memahami perancangan arsitektur sebagai “social art”

Upload: nov-khumairoh

Post on 13-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Berdasarkan enam karakteristik Design Problem in Practice, poin ‘design in balance’ lagi-lagi menjadi poin yang menurut saya menjadi faktor penentu keberhasilan para pelaku dalam mengelola dinamika proses perancangan yang dibahas dalam dua proyek di atas. Meskipun kebanyakan dari para pelaku tidak dapat memenuhi apa yang dikatakan sebagai ‘design in balance’ secara sempurna. Contohnya dalam proyek rumah sakit USU ini begitu banyak pertaruhan yang harus dilakukan untuk menyesuaikan antara bisnis dan seni estetika. Banyak desain yang harus disesuaikan dengan budget yang tersedia. Meski kemungkinan ada campur tangan politik dalam kasus proyek ini, kini proyek pembangunan rumah sakit ini sudah selesai. Tinggal menunggu kelengkapan peralatan medis sehingga rumah sakit ini resmi dibuka nanti. Menurut saya usaha tim dan arsitek untuk mencapai ‘design in balance’ adalah salah satu faktor penentu berhasilnya proyek bertahun ini akhirnya dapat diselesaikan.

TRANSCRIPT

Memahami Perancangan Arsitektur sebagai Social ArtDalam pembahasan kali ini saya akan mencoba mengangkat stereovision sebagai salah satu poin dari tujuh dinamika dalam proses perancangan yang terkait dengan proyek Monterey Bay Aquarium. Dalam kejadian nyata di lapangan, arsitek dan klien sering kali melihat bangunan dalam apa yang disebut stereovision, maksudnya adalah klien dan arsitek menggambarkan dan menghargai desain suatu proyek dari aspek yang sangat berbeda. Demikian pula yang terjadi dalam kasus proyek Monterey Bay Aquarium. Dalam hal ini Mr.Packard selaku klien memiliki beberapa permintaan untuk kualitas bangunan dan perhitungan bisnis. Sedangakan dari pihak konsultan memiliki pendekatan lain di bidang arsitektur, baik mengenai pendalaman bentuk maupun resolusi dari masalah teknis, sosial, dan kontekstual. Namun klien disini memiliki kesadaran untuk menyerahkan urusan pendekatan arsitek terhadap detail dan estetika agar bangunan menjadi indah. Peran sertanya hanya sebatas diskusi mengenai nilai fungsional sesuai yang ia butuhkan. Pada akhirnya pandangan berbeda dari masing-masing pihak dikombinasikan dan saling melengkapi satu sama lain sehingga terjadi interksi sosial yang baik dalam proyek ini.Pada kasus proyek pembangunan rumah sakit pendidikan USU, juga terjadi hal-hal yang menurut saya hampir mirip (universal) dengan proyek Monterey Bay Aquarium. Dimana pemberi tugas dalam hal ini Rektor USU lama memiliki keinginan agar rumah sakit USU ini menjadi rumah sakit yang tidak hanya bersifat publik namun juga bernilai komersil. Padahal umumnya tipe rumah sakit hanya salah satu dari itu. Maka dalam hal ini dibentuklah tim yang terdiri dari para engineer juga praktisi kesehatan yang akan saling berdiskusi untuk dapat memenuhi target tersebut. Dan sama seperti Packard, klien juga menyerahkan urusan pendekatan nilai tersebut kepada arsitek. Hal yang menjadi perbedaan (kontekstual) dengan proyek Monterey Bay Aquarium disini adalah meskipun pendekatan terhadap estetika dan tipe rumah sakit sudah diserahkan kepada arsitek, diskusi klien tidak hanya sebatas fungsionalitas dan nilai bisnis, namun menyangkut hal-hal yang lebih serius termasuk politik dan hukum mengingat pembangunan sebuah rumah sakit pendidikan untuk Universitas Negeri di Indonesia belum pernah ada sebelumnya. Jadi kerjasama dan interaksi sosial antara konsultan dan klien dalam proyek ini lebih banyak dibutuhkan untuk mencapai sebuah proyek yang dinilai unggul. Jika hal ini dikaitkan dengan pendapat Cuff bahwa praktek arsitektur adalah sebuah budaya, menurut saya memang demikian adanya. Namun kembali lagi, budaya yang seperti apa? dari pemaparan dua kasus proyek di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa budaya dalam suatu proyek arsitektur tergantung kepada para pemain kunci dari proyek tersebut.Berdasarkan enam karakteristik Design Problem in Practice, poin design in balance lagi-lagi menjadi poin yang menurut saya menjadi faktor penentu keberhasilan para pelaku dalam mengelola dinamika proses perancangan yang dibahas dalam dua proyek di atas. Meskipun kebanyakan dari para pelaku tidak dapat memenuhi apa yang dikatakan sebagai design in balance secara sempurna. Contohnya dalam proyek rumah sakit USU ini begitu banyak pertaruhan yang harus dilakukan untuk menyesuaikan antara bisnis dan seni estetika. Banyak desain yang harus disesuaikan dengan budget yang tersedia. Meski kemungkinan ada campur tangan politik dalam kasus proyek ini, kini proyek pembangunan rumah sakit ini sudah selesai. Tinggal menunggu kelengkapan peralatan medis sehingga rumah sakit ini resmi dibuka nanti. Menurut saya usaha tim dan arsitek untuk mencapai design in balance adalah salah satu faktor penentu berhasilnya proyek bertahun ini akhirnya dapat diselesaikan.