mengkounter tulisan fingerprint test, keilmiahan prof sarlito by audifax
TRANSCRIPT
Fingerprint Test, Keilmiahan dan Tulisan ‘Sidik Jari’ Prof Sarlito
Oleh
Audifax
Bergiat di SMART HRPD, Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB dan Pustaka Kushala
Berdebat mengenai Fingerprint Test, sudah bukan hal baru lagi. Sudah sejak 2008 lalu, ketika
saya dan Ratih Ibrahim memulai menggunakan alat ini untuk biro kami masing-masing,
perdebatan sudah muncul. Argumen kontra umumnya mempersoalkan keilmiahan. Sebuah
argumen yang sebenarnya umum dan sering digunakan bukan hanya dalam kasus Fingerprint,
tapi juga hampir semua kasus yang berkaitan dengan „pemikiran baru‟ atau „metode baru‟.
Permasalahannya, kontra argumen yang mengatasnamakan keilmiahan itu sendiri sering
dilontarkan secara tidak ilmiah. Salah satunya, yang kebetulan saya diminta menanggapi oleh
Ellen Kristi, teman dari Semarang, adalah tulisan dari Profesor Sarlito berjudul „Sidik Jari‟,
yang di-share di Facebook dan dimuat di harian SINDO edisi 15 Mei 2011. Mengapa saya
katakan argumen itu tidak ilmiah? Mari kita lihat satu demi satu.
Pertama soal klaim bahwa beliau telah melakukan pencarian jurnal dan tidak menemukan
sama sekali. Klaim itu patut diragukan karena dengan mesin pencari Google saja bisa
ditemukan banyak. Cuma ada dua kemungkinan, Prof Sarlito mencari di tempat yang
memang tidak ada, atau klaim itu lebih merupakan dramatisasi padahal tidak dia lakukan
dengan sungguh-sungguh. Apalagi dengan tambahan bahwa telah menemukan 40.000 dan
tidak ada satupun yang berhubungan, dari situ saja sudah tidak ilmiah kalau ada orang bisa
membaca 40.000 jurnal dalam tempo hanya beberapa hari.
Saya sendiri mencoba memverifikasi dengan menggunakan mesin pencari Google, dengan
kata kunci: dermatoglyphic, intelligence dan setting hanya mencari file pdf. Ada ribuan
thread muncul, dan banyak di antaranya jurnal. Saya berikan beberapa yang terata:
1. Association between Finger Patterns of Digit II and Intelligence Quotient Level in
Adolescents. Mostaf Najafi, MD, (2009), Department of Psychiatry, Shahrekord University of
Medical Sciences, Shahrekord, IR Iran. Link:
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/14053.pdf
2. Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence. M. Cezarik,
dkk, 1996; link:
http://www.collantropol.hr/_doc/Coll.%20Antropol.%2020%20%281996%29%202:%20413-
418.pdf
3. Application and Development of Palmprint Research, Yunyu Zhou, dkk, (2001), link:
http://ai.pku.edu.cn/aiwebsite/research.files/collected%20papers%20-
%20palmprint/Application%20and%20development%20of%20palm%20print%20research.p
df
4. Analysis of dermatoglyphic signs for definition psychic functional state of human's
organism, Anatoly Bikh,dkk; link: http://www.foibg.com/ibs_isc/ibs-07/IBS-07-p06.pdf
5. Determining The Association Between Dermatoglyphics And Schizophrenia By Using
Fingerprint Asymmetry Measures; Jen-Feng Wang, dkk; link:
http://www.eng.mu.edu/nagurka/Wang_Determining%20the%20Association_IJPRAI2203_P
601.pdf
6. Quantifying the Dermatoglyphic Growth Patterns in Children through Adolescence; J.K.
Schneider, Ph.D.; link: http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/232746.pdf
Sebelum ini saya juga sudah memiliki sejumlah referensi dari jurnal, ini beberapa di
antaranya:
CHINA SPORT SCIENCE AND TECHNOLOGY》 1999-02
The Feasible Study on Identification of Children's Intelligent by Dermatoglyphic
Pattern
Liu Hongzhen, Zhang Huaichun, Li Ziqin, Tang Xiaohui
The aim of this study is to explore the feasibility of early intelligent identification by
dermatoglyphic pattern. Intelligent of 723 subjects (aged 8~13) were tested with a revision
of Renee's Penetration Measure by Lidan and their dermatoglyphic were collected. The
relationship between intelligent and parameters of dermatoglyphic pattern was investigated
by multiple linear regression analysis. The results indicate that intelligent is correlated with
the double loop whorl, radial, simple creese hand, the third and fourth interdigital area pattern
I3 and I4. The regression equations for predicting intelligent and radial, intelligent and I3,
intelligent and I4 were calculated according to above results.
Key Words intelligent∥dermatography∥athlete selection∥multiple linear regression
Personality and Individual Differences
Volume 30, Issue 4, March 2001, Pages 579-586
Cognitive pattern and dermatoglyphic asymmetry
Doreen Kimura, and Paul G. Clarke
Department of Psychology, Simon Fraser University, 8888 University Drive, Burnaby,
British Columbia, Canada, V5A 1S6
Received 1 October 1999;
revised 20 February 2000;
accepted 15 March 2000.
Available online 31 January 2001.
Abstract
Right-handed subjects were classified by the number of ridges on left and right fingertips as
left-higher (L>) or right-higher (R>). As in previous studies, L> subjects of both sexes scored
higher than R> subjects on tasks typically favouring females (feminine tasks). However,
masculine characterization of tests did not relate consistently to direction of dermatoglyphic
asymmetry. Instead, two verbally-presented reasoning tasks (inferences, math aptitude) were
advantaged in R> subjects compared to L>. Since fingerprints are formed by the fourth fetal
month, the data support suggestions that significant components of our cognitive pattern are
programmed very early in life.
Author Keywords: Cognitive; Asymmetry; Sex differences; Dermatoglyphics; Fingerprints
Chinese Journal of Anatomy》 2002-01
Research on dermal ridge in students with high intelligence
LUO Tong Xiu,XU Ming Zong,LI Shi Wang,ZHOU Xiang,OUYANG Chi,ZHOU Xin Lian
(Chenzhou Medical College,Chenzhou 423000)
Objective:To study the dermal ridge of students in class of science and technology,to know
the character of dermal ridge in top intelligent persons.Methods:Printed the dermal ridge with
printing oil and observed them with magnifying glass,compared the differences of the
fingerprints and frequencies of the ridge patterns of palms of the hands (foots) between the
students with high in intelligence and the students in contrast group.Results:In the class of
science and technology,the frequency of finger end were 52.7%,out loops were 52.8% and
the whorls were 27.5% in the hallucal areas,and TFRC were 149.2 lines.Those statistics were
higher than that of contrast group.But the archs frequencies of fringer end and the hallucal
areas was lower than contrast group.Conclusion:It proves once again that dermal ridge and
intelligence is related.The results may help to select the excellent personnel.
Key Words】: top intelligent persons dermal ridge anthropometry
Chinese Journal of Anatomy》 2007-01
Dermatoglyph features of highly intelligent population
Zhang Limin1, Yang Zhanjun2, Chen Haihui1, Zhu Lihua1 (1 Department of Histology and
Embryology, 2 Department of Anatomy, Chengde Medical College, Chengde 067000,
China)
Objective: To explore the tegumental features of the highly intelligent population. Methods:
Totally 856 Han Chinese were included in this study (104: IQ110; 752: IQ90~109). Twenty
five indexes, including fingerprint, palm print and IQ, were analyzed and compared with
related documents.Results: There was significant difference in 10 indexes between 2 groups.
After integrated analysis, we proposed that 4 parameters (Wde, Wcz, Lus, PTC) could be the
biological parameters for judging the intelligence, and we also provided the normal value of
each parameter.Conclusion: This study provides a convenient and easy screening method for
discovering highly intelligent children at an early stage.
Key Words】: intelligence quotient fingerprint palm print giftedness
Begitu banyak yang bisa ditemukan. Itu semua membuat saya makin tidak percaya bahwa
Prof Sarlito benar-benar mencari jurnal atau penelitian terkait. Justru aneh kalau ada
sebanyak itu jurnal, tapi seorang profesor tidak mampu menemukannya satu pun.
Ini pelajaran penting dalam membuat sebuah argumen ilmiah yang tidak banyak orang
psikologi mampu melakukannya. Alasan-alasan semacam: tidak nemu jurnalnya, sudah kuno,
sudah mulai ditinggalkan, dan sejenisnya, itu semua bukan sebuah argumen ilmiah. Membuat
sebuah argumen ilmiah, carilah argumen yang diberikan oleh para teoritisi dermatoglyphic
(fingerprint). Pelajari tesis-tesisnya, lalu buat antitesisnya. Teori vs teori. Data vs data.
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan, khususnya psikologi dalam konteks ini, akan
berkembang semakin luas dan bermanfaat.
Bukankah Prof Sarlito sendiri menulis: “…setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”.
Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode
analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini.” Kenapa sebagai seorang profesor anda tidak
kutip saja salah satu tesis ilmiah mereka dan berikan antitesis ilmiahnya? Bukankah
semestinya di situ keilmiahan seorang profesor ditunjukkan? Bukannya malah melantur
kesana kemari mulai soal ibu-ibu yang ongkang-ongkang sampai soal Densus88.
Coba Prof Sarlito membaca model-model perdebatan ilmiah, misalnya perdebatan Sigmund
Freud dan Carl Gustav Jung, perdebatan Paul Ricour dan Algirdas Greimas, dst. Mereka
berdebat fokus pada masing-masing tesis, bukan kemana-mana. Premis-premis mereka pun
jelas, bukan muncul dari dasar laut seperti tulisan Prof Sarlito ini:
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan
dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya
akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa,
saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi
mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh
diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Di sini jelas bahwa premis utamanya saja Prof Sarlito tidak menguasai, kok berani-beraninya
membuat kesimpulan? Apakah mengenali potensi anak sama dengan memastikan arah hidup
si anak? Tentu saja ini hal yang berbeda. Ini logika mendasar tapi tidak dipahami Prof Sarlito.
Mengenali potensi anak, hanya berfungsi membantu anak untuk mengembangkan potensinya,
sekaligus mengatasi kelemahannya. Dan dalam hal ini, fungsinya sama saja dengan semua
bentuk lain dari tes dan diagnosa psikologi, yaitu sifatnya hanya membantu. Di luar apa yang
telah dipetakan, kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan jelas masih ada.
Di sinilah perlunya memahami logika dasar bahwa tes Fingerprint, tujuannya adalah
memetakan dan sama seperti ilmu pengetahuan lain, sebuah pemetaan atau prediksi saintifik
hanya berlaku ketika memenuhi hukum ceteris paribus.
Ketidakpahaman Prof Sarlito mengenai ilmu pengetahuan dan logika, juga nampak pada
kutipan berikut:
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu
pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka
sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari
70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian
Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.
Saya semakin heran dengan keprofesoran Sarlito ketika membaca kalimat: “Kalau kita cari di
Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi
semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya
adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.” Jadi, kalau suatu ilmu berada di luar
komunitas ilmu psikologi lalu disimpulkan sebagai pseudo-science dari psikologi? Wah,
betapa arogan „komunitas‟ macam itu. Dan, dari cara memverifikasi berdasarkan cara
semacam itu saja Prof Sarlito sudah tidak ilmiah. Apa Prof Sarlito tidak menyadari bahwa
banyak orang di luar komunitas psikologi mampu memelajari secara lebih mendalam soal
psikologi ketimbang orang-orang dalam komunitas psikologi?
Sebagai profesor, semestinya Prof Sarlito menyadari bahwa pengujian suatu ilmu bukan
berdasarkan suatu komunitas, melainkan dengan menguji bangunan ontologi, epistemologi
dan aksiologi/metodologi-nya. Ini satu hal mendasar lagi yang tidak terlihat dari cara Prof
Sarlito menuliskan mengenai Fingerprint.
Lalu ketika Prof Sarlito menuliskan:
“Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa
diverifikasi teorinya.”
Saya sebenarnya penasaran, Prof Sarlito ini tahu apa enggak mengenai „verifikasi‟. Dugaan
saya, beliau tidak mengetahui alasannya. (Saya menantang siapapun juga yang membaca ini
untuk menjelaskan alasan mengapa keilmiahan perlu „verifikasi‟ dan verifikasi macam apa).
Darimana saya menduga kalau beliau tidak tahu? Pertama dari tidak adanya alasan jelas
mengapa harus ada verifikasi. Kedua, dari tulisan selanjutnya:
Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak,
dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang
galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara
sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan
seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,
pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor
bawaan.
Prof Sarlito membaca dari literatur astrologi mana yang menyatakan manusia berbintang Leo
sifatnya galak? Itu benar ada atau cuma kira-kira Prof Sarlito? Tidak jelas. Di sini kembali
terlihat logika yang premisnya muncul dari dasar laut. Itu menunjukkan argumen itu disusun
asal ngomong, bukan karena benar-benar tahu apa yang diomongkan.
Dan penilaian Prof Sarlito disini pun seolah dia sterilkan dari verifikasi. Bagaimana
memverifikasi bahwa memang belum pernah ada penelitian yang mengkaji hubungan
astrologi dan kepribadian? Ini saya buktikan kalau logika Prof Sarlito muncul dari dasar laut.
Ternyata ada kok peneliti dari University of Georgia, yang meneliti hubungan antara
astrologi dengan personality traits dan menemukan hubungannya:
Hyokjin Kwak; Astrology: Its Influence On Consumers' Buying Patterns And Consumers'
Evaluations Of Products And Services, link:
http://www.terry.uga.edu/~ajaju/papers/AMS2000.pdf
Begitu juga komentar Prof Sarlito mengenai Sidik Jari dalam kutipan di atas, tidak bisa
diverifikasi darimana asalnya. Bahkan, terlihat bahwa Prof Sarlito tidak menguasai dengan
benar premis yang mendasari, walau dalam tulisannya mengutip pemikiran Sir Francis Galton
dan sejumlah pemikir lain yang mengembangkan telaah sidik jari.
Saya sependapat dengan komentar Nuruddin Asyhadie di FB mengenai tulisan Sidik Jari,
bahwa dengan apa yang Prof Sarlito lakukan sekarang (keterlibatannya dalam riset psikologi
dan psikologi kriminal), dan reputasinya sebagai psikolog, kukira seharusnya Prof Sarlito
tahu dengan baik posisi wacana fingerprint atau dermatoglip dengan psikologi sejak
penyelidikan Galton, Bapak Psikometri, mengenai ras dan kecerdasan dengan fingerprint,
sampai penggunaan korelasi NGF (Nerve Growth Factor) dan EGF (Epidermal Growth
Factor) yang ditemukan oleh Rita Levi dan Dr. Stanley Cohen, yang membuat keduanya
meraih nobel.
Keprofesoran Sarlito seharusnya ditunjukkan dengan membuat antitesis dari sejarah panjang
tersebut. Itu baru kita bisa bicara ilmiah dan tidak ilmiah. Tradisi semacam inilah yang perlu
dikembangkan dalam psikologi di Indonesia, sehingga komentar-komentar yang
mengatasnamakan keilmiahan, alih-alih ilmiah justru nampak genit dan reaktif. Perlu disadari
juga bahwa sebuah tulisan kritis, bukan berarti bisa mensterilkan dirinya dari kekritisan.
Ada sebuah kritikan menarik dari Karl Raimund Popper, tokoh pospositivis, yang mengkritisi
Vienna Circle dan cara berpikirnya. Popper mengatakan bahwa, pengetahuan selayaknya
bukan mempertahankan (memverifikasi) yang sebelumnya sudah dianggap ilmiah, namun
juga memfalsifikasi. Artinya, suatu pengujian justru harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan apa yang selama ini dipercayai benar ternyata mungkin saja salah, dan
sebaliknya, yang dianggap salah justru mungkin menjadi benar.
Popper mengambil perumpamaan, bahwa untuk menggugurkan tesis bahwa semua angsa
adalah putih, cukup diperlukan satu angsa hitam. Maka itu, janganlah membuat pernyataan:
„Tidak ada angsa berwarna hitam‟, melainkan „Belum ada angsa berwarna hitam‟. Dengan
demikian, maka ilmu pengetahuan akan selalu terbuka akan hal-hal baru dan bukan semata
memertahankan hal-hal lama.
Saya merasa perlu menuliskan ini, selain memenuhi ajakan menanggapi dari Ellen Kristi,
juga karena melihat bahwa perdebatan mengenai fingerprint ini, nampaknya sama sekali tidak
ilmiah karena banyaknya orang yang mendebat dengan model seperti Prof Sarlito, yaitu tanpa
menguasai premisnya dengan baik, dan bicara mengatasnamakan ilmiah tapi tidak ada
argumen ilmiahnya. Ini membuat, perdebatan mengenai fingerprint tidak pernah sampai ke
ranah ilmiah.
Silahkan anda kuasai dulu apa itu ilmiah, baru kita bicara keilmiahan.
Lampiran: tulisah prof Sarlito
SIDIK JARI
Sarlito Wirawan Sarwono
Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah
tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak. Saya sendiri yang sudah 43 tahun
malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan test
tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya.
Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera kepada
saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk bergabung dengan
usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya itu. Captive market-nya ibu-
ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan biayanya Rp 500.000,-per anak.
Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan
kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang
sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko, karena itu ia minta pendapat
saya.
Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka
saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris)
yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya
menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”.
Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya
dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs
artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul
“Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of
Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker, Gunvant K.
dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi tulisan yang satu ini
pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa skhizoprenia (yang dipercaya
merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari (yang juga merupakan bawaan),
Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata
kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-
ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang
menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari
orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah.
Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisa sidik jari memiliki
tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia
hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan
menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa,
saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka.
Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri
menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal
sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang
sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta
matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada
tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang
sama di Universitas Harvard).
Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik
dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap,
bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang
langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan
atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh
dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi
untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam Psikologi
atau tidak.
Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880 Dr
Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi
seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di
Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924
mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang.
Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian
Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi
lah yang menjadi andalan Polisi.
Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk
identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan
Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori
evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir
dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia menerbitkan buku “Finger
prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan
klasifikasi kepribadian.
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu
pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka
sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari
70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian
Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.
Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-
majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO), Palmistri (ilmu rajah
tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi
Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), Numerologi (meramal atau menjodohkan
orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan
kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan
literatur dan teknik masing-masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada
yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok).
Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa
diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan
antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo
dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara
sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan
seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya,
pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor
bawaan.
Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama
ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian
ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya
diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan
banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin
tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari.