mengembalikan daulat warga pesisir: partisipasi, representasi dan demokrasi di aras loka

18
REVIEW BUKU Judul Buku : Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Lokal Penulis : Hasrul Hanif Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta Tahun Terbit : 2008 Jumlah Halaman : 204 Hasrul Hanif merupakan seorang pemuda lulusan Universitas Gadjah Mada dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Semasa kuliah aktif sebagai Pemimpin Umum di LPPM Sintesa Fisipol UGM dan Editor Jurnal Transformasi. Memiliki banyak pengalaman penelitian dan advokasi di dalam kajian demokrasi, desentralisasi, HAM, multikulturalisme, anggaran partisipatif dan lain sebagainya. Selain itu tulisannya banyak tersebar dalam bentuk tulisan jurnal, buku, majalah serta makalah seminar nasional. Salah satu judul buku yang telah dia terbitkan adalah Mengembalikan Kedaulatan Rakyat Pesisir. Buku ini menyajikan proses institusionalisasi demokrasi di Indonesia dengan cara yang berbeda dan sangat menarik. Demokratisasi dimunculkan sebagai sebuah kerajinan yang runyam dan realistis karena hadir melalui berbagai ketegangan, pro- kontra dan tawar menawar di antara berbagai aktor yang terlibat. Lebih dari itu, proses yang berlangsung menyatu

Upload: izzy-el-fasha

Post on 31-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tugas Mata Kuliah Sosiologi Perikananoleh: Ahmad TafriziNIM : 11/318054/PN/12376Jurusan Perikanan Fakultas PertanianUniversitas Gadjah MadaYogyakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

REVIEW BUKU

Judul Buku : Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan

Demokrasi di Aras Lokal

Penulis : Hasrul Hanif

Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Tahun Terbit : 2008

Jumlah Halaman : 204

Hasrul Hanif merupakan seorang pemuda lulusan Universitas Gadjah Mada dari

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Semasa kuliah aktif

sebagai Pemimpin Umum di LPPM Sintesa Fisipol UGM dan Editor Jurnal Transformasi.

Memiliki banyak pengalaman penelitian dan advokasi di dalam kajian demokrasi,

desentralisasi, HAM, multikulturalisme, anggaran partisipatif dan lain sebagainya. Selain itu

tulisannya banyak tersebar dalam bentuk tulisan jurnal, buku, majalah serta makalah

seminar nasional. Salah satu judul buku yang telah dia terbitkan adalah Mengembalikan

Kedaulatan Rakyat Pesisir.

Buku ini menyajikan proses institusionalisasi demokrasi di Indonesia dengan cara

yang berbeda dan sangat menarik. Demokratisasi dimunculkan sebagai sebuah

kerajinan yang runyam dan realistis karena hadir melalui berbagai ketegangan, pro-kontra

dan tawar menawar di antara berbagai aktor yang terlibat. Lebih dari itu, proses yang

berlangsung menyatu dengan keseharian masyarakat, meskipun kental dengan nuansa

politik.

Selain itu disajikan pula penelusuran terhadap COFISH Project dan dinamika interaksi

internal di Pengolahan Sumber daya Berbasis Komunitas (PSBK) di kawasan sebuah desa

Pesisir Pantai Prigi, Kabupaten Trenaggalek, Provinsi Jawa Timur. Alasan dipilihnya daerah

tersebut dikarenakan Prigi merupakan daerah yang di masa transisi politik sedang

mengalami proses pembangunan kawasan pesisir yang sangat eksesif dengan hadirnya

COFISH project. Selain itu, interaksi negara dengan masyarakat serta instituisi PSBK di Prigi

sangat dinamis dibandingkan dengan daerah COFISH project lainnya dan secara sosiologis,

konfigurasi sosial masyarakat prigi lebih kompleks dan berbeda dengan masyarakat kawasan

pesisir lainnya.

Page 2: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

Buku ini keluar dari jebakan elektoralisme yang membayangkan demokrasi tidak

lebih dari sekedar pemberlakuan serangkaian tatanan prosedural. Tidak hanya keluar dari

jebakan elektoralisme melainkan juga member warna lain bagi kajian demokrasi di

Indonesia. Proses demokratisasi tidak lagi focus ke peraturan politik di Jakarta

sebagai centrum. Sebaliknya demokratisasi justru dibedah secara jeli proses tersebut

dalam day to day politics di tingkat lokal. Daily life politics cukup lama diposisikan sebagai

kajian pinggiran sehingga selalu terabaikan. Padahal justru dengan memasuki daily life

politics tersebut. Tantangan demokratisasi yang sesungguhnya baru bisa kita rasakan.

Lebih jauh buku ini kemudian secara bernas mampu membaca dimensi-dimensi

informalitas dalam proses demokratisasi. Informalitas adalah hal yang nyata hadirnya dalam

proses demokratisasi dan seringkali justru lebih menentukan nasib demokratisasi itu sendiri

namun tampaknya dilupakan dalam kajian demokrasi di Indonesia.

Ada 6 Bab dalam buku ini. Pada Bab 1 berisi basis kerangka teoritik yang akan

menjadi kerangka berpikir dalam seluruh bangunan argumen dalam buku ini. Di mana di

dalamnya dibahas tiga konsep kunci, yaitu; konsepsi tentang rejim Otiritarian Birokratik

(OB), korporatisme representasi politik dan demokratisasi di ranah sosial. Proses konsolidasi

rejim politik developmentaliss dan korporatisasi representasi politik di ranah lokal di mana

demokrasi dipasung dijelaskan pada Bab 2.

Selanjutnya di Bab 3 dibahas secara lebih mendalam bagaimana rejim

developmentalis di ranah lokal pesisir untuk melakukan negoisasi politik dan merekonstruksi

baru watak dan wajah otokratiknya dengan menghadirkan model kebijakan pembangunan

yang terlihat populis serta mendorong terbentuknya ruang representasi politik yang lebih

demokratis. Untuk proses penciptaan praktik politik yang demokratis melalui PSBK Prigi

Lestari sebagai ruang representasi politik baru dijelaskan pada Bab 4. Arus polotik subversif

atas matinya kanal demokrasi partisipatoris di aras lokal dan pengembalian daulat warga

dalam proses kebijakan di aras lokal akan dibahas secara mendetail pada Bab 5 dan Bab 6.

Page 3: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

BAB 1. Rezim Developmentalis, Korporatisme Negara dan demokrasi

Istilah rezim sebenarnya dirumuskan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-

aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara.

Dengan demikian, rezim bisa otoriter dan bisa juga demokratis. Gagasan rezim Otoritarian-

Birokratik (OB) awalnya dimunculkan untuk menjelaskan fenomena otoritarianisme negara-

negara berkembang pada konteks historis tertentu yaitu pada saat berlangsungnya proses

deepening (perluasan). Seiring berjalannya waktu, muncul gejala perubahan sistem politik di

mana keberhasilan pembangunan berjalan bersamaan dengan meningkatnya praktik

kekerasan dan otoritarisme.

Ada beberapa konsep rezim Otoritarian-Birokratik (OB). Telah digambarkan oleh

Guillermo O’Donnel (1973) bahwa rezim OB tak hanya berhasil menampilkan negara

menjadi sebuah kekuatan politik yang relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi

pendukungnya dan masyarakat sipil, tetapi juga mampu memiliki kekuatan dominan yang

mampu mengatasi keduanya. Rezim OB menurut Herb Feith (1980) mempunyai bentuk

ideologis yang khas dengan tiga unsur karakter penopang, yaitu: teknokratis-

developmentalis, militeristis dan nasionalistis. Ada satu konsep rezim OB lainnya yang

dimunculkan oleh King, di mana konsep ini lebih banyak menekankan dimensi dominasi,

manajemen politik dan budaya politik ketimbang budaya dimensi historis-struktural dan

ekonomi politik.

Terdapat berbagai keterbatasan akan studi rezim OB diantaranya selama ini studi

rezim OB tidak menjelaskan lebih lanjtu konteks historis-struktural negara, selain itu hanya

sedikit sekali studi rezim OB yang menyinggung persoalan representasi politik masyarakat

dan tidak terlalu peka dalam mendokumentasikan dinamika di ranah politik masyarakat akar

rumput. Studi rezim OB juga tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana prospek dan masa

depan demokrasi di ranah lokal di mana rezim OB sedang menjalankan peran-peran

politiknya. Dengan demikian, keterbatasan studi rezim OB untuk menjelaskan bobot

otoritarianisme rezim, representasi masyarakat serta interaksi elemen pendukung rezim OB

dan masyarakat di ranah lokal sangatlah membuka peluang untuk memodifikasi model

tersebut dengan melengkapi pembahasan teoritik pada karya akademik.

Kajian utama mengenai studi korporatisme adalah pentingnya sistem intermediasi

kepentingan yang menghubungkan antara kepentingan-kepentingan prosedur dan negara

Page 4: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

secara eksplisit, pada ranah organisasi pembuat kebijakan, baik dalam rangka negoisasi

kebijakan maupun menjaga adanya pemenuhan tuntutan dari anggota-anggota mereka

dengan kebijakan yang telah disepakati.penggunaan jejaring korporatis sebagaimana yang

dilakukan oleh rezim OB di ranah lokal merupakan mekanisme yang memberi ruang bagi

negara untuk mencegah atau meminimalisir adanya kecenderungan konflik yang muncul di

dalam masyarakat lokal.

Persinggungan gagasan model rezim OB dengan Korporatisme terjadi saat negara

akan melakukan tindakan-tindakan akomodatif terhadap kelas dominan dan represif

terhadap tuntutan-tuntutan yang muncul dari kekuatan-kekuatan kelas bawah. Kehadiran

rezim OB di ranah lokal melibatkan proses negoisasi, akomodasi dan resistensi yang muncul

terus menerus mengiringi konsolidasi elemen pendukung rezim OB di ranah lokal. Proses

tersebut muncul sebagai akibat perkembangan pertumbuhan sosial yang menghasilkan

marjinalisasi kelompok tertentu dan bisa pula muncul dari kontradiksi. Rezim OB dan

jejaring korporatisnya akan selalu menampakkna derajat intervensi dan penetrasi yang

sangat dinamis dan sangat beragam dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Sekuat apapun rezim otoriter bertahan, pada fase historis tertentu akan kehilangan

kapasitasnya dan berada pada muara krisis. Fase perubahan yang muncul pascakrisis

legitimasi rezim OB ditandai oleh dua fase waktu, yaitu: liberalisasi dan transisi. Fase

liberalisasi merupakan proses pengefektifan hak-hak politik yang melindungi individu dan

kelompok-kelompok sosial dari perbuatan kesewenang-wenangan atau tidak sah dari

negara atau pihak ketiga. Sedangkan fase transisi titik awal atau interval selang waktu

antara rezim otiritarian dengan rezim demokratis.

Setelah proses liberalisasi dan transisi terlewati, maka fase berikutnya adalah fase

konsolidasi. Konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen

seluruh elemen yang ada terhadap aturan demokrasi. Dengan kata lain, konsolidasi

mensyaratkan adanya transformasi di ranah masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan yang

mandiri independen dan otonom setelah sekian lama berada dalam struktur korporatis

negara serta mengalami kooptasi dan penetrasi negara yang begitu mendalam. Konsolidasi

pada fase lebih lanjut bukan sekedar memastikan instuisi-instuisi demokrasi bisa hadir dan

bekerja secara aturan main bisa ditegakkan, tetapi kini muncul tuntukan untuk

mengembangkan inovasi institusional dalam rangka penciptaan ruang dan mekanisme di

mana aktivitas keterlibatan dan partisipasi publik aktif dalam berbagai proses politik.

Page 5: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

BAB 2. Konsolidasi Rezim Developmentalis, Otoritarianisme dan Demokrasi

Semu di Aras Lokal

Rezim Otiritarian-Birokratik (OB) Orde Baru muncul dengan menanggung berbagai

beban warisan krisis struktural rezim-rezim sebelumnya. Krisis tersebut berupa inflasi-inflasi

yang merajalela, beban utang yang sangat berat serta menciptakan situasi di mana proses

politik yang demokratis bagi pemimpin baru, dianggap tidak akan menciptakan kebijakan-

kebijakan yang secara ekonomi layak dan secara politis bisa diterima.

Rezim OB Orde Baru telah mampu menjadikan negara sedemikian relatif otonom

dari kekuatan-kekuatan di luar negara tetapi juga tetap populis. Dalam rangka

mengorganisir adanya peningkatan aktivasi politik massa dan konflik kepentingan yang pasti

muncul, strategi penggunaan jaringan-jaringan koorporatis menjadi hal yang sentral bagi

rezim OB Orde baru.

Semenjak awal kelahirannya, rezim OB Orde baru telah mengukuhkan pilihannya

atas stabilisasi dan pembangunan ekonomi kapitalistik berorientasi keluar. Untuk semakin

mengukuhkan proses tersebut, reproduksi wacana modernisasi sosialmasyarakat desa

melalui revolusi hijau di wilayah agraris dan revolusi biru di wilayah pesisir diperkenalkan

dalam komunikasi sosial di desa untuk menyanggah supra ideologi nasional.

Sementara itu, dominasi negara atas rakyat mulai memapankan keberadaannya

semenjak terintegrasinya sistem perekonomian desa yang awalnya subsisten pada sistem

ekonomi kapitalistik melalui kebijakan modernisasi pertanian dan perikanan. Praktik

modernisasi di pedesaan bukan hanya menjadi proses pelanggaran kemiskinan dan jurang

disparitas sosial yang semakin menganga tetapi juga memunculkan fenomena yang disebut

politik “carrots” berupa hubungan ekonomi elit lokal terhadap negara.

Krisis kapitalisme di Asia Tenggara pada paruh waktuu 1997 menjadi momen historis

yang menandai runtuhnya bangunan bangunan kekuasaan rezim otokratik Orde baru.

Prosesi krisis ini diawali oleh devaluasi mata uang rupiah terhadap dolar AS dan diperparah

oleh rapuhnya “psikologi” pasar atas ketidakpastian ekonomi yang kemudian memunculkan

adanya percepatan pengalihan modal. Alhasil, kemiskinan tiba-tiba membayangi setiap

sudut ruang negara yang pernah mendapat julukan sebagai salah satu “Asian Miracles” ini.

Page 6: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

Adapun krisis legitimasi muncul sebagai arus balik dan blunder tindakan politik

negara yang semakin memuncak sehingga negara harus menuai banyak gugatan oposisional

dan anarkis baik dari kalangan elit maupun masyarakat akan rumput. Kemampuan represi

negara pun menghilang sehingga tak mampu lagi mengontrol segala aktivitas kehidupan

masyarakat. Perubahan politik-ekonomi yang telah terjadi tentunya memaksa rezim OB

yang berkuasa untuk mengubah wajah otokratiknya bila tetap ingin bertahan di tengah

gerusan arus politik subversif aktor nonnegara dan tercabutnya basis dukungan sumberdaya

ekonomi dan politik.

BAB 3. Krisis Rezim Developmentalis, Wacana Pembangunan Alternatif dan

Inisiasi Demokrasi Partisipatoris di Aras Lokal

Kekuatan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) yang selama rezim Otoritarian-

Birokratik (OB) Orde Baru berkuasa selalu dianggap subversif keberadaannya., kini

memperloeh ruang yang semakin leluasa untuk terlibat lebih jauh dalam proses

pembangunan sosial yang sedang berlangsung. Pendampingan Ornop kini seakan inheren

delam setiap perumusan kebijakan pembangunan.

Peran negara dan dominatif dan intervensionis dalam kebijakan modernisasi

perikanan juga membawa dampak yang buruk terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya

perikanan dan konflik nelayan. Proses modernisasi menempatkan negara sebagai pelaksana

yang merumuskan, mengimplementasikan serta mengevaluasi kebijakan. Maka tak

mengherankan jika dalam kenyataannnya justru negara lebih sering menggunakan

kekuatan-kekuatan represif dalam mengelola sumber daya perikanan dan mencegah

munculnya konflik dan resistensi nelayan terhadap modernisasi perikanan.

Rezim OB Orde Baru sepertinya tak pernah menyangka akan menjemput denting

kehancurannya dalam waktu yang relatif cepat setelah krsis ekonomi dan legitimasi

berlangsung sejak 1997. Sementara itu posisi tawar dan pengawasan kekuatan di luar

negara, baik di ranah domestik maupun internasional semakin menguat. Sedangkan

kekuatan internasional yang selama ini menopang keberlangsungan sumberdaya material

lewat hibah, utang luar negeri maupun investasi asing mulai membangun pengawasan ketat

Page 7: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

atas alokasi aliran dana. Akibatnya strategi politik “carrot” yang menjadi tumpuan utama

untuk memperoleh loyalitas dari arus bawah tak mampu berjalan mulus.

Gabaran tersebut di atas nyata tercermin pada prosesi awal implementasi kebijakan

pembangunan kawasan pesisir melalui kehadiran mega proyek COFISH (Coastal Community

Development and Fisheries Resource management) di kawasan Desa Pantai Prigi, Kabupaten

Trenggalek, Jawa Timur. Mega proyek tersebut merupakan serangkaian dari proyek

PMP2SP. Pilihan kawasan Pantai Prigi memunculkan pertanyaan akan seberapa besar

kepentingan politik ekonomi terhadap kawasan yang sudah menjdai salah satu fishing base

utama di daerah pesisir timur selatan semenjak jaman kolonialisme Belanda tersebut.

Secara ekonomis, kawasan Desa Pantai Prigi memang sangat potesial untuk

dipersiapkan menjadi “pintu gerbang” sektor industri perikanan dan kelautan di pantai

selatan. Catatan lain menunjukkan bahwa Prigi juga mempunyai posisi geografis yang

strategis secara ekonomi dan politik bagi pemerintah lokal. Maka tidak mungkin bila

pembangunan kawasan desa Pantai Prigi hanya merupakan upaya pembangunan dan

perluasan daerah pendaratan ikan serta pemberdayaan masyarakat nelayan semata.

Berbagai upaya peyediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur penopang telah lama

dilakukan oleh pemerintah seiring berjalannya proyek COFISH.

Keberadaan institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis

komunitas atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah PSBK pada awalnya merupakan

bagian implementasi desain kebijakan pembangunan kawasan desa Pantai Prigi. Pada

awalnya pembentukan PSBK Prigi lestari dilakukan untuk melaksanakan kerangka kerja yang

telah disusun dalam Perencanaan Manajemen Perikanan. PSBK Prigi Lestari itu sendiri

merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai forum untuk berdiskusi

dan mencari pemecahan serta mengantisipasi terhadap permasalahan pengelolaah

terhadap sumberdaya perikanan dan lingkungan yang lestari demi meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Adapun struktur organisasi harian PSBK Prigi Lestari terdiri dari struktur legislatif

atau Majelis Musyawarah Masyarakat Pantai (M3P) dan eksekutif atau badan pelaksana.

Jalannya organisasi Prigi Lestari tersebut dipegang oleh kepengurusan yang bekerja dalam

periode waktu 3 tahun dan bisa dipilih kembali. Agar desain kelembagaan yang sudah

diformulasikan sejak awal tersebut mampu terlaksana dengan baik dan optimal, keberadaan

PSBK Prigi Lestari didampigi oleh beberapa Ornop yang terjun langsung dalam berbagai

Page 8: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

kegiatan PSBK. Ada 2 Ornop yang tercatat pernah terlibat dalam pendampingan PSBK Prigi

Lestari, yaitu: SPEKTRA Surabaya dan Yayasan Bina Masyarakat Madani (BMM).

Adapun keempat peran yang mesti diemban oleh PSBK Prigi Lestari dan Kiprah yang

telah dilakukan oleh PSBK Prigi Lestari adalah sebagai berikut: dilakukannya pelestarian

lingkungan dengan malaksanakan usaha penanaman bakau,reboisasi hutan pantai, fish

sanctuary dan pengadaan MCK umum. Selain itu dilakukan juga pengelolaan sumberdaya

perikanan. Selanjutnya diversifikasi usaha melalui berbagai pelatihan manajemen

pemasaran, sentralisasi pengolahan ikan, pembuatan kios pemasaran ikan dan pembagunan

TPA pengelola limbah pindang. Terakhir dilakukannya pengembangan sumberdaya manusia

dalam rangka meningkatkan mutu SDM di kawasan Prigi.

Agar perannya bisa berjalan optimal, maka PSBK Prigi Lestari terlibat dalam

penentuan dan pengaturan zonasi penangkapan iakan, serta terlibat dalam patroli laut dan

pengalihan profesi nelayan jaring tarik. PSBK Prigi Lestari juga terlibat ke dalam beberapa

kasus mediasi konflik nelayan yang terjadi di kawasan Prigi. Semua peran tersebut disusun

menjadi berbagai program Kerja Kegiatan PSBK Lestari atau masih menjadi rencana jika

belum terlaksana.

BAB 4. Penyingkiran Publik, Reoligarki dan Matinya kanal Demokrasi

Partisipatoris di Aras Lokal

Sejak awal usaha-usaha untuk menciptakan PSBK Prigi Lestari sebagai sebuah instuisi

yang mampu melakukan peran-peran intermediasi antara negara dengan stakeholders yang

lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan pelestarian lingkngan dengan basis

komunitas telah menjadi perhatian serius aktivis Ornop yang mendampinginya sejak awal

pembentukan. Seiring dengan selesainya kontrak kemitraan SPEKTRA dengan COFISH

Project, SPEKTRA tak lagi mendampingi dan memfasilitasi PSBK Prigi Lestari. SPEKTRA pun

merangkul Ornop yang berbasis lokal dalam proses pendampingan tersebut. Dengan

kemampuan yang ada, Ornop diharapkan mampu mendampingi dan memfasilitasi PSBK

Prigi Lestari.

Page 9: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

Adanya manifestasi potensi konflik yang merupakan masalah sosial penting dalam

kehidupan masyarakat pesisir juga tak luput dari perhatian SPEKTRA saat mendampingi

pembentukan PSBK Prigi Lestari. Untuk mencegah terulangnya hal tersebut dan terjadinya

transformasi di dalam tubuh PSBK Prigi Lestari, SPEKTRA melakukan antisipasi dengan

merekayasa posisi puncak dengan presidium dipegang oleh orang yang tidak memiliki

kepentingan langsung.

Namun upaya menjadikan PSBK Prigi Lestari bukan sekedar community development

tak sepenuhnya mendapat dukungan dari kalangan aktivis SPEKTRA lainnya. Keretakan yang

terjadi di tubuh SPEKTRA menyebabkan konsolidasi internal SPEKTRA maupun hubungannya

dengan Ornop lainnya menjadi rapuh. Pada saat bersamaan keretakan di tubuh Ornop

tersebut dibarengi oleh rendahnya antusiasme masyarakat terhadap kehadiran PSBK Prigi

Lestari.

Adanya dominasi birokrasi, rapuhnya kohesivitas kekuatan Ornop pendamping,

lemahnya dukungan masyarakat akibat elitisme instuisi, rendahnya kemampuan organisasi

dan minimnya jaringan, tidak adanya pengetahuan wakil masyarakat di PSBK Prigi Lestari

tentang communitiy-development merupakan beberapa hal yang muncul mengiringi

perjalanan awal PSBK Prigi Lestari.

Interaksi internal PSBK Prigi Lestari akhirnya diwarnai oleh absennya corporate

culture yang mampu mempola PSBK Prigi Lestari secara kelembagaan menjadi sebuah

instuisi yang mandiri, legitimate dan berbasis inisiatif masyarakat dalam melaksanakan

peran-perannya pada kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan, usaha peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan tak pernah optimal.

PSBK Prigi Lestari tampak aktif dalam mendampingi usaha-usaha sosialisasi sehingga

tak berlebihan bila instuisi ini dikenal oleh masyarakat sebagai bagian dari COFISH Project

semata. Namun, kehadiran PSBK Prigi Lestarii juga tak dianggap signifikan di mata

masyarakat akar rumput.

Page 10: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

BAB 5. Arus Politik Subversif Atas Matinya Kanal Demokrasi Partisipatoris di

Aras Lokal

Kanal bagi masyarakat rumput untuk mengartikan kepentingannya dalam PSBK tidak

pernah dibuka secara luas akan kuatnya oligarki lokal. Hal ini seringkali membuat lapisan

sosial terluas dalam piramida struktur sosial tersebut tak bersuara. Padahal merekalah yang

seringkali terkena langsung dari dampak kebijakan yang dirumuskan di PSBK Prigi Lestari.

Akibatnya secara perlahan resistensi akan terbangun dan akan menjadi bagian dari respon

sebuah komunitas bila batas-batas substensi dari komunitas tersebut sudah mulai diusik.

Berbagai pola resistensi ternyata juga muncul di kalangan masyarakat akar rumput Prigi saat

substensi mereka mulai terusik oleh kehadiran PSBK Prigi Lestari dan COFISH Project.

Bentuk resistensi frontal yang paling kuat dan bertahan lama adalah perlawanan

yang dimotori oleh seorang pendeta Italia bernama Romo Logano. Romo Logano

mempunyai sebuah lembaga yang menampung berbagai nelayan dan berusaha

mengembangkan dunia kelautan dan lembaga ini diberi nama Lembaga Pengembangan

Kenelayanan (LPK). Lembaga ini tak mau terlibat jauh dalam proyek pemberdayaan

masyarakat dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Prigi melalui COFISH Project dan

PSBK Prigi Lestari.

Kehadiran LPK Romo Logano mempunyai pengaruh yang sangat besar, terutama di

dalam interaksi dan transaksi ekonomi di kawasan desa Pantai Prigi. Hal ini tidak bisa

dilepaskan dari keberhasilan mereka dalam mempertahankan sistem pengelolaan

sumberdaya perikanandan kelautan lama pada jenis alat tangkap purse seine, yang dikenal

dengan istilah sistem bagi hasil esekan dalam jatah ikan makan.

Perlawanan akar rumput yang bersifat frontal lainnya terjadi saat usaha pemindahan

nelayan dari Pantai Prigi ke Pantai Cengkrong. Peristiwa tersebut diawali oleh adanya upaya

negara untuk mengembangkan kapasitas pelabuhan Prigi dari pelabuhan biasa menjadi

Pelabuhan Perikanan Nusantara pada pertengahan Sepetmber 2001. Kebijakan tersebut

bahkan mendapat dukungan dari PSBK Prigi Lestari. Akhirnya PSBK Prigi Lestari

dikambinghitamkan oleh tim COFISH Project dan juga masyarak akar rumput. PSBK ini

dianggap tidak bisa memegang tanggung jawab untuk menjaga daerah fish sanctuary dan

tidak banyak memihak pada masyarakt akar rumput.

Page 11: Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Loka

BAB 6. Mengembalikan Daulat Warga dalam Proses Kebijakan di Aras Lokal

Rezim developmentalis yang sudah cukup lama berkuasa harus dihadapkan dengan

beragamketerbatasan politiknya yang mengungkungnya karena adanya pergeseran

atmosfer ekonomi dan politik baik bersifat internal maupun eksternal. Negara harus

menerima kenyataan berada pada titik nadir legitimasi karena dukungan sumberdaya

alokatif dan otoritatif yang selama ini mampu membangunnya menjadi power house state

tidak lagi mengalir deras. Oleh karena itu, negara harus menegosiasikan ulang format

politiknya dengan mendorong adanya top-down crafting participatory democracy.

Namun harapan terciptanya sebuah proses kebijakan pembangunan yang partisipatif

dan ruang representasi politik baru yang lebih demokratis ternyata tak pernah tercapai.

Kekuatan Ornop yang mendampingi dikooptasi. Pada saat bersamaan, ada hasrat kuat untuk

membangun reoligarki elit lokal yang cukup lama menikmati fasilitas sebagai state-

sponsored client.

Wacana pembangunan partisipasi ternyata tidak lebih dari kamuflase baru negara di

ranah lokal yang diadopsi untuk bernegoisasi dengan negara ketika tak lagi memiliki

kapasitas koersif dan hegemonik yang cukup kuat. PSBK Prigi Lestari sebagai ruang

representasi sosial hanyalah menjadi invite space dan gagal menjadi popular space.

Akibatnya, berbagai kebijakan yang dihasilkan tidak pernah mendapat legitimasi yang kuat

dari masyarakat rumput, malah mendapatkan resistensi arus bawah.

Agar prinsip-prinsip dasar dapat terejahwantahkan dalam inovasi kelembagaan yang

ada, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu ditransformasikan. Usaha-usaha

mempromosikan partisipasi publik harus dibarengi oleh komitmen untuk memperluas dan

mendeformalisasi ruang-ruang publik yang ada. Selain itu, kehadiran sebuah kekuatan civil

society yang otonom dan solid dengan kemampuan jaringan instiitusional yang mutlak

sangat mapan urgensinya. Dengan adanya kerjasama yang tinggi dalam berbagai kegiatan

nonpartisan, nantinya diharapkan akan berkembang budaya kewarganegaraan yan g

membuat demokrasi dan pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Demokrasi hanya

bisa terinternalisasikan dengan baik apabila ada kekuatan civil society yang potensial

menjadi kekuatan yang otonom, mandiri dan inklusif dengan semangat komunitarian yang

mengakar kuat.