olahraga angkat besi, penilaian dilakukan dengan mengacu pada
rules and regulations IWF, dan PABBSI yaitu, menggunakan sistem
penjumlahan dari total angkatan maksimal dari 3 kali jumlah kesempatan
melakukan angkatan yang dilakukan pada masing-masing kelas.
2. Kondisi Fisik
a. Pengertian Kondisi Fisik
Kondisi fisik merupakan satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang
tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.
Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen
tersebut harus dikembangkan, walaupun di sana sini dilakukan dengan sistem
prioritas sesuai dengan keadaan atau status setiap komponen itu dan untuk keperluan
apa keadaan status yang dibutuhkan tersebut (M. Sajoto, 1995: 14).
Menurut Harsono (1988:153), menjelaskan bahwa, “kondisi fisik atlet
memegang peranan yang sangat penting dalam program latihannya. Program latihan
kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis dan ditujukan untuk
meningkatkan kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh
sehingga dengan demikian memungkinkan atlet untuk mencapai prestasi yang lebih
18
baik”. Lebih lanjut Harsono (1988), mengemukakan bahwa, kondisi fisik yang baik
akan berpengaruh terhadap fungsi dan organisme tubuh, diantaranya:
1) Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung.
2) Akan ada peningkatan dalam kekutan, kelentukan, stamina, dan komponen fisik
lainnya.
3) Akan ada ekonomis gerak yang lebih baik pada waktu latihan.
4) Akan ada pemulihan yang lebih cepat dalam organ-organ tubuh setelah latihan.
5) Akan ada respon yang cepat dari organisme tubuh kita apabila sewaktu-waktu
respon demikian diperlukan.
Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kondisi fisik
merupakan satu kesatuan unsur yang sangat penting dari komponen-komponen
gerak fisik yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Suatu kondisi fisik
yang baik akan sangat memberikan dampak terhadap gerak penampilannya serta
hasil yang maksimal untuk mencapai suatu prestasi, oleh karena itu pemeliharaan
kondisi fisik, baik dalam proses latihan maupun saat menjelang pertandingan harus
mengalami suatu peningkatan dan dengan program latihan yang dirancang sesuai
dengan karaktersistik cabang olahraga, serta memahami berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi seorang atlet.
b. Komponen Kondisi Fisik
Dalam setiap cabang olahraga terdapat beberapa komponen kondisi fisik yang
dominan dan yang harus dilatih dan dikembangkan dengan tujuan untuk
meningkatkan performance atlet tersebut, oleh karena itu, perlu dipahami secara
mendalam batasan-batasan atau definisi pada setiap unsur komponen fisik tersebut.
Angkat besi merupakan olahraga mengutamakan persaingan dalam
mengangkat beban berat dengan gerakan cepat yang dilakukan dalam sekali
19
angkatan. Dengan kata lain gerakan dalam mengangkat beban dilakukan secara
eksplosif power yang mengkombinasikan berbagai unsur komponen fisik seperti
daya tahan, kekuatan, power, dan fleksibilitas. Hal tersebut diperkuat pada
klasifikasi komponen fisik yang dikemukakan, Nurhasan (1998: 229), dimana dalam
klasifikasi komponen fisik pada olahraga angkat besi meliputi: daya tahan (umum,
khusus), kekuatan, power, dan fleksibilitas.
Berdasarkan pendapat yang diuraikan, maka komponen kondisi fisik yang
diajukan terkait dalam penelitian pada olahraga angkat besi meliputi: daya tahan,
kekuatan, power, flesibilitas. Adapun penjelaskan terkait dengan komponen kondisi
fisik tersebut, diantaranya:
1) Daya Tahan
Istilah ketahanan atau daya tahan dalam dunia olahraga di kenal sebagai
kemampuan peralatan organ tubuh olahragawan untuk melawan kelelahan
selama berlangsungnya aktivitas kerja. Ketahanan selalu terkait erat dengan
lamanya kerja (durasi) dan intensitas kerja, semakin lama durasi latihan dan
semakin tinggi intensitas kerja yang dapat dilakukan, berarti seseorang tersebut
memiliki daya tahan yang baik (Sukadiyanto, 2011). Senada dengan pendapat
tersebut Harsono (1988) menjelaskan bahwa, daya tahan adalah keadaan atau
kondisi tubuh yang mampu untuk bekerja untuk waktu yang lama, tanpa
mengalami kelelahan yang berlebihan setelah menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Selanjutnya Sukadiyanto (2011) menjelaskan bahwa, setiap aktivitas
olahraga yang memerlukan intensitas maksimal dalam waktu pendek selalu
memerlukan sumber energi anaerobik. Pemenuhan kebutuhan energi akan
20
berubah dari anaerobik menjadi aerobik, bila durasinya bertambah secara
otomatis akan diikuti dengan penurunan intensitas. Tanpa memiliki kemampuan
anaerobik yang baik, maka olahragawan tidak akan mampu bekerja dengan
intensitas yang tinggi dan durasi yang pendek atau kerja yang bersifat eksplosif.
Dalam melatih suatu ketahanan, penyusunan program latihan haruslah
disesuaikan dengan durasi dan intensitas yang diperlukan pada setiap cabang
olahraganya. Oleh karena, melatih daya tahan dapat mempengaruhi dan
berdampak pada kualitas penggunaan sistem energi. Seperti yang diungkapkan
Bowers dan Fox (1992) dalam Disertasi Rahmat Hermawan (2012), menjelaskan
bahwa, ada beberapa perubahan yang terjadi setelah melakukan latihan daya
tahan, diantaranya:
(1) Terjadinya konsentrasi mioglobin yang berguna untuk mengirimkan(diffuse) oksigen (O2) dari dinding sel (cell membrane) ke mitokondria.
(2) Oksidasi karbohidrat dan lemak, karena kemampuan aerobik pada ototrangka meningkat lebih besar yang disebabkan latihan daya tahan, makakemampuan untuk mengkonsumsi oksigen dalam menggunakan karbohidratdan lemak sebagai bahan bakar metabolisme ditingkatkan sehingga terjadipangaruh terhadap serabut Fast Twitch (FT) maupun Slow Twitch (ST) yangditandai dengan (a) meningkatnya jumlah mitokondria pada otot rangka, (b)suatu peningkatan pada aktivitas atau konsentrasi pada sistem enzymaticpada reaksi aerobik yang berlangsung di mitokondria melalui respekpeningkatan jumlah dan ukuran mitokondria.
(3) Perubahan pada penyimpanan glikogen otot dan trigliserida pada orangyang berlatih fisik dalam waktu lama maka disinyalir terjadi penyimpananglikogen dan lemak di otot sebesar 83% pada orang yang sama. In human,glycogen represent the stroge from of glucose and service as a metabolicfuel for skeletal muscle.
Selanjutnya Bowers dan Fox menjelaskan bahwa, akibat latihan daya tahan
akan terjadi perubahan pada anaerobik glicolisis (sistem asam laktat), dan
ditemukan penurunan enzyme glikolitik sekitar 20-25% perubahan pada
penyimpanan phosphagen. Otot yang menyimpan ATP (Adenosine Tri
Phosphate) dan PC (Phospho Creatine) meningkat sekitar 25-40%. Perubahan
21
pada ukuran dan jumlah serabut otot. Jumlah serabut FT dan ST. Pada otot tidak
berubah melalui latihan, tetapi ada penyesuaian dari serabut FT(b) ke FT(a).
persentase serabut ST akan lebih besar karena latihan daya tahan.
Karakteristik pada olahraga angkat besi adalah mengangkat beban berat
dengan gerakan yang cepat dan maksimal (eksplosif). Oleh karena itu, energi
yang dipergunakan dalam olahraga tersebut adalah energi ketahanan anaerobik
melalui gerakan yang ditimbulkan oleh otot, artinya bahwa energi yang
dipergunakan adalah energi yang sudah ada tersimpan didalam otot. Hal tersebut
diperkuat oleh pendapat Nossek (1982) dalam terjemahan M. Furqon (1995)
bahwa, sebagai akibat latihan anaerobik, otot-otot dapat menyimpan energi lebih
banyak dan organisme yang terlatih secara lebih baik dapat juga menghabiskan
seluruh energi dalam penampilan dibandingkan dengan yang kurang terlatih.
Daya tahan anaerobik terutama tidak dapat mengembangkan fungsi sistem
kardio pulmonari (sistem jantung dan sirkulasi dalam hubungannya dengan
paru-paru dan pernafasan), tetapi lebih mengembangkan kekuatan dan daya
tahan kecepatan (kualitas dan fungsional dari otot).
2) Kekuatan
Kekuatan adalah tenaga kontraksi otot yang dicapai dalam usaha
maksimal. Usaha maksimal ini dilakukan oleh otot atau sekelompok otot untuk
mengatasi suatu tahanan. Kekuatan merupakan unsur yang sangat penting dalam
aktivitas olahraga, karena kekuatan merupakan daya penggerak, dan pencegah
cedera. Selain itu kekuatan memainkan peran penting dalam komponen-
komponen kemampuan fisik yang lain misalnya power, kelincahan, dan
22
kecepatan (Ismaryati, 2008). Senada dengan pendapat tersebut Harsono (1988)
menjelaskan bahwa, kekuatan adalah komponen yang sangat penting guna
meningkatkan kondisi fisik secara keseluruhan. Oleh karena, (1) kekuatan
merupakan daya penggerak setiap aktivitas fisik, (2) kekuatan memegang peran
yang penting dalam melindungi atlet dari kemungkinan cidera, (3) oleh karena
dengan kekuatan atlet dapat lari lebih cepat, melempar atau menendang lebih
jauh dan lebih efisien, memukul dengan keras, demikian pula dapat membantu
memperkuat stabilitas sendi-sendi. Lebih lanjut Harsono dalam bukunnya
menjelaskan bahwa, meskipun aktivitas olahraga lebih memerlukan agilitas,
fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, koordinasi, dan sebagainya, akan tetapi
faktor-faktor tersebut tetap harus dikombinasikan dengan faktor kekuatan agar
diperoleh hasil yang baik. Jadi, kekuatan tetap merupakan basisi dari semua
komponen kondisi fisik.
Menurut Sukadiyanto (2011) menjeaskan bahwa, kekuatan secara umum
adalah kemampuan otot atau sekelompok otot untuk mengatasi beban atau
tahanan. Secara fisiologi, kekuatan adalah kemampuan neoromuskuler untuk
mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Artinya, tingkat kekuatan
olahragawan diantaranya dipengaruhi oleh keadaan: penjang pendeknya otot,
besar kecilnya otot, jauh dekatnya titik beban dengan titik tumpu, tingkat
kelelahan, jenis otot, potensi otot, pemanfaatan potensi otot, teknik, dan
kemampuan kontraksi otot.
Selanjutnya Bompa (1994) mengemukakan bahwa, kekuatan otot sangat
dipengaruhi oleh tiga hal, diantaranya: (1) potensi otot, yaitu jumlah kekuatan
yang ditampilkan oleh seluruh otot dalam satu kali kerja. Artinya, dalam setiap
23
kelompok otot sebenarnya terdiri atas beberapa serabut otot, tetapi bagi yang
kurang terlatih tidak semua serabut otot yang ada ikut aktif bekerja. (2)
pemanfaatan potensi otot, yaitu kemampuan olahragawan dalam memanfaatkan
seluruh potensi otot untuk terlibat dalam suatu kerja secara serentak, dari pusat
sampai pada ujung serabut otot. Dengan kata lain seluruh serabut otot pada
kelompok otot yang bekerja ikut berkontraksi. (3) penguasaan keterampilan
teknik, yaitu dukungan pada olahragawan untuk dapat mengangkat beban yang
lebih berat. Secara fisiologis otot hanya mampu memanfaatkan 30% dari seluruh
potensi yang dimiliki. Dengan penguasaan teknik yang benar, olahragawan akan
dapat meningkatkan pemanfaatan potensi otot dalam mengatasi beban hingga
mencapai 80% dari seluruh potensi yang seharusnya.
Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
kekuatan merupakan suatu kemampuan otot atau sekelompok otot untuk
melakukan kontraksi atau tegangan dalam menerima beban saat beraktivitas.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan kinerja otot, maka dalam melatih
komponen kekuatan khususnya pada olahraga angat besi haruslah disesuaikan
pada bagian-bagian otot yang paling dominan serta berpotensi terhadap cabang
olahraga angkat besi.
Pada olahraga angkat besi kekuatan sangatlah penting terutama dalam
upaya mengangkat beban, dimana kontraksi yang dihasilkan pada otot-otot
bagian tubuh yang meliputi: tangan, lengan, punggung, dan tungkai, berpotensi
untuk berkontraksi melakukan gerakan mengangkat beban dalam satu kali
angkatan. Seperti pada gambar berikut:
24
Gambar 2.3 Anatomi Gerakan Mengangkat BebanSumber: Gareth Thomas’s (2008)
3) Power (Daya Ledak)
Power atau daya ledak merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang
didalamnya terdapat unsur kekuatan dan kecepatan. Seperti yang diungkapkan
Harsono (1988) bahwa, power adalah kemampuan otot untuk mengerahkan
kekuatan dalam waktu yang sangat cepat. Artinya power dibentuk oleh dua
komponen fisik yaitu kekuatan dan kecepatan. Lebih lanjut Bucher dalam
Harsono (1988) menegaskan bahwa “The powerfull individual is able to use
speed and strength in an efficient, coordinated, and skillfull manner”.
Selanjutnya dikatakan bahwa seorang individu yang mempunyai power adalah
orang yang mempunyai “(1) a high degree muscular strength, (2) a high degree
of speed, (3) a high degree of skill in intergrating speed and muscular strength”.
Dari pendapat di atas disebutkan terdapat dua unsur penting dalam power,
yaitu: kekuatan otot, dan kecepatan otot dalam mengerahkan tenaga maksimal
25
dalam mengatasi ketahanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa power
atau daya ledak adalah kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan maksimal
dalam waktu yang sangat cepat.
Dalam olahraga angkat besi power merupakan komponen yang sangat
dibutuhkan, karena karakteristik dalam olahraga tersebut melibatkan
kamampuan otot berkontraksi secara cepat dan maksimal (eksplosif) dalam
gerakan merubah posisi beban semula pada posisi vertical ke horizontal. Seperti
pada gambar berikut:
Gambar 2.4 Gerakan Perpindahan Beban Eksplosif PowerSumber: www.Crossfitfrantic.com (2015)
4) Fleksibilitas
Komponen kondisi fisik fleksibilitas merupakan salah satu unsur penting
hampir disemua cabang olahraga, karena suatu tingkat fleksibilitas yang baik
akan dapat berpengaruh terhadap komponen-komponen kondisi fisik lainnya.
Harsono (1988: 163) dalam bukunya menjelaskan bahwa, fleksibilitas adalah
kemampuan untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak sendi. Kecuali oleh
26
ruang gerak sendi, kelentukan juga ditentukan oleh elastis tidaknya otot-otot,
tendon, dan ligament. Senada dengan pendapat tersebut Sukadiyanto (2011)
menjelaskan bahwa, fleksibilitas mengandung pengertian, yaitu luas gerak satu
persendian atau beberapa persendian. Ada dua macam fleksibilitas, yaitu
fleksibilitas statis, dan fleksibilitas dinamis. Dimana dalam fleksibilitas statis
ditentukan oleh ukuran luas gerak (range of motion) satu persendian atau
beberapa persendian, sedangkan fleksibilitas dinamis adalah kemampuan
seseorang dalam bergerak dengan kecepatan yang tinggi.
Selanjutnya Sukadiyanto (2011), dalam bukunya menjelaskan bahwa, ada
beberapa keuntungan bagi atlet yang memiliki kualitas fleksibilitas yang baik,
antara lain yaitu, (1) akan memudahkan atlet dalam menampilkan berbagai
kemampuan gerak dan keterampilan, (2) menghindarkan diri dari kemungkinan
akan terjadinya atau mendapatkan cidera pada saat melakukan aktivitas fisik, (3)
memungkinkan atlet untuk dapat melakukan gerak yang ekstrim, (4)
memperlancar aliran darah sehingga sampai pada serabut otot. Selanjutnya
Bompa dalam Sukadiyanto (2011) menjelaskan bahwa, secara garis besar faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan fleksibilitas seseorang
antara lain adalah: (a) elastisitas otot, (b) tendo dan ligament, (c) susunan tulang,
(d) bentuk persendian, (e) suhu dan tempratur tubuh, (f) umur, dan (g) bioritme.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
fleksibilitas adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerakan dalam
ruang gerak persendiannya, baik dalam bentuk statis yang ditentukan oleh
keluasan persendian, maupun dalam bentuk dinamis yang ditentukan oleh
kemampuan bergerak dengan kecepatan tinggi.
27
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kondisi Fisik
Banyak sekali faktor kondisi fisik, dimana faktor-faktor tersebut saling
melengkapi. Seperti yang di ungkapkan Wardan (1998) bahwa, faktor-faktor utama
yang mempengaruhi kondisi fisik antara lain: faktor latihan, faktor istirahat, faktor
kebiasaan hidup sehat, lingkungan serta makanan dan gizi, dan yang dimaksud
dengan faktor latihan adalah latihan olahraga.
Harsono (1998) menjelaskan bahwa, latihan atau training adalah proses
sistematis dari pelatih, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian
bertambah jumlah beban latihan atau pekerjaannya. dengan program latihan yang
sistematis dan terprogram akan memungkinkan sekali dapat menghasilkan prestasi
yang optimal. yang dimaksud dengan sistematis dalam latihan adalah berencana,
menurut jadwal, menurut pola, dan sistem tertentu, metodis, dari yang mudah ke
yang sukar, latihan yang teratur, dari yang sederhana ke yang kompleks.
Selanjutnya Harsono menjelaskan bahwa, faktor istirahat yaitu, dimana tubuh
akan merasa lelah setelah melakukan aktivitas, hal ini disebabkan oleh pemakaian
tenaga untuk aktivitas yang bersangkutan. Untuk mengembalikan tenaga yang telah
terpakai diperlukan istirahat. Dengan beristirahat tubuh akan menyusun kembali
tenaga yang hilang. Faktor kebiasaan yang sehat seseorang apabila menginginkan
kondisi fisik tetap terjaga, maka atlet harus menerapkan cara hidup sehat dalam
kehidupan sehari-hari, meliputi: (1) makan makanan yang bersih dan mengandung
gizi yang baik dan (2) selalu menjaga kebersihan pribadi, mandi yang teratur,
kebersihan gigi, kebersihan rambut, kebersihan kuku dan pakaian yang bersih.
Faktor Lingkungan. Lingkungan adalah tempat dimana seseorang tinggal dalam
28
waktu yang lama, dalam hal ini menyangkut lingkungan fisik, serta sosial, mulai
dari lingkungan perumahan, lingkungan pekerjaan daerah tempat tinggal dan
sebagainya. Kualitas kesehatan seseorang dapat dilihat dengan keadaan status
kondisi fisik, bagian yang paling kelihatan dari kesegaran secara umum adalah
kondisi fisik. faktor makanan dan gizi. Sejak masih dalam kandungan, manusia
sudah memerlukan makanan dan gizi yang cukup yang digunakan untuk
pertumbuhan. Jadi dalam pembinaan kondisi fisik, tubuh haruslah cukup makanan
yang bergizi, yang mengandung unsur-unsur: protein, lemak, karbohidrat, garam-
garam mineral, vitamin dan air.
3 Motivasi Berprestasi
a. Pengertian Motivasi Berprestasi
Motivasi merupakan suatu istilah yang menjukan tentang kekuatan serta
dorongan pada diri, yang akan mengkasilkan kegigihan dalam berprilaku yang
diarahkan untuk mencapai tujuan. Seperti yang diungkapkan Cratty (1977) dalam
buku Harsono (1988) bahwa, secara umum istilah motivasi mengacu kepada faktor-
faktor dan proses-proses yang bermaksud untuk mendorong orang untuk beraksi
atau untuk tidak beraksi dalam berbagai situasi. Senada dengan pendapat tersebut
Singgih G. Gunarsa (1989) menjelaskan bahwa, motivasi adalah keseluruhan daya
penggerak di dalam individu yang menimbulkan kegiatan latihan, menjamin
kelangsungan latihan, dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai
tujuan.
Husdarta (2014) menjelaskan bahwa, motivasi berprestasi merupakan suatu
dorongan yang terjadi dalam diri individu untuk senantiasa meningkatkan kualitas
tertantu dengan sebaik-baiknya atau lebih biasa dilakukan. Tercapainya tujuan
29
seseorang tidak lain untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam
dirinya yang dianggap perlu. Lebih lanjut Koeswara (1986) dan Straub (1978) dalam
Husdarta (2014) menjelaskan bahwa, motivasi untuk berprestasi yang kuat akan
akan mengarahkan individu untuk mendekati situasi yang berkaitan dengan prestasi.
Prestasi adalah sama dengan keterampilan plus motivasi. Meskipun atlet mempunyai
keterampilan yang baik, akan tetapi tidak ada hasrat untuk bermain baik, biasanya
atlet tersebut akan mengalami suatu kegagalan. Demikian pula atlet atau tim
mempunyai hasrat yang tinggi tetapi tidak mempunyai keterampilan, maka prestasi
tetap buruk. Hasil yang optimal hanya dapat dicapai kalau motivasi dan
keterampilan saling melengkapi. Motivasi berprestasi dipandang sebagai suatu
harapan untuk memperoleh kepuasan dengan jalan menguasai tugas-tugas yang
sukar dan menantang.
Selanjutnya Rabideau (2005) menjelaskan bahwa, ada dua aspek yang
mendasari motivasi berprestasi, yaitu: (1) pengharapan untuk sukses dan
menghindari kegagalan, (2) aspek motivasi berhubungan dengan hal-hal atau tugas
dikemudian hari. Usaha menghindari kegagalan dapat diartikan sebagai upaya
mengerjakan tugas-tugas seoptimal mungkin, agar tidak gagal untuk memperoleh
kesempatan yang akan dating. Demikian juga usaha untuk sukses dapat menjadi
pendorong yang memberi kepercayaan diri, sehingga mampu melakukan sesuatu
dengan sukses, dengan mempertimbangkan kemampuan untuk menghindari
kegagalan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, motivasi
berprestasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri individu untuk
senantiasa meningkatkan kualitas tertentu pada dirinya dengan sebaik-baiknya.
30
Dalam olahraga angkat besi dan berat motivasi interpretasikan sebagai keseluruhan
dari daya penggerak yang mengacu kepada faktor-faktor dan proses yang memberi
semangat dorongan, arahan, kegigihan prilaku dalam berbagai situasi untuk
mencapai suatu tujuan.
b. Karakteristik Motivasi Berprestasi
Mc Clelland (1987) mengemukakan bahwa, terdapat enam karakteristik orang
yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, yaitu sebagai berikut :
(1) Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi(2) Berani mengambil dan memikul resiko(3) Memiliki tujuan yang realistik(4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan(5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkret dalam semua kegiatan yang
dilakukan(6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang sudah diprogramkan.
Selanjutnya, Murray mengemukakan bahwa, karakteristik seseorang yang
mempunyai motivasi berprestasi tinggi, diantaranya:
(1) Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya(2) Melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan(3) Menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan(4) Berkeinginan menjadi orang terkenal dan menguasai bidang tertentu(5) Melakukan pekerjaan yang sukar dengan hasil yang memuaskan(6) Mengerjakan sesuatu yang sangat berarti.(7) Melakukan sesuatu yang lebih baik daripada orang lain.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
memiliki karakteristik motivasi berprestasi yang tinggi adalah seseorang yang
memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, berani mengambil resiko, memiliki
suatu rencana dan berjuang merealisasikan tujuan, memanfaatkan umpan balik
dalam semua kegiatan yang dilakukan, mencari kesempatan untuk merealisasikan
tujuan, melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, menyelesaikan tugas-tugas yang
31
memerlukan usaha dan keterampilan, serta berkeinginan menguasai suatu bidang
tertentu.
c. Fungsi Motivasi Berprestasi
Motivasi berprestasi dalam konteks olahraga pada dasarnya berfungsi sebagai
dorongan yang sangat kuat untuk berusaha dan bekerja keras demi mencapai suatu
keberhasilan dan keunggulan, serta berusaha untuk menghindari kegagalan. Harsono
(1988: 250), menjelaskan bahwa, ditinjau dari fungsinya, motivasi dapat berfungsi
sebagai motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
1) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik berfungsi karena adanya rangsangan dari luar diri
seseorang. Misalnya, seseorang terdorong untuk berusaha atau berprestasi
sebaik-baiknya disebabkan karena (1) menariknya hadiah-hadiah yang
dijanjikan kepadanya bila ia menang, (2) karena perlawatan keluar negeri, (3)
karena akan dipuja orang, (4) karena akan menjadi berita di koran-koran dan tv,
(5) karena ingin mendapatkan status di masyarakat. Lebih lanjut, Harsono dalam
bukunya menjelaskan bahwa, dalam dunia olahraga, motivasi ekstrinsik sering
pula disebut competitive motivation, oleh karena, dorongan untuk bersaing dan
untuk menang memegang peran yang lebih besar dari pada rasa kepuasan karena
telah berprestasi dengan baik.
2) Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik berfungsi karena adanya dorongan-dorongan yang
berasal dari dalam diri individu sendiri. Misalnya, seseorang selalu berusaha
untuk semakin meningkatkan kepintarannya, kemampuan dan keterampilannya,
karena hal tersebut akan memberikan kepuasan kepada dirinya, tak perduli
32
apakah karena prestasinya nanti akan mendapatkan suatu pujian, mendali, atau
hadiah lainya, ataupun sebaliknya, karena yang terpenting bagi seseorang yang
memiliki motivasi intrinsik ialah kepuasan bagi dirinya.
Harsono (1988) dalam buku menjelaskan, atlet-atlet dengan motivasi
intrinsik, biasanya mereka memperlihatkan dengan dedikasi yang tinggi
terhadap latihan-latihan. Atlet demikian biasanya juga tidak menggantungkan
diri kepada orang lain, mempunyai kepribadian yang matang, percaya diri, dan
mempunyai disiplin diri yang matang. Baginya kegagalan sama pentingnya
dengan kemenangan, karena melalui pengalaman-pengalaman tersebut ia
memperoleh umpan balik mengenai keadaan dirinya dan memperoleh pula
pengetahuan baru yang ia perlukan.
Dalam dunia olahraga, motivasi intrinsik sering pula disebut competence
motivation, karena atlet dengan motivasi intrinsik biasanya sangat bergairah
untuk meningkatkan kompetisinya dalam usahanya untuk mencapai
kesempurnaan (excellence). Seperti yang diungkapkan Wilt dan Bosen (Fous:
1981) dalam buku Harsono (1988), bahwa “Internal motivation is so vitally
important to the champion atlete, …no one else can do it for him”. Coach bisa
saja menambah kecepatan pada atlet, melatih daya tahannya, membakar
semangatnya, melatih dia untuk mencapai kondisi puncaknya, memperbaiki
kesalahan-kesalahannya, mengoreksi teknik gerakannya, dan mendidik percaya
diri. Akan tetapi, atlet harus ingat bahwa dia sendirilah yang bias membangun
motivasi internalnya. “..that the burder of physical effort and internal
motivation are his exclusive responsibilities” (Fuoss, 1981; dalam Harsono,
1988).
33
Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi
berprestasi berfungsi sebagai adanya rangsangan dari luar diri seseorang atau
disebut dengan motivasi ekstrinsik, dan adanya dorongan-dorongan yang berasal
dari dalam diri individu sendiri atau disebut dengan motivasi intrinsik.
d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Tingkah laku seseorang pada hakikatnya ditentukan oleh suatu kebutuhan
untuk mencapai tujuan. Seseorang melakukan perbuatan atau tindakan, selalu
didasarkan dan ditentukan oleh faktor-faktor yang dating dari dalam dan
dipengaruhi oleh apa yang dipikirkannya. Faktor dari dalam dirinya ikut
menentukan perbuatannya, sedangkan faktor dari luar dapat memperkuat atau juga
memperkecil motif seseorang. Istilah motivasi mengacu kepada faktor dan proses
yang mendorong seseorang untuk bereaksi atau tidak bereaksi dalam berbagai
situasi (Husdarta, 2014). Lebih lanjut McClelland dalam Djiwandono (2002)
menjelaskan bahwa, manusia dalam berinteraksi dalam lingkungannya sering sekali
sekali dipengaruhi berbagai motif, motif tersebut berkaitan dengan keberadaan
dirinya sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial yang selalu berhubungan
dengan lingkungannya. Motif untuk berprestasi (achievement motive) adalah motif
untuk mendorong seseorang mencapai suatu keberhasilan dalam bersaing dengan
suatu ukuran keunggulan (standard of excellence), baik berasal dari standar
prestasinya sendiri (autonomous standard) diwaktu lalu ataupun prestasi orang lain
(social comparison standard).
Krech dan Ballachay (1962), Kamlesh (1983) dalam rangkuman Husdarta
(2014), mengemukakan bahwa, dalam motivasi berprestasi dipengaruhi oleh faktor
34
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: (1) pembawaan atlet, (2) tingkat
pendidikan, (3) pengalaman masa lalu, (4) cita-cita dan harapan. Sedangkan faktor
eksternal meliputi: (1) fasilitas yang tersedia, (2) sarana dan prasarana, (3) metode
latihan, (4) program latihan, (5) lingkungan atau iklim pembinaan.
Selanjutnya Atkinson dalam Husdarta (2014) dan Mc Clelland (1987)
mengemukakan, dalam teori motivasi berprestasi terdapat beberapa kebutuhan yang
mendasari motivasi untuk berprestasi, diantarannya:
1) Need For Achievement (Kebutuhan akan prestasi)
Kebutuhan untuk mengungguli dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran yang
dipertandingkan.
2) Need For Affiliation (Kebutuhan akan afiliasi)
Kebutuhan untuk merasakan kehangatan dalam pergaulan atau hubungan sosial.
3) Need For Power (Kebutuhan akan kekuasaan)
Kebutuhan untuk mengontrol diri dan mempengaruhi orang lain.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi motivasi diantaranya: faktor internal dan faktor eksternal.
Dimana faktor internal meliputi: (1) pembawaan atlet, (2) tingkat pendidikan, (3)
pengalaman masa lalu, (4) cita-cita dan harapan. Sedangkan faktor eksternal
meliputi: (1) fasilitas yang tersedia, (2) sarana dan prasarana, (3) metode latihan, (4)
program latihan, (5) lingkungan atau iklim pembinaan, serta faktor kebutuhan
seperti: kebutuhan akan prestasi (need for achievement), kebutuhan akan afiliasi
(need for affiliation), dan kebutuhan akan kekuasaan (need for power).
35
4 Kecemasan (Anxiety)
a. Pengertian Kecemasan
Lapangan olahraga senantiasa penuh dengan kecemasan (anxiety) dan konflik-
konflik, penuh dengan ketakutan-ketakutan dan bentrokan-bentrokan mental,
sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi psikologis atlet baik menjelang
pertandingan, maupun saat pertandingan berlangsung. Kecemasan (anxiety) adalah
perasaan takut, cemas, atau khawatir akan terancam security kepribadiannya
(Harsono, 1988). Senada dengan pendapat tersebut, Martens, Vealy, dan Burton
(1990), menjelaskan bahwa kecemasan olahraga adalah perasaan khawatir, gelisah,
dan tidak tenang dengan menganggap pertandingan sebagai sesuatu yang
membahayakan atlet. Lebih lanjut Smith dan Sarason (1993), mengungkapkan unsur
yang paling dominan menyebabkan kecemasan adalah unsur kognitif yakni
kekhawatiran dan pikiran negatif bahwa proses dan hasil pertandingan dapat
mengancam posisi atlet. Kecemasan dapat timbul karena dampak dari situasi yang
sedang berlangsung maupun yang sudah berlangsung. Oleh karena itu dibutuhkan
kejelian seorang pelatih dalam mengambil dan merubah keputusan cepat dan tepat
dalam situasi konflik yang dialami atlet saat merasakan suatu tekanan atau merasa
cemas.
Selanjutnya, Satiadarma (2000) menjelaskan bahwa, di dalam dunia olahraga,
kecemasan (anxiety), gugahan (arousal) dan stres (stress) merupakan aspek yang
memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga sulit dipisahkan.
Kecemasan dapat menimbulkan aktivitas gugahan pada susunan saraf otonom,
sedangkan stres pada derajat tertentu menimbulkan kecemasan dan kecemasan
menimbulkan stres. Lebih lanjut, Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000)
36
menjelaskan bahwa gugahan bersifat fisiologis ataupun psikologis yang bisa bernilai
positif atau negatif, sedangkan kecemasan sifatnya adalah emosi negatif. Kemudian,
stres merupakan suatu proses yang mengandung tuntutan substansial, baik fisik
maupun psikis untuk dapat dipenuhi oleh individu, karena kurang seimbangnya
keadaan fisik atau psikis.
Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan merupakan perasaan takut, cemas, gelisah, dan tidak tenang atau
khawatir akan terancam security kepribadiannya yang dapat timbul karena dampak
dari situasi yang sedang berlangsung maupun yang sudah berlangsung, serta
kecemasan dapat menimbulkan aktivasi gugahan (aurosal) pada susunan saraf
otonom, hingga menimbulkan stress.
b. Konsep Kecemasan
Spielberger dalam Jarvis (1999), membagi kecemasan dalam olahraga menjadi
dua konsep yaitu, State Anxiety dan Trait Anxiety, dimana dalam pertandingan
ataupun kompetisi, kecemasan A-state dan kecemasan A-trait sering sekali tampak
pada atlet yang akan bertanding atau menjelang pertandingan.
1) State Anxiety (A-State)
State Anxiety atau biasa disebut A-state adalah kondisi cemas berdasarkan
situasi dan peristiwa yang dihadapi. Artinya bahwa situasi dan kondisi
lingkungan yang menyebabkan tinggi rendahnya kecemasan yang dihadapi
(Spielberger dalam Jarvis, 1999). Selanjutnya Satiadarma (2000)
mengungkapkan bahwa state-A berfluktuasi atau berubah-ubah dari suatu waktu
ke waktu yang lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang
terjadi saat kini. Jadi, sekalipun trait-A seorang atlet rendah namun apabila atlet
37
tersebut sedang bersiap-siap untuk menghadapi pertandingan, maka ia akan
mengalami state-A yang lebih tinggi daripada jika atlet tidak sedang manghadapi
pertandingan.
2) Trait Anxiety (A-Trait)
Trait Anxiety atau biasa disebut A-trait adalah level kecemasan yang secara
alamiah dimiliki seseorang. Artinya, masing-masing orang mempunyai potensi
kecemasan yang berbeda-beda (Spielberger dalam Jarvis, 1999). Trait anxiety
merupakan faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk
mempersepsi suatu keadaan sebagai suatu situasi yang mengandung ancaman
atau situasi yang mengancam, yang relatif menetap. Apabila seorang atlet
memiliki trait-A yang tinggi, ia mempersepsi situasi pertandingan sebagai situasi
yang penuh dengan ancaman dan menimbulkan kecemasan tinggi pada dirinya
(Cox, 2002).
Selanjutnya Cox (2002) menjelaskan bahwa, kecemasan sebagai state anxiety
atau trait anxiety memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif (cognitif
anxiety) dan komponen somatik (somatic anxiety). Cognitif anxiety merupakan
komponen mental, yaitu munculnya kecemasan disebabkan karena adanya suatu
ketakutan terhadap penilaian sosial yang negatif, ketakutan akan kegagalan dan
kehilangan harga diri. Somatic anxiety merupakan komponen fisik dan
mencerminkan respon-respon fisiologis, seperti peningkatan denyut jantung,
peningkatan pernapasan dan ketegangan otot-otot.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan dalam olahrga terbagi dalam dua konsep diantaranya, state anxiety
(kecemasan bertanding) dan trait anxiety (kecemasan sebagai kepribadian). Baik
38
kecemasan state-A maupun trait-A dirasakan dalam pemikiran dan persepsi akan
ketakutan menghadapi kompetisi pertandingan (kognitif) dan peningkatan respon
fisiologis (somatik).
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Gelanggang kompetisi olahraga memiliki pengaruh terhadap kecemasan.
Proses yang berlangsung selama kompetisi merupakan proses kecemasan yang
terjadi dalam diri individu sebagai akibat dari situasi kompetisi yang sebenarnya
(Husdarta, 2014). Lebih lanjut Harsono (1988), Endler dalam Cox (2002),
menjelaskan bahwa, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan
atlet dalam menjelang pertandingan, diantaranya:
1) Takut kalau gagal dalam pertandingan
2) Takut akan akibat social atas mutu prestasi mereka
3) Takut cidera atau hal lain yang berhubungan dengan kelainan-kelainan kondisi
fisiologisnya yang mungkin akan menimpa tubuh mereka.
4) Takut akan akibat agresif fisik, baik yang dilakukan oleh lawan maupun oleh
diri sendiri.
5) Takut bahwa fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan tugasnya atau
pertandingan dengan baik.
6) Situasi yang ambigu
7) Kekacauan terhadap latihan rutin
Selanjutnya Harsono menjelaskan bahwa, kecemasan atlet saat akan
bertanding dapat dideteksi melalui gejala-gejala kecemasan, yang dapat
mengganggu penampilan seorang atlet. Kebanyakan para ahli membedakan gejala-
gejala itu menjadi gejala fisik dan gejala psikis, diantaranya:
1) Gejala fisik
39
Adanya perubahan yang drastis pada tingkah laku, gelisah atau tidak tenang,dan sulit tidur.
Terjadi ketegangan pada otot-otot pundak, leher, perut, dan otot-ototekstrimitas.
Terjadi perubahan irama pernapasan Terjadi kontraksi otot setempat pada dagu, sekitar mata, dan rahang.
2) Gejala Psikis
Gangguan pada perhatian dan konsentrasi Terjadinya perubahan emosi Menurunnya rasa percaya diri Timbul obsesi Menurunnya motivasi Merasa cepat putus asa Kehilangan kontrol
Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan atlet terutama menjelang
pertandingan diantaranya adalah takut akan kegagalan dalam pertandingan, takut
akan akibat tindakan sosial atas mutu prestasi yang diperoleh, takut akan cedera
yang didapat, takut akan agresifitas fisik, takut akan fisiknya tidak mampu
menyelesaikan tugasnya dalam pertandingan, situasi yang ambigu, dan kekacauan
akibat latihan rutin, serta gejala-gejala kecemasan yang dapat mengganggu
penampilan atlet secara fisik maupun psikis.
Dalam olahraga angkat besi dan berat kecemasan diinterpretasikan sebagai
suatu perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir, cemas, dan gelisah,
yang direpresentasikan dengan suatu rasa gugup, takut akan suatu kegagalan, dan
tegang yang dialami secara subjektif karena dipicu oleh pengalaman kegagalan pada
perlombaan terdahulu atau pengalaman baru yang dapat mempengaruhi suatu
kondisi fisiologisnya sehingga jelas akan berdampak terhadap penampilan serta
prestasi atlet.
40
d. Teknik Mengurangi Tingkat Kecemasan
Tingkat kecemasan yang berlebihan akan dapat berpengaruh tidak baik
terhadap performa atlet, oleh karena itu perlu dipahami beberapa teknik untuk
mengurangi kecemasan atlet terutama saat menjelang suatu kompetisi pertandingan.
Harsono (1988) menjelaskan dalam bukunya, ada beberapa teknik atau cara yang
dapat dilakukan atlet dan pelatih untuk mengatasi dan mengurangi anxiety yang
berlebihan, diantaranya:
1) Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengurangi arti pentingnya
pertandingan dalam benak atlet, mengurangi ancaman hukuman-hukuman bagi
atlet apabila ia gagal.
2) Teknik Cratty, yaitu terlebih dahulu membuat suatu daftar dari orang-orang,
barang-barang, dan situasi-situasi yang menyebabkan atlet merasa bimbang,
takut, cemas. Daftar tersebut disusun menurut urutan dari yang paling ditakuti
sampai dengan hal-hal yang paling kurang ditakuti atlet.
3) Teknik Progressive Muscle Relaxstion dari Jacobson bertujuan untuk melatih
orang untuk bias me-rilekskan otot-ototnya apabila berada dalam situasi yang
membangkitkan anxiety. Atlet yang bimbang atau takut biasanya otot-ototnya
menjadi tegang (tensed), dan kalau otot-ototnya tegang, maka biasanya
keterampilan fisiknya akan terganggu.
4) Teknik Autogenic Relaxstion yaitu, teknik relaksasi yang menekankan pada
sugesti diri (self training)
5) Teknik respon Bebas Anxiety, yaitu melatih respon-respon bebas anxiety.
6) Latihan pernapasan dalam (deep breathing)
7) Meditasi
8) Model Training, yaitu menciptakan model training untuk mengelola stress dan
anxiety.
Umumnya dalam suatu pertandingan atau perlombaan tingkat anxiety seorang
atlet dapat berubah-ubah, mulai dari menjelang pertandingan hingga mendekati
41
akhir pertandingan. Hal tersebut dapat dilihat pada suatu kejuaraan olahraga angkat
besi, seorang atlet (lifter) akan merasakan suatu kecemasan yang cukup tinggi pada
awal perlombaan, hal tersebut dikarenakan suatu faktor lingkungan, dan dari dirinya
sendiri. Pada saat perlombaan berlangsung, tingkat kecemasan mulai mengalami
penurunan karenan penyesuaian adaptasi lingkungan, terlebih ketika dia berhasil
melakukan sebuah angkatan. Namun, pada saat pertandingan hampir menjelang
akhir kecemasan akan terjadi peningkatan, karena disaat-saat akhir atlet harus
mengoptimalkan seluruh kemampuannya untuk memperoleh suatu hasil angkatan
yang maksimal, dan tekanan yang dirasakan akan semakin lebih meningkat ketika
menjelang penghitungan jumlah angkatan total. Adapun tingkat kecemasan yang
tergambarkan oleh Cratty (1973) dalam buku Harsono (1988: 270), adalah sebagai
berikut:
Gambar 2.5 Tingkat anxiety sebelum, selama, dan seusai pertandinganSumber: Harsono (1988), diadopsi dari Cratty (1973)
Berdasarkan gambar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu
proses pembinanaan atlet (lifter), tugas lebih yang harus dilaksanakan seorang
pelatih bukan hanya mengetahui tingkat kualitas fisik yang dimiliki atletnya, akan
tetapi pelatih harus senantiasa memantau perkembangan atlet secara kompleks mulai
dari faktor fisiologis hingga faktor psikis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
42
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka kerangka berfikir dalam
penelitian ini bertitik tolak dari suatu pandangan adanya hubungan yang ditimbulkan
dari kondisi fisik, motivasi berprestasi, dan kecemasan dengan prestasi olahraga angkat
besi. Adapun pandangan dalam kerangka berfikir terkait dengan penelitian dijabarkan
sebagai berikut:
1. Hubungan Antara Kondisi Fisik Dengan Prestasi Olahraga Angkat Besi
Kondisi fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pencapaian prestasi yang maksimal bagi seorang lifter angkat besi. Seperti yang
diungkapkan M. Sajoto (1995) bahwa, kondisi fisik merupakan satu kesatuan utuh
dari komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan
maupun pemeliharaannya. Selanjutnya Harsono (1988:153) bahwa, kondisi fisik
atlet memegang peranan yang sangat penting dalam program latihannya. Program
latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis dan ditujukan
untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional dari sistem
tubuh sehingga dengan demikian memungkinkan atlet untuk mencapai prestasi yang
lebih baik. Karakteristik dalam olahraga angkat besi adalah mengangkat beban berat
semaksimal mungkin. Oleh karena itu, dibutuhkan kondisi fisik yang terlatih dan
dapat meningkatkan kemampuan gerak seorang lifter untuk dapat mengangkat
beban secara maksimal. Dalam analisa peneliti, terdapat dugaan adanya hubungan
antara kondisi fisik dengan prestasi olahraga angkat besi, sehingga apabila kondisi
fisik semakin baik, maka akan diikuti peningkatan prestasi yang semakin tinggi.
43
2. Hubungan Antara Motivasi Dengan Prestasi Olahraga Angkat Besi
Motivasi berprestasi sebagaimana yang dijelaskan Husdarta (2014),
merupakan suatu dorongan yang terjadi dalam diri individu untuk senantiasa
meningkatkan kualitas tertentu dengan sebaik-baiknya atau lebih biasa dilakukan.
Tercapainya tujuan seseorang tidak lain untuk memuaskan atau memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya yang dianggap perlu. Selanjutnya Atkinson
dalam Husdarta (2014) dan Mc Clelland (1987) mengemukakan bahwa, terdapat
beberapa kebutuhan yang mendasari motivasi berprestasi, diantaranya: kebutuhan
akan prestasi (need for achievement), kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation),
kebutuhan akan kekuasaan (need for power).
Dalam olahraga angkat besi, untuk mencapai suatu prestasi yang maksimal,
seorang lifter harus memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, baik motivasi yang
timbul dari dalam dirinya, maupun yang berasal dari luar dirinya atau lingkungan
yang ada disekitarnya. Kebutuhan akan suatu motivasi berprestasi diinterpretasikan
sebagai dorongan untuk memacu semangat baik pada saat menjalani proses
pelatihan maupun menjelang suatu kejuaraan. Sehingga, peneliti menduga adanya
hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi olahraga angkat besi, sehingga
apabila motivasi semakin tinggi, maka akan diikuti dengan peningkatan prestasi
yang semakin tinggi.
3. Hubungan Antara Kecemasan Dengan Prestasi Olahraga Angkat Besi
Pada kejuaraan olahraga prestasi khususnya pada cabang olahraga angkat besi
senantiasa penuh dengan kecemasan (anxiety) dan konflik-konflik, penuh dengan
ketakutan-ketakutan dan bentrokan-bentrokan mental, sehingga hal tersebut
44
berdampak pada tekanan psikologis atlet baik menjelang pertandingan, maupun saat
pertandingan berlangsung. Oleh karena itu, selain seorang lifter angkat besi harus
memiliki kondisi fisik yang prima, dan motivasi berprestasi yang tinggi, seorang
lifter juga harus mampu mengatasi suatu tingkat kecemasan yang dapat berdampak
hasil prestasi yang ingin diraih. Dalam olahraga angkat besi kecemasan
diinterpretasikan sebagai suatu perasaan yang timbul dari dalam dirinya seperti
perasaan gugup, tegang, takut akan gagal mencapai prestasi maksimal, serta yang
timbul dari luar melalui berbagai tekanan-tekanan yang ada disekitarnya. Bagi
seorang lifter yang tidak memiliki suatu kondisi kejiwaan yang stabil, maka akan
berdampak pada tingkat kecemasan yang berlebihan, dan performance
penampilannya, bahkan suatu tingkat kecemasan yang berlebihan juga akan
berdampak fatal hingga mengakibatkan cedera serius. Berdasarkan ulasan tersebut,
peneliti menduga adanya hubungan antara kecemasan dengan prestasi olahraga
angkat besi, sehingga apabila kecemasan semakin rendah, maka akan diikuti dengan
peningkatan prestasi yang semakin tinggi.
4. Hubungan Secara Bersama-sama Antara Kondisi Fisik, Motivasi Berprestasi,
dan Kecemasan Dengan Prestasi Olahraga Angkat Besi
Prestasi pada umumnya merupakan suatu perwujudan pencapaian tingkat
keberhasillan tentang suatu tujuan atau bukti suatu keberhasilan. Hal yang paling
didambakan bagi seorang atlet (lifter) adalah pencapaian hasil yang maksimal dalam
suatu pertandingan. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu prestasi olahraga angkat
besi yang maksimal, seorang lifter harus bersaing mengangkat beban seberat
mungkin, dan catatan hasil yang dicapai adalah akumulasi dari jumlah total
angkatan yang dilakukan.
45
Olahraga angkat besi merupakan cabang olahraga prestasi yang menitik
beratkan pada kemampuan seorang lifter dalam mengangkat beban, dimana dalam
upaya menciptakan suatu gerakan mengangat beban yang maksimal seorang lifter
harus memiliki kesiapan fisik yang prima, didorong dengan motivasi untuk meraih
prestasi semaksimal mungkin, serta mampu menjaga stabilitas kejiawaan yang
berdampak pada tingkat kecemasan yang berlebihan. Berdasarkan ulasan tersebut
peneliti menduga adanya hubungan antara kondisi fisik, motivasi, dan kecemasan
dengan prestasi olahraga angkat besi, sehingga apabila kondisi fisik baik, motivasi
berprestasi tinggi, dan kecemasan rendah, maka akan diikuti dengan peningkatan
prestasi yang semakin tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka rancangan konsep kerangka berfikir dalam
penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.6 Skema Hubungan Antara Kondisi Fisik, Motivasi Berprestasi,Dan Kecemasan Dengan Prestasi Olahraga Angkat Besi
Prestasi OlahragaAngkat Besi
Kondisi Fisik
MotivasiBerprestasi
Kecemasan
1. Daya Tahan2. Kekuatan3. Power4. Fleksibilitas
1. Kebutuhan Akan Prestasi(Need For Achievment)
2. Kebutuhan Akan Afiliasi(Need For Affiliation)
3. Kebutuhan AkanKekuasaan (Need ForPower)
1. Perasaan Gugup2. Takut Akan Gagal3. Perasaan Tegang
46
C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan untuk dilakukan pengujian dalam penelitian ini,
diantaranya:
1. Terdapat hubungan antara kondisi fisik dengan prestasi olahraga angkat besi,
sehingga apabila kondisi fisik semakin baik, maka akan diikuti peningkatan prestasi
yang semakin tinggi.
2. Terdapat hubungan antara motivasi berprestasi dengan prestasi olahraga angkat besi,
sehingga apabila motivasi berprestasi semakin tinggi, maka akan diikuti peningkatan
prestasi yang semakin tinggi.
3. Terdapat hubungan antara kecemasan dengan prestasi olahraga angkat besi,
sehingga apabila kecemasan semakin rendah, maka akan diikuti peningkatan
prestasi yang semakin tinggi.
4. Terdapat hubungan secara bersama-sama antara kondisi fisik, motivasi berprestasi,
dan kecemasan dengan prestasi angkat besi, sehingga apabila kondisi fisik semakin
baik, motivasi berprestasi semakin tinggi, dan kecemasan semakin rendah, maka
akan diikuti peningkatan prestasi yang semakin tinggi.