mekanisme seluler dalam pa to genesis asma dan rinitis_ok

Upload: akhmad-noval-denny-irawan

Post on 13-Jul-2015

115 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan RinitisEddy Surjanto, Juli Purnomo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta

PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1-3 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin (Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous discharge.3 Mukosa hidung dan bronkus memiliki banyak kemiripan. Kebanyakan pasien asma mempunyai gejala rinitis yang mendukung konsep one airway one disease. Akan tetapi tidak semua pasien rinitis menderita asma.4 Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi bersamaan pada setiap negara. Prevalensi penderita asma tanpa rinitis kurang dari 2% sedangkan penderita asma dengan rinitis berkisar antara 10%-40%. Pasien dengan rinitis persisten lebih banyak menderita asma.5 Anak dan dewasa yang menderita asma dan rinitis secara bersamaan lebih banyak pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan lebih lanjut dibanding menderita asma saja. Suatu penelitian menemukan pasien tersebut lebih banyak tidak masuk kerja dan menurunkan produktivitasnya tetapi dalam penelitian lain tidak menemukan hal tersebut.6 Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma

1

mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin (IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah yang rendah IL-4 dan IL-13 berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan

hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah.7 Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas

bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat setelah musim serbuk sari (pollen season).8 Pasien dengan perennial rhinitis memiliki reaktivitas bronkus yang lebih tinggi dibanding pasien seasonal rhinintis.9

HYGIENE HYPOTHESIS Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi.10 Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi

didominasi oleh sitokin T helper (Th)2. Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberculosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing.11 Untuk lebih jelasnya faktor yang menentukan keseimbangan sitokin tipe Th1 dan Th2 dapat dilihat dalam gambar 1 di bawah.

2

Gambar 1. Keseimbangan sitokin Th1 dan Th2 Dikutip dari 14

Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 40 tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama (IFN) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.

3

Gambar 2. Pengaturan sintesis IgE limfosit B oleh limfosit T Dikutip dari 12

Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES).7

MEKANISME INFLAMASI SALURAN NAPAS Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma.14 Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil.14 Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling 4

(menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis.15 Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di

superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu vascular-cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.7,14

Gambar 3. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi Dikutip dari 15

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan

masuk ke

saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1 yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

5

Gambar 4. Proses inflamasi pada saluran napas Dikutip dari 14

Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum diketahui secara pasti.16 Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma.7

6

Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos.12 Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi.12 Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakitTANDA DAN GEJALA

MEDIATOR RINITISHISTAMIN HIDUNG GATAL, BERSIN, RINOREA, OBSTRUKSI

ASMABRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI PROTEIN PLASMA, SEKRESI MUKUS BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI PROTEIN PLASMA, SEKRESI MUKUS BRONKOKONSTRIKSI, BATUK BRONKOKONSTRIKSI (PROSTAGLANDIN E2, PROSTAGLANDIN D2), ANTI BRONKOKONSTRIKTOR (PROSTAGLANDIN E2), BATUK (PROSTAGLANDIN F2) BRONKOKONSTIKSI

LEUKOTRIENS RINIOREA, OBSTRUKSI

KININS PROSTAGLANDINS

OBSTRUKSI OBSTRUKSI

ENDOTELIN

HIDUNG GATAL, BERSIN, RINOREA

Dikutip dari 12

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi.7 Reaksi fase lambat diawali

7

dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4, selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase dan

metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1, eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus.17 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme inflamasi tipe cepat dan lambat Dikutip dari 17

Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat.18 Untuk lebih jelasnya peran dari masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6.

8

Gambar 6. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat. Dikutip dari 18

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan peningkatan reaktifitas saluran napas.19 Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinofil.20 Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada receptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada penderita rinitis dan asma.7 Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan 9

berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotrien.7 Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ.21 Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid.22 Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sntesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL11, IL-13, IL-17, TGF-, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblas.22 Transforming growth factor (TGF)- dan fibroblast growth factor (FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-. Aktivasi sel epitel, sntesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil yakni TGF-, IL-4, IL-13 dan TGF-..22 Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas dapat dilihat pada gambar 7.

10

Gambar 7. Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas Dikutip dari 22

Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen.7 Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama.7 Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi.7

11

Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis alergi dan asma.7

SITOKIN PADA ASMA Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme).15 Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyata karena ada kompensasai sitokin lain.15 Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada gambar 8.

12

Gambar 8. Sifat sifat sitokin Dikutip dari 15

Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan

dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran.15 Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.13 Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai : 13 1. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, 2. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor- (TNF-) dan IL-1, 3. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1, 4. Growth factor seperti transforming growth factor dan epidermal growth factor.

13

Berikut ini akan dibahas peran dari masing-masing sitokin tersebut di atas.

1. Sitokin Th2 Di antara sitokin yang dihasilkan oleh Th2, IL-4 dan IL-5 mempunyai peranan yang paling penting.13

Interleukin-4 Interleukin-4 merupakan sitokin utama dalam patogenesis respons alergi. Hal tersebut berhubungan dengan sekresi IgE oleh limfosit B. Respons imun yang dimediasi oleh IgE ditingkatkan oleh IL-4 melalui kemampuannya memperbaiki reseptor IgE di permukaan sel. Reseptor tersebut antara lain reseptor IgE yang dengan afinitas rendah (FcRI, CD23) pada limfosit B dan sel mononuklear, serta reseptor IgE dengan afinitas tinggi terhadap sel mast dan basofil. Aktivasi sel mast tergantung IgE yang dirangsang oleh IL-4 ini mempunyai peran yang penting dalam perkembangan reaksi alergi tipe cepat. Mekanisme lain dimana IL-4 menyebabkan obstruksi saluran napas adalah melalui induksi gen musin dan hipersekresi mukus. Interleukin-4 meningkatkan ekspresi eotaksin dan sitokin inflamasi yang lain dari fibroblas yang akan menyebabkan inflamasi dan airway remodelling.23 Aktivitas IL-4 yang penting dalam merangsang inflamasi pada pasien asma adalah melalui rangsangan vascular cell adhesin molecule (VCAM)-1 pada endotel vaskuler.24 Melalui interaksi VCAM-1, IL-4 secara langsung menyebabkan migrasi limfosit T, monosit, basofil dan eosinofil ke daerah inflamasi. Interleukin-4 juga menghambat apoptosis eosinofil dan menyebabkan inflamasi eosinofilik dengan merangsang kemotaksis dan aktivasi eosinofil melalui peningkatan ekspresi eotaksin.25 Aktivitas biologis IL-4 yang penting dalam perkembangan inflamasi alergi adalah kemampuannya mengendalikan diferensiasi sel limfosit T helper tipe Th0 menjadi Th2. Sel Th2 ini bisa mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 tetapi tidak bisa mensekresikan IFN-.26

14

Interleukin -5 Peran utama IL-5 adalah dalam hal maturasi eosinofil di sumsum tulang dan pelepasannya ke darah. Interleukin-5 pada manusia bekerja hanya pada eosinofil dan basofil yang akan menyebabkan maturasi, pertumbuhan, aktivasi dan kemampuan hidupnya.13 Pasien asma atopi mempunyai peningkatan ekspresi sitokin tipe Th2 (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF) pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL) maupun biopsi bronkus dibanding dengan orang normal, tetapi tidak ada perbedaan dalam ekspresi sitokin Th1. Pasien asma atopi berhubungan dengan aktivitas IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.28 Gen mRNA IL-5 juga ditemukan pada eosinofil dan sel mast jaringan yang teraktivasi pada pasien dermatititis alergi, rinitis alergi dan asma. Hal ini meningkatkan dugaan bahwa IL-5 terdapat pada pasien atopi.13 Interleukin-5 merupakan sitokin utama yang mengaktifkan eosinofil pada respons tipe lambat setelah pajanan antigen. Interleukin-5 merupakan sitokin penting dalam recruitment dan survival eosinofil. Sebaliknya IL-5 tidak penting dalam respons inflamasi tipe cepat pada pasien asma. Interleukin-5 tidak didapatkan di cairan BAL pada pasien asma ringan segera setelah terpajan alergen. Interleukin-5 juga berperan penting dalam recruitment eosinofil dari darah ke jaringan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian lokal recombinant human IL-5 di hidung pada pasien rinitis alergi merangsang akumulasi eosinofil dalam mukosa hidung. Interleukin-5 juga merangsang aktivasi eosinofil yang berada di jaringan yang mengalami inflamasi.28

Interleukin-13 Kadar IL-13 juga meningkat pada pasien asma dan mempunyai aktivitas biologis yang sangat mirip dengan IL-4. Hal ini bisa dilihat dari struktur reseptornya. Terdapat bukti bahwa kloning DNA terhadap IL-13 yang memperlihatkan bahwa reseptor IL-4 rantai merupakan komponen reseptor IL13. Pemberian antagonis reseptor IL-4 dapat menghambat reseptor IL-4 maupun IL-13.29 Peran IL-13 terhadap asma diantaranya adalah :

15

1. Fungsinya overlap dengan IL-4. 2. Merangsang sel B untuk mensintesis imunoglobulin E. 3. Mengatur ekspresi FcRII (reseptor imunoglobulin E dengan afinitas rendah). 4. Mengatur dalam penurunan produksi sitokin proinflamasi (TNF- dan IL1), kemokin (RANTES) dan IL-12. 5. Mengatur peningkatan ekspresi VCAM-1 tapi bukan ICAM-1. 6. Meningkatkan survival eosinofil. 7. Kemotaksis dan aktifasi fibroblas. 8. Merangsang produksi mukus.

Pemberian antibodi anti IL-4 selama sensitisasi menunjukkan efek inhibisi dalam perkembangan Th2. Hal ini menunjukkan IL-4 penting dalam repons antigen tipe cepat. Interleukin-4 jika diberikan pada hewan yang telah mengalami sensitisasi kurang berpengaruh dalam menurunkan produksi sitokin Th2, refluks eosinofil dan hiperresponsivitas bronkus. Sebaliknya IL-13 lebih berperan daripada IL-4 setelah pajanan antigen sekunder 13

Interleukin-9 Interleukin-9 dihasilkan oleh Th2 dan eosinofil. Interleukin-9 merangsang proliferasi sel T yang telah teraktivasi, meningkatkan produksi IgE dari sel B, merangsang proliferasi dan diferensiasi sel mast dan merangsang ekspresi kemokin CC di sel epitel paru. Interleukin-9 berperan dalam hiperplasia sel goblet dan perkembangan sel mast.30 Pengaruh IL-9 terhadap asma adalah sebagai berikut :30 1. Merangsang proliferasi sel T yang teraktivasi. 2. Meningkatkan produksi imunoglobulin E 3. Mengatur rantai pada reseptor FcRII 4. Meningkatkan ekspresi IL-5, deferensiasi dan survival eosinofil 5. Merangsang proliferasi dan deferensiasi sel mast 6. Merangsang ekspresi kemokin CC pada epitel paru.

16

2. Sitokin proinflamasi Sitokin lain yang berperan dalam patogenesis asma adalah sitokin proinflamasi yaitu TNF- dan IL-1. Pengaruh TNF- diantaranya recruitment leukosit melalui pengaturan molekul adhesi pada sel endotel vaskuler dan merangsang sintesis sitokin dan kemokin. Sitokin TNF- juga bisa merangsang sel mesenkim seperti fibroblas atau sel otot polos. Hal ini akan menyebabkan airway remodelling. Inhalasi TNF- pada orang sehat menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas dan jumlah neutrofil sputum.31` Bukti menunjukkan bahwa TNF- merupakan elemen penting dalam menentukan derajat keparahan asma. Sampel sputum dan biopsi dari pasien asma berat menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil. Salah satu perangsang utama dalam recruitmen neutrofil adalah pajanan endotoksin. Keparahan gejala asma berhubungan dengan endotoksin dalam debu rumah dibanding alergen. Penelitian pada hewan menunjukkan efek yang dimediasi endotoksin terjadi karena terlepasnya TNF- endogen.32 Serangan asma akut juga dipengaruhi oleh jumlah TNF-. Penelitian terhadap cairan BAL pasien asma terpasang ventilator karena asma berat terdapat peningkatan kadar neutrofil dan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-.33 Sitokin GM-CSF merupakan salah satu colony stimulating factor (CSF) yang bekerja dalam mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan aktivasi sel hematopoetik termasuk sel inflamasi seperti eosinofil dan neutrofil. Sitokin GMCSF dihasilkan oleh beberapa sel saluran napas yaitu makrofag, eosinofil, sel T, fibroblas, sel epitel, sel endotel dan sel otot polos saluran napas. Sitokin tersebut juga bisa memperlama daya tahan hidup sel eosinofil. Sitokin GM-CSF dapat merangsang pelepasan anion superoksid dan cys-LTs dari eosinofil. Sitokin GMCSF dapat merangsang sintesis dan pelepasan beberapa sitokin lain termasuk IL-1 dan TNF- dari monosit. Ekspresi gen GM-CSF pada epitel tikus dengan menggunakan vektor adenovirus menyebabkan akumulasi eosinofil dan makrofag yang berhubungan dengan fibrosis yang irreversibel. Hal ini

17

menunjukkan bahwa GM-CSF mengakibatkan eosinofilia kronis dan airway remodeling pada asma.34

Imunomodulatory cytokine Inflamasi saluran napas tidak hanya dirangsang oleh peningkatan ekspresi sitokin Th2 tetapi juga oleh penurunan ekspresi sitokin yang berlawanan. Immunomodulatory cytokines penting yang terlibat adalah IL-12, IL-18, interferon gamma (IFN-) dan IL-10.1

Interleukin -12, interleuikin-18 dan interferon gamma Ekspresi IL-12 menunjukkan penurunan pada biopsi bronkus pasien asma. Interleukin-12 dihasilkan oleh antigen-precenting cells (APC) yang berperan penting dalam differensiasi Th1/Th2 selama presentasi antigen primer. Sel APC utama yang terlibat dalam proses sensitisasi aeroalergen adalah sel dendrit di epitel saluran napas. Sel dendrit menunjukkan uptake antigen yang tinggi tetapi mempunyai kapasitas yang rendah sebagai APC. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa pemberian IL-12 selama proses sensitisasi primer akan menekan perkembangan Th2 yang diinduksi alergen. Interleukin-5 merangsang produksi IFN- dan menurunkan produksi IL-5 akibat pelepasan IL-10.35 Interleukin-12 dan IL-18 mempunyai kerja yang sinergis. Interleukin-18 disekresi oleh makrofag dan dikatakan sebaagai IFN- releasing factor. Tidak adanya IL-18 meningkatkan eosinofilia yang diinduksi oleh antigen. Interleukin12 dan IL-18 bekerja sinergis dalam merangsang IFN- dan menghambat sintesis IgE yang tergantung IL-4. Hal tersebut akan menghambat hiperresponsivitas saluran napas yang dinduksi alergen.36

Interleukin-10 Interleukin-10 merupakan sitokin yang mempunyai potensi untuk

menurunkan proses inflamasi yang diatur oleh Th1 maupun Th2. Interleukin-10 juga mempunyai efek yang menguntungkan dalam airway remodelling. Sitokin

18

IL-10 menurunkan sintesis kolagen tipe I dan proliferasi otot polos vaskuler.37 Efek IL-10 terhadap respons saluran napas masih kontradiksi.13 Satu penelitian menunjukkan bahwa IL-10 menurunkan respons saluran napas,34 tetapi penelitian lain mendapatkan bahwa IL-10 menaikkan respons saluran napas yang dinduksi alergen meskipun terdapat penurunan recruitment eosinofil.39 Dari keterangan terebut di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian asma tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan sitokin Th2 tapi juga oleh penurunan immunomodulatory cytokine.13 Untuk lebih jelasnya peran sitokin dalam patogenesis asma dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma Dikutip dari 13

3. Growth factor Asma kronik berhubungan dengan airway remodeling dengan terjadi fibrosis (terutama dibawah epitel), penebalan lapisan otot polos saluran napas, peningkatan jumlah mucus-secreting cell dan angiogenesis. Perubahan ini sebagai akibat growth factor yang disekresikan oleh sel inflamasi dan sel saluran napas.35 Growth factor yang berperan yaitu platelet-derived growth factor (PDGF) dan trasnsforming growth factor (TGF)-.

Platelet-derived growth factor Platelet-erived growth factor dilepaskan dari beberapa sel di saluran napas. Sumber PDGF antara lain platelet, makrofag, sel endotel, fibroblas, sel

19

epitel saluran napas dan sel otot polos vaskuler. Beberapa rangsangan seperti IFN- dari makrofag alveoli, hipoksia, basic fibroblast growth factor (bFGF), stres mekanik sel endotel, TNF, IL-1 dan TGF- fibroblas dapat merangsang pelepasan PDGF. Jumlah reseptor PDGF diatur oleh TGF- yang dapat meningkatkan ekspresi resptor PDGF kulit manusia. Platelet-derived growth factor mengaktivasi fibroblas untuk berproliferasi dan mensekresi kolagen pada otot saluran napas. Kemampuannya mengekspresikan TGF- dapat meningkatkan peran eosinofil dalam remodeling jalan napas.34

Transforming growth factor- Makrofag paru menyimpan banyak TGF- selama proses inflamasi. Fibroblas paru merupakan sumber TGF-. Sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel otot polos dpat mensekresikan TGF-. Sitokin TGF- berada di epitel saluran napas bawah normal. Sitokin TGF- terdiri dari famili growth-modulating cytokine yang dapat berperan penting dalam pembentukan protein matriks. Sitokin TGF- dapat merangsang maupun menghalangi proliferasi fibroblas, tergantung interaksinya dengan sitokin lain. Sitokin TGF- merangsang transkripsi fibronektin yang dapat berfungsi sebagai agen kemotaktik dan growth factor pada fibroblas manusia.34 Sitokin TGF- juga terlibat dalam perbaikan epitel saluran napas yang mengalami kerusakan, TGF- merupakan perangsang utama dalam diferensiasi sel epitel normal. Sitokin TGF- merupakan sitokin profibrotik utama dalam merangsang fibrosis untuk meningkatkan34

sintesis

dan

sekresi

matriks

ekstraseluler. Sitokin TGF- juga merupakan kemoatraktan penting beberapa sel seperti monosit, fibroblas dan sel mast. Sitokin TGF- mengaktivasi monosit

untuk memproduksi sitokin lain seperti TNF-, TGF dan PDGF-B dan IL-1. Sitokin TGF- mempunyai cara kerja kompleks pada sistem imun. Sitokin TGF-1 menghambat sel T dan B. Sitokin TGF- menghambat proliferasi IL-1dependent lympocyte, menghalangi perangsangan resptor IL-2 di sel T yang dimediasi IL-2, menghambat proliferasi sel otot polos saluran napas.34

20

Secara garis besar pengaruh sitokin terhadap patogenesis asma dapat dilihat pada keterangan di bawah :13

Limfokin *IL-2

Pengaruh Eosinofilia pada invivo Perkembangan dan diferensiasi sel T

*IL-3

Eosinofilia pada invivo Faktor hemopoetik yang penting

*IL-4

Meningkatkan perkembangan eosinofil Menaikkan sel Th2, menurunkan sel Th1 Menaikkan IgE

*IL-5

Maturasi eosinofil Menurunkan apoptosis eosinofil Hiperreaktivitas bronkus meningkat

*IL-13

Mengativasi eosinofil Menurunkan apoptosis eosinofil Menaikkan IgE

*IL-15 *IL-16

Seperti IL-2 Migrasi eosinofil Growth factor dan kemotaksis sel T (CD4)

Sitokin proinflamasi *IL-1 Meningkatkan adesi pada endotel vaskuler, akumulasi eosinofil invivo Growth factor untuk sel Th2 Growth factor sel B, kemoatraktan netrofil, aktivasi sel T dan epitel Hiperrektivitas bronkus meningkat *TNF- Mengaktivasi epitel, endotel, APC, monosit / makrofag Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus *IL-6 Growth factor sel T Growth factor sel B Meningkatkan IgE

21

*IL-11

Growth factor sel B Mengaktivasi fibroblas Meningkatkan hipereaktivitas bronkus

*GM-CSF

Mengaktifkan dan menurunkan apoptosis eosinofil Merangsang pelepasan leukotrien Maturasi dan diferensiasi sel hematopoetik, migrasi endotel Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus

*SCF

Meningkatkan VCAM-1 pada eosinofil Growth factor sel mast

Sitokin inhibisi *IL-10 Menurunkan survival eosinofil Menurunkan sel Th2 Menurunkan aktivasi makrofag/monosit, menaikkan sel B Menaikkan pertumbuhan sel mast Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IL-Ira Menurunkan proliferasi sel Th2 Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IFN- Menurunkan influk eosinofil Menurunkan sel Th2 Mengaktivasi sel endotel, sel epitel, makrofag / monosit alveoli Menurunan IgE Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IL-18 Melepaskan IFN- dari sel Th1 Mengaktivasi sel natural killer (NK) dan monosit Menurunkan IgE

Growth factor *PDGF Proliferasi fibroblas dan otot polos saluran napas Melepaskan kolagen *TGF- Menurunkan proliferasi sel T, menghalangi efek IL-2

22

Proliferasi fibroblas Kemoaktraktan monosit, fibroblas dan sel mast Menurunkan proliferasi otot polos saluran napas

4. Kemokin Kemokin merupakan sitokin kemotaksis yang berperan dalam menarik sel inflamasi ke jaringan. Recruitment sel inflamasi ke dalam mukosa saluran napas memerlukan kerjasama dengan aktivitas imunoregulasi sel Th2, ekspresi molekul adhesi pada endotel vaskuler dan aktivitas kemokin. Berdasar jumlah dan letak sistein dalam urutan asam amino, kemokin dikategorikan sebagai C, CC, CCX atau CX3C. Kemokin CXC atau kemokin- berfungsi menarik neutrofil sehingga berhubungan dengan proses inflamasi akut. Saat ini yang menjadi perhatian dalam proses inflamasi alergi terfokus pada kemokin CC atau kemokin-. Kemokin tersebut mempunyai aktifitas kemotaktik terhadap eosinofil, sel dendrit, limfosit T, basofil dan monosit. Beberapa kemokin CC melekat pada reseptor CCR3, seperti RANTES, MCP-3, MCP-4 dan ligan spesifik CCR3 yaitu eotaksin. Pelepasan eotaksin berhubungan dengan derajat hiperresponsivitas bronkus. Blokade reseptor CCR3 menggunakan antibodi monoklonal atau modifikasi protein RANTES seperti Met-RANTES atau AOP-RANTES terbukti efektif pada percobaan binatang.13

KESIMPULAN 1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. 2. Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen sehingga merangsang inflamasi yang dimediasi IgE. 3. Asma dan rinitis alergi mendukung konsep one airway one disease. 4. Terdapat persamaan dan perbedaan mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis alergi.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman, diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia. Jakarta : Balai penerbit UI, 2003. 2. Boushey HA, Corry DB, Fahy JV. Asthma. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, editors. Textbooks of respiratory medicine. 4 , ed. Philadelphia:WB Saunders company : 2005.p.1169 -201. 3. Bousquet J, Khaltaev K, Cruz. A, Denburg, Fokkens W, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008; 63: 8160. 4. Demoly P, Bousquet. J. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy 2008; 63: 2514. 5. Downie SR, Andersson M, Rimmer J, Leuppi JD, Xuan W, Akerlund A, et al. Association between nasal and bronchial symptoms in subjects with persistent allergic rhinitis. Allergy 2004; 59: 3206. 6. Price D, Zhang Q, Kocevar VS, Yin DD, Thomas M. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy 2005; 35: 282 7. 7. Alan R, David M, Jeffrey MD, Klause FR, Stephen PP, Robert MN, et al. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med 1999: 160: 177887. 8. Riccioni G, Della Vecchia R, Castronuovo M, Di Pietro V, Spoltore R, De Benedictis M, et al. Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal and perennial rhinitis: is there a link for asthma and rhinitis? Int J Immunopathol Pharmacol 2002; 15: 69-74. 9. Sohn SW, Lee HS, Park HW, Chang YS, Kim YK, Cho SH, et al. Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy 2008; 63: 26873. 10. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ 1989; 299: 125960. 11. Alfven T, Braun-Fahrlander C, Brunekreef B, von Mutius E, Riedler J, Scheynius A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to farming and anthroposophic lifestyle the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: 41421. 12. Peter H. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ 1998; 316: 758-61. 13. Kips J. Cytokines in asthma. Eur Respir J 2001; 18: 2433. 14. Busse WW, Lemanske RF. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62. 15. Karnen GB. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI, 2006. 16. Shaver JR, OConnor J, Pollice M, Cho SK, Kane GC, Fish JE. Pulmonary inflammation after segmental ragweed challenge in allergic asthmatic and nonasthmatic subjects Am J Respir Crit Care Med 1995; 152: 118997.th

24

17. Jay WH. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic Invest 2000; 105: 1331-2. 18. Millos F, Snezana C. The role of eosinophil in asthma. Medicine and biology 2001; 8: 6-10. 19. Iliopoulos O, Proud J F, Adkinson PS, Norman A, Kagey-Sobotka LM, Naclerio RM. Relationship between the early, late and rechallenge reaction to nasal challenge with antigen: observations on the role of inflammatory mediators and cells. J Allergy Clin Immunol 1999; 86: 85161. 20. Kroegel C, Virchow JC, Luttmann W, Walker C, Warner JA. Pulmonary immune cells in health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J 1998; 7: 51943. 21. Shaver JR., Zangrilli JG, Cho SK, Cirelli RA, Pollice M, Hastie J et al. Kinetics of the development and recovery of the lung from IgE-mediated inflammation: dissociation of pulmonary eosinophilia, lung injury, and eosinophil-active cytokines. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155: 4428. 22. Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2003; 167: 199-204. 23. John M S, Hirst J, Jose PJ, Robichaud A, Berkman N, Witt C, Twort HC et al. Human airwaysmooth muscle cells express and release RANTES in response to Thelper 1 cytokines: regulation by T helper 2 cytokines and corticosteroids..J Immunol 1999; 158:18417. 24. John WS, Larry B. Th2 cytokines and asthma Interleukin-4: its role in the pathogenesis of asthma, and targeting it for asthma treatment with interleukin-4 receptor antagonists. Respiratory Research 2001; 2: 66-70. 25. Moser R, Fehr J, Bruijnzeel PL. IL-4 controls the selective endothelium driven transmigration of eosinophils from allergic individuals. J Immunol 1992 ;149: 1432-8. 26. Hoontrakoon R, Kailey J, Bratton D. IL-4 and TNF- synergize to enhance eosinophil survival J Allergy Clin Immunol 1999;103: 239-41. 27. Seder RA, Paul WE, Davis MM, Fazekas GB. The presence of interleukin 4 during in vitro priming determines the lymphokine-producing potential of CD4 T cells from T cell receptor transgenic mice. J Exp Med 1992; 176:1091-8. 28. Scott G, Shelby PU, Francis MC, Richard WC, Robert WE. Th2 cytokines and asthma The role of interleukin-5 in allergic eosinophilic disease. Respir Res 2001; 2(2): 719. 29. Humbert M, Durham SR, Kimmitt P, et al. Elevated expression of messenger ribonucleic acid encoding IL-13 in the bronchial mucosa of atopic and nonatopic subjects with asthma. J Allergy Clin Immunol 1997; 99: 65765. 30. Yuhong Z, Michael M, Roy CL. Th2 cytokines and asthmaInterleukin-9 as therapeutic target for asthma. Respir Res 2001;2:804+

25

31. Amrani Y, Panettieri RA Jr, Frossard N, Bronner C. Activation of the TNF Alpha-P55 receptor induces myocyte proliferation and modulates agonist-evoked calcium transients in cultured human tracheal smoothmuscle cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1996; 15: 5563. 32. Jatakanon A, Uasuf C, Maziak W, Lim S, Chung KF, Barnes PJ. Neutrophilic inflammation in severe persistent asthma. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160: 15329. 33. Tillie-Leblond I, Pugin J, Marquette CH. Balance between proinflammatory cytokines and their inhibitors in bronchial lavage from patients with status asthmaticus. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159: 48794. 34. Peter JB, Fan CK, Clive PP. Inflammatory mediators of asthma: An update. The American society for pharmacology and experimental therapeutics 1999; 50: 515-96 35. Kips JC, Brusselle GJ, Joos GF. Interleukin-12 inhibits antigen-induced airway hyperresponsiveness in mice. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: 5359. 36. Kodama T, Matsuyama T, Kuribayashi K. IL-18 deficiency selectively enhances allergeninduced eosinophilia in mice. J Allergy Clin Immunol 2000; 105: 4553. 37. Koulis A, Robinson DS. The anti-inflammatory effects of interleukin-10 in allergic disease. Clin Exp Allergy 2000; 30: 74750. 38. Tournoy KG, Kips JC, Pauwels RA. Endogenous interleukin-10 suppresses allergen-induced airway inflammation and nonspecific airway responsiveness. Clin Exp Allergy 2000; 30: 775 83. 39. Scott MR, Justice JP, Bradfield JF, Enright E, Sigounas A, Sur S. IL-10 reduces Th2 cytokine production and eosinophilia but augments airwayreactivity in allergic mice. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2000; 278: 66774.

26