menimbang model demokrasi

6
MENIMBANG MODEL DEMOKRASI WESTMINSTER ATAU CONSENSUS MODEL Meskipun hingga saat ini demokrasi tetap dianggap yang terbaik di antara berbagai sistem politik yang ada, tetapi berbagai kritik terhadap demokrasi Westminster dan Consensus Model terus bermunculan. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam kedua model tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang tidak memenuhi nilai-nilai pokok dari konsep demokrasi tersebut. Dalam model Westminester (Majoritarian) misalnya, kritik yang muncul terhadap model ini adalah karena begitu besarnya kekuasaan yang ada ditangangan Perdana Menteri dan secara umum tidak begitu mengenal pembagian kekuasaan (separation of power). Sedangkan pada model Consensus kritik yang muncul adalah lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kesepakatan. Karena itu, tidak ada jaminan dengan mengaplikasikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan akan berdampak pada efisiensi pemerintahan, menurut Urofsky demokrasi memang tidak dirancang untuk itu, tetapi demokrasi dirancang demi pertanggung jawaban pemerintah kepada konstituennya.[1] Dahl menunjukan bahwa sebuah demokrasi yang bertanggung jawab hanya bisa terjadi jika, sekurang-kurangnya ada delapan jaminan institusional, yaitu; [1] Kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; [2] Kebebasan untuk berekspresi; [3] Hak untuk memilih; [4] Memenuhi syarat-nya pegawai pemerintah; [5] Hak para pemimpin untuk bersaing demi mendapatkan dukungan dan suara; [6] Sumber-sumber informasi alternative; [7] Pemilu yang adil dan bebas; serta [8] Institusi untuk pembuatan

Upload: luthfillah

Post on 05-Jul-2015

133 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menimbang Model Demokrasi

MENIMBANG MODEL DEMOKRASIWESTMINSTER ATAU CONSENSUS MODEL

Meskipun hingga saat ini demokrasi tetap dianggap yang terbaik di antara berbagai

sistem politik yang ada, tetapi berbagai kritik terhadap demokrasi Westminster dan

Consensus Model terus bermunculan. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam kedua model

tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang tidak memenuhi nilai-nilai pokok dari konsep

demokrasi tersebut. Dalam model Westminester (Majoritarian) misalnya, kritik yang muncul

terhadap model ini adalah karena begitu besarnya kekuasaan yang ada ditangangan Perdana

Menteri dan secara umum tidak begitu mengenal pembagian kekuasaan (separation of

power). Sedangkan pada model Consensus kritik yang muncul adalah lamanya jangka waktu

yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kesepakatan. Karena itu, tidak ada jaminan dengan

mengaplikasikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan akan berdampak pada

efisiensi pemerintahan, menurut Urofsky demokrasi memang tidak dirancang untuk itu, tetapi

demokrasi dirancang demi pertanggung jawaban pemerintah kepada konstituennya.[1]

Dahl menunjukan bahwa sebuah demokrasi yang bertanggung jawab hanya bisa

terjadi jika, sekurang-kurangnya ada delapan jaminan institusional, yaitu; [1] Kebebasan

untuk membentuk dan mengikuti organisasi; [2] Kebebasan untuk berekspresi; [3] Hak untuk

memilih; [4] Memenuhi syarat-nya pegawai pemerintah; [5] Hak para pemimpin untuk

bersaing demi mendapatkan dukungan dan suara; [6] Sumber-sumber informasi alternative;

[7] Pemilu yang adil dan bebas; serta [8] Institusi untuk pembuatan kebijakan pemerintah

bergantung pada suara dan ekspresi pilihan lainnya.[2]

Dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi ini, kedua model di atas menurut Lijphart

memiliki perbedaan yakni; sangat tergantung pada struktur negara dan karakteristiknya,

tingkat pluralitas, jumlah penduduk dan perbedaan kultur.[3] Karena itu, model Westminster

(Majoritarian) banyak diterapkan pada negara yang mempunyai masyarakat homogen,

sedangkan model Consensus lebih tepat untuk diterapkan pada masyarakat pluralis.

Pada model demokrasi Westminster di mana pemerintahan mayoritas sangat kuat

dapat menyebabkan terpinggirkannya peran minoritas. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah

banyaknya minoritas dalam masyarakat yang majemuk akan termarginalisasi karena mereka

tidak dapat memberikan pengaruh terhadap mayoritas partai politik. Hal ini dapat

menimbulkan terjadinya kekerasan politik yang menimbulkan terjadinya etnic cleansing.

Laporan UNDP[4] pada tahun 1947 di Asia Selatan misalnya; menunjukan bahwa di wilayah

tersebut terbagi dua kebangsaan, sebagian Muslim India merasa model Westminster dapat

Page 2: Menimbang Model Demokrasi

diartikan sebagai penguasaan Hindu India terhadap mereka. Sampai saat ini konflik komunal

di antara warga Muslim dan Hindu di India masih tetap terjadi, terlebih lagi jika dikaitkan

dengan isu sensitif seperti perebutan wilayah Kashmir, karena itu terjadinya tindakan

kekerasan dan pembantaian terhadap mereka sangat mungkin. Kejadian serupa juga dialami

oleh kelompok minoritas Katolik di Irlandia Utara yang mayoritas warganya merupakan

penganut Protestan, penguasaan pemerintahan oleh mayoritas dengan meminggirkan

minoritas telah menyebabkan terjadinya konflik di negara tersebut.

Sementara dalam model Consensus akses kelompok minoritas ke dalam pemerintahan

sangat terbuka. Namun demikian, model ini juga tidak luput dari masalah. Dalam

pelaksanaannya, sering terjadi institusi baru yang menerapkan struktur demokrasi Consensus

karena mereka tidak merasa savety dengan keputusan itu maka golongannya tidak mengambil

konsensus. Alasan demokrasi model ini tidak praktis karena membawa pada satu

ketidakefisienan yang besar. Pada kasus Uni Eropa misalnya, banyak komplain terjadi karena

beberapa keputusan penting tidak dapat diambil hanya karena ada salah-satu anggota tidak

menyetujui (boikot) terhadap keputusan yang diambil. Sementara di Lebanon pada tahun

1943-1970 demokrasi model Consensus ini mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena

sistem tersebut kehilangan fleksibilitasnya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-

perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Persyaratan consociational democracy untuk

mewakili kelompok-kelompok politik secara proporsional, sesuai dengan jumlah anggotanya

masing-masing, tidak terpenuhi. Sekte Maronit yang jumlahnya minoritas, malah mempunyai

kekuasaan yang dominan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Sedangkan sekte Syiah,

Sunni dan Druze yang mayoritas, malah tidak mempunyai kekuasaan politik maupun

ekonomi yang sebanding. Demikian juga dengan yang terjadi di Malaysia, model Consensus

yang diterapkan ternyata hanya membawa kebaikan bagi para elitnya saja. Sementara

sebagian besar masyarakatnya terpinggirkan, karena akses partisipasi dan kebebasannya

terbelenggu. Sebagai gambaran teraktual, beberapa hari belakangan ini kita disuguhkan berita

tentang bagaimana terpinggirkannya warga Malaysia dari etnis India dalam kehidupan politik

maupun perekonomian di sana. Sedangkan kelompok oposisi Malaysia begitu terkekang,

melalui UU Subversif (ISA) pemerintah Malaysia mengekang kebebasan berekspresi dan

berpartisipasi. Padahal ciri khas dari negara yang menjunjung demokrasi adalah

penghormatannya terhadap persamaan hak.

Konsistensi

Page 3: Menimbang Model Demokrasi

Inti dari demokrasi pada hakekatnya adalah kekuasaan oleh rakyat, bagi rakyat dan

untuk rakyat. Maka terjadinya distorsi dalam penerapan demokrasi sebagaimana yang telah

dikemukakan di atas, merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Karena

itu, apapun sistem yang dipilih model Westminster atau model Consensus, peran negara

adalah untuk menghindarkan terjadinya potensi konflik dalam masyarakat karena perbedaan

kepentingan. Jadi sangat penting di sini, dibangun kepercayaan yang kokoh terhadap nilai-

nilai domokrasi itu sendiri. Dahl mengungkapkan bahwa prinsip fundamental demokrasi

adalah ketika sampai pada satu keputusan kolektif maka setiap orang dalam komunitas politik

melekatkan kepentingannya melalui konsiderasi yang seimbang.[5] Hal ini bukan berarti

bahwa semua orang akan memiliki tingkat kepuasaan yang sama terhadap keputusan tesebut,

tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah konsistensi dan ketaatan terhadap nilai-nilai

demokrasi yang diterapkan.

Konsistensi dan ketaatan ini yang sebetulnya merupakan kunci dari keberhasilan

penerapan suatu sistem pemerintahan. Sebab tanpa hal tersebut, sebaik apapun suatu sistem

pemerintahan jika tidak dilaksanakan secara konsisten dan taat terhadap nilai-nilai yang

dikandungnya, maka mustahil dapat berjalan dengan baik. Adanya kelemahan dalam suatu

sistem merupakan hal yang manusiawi terjadi, sebab tidak ada satupun sistem yang benar-

benar sempurna di dunia ini. Lipson mengatakan kekuatan pemerintah terletak pada

konsistensinya dalam menjalankan program yang dibuatnya agar menjadi lebih baik dari

keadaan sebelumnya.[6] Permasalahan yang kerapkali terjadi di negara-negara yang

menggunakan sistem pemerintahan demokrasi pada umumnya adalah ketidakkonsitenan dan

ketidaktaatannya terhadap kaidah-kaidah demokrasi yang diterapkannya itu sendiri. Sehingga

dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan. Jadi dalam hal ini, sangat tidak adil jika

hanya menyalahkan sistemnya yang lemah, tetapi sangat mungkin kesalahan itu terjadi

karena adanya penyimpangan dalam penerapan sistem itu sendiri.

Demokrasi memang bukan merupakan sistem yang terbaik, tetapi sebagaimana

diungkapkan Lipson dari semua sistem yang pernah ada demokrasi merupakan yang terbaik

dan paling bijaksana.[7] Kritik terhadap demokrasi akan selalu muncul, namun demikian

dibalik kelemahan-kelemahan yang dikandungnya, demokrasi juga memiliki kekuatan dan

kebaikan, yaitu bahwa demokrasi memperkuat harga diri manusia, menyediakan kesempatan

pendidikan kewarganegaraan secara terus-menerus (mempertinggi budaya politik). Dengan

kesempatan pendidikan kewarganegaraan maka masyarakat akan menjadi semakin

berbudaya. Kedua model demokrasi Westminster dan Consensus memang masih

mengandung banyak kelemahan dan dapat menjadi tidak demokratis menurut elemen-

Page 4: Menimbang Model Demokrasi

elemannya, sehingga model terbaik yang dapat diterapkan adalah dengan mengambil sisi

positifnya dan membuang nilai negatifnya, sehingga dapat terjadi konsiderasi di antara kedua

sistem tersebut.

[1] Melvin Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Dalam Demokrasi, Jakarta: 2002, hal. 35.[2] Arend Lijphart, Democracies: Pattern of Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One

Centuries, New Haven and London: Yale University Press, 1984, hal. 2.[3] Ibid., hal. 42-43.[4] “Human Development Report”, UNDP, 2000.[5] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992,[6] Lipson, The Democratic Civilization, New York: Feiffer and Simons, 1964, hal. 240.[7] Ibid., hal. 251.