meluruskan implementasi pendidikan …eprints.ulm.ac.id/574/1/meluruskan implementasi pendidikan...
TRANSCRIPT
MELURUSKAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
OLEH : UTOMO, M. Pd
TENAGA PENGAJAR DI PRODI PLB FKIP UNLAM BANJARMASIN
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Indonesia telah mengenal dan mulai melaksanakan pendidikan inklusif yang diyakini oleh para
pakar di bidang pendidikan merupakan paradigm pendidikan yang paling efektif untuk
mewujudkan education for all. Indonesia telah meratifikasinya. Sebagai sebuah Negara yang
telah menyepakati perjanjian internasional tersebut, tidak bisa semena-mena
mengimplementasikannya. Dalam perjalanannya selama kurang lebih delapan tahun ini berbagai
kemajuan telah tercapai, namun masih ada permasalahan-permasalahan yang muncul. Mungkin
sebagian kalangan mengaanggap hal yang biasa jika terjadi permasalahan. Permasalahan yang
paling menonjol adalah antara makna pendidikan inklusif itu sendiri dengan pelaksanaannya
masih belum sempurna. Artinya beberapa komponen pendidikan inklusif belum sepenuhnya
terealisasi. Hal inilah yang membuat terseok-seoknya perjalanan pendidikan inklusif di
Indoensia. Hal ini perlu diluruskan. Jika tidak tentu akan menimbulkan dampak yang bisa jadi
membuat sebagian lembaga enggan melaksanakan pendidikan inklusif. Beberapa ide untuk
meluruskan pendidikan inklusif tersebut antara lain : (1) Para pelaku yang mengimplementasikan
pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh. Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal
hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif tambah membingungkan. (2) Pendidikan
inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh pendidikan di
sekolah terdekat dengan pendekatan rayonisasi. (3) Rasio guru dengan peserta didik perlu
diselaraskan. (4) Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan. (5) Perlunya Pusat Sumber
Layanan ABK. (6) Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-
guru yang ada, akan tetapi bagi calon guru.
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan akses
pendidikan khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (penyandang kelainan dan kelompok anak
kurang beruntung lainnya). Anak penyandang kelainan sementara ini mendapat pendidikan
secara segregatif di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB). Dikarenakan
jumlah SLB yang sangat terbatas dibandingkan dengan populasi anak penyandang kelainan dan
lokasi SLB yang biasanya di perkotaan mengakibatkan anak penyandang kelainan, terutama
yang di daerah pinggiran dan pedesaan, belum memperoleh layanan pendidikan formal secara
memadai.
Pendidikan inklusif diyakini oleh sebagian besar ahli maupun praktisi di bidang pendidikan
untuk mewujudkan Education for All (EfA). Dikatakan demikian karena paradigma tersebut
sangat akomodatif terhadap semua perbedaan kondisi peserta didik, baik kondisi peserta didik
yang berhubungan dengan fisik, mental, maupun social. Perbedaan merupakan hal yang
biasa/wajar, karena pada kenyataannya semua manusia itu berbeda. Perbedaan tidak akan
mungkin untuk bisa dihilangkan, namun bisanya hanya bisa difasilitasi untuk bisa berkembang
sesuai dengan potensinya masing-masing. Perbedaan sebaiknya bukan menjadi penghambat
untuk bisa belajar bersama, namun perbedaan dijadikan sebuah kekayaan dan kekuatan untuk
meraih prestasi pendidikan (perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik). Hal ini senada
dengan pendapatnya Skjorten (2003:117). Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang
merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah
suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya
anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan.
Di dalam pendidikan inklusif, hambatan seorang anak (baik hambatan yang ada pada diri anak
maupun hambatan yang berasal dari lingkungan anak) untuk bisa belajar bersama merupakan
sebuah tantangan yang perlu diatasi, sebab salah satu tujuan pendidikan inklusif yaitu sebisa
mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Jikapun hambatan tersebut tidak bisa
dihilangkan, tetap diusahan untuk dikurangi (peminimalan hambatan).
Kondisi ini merupakan tantangan bagi upaya pensuksesan program wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun. Hal ini dapat ditengarai dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) secara
nasional yang berada dalam kisaran 97,3 % untuk SD dan 84,2 % untuk SMP (berdasarkan data
Susenas tahun 2005). Diduga permasalahan kurangnya kesempatan pendidikan bagi anak
berkelainan menyumbang belum sampainya APS menjadi 100% terutama untuk jenjang SD,
selain sumbangan dari faktor lain misalnya pembiayaan pendidikan dan hambatan geografis.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia telah dirintis sejak tahun 2003, dan sampai
saat ini sudah berkembang menjadi sekitar 740 sekolah. Khusus untuk di Kalimantan Selatan
telah tercatat lebih dari 29 sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah yang inklusif.
Jumlah tersebut terdiri dari 2 TK Inklusi, 17 SD Inklusi, 5 SMP Inklusi, 4 SMA Inklusi, dan 1
SMK Inklusi. Penyelenggaraan pendidikan inklusif dilakukan di satuan pendidikan SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif,
salah satunya didorong oleh semakin banyak orang tua yang memiliki anak penyandang kelainan
dan anak cerdas dan/atau berbakat istimewa menuntut haknya untuk memperoleh pendidikan
secara inklusif di satuan pendidikan reguler.
Landasan hukum nasional yang secara eksplisit menyatakan pendidikan inklusif adalah pada
penjelasan pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
penjelasan tersebut dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan
luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Selain itu dengan diterbitkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
bagi anak penyandang kelainan dan cerdas istimewa dan bakat istimewa, serta terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, tentang penyelenggaraan pendidikan, semakin
menegaskan jaminan terbukanya kesempatan bagi anak penyandang ketunaan untuk memperoleh
akses pendidikan di sekolah reguler.
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia diyakini masih banyak menimbulkan
permasalahan dan persepsi yang berbeda-beda, walaupun dalam perjalanannya telah menempuh
kurang lebih 8 tahun. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga pendidikan baik TK, SD,
SMP maupun SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara
kualitas (kesesuain dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang timbul.
Ada beberapa permasalahan yang terekam, diantaranya :
1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model
pendidikan. Hal ini tercermin bahwa sebuah sekolah yang menyatakan diri menjadi sekolah
inklusif harus mendapat label “sekolah inklusi”. Kesesuain label dengan implementasi yang
diharapkan kadang masih jauh. Bahkan dibeberapa sekolah masih “jauh panggang daripada
api”.
2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan
peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak
pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. Bahkan dibeberapa sekolah, anak-anak yang
berkebutuhan khusus masih menjadi “tamu”, bukan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Paham ini berdampak pada pemindahan peserta didik yang ada di SLB ke sekolah regular.
3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi “kebanjiran” peserta
didik yang berkebutuhan khusus. Hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah
menyatakan diri menjadi sekolah inklusi. Disamping itu pemahaman tentang “sekolah
terdekat dengan tempat tinggal anak” belum sepenuhnya diimplementasikan.
4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan
dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta didiknya adalah
anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model ini tentu menyimpang
dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak bedanya dengan SLB yang terselenggara di
sekolah regular.
Permasalahan-permasalahan tersebut akibat tidak konsistennya dari berbagai kelangan, terutama
pemerintah dalam menjalankan sebuah paradigm pendidikan inklusi. Beberapa komponen yang
seharusnya ada di dalam menjalankan regulasi pendidikan inklusi, belum terimplementasikan
dengan baik. Bahkan terkesan hanya sebagian komponen saja yang dilaksanakan. Penyebab lain
adalah perubahan kearah paradigma pendidikan inklusi cukup besar tantangannya. Tantangan-
tantangan tersebut antara lain :
1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi. Paradigma
segregasi telah mengakar kepada penentu kebijakan dan para praktisi pendidikan, bahkan
sering kali membelenggu para pengembang di bidang pendidikan. Mereka berasumsi bahwa
dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kreteria yang telah ditentukan, maka
akan mempercepat ketercapaian tujuan pendidikan. Kebijakan itu disatu sisi yaitu sisi
kognitifnya mungkin benar, akan tetapi perlu diingat bahwa ranah pendidikan yang perlu
dicapai tidak hanya ranah kognitif saja, akan tetapi ranah psikomotor dan ranah afektif tidak
kalah pentingnya harus menjadi penyerta tujuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang
berpendapat ada ranah social yang juga perlu dicapai.
2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan
kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social
terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak
dan adil. Sekolah unggulan selama ini identik dengan kualitas IQ input peserta didik yang
diatas rata-rata dan biaya pendidikan yang cukup mahal yang harus ditanggung oleh para
orangtuanya. Tentu hal ini akan membuat kesenjangan yang lebih dalam. Kesenjangan
selamanya akan selalu menyakitkan bagi banyak orang. Memang kesenjangan akan selalu
ada, akan tetapi jika jaraknya terlalu jauh akan selalu memperburuk keadaan.
3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. Penyebab ini yang
sepertinya yang paling dominan. Pendidikan inklusif secara eksplisit memang sudah menjadi
kebijakan secara nasional, akan tetapi secara filosofi belum bisa menyentuh ke semua
komponen bangsa yang bergerak dibidang pendidikan. Tahap-tahapan sosialisasi tidak dilalui
dengan benar. Hal ini diperparah dengan seringnya pergantian pejabat di lingkungan
Kementarian/Dinas Pendidikan yang seharusnya menangani pendidikan inklusi. Jika
memang sudah diyakini bahwa paradigm pendidikan inklusi sudah menjadi agenda yang
hebat untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan, seyogyanya semua pihak
harus komitmen untuk mengimplementasikannya.
4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan. Mereka sebagian besar lebih senang
mendidik peserta didik yang “biasa-biasa saja (tidak banyak permasalahan)”. Banyak
diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi peserta
didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat. Padahal jika
mereka menanganinya dengan senang dan peduli tentu akan menambah profesionalisme
mereka.
5. Acuan peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit.
Prestasi belajar sering diasumsikan dengan juara kelas, nilai yang tinggi, siswa yang dapat
mengalahkan akademik siswa lainnya. Asumsi itulah yang membuat para pelaku bidang
pendidikan berlomba-lomba menyeleksi input peserta didik yang hanya dilihat dari
akademiknya saja. Hal ini tentu memperburuk keadaan perkembangan pendidikan inklusi.
Masih banyak sebenarnya permasalahan-permasalahan lainnya. Mudahan beberapa identifikasi
permasalahan perkembangan pendidikan inklusi diatas cukup menjadi gambaran sampai dimana
perkembangan pendidikan inklusi dewasa ini sehingga para praktisi maupun penggendali
pendidikan di Indoensia tercinta ini dapat segera mengambil langkah yang tepat. Tulisan
berikutnya akan penulis coba memberikan beberapa alternative pemecahannya. Semoga menjadi
inspirasi dan perdebatan yang membangun untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan
pendidikan inklusif secara benar agar bangsa ini sesegera mungkin bisa bangkit dari
keterpurukan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentu mengalami perkembangan, akan tetapi
dampak buruknya juga tidak kalah berkembang.
PEMBAHASAN
Dunia pendidikan telah sepakat dengan geloranya “education for all (EFA)” harus sesegera
mungkin untuk ditempuh. Bagi Negara-negara yang telah sepaham, maka Negara tersebut
meratifikasinya. Indonesia telah meratifikasinya. Tentu ini sebuah kemajuan ditingkat
silaturahmi internasional. Dunia juga telah sepakat bahwa untuk mewujudkan EFA akan
ditempuh dengan paradigm pendidikan inklusif. Indonesiapun juga telah meratifikasinya.
Pergaulan pendidikan di tingkat internasional sudah tidak ada masalah. Yang menjadi masalah
adalah komitmennya setelah meratifikasi. Jangan hanya karena sebuah tuntutan masyarakat
internasional untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, adil dan tanpa diskriminasi saja
kemudian Indonesia ikut-ikutan meratifikasi. Justru merupakan kebanggaan bagi kita bahwa
Indoensia secara Internasional tetap komitmen dengan bangsa-bangsa lainnya.
Yang perlu segera kita benahi adalah bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada setelah
Indonesia mulai melaksanakan pendidikan inklusif 8 tahun yang lalu ini secara terus menerus
dan konsisten tetap dicarikan pemecahannya. Pemecahannya jangan sampai lepas dari pundi-
pundi pendidikan inklusif itu sendiri. Jika lepas, tentu mengurangi makna. Dan pada akhirnya
akan memperburuk keadaan. Makalah ini mencoba mencari solusi. Harapannya bisa menjadi
inspirasi. Permasalahan yang telah penulis sampaiakan dalam Pendahuluan diatas, berikut ini
akan penulis sampaikan beberapa ide.
1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh.
Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif
tambah membingungkan. Seperti contoh bahwa pendidikan inklusif hanya mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus di sekolah regular saja tanpa dibarengi dengan implementasi
pemahaman yang lain, tentu membuat berbagai pihak tambah bingung. Yang harus menjadi
patokan utama adalah “anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan anak-anak
lainnya yang perlu saling pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu”. Seperti
yang telah dikemukan oleh Alimin (2005) yaitu sekolah yang ramah dan terbuka ditandai
antara lain dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak. Tahapan
yang benar adalah menciptakan sekolah dan guru yang ramah terhadap semua anak
(welcoming school and welcoming teacher) terlebih dahulu.
2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh
pendidikan di sekolah terdekat.
Layanan pendidikan terdekat lebih spesifik ditujukan bagi anak-anak yang mempunyai
kebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sapon-Shevin dalam O’neil, 1994)
yang mengemukakan “pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang
mempersyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas
biasa bersama teman-teman seusianya.” Implementasi yang muncul saat ini adalah sekolah-
sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusif kebanjiran peserta didik
berkebutuhan khusus. Hal ini karena penyebaran sekolah inklusif tidak diikuti oleh sekolah-
sekolah yang lain. Kebanyakan sekolah enggan sekolahnya menjadi inklusif. Permasalahan
ini sepertinya perlu digalakkan lagi system rayonisasi pendidikan. Artinya setiap sekolah
mempunyai tanggung jawab mencerdaskan anak-anak bangsa ini dengan radius wilayah yang
telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan demikian sekolah-sekolah yang ada kedepannya
tidak bisa menolak lagi jika diwilayahnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini
pemerintah sebenarnya telah membantu membuat dasar hukumnya yaitu dengan
Kepmendiknas no 70 tahun 2009. Salah satu pasalnya bahwa setiap Kecamatan minimal ada
1 SD dan 1 SMP yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi. Dan 1 SMA setiap Kabupaten. Hal
inipun belum tentu mengatasi masalah karena luas dan jumlah penduduk setiap kecamatan
juga berbeda-beda. Sepertinya model rayon yang paling tepat. Jika sekolah inklusif semakin
banyak tentu tidak akan terjadi penumpukan anak-anak berkebutuhan khusus di satu sekolah
regular. Harapnnya kedepan bagaimana semua sekolah menjadi sekolah yang inklusif.
Gambar dibawah ini mudahan menambah wawasan tentang rayonisasi pendidikan.
Kelurahan/Desa dengan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah sekolah, dan potensi yang beragam/ berbeda
3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan.
Rata-rata saat ini satu kelas berjumlah antara 35 – 45 siswa. Satu kelas ditangani oleh satu
orang guru. Padahal idialnya satu kelas sebaiknya hanya 20 siswa dan ditangani oleh dua
orang guru. Satu orang guru menjadi pengajar di depan, kemudian satu orang guru menjadi
asisten guru (prakteknya bisa bergantian). Dengan rasio tersebut asumsinya setiap peserta
didik akan terlayani pendidikannya. Lebih-lebih jika di kelas tersebut ada anak berkebutuhan
khusus. Maka asisten guru tersebut membantu anak yang berkebutuhan khusus. Sebaiknya
kedepan hal ini menjadi kajian pemerintah untuk menselaraskan rasio sesuai dengan
kemampuan guru.
4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan.
Istilah sekolah unggulan memang manis. Akan tetapi kenyataannya sekolah unggulan hanya
dinikmati oleh segelintir masyarakat yang bisa menjangkaunya. Secara kasat mata jelas
sekolah unggulan akan lebih berhasil daripada sekolah biasa. Hal ini karena selain proses
pembelajarannya baik, gurunya unggul, sarana dan prasarananya baik, akan tetapi dibarengi
dengan input yang secara akademik memang sudah unggul. Ada yang ganjil dalam
implementasinya yaitu sekolah unggulan kurang mengakomodir perbedaan yang sebenarnya
kodrati. Bagi sekolah unggulan harus ingat bahwa masyarakat kita beragam. Penulis berharap
Sebuah Kecamatan
bahwa yang distandarkan bukan inputnya. Penulis berharap ada sekolah inklusif yang
unggul. Bukan menjadi eksklusif. Sekolah yang eksklusif akan jauh dari masyarakat. Sering
kali sekolah tersebut bukan milik masyarakat.
5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK
Selama ini bagi sebagian besar daerah di Indonesia ini, adanya pusat sumber hanya masih
menjadi angan-angan. Banyak kendala untuk mewujudkannya. Pusat sumber pada intinya
sangat membantu terlaksananya pendidikan inklusif.
6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada,
akan tetapi bagi calon guru.
Calon guru yang dimaksud adalah mereka yang masih menempuh di bangku kuliah yaitu
bagi mahasiswa-mahasiswa yang nantinya dipersiapkan untuk mencadi calon guru, baik
mereka yang ada di keguruan maupun yang di ilmu pendidikan (FKIP). Pemikiran para
mahasiswa biasanya masih idialis. Begitu juga jika mereka diberi materi tentang paradigma
pendidikan yang luhur ini sudah barang tentu menjadi nilai plus bagi mahasiwa. Jika
pemahaman mereka lebih awal dimulai, tentu akan lebih dini mereka nantinya setelah
bekerja langsung bisa ikut mewarnai di tempat mereka untuk mengimplementasikan
pendidikan inklusi. Mahasiswa calon guru di negara-negara maju seperti Australia, Jepang,
Norwegia, dll telah mendapat program materi tentang penanganan anak-anak berkebutuhan
khusus termasuk di dalamnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Di Indonesia belum
semua perguruan tinggi menerapkan hal tersebut. Yang penulis ketahui sebagian besar baru
terimplementasi di PDSD/PGTK. Mungkin beberapa perguruan tinggi telah memulai di
program studi/jurusan lainnya. Memulai memberikan pemahaman tentang pendidikan
inklusif jika belum memungkinkan dalam bentuk mata kuliah, ada baiknya
dimasukkan/diintegrasikan ke dalam mata kuliah yang sesuai. Seperti mata kuliah profesi
keguruan atau pengantar pendidikan atau belajar dan pembelajaran.
Tulisan ini tentu belum bisa sempurna untuk dijadikan kajian dalam upaya meluruskan
implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Walau begitu penulis berharap bisa menjadi salah
satu inspirasi untuk terus mengembangkan pendidikan inklusif yang benar-benar inklusif, bukan
sesuatu yang menjadi eksklusif.
KESIMPULAN
Delapan tahun Indonesia telah mencoba mengimplementasikan paradigm pendidikan inklusif.
Suka duka telah dilaluinya. Ada keberhasilan ada juga yang belum mencapai hal yang
diharapkan. Itu semua sebuah proses panjang yang terus dievaluasi dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya. Pendidikan inklusif sebuah pendidikan yang luhur. Pendidikan inklusif sangat
diyakini oleh sebagian besar pelaku bidang pendidikan untuk menuju education for all (EFA).
Semua anak bangsa diberbagai belahan bumi ini mempunyai hak/kesempatan pendidikan yang
layak, adil, bermutu dan tanpa diskriminasi. Pendidikan merupakan awal dari kebangkitan dari
sebuah kemajuan suatu Negara. Bagaimana bisa maju jika pendidikan masih tidak adil, masih
diskriminasi, walaupun berkualitas.
Dalam perjalannan yang cukup panjang ini, permasalahan-permasalahan masih muncul dalam
implementasinya. Permasalahan yang sempat terekam oleh penulis diantaranya :
1. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model
pendidikan.
2. Implementasi pendidikan inklusi yaitu masih ada yang hanya sekedar mengikutsertakan
peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak
pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak.
3. Dibeberapa sekolah yang telah menyatakan diri menjadi sekolah inklusi “kebanjiran” peserta
didik yang berkebutuhan khusus, hal ini sebagai dampak tidak meratanya sekolah yang telah
menyatakan diri menjadi sekolah inklusi.
4. Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan
dibentuknya kelas khusus di sekolah regular.
Beberapa permasalahan yang sempat terekam oleh penulis tersebut, disinyalir sebagai akibat dari
beberapa hal di bawah ini :
1. Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi sehingga
mempengaruhi paradigm berfikir bagi pelaku pendidikan.
2. Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan
kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social
terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak
dan adil.
3. Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan.
4. Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan.
5. Acuan peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit.
Semua permasalahan implementasi pendidikan inklusif tersebut perlu dicarikan jalan keluanya.
Ada beberapa ide dari penulis untuk menjadi inspirasi. Antara lain :
1. Para pelaku yang mengimplementasikan Pendidikan inklusif perlu pemahaman yang utuh.
Pemahaman yang hanya sepenggal-penggal hanya membuat pelaksanaan pendidikan inklusif
tambah membingungkan.
2. Pendidikan inklusif memberikan pemahaman bahwa anak-anak diusahakan menempuh
pendidikan di sekolah terdekat.
3. Rasio guru dengan peserta didik perlu diselaraskan.
4. Perlunya perubahan criteria sekolah unggulan.
5. Perlunya Pusat Sumber Layanan ABK
6. Pemahaman tentang pendidikan inklusi sebaiknya tidak hanya kepada guru-guru yang ada,
akan tetapi bagi calon guru.
DAFTAR PUSTAKA
Astati, (2001), Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa
Budiyanto, (2005). Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta:
Depdiknas.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2005). Pedoman Implementasi Pendidikan
Inklusif di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat
Direktorat PLB. (2004). Buku Seri : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan terpadu/Inklusi.
Jakarta: Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.
Direktorat PSLB. (2005). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif, Penilaian
Hasil Belajar Siswa pada Kelas Inklusif/Terpadu. Jakarta : Direktorat PSLB, Ditjen
Manajemen Dikdsmen, Depdiknas.
Direktorat PLB, Draillo Norway, dan UNESCO. ( 2004). Buku Seri: Menjadikan Lingkungan
Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran (LIRP). Jakarta: Direktorat PLB, Braillo
Norway, dan UNESCO.
Erlani L. (2002). Tinjauan Inklusi Eropa dan Amerika mengenai Pendidikan Inklusif (Kajian
Filosofhis, Terminologi, Implementasi, Proses dan Evaluasi. Jepang: Shiusku
University.
Hidayat, (2005). Pengelolaan Kelas Inklusif di Sekolah Dasar Reguler. Tesis Magister pada PPS
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Hildegun O. (2002). “Pendidikan Inklusif suatu Strategi menuju Pendidikan Untuk
semua”.Makalah pada Lokakarya Gabungan Pendidikan kebutuhan Khusus Tingkat
Nasional Direktorat PLB, Mataram.
J. Davit Smith. (2002), “Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua.” Terjemahan Denis, Ny Erica.
Nuansa. Jakarta
Johnsen B.H. (2003). Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual,
Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program
Pasca Sarjana UPI.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus,
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Mutu,
7-10 Juni 1994. Salamanca, Spanyol: UNESCO dan Ministry of Education
and Science, Spain.