repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · pernyataan...

216
EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI DEWI FEBRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: votuong

Post on 05-May-2018

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

DEWI FEBRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Page 2: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi

yang berjudul EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Dewi Febriani

NIM. E161070041

Page 3: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

ABSTRACT

DEWI FEBRIANI. Evaluation of Community Forest Plantation Policy Implementation Process in Sarolangun Regency in Jambi Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, and NURHENI WIJAYANTO.

Community forest plantation policy in Sarolangun Regency has poor performance in implementation. Realization of utilization permit timber-forest plantation (IUPHHK) was issued from Sarolangun district government just about 156.44 ha for 18 KK (0.82% from total provisioning area). Low performance and achievements in the implementation of HTR, requires a comprehensive evaluation on implementation of HTR policy.

The objective of this study are evaluate the HTR policy implementation process as a system of policies, begin from policy content, policy actors (local government and community) to environmental policy. Content of the policy was evaluated using by four indicators, namely: (1) policy objectives, (2) assumptions used, (3) the structure implementation; and (4) human resources and financial support. The policy actors and policy environment will be analyzed using quantitative descriptive analysis and stakeholder analysis. The final result of this study was recommendation of policy implementation strategies in the District Sarolangun, constructed using by analysis of strengths, weakness, opportunities, threats (SWOT) and quantitative strategic planning matrix (

QSPM).

The results showed that HTR policy still needs to be adjusted, because: (a) there are some differences in the perception of translating the objectives of HTR between the Ministry of Forestry and local governments, (b) the assumptions used by the Forestry Ministry in formulating the policy is not appropriate with existing field conditions, and (c) unpreparedness stakeholder activities contained in the structure of the implementation of HTR in implementing the policy.

Level of readiness, commitment and ability of the District Government in implementing HTR Sarolangun included in the category of middle - low, while the capital owned by the communities included in the category of middle, both physical capital (44%), human capital (46%) and social capital (53 %

Based on the above conditions, alternative strategies can be developed in policy implementation in the District Sarolangun HTR are: 1) accommodate exiting community models in forest land as community motivation; (2) optimize local government support to accelerate license process, assistance, and intensive socialization about HTR; and (3) use timber scarcity issues and PT Samhutani as market opportunity issues to stimulating community to plant timber.

). The level of public participation is included in the low category (81.48%) with a voluntary to participate degree in the induction participation. Based on the participation level (Arnstein, 1969), levels of public participation in the Lamban Sigatal dan Seko Besar village in the stage of providing information. While the process of participation in the Taman Bandung village in the stage of consultation.

Key words: Forest Plantation, Evaluation, Sarolangun District

Page 4: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

RINGKASAN

DEWI FEBRIANI. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, dan NURHENI WIJAYANTO.

Proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat (HTR) di Kabupaten Sarolangun berjalan lambat. Realisasi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga saat ini baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK atau 0.82% dari total luas pencadangan. Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses implementasi kebijakan HTR secara menyeluruh sebagai sebuah sistem kebijakan, mulai dari isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat) hingga lingkungan kebijakan. Isi kebijakan dievaluasi menggunakan empat indikator, yaitu: tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan, struktur implementasi dan dukungan sumberdaya manusia dan finansial; sedangkan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis stakeholder. Hasil akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang dibangun menggunakan metode analisis strengths, weakness, opportunity. treaths (SWOT) dan quantitative strategic planning matrix (QSPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan HTR masih perlu disesuaikan agar dapat diimplementasikan di Kabupaten Sarolangun, karena: (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Stakeholder kunci dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, BP2HP dan Universitas Jambi. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan yang tinggi terhadap implementasi HTR dan memiliki pengaruh yang tinggi pula. Namun hanya Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi saja yang memiliki kekuatan yang tinggi. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya berkolaborasi dengan Dishut Provinsi Jambi dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

Lingkungan kebijakan yang mendukung implementasi kebijakan HTR adalah budaya masyarakat menanam tanaman berkayu, kebiasaan berladang sesuai kemampuan, peladang berpindah, kelangkaan kayu dan pemasaran karet. Kelangkaan kayu di lokasi penelitian diketahui melalui tingkat kesulitan masyarakat mendapatkan kayu berkualitas baik. Hasil penelitian menunjukkan

Page 5: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

bahwa masyarakat merasa kesulitan mendapatkan kayu. Umumnya kayu yang digunakan berasal dari ladang sendiri yang jumlahnya sudah sedikit.

Tingkat kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah, sedangkan komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang dan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah.

Modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Dengan modal yang cukup ini, diharapkan implementasi kebijakan HTR yang menuntut peran sentral masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori rendah dengan derajat kesukarelaaan untuk berpartisipasi termasuk dalam partisipasi terinduksi, di mana partisipasi masyarakat timbul karena motivasi ekstrinsik berupa bujukan, pengaruh atau dorongan dari luar meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi atau tidak. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa terpaksa dan tidak antusias dalam berpartisipasi. Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat di Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal termasuk dalam tahap informing sedangkan masyarakat Desa Taman Bandung yang telah memasuki level konsultasi (consultation).

Berdasarkan kondisi di atas, alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah (a) mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR; (b) mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat (c) menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.

Kata kunci: Hutan Tanaman Rakyat, Evaluasi, Kabupaten Sarolangun,

Page 6: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 7: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

DEWI FEBRIANI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Page 8: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S.

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Page 9: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Judul Disertasi : Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi

Nama : Dewi Febriani NIM : E161070041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan Prof. Dr. Ir. Hariadi Katodihardjo, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 26 Juli 2012 Tanggal Lulus : ......................

Page 10: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

PRAKATA

Alhamdulllaahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT atas rahmat, ridho dan hidayah-Nya, disertasi yang berjudul “Evaluasi

Proses Implementasi Kebijakan, Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten

Sarolangun, Jambi” ini dapat diselesaikan. Penyusunan disertasi ini diajukan

sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengetahuan Hutan,

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. selaku ketua komisi pembimbing dan

kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop serta Prof. Dr. Ir.

Nurheni Wijayanto, M.S selaku anggota komisi Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga

menambah wawasan dan cakrawala kami dalam penyusunan disertasi ini.

Semoga semua ini akan menjadi amal ibadah bagi mereka.

2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku

dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr.Ir. Iman Santoso,

M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihadjo, M.S. selaku penguji luar komisi

dalam ujian terbuka; atas saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

3. Ir. Akub Indrajaya, Ir. Bambang Yulisman, Ir. Budikus Yulianto, dan semua

jajaran Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun atas bantuan

tenaga dan data-data yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian

di Kabupaten Sarolangun, Jambi, serta Ir. Endang Pudjiastuti, M.S, atas

kerjasama dan bantuannya selama mengumpulkan data di lapangan.

4. Drs. Ishak Zakaria dan Zuraidah Taher, kedua orang tuaku yang senantiasa

memberikan dukungan dan doa sepanjang perjalanan hidupku.

5. Suamiku, Suyanto dan kedua anakku (Muhammad Tegar Rabbani Dewanto

dan Kasih Dean Tsamarrah) atas cinta, pengertian, kasih sayang, dukungan

kepada penulis. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam

kehidupan dan keberhasilanku.

Page 11: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

6. Tika dan Ria, adik-adikku yang senantiasa memberikan bantuan dan

dukungan selama aku menjalani pendidikan dan semua keluarga di Bengkulu,

Bogor, Solo dan Surabaya atas doa dan dukungannya.

7. Teman-teman S3 angkatan 2007, atas dukungan dan kerjasama kita selama

kuliah di sekolah pascasarjana IPB. Semoga kerjasama yang erat dapat kita

bangun dan terus berlanjut hingga masa yang akan datang

8. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan

dana dalam mengikuti pendidikan program Doktor di IPB.

9. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung

maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data hingga

tersusunnya disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan-

kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan penulis sebagai manusia yang

memiliki keterbatasan. Namun demikian, penulis tetap berharap disertasi ini dapat

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kalangan rimbawan pada

khususnya. Amien.

Bogor Juli 2012

Dewi Febriani

Page 12: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 19 Februari 1974

sebagai anak kedua dari ayah bernama Drs. Ishak Zakaria dan ibu Zuraidah Taher.

Penulis menikah dengan Suyanto, SE pada tahun 2005 dan dikaruniai dua orang

anak, Muhammad Tegar Rabbani Dewanto (5 tahun) dan Kasih Dean Tsamarrah

(2 tahun).

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD. Sint Carolus Bengkulu.

Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 2 Bengkulu dan

pendidikan menengah atas di SMAN 4 Bengkulu. Pada tahun 1992, penulis

melanjutkan studi di Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian, Universitas

Bengkulu dan meraih gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis

berhasil menyelesaikan program pendidikan Akta Mengajar IV di Universitas

Terbuka.

Penulis mengawali karir sebagai honorer di Dinas Kehutanan Provinsi

Bengkulu pada tahun 1998 hingga 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan

pendidikan pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian

Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Master Pertanian pada tahun 2002,

dengan predikat cum laude.

Sejak tahun 2003 penulis bekerja di Kementerian Kehutanan, Jakarta

sebagai staf di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, yang beralamat di

Gedung Manggala Wanabhakti hingga sekarang. Tahun 2005, penulis dipercaya

untuk menjadi koordinator sekretariat Indonesian National Forest Programme.

Pada tahun 2007, penulis mendapat penugasan sebagai karyasiswa program

Doktoral Kementerian Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan Hutan

(IPH), Sekolah Pascasarjana, IPB.

Page 13: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah
Page 14: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL …………………………………………………………. ix

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xiv

I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 1.4 Kebaruan (Novelty)......................................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 9 2.1 Kebijakan Publik………………...................................................... 2.2 Implementasi Kebijakaan …………………....................................

9 10

2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi …………………………….. 2.3.1 Kebijakan publik ……………………………….………….. 2.3.2 Implementator dan target kebijakan ………………………..

2.3.2.1 Modal fisik..………………………………………. 2.3.2.2 Modal manusia……………..……………………... 2.3.2.3 Modal sosial… ……..……………………………..

2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan …………………….... 2.3.4 Analisis Stakeholder………………………………………..

2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat……………………………...... 2.5 Sekilas tentang Hutan Tanaman …………………………………..

2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat……………………………. 2.5.2 Kebijakan hutan tanaman rakyat…………………………..

2.6 Beberapa Tulisan dan Penelitian Mengenai HTR …………………

12 12 13 14 15 16 18 19 22 28 28 29 32

III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 3.2 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 3.3 Desain Penelitian …………………………………………………. 3.3.1 Teknik pengumpulan data ……………………………...... 3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan….……………

3.3.3 Instrumen penelitian ……………………………………… 3.3.4 Jenis dan sumber data ……………………………………

35 40 40 40 40 41 43 44

3.4 Metode Analisis …………………………………………………… 3.4.1 Evaluasi terhadap Isi Kebijakan....………………………... 3.4.2 Evaluasi terhadap Pelaku Kebijakan dan Lingkungan

Kebijakan …………………………………………………. 3.4.3 Evaluasi terhadap Pemangku Kepentingan ………………. 3.4.4 Evaluasi Kesenjangan Implementasi HTR ……………….

46 46

47 48 51

Page 15: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

x

3.4.5 Formulasi Strategi Implementasi Kebijakan ……………... 3.4.5.1 Tahap pengumpulan data ………………………… 3.4.5.2 Tahap analisis…………………………………….. 3.4.5.3 Tahap pengambilan keputusan …………………...

52 53 56 58

IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN 4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ………………………………..

4.1.1 Kejelasan dan Konsistensi Tujuan ……………………....... 4.1.2 Asumsi yang Digunakan…………………………………... 4.1.3 Struktur Implementasi …………………………………….. 4.1.4 Dukungan SDM dan Finansial …………………………….

4.2 Lingkungan Kebijakan…………………………………………….. 4.2.1 Dukungan Politik dan Stakeholders Lain…………………. 4.2.2 Kondisi Sosial Budaya ……………………………………. 4.2.3 Pemasaran …………...……………………………………. 4.2.4 Kelangkaan Kayu…..………………………………………

61 61 65 67 71 73 73 85 89 92

V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN 5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah………

5.1.1 Kesiapan pemerintan daerah………………………………. 5.1.2 Kemauan (komitmen) pemerintan daerah……………….... 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah……………………………

5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat……. 5.2.1 Modal fisik yang dimiliki oleh masyarakat ………………. 5.2.2 Modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat…………… 5.2.3 Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat……………….

5.2.3.1 Kepercayaan terhadap sesama……………………… 5.2.3.2 Kepatuhan terhadap norma………………………… 5.2.3.3 Kepedulian terhadap sesama……………………….. 5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial……………….

97 97

102103 104 104 106 111 111 112 113 114

VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI 6.1 Peningkatan Kualitas Hutan Produksi Versus Pemberdayaan

Masyarakat ………………………………………………………... 6.2 Tingkat Partisipasi ………………………………………………... 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi…………..

7.3.1 Modal fisik …………………………………………………. 7.3.2 Modal manusia……………………………………................ 7.3.3 Modal sosial………………………………………................

6.4 Derajat Kesukarelaan dan Tingkat Partisipasi …………………… 6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun……………….

VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

7.1 Tahap Pengumpulan Data……………………………………….. 7.1.1 Faktor internal…………………………………………….. 7.1.2 Faktor eksternal……………………………………………

7.2 Tahap Analisa Data………………………………………………

117 121 124 127 128 129 130 133

139 139 142 145

Page 16: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

xi

7.3 Tahap Pengambilan Keputusan …………………………………. 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR……………

7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan lahan saat ini………………... 7.4.2 Optimalisasi peran pemda…………………………………. 7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang

pemasaran…………………………………………………. 7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih …………………………..

7.5.1 Sistem silvikultur ………………………………………... 7.5.2 Penentuan jenis tanaman………………………………… 7.5.3 Pola penanaman ………………………………………….

7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet………. 7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu……. 7.5.3.3 Hutan campuran jernang ………………………...

7.5.4 Kelembagaan……………………………………………..

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan……………………………………………………… 8.2 Saran …………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA ……………………….……………………………...

LAMPIRAN…………………………………………………………...…….

149 151 151 153

154 155 156 158 159 159 160 162 165

169 170

171

181

Page 17: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1995) ………………………….

2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas

Negara……………………………………………………………………..

3 Tiga Elemen Sistem Kebijakan ………………………………………......

4 Kerangka Pemikiran Penelitian …………………………………………..

5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan…………….

6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan….…………….

7 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan

yang Dimilikinya …………………………………………………………

8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT…………………..

9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi………..

10 Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh…..

11 Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh …...………

12 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan

yang Dimilikinya ……………………………………………………

13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun ……………………..

14 Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal……………………….

15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu dengan

Kualitas Baik……………………………………………………..........

16 Tingkat Koordinasi antar Institusi dalam Rangka Implementasi Hutan

Tanaman Rakyat…………………………………………………………

17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi

Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR…………………………

18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan

Hutan Tanaman Rakyat ……………………………………...................

19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun…

20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten

Sarolangun………………………………………….……………………

21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat …..………………………...

23

30

36

39

32

49

50

51

58

64

76

81

82

91

91

93

99

99

101

146

148

152

Page 18: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

22 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Karet ………………..

23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I……..........

24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II…………..

25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I…………

26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II………...

27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu

Fast Growing…………………………………………………………….

28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu

Bukan Jenis Fast Growing……………………………………………..

160

161

162

163

163

164

164

Page 19: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan Hutan

Kemasyarakatan ………...………………………………………………...

2 Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Lokasi HTR di

Kabupaten Sarolangun…………………………………………. ………..

3 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR……………………………..

4 Proses Pengajuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR …….

5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa

Asal Responden …………………………………………………………..

6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan

Desa Asal Responden …………………...………………………………..

7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan

Desa Asal Responden ...…………………………………………………..

8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal……………………………………..

9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal…..……………………………….

10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal…………………………………….

11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal…………………………………...

12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 1 ......................................................................................................

13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 2 ......................................................................................................

14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM

Strategi 3 ......................................................................................................

15 Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan dalam Kelompok Hutan

dalam Areal Pencadangangan HTR..............................................................

177

179

180

181

182

182

183

184

185

186

187

188

190

192

194

Page 20: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah
Page 21: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan akibat

meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan; menurunnya investasi di

bidang kehutanan dan pembangunan hutan tanaman; dan meningkatnya illegal

logging. Data Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun

1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di

tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%. Data Departemen Kehutanan

(2006) menunjukkan bahwa pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan

degradasi di Indonesia mencapai 1.8 juta hektar pertahun. Periode 1997-2000 laju

deforestasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-

rata sebesar 2.8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005

menjadi sebesar 1.08 juta hektar. Statistik Kehutanan Indonesia 2010

menunjukkan bahwa total deforestasi di dalam dan luar kawasan hutan periode

2006-2009 mengalami penurunan menjadi 832 126.9 ha/tahun (Kemenhut 2011a).

Di lain pihak, kebutuhan bahan baku kayu nasional semakin meningkat dan

diprediksi tidak akan mampu dipenuhi oleh hutan alam yang tersisa. Berdasarkan

data Kementerian Kehutanan (2011a) diketahui kapasitas industri kayu saat ini

diperkirakan sebesar 65.6 juta m3 per tahun, sementara produksi kayu yang

dihasilkan baik dari hutan alam maupun hutan tanaman pada tahun 2006–2010

rata-rata hanya sebesar 47.5 juta m3

Kerusakan hutan menjadi lebih parah oleh konflik sosial yang terjadi akibat

pengakuan hak (property right) masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap

pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya hutan (Colchester & Fay 2007;

Kartodihardjo, 2007). Masyarakat sekitar hutan sering dianggap sebagai sebuah

entitas yang dapat mengganggu proses pengelolaan kawasan hutan, sehingga

per tahun. Untuk memenuhi defisit

permintaan tersebut banyak terjadi penebangan dan pemanenan yang berlebihan

(overcutting dan overharvesting) di dalam kawasan hutan. Akibatnya luas

penutupan hutan semakin berkurang dan areal bekas tebangan tersebut

berkembang menjadi lahan kritis.

Page 22: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

2 seringkali diposisikan sebagai musuh, pihak yang bertanggung jawab terhadap

perambahan kawasan hutan dan perusak lingkungan (Li, 2002).

Eksistensi hutan dan dinamika masyarakat di sekitarnya berlangsung secara

tidak seimbang, yang menyebabkan kawasan hutan semakin mengalami tekanan,

ancaman dan sangat rentan (vulnerable). Hal ini tidak dapat diatasi dengan

meniadakan komponen yang dianggap mengancam (masyarakat), tetapi harus

dengan cara memperbaiki dan membangun hutan bersama-sama (pemerintah dan

masyarakat) agar hutan menjadi tetap lestari dan bermanfaat (Sumanto, 2009).

Kartodihardjo (2007) berpendapat bahwa kerusakan hutan tidak mungkin

dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya

kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan kata lain keterlibatan masyarakat

sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan. Cara alternatif

yang dapat dipilih pemerintah adalah dengan menggulirkan kebijakan-kebijakan

pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Pemerintah mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada

tahun 2007 sebagai salah satu usaha untuk mengurangi lahan kritis di dalam

kawasan hutan produksi, memenuhi kebutuhan industri kayu dan meningkatkan

keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan produksi.

Kebijakan ini dibuat untuk melengkapi skema-skema pengelolaan hutan berbasis

masyarakat yang telah ada sebelumnya, seperti hutan kemasyarakatan (HKm),

hutan rakyat (HR), hutan desa (HD) dan beberapa bentuk kerjasama pengelolaan

hutan antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Pada skema HTR pemerintah

membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk membangun dan

memanfaatkan areal hutan produksi dibandingkan dengan skema pengelolaan

lainnya (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007; Emila & Suwito 2007)

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dirasa tepat dalam menyikapi problema

yang terjadi di bidang kehutanan. Moratorium hutan produksi yang saat ini sedang

dalam proses, mengharuskan alternatif substitusi hutan produksi dalam mengatasi

kelangkaan kayu. Bila kebijakan ini berhasil membangun hutan tanaman rakyat

dengan luasan yang cukup, maka kelangkaan kayu masa depan dapat teratasi.

Di samping itu, lemahnya kekuatan pemerintah pasca reformasi dan

banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open access

Page 23: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

3 menuntut pemerintah untuk mencari cara alternatif untuk mengamankan kawasan

hutan produksi. Kebijakan HTR juga dapat memayungi kegiatan-kegiatan yang

dilakukan masyarakat dalam kawasan hutan produksi, sehingga konflik

kepemilikan lahan (tenurial) diharapkan dapat teratasi.

Guna mendukung kebijakan ini, Kementerian Kehutanan menetapkan target

pencadangan areal hutan produksi untuk HTR seluas 1.4 juta ha/tahun. Dengan

demikian diharapkan pada tahun 2010 akan terbangun 5.4 juta ha hutan tanaman

rakyat (Ditjen BPK 2006). Namun realisasinya hingga Maret 2011, luas areal

yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha (Kementerian Kehutanan,

2011).

Lokasi pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun ditetapkan berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November

2008 seluas 18 840 ha. Apabila diasumsikan 15 ha/KK maka diprediksi kebijakan

HTR akan mampu melibatkan 1 256 KK atau 15.5% dari masyarakat pra sejahtera

di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 8 102 KK (BPS, 2007). Namun realisasi

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-

HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga Maret

2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman

Bandung Kecamatan Pauh (data BP2HP Wilayah IV Jambi). Berdasarkan data

tersebut, diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya

0.82% dari SK pencadangan, atau hanya 1.43% dari target KK yang dapat

diberdayakan melalui kebijakan ini.

Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan

evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR. Oleh

karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan

dari sisi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah selaku implementator

dan masyarakat selaku kelompok target) dan lingkungan kebijakannya.

1.2 Perumusan Masalah

Sejak dicanangkan pada tahun 2007, luas kawasan hutan produksi yang

dicadangkan untuk HTR masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Direktorat

Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa untuk

Page 24: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

4 meningkatkan produksitifitas hutan produksi maka ditetapkan target HTR seluas

1.4 juta ha/tahun, sehingga diharapkan 5.4 juta ha HTR akan terbangun pada

tahun 2010 (Ditjen BPK 2006). Namun hingga awal tahun 2010, realisasi

pembangunan HTR masih sangat rendah. Data Direktorat Jenderal Bina Usaha

Kehutanan (2010) menunjukkan bahwa luas pencadangan HTR hingga Februari

2010 adalah 605 788 ha, sedangkan Izin Usaha (IUPHHK) HTR baru diterbitkan

di 18 kabupaten, dengan total luas 58 182.89 ha. Kondisi tersebut menyebabkan

Kementerian Kehutanan merevisi target pembangunan HTR yang semula 5.4 juta

ha hingga tahun 2010 menjadi 5.4 juta ha hingga tahun 2016 (Ditjen BUK 2011).

Data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011) menyebutkan bahwa

hingga Maret 2011, luas areal yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha

meliputi 103 kabupaten di 26 provinsi. Data pada tahun yang sama menyebutkan

bahwa telah diterbitkan izin HTR sebanyak 50 izin koperasi dan 1 807 izin

perorangan untuk 31 kabupaten di 17 provinsi dengan total luas 127 244.30 ha

atau hanya sekitar 19.56% dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk

HTR. Realisasi pembangunan HTR hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Target, Pencadangan dan Realisasi HTR periode 2007-2011

Tahun Target

Pencadangan (ha)

SK Pencadangan

(ha) (%)

Realisasi IUPHHK

(ha) (%) KET

2007 600 000 0.00 0 0.00 0 - 2008 600 000 149 284.00 24.88 8 794.00 5.89 1 kab 2009 600 000 234 119.00 39.02 26 781.04 11.44 10 kab 2010 600 000 222 385.00 37.06 22 607.85 10.17 9 kab

2011 600 000 44 885.73 7.48 69 060.41 153.86 83 kab TOTAL 3 000 000 650 662.73 21.68 127 244.30 19.56 103 kab Sumber : Direktorat Jenderal BUK (2010 dan 2011), diolah

Di Kabupaten Sarolangun, perkembangan penerbitan izin HTR juga sangat

lambat. Hingga Mei 2011 atau dalam kurun waktu 2.5 tahun sejak dikeluarkannya

SK pencadangan, baru 0.82% dari keseluruhan areal tersebut yang sudah

diterbitkan izinnya oleh bupati. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan

(Ditjen BPK, 2009) diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR di Kabupaten

Sarolangun pada bulan Maret 2009 seluas 44 ha dan 110.66 ha pada bulan Maret

2010. IUPHHK-HTR tersebut diberikan kepada empat kelompok tani hutan

(KTH), yaitu: 52.72 ha untuk KTH Maju Jaya, 31.09 ha untuk KTH Usaha Tani,

50 ha untuk KTH Bukit Lintang dan 20.85 ha untuk KTH Sumber Rejeki.

Page 25: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

5

Rendahnya realisasi implementasi HTR diduga karena banyak terjadi

tumpang tindih kawasan pada areal yang telah dicadangkan tersebut dengan

peruntukan lainnya di lapangan (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007). Hasil

penelitian Noordwijk et al. (2007) di daerah Sumatera Utara menerangkan bahwa

hanya 29% dari areal yang dicadangkan untuk HTR yang berupa kawasan hutan

produksi. Kasus seperti ini banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan sehingga

pemerintah daerah memerlukan waktu lebih lama melakukan pemeriksaan silang

di lapangan. Penetapan lokasi HTR ini juga kurang memperhatikan keberadaan

masyarakat dan kondisi sosial ekonominya sehingga dimungkinkan lokasi yang

ditunjuk berada jauh dari pemukiman atau masyarakatnya tidak berminat

membangun HTR.

Beberapa kajian tentang konsep HTR menyebutkan bahwa selain masalah

tenurial, pengembangan HTR juga akan menemui tantangan lainnya sehingga

berkembang lambat. Schneck (2009) mengidentifikasi tantangan tersebut antara

lain terbatasnya kemampuan masyarakat, kurangnya dukungan dari institusi

pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR, pembagian hak dan

tanggung jawab yang jelas antara pemegang hak (terutama dalam pola kemitraan

dan pola developer), akses pasar yang buruk, serta ketidakpastian viabilitas usaha

secara finansial yang disebabkan karena kondisi pasar yang kurang baik dan

besarnya dukungan dana.

Hasil penelitian Herawati (2010a) mengungkapkan bahwa kebijakan HTR

telah keliru sejak dari proses perumusannya, dimana aktor yang terlibat hanya

pihak birokrat kehutanan dan tidak mempertimbangkan informasi mengenai faktor

kegagalan program pemberdayaan masyarakat yang pernah ada sebelumnya.

Padahal dalam implementasinya, dituntut peran yang besar dari pihak di luar

Kementerian Kehutanan seperti pemerintah daerah dan masyarakat.

Apabila pihak implementator tidak dilibatkan dan dipertimbangkan dalam

pengambilan keputusan, tentu saja kebijakan tersebut berpotensi gagal akibat

adanya implementation gap. Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (2008)

menjelaskan bahwa istilah implementation gap dalam proses implementasi

kebijakan merupakan suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan

Page 26: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

6 antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa

yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).

Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh implementation capacity

dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk

mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan

hutan tanaman rakyat, yang mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan

adalah pemerintah daerah (pemda) selaku implementator dan masyarakat selaku

kelompok target.

Herawati (2010b) menyebutkan bahwa peran pemda memiliki pengaruh dan

kepentingan yang tinggi terhadap pelaksanaan program HTR. Oleh karena itu,

tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh

kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda selaku implementator kebijakan.

Untuk mengimplementasikan kebijakan HTR, kesiapan fisik (lahan, pasar,

dll) bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan program HTR,

kesiapan aspek sosial (kesempatan, kemauan dan kemampuan masyarakat) juga

harus diperhatikan (Ekawati et al. 2008). Peran sentral yang diberikan kepada

masyarakat oleh kebijakan ini, menuntut kesiapan yang matang dari masyarakat.

Oleh karena itu, pertimbangan dalam implementasi kebijakan HTR tidak boleh

hanya berdasarkan kondisi biofisik semata, namun juga harus memperhatikan

modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat seperti modal fisik, modal manusia

dan modal sosial.

Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud

fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan,

keterampilan dan keeratan hubungan (Coleman, 1988). Keahlian, kemampuan,

pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal manusia yang sangat

berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).

Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan

hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok 2002). Modal

sosial penting untuk dipertimbangkan karena masyarakat tidak hanya berupa

sekumpulan manusia yang secara fisik telah bersama dalam kurun waktu tertentu

melainkan terdapat semangat atau ruh yang memperkuat kehidupan kolektif

Page 27: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

7 (Pranadji, 2006). Oleh karena itu, guna mencapai tujuan perlu menambahkan

modal sosial pada setiap kebijakan (Weyerhaeuser et al., 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab

dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah isi kebijakan HTR telah memenuhi syarat untuk diimplementasikan

secara efektif ?

2. Apakah pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten

Sarolangun) Kabupaten Sarolangun telah memiliki kesiapan, komitmen dan

kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan HTR ?

3. Apakah masyarakat desa di sekitar lokasi pencadangan HTR di Kabupaten

Sarolangun telah memiliki modal yang cukup sebagai landasan untuk

mengimplementasikan HTR?

4. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan

HTR hingga saat ini?

5. Bagaimana formulasi strategi yang tepat dalam implementasi kebijakan HTR

di Kabupaten Sarolangun?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi proses

implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun. Tujuan

umum tersebut dijabarkan menjadi lima tujuan khusus, yaitu:

1. Mengevaluasi isi kebijakan HTR.

2. Menganalisis kesiapan, komitmen dan kemampuan Pemerintah Daerah

Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

3. Menganalisis modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh

masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

4. Mengevaluasi tingkat partisipasi masyarakat

5. Merumuskan formulasi strategi implementasi HTR di lokasi penelitian

1.4 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) yang diperoleh dari penelitian mengenai proses

implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat ini adalah:

Page 28: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

8 1. Berdasarkan objek penelitian, telah banyak penelitian yang menganalisa

kebijakan HTR dari sisi kebijakan. Penelitian ini menganalisis kebijakan

HTR dari sisi implementasi kebijakan, khususnya di Kabupaten Sarolangun.

2. Berdasarkan metodologi yang digunakan, penelitian ini mengevaluasi proses

implementasi kebijakan HTR sebagai sistem kebijakan secara komprehensif,

meliputi isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat)

dan lingkungan kebijakan.

3. Berdasarkan hasil penelitian akan diperoleh kebaruan berupa strategi

implementasi kebijakan HTR khususnya di Kabupaten Sarolangun.

Page 29: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan berasal dari kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari

kata wisdom (kebijaksanaan) maupun virtues (kebajikan) (Suharto 2006). Definisi

tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang

merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Nugroho (2008)

telah menginventarisasi definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi

tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Definisi kebijakan publik

No Sumber Definisi

1 James Anderson (2004)

Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan atau kepentingan

2 Steven A.P. (2003)

Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah

3 James Lester & Robert Steward (2000,18)

Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki permasalahan publik

4 Austin Ranney (2000)

Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan

5 www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan yang dihasilkan dari pemerintah

6 Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan 7 Thomas R. Dye

(1995,2) Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah

8 Willian Jenkins (1978)

Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu

9 Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)

Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu

10 David Easton (1965)

Akibat dari aktivitas pemerintah

11 Carl I Friederick (1963)

Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu

12 Michael Howlett & M Rammesh (1957)

Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi

Sumber : Nugroho 2008

Page 30: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

10 2.2 Implementasi Kebijakan

Grindle (1980) mempunyai pandangan bahwa tugas implementasi adalah

membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa

direaliasasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu,

tugas implementasi mencakup terbentuknya ‘a policy delivery system’ dimana

sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada

tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan van Horn (1975) sebagaimana diacu oleh Winarno (2008)

membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam

keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Mereka menggolongkan kebijakan

menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) jumlah perubahan yang terjadi

dan (2) sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara stakeholders dalam

proses implementasi. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang penting,

setidaknya menyangkut dua hal, yaitu: (1) implementasi akan dipengaruhi oleh

sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya; dan (2) proses

implementasi dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan.

Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan bahwa

terdapat istilah implementation gap dalam proses implementasi kebijakan, yaitu

suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang

diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya

dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).

Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh apa yang disebut oleh

implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor

yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan

tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan suatu organisasi/aktor

untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa

sehingga ada jaminan bahwa tujuan/sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen

formal kebijakan dapat dicapai (Williams 1971 dalam Wahab 1998).

Namun demikian, sebuah kebijakan mengandung resiko gagal. Hogwood

dan Gunn (1986) dalam Hadi (2007) menjelaskan bahwa kegagalan kebijakan

Page 31: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

11 dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori, yaitu: non implementation (tidak

terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak

berhasil). Kebijakan negara dikatakan non implementation apabila kebijakan

negara tidak dapat dilakukan sesuai rencana karena pihak-pihak yang terlibat

dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak

effesien atau bekerja setengah hati, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai

permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan

kekuasaannya, atau bagaimanapun usaha mereka namun ada hambatan-hambatan

yang tidak dapat mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar

untuk dilaksanakan.

Sementara itu, suatu kebijakan yang tidak berhasil (unsuccessfull

implementation) terjadi apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana,

namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya

terjadi bencana alam, terjadinya pergantian kekuasaan dan sebagainya) maka

kebijakan tersebut tidak dapat menghasilkan dampak sebagaimana yang

diharapkan. Umumnya kebijakan yang beresiko gagal tersebut disebabkan oleh

tiga faktor yaitu: (1) kebijakannya yang jelek (bad policy), (2) pelaksanaannya

jelek (bad implementation), atau (3) kebijakannya yang bernasib jelek (bad luck).

Akibatnya sebuah kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara efisien dan

dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek.

Lebih lanjut Wahab (1998) menerangkan bahwa sebagian besar kebijakan

pemerintah pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan yang berusaha

keras untuk mempengaruhi perilaku birokrat/pejabat lapangan (street level

bureaucrats) dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada

kelompok sasaran. Dengan kata lain, dalam implementasi program khususnya

yang melibatkan banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkatan

struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang,

yaitu : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat), (2)

pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) dan (3) aktor-aktor perorangan di

luar badan-badan pemerintah kepada siapa program tersebut ditujukan (target

group atau kelompok sasaran).

Page 32: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

12

Mazmanian dan Sabatier (1979) diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan

makna implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu

program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang

timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup

baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan

dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses

implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku

badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program

dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan

menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang

langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak

yang terlibat, dan akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan

(intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects).

Dengan demikian evaluasi proses implementasi kebijakan dimaksudkan

untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, dan apa

yang timbul dari program kebijakan. Di samping itu implementasi kebijakan tidak

hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-

faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi

Dalam menetapkan faktor penentu kinerja implementasi, penulis merujuk

pada pendapat Dunn (2000) yang menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan

(policy system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu:

kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.

2.3.1 Isi Kebijakan

Berkenaan dengan komponen kebijakan publik, Abidin (2006) menyebutkan

bahwa terdapat beberapa elemen yang wajib dimiliki suatu kebijakan publik agar

dianggap berkualitas dan layak untuk diimplementasikan, yaitu :

Page 33: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

13 1. Tujuan yang ingin dicapai harus rasional dan desirable (diinginkan).

Rasional artinya tujuan tersebut harus dapat dipahami dan diterima oleh akal

sehat terutama bila dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia.

Diinginkan artinya tujuan tersebut seharusnya menyangkut kepentingan orang

banyak,sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak.

2. Asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan harus realistis, karena

asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.

3. Informasi yang digunakan cukup lengkap, benar dan tidak kadaluarsa.

Lebih lanjut, Sabatier dalam Parsons (2008) mengemukakan enam

persyaratan untuk implementasi yang efektif, yaitu:

1. Tujuan yang jelas dan konsisten agar dapat menjadi standar evaluasi.

2. Teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan tersebut

mengandung teori yang akurat tentang cara melahirkan perubahan.

3. Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-

pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok yang

menjadi sasaran kebijakan.

4. Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan

kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.

5. Dukungan kelompok kepentingan dan ‘penguasa’ di legislatif dan eksekutif.

6. Perubahan kondisi sosial ekonomi tidak melemahkan dukungan kelompok

dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.

2.3.2 Implementator dan target kebijakan

Peran implementor sangat penting. Ini berhubungan dengan kapasitas yang

mereka miliki. Kapasitas yang dimaksud mencakup keahlian yang dimiliki,

tingkat kreativitas, komitmen, akses dan dukungan politik yang dimiliki, dan

sebagainya. Kapasitas tersebut akan semakin berdayaguna jika kebijakan yang

diimplementasikan didukung dengan ketersediaan sumberdaya yang memadai.

Tetapi sumberdaya yang berlebihan juga dapat menghambat implementasi.

Kondisi kedua ini biasanya terjadi untuk kebijakan yang mengangkat tema-tema

populis-ideologis yang memberikan diskresi dan otoritas yang besar kepada agen

pelaksana tanpa kontrol yang memadai (Quick 1980 dalam Hadi 2007).

Page 34: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

14

Dalam kebijakan HTR, peran kelompok target (masyarakat) menjadi

sangat dominan. Kapasitas yang dimiliki oleh kelompok target akan sangat

menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Kapasitas ini meliputi

modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok target

pada lokasi penelitian.

2.3.2.1 Modal fisik

Dalam literatur ekonomi, modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi

yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat

atau layanan-layanan produktif atau productive services (Dasgupta & Serageldin,

2000). Lawang (2004) mengungkapkan bahwa modal (capital) mempunyai fungsi

yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa, terutama untuk

jangka panjang. Dijelaskan terdapat tiga modal dalam bidang ekonomi, yaitu

modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital) dan modal

fisik (physical capital). Modal fisik seringkali mengacu pada barang-barang yang

kelihatan (tangible), dapat dipegang, dan sering kali tahan lama (durable) seperti:

bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Modal fisik

termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan

irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi.

1.

Menurut Robinson et al. (2002) terdapat sembilan sifat dasar (karakteristik)

barang modal fisik, yaitu :

2.

Kapasitas transformasi (transformation capacity) menunjukkan kemampuan

yang ada pada barang modal fisik untuk merubah bentuk (transform) input

menjadi output, tanpa harus ada transformasi pada barang modal fisik itu

sendiri. Contoh : pabrik rokok, dapat merubah bentuk tembakau, kertas dan

rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output) .

3.

Kemampuan untuk mempertahankan identitas/diri (durability) menunjuk

kepada kemampuan modal fisik tersebut untuk tetap mempertahankan

identitasnya dalam memberikan pelayanan. Contohnya: seekor sapi tetap

menjadi sapi walaupun telah menghasilkan susu selama beberapa tahun.

Fleksibilitas modal fisik menunjuk pada kemungkinan memberikan pelayanan

lebih dari satu. Contoh: kendaraan.

Page 35: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

15 4.

5.

Suatu barang modal fisik itu bersifat dapat menggantikan (substitutable) dan

terkadang saling melengkapi (complimentary) seperti: sapi dan bajak dengan

traktor untuk membajak sawah.

6.

Kemampuan pelayanan yang diberikan barang modal fisik dapat berkurang

(declay) karena umur atau penggunaan yang terlalu lama.

7.

Kehandalan (realibility) suatu modal fisik terletak pada kemampuan

pelayanan yang dapat diramalkan atau diharapkan. Ada dua dimensi

pelayanan disini yaitu lamanya (longevity) dan intensitas.

8.

Suatu barang modal fisik mempunyai kemampuan untuk menciptakan barang

modal fisik lainnya. Contohnya: mesin pres logam yang dirancang untuk

memproduksi logam mobil, dapat memproduksi barang logam lainnya

9.

Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan

divestasi. Peluang investasi yang dimiliki oleh barang modal fisik menunjuk

kepada kemampuan untuk menciptakan barang modal fisik baru (investasi)

atau menghancurkan (divestasi) barang modal lainnya.

Suatu barang modal fisik itu bersifat alienable (susah diterjemahkan) bila

terjadi perpindahan hak melalui pewarisan, penjualan atau penyewaan.

2.3.2.2 Modal manusia

Istilah modal manusia (human capital) diperkenalkan secara luas pertama

kali dikenalkan oleh Shultz dalam pidatonya di depan American Economic

Association pada tahun 1961. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana, bahwa

proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan

merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu

investasi (Sidu, 2006).

Menurut Fukuyama (2007) dewasa ini, modal untuk usaha tidak lagi hanya

berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin. Bentuk modal-modal tersebut bahkan

cenderung semakin berkurang dan akan segera didominasi oleh modal manusia

seperti; pengetahuan dan keterampilan. Modal manusia merujuk kepada

kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan atau

pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan kegiatan tertentu (Lawang, 2004).

Page 36: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

16

Pendidikan adalah cara dimana individu meningkatkan modal manusianya.

Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan modal manusianya semakin

tinggi pula. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif

juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan

menjadi salah satu sektor utama (leading sector).

Pengembangan sumberdaya berkualitas dimaksudkan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan atau kemampuan kerja manusia dalam melakukan

berbagai macam kegiatan dalam masyarakat. Pembinaan sumberdaya manusia

berhubungan erat dengan peningkatan taraf hidup. Pembinaan sumberdaya

manusia dimulai dari keluarga, ditingkatkan melalui pendidikan formal dan

dikembangkan dalam masyarakat terutama di lingkungan pekerjaan.

Todaro dan Smith (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan kesehatan

merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Keduanya merupakan bentuk

dari modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas

manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan

merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk

menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga.

2.3.2.3 Modal sosial

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan keterampilan

adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi (berhubungan) satu

sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bagi kehidupan ekonomi

dan eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal

sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi

mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1988).

Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan

individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik,

kepercayaan dan norma sosial. Menurut pandangannya, modal sosial merupakan

sumberdaya netral yang memfasilitasi setiap kegiatan. Masyarakat bisa menjadi

lebih baik tergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.

Birner and Wittmer (2000) membedakan modal sosial dalam dua perspektif

yang berbeda, yaitu (1) private perspective (pendekatan Bourdieu) dan (2) public

perspective (pendekatan Putnam). Menurut Bourdieu (1992) yang diacu oleh

Page 37: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

17 Birner and Wittmer (2000) modal sosial adalah “the totally of all actual and

potential resources associated with the possession of a lasting network of more or

less institutionalized relations of knowing or respecting each other’. Dalam

konsepnya, dikemukakan bahwa jumlah modal sosial seseorang tergantung pada

caranya memobilisasi social network dan berasal dari modal (termasuk ekonomi,

budaya dan symbolic capital) yang ada pada setiap anggota dari social network.

Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah jejaring kerja (network), norma

dan kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi

untuk mendapatkan keuntungan bersama. Putnam (1995) yang diacu oleh Birner

and Wittmer (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai "the collective value of

all ‘social networks and the inclinations that arise from these networks to do

things for each other

Bagaimana hubungan modal sosial dengan pembangunan atau

pengembangan masyarakat?

". Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya

kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-

individu. Selain pendekatan publik, konsep modal sosial memiliki pendekatan

yang lebih pada unsur individual (Bourdieu). Investasi dalam hubungan sosial

dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.

F

Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang

berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai

kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi

unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbalbalikan,

aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

ukuyuma (2002) mengatakan modal sosial adalah

sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Undang-undang dan

pranata politik menjadi hal pokok dalam membangun modal sosial. Alasannya

adalah modal sosial yang kuat merupakan syarat pokok dalam mencapai

pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Fukuyama (2007) mengupas

pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Masyarakat berinteraksi

dengan modal sosial yang kuat, yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya

antar warga dalam keseharian mereka. Bentuk modal inilah yang memiliki

hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.

Page 38: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

18

Para ilmuwan sosial sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya

ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata, tetapi juga ada

modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan

disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia

dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder

& Seok, 2002). Oleh karena itu, mengenai pengertian atau definisi modal sosial

sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan

pada karakteristik yang melekat pada individu (norma-norma, saling percaya,

saling pengertian, kepedulian dan lain-lain) dan kedua penekanan pada jaringan

hubungan sosial (adanya kerjasama, pertukaran informasi dan lain-lain).

2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan

Lingkungan tempat di mana sebuah kebijakan diimplementasikan akan

sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan. Keadaan sosial-ekonomi,

politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah kebijakan

diimplementasikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik.

Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil

dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya

keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi

sebuah kebijakan (Ekowati, 2009).

Lebih lanjut Ekowati (2009) menyebutkan bahwa ketika sebuah

perundang-undangan ditetapkan sebagai dasar struktur legal, pada

implementasinya terjadi paling tidak dua proses penting, yaitu :

1. Kebutuhan suatu program untuk mencari perubahan perilaku dalam menerima

secara konstan atau periodik sebuah kebijakan. Jika terjadi penundaan dalam

mencari kerjasama, maka banyaknya kepentingan akan mempengaruhi

keberhasilan implemetasi dan tujuan kebijakan.

2. Pengaruh perubahan dalam kondisi sosial ekonomi dengan dukungan tujuan

di antara publik, umumnya kepentingan kelompok dan pemerintahan.

Hofferbert (1994) yang diacu oleh Ekowati (2009) menyebutkan bahwa

perubahan yang terjadi biasanya bervariasi sebagai faktor anteseden (yang

mendahului), yang diidentifikasi sebagai berikut: (a) peristiwa historis, (b)

Page 39: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

19 kondisi sosial ekonomi, (c) opini publik dan (d) wilayah tempat kebijakan

diimplementasikan.

2.3.4 Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk memahami sebuah

sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan mengidentifikasi aktor

kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan masing-masing stakeholder

dalam sistem tersebut (Grimble & Wellard, 1997). Istilah stakeholder dalam

analisis ini ditujukan untuk semua pihak yang mempengaruhi, dan atau

dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dalam sebuah sistem. Oleh

karena itu, stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial

atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat.

Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan

memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam

keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble & Chan, 2005). Masuknya ide

ini dalam perencanaan lingkungan dapat menyempurnakan prediksi mengenai

hasil (outcomes), mengurangi resiko perlawanan yang tidak terduga dan secara

umum memfasilitasi informasi bagi pembuat keputusan (Grimble et al., 1995)

Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk

memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat

menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah

yang akan diambil bila terjadi perubahan. Lebih lanjut Meyers (2001)

mengungkapkan bahwa masing-masing stakeholder memiliki derajat kekuatan

(power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang berpengaruh pada

kebijakan dan lembaga; dan mereka juga memiliki derajat potensi yang berbeda

untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda dalam

mencapai tujuan tertentu.

Kepentingan (interest) dalam oxford advanced leaner’s dictionary

didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang memberikan

perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby, 1995). Dalam literatur psikologi sosial,

pengaruh (influence) didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran,

kebiasaan dan perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen)

terhadap orang lain (target) akan sangat tergantung pada kekuatan yang dimiliki

Page 40: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

20 oleh orang tersebut (agen) (Nelson & Quick, 1994 dalam Reed et al. (2009).

Yukl (1994) menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu

pihak (agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Pengaruh tersebut

dapat mengenai orang, hal-hal atau peristiwa. Dalam hal menyangkut orang,

pengaruh tersebut dapat mengenai sikap, persepsi, perilaku atau kombinasi dari

hal-hal tersebut.

Pengaruh seseorang (agen) terhadap orang lain (target) akan sangat

tergantung oleh kekuatan/kekuasaan yang dimiliki seseorang (agen). Meyers

(2001) mengemukakan bahwa kekuatan (power) stakeholder dapat diketahui dari

tingkat kemampuan stakeholder untuk membujuk atau memaksa orang lain untuk

membuat keputusan dan atau mengikuti serangkaian kegiatan tertentu. Lebih

lanjut Meyers (2001) mengungkapkan bahwa kekuatan dapat berasal dari sifat

organisasi stakeholder dan atau posisi mereka dalam hubungannya dengan

stakeholder lain.

French & Raven (1959) sebagaimana diacu Yukl (1994) mengembangkan

sebuah taksonomi untuk mengklasifikasikan kekuasaan/kekuatan (power)

berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu:

1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat

memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.

2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat

menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.

3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena

percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang

ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.

4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya

bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk

melakukan sesuatu.

5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi

dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh

penerimaan dari agen.

Page 41: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

21 Konsep lainnya mengenai sumber-sumber kekuasaan/kekuatan adalah dikotomi

antara (1) kekuasaan karena kedudukan (position power) dan kekuasaan pribadi

(personal power) (Bass, 1960 dan Etzioni, 1961 dalam Yukl, 1994).

2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesa terhadap model pembangunan

yang kurang memihak kepada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari

kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun

dari pemusatan kekuasaan pada faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor

produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha

pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun sistem pengetahuan, sistem politik,

sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi;

dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan

ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu

masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996).

Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua

tujuan, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; serta (2)

memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya

harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan.

Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua

kecenderungan dalam proses pemberdayaan yaitu:

1. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau

mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada

masyarakat agar individu dapat lebih berdaya. Upaya ini dilengkapi dengan

membangun aspek material guna mendukung pembangunan kemandirian

mereka melalui organisasi. Proses ini dapat disebut sebagai kecenderungan

primer dari makna pemberdayaan.

2. Kecenderungan sekunder yang lebih menekankan kepada proses dialog.

Kecenderungan ini terkait kemampuan individu mengontrol lingkungannya.

Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan yang

dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan

kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan

Page 42: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

22 kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,

dengan kata lain memberdayakannya.

Pemberdayaan hendaknya didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada

masyarakat marginal, karena mereka berada di lapisan sosial paling bawah dan

memiliki posisi yang mampu memecahkan masalah untuk merubah posisi mereka.

Pemberdayaan tidak semata-mata diarahkan pada perbaikan kualitas hidup jangka

pendek dalam konteks ekonomi (peningkatan kesejahteraan ekonomi) maupun

sosial (pendidikan , kesehatan dll) tetapi secara strategi harus mengarah kepada

proses untuk mendapatkan transformasi tatanan kehidupan (Kartasasmita, 1997).

Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan

adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang

proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi

masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akan memperoleh kemajuan.

Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa kata kunci dari pengertian

partisipasi masyarakat adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau

melibatkan diri dalam pembangunan. Dusseldorp (1981) membedakan tingkat

kesukarelaan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi lima jenjang, yaitu:

1. Partisipasi spontan

Partisipasi masyarakat tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman,

penghayatan dan keyakinan diri sendiri

2. Partisipasi terinduksi

Partisipasi tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan,

pengaruh atau dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap

memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi

3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan

Partisipasi yang dilakukan untuk memenuhi kebiasaan, nilai-nilai atau norma-

norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Bila tidak maka takut akan

disisihkan/dikucilkan oleh sekitarnya.

4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi

Partisipasi karena takut kehilangan status sosial, atau takut menderita

kerugian atau tidak memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan

Page 43: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

23

5. Partisipasi tertekan oleh peraturan

Partisipasi dilakukan karena takut akan menerima hukuman atau peraturan

dari ketentuan yang sudah diberlakukan.

Partisipasi masyarakat juga merupakan arti sederhana dari kekuasaan

masyarakat (citizen power). Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang

memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses

ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana

masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi,

tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan

program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak-kontrak dan

perlindungan-perlindungan diberikan.

Arnstein (1969) menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola

bertingkat (ladder patern). Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat

dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat

rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi

masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi ini, tidak

menjelaskan bagus atau tidak baik sebuah level, melainkan sesuai atau tidak

sesuai sebuah level terhadap kondisi masyarakat. Tingkatan partisipasi menurut

Arnstein dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1969)

Citizen Control

Delegated Power

Partnership

Placation

Consultation

Informing

Therapy

Manipulation

Degrees of citizen Power

Degrees of Tokenism

Non Participation

MO

RE P

ARTI

SIPA

TIV

E

Page 44: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

24

Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) bisa dijelaskan

sebagai berikut:

1. Manipulasi (Manipulation)

Pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah.

Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi

partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan

“persetujuan” dari masyarakat. Masyarakat sering ditempatkan sebagai

komite atau badan penasehat dengan maksud sebagai “pembelajaran” atau

untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan

kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan.

2. Terapi (Therapy)

Untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit.

Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk

menyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit

masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi

(kaya dan miskin) tidak pernah seimbang.

3. Pemberian Informasi (Informing)

Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak

ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat melihat dua karakteristik yang

bercampur. Pertama, pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung

jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju

partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya

merupakan informasi satu arah (tentunya dari aparat pemerintah kepada

masyarakat). Akan tetapi tidak ada umpan balik (feedback) dari masyarakat.

Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah adalah media massa,

pamflet, poster dan respon untuk bertanya.

4. Konsultasi (Consultation)

Konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat masyarakat merupakan

langkah selanjutnya setelah pemberian informasi. Arnstein (1969)

menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah menuju

tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap

Page 45: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

25

buatan (artificial) karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat

dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan.

5. Penentraman (Placation)

Strategi penentraman menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan-

badan urusan masyarakat atau pada badan-badan pemerintah. Pada umumnya

mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat

dapat dengan mudah dikalahkan dalam pemilihan atau ditipu. Dengan kata

lain, mereka membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau

rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk

menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran tersebut. Ada dua

tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: (1) kualitas pada bantuan teknis

yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas-prioritas mereka; (2)

tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut.

6. Kemitraan (Partnership)

Pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk

bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada

tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki

kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk membagi tanggung jawab

perencanaan dan pengambilan keputusan melalui badan kerjasama, komite-

komite perencanaan dan mekanisme untuk memecahkan kebuntuan masalah.

Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan menjadi efektif adalah: (1)

adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat di mana

pemimpin-pemimpinnya akuntabel; (2) pada saat kelompok memiliki sumber

daya keuangan untuk membayar pemimpinnya, diberikan honor atas usaha-

usaha mereka; (3) ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa

dan mempekerjakan teknisi, pengacara, dan manajer (community organizer)

mereka sendiri.

7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power)

Pada tingkat ini, masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk

menentukan program-progam pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan-

perbedaan, pemegang kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar

dibandingkan dengan memberikan respon yang menekan.

Page 46: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

26 8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control)

Pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang

maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat

meminta dengan mudah tingkat kekuasaan (atau pengawasan) yang menjamin

partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu

lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan dan dimungkinkan

untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa

menggantikan mereka.

Sumodiningrat (1999), menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat

merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi

kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa

menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak

yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang

memberdayakan (agen pemberdaya).

Dalam menjalankan fungsinya, agen pemberdaya harus melebur dalam

kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak

diasumsikan karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan) yang

seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah dilanggar, karena ada

kepentingan-kepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat

sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan

pemberdayaan yang berkesinambungan (Sumodiningrat 1999).

Kartasasmita (1997) menjelaskan bahwa pendekatan utama dalam proses

pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai

proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya

sendiri. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan

sebagai berikut:

1. Upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut

pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program

yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.

2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh

masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan

dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni: (a) supaya bantuan tersebut

Page 47: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

27

efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan

mereka; (b) meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan

pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan

mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.

3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat

miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga

lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara

individu. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari

penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha

antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-

menerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan memajukan.

2.5 Sekilas Tentang Hutan Tanaman Rakyat

2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat (HTR)

Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 mendefinisikan hutan tanaman

rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok

masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan

penetapan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan (Bab 1 pasal 1

ayat 19).

Ketentuan di atas dengan jelas membedakan terminologi hutan tanaman

rakyat (HTR) dengan program kehutanan yang melibatkan masyarakat lainnya

seperti Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat (HR). HTR hanya

dikembangkan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak, sedangkan

HKm dimungkinkan untuk dikembangkan di kawasan hutan konservasi (kecuali

cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan produksi dan hutan lindung dan

hutan rakyat dibangun pada kawasan hutan yang dibebani hak. Perbedaan hutan

tanaman rakyat dengan kebijakan kehutanan lain yang melibatkan masyarakat

seperti hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perbedaan mendasar antara hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan

tanaman rakyat terletak pada kepemilikan (lahan dan tanaman). Kepemilikan

hutan rakyat telah jelas adalah milik masyarakat karena dibangun di atas lahan

yang dibebani hak milik. Kepemilikan lahan pada HTR dan HKm adalah milik

Page 48: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

28 negara dan masyarakat yang mengelola lahan tersebut hanya mempunyai izin

usaha pemanfaatan hutan.

Kepemilikan tanaman pada hutan kemasyarakatan tidak dapat dikatakan

milik masyarakat (petani HKm). Direktur BPK (2010) dalam Herawati (2010a)

menyebutkan bahwa penanaman pohon pada program HKm menggunakan

anggaran belanja negara, sehingga petani HKm tidak dapat mengklaim tegakan di

areal HKm sebagai milik pribadi, melainkan harus melalui mekanisme bagi hasil

dengan pemerintah. Sementara, tegakan yang ditanam di HTR diarahkan sebagai

aset pribadi karena dibiayai dari modal petani atau dapat bersumber dari kredit

pemerintah dengan menjadikan tegakan HTR sebagai agunan.

Perbedaan ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk menjadikan

masyarakat sebagai partner dalam pengelolaan hutan. Dalam program HTR,

pemerintah memberikan hak dan tanggungjawab kepada masyarakat yang tinggal

di dalam dan sekitar hutan untuk membangun hutan tanaman di kawasan hutan

produksi. Untuk itu pemerintah menyediakan lahan maksimum 15 Ha/KK/daur

tanaman (misal 8 tahun) dan biaya sebesar Rp 5–8 juta/ha/tahun (tergantung

regionnya) sebagai pinjaman dengan suku bunga sebesar 9.5% (Hakim 2007).

2.5.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

Program HTR pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP

No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No.

P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara

Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan

akses kepada masyarakat untuk (1) Memperoleh pengakuan secara hukum dalam

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) Memperoleh

pinjaman dana pembangunan HTR; (3) Memperoleh jaminan pasar melalui

penetapan harga dasar.

Ditengarai ada tiga situasi yang melatarbelakangi kebijakan HTR, yaitu (1)

tingginya kebutuhan kayu yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan hutan

alam untuk menyediakan kayu bulat; (2) peluang untuk menghasilkan hasil hutan

bukan kayu; dan (3) banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto

menjadi open access pasca berakhirnya masa konsesi HPH. Tiga situasi ini

Page 49: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

29 menjadikan pembangunan hutan tanaman rakyat terlihat sangat sesuai untuk

diimplementasikan.

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga merupakan peluang yang sangat

baik untuk dikembangkan dalam hutan tanaman rakyat. HHBK (seperti satwa,

bunga, buah, rotan, madu, damar, gaharu, getah dan lain-lain) dapat menjadi

sumber devisa negara dan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan.

Data Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2004

tercatat devisa ekspor satwa dan tumbuhan di Indonesia sebesar USD 4.17 juta

(Dephut, 2006). Nilai ekspor satwa dan tumbuhan pada tahun 2009 meningkat

hingga mencapai Rp 4.54 triliun dengan masing-masing Rp 3.04 triliun (satwa)

dan Rp 1.5 triliun (tumbuhan), sedangkan produksi rotan mencapai 24.5 ribu ton,

gondorukum 3.2 ribu ton, minyak kayu putih 20 ribu liter, damar 11.1 ribu ton,

dan kopal 149 ton (Kemenhut 2011b).

Lemahnya power pemerintah pasca reformasi menyebabkan pemerintah

merasa kesulitan untuk mengamankan hutan dengan menggunakan instrumen

masa lalu, seperti pengamanan dengan menggunakan polisi kehutanan atau

penegakan hukum. Hal ini menimbulkan banyaknya kawasan hutan produksi yang

semula areal konsesi HPH menjadi kawasan yang tidak bertuan (secara de facto

menjadi open access). Di sisi lain, modal sosial masyarakat mulai melemah,

tingkat kepercayan masyarakat terhadap pemerintah dan sesama masyarakat mulai

menurun. Secara teoritis, dalam kondisi seperti ini kebijakan yang harus diambil

oleh pemerintah adalah dengan memberikan kesempatan mengelola hutan secara

private baik oleh masyarakat maupun pengusaha swasta (Gambar 2). Maka

kebijakan HTR menjadi keputusan pemerintah untuk memberikan hak

pengelolaan kepada masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan untuk

mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dengan tujuan membangun hutan

untuk kelestarian.

Page 50: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

30

STATE CAPABILITY

WEAK STRONG SO

CIA

L C

API

TA

L

WE

AK

PRIVATE STATE OWNER

STR

ON

G

CBFM CO –MANAGEMENT

Gambar 2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas Negara

Sumber: Nurrochmat, 2005b

Dalam rencana implementasinya, program hutan tanaman rakyat ini akan

dikembangkan melalui tiga pendekatan yaitu pola kemitraan, pola mandiri dan

pola developer. Pola mandiri dilakukan langsung oleh masyarakat lokal secara

individu atau berkelompok, sedangkan pada pola kemitraan dan developer

dirancang akan melibatkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Swasta

(Emila dan Suwito 2007).

Pola mandiri mengarahkan masyarakat setempat untuk membentuk

kelompok tani hutan, yang kemudian diajukan ke bupati. Kemudian pemerintah

mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam

kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas

pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengendalian kredit, pasar dan pendampingan

dari pemda setiap anggota mengingatkan anggota kelompok lainnya untuk

memenuhi kewajiban.

Pola kemitraan dilakukan melalui kemitraan antara petani atau kelompok

tani hutan dengan HTI BUMN/S atau industri perkayuan (panel), pulp dan

kertas/model plasma inti. Pola ini menuntut masyarakat setempat untuk

membentuk kelompok yang kemudian diajukan oleh Bupati ke Menteri

Kehutanan. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK HTR ke individu dan

menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan,

pendampingan dan pasar.

Page 51: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

31

Pola lainnya adalah pola developer. Pola ini diperkenalkan Kementerian

Kehutanan (Kemenhut) dengan merujuk kepada developer perumahan. Prinsipnya

BUMN/S sebagai developer membangun HTR dan selanjutnya diserahkan oleh

pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang

selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang

IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.

Lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah No.3/2008 disebutkan bahwa

pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada HTR

diberikan dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali dengan

jangka waktu 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun oleh menteri sebagai dasar

kelangsungan izin. Tanaman yang dihasilkan HTR merupakan aset pemegang izin

usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin masih berlaku.

2.6 Beberapa Tulisan Dan Penelitian Mengenai HTR

Beberapa tulisan dan penelitian yang mengangkat tema ‘kebijakan hutan

tanaman rakyat’ telah dilaksanakan sejak digulirkannya kebijakan ini. Sub bab ini

mencoba untuk menyajikan isi tulisan dan hasil penelitian dimaksud.

Herawati (2010a) mengemukakan bahwa proses perumusan kebijakan HTR

bukan merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap)

dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang

sebelumnya telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh

tingginya potensi lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa

spot kecil yang tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit

pasokan bahan baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan

hutan terdegradasi, maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses

kepada masyarakat sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat

dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR)

Lebih lanjut Herawati (2010a) mengemukakan bahwa prinsip pemikiran

para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan dengan persepsi dan

pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di lapangan. Pola fikir

pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan birokrat pemerintah

Page 52: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

32 daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung kepada adanya

dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan disediakan oleh

pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholders di daerah

sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan yang

lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan

sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan

pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan

impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani

sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman

Emila & Suwito (2007) mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan

HTR terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-

poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro poor) dan memperbaiki kualitas

pertumbuhan investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro growth).

Belakangan, Ditjen BUK (2011) menambahkan bahwa kebijakan HTR juga

terkait dengan agenda perbaikan lingkungan hidup (pro environment).

Emila & Suwito (2007) mengemukakan tiga prinsip pemberdayaan

masyarakat yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR, yaitu:

1. Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan

kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity). Ini

berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh

proyek ataupun bantuan luar negeri karena hal tersebut tidak akan membuat

masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat.

2. Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat

karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi

pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.

3. Prinsip ketiga adalah pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan

memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal

di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/

ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum

birokrasi dan premanisme pasar.

Noordwijk et al (2007) menyimpulkan bahwa HTR merupakan paradigma

baru dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Walaupun dalam prakteknya

Page 53: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

33 masyarakat telah lama melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut

meskipun tanpa jaminan adanya pengakuan hak yang jelas (Hakim dan Effendi,

2008). Pemerintah memberikan jaminan legalitas dan kesempatan yang luas

kepada pihak lain untuk ikut serta alam kegiatan pengelolaan hutan (Hakim dan

Effendi, 2008; Schneck, 2009)

Noordwijk et al (2007) mengemukakan bahwa ada tiga paradigma dalam

hutan tanaman. Paradigma pertama adalah konsep nucleus-plasma-estate dalam

penanaman timber fastwood, dimana pusat kontrol keputusan mengenai jenis

tanaman yang akan ditanam dan hubungan organisasi sentral dengan unit proses

ditetapkan melalui a simple planning framework, tetapi posisi masyarakat sangat

essensial dalam peranannya sebagai tenaga kerja pertanian. Paradigma kedua

adalah community management forest dimana pemerintah satu langkah ke

belakang dan mengizinkan komunitas lokal untuk merespon pasar dan mengelola

hutan negara sesuai dengan pengetahuan mereka. Paradigma ketiga adalah

independent smallholders yang beroperasi pada desa dan hutan milik umumnya

bebas untuk menanam pohon, tapi masih kesulitan dalam memasarkan dan

menggunakan tanaman yang mereka tanam.

Hakim (2009) mengemukakan bahwa pembangunan HTR merupakan upaya

pemerintah dalam rangka meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab

masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dengan didasari oleh prinsip-prinsip

pengelolaan hutan produksi. Masyarakat diharapkan dapat lebih memahami fungsi

ganda hutan/kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan.

Lebih lanjut Hakim (2009) mengemukakan bahwa secara teknis dan

manajemen, program HTR dapat merupakan upaya kelembagaan kehutanan dalam

menata kembali konsep kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang dimulai dari

bawah dengan luasan sempit. Beberapa aspek penting yang harus dilakukan

penataannya adalah: (a) teknologi pengelolaan HTR yang tepat guna, (b) jaminan

keamanan dan ketersediaan lahan, (c) jaminan pasar/industri pengguna hasil HTR,

(d) kelembagaan petani (inti) dan kelembagaan penunjang yang kuat dan (e) skim

pembiayaan konvensional (bersumber dari dana DR) dan pembiayaan alternatif

dari sektor/lembaga lain memerlukan dukungan konsep HTR yang operasional

dan mudah digunakan oleh masyarakat.

Page 54: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Nugroho (2008) mengemukakan bahwa tujuan evaluasi bukan untuk

menyalahkan pihak yang mengeluarkan kebijakan. Evaluasi dilaksanakan untuk

mengetahui kesenjangan antara harapan dan pencapaian suatu kebijakan, serta

bagaimana menutup kesenjangan tersebut.

Parsons (2008) mengatakan bahwa evaluasi dapat dilaksanakan ketika

kebijakan/program sedang diimplementasikan yang disebut evaluasi formatif.

Palumbo (1937) dalam Parsons (2008) mengatakan bahwa evaluasi formatif

merupakan analisis tentang seberapa jauh program diimplementasikan dan kodisi

apa yang dapat meningkatkan keberhasilan implementasi.

Nugroho (2008) menyarankan prinsip empat tepat dalam mengukur

keefektifan implementasi sebuah kebijakan. Pertama, apakah kebijakannya sendiri

sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada

telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak

dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksananya. Tepat yang ketiga

adalah tepat pelaksanaannya. Tepat keempat adalah tepat lingkungan.

Untuk mengukur apakah sebuah kebijakan telah tepat, Parsons (2008)

menyebutkan bahwa tujuan harus didefinisikan secara jelas dan dipahami dengan

baik, sumberdaya harus disediakan, rantai komando harus bisa menyatukan dan

mengotrol sumber-sumber daya tersebut dan sistem harus dapat berkomunikasi

secara effektif dan mengontrol individu dan organisasi yang terlibat dalam

pelaksanaan tugas.

Berkenaan dengan hal itu,

1. Logika kebijakan.

Subarsono (2006) berpendapat bahwa ada tiga

variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi program, yaitu:

Dalam hal ini, kebijakan yang ditetapkan merupakan kebijakan yang masuk

akal dan mendapat dukungan teoritis. Isi dari suatu kebijakan atau program

hendaknya mencakup berbagai aspek yang mungkin untuk diimplementasikan

dalam tataran praktik.

Page 55: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

36 2. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan.

Lingkungan kebijakan meliputi kondisi sosial, politik, ekonomi, pertahanan,

keamanan, fisik atau geografis.

3. Kemampuan implementor.

Keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi oleh kompetensi dan keterampilan

dari para implementor kebijakan. Untuk itu, diperlukan pengembangan

kualitas SDM, komitmen, dan jumlah implementator yang memadai.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Dunn (2000) yang menyebutkan

bahwa suatu sistem kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik

antara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan

kebijakan. Dunn (2000) menggambarkan pola timbal balik tiga elemen tersebut

dalam sistem kebijakan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Sumber : Dunn (2000)

Dunn (2000) menjelaskan bahwa tiga elemen sistem kebijakan seperti

tergambar dalam Gambar 1 saling berhubungan, di mana :

1. Kebijakan publik, merupakan serangkaian pilihan yang dibuat atau tidak

dibuat oleh badan atau kantor pemerintah, dipengaruhi atau mempengaruhi

lingkungan kebijakan dan kebijakan publik.

2. Pelaku kebijakan, adalah kelompok masyarakat, organisasi profesi, partai

politik, berbagai badan pemerintah, wakil rakyat, dan analis kebijakan yang

dipengaruhi atau mempengaruhi pelaku kebijakan dan kebijakan publik.

PELAKU KEBIJAKAN

KEBIJAKAN PUBLIK

LINGKUNGAN KEBIJAKAN

Page 56: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

37 3. Lingkungan kebijakan, yakni suasana tertentu tempat kejadian di sekitar isu

kebijakan itu timbul, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pelaku kebijakan

dan kebijakan publik

Berdasarkan berbagai pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

tiga komponen utama yang dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu

(1) isi kebijakan HTR, (2) implementator dan kelompok target dan (3) lingkungan

kebijakan. Oleh karena itu, evaluasi proses implementasi kebijakan HTR ini akan

difokuskan kepada tiga komponen utama tersebut.

Komponen kebijakan akan dianalisis melalui peraturan-peraturan terkait

dengan pembangunan hutan tanaman rakyat dan dokumen lain yang mendukung.

Telah terdapat beberapa penelitian mengenai kebijakan HTR. Agar tidak tumpang

tindih dengan penelitian yang lain, maka hal-hal yang akan dianalisa dari faktor

kebijakan dalam penelitian ini akan dibatasi terhadap :

1. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan.

Tujuan yang digunakan harus jelas, konsisten, desirable (diinginkan) dan

rasional.

2. Asumsi yang digunakan

Asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan hendaknya realistis.

Asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.

3. Struktur Implementasi kebijakan

4. Dukungan sumberdaya manusia dan finansial

Komponen lain yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah komponen

pelaku kebijakan, yang terdiri dari pemerintah daerah (pemda) selaku

implementator dan masyarakat selaku kelompok target. Komponen pemda akan

dikaji menggunakan tiga indikator, yaitu:

1. Kesiapan pemda, meliputi: tingkat pengetahuan pemda terhadap kebijakan

HTR dan regulasi lain yang mendukung, ketersediaan SDM kehutanan di

daerah dan jaringan (network) yang dimiliki pemda dalam rangka implementasi

kebijakan HTR;

2. Komitmen/kemauan pemda, meliputi: paradigma/cara pandang pemda terhadap

kebijakan-kebijakan terkait pemberdayaan masyarakat dan persepsi pemda

terhadap HTR;

Page 57: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

38 3. Kemampuan pemda, meliputi: kemampuan pemda dalam menerjemahkan

kebijakan HTR ke lapangan, kemampuan pemda memasarkan HTR sebagai

sebuah inovasi, kemampuan pemda melakukan problem solving bila terjadi

permasalahan di lapangan, dan kemampuan pemda melakukan asistensi,

fasilitasi, dan promosi dalam rangka implementasi HTR serta kemampuan

pemda dalam mengawasi proses implementasi HTR.

Komponen lain yang akan dianalisa adalah kondisi masyarakat selaku

kelompok target dalam implementasi kebijakan HTR. Hal yang akan dikaji

meliputi :

1. Modal fisik, meliputi: luas lahan (hutan) yang mungkin dijadikan HTR, sarana

komunikasi dan sarana transportasi.

2. Modal manusia, meliputi: tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat

pendapatan, persepsi masyarakat terhadap HTR,

3. Modal sosial, meliputi: jejaring sosial/jejaring kerja, tingkat kepercayaan antar

sesama, tingkat kepatuhan terhadap norma, tingkat kepedulian antar sesama

dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial

Komponen ketiga yang akan dianalisa dalam penelitian ini adalah

lingkungan tempat kebijakan diimplementasikan. Faktor yang akan dianalisis

dalam komponen lingkungan adalah: dukungan pemangku kepentingan

(stakeholders) lainnya, kondisi sosial budaya, kelangkaan kayu dan pemasaran.

Dari hasil analisis kedua komponen tersebut (pelaku kebijakan dan

lingkungan kebijakan) akan didapatkan faktor kunci implementasi kebijakan HTR

yang menunjukkan faktor pendukung, faktor penghambat, peluang dan ancaman

yang dihadapi oleh masyarakat selaku kelompok target kebijakan dalam

implementasi kebijakan HTR. Langkah selanjutnya adalah menganalisis

kesenjangan implementasi dan merumuskan strategi implementasi kebijakan

HTR. Evaluasi kebijakan HTR akan didekati dengan menggunakan indikator

tingkat partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan HTR, sedangkan

strategi kebijakan akan dibangun berdasarkan hasil analisis terhadap ketiga

komponen di atas. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran penelitian dapat

dilihat pada Gambar 4.

Page 58: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

39

Keterangan : : proses : metode analisis

PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

PERBAIKAN KONDISI HUTAN

PRODUKSI

PEMENUHAN KEBUTUHAN KAYU DAN

NON KAYU

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT

KEBIAKAN PEMERINTAH

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

GAP

EVALUASI ISI

EVALUASI

EVALUASI PELAKU KEBIJAKAN

- Kejelasan & konsistensi tujuan

- Asumsi yg digunakan - Struktur Implementasi - SDM dan Finansial

PEMDA MASYARAKAT - Kesiapan - Komitmen - Kemampuan

- Modal Fisik - Modal

Manusia - Modal Sosial

- Dukungan pemangku kepentingan

- Budaya Masyarakat - Pemasaran - Kelangkaan Kayu

ANALISIS DESKRIPTIF

ANALISIS ISI

FAKTOR KUNCI IMPLEMENTASI

EVALUASI GAP IMPLEMENTASI ANALISIS STAKEHOLDER

PARTISIPASI MASYARAKAT

MATRIKS IFE DAN EFE

MATRIKS ANALISIS SWOT

MATRIK ANALISIS QSPM

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian

STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HTR DI KABUPATEN SAROLANGUN

Page 59: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

40 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, mulai dari bulan Juni

sampai Desember 2011. Penelitian dilaksanakan di Kota Jambi (untuk data

kebijakan dan implementator) dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi (untuk

data lingkungan, implementator dan masyarakat selaku kelompok target).

Untuk mengumpulkan data masyarakat, penulis memilih tiga desa di

Kabupaten Sarolangun sebagai contoh lokasi penelitian yang diambil secara

sengaja (purposive sampling), yaitu: Desa Taman Bandung, Desa Seko Besar

dan Desa Lamban Sigatal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan:

1. Ketiga desa tersebut terletak satu hamparan dan berada dekat dengan areal

pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun dan merupakan desa yang berada

dalam proses implementasi HTR (baik dalam proses perijinan maupun telah

mendapatkan ijin IUPHHK-HTR).

2. Bentuk ijin perorangan akan mempermudah dalam memprediksi dampak

kebijakan HTR terhadap masyarakat. Dari 1 807 KK yang mendapatkan

IUPHHK-HTR perorangan, 18 KK diantaranya terdapat di Desa Taman

Bandung Kabupaten Sarolangun (Ditjen BUK, 2011).

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada proses implementasi kebijakan hutan

tanaman rakyat (HTR) di tiga desa di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun,

Provinsi Jambi, yaitu Desa Taman Bandung, Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko

Besar. Berbagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada lokasi berbeda dan

literatur pendukung lain, akan digunakan sebagai pembanding dan memperkaya

hasil analisis penelitian.

3.2 Desain Penelitian

3.3.1 Tehnik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data dan informasi sesuai dengan kebutuhan studi,

maka dilakukan pengumpulan data dan informasi menggunakan pendekatan

sebagai berikut :

Page 60: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

41 1. Penelusuran dokumen kebijakan, dokumen perencanaan dan dokumen hasil

penelitian, tulisan, laporan yang terkait dengan kebijakan HTR.

2. Penggunaan kuisioner berupa (i) pertanyaan tertutup dengan menggunakan

alternatif jawaban tiga poin skala likert yang disesuaikan dengan pertanyaan

dan (ii) pertanyaan semi terbuka dengan peubah katagorikal seperti

pendidikan dan peubah numerik seperti umur dan pendapatan.

3. Wawancara mendalam (in-depth interview), dimaksudkan untuk mengetahui

aspek-aspek kualitatif secara lebih mendalam dan komprehensif. Responden

untuk wawancara mendalam adalah informan kunci (key informan) yang

memiliki kompetensi sesuai dengan kajian yang ditelaah. Penentuan informan

kunci menurut Sudikan (2006) harus melalui beberapa pertimbangan

diantaranya : 1) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai

dengan permasalahan yang diteliti; 2) orang yang bersangkutan memiliki

pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti.

4. Focus group discussion (FGD), yaitu kelompok diskusi terarah yang

bertujuan untuk menggali gagasan, mengidentifikasi dan merumuskan strategi

dan mencari alternatif strategi dalam implementasi kebijakan HTR.

5. Dokumentasi, mengumpulkan data dengan cara mencatat data-data yang telah

tersedia (tercetak atau tergambar) di kantor atau instansi yang terkait dengan

penelitian.

3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan

Responden yang dipilih dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tujuan

penelitian yaitu: (1) analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), (2)

implementator, dan (3) kelompok target. Responden pada kelompok pertama

(stakeholder analysis) ditujukan untuk mengetahui posisi dan dukungan masing-

masing pemangku kepentingan (stakeholder) dalam implementasi HTR. Untuk

itu, responden yang dipilih adalah stakeholder yang terkait dengan implementasi

kebijakan HTR, yaitu: BP2HP wilayah IV Jambi (2 orang), Dinas Perkebunan dan

Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun (3 orang), BAPPEDA Kabupaten

Sarolangun (2 orang), Anggota DPRD Komisi II Bidang Kehutanan Kabupaten

Sarolangun (1 orang), Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi (2 orang), sektor

swasta (1 orang), LP3D (1 orang) dan Universitas Jambi (1 orang).

Page 61: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

42

Pemilihan responden pada Dishut Provinsi, Dishut Kabupaten, BAPPEDA

Kabupaten Sarolangun dan BPHP diarahkan pada pegawai yang terlibat dalam

proses implementasi kebijakan HTR (mulai dari penetapan target, pencadangan

hingga proses keluarnya IUPHHK serta pelaksanan kebijakan), sedangkan untuk

responden yang berasal dari Universitas Jambi dipilih orang yang memiliki

pengetahuan mengenai implementasi HTR dan memiliki kemampuan untuk

menilai implementasi kebijakan HTR pada Kabupaten Sarolangun. Responden

untuk sektor swasta dalam penelitian ini adalah HTI PT. Samhutani yang

memiliki wilayah berbatasan dengan areal pencadangan HTR, sedangkan

LSM/NGO yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah LP3D (Lembaga

Penelitian Pengembangan Potensi Desa).

Responden pada kelompok ke-dua (implementator) ditujukan untuk

mengetahui dukungan pemda dalam implementasi HTR. Untuk itu, responden

yang dipilih adalah responden yang terlibat langsung dalam kegiatan HTR, yaitu :

Dishut Kabupaten Sarolangun, BAPPEDA Kabupaten Sarolangun, dan anggota

DPRD komisi II Bidang Kehutanan. Responden ditetapkan sebanyak 15 orang,

yaitu 12 orang disbunhut, 2 orang BAPPEDA dan 1 orang anggota DPRD Komisi

II Bidang Ekonomi, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun

Responden pada kelompok ke-tiga (kelompok target) ditujukan untuk

mengetahui modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan HTR.

Populasi penelitian dalam kelompok ke-tiga ini adalah seluruh kepala keluarga

yang tinggal di lokasi penelitian baik yang sudah mendapatkan ijin HTR maupun

yang belum. Dari populasi tersebut dipilih contoh secara purposive sampling

sebanyak 81 responden. Kriteria responden yang dipilih dalam penelitian ini

adalah (1) responden merupakan kepala keluarga yang tinggal di lokasi peneltian;

(2) telah mengenal (tahu) mengenai program HTR; dan (3) terlibat dalam proses

implementasi HTR, meskipun baru dalam hal menghadiri sosialisasi. Distribusi

contoh dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 62: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

43 Tabel 3 Distrubusi Contoh Penelitian pada Setiap Desa

Peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci

yang dianggap lebih mengetahui fokus penelitian. Informan kunci diambil

menggunakan metode snowball sampling atau pemilihan informan secara

berantai. Informasi yang diperoleh diharapkan akan melengkapi informasi yang

diperoleh dari responden dan hasil studi literatur dalam melakukan penilaian

terhadap modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat. Wawancara dengan

informan kunci juga dijadikan landasan dalam analisis SWOT dan QSPM.

3.3.3 Instrumen penelitian

Sebagai alat pengumpul data primer, instrumen atau alat ukur yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan wawancara. Kuisioner

merupakan pertanyaan tertutup dengan alternatif jawaban menggunakan tiga poin

skala Likert, yang disesuaikan dengan pertanyaan dalam kuisioner dan pertanyaan

semi terbuka dengan peubah katagorikal seperti pendidikan dan peubah numerik

seperti umur dan pendapatan.

Khusus data mengenai modal sosial, digunakan kuisioner yang merupakan

modifikasi dari model Integrated Questionnaire for The Measurement of Social

Capital (SC-IQ) dan Social Capital Assesment Tool (SCAT). SC-IQ

dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan fokus pada negara-

negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada

berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga.

Model ini menggunakan enam indikator, yaitu: kelompok dan jejaring kerja;

kepercayaan dan solidaritas; aksi kolektif dan kerjasama; informasi dan

komunikasi; kohesi dan inklusivitas sosial; serta pemberdayaan dan tindakan

politik.

SCAT dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba

menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran

Desa Populasi (N) Jumlah Rumah Tangga Contoh (n)

Intensitas Sampling (%)

Seko Besar 267 27 9,42 Lamban Sigatal 270 25 9,26 Taman Bandung 308 29 10,11

Page 63: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

44 komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah rumah

tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial

yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan institusi

lokal. SCAT mengukur modal sosial pada level komunitas, rumah tangga dan

organisasi. Walaupun kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro

dapat dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait.

Untuk mengetahui secara mendalam dan melengkapi penjelasan dalam

penelitian ini dilakukan juga wawancara terstruktur dengan menggunakan

pedoman wawancara untuk kepentingan memperoleh informasi penjelas

(eksplanasi) dan untuk kepentingan observasi.

3.3.4 Jenis dan sumber data

Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data

kualitatif dan kuantitatif. Dari segi sumber perolehannya, dibedakan menjadi

data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner dan

wawancara dengan para responden,serta wawancara mendalam dengan tokoh

masyarakat, dinas/instansi dan LSM terkait.

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau telaah literatur,

dokumen, data dan informasi lain yang terkait dengan tercapainya tujuan

penelitian. Data sekunder meliputi kebijakan-kebijakan terkait HTR, kondisi

geografis, keadan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, dan data penunjang

lainnya. Untuk lebih jelasnya, jenis dan sumber data yang diperlukan dapat dilihat

pada Tabel 4.

Page 64: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

45 Tabel 4 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

No Jenis Data/Informasi Sumber Data Analisis 1 Isi Kebijakan

• Kejelasan tujuan • Asumsi yg digunakan • Struktur Implementasi

Dukungan SDM dan finansial

- Peraturan Menteri

Analisis Isi Kebijakan

2 Pemerintah Daerah a. Kesiapan

pemda • Ketersediaan SDM • Jaringan/network • Tingkat Pengetahuan

- Kuisioner - Wawancara

mendalam

Analisis Deskriptif Kuantitatif

b. Komitmen Pemda

• Paradigma/cara pandang • Persepsi terhadap HTR

c. Kemampuan Pemda

• Menerjemahkan kebijakan • Memasarkan inovasi • Problem solving • asistensi, fasilitasi, dan

promosi • pengawasan

3 Masyarakat a. Modal

Sosial

• Kerpercayaan antar sesama • Kepatuhan terhadap norma • Kepedulian antar sesama • Keterlibatan dalam organisasi

sosial

- Kuisioner - Wawancara

mendalam

Analisis Deskriptif Kuantitatif

b. Modal Manusia

• Tingkat Pendidikan • Tingkat kesehatan • Tingkat Pendapatan

c. Modal Fisik • Kepemilikan lahan di lokasi pencadangan

• Keberadaan tanaman di areal tersebut

• Ketersediaan lahan hutan

4. Dukungan politik dan stakeholder lain

• Kekuatan (power) • Kepentingan (interest) • Pengaruh

(legitimate/influence)

- Kuisioner - Wawancara

Analisis Stakeholder

5 Lingkungan a. Budaya • Pengetahuan lokal

• Penggunaan/penguasaaan IPTEK

• Adat/kebiasaan

- Kuisioner - Wawancara - Data

sekunder

Analisis Deskriptif Kuantitatif

. b. Kelangkaan kayu

• Kebutuhan kayu • Produksi kayu • Sumber-sumber penghasil

kayu

. c. Pemasaran • Keberadaan Pasar • Jarak Pasar dengan lokasi • Pola Pemasaran

Page 65: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

46 3.4 Metode Analisis

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka analisis data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah :

3.4.1 Evaluasi terhadap isi kebijakan HTR

Evaluasi kebijakan HTR dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan analisis isi kebijakan. Analisis isi kebijakan dilakukan terhadap

kebijakan terkait hutan tanaman rakyat, yaitu: (1) PP No. 6 Tahun 2007 tentang

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

jo. Nomor 3 tahun 2008; (2) Permenhut No. P.62/Menhut-II.2008 tentang tentang

Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri

dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari Permenhut P.9/Menhut-

II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); (3) Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011

tentang Tata Cara Permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

(IUPHHK) pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman; dan (4)

Peraturan Ditjen Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang

Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Dokumen-dokumen yang berisi peraturan terkait kebijakan HTR tersebut

akan dianalisa dengan menggunakan empat indikator, yaitu :

a. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan.

Tujuan yang digunakan harus jelas, konsisten, desirable (diinginkan) dan

rasional.

b. Asumsi yang digunakan

Asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan hendaknya realistis,

karena asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas kebijakan

c. Struktur implementasi kebijakan

Strukutur implementasi yang ada hendaknya memungkinkan sebuah

kebijakan dapat diimplementasikan

d. Dukungan sumberdaya manusia dan finansial

Dukungan sumberdaya manusia dan finansial yang memadai akan

mempermudah implementasi sebuah kebijakan

Page 66: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

47 3.4.2 Evaluasi terhadap pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan

Pelaku kebijakan yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah pemerintah

daerah selaku implementator dan masyarakat selaku kelompok target. Evaluasi

dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan untuk

menggambarkan : (1) tingkat kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah

daerah selaku implementator kebijakan HTR; (2) modal manusia, modal sosial

dan modal fisik masyarakat selaku kelompok target dalam implementasi kebijakan

HTR; dan (3) kondisi lingkungan (sosial-budaya, kelangkaan kayu dan tingkat

kesejahteraan masyarakat) dimana kebijakan HTR diimplementasikan.

Untuk mengukur tingkat kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda

dalam mengimplementasikan HTR, akan dilakukan perhitungan skor dari setiap

variabel dan total skor dari setiap komponen menggunakan skala likert dengan

ketentuan semakin tinggi skor maka akan semakin tinggi tingkat kesiapan,

komitmen dan kemampuan pemda. Perhitungan skor dalam penelitian ini

memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menentukan bobot untuk setiap jawaban responden dengan ketentuan:

3=tinggi, 2= sedang dan 1=rendah.

2. Menghitung skor untuk setiap variabel dengan jalan menjumlahkan bobot

setiap jawaban masing-masing responden.

3. Menghitung interval skor jawaban responden dengan menggunakan rumus

seperti persamaan (1)

selisih total skor tertinggi dan total skor terendah interval skor = (1) jumlah kelas

Jumlah kelas yang ditentukan adalah 3, yaitu: tinggi, sedang dan rendah.

4. Menghitung frekuensi dan persentase pada setiap kelas (tinggi, sedang dan

rendah) pada masing-masing variabel.

5. Menghitung skor untuk setiap komponen dengan jalan menjumlahkan bobot

6. Menghitung interval skor variabel dengan menggunakan rumus seperti

persamaan (1).

7. Menghitung frekuensi dan persentase pada setiap kelas (tinggi, sedang dan

rendah) pada masing-masing komponen.

Page 67: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

48

Hal yang sama dilakukan untuk melihat tingkat modal fisik, modal

manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat serta dukungan

lingkungan terhadap implementasi HTR, dengan pembagian kelas yang sama.

Berdasarkan hasil kuisioner tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis secara

deskriptif kualitatif dan sintesa secara mendalam dengan dibantu data-data yang

didapatkan dalam wawancara mendalam.

3.4.3 Evaluasi terhadap dukungan pemangku kepentingan

Dukungan dari pemangku kepentingan akan dievaluasi menggunakan

analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Metode yang digunakan untuk

menentukan posisi stakeholder dalam penelitian ini adalah analisis katagori

(analytical catagorisation), yaitu dengan mengklasifikasikan stakeholder

berdasarkan: (1) kepentingan, (2) pengaruh dan (3) kekuatan mereka dalam

implementasi HTR.

Nilai kepentingan stakeholder dalam penelitian ini akan ditentukan oleh :

1. Persepsi stakeholder mengenai ketepatan HTR sebagai resolusi masalah.

2. Kesesuaian impementasi HTR terhadap kebutuhan stakeholder.

3. Motivasi keterlibatan stakeholder dalam implementasi kebijakan HTR.

4. Bentuk dukungan stakeholder dalam implementasi HTR.

5. Keuntungan yang diharapkan oleh stakeholder.

Besarnya nilai pengaruh dari stakeholder dalam implementasi HTR akan

dinilai berdasarkan :

1. Tingkat keterlibatan stakeholder dalam implementasi HTR.

2. Peran dan kontribusi dalam pembuatan keputusan.

3. Hubungan dengan stakeholder lain.

4. Dukungan SDM.

5. Dukungan Finansial.

Data jawaban terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing

stakeholders kemudian diberikan skor 1 sampai 5 (dengan ketentuan 1=tidak;

2=kurang; 3=cukup; 4=baik; dan 5=sangat) disesuaikan dengan tipe pertanyaan

masing-masing. Kemudian semua jawaban dikelompokkan menurut jenis

indikatornya, dan selanjutnya disandingkan sehingga membentuk koordinat dan

diterjemahkan dalam bentuk matriks resultante yang mengidentifikasi

Page 68: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

49 stakeholders dalam empat kuadran dengan bantuan perangkat lunak Microsoft

Excel. Klasifikasi stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya

diilustrasikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan

Sumber : Reed et al. (2009)

Posisi dalam kuadran dapat menggambarkan ilustrasi mengenai posisi dan

peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholders berdasarkan tingkat

kepentingan dan pengaruh yang mereka miliki, yaitu :

1. Key players merupakan kelompok yang memiliki kepentingan dan pengaruh

yang tinggi sehingga mereka aktif terlibat dalam kegiatan dimaksud.

2. Context setter merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil

dan pengaruh yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan resiko yang nyata

(significant), sehingga harus dimonitor dan dikelola (managed) dengan baik.

3. Subject merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi namun

memiliki pengaruh yang kecil, sehingga tidak mempunyai kapasitas untuk

mempengaruhi namun memiliki kemampuan untuk membentuk aliansi

dengan stakeholder lain. Umumnya kelompok ini merupakan kelompok

marginal yang ingin diberdayakan oleh kegiatan (project).

4. Crowd merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil,

pengaruh kecil, dan tidak perlu untuk dipertimbangkan terlalu detil atau

diikat/dilibatkan.

TINGGI

Key Players

(Kuadran II)

Subject

(kuadran I)

Crowd

(Kuadran IV)

Context Setter

(Kuadran III)

TINGGI RENDAH PENGARUH

KEP

ENTI

NG

AN

Page 69: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

50

Penentuan nilai kekuatan (power) dalam penelitian ini menggunakan

taksonomi yang dikembangkan oleh French & Raven (1959) sebagaimana diacu

Yukl (1994), yaitu:

1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat

memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.

2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat

menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.

3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena

percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang

ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.

4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya

bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk

melakukan sesuatu.

5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi

dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh

penerimaan dari agen.

Data jawaban terhadap tingkat kekuatan dan pengaruh masing-masing

stakeholders (skor) akan dikelompokkan menurut jenis indikatornya dan

disandingkan sehingga membentuk sebuah matriks yang menggambarkan posisi

stakeholder berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya,

sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan Sumber : Silverstein et al (2009)

TINGGI RENDAH

TINGGI

PENGARUH

KEK

UA

TAN

A

B

C

D

Page 70: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

51

Setelah mendapatkan posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan

dan pengaruh yang dimilikinya (Gambar 5) dan tingkat kekuatan dan pengaruh

yang dimilikinya (Gambar 6), maka langkah selanjutnya adalah menggabungkan

kedua gambar tersebut dalam satu gambar yang dapat memetakan posisi masing-

masing stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan dan pengaruh yang

dimilikinya, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7.

PENGARUH RENDAH

PENGARUH TINGGI

KEPENTINGAN RENDAH

KEKUATAN RENDAH

KEKUATAN TINGGI

KEPENTINGAN TINGGI

KEKUATAN RENDAH

KEKUATAN TINGGI

Gambar 7. Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Pengaruh, Kepentingan, Kekuatan yang dimilikinya

Setelah mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam implementasi

kebijakan HTR, langkah selanjutnya adalah menyusun strategi berdasarkan posisi

masing-masing stakeholder.

3.4.4 Evaluasi kesenjangan (gap) implementasi HTR

Kesenjangan implementasi kebijakan HTR dalam penelitian ini dievaluasi

melalui: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat

dalam implementasi HTR; (2) derajat kesukarelaan partisipasi (Dusseldorp, 1981);

dan (3) tingkatan partisipasi (Arnstein,1969).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi ditentukan dengan

melihat hubungan antara modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat (modal

fisik, modal manusia dan modal sosial) terhadap tingkat partisipasi. Dalam

menentukan hubungan tersebut digunakan analisis korelasi peringkat Spearman.

Page 71: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

52

Rumus yang digunakan adalah (Sugiyono 2007) :

rs

dimana : r

= 1 - (2)

s d

= koefesien kolerasi spearman i

n = banyaknya sampel = selisih perangkat peubah X dan Y

Nilai rs berkisar antara -1,00 hingga +1,00. Apabila rs bernilai nol, maka

tidak ada korelasi, apabila rs bernilai -1,00 atau +1,00 maka terdapat korelasi

sempurna. Nilai rs

akan bernilai positif (+1,00) bila peringkat peubah X makin

besar dan nilai peubah Y juga makin besar, sebaliknya akan bernilai negatif

(-1,00) bila peubah X makin besar dan peringkat peubah Y makin kecil.

Hipotesa yang diajukan :

Ho = X dan Y saling bebas

H1 = X dan Y berhubungan langsung atau kebalikan

Kaidah keputusannya :

1. Jika rs tabel spearman untuk α(2)(n) atau rs

2. Jika r

tabel spearman untuk

α(2)(n) maka tolak Ho

s tabel spearman untuk α(1)(n) atau rs

Derajat kesukarelaan partisipasi akan ditentukan dengan menggunakan

jenjang sebagaimana yang dikemukakan oleh Dusseldorp (1981) sedangkan

tingkatan partisipasi akan ditentukan menurut pola bertingkat Arnstein (1995).

Tingkatan partisipasi dan derajat kesukarelaan partisipasi ini tidak menjelaskan

bagus atau tidak bagus sebuah level, melainkan sesuai atau tidak sesuai sebuah

level terhadap kondisi masyarakat. Tahapan/jenjang dari derajat kesukarelaan

partispasi menurut Dusseldorp (1981) dan tingkatan partisipasi menurut Arnstein

(1995) dapat dilihat pada tinjauan pustaka.

tabel spearman untuk

α(1)(n) maka tolak Ho

3.4.5 Formulasi strategi implementasi kebijakan

Untuk membangun formulasi strategi implementasi kebijakan HTR dalam

penelitian ini digunakan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and

Threaths) analysis. Selanjutnya untuk pengambilan keputusan, dilakukan analisa

Page 72: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

53 lebih lanjut dengan menggunakan analisis QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matrix).

Menurut Rangkuti (2008), proses penyusunan perencanaan strategis

dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data atau masukan,

tahap analisis atau pemaduan dan tahap pengambilan keputusan. Langkah-langkah

yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang

bersifat deskriptif. Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai

faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-

masing. Analisis SWOT adalah sebuah teori yang digunakan untuk merencanakan

sesuatu hal yang dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan (Strength),

kelemahan (Weaknesses), kesempatan (Opportunities), dan ancaman (Threaths).

SWOT ini biasa digunakan untuk menganalisis suatu kondisi dimana sebuah

rencana akan dibuat.

3.4.5.1 Tahap pengumpulan data

Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Data

dibedakan menjadi dua yaitu: data eksternal dan data internal. Tahap ini juga

disebut tahap masukan (input stage) yaitu: menyimpulkan informasi dasar yang

diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menyimpulkan matriks Internal

Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE).

Matriks IFE digunakan untuk meringkas faktor-faktor internal yang

berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dihadapi masyarakat dalam

melakukan partisipasi. Matriks EFE digunakan untuk meringkas faktor-faktor

eksternal yang berkaitan dengan peluang dan ancaman yang berasal dari luar

komunitas dalam melakukan partisipasi. Langkah-langkah penyusunan matriks

IFE dan EFE (David, 2009) adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal

Langkah pertama adalah mengidentifikasi faktor-faktor internal, yaitu

dengan merumuskan variabel unsur-unsur kekuatan yang ada di masyarakat

disusul dengan merumuskan variabel unsur-unsur kelemahannya. Langkah

selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yaitu dengan

merumuskan variabel unsur-unsur peluang yang ada dan disusul dengan

Page 73: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

54 merumuskan berbagai macam ancaman. Hasil identifikasi dari masing-masing

unsur akan diberikan bobot dan rating.

b. Penentuan bobot setiap variabel

Penentuan bobot dilakukan dengan mengajukan identifikasi faktor strategis

internal dan eksternal kepada stakeholder dengan menggunakan metode paired

comparison. Metode ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot

setiap faktor penentu internal dan eksternal.

Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skor 1, 2, dan 3. Skor

yang digunakan untuk pengisian kolom adalah : (1) skor 1 = jika indikator

horizontal kurang penting daripada indikator vertikal, (2) skor 2 = Jika indikator

horizontal sama penting daripada indikator vertikal, dan (3) skor 3 = Jika

indikator horizontal lebih penting dari pada indikator vertikal.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap veriabel

terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus :

ai

∑=

n

ii

i

X

X

1

=

Variabel berbobot 0 (nol) berarti variable tersebut bukan merupakan faktor

yang penting. Sedangkan variable dengan bobot 1 (satu) merupakan variable yang

sangat penting atau paling berpengaruh. Total bobot yang diberikan akan sama

dengan 1.0. Pembobotan ini kemudian ditempatkan pada kolom bobot matriks IFE

dan EFE. Bentuk penilaian bobot faktor startegis internal dan eksternal dapat

dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5 Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Faktor Strategis Internal A B C D … Total Bobot

A B C D

…….. Total

Sumber : David (2009)

Keterangan : ai = Bobot Variabel ke-i Xi = Nilai variabel ke – i i = 1, 2, 3, …..n n = Jumlah Variabel

Page 74: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

55

Tabel 6 Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Faktor Strategis

Eksternal A B C D … Total Bobot

A B C D

…….. Total

Sumber : David (2009)

c. Penentuan peringkat (rating)

Setiap variabel akan diberikan skala peringkat (rating) dari 1 sampai 4. Pada

matriks IFE, penentuan skala peringkat adalah skala 1 = sangat lemah, skala 2 =

sedang, skala 3 = cukup kuat, dan skala 4 = sangat kuat. Sedangkan pada matriks

EFE, penentuan skala peringkat adalah skala 1 = dibawah rata-rata, skala 2 = rata-

rata, skala 3 = diatas rata-rata, dan skala 4 = sangat bagus.

d. Menghitung skor pembobotan

Skor pembobotan diperoleh dengan mengalikan bobot tiap-tiap variabel

dengan peringkatnya.

e. Menghitung total skor pembobotan

Total skor pembobotan diperoleh dengan menjumlahkan secara vertikal

semua skor pembobotan. Nilai total skor pembobotan akan berkisar antara 1

sampai dengan 4. Nilai total ini menunjukkan bagaimana masyarakat bereaksi

terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternalnya.

Penentuan bobot dan rating dilakukan dengan mengajukan hasil

identifikasi faktor-faktor strategis internal dan eksternal kepada stakeholder yang

meliputi tokoh masyarakat, LSM, dan aparat pemerintah daerah yang mengetahui

proses implementasi kebijakan HTR dan berkompetensi untuk melakukan

penilaian pembobotan dan rating. Hasil perkalian antara bobot dan rating

menghasilkan skor pembobotan untuk masing-masing faktor sebagai unsur SWOT

dan dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan.

Tabel 7 dan 8 menunjukkan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks

External Factor Evaluation (EFE).

Page 75: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

56 Tabel 7 Matriks Internal Factor Evaluation

Faktor Internal Bobot Rating Total Skor Kekuatan 1. 2. 3.dst Kelemahan 1. 2. 3.dst Total

Sumber: David (2009)

Tabel 8 Matriks External Factor Evaluation

Faktor Eksternal Bobot Rating Total skor

Peluang 1. 2. 3. dst Ancaman 1. 2. 3. dst Total

Sumber: David (2009)

3.4.5.2 Tahap analisis

Tahap ini disebut juga tahap pemaduan (matching stage) yaitu tahap

dimana berbagai informasi dasar dipadukan untuk merumuskan alternatif strategi

suatu kegiatan. Tahap kedua ini menggunakan analisis SWOT (strengths/

kekuatan, weakness/kelemahan, opportunity/ peluang dan threats/ancaman), yang

digunakan untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan masyarakat dalam

implementasi kebijakan HTR. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara

bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor-faktor strategis eksternal peluang

dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal kekuatan dan kelemahan.

Tahap analisis dengan menggunakan matriks SWOT dimaksudkan untuk

Page 76: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

57 merumuskan alternatif strategi pengembangan partisipasi. Matriks ini dapat

menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang

dihadapi masyarakat dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang

dimilikinya (Rangkuti, 2008). Matriks SWOT menghasilkan empat set

kemungkinan alternatif strategi sebagaimana Tabel 9.

Tabel 9 Matrik Analisis SWOT

Faktor Internal dan Kekuatan Kelemahan Faktor Eksternal Strategi

Kekuatan – Peluang Strategi

Kelemahan – Peluang Peluang Strategi

Kekuatan – Ancaman Strategi

Kelemahan-Ancaman Ancaman

Sumber: David (2009)

a. Strategi Kekuatan - Peluang

Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan dari

pengembangan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan untuk

memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

b. Strategi Kekuatan - Ancaman

Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan pengembangan

partisipasi masyarakat yang dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada.

c. Strategi Kelemahan - Peluang

Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan peluang yang ada dengan cara

meminimalkan kelemahan.

d. Strategi Kelemahan - Ancaman

Strategi ini didasarkan pada peminimalan kelemahan yang ada dalam

pengembangan partisipasi masyarakat serta menghindari ancaman.

Kecenderungan posisi masyarakat terhadap kekuatan dan kelemahan

dalam berpartisipasi dapat diketahui dengan mengurangkan kelemahan dari

kekuatan yang ada, sedangkan kecenderungan posisi masyarakat terhadap peluang

dan ancaman dapat diketahui dengan mengurangkan ancaman dari peluang yang

ada. Posisi kecenderungan dalam analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 8

(Rangkuti, 2008).

Page 77: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

58

Gambar 8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT

Kuadran 1 : Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Masyarakat

memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan

peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini

adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth

Oriented Strategy ).

Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, masyarakat masih

memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan

adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka

panjang dengan cara strategi diversifikasi.

Kuadran 3 : Masyarakat menghadapi peluang kesempatan berpartisipasi yang

sangat besar, tetapi di lain pihak, mereka menghadapi beberapa

kendala atau kelemahan internal. Fokus strategi adalah

meminimalkan masalah-masalah internal yang ada dalam masyarakat

sehingga dapat merebut peluang kesempatan berpartisipasi yang

lebih baik.

Kuadran 4 : Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, masyarakat

menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal

3.4.5.3 Tahap Pengambilan Keputusan

Tahap pengambilan keputusan (decision stage) merupakan tahap

pemilihan strategi dengan menggunakan analisis Quantitative Strategic Planning

BERBAGAI PELUANG

BERBAGAI ANCAMAN

KEKUATAN INTERNAL

KELEMAHAN INTERNAL

Kuadran 1 Mendukung Strategi

Agresif

Kuadran 3 Mendukung untuk merubah Startegi

Kuadran 2 Mendukung Strategi

Diversifikasi

Kuadran 4 Mendukung Strategi

Bertahan

Page 78: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

59 Matrix (QSPM) atau matriks perencanaan stratejik kuantitatif untuk menentukan

strategi implementasi mana yang terbaik untuk dipilih. QSPM adalah alat yang

direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk melakukan evaluasi pilihan

strategi alternatif secara obyektif berdasarkan pada faktor-faktor kunci kesuksesan

(key success factors) internal – eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya.

Jadi secara konseptual, tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif

(relative attractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih,

untuk menentukan strategi mana yang paling baik untuk diimplementasikan

(Katili et al. 2008). Sebagai suatu alat analisa, QSPM memerlukan intuisi yang

tinggi (good intuitive judgement) dalam menilai dan membuat asumsi.

Analisa QSPM dilakukan dengan membuat matriks QSP (Tabel 10)

dengan input faktor-faktor internal dan eksternal dan pilihan alternatif strategi

partisipasi yang sebelumnya telah ditentukan dengan menggunakan analisis

SWOT. Penentuan strategi terpilih dilakukan dengan pemberian bobot berkisar

antara 0.0 (tidak penting) hingga 1.0 (sangat penting) pada masing-masing faktor

dan mengalikannya dengan skor daya tarik (attractiveness score, AS) dari skala 4

(sangat baik) hingga 1 (kurang baik). Selanjutnya antara bobot dan skor daya tarik

dikalikan untuk memperoleh total skor daya tarik (total attractiveness score,

TAS). Alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi adalah stategi yang akan

dipilih untuk direkomendasikan agar dapat diimplementasikan oleh yang

berkepentingan.

Page 79: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

60 Tabel 10 Matriks Analisis QSPM

Faktor Utama (Key Success Factors)

Bobot Alternatif Strategi I

Alternatif Strategi II

Alternatif Strategi III

AS TAS AS TAS AS TAS I. Faktor Internal : A. Kekuatan 1. ... 2. ... ... B. Kelemahan 1. ... 2. ... ...

II. Faktor Eksternal : C. Peluang 1. ... 2. ... ... D. Ancaman 1. ... 2. ... ...

Total Skor

Sumber: David (2009)

Page 80: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN

4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

4.1.1 Kejelasan dan konsistensi tujuan

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 mengenai Tata Cara

Permohonan IUPHHK-HTR mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan

tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk

meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur

dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Definisi ini secara jelas menyebutkan

bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat bertujuan untuk meningkatkan potensi

dan kualitas hutan produksi, yang saat ini telah sangat rendah.

Tujuan ini sangat sesuai dengan kebutuhan Kementerian Kehutanan saat ini

mengingat banyaknya hutan produksi yang menjadi open access paska

berakhirnya konsesi HPH. Kondisi ini menyebabkan kawasan hutan produksi

menjadi tidak bertuan dan sebagian menimbulkan konflik land tenure dengan

masyarakat, sedangkan sebagian lain menjadi lahan kosong dan kritis.

Herawati (2010a) menyebutkan bahwa permasalahan yang menjadi latar

belakang dirumuskannya kebijakan HTR adalah tingginya potensi lahan tidak

produktif di kawasan hutan produksi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh:

berakhirnya masa konsesi HPH dan peristiwa penutupan 15 perusahaan Hutan

Tanaman Industri (HTI) yang juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan.

Lahan hutan bekas HPH dan HTI yang ditutup menjadi berstatus open access

karena tidak ada lagi kejelasan pemegang hak pengelolaannya.

Oleh karena itu, berbagai peraturan yang terkait kebijakan hutan tanaman

rakyat secara konsisten mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan

kondisi hutan, antara lain: (1) penentuan lokasi HTR, (2) penyusunan RKU dan

RKT, dan (3) penetapan jenis tanaman pokok. Tabel 11 menunjukkan turunan

kebijakan yang mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi

hutan.

Page 81: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

62 Tabel 11 Peraturan HTR Terkait Perbaikan Kondisi Hutan sebagai Tujuan HTR

No Kebijakan Sasaran kebijakan Keterangan 1. Penentuan lokasi Memastikan HTR dibangun dalam

kawasan hutan produksi yang tidak produktif

Permenhut No. P.55/2011 psl 2 ayat 1

2. Penyusunan RKU dan RKT

RKU dan RKT merupakan instrument monitoring dan pengendalian pengusahaan hutan oleh masyarakat

PP. No. 3/2008 psl 71(a); psl 75 ayat 3dan 5 Permenhut No. P.55/2011 psl 23 Permenhut No. P.62/2008

3. Penetapan jenis tanaman pokok

Memastikan bahwa hutan produksi ditanami tanaman berkayu

Permenhut No. P.55/2011 Psl 7 dan 8 Juknis Pembangunan HTR

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 2 ayat 1

menyebutkan bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri

pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak

lain. Kata ‘tidak produktif’ di sini menjadi polemik, karena kenyataan di lapangan

(khususnya di Kabupaten Sarolangun), kawasan yang menjadi lokasi pencadangan

HTR sebagian besar merupakan lahan yang telah diokupasi dan dimanfaatkan

oleh masyarakat. Bagi masyarakat, lahan tersebut merupakan lahan yang

produktif, meskipun dari perspektif pemerintah (Kementerian Kehutanan), lahan

yang telah dikuasai oleh masyarakat tersebut dipandang tidak produktif karena

tidak dapat mengasilkan hasil hutan kayu.

Perspektif ini mencerminkan bahwa paradigma yang dianut oleh

Kementerian Kehutanan masih bersifat state oriented, di mana semua sumberdaya

alam yang ada ditujukan untuk negara (dalam hal ini pertumbuhan ekonomi).

Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya, pemerintah sangat jarang

mempertimbangkan variabel ‘masyarakat’ (baik yang ada di dalam maupun

sekitar hutan). Fokus utama perhatian pemerintah adalah: (a) bagaimana menjaga

kelestarian hutan dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat; (b)

bagaimana menjaga keseimbangan supply dan demand bahan baku kayu ; dan (c)

bagaimana meningkatkan investasi di bidang kehutanan.

Kementerian Kehutanan mewajibkan masyarakat peserta HTR untuk

menyusun RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)

HTR dan RKTUPHHK (Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu) HTR (Pasal 23 Permenhut No. P.55/Menhut-II/20011). Terkait tujuan HTR

Page 82: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

63 (memperbaiki kondisi hutan produksi), penyusunan RKU dan RKT ini akan

sangat membantu pemerintah dalam rangka memantau kondisi hutan produksi.

Hal lain yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam rangka

perbaikan kondisi hutan produksi adalah penetapan jenis tanaman pokok HTR

(Pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011). Penetapan tanaman pokok

HTR ini adalah upaya Kementerian Kehutanan untuk memaksa masyarakat

menanam tanaman berkayu sebagai tanaman utama.

Terminologi tanaman berkayu yang dimaksud oleh Kementerian Kehutanan

masih menjadi polemik. Pada mulanya, dalam petunjuk teknis pembangunan HTR

(yang tertuang dalam lampiran perdirjen BPK No. P.06/VI-BPHT/2008) bab VI

menetapkan jenis tanaman pokok dalam HTR terbagi atas lima kelompok, yaitu:

kelompok jenis meranti, kelompok jenis keruing, kelompok jenis non

dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan kelompok MPTS (di mana karet

merupakan salah satu diantaranya). Namun dalam Permenhut No. P.55/Menhut-

II/2011 bab VI pasal 7 ayat 4 menyebutkan bahwa jenis tanaman pokok yang

ditanam dalam areal HTR adalah tanaman hutan berkayu dikombinasikan dengan

tanaman budidaya tahunan berkayu (karet, tanaman berbuah, bergetah, dll).

Pemisahan tanaman MPTS menjadi tanaman budidaya tahunan berkayu,

menyebabkan tanaman karet hanya dapat ditanam 40% dari luas lahan secara

keseluruhan. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat yang telah menguasai areal pencadangan HTR di Kabupaten

Sarolangun telah menanam tanaman karet sebagai tanaman utama dalam lahan

HTR yang telah mereka kuasai sebelumnya.

Ketiga instrument di atas menunjukkan bahwa dalam penyusunan berbagai

turunan dari kebijakan HTR, Kementerian Kehutanan kurang mempertimbangkan

kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil penelitian Herawati (2010a)

menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan HTR, aktor yang terlibat hanya

berasal dari lingkup birokrat Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan

Kementerian Kehutanan hanya mempertimbangkan kebutuhan sendiri tanpa

mempertimbangkan kebutuhan masyarakat selaku kelompok target dalam

kebijakan HTR.

Page 83: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

64

Winarno (2008) menjelaskan bahwa ciri penting dari implementasi

kebijakan adalah tingkat konflik atau konsensus atas tujuan-tujuan atau sasaran-

sasarannya. Ciri ini akan terlihat dari sejauhmana para pejabat yang melaksanakan

kebijakan mempunyai kesepakatan terhadap tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran

program. Konsensus tidak akan terjadi apabila tindakan-tindakan berdasarkan

nilai dari pejabat atau pemimpin menjadi faktor yang paling menentukan bagi

kebijakan akhir. Kombinasi dari dua ciri ini akan menghasilkan suatu tipologi

kebijakan sebagaimana Gambar 9.

Gambar 9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi Sumber : Winarno, 2008.

Sebagai sebuah kebijakan kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat,

sspek sosial kemasyarakatan menjadi masalah yang harus dipertimbangkan dalam

proses perumusan kebijakan HTR. Oleh karena itu beberapa kajian dan tulisan

mengenai hutan tanaman rakyat (HTR) senantiasa mengulas kebijakan ini dengan

sudut pandang pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyebabkan kebijakan hutan

tanaman rakyat menjadi sangat terkait dengan kebijakan pemberdayaan

masyarakat dan menyebabkan kerancuan dalam implementasi kebijakan ini.

Herawati (2010a) menyebutkan bahwa terdapat tarik menarik kepentingan

antara Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah yang berpotensi

menyebabkan kegagalan dalam implementasi HTR. Kementerian Kehutanan

memandang kebijakan HTR hanya sebagai instrument untuk memperbaiki kondisi

hutan yang telah rusak, sementara di sisi lain stakeholders pelaksana (pemda

kabupaten) beranggapan bahwa kebijakan HTR merupakan salah satu instrument

pemberdayaan masyarakat.

JUM

LA

H

BESAR

KECIL

RENDAH TINGGI KONSENSUS TUJUAN

Page 84: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

65

Kebijakan yang bersifat sentralistik, top down dan cetak biru (Herawati,

2010a) menyebabkan aspirasi pemerintah daerah selaku implementator kebijakan

HTR belum sepenuhnya dapat diakomodir oleh Kementerian Kehutanan.

Kementerian Kehutanan masih belum mampu menerjemahkan kebijakan HTR

sebagai kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan HTR telah

mempunyai tujuan yang jelas yaitu memperbaiki kondisi hutan produksi yang

rusak dengan melibatkan masyarakat, dan tujuan ini secara konsisten

diterjemahkan dalam peraturan-peraturan yang ada, antara lain dengan

menetapkan lokasi HTR, kewajiban peserta menyusun RKU dan RKT, penentuan

jenis tanaman pokok, dan penentuan tahapan kegiatan hutan tanaman. Namun

karena target kebijakan HTR adalah masyarakat, banyak stakeholders kehutanan

(peneliti, pemerintah daerah, civitas akademika, LSM dan NGO) berkeinginan

agar HTR lebih bernafaskan pemberdayaan masyarakat. Hal ini tidak mampu

diterjemahkan oleh Kementerian Kehutanan selaku aktor tunggal pembuatan

kebijakan HTR.

4.1.2. Asumsi yang digunakan

Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat

kehutanan pada pertengahan tahun 2006. Ide membangun HTR dilatarbelakangi

oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu untuk segera ditangani.

Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan untuk memberikan hak

pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang izin HTI terdekat.

Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan

tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi

kebijakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi tersebut

dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar (Herawati, 2010a).

Pengelolaan hutan produksi oleh masyarakat memiliki konsekuensi yang

besar, terutama bagi Kementerian Kehutanan yang masih menganggap hutan

sebagai sebuah sistem tersendiri yang eksklusif dan terpisah dari sub sistem lain

termasuk kondisi sosial ekonomi masyarakat. Implikasi dari hal tersebut adalah

Kementerian Kehutanan membuat turunan peraturan yang mengatur sedemikian

rupa agar masyarakat berminat untuk membangun hutan dan memanfaatkan

Page 85: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

66 hasilnya, namun pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut dapat terpantau oleh

pemerintah dan bermanfaat bagi perbaikan hutan produksi. Cara yang ditempuh

oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan menyamakan HTR dengan HTI

dengan masyarakat sebagai pelakunya.

“Sebenarnya HTR itu sama saja dengan HTI, hanya dalam HTR pelakunya

adalah masyarakat. Melalui HTR, masyarakat diajarkan untuk menjadi

enterpreneur (pengusaha) di bidang kehutanan” (wawancara, Mei 2011)

Kebijakan HTR memandang masyarakat sebagai enterpreneur yang

berkewajiban membangun hutan dan memanfaatkan hasilnya dengan sistem hak

guna usaha (HGU) selayaknya sebuah perusahaan HTI. Sehingga tidak

mengherankan bila terdapat peraturan yang mengatur HTR dan HTI secara

bersamaan seperti Permenhut No. P.62/Menhut-II/2008 tentang penyusunan

RKUPHHK-HTI dan HTR. Kewajiban untuk menyusun RKU dan RKT dalam

HTI juga diterapkan dalam kebijakan HTR, meskipun dalam HTR difasilitasi oleh

kepala UPT.

Dalam turunan kebijakan HTR mengesankan bahwa Kementerian

Kehutanan berasumsi bahwa masyarakat telah siap dan paham bagaimana menjadi

seorang enterpreneur, padahal kondisi di lapangan masih sangat jauh berbeda.

Meskipun telah ada pendampingan dari dinas kehutanan kabupaten, namun

sebagian besar masyarakat masih belum mampu dan belum mengerti bagaimana

menjadi seorang enterpreneur kehutanan sebagaimana yang dikehendaki oleh

Kementerian Kehutanan. Fasilitasi oleh UPT Kementerian Kehutanan (BP2HP)

tidak cukup memadai sehingga RKU dan RKT menjadi salah satu kendala utama

dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

Kebijakan HTR juga disusun berdasarkan asumsi bahwa kepala desa

berkompeten untuk mengimplementasikan kebijakan HTR. Peran sentral kepala

desa antara lain adalah memfasilitasi permohonan IUPHHK (Permenhut No.

P.55/2011 pasal 13 ayat 1) dan mengadakan pengawasan pelaksanaan HTR

(Permenhut No. P.55/2011 Pasal 24 ayat 1). Berdasarkan pengamatan di lapangan,

penyerahan tanggungjawab sepenuhnya kepada kepala desa tidak dapat

dilaksanakan, karena banyak kepala desa yang belum mampu untuk mengemban

tugas tersebut. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam implementasi HTR,

Page 86: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

67 sehingga peran ini harus diambil alih oleh Dinas Kehutanan Kabupaten selaku

instansi yang bertanggungjawab di kabupaten bidang kehutanan.

Asumsi lain yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun

kebijakan HTR adalah masyarakat pengelola hutan produksi yang menjadi

kawasan HTR adalah masyarakat desa yang berdekatan dengan lokasi HTR.

Implikasinya adalah administrasi pengajuan permohonan HTR mensyaratkan

masyarakat untuk menyerahkan KTP, surat keterangan domisili dan surat

rekomendasi dari Kepala desa dimana lokasi HTR berada. Syarat administrasi ini

menyulitkan masyarakat yang telah mengelola lahan HTR namun bukan

masyarakat setempat. Di lokasi penelitian, terdapat beberapa orang masyarakat

desa tetangga yang memiliki lahan (secara de facto) yang termasuk dalam lokasi

HTR dan berminat bergabung dalam kegiatan HTR. Syarat administrasi tersebut

menimbulkan kendala bagi mereka.

Abidin (2006) menyebutkan bahwa asumsi yang digunakan dalam

perumusan kebijakan hendaknya realistis, karena asumsi yang realistis akan

menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. Asumsi yang digunakan oleh

Kementerian Kehutanan perlu ditinjau ulang mengingat berbagai kendala yang

timbul akibat asumsi kebijakan yang kurang realistis tersebut berdampak kepada

rendahnya pencapaian target HTR.

4.1.3. Struktur implementasi

Struktur implementasi yang ada hendaknya memungkinkan sebuah

kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik. Untuk itu, sebuah kebijakan

hendaknya mempunyai pelaksana implementasi yang ahli, berkomitmen dan

menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.

Kebijakan HTR merupakan sebuah kebijakan yang melibatkan banyak pihak

dalam implementasinya, sehingga struktur implementasi HTR cenderung

kompleks dan rumit sehingga memakan waktu lama dalam urusan administrasi

dan birokrasi. Nugroho (2009) menyebutkan bahwa dalam proses pencadangan

areal HTR melibatkan sembilan lembaga/organisasi dengan 29 tahapan

sebagaimana yang digambarkan pada Lampiran 3, sedangkan proses permohonan

IUPHHK-HTR melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non kehutanan

Page 87: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

68 dengan 29 langkah/kegiatan yang harus ditempuh sebagaimana disajikan pada

Lampiran 4.

Namun demikian, pelaksana utama kebijakan HTR sesungguhnya adalah

pemerintah daerah (dalam hal ini dinas kehutanan kabupaten). Peran sentral Dinas

Kehutanan Kabupaten sangat menentukan tingkat keberhasilan implementasi

HTR. Meskipun tugas dinas kehutanan kabupaten dalam peraturan perundangan

hanya mencakup pemberian pertimbangan teknis kepada Bupati (Permenhut No.

P.05/Menhut-II/2008 pasal 1A ayat 2 huruf d) dan melaporkan rekapitulasi

perizinan IUPHHK-HTR secara berkala setiap tiga bulan (Permenhut No.

P.05/Menhut-II/2008 pasal 2 ayat 3 dan 4). Namun berdasarkan observasi di

lapangan diketahui bahwa tugas Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut)

Kabupaten Sarolangun dalam implementasi kebijakan HTR mencakup: a)

sosialisasi kebijakan kepada masyarakat selaku kelompok sasaran, b)

memfasilitasi proses perizinan IUPHHK-HTR di lapangan, c) memfasilitasi

pembuatan RKU dan RKT, d) melakukan pendampingan dan e) melakukan

pengawasan dan monitoring pelaksanaan HTR.

Bila ditelaah lebih lanjut, pengemban semua tugas tersebut telah diatur

dengan seksama dalam kebijakan HTR sebagaimana yang disajikan dalam Tabel

12. Namun, beberapa tugas yang diamanatkan kepada bupati (seperti sosialisasi)

dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten terkait peran Dinas Kehutanan

Kabupaten sebagai pemerintah daerah (mewakili bupati) untuk urusan kehutanan.

Sementara itu, beberapa tugas lain yang seharusnya dilakukan oleh kepala desa

(fasilitasi permohonan) juga dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten mengingat

kompetensi kepala desa yang belum memungkinkan untuk memfasilitasi

permohonan HTR.

Page 88: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

69 Tabel 12. Pengemban Tugas yang Dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten

No Kegiatan Tugas Dasar hukum Pengemban Tugas

Pelaksana Lapangan

1. Penetapan Areal

Pertimbangan teknis pada Bupati

Permenhut No. P.5/2008 pasal 1A ayat 2 huruf d

Disbunhut Kabupaten

Disbunhut Kabupaten

Sosialisasi Permenhut No. P.55/2011 Pasal 13 ayat 5

Bupati/ Walikota

Disbunhut Kabupaten

2. Fasilitasi proses perizinan

Fasilitasi permohonan

Permenhut No. P.55/2011 Pasal 13 ayat 1,3

Kepala desa Disbunhut Kabupaten

Laporan rekapitulasi perizinan IUPHHK

Permenhut No.P.05/2008 Pasal 2 ayat 3 & 4

Disbunhut Kabupaten

Disbunhut Kabupaten

Fasilitasi pembuatan kelompok

Permenhut No. P.55/2011 Pasal 17 ayat 1

Tidak ada Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT

3. Fasilitasi kelembagaan

Fasilitasi penguatan kelembagaan

Permenhut No. P.55/2011 Pasal 19 ayat 4

Bupati, camat dan kepala desa, LSM yang ditunjuk

Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT

Pembuatan RKU dan RKT

Permenhut No.P.62/2008 Psl 7 ayat 1, psl 14 ayat 1

Kepala UPT Disbunhut Kabupaten

4. Fasilitasi RKU dan RKT

Persetujuan RKU dan RKT

Permenhut No.P.62/2008 Psl 7 ayat 2, psl 16 ayat 1

Disbunhut Kabupaten

Disbunhut Kabupaten

Penilaian dan persetujuan revisi

Permenhut No.P.62/2008 Pasal 9 ayat 3

Disbunhut Kabupaten

Disbunhut Kabupaten

Melakukan Pendampingan teknis

Juknis Pembangunan HTR Bab VIII

Teknisi yang ditunjuk

Staff Dishutbun Kabupaten selaku pendamping

5. Fasilitasi pelaksanaan

Melakukan Pendampingan kelembagaan

Juknis Pembangunan HTR Bab VIII

Tenaga kerja kehutanan, LSM, organisasi lain

LSM FLEGT bekerjasama dengan Disbunhut Kabupaten

6. Pengawasan dan monitoring

Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan HTR

Permenhut No. P.55/2011 Pasal 24

Kepala desa, Kepala Dinas Provinsi/UPT

Disbunhut Kabupaten

Berdasarkan observasi di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko Besar

(yang saat ini dalam proses pengajuan IUPHHK), sistem yang digunakan oleh

Dishutbun Kabupaten Sarolangun adalah ‘menjemput bola’ dimana setelah

Page 89: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

70 mengadakan sosialisasi secara berkala ke desa yang dituju, maka semua fasilitasi

permohonan mulai dari memfasilitasi persyaratan hingga pembentukan kelompok

dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten di desa yang dituju. Berbeda dengan kedua

desa di atas, Desa Taman Bandung difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten

Sarolangun bekerjasama dengan EC- Indonesia FLEGT support project. FLEGT

mengawal proses perizinan hingga keluarnya izin IUPHHK di Desa Taman

Bandung, termasuk memfasilitasi penguatan kelembagaan.

Salah satu syarat administrasi yang menjadi kendala dalam implementasi

kebijakan HTR di Desa Taman Bandung (yang telah mendapatkan izin IUPHHK-

HTR) adalah pembuatan RKU dan RKT. Berdasarkan Permenhut No.P.62/2008

Pasal 7 ayat 1, fasilitasi pembuatan RKU dan RKT merupakan tugas dari UPT

Kementerian Kehutanan (BP2HP wilayah IV Jambi). Namun tugas tersebut juga

harus dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten untuk memperlancar implementasi

HTR di Kabupaten Sarolangun.

Tugas pendampingan sebagaimana yang tertulis dalam Peraturan Direktur

Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk

Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat memiliki dua sifat yaitu

pendampingan teknis dan pendampingan kelembagaan. Di Kabupaten Sarolangun,

yang ditunjuk sebagai pendamping teknis adalah staf Disbunhut Kabupaten,

sementara pendamping kelembagaan (khusus untuk Desa Taman Bandung)

difasilitasi oleh EC-Indonesia FLEGT support project. Namun setelah proyek

FLEGT berakhir, hingga saat ini Disbunhut Kabupaten belum memiliki partner

dalam pelaksanaan pendampingan kelembagaan di desa-desa lainnya (Seko Besar

dan Lamban Sigatal). Sehingga proses pendampingan baik teknis maupun

kelembagaan dalam desa tersebut difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten.

Penunjukan staf Disbunhut sebagai pendamping pelaksanaan pembangunan

HTR perlu ditinjau ulang. Proses pendampingan menjadi kurang optimal karena

tupoksi yang diemban oleh staff dishutbun tersebut bukan hanya kegiatan HTR.

Jarak rumah pendamping dengan lokasi HTR juga menjadi kendala dalam proses

pendampingan. Aksesibilitas jalan yang jelek terutama pada musim hujan

merupakan kendala utama dalam proses pendampingan, di samping masalah

finansial. Di sisi lain, penunjukan staf Disbunhut dapat menjadi strategis karena

Page 90: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

71 kegiatan HTR dapat dijalankan secara bersamaan dengan tupoksi lainnya,

sehingga dapat meminimalkan biaya operasional. Namun secara keseluruhan,

tetap menyebabkan proses pendampingan menjadi tidak optimal.

Subarsono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan

sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan keterampilan dari para implementor

kebijakan. Berdasarkan observasi, diketahui bahwa Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Sarolangun cukup kompeten dalam implementasi kebijakan

HTR. Strategi untuk ‘menjemput bola’ dalam memperlancar proses permohonan

IUPHHK cukup tepat untuk desa-desa di Kabupaten Sarolangun, mengingat

sebagian besar kepala desa di sekitar areal pencadangan HTR yang belum

berkompeten melaksanakan tugas sebagaimana yang dituntut dalam kebijakan

HTR. Selain itu, aksesibilitas jalan yang buruk juga menghambat mobilisasi

kepala desa untuk keluar desa.

4.1.4. Dukungan sumber daya manusia dan finansial

Dukungan sumberdaya manusia dan finansial yang memadai akan

mempermudah implementasi sebuah kebijakan. Dukungan sumberdaya manusia

dan finansial dalam kebijakan HTR hendaknya tidak terbatas hanya pada lingkup

Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan, namun juga pada pemerintah

daerah dan masyarakat selaku pelaksana dan kelompok target kebijakan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya manusia dalam

mengimplementasi HTR baik pada tataran UPT pusat (BP2HP wilayah IV Jambi

dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XIII Bangka Belitung),

maupun pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten

Sarolangun) masih terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan

diketahui bahwa pelaksana lapangan di Dinas Kehutanan yang secara aktif

menangani kegiatan HTR hingga ke lapangan hanya berjumlah 3-4 orang dengan

kualifikasi sarjana kehutanan, di mana dua orang di antaranya telah ditunjuk

sebagai pendamping kegiatan HTR. Sementara sumber daya manusia di BP2HP

yang menangani kegiatan HTR berjumlah kurang dari lima orang. Dukungan

sumber daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dapat dilihat

melalui tingkat partisipasi aparat pemda dalam implementasi kebijakan HTR

(Tabel 13).

Page 91: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

72 Tabel 13 Tingkat Partisipasi Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun

Indikator Partisipasi Tinggi Sedang Rendah n % n % n %

Keterlibatan 4 26.67 5 33.33 6 40.00 Sosialisasi 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Rapat koordinasi 6 40.00 4 26.67 5 33.33 Pelatihan 3 20.00 5 33.33 7 46.67 Turun ke Lapangan 3 20.00 4 26.67 8 53.33 Total Partisipasi 3 20.00 3 20.00 9 60.00

Tabel 13 menunjukkan bahwa dukungan sumber daya manusia Pemerintah

Daerah Kabupaten termasuk dalam kategori rendah (60%) dengan tingkat

keterlibatan yang rendah (40%). Keterlibatan responden umumnya terbagi

menjadi tiga kelompok besar, yaitu (1) kelompok yang selalu dilibatkan dalam

kegiatan HTR; (2) kelompok yang kadang-kadang dilibatkan; dan (3) kelompok

yang tidak dilibatkan.

Kelompok pertama merupakan aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun

yang mengawal implementasi kebijakan HTR hingga ke lapangan. Umumnya

mereka telah mendapatkan pelatihan-pelatihan mengenai implementasi HTR

berupa pelatihan pendampingan dan pembuatan RKU/RKT. Kelompok kedua

adalah merupakan aparat Dishutbun dan Bappeda Kabupaten Sarolangun yang

sering dilibatkan dalam rapat-rapat koordinasi guna membahas perkembangan

HTR atau hal lain yang berkaitan dengan HTR. Kelompok ketiga merupakan

aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun yang tidak dilibatkan dalam kegiatan

HTR, namun pernah mendapatkan sosialisasi mengenai kebijakan HTR dan secara

kepegawaian termasuk dalam bidang yang membawahi proyek HTR. Dukungan

sumber daya manusia yang rendah ini berpotensi menghambat implementasi

kebijakan HTR.

Berdasarkan peraturan dan perundangan mengenai kebijakan HTR diketahui

bahwa sebagian besar sumber dana untuk implementasi kebijakan HTR

dibebankan kepada pemerintah. Namun tidak disebutkan secara jelas instansi

pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal finansial untuk setiap jenis

kegiatan. Sehingga setiap stakeholders yang terlibat dalam kebijakan ini harus

berasumsi sendiri bahwa pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah pusat

(Kementerian Kehutanan) sebagai penyedia sumber dana utama dan pemerintah

Page 92: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

73 daerah sebagai sumber dana pendamping. Ketidakjelasan penanggung jawab

finansial ini berpotensi menghambat implementasi kebijakan HTR.

4.2 Lingkungan Kebijakan

4.2.1. Dukungan pemangku kepentingan (stakeholder)

Analisis pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penelitian ini ditujukan

untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi HTR

dan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh setiap

stakeholders dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa pada

inisiasi awal HTR (tahun 2007) hingga tahun 2009 cukup banyak pihak yang

tertarik dan terlibat dalam program HTR, baik pihak instansi pemerintah maupun

organisasi nirlaba. Dari hasil inventarisasi pemangku kepentingan (stakeholders),

diketahui bahwa stakeholders yang terlibat dan potensial terlibat dalam

implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun saat ini terdiri atas

beberapa komponen, yaitu: (1) Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, (2) BP2HP

Wilayah IV Jambi, (3) Bappeda Kabupaten Sarolangun, (4) Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Sarolangun, (5) DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun, (6) PT

Samhutani, (7) LP3D, (8) Universitas Jambi dan (9) masyarakat.

Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung

kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan

(Grindle, 1980). Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan

persepsi mereka terhadap kebijakan HTR (harapan mereka terhadap tujuan HTR)

dan bagaimana cara mereka menyikapi kebijakan ini (keuntungan atau biaya apa

yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa yang telah dimobilisasi).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat tiga persepsi

stakeholder mengenai tujuan dari kebijakan HTR yaitu (1) perbaikan kawasan

hutan produksi; (2) kesejahteraan masyarakat; dan (3) supply bahan baku kayu.

Meskipun beberapa stakeholders memiliki persepsi bahwa tujuan HTR lebih dari

satu dengan takaran yang berbeda-beda. Tabel 14 menunjukkan persepsi

(harapan) responden terhadap tujuan kebijakan HTR.

Page 93: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

74 Tabel 14 Persepsi Responden terhadap Tujuan HTR

No Stakeholders Tujuan

Perbaikan HP Kesejahteraan Masyarakat

Supply Bahan Baku

1. Dishut Provinsi Jambi ++ +++ + 2. BP2HP +++ + ++ 3. Universitas Jambi +++ ++ + 4. Disbunhut Kabupaten ++ +++ + 5. Bappeda Kabupaten ++ ++ + 6. DPRD Kabupaten ++ +++ + 7. LP3D ++ +++ + 8. PT. Samhutani ++ + +++ 9. Masyarakat + +++ ++

Keterangan: + : rendah; ++ : sedang, +++ : tinggi Selain persepsi mereka terhadap tujuan HTR, tingkat kepentingan

stakeholders dalam implementasi kebijakan HTR dapat dilihat dari persepsi

mereka terhadap kebijakan HTR, relevansi kebutuhan terhadap implementasi

kebijakan HTR, motivasi keterlibatan dalam implementasi kebijakan HTR, bentuk

dukungan yang diberikan dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tabel 15

menunjukkan penilaian terhadap tingkat kepentingan masing-masing stakeholder.

Tabel 15 Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder

No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 4 4 4 5 4 21 2. BP2HP 5 5 5 5 5 25 3. Universitas Jambi 4 3 4 4 4 19 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 4 5 5 5 24 5. Bappeda Kabupaten 3 3 3 3 2 14 6. DPRD Komisi II Sarolangun 3 3 2 2 3 13 7. LP3D 3 2 2 2 2 11 8. PT. Samhutani 2 1 1 1 2 7 9. Masyarakat 5 5 5 4 5 24

Keterangan : P1 = persepsi mengenai ketepatan HTR sebagai resolusi masalah P2 = relevansi kebutuhan P3 = motivasi keterlibatan P4 = bentuk dukungan P5 = keuntungan yang diharapkan

Data di atas menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki nilai

kepentingan tinggi adalah instansi pemerintah sektor kehutanan (BP2HP dan

disbunhut kabupaten), dimana implementasi kebijakan HTR merupakan salah satu

tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka. Masyarakat selaku kelompok target dari

implementasi kebijakan HTR juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi,

Page 94: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

75 sedangkan sektor swasta memiliki nilai kepentingan yang rendah dan merasa tidak

pernah dilibatkan dalam proses implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.

Meskipun beberapa stakeholders memiliki tingkat kepentingan yang tinggi

terhadap HTR, namun tidak semuanya memiliki pengaruh dalam menyukseskan

implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Pengaruh stakeholder

terhadap implementasi kebijakan HTR dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder

No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 4 5 5 3 5 22 2. BP2HP 4 5 3 5 5 22 3. Universitas Jambi 3 4 4 3 4 18 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 5 5 5 5 25 5. Bappeda Kabupaten 4 3 4 3 4 18 6. DPRD Komisi II Sarolangun 2 5 5 3 5 20 7. LP3D 2 2 4 3 3 14 8. PT. Samhutani 1 2 3 5 5 16 9. Masyarakat 4 1 1 5 1 12

Keterangan : P1 = tingkat keterlibatan P2 = peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan P3 = Hubungan dengan stakeholder lain P4 = dukungan SDM

P5 = dukungan finansial

Tabel 16 menunjukkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar dalam

menyukseskan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah

BP2HP dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, sedangkan masyarakat memiliki

pengaruh yang terkecil dalam keberhasilan implementasi HTR.

Dengan mengkombinasikan Tabel 15 dan Tabel 16 maka dibuat ilustrasi

mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dengan

menggunakan stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat

kuadran yang menggambarkan posisi masing-masing stakeholders dalam

mendukung kebijakan HTR. Sebaran posisi stakeholders berdasarkan kepentingan

dan pengaruh mereka dalam implementasi HTR digambarkan pada Gambar 10.

Page 95: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

76

Gambar 10. Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh

Gambar 10 menunjukkan bahwa stakeholders yang termasuk ke dalam

kelompok pemain kunci (key players) adalah BP2HP, Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan

Universitas Jambi. Kelompok ini memainkan peranan yang sangat penting dalam

menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

Penanggungjawab keberhasilan implementasi kebijakan HTR saat ini berada

pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. BP2HP selaku

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan bertanggungjawab atas

kebijakan yang telah digulirkan oleh Kementerian Kehutanan, termasuk kebijakan

HTR. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi juga merupakan stakeholders yang cukup

berperan aktif dalam implementasi kebijakan HTR. Sosialisasi HTR dan

pembuatan demplot adalah salah satu wujud dukungan Dinas Kehutanan Provinsi

Jambi terhadap kebijakan HTR. Sumber kepentingan Universitas Jambi terhadap

kebijakan HTR berasal dari kepentingan pribadi yaitu untuk menjadikan kebijakan

dan lokasi HTR sebagai salah satu ranah penelitian mereka. Namun demikian,

Universitas Jambi berperan penting dalam implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun, salah satunya dengan menyusun Grand Strategy

Pengembangan HTR di Provinsi Jambi.

0

15

30

0 15 30

KEPE

NTI

NG

AN

PENGARUH

KEY PLAYERS

CONTEXT SETTTER

SUBJECT

CROWD

MASYARAKAT BP2HP

DISBUNHUT KAB

DISHUT PROP

UNJAM

BAPPEDA

SAMHUTANI

LP3DDPRD

Page 96: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

77

Keempat institusi ini merupakan kelompok yang sangat menentukan dalam

keberhasilan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Mereka

memiliki kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang besar dalam implementasi

kebijakan HTR. Kepentingan yang tinggi terkait dengan tupoksi (tugas pokok dan

fungsi) mereka selaku institusi pemerintah bidang kehutanan. Mereka berharap,

apabila kebijakan HTR berhasil diimplementasikan maka pekerjaan mereka

mengamankan kawasan hutan produksi menjadi lebih mudah. Selain itu, mereka

berpendapat bahwa kebijakan HTR juga merupakan alternatif yang sangat

strategis dalam mengatasi permasalahan kehutanan di Kabupaten Sarolangun,

terutama masalah okupasi kawasan hutan produksi dan konflik tenurial.

Stakeholders yang termasuk ke dalam kelompok context setter adalah

DPRD Kabupaten Sarolangun, Bappeda Kabupaten Sarolangun dan PT

Samhutani. Kelompok ini memiliki pengaruh yang tinggi namun memiliki

kepentingan yang rendah terhadap implementasi kebijakan HTR. Rendahnya

tingkat kepentingan anggota komisi II DPRD ini disebabkan oleh kurang

strategisnya HTR sebagai komoditi politik daerah saat ini, sehingga mereka tidak

memiliki inisiatif untuk memulai dukungan terhadap implementasi HTR.

Meskipun saat ini tingkat kepedulian anggota DPRD terhadap kebijakan

HTR telah jauh berkurang, namun pada tahun 2007-2009 kebijakan HTR

mendapatkan dukungan yang sangat serius dari komisi II DPRD saat itu. Bahkan

HTR pernah menjadi program yang sangat strategis bagi politik daerah, sehingga

pihak DPRD komisi II menjadikan HTR sebagai salah satu kegiatan yang

mendukung program 8102 (pengentasan kemiskinan) di Kabupaten Sarolangun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan mantan ketua komisi II DRD

Kabupaten Sarolangun diketahui bahwa sebelum bergulirnya kebijakan HTR,

telah ada wacana (DPRD) untuk memberikan akses pada masyarakat untuk

mengelola hutan produksi yang tidak produktif melalui peraturan daerah (perda).

Kebijakan HTR yang sejalan dengan niat tersebut, memiliki posisi yang strategis

sehingga DPRD saat itu sangat mendukung kebijakan HTR.

Bappeda Kabupaten Sarolangun merupakan partner Dinas Kehutanan

Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR, meskipun

peran mereka tidak begitu significant. Berdasarkan hasil penelitian diketahui

Page 97: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

78 bahwa kebijakan HTR tidak berpengaruh terhadap tupoksi mereka, namun selama

kebijakan HTR bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat mereka akan

mendukung kebijakan ini. Tidak ada alokasi dana dan sumber daya manusia

khusus untuk mengimplementasikan kebijakan HTR sehingga mereka hanya

menunggu inisiatif dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun

untuk terlibat dalam implementasi kebijakan HTR.

Salah satu stakeholders potensial lain yang belum dimanfaatkan oleh Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun adalah PT. Samhutani, yang

memiliki lahan berbatasan dengan areal pencadangan HTR. Berdasarkan hasil

wawancara dengan manager camp PT Samhutani, terungkap bahwa perusahaan

mendukung kebijakan HTR, terutama apabila yang ditanam oleh masyarakat

adalah tanaman yang dapat dijadikan bahan baku pulp. Bahkan perusahaan

bersedia untuk menyediakan bibit dan berpartner dengan masyarakat dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR.

Ketiga stakeholders yang termasuk ke dalam kelompok context setter ini

berpotensi menghambat dan atau memperlancar implementasi kebijakan HTR

sehingga harus dikelola dengan baik. Pemerintah Daerah (Disbunhut Kabupaten

Sarolangun) harus mencari cara agar kebijakan HTR ini dapat menjadi menarik

secara politis sehingga mendapatkan dukungan dari DPRD kembali. Pelibatan

Bappeda Kabupaten dalam setiap kegiatan HTR sebaiknya juga ditingkatkan,

tidak hanya sebatas rapat koordinasi, namun dapat diajak dalam hal sosialisasi dan

membangun kerjasama intensif dalam mengimplementasikan HTR. Demikian

halnya dengan PT Samhutani. Disbunhut Kabupaten Sarolangun dapat

mengupayakan bentuk kerjasama (bermitra) antara PT Samhutani dan masyarakat

yang berminat untuk menanam kayu fast growing namun tidak memiliki modal.

Stakeholder yang termasuk kelompok crowd adalah LP3D, sebuah LSM

lokal di Kabupaten Sarolangun. LP3D merupakan stakeholder yang lemah dalam

implementasi HTR karena memiliki kepentingan rendah dan pengaruh yang kecil.

Keterlibatan LP3D dalam implementasi kebijakan HTR dimulai dua tahun yang

lalu, saat LP3D ditunjuk oleh EC-Indonesia FLEGT support project sebagai LSM

lokal yang mendampingi masyarakat dalam implementasi HTR. LP3D diharapkan

dapat melanjutkan kegiatan pendampingan apabila proyek FLEGT telah selesai.

Page 98: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

79 Namun karena tidak ada alokasi sumber daya manusia dan finansial , maka

kegiatan pendampingan LP3D terhenti setelah berakhirnya kerjasama antara

LP3D dan FLEGT. Reed et al. (2009) mengungkapkan bahwa kelompok crowd

tidak perlu dilibatkan terlalu detil atau dilibatkan dalam kegiatan.

Masyarakat memiliki nilai kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan HTR

namun memiliki pengaruh yang kecil sehingga termasuk dalam kelompok subject.

Kelompok ini merupakan kelompok yang menjadi target dalam implementasi

HTR. Rendahnya pengaruh yang miliki oleh masyarakat menyebabkan

masyarakat tidak dapat memilih bentuk HTR sesuai dengan keinginan mereka,

namun demikian, kelompok key players dapat membangun kerjasama dengan

kelompok context setter untuk mencari model yang tepat untuk memberdayakan

kelompok subject.

Berdasarkan konsep pengaruh Yukl (1994) bahwa keberhasilan

implementasi kebijakan HTR, selain ditentukan oleh adanya kepentingan yang

tinggi terhadap kebijakan HTR juga ditentukan oleh kemampuan saling

mempengaruhi di antara stakeholders terkait. Oleh karena itu, peran Disbunhut

Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi dalam membangun kerjasama

dengan stakeholder yang lain hendaknya dapat dioptimalkan, terutama dalam

memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter (Bappeda,

DPRD dan PT Samhutani).

Besar kecilnya pengaruh stakeholder terhadap stakeholder lain tergantung

pada besar kecilnya kekuatan yang dimilikinya. French & Raven (1959)

sebagaimana diacu Yukl (1994) membagi kekuatan dalam lima katagori yaitu:

reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent

power. Penilaian kekuatan stakeholder dalam implementasi kebijakan HTR dapat

dilihat pada Tabel 17.

Page 99: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

80 Tabel 17 Penilaian Tingkat Kekuatan Stakeholder

No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 5 3 3 3 4 18 2. BP2HP 5 1 1 5 1 13 3. Universitas Jambi 1 1 1 5 1 9 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 3 3 5 1 17 5. Bappeda Kabupaten 3 4 1 1 1 10 6. DPRD Komisi II Sarolangun 5 1 1 3 4 14 7. LP3D 1 1 1 1 1 5 8. PT. Samhutani 5 1 1 1 1 9 9. Masyarakat 1 1 1 1 1 5

Keterangan : P1 = reward power P2 = coercive power P3 = legitimate power P4 = expert power P5 = referent power

Tabel 17 menunjukkan bahwa kekuatan terbesar dalam implementasi

kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dimiliki oleh Dishut Provinsi Jambi dan

Disbunhut Kabupaten Sarolangun, sedangkan kekuatan terkecil dimiliki oleh

masyarakat dan LP3D. Kekuatan reward yang dimiliki oleh instansi kehutanan

(BP2HP, Dishut Provinsi dan Disbunhut Kabupaten) bersumber dari tupoksi yang

dimilikinya, sedangkan PT Samhutani memiliki kekuatan reward terkait

kebutuhan mereka akan bahan baku kayu.

Kekuatan coercive dan legitimate hanya dimiliki oleh instansi yang

berkedudukan di daerah, terkait dengan relationship dan kewenangan (authority)

yang mereka miliki, sedangkan kekuatan expert dimiliki oleh stakeholder yang

diyakini memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengelola hutan. Penilaian

kekuatan referent bersumber dari kekuatan personal untuk mempengaruhi

stakeholder lain dalam implementasi kebijakan HTR.

Besarnya kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing

stakeholder akan memberikan dampak terhadap keterlibatan mereka dalam

implementasi HTR apabila dapat dikelola dengan baik. Dengan

mengkombinasikan data kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh stakeholder,

maka di buat matrik resultante yang menggambarkan posisi masing-masing

stakeholder sebagaimana Gambar 11.

Page 100: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

81

Gambar 11. Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh

Posisi stakeholder berdasarkan kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya

akan sangat membantu dalam menyusun strategi implementasi kebijakan HTR.

Meyers (2001) mengemukakan strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder

berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya sebagaimana

ditunjukkan pada Tabel 18.

Tabel 18 Strategi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan

Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi

Kekuatan Tinggi

Pengurangan Dampak, Bertahan Melawan Berkolaborasi dengan

Kekuatan Rendah

Memonitor atau tidak memperdulikan

Keterlibatan, membangun kapasitas, mengamankan kepentingan

Sumber : Meyers (2001)

Gambar 11 menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki kekuatan dan

pengaruh yang besar (Kelompok B) adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan

Dinas Perkebunan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Meyers (2001)

mengungkapkan bahwa strategi digunakan untuk memberdayakan stakeholder

dalam kelompok ini adalah ‘berkolaborasi dengan’. Oleh karena itu, Disbunhut

Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi harus saling berkolaborasi

dalam rangka implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

0

15

30

0 15 30

KEKU

ATA

N

PENGARUH

MASYARAKAT

LP3D

SAMHUTANIUNJAM

BAPPEDADPRD BP2HP

DISHUT PROV DISHUT KAB

B

C

A

D

Page 101: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

82

Kelompok C ditempati oleh BP2HP, DPRD Kabupaten, Universitas Jambi,

Bappeda Kabupaten dan PT Samhutani. Kelompok ini merupakan kelompok yang

sangat potensial untuk dilibatkan dalam implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun. Strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder dalam

kelompok ini adalah ‘terlibat, membangun kapasitas dan mengamankan

kepentingan’. Latar belakang kepentingan mereka terhadap kebijakan HTR dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk memotivasi keterlibatan mereka

dalam implementasi HTR. Kapasitas mereka dapat dibangun dengan membentuk

jaringan dalam implementasi HTR.

Kelompok D merupakan kelompok yang memiliki kekuatan dan pengaruh

yang rendah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Kelompok ini

ditempati oleh masyarakat dan LP3D. Meyers (2001) menyebutkan bahwa

alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh stakeholder yang berada dalam

kelompok ini adalah memonitor atau tidak memperdulikan. Khusus untuk

masyarakat, direkomendasikan untuk memonitor proses yang berlangsung dalam

implementasi kebijakan, sedangkan LP3D dapat mengabaikan atau memonitor.

Guna melihat posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan, kekuatan

dan pengaruh yang dimilikinya, dalam penelitian ini menggabungkan dua analisis

katagori yang telah berkembang sebelumnya, yaitu: (1) analisis katagori

berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh (Lindenberg & Crosby, 1981

dalam Reed et al. (2009); dan (2) analisis katagori berdasarkan tingkat kekuatan

dan pengaruh (Silverstein, 2009); menjadi sebuah matrik sebagaimana

diilustrasikan pada Gambar 12.

PENGARUH RENDAH PENGARUH TINGGI

KEPENTINGAN RENDAH

KEKUATAN RENDAH LP3D BAPPEDA,DPRD,

SAMHUTANI

KEKUATAN TINGGI - -

KEPENTINGAN TINGGI

KEKUATAN RENDAH MASYARAKAT BP2HP, UNJAM

KEKUATAN TINGGI - DISHUT KAB

DISHUT PROV

Gambar 12. Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan, Kepentingan & Pengaruh

Page 102: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

83

Mengembangkan strategi yang telah dikemukakan Meyers (2001),

penelitian ini menambahkan faktor kepentingan dalam menyusun strategi yang

dapat dilakukan dalam implementasi HTR sebagaimana diilustrasikan pada

Gambar 12. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam

implementasi HTR terdapat lima zona (kelompok) stakeholder, yaitu:

1. Kelompok hijau; yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan,

pengaruh dan kekuatan yang tinggi. Kelompok ini merupakan kelompok

penentu keberhasilan HTR.

2. Kelompok kuning, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan

pengaruh yang tinggi, namun memiliki tingkat kekuatan yang rendah.

Kelompok ini merupakan kelompok pendukung yang harus dilibatkan dalam

implementasi HTR.

3. Kelompok merah, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan

kekuatan yang rendah namun pengaruh yang tinggi. Kelompok ini merupakan

kelompok yang harus dapat dimanfaatkan oleh kelompok hijau dalam rangka

keberhasilan HTR.

4. Kelompok biru, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan yang

tinggi namun pengaruh dan kekuatannya rendah. Kelompok ini merupakan

kelompok target kebijakan HTR. Strategi yang dilakukan terhadap kelompok

ini adalah pemberdayaan, agar kelompok ini mampu mengimplementasikan

kebijakan sesuai yang diharapkan.

5. Kelompok ungu, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan,

pengaruh dan kekuatan yang rendah. Kelompok ini tidak perlu terlalu

dipertimbangkan dalam implementasi HTR.

Posisi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Dinas Perkebunan dan

Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun berada dalam kelompok hijau

(zona hijau), yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan, pengaruh dan

kekuatan yang tinggi. Kelompok inilah yang menjadi stakeholder penentu

keberhasilan implementasi HTR. Namun pertimbangan jarak menyebabkan

Disbunhut Kabupaten Sarolangun menjadi core dalam implementasi kebijakan

HTR. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya mampu

Page 103: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

84 membangun kerjasama yang baik dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR.

Strategi yang dapat dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten Sarolangun dalam

menghadapi kelompok kuning adalah melibatkan mereka dalam setiap kegiatan

HTR. BP2HP dan Universitas Jambi adalah instansi yang termasuk dalam

kelompok ini. Idealnya, BP2HP selaku UPT Kementerian Kehutanan di daerah

termasuk dalam kelompok hijau karena memiliki kepentingan yang sangat tinggi

terhadap keberhasilan HTR. Namun karena lokasi yang jauh dan pergantian orang

yang menduduki jabatan di BP2HP, menyebabkan rendahnya kekuatan yang

dimiliki oleh BP2HP.

PT Samhutani, Bappeda dan DPRD Kabupaten Sarolangun termasuk dalam

kelompok merah. Kelompok merah merupakan kelompok yang memiliki

kepentingan dan kekuatan yang rendah dalam implementasi kebijakan HTR,

namun memiliki tingkat prengaruh yang tinggi. Hal ini menyebabkan upaya

kelompok merah dalam menyikapi kebijakan HTR kurang atau bahkan tidak ada.

Untuk mengatasi hal tersebut, Disbunhut Kabupaten Sarolangun dituntut untuk

mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok merah dalam

implementasi kebijakan HTR. Strategi yang dapat dilakukan oleh Disbunhut

Kabupaten Sarolangun adalah: (1) mampu mengemas HTR menjadi lebih

‘menjual’ bagi kepentingan politis DPRD, (2) menempatkan kebijakan HTR

sebagai salah satu instrument pembangunan daerah (pro invenstment) sehingga

mendapatkan perhatian Bappeda; dan (3) mengajak masyarakat untuk menanam

tanaman berkayu selain karet atau bermitra dengan PT Samhutani.

Kelompok biru merupakan kelompok yang harus diberdayakan. Kelompok

ini merupakan sasaran (target) yang akan mengimplementasikan kebijakan HTR

di lapangan. Untuk itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya mempunyai

strategi yang tepat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR sehingga dapat

memberdayakan masyarakat. Rekomendasi strategi implementasi yang dimaksud

merupakan output penelitian yang akan disampaikan pada Bab VI.

Gambar 12 menunjukkan bahwa ada dua instansi yang termasuk dalam

kelompok stakeholder yang menjadi penentu kebijakan HTR (zona hijau), yaitu

Dishutbun Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi. Kedua stakeholder

Page 104: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

85 ini adalah stakeholder daerah yang memiliki kepentingan yang berbeda dengan

Kementerian Kehutanan. Kepentingan mereka terhadap kebijakan HTR dapat

dilihat dari tujuan yang mereka miliki (Tabel 14), yaitu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui HTR, sedangkan Kementerian Kehutanan

adalah perbaikan kondisi hutan. Hal ini menyebabkan prospek implementasi HTR

di Kabupaten Sarolangun menjadi rendah apabila Kementerian Kehutanan tidak

mampu mengakomodir aspirasi kedua instansi ini dalam setiap turunan kebijakan

HTR.

4.2.2. Kondisi sosial budaya

Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan salah satu faktor yang

menentukan dalam implementasi kebijakan HTR. Masyarakat Desa Taman

Bandung, Desa Seko Besar dan Desa Lamban Sigatal selaku target kebijakan

HTR memiliki kebiasaan dan budaya seperti layaknya Suku Bangsa Melayu,

khususnya budaya Jambi. Kebiasaan dan budaya yang ada ini dapat menjadi

faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR.

Salah satu budaya masyarakat desa di lokasi penelitian adalah kebiasaan

masyarakat berladang secara berpindah. Kebiasaan ladang berpindah ini

membentuk pola peladangan yang membutuhkan areal yang luas sebagai areal

ladang. Pada umumnya areal yang menjadi ladang masyarakat adalah kawasan

hutan produksi yang saat ini telah dicadangkan sebagai lokasi pengembangan

HTR. Menurut keterangan warga, sekitar 90% dari kawasan pencadangan HTR

sudah menjadi lahan-lahan dalam penguasaan masyarakat yang berupa kebun,

ladang, dan semak-belukar. Sebagian warga juga sudah ada yang

memperjualbelikan lahan-lahan dalam areal pencadangan HTR yang menjadi

penguasaannya kepada para pendatang yang umumnya berasal dari Provinsi

Bengkulu, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Lahan yang berasal dari hutan

yang dibuka masyarakat dan dijadikan kebun karet belum memiliki sertifikat hak

milik. Meskipun tanpa hak milik, penguasaan lahan tersebut tidak menjadi konflik

(antar masyarakat) karena kepemilikannya diakui oleh masyarakat. Kejelasan

kepemilikan lahan secara de facto ini merupakan faktor pendukung dalam

implementasi HTR karena target kebijakan HTR secara perorangan menjadi jelas.

Page 105: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

86 Kebijakan HTR hanya ditujukan pada masyarakat yang secara de facto memiliki

lahan di areal pencadangan HTR. Hal ini secara teknis akan memudahkan pemda

dalam hal sosialisasi dan pendampingan.

Namun demikian, budaya peladang berpindah dapat menjadi faktor

penghambat keberhasilan implementasi kebijakan HTR karena pada prinsipnya

kebijakan HTR memberikan hak pada masyarakat untuk mengelola kawasan

hutan dengan cara budidaya tanaman, khususnya tanaman berkayu, sedangkan

sistem peladangan berpindah yang cenderung memanfaatkan ketersediaan

sumberdaya alam yang ada (mencari tanah yang subur) untuk meningkatkan

produktifitas tanaman yang ditanamnya. Usaha intensifikasi seperti pengolahan

tanah, pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit

kurang atau bahkan tidak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan bimbingan dan

pendampingan secara intensif pada masyarakat untuk membudidayakan tanaman

secara menetap, khususnya dalam budidaya tanaman berkayu.

Dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 6

menyebutkan bahwa tanaman pokok yang ditanam dalam areal HTR adalah

tanaman berkayu. Hal ini menyebabkan kebiasaan masyarakat untuk menanam

tanaman berkayu juga menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan

HTR. Meskipun tanaman yang menjadi primadona masyarakat untuk ditanam

adalah karet, namun beberapa masyarakat yang menanam tanaman berkayu lain

seperti pulai, medang, mahoni, cendana, jabon dan pinang.

Karet memiliki arti penting bagi warga karena di samping sebagai sumber

penghidupan utama, karet juga dipandang sebagai jaminan hidup. Artinya, warga

akan merasa aman jika memiliki kebun karet karena karet bisa memberikan hasil

secara terus-menerus dalam jangka panjang. Bagi warga yang tidak memiliki

kebun karet, mereka dapat menyadap kebun orang lain dengan sistem bagi hasil.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor:

P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat diketahui bahwa karet merupakan salah

satu kelompok multi purpose tree species (MPTS) yang dapat dijadikan tanaman

Page 106: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

87 pokok dalam areal HTR. Kebiasaan masyarakat untuk menanam karet juga

menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan HTR.

Adat Melayu Jambi lain yang potensial mendukung kegiatan HTR adalah

adat untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh

masyarakat. Di lokasi penelitian dikenal pepatah “ladang 1 dapat padi, ladang 2

tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan”. Artinya berladang itu tidak perlu

yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan

kemampuan masyarakat untuk merawat dan mengelola lahan tersebut atau

disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga

masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota masyarakat dengan adanya

musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang

dinamakan “rembuk bertaun” (Ardi, 2011).

Filosofi dalam pepatah ini sangat potensial sebagai modal petani dalam

mengelola kawasan hutan produksi. Pepatah ini menganjurkan untuk mengelola

lahan sesuai dengan kemampuan baik secara fisik maupun finansial. Berdasarkan

hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kemampuan masyarakat untuk

mengelola lahan HTR hanya berkisar antara 2-3 hektar dalam satu tahun,

sedangkan luas kepemilikan lahan masyarakat dalam areal HTR rata-rata adalah 5

hektar. Kemampuan masyarakat mengelola lahan hingga menjadi tanaman,

menjadi patokan untuk mempredikasi bahwa dalam lima tahun akan terbangun

hutan karet yang mampu menopang kehidupan masyarakat.

Namun kenyataannya terdapat kebiasaan lain dalam masyarakat Melayu

Jambi yang menjadi faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan penelitian, diketahui bahwa

ada tiga kebiasaan yang berpotensi menghambat perkembangan HTR di Jambi

yaitu: (1) masih memandang hutan sebagai pemberian dari Allah SWT; (2)

mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian nama anak dan lain-lain) secara

besar-besaran; dan (4) masyarakat masih berjiwa subsisten.

Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian merasa hutan merupakan

pemberian Allah SWT yang diwariskan nenek moyang mereka. Mereka merasa

tidak perlu untuk mengetahui status kawasan hutan yang secara de jure adalah

milik negara. Bagi mereka, pemilik lahan adalah siapa yang paling dulu membuka

Page 107: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

88 ladang di kawasan tersebut. Di masyarakat terkenal istilah “pek pek wan, siapo

yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan

lebih dahulu terhadap sumberdaya maka dialah yang menjadi pemiliknya (Ardi,

2011). Masyarakat tidak merasa perlu legalitas lahan dari pemerintah karena

secara de facto mereka telah diakui oleh lingkungannya. Hal ini berpotensi

menghambat progress implementasi HTR apabila tidak dikelola dengan baik.

Kebiasaan lain yang dapat menghambat implementasi kebijakan HTR

adalah kebiasaan masyarakat untuk melaksanakan perhelatan (pesta) secara besar-

besaran. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat membutuhkan uang banyak

dalam waktu yang singkat. Bila demikian, sebagian masyarakat akan memilih

untuk menjual ladang mereka kepada pendatang (dari Bengkulu, Lampung atau

Sumatera Selatan). Hal ini berpotensi sebagai faktor penghambat implementasi

HTR, karena HTR tidak dapat dipindahtangankan apalagi diperjualbelikan.

Potensi konflik yang akan muncul akibat kebiasaan ini menjadi catatan yang perlu

diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

Kondisi masyarakat Melayu Jambi lain yang dapat berpotensi negatif

terhadap implementasi kebijakan HTR adalah sebagian masyarakat masih berjiwa

subsisten.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian masyarakat tidak mudah

menerima inovasi yang belum teruji, meskipun beberapa masyarakat (terutama

tokoh masyarakat) bersikap lebih terbuka dan mau mencoba inovasi baru.

Kebijakan HTR yang menuntut masyarakat untuk menanam tanaman berkayu

termasuk inovasi baru bagi masyarakat, meskipun mereka telah lama menanam

tanaman karet. Untuk itu, strategi yang dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten

Sarolangun dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk memasarkan kebijakan

HTR adalah membuat demplot di beberapa lahan masyarakat peserta HTR. Pemda

berharap agar masyarakat lain akan tertarik untuk menanam tanaman berkayu

Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi

subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima

inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena hanya

melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan (3)

memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan

hidup bersama (Scott, 1976).

Page 108: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

89 selain karet setelah melihat hasil demplot. Namun, dampak yang terjadi adalah

masyarakat justru berharap pemda juga memberikan bantuan bibit untuk lahan

mereka sebagaimana yang dilakukan pada demplot-demplot yang ada.

Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian mempunyai kecenderungan untuk

melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Sebagian besar dari mereka merasa cukup dalam keterbatasan, artinya lebih suka

dengan apa adanya. Upaya memperbaiki nasib diinilainya akan memerlukan biaya

yang tinggi dan penuh resiko (kegagalan dan ketiakpastian) (Dixon, 1982 dalam

Mardikanto, 2010). Kamaludin, 2009 menilai bahwa p

ada umumnya, mayoritas

bangsa Melayu masih memandang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan

mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Melayu, kata bekerja selalu dikaitkan

dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke kantor atau ke

tempat ia bekerja, maka ia mengatakan akan pergi mencari makan. Hal ini

mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Melayu dalam hubungannya dengan

kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah.

4.2.3. Pemasaran

Sebagian besar masyarakat mengaku belum pernah menjual/memasarkan

kayu. Umumnya kayu yang berasal dari lahan sendiri digunakan untuk keperluan

pribadi seperti membangun/merenovasi rumah dan membuat gubug kerja. Namun

sesungguhnya prospek pemasaran kayu di provinsi Jambi cukup besar.

Berdasarkan hasil penelitian Tim Kajian HTR (2007) diketahui bahwa terdapat

103 industri primer hasil hutan di Provinsi Jambi, meliputi 88 perusahaan kayu

gerjian, 9 perusahaan plywood, 3 perusahaan veneer, 1 perusahaan particle

board,1 perusahaan LVL dan 1 perusahaan pulp.

Berdasarkan hasil kajian keseimbangan pasokan dan permintaan bahan baku

kayu di provinsi Jambi (Alviya dan Nurfatriyani, 2007) diketahui bahwa pada

tahun 2004 Provinsi Jambi mengalami defisit bahan baku sebesar 591 195.22 m3

untuk permintaan bahan baku kayu aktual (konversi dari produksi kayu olahan

real) dan 2 86 095.60 m3 untuk permintaan bahan baku potensial (konversi dari

kapasitas terpasang industri), sedangkan di tahun 2005 terjadi defisit aktual kayu

bulat sebesar 1 325313.03 m3 dan defisit potensial sebesar 3 289 320.09 m3.

Page 109: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

90

Khusus untuk kabupaten Sarolangun terdapat 10 industri primer hasil hutan

dengan kapasitas terpasang sebesar 98 700m3/tahun m3/tahun (Tim kajian HTR,

2007). Bila diasumsikan rendemen industri rata-rata adalah 60% maka dibutuhkan

kayu bulat sebesar 138 180 m3/tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat

Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah

sebesar 92 773.98 m3, 41 311.51 m3 dan 48 485.6 m3 (Disbunhut Kabupaten

Sarolangun, 2007), sehingga diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar

45 500 - 96 869 m3

Prospek pemasaran kayu hasil HTR cukup besar. Salah satu perusahaan

kayu gergajian dan veneer berlokasi berdekatan dengan lokasi penelitian, yaitu PT

Samhutani. Meskipun terdapat peraturan yang mengharuskan perusahaan industri

hasil hutan (skala besar) untuk membangun hutan tanaman industri, namun

berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PT Samhutani, mereka masih

kekurangan bahan baku dan bersedia untuk menampung hasil dari hutan tanaman

rakyat sepanjang jenisnya sesuai dengan kebutuhan mereka.

/tahun. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan kayu

tersebut adalah melalui pembangunan hutan tanaman, dimana program HTR dapat

menjadi alternatif sumber bahan baku kayu di masa mendatang.

Tanaman lain yang dapat ditanam dalam areal HTR adalah karet dan

jernang. Pemasaran hasil karet di daerah ini tidak sulit, meskipun jarak desa ke

ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten cukup jauh dan aksesibilitas yang

buruk. Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil ladang (karet dan

jernang) dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil HTR

Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n % Tinggi 14 51.85 22 88.00 21 72.41 57 70.37 Sedang 10 37.04 2 8.00 4 13.79 16 19.75 Rendah 3 11.11 1 4.00 4 13.79 8 9.88

Sumber: Pujiastuti (2011)

Dari Tabel 20 diketahui bahwa persepsi masyarakat mengenai pemasaran

hasil tanaman HTR (karet dan jernang) tinggi. Namun untuk pemasaran tanaman

berkayu, sebagian besar responden tidak mengetahui sama sekali. Masyarakat

mengaku belum memiliki pengalaman menjual kayu.

Page 110: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

91

Masyarakat pada umumnya menjual getah karet kepada pedagang-pedagang

pengumpul (tauke) yang datang ke desa, untuk penjualan skala kecil. Bila

penjualan dalam skala besar, umumnya masyarakat langsung menjualnya di pasar

kecamatan atau kabupaten dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan bila

dijual ke pedagang pengumpul. Pola pemasaran karet di lokasi penelitian dapat

dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun

Di Desa Lamban Sigatal, hasil utama dari lahan HTR selain karet adalah

rotan jernang. Desa ini memang ditujukan sebagai kawasan budidaya jernang.

Pemasaran jernang di Desa Lamban Sigatal umumnya dilakukan melalui

pedagang pengumpul (tauke) di desa, yang kemudian membawa jernang ke

pedagang pengumpul kabupaten (Ardi, 2011). Pola pemasaran jernang di Desa

Lamban Sigatal dapat dilihat pada Gambar 14.

Pengumpul Jernang

Pedagang pengumpul desa (tauke desa)

Pedagang pengumpul Kabupaten (tauke kabupaten)

Pedagang pengumpul provinsi (tauke besar/ekspor)

Gambar 11. Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal Sumber : Ardi,(2010)

PETANI/PEMILIK LAHAN

PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) DESA

BURUH SADAP

PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) KECAMATAN

PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) KABUPATEN

PABRIK PENGOLAHAN KARET

PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) PROVINSI

Page 111: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

92 4.2.4. Kelangkaan Kayu

Kelangkaan kayu merupakan masalah yang serius di lokasi penelitian dan

sekitarnya saat ini. Permasalahan ini muncul setelah berkurangnya pasokan kayu

dari hutan alam akibat kebijakan yang kurang tepat di masa lalu. Berdasarkan

hasil wawancara dengan salah satu informan diketahui bahwa masyarakat sangat

sulit untuk mendapatkan kayu dengan kualitas yang baik untuk membangun

rumah di lokasi penelitian. Saat ini masyarakat hanya menggunakan tanaman

berdiameter kecil atau jenis tanaman non komersial sebagai alternatif pemenuhan

kebutuhan untuk kayu pertukangan.

Kebutuhan masyarakat terhadap kayu pertukangan yang paling utama

adalah untuk membuat dan memperbaiki rumah atau membuat gubuk di ladang.

Dua desa yang menjadi lokasi penelitian merupakan desa transmigrasi PPH

(pemukiman perambah hutan), yaitu Desa Seko Besar dan Desa Taman Bandung,

sehingga mereka telah mendapatkan jatah rumah dari pemerintah. Namun rumah

bagi mayarakat di lokasi penelitian bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi

juga merupakan lambang kemakmuran (ukuran tingkat kesejahteraan) seseorang,

sehingga membuat atau memperbaiki rumah merupakan sebuah kebutuhan bagi

masyarakat.

Simon (1994) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi masyarakat

akan kayu pertukangan merupakan fungsi dari pendapatan, pendidikan dan

kebudayaan masyarakat. Makin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka akan

makin tinggi konsumsi kayu mereka. Demikian pula semakin tinggi tingkat

pendidikan dan kebudayaan seseorang, akan makin tinggi pula konsumsi mereka

akan kayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45.68% responden menggunakan

berbagai jenis kayu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam lima tahun

terakhir, baik untuk membangun/merenovasi rumah maupun membangun gubug

di ladang. Jenis kayu yang digunakan antara lain adalah balam (Palaquium ridleyi

K.et.G), durian hutan (Durio carinatus), jabon (Anthocepalus chinensis), jelutung

(Dyera costulata), pulai (Alstonia scholaris), randu (Ceiba petandra), bangkirai

(Shorea laevifolia), kempas (Koompasia malcensis), sungkai (Peronema

canescens), medang (Litsea sp), tengkawang (Shorea pinanga) dan lain-lain.

Page 112: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

93 Umumnya kayu yang mereka gunakan berasal dari ladang mereka sendiri.

Meskipun demikian, 56.79% responden mengaku kesulitan untuk mendapatkan

kayu dengan kualitas baik, sehingga mereka terpaksa menggunakan kayu apa saja

yang tersedia dalam ladang mereka. Tingkat kesulitan responden dalam

mendapatkan kayu berkualitas baik dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu

Untuk mengetahui kebutuhan masyarakat akan kayu pertukangan dalam

penelitian ini tidak didasarkan pada pada penelitian khusus, melainkan

menggunakan data hasil survey yang dilaksanakan oleh Fakultas Kehutanan

Universitas Gadjah Mada tahun 1980 mengenai kebutuhan kayu pertukangan rata-

rata masyarakat di Jawa, yaitu 0.04 m3

Tabel 21 Kebutuhan Masyarakat akan Kayu Pertukangan

/kapita/tahun (Simon, 1994). Berdasarkan

hal tersebut, dapat diprediksi kebutuhan kayu pertukangan masyarakat akan kayu

pertukangan masyarakat desa di lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada

Tabel 21.

Kecamatan Desa Jumlah Penduduk (jiwa)

Kebutuhan Kayu (m3/tahun)

Sarolangun Ladang Panjang 1 155 46.20 Pauh Sepintun 1 557 62.28 Lamban Sigatal 1 088 43.52 Lubuk Napal 1 184 47.36 Karang Mendopo 2 010 80.40 Seko Besar 1 574 62.96 Taman Bandung 1 925 77.00 Pengidaran 1 107 44.28 Mandiangin Mandiangin Pasar 4 080 163.20 Pemusiran 1 077 43.08 Rangkiling Simpang 2 064 82.56 Total 18 821 752.84 Sumber : BPS Kabupaten Sarolangun, 2007

SULIT57%

SEDANG21%

MUDAH22%

Page 113: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

94

Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan kayu masyarakat di

sekitar areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun akan kayu pertukangan

diprediksi sejumlah 752.84 m3

Sementara itu, kebutuhan kayu industri di Kabupaten Sarolangun diprediksi

masih tinggi, bila didekati dari kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada di

Kabupaten Sarolangun, kebutuhan kayu gergajian adalah 38 700 m

/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat

masih mengandalkan kayu alam yang berasal dari kawasan hutan produksi yang

menjadi areal pencadangan HTR meskipun sangat minim.

3 pertahun,

sedangkan kebutuhan kayu untuk bahan baku veneer adalah 60 000 m3

Tabel 22 Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Kabupaten Sarolangun

pertahun

(Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007). Tabel 22 menyajikan kebutuhan kayu

untuk industri di Kabupaten Sarolangun.

Jenis Industri Nama Perusahaan Kapasitas (m3/tahun) Izin Terpasang

Kayu Gergajian CV. Belato Jaya 3 000 3 000 CV. Air Hitan Baru 6 000 6 000 CV. Wira Kayu Abadi 4 500 4 500 CV. Tambir Mas 1 200 1 200 CV. Karya Utama 1 500 1 500 CV. Dua Enam 1 500 1 500 CV. Riau Mandiri 3 000 3 000 PT. Nipah Kurnia Utama 6 000 6 000 PT. Cahaya Sangkutindo 6 000 6 000 PT. Samhutani 6 000 6 000

Veneer PT. Samhutani 60 000 60 000

Total 98 700 98 700 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2007; Badan Litbang Kehutanan, 2007.

Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kayu gergajian di

Kabupaten Sarolangun sebesar 98 700m3/tahun. Bila diasumsikan rendemen

industri rata-rata adalah 60% maka dibutuhkan kayu bulat sebesar 138 180

m3/tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun

2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah sebesar 92 773.98 m3, 41 311.51

m3 dan 48 485.6 m3 (Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007). Sehingga

diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar 45 500 - 96 869 m3

Penyediaan bahan baku kayu sebagian besar hanya mengandalkan hutan

alam. Meskipun di Provinsi Jambi terdapat tiga belas perusahaan yang

mendapatkan izin pemanfaatan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK HTI), hanya

/tahun.

Page 114: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

95 enam perusahaan yang aktif (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2010), sehingga

hutan dalam masih menjadi pemasok utama bahan baku kayu di Provinsi Jambi.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun (2007)

menyebutkan memprediksi bahwa sebagian besar dari kebutuhan kayu di

Kabupaten Sarolangun dan sekitarnya, dipasok dari areal hutan produksi eks HPH

PT. Pitco yang sekarang sebagian telah menjadi areal pencadangan HTR.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa areal pencadangan

HTR merupakan hutan bekas tebangan (logged over area/LOA) yang sebagian

besar kondisinya sudah sangat rusak karena pada umumnya merupakan areal

perladangan masyarakat. Areal perladangan ini sudah cukup lama (lebih dari 10

tahun) yang ditandai oleh adanya tanaman karet sebagai tanda penguasaan,

sehingga kondisi vegetasinya bercampur antara karet dengan vegetasi alam.

Kondisi hutan alam bekas tebangan pada areal pencadangan HTR ini hampir

mirip dengan kondisi hutan pada areal kerja PT Samhutani (Disbunhut Kabupaten

Sarolangun, 2007) Sehingga untuk memprediksi jenis dan produksi hutan alam

didekati dengan data RKUPHHK-HT PT Samhutani tahun 2007, sebagaimana

yang disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Prediksi Rata-rata Jumlah Batang dan volume (m3

JENIS

) Kayu perhektar di Lokasi Pencadangan HTR

DIAMETER 20-29 CM DIAMETER 30 CM UP Jumlah Batang Volume (m3 Jumlah Batang ) Volume (m3)

Meranti - - 0.56 0.38 Afrika 0.17 0.08 1.67 1.18 Aro ringin 0.39 0.18 3.28 2.27 Balam 0.33 0.15 0.72 0.55 Kelampayan 0.06 0.02 0.61 0.45 Kelat 0.28 0.14 2.94 1.97 Kempas 0.06 0.03 0.78 0.50 Keranji 0.22 0.11 1.28 0.86 Mahang 0.17 0.09 0.83 0.57 Medang 0.28 0.12 2.67 1.89 Merpayung 0.11 0.05 0.61 0.47 Petai 0.06 0.02 0.22 0.15 Petaling 0.11 0.07 1.06 0.68 Pulai 0.06 0.03 0.33 0.23 Sekubung 0.06 0.02 0.33 0.21 Total 2.33 1.11 18.28 12.64 Sumber: Dinas Kehutanan Sarolangun, 2007

Tabel 23 menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi eks HPH PT. Pitco

hanya memiliki potensi 12.64 m3 perhektar untuk tanaman berdiameter di atas 30

Page 115: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

96 cm dan 1.11 m3 perhektar untuk tanaman berdiameter 20-29 cm. Total luas areal

pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 18 840 ha, sehingga

diprediksi memiliki potensi 238 137.6 m3 tanaman berdiameter di atas 30 cm dan

20 912.4 m3

Kelangkaan kayu ini merupakan salah satu isu yang sangat baik

dikembangkan agar masyarakat tertarik untuk menanam jenis tanaman berkayu

lain selain karet di lokasi penelitian. Setidaknya masyarakat akan berfikir untuk

menanam jenis kayu komersial (berkualitas baik) untuk memenuhi kebutuhan

pribadi dan untuk dijual.

tanaman berdiameter 20-29 cm. Bila tidak ada upaya permudaan

tanaman, maka diprediksi areal pencadangan HTR hanya dapat memenuhi

kebutuhan industri kayu hingga 3 - 5 tahun mendatang saja.

Page 116: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN

Dalam kebijakan hutan tanaman rakyat, yang menjadi pelaku kebijakan

terdiri atas dua kelompok, yaitu pemerintah daerah selaku implementator dan

masyarakat selaku kelompok target. Kapasitas kedua kelompok ini akan sangat

mempengaruhi proses implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian.

5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah

5.1.1 Kesiapan pemerintah daerah

Kesiapan pemerintah daerah diukur melalui ketersediaan sumber daya

manusia (SDM), kualitas SDM, tingkat pengetahuan SDM mengenai HTR dan

jejaring (network) yang dimiliki dalam rangka implementasi HTR. Dari hasil

penelitian diketahui bahwa instansi pemerintah daerah yang terlibat dalam

kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan

(Disbunhut), BAPPEDA Kabupaten dan DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun.

Namun demikian, core kegiatan umumnya adalah Dinas Perkebunan dan

Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun.

Tidak ada bidang khusus yang menangani kegiatan HTR di Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Kegiatan HTR hanya menjadi

sebagian urusan Bidang Penataan Kawasan, Bina Hutan dan Konservasi Alam

(PKBHKA) khususnya seksi Inventarisasi Penataan Kawasan Hutan, Rencana

Karya dan Pemetaan (IPKRKP). Jumlah SDM yang membidangi masalah HTR

adalah tujuh orang dan dibantu oleh tiga orang dari bidang/seksi lain serta dua

orang honorer. Jumlah dan tingkat pendidikan SDM yang membidangi urusan

HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Tingkat Pendidikan SDM yang membidangi urusan HTR

Instansi PSK PSNK SK SNK SMA Jumlah Disbunhut - Seksi IPKRKP 0 1 4 1 1 7 - Seksi lainnya 0 0 3 0 0 3 - Tenaga Honorer 0 0 0 0 2 2 Bappeda 0 0 0 2 0 2 DPRD Komisi II 0 0 0 1 0 1

Keterangan : PSK=pascasarjana kehutanan, PSNK=pascasarjana non, SK=sarjana kehutanan, SNK= sarjana non kehutanan, SMA=sekolah menengah atas

Page 117: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

98 Dari 15 orang tersebut (semuanya menjadi responden dalam penelitian

ini), yang terlibat secara langsung dan sering ke lapangan hanya 26.67%,

sedangkan sisanya 33.33% responden kadang-kadang dilibatkan dan 40%

responden tidak terlibat langsung dalam kegiatan HTR. Dengan komposisi SDM

demikian, 46.7% responden merasa bahwa jumlah SDM tersebut sudah memadai

namun 53.6% responden merasa jumlahnya perlu ditambah mengingat jumlah

desa yang berbatasan dengan areal pencadangan HTR adalah sebelas desa, maka

idealnya satu desa didampingi oleh satu orang pendamping di lapangan.

Dalam mengimplementasikan kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun,

dishutbun pernah bekerjasama dengan LSM lokal (LP3D=Lembaga Penelitian

Pengembangan Potensi Desa) dan perwakilan dari proyek FLEGT (Forest Law

Enforcement, Governance and Trade) di Indonesia serta Universitas Jambi.

Pendapat responden mengenai tingkat keterlibatan dan peran institusi di luar

Disbunhut dalam implementasi HTR dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Tingkat Keterlibatan dan Peran Institusi Lain dalam Implementasi HTR

Institusi, peran dan keterlibatan Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Instansi Pemerintah lain - Tingkat Keterlibatan 1 6.67 9 60.00 5 33.33 - Peran 0 0.00 8 53.33 7 46.67 LSM/NGO - Tingkat Keterlibatan 5 33.33 7 46.67 3 20.00 - Peran 6 40.00 8 53.33 1 6.67 Universitas Jambi - Tingkat Keterlibatan 0 00.00 9 60.00 6 40.00 - Peran 2 13.33 5 33.33 8 53.33 Total Keterlibatan 4 26.66 6 40.00 5 33.33 Total Peran 3 20.00 9 60.00 3 20.00 Jejaring kerja yang terbentuk dalam rangka implementasi HTR ini pernah

berkoordinasi secara intensif pada pertengahan tahun 2007 hingga tahun 2009

dalam rangka pencadangan areal HTR hingga diterbitkannya IUPHHK-HTR di

Desa Taman Bandung. Namun saat ini intensitas koordinasi sudah sangat

berkurang, bahkan seringkali institusi lain tidak dilibatkan dalam kegiatan

implementasi kebijakan HTR. Pendapat responden terhadap tingkat koordinasi

dalam implementasi HTR saat ini dapat dilihat pada Gambar 16.

Page 118: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

99

Gambar 16 Tingkat Koordinasi Antar Institusi dalam Rangka Implementasi HTR

Dalam rangka mendukung kegiatan HTR, telah dilaksanakan sosialisasi

mengenai kebijakan HTR dan pelatihan mengenai kebijakan HTR di Kabupaten

Sarolangun. Sosialisasi dan pelatihan tersebut bukan hanya diselenggarakan oleh

Kementerian Kehutanan saja namun juga pernah diselenggarakan oleh Dinas

Kehutanan Propinsi Jambi dan FLEGT. Dari data pada Tabel 26 diketahui bahwa

66.67% responden telah mengikuti sosialisasi HTR, 33.33% responden telah

mengikuti pelatihan mengenai pendampingan HTR dan 6.67% responden telah

mendapatkan pelatihan mengenai penyusunan RKT/RKU.

Tabel 26 Distribusi Reponden Berdasarkan Sosialisasi dan Pelatihan yang Diikuti

Tema Pelatihan Dishutbun BAPPEDA DRPD Total n % n % n % n %

Sosialisasi HTR 7 58.33 2 100.00 1 100.00 10 66.67 Pendampingan HTR 5 41.67 0 0.00 0 0.00 5 33.33 Penyusunan RKT/RKU 1 8.33 0 0.00 0 0.00 1 6.67

Manfaat yang dirasakan oleh responden setelah mengikuti sosialisasi dan

pelatihan HTR dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi

Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR

TINGGI7%

SEDANG60%

RENDAH33%

sangat berguna

64%

cukup berguna

25%

tidak tahu11%

Page 119: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

100 Gambar 17 menunjukkan bahwa 11% responden tidak tahu apakah

sosialisasi dan pelatihan yang pernah mereka ikuti akan berguna bagi mereka

dalam rangka membina masyarakat dalam mengimplementasikan HTR, namun

secara umum tingkat pengetahuan responden terhadap kebijakan HTR berada

dalam katagori tinggi (60%) seperti terlihat pada Tabel 27.

Tabel 27 Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kebijakan HTR

Pengetahuan Tentang Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Definisi HTR 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Lokasi HTR 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Mekanisme pencadangan areal 9 60.00 4 26.66 2 13.33 Mekanisme penetapan izin 8 53.33 5 33.33 2 13.33 Tata cara permohonan 10 66.66 5 33.33 0 0.00 Pola HTR 10 66.66 3 25.00 2 13.33 Jenis Tanaman 9 60.00 5 3.33 1 6.67

Total Tingkat Pengetahuan 9 60.00 2 13.33 4 26.66 Jika ditelaah lebih lanjut, maka seluruh responden (100%) mengetahui

definisi dan syarat areal yang dapat dijadikan lokasi HTR. Pemahaman responden

terhadap mekanisme pencadangan areal, mekanisme penetapan izin, tata cara

permohonan, pola pengembangan HTR dan jenis tanaman juga tinggi (53%-66%).

Berdasarkan hasil penelitian, rendahnya tingkat pengetahuan responden

disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) tidak pernah mengikuti sosialisasi mengenai

HTR; dan (2) tidak terlibat langsung dalam kegiatan HTR.

Salah satu faktor yang menyebabkan aparat pemda tidak bersedia untuk

terlibat dalam kegiatan HTR adalah jarak antara rumah mereka dengan lokasi

HTR yang terbilang cukup jauh dan aksesibilitas lokasi HTR yang sulit ditempuh

terutama dalam kondisi hujan. Tabel 28 menunjukkan bahwa jarak rumah dengan

lokasi HTR berkisar antara 50–100 km yang umumnya mereka tempuh dengan

menggunakan kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil).

Tabel 28 Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah dari Lokasi HTR

Jarak

Instansi Total Disbunhut Bappeda DPRD

n % Rata-rata n % Rata-

rata n % Rata-rata n %

Rata-rata

50–66 km 3 25.0 0 0.0 1 100.0 4 26.66 74.13 67–83 km 6 50.0 76,4 2 100.0 72,5 0 0.0 50 8 53.33

84-100 km 3 25.0 0 00.0 0 0.0 3 20.00

Page 120: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

101 Buruknya aksesibilitas dan jarak lokasi HTR yang jauh menyebabkan

tingkat pengetahuan responden terhadap kondisi biofisik dan kondisi sosial

ekonomi masyarakat sekitar lokasi areal pencadangan HTR berada dalam katagori

rendah. Tabel 29 menunjukkan bahwa hanya 20% responden yang sangat

mengenal lokasi penelitian, sedangkan sisanya 26.66% responden mengenal dan

53.33% responden tidak mengenal lokasi penelitian (areal pencadangan HTR)

Tabel 29. Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Areal Pencadangan HTR

Pengetahuan Mengenai Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Kondisi biofisik areal HTR 3 20.00 6 40.00 6 40.00 Kondisi sosek masyarakat 3 20.00 4 26.66 8 53,.33 Total tingkat pengetahuan 3 20.00 4 26.66 8 53,.33 Meskipun sebagian besar responden tidak mengenal lokasi penelitian,

namun 60% responden menyebutkan bahwa lokasi tersebut sangat tepat untuk

dijadikan lokasi pengembangan HTR. Gambar 18 menunjukkan pendapat

responden mengenai kesesuaian lokasi areal pencadangan HTR.

Gambar 18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan HTR

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesiapan Pemerintah

Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan HTR berada dalam

katagori sedang-rendah, sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 30.

Tabel 30 Tingkat Kesiapan Pemerintah Daerah

Indikator Kesiapan Pemda Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Ketersediaan SDM 2 13.33 7 46.67 6 40.00 Kualitas SDM 7 46.67 6 40.00 2 13.33 Tingkat Pengetahuan SDM 3 20.00 10 66.67 2 13.33 Jejaring Kerja/Network 3 20.00 7 46.67 5 33.33

Total Tingkat Kesiapan 3 20.00 6 40.00 6 40.00

SANGAT TEPAT60%

CUKUP TEPAT33%

MUNGKIN TEPAT

7%

Page 121: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

102 5.1.2 Komitmen pemerintah daerah

Komitmen Pemda dalam penelitian ini diukur menggunakan dua indikator

yaitu pendapat responden mengenai orientasi pembangunan Kehutanan di

Kabupaten Sarolangun dan persepsi mereka terhadap implementasi kebijakan

HTR. Data pada Tabel 31 menunjukkan bahwa 46.67% responden berpendapat

bahwa orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun lebih

mengarah pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan kebijakan pembangunan HTR

menurut mereka berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Tabel 31 Orientasi Pembangunan Kehutanan dan Kebijakan HTR

Orientasi Kesejahteraan

masyarakat Ekologi Ekonomi

n % n % n % Orientasi pembangunan Kehutanan 5 33.33 3 20.00 7 46.67 Orientasi kebijakan HTR 10 66.67 1 6.67 4 26.67

Total orientasi 5 33.33 6 40.00 4 26.67 Meskipun terdapat perbedaan orientasi antara pembangunan kehutanan

Kabupaten Sarolangun dengan kebijakan HTR, 46.67% responden berpendapat

bahwa ada kemungkinan pembangunan HTR akan menguntungkan pemda.

Manfaat yang dapat diperoleh pemda melalui implementasi kebijakan HTR

adalah: (1) terjaminnya eksistensi kawasan hutan; (2) Optimalisasi pemanfaatan

kawasan hutan; dan (3) peningkatan ekonomi daerah di luar anggaran pemda.

Disamping menguntungkan bagi pemerintah daerah, 73.33% responden

berpendapat bahwa kebijakan HTR akan sangat menguntungkan bagi masyarakat.

Terdapat dua alasan yang mendasari pendapat tersebut yaitu (1) kebijakan HTR

menjamin masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi secara legal

(66.67%); dan (2) kebijakan HTR memberikan potensi income masyarakat yang

diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (33.33%).

Tabel 32. Persepsi Pemerintah Daerah terhadap Implementasi Kebijakan HTR

Persepsi Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Menguntungkan Pemda 5 33.33 7 46.67 3 20.00 Menguntungkan masyarakat 11 73.33 4 26.67 0 0.00 Sebagai alternatif pemecahan masalah 11 73.33 4 26.67 0 0.00 Total Tingkat Persepsi 3 20.00 9 40.00 3 20.00

Page 122: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

103

Persepsi 40% responden terhadap implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang. Tabel 32 menunjukkan

bahwa sebagian besar responden (73.33%) berpendapat bahwa kebijakan HTR

dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah kehutanan di Kabupaten

Sarolangun, terutama berkaitan dengan penguasaan areal hutan oleh masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kemauan/komitmen

Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan HTR

berada dalam katagori sedang sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 33.

Tabel 33 Tingkat Kemauan (Komitmen) Pemerintah Daerah

Indikator Komitmen Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Tingkat Orientasi 5 33.33 6 40.00 4 26.67 Tingkat Persepsi 3 20.00 9 60.00 3 20.00 Tingkat Kemauan/Komitmen 3 20.00 10 66.67 2 13.33 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah

dalam mengimplementasikan kebijakan HTR adalah (1) kemampuan responden

untuk menterjemahkan kebijakan HTR; (2) kemampuan responden memasarkan

HTR sebagai sebuah inovasi; (3) kemampuan responden mengadakan fasilitasi

dan pengawasan; dan (4) kemampuan responden melakukan problem solving.

Dari data yang disajikan dalam Tabel 34 diketahui bahwa tingkat

kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun berada dalam katagori

rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya kemampuan pemerintah daerah dalam

mengadakan fasilitas dan pengawasan dalam rangka implementasi kebijakan HTR

(40%) dan rendahnya kemampuan responden dalam memberikan solusi dalam

memecahkan masalah yang timbul dalam implementasi HTR (40%).

Tabel 34 Tingkat Kemampuan Pemerintah Daerah

Indikator Kemampuan Pemda Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Menterjemahkan kebijakan HTR 10 66.67 2 13.33 3 20.00 Memasarkan inovasi baru 6 40.00 6 40.00 3 20.00 Fasilitasi dan Pengawasan 4 26.67 5 33.33 6 40.00 Problem Solving 2 13.33 7 46.67 6 40.00

Total Tingkat Kemampuan 4 26.67 5 33.33 6 40.00

Page 123: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

104 Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan responden dalam

menterjemahkan kebijakan HTR tinggi (66.67%). Hal ini diduga oleh tingginya

tingkat pengetahuan responden terhadap materi kebijakan HTR (Tabel 30).

Sebagian besar responden beranggapan bahwa HTR merupakan inovasi baru yang

sangat strategis untuk memecahkan permasalahan konflik kepemilikan lahan di

Kabupaten Sarolangun.

Hasil wawancara dengan beberapa responden di lingkungan Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun menunjukkan bahwa

rendahnya tingkat fasilitasi dan pengawasan yang dilaksanakan oleh Dinas

Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun disebabkan oleh:

1. Minimnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan HTR

2. Jarak lokasi areal pencadangan HTR yang cukup jauh dengan aksesibilitas

yang rendah, terutama di musim hujan.

5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat

5.2.1 Modal fisik

Modal fisik dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan tiga indikator,

yaitu: (1) penguasaan lahan oleh responden yang berada dalam areal pencadangan

areal; (2) ketersediaan areal apabila masyarakat ingin mengajukan/menambah izin

HTR; dan (3) keberadaan tanaman dalam areal yang akan/sudah diajukan untuk

mendapatkan izin HTR. Modal fisik yang dikuasai oleh masyarakat dalam lokasi

penelitian dapat dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35 Modal Fisik

Indikator Modal Fisik Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Penguasaan lahan 51 62.96 10 12.35 20 24.69 Ketersediaan areal 15 18.52 29 35.80 37 45.68 Keberadaan tanaman 34 41.97 31 38.27 16 19.75

Total Modal Fisik 10 12.35 66 81.48 5 6.17 Berdasarkan Tabel 35, secara umum dapat dikatakan bahwa modal fisik

yang dimiliki oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian dalam implementasi HTR

masuk dalam katagori sedang (80.25%). Hal ini dipengaruhi oleh penguasaan

lahan yang tinggi (62.96%), ketersediaan areal rendah (45.68%) dan keberadaan

tanaman yang tinggi (41.97%).

Page 124: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

105 Bila ditelaah berdasarkan desa asal responden, maka diketahui bahwa

modal fisik yang dimiliki oleh Desa Lamban Sigatal dan Desa Taman Bandung

berada dalam kategori sedang dengan persentase berturut-turut adalah 88% dan

48.28%, sedangkan Desa Seko Besar memiliki modal fisik sedang–tinggi

(44.44%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 6.

Keberadaan tanaman. Penentuan skor keberadaan tanaman dalam

penelitian ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (1) ada atau tidaknya tanaman di

areal tersebut, dan (2) tanaman yang ada di lahan tersebut tumbuh sendiri atau

ditanam. Keberadaan tanaman tinggi apabila tanaman dalam lahan tersebut

ditanam, sedang apabila tanaman tumbuh sendiri dan rendah apabila lahan

tersebut belum ditanami.

Penguasaan lahan. Data dalam Tabel 40 juga menunjukkan bahwa

penguasaan lahan responden yang berada dalam kawasan areal pencadangan HTR

termasuk ke dalam katagori tinggi (62.96%), karena hampir semua responden

menguasai lahan yang berada dalam areal pencadangan HTR, meskipun belum

semua responden telah memiliki izin IUPHHK-HTR. Tabel 36 menunjukkan

bahwa dari total penguasaan lahan, rata-rata responden menguasai lahan di dalam

kawasan pencadangan HTR seluas 4.99 ha.

Tabel 36 Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan di Areal HTR1

Kriteria

Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % Rata-rata n % Rata-

rata n % Rata-rata n % Rata-

rata < 5 ha 24 88.89 7 28.00 13 44.83 44 54,32 5 – 10 ha 3 11.11 1.41 12 48.00 8.68 15 51.72 5.17 24 29,63 4.99 10 – 15 ha 0 0.00 4 16.00 1 3.45 5 6,17 > 15 ha 0 0.00 2 8.00 1 3.45 2 2,47

Rata-rata luas penguasaan lahan di areal HTR yang terkecil (1.41%)

terdapat di Desa Seko Besar karena sebagian besar penduduknya telah memiliki

lahan usaha yang berasal dari jatah pemerintah sehingga tidak menggantungkan

kebutuhan lahannya dengan membuka hutan. Desa Lamban Sigatal memiliki rata-

rata luas penguasaan lahan terbesar (8.68%) karena desa ini adalah desa asli yang

1 Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Page 125: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

106 berdiri sejak jaman Belanda sehingga untuk kebutuhan lahan usahanya penduduk

sejak dulu biasa membuka kawasan hutan.

Meskipun data dalam Tabel 36 menunjukkan bahwa penguasaan lahan

responden tinggi, namun status kepemilikan secara legal sebagian besar responden

masih belum jelas karena hasil verifikasi lahan oleh Balai Pemantapan Kawasan

Hutan (BPKH) Bangka Belitung belum diketahui. Komposisi penguasaan lahan

responden yang berada dalam areal pencadangan HTR ditunjukkan pada Tabel 37.

Tabel 37 Distribusi Responden berdasarkan Penguasaan Lahan di Areal HTR

Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n % Tidak Memiliki 11 40,74 0 0,00 8 27,59 19 23,46 Proses verifikasi 9 33,33 1 4,00 0 0,00 10 12,35 Memiliki 7 25,93 24 96,00 21 72,41 52 64,20

Pada umumnya lahan hutan yang diakui sebagai milik masyarakat

merupakan kawasan yang telah diokupasi dengan cara membuka hutan untuk

perladangan untuk kemudian berpindah ke daerah lain, membeli atau merupakan

warisan dari orang tuanya yang dulu membuka hutan di daerah tersebut.

Kepemilikan (penguasaan) ini diakui dan dihormati di lapangan oleh masyarakat

sekitar walaupun dengan batas-batas yang sumir.

Ketersediaan areal. Dengan pola seperti di atas, maka keikutsertaan

masyarakat terhadap HTR dibatasi oleh adanya penguasaan lahan masyarakat

dalam areal lokasi pencadangan HTR. Sehingga masyarakat yang tidak menguasai

lahan dalam areal pencadangan tidak dapat ikut serta dalam kegiatan HTR

meskipun mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi. Hal ini berdampak

kepada ketersediaan lahan yang termasuk dalam katagori rendah (45.68%).

5.2.2 Modal manusia

Dalam penelitian ini, modal manusia diukur melalui tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan dan tingkat pengetahuan responden. Dari hasil penelitian

diketahui bahwa modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat desa sekitar areal

pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang

(45.68%) seperti yang tersaji dalam Tabel 38. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat

Page 126: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

107 pendapatan yang rendah (80.25%), tingkat pengetahuan yang sedang (37.03%)

dan tingkat pendidikan yang sedang (80.85%).

Tabel 38 Modal Manusia

Indikator Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Tingkat pendidikan 8 9.88 65 80.25 8 9.88 Tingkat pengetahuan 22 27.16 30 37.03 29 35.80 Tingkat pendapatan 2 2.47 14 17.28 65 80.25 Modal manusia 27 33.33 37 45.68 17 20.99

Bila dilihat berdasarkan desa asal responden (lampiran 7), diketahui bahwa

modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat Desa Seko Besar berada dalam

katagori rendah (66.67%), modal manusia masyarakat Desa Lamban Sigatal

sedang (56.00%) dan modal manusia masyarakat Desa Taman Bandung berada

dalam katagori tinggi (48.29%).

Tingkat pendidikan. Lampiran 7 menunjukkan bahwa berdasarkan asal

responden, tingkat pendidikan dengan persentase tertinggi (81.48%) masuk dalam

katagori sedang terdapat di Desa Seko Besar. Tingkat pendidikan dalam penelitian

ini dipengaruhi oleh pendidikan formal dan pendidikan informal (pelatihan dan

studi banding). Bila dilihat lebih lanjut, tingkat pendidikan formal masyarakat di

daerah sekitar kawasan HTR termasuk kedalam kategori sedang yaitu sebanyak

65.43% masyarakat mengecap pendidikan hingga SD dan SMP, bahkan 19.75%

masyarakat menyelesaikan pendidikan SMU dan perguruan tinggi (Tabel 39).

Tabel 39 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n % < 6 thn 2 7.41 7 28.00 3 10.34 12 14.81 6 - 9 thn 19 70.37 15 60.00 19 65.52 53 65.43 > 9 thn 6 22.22 3 12.00 7 24.14 16 19.75

Persentase tertinggi (70.37%) responden dengan tingkat pendidikan hingga

SD - SMP terdapat di Desa Seko Besar. Diduga hal ini disebabkan karena failitas

pendidikan di Desa Seko Besar lebih baik dibandingkan dengan dua desa lainnya.

Desa Seko Besar telah memiliki fasilitas sekolah hingga tingkat SMU meskipun

kondisi gedung masih menjadi satu dengan gedung SMP. Tingkat pendidikan

Page 127: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

108 formal yang baik ini menandakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman

mereka tinggi sehingga dapat menjadi faktor kunci yang penting bagi

pengembangan kegiatan HTR di daerah tersebut.

Tingkat pengetahuan. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat pendidikan

informal responden sangat rendah. Secara keseluruhan sebanyak 76.54%

responden tidak pernah mengikuti pendidikan informal khususnya bidang

kehutanan (Tabel 40). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti masyarakat di

lokasi penelitian sebagian besar merupakan pelatihan mengenai perkebunan dan

pertanian, sedangkan pelatihan bidang kehutanan yang pernah diikuti oleh

beberapa responden yaitu mengenai konservasi hutan serta studi banding

pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan hutan rakyat di Jawa yang

kebanyakan diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat kehutanan.

Tabel 40 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Informal

Kriteria

Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman

Bandung n % n % n % n %

< 6 thn 22 81.48 17 68.00 23 79.31 62 76.54 6 - 9 thn 5 18.52 6 24.00 6 20.69 17 20.99 > 9 thn 0 0.00 2 8.00 0 0.00 2 2.47

Tingkat pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini adalah pengetahuan

masyarakat mengenai implementasi kebijakan HTR, termasuk ketentuan yang ada

dalam perundangan-undangan. Persentase tingkat pengetahuan masyarakat

mengenai kebijakan HTR dengan katagori tinggi terdapat di Desa Taman

Bandung yaitu 55.17% (lampiran 7). Hal ini disebabkan karena desa ini pernah

menjadi lokasi percontohan areal HTR di Jambi sehingga pernah dilaksanakan

sosialisasi secara intensif, sedangkan Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori

sedang (52%) dan Desa Seko Besar masuk dalam katagori rendah (70.37%).

Rendahnya tingkat pengetahuan responden di Desa Seko Besar terhadap

kegiatan HTR disebabkan oleh: (1) kurangnya dukungan yang diberikan oleh

aparat desa, (2) tidak ada pihak yang membantu proses fasilitasi serta (3) status

lahan yang masih berkonflik dengan penggunaan lain.

Konflik lahan terjadi karena sebagian dari total LU II (Lahan Usaha II) yang

ditunjuk oleh Kementerian Transmigrasi sebagai lahan garapan tambahan

Page 128: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

109 masyarakat termasuk ke dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang saat

ini ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR. Masyarakat berpendapat bahwa

lahan tersebut adalah milik mereka meskipun hingga saat ini belum ada

sertifikatnya.

Adanya program KTM (Kota Mandiri Terpadu) yang diluncurkan oleh

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menjadi salah satu penyebab

rendahnya dukungan aparat desa. Kepala desa berharap desa mereka akan

dijadikan pilot project program KTM. Dengan demikian, mereka berharap

kejelasan status LU II akan terselesaikan (sertifikat akan dikeluarkan oleh

pemerintah). Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden yang

menguasai lahan di areal HTR, mereka berharap areal tersebut dapat menjadi hak

milik sebagai lahan usaha yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai

transmigran. Dengan demikian jatah lahan mereka sama luasnya dengan

masyarakat lain yang lahan usahanya tidak berada di dalam areal HTR.

Tingkat pendapatan. Menurut Sayogyo (1991) sebagaimana diacu oleh

Salim (1980), yang paling mudah untuk menentukan tingkat kemiskinan adalah

pada ekonomi rumah tangga, yaitu tingkat mencapai kebutuhan dasar manusia.

Salim (1980) menyebutkan bahwa berdasarkan kriteria Sayogyo (1977) tingkat

pendapatan petani miskin di daerah pedesaaan adalah setara dengan 240-320 kg

perkapita pertahun. Bila diasumsikan 1 KK memiliki empat anggota keluarga,

maka setiap KK hendaknya berpenghasilan setara dengan 960-1 280 kg beras

dalam satu tahun. Dengan kondisi jalan yang buruk, harga beras di lokasi

penelitian berkisar antara Rp.10 000.00 hingga Rp.15 000.00 tergantung cuaca.

Sehingga pendapatan minimal responden dalam katagori miskin di lokasi

penelitian hendaknya berkisar antara 9.6 juta rupiah– 19.2 juta rupiah pertahun.

Bila dihitung berdasarkan nilai hasil perhitungan kebutuhan hidup layak

(KHL) perkapita masyarakat desa di lokasi penelitian diketahui adalah sebesar 32

juta rupiah. Perhitungan ini didasarkan pada pengeluaran rumah tangga

masyarakat yang setara dengan nilai 800 kg beras/orang/tahun berdasarkan harga

rata-rata patokan untuk kebutuhan fisik minimum (KFM) 320 kg, pendidikan 160

kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg (Sinukaban 2007). Perhitungan kebutuhan

Page 129: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

110 hidup layak (KHL) masyarakat di sekitar hutan di lokasi penelitian selengkapnya

tertera pada Tabel 41.

Tabel 41 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Masyarakat di Sekitar Hutan

Jenis Pengeluaran % Kg

Beras Harga Beras

(Rp/kg)Pengeluaran (Rp/orang1) /

Jumlah Keluarga th)

Kebutuhan (Rp/KK2) / th)

KFM 100 320 10 000 3 200 000 4 12 800 000

Pendidikan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000

Kesehatan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000

Sosial/Tabungan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000

KHL

8 000 000

32 000 000

1) rata-rata harga beras di lokasi penelitian pada saat penelitian 2) diasumsikan jumlah anggota keluarga 4 orang

Bila ditinjau dari tingkat pendapatan responden (Tabel 47), maka sebagian

besar responden (80.25%) berada dalam katagori rendah dengan pendapatan rata-

rata 10 juta rupiah pertahun. Pendapatan rata-rata responden tertinggi adalah Rp.

12.68 juta rupiah terdapat di Desa Lamban Sigatal dan rata-rata pendapatan

terendah adalah 6.83 juta rupiah di Desa Seko Besar. Jumlah pendapatan ini

masih jauh dari katagori dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, sebagaimana

yang tercantum dalam Tabel 42.

Tabel 42 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan (dalam Jutaan Rupiah)2

Kriteria

Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % Rata-rata n % Rata-

rata n % Rata-rata n % Rata-

rata Tinggi 0 0.00 1 4.00 1 3.45 2 2.47 Sedang 2 7.41 6.83 9 36.00 12.68 3 10.35 10.71 14 17.28 10.02 Rendah 25 92.59 15 60.00 25 86.20 65 80.25

Sumber pendapatan responden sebagian besar berasal dari getah karet baik

dari lahan sendiri maupun dari hasil menjadi buruh karet atau sebagai pedagang

pengumpul. Mereka biasanya menyadap getah enam kali dalam satu minggu dan

hasilnya rata-rata bisa mencapai 50-100 kg/minggu. Harga getah karet yang

digunakan untuk perhitungan pendapatan dalam penelitian ini adalah

Rp.15.000/kg yang merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini

dilaksanakan. Sumber pendapatan lainnya diperoleh dari usaha dagang, ternak,

2 Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Page 130: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

111 wiraswasta dan honor atau gaji PNS. Pendapatan responden di Desa Lamban

Sigatal lebih besar dibandingkan dengan dua desa lainnya karena di desa tersebut

kebanyakan responden mendapatkan tambahan penghasilan dari mengambil atau

mencari getah jernang.

5.2.3 Modal sosial

Modal sosial dalam penelitian diukur dengan menggunakan instrument

berupa Measuring Social Capital an Integratesd Quisioner (SC-IQ) yang telah

dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian dan tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini. Modal Sosial yang diukur adalah (1)

kepercayaan terhadap sesama, (2) kepatuhan terhadap norma, (3) kepedulian antar

sesama dan (4) keterlibatan dalam organisasi sosial.

Hasil penelitian (Tabel 43) menunjukkan bahwa modal sosial di lokasi

penelitian termasuk dalam katagori sedang (53%). Bila dilihat berdasarkan desa

asal responden (lampiran 8) diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki oleh

masyarakat di ketiga lokasi termasuk ke dalam katagori sedang, dengan persentase

44.4% untuk Desa Seko Besar, 56% untuk Desa Lamban Sigatal dan 48.27%

untuk Desa Taman Bandung.

Tabel 43 Modal Sosial

Indikator Tinggi Sedang Rendah n % n % n %

Kepercayaan terhadap sesama 12 14.81 38 46.91 31 38.27 Kepatuhan terhadap norma 40 49.38 30 37.04 11 13.58 Kepedulian kepada sesama 42 51.85 34 41.98 5 6.17 Keterlibatan dalam organisasi sosial 28 68.29 40 49.38 13 16.05

Modal Sosial 16 19.75 43 53.09 23 28.36

5.2.3.1 Tingkat kepercayaan terhadap sesama

Tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian masuk

ke dalam katagori sedang (46.91%). Tabel 44 menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat (41%) mudah percaya terhadap orang yang berasal dari desa yang

sama, namun 61% responden mengaku sulit percaya orang asing. Perbedaan suku

dan agama tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan responden. Namun sebagian

besar masyarakat (70.37%) berhati-hati untuk percaya pada orang lain bila

berhubungan dengan uang. Kondisi ini menurut 53% responden sama saja dengan

Page 131: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

112 kondisi lima tahun yang lalu dan 30% responden mengatakan lebih baik dari lima

tahun yang lalu.

Tabel 44 Tingkat Kepercayaan Masyarakat

Latar Belakang Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Desa yang sama 41 50.62 38 46.91 2 2.47 Desa yang berbeda (asing) 11 13.58 61 75.31 9 11.11 Suku berbeda 36 44.44 25 30.86 20 24.69 Agama beda 39 48.15 21 25.93 21 25.93 Uang 2 2.47 57 70.37 22 27.16 Mayoritas masyarakat mudah percaya kepada aparat pemerintah. Tabel 44

memperlihatkan bahwa 88.89% responden mudah percaya kepada guru dan

61,73% responden mudah percaya pada pemerintah daerah. Meskipun demikian,

sebagian besar responden (50.62%) mengaku berhati-hati untuk percaya kepada

pemerintah pusat dan sulit percaya kepada polisi (38.27%).

Tabel 45 menunjukkan bahwa meskipun 75.31% responden mengaku

berhati-hati percaya dengan orang asing, namun sebagian besar responden

(43.21%) mengaku mudah percaya dengan LSM/NGO. Hal ini disebabkan karena

lokasi ini sering mendapatkan sosialisasi dan pendampingan dari beberapa LSM

terkait kehutanan, pertanian dan lingkungan hidup.

Tabel 45 Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Aparat Pemerintah

Tingkat Kepercayaan Terhadap

Tinggi Sedang Rendah

n % n % n % Pemerintah Daerah 50 61.73 23 28.40 8 9.88 Pemerintah Pusat 29 35.80 41 50.62 11 13.58 LSM 35 43.21 19 23.46 27 33.33 Polisi 28 34.57 12 14.81 31 38.27 Guru 72 88.89 9 11.11 0 0.00 5.2.3.2 Tingkat kepatuhan terhadap norma

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku di desa

mereka termasuk dalam katagori tinggi (49.38%). Ini berarti masyarakat masih

sangat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dalam lingkungan mereka. Tingkat

kepatuhan masyarakat Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal masuk ke dalam

Page 132: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

113 katagori tinggi (37.04% dan44%), sedangkan tingkat kepatuhan masyarakat desa

Taman Bandung termasuk dalam katagori Sedang (55.17%) (Lampiran 8).

Dalam memutuskan sebuah perkara (termasuk perkara di bidang

kehutanan), 67.3% masyarakat menggunakan hukum adat, sedangkan sisanya

24.69% menggunakan hukum pemerintah dan 13.58% menggunakan hukum

agama (Tabel 46). Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Taman Bandung

umumnya lebih memilih untuk menggunakan hukum adat dalam memutuskan

suatu perkara, sementara masyarakat Desa seko besar memilih untuk

menggunakan hukum pemerintah. Hal ini diduga karena Desa Seko Besar

merupakan areal transmigrasi dengan penduduk mayoritas adalah pendatang (dari

Jawa, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan), sehingga merasa kurang cocok

dengan hukum adat Jambi yang digunakan oleh masyarakat pribumi dalam

kehidupan sehari-hari.

Tabel 46 Hukum yang Berlaku di Kalangan Masyarakat

Hukum Adat Agama Pemerintah

n % n % n % Desa Seko Besar 11 40.74 4 14.81 12 44.44 Desa Lamban Sigatal 19 76.00 2 8.00 4 16.00 Desa Taman Bandung 20 68.97 5 17.24 4 13.79

Total 50 61.73 11 13.58 20 24.69

5.2.3.3 Kepedulian kepada sesama

Tabel 47 menunjukkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat kepada

sesama termasuk dalam katagori tinggi (51.85%). Hal ini dapat dilihat dari tingkat

keakraban yang sedang (59.26%) dan keinginan untuk saling membantu yang

tinggi (66.67%). Tingkat keakraban dapat dilihat dari banyaknya jumlah teman

akrab yang dimiliki oleh responden dan jumlah orang yang mau membantu bila

mereka dalam kesulitan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 65%

responden memiliki teman akrab lebih dari lima orang dan 51% responden merasa

aman meninggalkan keluarga bila ingin bepergian jauh karena lebih dari lima

orang yang bersedia menjaga anak mereka.

Bila dilihat dari desa asal responden diketahui bahwa tingkat kepedulian

masyarakat di Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori tinggi (52%),

sedangkan tingkat kepedulian masyarakat Desa Seko Besar dan Desa Taman

Page 133: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

114 Bandung masuk dalam katagori sedang dengan persentase 48.15% dan 55.17%

(Lampiran 8). Tingginya tingkat kepedulian di Desa Lamban Sigatal diperkirakan

karena Desa Lamban Sigatal merupakan desa asli (bukan lokasi transmigrasi)

sehingga tingkat keragaman masyarakat (suku dan agama) rendah dan hubungan

kekerabatan antar masyarakat tinggi. Dengan kata lain, rata-rata penduduk Desa

Lamban Sigatal masih bersaudara satu sama lainnya. Tingkat kepedulian

masyarakat terhadap sesama dapat dilihat pada Tabel 47.

Tabel 47 Kepedulian terhadap Sesama

Indikator Tingkat Kepedulian terhadap Sesama

Tinggi Sedang Rendah n % n % n %

A. TINGKAT KEAKRABAN • Jumlah teman 53 65.43 16 19.75 12 14.81 • Jumlah teman yg membantu 34 41.98 29 35.80 18 22.22 • Teman yg bersedia menjaga anak 41 50.61 25 30.86 15 18.52 • Persepsi ttg tingkat keakraban 27 33.33 49 60.49 5 6.17 • Persepsi ttg tingkat keberagaman 10 12.35 54 66.67 17 20.99 • Masalah akibat keberagaman 57 70.37 15 18.52 9 11,11

TOTAL 28 34.57 48 59.26 5 6.17

B. KESEDIAAN SALING BANTU • Kesediaan membantu uang 37 45.68 21 25.93 23 28.39 • Kesediaan membantu teman yg

kena musibah

81

100.00

0

0.00

0

0.00 • Kesediaan membantu hajatan 81 100.00 0 00.00 0 0.00 • Kesediaan membantu program

pemerintah yg tdk berdampak langsung pada dirinya

42

51.85

38

46.91

1

1.23 • Kesediaan berbagi sarana produksi 63 77.78 16 19.75 2 2.47

TOTAL 54 66.67 21 25.93 6 7.41 Kepedulian Terhadap Sesama 42 51.85 34 41.98 5 6.17

5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial

Bila dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial berdasarkan asal

responden (Lampiran 8) maka akan terlihat bahwa ketiga desa yang menjadi lokasi

penelitian termasuk dalam katagori sedang dengan persentase 55.55% desa Seko Besar,

48% Desa Lamban Sigatal dan 44.82% Desa Taman Bandung.

Tingkat keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masuk dalam

katagori sedang (49.38%). Mayoritas masyarakat aktif (47%) dalam berbagai kegiatan,

terutama pengajian mingguan/bulanan dan arisan. Masyarakat desa umumnya bekerja di

ladang yang jauh dari rumah mereka, sehingga sebagian besar harus menginap di ladang.

Page 134: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

115 Mereka akan pulang pada hari Jumat siang untuk melakukan ibadah pada hari jumat dan

melakukan kegiatan sosial pada hari Sabtu/Minggu. Tingkat keterlibatan masyarakat

dalam organisasi soial yang mereka ikuti dapat dilihat pada Tabel 48.

Tabel 48. Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Sosial (Network)

Indikator Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi

Tinggi Sedang Rendah n % n % n %

A. KERAGAMAN ORGANSASI • Jumlah organisasi yang diikuti 5 6.17 45 55.55 31 38,27 • Keragaman latar belakang ekonomi 20 24.69 29 35.80 32 39.51

TOTAL 3 3.71 40 49.38 38 46.91 B. TINGKAT PARTISIPASI

• Asal mula menjadi mengikuti organisasi (ikut membentuk, sukarela, diundang)

22

27.16

28

34.57

31

38.27

• Keaktifan dalam organisasi 25 30.86 39 48.25 17 20.99 • Keikutsertaaan dalam 1 tahun

terakhir 41 50.62 21 25.96 19 23.47

TOTAL 39 48.15 25 30.86 17 20.99 C. KERJASAMA

• Pengambilan Keputusan 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjasama dalam kelompok 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjsama dengan kelompok lain 43 53.09 25 30.87 13 16.05

TOTAL 34 41.98 33 40.74 14 17.28 D. KEBIJAKAN HTR

• Penyuluhan HTR 44 54.32 14 17.28 23 28.40 • Aktif di HTR 9 11.11 29 35.80 43 53.08

TOTAL 28 34.67 22 27.16 31 38.27 TOTAL KETERLIBATAN 28 34.56 40 49.38 13 16.05

Salah satu organisasi sosial yang ada di masing-masing desa asal responden adalah

kelompok tani. Organisasi ini umumnya dibentuk untuk memudahkan komunikasi

masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama. Di Desa Lamban Sigatal, kelompok

tani dibentuk dalam rangka pengembangan jernang, sedangkan di Desa Taman Bandung,

kelompok tani dibentuk dalam rangka pengembangan HTR. Belakangan, di Desa Lamban

Sigatal mulai dibentuk kelompok tani HTR.

Tingkat keaktifan masyarakat Desa Taman Bandung pada saat inisiasi HTR baru

dimulai (tahun 2007-2009) sangat tinggi. Pertemuan mingguan selalu dilaksanakan untuk

membahas berbagai hal mengenai HTR. Namun saat ini tingkat keaktifan masyarakat

sudah sangat menurun, meskipun beberapa responden mengaku kelompok mereka tetap

aktif melakukan pertemuan-pertemuan.

Page 135: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI

Setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya

dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi

kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode

berjalannya suatu kebijakan. Parsons (2005) mengungkapkan bahwa riset evaluasi

hendaknya membahas dua dimensi, yaitu: (1) bagaimana sebuah kebijakan bisa

diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan; dan (2) dampak aktual dari kebijakan.

Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah: (1)

meningkatkan produktifitas lahan hutan terdegradasi; dan (2) memberdayakan

masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan tersebut, terdapat dua indikator

keberhasilan implementasi kebijakan HTR yaitu (1) jumlah luas hutan produksi

yang telah mendapatkan izin pemanfaatan; dan (2) tingkat partisipasi masyarakat

dalam implementasi HTR.

6.1. Peningkatan Produktifitas Hutan Versus Pemberdayaan Masyarakat

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011), luas

hutan produksi yang telah mendapatkan izin HTR hingga Februari 2011 adalah

seluas 101 012.5 ha atau hanya sekitar 15.91% dari keseluruhan areal yang telah

dicadangkan untuk HTR. Melihat kecilnya realisasi HTR, dapat disimpulkan

bahwa kebijakan HTR belum mampu menjadi tools dalam mengurangi jumlah

lahan kritis di Indonesia, mekipun secara jelas disebutkan bahwa tujuan HTR

adalah meningkatkan produktifitas hutan produksi.

Data Statistik Kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa luas lahan kritis

dalam kawasan hutan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 82 juta ha

(Kemenhut 2011a). Terkait agenda rehabilitasi lahan kritis (pro environment)

yang merupakan salah satu misi HTR, target pencadangan HTR seluas 5.4 juta ha

pada tahun 2016 hanya akan mampu memperbaiki 6.6% dari luas lahan kritis yang

ada pada saat ini (dengan asumsi tingkat keberhasilan 100%). Realisasi HTR yang

rendah menunjukkan bahwa kontribusi kebijakan HTR dalam memperbaiki

kondisi hutan produksi masih sangat kecil.

Berdasarkan perhitungan luas efektif/rasionalisasi kawasan hutan diketahui

bahwa luas hutan yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil adalah

Page 136: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

118 5.6 juta ha dimana 68% diantaranya termasuk ke dalam kawasan hutan produksi.

Alokasi lahan tersebut bukan hanya ditujukan untuk pengembangan hutan

tanaman rakyat saja, namun termasuk juga untuk pengembangan hutan

kemasyarakatan dan hutan desa (Kemenhut, 2011b). Melihat fenomena ini,

terdapat dua hal yang perlu dikaji secara mendalam yaitu: 1) alokasi kawasan

untuk pengusahaan hutan skala kecil; 2) kemampuan masyarakat untuk mengelola

hutan secara profesional.

Dasar penetapan alokasi luas lahan untuk pengusahaan hutan skala kecil ini

adalah proses analisis spasial yang menghasilkan peta arahan indikator rencana

kehutanan tingkat nasional (Kemenhut 2011b). Oleh karena itu, Kementerian

Kehutanan dalam RKTN 2010-2030 merevisi kembali target pembangunan HTR

menjadi 2.6 juta ha pada tahun 2030. Dengan demikian, sumbangan kebijakan

HTR dalam memperbaki kondisi hutan produksi yang terdegradasi hanya 3.1%

dari total luas lahan kritis yang ada saat ini.

Luas lahan kritis di Propinsi Jambi seluas 2.2 juta ha (Kemenhut, 2011),

sedangkan luas pencadangan HTR di Propinsi Jambi adalah 38 963 ha. Dengan

demikian, hanya 0.8% luas lahan kritis di Propinsi Jambi yang dapat diperbaiki

melalui kebijakan HTR (bila implementasi kebijakan HTR berhasil 100%).

Luas hutan produksi yang terdapat di Propinsi Jambi adalah 931 121 ha

dimana 97 116 (10%) diantaranya terdapat di Kabupaten Sarolangun (Dinas

Kehutanan Propinsi Jambi, 2011). Luas pencadangan HTR di Kabupaten

Sarolangun adalah 18 840 ha. Hal ini berarti kebijakan HTR hanya ditargetkan

untuk memperbaiki 19.4% kondisi hutan produksi di Kabupaten Sarolangun.

Uraian di atas menggiring kita pada pernyataan bahwa peranan kebijakan

HTR dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi sangat kecil, meskipun

secara jelas dan konsisten dipaparkan dalam setiap kebijakan terkait HTR bahwa

tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kondisi hutan produksi. Latar

belakang kebijakan HTR sebagai instrumen untuk mengamankan kawasan hutan

produksi yang secara de facto menjadi open acces paska berakhirnya konsesi

HPH, belum mampu menempatkan kebijakan HTR sebagai alternatif solusi

terbaik dalam pengelolaan hutan produksi. Alokasi pengelolaan hutan terbesar

masih diserahkan kepada pihak pengusaha hutan skala besar.

Page 137: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

119

Oleh karena itu, tujuan HTR sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat

perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Kehutanan. Sunderlin et al. (2005)

mencatat bahwa kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di

negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang tindih.

Lebih lanjut Sunderlin et al. (2005) mengemukakan bahwa hutan dapat membantu

menghindari atau mengurangi kemiskinan dengan menyediakan sumber-sumber

pendapatan kecil dan merupakan jaring pengaman dalam masa-masa yang sulit.

Hutan dapat membantu menghapuskan kemiskinan dengan memfungsikannya

sebagai sumber tabungan, investasi, aset pembangunan dan peningkatan

penghasilan dan kesejahteraan secara permanen.

Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk

Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237 556 363 orang, dimana

48.8 juta jiwa (12%) tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan (Brown, 2004).

Lebih lanjut Brown (2004) mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk yang

hidup di dalam kawasan hutan tersebut, 10.2 juta jiwa (25%) diantaranya

tergolong dalam kategori miskin (Brown, 2004). Bila diasumsikan dalam satu

keluarga terdiri atas 4 jiwa, maka terdapat ±2.55 juta KK penduduk miskin yang

harus diberdayakan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang

Kehutanan, termasuk kebijakan HTR.

Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 hanya

mengalokasikan 6 456 911 ha sebagai kawasan hutan yang ditujukan sebagai

kawasan pengusahaan hutan skala kecil (masyarakat), dimana 1 882 404 ha di

antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, 2 274 013 ha kawasan hutan

produksi, 2 150 085 ha kawasan hutan produksi terbatas dan 150 408 hutan

produksi yang dapat dikonversi. Kawasan ini ditujukan untuk memberikan akses

pada masyarakat dalam mengelola hutan melalui kebijakan hutan kemasyarakatan,

hutan adat dan hutan tanaman rakyat.

Bila diasumsikan kemampuan masyarakat mengelola hutan adalah 15

ha/KK (sesuai Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011) maka jumlah masyarakat

yang dapat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan di kawasan yang telah

ditunjuk hanya berjumlah 430 460 KK. Hal ini berarti hanya sekitar 17% dari total

penduduk miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan yang dapat mengelola hutan

Page 138: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

120 secara legal (diakui secara sah oleh Pemerintah) dan 83% lainnya harus mencari

pekerjaan di luar kawasan hutan.

Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu alat pengentasan

kemiskinan (pro poor), maka dalam konsepnya kebijakan HTR harus mampu

mengatasi permasalahan kemiskinan ini. Pendekatan yang digunakan untuk

mengentaskan kemiskinan dalam kebijakan HTR adalah membuka akses

masyarakat dalam mengelola hutan produksi yang diharapkan akan berdampak

pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk itu ditetapkan target sebesar

600 000 hektar pertahun, dengan harapan minimal 40 000 KK akan terlibat dalam

kegiatan ini setiap tahunnya (dengan asumsi 1 KK mengelola maksimal 15 ha).

Secara teoritis, hal ini berarti dalam masa 4 tahun minimal 160 000 KK (atau

6.3% dari total jumlah orang miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan) dapat

ditingkatkan taraf hidupnya melalui kebijakan hutan tanaman rakyat.

Data kesejahteraan dari BKKBN Kabupaten Sarolangun (2007) juga

menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat disekitar hutan belum sejahtera.

Tingkat keparahan kemiskinan (poverty severity) di wilayah ini lebih tinggi

dibandingkan dengan kondisi umum Kabupaten Sarolangun. Data BPS (2007)

menunjukkan bahwa Kabupaten Sarolangun memiliki masyarakat pra sejahtera

sebanyak 8 102 kepala keluarga dari 50 780 keluarga atau sebanyak 15.95%.

Masyarakat di sekitar lokasi pencadangan HTR (kawasan hutan Bukit Bahar –

Tajau Pecah) digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan

rendah (kelas Pra Sejahtera 28% dan kelas Sejahtera I 29%).

Dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat petani di kawasan hutan

tersebut, Pemda Kabupaten Sarolangun memohon izin pencadangan kawasan di

Bukit Bahar Tajau Pecah wilayah Sarolangun untuk dibangun menjadi kawasan

Hutan Tanaman Rakyat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor

386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008 telah dicadangkan seluas 18 840

hektar kawasan hutan untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bila diasumsikan 15 ha/KK

maka diprediksi kebijakan HTR akan mampu melibatkan 1256 KK atau 15.6%

dari masyarakat pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun.

Namun realisasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - HTR

(IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sarolangun hingga

Page 139: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

121 Maret 2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa

Taman Bandung Kecamatan Pauh. Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi

IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya 0.82% dari SK pencadangan, atau

hanya 1.43% dari target KK yang dapat diberdayakan melalui kebijakan ini.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata masyarakat di lokasi

penelitian menguasai lahan di areal yang telah dicadangkan di areal HTR seluas 5

hektar (Tabel 41), sementara kemampuan mereka untuk mengelola lahan secara

intensif adalah 2-3 hektar/KK. Fenomena ini mengajak kita untuk meninjau ulang

dasar peraturan yang menyebutkan bahwa luas areal maksimum yang dapat

dikelola oleh masyarakat adalah 15 hektar.

Bila luas lahan maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat disesuaikan

dengan luas penguasaan lahan rata-rata petani dalam kawasan hutan di lokasi

penelitian (5 hektar) maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan

HTR di Kabupaten Sarolangun bertambah menjadi 3 768 KK. Sehingga diprediksi

bahwa kebijakan HTR dapat melibatkan 47% masyarakat dari keluarga pra

sejahtera di Kabupaten Sarolangun. Secara teoritis, hal ini berarti kebijakan HTR

akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Sarolangun sebanyak

50% (jumlah keluarga pra sejahtera berkurang dari 15,95% menjadi 7,42%),

dengan asumsi tingkat keberhasilan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 100%.

Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar masyarakat menguasai

lahan di areal pencadangan HTR dengan luasan yang beragam dan sporadis. Oleh

karena itu, 90% areal pencadangan HTR telah dikuasai oleh masyarakat secara de

facto. Pembatasan luas dalam perizinan HTR di Kabupaten Sarolangun secara

tidak langsung juga dapat mengendalikan distribusi pendapatan, sehingga tingkat

kesejahteraan masyarakat dapat berlangsung secara merata.

6.2. Tingkat Partisipasi

Ketimpangan (gap) yang terjadi pada implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun dapat diukur melalui tingkat partisipasi masyarakat.

Partisipasi merupakan suatu proses dinamis dalam pengelolaan hutan dimana para

pelaku saling mempengaruhi dan berbagi kontrol terhadap ide-ide pengembangan,

pengambilan keputusan dan penggunaan sumberdaya yang mempengaruhinya

(Bank Dunia, 1996 dalam Sinha & Suar, 2005). Dalam pengertian yang sempit,

Page 140: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

122 partisipasi di dalam suatu kelompok sama dengan jumlah anggota yang ikut serta,

namun dalam pengertian yang lebih luas dapat didefinisikan sebagai individu

yang memiliki suara dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan.

Penelitian Sinha & Suar (2005) membedakan partisipasi masyarakat

menjadi partisipasi langsung dan tidak langsung. Yang termasuk partisipasi

langsung antara lain keterlibatan individu dalam kegiatan pertemuan, berperan

aktif dalam pertemuan, berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan, pengawasan

dan evaluasi kegiatan. Sedangkan yang termasuk partisipasi tidak langsung antara

lain mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, memotivasi anggota keluarga dan

orang lain, mendukung secara moral terhadap transparansi pelaksanaan kegiatan.

Tabel 49 menunjukkan distribusi masyarakat yang berminat untuk ikut serta

dalam program HTR. Dari tabel tersebut diketahui bahwa 54.32% responden

memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan HTR. Ikut serta yang dimaksud

dalam konteks ini adalah mereka yang sudah memiliki izin pengelolaan HTR atau

sedang dalam proses pengurusan izin HTR.

Tabel 49 Distribusi Responden yang Berminat Ikut Serta dalam Program HTR

Ikut Serta Desa

TOTAL Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n % Ya 3 11.11 23 92.00 19 65.52 44 54.32 Tidak 24 88.89 2 8.00 10 34.48 37 45.68 Sumber : Pudjiastuti (2010)

Tabel di atas menunjukkan bahwa responden yang memutuskan untuk ikut

serta dalam kegiatan HTR di Desa Seko Besar hanya sebanyak 11.11%.

Rendahnya keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR ini

disebabkan karena belum banyak masyarakat yang mengetahui dan mengenal

HTR. Kegiatan HTR yang dilakukan di Desa Seko Besar baru pada tahap

sosialisasi dan pengenalan.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat Desa Seko

Besar untuk berpartisipasi adalah masalah land tenure (konflik lahan). Status

lahan yang dicadangkan sebagai areal HTR di Desa Seko Besar tumpang tindih

dengan lahan usaha (LU2), meskipun setelah dilakukan verifikasi lapangan lahan

tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi. Hal ini mendapat tantangan

terutama dari masyarakat yang belum mendapatkan jatah LU2 karena jika lahan

Page 141: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

123 tersebut masuk ke dalam kawasan hutan, maka mereka tidak akan mendapatkan

sertifikat hak milik. Kendala lain datang dari kepala desa yang tidak menyetujui

kebijakan HTR sehingga proses administrasi pengajuan izin HTR bagi yang ingin

ikut serta terhambat. Untuk itu perlu adanya koordinasi dengan instansi lain

terkait terutama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Sosialisasi HTR di Desa Lamban Sigatal, telah dilaksanakan dan proses

pengajuan izin HTR sedang berjalan, hasilnya sebanyak 92% responden yang

terpilih berminat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR. Identifikasi

kepemilikan lahan di areal pencadangan HTR di Desa Lamban Sigatal sedang

dilakukan. Upaya pengajuan izin HTR dilakukan dengan pembentukan

kelompok-kelompok tani. Sampai dengan tahun 2010 telah terbentuk 14

kelompok tani HTR. Pemetaan areal telah dilakukan pada 10 kelompok tani

dengan anggota 57 kepala keluarga dan luas 529 ha. Jumlah ini cukup besar

karena masih menunggu kepastian hasil pemetaan dan verifikasi lahan.

Responden yang ikut serta dalam kegiatan HTR di Desa Taman Bandung

sebanyak 65.52%. Responden tersebut adalah mereka yang telah memiliki izin

HTR perorangan atau yang sedang dalam proses pengajuan izin. Jumlah

responden yang ikut serta di desa ini lebih kecil dibandingkan dengan Lamban

Sigatal karena proses pemetaan dan verifikasi lahan telah selesai sehingga

penataan kawasan telah jelas. Responden yang lahannya berada di luar kawasan

HTR tidak dapat ikut serta dalam kegiatan HTR walaupun mereka tertarik untuk

ikut serta. Dari responden yang mempunyai lahan di areal HTR juga mulai turun

minatnya untuk ikut serta karena mereka yang sudah keluar izin HTRnya sampai

saat ini juga masih belum ada kegiatan atau masih belum bisa menanam karena

kekurangan modal. Mereka masih ingin melihat terlebih dahulu apakah ada

keuntungan yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut.

Winarto (2003) mengemukakan bahwa masyarakat akan tergerak untuk

berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila: (1) partisipasi dilakukan melalui

organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah masyarakat yang

bersangkutan; (2) partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat

yang bersangkutan; (3) manfaat yang diperoleh tersebut dapat memenuhi

Page 142: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

124 kepentingan masyarakat setempat; dan (4) dalam proses partisipasi terdapat

jaminan kontrol oleh masyarakat.

Implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian belum mampu membuat

masyarakat merasa bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan apabila

berpartisipasi dalam kebijakan HTR. Menurut mereka akan sama saja apabila

mereka ikut HTR atau tidak, karena lahan yang menjadi areal pencadangan HTR

telah mereka kuasai sejak dahulu dan diakui secara de facto oleh masyarakat

setempat.

Masyarakat menuntut hal yang lebih dari pemerintah agar memenuhi

kebutuhan mereka terhadap biaya pembuatan hutan, seperti penyediaan bibit,

pemupukan, biaya pemeliharaan. Oleh karena itu, meskipun tingkat keinginan

masyarakat untuk ikut serta dalam implementasi HTR tinggi (54.32%), namun hal

ini tidak diikuti dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Sebanyak 81.48%

responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dengan skor nilai rata-rata

5.16 dari skor maksimal 123 (Pudjiastuti, 2011). Tingkat partisipasi masyarakat

dalam kegiatan HTR dapat dilihat pada Tabel 50.

Tabel 50 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasi

Kriteria

Kegiatan HTR Total Kegiatan Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan Pemeliharaan

dan Evaluasi n % n % n % n % n %

Tinggi 11 13.58 3 3.70 0 0.00 0 0.00 1 1.23 Sedang 20 24.69 29 35.80 3 3.70 11 11.11 14 17.28 Rendah 50 61.73 49 60.49 78 96.30 72 88.89 66 81.48

Sumber: Pudjiastuti, 2011

Tabel di atas memperlihatkan bahwa implementasi kegiatan HTR di lokasi

penelitian masih dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini terlihat dari

tingkat partisipasi responden yang tinggi hanya terjadi pada kedua tahap kegiatan

tersebut. Selebihnya tingkat partisipasi responden dalam kegiatan pemanfaatan

dan evaluasi masih dalam kategori rendah.

6.3. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Mayarakat

Partisipasi masyarakat dalam suatu program/kegiatan dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Menurut Sastropetro (1988) yang diacu oleh Yuwono (2006),

secara umum faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan

Page 143: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

125 pembangunan adalah : (1) keadaan sosial ekonomi masyarakat, (2) bentuk

program/kegiatan pembangunan itu sendiri, dan (3) keadaan lingkungan. Keadaan

sosial ekonomi masyarakat yang dimaksud terdiri dari pendidikan, pendapatan,

kebiasaan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan, kedudukan sosial dan

sebagainya. Bentuk program/kegiatan merupakan kegiatan yang dirumuskan serta

dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi kemasyarakatan atau

kebijakan-kebijakan, sedangkan keadaan lingkungan adalah faktor fisik daerah

yang ada di lingkungan sekitar tempat hidup masyarakat.

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat

terutama dalam program pengelolaan hutan antara lain tingkat pendidikan,

pengalaman bertani, sifat kekosmopolitan (Susiatik 1998; Neupane et al.,2002;

Zbinden & Lee, 2005). Neupane et al. (2002) dan Zbinden & Lee (2005)

menambahkan faktor seperti umur, kepemilikan lahan, jumlah anggota keluarga,

pendapatan, dan persepsi masyarakat sebagai faktor yang juga sangat

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan di Nepal

dan Kostarika.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR dalam penelitian ini dikelompokkan

menjadi modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik merupakan

faktor-faktor fisik yang dimiliki oleh masyarakat dan diduga berpengaruh

terhadap tingkat partisipasi mereka dalam implementasi HTR. Modal fisik

tersebut meliputi penguasaan lahan, ketersediaan areal untuk HTR dan keberadaan

tanaman dalam kawasan pencadangan HTR.

Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud

fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan,

keterampilan dan keeraatan hubungan (Coleman, 1988; Fukuyama, 2007).

Keahlian, kemampuan, pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal

manusia yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).

Dalam penelitian ini modal manusia yang diduga menjadi faktor yang akan

mempengaruhi tingkat partisipasi adalah tingkat pendididikan, tingkat

pengetahuan, dan tingkat pendapatan masyarakat.

Page 144: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

126

Di samping modal fisik dan modal manusia, faktor yang diduga

berpengaruh pada tingkat partisipasi dalam implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun adalah modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada

individu manusia dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk

jaringan sosial (Alder & Seok, 2002). Modal sosial penting dipertimbangkan

karena masyarakat tidak hanya berupa sekumpulan manusia yang secara fisik

telah bersama dalam kurun waktu tertentu melainkan terdapat semangat atau ruh

yang memperkuat kehidupan kolektif (Pranadji, 2006). Masyarakat yang memiliki

modal sosial yang tinggi, cenderung bekerja secara bergotong royong, bebas

bicara dan mampu mengatasi perbedaan. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki

modal sosial yang rendah akan tampak adanya kecurigaan, pengelompokan, tidak

ada kepastian hukum dan keteraturan sosial (Suharto, 2007). Oleh karena itu, guna

mencapai tujuan perlu menambahkan modal sosial pada setiap kebijakan

(Weyerhaeuser et al., 2006).

Hubungan antara modal fisik, modal manusia dan modal sosial terhadap

tingkat partisipasi akan menggambarkan seberapa besar pengaruh ketiga modal

tersebut terhadap tingkat partsipasi seseorang dalam mengimplementasikan

kebijakan HTR. Peranan masing-masing modal tergambar dari besarnya koefesien

korelasinya, sehingga dapat diketahui modal mana yang paling berpengaruh

terhadap partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan HTR dan modal

mana yang perlu mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dan ditingkatkan

agar tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR dapat menjadi lebih

baik, meskipun saat ini modal tersebut bukan modal yang berhubungan secara

nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat. Peranan modal fisik, modal manusia

dan modal sosial tehadap partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 51.

Page 145: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

127 Tabel 51 Hubungan antara Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial

dengan Partisipasi Masyarakat

No Korelasi Kegiatan HTR Total

partisipasi Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan Pemeliharaan & evaluasi

A Modal Fisik 0.191 0.202 0.122 0.195 0.231* 1 Penguasaan lhn 0.007 0.136 -0.035 0.132 0.070 2 Ketersediaan areal -0.085 -0.209 -0.054 -0.214 -0.164 3 Keberadaan tnmn 0.328 0.320** 0.309** 0.337** 0.402** B

** Modal Manusia 0.612 0.516** 0.126 ** 0.501 0.593** **

1 Tk. Pendidikan 0.342 0.199 ** -0.96 0.254 0.271* 2

* Tk. Pendapatan 0.084 0.249 0.290* 0.348** 0.244**

3 *

Tk. Pengetahuan 0.598 0.508** 0.125 ** 0.483 0.580** C

** Modal Sosial -0.028 0.069 0.018 0.046 0.016*

1 Trust 0.132 0.045 -0.179 0.072 0.025 2 Norms -0.364 -0.282 ** 0.056 -0.125 - 0.2903

** Solidarity 0.029 0.092 0.084 0.042 0.038

4 *

Network 0.129 0.269 0.194 * 0.124 0.232* Keterangan: * korelasi nyata pada taraf 0.05 ** korelasi nyata pada taraf 0.01 6.3.1. Modal fisik

Meskipun modal fisik tidak berpengaruh nyata terhadap partisipasi

responden pada tiap-tiap tahapan kegiatan, namun modal fisik memberikan

pengaruh nyata pada tahapan berpartisipasi secara keseluruhan. Unsur dari modal

fisik yang terlihat berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat

dalam implementasi HTR adalah unsur keberadaan tanaman. Keberadaan tanaman

dalam lahan areal pencadangan HTR memiliki korelasi positif secara nyata pada

taraf 1% terhadap total tingkat partisipasi sebesar 0.402. Hal ini menunjukkan

bahwa antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR akan

bertambah seiring dengan keberadaan tanaman masyarakat dalam lokasi HTR.

Hal ini berkaitan erat dengan kepedulian masyarakat akan nasib tanaman yang

telah mereka tanam dalam lahan yang telah mereka kuasai.

Sementara tingkat penguasaan lahan dan ketersediaan areal bukan

merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi, karena

masyarakat yang menjadi sasaran dalam implementasi HTR di Sarolangun

umumnya telah menguasai lahan di areal pencadangan HTR. Dengan kata lain,

sebagian besar responden menguasai lahan di areal pencadangan, sehingga faktor

penguasaan lahan dan ketersediaan areal tidak menjadi faktor pembatas dalam

tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR.

Page 146: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

128

6.3.2. Modal manusia

Tabel 51 menunjukkan bahwa modal manusia memberikan pengaruh nyata

terhadap total partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan

HTR sebesar 0.593. Modal manusia menunjukkan korelasi positif yang nyata

pada taraf 0.01 pada setiap kegiatan HTR kecuali pada kegiatan pemanfaatan.

Bila dilihat dari masing-masing unsur modal manusia, ketiganya memiliki

pengaruh yang nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat.

Tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi

masyarakat pada kegiatan perencanaan dan pemeliharaan/evaluasi, sedangkan

tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap kegiatan pelaksanaan,

pemanfaatan dan pemeliharaan; dan tingkat pengetahuan berpengaruh nyata

perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan.

Kegiatan perencanaan dalam implementasi kebijakan HTR meliputi (a)

pertemuan guna pembentukan kelompok; (b) pertemuan untuk menentukan

lokasi, pembuatan sketsa lahan, pembagian lahan, penentuan jenis tanaman dan

penentuan aturan main kelompok; (c) pengurusan izin; (d) penyusunan RKU dan

RKT; (e) penataan areal; dan (d) pembuatan jalan dan pondok kerja. Kegiatan

perencanaan ini sangat terkait dengan kemampuan seseorang dalam berpikir.

Hasil korelasi pada Tabel 51 yang menunjukkan bahwa modal manusia yang

berperan dalam kegiatan ini adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan.

Modal manusia yang berpengaruh nyata secara positif terhadap pelaksanaan

adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan. Pengetahuan seseorang

terhadap kebijakan HTR sangat membantu dalam proses pelaksanaan kegiatan

HTR karena kebijakan HTR menuntut seseorang untuk berbudidaya tanaman

berkayu. Sebagian besar masyarakat belum terbiasa menanam tanaman berkayu

sehingga tingkat pengetahuan sangat penting pada kegiatan pelaksanaan dalam

implementasi kebijakan HTR. Faktor finansial juga memiliki pengaruh yang

besar. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka modal yang dimiliki

untuk melaksanakan budidaya tanaman berkayu akan semakin besar, sehingga

tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pelaksanaan akan semakin besar.

Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat umumnya adalah

memanen tanaman karet alam yang telah berproduksi. Mereka yang memiliki

Page 147: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

129 tingkat pendapatan yang tinggi merupakan petani pemilik lahan yang telah

dimanfaatkan, sedangkan sisanya adalah buruh sadap karet yang bekerja

menyadap karet di kebun orang lain. Meskipun sebagian dari mereka telah

menguasai lahan dalam kawasan hutan, namun umumnya masih berupa semak

belukar atau tanaman yang ada masih belum berproduksi. Hal ini menyebabkan

tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap kegiatan pemanfaatan dalam

implementasi kebijakan HTR.

Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh responden terbatas

pada kegiatan penyiangan dan pengamanan tanaman dari hama seperti babi dan

monyet terutama pada tanaman yang masih muda. Pemupukan tidak pernah

dilakukan, sedangkan penyulaman hanya dilakukan oleh beberapa responden.

Untuk menghindari penyulaman, sebagian masyarakat menyebar benih atau

menanam bibit dengan jarak tanam yang sangat rapat untuk mengantisipasi

serangan hama sehingga hasil tanamannya tidak rapi.

Berdasarkan Tabel 51 ketiga unsur pembentuk modal manusia berpengaruh

nyata secara positif terhadap kegiatan pemeliharaan. Tingkat pendidikan dan

pengetahuan akan sangat berpengaruh terhadap upaya responden memelihara

tanaman yang ada, sedangkan tingkat pendapatan akan berpengaruh dalam

penyediaan modal usaha.

6.3.3. Modal Sosial

Modal manusia memberikan pengaruh nyata terhadap partisipasi masyarakat

dalam mengimplementasikan kebijakan HTR sebesar 0.016 pada taraf 0.05.

Tabel 51 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berkorelasi positif

dengan keterlibatan dalam organisasi sosial dan kepedulian terhadap sesama,

namun berkorelasi negatif dengan kepatuhan terhadap norma. Hal ini

membuktikan bahwa kelompok sosial yang dibangun oleh masyarakat bermanfaat

dalam implementasi kebijakan HTR. Keikutsertaan tersebut dilakukan sebagai

akibat terjadinya interaksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan

anggota masyarakat lain (Raharjo, 1983 dalam Yuwono, 2006).

Page 148: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

130 6.4. Derajat Kesukarelaan dan Tingkatan Partisipasi Masyarakat dalam

Implementasi HTR

Berdasarkan tipologi tingkat kesukarelaan responden dalam berpartsipasi

menurut Dusseldorp (1981), partisipasi masyarakat di lokasi penelitian dalam

implementasi HTR termasuk ke dalam katagori partisipasi terinduksi. Partisipasi

tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh atau

dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh

untuk berpartisipasi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain: (1) responden ikut

serta karena pengaruh dari tokoh masyarakat, teman atau anggota keluarga tanpa

adanya pengetahuan yang cukup mengenai program HTR, sehingga mereka

enggan berpartisipasi dalam setiap kegiatan HTR; (2) responden ikut serta karena

teridentifikasi sebagai pemilik (penguasa) lahan di areal HTR, sehingga tidak

punya pilihan selain ikut serta dalam kegiatan HTR untuk mendapatkan legalitas

lahan yang dikelola. Keterpaksaaan membuat mereka tidak antusias berpartisipasi

dalam tahapan kegiatan HTR (Pudjiastuti, 2011).

Oleh karena itu, tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR

berbeda-beda tergantung pada alasan yang dimilikinya. Alasan yang dimiliki

responden dan tingkat berpartisipasi dalam HTR umumnya adalah:

1. Sebagai formalitas karena mereka menguasai lahan di areal yang telah

dicadangkan untuk HTR sehingga yang tercantum hanya namanya saja.

2. Berpartisipasi karena diajak oleh pemuka/tokoh masyarakat (dianggap tidak

berdaya) sehingga berpartisipasi hanya ikut-ikutan dan sekedar hadir saja.

3. Berpartisipasi karena ingin tahu sesuatu yang melibatkan dirinya sehingga

berpartisipasi hanya untuk mendengarkan informasi saja.

4. Berpartisipasi karena mengetahui bahwa HTR itu penting bagi mereka

sehingga mereka banyak bertanya mengenai HTR dan memberikan masukan

meskipun masukan mereka jarang dipertimbangkan.

5. Berpartisipasi karena mengetahui bahwa HTR penting dan ingin berdiskusi

lebih lanjut mengenai implementasi HTR di lahan mereka

Page 149: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

131 6. Berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan tanggung jawab dalam

mengimpelentasikan HTR namun belum memiliki hak untuk ikut serta dalam

pembuatan keputusan

7. Berpartisipasi aktif dan memiliki kewenangan dalam membuat keputusan

8. Berpartisipasi secara aktif, memiliki tanggung jawab penuh atas keberhasilan

implementasi HTR

Berdasarkan alasan-alasan di atas, disusun tingkatan (level) partisipasi

masyarakat yang disesuaikan dengan ladder patern dalam berpartisipasi menurut

Arnstein (1969) sebagaimana disajikan pada Tabel 52.

Tabel 52 Tingkatan partisipasi masyarakat dalam Implementasi HTR Tingkatan Partisipasi

Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung n % n % n % n %

1. Formalitas 5 18.52 2 8.00 1 3.45 8 9.88 2. Sekedar hadir 6 22.22 7 28.00 3 10.34 16 19.75 3. Ingin tahu 11 40.74 12 48.00 7 24.14 30 37.04 4. Mulai aktif 5 18.52 4 16.00 9 31.03 18 22.22 5. Aktif berdiskusi 0 0.00 0 0.00 4 13.79 4 4.94 6. Mulai diberi

tanggungjawab 0 0.00 0 0.00 2 6.90 2 2.47 7. Kewenangan

memutuskan 0 0.00 0 0.00 2 6.90 2 2.47 8. Tanggung

jawab Penuh 0 0.00 0 0.00 1 3.45 1 1.23 Total 27 25 29 81

Dari tabel tersebut diketahui bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko

Besar memasuki tahap pemberian informasi (informing). Tingkat partisipasi

masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan

tokenism. Pada tahap ini terdapat dua karakteristik yang bercampur. Pemberian

informasi pada masyarakat di satu sisi merupakan langkah awal partisipasi, namun

di sisi lain tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik

merupakan ciri tokenism

Dua ciri utama dalam tahap informing terlihat jelas dalam implementasi

kebijakan HTR di lokasi penelitian. Pertama adalah pemberian informasi

mengenai hak-hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan masyarakat yang

merupakan langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Dalam hal ini

Page 150: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

132 masyarakat diberikan informasi mengenai kebijakan HTR meliputi definisi HTR,

manfaat HTR bagi masyarakat, tata cara permohonan HTR, pola HTR, jenis

tanaman yang boleh ditanam dan lain-lain. Masyarakat diajak untuk berpartisipasi

dalam kegiatan HTR melalui sosialisasi. Kedua, pemberian informasi ini terjadi

hanya merupakan informasi satu arah (dari aparat pemerintah kepada masyarakat).

Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik (feedback).

Berbeda dengan proses partisipasi di Desa Taman Bandung yang telah

memasuki level konsultasi (consultation). Komunikasi telah berlangsung dua arah

antara pemerintah daerah dengan masyarakat, di mana masyarakat (meskipun

hanya beberapa orang) telah mulai dapat diajak untuk berdiskusi mengenai

kendala-kendala yang mereka hadapi dan apa yang mereka butuhkan dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR. Meskipun memang tidak ada jaminan

perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide mereka akan dijadikan bahan

pertimbangan dalam kebijakan HTR. Dari hasil penelitian diketahui bahwa

kendala yang dihadapi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR adalah (1)

kesulitan dalam menyusun RKT dan RKU; (2) kebutuhan bibit.

Hal ini sangat kontras dengan asumsi yang digunakan oleh pembuat

keputusan dalam merumuskan kebijakan HTR. Asumsi yang digunakan

Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan HTR adalah masyarakat

dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengelola hutan. Untuk itu masyarakat

dituntut menjadi enterpreneur yang dapat berpartisipasi aktif dalam

mengimplementasikan HTR.

Bila ditelaah lebih lanjut, implementasi kebijakan HTR secara ideal

menuntut masyarakat untuk sampai pada level pendelegasian kekuasaan

(delegated power). Secara teori, kebijakan HTR mendelegasikan kegiatan

pengelolaan hutan produksi yang ada dalam areal pencadangan HTR kepada

masyarakat. Pada level ini masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan

untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR, meliputi: jenis tanaman yang akan mereka

tanam, pola penanamannya, kapan mereka akan menanam, kapan mereka akan

memanen, dengan siapa mereka akan bekerjasama dan lain-lain. Meskipun

Page 151: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

133 demikian, terdapat beberapa peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat agar

hak pengelolaan tersebut tetap berada pada masyarakat.

Melihat kenyataan di lapangan, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk

sampai pada level pendelegasian kekuasaan (delegated power). Struktur hubungan

yang telah terbangun oleh pemerintah daerah dan masyarakat selaku pelaku

kebijakan belum mampu menempatkan masyarakat sebagai aktor tunggal

pengelolaan hutan. Di satu sisi, pemerintah daerah masih belum mampu

mengubah paradigma pengelolaan hutan dari berorientasi pada negara (state

oriented) menjadi berorientasi pada masyarakat (people oriented) dan di sisi lain,

mental masyarakat masih belum siap untuk menjadi seorang enterpreneur.

Beberapa langkah yang diambil oleh pemda untuk mengatasi kendala yang

ada di lokasi penelitian (khususnya Desa Taman Bandung) adalah pembuatan

demplot dan pemberian bantuan bibit. Hal ini sesungguhnya tidak dapat

memecahkan masalah karena belum dapat membangun jiwa entrepreneurship dan

keberdayaan dalam masyarakat, namun hal tersebut justru membuat tingkat

ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi cukup besar.

6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun

Secara sederhana kondisi yang terjadi di Kabupaten Sarolangun dapat

dilukiskan sebagai berikut: pemerintah membutuhkan cara agar kawasan hutan

produksi yang telah kritis (berupa semak dan belukar) dapat berhutan kembali.

Untuk itu, pemerintah berharap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar

hutan bersedia untuk membantu pemerintah dalam membangun hutan. Namun,

pemerintah tidak bersedia bila jumlah kawasan hutan berkurang, sehingga bentuk

yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat yang bersedia berpartisipasi

dalam membangun hutan adalah izin pengelolaan bukan hak milik.

Di lain pihak, pasca berakhirnya HPH PT. PITCO kawasan hutan produksi

menjadi open access. Kebiasaan masyarakat berladang berpindah menyebabkan

masyarakat membutuhkan lahan yang luas untuk dijadikan lokasi berkebun hingga

mengokupasi kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai oleh PT. PITCO.

Peraturan adat yang selama ini menjadi panutan hidup masyarakat, tidak

menyalahkan tindakan mereka. Penguasaan lahan hutan produksi menjadi legal

secara de facto oleh masyarakat. Sebagai tanda penguasaan lahan, masyarakat

Page 152: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

134 menanam tanaman karet alam dan tanaman berkayu lain (sengon, balam, jabon,

dan lain-lain) yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya usaha untuk merawatnya.

Adanya kebijakan HTR telah memberikan peluang pada masyarakat untuk

mengelola kawasan hutan produksi (yang sebelumnya telah mereka kuasai) secara

legal. Kebijakan ini sesungguhnya disambut baik oleh masyarakat. Namun

progress implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun cukup rendah.

Hal ini disebabkan antara lain oleh: (1) adanya batasan yang diberikan oleh

kebijakan ini terutama dalam hal penentuan jenis tanaman; dan (2) sulitnya

masyarakat untuk mendapatkan bantuan modal. Hal ini menyebabkan proses

implementasi kebijakan HTR berjalan lambat.

Diketahui bahwa sejak kebijakan HTR diinisiasi tahun 2007 hingga Mei

2011 baru 18 orang (yang tergabung dalam empat kelompok tani hutan) yang

mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di

Kabupaten Sarolangun. Tabel 53 menunjukkan daftar pemegang IUPHHK-HTR

di Kabupaten Sarolangun.

Tabel 53 Pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011 No Nomor

Keputusan Tanggal Luas

(Ha) Nama

Pemegang Kelompok Tani Hutan

(KTH) 1 01 thn 2009 30 Maret 2009 15,00 A.Wakid Maju Jaya T. Bandung 2 02 thn 2009 30 Maret 2009 13,00 Nyoto Usaha Tani T. Bandung 3 03 thn 2009 30 Maret 2009 10,00 A.Kosim Bukit Lintang T. Bandung 4 04 thn 2009 30 Maret 2009 6,00 Karnoto Sumber Rejeki T. Bandung 5 105 thn 2010 15 Maret 2010 4,28 Sapari Maju Jaya T. Bandung 6 106 thn 2010 15 Maret 2010 5,11 Nurainun Maju Jaya T. Bandung 7 107 thn 2010 15 Maret 2010 8,00 Asri Maju Jaya T. Bandung 8 108 thn 2010 15 Maret 2010 6,00 Zaidan Maju Jaya T. Bandung 9 109 thn 2010 15 Maret 2010 6,93 Sapri Maju Jaya T. Bandung 10 110 thn 2010 15 Maret 2010 7,40 Kardi Maju Jaya T. Bandung 11 111 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Aming S Bukit Lintang T. Bandung 12 112 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Rahman M Bukit Lintang T. Bandung 13 113 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Kosasi AR Bukit Lintang T. Bandung 14 114 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Nuraina Bukit Lintang T. Bandung 15 115 thn 2010 15 Maret 2010 7,23 Suyatno Sumber Rejeki T. Bandung 16 116 thn 2010 15 Maret 2010 7,62 Sar’i Sumber Rejeki T. Bandung 17 117 thn 2010 15 Maret 2010 10,50 Suhari Usaha Tani T. Bandung 18 118 thn 2010 15 Maret 2010 7,59 Sunardi Usaha Tani T. Bandung Sumber : BP2HP Wilayah IV Jambi (2011)

Seluruh pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sarolangun merupakan

warga Desa Taman Bandung, sedangkan dua desa lainnya yang menjadi lokasi

penelitian masih dalam proses sosialisasi dan pembuatan ijin.

Page 153: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

135

Berdasarkan evaluasi isi kebijakan, proses implementasi kebijakan HTR

berjalan lambat karena masih terdapat terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan

kebijakan HTR, dimana Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan

menekankan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kualitas hutan

produksi, sedangkan masyarakat dan pemerintah daerah selaku pelaku kebijakan

mengharapkan kebijakan HTR lebih bersifat pemberdayaan.

Dalam konsep pemberdayaan, proses pemberdayaan menekankan pada

proses pemberian kemampuan pada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong

atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menentukan pilihan hidupnya (Mardikanto, 2010). Namun demikian dalam

implementasinya, seringkali terdapat bias dalam memahami makna

pemberdayaan, antara lain: (1) anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang

berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman atau aspirasi pembangunan

dari lapisan bawah; (2) anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu

apa yang harus dilakukan atau bagaimana memperbaiki nasib mereka; (3)

anggapan bahwa pembangunan masyarakat di lapisan bawah lebih membutuhkan

bantuan material dibandingkan keterampilan teknis dan manajerial (Mardikanto.

2010).

Meskipun pemda beranggapan HTR adalah kebijakan yang bertujuan untuk

memberdayakan masyarakat, ketiga bias di atas terjadi dalam implementasi

kebijakan HTR. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah daerah dalam

mengimplementasikan HTR masih bersifat top down, dan berupa bantuan material

seperti penyediaan bibit, pembuatan demplot dan lain-lain.

Di samping perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan kebijakan,

asumsi yang digunakan dalam penyusunan kebijakan HTR juga kurang sesuai

dengan kondisi di lapangan. Asumsi bahwa masyarakat telah siap untuk menjadi

enterpreneur sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kementerian Kehutanan,

masih membutuhkan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya.

Bila dilihat dari asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, tidak

menutup kemungkinan kebijakan HTR menjadi kebijakan yang dapat

memberdayakan masyarakat. Namun masih diperlukan pengkondisian terlebih

dahulu. Sehingga langkah-langkah dalam implementasi kebijakan HTR harus

Page 154: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

136 lebih bertahap, tidak secara langsung masyarakat yang mendapatkan ijin harus

melakukan penanaman dan membangun HTR.

Tahap pengkondisian ini harus disesuaikan dengan kondisi para pelaku

kebijakan yang ada (masyarakat dan pemda). Cara yang dapat ditempuh adalah

dengan menunjuk pendamping yang ditempatkan pada setiap desa. Saat ini

pendamping HTR di Kabupaten Sarolangun adalah PNS Disbunhut. Penunjukan

ini dirasa kurang tepat dan proses pendampingan akan menjadi tidak maksimal.

Bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan mengenai

budidaya tanaman menetap, pelatihan manajerial dan lain-lain dapat dilakukan

oleh pendamping secara bertahap pada masing-masing pemegang IUPHHK HTR

sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Pendamping HTR dapat

dimasukkan dalam struktur implementasi dan menjadi ujung tombak pemerintah

daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan diketahui bahwa kesiapan,

komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan

kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah. Jumlah aparat pemda

yang terlibat aktif dalam implementasi kebijakan HTR hanya 3 -4 orang dimana 2

diantaranya telah ditunjuk menjadi pendamping HTR. Dukungan finansial yang

diberikan oleh Bupati (pemda kabupaten) kurang memadai. Hal ini disebabkan

karena orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun masih kepada

pertumbuhan ekonomi, sehingga HTR dianggap kurang menguntungkan pemda.

Kemampuan pemda dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk

dalam katagori rendah, terutama dalam hal penyelesaian masalah (problem

solving) dan fasilitasi dan pengawasan. Hal ini disebabkan oleh jarak dan

aksesibilitas lokasi pengembangan HTR yang jauh dan silit dijangkau.

Untuk meningkatkan kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah

daerah, beberapa hal yang dapat ditempuh antara lain:

1. Menambah jumlah pendamping yang berasal dari luar lingkup Disbunhut

Kabupten Sarolangun, yang dapat dijadikan ujungh tombak implementasi

kebijakan HTR.

Page 155: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

137 2. Memberikan fasilitas yang memadai kepada Disbunhut Kabupaten untuk

mengimplementasikan kebijakan HTR baik berupa sarana prasarana

transportasi maupun dana dalam pelaksanaannya

3. Memberikan pelatihan terutama dalam hal manajemen konflik, problem

solving, fasilitator dan monitoring. Modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori

rendah, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik yang

dimiliki oleh masyarakat, terutama lahan dan keberadaan tanaman cukup tinggi.

Penguasaan lahan rata-rata masyarakat di lokasi peneltian adalah 4,99 Ha,

meskipun status kawasan masih belum legal.

Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR cukup tinggi

karena sebagian besar responden merupakan anggota masyarakat yang pernah

mendapatkan penyuluhan (sosialisasi) mengenai HTR. Tingginya pengetahuan

masyarakat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya minat masyarakat terhadap

HTR cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat bagaimana agar

HTR dapat diterimaa oleh masyarakat.

Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori

sedang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang

cukup dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Namun karena terdapat

beberapa peraturan dalam kebijakan HTR bertentangan dengan norma yang telah

mereka anut sebelumnya, maka diperlukan strategi yang tepat dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR di lapangan.

Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan diketahui bahwa

masyarakat masih memiliki moral ekonomi subsisten, sehingga keinginan

masyarakat untuk berusaha agar mendapatkan pendapatan yang lebih dari sekedar

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih sangat kecil. Selain itu masyarakat

juga memiliki kebiasaan untuk menanam tanaman karet, karena karet merupakan

sumber kehidupan mereka. Untuk megimplementasikan kebijakan HTR

dibutuhkan strategi yang dapat mengakomodir kondisi masyarakat ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya prospek kebijakan HTR

di Kabupaten Sarolangun rendah. Masih dibutuhkan upaya yang lebih kongkrit

Page 156: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

138 dalam mengemas kebijakan HTR agar dapat diimplementasikan di Kabupaten

Sarolangun.

Page 157: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI

7.1 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor

internal dan eksternal berdasarkan kajian di lapangan terhadap: (1) modal fisik,

modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat; (2) kesiapan,

komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam implementasi HTR; dan (3)

kondisi lingkungan dimana kebijakan HTR akan diimplementasikan. Faktor-

faktor SWOT diidentifikasi berdasarkan penilaian beberapa stakeholders yang

berasal dari unsur Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun dan

tokoh masyarakat. Faktor-faktor yang diidentifikasi meliputi faktor yang berasal

dari dalam masyarakat (internal) dan faktor yang berasal dari luar masyarakat

(eksternal).

7.1.1 Faktor internal

Implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun akan sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang

dimiliki oleh masyarakat selaku kelompok target dari implementasi HTR.

Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi dengan beberapa stakeholders, diketahui

faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang diduga akan memiliki

pengaruh terhadap implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah:

a. Kekuatan (strengths)

- Mayoritas masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR

- Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan pemanfaatan

hutan produksi akan menjadi legal

- Masyarakat memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup memadai

- Tingkat pengetahuan masyarakat tentang HTR cukup memadai

- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan terhadap sesama yang tinggi

- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi

pemerintah daerah

- Masyarakat masih mematuhi norma-norma sosial yang berlaku dalam

komunitas baik tertulis maupun tidak tertulis seperti adat istiadat, aturan

agama, aturan pemerintah, kejujuran, kesopanan dan kerukunan

Page 158: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

140

- Masyarakat memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi

- Masyarakat memiliki keinginan untuk ikut serta dalam program HTR yang

cukup tinggi

b. Kelemahan (weakness)

- Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet sebagai tanaman pokok di

lahan yang termasuk dalam pencadangan HTR

- Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah

- Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah

- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan terhadap orang asing yang

rendah

- Masyarakat sukar percaya pada orang lain bila berhubungan dengan uang

- Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR

- Sarana transportasi dan aksesibilitas menuju desa dan lokasi HTR sangat

buruk dan tidak mendukung

- Budaya masyarakat kurang mendukung

Hasil penilaian bobot dan rating rata-rata tiap faktor internal diperoleh dari

beberapa stakeholders sebagaimana terlihat pada lampiran 9 dan 11. Hasil

evaluasi dan skor nilai masing-masing faktor internal atau internal factor

evaluation (IFE) dapat dilihat pada Tabel 53.

Tabel 53 menunjukkan bahwa peubah kekuatan yang memiliki nilai

pengaruh tertinggi adalah ‘masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka

kegiatan pemanfaatan hutan produksi akan menjadi legal’ (0.304) . Hal ini

merupakan sebuah kenyataan yang cukup menguntungkan bagi implementasi

kebijakan HTR, karena dalam peraturannya HTR menegaskan bahwa kawasan

yang dijadikan pencadangan HTR adalah hutan produksi yang secara de yure

adalah milik Negara. Dengan adanya pengakuan masyarakat bahwa lahan yang

secara de facto diakui milik mereka adalah kawasan hutan produksi, maka

pekerjaan Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah untuk menyadarkan

masyarakat bahwa lahan mereka adalah milik negara secara tidak langsung telah

teratasi.

Page 159: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

141 Tabel 53 Matriks IFE dalam implementasi kebijakan HTR di Sarolangun

No Faktor Internal Bobot Rating Bobot skor

A Kekuatan 1 Kepemilikan lahan di areal HTR 0.08 3.60 0.287 2 Kepercayaan bahwa dengan HTR dapat

melegalkan pemanfaatan hutan produksi 0.08 3.60 0.304 3 Tingkat pendidikan formal yang memadai 0.05 3.00 0.165 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup 0.07 3.60 0.270 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 0.04 3.00 0.134 6 Tingkat kepercayaan terhadap instansi

pemerintah daerah cukup 0.05 3.40 0.180 7 Norma sosial masih dipatuhi masyarakat 0.04 2.40 0.106 8 Tingkat kepedulian terhadap sesama yang cukup

tinggi 0.05 2.20 0.101 9 Keinginan untuk ikut serta dalam program HTR

yang cukup tinggi 0.08 3.60 0.287 Total 0.56 28.40 1.834 B Kelemahan

1 Mayoritas masyarakat menanam karet 0.05 3.40 0.157 2 Tingkat pendidikan informal yang rendah 0.04 2.40 0.107 3 Tingkat pendapatan yang rendah 0.07 3.80 0.264 4 Kepercayaan pada orang asing rendah 0.04 1.60 0.059 5 Sukar percaya pada orang lain bila berhubungan

dengan uang 0.05 2.00 0.099 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi

dalam HTR 0.06 2.40 0.137 7 Transportasi dan aksesibilitas buruk 0.07 3.60 0.252 8 Budaya masyarakat yang kurang mendukung 0.07 3.20 0.208

Total 0.44 20.80 1.283 Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 0.550

Peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil dari kekuatan adalah

‘tingkat kepedulian terhadap sesama” (0.101). Hal ini kurang sesuai dengan hasil

analisis korelasi yang menyebutkan bahwa tingkat kepedulian terhadap sesama

(solidarity) berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat.

‘Tingkat pendapatan yang rendah’ merupakan peubah yang memiliki

pengaruh terbesar (0.264) di sisi kelemahan, sedangkan pengaruh terkecil adalah

‘kepercayaan terhadap orang asing’ (0.083). Kondisi di lapangan menunjukkan

bahwa kelemahan masyarakat di lokasi penelitian dalam implementasi HTR

umumnya adalah kesulitan dalam hal permodalan karena mayoritas masyarakat

adalah petani subsisten. Mereka menanam karet dan memanfaatkannya sebagai

Page 160: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

142 pendapatan utama. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam

implementasi kebijakan HTR yang menganggap bahwa tanaman karet merupakan

tanaman budidaya yang hanya boleh ditanam 40% dari total luas lahan.

Total skor untuk faktor internal kekuatan sebesar 1.834 sedangkan total skor

untuk kelemahan sebesar 1.283. Kecenderungan kondisi masyarakat dalam

implementasi kebijakan HTR terhadap faktor internal (sumbu absis atau sumbu X)

dalam impelementasi kebijakan HTR mempunyai skor adalah 0.550, berada di

bawah skor rata-rata 2.50. Menurut David (2009) hal tersebut berarti bahwa

faktor-faktor kekuatan yang ada pada masyarakat belum dimanfaatkan atau

direspon sepenuhnya untuk mengatasi kelemahan yang ada.

7.1.2 Faktor eksternal

Selain dipengaruhi faktor internal, proses implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa

peluang dan ancaman. Faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang

memiliki pengaruh terhadap implementasi kebijakan HTR di Kabupaten

Sarolangun adalah:

a. Peluang (opportunities)

- Pemerintah Daerah dan LSM (LP3D dan FLEGT) cukup mendukung

implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

- PT Samhutani bersedia untuk membeli tanaman kayu yang ditanam oleh

masyarakat (peluang pemasaran).

- Kelangkaan kayu terjadi baik di tingkat desa, kecamatan, maupun

kabupaten Saroloangun dan sekitarnya.

- Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR akan menguntungkan Pemda

b. Ancaman (Treaths)

- Program KTM (Kota Terpadu Mandiri) yang diinisiasi Kementerian

Transmigrasi tengah diggalakkan di lokasi penelitian

- Belum ada jaminan berusaha terutama dari lembaga permodalan dan

instansi pemerintah sehingga masyarakat cenderung menanam dalam

jumlah kecil atau mengandalkan permudaan alam.

- Dukungan pemda masih bersifat keproyekan

- Kesiapan dan komitmen pemda dalam mendukung HTR masih rendah

Page 161: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

143

- Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR masih rendah

- Kapasitas kepala desa dalam implementasi HTR masih rendah

- Jumlah pendamping yang belum memadai

Hasil penilaian bobot dan rating rata-rata tiap faktor eksternal diperoleh dari

beberapa stakeholders sebagaimana terlihat pada Lampiran 10 dan 12. Hasil

evaluasi dan skor nilai masing-masing faktor eksternal atau external factor

evaluation (EFE) terlihat pada Tabel 54. Peluang yang memiliki nilai pengaruh

tertinggi adalah ‘terjadinya kelangkaan kayu’ (0.235), sedangkan peluang dengan

nilai pengaruh terkecil adalah ‘persepsi bahwa kebijakan HTR akan

menguntungkan pemda’ (0.132).

Tabel 54 Matriks EFE dalam Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun

No. Faktor Eksternal Bobot Rating Total Skor A Peluang

1 Dukungan pemda dan LSM 0.07 3.4 0.235 2 Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06 2.8 0.159 3 Terjadi kelangkaan kayu 0.07 3.6 0.249 4 Persepsi pemda bahwa HTR akan

menguntungkan Pemda 0.05 2.6 0.132 Total 0.25

3.052

B Ancaman 1 Adanya program KTM 0.07 1.80 0.133 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga

permodalan dan kemitraan) 0.12 2.40 0.281 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 0.12 3.00 0.347 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen pemda

dalam mendukung HTR 0.10 2.40 0.252 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam

implementasi HTR masih rendah 0.10 2.60 0.248 6 Rendahnya kapasitas kepala desa dalam

implementasi HTR 0.11 2.80 0.315 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 0.13 3.20 0.429

Total 0.75 2.005 Kecenderungan terhadap faktor Eksternal 1.00 1.048

Kelangkaan kayu merupakan kondisi yang memprihatinkan namun

menguntungkan bagi implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan hasil wawancara

dengan pelaku usaha pertukangan di desa Lamban Sigatal diketahui bahwa saat ini

sudah sangat sulit untuk mendapatkan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik.

Saat ini umumnya masyarakat desa telah menggunakan kayu jenis campuran yang

Page 162: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

144 berkualitas rendah sebagai bahan baku untuk pertukangan. Hal ini terpaksa

dilakukan karena ketersediaan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik sangat

terbatas. Umumnya hanya beberapa responden yang memiliki kayu dengan jenis

yang bagus di lahan mereka.

Persepsi pemda mengenai keuntungan kebijakan HTR terhadap instansi

mereka memiliki pengaruh yang kecil karena saat ini isu mengenai HTR sudah

tidak catchy seperti dulu saat HTR baru digulirkan. Perlu upaya ekstra untuk

menghidupkan kembali semangat pemerintah daerah dalam mendukung

implementasi HTR.

Nilai pengaruh terbesar pada peubah ancaman adalah ‘jumlah pendamping

yang belum memadai’ (0.429) sedangkan peubah yang mempunyai pengaruh

terkecil adalah ‘adanya program KTM’ (0.133). Pendamping implementasi HTR

di Kabupaten Sarolangun berjumlah tiga orang dan ketiganya merupakan staff

dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Guna

meningkatkan kinerja implementasi kebijakan HTR, jumlah pendamping ini

hendaknya ditambah dan bukan berasal dari kalangan PNS Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Sarolangun, mengingat jarak lokasi yang cukup jauh dan

aksesibilitas jalan yang buruk.

Meskipun dianggap mempunyai pengaruh yang kecil, namun keberadaan

KTM di lokasi penelitian cukup menjadi ancaman. Program KTM yang diinisiasi

oleh Kementerian Transmigrasi ini mempunyai misi membentuk sebuah kawasan

terpadu di Kecamatan Pauh yang dapat menjadi sentral perdagangan dan industri.

Dalam programnya, Kementerian Transmigrasi dan Pemda Kecamatan Pauh

bermaksud untuk membeli lahan yang akan dikembangkan sebagai KTM dengan

harga yang layak.

Mengingat lemahnya sistem administrasi agraria di daerah pedesaan

Sumatera (termasuk Kabupaten Sarolangun) menyebabkan ketiadaan sertifikat

tanah bagi lahan-lahan penduduk. Bukti kepemilikan umumnya berupa surat

keterangan dari kepala desa dan pengakuan secara de facto dari masyarakat.

Kawasan pencadangan HTR yang merupakan hutan produksi yang telah diokupasi

oleh masyarakat, secara de facto telah diakui kepemilikannya oleh masyarakat.

Page 163: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

145 Program KTM yang membutuhkan kawasan yang cukup luas merupakan ancaman

yang serius bagi implementasi kebijakan HTR di Sarolangun.

Tabel 54 menunjukkan bahwa total skor peluang dalam faktor eksternal

adalah 3.052 sedangkan total skor ancaman adalah 2.005. Kecenderungan kondisi

masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR terhadap faktor eksternal (sumbu

ordinat atau sumbu Y) dalam impelementasi kebijakan HTR mempunyai skor

adalah 1.048, berada di bawah skor rata-rata 2.50. Menurut David (2009) hal

tersebut berarti bahwa masyarakat belum mampu merespon setiap peluang yang

ada untuk menghindari ancaman yang datang dari luar.

7.2 Tahap Analisis Data

Setelah dilakukan evaluasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,

selanjutnya adalah tahap pemaduan antara faktor kekuatan, kelemahan, peluang

dan ancaman. Tahap pemaduan dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT

untuk mencari alternatif strategi terbaik untuk mengimplementasikan kebijakan

HTR di Kabupaten Sarolangun. Matrik SWOT untuk analisis mencari strategi

implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dilihat pada Gambar

19.

Page 164: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

146

FAKTOR INTERNAL Kekuatan/Strength (S) Kelemahan/Weakeness (W)

FAKTOR EKSTERNAL

1. Kepemilikan lahan HTR 2. Kepercayaan bahwa HTR

dapat melegalkan lahan 3. Tingkat pengetahuan tentang

HTR cukup 4. Tingkat pendidikan formal

yang memadai 5. Tingkat kepercayaan terhadap

sesama tinggi 6. Kepercayaan masyarakat

terhadap instansi pemda 7. Norma sosial masih dipatuhi

masyarakat 8. Tingkat kepedulian terhadap

sesama yang cukup tinggi 9. Keinginan untuk ikut serta

dalam program HTR yang cukup tinggi

1. Masyarakat menanam karet 2. Kepercayaan pada orang

asing rendah 3. Tingkat pendidikan

informal yang rendah 4. Tingkat pendapatan yang

rendah 5. Sukar percaya pada orang

lain bila berhubungan dengan uang

6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR

7. Transportasi dan aksesibilitas buruk

8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung

Peluang /Opprotunity(O) Strategi S-O Strategi W-O 1. Adanya dukungan

pemda dan LSM 2. Peluang pemasaran ke

PT Samhutani 3. Kelangkaan Kayu 4. Persepsi pemda bahwa

HTR menguntungkan pemda

1. Mengakomodir pemafaatan lahan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR (S1.S2,S3,S4,S6,S7,S9,O1,O2)

2. Mengotimalkan dukungan pemda melalui pendampingan dan sosialisasi yg intensif (S1,S2,S3,S6,S8,O1,O2)

3. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan pemasaran sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam kayu (S1,S4,S5,S6,O2,O3)

1. Mengarahkan dukungan pemda pada capacity building masyarakat dan perrbaikan sarpras jalan (W2,W3,W7,W8,01,04)

2. Mengupayakan regulasi agar tanaman karet dapat menjadi tanaman pokok (W1,W4,W5,W6,O1,O2)

3. Memberikan kesempatan warga luar desa untuk berpartisipasi dalam HTR (W6,W8,O1,O4)

Ancaman/Threats (T) Strategi S-T Strategi W-T 1. Adanya program KTM 2. Belum adanya jaminan

berusaha 3. Dukungan Pemda masih

bersifat keproyekan 4. Rendahnya kesiapan dan

komitmen Pemda dalam mendukung HTR

5. Tingkat koordinasi antar instansi asih rendah

6. Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR

7. Jumlah pendamping yang belum memadai

1. Menanamkan pada masyarakat bahwa HP bukan hak milik (S1,S2,S4,S6,T1)

2. Mengarahkan dukungan pemda pada hal yang bersifat pengadaan sarpras (S6,S7,T3)

3. Mengotimalkan peran tokoh mayarakat (S5,S8.T5,T6)

4. Meningkatkan koordinasi antar sector (S4,S5,S6,S8,T4,T5)

1. Membetuk lembaga keuangan alternatif tingkat desa (W3,W4,W5,T2,T3)

2. Menambah jumlah pendamping HTR (W3,W8,T7)

Gambar 19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun

Page 165: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

147

Gambar 19 memperlihatkan 12 alternatif strategi yang dapat dikembangkan

dalam rangka implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Alternatif

strategi tersebut adalah:

A. Strategi S-O (Strength-Opportunities atau Kekuatan-Peluang)

Strategi S-O merupakan strategi agresif yang didasarkan pada pemanfaatan

seluruh kekuatan internal yang dimiliki oleh masyarakat untuk memanfaatkan

peluang eksternal sehingga diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Alternatif strategi S-O adalah:

a. Mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai

salah satu bentuk HTR

b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR

melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya

kebijakan HTR dan pendampingan

c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai

rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu

B. Strategi W-O (Weakness-Opportunities atau Kelemahan-Peluang)

Strategi W-O merupakan strategi konservatif yang didasarkan pada

pemanfaatan seluruh peluang eksternal untuk untuk mengatasi kelemahan internal

yang ada pada masyarakat. Alternatif strategi W-O yaitu:

a. Mengarahkan dukungan pemerintah ke arah capacity building masyarakat

baik berupa penyuluhan, pelatihan dan lain-lain

b. Mengupayakan regulasi agar tanaman karet dapat menjadi tanaman pokok

dalam kawasan HTR

c. Memberikan kesempatan bagi warga dari luar desa untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan HTR

C. Strategi S-T (Strengths-Threats atau Kelemahan-Peluang)

Strategi E-T merupakan strategi kompetitif yang didasarkan pada

pemanfaatan seluruh kekuatan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi

dampak ancaman eksternal. Alternatif strategi S-T yaitu:

a. Menanamkan kesadaran pada masyarakat bahwa hutan produksi bukan hak

milik sehingga tidak dapat diperjualbelikan

Page 166: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

148 b. Mengarahkan dukungan pemda pada pengadaan sarana dan prasarana untuk

implementasi kebijakan HTR seperti pengadaan bibit tanaman berkayu dan

peminjaman modal pada masyarakat

c. Mengoptimalkan peranan tokoh masyarakat dan pemuka agama

d. Meningkatkan koordinasi antar sektor dalam implementasi HTR

e. Menambah jumlah pendamping HTR

D. Strategi W-T (Weakness-Threat atau Kelemahan-Ancaman)

Strategi W-T merupakan strategi defensif yang didasarkan pada peminimalan

kelemahan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman

eksternal. Alternatif strategi W-T yaitu:

a. Membentuk lembaga keuangan alternatif tingkat desa

b. Menambah jumlah pendamping HTR

Strategi implementasi kebijakan HTR terpilih yang memungkinkan untuk

diimplementasikan bergantung pada hasil pertemuan sumbu x (faktor internal) dan

sumbu y (faktor eksternal). Dari hasil pertemuan kedua sumbu tersebut diketahui

bahwa kecenderungan posisi masyarakat pada implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun berada pada kuadran I yaitu pada titik (0.550;1.048).

Berdasarkan kedudukan titik kecenderungan tersebut, maka strategi yang akan

diterapkan pada implementasi kebijakan HTR adalah strategi yang bersifat

agresif. Gambar 20 memperlihatkan kedudukan posisi strategis implementasi

kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.

Gambar 20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun

Posisi pada Kuadran 1 (satu) merupakan situasi yang menguntungkan. Pada

Strategi Agresif ini, implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun harus

Y

X

(0.550;1.048)

Page 167: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

149 menghindari faktor-faktor yang bersifat ancaman, sedangkan peluang yang ada

harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan segenap kekuatan

yang dimiliki masyarakat meskipun secara internal mereka juga mempunyai

beberapa kelemahan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.

Dengan demikian, strategi implementasi kebijakan HTR yang dipilih adalah

strategi agresif, yaitu

a. Mengakomodir pola pemanfaatan lahan saat ini sebagai salah satu bentuk

HTR

b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR

melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya

kebijakan HTR dan pendampingan

c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai

rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu

7.3 Tahap Pengambilan Keputusan

Tahap Pengambilan Keputusan dilakukan dengan menggunakan matriks

Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM membutuhkan penilaian

yang baik dan obyektif menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score

(AS). Pemberian skor ketertarikan (AS) dilakukan oleh stakeholders yang

berkompeten sehingga obyektifitas dapat dipertahankan (Lampiran 13,14 dan 15).

Hasil analisis penentuan prioritas strategi implementasi kebijakan HTR

dapat dilihat pada Tabel 55. Hasil matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi

prioritas yang terpilih sebagai alternatif pertama adalah ‘mengakomodir pola

pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR’;’

dengan nilai total attractiveness score (TAS) sebesar 6.583. Alternatif strategi

kedua ‘mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui

percepatan proses perizinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif

mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat’ (nilai TAS 5.729) dan alternatif

ketiga adalah ‘menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT

Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman

berkayu’ (nilai TAS 5.697).

Page 168: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

150 Tabel 55 Prioritas Strategi Implementasi Kebijakan HTR Kabupaten Sarolangun

Faktor Utama Bobot Strategi I Strategi II Strategi III AS TAS AS TAS AS TAS

Faktor Strategis Internal Kekuatan Kepemilikan lahan di areal HTR 0.08 3.8 0.30 3.0 0.23 3.6 0.29 HTR dapat melegalkan hutan produksi 0.08 3.8 0.32 3.8 0.32 3.2 0.27 Tk. pendidikan formal yang memadai 0.05 2.8 0.15 2.8 0.15 2.6 0.14 Tk. pengetahuan tentang HTR cukup 0.07 3.6 0.27 3.4 0.25 3.4 0.25 Tk. kepercayaan terhadap sesama tinggi 0.04 1.6 0.07 3.6 0.16 2.4 0.10 Tk. kepercayaan terhadap pemda cukup 0.05 3.8 0.20 3.8 0.20 3.4 0.18 Norma sosial masih dipatuhi masyarakat 0.04 2.8 0.12 2.2 0.09 2.4 0.10 Tk. kepedulian thd sesama cukup tinggi 0.05 2.2 0.1 2.2 0.10 2.6 0.12 Keinginan ikut serta HTR tinggi 0.08 3.8 0.30 3.2 0.25 3.6 0.29

Kelemahan Mayoritas masyarakat menanam karet 0.05 2.4 0.10 3.4 0.15 2.4 0.10 Tingkat pendidikan informal yang rendah 0.04 3.8 0.26 3.6 0.25 3.8 0.26 Tingkat pendapatan yang rendah 0.07 2.2 0.08 2.0 0.07 2.8 0.10 Kepercayaan pada orang asing rendah 0.04 2.6 0.12 2.2 0.10 2.6 0.12 Sukar percaya pada orang lain bila berhubungan dengan uang 0.05 2.6 0.14 2.2 0.12 3.0 0.17 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 0.06 3.6 0.25 3.0 0.21 3.2 0.22 Transportasi dan aksesibilitas buruk 0.07 3.4 0.22 3.2 0.20 2.8 0.18 Budaya masyarakat yang kurang mendukung 0.07 3.6 0.16 2.2 0.10 1.6 0.07

Faktor Strategis Eksnternal

Peluang Dukungan pemda dan LSM 0.07 3.8 0.26 3.4 0.23 3.2 0.2 Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06 3.4 0.19 2.2 0.12 3.8 0.2 Terjadi kelangkaan kayu 0.07 3.0 0.20 3.2 0.22 4.0 0.27 Persepsi pemda bahwa HTR akan menguntungkan Pemda 0.05 3.6 0.18 3.6 0.18 3.6 0.18

Ancaman Adanya program KTM 0.07 3.0 0.22 1.6 0.11 1.6 0.11 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan kemitraan) 0.12 3.2 0.37 3.2 0.37 2.0 0.23 Dukungan Pemda masih keproyekan 0.12 3.6 0.41 2.6 0.30 2.6 0.30 Kesiapan & komitmen pemda rendah 0.10 3.6 0.37 2.6 0.27 2.0 0.21 Tingkat koordinasi masih rendah 0.10 3.0 0.28 2.4 0.22 2.2 0.21 kapasitas kepala desa rendah 0.11 3.2 0.36 3.2 0.36 2.8 0.31 Jumlah pendamping belum memadai 0.13 3.6 0.48 2.2 0.29 3.0 0.40

TOTAL SKOR KETERTARIKAN 6.58 5.72 5.69 PRIORITAS STRATEGI TERPILIH I II III

Keterangan AS : (1) Tidak Atraktif; (2) Kurang atraktif; (3) Cukup Atraktif; (4) Sangat Atraktif

Page 169: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

151 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR

Berdasarkan uraian terdahulu diketahui bahwa strategi implementasi

kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang ditawarkan adalah :

1. Alternatif pertama : mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada

saat ini sebagai salah satu bentuk HTR

2. Alternatif kedua: mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun

dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,

pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk

masyarakat

3. Alternatif ketiga: menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran

ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam

tanaman berkayu.

7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan kawasan hutan saat ini sebagai salah satu bentuk HTR

Berbeda dengan penelitian Herawati (2010a) yang mengungkapkan bahwa

minat masyarakat di Kalimantan Selatan cukup tinggi terhadap HTR karena

adanya kebutuhan akan lahan, masyarakat di Kabupaten Sarolangun telah

menguasai semua lahan (90%) yang dicadangkan sebagai areal HTR. Oleh karena

itu, untuk menarik minat masyarakat terhadap program HTR diperlukan sebuah

strategi yang tidak terlalu banyak mengubah perilaku masyarakat dalam

mengelola hutan.

Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa pendapatan utama

masyarakat berasal dari tanaman karet, baik sebagai petani pemilik maupun buruh

sadap. Pendapatan masyarakat yang berasal dari hasil tanaman karet mencakup

92% dari total pendapatan masyarakat. Gambar 21 menunjukkan proporsi rata-

rata pendapatan masyarakat di lokasi penelitian.

Page 170: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

152

Gambar 21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat

Hasil yang didapat dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian Sudibjo (1999) di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo,

Kabupaten Bungo Tebo, Jambi yang menunjukkan bahwa kontribusi tanaman

karet dalam pendapatan rumah tangga petani adalah sebesar 93,88%. Kondisi ini

menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pada tanaman karet cukup

tinggi,sehingga harus dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan HTR.

Strategi pertama yaitu mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan

yang ada saat ini sebagai motivasi salah satu bentuk HTR. Strategi ini merupakan

strategi yang cukup strategis, mengingat masyarakat belum memiliki kemampuan

untuk membangun hutan yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh

Kementerian Kehutanan. Bila ditelaah lebih lanjut, strategi pertama ini akan

menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah dan masyarakat). Di pihak

pemerintah, kebutuhan akan status lahan secara de facto di lapangan dapat teratasi

karena melalui program HTR secara tidak langsung masyarakat mengakui bahwa

lahan yang mereka kuasai selama ini adalah milik negara. Di pihak masyarakat,

kebutuhan akan ‘rasa aman’ terhadap penguasaan lahan dan tanaman karet mereka

akan teratasi karena pemerintah akan mengakui hak pengelolaan hutan yang

mereka miliki melalui program HTR. Dengan demikian, strategi ini dapat

memecahkan masalah land tenure yang ada di Kabupaten Sarolangun.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat

(terutama di Desa Taman Bandung dan Seko Besar) telah mengakui (mengetahui)

bahwa terdapat kawasan hutan produksi di daerah mereka yang dijadikan sebagai

kawasan pencadangan HTR. Meskipun lahan yang menjadi areal pencadangan

HTR ini sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat, namun tetap ada

85%

7%4% 4%

Usaha Tani Karet

Buruh Sadap Karet

Pegawai Negeri Sipil

Pedagang, wiraswasta

Page 171: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

153 ketakutan pada masyarakat bila suatu waktu lahan mereka akan diambil kembali

oleh negara.

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma yang berlaku cukup tinggi.

Hal ini berdampak pada tumbuhnya rasa takut pada diri masyarakat bila

melanggar aturan/norma yang berlaku. Fenomena adanya kebijakan HTR

menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, karena di satu pihak mereka merasa

bahwa menurut peraturan adat, lahan yang telah mereka jadikan kebun karet

adalah milik mereka, sementara di pihak lain terdapat peraturan bahwa lahan

milik tersebut adalah milik negara.

Strategi pertama merupakan jalan tengah yang diberikan oleh kebijakan

HTR dengan mengakomodir kegiatan mereka memanfaatkan hutan produksi

sebagai sumber mencari nafkah. Strategi ini akan sangat membantu masyarakat

dalam mengatasi kebingungan yang terjadi. Dengan demikian, strategi ini juga

dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan

HTR. Kebutuhan masyarakat akan ‘rasa aman’ atas lahan yang telah mereka

okupasi selama ini merupakan motivator yang kuat dalam implementasi HTR di

Kabupaten Sarolangun.

7.4.2 Optimalisasi dukungan pemerintah daerah

Schneck (2009) mengidentifikasi bahwa salah satu tantangan dalam

mengimplementasikan kebijakan HTR selain kurangnya kemampuan masyarakat

adalah kurangnya dukungan dari institusi pemerintah dalam pengembangan dan

pengelolaan HTR. Kondisi di lapangan di Sarolangun, dukungan pemerintah

daerah termasuk dalam katagori sedang. Hal ini akan menjadi peluang yang

bagus bila dimanfaatkan sebaik mungkin, karena dukungan pemerintah daerah

akan memberikan dampak yang sangat significant dalam keberhasilan

implementasi HTR. Strategi kedua merupakan alternatif strategi yang sesuai untuk

memanfaatkan dukungan pemda tersebut.

Budiman (2000) dalam Mardikanto (2010) menyebutkan bahwa terdapat

dua elemen penting dalam partisipasi masyarakat dalam usaha mereka untuk

meningkatkan taraf hidup, yaitu: (1) dengan sebesar mungkin ketergantungan

pada inisiatif dalam mengambil keputusan sendiri; dan (2) pembentukan

pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya

Page 172: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

154 inisiatif, sifat swadaya dan kegotong-royongan yang membuatnya lebih efektif.

Berdasarkan hasil penelitian, hanya ditemukan sedikit dari masyarakat yang

memiliki inisiatif untuk mengimplementasi HTR tanpa bantuan dari pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 45) diketahui bahwa tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah cukup tinggi (61.73%).

Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini dapat dimanfaatkan dengan

memberikan sosialisasi secara intensif mengenai HTR, guna menumbuhkan

motivasi dalam diri masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR.

Pendampingan hendaknya dilakukan dengan memilih orang yang tepat

sebagai fasilitator lapangan. Jarak lokasi dengan tempat tinggal dan penegasan

mengenai tugas fasilitator lapangan/pendamping yang difokuskan pada

implementasi kebijakan HTR dan tidak dibebani oleh tugas-tugas sampiran

mutlak diperlukan. Oleh karena itu disarankan untuk memilih pendamping di luar

lingkup PNS Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun dan

bertempat tinggal di lokasi pencadangan HTR.

Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat, maka implemetasi

kebijakan HTR hendaknya bertujuan untuk memandirikan masyarakat dan

meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga arah pendampingan kelompok adalah

mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri

kegiatannya.

7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran

Mutaqin (2008) mengemukakan bahwa penyediaan pasar yang dapat diakses

oleh masyarakat sekitar hutan merupakan fokus utama dalam implementasi

kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Karenanya issu

mengenai kelangkaan kayu dan pemasaran dapat menjadi rangsangan bagi

masyarakat untuk menanam tanaman berkayu, di samping tanaman karet yang

telah ditanam mereka sejak dahulu.

Namun demikian untuk mengimplementasikan strategi ini tidak mudah

mengingat masyarakat yang sudah terlanjur memanfaatkan karet sebagai mata

pencaharian utama. Oleh karena itu, menawarkan sebuah inovasi baru berupa

menanam tanaman hutan berkayu adalah pekerjaan yang sangat sulit.

Page 173: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

155

Karakteristik masyarakat di lokasi penelitian termasuk dalam katagori moral

ekonomi subsisten. Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral

ekonomi subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah

menerima inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena

hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri;

dan (3) memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga

keberlangsungan hidup bersama (Scott, 1976). Ketiga ciri tersebut ada pada

masyarakat di lokasi penelitian. Budaya masyarakat memanfaatkan tanaman karet terkait dengan budaya

peladang berpindah. Penanaman karet dilakukan sebagai penanda bahwa wilayah

tersebut merupakan daerah yang telah dikuasainya. Umumnya tanaman karet yang

ditanam berupa stek karet alam. Karena tidak ada pemeliharaan maka persentase

tumbuh dan produktifitas getah karet sangat rendah. Meskipun demikian, mampu

memberikan kontinuitas pendapatan bagi masyarakat.

Kontinuitas pendapatan dari karet merupakan jaminan mata pencaharian

berkelanjutan, yang disebut Chambers (1986) sebagai sustainability livelihood

security. Keberlanjutan mengacu pada pemeliharaan atau produktivitas

sumberdaya untuk jangka panjang. Sebuah keluarga yang mempunyai kebun karet

mempunyai sumber pendapatan tetap setiap bulannya.

Mengalihkan budaya masyarakat dari menanam tanaman karet ke jenis

tanaman lainnya sangat sulit. Pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengubah

moral ekonomi masyarakat yang semula moral subsisten yang tidak responsif

terhadap inovasi, kearah moral ekonomi rasional yang responsif terhadap

perubahan (Wharton, 1965 dalam Mardikanto 2010).

7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih

Pada tahap awal, kebijakan HTR akan diimplementasikan dalam kondisi

seadanya di lapangan (tanaman karet sebagai tanaman pokok). Hal ini

dimaksudkan agar masyarakat tidak terlalu banyak dibebani oleh berbagai

peraturan dalam HTR, sehingga masyarakat dengan pola hidup yang bergantung

pada tanaman karet bersedia untuk berpartisipasi dalam HTR. Bila minat

masyarakat untuk berpartisipasi telah cukup tinggi, dibutuhkan dukungan

pemerintah daerah untuk memberikan percepatan dalam proses perizinan HTR,

Page 174: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

156 memberikan pendampingan dan sosialisasi secara intensif pada masyarakat

mengenai pentingnya HTR.

Langkah ketiga adalah menumbuhkan minat masyarakat untuk menanam

tanaman berkayu. Langkah ini dapat ditempuh melalui pendekatan personal

kepada masyarakat oleh pendamping. Kebutuhan masyarakat akan jenis kayu

berkualitas dapat dijadikan motivasi bagi masyarakat untuk menanam tanaman

berkayu. Selain itu, terdapat potensi pasar yang cukup besar apabila masyarakat

bersedia untuk menanam tanaman sengon karena PT Samhutani menyatakan

bersedia untuk membeli kayu yang ditanam oleh masyarakat.

Untuk mengimplementasikan strategi kebijakan yang telah dirumuskan

sebelumnya, langkah awal yang dilakukan adalah mengelompokkan areal

pencadangan HTR menjadi dua kelompok utama, yaitu: (1) hutan karet, dan (2)

semak belukar dan areal terbuka. Kelompok pertama (hutan karet) merupakan

lahan yang didominasi oleh tanaman karet alam yang bercampur dengan vegetasi

lainnya (sengon, medang, balam, mahang, kempas dan lain-lain). Kelompok ini

merupakan areal peladangan tua (lebih dari 10 tahun) sehingga tanaman karet

alam yang ditanam sebagai tanda kepemilikan lahan telah menjadi hutan karet.

Kelompok kedua mendominasi lebih dari 50% areal pencadangan HTR

(Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, 2007). Kelompok ini

didominasi oleh semak dan belukar, meskipun masih terdapat beberapa batang

pohon yang tumbuh secara sporadis, namun tidak mampu membentuk tutupan

hutan. Umumnya kelompok ini merupakan areal peladangan muda, sehingga

tanaman karet atau pohon yang lain belum tumbuh besar. Strategi terpilih akan

diimplementasikan secara berbeda pada dua kelompok tersebut, baik sistem

silvikultur, penentuan jenis tanaman maupun teknis penanamannya.

7.5.1 Sistem silvikultur

Suhendang (2008) menyebutkan bahwa dalam praktek pengelolaan hutan

di Indonesia, secara operasional sistem silvikultur diartikan sebagai: (a)

Serangkaian prosedur mencakup cara-cara mempermudakan, memelihara dan

memanen tegakan atau hutan untuk menghasilkan suatu produk tertentu; dan (b)

Rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi

Page 175: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

157 penebangan, peremajaaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin

kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.

Helms (1998) menyebutkan bahwa sistem silvikultur merupakan

serangkaian rencana dari perlakuan untuk memelihara, memanen dan membangun

kembali sebuah tegakan hutan. Sistem silvikultur juga merupakan proses

penggantian suatu tegakan hutan melalui kegiatan pembibitan, permudaan,

penananam, pemiliharaan dan pemanenan untuk menghasilkan suatu produk kayu

atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu seperti kayu pertukangan, kayu

pulp, hasil hutan non kayu (getah, damar, rotan, madu dan lainnya), termasuk

rekayasa untuk mempengaruhi sifat dan susunan hutan baru yang terjadi.

Penerapan sistem silvikultur dalam implementasi kebijakan hutan tanaman

rakyat di Kabupaten Sarolangun akan dikembangkan sesuai dengan kondisi hutan

(lahan) pencadangan yang ada. Sistem silvikultur yang dapat dikembangkan

adalah tebang pilih permudaan buatan untuk hutan karet (kelompok 1) dan tebang

habis permudaan buatan untuk lahan berupa semak belukar dan areal terbuka

(kelompok 2).

Pertimbangan dalam penentuan sistem silvikultur yang digunakan adalah

kondisi tegakan tanaman karet yang telah menjadi gantungan hidup (livelihood)

bagi masyarakat di lokasi terpilih. Hutan karet yang telah terbangun sebelumnya

dengan jarak tanam yang rapat dan tidak beraturan, dapat dijarangkan sedemikian

rupa sehingga kualitas pohon karet akan menjadi lebih baik. Djikman (1951)

dalam Setyamidjaja (1993) menyatakan bahwa beberapa akibat dari jarak tanam

yang sempit, diantaranya adalah kerusakan tajuk oleh angin akan lebih besar,

kematian pohon karena serangan penyakit akan lebih tinggi, dan tercapainya lilit

batang matang sadap akan lebih lambat. Sistem silvikultur tebang pilih permudaan

buatan akan diarahkan untuk mendesain kawasan hutan karet agar menjadi lebih

teratur dengan jarak tanam yang optimal sehingga produksi karet yang dihasilkan

akan meningkat.

Sistem silvikultur tebang habis permudaan buatan akan diterapkan pada

lahan terbuka dan semak belukar. Lahan ini akan didesain dengan menggunakan

sistem agrofororestry dengan jenis tanaman yang diminati oleh masyarakat.

Page 176: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

158 Beberapa jenis tanaman berkayu yang telah tumbuh dalam areal ini sebelumnya

dapat tetap dipertahankan keberadaannya bila memiliki kualitas pohon yang baik.

7.5.2 Penentuan jenis tanaman

Berdasarkan hasil penelitian, 92% masyarakat menghendaki tanaman karet

sebagai tanaman utama dalam lahan HTR. Meskipun demikian masyarakat merasa

tidak keberatan untuk menanam tanaman berkayu lainnya dengan komposisi 70%

tanaman karet dan 30% tanaman berkayu.

Berdasarkan hasil penelitian Budi et al. (2008) terdapat beberapa jenis

pohon buah dan kayu yang telah dicoba ditanam di antara tanaman karet di

Kalimantan Barat dan Jambi, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 56.

Tabel 56 Jenis-Jenis Pohon Penghasil Buah, Kayu dan Resin yang Telah Dicoba Ditanam Bersama Karet pada Sistem RAS

Nama Komersial Nama Ilmiah Asal Benih Hasil

Penghasil Buah/kayu : Nangka Artocarpus heterophyllus Biji Buah Cempedak Artocarpus integra Biji Buah Durian Durio zibethinus Biji Buah/Kayu Langsat/Duku Lansium domesticum Biji Buah Pekawai Durio c. f. Dulcis Biji Buah Jengkol Archidendron jiringa Biji Buah Petai Parkia speciosa Biji Buah Rambutan Nephelium spp. Biji Buah

Penghasil Kayu : Gaharu Aquilaria malaccensis Cabutan Kayu/resin Tengkawang Shorea macrophylla Biji/cabutan Kayu/buah Meranti Shorea spp. Cabutan Kayu Merkuyung Shorea johorensis Biji/cabutan Kayu Keladan Dryobalanops beccarri Cabutan Kayu Omang Hopea dryobalanoids Biji Kayu Nyatoh Palaquium spp. Biji/cabutan Kayu Terindak Shorea senimis Biji/cabutan Kayu Tembesu Fragraea fragrans Cabutan Kayu Pulai Alstonia scholaris Cabutan Kayu Gmelina Gmelina arborea Biji Kayu Sengon Paraserianthes falcataria Biji Kayu

Sumber : Percobaan RAS di Kalimantan Barat dan Jambi (1997-2006) dalam Budi et al. (2008)

Berdasarkan hasil penelitian tim kajian hutan tanaman rakyat Badan

Litbang Kehutanan bekerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP (2007) di Desa

Page 177: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

159 Taman Bandung, diketahui bahwa jenis-jenis tanaman yang disukai masyarakat

berdasarkan skala prioritas berturut-turut adalah sengon, pulai, jabon, terap dan

gaharu. Khusus untuk desa Lamban Sigatal, tanaman jernang yang telah menjadi

salah satu sumber pendapatan di samping karet. Hasil penelitian Ardi (2011)

menunjukkan bahwa hingga saat ini terdapat 50 KK di Desa Lamban Sigatal yang

kehidupannya bergantung tidak hanya pada hasil kebun karet namun juga

tergantung pada penjualan getah jernang yang mereka kumpulkan dari tumbuhan

jernang liar di kawasan hutan ataupun di kebun-kebun karet yang mereka miliki.

Oleh karena itu, dalam mendesain implementasi kebijakan HTR di desa Lamban

Sigatal harus mempertimbangkan untuk menjadikan tanaman jernang sebagai

tanaman sela.

7.5.3 Pola penanaman

Pola tanam yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam

implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dibagi menjadi tiga pola

tanam, yaitu: (1) hutan campuran berbasis tanaman karet, (2) hutan campuran

berbasis tanaman berkayu dan (3) hutan campuran Jernang. Khusus untuk pola ke-

3 direkomendasikan untuk Desa Lamban Sigatal yang telah lama mengenal dan

memiliki pengalaman dalam budidaya jernang. Namun tidak menutup

kemungkinan untuk dikembangkan pada kedua desa lainnya.

7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet

Hutan campuran berbasis tanaman karet terutama ditujukan untuk areal

hutan karet (kelompok I). Pada pola ini, tanaman karet akan menjadi tanaman

utama sedangkan tanaman berkayu dijadikan sebagai tanaman pembatas (pagar)

dan tanaman sela. Jenis tanaman berkayu yang menjadi tanaman sela dan tanaman

pembatas (pagar) disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Bagi masyarakat

yang memiliki modal kecil, dapat memanfaatkan beberapa jenis anakan tanaman

berkayu yang telah tumbuh secara alami dalam lahan mereka.

Rasnovi (2006) menyebutkan bahwa tingkat kekayaan dan keragaman

jenis serta komposisi jenis anakan tumbuhan berkayu di agroforestry karet

dipengaruhi oleh tingkat kekayaan dan keragaman jenis serta komposisi jenis

anakan di hutan yang ada di dekatnya. Berdasarkan hasil penelitian tim kajian

Page 178: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

160 HTR Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP

(2007) diketahui bahwa terdapat 69 jenis pohon penting yang ditemukan dalam

kelompok hutan sekitar areal pencadangan HTR (Lampiran 15). Desain yang

direkomendasikan dalam hutan campuran berbasis tanaman karet ini adalah

seperti yang tersaji pada Gambar 22.

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ 4m 4 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ 3 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ 6 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆

Keterangan : O : tanaman karet ∆ : tanaman berkayu (sengon, pulai, meranti, dll)

Gambar 22. Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Karet

Hutan karet dianjurkan untuk dijarangkan sedemikian rupa sehingga

membentuk jalur-jalur dengan jarak tanam 3 x 6 meter (dapat disesuaikan dengan

jarak tanam yang ada). Tanaman berkayu sebagai tanaman sela ditanam pada baris

ke-3 dengan jarak 4 meter dari tanaman karet. Tanaman karet yang tumbuh pada

lokasi penanaman tanaman sela dapat tetap dipertahankan sebelum tanaman sela

tumbuh besar dan membutuhkan ruang yang lebih luas.

Tanaman berkayu juga ditanam mengelilingi lahan dengan jarak tanam

yang disesuaikan dengan jalur yang ada sebagai tanaman pembatas (pagar). Jarak

tanaman berkayu yang berfungsi sebagai pembatas dengan tanaman karet yang

dianjurkan adalah 4 meter. Dengan pola tanam ini, setiap 1 hektar lahan akan

membutuhkan ±122 batang tanaman berkayu untuk dijadikan sebagai tanaman

pagar dan ±156 batang tanaman berkayu sebagai tanaman sela, sedangkan

tanaman karet yang dibiarkan tumbuh sebanyak ±594 batang. Sehingga

perbandingan jumlah tanaman karet dan tanaman berkayu adalah 70% : 30%.

7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu

Hutan campuran berbasis tanaman berkayu direkomendasikan untuk

dikembangkan pada lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka (kelompok 2).

Pada pola ini, tanaman berkayu (sengon, pulai, jabon, terap, mahoni, meranti dan

Page 179: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

161 lain-lain) akan menjadi tanaman utama, yang dikombinasikan dengan tanaman

MPTS seperti karet, durian, rambutan dan lain-lain sebagai tanaman sela dengan

perbandingan tanaman berkayu: tanaman MPTS adalah 80% : 20% untuk hutan

campuran berbasis tanaman berkayu I (Gambar 23) dan 70% : 30% untuk hutan

campuran berbasis tanaman berkayu II (Gambar 24). Tanaman pagar disesuaikan

dengan keinginan masyarakat, dapat berupa tanaman berkayu berumur panjang

(seperti meranti, mahoni, jati) atau jenis lain seperti pinang. Desain pola tanam

hutan campuran berbasis tanaman berkayu I dapat dilihat pada Gambar 23.

x x x x x x x x x x

x ∆ ∆ 3m ∆ ∆ ∆ ∆ x O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m 6 m

x ∆ 3m ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x O O x 2

m ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x

x x x x x x x x x x

Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)

Gambar 23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I

Pada desain yang direkomendasikan dalam hutan campuran berbasis

tanaman berkayu I yang diilustrasikan pada Gambar 19, tanaman berkayu

ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 meter sedangkan tanaman karet ditanam pada

baris ke-3 dengan jarak 3 meter dari tanaman berkayu dan 6 meter terhadap

tanaman karet lainnnya. Tanaman pagar ditanam mengelilingi lahan dengan jarak

2 meter dari tanaman berkayu. Dengan pola tanam seperti ini, maka setiap satu

hektar lahan akan membutuhkan ±683 batang tanaman berkayu dan ±170 batang

tanaman karet, sedangkan untuk tanaman pagar dibutuhkan ±130 batang pinang.

Pola tanam lain yang direkomendasikan sebagai pola penanaman pada

lahan terbuka dan semak belukar (kelompok 2) adalah hutan campuran berbasis

tanaman berkayu II sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 24. Pada pola ini,

jumlah tanaman karet yang ditanam lebih banyak dari pola sebelumnya. Jarak

tanam tanaman berkayu yang direkomendasikan adalah 3 x 3 meter sedangkan

jarak tanam tanaman karet adalah 3 x 6 meter.

Page 180: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

162

x x x x x x x x x x x x

x ∆ ∆ 3 m ∆ ∆ ∆ ∆ x O O O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m 6 m

x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m O O O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 2 m 3m

x x x x x x x x x x x x

Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)

Gambar 24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II

Tanaman berkayu dan tanaman karet dalam hutan campuran berbasis

tanaman berkayu dapat dilaksanakan secara bersamaan maupun tidak. Namun bila

masyarakat menghendaki untuk menanam tanaman berkayu jenis fast growing

trees disarankan untuk tidak dilakukan penanaman bersamaan dengan tanaman

karet. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan tanaman berkayu jenis fast growing

trees yang lebih cepat dari tanaman karet. Hasil penelitian Mulyoutami et al.

(2005) di Kalimantan Barat diketahui bahwa penanaman tanaman karet yang

bersamaan dengan tanaman berkayu jenis fast growing trees menyebabkan

pertumbuhan karet tertekan dan mengakibatkan matang sadap karet tertunda

hingga satu tahun lebih lama. Budi et al. (2008) menyarankan agar tanaman

berkayu jenis fast growing trees ditanam setelah tanaman karet berumur 2 tahun.

7.5.3.3 Hutan Campuran Jernang

Hutan campuran jernang dapat dibangun pada hutan karet (kelompok 1)

maupun lahan terbuka serta semak belukar (kelompok 2). Desain yang ditawarkan

dalam hutan campuran jernang merupakan modifikasi dari dua pola tanam

sebelumnya (hutan campuran berbasis tanaman karet dan hutan campuran berbasis

tanaman berkayu) dengan menanam tanaman jernang ditanam di sela-sela

tanaman berkayu dan karet.

Penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman karet

dibedakan menjadi dua pola sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 25 dan 26

Gambar 25 merupakan pola penanaman tanaman jernang pada hutan campuran

karet dan tanaman berkayu, di mana jenis tanaman berkayu yang ditanam bukan

Page 181: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

163 jenis fast growing sedangkan Gambar 26 merupakan pola penanaman jernang

apabila tanaman berkayu yang ditanam merupakan jenis fast growing. Pola

penanaman jernang pada hutan campuran berbasis karet terlihat pada Gambar 25.

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆

Keterangan : O : tanaman karet ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu ( meranti, mahoni dll)

Gambar 25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I

Tanaman jernang membutuhkan tanaman inang sebagai tempat

merambatnya. Dengan menanam tanaman jernang di sela-sela karet dan tanaman

berkayu diharapkan tanaman jernang dapat merambat pada kedua jenis tanaman

tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah umur tanaman karet saat menanam

tanaman jernang hendaknya telah lebih dari 15 tahun, sehingga tanaman jernang

tidak mengganggu pertumbuhan tanaman karet (Budi et al., 2008).

Apabila jenis tanaman berkayu yang dikembangkan oleh masyarakat

adalah jenis fast growing, tanaman jernang cukup ditanam di sela-sela tanaman

karet saja, sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 26. Hal ini disebabkan

oleh umur panen tanaman fast growing yang cukup singkat (± 5 tahun) sehingga

tidak efektif untuk dijadikan rambatan bagi tanaman jernang.

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆

Keterangan : ∆ O : tanaman karet ¤ : tanaman jernang ∆: tanaman berkayu (meranti, mahoni dll) © : tanaman berkayu fast growing (sengon, gmellina, jabon dll)

Gambar 26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II

Page 182: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

164

Penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman berkayu juga

dapat dibedakan menjadi dua pola tergantung pada jenis tanaman berkayu yang

ditanam (fast rowing atau bukan). Penanaman jernang pada hutan campuran

berbasis tanaman berkayu fast growing diilustrasikan pada Gambar 27, sedangkan

penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman berkayu yang bukan

fast growing diilustrasikan pada Gambar 28.

x x x x x x x x x x x x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤

x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ O O O O ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ O O O O ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x x x x x x x x x x x x

Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)

Gambar 27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu Fast Growing

x x x x x x x x x x x x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤

x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ O O O O ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ O O O O ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x x x x x x x x x x x x

Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( meranti, jati, mahoni dll)

Gambar 28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu Bukan Jenis Fast Growing

Page 183: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

165 7.5.4 Kelembagaan

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 menganjurkan

masyarakat untuk membentuk kelompok tani atau koperasi untuk memudahkan

proses perizinan. Bentuk lembaga yang telah terbangun dalam pengelolaan HTR

di Kabupaten Sarolangun adalah kelompok tani hutan. Bentuk lembaga ini

dirasakan lebih cocok bagi masyarakat dibandingkan koperasi. Berdasarkan hasil

penelitian Pudjiastuti (2011) diketahui bahwa sebagian besar responden (92.59%)

lebih memilih izin atas nama perorangan dibandingkan dengan koperasi. Ini

terjadi di semua desa baik di Seko Besar (85.19%), Lamban Sigatal (96%)

maupun Taman Bandung (96.55%).

Lebih lanjut Pudjiastuti menjelaskan bahwa alasan responden lebih memilih

izin atas nama perorangan dibandingkan dengan koperasi antara lain karena

mereka merasa lebih nyaman dan leluasa (56.67%), sanggup mengelola sendiri

(30%), tidak harus berbagi keuntungan (6.67%) dan menghindari selisih paham

dengan orang lain (6.67%). Adapun responden yang lebih memilih koperasi

dengan alasan pengelolaan lebih mudah (60%), ada modal (20%) dan

menumbuhkan rasa kebersamaan (20%).

Meskipun dalam arahan kebijakan pengelolaan HTR kelompok hanya

dimaksudkan untuk memudahkan proses perizinan, namun realitas di lapangan

menunjukkan bahwa kelompok juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan

membangun kerjasama. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 70.37%

responden menganggap bahwa kelompok tani hutan ini penting dalam

membangun HTR di Kabupaten Sarolangun (Pudjiastuti, 2011).

Tabel 57 Persepsi responden terhadap kelembagaan HTR

Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung

n % n % n % n % Tinggi 9 33.33 21 84.00 27 93.10 57 70.37 Sedang 9 33.33 3 12.00 0 0.00 12 14.81 Rendah 9 33.33 1 4.00 2 6.90 12 14.81

Sumber : Pudjiastuti (2011)

Responden menganggap menjadi anggota KTH itu penting karena selain

dapat memudahkan urusan administrasi, sesama anggota juga dapat saling

membantu, serta memudahkan koordinasi dan pertukaran informasi. Responden

Page 184: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

166 yang tidak menyetujui KTH beranggapan karena anggota KTH belum saling

mengenal dan dapat mengganggu proses perizinan apabila ada satu anggotanya

yang bermasalah.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga pilihan dalam menentukan

susunan anggota kelompok. Pilihan pertama adalah orang-orang yang memiliki

areal yang saling berdekatan dalam satu hamparan (54.72%). Pilihan lainnya

adalah anggota keluarga (22,64%) dan orang yang dapat bekerjasama dan dapat

dipercaya (22,64%). Idealnya, kelompok dibentuk oleh masyarakat peserta HTR

yang memiliki areal kelola sehamparan (berdekatan satu sama lain). Hal ini

dimaksudkan untuk memudahkan proses pengurusan administrasi baik untuk

pengurusan izin maupun pinjaman dana. Namun pilihan lain juga tidak buruk

karena dalam bekerjasama sangat dibutuhkan kepercayaan antar sesama anggota

kelompok dan anggota keluarga pada umumnya merupakan orang yang paling

dekat dan dapat dipercaya.

Dalam mengimplementasikan strategi terpilih direkomendasikan agar

masyarakat membentuk kelompok berdasarkan lokasi areal kerja yang dimilikinya

(yang saling berbatasan) dengan luas yang direkomendasikan untuk masing-

masing responden maksimal lima hektar. Kelompok boleh beranggotakan lintas

warga desa sepanjang lahan-lahan yang dikelola berada dalam satu hamparan

sesuai dengan pembagian areal kerja HTR.

Penguasaan lahan hutan di areal HTR oleh masyarakat di daerah ini tidak

merata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa responden

(terutama yang telah lama tinggal di daerah tersebut) telah menguasai lahan di

areal HTR > 15 ha bahkan hingga 40 ha dalam bentuk ladang atau kebun karet.

Kelompok inilah yang paling banyak berkepentingan untuk ikut dalam program

HTR. Oleh karena itu, dianggap perlu untuk melakukan pembatasan luas

pengelolaan maksimal lima hektar untuk pemerataan bagi masyarakat.

Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat penguasa lahan dengan luas

melebihi dari yang dianjurkan dapat mengatasinya dengan cara: (1) membagi

penguasaan lahannya kepada anak-anak atau anggota keluarga lainnya atau (2)

membagi penguasaan lahan dengan buruh yang menggarap lahan tersebut dengan

pola bagi hasil tertentu. Cara pertama lebih banyak dilakukan oleh masyarakat

Page 185: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

167 karena (1) mereka lebih mempercayai keluarga dibandingkan dengan orang lain;

(2) pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak berkurang karena tidak

harus dibagi dengan orang lain; dan (3) dapat mengamankan masa depan anak-

anak mereka. Selain itu , dengan cara pertama pengambilan keputusan tetap dapat

dilakukan oleh pemilik utama sehingga mengurangi konflik dengan orang lain.

Cara kedua jarang dilakukan karena potensi konflik lebih besar jika dirasa

pembagian keuntungan tidak saling menguntungkan. Adanya sifat tidak mudah

percaya dan tidak mudah bekerjasama dengan orang lain juga mempengaruhi

keputusan mereka tidak membagi penguasaan lahannya dengan orang lain.

Pola HTR yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok

hendaknya sama, dapat menggunakan pola mandiri atau kemitraan. Berdasarkan

hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa pola HTR yang ditawarkan

pada masyarakat sebelumnya adalah pola mandiri. Namun demikian masyarakat

memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap peluang kerjasama dengan mitra

atau investor. Pudjiastuti (2011) menyebutkan bahwa persepsi masyarakat

terhadap mitra kerjasama/investor cukup tinggi (61.73%). Hal ini diduga karena

responden tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola

lahannya.

Pola penanaman yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok

tani hendaknya dapat diselaraskan satu sama lainnya agar memudahkan dalam

pengelolaan, mencari mitra (bila masyarakat ingin mengelola dalam bentuk pola

kemitraan) dan mencari peluang pasar.

Page 186: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan bawa prospek implementasi kebijakan HTR di

Kabupaten Sarolangun rendah.

a. Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan: masih terdapat perbedaan persepsi

terhadap tujuan kebijakan HTR, asumsi yang digunakan tidak sesuai

dengan kondisi lapangan dan struktur implementasi yang ada tidak

berjalan sebagaimana mestinya

b. Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan: kesiapan, komitmen dan

kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan

HTR termasuk dalam katagori sedang sampai rendah, sedangkan modal

fisik, modal manusia dan modal sosial masyarakat dalam implementasi

kebijakan HTR masuk dalam katagori sedang

c. Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan: masyarakat masih

bersifat subsisten dan memiliki kebiasaan menanam tanaman karet

d. Berdasarkan hasil gap implementasi: tingkat partisipasi masyarakat

masih rendah dengan derajat kesukarelaan dalam berpartisipasi

terinduksi.

2. Kebijakan HTR masih perlu penyesuaian dalam implementasinya di

Kabupaten Sarolangun. Rekomendasi yang diberikan untuk perbaikan adalah

sebagai berikut:

a. Dari sisi isi kebijakan: perumusan kebijakan hendaknya dapat

mempertimbangkan kebutuhan pemda dan masyarakat; asumsi yang

digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi lapangan,

menyederhanakan struktur implementasi dengan lebih memberikan

dukungan sdm dan finansial kepada stakeholder kunci implementasi.

b. Dari sisi pelaku kebijakan: diperlukan peningkatan koordinasi antar

instansi dalam implementasi kebijakan HTR sehingga dukungan sdm dan

finansial dalam implementasi kebijakan HTR dapat meningkat,

Page 187: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

170

c. Dari sisi lingkungan kebijakan: perlu mengakomodir tanaman karet

sebagai salah satu tanaman pokok dalam implementasi HTR di Kabupaten

Sarolangun

3. Rekomendasi strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi

kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun, adalah:

a. Mengakomodir pola pemanfaatan lahan yang ada saat ini sebagai salah

satu bentuk HTR

b. Mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun dalam

percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,

pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR

untuk masyarakat

c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT

Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman

berkayu

8.2 SARAN

1. Kementerian Kehutanan hendaknya mempertimbangkan kepentingan

pemerintah daerah dan masyarakat selaku implementator dan kelompok

target dalam kebijakan HTR.

2. Kementerian Kehutanan perlu mempertimbangkan kembali peraturan

mengenai budidaya tanaman HTR yang menyebutkan bahwa tanaman

budidaya berkayu (termasuk karet) paling luas hanya 40% dari areal HTR,

karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanaman karet

merupakan primadona masyarakat.

3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun selaku core

pelaksana (penentu keberhasilan implementasi HTR) hendaknya dapat

meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam implementasi kebijakan HTR,

terutama terhadap kelompok stakeholder yang memiliki tingkat kekuatan

yang tinggi namun memiliki kepentingan yang rendah seperti Bappeda,

DPRD dan PT Samhutani.

Page 188: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

DAFTAR PUSTAKA

Abidin SZ. 2006. Kebijakan Publik. Edisi Revisi. Jakarta: Pancur Siwah.

Alder PS, Seok WK. 2002. Social Capital: Prospect for a New Concept. Academy of Management Journal 27(1):17

Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestry (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun-Jambi) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Arnstein S. 1969. A Ladder of Citizen Partisipation. Journal of The American Planning Association35:216-224

Birner R, Wittmer H. 2000. Converting Social Capital into Political Capital. How do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach and Empirical Evidence from Thailand and Columbia. Paper submitted to the 8th

[BKKBN Kabupaten Sarolangun] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007. Laporan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Sarolangun. Sarolangun: BKKBN Kabupaten Sarolangun.

Biennal Conference of International Association for the Study of Common Property (IASCP). Institute of Rural Development. Göttingen: Georg-August University.

[BPS Kabupaten Sarolangun] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun. 2007. Kabupaten Sarolangun dalam Angka. Sarolangun: BPS Kabupaten Sarolangun

Brown TH. 2004. Analysis of Population and Poverty in Indonesia‘s Forests. Draft. USAID. Natural Resources Management Program. Jakarta.

Budi, Wibawa G, Ilahang, Akiefnawati R, Joshi L, Penot E, Janudianto. 2008. Panduan Pembangunan Wanatani Berbasis Karet Klonal. Bogor: World Agroforestry Center [ICRAF] SEA Regional Office, Indonesia

Chambers, R.1986. “Sustainable Livelihood, Environment and Development : Putting Poor People First, dalam Institute of Development Studies. University of Sussex. Brighton, England.

Colchester M, Fay C. 2007. Land, Forest and People: Facing the Challenges in South-East Asia. Rights and Resources Initiative Listening, Learning and Sharing, Asia Final Report September 2007.

Coleman J. 1988. Social Capital in Creation of Human Capital. American Journal of Sociology 94 (supplement): pp S95-S120

Page 189: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

172 Daryanto H. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan Masyarakat

Terpencil. Buletin Kawasan Edisi 8 Tahun 2003. Jakarta: Direktorat PKKT Bappenas,

Dasgupta P, Serageldin I. 2000. Social Capital A Multifaced Perspective. World Bank. Washington DC.

David FR. 2009. Manajemen Strategis. Terjemahan dari Strategic Management : Concepts and Cases. Sunardi D. (penerjemah). Jakarta: Salemba Empat.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 -2005. Jakarta: Departemen Kehutanan.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Dephut.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 3

Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Dephut.

[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan No.

P.5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Dephut.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.62/Menhut-II/2008 tentang penyusunan RKUPHHK-HTI dan HTR. Jakarta. Dephut.

[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. 2007. Proposal Permohonan Pencadangan Areal Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Sarolangun. Jambi: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun

[Dishut] Dinas Kehutanan Propinsin Jambi. 2011. Data Pokok Kehutanan 2010. Jambi: Dinas Kehutanan Propinsi.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, 2006. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah pada Workshop Nasional Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Departemen Kehutanan.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Peraturan

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan

Page 190: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

173

Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Dephut.

[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release

2009 Bina Produksi Kehutanan Triwulan II. Http://www.dephut.go.id/files/ Data_ Release_Ditjen BUK_Triwulan_II_2009.pdf

[Ditjen BUK] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. 2011. Perkembangan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah pada Seminar dan Bimbingan Metodologi Penelitian FORMA IPH IPB pada tanggal 22 Februari 2011. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

[19 Mei 2010].

Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction. Wibawa S, Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA [penerjemah]. Darwin M [editor]. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Dusseldorp DBWM. 1981. Participation in Planned Development Influence by Governments Developing Countries at Local Level in Rural Areas. Wagenigen: Agricultural University

Dye TR. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.

Ekawati S, Daryono H, Zuraida. 2008. Kesiapan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah Seminar Hutan Tanaman Rakyat yang diselenggarakan oleh Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan tanggal 14 Agustus 2008.

Ekowati MRL. 2009. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program. Suatu Kajian Teoritis dan Praktis. Jakarta: Pustaka Cakra.

Emila, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR): Agenda Baru untuk Pengentasan Kemiskinan? Warta Tenure Nomor 4 - Februari 2007

Fukuyama F. 2002. Social Capital and Development: The Coming Agenda. SAIS review XXII. The Johns Hopkins University Press

Number 1, Winter-Spring 2002,

Fukuyama F. 2007 Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan dari Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Ruslani (penerjemah). Cetakan kedua. Jakara: Qalam.

[FWI/GFW] Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia and Washington DC. Global Forest Watch.

Giarci GG. 2001. Caught in Nets: A Critical Examination of the Use of the Concept of “Network” in Community Development Studies, Community Development Journal Vol.36 No.1 January 2001 pp 63-71. Oxford University Press.

Page 191: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

174 Grimble R, Wellard K. 1997. Stakeholder Methodologies in Natural Resource

Management: a Review of Principles, Contexts, Experiences and Opportunnities. Agricultural System vol.55 No.2 pp.173-193. Elsevier Science Ltd.

Grimble RJ, Chan MK, Aglionby J and Quan J. (1995) Trees and trade-offs: A Stakeholder Approach to Natural Resource Management. Gatekeeper Series no.52. International Institute for Environment and Development. London.

Grimble R, Chan MK. 2005. Analisis Stakeholder untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam di Negara Berkembang. dalam Supaharjo (editor). Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin, Bogor.

Grindle MS. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Princeton University Press.

Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia. Social Development Department. Washington DC: World Bank

Grootaert C, Narayan D, Jones VN, Woolcock. 2004. Measuring Social Capital An Intergrated Questionnaiire. Washington DC: The World Bank.

Hadi S. 2007. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis Cepat Tumbuh dalam Rangka Mendorong Perkembangan Wilayah Tertinggal.. Jakarta: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Hakim I. 2007. Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebagai Salah Satu Upaya Pemantapan Kawasan Hutan. Prosiding Seminar Good Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari. Pusat Penelitian Sosek dan Kebijakan Kehutanan. Bogor: Badan Litbang Kehutanan.

Hakim I. 2009. Kajian Kelembagaan dan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat: Sebuah Terobosan dalam Menata Kembali Konsep Pengelolaan Hutan Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 1, April 2009. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan.

Hakim I, Effendi R. 2008. Prospek Hutan Tanaman Rakyat: Mengkaji Potensi Kelembagaan yang tumbuh di Masyarakat. Makalah Seminar /hutan Tanaman Rakyat yang Diselenggarakan oleh Puslit sosek dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan tanggal 14 Agustus 2008.

Hardjanto. 2002. Mutu Modal Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 6:65 – 71.

Hasbullah J. 2006. Social Capital Menuju Keungggulan budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR United Press.

Page 192: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

175 Helms JA, editor. 1998. The Dictionary of Forestry. North and Central America:

The Society of American Foresters and CABI Publishing.

Herawati T. 2010a. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Kebijakan Dan Penyusunan Model Konseptual Kebijakan. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Herawati T. 2010b. Analisis Respon Pemangku Kepentingan di Daerah Terhadap Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1):3-25

Hornby. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Crowther J (editor). New York: Oxford University Press.

Jamasy O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Blantika Mizan.

Justianto A. 2007. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat untuk Menunjang Pembangunan Nasional. Buletin Planolog Vol -3 No. 1 Maret 2007. Jakarta: Departemen Kehutanan.

Kamaluddin. 2009. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Melayu: Kasus Indonesia dan Malaysia. Fakultas Pertanian Universitas Riau.

Kartasasmita G. 1996. Power dan Empowerment : Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Perencanaan Nasional.

Kartasasmita G. 1997. Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Makalah pada Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur tanggal 14 Maret 1997. Jakarta: Badan Perencanaan Nasional.

Kartodihardjo H. 2007. Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta.

Katili PB, Setiawan H, Hadi SP. 2008. Perumusan Strategi Bersaing dengan Menggunakan Metoda AHP dan QSPM Pada Industri Kecil Menengah. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II, Universitas Lampung, 17 – 18 November 2008.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011a. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011b. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut.

Page 193: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

176 Krishna A, Shrader E. 1999. Social Capital Assessment Tools. Makalah pada

conference on social and Poverty Reduction, Washington DC: June 22-24, 1999. The World Bank.

Kusumedi P, Rizal HB. 2010. Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3):179-193.

Lawang RMZ. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press.

Li TM. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Terjemahan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mardikanto. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Acuan Bagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktoso dan Peminat/Pemerhati Pemberdayaan Masyarakat. Solo: Universitas Sebelas Maret Press.

Meyers J. 2001. Analisis Kekuatan Stakeholders. dalam Supahardjo (editor). Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka Latin.

Mulyoutami E, Ilahang, Wulandari D, Joshi L, Wibawa G, Penot E. 2005. From Degragaded Imperata grassland to productive rubber agroforest in West Kalimantan. Paper dipresentasikan pada Workshop International on Smallholder Agroforestry Option in Degraded soils di Batu, Malang Jawa Timur.

Muttaqin MZ. 2008. Good Governance dalam 5 Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Jurnal Analisis Kebijakan 5(3): 143-151

Nawir AA, Kassa H, Sandewall M, Dore D, Campbell B, Ohlsson B, Bekele M. 2007. Stimulating Smallholder Tree Planting – Lessons from Africa and Asia. Unasylva 228 Vol. 58, 2007.

Neupane RP, Sharmab KR, Thapaa GB. 2002. Adoption of Agroforestry in the Hills of Nepal: A Logistic Regression Analysis. Agricultural Systems 72:177–196.

Nugroho R. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nugroho B. 2009. Review kebijakan dan strategi pengembangan HTR. Di dalam Workshop Strategi Percepatan Perluasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada acara Pekan Raya Hutan & Masyarakat 2009 “Gerakan Rakyat Untuk Mengantisipasi Isu Global Pengelolaan Sumber Daya Hutan”. Graha Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, 14 Januari 2009.

Nurrochmat DR. 2005a. Strategi Pengelolaaan Hutan. Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 194: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

177 Nurrochmat DR. 2005b. The Impact of Regional Autonomy on Political, Dynamic,

Socio-economic and Forest Degradation. Case of Jambi, Indonesia. Göttingen: Cuvillier Verlag.

Noordwijk M van, Suyanto S, Budidarsono S, Sakuntaladewi N, Roshetko JM, Tata HL, Galudra G, Fay C. 2007. Is Hutan Tanaman Rakyat A New Paradigm in Community Based Tree Planting in Indonesia? ICRAF Southeast Asia. Bogor.

Parsons W. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Jurnal Agro Ekonomi 24:178–206.

Pranarka, Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Center of Strategic Internatinal Studies (CSIS).

Pregernig M. 2002. Perceptions, Not Facts: How Forestry Professional’s Decide on the Restoration of Degraded Forest Ecosystems. Journal of Environmental Planning and Management 45(1):25–38.

Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center of Strategic Internatinal Studies (CSIS).

Pudjiastuti E. 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Putnam RD. 1993. The Prosperous Community Social Capital and Public Life. The American Prospect Vol 4 No. 13.

Putnam RD. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Journal of Democracy volume 6 no. 1:65-78. Januari 1995. The John Hopkins University Press.

Rangkuti F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Rasnovi D. 2006. Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu pada Sistem Agroforest Karet. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quin CH, Stringer LC. 2009. Whos’s in and Why? A Tipology of Stakeholder Analysis Methods for Natural Resources Management. Journal of Environmental Management 90 (2009):1933-1949

Robinson LJ et al.. 2002. Is Social Capital is Really Capital? Review of Social Economy. Vol. LX No. 1, March 2002.

Page 195: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

178

Salim E. 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu.

Sairin S. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schneck J. 2009. Assessing the Viability of HTR ‐ Indonesia’s Community Based Forest Plantation Program [tesis]. Masters project submitted in partial fulfillment of the requirements for the Master of Environmental Management Degree in the Nicholas School of the Environment of Duke University.

Scott JC. 1976. Moral Ekonomi Petani. Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

Setyamidjaja. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta.

Sidu D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Silverstein D, Samuel P, De Carlo N. 2009. The Innovator’s Toolkit. 50+

Simon H. 1994. Seri Kajian Management Regime, Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial.Yogyakarta: Aditya Media

Techniques for Predictable and Sustainable Organic Growth. New Jersey: John Wiley and Sons Inc.

Sinha H, Suar D. 2005. Leadership and People’s Participation in Community Forestry. International Journal of Rural Management I (I):125-143

Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan : Pengembangan DAS dengan Tebu sebagai Tanaman Konservasi. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta

Siswiyanti Y. 2006. Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian Hutan di KPH Parung Panjang Kabupaten Bogor. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Subarsono AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudibjo. 1999. Kajian Agroforestry Karet dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi). Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 14. Bogor: ICRAF Southeast Asia

Page 196: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

179 Sudikan SY. 2006. Ragam Metode Pengumpulan Data. Di dalam Bungin B

[editor]. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian kontemporer. Jakarta: Rajawali Pres.

Sugiyono. 2007. Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Cetakan kelima. Bandung: CV Alfabeta.

Suharto E. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: CV. Alvabeta.

Suharto E. 2007. Modal Sosial dalam Kebijakan Publik. Di dalam: Sugeng B dan Susantyo B [editor]. Bunga Rampai Modal Sosial dalam Pembangunan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. hlm 1 – 14.

Suhendang E. 2008. Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Prosiding Lokakarua Nasional Penerapan MultisistemSilvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi. Institut Pertanian Bogor.

Sumodiningrat G. 1999. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA.

Sumanto SE. 2009. Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial dalam Perspektif Resolusi Konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 6(1):13-25

Sunderlin WD, Angelsen A, Belcher B, Burgess P, Nasi R, Santoso L, Wunder S. 2005. Livelihoods, Forests, and Conservation in Developing Countries: an Overview. World Development 33(9): 1383–1402.

Susiatik T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Terpadu (PMDHT) di Desa Mojokerto Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Syahyuti. 2002. Ikatan Genealogis dan Pembentukan Struktur Agraria: Kasus pada Masyarakat Pinggiran Hutan di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1)

Tim Kajian HTR. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan kerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP. 2007. Kajian Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Jambi dan Kalimantan Barat. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Badan Litbang Kehutanan.

Todaro PM, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Airlangga

Wahab SA. 2008. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksaaan Negara. Cetakan keenam. Jakarta: Bumi Aksara.

Weyerhaeuser H, Kahrl F, Su Y. 2006. Ensuring a feature for collective forestry in china’s southwest: adding human and social capital to policy reforms. Science Direct, Forest Policy and Economics 8:375-385.

Page 197: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

180 Winarno B. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Cetakan Kedua Edisi

Revisi. Yogyakarta: Media Presindo.

Winarto H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

World Bank. 2006. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia. Jakarta: The World Bank.

Yukl GA. 1994. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Terjemahan dari : Leadership in Organizations. Udaya J, penerjemah. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Yuwono S. 2006. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zbinden S, Lee DR. 2005. Paying for Environmental Services: An Analysis of Participation in Costarica’s PSA Program. World Development 33(2):255-272.

Page 198: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran l. Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan Rakyat (HR) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Hutan Rakyat Hutan Kemasyarakatan Hutan Tanaman Rakyat Definisi Hutan yang tumbuh di atas tanah yang

dibebani hak mlik atau hak lainnyadengan ketentuan minimum luas 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuandan tanaman lainnya lebih dari 50%. (P.03/Menhut-V/2004)

Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakanmasyarakat (PP No. 6/2007)

Hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dankualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. (PP No.6/2007)

Aspek Legal (Peraturan

Pemerintah dan Permenhut)

- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan

- SK Menhut No: 49/Kpts-11/1997; tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat

- Permenhut No: P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GNRHL

- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan

- SK Menhut No: 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan

- SK Menhutbun No: 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

- SK Menhut No: 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

- Permenhut No: 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan

- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan

- Permenhut No: P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman

- Permenhut No: P.5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri No P.23/Menhut-II/2007

- Permenhut No:P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk mendapatkan pinjaman dana bergulir pembangunan HTR

- Permenhut No: P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTI dan HTR

- Permenhut No : P.14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Permenhut No: P.62/Menhut-I/2008

- Permenhut No: P.64/Menhut-II/2009 tentang standar biaya pembangunan HTI dan HTR 183

Page 199: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Hutan Rakyat Hutan Kemasyarakatan Hutan Tanaman Rakyat

Aspek Kelembagaan

1. Lokasi Pengembangan

Hutan milik (di luar kawasan hutan negara)

- Hutan Konservsi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional),

- Hutan Lindung - Hutan Produksi

- Hutan Produksi

2. Eselon I Dephut yang menangani BPDASPS RLPS BUK

3. Skema Pendanaan

- Bantuan Inpres Penghijauan dan Reboisasi

- Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUKDAS)

- Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR)

- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau

- Sumber-sumber lain yang tidak mengikat

- Pinjaman dana bergulir dari Badan Layanan Umum Pembiayaan Pembangunan Hutan.

- Swadaya Masyarakat

Aspek Kepemilikan

1. Kepemilikan lahan

Milik masyarakat Milik Negara Milik Negara

2. Kepemilikan tanaman

Milik Masyarakat Milik Negara Milik Masyarakat

184

Page 200: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 2. Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Areal HTR di Kabupaten Sarolangun

185

Page 201: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 3 Proses mekanisme pencadangan areal HTR (Nugroho 2008)

MENHUT BAPLAN BPK SEKJEN GUBERNUR DISHUT PROP

BUPATI/ KOTA

DISHUT KAB BPKH

Peta arahan indikatif

Penyiapan dan penyampaianPeta arahan

indikatif

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Tembusan Peta arahan indikatif per

propinsi

Sosialisasi program

Sosialisasi program

Sosialisasi program

Sosialisasi pembiayaan

Sosialisasi pembiayaan

Sosialisasi pembiayaan

Asistensi Perpetaan

Pertimbangan Teknis dan peta arahan

1:50.000

Rencana & Usulan lokasi peta 1:50.000

Tembusan Rencana &

Usulan lokasi peta 1:50.000

Tembusan Rencana &

Usulan lokasi peta 1:50.000

Rencana & Usulan lokasi peta 1:50.000

Verifikasi peta

Konsep peta pencadangan

Verifikasi teknis adm

Konsep SK pencadangan

SK pencadangan

HTR

186

Page 202: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 4 Proses pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho 2008)

MENHUT DIRJEN

BPK BUPATI/

KOTA LSM CAMAT UPT

DEPHUT KEPALA

DESA KK/

PETANI KOPERASI PENYU-LUH

alokasi dan penetapan

areal

Pencadangan areal

Sosialisasi

Sosialisasi

Sosialisasi

Informasi areal

pencadangan

Informasi areal

pencadangan

Membentuk kelompok

Membentuk koperasi

Persyaratan: - KTP - Ket. domisili - Sketsa areal

Persyaratan: - Akte pendirian - Ket. kades - Sketsa areal - Peta

Fasilitasi pembuatan sketsa areal

Rekomen-dasi

Rekomen-dasi

Rekomen-dasi

Surat permohonan

Rekomendasi Kepala Desa

perrtimbangan teknis UPT

Permohonan perorangan/

kopersai

Menerbitkan SK IUPHHK- HTR dilampiri

Peta Areal kerja 1:50.000

Tembusan SK

IUPHHK HTR

Tembusan SK

IUPHHK HTR

Verifikasi persyaratan

Verifikasi persyaratan

Surat permohonan

Surat permohonan perorangan/

koperasi

Pertimbangan teknis

SK IUPHHK HTR SK IUPHHK

HTR

187

Page 203: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden

Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %

Kepemilikan lahan 19 70.37 2 7.40 6 22.22 17 68.00 2 8.00 6 24.00 15 51.72 6 20.69 8 27.59 Ketersediaan areal 4 14.81 15 55.56 8 29.63 6 24.00 4 16.00 15 60.00 5 17.25 10 34.48 14 48.28 Keberadaan tanaman 5 18.52 13 48.15 9 33.33 16 64.00 7 28.00 2 8.00 13 44.83 11 37.93 5 17.24 Total Modal Fisik 12 44.44 12 44.44 3 11.11 3 12.00 22 88.00 0 00.00 13 44.83 14 48.28 2 6.89 Lampiran 6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden

Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %

Tingkat pendidikan 2 7.41 6 22.22 19 70.37 7 28.00 13 52.00 5 20.00 16 55.17 8 27.59 5 17.24 Tingkat pengetahuan 9 33.33 14 51.85 4 14.81 15 55.55 6 24.00 4 16.00 3 10.34 19 65.52 7 24.14 Tingkat pendapatan 0 0.00 2 7.41 25 92.59 1 4.00 9 36.00 15 60.00 1 3.45 3 10.35 25 86.20

Modal manusia 2 7.40 7 25.93 18 66.67 6 24.00 14 56.00 5 20 14 48.29 10 34.48 5 17.24

188

Page 204: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden

Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung

Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %

Kepercayaan sesama 3 11.11 22 81.48 2 7.41 9 36.00 10 40.00 6 24.00 13 44.83 15 51.72 1 3.45 Kepatuhan thd norma 10 37.04 12 44.44 5 18.52 11 44.00 11 44.00 3 12.00 7 24.14 16 55.17 6 20.69 Kepedulian 8 29.63 13 48.15 6 22.22 13 52.00 9 36.00 3 12.00 8 27.59 16 55.17 5 17.24 Keterlibatan sosial 4 14.81 20 70,07 3 11.11 3 12.00 17 68.00 5 20.00 9 31.03 15 51.72 5 17.24 Mosal Sosial 8 29.63 11 40.74 8 29.63 6 24.00 10 40.00 9 36.00 1 3.45 16 55.17 12 41.38

189

Page 205: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal No. Faktor Strategis Internal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata I. Kekuatan

1. Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 2. Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan

pemanfaatan HP menjadi legal 0.09 0.08 0.08 0.09 0.09 0.08 3. Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 0.05 0.06 0.05 0.05 0.06 0.05 4. Tingkat pengetahuan tentang implementasi HTR yang memadai 0.08 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 5. Tingkat kepercayaan terhadap, tokoh masyarakat dan agama tinggi 0.04 0.04 0.05 0.04 0.04 0.04 6. Tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi pemerintah daerah 0.05 0.04 0.05 0.06 0.05 0.05 7. Masyarakat masih menjalankan norma-norma dan nilai-nilai sosial 0.04 0.04 0.05 0.05 0.04 0.04 8. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama yang tinggi 0.05 0.04 0.05 0.05 0.04 0.05 9. Keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam program HTR tinggi

0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08

Total Bobot Kekuatan 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56

II. Kelemahan 1. Matoritas masyarakat menanam tanaman karet 0.04 0.04 0.06 0.04 0.05 0.05 2. Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 0.05 0.04 0.05 0.05 0.04 0.04 3. Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 4. Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.04 5. Tk. kepercayaan pada orang lain bila berhubungan dgn uang rendah 0.04 0.06 0.04 0.06 0.05 0.05 6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 0.05 0.06 0.06 0.05 0.06 0.06 7. Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 0.08 0.07 0.07 0.07 0.08 0.07 8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung

0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 Total Bobot Kelemahan 0.37 0.37 0.37 0.37 0.38 0.37

TOTAL BOBOT INTERNAL 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94

190

Page 206: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal No. Faktor Strategis Eksternal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata III. Peluang

1. Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 0.07 0.07 0.06 0.08 0.07 0.35 2. Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 0.05 0.06 0.08 0.05 0.05 0.28 3. Terjadi kelangkaan kayu 0.07 0.07 0.06 0.07 0.08 0.35 4. Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.25 Total Bobot Peluang 0.25 0.25 0.25 0.24 0.25 0.25

IV. Ancaman 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 0.06 0.10 0.06 0.06 0.08 0.074 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan

kemitraan) 0.12 0.10 0.12 0.12 0.12 0.117 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 0.11 0.12 0.12 0.12 0.11 0.116 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dalam mendukung HTR 0.12 0.10 0.11 0.11 0.09 0.105 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 0.09 0.09 0.10 0.10 0.09 0.096 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 0.12 0.12 0.10 0.10 0.12 0.112 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 0.13 0.13 0.14 0.14 0.13 0.134 Total Bobot Ancaman 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75

TOTAL BOBOT EKSTERNAL 1.248 1.246 1.246 1.242 1.246 1.246

Keterangan Skor Ketertarikan (Attractiveness Score) : (1) Tidak Atraktif, (2) Kurang atraktif, (3) Cukup Atraktif, (4) Sangat Atraktif 191

Page 207: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal No. Faktor Strategis Internal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata I. Kekuatan

1. Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 3 4 4 4 3 3.60 2. Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan

pemanfaatan HP menjadi legal 4 4 3 3 4 3.60 3. Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 3 3 3 3 3.00 4. Tingkat pengetahuan tentang implementasi HTR yang memadai 4 4 4 2 4 3.60 5. Tingkat kepercayaan terhadap, tokoh masyarakat dan agama tinggi 3 2 3 3 4 3.00 6. Tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi pemerintah daerah 3 4 3 4 3 3.40 7. Masyarakat masih menjalankan norma-norma dan nilai-nilai sosial 1 3 2 3 3 2.40 8. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama yang tinggi 3 2 3 2 1 2.20 9. Keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam program HTR tinggi

3 4 4 3 4 3.60 Total Rating Kekuatan 27 30 29 27 29 28.40

II. Kelemahan 1. Matoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 3 4 4 3 3.40 2. Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 3 2 2 3 2 2.40 3. Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 4 4 3 3.80 4. Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 2 1 2 1 1.60 5. Tk. kepercayaan pada orang lain bila berhubungan dgn uang rendah 2 2 2 2 2 2.00 6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 2 3 2 2 3 2.40 7. Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 4 3 3 4 4 3.60 8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung

3 4 3 3 3 3.20

Total Rating Kelemahan 23.00 21.00 24.00 21.00 23.00 22.40 TOTAL RATING INTERNAL 53 50 51 50 53 50.80

192

Page 208: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal No. Faktor Strategis Eksternal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata III. Peluang

1. Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 3 4 3.40 2. Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 3 3 4 3 1 2.80 3. Terjadi kelangkaan kayu 3 4 4 4 3 3.60 4. Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 3 2 3 2 3 2.60 Total Rating Peluang 12 12 15 12 11 12.40

IV. Ancaman 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 3 1 3 1 1.80 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan

kemitraan) 4 2 2 1 3 2.40 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 3 2 4 3 3 3.00 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dalam mendukung HTR 3 2 2 2 3 2.40 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 3 2 2.60 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 4 2 3 2 2.80 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 4 2 3 4 3 3.20 Total Rating Ancaman 21 18 16 19 17 18.20

TOTAL RATING EKSTERNAL 33 30 31 31 28 30.60 193

Page 209: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 1 Skor AS Strategi 1 : Mengakomodir Pola Pemanfaatan Kawasan Hutan yang Ada Saat Ini Sebagai Salah Satu Bentuk HTR

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 4 4 3 4 4 3.8 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 4 3 4 4 4 3.8 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 2 2 4 3 3 2.8 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 4 4 3 3 4 3.6 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 2 2 1 2 1 1.6 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 3 4 4 4 4 3.8 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 3 2 2 3 4 2.8 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 2 2 1 3 3 2.2 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi

4 3 4 4 4 3.8 II KELEMAHAN

1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 4 4 3 4 3.6 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 2 3 2 2 3 2.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 3 4 4 3.8 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 2 3 2 2 2.2 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 2 3 2 3 3 2.6 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 3 2 3 3 2 2.6 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 3 4 4 3 4 3.6 8

Budaya masyarakat yang kurang mendukung

4 4 4 4 3 3.8

194

Page 210: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lanjutan Lampiran 12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 1

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 4 4 4 3 4 3.8 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 3 4 3 3 4 3.4 3 Terjadi kelangkaan kayu 2 3 4 3 3 3.0 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 4 4 3 3 4 3.6

IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 3 3 4 2 3 3.0 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 4 3 3 2 4 3.2 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 4 3 4 4 3 3.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 3 4 4 3 4 3.6 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 3 4 3.0 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 4 3 4 2 3 3.2 7 Jumlah pendamping yang belum memadai

4 3 4 4 3 3.6

195

Page 211: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 2 Skor AS Strategi 2 : Mengoptimalkan Dukungan Pemda untuk Percepatan HTR

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 3 3 2 3 4 3.0 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 4 4 3 4 4 3.8 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 4 2 2.8 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 3 3 4 3 4 3.4 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 4 3 4 4 3 3.6 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 4 3 4 4 3.8 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 1 3 2 3 2.2 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 2 2 3 2 2 2.2 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi

3 4 3 3 3 3.2

II KELEMAHAN 1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 2 3 2 1 2.2 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 4 3 3 4 3 3.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 3 4 4 3 4 3.6 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 1 2 3 2 2.0 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 2 3 3 2 1 2.2 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 2 2 3 2 2 2.2 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 3 4 2 3 3 3.0 8

Budaya masyarakat yang kurang mendukung

3 3 4 3 4 3.4

196

Page 212: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lanjutan Lampiran 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 2

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 4 3 3.4 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 2 2 3 2 2 2.2 3 Terjadi kelangkaan kayu 2 3 3 4 4 3.2 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 4 3 4 4 3 3.6

IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 2 1 2 1.6 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 3 3 4 3 3 3.2 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 2 3 3 2 3 2.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 2 3 3 2 3 2.6 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 2 2 3 3 2 2.4 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 4 2 3 4 3.2 7 Jumlah pendamping yang belum memadai

2 2 3 2 2 2.2

197

Page 213: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lampiran 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 3 Skor AS Strategi 3 : Menggunakan Isu Kelangkaan Kayu dan Pemasaran sebagai Rangsangan Untuk Menanam Pohon

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 4 4 3 3 4 3.6 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 3 3 3 4 3 3.2 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 2 3 2.6 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 4 3 3 4 3 3.4 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 2 2 3 3 2 2.4 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 3 4 4 2 3.4 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 3 2 2 3 2.4 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 3 4 2 2 2 2.6 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi

3 4 4 3 4 3.6

II KELEMAHAN 1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 1 2 1 2 2 1.6 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 2 3 2 3 2 2.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 4 3 4 3.8 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 3 3 2 3 3 2.8 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 3 2 3 3 2 2.6 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 3 2 3 3 4 3.0 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 4 3 3 4 2 3.2 8

Budaya masyarakat yang kurang mendukung

4 4 3 4 3 3.6

198

Page 214: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

Lanjutan Lampiran 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 3

No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)

Resp. 1

Resp. 2

Resp. 3

Resp. 4

Resp. 5 Rerata

III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 3 3 3.2 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 4 4 4 3 4 3.8 3 Terjadi kelangkaan kayu 4 4 4 4 4 4.0 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 3 4 4 3 4 3.6

IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 1 2 2 1.6 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 2 3 2 2 1 2.0 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 3 2 3 3 2 2.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 3 2 1 2 2 2.0 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 2 1 2.2 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 3 2 3 3 2.8 7 Jumlah pendamping yang belum memadai

4 3 3 2 3 3.0

199

Page 215: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

200 Lampiran 15.Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan di Kelompok Hutan

dalam Kawasan Pencadangan HTR di sekitar Desa Taman Bandung

No Nama Jenis Lokal Nama Botani Famili

1 Balam terung Palaquium hexandrm Baill Sapotaceae

2 Balam tenginai Palaquium ridleyi K.et.G Sapotaceae

3 Beringin Ficus benyamina Moracea

4 Bengkirai Shorea laevolia Dipterocarpaceae

5 Binuang Octomeles sumatrana Datisceae

6 Durian hutan Durio carinatus Bombaceae

7 Geronggang Craxtoxylum arborescens Bl Guttiferae

8 Gaharu buaya Gonystylis macrophylus A.Shaw Thymeliaceae

9 Gaharu Axuilaria malacensis Thymeliaceae

10 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae

11 Jabon Anthocephalus chinensis Rubiaceae

12 Jelutung Dyera costulata Apocynaceae

13 Katiau Ganua motleyana Pierrre Sapotaceae

14 Kempas/Mangeris Koompasia malcensis Maing Caesalpinaceae

15 Kepayang Scaphium macropodium J.B, Sterculiaceae

16 Kedondong hutan Pentaspadon montleyi Hook.f Anarcadiaceae

17 Kelat Xylopioa sp Annonaceae

18 Keranji Dialium platysepalum Baker Caesalpinaceae

19 Keruing Dipterocarpus sp Dipterocarpaceae

20 Kulim Scorodocarpus borneensis Becc Olacaceae

21 Laban Vitex pubescens Vak Verbenaceae

22 Mahang Macaranga triloba Muell.Arg. Euphorbiaceae

23 Mahang Sekubung Macaranga gigantea Muell.Arg Euphorbiaceae

24 Kayu Arang Diospyros malam Bakh Ebenaceae

25 Meranti tembaga Shorea leprosula Dipterocarpaceae

26 Medang seluang Litsea firma Hook.f Lauraceae

27 Medang Kuning Litsea sp Lauraceae

28 Medang Labu Litsea sp Lauraceae

29 Meranti Maja Shorea virescens Parijs Dipterocarpaceae

Page 216: repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/61111/2012dfe.pdf · PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI . DAN SUMBER INFORMASI . Saya yang bertanda tangan di bawah

201 Lanjutan Lampiran 15. Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan di

Kelompok Hutan dalam Kawasan Pencadangan HTR

No Nama Jenis Lokal Nama Botani Famili

30 Merpayang Sterculia MacrophyllaVent Sterculiaceae

31 Mersawa Anisoptera marginata Dipterocarpaceae

32 Pulai Alstonia angustifolia Wall Apocynaceae

33 Pulai gading Alstonia scholaris Apocynaceae

34 Pelawan Tristania Whiteana Griff Myrtaceae

35 Petaling Ochanostachys amantaceae Nast Olacaceae

36 Petanang Dryobalanops oblongifolia Dipterocarpaceae

37 Pinang Arenga catechu Palmae

38 Randu Ceiba petandra Bombaceae

39 Rotan saga Calamus tiliaceus Graminaeae

40 Rotan jenang Daemonorop sp Graminaeae

41 Simpur Dilenia exelsa Miq Moraceae

42 Sungkai Paneronema canescens Jack Verbenaceae

43 Terentang Campnosperma auriculata Anarcadiaceae

44 Tengkawang Shorea stenoptera Burck Dipterocarpaceae

45 Tengkawang Shorea palembanica Dipterocarpaceae

46 Tengkawang Shorea pinanga Dipterocarpaceae

47 Tengkawang telur Shorea compressa Burck Dipterocarpaceae

48 Terap Artocarpus elasticus Reinw Moraceae