meningkatnya tren perdarahan postpartum atonia di irlandia
TRANSCRIPT
Meningkatnya Tren Perdarahan Postpartum Atonia di
Irlandia: Penelitian Berbasis Kohort Pada Populasi Selama
11 Tahun
Tujuan : untuk memperoleh angka kejadian perdarahan postpartum (PPH) yang
mewakili keadaan nasional dan untuk menyelidiki tren yang berhubungan dengan
metode persalinan, transfusi darah, dan morbiditas akibat perlengketan plasenta
(akreta, perkreta, increta)
Design Penelitian : penelitian kohort retrospektif berbasis populasi.
Tempat Penelitian : Republik Irlandia
Populasi Penelitian : bayi yang lahir di rumah sakit selama periode tahun 1999 –
2009
Metode Penelitian : Kode diagnostik International Classification of Disease ( ICD ) -
9- CM dan ICD – 10 – AM dari data medis pasien keluar rumah sakit yang digunakan
untuk menemukan kasus perdarahan postpartum. Tren insidensi perdarahan
postpartum yang meningkat secara signifikan secara temporal ditentukan
menggunakan tes Cochrane-Armitage untuk tren tersebut. Regresi log – binomial
digunakan untuk menilai perubahan tahunan dalam mendiagnosis resiko perdarahan
postpartum, dengan mempertimbangkan faktor-faktor potensial yang berpengaruh.
Hasil keluaran utama yang dinilai : perdarahan postpartum ( PPH ), atonia uterine,
transfusi darah, dan morbiditas terkait perlengketan plasenta.
Hasil : total terdapat 649019 bayi baru lahir di rumah sakit yang didata; 2,6 % ( n = 16
909 )termasuk diagnosis perdarahan postpartum. Jumlah kasus perdarahan postpartum
secara keseluruhan meningkat dari 1,5 % pada tahun 1999 menjadi 4,1 % pada tahun
2009; perdarahan postpartum akibat atonia meningkat dari 1,0 % pada tahun 1999
menjadi 3,4 % pada tahun 2009. Tren meningkatnya perdarahan postpartum secara
signifikan diamati dari persalinan pervaginam, dengan alat, operasi sectio caesarian
emergensi (cito) dan operasi sectio caesarian elektif ( P < 0,001 ). Jumlah kasus
perdarahan postpartum yang didiagnosis bersamaan dengan dilakukannya transfusi
darah juga meningkat secara signifikan ( P < 0,001 ). Dibandingkan pada tahun 1999,
resiko perdarahan postpartum karena atonia pada tahun 2009 meningkat 3 kali lipat
( disesuaikan RR 3,03; 95 % CI 2,76 – 3,34 ). Wanita yang didiagnosis dengan
morbiditas akibat perlengketan plasenta memiliki resiko yang lebih tinggi dari total
kasus perdarahan postpartum ( tidak disesuaikan RR 13,14; 95 % CI 11,43 – 15,11).
Kesimpulan : Peningkatan jumlah kasus perdarahan postpartum akibat atonia
mendorong dilakukannya penelitian dan audit klinis yang terfokus pada faktor
etiologi, cara pencegahan dan kualitas pelayanan, untuk menjadi acuan praktek
pelayanan kesehatan.
Kata Kunci : Irlandia, Plasenta akreta, perdarahan postpartum, kehamilan, atonia
uterine.
PENDAHULUAN
Perdarahan postpartum ( PPH ) merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas ibu selama kehamilan di dunia. Meskipun penggunaan uterotonika dan
pemotongan tali pusat dengan segera digunakan untuk pencegahan aktif terhadap
perdarahan postpartum ( PPH ), beberapa negara maju, termasuk Australia, Kanada,
dan Amerika Serikat, telah melaporkan peningkatan jumlah kasus perdarahan
postpartum yang tidak terduga sebelumnya lebih dari 15 tahun yang lalu. Lagipula,
peningkatan dalam frekuensi kasus perdarahan postpartum yang berat juga telah
dilakukan pengamatan. Penemuan ini dipasangkan dengan keterbatasan ketersediaan
data nasional mengenai insidensi kejadian perdarahan postpartum diminta The
International Postpartum Haemorrhage Collaborative Group untuk
merekomendasikan penelitian terhadap kejadian perdarahan postpartum untuk
menetapkan tren global yang terjadi.
Penelitian terbaru berbasis populasi mengenai morbiditas maternal di Irlandia
mengidentifikasi kejadian perdarahan postpartum sebagai penyebab terbanyak kedua
morbiditas maternal selama dirawat di rumah sakit untuk bersalin, dan penemuan
lebih lanjut bahwa peningkatan diagnosis terjadinya perdarahan postpartum antara
tahun 2005 dan 2008. Akan tetapi, penelitian yang memiliki cakupan yang lebih luas,
yang tidak membedakan penyebab perdarahan postpartum ( contoh akibat sisa
jaringan plasenta ) ataupun penilaian yang berhubungan dengan faktor obstetri
( contohnya cara persalinan ). Pemberitaan bahwa perdarahan obstetri merupakan
salah satu penyebab utama morbiditas maternal berat di Irlandia, untuk meningkatkan
pengetahuan kita saat ini mengenai tren kejadian perdarahan postpartum di Irlandia
kami mempelajari insidensi kejadian perdarahan postpartum dan dihubungkan dengan
faktor obstetrik yang diwakili oleh sampel wanita dengan usia lebih dari periode 11
tahun. Mengikuti rekomendasi yang ditetapkan oleh the International Postpartum
Haemorrhage Collaborative Group, perhatian khusus harus diberikan terhadap
perdarahan postpartum akibat atonia uterine, transfusi darah dan morbiditas akibat
perlengketan plasenta.
METODE
Sumber Data
Penelitian kohort retrospektif berbasis populasi dilakukan terhadap wanita
yang melahirkan di rumah sakit antara 1 Januari 1999 dan 31 Desember 2009 di
Irlandia. Informasi diperoleh dari database penyelidikan pasien rawat inap di rumah
sakit ( HIPE ), yang digunakan secara primer untuk audit pelayanan klinis. Detail
mengenai data HIPE telah digambarkan di tempat lain. Secara singkat, pelayanan
database HIPE sebagai satu-satunya sumber nasional mengenai data morbiditas dari
rumah sakit pelayan pertama di Irlandia. Data dikelola oleh The Economic and Social
Research Health Problem, revisi kesembilan, modifikasi klinis( ICD – 9 – CM ).
Sebelum tahun 2002, lebih dari 7 diagnosis dan 4 prosedur yang dicatat dalam data
HIPE, dan antara tahun 2002 sampai 2004 lebih dari 10 diagnosis dan prosedur yang
dicatat. Sejak 1 Januari 2005, the International Statistical Classification of Disesase
and Related Health Problem, revisi kesepuluh, modifikasi Australia ( ICD – 10 –
AM ) yang diadaptasi dan diimplementasikan secara nasional, dan kemudian
digunakan dalam register publik ( contoh rekam medis rumah sakit, dan surat
kelahiran dan kematian ) telah dikode berdasarkan sistem klasifikasi tersebut. Sejak
tahun 2005 sampai sekarang, lebih dari 20 diagnosis dan prosedur telah dicatat. Untuk
penelitian kami, kelahiran bayi di rumah sakit diidentifikasi menggunakan ICD – 9 –
CM kode V27 atau ICD – 10 – AM kode Z37, yang menetapkan hasil persalinan.
Definisi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum ( PPH ) merupakan suatu keadaan yang dijelaskan oleh
para klinisi berdasarkan kepada kebijakan rumah sakit setempat, yang secara umum
mengikuti anjuran the Royal College of Obstetrics and Gynaecology ( RCOG ).
RCOG mendefinisikan perdarahan postpartum primer sebagai kehilangan darah
postpartum lebih dari 500 ml. Kode yang ada dalam ICD – 9 – CM dan ICD – 10 –
AM masing-masing, digunakan untuk mengidentifikasi kasus perdarahan postpartum
akibat perlengketan plasenta ( 666.0 ; 072,0 ), atonia uterine ( 666,1 ; 072,1 ),
perdarahan postpartum tertunda dan sekunder ( 666.2; 072,2), dan gangguan
pembekuan darah postpartum ( 666.3 ; 072,3 ).
Kovariat
Kovariat maternal yang tersedia dalam database mencakup usia, status
pernikahan, dan kepemilikan kartu kesehatan, yang memberikan hak untuk mendapat
pelayanan kesehatan gratis. Di Irlandia, kartu kesehatan diberikan kepada masyarakat
berpendapatan rendah, dan kartu tersebut digunakan sebagai proxy untuk
ketidakmampuan sosio-ekonomi. Keberadaan hipertensi pada maternal atau diabetes
( baik sebelum kehamilan ataupun terkait kehamilan ) ditentukan berdasarkan kode
diagnosis ICD – 9 – CM dan ICD – 10 – AM.
Faktor-faktor terkait persalinan yang potensial memberikan pengaruh terhadap
insidensi kejadian perdarahan postpartum juga ditentukan menggunakan kode
diagnosis dan prosedural, dan termasuk metode persalinan, induksi persalinan,
kelahiran ganda, makrosomia, episiotomi, dan trauma traktus genitalis ( didefinisikan
sebagai ruptura perinei grade III dan IV, laserasi vagina dan cervix, atau ruptura
uterine ). Persalinan lama, gangguan plasenta ( didefinisikan sebagai plasenta previa,
vasa previa, atau pemisahan plasenta prematur ), infeksi kavum amnion, dan
polihidramnion juga dilakukan pengamatan. Daftar penuh dari diagnosis dan
prosedural setara antara ICD – 9 – CM dan ICD – 10 – AM sistem pengkodean untuk
kovariat terlampir pada tabel S1.
Analisis Statistik
Jumlah kejadian perdarahan postpartum pertahun dilaporkan per 100
persalinan. Jumlah kejadian perdarahan postpartum antara tahun 1999 dan 2009
diamati dengan metode persalinan dan status induksi. Karena data kami tidak
memiliki kadar haemoglobin antenatal dan postnatal, perdarahan postpartum
didiagnosis dengan konfirmasi ulang dengan transfusi darah untuk mengkonfirmasi
tren yang diamati. Tren temporal dinilai menggunakan tes Cochrane-Armitage.
Menggunakan tahun persalinan sebagai variabel bebas pada metode penelitian,
analisis multivariat regresi log-binomial digunakan untuk mengamati perubahan
tahunan mengenai faktor resiko relatif terhadap perdarahan postpartum karena atonia
uterine selama lebih dari 11 tahun, bersamaan dengan menilai faktor lain yang
potensial berpengaruh.
Sebagai hasil dari perubahan sistem kode diagnostik selama periode penelitian,
kami membuat tiga subanalisis antara tahun 2005 dan 2009, yang dikoresponden
dengan pendahuluan ICD – 10 – AM. Tidak seperti pada ICD – 9 – CM, kode
prosedur dalam ICD – 10 – AM dibedakan antara persalinan sectio caesarian
kegawatan (16520 – 01; 16520 – 03 ) dan elektif ( 16520 – 00; 16520 – 02 ). Sebagai
resiko perdarahan postpartum telah dibedakan berdasarkan tipe sectio caesarian, pada
subanalisis pertama kami mengamati tren yang terjadi selama 5 tahun terhadap
perdarahan postpartum akibat atonia uterine pada persalinan sectio caesarian
kegawatan dan elektif. Penilaian terhadap kovariat yang sama sebagai model
multivariat asli, kami mengulangi analisis regresi untuk memperoleh penilaian faktor
resiko relatif terhadap perdarahan postpartum akibat atonia uterineberdasarkan tipe
sectio caesarian.
Kode ICD – 9 – CM, 03,91 ( injeksi anestesi ke dalam kanalis spinalis sebagai
analgesik ) tidak dapat diandalkan sebagai cara untuk epidural, dan kami tidak dapat
memasukkan anestesi epidural dalam model penelitian selama 11 tahun. Akan tetapi,
pada subanalisis kedua antara tahun 2005 dan 2009, kami dapat memasukkan metode
anestesi epidural sebagai kovariat tambahan, dan untuk mengamati perubahan periode
terhadap faktor resiko perdarahan postpartum akibat atonia uterine.
Pada akhirnya, sebagaimana dalam ICD – 10 – AM yang berisis kode
diagnostik yang jarang mengenai morbiditas perlengketan plasenta ( 043,2 ), pada
subanalisis ketiga kami menghitung jumlah insidensi tahunan dan sesuai dengan 95 %
interval kepercayaan binomial yang tepat untuk morbiditas perlengketan plasenta.
Sama dengan Wu dan teman-teman, kmai memasukkan kasus yang berhubungan
dengan pelepasan plasenta secara manual. Jumlah insidensi morbiditas perlengketan
plasenta yang didiagnosis bersamaan dengan perdarahan postpartum secara
keseluruhan juga diamati. Karena jarangnya kondisi tersebut, faktor resiko relatif yang
tidak dinilai antara morbiditas perlengketan plasenta dan perdarahan postpartum
secara keseluruhan juga dihitung.
Tren kejadian perdarahan postpartum, awalnya diamati secara terpisah antara
kehamilan tunggal dan kehamilan multipel. Sebagai pola pengamatan yang secara
umum sama antara kedua kelompok tersebut, data yang ditampilkan dikombinasikan
dengan penilaian untuk kelahiran multipel dalam modem multivariat. Semua analisis
dilakukan menggunakan SAS 9,2 ( SAS Institute Inc. Carey, NC, USA ) dan STATA
11 ( StataCorp LP, College Station, TX, USA ). Penelitian ini dianalisis identifikasi
ulang, data tidak terhubung tersedia untuk akses publik, dan oleh karena itu bebas dari
lembaga badan pengamat.
HASIL
Data yang terkumpul sebanyak 649019 kelahiran di rumah sakit, dimana 2,6 %
( n = 16909 ) termasuk diagnosis perdarahan postpartum. Tiga perempat ( 75,7 % )
diagnosis perdarahan postpartum disebabkan karena atonia uterine. Jumlah perdarahan
postpartum secara keseluruhan diantara persalinan di rumah sakit meningkat dari 1,5
% pada tahun 1999 mejadi 4,1 % pada tahun 2009. Dimana terdapat peningkatan
statistik yang signifikan dalam jumlah perdarahan postpartum yang tidak diakibatkan
atonia uterine dari 0,5 menjadi 0,7 % ( tes terhadap tren tersebut, P < 0,001 ),
peningkatan keseluruhan perdarahan postpartum terutama dihasilkan dari peningkatan
perdarahan postpartum karena atonia uterine dari 1,0 % pada tahun 1999 menjadi 3,4
% pada tahun 2009 ( tes terhadap tren tersebut, P < 0,001; gambar 1 ).
Perubahan demografis juga diamati selama periode penelitian. Dibandingkan
dengan tahun 1999, pada tahun 2009, wanita yang bersalin di rumah sakit lebih
banyak usia tua dan sendirian, meskipun mereka sedikit yang termasuk dalam cakupan
kartu kesehatan ( Tabel 1). Meskipun terjadi perubahan kecil dalam persentase
komplikasi persalinan akibat gangguan hipertensi antara tahun 1999 dan 2009
( masing-masing 5,3 dan 5,4 % ), komplikasi persalinan akibat diabetes melitus
meningkat dari 0,6 menjadi 2,3 %. Transisi dalam metode persalinan juga muncul
kembali. Pada tahun 2009, wanita lebih sedikit yang ingin melahirkan secara
pervaginam dan lebih ingin melahirkan dengan operasi sectio caesarian atau
persalinan dibantu; induksi persalinan juga lebih disukai pada semua metode
persalinan. Peningkatan terhadap faktor resiko umum perdarahan postpartum akibat
atonia uterine lainnya seperti kelahiran multipel, trauma traktus genitalis, dan kala dua
persalinan yang memanjang juga diamati. Sebaliknya, jumlah episiotomi menurun
dari 23,8 % pada tahun 1999 menjadi 17,7 % pada tahun 2009. Jumlah perdarahan
postpartum akibat atonia uterine meningkat pada semua kalangan ibu-ibu dan
karakteristik persalinan. Peningkatan utama dari jumlah perdarahan postpartum akibat
atonia uterine yang diidentifikasi pada semua wanita didiagnosis dengan gangguan
plasenta atau infeksi kavum amnion.
Terlepas dari status induksi, antara tahun 1999 dan 2009, tren peningkatan
signifikan kejadian perdarahan postpartum akibat atonia uterine diamati pada
persalinan pervaginam ( P< 0,001 ) operasi sectio caesarian ( P< 0,001 ), dan
persalinan dengan vakum atau forsep ( P< 0,001 ) ( Gambar 2 ). Seperti yang sudah
diperkirakan, insidensi perdarahan postpartum akibat atonia uterine secara konsisten
lebih tinggi diantara persalinan yang melibatkan induksi persalinan. Jumlah paling
rendah perdarahan postpartum akibat atonia uterine terdapat pada persalinan
pervaginam yang tidak dilakukan induksi persalinan, dan secara umum, jumlah
perdarahan postpartum akibat atonia uterine paling tinggi terdapat pada persalinan
dengan operasi sectio caesarian yang melibatkan induksi persalinan. Antara tahun
2005 dan 2009, tren yang secara signifikan meningkat diamati baik pada operasi
sectio caesarian emergensi maupun elektif ( P < 0,001 ; gambar 3 ). Insidensi
perdarahan postpartum akibat atonia uterine tercatat lebih rendah pada operasi sectio
caesarian elektif.
Jumlah keseluruhan transfusi darah per 1000 persalinan meningkat secara
signifikan dari 4,7 pada tahun 1999 menjadi 12,9 pada tahun 2009 ( gambar 4 ).
Terdapat peningkatan yang signifikan juga pada jumlah wanita yang didiagnosis
perdarahan postpartum akibat atonia uterine yang disertai dengan mendapatkan
transfusi darah. Diantara wanita yang didiagnosis perdarahan postpartum akibat atonia
uterine, rata-rata, satu diantara enam wanita mendapat transfusi darah ( Gambar 4 ).
Dalam model penelitian multivariat selama 11 tahun, terdapat perbedaan yang
jelas dalam resiko terjadinya perdarahan postpartum akibat atonia uterine selama
periode penelitian ( Tabel 2 ). Terkait dengan 1999, faktor resiko relatif perdarahan
postpartum akibat atonia uterine yang tidak dinilai pada tahun 2009 sebesar 3,31 %
( 95 % CI 3,01 – 3,64 ). Tiga kali lipat resiko muncul kembali setelah penilaian klinis
yang sesuai faktor resiko. Tidak diamati adanya peningkatan resiko perdarahan
postpartum akibat atonia uterine pada wanita usia 40 tahun atau lebih.
Anestesi epidural dieksklusi sebagai faktor yang berpengaruh dalam analisis
multivariat 11 tahun. Dalam subanalisis selama 5 tahun, faktor resiko yang tidak
dinilai dari perdarahan postpartum akibat atonia uterine pada tahun 2009 sebesar 1,56
( 95 % CI 1,46 – 1,67 ) dihubungkan dengan tahun 2005. Setelah penilaian terhadap
semua faktor yang mempengaruhi kovariat, termasuk anestesi epidural, peningkatan
resiko perdarahan postpartum akibat atonia uterine pada tahun 2009 menetap ( RR
ternilai 1,51; 95 % CI 1,41 – 1,61 ).
Antara tahun 2005 dan 2009, resiko perdarahan postpartum akibat atonia
tercatat lebih tinggi pada operasi sectio caesarian emergensi dibandingkan operasi
sectio caesarian elektif. Berhubungan dengan persalinan pervaginan tanpa induksi,
faktor resiko relatif tidak dinilai perdarahan postpartum untuk kegawat daruratan,
kegawatan yang diinduksi, dan persalinan Caesar elektif sebesar 1.99 (95% CI 1.89-
2.08), 2.35 (95%CI 2.19-2.53), dan 1.38 (95%CI 1.31-1.45), secara berturut-turut.
Setelah penyesuaian, resiko PPH atonik masih dua kali lipat diantara persalinan
Caesar emergensi yang tanpa diinduksi (RR yang disesuaikan 1.93; 95%CI 1.78-2.08)
dan yang dengan induksi (RR yang disesuaikan 2.17; 95%CI 1.97-2.39).
Penyesuaian/adjustment tidak memperkecil resiko PPH atonik diantara persalinan
Caesar elektif (RR yang disesuaikan 1.37; 95%CI 1.26-1.49) relative terhadap
persalinan pervaginan spontan (tanpa induksi).
Antara tahun 2005 dan 2009, terdapat 330 995 persalinan, dimana 281 nya
mengandung kode diagnostic morbiditas plasenta adheren (8.5/10 000 persalinan);
13.2% didiagnosis dengan plasenta praevia. Walaupun angka insiden plasenta
adherent dan co-diagnosisnya dengan keseluruhan PPH meningkat antara tahun 2005
dan 2009, perubahan ini tidak signifikan secara statistic (table 3). Resiko PPH
keseluruhan lebih tinggi secara nyata antara wanita-wanita yang didiagnosis dengan
plasenta adheren (RR yang tak disesuaikan 13.14; 95%CI 11.43-15.11).
Diskusi
Suatu peningkatan yang nyata pada angka PPH diidentifikasi di Irlandia antara
1999 dan 2009, dan peningkatan ini utamanya disebabkan oleh atonia uteria. Insidensi
PPH atonik secara signifikan meningkat diantara persalinan pervaginam, dengan
instrument, dan persalinan Caesar, tanpa memperhatikan status induksi. Sesuai dengan
literature, kami menemukan bahwa insiden PPH atonik lebih tinggi untuk
kegawatan/emergensi daripada persalinan Caesar elektif. Frekuensi wanita-wanita
yang didiagnosis dengan PPH atonik dan transfuse darah meningkat selama periode
11-tahun, yang merupakan sinyal peningkatan kasus PPH atonik yang lebih berat.
Wanita-wanita yang didiagnosis dengan plasenta adheren memiliki resiko PPH yang
lebih tinggi.
Dimana peningkatan angka PPH di Irlandia mencerminkan kecenderungan/
tren secara internasional, tiga temuan adalah unik untuk studi kami. Pertama,
peningkatan relative dari PPH yang dilaporkan di Irlandia adalah lebih tinggi
dibanding mereka-mereka yang didokumentasikan di Negara-negara lain. Angka PPH
di Irlandia meningkat sebesar 170% dalam 11 tahun. Bila dibandingkan, studi-studi
longitudinal di Kanada, Australia, dan Amerika melaporkan peningkatan sebesar
hampir 20-25%. Perlu dicatat, insiden keseluruhan PPH di Irlandia (4.1% di tahun
2009) masih lebih rendah dibanding angka yang dilaporkan dari Kanada (5.1% di
tahun 2002), dan Australia (6.0% di tahun 2004), walaupun mereka lebih tinggi
dibanding di Amerika (2.9% di tahun 2006).
Penting untuk digarisbawahi, bagaimanapun bahwa PPH merupakan diagnosis
subjektif yang tinggi, dan peningkatan eksponensial di Irlandia dapat dihubungkan
sebagian terhadap perubahan dalam pelaporan praktis. Sistem klasifikasi diagnosis
berubah dalam periode studi, dan pengenalan ICD-10-AM menyebabkan pelatihan
ulang ekstensif dari semua pengkode klinik di seluruh penjuru negeri. Selain itu,
jumlah diagnosis yang tercatat di grafik angka pulang rumah sakit meningkat dari
enam diagnosis sebelum 2002, sampai 10 antara 2002 dan 2004, sampai 20 dari 2005
sampai seterusnya. Walaupun perubahan ini dalam pelaporan praktik dapat
mempengaruhi tren yang diobservasi, yang meyakinkan, peningkatan PPH atonik
diobservasi baik diantara waktu interval 2002-2004 dan 2005-2009. Rekomendasi
terbaru untuk menggabungkan panduan bergambar untuk memperbaiki estimasi visual
kehilangan darah postpartum, ditambah dengan publikasi panduan RCOG 2009 untuk
terapi PPH, telah mempertinggi kewaspadaan umum akan diagnosis PPH terhadap
periode studi terakhir. Meskipun demikian, peningkatan sementara pada angka PPH
atonik dengan transfuse darah, sama dengan temuan dari Amerika dan Kanada,
memberikan kepercayaan terhadap tren yang diobservasi.
Temuan kedua yang unik dari studi kami adalah bahwa angka tertinggi PPH
atonia adalah diantara angka persalinan Caesar ; angka persalingan pervaginan non-
intrumental secara nyata lebih rendah. Observasi kami adalah berkebalikan dengan
beberapa studi sebelumnya bahwa telah ditemukan angka PPH atonia menjadi paling
tinggi diantara persalinan vagina. Karena PPH lebih sering kurang dilaporkan/under-
reported pada persalinan Caesar, temuan ini dapat mencerminkan kewaspadaan dalam
pelaporan oleh dokter-dokter Irlandia. Namun definisi PPH beragam secara
internasional, dan oleh karenanya ini juga mungkin mencerminkan perbedaan dalam
criteria diagnostic. Singkatnya, Ameican college of obstetricians and gynecologists
(ACOG) mendefinisikan PPH sebagai kehilangan darah >500 ml setelah persalinan
pervaginam dan 1000 ml setelah persalinan Caesar, namun panduan RCOG tidak
menentukan criteria kehilangan darah melalui model persalinan.
Yang terakhir, International Postpartum haemorrhage Collaborative Group
telah menggarisbawahi pentingnya pemeriksaan berdasarkan kecenderungan/tren-
populasi pada plasenta adherent, suatu resiko mayor terjadinya PPH. Walaupun data
HIPE memberikan informasi yang kurang pada diagnosis yang dikonfirmasi dari
histology plasenta, plasenta adheren telah ditunjukan dilaporkan secara akurat di
catatan pulang rumah sakit. Angka plasenta adheren kami (8.5/10 000 persalinan)
adalah lebih rendah dari gambaran yang dilaporkan oleh Wu et al. (18.8/10 000
persalinan) dan Eller et al. (11.9/10 000 persalinan). Variasi dalam jumlah ini dapat
disebabkan dari perbedaan criteria inklusi diagnostic, interval waktu periode studi, dan
angka Caesar baseline antara Irlandia dan Amerika. Walaupun kami mengamati suatu
peningkatan dalam co-diagnosis dari keseluruhan PPH dengan plasenta adheren dalam
periode 5-tahun, temuan-temuan ini tidak signifikan secara statistic, dan dapat
diakibatkan dari peluangnya sendiri. Namun daripada itu, kami mengamati hubungan
yang kuat antara plasenta adheren dan PPH, dan oleh karenanya surveilanse yang
berlanjut adalah diwajibkan. Investigasi pada hubungan antara plasenta adheren dan
co-morbid serius lainnya akan selanjutnya memandu dalam praktik klinik.
Data terbaru kami memilliki dua keterbatasan utama: skop yang sempit dari set
data HIPE dan bias pelaporan yang potensial. Set data HIPE dirancang untuk audit
rumah sakit secara umum, dan oleh karena itu kekurangan data ekstensif dari pasien
dan kharakteristik obstetric. Dengan kata lain, tidak ada data yang tersedia pada
obesitas maternal, graviditas, paritas, atau penegakan persalinan, yang menghalangi
inklusi pada analisis multivariate.
Karena kehilangan darah postpartum biasanya dipastikan secara kasat mata,
kehilangan darah sering kali di-underestimasi-kan, yang menyebabkan kurangnya
pelaporan PPH. Sehingga, hasilnya secara potensial dibiaskan pada model
multivariate. Selain itu, kharakteristik obstetric lainnya yang diperiksa pada studi ini
dapat pula kurang dilaporkan dalam grafik pulang rumah-sakit. Namun kemajuan
teknologi telah memperlihatkan bahwa data pulang rumah sakit secara akurat
menangkap banyak kondisi-kondisi obstetric, sampai saat ini, tidak ada studi validasi
dari data pulang rumah sakit yang dilakukan di Irlandia.
Praktik obstetric di Irlandia secara tipikal mengikuti panduan dan rekomendasi
RCOG. Namun, dengan mempertimbangkan identifikasi PPH, klinisi independent
pada beberapa unit maternity melaporkan bahwa mereka telah memulai menerapkan
ambang batas minimum kehilangan darah, berdasarkan pada panduan ACOG (>500
ml untuk persalinan vaginal dan >1000 ml untuk persalinan Caesar) selama periode
waktu studi (hasil tidak dipublikasikan). Meskipun jumlah kehilangan darah minimum
500 ml akan dilaporkan pada semua kasus PPH pada studi kami, ketidaksesuian ini
dalam definisi antara unit maternity merupakan sumber potensial bias pelaporan.
Secara spekulatif, pergeseran ini tentang definisi akan menyebabkan penurunan,
dibanding peningkatan, dalam insiden kasus PPH diantara persalinan-persalinan
Caesar, sehingga mendukung peningkatan tren yang diobservasi pada studi kami.
Perubahan potensial yang masih ada dalam diagnosis PPH menegaskan perlunya
untuk menyatukan definisi PPH untuk mempermudah perbandingan secara
internasional.
Faktor resiko menonjol untuk PPH, seperti usia maternal yang tua, bayi
kembar, dan persalinan Caesar, menjadi lebih umum pada populasi usia subur, namun
perubahan demografik ini tidak sepenuhnya menjelaskan peningkatan angka PPH.
Walaupun ini merupakan diluar skop tulisan ini untuk mengomentari dampak klinik
spesifik, tak diragukan lagi peran dari system pelayanan kesehatan persalinan perlu
diinvestigasi lebih jauh. Meskipun potensi efek sampingnya, manajemen persalinan
kala tiga aktif dikenali sebagai suatu metode efektif untuk mengurangi resiko PPH,
dan secara luas dipraktikan di Irlandia. Peregangan tali pusat terkendali hampir secara
universal dilakukan, dan penggunakan profilaksis Syntocinon (oxytocin) umum
dilakukan. Namun, studi kami, yang menunjukan suatu peningkatan kasus-kasus PPH
atonia berat, menyarankan keefektifan dan strategi-strategi pencegahan persalinan
semacam itu mungkin perlu untuk dievaluasi kembali. Pengenalan dan respon awal
terhadap kehilangan darah ekstensif adalah penting, karena keterlambatan penanganan
setelah diagnosis PPH awal meningkatkan resiko PPH yang berat.
Untuk mengurangi insiden PPH, pelatihan kegawatdaruratan obstetric
memfokuskan pada pelatihan perdarahan dan kerjasama multidisiplin penting
diperlukan. Walaupun pengiriman staf yang terpercaya ke pusat-pusat simulasi untuk
pelatihan adalah salah satu langkah tepat, penggabungan pelatihan internal rutin untuk
semua staff dalam agenda keamanan unit obstetric dapat memberikan alternative
efektif yang serupa. Pelatihan rutin semacam itu dapat mengidentifikasi area
kesalahan berulang dalam manajemen obstetric. Selain itu, integrasi pasien-aktor
dalam modul pelatihan PPH dapat memberi elemen realisasi dalam persiapan
kegawatdaruratan, dan selanjutnya memperbaiki persepsi keamanan dan komunikasi
selama interaksi dokter-pasien. Yang terakhir, surveilans berkelanjutan dengan
menggunakan set data kesehatan populasi dalam hubungannya dengan pengauditan
klinik secara detail pada level local dan nasional merupakan mekanisme efektif untuk
memonitor tren, mengidentifikasi factor resiko potensial, dan mengevaluasi
manajemen resiko.
Kesimpulannya, analisis data pulang rumah-sakit menunjukan perubahan tren
dalam angka PPH atonia, dan menunjukan suatu peningkatan dalam frekuensi kasus
PPH berat dengan transfuse darah. Peningkatan angka PPH atonia pada studi kami dan
pada Negara-negara berkembang di dunia menggarisbawahi perlunya studi-studi
kasus-kontrol dan menjelaskan pengauditan klinik, yang focus terhadap factor-faktor
etiologi, pengukuran pencegahan, dan kualitas pelayanan, untuk memandu dalam
praktik klinik.
Tabel 1. Distribusi maternal dan karakteristik yang berhubungan dengan persalinan
dan tingkat korespondensi dari perdarahan post partum selama rawat inap untuk
persalinan di Irlandia, tahun 1999 dan 2000
1999 (n=49334) 2009 (n=72901)
% tingkat PPH atonia % tingkat PPH atonia
Karakteristik maternal
Usia (tahun)
13-19
20-29
30-39
40-59
Status perkawinan
kawin
belum kawin
lainnya
Status kartu pengobatan
ya
tidak
tidak tahu
Morbiditas
hipertensi
DM
6.7
41.2
49
3.2
66.1
31.3
2.6
24.8
67.3
7.9
5.3
0.6
1.2
1.1
1.0
1.1
1.0
1.1
1.1
1.1
1.1
0.2
1.6
2.0
3.1
36.6
55.9
4.4
63.4
34.5
2.2
16.9
81.4
1.7
5.4
2.3
2.7
3.3
3.4
3.6
3.5
3.1
2.8
2.8
3.5
3.6
5.4
4.
Cara Persalinan
Vaginal, tanpa induksi
Vaginal, induksi
SC, tanpa induksi
SC, induksi
Instrumental, tanpa induksi
Instrumental, induksi
55.1
11.6
17.5
2.1
10.7
2.9
0.7
0.8
1.4
2.4
1.8
2.0
42.7
14.6
21.6
4.6
11.2
5.3
2.0
2.3
5.0
6.1
4.4
5.7
Karakteristik lain yang
berhubungan dengan persalinan
Kembar
Bayi besar
Episiotomi
1.3
0.7
23.8
1.9
1.2
1.3
1.7
0.9
17.7
6.7
5.8
4.3
Trauma traktus genitalis lainnya
Pemanjangan tahap 1
Pemanjangan tahap 2
Kelainan plasenta
Infeksi kantung amnion
Polihidramnion
1.1
1.3
2.9
1.0
0..03
0.3
1.3
0.3
1.1
3.8
NA
1.5
1.8
1.6
5.3
0.7
0.1
0.5
9.3
8.0
5.7
16.6
14.3
8.1
Tabel 2. Resiko relatif yang belum dan telah disesuaikan pada perdarahan post partum
selama rawat inap karena persalinan per tahun, dan karakteristik maternal dan
karakteristik yang berhubungan dengan persalinan di Irlandia, 1999-2009
RR belum disesuaikan (95% CI) RR disesuaikan (95% CI)
Tahun
1999
2001
2003
2005
2007
2009
referensi
1.10 (0.98-1.23)
1.67 (1.50-1.86)
2.11 (1.91-2.34)
2.35 (2.13-2.60)
3.31 (3.01-3.64)
referensi
1.09 (0.97-1.23)
1.62 (1.45-1.80)
2.01 (1.81-2.22)
2.20 (1.99-2.43)
3.03 (2.76-3.34)
Karakteristik maternal
Usia (tahun)
13-19
20-29
30-39
40-59
Morbiditas
hipertensi
DM
0.89 (0.82-0.98)
referensi
1.01 (0.97-1.04)
1.02 (0.93-1.11)
1.79 (1.69-1.90)
1.70 (1.53-1.90)
0.98 (0.89-1.07)
referensi
0.95 (0.91-0.98)
0.91 (0.83-1.00)
1.44 (1.36-1.53)
1.28 (1.14-1.42)
Cara Persalinan
Vaginal, tanpa induksi
Vaginal, induksi
SC, tanpa induksi
referensi
1.29 (1.22-1.37)
2.14 (2.05-2.24)
referensi
1.17 (1.11-1.25)
1.88 (1.79-1.98)
SC, induksi
Instrumental, tanpa induksi
Instrumental, induksi
3.11 (2.90-3.33)
2.35 (2.23-2.48)
3.00 (2.81-3.20)
2.66 (2.48-2.86)
1.88 (1.77-2.01)
2.16 (2.01-2.33)
Karakteristik lain yang
berhubungan dengan persalinan
Kembar
Bayi besar
Episiotomi
Trauma traktus genitalis lainnya
Pemanjangan tahap 1
Pemanjangan tahap 2
Kelainan plasenta
Infeksi kantung amnion
Polihidramnion
2.41 (2.20-2.63)
1.81 (1.57-2.09)
1.36 (1.31-1.42)
3.39 (3.14-3.66)
1.91 (1.71-2.14)
1.57 (1.46-1.68)
4.18 (3.80-4.60)
3.55 (2.64-4.77)
1.96 (1.60-2.40)
1.94 (1.77-2.13)
1.44 (1.25-1.67)
1.27 (1.20-1.34)
3.30 (3.05-3.56)
1.30 (1.16-1.46)
0.96 (0.90-1.04)
3.55 (3.22-3.90)
2.77 (2.05-2.29)
1.46 (1.19-1.78)