menara(ips)

Upload: rizki-noor-hidayah

Post on 11-Jul-2015

161 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penting bagi kita untuk mempelajari sejarah. Karena dengan sejarah kita dapat melihat ke masa lalu, mengevaluasi apa saja yang terjadi di masa lalu, apa saja yang dapat diambil sebagai pelajaran atau yang harus dihilangkan agar hidup kita menjadi lebih baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang. Setiap tempat, benda, dan manusia sekalipun pasti memiliki sejarah masing-masing. Sesuatu itu tercipta bukan dengan sendirinya, melainkan melalui suatu proses yang sangat panjang. Apalagi bila sesuatu tersebut telah berakar kuat di dalam masyarakat. Sejarah yang mendasari terciptanya sesuatu tersebut pastilah sangat penting. Begitu pula dengan sejarah agama yang ada di Indonesia. Telah kita ketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Namun jauh sebelum para saudagar Islam datang ke tanah air, saat masih berdiri kokoh banyak kerajaan di Nusantara, agama penduduk Indonesia adalah Hindu dan Budha. Para saudagar Islam saat itu melakukan berbagai cara agar dapat menyebarkan ajaran Islam ke tanah air, mulai dari berdakwah, kesenian, hingga perkawinan. Dalam melakukan syiarnya, pastilah terdapat peninggalanpeninggalan antara agama Hindu-Budha dan Islam yang masih tersimpan hingga sekarang. B. Tujuan Penulisan

Dalam menyusun makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan yang diharapakan. Tujuan tersebut antara lain, sebagai berikut : 1 2 3 Memenuhi salah satu tugas Uji Kompetensi mata kuliah Konsep Dasar IPS. Memberikan informasi tentang Peninggalan Hindu-Budha dan Islam di desa penulis. Mengajak para pembaca untuk melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah di daerah tempat tinggal pembaca masing-masing.1

C.

Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah penulis sebutkan di atas, maka masalah

yang timbul adalah sebagai berikut: 1 2 3 4 5 Bagaimana deskripsi tentang Masjid Menara Kudus? Apa saja bagian-bagian dari Masjid Menara Kudus? Bagaimana sejarah berdirinya Masjid Menara Kudus? Bagaimana keadaan lingkungan sekitar Masjid Menara Kudus? Ritual apa saja yang biasa dilakukan di lingkungan Masjid Menara Kudus? D. Pembatasan Masalah Makalah ini penulis batasi hanya membahas tentang : 1. Deskripsi Masjid Menara Kudus. 2. Bagian-bagian Masjid Menara Kudus. 3. Sejarh berdirinya Masjid Menara Kudus. 4. Lingkungan sekitar Masjid Menara Kudus. 5. Ritual-ritual yang ada di dalam Masjid Menara Kudus. E. Metode Pengumpulan Data Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan informasi-informasi yang diperoleh dari buku atau sumber-sumber lain yang terkait dengan makalah ini.

MASJID MENARA KUDUS

2

II. Deskripsi Masjid Menara Kudus

Identitas Masjid Menara Kudus Nama Pendiri Letak : Menara Kudus : Jafar Sodiq (Sunan Kudus) : Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Tahun berdiri : 956 H atau 1549 M

Tinggi menara: 18 m Luas menara : 100 m2 Salah satu obyek wisata di kota Kudus yang sekaligus menjadi tujuan para peziarah, adalah Masjid Menara Kudus. Masjid yang didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M ini memiliki nama asli, Masjid Al-Aqsa. Keberadaan masjid ini tidak dapat dipisahkan dari sosok ulama terkenal di Kudus waktu itu, yaitu Jafar Sodiq, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Dari salah satu versi cerita yang berkembang, nama Al-Aqsa dipilih oleh Sunan Kudus sebagai buah kunjungannya dari Masjid Al-Aqsa di Palestina. Konon, Sunan Kudus pernah membawa kenang-kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina yang kemudian dijadikan sebagai batu pertama pendirian masjid yang diberi nama Masjid Al-Aqsa tersebut. Seiring berjalannya waktu, masjid tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan Masjid Menara Kudus.3

Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota sekitar 1,5 km ke arah barat pusat kota ( Simpangtujuh ), Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini. Bangunan menara, sebagai salah satu elemen yang menonjol, mengadopsi model bangunan ibadah umat Hindu dan Budha. Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m2 pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

III.

Bagian-Bagian Menara Kudus

4

1. Menara

Salah satu keistimewaan dari Masjid Kudus adalah Menara Kudus. Menara Kudus ini sangat terkenal bahkan orang lebih mengenal Menara Kudus daripada Masjid Kudus. Bentuk menara ini mengingatkan akan bentuk candi corak Jawa Timur. Regol-regol serta gapura bentar yang terdapat di halaman depan, serambi, dan dalam masjid mengingatkan kepada corak kesenian klasik di Jawa Timur. Menara Masjid Kudus merupakan bangunan kuno hasil dari akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam, bahkan unsur kebudayaan asli. Seorang sarjana Belanda yang bemama Jasper mengatakan bahwa seni hias atau ukiran dan bangunan Menara Kudus menunjukkan tradisi seni hias dari bangunan Hindu Jawa Majapahit. Unsur Islam yang tampak adalah ornamen yang serba sederhana. Sedangkan unsur Indonesia asli tampak pada hiasan tumpalnya. Motif hiasan tumpal sudah ada sejak zaman pra sejarah di Indonesia. Bagian kaki menara yang terbawah terdapat tiga buah pelipit yang tersusun menjadi satu. Bagian tengahnya merupakan bagian yang menonjol. Sedangkan bagian kaki yang paling atas terdiri dan beberapa susunan yang makin ke atas makin melebar. Sebagai penyangga antara kaki bagian tengah dan atas terdapat sebuah komposisi pelipit. Seluruh bagian pada kaki menara menggunakan material yang merupakan pasangan batu bata merah tanpa perekat. Pada sisi barat terdapat konstruksi tangga menara yang mengarah keluar. Hiasan yang terdapat pada kaki menara antara lain hiasan pola geometris yang berbentuk segi empat. Di sudut kaki menara terdapat bidang polos berbentuk pilar. Sedangkan pada sebelah kiri dan kanan tangga terdapat hiasan bentuk tumpal berupa segi tiga sama kaki.Tubuh menara bagian bawah merupakan sebuah pelipit besar dan tinggi yang dibagi dua oleh sebuah bingkai tebal. Tubuh menara bagian tengah berbentuk persegi yang ramping. Sisi utara, timur, dan selatan terdapat relung5

relung kosong. Pintu masuk ruangan ini terbuat dari kayu. Di dalam bilik ini terdapat tangga dari kayu terletak di tengah tengah ruangan, hampir tegak lures menuju ke puncak menara. Tubuh menara bagian atas terdiri atas susunan pelipitpelipit mendatar yang makin ke atas makin panjang dan melebar. Hiasan yang terdapat pada tubuh menara antara lain pola geometris, mangkok porselin bergambar dan dekorasi bergambar dan dekorasi bentuk silang yang penempatannya selang-seling. Selain itu, terdapat tempelan benda berwujud piring yang berisi lukisan masjid, manusia dengan onta serta potion konna, dan lukisan bunga. Bagian puncak menara berupa ruangan mirip pendopo berlantaikan papan. Ruangan ini ditopang oleh empat buah tiang kayu yang bertumpu masuk pada lantai papan yang berlapis. Di antara dua tiang sebelah timur sekarang dipasang hiasan arloji yang cukup besar. Pada salah satu tiang terdapat inskripsi yang ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa yang berbunyi : GAPURA RUSAK EWAHING JAGAD yang diartikan Gapura = 9,Rusak = 0,Ewahing = 6,Jagad = 1,sehingga tahun pembuatan menara tersebut adalah = 1609 tahun Jawa atau tahun 1685 M. Atap menara berbentuk limas bersusun dua dan di bagian puncaknya terdapat tulisan Arab Allah, sedangkan di bagian bawah atap menara tergantung sebuah bedug dan kentongan. Bedug berukuran panjang 138 cm, sedangkan kentongan 150 cm.2. Serambi

Serambi Masjid Kudus berupa bangunan terbuka terbagi dua yaitu serambi depan dan serambi tengah. Serambi depan berukuran panjang 9,50 in dan lebar 13,50 m. Pada serambi ini terdapat sebuah gapura kori agung dengan tinggi 3 in. Letak kori agung memisahkan antara serambi depan dengan serambi tengah. Bangunan serambi ini merupakan bangunan tambahan perluasan masjid. Hal ini terlihat pada bagian atas serambi terdapat sebuah kubah besar. Lantai serambi dari ubin. Serambi tengah berukuran panjang 26,50 m dan lebar 22 m. Bangunan serambi juga merupakan ruangan terbuka, dan lantainya dari ubin. 3. Ruang Utama

6

Ruang utama berukuran panjang 28 in dan lebar 21 in. Pintu utama terletak di tengah-tengah ruang utama, sedangkan pintu-pintu lainnya terdapat di sisi barat dan timur ruang utama. Lantai ruang utama dari ubin. Ruang utama ditopang oleh empat buah soko guru (tiang utama) dan empat buah soko rawa (tiang tambahan) dengan tinggi tiang 5 in. Di rang utama ini juga terdapat sebuah kori agung yang berukuran panjang 4,80 in, lebar 55 cm, dan tinggi 5 m. Atap bangunan ruang utama berbentuk tumpang tiga dan ditutup oleh genteng merah. Pada puncak atap terdapat mustaka dari tembaga. Di dalam ruang utama terdapat mimbar dan mihrab. Mimbar ada dua buah yaitu di utara dan selatan. Mimbar sebelah utara berukuran panjang 1,44 in, lebar 0,99 in, dan tinggi 2,65 m, sedangkan di sebelah selatan berukuran 1,35 0,99 2,65 in. Mihrab berukuran panjang 1,62 m, lebar 1,85 m, dan tinggi 1,75 in. Relung mihrab berbentuk lengkung tapal kuda. Di kanan kiri mihrab terdapat jendela. 4. Pawestren Bangunan pawestren merupakan bangunan baru sebagai perluasan masjid. Pawastren adalah tempat wudhu bagi wanita. Letaknya di samping kiri masjid berukuran panjang 15,5 m dan lebar 8 m. Bangunan disanggah oleh delapan buah tiang dari beton. Pintu masuk ada empat buah terbuat dari kayu. Jendela berjumlah enam buah. Lantai ruangan dari ubin keramik berukuran 20 20 cm. 5. Makam Di belakang Masjid Kudus terdapat kompleks makam, diantaranya makam Sunan Kudus dan Para ahli warisnya, serta pada tokoh lainnya seperti Panembahan Palembang, Pangeran Pedamaran, Panembahan Condro, Pangeran Kaling, dan Pengeran Kuleco. Makam-makam tersebut dalam cungkup tersendiri. Cungkup tersebut berdenah bujur sangkar dengan ukuran sisinya 4,35 cm. Makam dengan panjang jirat 298 cm, lebar 76 cm, dan tinggi 28 cm. Nisan berbentuk lengkung bawang yang rata pada bagian atasnya. Ukuran nisan tinggi 79 cm dan lebar tubuh 20 cm, dan lebar bagian kaki 28 cm. Hiasan yang ada pada makam Sunan Kudus terutama pada bagian nisan adalah sulur-suluran yang mengisi bidang tumpal pada bagian kaki makam maupun pada bagian tubuh nisan.7

Makam Sunan Kudus

6. Bangunan Tajug Bangunan tajug atau bale-bale terdapat di dekat pintu gerbang masuk kompleks makam. Bangunan ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6,63 m setiap sisinya. Bangunan tersebut sudah mengalami pemugaran terutama pada bagian atasnya. Lantai dari batu granit. Bagian atap disanggah oleh 12 tiang kayu di bagian pinggir dan empat buah tiang utama. 7. Bak air Di sebelah barat laut bangunan tajug terdapat bak air yang sampai sekarang masih dipergunakan. Ukuran bak air tersebut panjang 287 cm, lebar 180 cm, dan tinggi 66 cm. Di bagian dalam bak tersebut terdapat dua buah lubang dengan garis tengah 117 cm dan kedalaman 100 cm dari permukaan kaki. 8. Tempat wudlu Tempat wudlu ada dua buah, masing-masing berukuran panjang 12 m, lebar 4 m, dan tinggi 3 m. Bahan bangunan dari bata merah, lantainya ubin keramik. Bentuk bangunan persegi panjang. IV. Sejarah Menara Kudus Tidak jelas kepastian pendirian Menara Kudus beserta masjidnya, karena hingga saat ini belum ada yang dapat memberikan keterangan kapan waktu8

dibangunnya secara jelas. Namun berdasarkan inskripsi para prasasti berukuran bingkai panjang 46 cm dan lebar 30 cm di atas mihrab masjid. Prasati dari batu tersebut dengan jelas, meskipun sebagian sulit dibaca, menyebutkan dengan tegas bahwa masjid terkenal di Kudus tersebut bernama Masjid Al Aqsha di negeri Al Quds. Ada pun bunyi prasasti tersebut adalah sebagai berikut: Bismilahi ar rahmani ar rahiim. Aqaama bina al masjid al aqshaa wal balad al quds khaliifatu haadza ad dahr habru Muhammad yasytari (tidak terbaca) izzan fi jannah al khuldi qurban min arrahman bi balad al Quds (tidak terbaca) ansya-a haadza al masjid al manar (tidak terbaca) al musammaa bi al aqshaa khaliifatu Allahi fi al ardlii al ulya wa al mujtahid as sayyid al arif al kamil al fadhil al maksus bi inaayati al qaadli Jafar ash Shadiq sanah sittin wa khamsiina wa tisim miatin mina al hijrah an nabawiyyah wa shalallahu ala sayyidinaa Muhammadin wa ashhaabihii ajmaiin (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Telah mendirikan masjid Al Aqshaa ini dan negeri Al Quds (Kudus), khalifah dari keturunan nabi Muhammad untuk membeli kemuliaan surga yang abadi qurban untuk Ar Rahman di negeri Al Quds (Kudus) masjid al manaar (menara) ini dinamakan al aqshaa khalifah Allah di bumi yang Tinggi dan pembaharu, tuan, yang arif, sempurna, melebihi, yang dikhususkan, dengan inayah hakim Jafar Shadiq pada 956 hijrah Nabi Muhammad saw). Poerbatjaraka, menganggap satu-satunya kota diseluruh tanah Jawa yang menggunakan bahasa Arab adalah Kudus. Ini berawal dari disebutkannya negeri Kudus dalam prasasti diatas mihrab masjid. Dalam cerita masyarakat, dulu Sunan Kudus pergi haji sekaligus memperdalam ilmu agama dan singgah di Baitul Maqdis. Pada suatu masa terjadi wabah penyakit yang menjangkiti hampir seluruh penduduk. Untung dapat ditanggulangi oleh Sunan Kudus, sehingga pihak

9

penguasa memberikan oleh-oleh berupa batu dari Baitul Maqdis, yang kini menjadi prasasti. Tafsiran lain tentang pendirian menara beserta masjidnya ini dikemukakan oleh arkeolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soetjipto Wirjosuparto, memperkirakan berdasasrkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa Kuno disebuah blandar puncaka atap menara yang berbunyi Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menunjukkan gapura (9), rusak (0), ewahing (6), jagad (1) dibaca dari belakang 1609 tahun jawa atau 1685 M. Disinilah yang menerangkan bahwa Masjid Menara Kudus dibangun sebelum tahun 1685 M. Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq ialah putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh. Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai "Waliyil Ilmi". Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah, Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini. Penghormatan lain adalah diwujudkan dalam bentuk bangunan menara masjid yang bercorak Hindu.

V.

Lingkungan Sekitar Menara Kudus

10

1.

Lingkungan Pedagang Sama seperti objek-objek wisata

lainnya, di luar lingkungan Masjid Menara Kudus atau tepatnya di Desa Kauman, sebagian besar warga Kauman adalah yang sedang berziarah di Masjid Menara Kudus. Dagangan mereka bermacam-macam, seperti jenang Kudus, pakaian muslim, kerudung, kopiyah, kaligrafi, souvenir, makanan dan minuman. Para pedagang ada yang memiliki kios-kios namun ada pula yang menjajakan dagangannya tanpa kios, hanya di pinggir jalan saja. Para pedagang umumnya adalah warga Desa Kauman sendiri atau masih warga Kudus tapi berasal dari desa sekitar. Kedatangan para peziarah memang menyumbangkan devisa yang besar bagi Kota Kudus, selain devisa pertama adalah dari produksi rokok. Apalagi pada saat hari-hari tertentu seperti pada saat menjelang buka puasa atau pada saat buka luwur. Masjid Menara Kudus dan lingkungan sekitarnya menjadi macet akibat ramainya peziarah baik dari luar kota maupun peziarah lokal. 2. Masyarakat Kudus Kulon Masyarakat sekitar Menara Kudus biasa dikenal dengan istilah masyarakat Kudus Kulon. Nama kudus Kulon sebenarnya adalah simplifikasi dari wilayah yang ada di sebelah barat Kali Gelis. Sebagaimana di ungkapkan oleh Munif, mahasiswa yang tinggal di Desa Singgocandi, daerah yang masih termasuk wilayah Kudus Kulon, bahwa Wilayah Kudus Kulon adalah daerah Kali Gelis kearah barat, dimana Menara merupakan wilayah yang terletak di barat Kali Gelis. Yang termasuk Kudus Kulon itu daerah barat Kali Gelis yang masih wilayah kecamatan Kota, yang meliputi Desa Kauman, Damaran, Janggalan, Sunggingan, Kajeksan Langgar Dalem, Krandon dan Singocandi. pedagang. Mereka memanfaatkan kedatangan para peziarah

11

Dalam konteks Keragaman Agama, Kecamatan Kota merupakan daerah basis Muslim. Hal ini dapat kita lihat dari data statistik BPS Kudus tahun 2001. Dari 94.240 jiwa penduduk kota, 82.823 beragama Islam, atau sekitar 85 %. Meskipun masih kalah tinggi dengan kecamatan-kecamatan yang lain, dimana 98% penduduknya memeluk agama Islam. Sampai sini, tampak temuan kearifan yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Jawa, khususnya di Kudus. Toleransi antar agama menjadi platform untuk membangun masyarakat yang plural. Hal inilah yang sekarang ini kta kenal dengan konsep multuikulturalisme, yang akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup hangat. Di tengah berbagai macam benturan dan konflik antar budaya, kesadaran multikulturalisme disinyalir menjadi solusi alternatif untuk mengatasi semua itu. Yang menarik kemudian, ternyata konsep multikulturalisme sudah ada sejak zaman dulu.Bukti lain adalah adanya mitos akan larangan masyarakat kudus Kulon untuk menyembelih sapi, yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam dimensi sejarah, mitos ini berawal dari penyebaran Islam yang dilakukan oleh sunan Kudus. Pada saat itu, realtitas masyarakat Kudus adalah budaya jawa yang yang bercorak Hindu. Budaya Hindu punya kepercayaan penskralan terhadap sapi sebagai hewan yang suci. Untuk menarik simpati, Sunan Kudus kemudian menambatkan sapi di depan masjid. Bukan hanya itu saja, menurut cerita, Sunan Kudus juga tidak memakan daging sapi. Hal ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya dan murid-muridnya, hingga akhirnya terbangun sebuah tradisi untuk tidak menyembelih binatang sapi, sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap masyarakat Hindu. Sampai sekarang mitos tersebut masih di percayai dan di pegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan tersebut, maka akan mendapatkan bala atau petaka. Dan gambar di samping merupakan bukti lain kuatnya toleransi antar umat beragama di Desa Kauman. Gambar di samping adalah sebuah klenteng (tempat peribadatan orang Tionghoa) yang terletak di sebelah timur Menara Kudus

12

yang sampai saat ini masih berdiri kokoh sebagai bukti penyebaran Islam yang telah dilakukan oleh Sunan Kudus. Masyarakat yang tinggal di Desa Kauman bukan hanya masyarakat beragama Islam saja. Sampai saat ini pun, tepatnya di sekitar klenteng masih terdapat masyarakat-masyarakat etnis Cina yang mata pencaharian mereka juga sebagai pedagang. Namun yang mereka dagangkan bukan perlengkapanperlengkapan bagi peziarah, melainkan seperti kebutuhan pokok rumah tangga sehari-hari. Tidak pernah terjadi kericuhan atau insiden anatara masyarakat Muslim dan etnis Cina ini, karena mereka memang penduduk asli Desa Kauman, jauh sebelum Sunan Kudus menyebarkan agama Islam. Hal inilah yang harus terus dilestarikan oleh generasi-generasi muda Kota Kudus. Menjaga toleransi antar umat beragama yang mencerminkan sila pertama dari Pancasila. Jika hal ini senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat Kudus, pastilah Kudus akan tetap menjadi kota santri yang arif.3. Terminal Masjid Menara Kudus

Terminal Masjid Menara Kudus awalnya memang berada di sekitar kompleks Menara Kudus, tepatnya di Desa Kauman, sebelah selatan Menara Kudus. Namun karena dinilai mengganggu lalu lintas di sekitar Jalan Sunan Kudus, sekitar 3 tahun yang lalu terminal Masjid Menara Kudus ini dipindah agak jauh ke utara dari Menara Kudus, tepatnya di Desa Bakalan Krapyak. Awalnya memang sulit untuk mensosialisasikan bagi para peziarah untuk memarkirkan bis-bis wisata mereka di terminal yang baru. Namun akhirnya, sekarang mereka sudah bisa mematuhi peraturan tersebut. Pembangunan terminal yang baru ini tentu saja menambahkan devisa bagi Kota Kudus serta membuka lapangan kerja baru bagi warga Bakalan Krapyak. Semenjak didirikan terminal yang baru ini, banyak warga Bakalan Krapyak yang beralih profesi atau menambah profesi mereka dengan cara berdagang, menyewakan penginapan, menjadi tukang ojek, penarik becak, hingga sopir mobil wisata Menara Kudus. Hal ini tentu saja sangat membantu perekonomian warga Bakalan Krapyak dan sekitarnya.13

Namun sangat disayangkan keadaan jalan menuju terminal sangat memprihatinkan, banyak lubang yang dapat membahayakan pengguna jalan baik itu peziarah ataupun warga sekitar. Ditambah lagi aksi ugal-ugalan dari tukang becak dan tukang ojek yang tak mau kalah dengan pengguna jalan lainnya. Mereka memenuhi badan jalan dan ngebut-ngebutan dalam mengantarkan penumpang atau pada saat mengambil penumpang. Bahkan dulu pernah terjadi sebuah kecelakaan antara tukang ojek dengan pengguna jalan yang akhirnya menewaskan seorang korban. Hal inilah yang sangat disayangkan oleh warga sekitar dan pengguna jalan yang biasa melintasi jalan tersebut. Mereka merasa geram dengan aksi ugal-ugalan ini.

14

VI.

Ritual-Ritual Adat di Menara Kudus

Di sekitar kompleks Masjid Menara Kudus terdapat dua tradisi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Kudus tiap tahunnya. Yang pertama adalah dandangan dan yang kedua adalah buka luwur. 1. Dandangan Perayaan tradisi "Dandangan" merupakan sebuah tradisi di kota Kudus yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadan. Dandangan merupakan pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke lokasi-lokasi disekitarnya. Pada tradisi dandangan ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian, sepatu, sandal, hiasan keramik sampai degan mainan anak-anak serta makan dan minuman. Tradisi ini sudah ada sejak 450 tahun yang lalu atau tepatnya zaman Sunan Kudus (Syeh Jakfar Shodiq, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa). Pada saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur. Setelah keputusan awal puasa itu disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kudus, maka dipukullah beduk di Masjid Menara Kudus, "dang-dang-dang", begitu bunyinya. Dari suara beduk itulah, istilah dandangan lahir. Namun seiring perkembangannya Dandangan yang dulu dikenal dengan acara tabuh beduk saja, sekarang menjelma menjadi acara selayaknya pasar malam. Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari berbagai daerah sekitar Kudus, bahkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa.

15

2. Buka Luwur Bagi Masyarakat Kudus tentunya sudah mengenal acara Buka Luwur Sunan Kudus. Acara ini merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan Khaul yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur sebenarnya bukanlah Khaul atau peringatan wafatnya sunan Kudus, sebab kapan tanggal wafatnya Sunan Kudus tidak atau belum diketahui. Mengapa Buka Luwur diadakan tanggal 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut diyakini bahwa ilmu Tuhan (dari langit) diturunkan ke bumi, sehingga tanggal tersebut dianggap keramat. Gambar di samping merupakan suasan buka luwur yang selalu ramai setiap tahunnya. Yang dating bukan hanya dari dalam kota saja namun juga dari kota-kota tetangga seperti Demak dan Jepara. Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur tersebut diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum bulan Syura). Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan kolo, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena mengharap berkah dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih penutup makam yang sudah satu tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan berkah. Pada malam tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah shalat subuh diadakah khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir).

16

Sementara khataman berlangsung dibuatlah bubur suro yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempahrempah. Hal ini dimaksudkan sebagai tafaul kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan bubur suro pada saat khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing. Kemudian pada malam harinya, yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan dan kepribadian sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat. Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah shalat subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu.Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah di masak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit. Walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan sego mbah sunan (nasinya sunan Kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasi tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.

17

VII.

PENUTUP Simpulan Masjid Menara Kudus didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M ini

memiliki nama asli, Masjid Al-Aqsa. Keberadaan masjid ini tidak dapat dipisahkan dari sosok ulama terkenal di Kudus waktu itu, yaitu Jafar Sodiq, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kudus. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Berkat usaha dari Sunan Kudus dalam mendakwahkan Islam di desa Kauman, dengan sangat menghormati umat Hindu saat itu, Masjid Menara Kudus ini menjadi bukti fisik kuatnya toleransi antar umat beragama yang harus terus dilestarikan.

18

19