mempengaruhi karakteristik afektif siswa

26
Nama : Ahmad Khakim Amrullah NIM : 110533406962 Kelas : Pendidikan Teknik Informatika UM 2011 Judul Buku : Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Pengarang : Drs. Slameto Penerbit : Rineka Cipta Daftar Isi Bab 6..............................: MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA A. Motivasi dan Kebutuhan ............................170 B. Minat .............................................. 180 C. Konsep Diri dan Aspirasi ...........................182 D. Kecemasan ..........................................185 E. Sikap .............................................. 188 BAB 6 MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA A. MOTIVASI DAN KEBUTUHAN Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan dengan siswa-siswa yang prestasi akademiknya tidak sesuai dengan harapan pengajar. Bila hal ini terjadi dan kemapuan kognitif siswa cukup baik, pengajar cenderung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang menetap. Sebenarnya motivasi, yang oleh Eysenk dan kawan-kawan dirumuskan sebagai suatu proses yag menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain seperti minat, konsep diri, sikap dan sebagainya. Siswa yang tampak tidak 1

Upload: haqiem-ahmed

Post on 29-Jun-2015

5.885 views

Category:

Education


1 download

DESCRIPTION

by Ahmad Khakim

TRANSCRIPT

Page 1: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Nama : Ahmad Khakim AmrullahNIM : 110533406962Kelas : Pendidikan Teknik Informatika UM 2011

Judul Buku : Belajar dan Faktor-faktor yang MempengaruhinyaPengarang : Drs. SlametoPenerbit : Rineka Cipta

Daftar IsiBab 6 : MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA

A. Motivasi dan Kebutuhan ......................................................................................170B. Minat .....................................................................................................................180C. Konsep Diri dan Aspirasi ......................................................................................182D. Kecemasan ............................................................................................................185E. Sikap .....................................................................................................................188

BAB 6MEMPENGARUHI KARAKTERISTIK AFEKTIF SISWA

A. MOTIVASI DAN KEBUTUHAN Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seringkali pengajar harus berhadapan

dengan siswa-siswa yang prestasi akademiknya tidak sesuai dengan harapan pengajar. Bila hal ini terjadi dan kemapuan kognitif siswa cukup baik, pengajar cenderung untuk mengatakan bahwa siswa tidak bermotivasi dan menganggap hal ini sebagai kondisi yang menetap.

Sebenarnya motivasi, yang oleh Eysenk dan kawan-kawan dirumuskan sebagai suatu proses yag menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep-konsep lain seperti minat, konsep diri, sikap dan sebagainya. Siswa yang tampak tidak bermotivasi, mungkin pada kenyataannya cukup bermotivasi tapi tidak dalam hal-hal yang diharapkan pengajar. Mungkin siswa cukup bermotivasi untuk bermotivasi untuk berprestasi di sekolah, tetapi pada saat yang sama ada kekuatan-kekuatan lain, misalnya teman-teman, yang mendorongnya untuk tidak berprestasi di sekolah.

Jumlah motivator yang mempengaruhi siswa pada suatu saat yang sama dapat banyak sekali, dan motif-motif (yaitu yang membangkitkan dan mengarahkan tingkah laku) yang dibangkitkan oleh motivator-motivator tersebut mengakibatkan terjadinya sejumlah tingkah laku yang dimungkinkan untuk ditampilkan oleh seorang siswa.

Ada bermacam-macam teori motivasi, salah satu teori yang terkenal kegunaannya untuk menerangkan motivasi siswa adalah yang dikembangkan oleh Maslow (1943, 1970). Moslow percaya bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarah oleh

1

Page 2: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan-kebutuhan ini (yang memotivasi tingkah laku seseorang) dibagi Maslow ke dalam 7 kategori. Berikut kategori tersebut :1. Fisiologi

Merupakan kebutuhan jasmani manusia. Misalnya kebutuhan makan, minum, tidur, kesehatan dan istirahat. Untuk dapat belajar dengan efektif dan efisien, siswa harus sehat, jangan sampai sakit yang dapat mengganggu kerja otak yang menyebabkan terganggunya kondisi dan konsentrasi belajar.

2. Kebutuhan akan KeamananManusia membutuhkan keamanan dan ketentraman jiwa. Perasaaan kecewa, dendam, takut akan kegagalan, ketidakseimbangan mental dan kegoncangan-kegoncangan emosi yang lain dapat mengganggu kelancaran belajar seseorang. Oleh karena itu agar cara belajar siswa dapat ditingkatkan ke arah yang efektif , maka siswa harus dapat menjaga keseimbangan emosi, sehingga perasaan aman dapat tercapai dan konsentrasi pikiran dapat dipusatkan pada materi pelajaran yang ingin dipelajari.

3. Rasa CintaManusia dalam hidup membutuhkan kasih sayang dari orang tua, saudara, dan teman-teman yang lain. Di samping itu dia akan merasa berbahagia apabila dapat membantu dan memberikan cinta kasih pada orang lain pula. Keinginan untuk disukai sama dengan orang lain merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi.

4. Penghargaan atau kebutuhan akan statusTiap orang akan berusaha agar keinginannya dapat berhasil. Ini merupakan kebutuhan rasa berguna, penting, dihargai, dikagumi, dihormati oleh orang-orang lain. Secara tidak langsung ini merupakan kebutuhan perhatian, ketenaran, status, martabat, dan lain sebagainya.

5. Aktualisasi DiriTiap orang tentu berusaha untuk memenuhi keinginan yang dicita-citakan. Ini merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri sepenuhnya, merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.

6. Kebutuhan untuk mengetahui dan mengertiIni merupakan kebutuhan manusia untuk memuaskan rasa ingin tahunya, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan leterangan-keterangan, dan untuk mengerti segala sesuatu.

7. Kebutuhan EstetikMerupakan kebutuhan yang dimanifestasikan sebagai kebutuhan akan keteraturan, keseimbangan dan kelengkapan suatu tindakan. Kebutuhan estetik ini nampaknya sangat mempengaruhi tingkah laku beberapa individu.

Hierarki yang diajukan oleh Maslow ini merupakan suatu urutan kebutuhan yang bersifat kaku, tetapi dalam kenyataan sehari-hari pengajar mungkin menemukan pengecualian-pengecualian. Hal ini desebabkan kerana seringkali tingkah laku tidak dibangkitkan oleh satu penyebab, melainkyan oleh beberapa sebab. Namun demikian hal

2

Page 3: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

tersebut tidak berarti bahwa teori Maslow ini tidak berguna sama sekali dalam pendidikan. Bahkan dengan memiliki pengetahuan ini pengajar dapat menganalisis penyebab tingkah laku siswa memahaminya, dan memaikainya untuk memotivasi siswa dalam belajar.

Bila teori Maslow ini diterapkan dalam suasana pengajaran, maka pengajar akan dapat melihat motif yang berbeda-beda yang mendasari tingkah laku masing-masing siswanya yang wujudnya mungkin sama. Sebagian siswa berusaha untuk mencapai prestasi akademik yang baik di sekolah untuk mendapatkan penerimaan dari orang tua atau dari guru. Anak-anak seringkali berpandangan bahwa keberhasilan di sekolah merupakan salah satu cara dan bahkan cara terbaik untuk mendapatkan penerimaan orang dewasa. Beberapa siswa sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi juga didorong untuk berprestasi karena kebutuhannya untuk mendapatkan penerimaan; mereka tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Ada pula siswa-siswa yang berprestasi sangat baik dengan tujuan untuk mencari ketenaran, yang berhubungan erat dengan kebutuhan akan penghargaan.

Dalam hal ini siswa berusaha mencapai hasil yang sebaik-baiknya di sekolah untuk mengesankan orang lain, mendapat perhatian yang menyenangkan, untuk dikenang dengan baik oleh orang lain. Mereka ingin membuktikan pada orang lain bahwa mereka tidak hanya bisa sukses, tapi juga dapat mengalahkan teman-teman sekelasnya. Hal ini terjadi terutama pada siswa-siswa yang sudah lebih dewasa. Kadang-kadang siswa, terutama di sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi , berprestasi baik karena nilai praktis mata pelajaran atau keterampilan yang dipelajarinya. Bila mereka melihat kegunaan suatu objek sehubungan dengan karirnya, maka mereka akan berusaha mempelajarinya walaupun mereka tidak menyukainya. Di samping siswa-siswa yang yang berusaha mencapai prestasi akademik yang baik karena adanya kebutuhan-kebutuhan tertentu di luar perbuatan itu sendiri yang ingin dipenuhi (motivasi ekstrinsik), ada pula siswa yang berusaha mencapai prestasi akademik yang baik semata-mata karena ia ingin belajar (motivasi intrinsik). Siswa yang termasuk dalam golongan terakhir ini mungkin saja memperoleh ketenaran atau penerimaan karena usaha-usahanya dapat secara kebetulan menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk kegunaan praktis. Tapi keuntungan-keuntungan samacam ini bagi mereka hanyalah suatu kebetulan. Siswa-siswa model ini tidak memerlukan insentif untuk melakukan kegiatan belajar, karena tujuan utamanya adalah mendapatkan pengetahuan, pengertian, pengalaman dan pengembangan diri.

Kebanyakan pengajar menginginkan kelas yang penuh dengan siswa-siswa yang mempunyai motivasi intrinsik. Tapi kenyataannya seringkali tidak demikian. Karena itu pengajar harus menghadapi tantangan untuk membangkitkan motivasi siswa, membangkitkan minatnya, menarik dan mempertahankan perhatiannya, mengusahakan agar siswa mau mempelajari materi-materi yang diharapkan untuk dipalajarinya.

Membangkitkan Motivasi Belajar

3

Page 4: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Mengingat demikian penting motivasi bagi siswa dalam belajar, maka guru diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa-siswanya. Dalam usaha ini banyaklah cara yang dapat dilakukan. Menciptakan kondisi-kondisi tertentu dapat membangkitkan motivasi belajar.

Yeni (nama samaran) seorang siswi SMA kelas II IPS tahu persis alasannya mengapa ia harus mempunyai motivasi belajar tinggi. Yeni adalah ana pertama dari 6 bersaudara yang sejak ia masih kelas I SMP sudah ditinggal ayahnya untuk selama-lamanya. Ia harus menjadi teladan bagi adik-adiknya dan merasa “berdosa” jika ia sampai gagal melanjutkan cita-cita ayahnya yang menginginkan Yeni menjadi seorang psikolog. Ia juga merasa secara sadar harus mempertanggungjawabkan biaya pendidikan yang diupayakan ibunya dengan bersusah payah itu dalam bentuk keberhasilan belajar atau nilai-nilai yang bagus pada rapornya. Walaupun begitu ia tetap memahami sepenuhnya bahwa tuntutan akan dirinya itu sebagai tuntutan yang realistis dan cukup beralasan. Situasi yang demikian ini membuat Yeni percaya (pada diri sendiri) bahwa ia dapat dan mampu belajar dengan sebaik-baiknya serta yakin akan keberhasilan belajar kelak.

Joni (nama samaran) adalah mahasiswa tahun pertama yang duduk di Fakultas Pertanian, ia menggunakan logikanya dengan baik sekali. Ia memiliki jadwal belajar yang teratur dan selalu mentaatinya dengan ketat. Ia selalu menyiapkan bahan yang akan diajarkan dosennya sebelum perkuliahan. Ia yakin bahwa belajar tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa adanya persiapan yang baik pula. Persiapan yang baik hanya dapat dilaksanakan dengan mantaati jadwal secara teratur. Bahkan perkuliahan yang dipelajari secara teratur itu selalu dikaitkannya dengan dan diekspresikannya dalam kehidupan nyata, sehingga dalam diri Joni selalu terjadi perubahan (secara berangsur-angsur) dalam berpikir dan bertindaknya. Selain itu ia selalu membenahi gambaran tentang dirinya sendiri dan masa depannya. Ia mengetahui kekuatan dan kelemahan-kelemahan dalam belajar. Dengan pengetahuannya itu ia berusaha meningkatkan kekuatan-kekuatannya dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya sejauh ia mampu. Jika ia gagal, ia berusaha untuk mencari sublemasi yan konstruktif.

Ida (nama samaran) yang menurut ayahnya hanya memiliki kecerdasan normal saja sempat bertahan menjadi juara kelas sejak SD sampai sekaran di kelas II SMP. Ayahnya menuturkan bahwa keberhasilan Ida hanya karena ketekunan dan motivasi belajarnya yang tinggi, Ida banyak belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya. Setiap ia menerima kembali tes atau pekerjaannya yang sudah dikoreksi guru ia mempelajari kembali bahan-bahan yang berhubungan dengan soal-soal yang tidak dapat dikerjakannya. Ia tahu bahwa soal-soal itu tidak akan keluar lagi pada tes berikutnya, tetapi itu sangat penting untuk pelajaran berikutnya. Menurut Ida setiap pelajaran itu tersusun rapi dengan merantai, sehingga kalau ada salah satu bahan pelajaran yang tidak atau belum dikuasainya akan mengganggu dalam belajar berikutnya seperti halnya rantai, kalau ada satu mata rantai yang terlepas atau hilang maka putuslah sudah rantai itu. Cara belajar yang berikut ini didukung oleh suasana belajar yang hangat dan penghargaan atau pujian yang tepat dari orang tuanya. Keperluan belajar anak diberi prioritas utama. Hal

4

Page 5: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

yang perlu dicatat dari keluarga Ida adalah tidak adanya kegiatan-kegiatan rutin, monoton dan membosankan. Orang tua Ida termasuk orang-orang kreatif. Mereka kaya dengan situasi-situasi baru yang menggairahkan di tengah0tengah kesibukan belajar anak-anaknya.

Situasi Yeni, Joni dan Ida di atas pasti dapat diterapkan baik di sekolah dalam situasi belajar mengajar maupundi rumah dalam interaksi orang tua dengan anak.

Sehubungan dengan pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa, DeCecco & Grawford (1974) mengajukan 4 fungsi pengajar :1. Menggairahkan Siswa

Dalam kegiatan rutin di kelas sehari-hari pengajar harus berusaha menghindari hal-hal yang monoton dan membosankan. Ia harus selalu memberikan pada siswa cukup banyak hal-hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan. Guru harus menjaga minat siswa dalam belajar, yaitu dangan memberikan kebebasan tertentu untuk berpindah dari satu aspek ke lain aspek pelajaran dalam situasi belajar. “Discovery Learning” dan metode sumbang saran (“brain storming”) memberikan kebebasan semacam ini. Untuk dapat meningkatkan kegairahan siswa, guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai disposisi awal siswa-siswanya.

2. Memberikan Harapan RealistisGuru harus memelihara harapan-harapan siswa yang realistis, dan memodifikasikan harapan-harapan yang kurang atau tidak realistis. Untuk itu pengajar perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keberhasilan atau kegagalan akademis siswa pada masa lalu, dengan demikian pengajara dapat membedakan antara harapan-harapan yang realistis, pesimistis, atau terlalu optimis. Bila siswa telah mengalami banyak kegagalan, maka guru harus memberikan sebanyak mungkin keberhasilan pada siswa.

3. Memberikan InsentifBila siswa mengalami keberhasilan, pangajar diharapkan memberikan hadiah kepada siswa (dapat berupa pujian, angka yang baik, dan lain sebagainya) atas keberhasilannya, sehinggan siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sehubungan dengan hal ini, umpan balik merupakan hal yang sangat berguna untuk meningkatkan usaha siswa.

4. MengarahkanPengajar harus mengarahkan tingkah laku siswa, dengan cara menunjukkan pada siswa hal-hal yang dilakukan secara tidak benar dan meminta pada mereka untuk melakukan yang sebaik-baiknya.

Gage & Berliner (1979) menyarankan juga sejumlah cara meningkatkan motivasi siswa, tanpa harus melakukan reorganisasi kelas secara besar-besaran.1. Pergunakan Pujian Verbal

Penerimaan sosial yang mengikuti suatu tingkah laku yang diinginkan dapat menjadi alat yang cukup dapat dipercaya untuk mengubah prestasi dan tingkah laku akademis ke arah yang diinginkan. Kata-kata seperti ‘bagus’, ‘baik’, ‘pekerjaan yang baik’,

5

Page 6: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

yang diucapkan segera setelah siswa melakukan tingkah laku yang diinginkan atau mendekati tingkah laku yang diinginkan, merupakan pembangkit motivasi yang besar. Penerimaan sosial merupakan suatu penguat atau insentif yang relatif konsisten.

2. Pergunakan Tes dalam Nilai secara BijaksanaKenyataan bahwa tes dan nilai dipakai sebagai dasar berbagai hadiah sosial, (seperti penerimaan lingkungan, promosi, pekerjaan yang baik, uang yang lebih banyak dan sebagainya) menyebabkan tes dan nilai dapat menjadi suatu kekuatan untuk memotivasi siswa. Siswa belajar bahwa ada keuntungan yang diasosiasikan dengan nilai yang tinggi, dengan demikian memberikan tes dan nilai mempunyai efek dalam memotivasi siswa untuk belajar. Tapi tes dan nilai harus dipakai secara bijaksana, yaitu untuk memberikan informasi kepada siswa dan untuk menilai penguasaan dan kemajuan siswa, bukan untuk menghukum atau membanding-bandingkannya dengan siswa lain. Penyalahgunaan tes dan nilai akan mengakibatkan menurunnya keinginan siswa untuk berusaha dengan baik.

3. Bangkitkan rasa ingin tahu siswa dan keinginannya untuk menadakan eksplorasi. Dengan melontarkan pertanyaan atau masalah-masalah, pengajar dapat menimbulkan suatu konflik konseptual yang merangsang siswa untuk bekerja. Motivasi akan berakhir bila konflik terpecahkan atau bila timbul rasa bosan untuk memecahkannya.

4. Untuk tetap mendapatkan perhatian, sekali-kali pengajar dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya meminta siswa menyusun soal-soal tes, menceritakan problem guru dan belajar, dan sebagainya.

5. Merangsang hasrat siswa dengan jalan memberikan pada siswa sedikit contoh hadiah yang akan diterimanya bilaia berusaha untuk belajar. Berikan pada siswa penerimaan sosial, sehingga ia tahu apa yang dapat diperolehnya bila ia berusaha lebih lanjut. Dalam menerapkan hal ini pengajar perlu membuat urutan pengajaran, sehingga siswa dapat memperoleh sukses dalam tugas-tugas permulaan.

6. Agar siswa lebih mudah memahami bahan pengajaran, pergunakan materi-materi yang sudah dikenal sebagai contoh.

7. Terapkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam konteks yang unik dan luar biasa, agar siswa jadi lebih terlibat.

8. Minta pada siswa untuk mempergunakan hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya. Hal ini menguatkan belajar yang lalu sekaligus menanamkan suatu pengharapan pada diri siswa bahawa apa yang sedang dipelajarinya sekarang juga berhubungan dengan pelajaran yang akan datang.

9. Pergunakan Simulasi dan PermainanKedua hal ini akan memotivasi siswa, meningkatkan interaksi, menyajikan gambaran yang jelas mengenai situasi kehidupan sebenarnya, dan melibatkan siswa secara langsung dalam proses belajar.

10. Perkecil daya tarik sistem motivasi yang bertentangan. Kadang-kadang agar diterima oleh teman-temannya, siswa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh pengajar.

6

Page 7: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Dalam hal ini pengajar sebaiknya melibatkan pimpinan siswa dalam aktivitas yang berguna (seperti menyusun tes, mewakili sekolah dalam pameran ilmiah, dan sebagainya), sehingga teman-temannya akan meniru melakukan hal-hal positif.

11. Perkecil konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan dari keterlibatan siswa, yaitu antara lain :a. Kehilangan harga diri karena gagal memahami suatu gagasan atau memecahkan

suatu permasalahan dengan tepat;b. Ketidaknyamanan fisik, seperti duduk terlalu lama, mendengar dalam ruangan

yang akustiknya buruk, melihat ke papan tulis yang terlalu jauh;c. Frustrasi karena tidak mungkin mendapatkan penguatan (reinforcement);d. Teguran guru bahwa siswa tidak mungkin mengerti sesuatu;e. Harus berhenti di tengah-tengah aktivitas yang menarik;f. Harus melakukan ujian yang materi dan gagasan-gagasannya belum pernah

diajarkan;g. Harus mempelajari materi yang terlalu sulit bagi tingkat kemampuannya;h. Guru tidak melayani permintaan siswa akan pertolongan;i. Harus melakukan tes yang pertanyaan-pertanyaannya tidak dapat dimengerti atau

yang soal-soalnya terlalu remeh;j. Tidak mendapatkan umpan balik dari pengajar;k. Harus belajar dengan kecepatan yang sama dengan siswa-siswa yang lebih

pandai;l. Harus bersaing dalam situasi di mana hanya beberapa orang siswa saja yang dapat

sukses;m. Dikelompokkan bersama siswa-siswa yang kurang pandai dibandingkan dirinya;n. Harus duduk mendengarkan presentasi guru yang membosankan;o. Harus menghadapi pengajar yang tidak menaruh minat pada mata pelajaran yang

diajarkannya;p. Harus bertingkah laku dengan cara yang lain daripada tingkah laku model

(pengajara atau pimpinan siswa).12. Pengajar perlu memahami dan mengawasi suasana sosial di lingkungan sekolah,

karena hal ini besar pengaruhnya atas diri siswa.13. Pengajar perlu memahami hubungan kekuasaan antara guru dan siswa; seorang akan

dapat mempengaruhi motivasi orang lain bila ia memiliki suatu bentuk kekuasaan sosial (French & Raven, 1959).

B. MINATMinat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau

aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat muncul.

7

Page 8: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Siswa yang memiliki minat terhadap subyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek tersebut.

Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Minat terhadap sesuatu dipelajari dan mempengaruhi belajar selanjutnya serta mempengaruhi penerimaan minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong belajar selanjutnya. Walaupun minat terhadap sesuatu hal tidak merupakan hal yang hakiki untuk dapat mempelajari hal tersebut, asumsi umum menyatakan bahwa minat akan membantu seseorang mempelajarinya.

Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini berarti menunjukkan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu mempengaruhi dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Bila siswa menyadari bahwa belajar merupakan suatu alat untuk mencapai beberapa tujuan yang dianggapnya penting, dan bila siswa melihat bahwa hasil dari pengalaman belajarnya akan membawa kemajuan pada dirinya, kemungkinan besar ia akan berminat (dan bermotivasi) untuk mempelajarinya.

Meningkatkan Minat SiswaBeberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk

membangkitkan minat pada suatu subyek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat siswa yang telah ada. Misalnya siswa menaruh minat pada olahraga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian siswa dengan menceritakan sedikit mengenai balap mobil yang baru saja berlangsung, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang sesungguhnya.

Di samping memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner & Tanner (1975) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri siswa. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada siswa mengenai hubungan anatara suatu bahan pelajaran yang akan diberikan dengan bahan pelajaran yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di masa yang akan datang. Rooijakkers (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan siswa. Siswa, misalnya, akan menaruh perhatian pada pelajaran tentang gaya berat, bila hal inu dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.

Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, pengajar dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif meruapakan alat yang dipakai untuk membujuk seseorang agar mau melakukan sesuatu yang tidak meu melakukannya atau yang tidak dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif ini akan

8

Page 9: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

membangkitkan motivasi siswa, dan mungkin minat terhadap bahan yang akan diajarkan akan muncul.

Studi-studi eksperimental menunjukkan bahwa siswa-siswa yang secara teratur dan sistematis diberi hadiah karena telah bekerja dengan baik atau karena perbaikan dalam kualitas pekerjaannya, cenderung bekerja lebih baik daripada siswa-siswa yang dimarahi atau dikritik karena pekerjaannya yang buruk atau karena tidak adanya kemajuan. Menghukum siswa karena hasil kerjanya yang buruk tidak terbukti efektif, bahkan hukuman yang terlalu kuat dan sering lebih menghambat belajar. Tetapi hukuman yang ringan masih lebih baik daripada tidak ada perhatian sama sekali. Hendaknya pengajar bertindak bijaksana dalam menggunakan insentif. Insentif apa pun yang dipakai perlu disesuaikan dengan diri siswa masing-masing.

C. KONSEP DIRI DAN ASPIRASIKonsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenai

dirinya sendiri. Burns (1977) mengatakan :

“the self concept refers to the connection of attitudes and beliefs we hold about ourselves.”

Konsep ini merupakan suatu kepercayaan mengenai keadaan diri sendiri yang relative sulit diubah. Konsep diri tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya, biasanya orang tua, guru, dan teman-temannya.

G.H. Mead (1934) menyebut konsep diri sebagai suatu produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologi. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksinya dari “dirinya sendiri” yang diterima dari orang-rang yang berpengaruh pada dirinya.

Apakah konsep diri mempengaruhi hasil pendidikan ataukah hasil pendidikan mempengaruhi konsep diri, masih sering dipertanyakan. Studi-studi korelasi menunjukkan hubungan positif yang besar antara prestasi siswa dengan hasil pengukuran konsep dirinya. Tapi data-data demikian tidak dapat menyatakan hubungan sebab akibat. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa keberhasilan di sekolah, khususnya untuk waktu yang lama, seringkali menghasilkan suatu penerimaan yang tinggi akan dirinya sendiri dan kemampuan dirinya.

Aspirasi merupakan harapan atau keinginan seseorang akan suatu keberhasilan atau prestasi tertentu. Aspirasi mengerahkan dan mengarahkan aktivitas siswa untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dengan adanya taraf aspirasi tertentu, siswa akan mencoba melakukan suatu usaha ke arah itu.

Taraf aspirasi seseorang ditentukan oleh banyak hal, antara lain oleh keberhasilan yang dialami pada masa lalu. Umumnya penelitian-penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan mempengaruhi diri seseorang secara berlainan. Bila

9

Page 10: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

keberhasilan dialami secara teratur, maka kegagalan akan memacu seseorang untuk berusaha lebih giat. Sebaliknya jika kegagalan dialami berulang kali, maka kegagalan yang baru akan mengurangi motivasi orang yang bersangkutan.

Salah satu akibat dari kegagalan yang berulang kali adalah terenggutnya aspirasi seseorang. Eksperimen yang dilakukan Hoppe (1930) menunjukkan tingkat aspirasi akan bertambah setelah keberhasilan berturut-turut dalam tugas-tugas sejenis dan akan menurun setelah kegagalan berturut-turut dalam tugas-tugas sejenis.

Akibat kegagalan yang berulang kali, orang jadi takut akan kegagalan-kegagalan baru yang mungkin terjadi lagi, dengan demikian mereka umumnya memilih taraf aspirasi yang jauh di atas atau jauh di bawah kapasitas yang sebenarnya (Atkinson, 1958; Heckhausen, 1963). Tujuan-tujuan yang terlalu sulit atau terlalu mudah akan melindungi harga diri individu yang bersangkutan; kegagalan dan ketakutan akan kegagalan lebih sering melemahkan usaha siswa mencapai tujuan pengajaran.

Untuk menhindari akibat-akibat kegagalan, siswa biasanya memakai sejumlah strategi, antara lain :

a. Menghindari penilaian diri sendiri, sehingga tidak akan mengetahui kegagalannya.

b. Membandingkan diri dengan orang lain yang kemampuannya lebih rendah.c. Hanya memilih tugas-tugas yang sangat mudah atau sangat sukar.d. Menghindari partisipasi yang dapat menyebabkan kegagalan, ataue. Menolak tanggung jawab untuk kegagalan yang terjadi (rasionalisasi).

Pendidik diharapkan dapat membimbing siswa-siswanya yang sering mengalami kegagalan kearah keberhasilan dengan jalan mengajar mereka untuk mencita-citakan tujuan-tujuan yang sesuai dengan prestasi masa lalu.

Di samping itu perlu pula diperhatikan bahwa situasi sosial yang terlalu menekan juga cenderung merendahkan taraf aspirasi individu.

Mempengaruhi Konsep Diri dan Aspirasi SiswaDalam uraian di atas dikatakan bahwa konsep diri merupakan suatu kepercayaan

mengenai keadaan diri sendiri yang relatif sulit diubah. Siswa yang memiliki konsep diri yang buruk dalam beberapa hal tampaknya menolak pengalaman-pengalaman suksesnya pada pertama kali. Akan tetapi perubahan yang menetap dalam prestasinya akan membawa perubahan pada sikap terhadap diri sendiri.

Studi dari Meidnenbaum membuktikan bahwa bila siswa dibantu menyatakan hal-hal yang positif mengenai dirinya sendiri dan diberikan penguatan (reinforcement), maka hal ini akan menghasilkan suatu konsep diri yang lebih positif. Namun perlu diingat bahwa perubahan dalam tingkah laku hanya akan diikuti dengan perubahan konsep diri, bila sesuai dengan kenyataan. Perubahan akan mudah dilakukan bila konsep diri yang dimiliki siswa tidak realistis.

10

Page 11: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Telah dikatakan bahwa konsep diri tumbuh dari interaksi seseorang dengan orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Penelitian Pederson (1960) dan Zahran (1967) memperlihatkan bahwa guru mempunyai pengaruh yang kuat terhadap konsep diri siswa; guru dapat meningkatkan atau menekannya, dengan perkataan lain guru dapat mempengaruhi dasar aspirasi dan penampilan siswa.

Pengajar harus sadar akan hal ini dan secara berhati-hati mengamati keadaan lingkungan sekolah, sehingga peristiwa-peristiwa traumatic yang dapat merendahkan konsep diri dapat dikurangi. Kehangatan suasana lingkungan akan sangat membantu siswa mengembangkan konsep diri yang positif.

Dengan demikian konsep diri yang positif diharapkan siswa dapat pula memiliki aspirasi yang cukup realistis. Aspirasi yang cukup realistis dapat pula dimiliki siswa apabila pengajar mau menciptakan kesempatan bagi siswa-siswanya, terutama yang seringkali mengalami kegagalan untuk bisa mencapai sukses. Penelitian membuktikan bahwa siswa yang berhasil akan memilih taraf aspirasi yang sesuai dengan kemampuannya.

D. KECEMASANSelain mempengaruhi tingkat aspirasi, situasi belajar yang menekan juga

cenderung menimbulkan kecemasan pada diri siswa. Spielberger (1966) membedakan kecemasan atas dua bagian; kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety), yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya, dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state anxiety), yaitu suatu keadaan atau kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subyektif, dan meningginya aktivitas sistem saraf otonom. Sebagai suatu keadaan, kecemasan biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus, misalnya situasi tes.

Rasa cemas besar pengaruhnya pada tingkah laku siswa. Penelitian-penelitian yang dilakukan Sarason dan kawan-kawan membuktikan bahwa siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi tidak berprestasi sebaik siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah pada beberapa jenis tugas, yaitu tugas yang ditandai dengan tantangan, kesulitan, penilaian prestasi, dan batasan waktu. Sarason dan kawan-kawan memberikan suatu tugas yang meminta pemikiran analitis pada siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi dan rendah, dengan memberikan batasan waktu dan tanpa batasan waktu. Siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi membuat lebih banyak kesalahan pada situasi waktu yang terbatas, sedangkan siswa-siswa dengan tingkat kecemasan rendah labih banyak membuat kesalahan pada situasi waktu yang tidak pantas. Interaksi itu jelas menunjukkan kelemahan siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi dalam situasi yang sangat menekan.

Data yang dikumpulkan Spielberger (1966) menunjukkan bahwa pada tahap di mana pekerjaan sekolah paling menantang bagi siswa (tidak terlalu sulit atau terlalu

11

Page 12: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

mudah), siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah berprestasi lebih baik daripada siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi.

Flanders (1951) menyarankan pada pengajar untuk memberikan kehangatan dan dorongan serta sdikit kritik yang diperlukan pada siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi, agar mereka dapat berprestasi dengan sebaik-baiknya.

Kirkland (1971) membuat suatu kesimpulan mengenai hubungan antara tes, kecemasan, dan hasil belajar :1. Tingkat kecemasan yang sedang biasanya mendorong belajar, sedangkan tingkat

kecemasan yang tinggi mengganggu belajar;2. Siswa-siswa dengan tingkat kecemasan yang rendah lebih merasa cemas dalam

menghadapi tes daripada siswa-siswa yang pandai;3. Bila siswa cukup mengenal jenis tes yang akan dihadapi, maka kecemasan akan

berkurang;4. Pada tes-tes yang mengukur daya ingat, siswa-siswa yang sangat cemas memberikan

hasil yang lebih baik daripada siswa-siswa yang kurang cemas. Pada tes-tes yang membutuhkan cara berpikir yang fleksibel, siswa-siswa yang sangat cemas mendapatkan hasil yang lebih buruk;

5. Kecemasan terhadap tes bertambah bila hasil tes dipakai untuk menentukan tingkat-tingkat siswa.

Struktur juga memiliki peranan penting sehubungan dengan kecemasan (Dowaliby & Schumer, 1973). Dalam lingkungan belajar yang tidak terstruktur, siswa dengan tingkat kecemasan yang tinggi prestasinya buruk. Pengajar harus sadar bahwa alat-alat bantu ingatan, pengajaran yang sistematis , dan kesempatan praktek dapat membantu menghilangkan tekanan yang dirasakan oleh siswa dengan tingkat kecemasan tinggi.

Menghilangkan Kecemasan Siswa Dalam proses belajar mengajar kita tidak dapat melepaskan diri dari tes. Selain

untuk evaluasi, tes juga merupakan salah satu cara pengajar untuk memotivasi dan membimbing siswa dalam belajar. Sebagian pengajar percaya bahwa tes yang sering akan menghasilkan kebiasaan belajar yang baik.

Victor Nol (1939) dalam studinya tidak menemukan hubungan antara frekuensi tes dan prestasi pada siswa-siswa dengan kecerdasan rata-rata; tapi bagi siswa-siswa dengan kemampuan rendah, tes yang sering dilakukan bukan memperbaiki prestasinya. Akan tetapi sebagian orang berpendapat bahwa tes seringkali menimbulkan kecemasan dan dengan demikian mengganggu belajar siswa. Pendapat demikian tidak seluruhnya benar, beberapa studi menunjukkan bahwa kebanyakan siswa menerima tes sebagai sesuatu yang menolong.

Studi Feldhusen (1964) mengenai efek ujian mingguan atas sikap dan keberhasilan siswa menunjukkan bahwa 80% siswa menganggap ujian membantu mereka

12

Page 13: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

untuk belajar lebih banyak, 20% menganggap ujian tidak menyebabkan mereka belajar lebih banyak dari biasanya.

Pengajar yang efektif harus dapat menciptakan minat dan motivasi yang cukup pada siswa untuk berprastasi, tanpa menciptakan keadaan-keadaan yang menekan. Di bawah ini terdapat beberapa saran yang mungkin dapat membantu memotivasi siswa untuk menyiapkan diri dan melaksanakan tes tanpa merasa cemas :1. Tes harus dimaksudkan untuk diagnosa, bukan untuk menghukum siswa yang gagal

mencapai harapan-harapan guru dan orang tua.2. Hindari menentukan berhasil atau tidaknya siswa hanya dari hasil tes.3. Buatlah catatan pribadi pada setiap lembar jawaban tes yang menyarankan siswa

untuk tetap berusaha dengan baik atau harus meningkatkan usahanya.4. Yakinkan bahwa setiap pertanyaan mengukur hal yang penting yang telah diajarkan

kepada siswa.5. Hindari pelaksanaan ujian tanpa pemberitahuan.6. Jadwalkan pertemuan-pertemuan pribadi dengan siswa sesering mungkin untuk

mengurangi kecemasan dan untuk mengarahkan belajar apabila perlu.7. Hindari membanding-bandingkan siswa yang dapat menyinggung perasaan.8. Tekankanlah kelebihan-kelebihan siswa, bukan kelemahan-kelemahannya.9. Kurangi peranan ujian-ujian yang bersifat kompetitif bila siswa tidak sanggup

bersaing.10. Rahasiakan taraf dan nilai-nilai siswa dari siswa-siswa lainnya.11. Beri pada siswa kemungkinan untuk memilih aktivitas-aktivitas yang mempunyai

nilai pengajar yang sebanding.

13

Page 14: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

E. SIKAPFaktor lain yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sikap. Sikap

merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan.

Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai sikap mempunyai persamaan unsur, yaitu adanya kesediaan untuk berespon terhadap suatu situasi. Triandis (1971) mendefinisikannya sebagai berikut :

“an attitude is an idea charged with emotion which predisposes a class of actions to a particular class of social situations.”Rumusan di atas menyatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen, yaitu

komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek yang bernilai dalam pemandangannya, dan ia akan bersikap negatif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai atau juga merugikan. Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong kea rah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya berhubungan. Hal yang menjadi objek sikap dapat bermacam-macam. Sekalipun demikian, orang hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal yang diketahuinya. Jadi harus ada sekedar informasi pada seseorang untuk dapat bersikap terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap. Bila berdasarkan informasi itu timbul perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, terjadilah sikap.

Sikap terbentuk melalui bermacam-macam cara, antara lain :1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu pengalaman

yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatic);2. Melalui imitasi, peniruan dapat terjadi tanpa sengaja, dapat pula dengan sengaja.

Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat dan rasa kagum terhadap mode, di samping itu diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengingat model yang hendak ditiru. Peniruan akan terjadi lebih lancer bila dilakukan secara kolektif daripada perorangan.

3. Melalui sugesti, di sini seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya.

4. Melalui identifikasi, di sini seseorang meniru orang lain atau suatu organisasi atau badan tertentu didasari suatu keterkaitan emosional sifatnya. Meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai. Identifikasi seperti ini sering terjadi antara anak dengan ayah, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan.

14

Page 15: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa aspek afektif pada diri siswa besar peranannya dalam pendidikan, dan karenanya tidak dapat kita abaikan begitu saja. Pengukuran terhadap aspek ini amat berguna dan lebih dari itu kita harus memanfaatkan pengetahuan kita mengenai karakteristik-karakteristik efektif siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.

Mempengaruhi Sikap SiswaMerangsang perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang mudah untuk

dilakukan, karena ada kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan. Ada banyak hal yang menyebabkan sulitnya mengubah suatu sikap, antara lain :1. Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan. Manusia selalu

ingin mendapatkan respond an penerimaan dari lingkungan, dank arena itu ia akan berusaha menampilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkungannya. Keadaan semacam ini membuat orang tidak cepat mengubah sikapnya.

2. Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang (misalnya ‘egodefensive’).

3. Bekerjanya asas selektivitas.Seseorang cenderung untuk tidak mempersepsi data-data baru yang mengandung informasi yang bertentangan dengan pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada. Kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak bertahan lama, yang bertahan lama adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya yang sudah ada.

4. Bekerjanya prinsip mempertahankan keseimbangan.Bila kepada seseorang disajika informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam dunia psikologinya, maka informasi itu hanya bertahan sementara dan hanya akan menyebabkan perubahan-perubahan yang seperlunya saja.

5. Adanya kecenderungan seseorang untuk menhindari kontak dengan data yang bertentangan dengan sikap-sikapnya yang telah ada (misalnya tidak mau menghadiri ceramah mengenai hal yang tidak disetujuinya).

6. Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri.

Ada beberapa metode yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara lain :1. Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan

memberikan informasi-informasi baru mengenai objek sikap, sehinggan komponen kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen afektif dan komponen tingkah lakunya.

2. Dengan cara mengadakan kontak langsung denga objek sikap. Dalam cara ini komponen afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling sedikit akan merangasang orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh tentang objek sikap yang tidak mereka senangi.

3. Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku-tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini dapat dilakukan

15

Page 16: Mempengaruhi karakteristik afektif siswa

melalui kekuatan hukum. Dalam hal ini kita berusaha langsung mengubah komponen tingkah lakunya.

Meskipun terdapat banyak faktor yang menyebabkan sikap cenderung bertahan, namun dalam kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan sikap sebagaiman yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Perubahan zaman akan membawa perubahan dalam hal-hal yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang-orang pada saat tertentu, juga akan terjadi perubahan dalam sikap mereka terhadap berbagai objek. Ini menunjukkan bahwa usaha mengubah sikap perlu dikaitkan pula dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang akan diusahakan perubahan sikapnya. Selain itu perlu pula ditelaah arah dari perubahan yang diinginkan. Biasanya perubahan yang konkuren (misalnya suatu sikap positif ingin dibuat lebih positif atau sikap negatif akan dibuat lebih negatif) lebih mudah dicapai daripada perubahan yang inkonkuren (misalnya sikap yang negatif ingin diubah menjadi poditif, atau sebaliknya).

Para ahli mengatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sikap, pengajaraperlu bertindak sebagai seorang dignostikus dan terapis. Mula-mula harus ditetapkan makna fungsional dari sikap-sikap yang ada dan ingin dirubah, bagi siswa yang memiliki sikap tersebut. Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh sikap-sikap yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang bagaimanakah yang menyertai sikap-sikap tersebut. Juga dukungan lingkungan terhadap sikap-sikap tersebut perlu diketahui.

Bila diagnosis tidak tepat, maka perubahan yang diharapkan sulit akan terjadi. Dalam hal ini tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan dalam diagnosis. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan informasi selengkap mungkin mengenai sifat dan latar belakang sikap yang ingin diubah. Di samping itu jita perlu mempertimbangkan pengarahan masing-masing komponen sikap yang bersangkutan.

---xXx---

16