membaca dunia moralitas pimpinan nasional kita · mata pelantikan presiden dan wakil presiden ri...

6

Upload: phamtruc

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 2014 3WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 2014 3

WAHANAMEDIA PEMATANGALUMNI UDAYANA

No. 89 Th. XXX November 2014

Ilustrasi Cover: inilah.com

http://purwoudiutomo.com/tag/nasionalis/

Daftar Pustaka

FENOMENA APA INI?Jiwa Atmaja ................................................................... 1

SETELAH REUNI AGUNG ...................................... 2

MEMBACA DUNIA MORALITASPIMPINAN NASIONAL KITAJiwa Atmaja ................................................................... 4

WHY CIVIL LAW FAMILY AND THE RULE OF POLITICAL LAW ARE DOMINANT IN INDONESIAI Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja,S.H.,M.Hum.,LL.M 8

ORANGTUA KUNCI KEBERHASILAN REVOLUSI MENTAL ANAK DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDUW. Sayang Yupardhi ...................................................... 11

PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS DAN PUSTAKAWANI Wayan Sudirtha ........................................................... 19

PENGEMBANGAN PELAYANAN PRIMA PADA PELAYANAN REFERENSI DI PERPUSTAKAANNi Made Rustini ............................................................ 24

TUJUH HUKUM SPIRITUAL KEBERHASILAN HIDUP (3)(THE SEVEN SPRITUAL LAWS OF SUCCESS)Deepak Chopra (Disadur oleh D.K. Harya Putra) ...... 30

KESEJAHTERAAN HEWAN UNTUK KESEJAHTERAAN MANUSIAI Ketut Berata – FKH Unud .......................................... 35

REUNI AGUNG IKAYANA 2014 MOMENTUM BANGUN SOLIDITAS 70.000 ALUMNI UNUDDrh.Komang Suarsana, MMA. ..................................... 39

KRITIK SOSIAL SEORANG DOKTER KETIKA MENYAKSIKAN NEGERINYA CARUT MARUTSeberkas Puisi untuk Negeri Wimpie PangkahilaJiwa Atmaja ................................................................... 42

WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 20144 WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 201444

Sajian Utama

MEMBACA DUNIA MORALITASPIMPINAN NASIONAL KITA

Jiwa Atmaja

Sebagaimana d a p a t

disaksikan melalui tayangan televisi, laporan pandangan mata pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI ke-7, Ir. H. Joko Widodo dan Drs.

H.M. Jusuf Kala pada 20 Oktober yang lalu, dan pemberitaan prosesi resmi upacara pelantikan presiden dan wakil oleh MPR hampir tenggelam oleh pemberitaan pesta rakyat yang tampaknya spontan dan meriah. Pesta rakyat itu, bukan pesta biasa sebagaimana sindiran

seorang tokoh Partai Demokrat “jangan pesta saja, bekerja dong”, melainkan pesta rakyat yang mengharapkan adanya perubahan dunia moralitas pimpinan nasional. Harapan ini muncul setelah rakyat menyaksikan dunia moralitas yang dibangun dan ditampilkan

WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 2014 5

Joko Widodo melalui tindakan nyata selama ia menjabat Gubernur DKI Jakarta, dan Jokowi sendiri menganjurkan “revolusi mental” sebagai formula kampanye pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu.

Dua hal, yakni tindakan kepemimpinan sederhana yang mengandung keunggulan nilai lokalitas dan program “revolusi mental” yang menjanjikan perubahan dunia moralitas pimpinan nasional agaknya merupakan kekuatan pendorong bagi rakyat di ibukota untuk menyelenggarakan pesta rakyat yang belum pernah kita saksikan pada pelantikan presiden sebelumnya. Tentu saja sebuah pesta dipastikan mengekspresikan rasa syukur, akan tetapi tidak dapat diabaikan juga kalau pesta rakyat kali ini mengandung harapan akan adanya perubahan dunia moralitas pimpinan nasional. Meskipun anjuran “revolusi mental” Jokowi sendiri belumlah jelas ibarat sebuah teks yang masih harus ditafsirkan, bahkan telah ditafsirkan oleh beberapa penulis artikel di media massa dengan kelincahan literasinya, agaknya rumusan “revolusi mental” itu sendiri belumlah jelas dan bagaimana harus melakukannya? Kecuali itu, hampir semua pihak menyetujui bahwa revolusi mental harus dimulai dari diri sendiri sebagaimana program “restorasi kebudayaan” yang dianjurkan oleh ormas Nasdem beberapa waktu yang lalu.

“Restorasi kebudayaan” yang memiliki landasan moral untuk “merestorasi mentalitas” bangsa Indonesia itu pun belum

memiliki rumusan yang jelas dan fi nal, terlanjur ditinggalkan hanya sebagai wacana pemanis bibir oleh ormas Nasdem setelah tujuan ormas tersebut untuk membentuk partai politik tercapai. Akankah “revolusi

m e n t a l ” J o k o w i b e r n a s i b s e p e r t i i t u ? Sanggupkah perilaku psikologi rakyat yang diperlihatkan Jokowi sendiri dapat bertahan, dapat mengubah dunia moralitas pimpinan nasional kita? Anggalah bahwa Jokowi

sebagai Presiden RI memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melaksanakan, bahkan memaksa agenda revolusi mental, tentu kita masih harus menunggu bagaimana Jokowi mengubah sebuah dunia absolut yang jaringan moralitasnya sudah rusak? Jika kita bersandar pada asumsi ini, maka betatapun kuat dan besarnya kekuasaan seorang presiden untuk mengubah dunia mentalitas pimpinan nasional, maka upaya ini sulit dicapai, karena jaringan gurita birokrasi yang demikian kokoh masih melakukan praktik-praktik kerja yang tidak memiliki landasan moralitas yang kuat dan cenderung berperilaku menikmati segala hal dari hasil wewenang dan kekuasaannya. Dari sinilah korupsi berkembang dan mengakar.

Setelah menjalankan reformasi selama 20 tahun, apa hasil yang dapat dicapai, kecuali suatu barbarisasi, yang memang bergerak lambat tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian

bersandiwara seorang presiden yang bakal lengser

dan korps politikus yang saling berbagi pengalaman

dan pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberi apa yang benar-benar mereka perlukan. Dalam kalimat Daoed Joesoef, mereka mendekati setiap subjek dengan mulut terbuka, bukan dengan pikiran dan hati terbuka (Kompas, 10/10/2014, hlm. 6). Senada dengan ungkapan Joesoef di atas, rakyat pun menulis grafi ti di pantat sebuah truck berbunyi KBG (Koalisi Bungut Gebuh); sindiran untuk Koalisi Merah Putih.

WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 20146

Apa yang disebut barbarisasi oleh Daoed Joesoef tidak lain dari perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 ketika menyetujui RUU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD untuk disahkan sebagai UU oleh pemerintah. Dengan menyetujui RUU No. 17 Tahun 2014, DPR sebagai wakil rakyat sungguh-sungguh tidak menghargai, bahkan mengabaikan suara rakyat yang diberikan kepada parpol dalam pemilu yang hanya dapat ditukar dengan perolehan kursi di DPR. Sementara parpol pemenang dalam pemilu, atau parpol yang memperoleh suara rakyat terbanyak dalam pemilu tidak otomatis menjadi ketua DPR.

Oleh karena Pasal 84 Ayat 1 UU MD3 yang baru itu menetapkan, pimpinan DPR, yang terdiri atas 1 ketua dan 4 wakil ketua, dipilih dari dan oleh anggota DPR, maka terbuka kemungkinan parpol dengan perolehan suara terendah dalam

pemilu dapat memimpin DPR mengingat susunan pimpinan DPR tidak ditentukan oleh urutan-urutan jumlah suara terbanyak yang diperoleh setiap parpol, sebagaimana ditetapkan oleh UU M3 sebelumnya, UU No. 27 Tahun 2009.

Dalam UU No. 27 Tahun 2009, suara rakyat sepenuhnya dihargai, parpol pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR. Pasal 82 Ayat 1 UU No. 27 Tahun 2009 menetapkan, pimpinan DPR terdiri atas 1 ketua dan 4 wakil ketua yang berasal dari parpol berdasarkan urutan peroleh kursi terbanyak di DPR. Ayat 2 menetapkan, ketua DPR, dan Ayat 3 menetapkan, wakil ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari parpol yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat dan kelima. Dalam konteks ini, sulit untuk dipercaya bahwa anggota DPR periode 2009-2014, yang sejatinya adalah wakil rakyat, justru mengabaikan suara rakyat yang diperoleh dalam pemilu

dengan menyetujui RUU No. 17 Tahun 2014 untuk disahkan hanya satu hari menjelang pemilihan presiden.

Tentu saja PDI-P sebagai pemenang dalam Pemilu Legislatif 2014 merasa dirugikan dengan berlakunya UU No. 17 Tahun 2014, karena jika menggunakan UU No. 27 Tahun 2009, PDI-P otomatis menduduki kursi ketua DPR. Itu sebabnya, PDI-P mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 84 UU No. 17 Tahun 2014 kepada Makamah Konstitusi. Namun, permohonan gugatan uji materi yang diajukan PDI-P itu ditolak. Alasan penolakan MK, antara lain Pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Drama ketidakberpihakan sebagian besar anggota DPR (2009-2014) terhadap suara rakyat kembali dipertunjukkan ketika hanya empat hari menjelang akhir masa baktinya, 26 September 2014, mereka menyetujui pemilihan kepala daerah yang semula

WAHANA | No. 89 Th. XXX | November 2014 7

dilakukan langsung oleh rakyat dikembalikan ke DPRD. Selain mencabut hak rakyat untuk menentukan kepala daerahnya secara langsung, DPR (2009-2014) juga mematikan peluang hadirnya calon perorangan. Lagi-lagi rakyat menyaksikan manuver sebagian besar anggota DPR RI, yang membenarkan logika pertainya sendiri.

Dari 361 anggota DPR yang mengikuti voting, yang memilih untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD ada 226 orang yang berasal dari Fraksi Golkar (73), Fraksi PKS (55), Fraksi PAN (44), Fraksi PP (32), dan Fraksi Gerindra (22). Sementara yang memilih untuk tetap mempertahankan pilkada secara langsung oleh rakyat hanya 135 orang, masing-masing berasal dari Fraksi PDI-P (88), Fraksi PKB (20), dan Fraksi Hanura (10), serta 17 orang anggota yang membelot dari Fraksi Golkar (11) dan Fraksi Demokrat (6). Klimak dari plot tidak masuk akal dari drama anggota DPR terjadi ketika 130 anggota Fraksi Demokrat yang hadir, 124 orang melakukan aksi walk out. Keputusan Demokrat ini aneh mengingat Fraksi Demokrat ini mengklaim untuk mendukung pilkada secara langsung oleh rakyat meskipun dengan menyertakan 10 syarat perbaikan.

Sungguh tidak masuk akal mengapa Fraksi Demokrat yang mengaku mendukung pilkada langsung oleh rakyat mengambil keputusan walk out, padahal 10 syarat perbaikan yang diajukan dapat diakomodasikan dalam hak teknis selanjutnya, kecuali dengan walk out bisa diartikan bahwa Fraksi Demokrat sengaja memberi kemenangan kepada

fraksi yang menginginkan pilkada dikembalikan ke DPRD. Tuduhan ini tentu saja semakin kuat mengingat Fraksi Demokrat adalah pendukung koalisi Merah Putih Prabowo. Tentu saja masyarakat luas pun mengecam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Fraksi Demokrat yang dianggap tidak pro rakyat. Yudhoyono menjadi bulan-bulan di media sosial.

Yudhoyono adalah aktor politik yang berpengalaman lebih dari 10 tahun, dan dingin dalam mengambil keputusan. Ketika protes masyarakat semakin meluas terhadap aksi walk out Fraksi Demokrat, Yodhoyono kemudian mengeluarkan Perpu seolah-olah dirinya dan partainya benar-benar memihak kepada rakyat. Tidak heran, jika kemudian Daoed Joesoef menulis artikel “Musang Berbulu Domba” (Kompas, 10/10/2014, hlm 6), yang menilai perilaku anggota DPR itu sebagai barbar dan Yudhoyono yang serba plin-plan. Dalam bagian lain dari artikel itu, Daeod Joesoef menulis “apa yang dihasilkan oleh reformasi ini? Suatu barbarisasi yang memang bergerak lambat tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian bersandiwara seorang presiden yang bakal lengser dan koprs politikus yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberikan apa yang mereka betul-betul perlukan” (hlm. 6).

Daoed Joesoef mengesankan bahwa pergelaran sandiwara dari panggung politik DPR seperti itu sangat memuakkan dan menantang kesadaran rakyat akan hak-haknya yang dirampas begitu

saja. Padahal, rakyat telah membiayai para aktor politik yang tampil keren dan cantik di panggung itu dan kelihatannya betul-betul menjiwai serta menikmati peran amoral masing-masing. Jadi, mereka bukan sekadar bersandiwara, melainkan telah bermain sungguhan dalam proses barbarisasi. Betapa tidak. Apa yang sejatinya bisa diraih dengan moral seharusnya tidak dicapai melalui hukum. Namun, berhubung tunamoral, mereka menghabiskan energi dan waktu dengan bermoralisasi, asyik mengutak-atik “moral” dan “moralizing” yang begitu berbeda bagai siang dan malam tanpa panduan fi losofi Pancasila demi kekukuhan kekuasaan politiknya belaka, yang diselimuti “demi rakyat”.

Kemuakan rakyat menyaksikan tingkah laku pimpinan nasional yang amoral seperti itu, menghendaki revolusi mental dalam kepemimpinan nasional, dan harapan ini mereka ekspresikan dalam pesta rakyat yang meriah, spontan dan satir terhadap sejarah kekuasaan masa lalu. Sepatutnya, barisan rakyat didukung, diperkuat, terutama oleh lapisan yang terdidik, kaum intelektual. Di mana Anda berada? Sedang menyendiri di laboratorium atau bersemedi di perpustakaan, atau berpesiar somewhere? Masih jauh larut malam, sudah berkelirian musang berbulu ayam.