me mpelajari pengaruh penambahan hidrokoloid … · hal tersebut membuat pengolahan dan pemanfaatan...

99
ME EMPELAJA TERH F ARI PENG HADAP KA RA FAKULTA INSTIT GARUH PE ARAKTERI SKRI ATHIH WU F2408 AS TEKNOL TUT PERTA BOG 201 ENAMBAH ISTIK NUG IPSI ULANSAR 0047 LOGI PER ANIAN BO GOR 13 HAN HIDR GGET TEM RI RTANIAN OGOR ROKOLOID MPE D

Upload: lediep

Post on 24-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

ME

EMPELAJATERH

F

ARI PENGHADAP KA

RA

FAKULTAINSTIT

GARUH PEARAKTERI

SKRI

ATHIH WUF2408

AS TEKNOLTUT PERTA

BOG201

ENAMBAHISTIK NUG

IPSI

ULANSAR0047

LOGI PERANIAN BO

GOR 13

HAN HIDRGGET TEM

RI

RTANIAN OGOR

ROKOLOIDMPE

 

D

 

 

Study of The Effect of Hydrocolloid Addition Towards Tempe Nugget Characteristics

Rathih Wulansari, Rizal Syarief and Joko Hermanianto

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus,

PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone : 62 856 1971957, Email : [email protected]

ABSTRACT

Tempe nugget is one of solutions to increase the value of tempe and diversification in making

process. Texture is an important quality specification in meat product because it will determine consumer acceptance. Therefore, this research used hydrocolloid as binding material to improve the texture. The aims of this research are determination for proper formulation of tempe nugget added chicken meat based on organoleptic test, investigation for characteristics of tempe nugget using hydrocolloid, and raw material cost analysis for the choose product. This research was divided into two parts. The first part is trial for tempe nugget and determining the best formulation. The second part was adding three types of hydrocolloids (sodium alginate, CMC and guar gum) with conc. 0%, 0.5% and 1% against the best formulation and analyzing the quality. The results showed that the best formulation of tempe nugget based on organoleptic test was nugget tempe with 60 part of tempe and 40 of chicken meat. Tempe nugget with hydrocolloid added based on physic analysis was having pick up predust (5.19±0.44)-(5.82±0.19)%, pick up batter (20.16 ±1.18)-(23.57±0.12)%, pick up breader (12.27±0.56)-(14.58  ±0.15)%, cooking loss (1.40±0.03)-(2.18±0.22)%, hardness (2607.43±42.67)-(4926.70±77.15) gf, and elasticity (0.68±0.01)-(0.73±0.01). The breader loss of samples was high in the 1st cycle and decreasing in 2nd to 5th cycle. The most preferable tempe nugget based on organoleptic test is tempe nugget with CMC 1% added. The proximate analysis for the choosen product was 49.47% moisture, 1.84% ash, 12.62% protein, 15.51% fat, and 20.57% carbohydrate. From raw material cost analysis got the tempe nugget price lower than chicken nugget. Keywords: Tempeh Nugget, Texture, Hydrocolloid

 

 

RATHIH WULANSARI. F24080047. Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Karakteristik Nugget Tempe. Di bawah bimbingan Rizal Syarief dan Joko Hermanianto. 2013.

RINGKASAN

Tempe sebagai sumber pangan masih memiliki kendala dalam pemanfaatnya yaitu umur simpannya yang relatif singkat dan mudah rusak. Tempe segar hanya tahan disimpan satu sampai dua hari pada suhu ruang, setelah itu mutunya akan menurun dan rusak. Hal tersebut membuat pengolahan dan pemanfaatan tempe masih terbatas sehingga diperlukan adanya diversifikasi (penganekaragaman) produk pangan olahan tempe, salah satunya adalah dengan mengolah tempe menjadi nugget. Data survei independen yang dilakukan sebuah perusahaan swasta pada tahun 2010 menunjukkan konsumsi produk seperti sosis dan nugget di Indonesia tumbuh dengan baik. Konsumsi nugget oleh masyarakat Indonesia tumbuh 16.72% per tahun (Anonim 2011).

Diversifikasi tempe menjadi nugget, tidak hanya meningkatkan umur simpan dan nilai tambahnya. Namun, dilihat dari sisi nilai gizi, tempe memiliki banyak keunggulan jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan nugget. Tempe diketahui sebagai sumber pangan protein tinggi, memiliki delapan asam amino essensial lengkap, asam lemak tidak jenuh yang tinggi, vitamin B terutama B12. Tempe dapat menurunkan kolesterol (Brata-Arbai 2001), memiliki aktifitas antioksidan (Astuti 2001), dan digunakan sebagai antibiotik (Syarief et al. 1999). Selain itu, jika dilihat dari sisi ekonomi, penggunaan tempe sebagai bahan baku nugget dapat menurunkan harga produksi pembuatannya. Hal ini dikarenakan harga tempe yang lebih murah jika dibandingkan dengan daging.

Penelitian mengenai tempe sebagai bahan baku utama atau substitusi dalam produk nugget telah banyak diteliti. Penelitian terbaru pada tahun 2012, Adiningsih menggunakan tempe sebagai bahan baku utama pembuatan nugget dengan perlakuan berbagai varietas kedelai. Namun, nugget tempe yang dibuat pada penelitian Adiningsih tidak ditambahkan daging sehingga menghasilkan tekstur yang masih kurang baik. Oleh sebab itu, pada penelitian ini nugget tempe yang akan dibuat, selain tempe digunakan sebagai bahan baku juga ditambahkan daging ayam dan hidrokoloid untuk memperbaiki teksturnya.

Tekstur merupakan salah satu pelengkap mutu penting selain rasa, aroma dan warna pada produk olahan daging, karena menentukan penerimaan konsumen. Hidrokoloid mempunyai banyak fungsi dalam pembuatan produk olahan daging. Hidrokoloid biasanya digunakan dalam produk olahan daging sebagai emulsifier, bahan pengikat, dan bahan tambahan untuk memperbaiki tekstur. Pada penelitian ini, nugget tempe yang telah disubstitusi oleh daging ayam kemudian di tambahkan hidrokoloid sebagai bahan pengikat dan memperbaiki tekstur serta penampilannya. Hidrokoloid yang digunakan dalam penelitian ini yaitu natrium alginat, CMC, dan guar gum dengan konsentrasi 0%, 0.5%, dan 1%.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui proses dan formula dasar untuk pembuatan nugget tempe yang ditambahkan daging ayam terhadap kesukaan panelis, (2) mengetahui pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap karakteristik nugget tempe melalui mutu fisik, organoleptik, dan kimia, yang diharapkan dapat diketahui jenis hidrokoloid dengan konsentrasi yang paling tepat untuk menghasilkan nugget tempe yang mempunyai karakteristik mutu terbaik yang disukai oleh panelis, (3) mengetahui analisis raw material cost produk nugget tempe terpilih yang disukai panelis berdasarkan uji organoleptik.

 

 

Proses pembuatan nugget tempe dilakukan dengan beberapa tahap yaitu persiapan bahan, penggilingan dan pencampuran bahan, pencetakan, pembekuan, pemotongan, pelapisan (pedust, batter, breader), pre-frying, dan pembekuan. Formulasi dasar terpilih yaitu tempe 60%, tapioka 10%, putih telur 10%, bawang putih 1.3%, bawang bombay 1.3%, lada 0.5%, garam 1.4%, penyedap rasa 0.5%, serpihan es 15% dengan basis 100 g bahan baku. Melalui basis 60 gram tempe kemudian dilakukan penambahan daging ayam. Perbandingan tempe dan daging ayam 60:40 merupakan formula terpilih berdasarkan penilaian kesukaan panelis dengan nilai rata-rata setiap parameter yaitu: warna sebesar 5.97 (mendekati suka), rasa sebesar 5.97 (mendekati suka), aroma sebesar 5.74 (mendekati suka), kekerasan 5.69 sebesar (mendekati suka), kekenyalan sebesar 5.57 (mendekati suka), juiceness sebesar 5.21 (agak suka), adhesi coating sebesar 5.46 (agak suka), keseluruhan sebesar 5.86 (mendekati suka).

Mutu fisik nugget tempe menunjukkan bahwa nilai pick up predust nugget tempe berkisar antara (5.19±0.44)-(5.82±0.19)%. Pick up batter nugget tempe berkisar antara (20.16 ±1.18)-(23.57±0.12)%. Pick up breader nugget tempe berkisar antara (12.27±0.56)-(14.58 ±0.15)%. Cooking loss nugget tempe berkisar antara (1.40±0.03)-(2.18±0.22)%. Persen breader loss atau kerontokan breader (bread crumb) nugget tempe menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki nilai persen tertinggi pada satu siklus dan mengalami penurunan pada dua siklus dan lima siklus menunjukkan nilai persen breader loss terkecil. Nilai kekerasan nugget tempe berkisar antara (2607.43±42.67)-(4926.70±77.15) gf. Nilai kekenyalan nugget tempe berkisar antara (0.68±0.01)-(0.73±0.01). Mutu organoleptik nugget tempe menunjukkan bahwa formula nuget tempe yang paling disukai oleh panelis adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1% dengan nilai rata-rata setiap parameter yaitu: warna sebesar 5.84 (mendekati suka), rasa sebesar 5.46 (agak suka), aroma sebesar 5.29 (agak suka), kekerasan 5.30 sebesar (agak suka), kekenyalan sebesar 5.19 (agak suka), juiceness sebesar 5.09 (agak suka), adhesi coating sebesar 5.54 (mendekati suka), keseluruhan sebesar 5.44 (agak suka). Hasil analisis mutu kimia nugget tempe terpilih memiliki kadar air sebesar 49.47 (%bb), kadar abu sebesar 1.84 (%bb), kadar protein sebesar 12.62 (%bb), kadar lemak sebesar 15.51 (%bb), kadar karbohidrat sebesar 20.57 (%bb). Hasil analisis kimia nugget tempe terpilih telah memenuhi persyaratan SNI nugget ayam dan nugget tempe ini memiliki kandungan protein yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan SNI nugget ayam dan nugget komersial. Hasil analisis raw material cost menunjukkan bahwa harga 1000 gram nugget tempe terpilih lebih rendah jika dibandingkan dengan harga nugget ayam komersial yakni sebesar Rp. 47,667.

 

 

 

MEMPELAJARI PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP KARAKTERISTIK NUGGET TEMPE

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh RATHIH WULANSARI

F24080047

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

 

 

Judul Skripsi : Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Karakteristik Nugget Tempe

Nama : Rathih Wulansari NIM : F24080047

Menyetujui,

Tanggal ujian : 22 Februari 2013

Pembimbing I,

(Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS) NIP 19480409.197302.1.001

Pembimbing II,

(Dr. Ir. Joko Hermanianto) NIP 19590528.198503.1.001

Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Dr.Ir. Feri Kusnandar, MSc NIP 19680526.199303.1.004

 

 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Karakteristik Nugget Tempe adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 22 Februari 2013

Yang membuat pernyataan,

Rathih Wulansari F24080047

 

 

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tuis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

 

 

BIODATA PENULIS

Rathih Wulansari lahir di Jakarta, 29 Agustus 1990 dari pasangan ayah Kusnadi (almarhum) dan ibu Surmiyati sebagai anak tunggal. Penulis menamatkan pendidikan jenjang SD di SDN Jati 05 Pagi Jakarta Timur (2002), jenjang SMP di SMPN 92 Jakarta (2005), jenjang SMA di SMAN 2I Jakarta Timur (2008), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2012) dengan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan, antara lain anggota Tim Penyuluh pada Ksatria Peduli Pangan (2009-2010), dan panitia beberapa acara seperti Masa Perkenalan Fakultas Teknologi Pertanian (Techno-F), BAUR, Orde

Keramat, Youth Agrotechnopreneur Competition (YAC), HACCP VII. Selain itu penulis juga mengikuti beberapa seminar dan workshop, seperti Seminar I-FOODEX, NSPC, ACCES dan workshop GLP. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum matakuliah Teknologi Pengolahan Pangan (2012) serta memperoleh Beasiswa BBM (2009-2010) dan Beasiswa BUMN (2011-2012). Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), menjadi Fasilitator Mahasiswa pada program sawit-A untuk mengatasi kekurangan vitamin A di Darmaga kabupaten Bogor yang merupakan program PT SMART tbk dengan Fateta IPB. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Karakteristik Nugget Tempe”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

iii

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya dan shalawat kepada Nabi Muhammad Sallallahu Alayhi Wasallam sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini adalah “Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Karakteristik Nugget Tempe”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Almarhum Bapak Kusnadi dan Mamah Surmiyati yang selalu memberikan nasihat, kasih sayang,

pengorbanan, semangat, dukungan kepada penulis baik doa maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Karya ini kupersembahkan untuk kalian.

2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi. Terima kasih atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan

3. Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas bantuan, saran, bimbingan, perhatian, motivasi, dan arahan yang telah diberikan.

4. Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.agr selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan serta pengetahuan baru selama pengujian.

5. Beasiswa BUMN yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis selama perkuliahan berlangsung dan untuk penyelenggaraan tugas akhir.

6. Bapak Haji Kusworo, Bapak Yanto, Bapak Losin, Bapak Kuswan, Pakde Tarno, Pakde Tukino, dan Keluarga besar Ibu Yati. Terima kasih atas segala kasih sayang, motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

7. Ratna, Rafiqah, Tata, Sagita, Rista, Virza, Mizu dan keluarga besar ITP 45 yang telah memberikan banyak motivasi kepada penulis.

8. Septhyan Susetyo Aribowo yang selalu mendampingi penulis. Terima kasih atas dukungan, semangat, doa, perhatian dan sayangnya kepada penulis.

9. Keluarga Harmony 1: Sakinah, Liyona, Rohanah, Risma, Dinia, Ita, Riska, Citra, Hilda, Rara, Elok, Bu Ani, Harum, Oni, Biti, Dian. Terima kasih atas dukungan, bantuan dan semangatnya.

10. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Bu Antin dan Bu Rubiyah.

Semoga karya ini bermanfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan. Terima kasih.

Bogor, 22 Februari 2013

Rathih Wulansari

 

 

 

iv

 

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iii DAFTAR ISI..... ............................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 1 B. TUJUAN... ............................................................................................................................... 2 C. INDIKATOR KINERJA PENELITIAN .................................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 3 A. TEMPE......... ........................................................................................................................... 3 B. NILAI GIZI TEMPE ................................................................................................................ 3 C. DAGING AYAM ..................................................................................................................... 5 D. NUGGET ................................................................................................................................. 6 E. PEMBUATAN NUGGET ........................................................................................................ 6

1. Bahan Utama Pembuatan Nugget ......................................................................................... 6 2. Bahan Tambahan .................................................................................................................. 7 3. Proses Pembuatan Nugget .................................................................................................... 9

F. HIDROKOLOID ...................................................................................................................... 9 1. Natrium Alginat .................................................................................................................. 10 2. CMC............... .................................................................................................................... 11 3. Guar Gum ........................................................................................................................... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................ 13 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................................................ 13 B. METODE PENELITIAN ....................................................................................................... 13 C. PENGAMATAN .................................................................................................................... 17 D. ANALISIS STATISTIK ........................................................................................................ 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 21 1. PENELITIAN PENDAHULUAN .......................................................................................... 21

1.1 Pembuatan Nugget Tempe ............................................................................................... 21 1.2 Pemilihan Formula Nugget Tempe ................................................................................... 23

2. PENELITIAN LANJUTAN ................................................................................................... 27 2.1 Mutu Fisik Nugget Tempe ................................................................................................ 27 2.2 Mutu Organoleptik Nugget Tempe ................................................................................... 36 2.3 Mutu Kimia Nugget Tempe .............................................................................................. 40 2.4 Analisis Raw Material Cost .............................................................................................. 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................................... 43 A. SIMPULAN ........................................................................................................................... 43 B. SARAN............... ................................................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 44 LAMPIRAN..... ............................................................................................................................... 52

v

 

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 3144-2009 .................................................... 3 Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi kedelai dan tempe (per 100 g basis kering) .................... 4 Tabel 4. Formula nugget tempe yang ditambahkan daging ayam .................................................. 21 Tabel 5. Komposisi proksimat tempe dan nugget tempe ................................................................ 40 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

vi

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Struktur kimia natrium alginat (Nussinovtch 1997) ..................................................... 10 Gambar 2. Struktur kimia CMC (Nussinovtch 1997) .................................................................... 11 Gambar 3. Struktur kimia guar gum (Nussinovitch 1997) ............................................................. 11 Gambar 4. Diagram alir penelitian ................................................................................................ 15 Gambar 5. Proses pembuatan nugget tempe .................................................................................. 16 Gambar 6. Hasil uji rating hedonik formula nugget tempe ............................................................ 23 Gambar 7. Histogram pick up predust nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 28 Gambar 8. Histogram pick up batter nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 28 Gambar 9. Histogram pick up breader nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 30 Gambar 10. Histogram cooking loss nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 31 Gambar 11. Grafik breader loss nugget tempe .............................................................................. 33 Gambar 12. Histogram kekerasan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 23 Gambar 13. Histogram kekenyalan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi

hidrokoloid yang berbeda ...................................................................................... 36 Gambar 14. Hasil uji rating hedonik nugget tempe pada penelitian lanjutan ................................ 37  

 

 

 

 

vii

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Formulasi nugget tempe .............................................................................................. 53 Lampiran 2. Formulasi dasar nugget tempe hasil modifikasi .......................................................... 53 Lampiran 3. Formulasi batter .......................................................................................................... 53 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer ....................................................................................... 54 Lampiran 5. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) nugget tempe ........................................... 54 Lampiran 6.a. Analisis sidik ragam warna formula nugget tempe .................................................. 55 Lampiran 6.b. Analisis sidik ragam rasa formula nugget tempe ..................................................... 56 Lampiran 6.c. Analisis sidik ragam aroma formula nugget tempe .................................................. 57 Lampiran 6.d. Analisis sidik ragam kekerasan formula nugget tempe ............................................ 58 Lampiran 6.e. Analisis sidik ragam kekenyalan formula nugget tempe .......................................... 59 Lampiran 6.f. Analisis sidik ragam juiceness formula nugget tempe .............................................. 59 Lampiran 6.g. Analisis sidik ragam adhesi coating formula nugget tempe .................................... 60 Lampiran 6.h. Analisis sidik ragam keseluruhan formula nugget tempe ........................................ 60 Lampiran 7. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) nugget tempe pada .................................. 61 Lampiran 8.a. Analisis sidik ragam warna nugget tempe pada penelitian lanjutan ......................... 62 Lampiran 8.b. Analisis sidik ragam rasa nugget tempe pada penelitian lanjutan ............................ 62 Lampiran 8.c. Analisis sidik ragam aroma nugget tempe pada penelitian lanjutan ........................ 62 Lampiran 8.d. Analisis sidik ragam kekerasan nugget tempe pada penelitian lanjutan .................. 63 Lampiran 8.e. Analisis sidik ragam kekenyalan nugget tempe pada penelitian lanjutan ................ 64 Lampiran 8.f. Analisis sidik ragam juiceness nugget tempe pada penelitian lanjutan .................... 64 Lampiran 8.g. Analisis sidik ragam adhesi coating nugget tempe pada penelitian lanjutan ........... 65 Lampiran 8.h. Analisis sidik ragam keseluruhan nugget tempe pada penelitian lanjutan ............... 65 Lampiran 9. Data mutu fisik nugget tempe ..................................................................................... 66 Lampiran 10. Analisis sidik ragam pick up predust nugget tempe .................................................. 68 Lampiran 11. Analisis sidik ragam pick up batter nugget tempe .................................................... 68 Lampiran 12. Analisis sidik ragam pick up breader nugget tempe ................................................. 69 Lampiran 13. Analisis sidik ragam cooking loss nugget tempe ...................................................... 71 Lampiran 14.a Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 1 ...................................... 72 Lampiran 14.b Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 2 ...................................... 73 Lampiran 14.c Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 3 ...................................... 74 Lampiran 14.d Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 4 ...................................... 74 Lampiran 14.e Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 5 ...................................... 75 Lampiran 15. Analisis sidik ragam kekerasan nugget tempe .......................................................... 76 Lampiran 16. Analisis sidik ragam kekenyalan nugget tempe ........................................................ 78 Lampiran 17. Rekapitulasi data analisis kadar air tempe ................................................................ 79 Lampiran 18. Rekapitulasi data analisis kadar abu tempe ............................................................... 79 Lampiran 19. Rekapitulasi data analisis protein tempe ................................................................... 79 Lampiran 20. Rekapitulasi data analisis lemak tempe .................................................................... 80 Lampiran 21. Rekapitulasi data analisis karbohidrat tempe ............................................................ 80 Lampiran 22. Rekapitulasi data analisis kadar air nugget tempe .................................................... 81 Lampiran 23. Rekapitulasi data analisis kadar abu nugget tempe ................................................... 81 Lampiran 24. Rekapitulasi data analisis protein nugget tempe ....................................................... 81 Lampiran 25. Rekapitulasi data analisis lemak nugget tempe ......................................................... 82

viii

 

Lampiran 26. Rekapitulasi data analisis karbohidrat nugget tempe ................................................ 82 Lampiran 27. Analisis raw material cost ........................................................................................ 83

 

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Tempe merupakan produk pangan yang sangat populer di Indonesia, berbahan dasar kedelai

yang diolah melalui proses fermentasi menggunakan kapang, terutama Rhizopus sp. (Syarief et al. 1999). Kualitas protein, kandungan vitamin, dan aktivitas antioksidannya menjadikan tempe lebih unggul secara gizi dibandingkan dengan produk pangan lain (Liu 1997). Namun, tempe sebagai sumber pangan juga masih memiliki kendala dalam pemanfaatannya, yaitu umur simpannya yang relatif singkat dan mudah rusak. Tempe segar hanya tahan disimpan satu sampai dua hari pada suhu ruang, setelah itu mutunya akan menurun dan rusak (Koswara 1992). Salah satu cara diversifikasi (penganekaragaman) produk pangan olahan tempe yakni dengan mengolahnya menjadi nugget.

Nugget merupakan produk olahan yang dicetak, dimasak dan dibekukan, dibuat dari campuran daging giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diizinkan (BSN 2002). Dewasa ini kebutuhan makanan yang bersifat cepat saji (ready to cook) semakin tinggi. Data survei independen yang dilakukan sebuah perusahaan swasta pada tahun 2010 menunjukkan konsumsi daging olahan seperti sosis dan nugget di Indonesia tumbuh dengan baik. Konsumsi sosis oleh masyarakat Indonesia tumbuh rata-rata 4.46% per tahun, sementara konsumsi nugget tumbuh 16.72% per tahun (Anonim 2011). Meningkatnya konsumsi makanan cepat saji ini ditopang oleh meningkatnya kehidupan yang padat akan kegiatan dan aktivitas ekonomi masyarakat terutama yang tinggal di kota besar. Hal ini menunjukkan adanya peluang pengembangan produk pangan cepat saji berbahan dasar lain, tempe salah satunya.

Diversifikasi tempe menjadi nugget, tidak hanya meningkatkan umur simpan dan nilai tambahnya. Namun, dilihat dari sisi nilai gizi, tempe memiliki banyak keunggulan jika digunakan sebagai bahan baku pembuatan nugget. Tempe diketahui sebagai sumber pangan protein tinggi, dimana proteinnya mudah dicerna dan memiliki delapan asam amino essensial yang lengkap. Lemak pada tempe mengandung asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat. Beberapa penelitian menunjukkan tempe memiliki keunggulan fungsional diantaranya dapat menurunkan kolesterol (Brata-Arbai 2001) dan aktifitas antioksidan yang berpotensi mencegah penyakit degeneratif (Astuti 2001). Tempe juga memiliki kandungan zat yang berkhasiat sebagai antibiotik (Syarief et al. 1999). Keunggulan lain yang dimiliki tempe, khususnya di Indonesia, adalah memiliki kandungan vitamin B12 (Liu 1997). Selain itu, jika dilihat dari sisi ekonomi, penggunaan tempe sebagai bahan baku nugget dapat menurunkan harga produksi pembuatannya. Hal ini dikarenakan harga tempe yang lebih murah jika dibandingkan dengan daging.

Penelitian mengenai penggunaan tempe dalam pembuatan nugget, baik sebagai bahan baku utama atau subtitusi telah banyak dilakukan. Mughniza (2003) melakukan substitusi tempe untuk melihat mutu protein nugget ayam. Apriliyani (2004) melakukan substitusi tepung tempe terhadap daging itik mandalung untuk melihat sifat fisik, kimia, dan organoleptiknya. Yanti (2005) melakukan substitusi tepung tempe terhadap daging sapi untuk mengetahui sifat kimia dan organoleptik nugget daging sapi. Silvia (2008) menggunakan tempe sebagai bahan baku nugget dengan perlakuan berbagai bahan pengisi. Penelitian Adiningsih (2012) menggunakan tempe sebagai bahan baku utama dalam pembuatan nugget tempe dengan perlakuan berbagai varietas kedelai, sedangkan pada penelitian ini selain tempe yang digunakan sebagai bahan baku juga dilakukan penambahan daging ayam dan hidrokoloid.

 

Hidrokoloid merupakan suatu polimer larut air yang mampu membentuk koloid, mengemulsikan lemak dan mampu mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut (Mantell 1974). Hidrokoloid mempunyai banyak fungsi dalam pembuatan produk olahan daging. Hidrokoloid biasanya digunakan dalam produk olahan daging sebagai emulsifier, bahan pengikat, dan bahan tambahan untuk memperbaiki tekstur. Tekstur merupakan salah satu pelengkap mutu penting dalam produk olahan daging selain rasa, aroma, dan warna karena dapat menentukan penerimaan konsumen (Wirakartakusumah et al. 1992). Menurut Williams (2000), penambahan hidrokoloid hanya sekitar 1% telah cukup memberikan efek yang signifikan terhadap tekstur dan organoleptik produk pangan.

Pada penelitian ini, nugget tempe yang telah disubstitusi oleh daging ayam kemudian ditambahkan hidrokoloid sebagai bahan pengikat dan memperbaiki tekstur serta penampilannya. Hidrokoloid yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu natrium alginat, CMC, dan guar gum dengan konsentrasi 0%, 0.5%, dan 1%. Penambahan hidrokoloid dalam produk nugget tempe ini diharapkan mampu memberikan karakteristik yang baik terhadap mutu produk nugget tempe. Karakter mutu dari suatu produk akan berpengaruh terhadap tingkat penerimaan kosumen terhadap produk tersebut. Penambahan hidrokoloid dalam produk pangan olahan, secara langsung dapat mempengaruhi seluruh atau sebagian karakteristik produk, sehingga diperlukan pengkajian mengenai pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap karakteristik mutu produk olahan yang merupakan fokus utama penelitian ini, dalam hal ini produk nugget tempe.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui proses dan formula dasar untuk pembuatan nugget

tempe yang ditambahkan daging ayam terhadap kesukaan panelis, (2) mengetahui pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap karakteristik nugget tempe melalui mutu fisik, organoleptik, dan kimia, yang diharapkan dapat diketahui jenis hidrokoloid dengan konsentrasi yang paling tepat untuk menghasilkan nugget tempe yang mempunyai karakteristik mutu terbaik yang disukai oleh panelis, (3) mengetahui analisis raw material cost produk nugget tempe terpilih yang disukai panelis berdasarkan uji organoleptik.

C. INDIKATOR KINERJA PENELITIAN

Indikator kinerja penelitian antara lain: 1. Diketahui proses pembuatan nugget tempe yang ditambahkan daging ayam. 2. Diketahui karakteristik mutu nugget tempe, baik mutu fisik (pick up, cooking loss, breader loss

dengan freeze thawing, kekerasan, dan kekenyalan), mutu organoleptik pada nugget tempe yang ditambahkan natrium alginat, CMC, guar gum dengan konsentrasi berbeda.

3. Diperoleh satu formulasi nugget tempe yang ditambahkan hidrokoloid yang diterima panelis secara organoleptik (minimal 5 dari skala 7).

4. Diketahui mutu kimia atau nilai gizi nugget tempe yang disukai panelis meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat.

5. Diketahui analisis raw material cost produk nugget tempe terpilih yang disukai panelis.

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TEMPE

Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan baku kedelai yang difermentasi dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp. Spesies kapang Rhizopus yang umumnya digunakan dalam fermentasi tempe antara lain Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolofiner (kapang roti) atau Rhizopus arrhizus. Fermentasi tempe berlangsung secara aerob karena kapang merupakan mikroorganisme yang bersifat aerob obligatif. Oksigen digunakan dalam aktivitas kapang untuk menghasilkan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga membentuk tekstur yang padat dan kompak serta membuat tempe berwarna putih. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009), tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Syarat mutu tempe kedelai menurut SNI 3144-2009 dapat dilihat di Tabel 1.  

Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 3144-2009 No Parameter Satuan Persyaratan

1 Keadaan Bau Warna Rasa

- - -

normal khas tempe normal normal

2 Air , b/b % maks. 65.00 3 Abu, b/b % maks. 1.50 4 Protein (N × 6.25), b/b % min. 16.00 5 Lemak, b/b % min. 10.00 6 Serat kasar, b/b % maks. 2.50 7 Cemaran logam Kadmium (Cd)

Timbal (Pb) Timah (Sn) Merkuri (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg

maks 0.20 maks. 0.25 maks. 40.00 maks. 0.03

8 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0.25 9 Cemaran mikroba

Bakteri coliform Sallmonella

APM/g

-

maks. 10 negatif/25 g

B. NILAI GIZI TEMPE

Menurut Sudigbia (1996), tempe memiliki beberapa sifat yang menguntungkan dari segi

kesehatan sebagai bahan pangan, antara lain: a. Tempe mengandung delapan macam asam amino esensial. b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi c. Memiliki kandungan asam lemak jenuh dan kolesterol yang rendah. d. Memiliki kandungan zat yang berkhasiat sebagai antibiotik dan stimulasi pertumbuhan.

 

Tempe mengandung protein yang lengkap karena terdiri atas delapan asam amino esensial yakni isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, dan metionin. Lisin merupakan asam amino yang paling banyak terdapat pada tempe (Koswara 1992), sedangkan metionin merupakan asam amino pembatas pada tempe (Syarief et al. 1999). Dari total protein tempe, hanya 56% yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Tiap 100 gram tempe mengandung 18.3 gram protein (Sarwono 2002). Tempe memiliki keunggulan dari segi gizi dan manfaat untuk kesehatan. Kualitas protein, kandungan vitamin, dan aktivitas antioksidan tempe menjadikannya lebih unggul secara gizi dibandingkan dengan produk pangan lain (Liu 1997). Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B komplek, dan serat.

Selama fermentasi, banyak bahan dalam kedelai menjadi bersifat lebih larut dalam air dan lebih mudah dicerna (Koswara 1992). Kadar protein dalam kedelai selama fermentasi relatif tidak banyak berubah, tetapi jumlah nitrogen yang larut meningkat 0.50-2.50%. Jumlah asam amino bebas meningkat 1-85 kali dari kedelai yang tidak difermentasikan setelah 48 jam akibat aktivitas proteolitik kapang tempe (Karyadi et al 2001). Kapang tempe menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein dan senyawa-senyawa peptida lainnya menjadi asam-asam amino bebas. Perbandingan komposisi zat gizi kedelai dengan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi kedelai dan tempe (per 100 g basis kering)

Kandungan Satuan Kedelai Tempe Komposisi Proksimat Air g 0 0 Abu g 6.1 3.6 Protein g 46.2 46.5 Lemak g 19.1 19.7 Karbohidrat g 28.2 30.2 Serat g 3.7 7.2 Mineral Kalsium mg 254 347 Fosfor mg 781 724 Besi mg 11 9 Vitamin Tiamin mg 0.48 0.28 Riboflavin mg 0.15 0.65 Niasin mg 0.67 2.52 As. Pantotenat mg 0.43 0.52 Piridoksin mg 0.18 0.10 Vitamin B12 μg 0.15 3.90 Biotin μg 35 53 Total asam amino mg 44.218 44.221

Sumber: Hermana et al. 2001 Selain protease, kapang tempe juga menghasilkan enzim lipase yang menyebabkan lemak

terhidrolisis selama fermentasi. Wagenknecht et al. (1961) menyatakan bahwa selama fermentasi tempe berlangsung, terjadi penurunan kadar asam linolenat dan peningkatan bilangan asam sekitar 50-70 kali. Hal ini disebabkan oleh aktivitas lipolitik kapang tempe yang menghidrolisis triasilgliserol

 

menjadi gliserol dan asam-asam lemak bebas. Rhizopus oligosporus umumnya menggunakan asam lemak sebagai sumber energi (Nout dan Rambout 1990). Kadar pati selama fermentasi menurun drastis hingga 74% dan terbentuk senyawa-senyawa karbohidrat yang tidak teridentifikasi. Peningkatan kadar serat sebesar 5.85% terjadi akibat miselium cendawan yang mengandung serat (Steinkraus et al. 1960).

Selama fermentasi, terdapat beberapa perubahan kandungan gizi tempe antara lain pH tempe mengalami peningkatan dari 5.0 menjadi 7.6. Peningkatan pH ini terjadi akibat pertumbuhan kapang yang cepat. Tempe yang berkualitas baik memiliki pH pada kisaran 6.3 hingga 6.5 (Steinkraus et al. 1960). Peningkatan pH akan meningkatkan kelarutan protein tempe. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe juga mengakibatkan terjadinya degradasi faktor antinutrisi (Hyeronymus 1993). Selain itu, selama fermentasi kapang tempe juga dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat adalah senyawa antinutrisi yang dapat mengikat beberapa mineral dalam tubuh. Kandungan asam fitat pada tempe lebih rendah sekitar 30% daripada kedelai sebelum fermentasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang tempe. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium, dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi et al 2001). Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut pada tempe adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg setiap 100 gram tempe (Syarief et al. 1999).

Penelitian terkini menunjukkan tempe memiliki keunggulan fungsional diantaranya seperti kemampuan menurunkan kolesterol (Brata-Arbai 2001) dan aktifitas antioksidan yang berpotensi mencegah penyakit degeneratif (Astuti 2001). Keunggulan lain yang dimiliki tempe adalah vitamin B, terutama vitamin B12. Tempe juga memiliki kandungan zat yang berkhasiat sebagai antibiotik yaitu senyawa peptida berantai pendek yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif secara efektif (Syarief et al. 1999). Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa tempe mengandung senyawa yang berperan sebagai antioksidan dalam tubuh manusia, yaitu isoflavon, daidzein dan genestein (Haron et al. 2009). Isoflavon dalam tubuh manusia bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antiosteoporosis, menopause symptoms, dan hipokolesterolemik.

C. DAGING AYAM

Daging ayam merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi, mengandung asam amino esensial yang lengkap dan asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Selain itu, serat-serat dagingnya pendek dan lunak sehingga mudah dicerna (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Daging ayam memiliki rasa dan aroma yang enak, tekstur yang lunak dan harga yang relatif murah, sehingga disukai hampir semua orang. Komposisi kimia daging ayam terdiri atas protein 18.2%, lemak 25%, air 55.9%, energi 298%, kalsium 14%, dan besi 1.5% (Persagi 2008). Daging ayam yang biasa digunakan dalam pembuatan nugget adalah daging ayam pedaging (broiler).

Ayam termasuk ke dalam jenis unggas selain itik dan burung. Menurut Smith (2010), setiap 100 gram daging unggas mengandung 20-23% protein. Protein daging unggas terdiri dari tiga jenis yakni stroma (3-5%), sarkoplasma (35%), dan miofibril (55%) (Smith 2010). Protein miofibril merupakan protein yang berperan penting dalam pengolahan daging. Menurut Rinaldi (1992), protein miofibril yang paling banyak berperan dalam pembentukan emulsi adalah miosin, karena mempunyai gugus hidrofilik dan lipofilik, sehingga dapat membentuk ikatan air dengan lemak. Pada daging unggas, kandungan miosin yakni sebesar 50-55% dari total protein miofibril (Smith 2010).

 

D. NUGGET

Menurut SNI 01-6683-2002, nugget adalah produk olahan yang dicetak, dimasak, dan dibekukan, terbuat dari campuran daging giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan. Produk nugget dapat dibuat dari daging sapi, ayam, ikan, dan lain-lain. Nugget yang paling banyak terdapat di pasaran adalah nugget daging ayam. Nugget termasuk ke dalam salah satu bentuk produk beku siap saji. Produk beku siap saji adalah suatu produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang kemudian dibekukan. Produk beku siap saji ini memerlukan waktu pemanasan akhir yang cukup singkat untuk siap dikonsumsi. Sekalipun dibekukan terlebih dahulu, makanan siap saji tidak akan kehilangan banyak gizi, juga tidak ada perubahan cita rasa terutama teksturnya (Apriadji 2001).

E. PEMBUATAN NUGGET

1. Bahan Utama Pembuatan Nugget

Nugget merupakan suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dua yang dilapisi dengan bahan pelapis, digoreng setengah matang, kemudian dibekukan. Nugget umumnya dibuat dari daging, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pelapis dan bahan tambahan lainnya seperti garam, STPP, bumbu, dan penyedap. Proses pembuatan nugget diperlukan penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi. Bahan pengisi dan bahan pengikat merupakan fraksi bukan daging yang biasanya ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi seperti nugget, bakso, dan sosis. Tujuan penambahan bahan-bahan ini adalah memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan citarasa, dan terutama mengurangi biaya produksi (Kramlich 1971).

Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi adalah kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi (Soeparno 1994). Bahan pengisi pada nugget umumnya terdiri dari karbohidrat yang memiliki pengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Kandungan utama dari bahan pengisi adalah pati. Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus, sedangkan amilopektin bercabang. Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin berperan dalam pembentukan adonan. Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa, maka semakin rekat produk olahannya (Winarno 1997). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan pada nugget, yaitu tapioka. Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu jenis Manihot esculenta dan Manihot utilissima yang kaya akan pati. Kandungan amilopektin tapioka sebesar 76.26-83% (Laga 2001).

Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi dan memiliki pengaruh besar terhadap emulsifikasi lemak dibandingkan bahan pengisi. Fungsi dari bahan pengikat, yaitu mengurangi penyusutan pada waktu pengolahan dan meningkatkan daya ikat air. Bahan pengikat dalam adonan emulsi juga dapat berfungsi sebagai pengemulsi (emulsifier), yaitu pengikat antara lemak dan air (Kramlich 1971). Salah satu bahan pengikat yang digunakan yakni putih telur. Putih telur mengandung ovalbumin yang merupakan fosfoglikoprotein yang memiliki fungsi dalam pembentukan gelling, foaming, dan emulsifying properties (Mine dan Nolan 2006).

Pada pembuatan nugget, tepung digunakan untuk melapisi nugget. Tepung yang biasa digunakan antara lain tepung terigu, maizena, dan tepung roti (Alamsyah 2007). Pemilihan tepung

 

pelapis mempengaruhi hasil olahan. Umumnya, tepung balut (coating flour) terdiri dari tiga jenis yakni predust, batter, dan breader. Ketiga jenis tepung ini diaplikasikan secara berurutan. Pelapisan pertama dilakukan dengan predust flour, dilanjutkan dengan pencelupan ke larutan batter, dan terakhir breader (pelapisan dengan tepung roti).

Predust merupakan tahap awal dalam proses coating pada produk nugget. Fungsi predust adalah meningkatkan daya ikat (adhesi) substrat dengan lapisan coating, melindungi produk dari kehilangan air, dan menjaga flavor terutama yang sensitif terhadap suhu tinggi atau komponen yang mudah menguap selama pemasakan (ASEAN-Canada Fisheries 1994). Predust umumnya menggunakan tepung sebagai bahan pelapis adonan nugget tanpa atau dengan penambahan bahan tambahan lainnya (Barbut 2002).

Batter merupakan campuran yang terdiri dari air, tepung, pati dan bumbu-bumbu yang digunakan untuk merekatkan sesuatu pada produk makanan atau juga dapat berfungsi sebagai final coater pada produk sebelum dimasak (Mallikarjunan et al. 2010). Menurut Owens (2010), komposisi batter terdiri dari tepung terigu, maizena, bumbu, protein, leavening agent, stabilizer, pewarna, dan browning agent. Salah satu jenis protein yang dapat digunakan pada komposisi batter adalah protein susu yang berasal dari susu skim. Susu skim merupakan susu yang telah dipisahkan lemaknya yang hanya mengandung lemak sebesar 0.5-2% (Varnam dan Sutherland 1994). Komponen terbesar dalam susu skim adalah protein susu. Menurut Barbut (2002), penambahan protein dalam komposisi batter dapat berfungsi sebagai bahan pengikat. Selain itu, adanya laktosa pada susu dapat membantu memperbaiki warna, aroma, dan penyerapan air. Leavening agent yang sering digunakan pada adonan batter, yaitu sodium bikarbonat (soda kue). Leavening agent ditambahkan pada adonan batter nugget untuk menghasilkan ruang udara pada lapisan coating, memberikan tekstur yang unik (kerenyahan) pada produk yang digoreng, meningkatkan volume produk akhir (Barbut 2002). Albert et al. (2009) menggunakan sodium bikarbonat sebagai formulasi dasar pada batter untuk membuktikan kerenyahan nugget ikan.

Breader merupakan bagian yang penting dalam proses pembuatan produk pangan beku, khususnya nugget. Breader merupakan lapisan terakhir nugget yang menggunakan tepung roti. Kerenyahan produk yang dilumuri breader akan membuat produk tersebut lebih enak dan lezat (Fellows 2000). Ukuran breader mempengaruhi pick up dan tekstur. Breader kasar akan menghasilkan pick up yang lebih baik dan tekstur renyah dibandingkan breader halus. 2. Bahan Tambahan

Bahan tambahan atau bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan ke dalam suatu

adonan dengan maksud atau tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan nugget tempe adalah garam, STPP, air es, dan bumbu.

Garam terdapat secara alami dalam makanan atau ditambahkan dalam pengolahan dan penyajian makanan. Penggunaan garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan penggumpalan atau salting out dan rasa produk terlalu asin. Menurut Owens (2010), penambahan garam pada produk nugget tidak lebih dari 2%, sedangkan pada industri umumnya 1%. Garam memiliki dua fungsi pada produksi nugget, yaitu memperbaiki rasa dan membantu mengekstrak protein (Owens 2010). Selain itu, garam juga dapat meningkatkan daya ikat air (water holding capacity/WHC) protein otot (Wilson et al. 1981). Oleh sebab itu, garam merupakan faktor kritis yang harus diperhatikan karena tanpa garam pembentukan emulsi tidak akan terjadi pada produk olahan

 

daging seperti nugget. Karmlich (1971) menambahkan, selain sebagai pemberi rasa dan untuk mengekstraksi protein, garam juga berfungsi sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikrob sehingga memperlambat pembusukan.

Sodium Tripolyphospat (STPP) ditambahkan dalam pembuatan chicken nugget untuk membantu ekstraksi protein. Penambahan STPP dapat meningkatkan daya ikat air (water holding capacity/WHC) oleh daging karena terjadi peningkatan pH dan membuka protein otot sehingga terjadi pengikatan air. Selain itu, penambahan STPP juga dapat mempertahankan juiceness, meningkatkan produk akhir, mempertahankan warna produk, menghambat ketengikan karena fosfat mempunyai sifat sebagai antioksidan, dan meningkatkan mutu produk daging (Osburn dan Keeton 2010). Ockerman (1983), menambahkan bahwa penambahan STPP juga berfungsi menurunkan susut masak karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan. STPP dan garam mempunyai efek sinergisme sehingga dapat meningkatkan daya ikat air (WHC). Penggunaan STPP memiliki batas (self limiting) yang disebabkan STPP memiliki rasa yang agak pahit pada konsentrasi tertentu, sehingga penggunaannya pada industri umumnya sekitar 0.3-0.5%. Menurut Owens (2010), penggunaan STPP sebanyak 0.5% dapat menyebabkan rasa sabun dan licin pada produk.

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena keberadaan air ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan bahan makanan tersebut. Menurut Kramlich (1971), tekstur dan keempukan produk akhir dari produk emulsi daging dipengaruhi oleh kandungan air yang ditambahkan. Penambahan air ke dalam adonan nugget pada waktu penggilingan adalah dalam bentuk serpihan es. Menurut Pisula (1984), suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5 °C, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan adonan tidak diperkenankan melebihi 20 °C. Suhu adonan yang lebih dari 20 °C akibat gesekan daging di dalam alat penghancur daging dapat menghambat ekstraksi protein serabut otot akibat terjadinya denaturasi protein.

Penambahan air dalam bentuk es bertujuan melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein otot, membantu pembentukan emulsi, mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan, dan pembuatan adonan (Kramlich 1971). Jumlah air yang ditambahkan akan mempengaruhi juiceness dan rendemen produk. Selain itu, peningkatan penambahan air menyebabkan tekstur nugget menjadi lebih basah dan lembut.

Bumbu yang digunakan dalam pembuatan nugget tempe, yaitu lada, bawang putih, bawang bombay, dan penyedap rasa. Bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan nugget bertujuan menambah cita rasa produk dan memberikan aroma khas pada makanan. Beberapa bumbu juga selain untuk menambah cita rasa juga berfungsi sebagai antioksidan. Lada merupakan bumbu yang umum digunakan dalam masakan untuk meningkatkan cita rasa dan memberikan warna tertentu pada makanan. Lada sering digunakan dalam masakan karena memiliki dua sifat penting, yaitu rasa pedas dan aroma yang khas. Rasa pedas disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta chacivia (Rismunandar 1993). Bawang putih dan bawang bombay digunakan pada makanan untuk memberi cita rasa produk dan memberikan aroma yang khas pada makanan. Bau khas bawang berasal dari komponen volatile yang muncul ketika terjadi kerusakan jaringan atau pemotongan. Keduanya akan memiliki bau ketika dihancurkan atau dipotong, karena pada waktu tersebut enzim allinase akan bereaksi dengan aliin sehingga dengan cepat membentuk alisin. Alisin selanjutnya akan terdekomposisi menjadi dialil sulfida dan senyawa-senyawa turunan sulfida lainnya. Penyedap rasa ditambahkan untuk meningkatkan cita rasa produk. Menurut Soeparno (1994), penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan cita rasa, karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavor yang berbeda.

 

3. Proses Pembuatan Nugget

Nugget merupakan salah satu bentuk produk pangan yang bersifat ready to cook. Nugget yang biasa dibuat berbahan dasar daging ayam atau daging ikan giling yang diberi bumbu dan bahan tambahan lain, dicetak, dilapisi dengan tepung berbumbu (batter dan breader) kemudian digoreng dalam minyak panas dengan deep fat frying. Secara umum pembuatan nugget mencakup lima tahap, yaitu penggilingan yang disertai pencampuran (bumbu, bahan pengikat, dan bahan pengisi), pencetakan, pelapisan, pre-frying, dan pembekuan (Tanoto 1994).

Tahap pertama dalam pembuatan nugget adalah penggilingan dan pencampuran. Tanoto (1994) menyatakan bahwa penggilingan daging sebaiknya dilakukan pada suhu di bawah 15 °C dengan menambahkan es pada saat penggilingan daging. Penambahan es bertujuan untuk mencegah denaturasi protein aktomiosin oleh panas yang terjadi pada saat penggilingan daging. Selain itu, pada proses penggilingan daging sebaiknya ditambahkan dengan garam dan STPP. Garam dan STPP bersifat sinergis untuk meningkatkan ekstraksi protein pada daging (Owens 2010). Selanjutnya pada tahap penggilingan, juga dilakukan pencampuran bumbu, bahan pengikat, dan bahan pengisi.

Adonan nugget yang telah digiling kemudian dilakukan pencetakan. Bentuk nugget yang paling umum adalah oval atau lonjong dan lingkaran. Pencetakan nugget pada industri skala besar menggunakan mesin Formax yang dilengkapi dengan conveyor belt atau ban berjalan (Owens 2010). Pencetakan nugget pada industri kecil dapat dilakukan dengan menggunakan tangan. Selanjutnya adonan nugget dibalur dengan bahan pelapis (coating). Sistem coating atau pelapisan diaplikasikan pada adonan nugget yang telah dicetak. Menurut Fellows (2000), pelapisan atau coating dapat digunakan untuk melindungi produk dari dehidrasi produk selama pemasakan dan penyimpanan. Pelapisan terdiri dari tiga tahap yakni predust, batter, dan breader.

Penggorengan awal (pre-frying) adalah langkah terpenting dalam proses aplikasi batter dan breader. Tujuan pre-frying adalah untuk menempelkan bahan pelapis dengan adonan nugget sehingga dapat diproses lebih lanjut dengan pembekuan. Pre-frying juga akan memberikan warna pada produk, membentuk kerak pada produk setelah digoreng, memberikan penampakan goreng (fried) pada produk serta berkontribusi pada rasa produk (Fellows 2000). Menurut Owens (2010), waktu yang diperlukan untuk tahap pre-frying adalah 30 sampai 45 detik dengan suhu minyak sebesar 179.4-198.8 °C.

Produk yang telah mengalami proses pre-frying kemudian dibekukan atau disimpan pada suhu dingin. Penyimpanan merupakan usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain seperti mikroorganisme, serangga, tikus, dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto 1995). Penyimpanan dengan suhu rendah (pembekuan) diharapkan berbagai hal yang menyebabkan kerusakan produk dapat dicegah sehingga mutu dan kualitas produk dapat bertahan lama.

F. HIDROKOLOID

Hidrokoloid merupakan suatu polimer larut dalam air, mampu membentuk koloid, dan mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut. Menurut Fardiaz (1989), berdasarkan sumber asalnya, hidrokoloid dapat dibedakan menjadi tiga jenis utama, yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid alami termodifikasi, dan hidrokoloid sintesis. Hidrokoloid mempunyai sifat fungsional yang berbeda-beda. Namun salah satu sifat utama yang berlaku bagi semua jenis hidrokoloid adalah kekentalannya dalam suatu medium air. Sifat utama lainnya dari hidrokoloid adalah pembentukan gel. Pembentukan gel atau gelasi adalah suatu fenomena yang mengikutsertakan penggabungan atau pengikatan silang (cross-linking) dari rantai-rantai polimer membentuk suatu jala tiga dimensi.

10 

 

Selanjutnya jala ini dapat mengikat dan memobilisasi air di dalamnya membentuk struktur kuat yang kaku yang tahan terhadap aliran bawah tekanan (Fadiaz 1989). Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokoloid memiliki banyak fungsi dalam industri pangan. Selain sebagai pengental, hidrokoloid dapat berperan sebagai perekat, pengikat, penghambat kristalisasi es, penjernih, pengeruh, pelapis, pengemulsi, pembentuk film, pembentuk buih, koloid pelindung, pemantap, pensuspensi, dan penghambat sineresis (Fardiaz 1989).

1. Natrium Alginat

Alginat adalah istilah umum untuk senyawa dalam bentuk garam dan turunan asam alginat (Glicksman 1983). Alginat berasal dari dinding sel dan bagian interseluler alga coklat. Menurut Onsoyen (1992), asam alginat merupakan bentuk asam bebas dari alginat dan sebagai produk antara dari alginat. Asam alginat ini memiliki kestabilan yang terbatas, seperti bentuk asam bebas lainnya dari polisakarida. Untuk membuat alginat yang stabil, asam alginat diubah menjadi bentuk lain dengan penggabungannya dengan garam-garam seperti Na2CO3, K2CO3, NH4OH, Mg(OH)2, CaCl2, dan propilen oksida. Alginat yang mengandung kation seperti K+, Na+, NH4

+, Ca+2, dan propilen glikol alginat, larut dalam air dingin maupun panas dan membentuk larutan yang stabil (Klose dan Glicksman 1972).

Natrium alginat merupakan produk dari karbohidrat yang telah dipurifikasi, diekstraksi dari alga laut coklat dengan penambahan garam alkali. Garam alkali yang ditambahkan mengandung ion Na+ seperti NaOH atau Na2CO3. Menurut Food Chemical Codex (1981), rumus molekul natrium alginat adalah (C6H7O6)n. Garam natrium dari asam alginat berwarna putih sampai dengan kekuningan, berbentuk tepung atau serat, hampir tidak berbau atau berasa, larut dalam air dan mengental (larutan koloid), tidak larut dalam larutan hidroalkohol dengan kandungan alkohol lebih dari 30%, dan tidak larut dalam kloroform, eter, asam dengan pH kurang dari 3.

Struktur kimia natrium alginat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia natrium alginat (Nussinovtch 1997)

Alginat paling banyak digunakan dalam industri tekstil 50%, industri pangan 30%, industri

kertas 6%, welding rods 5%, farmasi 5%, dan lain-lain 4% (Mc. Hugh 2008). Pada industri pangan, alginat digunakan sebagai pengental, pembentuk gel, stabilizer, pembentuk bodi, agen pengemulsi dan pesuspensi. Alginat juga digunakan dalam produk makanan yang direstrukturisasi atau dibentuk kembali menjadi seperti potongan daging dengan pengikat atau binder berupa serbuk natrium alginat, kalsium karbonat, asam laktat, dan kalsium laktat. Produk yang dihasilkan dapat berupa nugget, roast, meat loaf dan steak.

11 

 

2. CMC

CMC (Carboxy Methyl Cellulose) merupakan jenis hidrokoloid alami termodifikasi yang berasal dari tumbuhan yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linier. Monomer penyusunnya merupakan glukosa bentuk linier. Monomer penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karbomeksimetil eter (Fennema 1985). CMC diperoleh dengan cara menambahkan asam kloroasetat pada selulosa. CMC umumnya dijual dalam bentuk bubuk putih halus yang tidak berwarna dan tidak memiliki rasa. CMC teknik umumnya memiliki kemurnian 94-99%, sedangkan yang biasa digunakan pada produk makanan adalah CMC dengan kemurnian 99.5% (Nussinovtch 1997). CMC bersifat larut dalam air panas maupun air dingin serta juga dapat larut dalam pelarut organik seperti aseton dan etanol sehingga menjadikannya hidrokoloid serba guna. CMC dapat larut pada maksimal 50% etanol atau 40% aseton yang berperan penting pada pembuatan minuman beralkohol. Salah satu karakteristik penting CMC adalah kemampuan untuk meningkatkan viskositas (Stelzer dam Klug 1980). Aplikasi CMC yang sangat luas pada produk pangan berdampak pada kompatibilitasnya dengan berbagai ingredient pangan. CMC sebagai agen peningkat viskositas dapat diaplikasikan secara tunggal maupun dicampur dengan bahan lain. Untuk mendapatkan sifat fungsional sebagai binding, thickening, stabilizer, jumlah CMC yang digunakan pada bahan pangan berkisar 0.1-0.5% atau pada umumnya kurang dari 1%. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia CMC (Nussinovtch 1997)

3. Guar Gum

Guar gum merupakan jenis hidrokoloid alami yang berasal dari hasil ekstraksi endosperma biji

dari dua tanaman kelas Legumininaceae yaitu Cyamopsis tetragonolobus dan C. psoraloides yang banyak ditemukan di barat laut India dan Pakistan. Guar gum merupakan polisakarida yang tersusun dari galaktosa dan manosa (galaktomanan). Backbone guar gum adalah manosa yang dihubungkan dengan β-(1,4)-glikosida dengan galaktosa sebagai rantai sampingnya yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,6)-glikosida. Rasio manosa dan galaktosa pada guar gum sebesar 1.8:1 sampai 2:1.Struktur molekul guar gum dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia guar gum (Nussinovitch 1997)

12 

 

Guar gum yang digunakan untuk produk pangan mengalami purifikasi sempurna sehingga gum yang didapat hanya berasal dari bagian endospermae. Sebagian besar guar gum yang dipasarkan ke industri pangan memiliki viskositas sekitar 3000-5000 cps jika dibuat konsentrasi larutan sebesar 1%. Penggunaan guar gum pada makanan pada kisaran kurang dari 1% dapat meningkatkan kekenyalan produk pangan. Guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen adonan sehingga komponen tersebut tidak lepas ketika dimasak. Guar gum dapat digunakan dalam produk olahan daging seperti sosis, canned meat. Penggunaan guar gum dalam canned meat yakni sebesar 0.5% yang dapat berfungsi sebagai pengikat air pada daging saat penggilingan, meningkatkan berat produk, menurunkan lemak, mencegah terjadinya pemisahan air, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, dan mempertahankan tekstur produk saat pendinginan (Fox 1992).

13 

 

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe yang diperoleh dari perajin

tempe di daerah Rawa Kalong, Ciherang. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan nugget lainnya, yakni tapioka, tepung terigu, maizena, bawang putih, bawang bombay, lada, garam, penyedap rasa, putih telur, tepung roti (bread crumb), soda kue, susu skim, air, serpihan es yang diperoleh dari pasar dan pertokoan di Darmaga, Bogor. Hidrokoloid yang digunakan yakni natrium alginat, CMC, dan guar gum. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia antara lain pelarut heksan, K2SO4, H2SO4 pekat, NaOH, Na2S2O3, HgO, HCl, H3BO3 jenuh, indikator merah metil, dan biru metilen.

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan nugget antara lain pisau, baskom, loyang, panci, sendok, kompor, timbangan, food processor Panasonic MK5087 M, deep fat fryer. Alat analisis yang digunakan adalah ayakan, buret, tanur listrik, pembakaran bunsen, cawan aluminium, cawan porselin, labu erlenmeyer, neraca analitik, oven pengering, alat destilasi yang dilengkapi kondensor, labu lemak, labu Kjeldahl, desikator, gegep, pinset, termometer, gelas ukur, gelas piala, gelas pengaduk, pH meter, Texture Analyzer TA-XT2i Stable Micro Systems serta alat gelas lain.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.

Secara umum diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

1. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses pembuatan nugget tempe dan formulasi dasar nugget tempe yang nantinya akan ditambahkan daging ayam, menemukan satu formulasi nugget tempe yang ditambahkan daging ayam yang memiliki penilaian kesukaan panelis terbaik melalui uji organoleptik. Hasil dari penelitian pendahuluan kemudian digunakan untuk penelitian lanjutan.

1.1 Pembuatan Nugget Tempe  

Pembuatan nugget tempe dalam penelitian ini dimulai dengan menentukan formulasi dasar nugget tempe. Formulasi dasar nugget tempe yang digunakan merupakan hasil modifikasi formulasi nugget tempe yang digunakan dalam penelitian Adiningsih (2012) yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Formulasi pembuatan nugget tempe dilakukan dengan metode trial and error untuk mendapatkan formulasi yang tepat. Formulasi batter yang digunakan merupakan hasil modifikasi formula batter yang berasal dari penelitian Hikmawati (2012) dan kemudian dimodifikasi dengan formulasi batter pada penelitian Adiningsih (2012) untuk pengguaan tepung terigu. Formulasi batter yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3.

14 

 

1.2 Pemilihan Formulasi Nugget Tempe

Formulasi nugget tempe yang diperoleh dengan metode trial and error, kemudian dibuat tiga formula berdasarkan perbandingan tempe dan daging ayam (70:30, 60:40 dan 50:50). Ketiga formulasi tersebut kemudian dianalisis secara sensori untuk menentukan formulasi terpilih yang akan digunakan pada penelitian lanjutan. Uji organoleptik yang digunakan yakni uji rating hedonik menggunakan 70 panelis. Parameter yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, juiceness, adhesi coating dan keseluruhan. Skala yang digunakan adalah tujuh skala, mulai dari sangat tidak suka (1) sampai dengan sangat suka (7).

2. PENELITIAN LANJUTAN

Penelitian lanjutan digunakan untuk melanjutkan hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian pendahuluan. Menurut Williams (2000), penggunaan hidrokoloid dalam bahan pangan umumnya sekitar 1% dan sudah cukup untuk memberikan efek yang signifikan bagi tekstur dan organoleptik produk pangan. Penelitian lanjutan ini dilakukan untuk melihat perbedaan karakteristik nugget tempe yang ditambahkan natrium alginat, CMC dan guar gum dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu 0%, 0.5%, dan 1%.

Produk nugget yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis terhadap mutu nugget yang dihasilkan meliputi analisis pick up (predust, batter dan breader), susut masak (cooking loss), breader loss dengan freeze thaw, kekerasan, kekenyalan. Selain itu dilakukan uji organoleptik dengan uji rating hedonik menggunakan 70 panelis. Parameter yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, juiceness, adhesi coating dan keseluruhan. Skala yang digunakan adalah tujuh skala, mulai dari sangat tidak suka (1) sampai dengan sangat suka (7). Selanjutnya dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku yaitu tempe dan nugget tempe terpilih yang memperoleh skor keseluruhan tertinggi pada penelitian lanjutan dan dilakukan analisis raw material cost produk nugget tempe terpilih. Proses pembuatan nugget tempe dapat dilihat pada Gambar 5.

15 

 

Gambar 4. Diagram alir penelitian

 

 

Penelitian Lanjutan

Analisis raw material cost nugget tempe terpilih

Nugget tempe dengan penambahan hidrokoloid (Natrium alginat, CMC dan guar gum) dengan konsentrasi 0%, 0.5% dan 1%

Analisis mutu fisik nugget tempe: - Pick up (predust, batter, dan breader) - Cooking loss - Breader loss dengan freeze thawing - Tekstur nugget (kekerasan dan kekenyalan)

menggunakan Texture Profile Analysis

Analisis mutu organoleptik nugget tempe dengan uji rating hedonik menggunakan 70 panelis

Analisis mutu kimia (analisis proksimat) tempe dan nugget tempe terpilih (melalui uji organoleptik)

Penelitian Pendahuluan

Pembuatan nugget tempe

Uji Organoleptik dengan rating hedonik menggunakan 70 panelis

Formulasi terpilih

                                        

                                                                                 Nugget tempe

70:30 (tempe:daging

ayam)

Nugget tempe 60:40

(tempe:daging ayam)

Nugget tempe 50:50

(tempe:daging ayam)

16 

 

 

Gambar 5. Proses pembuatan nugget tempe  

Tapioka, bumbu, putih

telur,

Tempe segar

Dikukus selama 20 menit

Daging ayam

Penggilingan ke-2 dengan food processor

Garam , Es, STPP

Penggilingan ke-1 dengan food processor

Pemasukan adonan ke loyang yang diberi plastik dan diatur ketebalan nugget sebesar 1 cm

Pembekuan (freezer) selama 90 menit

Pemotongan adonan 3x3 cm

Pelumuran tepung roti (breader)

Pencelupan dalam larutan batter

Pelumuran predust dengan tepung terigu

Penggorengan awal (Pre-frying) 1800C selama 30 detik

Nugget tempe

Pembekuan

17 

 

C. PENGAMATAN

1. Analisis Proksimat (AOAC 1995)

Analisis proksimat dilakukan pada tempe dan nugget tempe terpilih melalui uji organoleptik pada penelitian lanjutan. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis proksimat dilakukan dengan dua kali ulangan dan duplo.

Kadar Air

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC selama 15 menit, kemudian

didinginkan disalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (W2). Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang (W) dan kemudian dimasukkan kedalam cawan yang telah dikeringkan sebelumnya dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan cawan dikeringkan dalam oven pada 100-105 oC selama 6 jam. Cawan kemudian dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot konstan (W1). Kadar air sampel dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar air (%bb) = W - (W1-W2)

W × 100%

Kadar air (%bk) = Kadar air (%bb)100-Kadar air (%bb)

× 100%

%bb = kadar air per bahan basah (%) %bk = kadar air per bahan kering (%) Kadar Abu

Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven pada 400-600 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang (W) dan dimasukkan ke dalam dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan diatas bunsen sampai tidak berasap lagi, lalu dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar abu (%bb) = W1-W2

W × 100%

Kadar abu (%bk) = Kadar abu (%bb)100-Kadar air %bb

× 100%

Kadar Protein

Sampel sebanyak 1.0-2.0 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 1.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 10 mL 60% NaOH-5% Na2S2O3 lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 mL H3B03 dan 2-4 tetes indikator merah metil serta metil biru hingga diperoleh sekitar 15 mL destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N standar hingga titik akhir. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :

18 

 

Kadar N (%) = mL HCL-mL blanko)× N × 14,007 × 100% mg sampel

Kadar Protein (%bb) = % N × FK

Kadar Protein (%bk) = Kadar protein (%bb)100-Kadar air %bb

× 100%

% N = kandungan nitrogen pada contoh (%) FK = faktor koreksi protein: Tempe (5.75) dan Nugget Tempe (6.25) Kadar Lemak

Labu lemak yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada 100-110 oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sampel dalam bentuk tepung sebanyak 5 gram ditimbang (W) dan dibungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksana atau dietil eter). Refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang pada 100 oC sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar lemak (%bb) = W1‐W2

W × 100%

Kadar lemak (%bk) = Kadar lemak (%bb)100-Kadar air %bb

× 100%

Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat metode by difference dapat ditentukan dengan rumus:

Kadar karbohidrat (%bb) = 100% - (P+A+Ab+L)

Kadar karbohidrat (%bk) = Kadar karbohidrat (%bb)100-Kadar air (%bb)

100%

P = Protein (%bb) A = Air (%bb) Ab = Abu (%bb) L = Lemak (%bb) 2. Cooking Loss (Modifikasi Soeparno 1994)

Sampel adonan nugget tempe berukuran 3×3×1 cm yang telah dibekukan dan dilapisi coating

(predust, batter, dan breader) ditimbang beratnya (a). Kemudian sampel potongan nugget tempe dimasak dengan metode deep fat frying. Metode ini merupakan proses memasak dengan bahan pangan yang terendam di dalam medium minyak yang merupakan penghantar panas. Suhu dan waktu penggorengan nugget tempe adalah 180 oC selama 60 detik. Sampel nugget tempe yang telah dimasak kemudian ditiriskan dan didinginkan. Setelah sampel nugget tempe dingin kemudian ditimbang beratnya (b). Cooking loss dihitung dengan menggunakan rumus:

Cooking loss (%) =a-ba

× 100%

19 

 

3. Pick Up (Yusnita et al. 2007)

Sampel adonan nugget tempe berukuran 3×3×1 cm yang telah dibekukan kemudian ditimbang (Wa). Sampel potongan nugget tempe kemudian dibalur menggunakan tepung terigu dan ditimbang beratnya (Wb). Selanjutnya dilakukan pencelupan potongan nugget tempe ke dalam adonan batter dan ditimbang beratnya (Wc). Potongan nugget tempe kemudain dibalur dengan tepung roti (bread crumb) dan ditimbang beratnya (Wd). Rumus perhitungan pick up adalah sebagai berikut:

Pick up predust (%) =

wb-wa

wa × 100%

Pick up batter (%) = wc-wb

wb × 100%

Pick up breader (%) = wd-wc

wc × 100%

4. Breader Loss dengan Freeze Thawing (Suderman 1979)

Breader loss dilakukan dengan lima siklus. Tahap siklus pertama, mula-mula sampel nugget

yang telah di pre-frying ditimbang (A) dan dikemas dalam plastik. Kemudian sampel nugget tersebut disimpan dalam freezer selama 18 jam. Setelah 18 jam, kemudian sampel dikeluarkan dari freezer lalu di-thawing pada suhu ruang selama 6 jam yang sebelumya sampel telah dikeluarkan dari plastik dan dipindahkan ke wadah. Sampel yang telah di thawing kemudian di getarkan dengan menggunakan mesin ayakan selama 30 detik. Penggetaran dengan ayakan bertujuan sebagai simulasi kerontokan breader (bread crumb) akibat penyimpanan, distribusi dan pemasaran. Sampel nugget yang telah digetarkan dengan ayakan, kemudian dilihat ada atau tidaknya kerontokan breader (breader loss). Jika ada breader yang rontok, dikumpulkan, lalu ditimbang (B). Setelah breader yang lepas ditimbang, sampel nugget tempe yang telah mengalami siklus pertama kemudian dilanjutkan ke siklus kedua sampai kelima dengan tahapan proses yang sama seperti siklus pertama. Persen kerontokan breader setiap siklus dihitung menggunakan rumus:

Kerontokan breader (%) = 100%

5. Kekerasan dan Kekenyalan

Analisis fisik pada produk nugget dilakukan menggunakan instrument texture analyzer dengan

pengujian berupa Teksture Profile Analysis (TPA). Parameter yang diamati adalah kekerasan dan kekenyalan nugget tempe. Tahap awal melakukan analisis ini yakni dengan memasang probe yang akan digunakan, lalu mengatur (setting) alat texture analyzer dengan pengujian berupa Teksture Profile Analysis (TPA). Setting alat texture analyzer dapat dilihat pada Lampiran 4. Selanjutnya sampel nugget yang akan dianalisis, digoreng terlebih dahulu dengan deep fat frying selama 1 menit, lalu didinginkan. Setelah itu, sampel nugget di letakkan di tempat sampel pada alat texture analyzer dengan jarak probe yang telah diatur, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol ENTER pada komputer. Selanjutnya probe akan menekan sampel nugget tempe sebanyak dua kali penekanan selama 0.5 detik. Hasil pengukuran dengan menggunakan TPA akan menghasilkan grafik. Puncak tertinggi grafik yang dihasilkan pada tekanan pertama menunjukkan kekerasan (hardness) produk. Kekenyalan (elasticity) diukur dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga

20 

 

tercapai gaya maksimum dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga memperoleh nilai maksimumnya.

6. Uji Organoleptik (Adawiyah dan Waysima 2009)

Uji organoleptik yang digunakan pada penelitian pendahuluan dan lanjutan yaitu uji rating hedonik. Sampel yang disajikan adalah sampel nugget yang telah digoreng (matang). Panelis yang digunakan dalam penelitian yakni 70 panelis. Dalam penelitian ini, uji rating hedonik yang dilakukan menggunakan skala kategori 7 poin yakni: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) formula nugget tempe dapat dilihat pada Lampiran 5. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) nugget tempe pada penelitian lanjutan dapat dilihat pada Lampiran 7.

D. ANALISIS STATISTIK

Analisis statistik diperlukan untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan rancangan acak

lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu faktor A dan B (2 kali ulangan), dimana: A: Jenis hidrokoloid (A1 = Natrium alginat, A2 = CMC, A3 = Guar gum) B: Konsentrasi (B1 = 0%, B2 = 0.5%, B3 =1%) Bentuk umum dalam rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut:

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ijk + εijk

Dimana: Yijk = Output dari nugget ke-k yang dibuat dengan jenis hidrokoloid ke-i dan

konsentrasi ke-j μ = Nilai rata-rata output yang sesungguhnya Ai = Pengaruh perlakuan A ke-i Bj = Pengaruh perlakuan B ke-j (AB)ijk = Pengaruh interaksi pada level A ke-i dan pada level B ke-j εijk = Pengaruh galat percobaan pada nugget yang dibuat dengan jenis hidrokoloid ke-i dan konsentrasi ke-j

21 

 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENELITIAN PENDAHULUAN

1.1 Pembuatan Nugget Tempe

Pada tahap awal, dilakukan penelitian untuk mendapatkan formulasi dasar nugget tempe yang akan digunakan. Berdasarkan hasil modifikasi formulasi nugget tempe Adiningsih (2012), didapatkan formulasi dasar nugget tempe yang digunakan untuk penelitian ini. Formulasi dasar nugget tempe hasil modifikasi dapat dilihat di Lampiran 2.

Berdasarkan formulasi nugget tempe pada Lampiran 2, kemudian dibuat menjadi tiga perlakuan dengan penambahan daging ayam. Tiga perlakuan tersebut dibuat berbasis jumlah tempe pada formulasi dasar hasil modifikasi yakni 60 gram, kemudian ditambahkan daging ayam dengan perbandingan tempe dengan daging ayam yaitu 70:30, 60:40, dan 50:50. Adapun ketiga perlakuan formula nugget tempe yang ditambahkan daging ayam dapat dilihat pada Tabel 3. Penambahan daging ayam bertujuan untuk meningkatkan aroma, rasa, dan tekstur nugget tempe.

Tabel 3. Formula nugget tempe yang ditambahkan daging ayam

Bahan Jumlah bahan untuk setiap perlakuan (gram)

Formula 1 (70:30)

Formula 2 (60:40)

Formula 3 (50:50)

Tempe 42 36 30 Daging ayam 18 24 30 Tapioka 10 10 10 Putih telur 10 10 10 Bawang putih 1.3 1.3 1.3 Bawang Bombay 1.3 1.3 1.3 Lada 0.5 0.5 0.5 Garam 1.4 1.4 1.4 Penyedap rasa 0.5 0.5 0.5 Serpihan es 15 15 15 STPP (0.3% daging ayam) 0.054 0.072 0.090 Total (gram) 101.054 101.072 101.090 Proses pembuatan nugget tempe dilakukan dengan beberapa tahap yaitu persiapan bahan,

penggilingan dan pencampuran bahan, pencetakan, pembekuan, pemotongan, pelapisan (pedust, batter, breader), pre-frying, dan pembekuan. Tempe yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempe yang diproduksi oleh perajin tempe di daerah Rawa Kalong, Ciherang.

Persiapan bahan dilakukan dengan memotong tempe menjadi ukuran kecil yang kemudian dikukus selama 20 menit. Pengukusan tempe bertujuan untuk mematikan kapang pada tempe sehingga proses fermentasi berhenti dan mengurangi rasa pahit. Pemanasan 60 °C selama 10 menit dapat mematikan bentuk vegetatif kapang, tetapi spora kapang membutuhkan ‘heat shock’ yang lebih tinggi, yaitu sekitar 75-100 °C selama 5 hingga 20 menit (Naim 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang

22 

 

dilakukan oleh Hartoyo (1994), proses pengukusan tempe sebelum dikeringkan dapat menghilangkan rasa pahit pada produk tepung tempe. Menurut Barus (2008), rasa pahit tempe disebabkan oleh kapang yang merupakan mikroorganisme utama yang berperan dalam proses pembuatan tempe. Mikroorganisme yang memiliki aktivitas proteolitik penting dalam proses pembuatan tempe, sebab hidrolisis enzimatik protein kedelai dapat menyebabkan timbulnya rasa pahit akibat pembentukan molekul peptida yang bersifat hidrofobik (Reineccius 1994), yaitu peptida yang memiliki berat molekul sekitar 2.4-3.5 kDa (Kim et al. 2003), dan peptida yang berukuran 2kDa dan 4kDa (Myong et al. 2004). Hasil penelitian Keuth dan Bisping (1994) menyatakan R. oligosporus merupakan jenis kapang yang memiliki aktivitas proteolitik tertinggi dibandingkan dengan R. orizae dan R. stolonifer.

Persiapan bahan selanjutnya yakni pemisahan daging ayam dari tulang dan kulitnya, kemudian dilanjutkan dengan pencucian daging ayam. Menurut Smith (2010), kolagen yang merupakan bagian dari protein stroma banyak ditemukan pada kulit unggas. Pada produk olahan daging, kolagen tersebut harus dihilangkan karena dapat mengganggu fungsi protein miofibril yang mengakibatkan penyusutan produk pada saat dimasak dengan suhu tinggi dan menggangu ikatan antar potongan daging dalam produk (Smith 2010). Pencucian daging ayam bertujuan untuk membersihkan daging ayam dari darah dan kotoran. Selain itu, juga dilakukan penghalusan bawang putih dan bawang bombay. Penghalusan bawang bertujuan untuk mengeluarkan aroma bawang yang berasal dari komponen volatil yang muncul ketika terjadi kerusakan jaringan atau pemotongan sehingga produk yang dihasilkan akan memiliki aroma yang khas.

Proses penggilingan dilakukan menggunakan food processor dengan dua tahap. Tahap penggilingan pertama dilakukan untuk mengekstraksi protein daging ayam. Daging ayam yang telah dicuci kemudian digiling menggunakan food processor dengan ditambahkan serpihan es, garam dan STPP (sebanyak 0.3% dari total daging ayam). Penambahan serpihan es bertujuan melarutkan garam dan STPP, mempertahankan suhu daging pada saat penggilingan sehingga dapat membentuk emulsi daging yang baik. Penggilingan dilakukan selama dua menit bertujuan untuk memaksimalkan emulsi daging ayam. Setelah penggilingan tahap pertama kemudian dilanjutkan dengan penggilingan tahap kedua dengan mencampur tempe, tapioka, putih telur, dan bumbu (bawang putih, bawang bombay, lada, penyedap rasa). Putih telur yang ditambahkan dalam penelitian sebesar 10%. Menurut Evanuarini (2010), penambahan 10% putih telur dalam pembuatan chicken nugget menghasilkan tekstur dan rasa nugget yang baik berdasarkan uji organoleptik. Bahan pengisi yang digunakan pada penelitian ini adalah tapioka sebanyak 10%. Tapioka merupakan salah satu bahan pengisi yang sering digunakan pada nugget ayam. Penggunaan tapioka umumnya 10% dari total bahan (Wibowo 2001). Silvia (2008) menyatakan bahwa nugget tempe yang menggunakan tapioka sebagai bahan pengisi menghasilkan penilaian terbaik berdasarkan uji organoleptik.

Proses selanjutnya yakni pencetakan, pembekuan, dan pemotongan nugget tempe. Pencetakan dilakukan dengan menuangkan adonan nugget tempe di atas plastik kemudian diratakan dan dibuat ketebalan nugget sebesar 1 cm. Setelah itu, nugget dibekukan selama 90 menit. Pembekuan nugget tempe bertujuan mempermudah dalam proses pemotongan nugget dan pelapisan adonan nugget dengan predust, batter dan breader. Setelah pembekuan, adonan nugget tempe dipotong dengan ukuran 3×3 cm.

Tahap berikutnya adalah pelapisan nugget tempe. Pelapisan (coating) terdiri dari tiga tahap, yaitu predust, batter dan breader. Pada tahap predust, potongan nugget tempe dibalur dengan tepung terigu. Tepung terigu merupakan tepung yang sering digunakan sebagai predust. Tahap predust merupakan tahap penting karena berpengaruh terhadap menempelnya batter sehingga mempengaruhi nilai pick up. Tahap selanjutnya yakni pencelupan potongan nugget tempe ke dalam adonan batter. Adonan batter pada penelitian ini terdiri dari tepung terigu, maizena, susu skim, soda kue, garam,

23 

 

bumbu dan air. Proses batter akan membuat permukaan nugget menjadi basah dan lengket sehingga mempermudah tahap breader. Tahap terakhir dalam pelapisan nugget tempe adalah breader. Pada tahap ini, potongan nugget tempe dibalur dengan tepung roti atau bread crumb. Tepung roti yang digunakan adalah tepung roti kasar. Penggunaan tepung roti kasar bertujuan untuk menambah kerenyahan produk nugget tempe.

Pre-frying merupakan tahap selanjutnya setelah proses pelapisan (coating). Pre-frying merupakan tahap penting dalam proses penempelan bahan pelapis (coating) nugget tempe. Pre-frying nugget tempe dilakukan pada suhu 180 °C selama 30 detik menggunakan metode deep fat frying. Metode deep fat frying merupakan metode proses memasak dengan bahan pangan yang terendam di dalam medium minyak sebagai penghantar panas. Proses deep fat frying berlangsung pada suhu tinggi (antara 160-180 °C). Menurut Blumenthal (1996), proses penggorengan deep fat frying memiliki keuntungan seperti bahan pangan goreng lebih mudah diterima secara organoleptik karena menghasilkan rasa yang enak, memiliki permukaan yang renyah, warna yang disukai, dan mouth feel yang diinginkan karena adanya minyak yang terserap. Produk nugget tempe yang telah dilakukan proses pre-frying kemudian dibekukan. Proses pembekuan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan nugget tempe.

1.2 Pemilihan Formula Nugget Tempe

Formulasi terbaik dipilih melalui uji organoleptik terhadap tiga formula nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (70:30, 60:40, dan 50:50). Pengolahan data uji organoleptik formula nugget tempe dapat dilihat pada (Lampiran 6.a-6.h). Hasil uji rating hedonik formula nugget tempe dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil uji rating hedonik formula nugget tempe

Suatu bahan pangan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya baik tidak akan dimakan apabila

memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap warna nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.56-5.97 atau berada pada kisaran agak suka sampai mendekati suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter warna adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam yaitu 60:40 sebesar 5.97. Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 50:50 memiliki rata-rata skor yang tidak jauh berbeda, yaitu 5.90 dan skor terkecil dimiliki oleh nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam yakni 70:30 sebesar 5.56.

4

5

6Warna

Rasa

Aroma

Kekerasan

Kekenyalan

Juiceness

Adhesi coating

Overall

(70:30)

(60:40)

(50:50)

24 

 

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.a) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.001) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna nugget tempe dan diperlukan uji lanjut Duncan. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah tempe, nilai rata-rata penilaian warnanya rendah. Nilai rata-rata yang lebih rendah menunjukkan bahwa warna nugget tempe semakin tidak disukai panelis. Semakin cokelat keemasan warna nugget semakin menunjukkan nilai rata-rata yang lebih besar yang berarti nugget lebih disukai oleh panelis. Berdasarkan uji lanjut Duncan, formulasi (60:40) tidak berbeda nyata dengan formula (50:50). Sedangkan formulasi (70:30) berbeda nyata dengan kedua formula yang lain. Tingkat intensitas warna nugget yang ditimbulkan dipengaruhi oleh lama penggorengan, suhu, dan komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan (Abubakar et al. 2011). Pada proses pre-frying dan frying waktu penggorengan sama yakni 30 detik untuk pre-frying dan 30 detik untuk frying. Oleh karena itu, diduga hal yang mempengaruhi adanya perbedaan warna pada nugget tempe yakni suhu penggorengan yang mengalami fluktuasi sehingga menghasilkan perbedaan warna nugget tempe.

Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk. Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno 1997). Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap rasa nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.00-5.97. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter rasa adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 60:40 dengan rata-rata skor (5.97). Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (50:50 dan 70:30) memiliki rata-rata skor yaitu 5.73 dan 5.00. Hal ini menunjukkan bahwa rasa nugget tempe yang dihasilkan dari semua perlakuan dapat diterima oleh panelis karena berada pada kisaran agak suka sampai mendekati suka.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.b) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.000) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa nugget tempe dan diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan daging ayam dalam nugget tempe mempunyai peranan dalam meningkatkan rasa. Uji lanjut Duncan, menyatakan bahwa formula (70:30) berbeda nyata dengan kedua formula lainnya, sedangkan formulasi (60:40) tidak berbeda nyata dengan formula (50:50). Penambahan daging ayam yang lebih sedikit yakni pada formula (70:30) menunjukkan nilai rata-rata uji organoleptik terhadap rasa nugget tempe yang rendah dan mengalami peningkatan pada formula 60:40 dan 50:50. Namun pada formulasi nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 60:40 memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dari 50:50, tapi tidak berbeda nyata.

Pengujian aroma merupakan salah satu pengujian kesukaan produk pangan. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan indera pembau/penciuman. Winarno (1997) menjelaskan bahwa aroma makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut dan pembauan dapat mengenal enak atau tidaknya suatu makanan. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap aroma nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.43-5.80 atau berada pada kisaran agak suka sampai mendekati suka. Perlakuan nugget tempe yang paling disukai berdasarkan atribut aroma adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam yaitu 50:50 dengan rata-rata skor (5.80). Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (60:40 dan 70:30) memiliki rata-rata skor yaitu 5.74 dan 5.43.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.c) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.027) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma nugget tempe dan diperlukan uji lanjut Duncan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa perbandingan daging ayam yang semakin besar daripada tempe berpengaruh terhadap aroma nugget

25 

 

tempe. Uji lanjut Duncan, menyatakan bahwa formula (70:30) berbeda nyata dengan kedua formula lainnya, sedangkan formulasi (60:40) tidak berbeda nyata dengan formula (50:50).

Penambahan daging ayam mempengaruhi penerimaan terhadap aroma nugget tempe diduga karena aroma khas daging ayam tersebut dapat menutupi aroma khas tempe. Hal ini dapat dilihat pada penerimaan aroma nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 70:30 yang paling rendah, sedangkan 50:50 tertinggi. Selain itu, pada penelitian ini juga ditambahkan penyedap rasa sehingga menghasilkan aroma daging ayam yang lebih tinggi dibandingkan tempe. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penambahan daging ayam yang semakin besar akan meningkatkan penerimaan terhadap aroma nugget tempe yang semakin besar pula.

Kekerasan dan kekenyalan merupakan faktor penting dalam produk nugget. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap kekerasan nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 4.94-5.69, sedangkan kekenyalan nugget tempe berkisar dari 4.97-5.57. Hasil uji organoleptik dengan rating hedonik menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan nugget tempe yang paling disukai adalah nuget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam yaitu 60:40 dengan rata-rata skor kekerasan yaitu 5.69 dan kekenyalan 5.57. Kekerasan dan kekenyalan nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (50:50 dan 70:30) memiliki rata-rata skor kekerasan yaitu 5.66 dan 4.94, sedangkan kekenyalannya memiliki rata-rata skor yaitu 5.54 dan 4.97.

Hasil analisis sidik ragam kekerasan dan kekenyalan (Lampiran 6.d dan Lampiran 6.e) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.000) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini berarti perbandingan tempe dan daging ayam mempengaruhi penerimaan kekerasan dan kekenyalan nugget tempe. Berdasarkan uji lanjut Duncan, formulasi (60:40) tidak berbeda nyata dengan formula (50:50). Sedangkan formula (70:30) berbeda nyata dengan kedua formula lainnya.

Penambahan daging ayam yang lebih besar dari tempe mempengaruhi penerimaan terhadap kekerasan dan kekenyalan nugget tempe diduga karena daging ayam yang ditambahkan akan membentuk tekstur produk nugget tempe yang lebih baik terutama kekerasan dan kekenyalannya dibandingkan tanpa penambahan daging ayam. Berdasarkan pengamatan secara subjektif terhadap nugget tempe tanpa penambahan daging ayam didapatkan tekstur nugget tempe yang lebih keras namun kurang kokoh pada bagian dalam nugget. Oleh sebab itu, penambahan daging ayam diperlukan untuk membentuk tekstur nugget tempe yang lebih baik. Berdasarkan hasil penerimaan organoleptik terhadap kekerasan dan kekenyalan menunjukan bahwa semakin tinggi penambahan daging ayam mempunyai nilai penerimaan yang lebih baik. Hal ini dilihat dari penerimaan kekerasan dan kekenyalan yang rendah pada formula nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 70:30 dibandingkan 60:40 dan 50:50. Formulasi 60:40 memiliki nilai rata-rata penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan 50:50 tapi tidak berbeda nyata.

Juiceness merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya air yang dikeluarkan produk makanan pada saat digigit. Hal ini mempengaruhi rasa dari produk tersebut karena pada saat digigit dan mengeluarkan air maka pada saat itu pula rasa dari produk tersebut dirasakan oleh konsumen. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap juiceness nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 4.86-5.21 atau berada pada kisaran netral sampai agak suka. Hasil uji organoleptik dengan rating hedonik menunjukkan bahwa juiceness nugget tempe yang paling disukai adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam, yaitu 60:40 dengan rata-rata skor (5.21). Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (50:50 dan 70:30) memiliki rata-rata skor, yaitu 5.10 dan 4.86. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.f) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.066) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula

26 

 

perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut juiceness nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini berarti penambahan daging ayam dalam nugget tempe pada setiap perlakuan tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap juiceness nugget tempe.

Adhesi coating merupakan salah satu titik kritis dalam pembuatan nugget. Adhesi coating merupakan daya lekat antara adonan dengan bahan pelapis (coating). Fiszman (2008), menyatakan bahwa adhesi coating yang kurang pada produk coating akan menyebabkan pembentukan rongga antara lapisan coating dengan bahan adonan pada saat produk dimasak yang disebut dengan blow off. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap adhesi coating nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.16-5.46 berarti berada pada kisaran agak suka. Hasil uji organoleptik dengan rating hedonik menunjukkan bahwa adhesi coating nugget tempe yang paling disukai adalah nuget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam yaitu 60:40 dengan rata-rata skor (5.46). Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (50:50 dan 70:30) memiliki rata-rata skor yaitu 5.21 dan 5.16. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.g) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.113) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut adhesi coating nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Penambahan daging ayam tidak berpengaruh terhadap penerimaan adhesi coating nugget tempe. Hal ini disebabkan karena adhesi coating lebih ditentukan oleh predust, batter, breader yang digunakan untuk melapisi nugget tempe. Aplikasi lapisan coating yang baik akan menghasilkan produk nugget tempe yang baik, sehingga lapisan coating akan menempel pada adonan nugget dan tidak akan membentuk blow off ketika produk digoreng.

Pengujian hedonik secara keseluruhan digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk, mencakup warna, rasa, aroma, rasa, dan tekstur. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap keseluruhan nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.17-5.86 berarti berada pada kisaran agak suka sampai mendekati suka. Hasil pengujian organoleptik dengan rating hedonik menunjukkan bahwa keseluruhan nugget tempe yang paling disukai adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam, yaitu 60:40 dengan rata-rata skor (5.86). Nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam (50:50 dan 70:30) memiliki rata-rata skor, yaitu 5.57 dan 5.17. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6.h) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.000) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan nugget tempe sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, formulasi (60:40) tidak berbeda nyata dengan formula (50:50). Sedangkan formula (70:30) berbeda nyata dengan kedua formula lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan daging ayam dalam pembuatan nugget tempe berpengaruh terhadap peneriman keseluruhan. Semakin kecil penambahan daging ayam menghasilkan penerimaan keseluruhan yang lebih kecil. Hal ini dapat dilihat pada formulasi nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 70:30 yang memiliki nilai rata-rata keseluruhan yang lebih kecil. Formula 60:40 memiliki nilai rata-rata keseluruhan yang lebih tinggi dibandingakan 50:50 tapi tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa panelis menerima penambahan tempe yang lebih besar dari ayam dibandingkan dengan tempe dan daging ayam yang jumlahnya seimbang karena kedua formula tersebut tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil uji rating hedonik atribut keseluruhan yang memiliki rata-rata skor tertinggi, maka formulasi nugget tempe yang digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah nugget tempe dengan perbandingan tempe dan daging ayam 60:40.  

27 

 

2. PENELITIAN LANJUTAN

Hidrokoloid dalam produk pangan dapat digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh, pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental (Fardiaz 1989). Sifat atau karakteristik yang dimiliki hidrokoloid dapat mempengaruhi sistem pangan karena memiliki sifat-sifat khusus yang mungkin dibutuhkan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu produk pangan.

Mutu produk pangan dapat didefinisikan sebagai sifat atau faktor yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas dari produk pangan tersebut bagi pembeli atau konsumen. Sifat mutu atau sifat fisik dan organoleptik suatu bahan pangan merupakan salah satu bagian dari unsur mutu yang sangat berpengaruh terhadap mutu produk. Mutu produk nugget tempe yang diamati meliputi mutu fisik nugget tempe, mutu organoleptik nugget tempe, mutu kimia nugget tempe terpilih (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat) dan analisis raw material cost nugget tempe terpilih.

2.1 Mutu Fisik Nugget Tempe

Mutu fisik yang diamati dalam produk nugget tempe yang dihasilkan adalah pick up (predust, batter, breader), cooking loss, breader loss dengan freezee thawing, kekerasan dan kekenyalan. Kekerasan dan kekenyalan nugget tempe diamati dengan menggunakan Texture Profile Analysis.

2.1.1 Pick Up

Pick up merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan jumlah predust, batter, dan

breader yang menempel pada permukaan nugget. Nugget merupakan salah satu produk coating. Terdapat tiga tahap dalam proses coating nugget, yaitu predust, batter, dan breader. Data pick up (predust, batter, dan breader) dapat dilihat pada Lampiran 9.

Predust merupakan lapisan pertama pada saat proses coating nugget. Umumnya predust menggunakan tepung kering, dimana tepung tersebut dilumuri pada adonan nugget yang telah beku atau dikukus. Pada penelitian ini, tepung terigu digunakan sebagai predust. Menurut Chabela dan Sanchez (2010) serta Barbut (2002), predust yang menggunakan tepung dalam produk nugget rata-rata memiliki pick up predust yang mendekati 6%. Pick up predust nugget tempe dalam penelitian ini sudah hampir sesuai dengan teori yakni berkisar antara (5.19±0.44)-(5.82±0.19)%.

Hasil analisis ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi hidrokoloid, serta interaksi antara jenis dan konsentrasi hidrokoloid tidak berpengaruh nyata terhadap pick up predust. Oleh sebab itu tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid tidak berpengaruh terhadap pick up predust. Hal ini diduga karena pick up predust lebih ditentukan pada saat pelumuran adonan nugget tempe dengan tepung terigu. Pada penelitian ini, pelumuran tepung terigu dilakukan satu kali dan diratakan ke semua sisi adonan nugget yang berukuran 3×3×1cm kemudian ditimbang dan dihitung pick up nya. Histogram pick up predust nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.

Batter merupakan lapisan kedua dalam proses coating nugget. Menurut Chabela dan Sanchez (2010) serta Barbut (2002), pick up batter nugget rata-rata mendekati 5%. Pick up batter nugget tempe dalam penelitian ini berkisar antara (20.16  ±1.18)-(23.57±0.12)%. Tingginya nilai pick up batter diduga karena perbedaan bahan yang digunakan pada adonan batter dan viskositas batter nya.

28 

 

Pada penelitian ini, bahan adonan batter terdiri dari tepung terigu, maizena, soda kue, bumbu, garam, susu skim, dan air. Dogan (2004) menyatakan viskositas batter merupakan karakteristik coating kritis yang diduga dipengaruhi oleh sifat aliran batter sebelum penggorengan dan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pick up batter, kenampakan, tekstur dan sifat penanganan produk. Berdasarkan hasil penelitian Vongsawasdi et al. (2008), menyatakan bahwa adonan batter yang memiliki viskositas lebih tinggi menghasilkan pick up batter yang lebih tinggi. Pick up batter tertinggi adalah formulasi nugget tempe dengan penambahan CMC 1% sebesar 23.57% dan terendah pada formulasi nugget tempe dengan penambahan CMC 0.5% sebesar 20.16%.

Gambar 7. Histogram pick up predust nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda

Hasil penelitian pick up batter pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan hasil pick

up batter pada penelitian Adiningsih 2012 berkisar antara (12.54-14.59)%. Hal ini dikarenakan dalam penelitian Adiningsih, tidak ada perlakuan predust pada nugget yang dihasilkan. Menurut Barbut (2002), pembekuan adonan nugget dilakukan sebelum pelapisan coating, sehingga saat akan dilakukan pelapisan coating permukaan adonan nugget tersebut akan terdapat air. Oleh sebab itu, dilakukan pengaplikasian predust terlebih dahulu, karena dapat berfungsi untuk menyerap air yang ada dipermukaan adonan nugget sehingga memudahkan aplikasi batter sehingga jumlah batter yang menempel (pick up batter) akan meningkat. Histogram pick up batter nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram pick up batter nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda

5.19 5.32 5.55 5.79 5.48 5.55 5.82

0

2.5

5

7.5

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5% CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Pick

up

pred

ust (

%)

20.44 20.72 22.32 20.1623.57

20.82 22.53

0

10

20

30

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5% CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Pick

up

batte

r (%

)

29 

 

Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa hanya konsentrasi hidrokoloid yang berpengaruh nyata terhadap pick up batter. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid dengan konsentrasi 0-1% mempengaruhi pick up batter nugget tempe sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid menunjukkan bahwa konsentrasi 1% berbeda nyata dengan konsentrasi 0% dan 0.5% terhadap pick up batter. Namun diduga pengaruh yang lebih besar terhadap nilai pick up batter nugget tempe disebabkan oleh komposisi bahan yang digunakan pada batter dan viskositas adonan yang terbentuk. Tepung merupakan bahan yang memiliki fungsi utama dalam adonan batter yang akan diaplikasikan ke dalam produk fried food. Rheology dan adhesi adonan batter yang terbentuk dipengaruhi oleh jenis pati yang digunakan (Hsia et al. 1992). Dalam formulasi adonan batter komersial, kombinasi tepung terigu, maizena sering digunakan. Pada penelitian ini, adonan batter yang digunakan terdiri dari tepung terigu, maizena, sodium bikarbonat, susu skim, garam, bumbu, dan air. Tepung terigu merupakan komposisi bahan kering yang terbesar dalam pembuatan adonan batter. Kulkarni et al. (1987) melaporkan bahwa salah satu bahan utama dalam pembuatan adonan batter adalah tepung terigu, dimana kualitas adonan yang dihasilkan erat kaitannya dengan kandungan gluten yang terdapat di dalamnya. Parinyasiri dan Chen (1991), menunjukkan bahwa kandungan protein gluten pada tepung terigu berperan penting dalam membentuk kualitas produk yang digoreng dengan deep fat frying. Hal ini dikarenakan proporsi gluten yang besar dalam tepung terigu memberikan efek pengentalan dan pelekatan (adhesi) yang baik pada adonan batter (Robbins 1976).

Breader merupakan tahap terakhir pelapisan coating nugget dengan menggunakan tepung roti (bread crum). Breader merupakan tahap penting dalam produk nugget karena akan menentukan tekstur produk, terutama kerenyahan. Menurut Chabela dan Sanchez (2010) serta Barbut (2002), pick up breader nugget rata-rata mendekati 27%. Pick up breader nugget tempe pada penelitian ini berkisar antara (12.27±0.56)-(14.58  ±0.15)%. Rendahnya nilai pick up breader diduga karena perbedaan jenis dan ukuran bread crumb yang digunakan. Pick up breader tertinggi adalah formulasi nugget tempe dengan penambahan guar gum 1% sebesar 14.58% dan terendah pada formulasi nugget tempe dengan penambahan CMC 0.5% sebesar 12.27%. Pick up breader memiliki nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan hasil pada penelitian Adiningsih (2012) yakni berkisar antara (4.74-7.35)%. Menurut Dogan (2004), peningkatan viskositas batter akan mempengaruhi pick up breader. Batter dengan viskositas tinggi, selain meningkatkan pick up batter juga akan meningkatkan pick up breader. Hal ini sesuai, dimana persen pick up batter pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Adiningsih (2012) sehingga menghasilkan nilai pick up breader yang lebih besar pula.

Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa nilai p-value jenis hidrokoloid, konsentrasi hidrokoloid, dan interaksi jenis dan konsentrasi hidrokoloid memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai α (0.05) sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan penambahan hidrokoloid berpengaruh nyata terhadap pick up breader. Uji lanjut Duncan terhadap jenis hidrokoloid menunjukan bahwa pick up breader nugget tempe yang ditambahkan guar gum berbeda nyata dengan nugget tempe yang ditambahkan natrium alginat dan CMC. Sedangkan pick up breader nugget tempe yang ditambahkan natrium alginat tidak berbeda nyata dengan CMC. Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi menunjukkan pick up breader konsentrasi 1% berbeda nyata dari konsentrasi 0% dan 0.5%. Uji lanjut Duncan terhadap interaksi jenis dan konsentrasi hidrokoloid menunjukkan bahwa pick up breader nugget tempe yang ditambahkan natrium alginat 0%, natrium alginat 0.5%, natrium alginat 1%, guar gum 0%, guar gum 0.5%, CMC 0%, CMC 0.5% berbeda nyata dengan nugget tempe yang ditambahkan CMC 1% dan guar gum 1%. Histogram pick up breader nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.

30 

 

Gambar 9. Histogram pick up breader nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda

Menurut Loewe (1993), umumnya persentase coating pick up terletak antara 30-50%. Total

coating pick up nugget tempe melalui penjumlahan pick up (predust, batter, dan breader) berkisar antara 38.08-42.93%. Tingginya coating pick up ini, diduga disebabkan oleh adonan batter yang digunakan mempunyai viskositas tinggi sehingga meningkatkan pick up batter dan breader. Menurut Sasiela (2004), penggunaan batter dan breader memiliki efek signifikan dalam mengurangi biaya sebesar 20-30%. Batter dan breader juga dapat diformulasikan untuk mengurangi penyerapan minyak selama penggorengan, mengontrol migrasi kelembaban dalam bahan makanan, mencegah oksidasi dari minyak goreng, dan memperbaiki profil nutrisi (Ballard 2003). Hal ini menarik bagi konsumen yang semakin perhatian terhadap masalah kesehatan antara mengkonsumsi makanan yang digoreng (fried food) dan mengurangi asupan lemak.

2.1.2 Cooking Loss Cooking loss atau susut masak merupakan penurunan bobot yang terjadi selama pemasakan.

Cooking loss menunjukkan adanya kehilangan air selama proses pemasakan. Jumlah air dalam produk tidak tetap melainkan berubah bergantung pada perlakuan terhadap produk tersebut (Offer dan Knight 1988). Cooking loss dihitung berdasarkan persentase berat produk nugget setelah digoreng dengan berat sebelum digoreng. Data cooking loss nugget tempe dapat dilihat pada Lampiran 9.

Menurut Wilson et al. (1981), produk olahan daging memiliki cooking quality yang baik jika nilai cooking loss tidak lebih dari 10%. Hasil yang diperoleh pada penelitian menunjukkan bahwa nilai cooking loss kurang dari 10%.  Cooking loss nugget tempe berkisar antara (1.40±0.03)-(2.18±0.22)%. Hasil ini menunjukan nilai cooking loss yang lebih baik jika dibandingkan dengan nugget tempe hasil penelitian Adiningsih (2012), yaitu 18.22-19.85%. Hal ini dikarenakan pada penelitian Adiningsih (2012), nugget tempe yang dibuat tidak ada penambahan STPP. Penggunaan STPP dalam produk olahan daging diketahui dapat menurunkan cooking loss. Selain itu, tidak adanya penambahan hidrokoloid juga mempengaruhi nilai cooking loss. Histogram cooking loss nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda dilihat pada Gambar 10.

Cooking loss atau susut masak sangat dipengaruhi oleh kemampuan protein dalam mengikat air dan lemak. Salah satu manfaat penambahan hidrokoloid adalah mengurangi cooking loss selama pemasakan dan penggorengan pada produk nugget, selain untuk mencegah pemisahan lemak dan mendukung efek emulsifikasi. Hidrokoloid dapat menyerap air yang tinggi sehingga berpengaruh terhadap jumlah keseimbangan air dalam sistem yang masuk dan keluar saat pemasakan. Berdasarkan

12.45 12.57 12.65 12.27 13.52 12.6114.58

0

4

8

12

16

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5% CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Pick

up

brea

der (

%)

31 

 

hasil pengamatan diperoleh persen cooking loss tertinggi terdapat pada formulasi nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid sebesar 2.18% dan terendah pada nugget tempe dengan penambahan natrium alginat 1% sebesar 1.40%. Sampel nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid memiliki nilai cooking loss tertinggi disebabkan oleh kurang baiknya sistem emulsi nugget berbahan dasar tempe yang ditambah daging ayam tersebut. Hal ini mengakibatkan tidak terjadinya ikatan yang cukup kuat pada tempe dan daging ayam untuk menahan keluarnya air pada saat pemasakan dengan suhu 180 °C selama 60 detik, meskipun dalam proses pengolahannya telah ditambahkan garam, STPP, dan putih telur untuk membantu mengikat air di dalam tempe dan daging ayam.

Gambar 10 . Histogram cooking loss nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda

Hasil analisis ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa nilai p-value jenis hidrokoloid dan

interaksi jenis dan konsentrasi hidrokoloid tidak berpengaruh terhadap cooking loss nugget tempe. Cooking loss hanya berpengaruh pada konsentrasi hidrokoloid yang digunakan. Berdasarkan uji lanjut Duncan terlihat bahwa cooking loss tertinggi terdapat pada nugget tempe yang tidak ditambahkan hidrokoloid. Penambahan hidrokoloid dengan konsentrasi 0.5-1% menyebabkan penurunan cooking loss yang berbeda nyata dengan produk tanpa penambahan hidrokoloid. Hasil ini serupa dengan hasil cooking loss meatloaf yang diperoleh pada penelitian Pranoto (2005), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan maka nilai cooking loss produk semakin menurun. Penambahan hidrokoloid dengan konsentrasi 1% menghasilkan nilai cooking loss yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi 0% dan 0.5%. Iskandar (2003) menyatakan bahwa kestabilan sistem emulsi akan meningkat dengan adanya bahan tambahan pangan. Untuk produk emulsi daging, penambahan hidrokoloid yang menghasilkan efek yang optimal pada penurunan cooking loss terjadi pada konsentrasi 1-2%.

Selain itu, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cooking loss adalah viskositas batter. Semakin tinggi viskositas batter akan meningkatkan persen pick up batter dan breader. Semakin tinggi viskositas batter semakin rendah angka cooking loss (Mallikarjunan et al. 2010). Hal ini sudah sesuai dengan hasil yang diperoleh, dimana nugget tempe pada penelitian ini memiliki pick up batter dan breader yang lebih tinggi sehingga cooking loss nugget tempe akan lebih rendah jika dibandingkan dengan cooking loss nugget tempe Adiningsih (2012).

2.181.52 1.4 1.57 1.51 1.75 1.53

00.5

11.5

22.5

3

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5%

CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Coo

king

loss

%

32 

 

2.1.3 Breader Loss dengan Freeze Thawing Nugget memerlukan penyimpanan pada suhu rendah untuk memperpanjang masa simpannya.

Selama penyimpanan mutu nugget akan terus menurun. Menurut Syamsir (2012), ada delapan parameter mutu nugget tempe yang harus diperhatikan, yaitu kondisi pick up, tekstur yang crispy, adhesi (daya lekat) antara bahan utama dengan lapisan coating (predust, batter, breader), blow off, keseragaman warna, pembentukan film yang lebih berhubungan dengan juicy, oil pick up, freeze thaw stability, dan sensori.

Adhesi merupakan kemampuan melekatnya lapisan coating dengan kulit adonan tanpa terjadinya blow off pada saat digoreng. Daya lekat batter atau batter adhesion erat kaitannya dengan penggunaan predust, sedangkan daya lekat breader atau breader adhesion erat kaitannya dengan adonan batter. Predust mempunyai fungsi untuk mengikat air yang ada pada permukaan adonan, membentuk permukaan adonan menjadi kasar, dan dapat meningkatkan daya lekat batter. Daya lekat atau adhesi suatu produk yang di coating dapat ditentukan dari pick up, cooking yield dan cooking loss. Peningkatan daya lekat atau adhesi batter dan breader untuk produk makanan seperti patties dan nugget, akan membantu mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas produk (Hsia et al. 1992).

Pengamatan breader loss pada penelitian ini, digunakan untuk melihat ketahanan daya lekat atau adhesi breader selama proses freeze thawing. Suderman (1979) menyatakan bahwa terdapat pengaruh proses freeze thawing terhadap daya lekat lapisan coating. Oleh sebab itu, pada penelitian ini, dilakukan pengamatan breader loss atau kerontokan bread crumb produk nugget tempe melalui proses freeze thawing. Sampel nugget tempe untuk analisis ini, sebelumnya sudah mengalami pre-frying selama 30 detik. Menurut Hanson dan Fletcher (1963), perlakuan pemasakan awal dapat meningkatkan adhesi atau menempelnya lapisan coating yakni predust, batter, dan breader (bread crumb).

Breader loss atau kerontokan breader (bread crumb) pada penelitian ini dilakukan dalam lima siklus. Menurut Syamsir (2012), produk nugget yang baik adalah produk nugget yang tahan terhadap proses freeze-thaw berulang, minimal tiga siklus. Hal ini disebabkan karena adanya resiko peningkatan suhu produk pada saat penyimpanan, distribusi dan pemasaran. Ketidakstabilan terhadap proses freeze thaw berulang akan menyebabkan mutu produk menjadi rusak. Kerusakan tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kerontokan breader. Selain itu, digunakan mesin ayakan sebagai simulasi kerontokan breader (bread crumb) akibat penyimpanan, distribusi dan pemasaran. Hal ini merujuk pada penelitian Suderman dan Cunningham (1979), dimana produk digetarkan dengan ayakan selama 1 menit untuk melihat stabilitas bread crumb.

Breader loss satu siklus freeze thawing nugget tempe dari berbagai perlakuan berkisar antara (0.14±0.01)-(0.29±0.07)%. Breader loss dua siklus freeze thawing nugget tempe dari berbagai perlakuan berkisar antara (0.13±0.00)-(0.26±0.06)%. Breader loss tiga siklus freeze thawing nugget tempe dari berbagai perlakuan berkisar antara (0.10±0.01)-(0.14±0.03)%. Breader loss empat siklus freeze thawing nugget tempe dari berbagai perlakuan berkisar antara (0.03±0.01)-(0.08±0.01)%. Breader loss lima siklus freeze thawing nugget tempe dari berbagai perlakuan berkisar antara (0.02±0.02)-(0.07±0.01)%. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 14.a-14.e), persen breading loss atau kerontokan breader (bread crumb) dari berbagai perlakuan berbeda nyata pada satu, dua, lima siklus, sedangkan tiga, empat siklus tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid berpengaruh nyata pada persen breading loss hanya pada satu, dua, dan lima siklus freeze thawing. Data breader loss dapat dilihat pada Lampiran 9. Grafik breader loss nugget tempe dapat dilihat pada Gambar 11.

33 

 

Gambar 11. Grafik breader loss nugget tempe

Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya pola breading loss selama lima siklus freeze

thawing yang beragam. Hal ini mungkin berhubungan dengan fraksi pati yang terdapat pada adonan batter. Gelatinisasi pati terjadi karena adanya peningkatan suhu pada proses pemasakan (penggorengan) sehingga terbentuk pasta. Ketika terjadi penurunan suhu, beberapa molekul pati akan berasosiasi kembali membentuk gel. Hal ini terjadi karena terbentuknya kembali interaksi molekuler terutama ikatan hidrogen antar pati yang akan membentuk jaringan tiga dimensi yang disebut fenomena retrogradasi (Hodge dan Osman 1976). Fenomena ini mengakibatkan pengkerutan struktur gel yang biasa diikuti dengan pengeluaran air dari gel atau sineresis. Oleh karena itu, diduga terjadinya retrogradasi pati adonan batter pada nugget yang telah di pre-frying dan mendapatkan perlakuan freeze thawing, selain mengalami sineresis, juga menyebabkan terjadinya pengkerutan gel pada lapisan batter yang memungkinkan terlepasnya breader yang menempel pada batter.

Berdasarkan data yang diperoleh, persen breader loss atau kerontokan breader (bread crumb) nugget tempe menunjukkan bahwa semua sampel memiliki nilai persen tertinggi pada satu siklus dan mengalami penurunan pada dua siklus dan lima siklus menunjukan nilai persen breader loss yang kecil. Hal ini mungkin terjadi karena gel pati yang terdapat pada batter yang mengalami freeze thawing berulang mengalami peningkatan rigiditas dan elastisitas pasta dengan terbentuknya formasi jaringan spons. Hal ini mengakibatkan air dapat terjaga dalam matriks pasta atau terjadi reabsorpsi gel. Abera dan Rakshit (2003) menyatakan bahwa reabsorpsi terjadi ketika sudah terbentuknya porous pada gel. Hal inilah yang menyebabkan sineresis pada gel akan menurun dan mungkin dapat mengurangi breader loss atau kerontokan breader (bread crumb).

Menurut Kimber dan Holding (1987), daya lekat lapisan coating (coating adhesion) merupakan masalah utama yang berhubungan dengan adonan batter. Masalah yang ditimbulkan jika penggunaan batter yang kurang baik antara lain terjadi rontoknya atau hilangnya lapisan terluar dari coating yakni breader (bread crumb) yang mungkin terjadi selama proses pengolahan, tranportasi, dan penggunaan akhir dan menimbulkan kurang terikatnya antara lapisan coating dengan substrat (adonan nugget) sehingga dapat menimbulkan blow off pada produk saat digoreng. Menurut Loewe (1993), rontoknya bread crumb dari lapisan batter pada produk yang telah dikemas dan disimpan dalam freezer, hanya menjadikannya sebagai komponen yang tidak akan digunakan atau diolah olah konsumen. Oleh karena itu, penggunaan adonan batter harus diperhatikan, jika adonan batter tidak

00.030.060.090.120.150.180.210.240.270.3

0 1 2 3 4 5

0%

Natrium alginat 0,5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5%

CMC 1%

Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

34 

 

baik, bukan hanya tidak ekonomis dari segi produksi, tapi juga akan menghasilkan produk yang kurang menarik dari segi visual karena kurang baiknya daya lekat lapisan coating dengan adonan.

2.1.4 Kekerasan dan Kekenyalan Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Kadang-kadang

tekstur lebih penting dibandingkan bau, rasa, dan warna karena mempengaruhi citra makanan. Tekstur merupakan faktor yang paling penting pada makanan yang lunak dan renyah. Ciri yang paling sering dijadikan acuan adalah kekerasan, kekohesifan, dan kandungan air. Pengujian tekstur secara fisik meliputi kekerasan dan elastisitas (Syartiwidya 2003). Pengukuran kekerasan dan kekenyalan nugget tempe pada penelitian ini menggunakan instrumen Texture Analyzer dengan pengujian berupa Texture Profile Analysis.

Kekerasan didefinisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan produk yang diinginkan (Ranggana 1986). Kekerasan juga didefinisikan sebagai sifat produk pangan yang menunjukkan daya tahan atau pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Andarwulan et al. 2011). Tekstur merupakan unsur mutu yang penting pada produk olahan daging. Kelembutan (tenderness), firmness, dan sliceability pada produk akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Kekerasan pada penelitian ini dinyatakan dengan besarnya gaya (nilai puncak) yang terjadi pada saat penekanan pertama nugget tempe. Semakin besar gaya yang diperlukan, maka semakin keras nugget tempe tersebut.

Hasil pengukuran menunjukkan penambahan hidrokoloid pada produk nugget tempe akan meningkatkan nilai kekerasan. Nilai kekerasan nugget tempe pada penelitian ini berkisar antara (2607.43±42.67)-(4926.70±77.15) gf. Hasil pengukuran kekerasan menunjukkan bahwa nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid (0%) memiliki tingkat paling rendah dibandingkan produk nugget tempe yang ditambahkan hidrokoloid. Penambahan hidrokoloid dengan konsentrasi 1% memiliki tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 0.5% pada semua jenis hidrokoloid yang ditambahkan. Semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid, maka semakin tinggi pula kekerasan nugget tempe. Hasil ini serupa dengan hasil kekerasan meatloaf yang diperoleh pada penelitian Pranoto (2005) dan kekerasan sosis pada penelitian Anggarini (2005), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan maka nilai kekerasan produk semakin meningkat. Data kekerasan nugget tempe dapat dilihat pada Lampiran 9. Histogram kekerasan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 12.

Hasil analisis ragam (Lampiran 15) menunjukkan jenis hidrokoloid, konsentrasi hidrokoloid dan interaksi jenis dan konsentrasi hidrokoloid menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap nilai kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid berpengaruh terhadap kekerasan nugget tempe. Natrium alginat memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi, sedangkan guar gum memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian Santana et al (2012) yang menyatakan bahwa kekerasan gel surimi yang ditambahkan guar gum memiliki nilai kekerasan terkecil dibandingkan dengan natrium alginat, CMC, karagenan, pektin, dan xanthan gum. Selain itu juga, hasil penelitian Montero et al. (2000) menunjukan bahwa nilai kekerasan blue whiting gell yang ditambahkan guar gum lebih rendah dibandingkan yang ditambahkan natrium alginat dan karagenan. Hal ini mungkin terjadi karena adanya interaksi antara hidrokoloid dengan protein pada saat penggilingan adonan nugget. Interaksi hidrokoloid-protein dipengaruhi oleh kekuatan ionik. Menurut Hadiwiyoto (2011), penggunaan hidrokoloid ionik dalam sistem emulsi produk olahan daging lebih baik jika dibandingkan dengan hidrokoloid non-ionik. Hal ini disebabkan penggunaan hidrokoloid

35 

 

ionik tidak menyebabkan pemisahan fase eksternal dan fase internal. Pada penelitian ini hidrokoloid yang bersifat ionik seperti natrium alginat dan CMC, sedangkan guar gum bersifat non-ionik.

.

Gambar 12. Histogram kekerasan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoid yang berbeda

Uji lanjut terhadap jenis hidrokoloid menunjukkan bahwa natrium alginat berbeda nyata

dengan CMC dan guar gum. Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid menunjukkan bahwa nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid (0%) berbeda nyata dengan konsentrasi 0.5% dan 1%. Penambahan hidrokoloid dengan konsentrasi 0.5% dan 1% dapat meningkatkan nilai kekerasan nugget tempe dibandingkan tanpa penambahan hidrokoloid (0%). Uji lanjut Duncan terhadap interaksi jenis dengan konsentrasi hidrokoloid menunjukkan natrium alginat 1% memiliki nilai kekerasan tertinggi dan berbeda nyata dengan sampel yang lainnya.  

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kekerasan nugget tempe yang berbeda jika dibandingkan pada penelitian Adiningsih (2012) yaitu berkisar antara (2697.10-4370.53) gf. Hal ini mungkin disebabkan oleh penambahan daging ayam, hidrokoloid, dan bahan pengisi yang digunakan. Pada penelitian ini, bahan pengisi yang digunakan hanya tapioka, sedangkan pada penelitian Adiningsih (2012) menggunakan tapioka, terigu dan sagu.

Tingkat kekerasan nugget dipengaruhi oleh kandungan air yang terdapat dalam produk (Setyowati 2002). Semakin banyak air yang terkandung dalam produk maka kekerasan produk semakin menurun. Menurut (Garbutt 1997), hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas dalam bahan pangan. Hal ini dikarenakan fungsi hidrokoloid yang dapat mengikat air. Selain itu, peningkatan konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan menyebabkan jumlah air yang terdapat pada sistem pangan menjadi sedikit karena air terserap ke dalam struktur molekul hidrokoloid. Oleh sebab itu, semakin meningkat konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan maka semakin meningkat kekerasannya. Offer dan Knight (1988) menyatakan bahwa jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan berpengaruh pada tekstur, juiceness dan tingkat kekerasan.

Kekenyalan atau elastisitas adalah sifat fisik produk yang menggambarkan daya tahan produk untuk lepas atau pecah oleh adanya gaya tekan (Andarwulan et al. 2011). Sifat kenyal atau elastis merupakan sifat reologi pada produk pangan plastis yang bersifat deformasi. Kekenyalan nugget tempe pada penelitian ini diukur dari jarak yang ditempuh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai gaya maksimum dibandingkan dengan jarak yang ditempuh produk pada tekanan pertama sehingga memperoleh nilai maksimumnya.

Hasil pengukuran terhadap kekenyalan nugget tempe memiliki kecenderungan yang serupa dengan pengukuran tingkat kekerasan nugget tempe, yaitu meningkatnya konsentrasi hidrokoloid dapat meningkatkan nilai kekenyalannya. Semua jenis hidrokoloid yang ditambahkan dengan

2607.433809.05

4926.70

3326.00 3613.48 3216.45 3408.08

0100020003000400050006000

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5%

CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Kek

eras

an

36 

 

konsentrasi 1% menghasilkan tingkat kekenyalan terbesar dibandingkan konsentrasi 0% dan 0.5%, sedangkan nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid (0%) memiliki nilai kekenyalan terendah. Nilai kekenyalan nugget tempe berkisar antara (0.68±0.01)-(0.73±0.01). Data kekenyalan nugget tempe dapat dilihat pada Lampiran 9. Histogram kekenyalan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid dengan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Histogram kekenyalan nugget tempe dengan penambahan jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang berbeda

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kekenyalan dipengaruhi oleh

konsentrasi hidrokoloid yang digunakan. Uji lanjut Duncan menunjukkan penambahan konsentrasi hidrokoloid 1% berbeda nyata dengan konsentrasi 0% dan 0.5%. Hasil ini serupa dengan hasil kekenyalan meatloaf yang diperoleh pada penelitian Pranoto (2005) dan kekenyalan bakso pada penelitian Muhibuddin (2005), dimana hanya konsentrasi hidrokoloid yang berpengaruh terhadap kekenyalan produk, semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan maka nilai kekenyalan produk meningkat. Menurut Sianipar (2003), faktor utama yang mempengaruhi kekenyalan pada nugget adalah penggunaan bahan pengikat. Salah satu fungsi hidrokoloid adalah sebagai pengikat air. Oleh sebab itu, nugget tempe yang ditambahkan hidrokoloid akan memiliki kekenyalan yang tinggi.

Hasil kekenyalan pada penelitian ini menunjukkan tidak terjadi peningkatan nilai kekenyalan berdasarkan hasil penelitian Adiningsih (2012) yang berkisar antara 0.68-0.77. Hal ini diduga oleh penggunaan tepung sebagai bahan pengisi yang juga dapat mempengaruhi nilai kekenyalan nugget. Bahan pengisi yang digunakan pada penelitian ini adalah tapioka, sedangkan pada penelitian Adiningsih (2012) yakni tapioka, terigu, dan sagu. Menurut Tanikawa (1971), bahan pengisi berfungsi meningkatkan elastisitas dan membentuk tekstur yang padat. Selain itu, penambahan bahan pengisi dapat meningkatkan daya mengikat air dan mengabsorbsi air hingga dua kali lipat dari berat semula (de Man 1997). 

2.2 Mutu Organoleptik Nugget Tempe

Daya terima suatu produk antara lain dapat ditentukan secara organoleptik, yaitu dengan cara melihat warna, mencium aroma, mencicipi, walaupun hasil penilaiannya bersifat subjektif. Uji organoleptik dilakukan dengan uji rating hedonik terhadap delapan parameter, yaitu warna, rasa, aroma, kekerasan, kekenyalan, juiceness, adhesi coating, dan keseluruhan. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perlakuan nugget tempe dengan penambahan tiga jenis hidrokoloid (natrium alginat, CMC, guar gum) dengan konsentrasi (0%, 0.5%, dan 1%) terhadap kesukaan panelis dari delapan parameter penilaian. Kemudian satu penilaian tertinggi berdasarkan parameter keseluruhan

0.68 0.71 0.73 0.70 0.71 0.69 0.71

0.000.250.500.751.00

0% Natrium alginat 0.5%

Natrium alginat 1%

CMC 0.5%

CMC 1% Guar gum 0.5%

Guar gum 1%

Kek

enya

lan

37 

 

akan digunakan untuk analisis mutu kimia dan analisis raw material cost. Skala penilaian yang digunakan memiliki rentang 1-7, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), dan 7 (sangat suka). Hasil uji rating hedonik formula nugget tempe dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hasil uji rating hedonik nugget tempe pada penelitian lanjutan

Warna merupakan salah satu parameter mutu yang dapat diukur oleh indera manusia. Warna

merupakan komponen yang cukup penting dari suatu produk pangan dan dapat mempengaruhi penilaian konsumen terhadap mutu produk. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap warna nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.73-6.00 atau berada pada kisaran agak suka sampai suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter warna adalah nuget tempe dengan penambahan CMC 0.5%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.a) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.512) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut warna nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hasil ini mennjukkan panelis tidak melihat adanya perbedaan warna antara masing-masing perlakuan atau dengan kata lain penambahan hidrokoloid tidak mempengaruhi warna produk nugget tempe. Hal ini dimungkinkan karena tiap jenis hidrokoloid yang ditambahkan memiliki warna netral (putih) sehingga tidak mempengaruhi penampakan produk nugget tempe pada bagian dalam.

Warna nugget yang disukai panelis pada bagian luar adalah cokelat keemasan. Warna nugget sangat dipengaruhi oleh proses penggorengan. Leo dan Nollet (2007) menyatakan bahwa bahan pangan yang digoreng mempunyai permukaan luar berwarna coklat keemasan. Munculnya warna ini disebabkan karena reaksi Maillard. Tingkat intensitas warna yang ditimbulkan dipengaruhi oleh lama penggorengan, suhu, dan komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan. Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap warna antara masing-masing perlakuan diduga oleh penggunaan suhu penggorengan dan pelapisan coating (predust, batter, breader) yang sama sehingga tidak mempengaruhi penampakan warna bagian luar dari nugget tempe.

Rasa merupakan salah satu sifat mutu organoleptik yang penting dari produk pangan dan sangat menentukan tingkat penerimaan panelis terhadap produk tersebut, meskipun suatu produk pangan dinilai bermutu tinggi dari segi fisik, kimia, dan gizi. Apabila memiliki rasa yang kurang enak

4

5

6Warna

Rasa

Aroma

Kekerasan

Kekenyalan

Juiceness

Adhesi coating

Keseluruhan

Nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid (0%)

Nugget tempe dengan penambahan natrium alginat 0.5%

Nugget tempe dengan penambahan natrium alginat 1%

Nugget tempe dengan penambahan cmc 0.5%

Nugget tempe dengan penambahan cmc 1%

Nugget tempe dengan penambahan guar gum 0.5%

Nugget tempe dengan penambahan guar gum 1%

38 

 

dan tidak mebangkitkan selera maka tidak akan ada artinya bagi konsumen. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap rasa nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.00-5.46 atau berada pada kisaran agak suka sampai mendekati suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter rasa adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.b) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.118) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut rasa nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid tidak berpengaruh terhadap rasa antara masing-masing perlakuan. Hal ini diduga kerena hidrokoloid bersifat odorless/netral sehingga tidak berpengaruh terhadap rasa produk yang dihasilkan.

Aroma merupakan atribut penting dalam menilai suatu produk pangan. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap aroma nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.00-5.33 atau berada pada agak suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter aroma adalah nugget tempe dengan penambahan guar gum 0.5%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.c) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.301) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut aroma nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid tidak berpengaruh terhadap aroma antara masing-masing perlakuan. Hal ini diduga kerena hidrokoloid bersifat odorless/netral sehingga tidak berpengaruh terhadap aroma produk yang dihasilkan.

Kekerasan dan kekenyalan merupakan salah satu parameter mutu tekstur nugget. Kekerasan didefinisikan sebagai sifat produk pangan yang menunjukkan daya tahan atau pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Andarwulan et al. 2011). Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap kekerasan nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 4.70-5.30 atau berada pada kisaran netral sampai agak suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter kekerasan adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.d) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.041) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut kekerasan nugget tempe sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan CMC 1% pada nugget tempe memiliki nilai kesukaan tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan nugget tempe yang ditambahkan guar gum 0.5% namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Penelitian Szczesniak (2002) menunjukkan adanya korelasi yang baik antara pengukuran instrumental dengan penilaian secara sensori/organoleptik. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid berpengaruh terhadap kekerasan antara masing-masing perlakuan. Hal ini sesuai dengan pengujian kekerasan nugget tempe secara objektif menggunakan alat TPA, dimana jenis dan konsentrasi hidrokoloid berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan nugget tempe yang terukur. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi nilai kekerasan nugget tempe yang terukur dengan TPA. Hasil analisis organoleptik bila dikaitkan dengan data TPA menunjukkan bahwa nugget tempe yang disukai panelis adalah yang nilai kekerasan relatif tinggi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kesukaan panelis terhadap kekerasan nugget tempe seiring dengan meningkatnya konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan.

Kekenyalan merupakan sifat produk pangan dalam hal daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan (Soekarto 1990). Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap kekenyalan nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 4.64-5.19 atau berada pada kisaran netral sampai agak suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter kekenyalan adalah nugget tempe dengan

39 

 

penambahan CMC 1%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.e) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.036) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut kekenyalan nugget tempe sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan CMC 1% pada nugget tempe memiliki nilai kesukaan tertinggi. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa penambahan hidrokoloid berpengaruh terhadap kekenyalan antara masing-masing perlakuan. Hal ini sesuai dengan pengujian kekenyalan nugget tempe secara objektif menggunakan alat TPA. Semakin tinggi konsentrasi masing-masing jenis hidrokoloid yang ditambahkan, maka nilai kekenyalannya semakin meningkat. Hasil pengujian organoleptik bila dikaitkan dengan data TPA menunjukkan bahwa nugget tempe yang disukai panelis memiliki nilai kekenyalan yang relatif tinggi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kesukaan panelis terhadap kekenyalan nugget tempe seiring dengan meningkatnya konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan.

Tingkat juiceness nugget tempe menunjukkan kesan basah di mulut saat dikunyah. Juiceness erat kaitannya dengan jumlah air yang terdapat dalam nugget tempe. Semakin banyak kandungan air yang terdapat dalam nugget tempe maka semakin juicy nugget tempe tersebut. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap juiceness nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 4.63-5.09 atau berada pada kisaran netral sampai agak suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter juiceness adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.f) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.129) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut juiceness nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hasil ini berarti panelis tidak melihat adanya perbedaan juiceness antara masing-masing perlakuan atau dengan kata lain penambahan hidrokoloid tidak mempengaruhi juiceness produk nugget tempe.

Adhesi coating merupakan salah satu parameter penting untuk menentukan mutu produk nugget. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap adhesi coating nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.37-5.54 atau berada pada agak suka. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter adhesi coating adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.g) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.761) lebih besar dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis untuk atribut adhesi coating nugget tempe sehingga tidak diperlukan uji lanjut Duncan. Hasil ini berarti panelis tidak melihat adanya perbedaan adhesi coating antara masing-masing perlakuan atau dengan kata lain penambahan hidrokoloid tidak mempengaruhi adhesi coating produk nugget tempe. Hal ini mungkin disebabkan karena adhesi coating lebih ditentukan oleh predust, batter, breader yang digunakan untuk melapisi nugget tempe. Aplikasi lapisan coating yang baik akan menghasilkan produk nugget tempe yang baik, sehingga lapisan coating akan menempel pada adonan nugget dan tidak akan membentuk blow off ketika produk digoreng.

Pengujian hedonik secara keseluruhan digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk yang mencakup atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Pemilihan produk terpilih nugget tempe dapat diketahui dengan pengujian keseluruhan. Nilai rata-rata pengujian organoleptik terhadap keseluruhan nugget tempe dengan rating hedonik berkisar dari 5.00-5.44 atau berada pada agak suka. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8.h) menunjukkan bahwa nilai signifikansi perlakuan (0.046) lebih kecil dari taraf signifikansi yang digunakan (0.05) yang menunjukkan bahwa perbedaan formula perlakuan berpengaruh nyata terhadap

40 

 

tingkat kesukaan panelis untuk atribut keseluruhan nugget tempe sehingga diperlukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan CMC 1% pada nugget tempe memiliki nilai keseluruhan tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan nugget tempe yang ditambahkan guar gum 0.5% dan natrium alginat 1% namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan panelis melihat adanya perbedaan keseluruhan antara masing-masing perlakuan atau dengan kata lain penambahan hidrokoloid mempengaruhi penilaian keseluruhan produk nugget tempe. Perlakuan yang paling disukai berdasarkan parameter keseluruhan adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1%. Berdasarkan hasil parameter keseluruhan tersebut maka nugget tempe dengan penambahan CMC 1% merupakan nugget tempe terpilih yang akan digunakan untuk analisis mutu kimia dan analisis raw material cost.

2.3 Mutu Kimia Nugget Tempe

Analisis proksimat nugget dilakukan pada tempe yang digunakan sebagai bahan baku dan formula nugget tempe terpilih berdasarkan uji organoleptik dengan rating hedonik. Formula nugget tempe dengan penambahan CMC 1% merupakan formula terpilih karena mempunyai skor keseluruhan tertinggi yang kemudian digunakan untuk analisis proksimatnya. Hasil rekapitulasi data analisis proksimat tempe dan nugget tempe dapat dilihat pada Lampiran 17-26 dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi proksimat tempe dan nugget tempe

Parameter Tempe %bb

Nugget tempe terpilih

%bb

SNI tempe kedelai* (%bb)

SNI nugget ayam** (%bb)

Nugget komersial***

(%bb)

Kadar air 65. 12 49.47 Maks 65 Maks 60 51.88 Kadar abu 0.64 1.84 Maks 1.5 - 2.46 Kadar protein 16.00 12.62 Min 16 Min 12 9.66 Kadar lemak 8.45 15.51 Min 10 Maks 20 16.59 Kadar karbohidrat 8.44 20.57 - Maks 25 19.54 Sumber: * SNI 3144-2009

** SNI 01-6683-2002 ***Nugget Komersial pada penelitian Mughniza 2003

Air merupakan komponen terpenting dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi kualitas

suatu produk pangan. Kandungan air dalam produk pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 1997). Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam reaksi perusakan bahan pangan, baik yang segar maupun yang diawetkan. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat produk menjadi lebih awet.

Tempe merupakan produk pangan yang mudah mengalami kerusakan. Tempe segar memiliki kadar air dan aktivitas air yang tinggi. Menurut Syarief et al. (1999), tempe memiliki kadar air cukup besar yakni (55-65%) serta mengandung mikrob yang terus menerus melakukan perubahan sehingga tempe tidak dapat disimpan lama. Hasil analisis kadar air tempe menunjukkan nilai yang melebihi batas SNI tempe sebesar 65.12 (%bb). Hal ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan bahan baku atau varietas kedelai yang digunakan. Kadar air nugget tempe terpilih 49.47 (%bb) telah memenuhi prasyarat nugget ayam, yaitu kadar air maksimal 60 (%bb). Kadar air yang diperoleh lebih kecil bila

41 

 

dibandingkan dengan nugget komersial dalam penelitian Mughniza (2003), yaitu 51.82 (%bb). Hal ini mungkin terjadi karena adanya penambahan CMC sebanyak 1% yang dapat mengikat air sehingga kandungan air bebas dalam produk pangan tersebut menurun.

Bahan makanan selain mengandung bahan organik dan air, juga mengandung mineral atau bahan-bahan anorganik. Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan (Andarwulan et al. 2011). Kadar abu yang terdapat dalam bahan pangan menunjukkan kadar mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Hasil analisis kadar abu tempe 0.64 (%bb) memenuhi prasyarat yang ditentukan SNI tempe kedelai maksimal 1.5 (%bb). Kadar air nugget tempe sebesar 1.84 (%bb). Kadar abu nugget tempe lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu tempe. Peningkatan ini disebabkan adanya penambahan bahan lain dalam pembuatan nugget tempe. Pada SNI nugget ayam tidak diatur standar kadar abu yang harus terdapat pada nugget. Namun, kadar abu nugget tempe yang diperoleh lebih kecil dari nugget komersial dalam penelitian Mughniza (2003) yaitu 2.46 (%bb). Hal ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan bahan baku, bahan pengisi, dan pengikat serta bahan tambahan yang digunakan seperti penyedap rasa.

Tempe merupakan bahan pangan yang tinggi akan protein dengan susunan asam amino esensial yang lengkap. Berdasarkan hasil analisis, kandungan protein tempe yang digunakan dalam penelitian sebesar 16.00 (%bb). Kandungan protein tersebut sudah memenuhi prasyarat SNI tempe kedelai minimal 16 (%bb). Kadar protein nugget tempe sebesar 12.62 (%bb). Kadar protein nugget tempe melebihi batas SNI nugget ayam maksimal 12 (%bb). Selain itu, kadar protein nugget tempe yang diperoleh lebih besar dari nugget komersial dalam penelitian Mughniza (2003), yaitu 9.66 (%bb).

Menurut Karmini dan Briawan (2004), suatu produk pangan diklaim sebagai produk pangan sumber suatu zat gizi dengan persyaratan 10%-19%. Acuan Label Gizi (ALG) per 100 gram dalam bentuk padat per sajian. Berdasarkan keputusan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Nomor HK.00.05.52.6291 tahun 2007 tentang Acuan Label Gizi, Acuan Label Gizi untuk protein sebesar 60 gram bagi kategori umum. Berdasarkan ALB, protein yang harus dipenuhi pertakaran saji untuk kelompok konsumen umum sehingga dapat dikatakan sebagai sumber protein adalah 10-19% dari 60 garam protein sebesar 6-11.4 gram. Kandungan protein nugget tempe terpilih adalah sebesar 12.62 (%bb), sehingga produk nugget tempe ini dapat diklaim sebagai produk pangan yang tinggi sumber protein. Berat satu buah nugget tempe ± 13 gram per potong, sehingga untuk menuhi kebutuhan pangan sumber protein nugget yang harus dikonsumsi untuk kategori umum sebanyak 8 buah nugget.

Kadar lemak tempe yang dihasilkan yakni sebesar 8.45 (%bb). Kadar lemak tempe yang dihasilkan tidak memenuhi syarat kadar lemak pada SNI tempe kedelai yakni sebesar minimal 10 (%bb). Hal ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan bahan baku atau varietas kedelai yang digunakan. Syarief et al. (1999), menyatakan bahwa selama fermentasi tempe terjadi penurunan kadar lemak sebesar 25% dan terjadi peningkatan jumlah asam lemak esensial terutama asam linoleat yang cukup tinggi. Selama fermentasi terbentuk enzim lipase pada tempe yang menghidrolisis sebagian lemak kedelai dan meningkatkan 30% atau 50-70 kali asam lemak bebas dibandingkan bentuk kedelai, serta menurunkan gliserida dari 22.3% menjadi 11.5%. Asam lemak yang terdapat pada tempe tergolong asam lemak esensial, seperti linoleic acid, oleic acid, linolenic acid, dan palmitic acid. Kadar lemak nugget tempe yang dihasilkan sebesar 15.51 (%bb). Hasil analisis kadar lemak nugget tempe telah memenuhi prasyarat yang ditentukan SNI nugget ayam maksimal 20 (%bb). Selain itu, kadar lemak nugget tempe yang diperoleh lebih kecil jika dibandingkan dengan nugget komersial

42 

 

dalam penelitian Mughniza (2003), yaitu 16.59 (%bb). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan bahan baku yang digunakan.

Karbohidrat selain sebagai sumber energi utama juga berperan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, dan tekstur (Winarno 1997). Berdasarkan hasil analisis, kadar karbohidrat tempe sebesar 8.44 (%bb). Pada SNI tempe kedelai tidak diatur standar kadar karbohidrat yang harus terdapat pada tempe. Kadar karbohidrat nugget tempe yakni sebesar 20.57 (%bb). Kadar karbohidrat nugget tempe lebih tinggi dibandingkan dengan kadar karbohidrat tempe. Peningkatan ini disebabkan adanya penambahan bahan lain dalam pembuatan nugget tempe seperti tapioka dan CMC. Kadar karbohidrat nugget tempe tidak memenuhi syarat kadar karbohidrat yang disyaratkan SNI nugget ayam yaitu sebesar maksimal 25 (%bb). Selain itu, kadar karohidrat nugget tempe yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan dengan nugget komersial dalam penelitian Mughniza (2003) yaitu 19.54 (%bb).

2.4 Analisis Raw Material Cost Produk nugget tempe terpilih berdasarkan penilaian kesukaan panelis yakni nugget tempe

dengan penambahan CMC 1%, kemudian dilakukan analisis raw material cost nya. Rincian biaya pemakaian untuk pembuatan nugget tempe terpilih dapat dilihat pada Lampiran 27. Berdasarkan rincian biaya tersebut, untuk membuat 1000 gram nugget tempe terpilih membutuhkan biaya sebesar Rp. 28,600. Standar raw material cost ratio industri untuk mendapatkan profit yang dapat menunjang kelayakan usahanya yakni sebesar 0.6. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada Lampiran 27, harga 1000 gram nugget tempe pada penelitian ini akan sesuai dengan standar raw material cost ratio industri yakni sebesar Rp. Rp. 47,667. Harga 1000 gram nugget tempe ini lebih rendah jika dibandingkan dengan harga 1000 gram nugget ayam komersil yang berkisar antara Rp. 58,000 sampai dengan Rp. 80,000. Rendahnya harga nugget tempe ini, mungkin disebabkan dengan adanya penggunaan tempe sebagai bahan baku yang lebih besar dibandingkan ayam. Selain itu, juga ditunjang dengan harga tempe yang lebih murah jika dibandingkan dengan daging ayam.

43 

 

V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN

Proses pembuatan nugget tempe dilakukan dengan beberapa tahap yaitu persiapan bahan, penggilingan dan pencampuran bahan, pencetakan, pembekuan, pemotongan, pelapisan (pedust, batter, breader), pre-frying, dan pembekuan. Formulasi dasar terpilih yaitu tempe 60%, tapioka 10%, putih telur 10%, bawang putih 1.3%, bawang bombay 1.3%, lada 0.5%, garam 1.4%, penyedap rasa 0.5%, serpihan es 15% dengan basis 100 g bahan baku. Melalui basis 60 gram tempe kemudian dilakukan penambahan daging ayam. Perbandingan tempe dan daging ayam 60:40 merupakan formula terpilih berdasarkan penilaian kesukaan panelis dengan nilai rata-rata setiap parameter yaitu: warna sebesar 5.97 (mendekati suka), rasa sebesar 5.97 (mendekati suka), aroma sebesar 5.74 (mendekati suka), kekerasan 5.69 sebesar (mendekati suka), kekenyalan sebesar 5.57 (mendekati suka), juiceness sebesar 5.21 (agak suka), adhesi coating sebesar 5.46 (agak suka), keseluruhan sebesar 5.86 (mendekati suka).

Mutu fisik nugget tempe menunjukkan bahwa nilai pick up predust nugget tempe berkisar antara (5.19±0.44)-(5.82±0.19)%. Pick up batter nugget tempe berkisar antara (20.16 ±1.18)-(23.57±0.12)%. Pick up breader nugget tempe berkisar antara (12.27±0.56)-(14.58 ±0.15)%. Cooking loss nugget tempe berkisar antara (1.40±0.03)-(2.18±0.22)%. Persen breader loss atau kerontokan breader (bread crumb) nugget tempe menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki nilai persen tertinggi pada satu siklus dan mengalami penurunan pada dua siklus dan lima siklus menunjukkan nilai persen breader loss terkecil. Nilai kekerasan nugget tempe berkisar antara (2607.43±42.67)-(4926.70±77.15) gf. Nilai kekenyalan nugget tempe berkisar antara (0.68±0.01)-(0.73±0.01). Mutu organoleptik nugget tempe menunjukkan bahwa formula nuget tempe yang paling disukai oleh panelis adalah nugget tempe dengan penambahan CMC 1% dengan nilai rata-rata setiap parameter yaitu: warna sebesar 5.84 (mendekati suka), rasa sebesar 5.46 (agak suka), aroma sebesar 5.29 (agak suka), kekerasan 5.30 sebesar (agak suka), kekenyalan sebesar 5.19 (agak suka), juiceness sebesar 5.09 (agak suka), adhesi coating sebesar 5.54 (mendekati suka), keseluruhan sebesar 5.44 (agak suka). Hasil analisis mutu kimia nugget tempe terpilih memiliki kadar air sebesar 49.47 (%bb), kadar abu sebesar 1.84 (%bb), kadar protein sebesar 12.62 (%bb), kadar lemak sebesar 15.51 (%bb), kadar karbohidrat sebesar 20.57 (%bb). Hasil analisis kimia nugget tempe terpilih telah memenuhi persyaratan SNI nugget ayam dan nugget tempe ini memiliki kandungan protein yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan SNI nugget ayam dan nugget komersial. Hasil analisis raw material cost menunjukkan bahwa harga 1000 gram nugget tempe terpilih lebih rendah jika dibandingkan dengan harga nugget ayam komersial yakni sebesar Rp. 47,667.

B. SARAN

Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah penentuan umur simpan produk, metode pengemasan produk dan uji kelayakan (feasibility study) produk untuk dikembangkan menjadi bisnis atau usaha. Selain itu, hasil penelitian ini hanya terbatas pada tiga jenis hidrokoloid, sehingga dapat dilakukan penelitian pada jenis hidrokoloid lain yang ada dipasaran.

44 

 

DAFTAR PUSTAKA Abera, S, Rakshit K. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava

starch extracted from fresh root and dry chips. Starch/ Stärke 55: 287-296. Abubakar, Suryati T, Azzis A. 2011. Pengaruh penambahan karagenan terhadap sifat fisik, kimia dan

palatabilitas nugget daging itik lokal (anas platyrynchos). Bogor: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Adawiyah DR, Waysima. 2009. Buku Ajar Evaluasi Sensori Produk Pangan. Ed ke-1. Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Adiningsih NR. 2012. Evaluasi kualitas nugget tempe dengan berbagai varietas kedelai [skripsi].

Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alamsyah Y. 2007. Aneka Nugget Sehat Dan Lezat. Jakarta: Agro Media Pustaka. Albert A, Munuera IP, Quiles A, Salvador A. 2009. Improvement of crunchiness of battered fish

nugget. Eur Food Res Technol 228(6): 923-930. and selected soy products. Dalam: J Food Chem 115:1350-1356.

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat. Anggarini D. 2005. Mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi serat terhadap mutu sosis [skripsi].

Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2011. Indonesia finance today: malindo bentuk anak usaha pengolahan makanan. http:

//www.ipotnews.com [11 April 2012]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 960.52. Modified, Chapter 12.1.07, p7. Apriadji W. 2001. Makanan beku siap saji. (www. Sedap-sekejap.com). [20 Februari 2012]. Apriliyani A. 2004. Sifat fisik, kimia dan organoleptik nugget daging itik mandalung dengan

penambahan tepung tempe [skripsi]. Bogor: Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

ASEAN-Canada Fisheries. 1994. Production of Battered and Breded Fish Products from Minced Fish

and Surimi. Post-Harvest Technology Project-Pahse II. Astuti M. 2001. Antioxidant properties of tempe. In: Agranoff J (ed). 2001. The Complete Handbook

of Tempe. The Unique Fermented Soyfood of Indonesia Second Edition. Singapore: American Soybean Association.

45 

 

Ballard T. 2003. Application of edible coatings in maintaining crispness of breaded fried foods. Masters Thesis. Virginia Polytechnic Institute and State University. In: Mallikarjunan P, Ngadi MO, and Chinnan MS. 2010. Breaded Fried Foods. Boca Raton: CRC Press.

Barbut S. 2002. Poultry Products Processing An Industry Guide. New York: CRC Press. Barus T. 2008. Peran komunitas bakteri dalam pembentukan rasa pahit pada tempe: analisis

mikrobiologi dan terminal restriction fragment length polymorphism (t-rflp) [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Blumenthal MM. 1996. Frying technology. In: Hui YH (ed). Bailey’s Industrial Oil and Fat

Technology; Edible Oil and Fat Product and Application Technology. 4th ed. New York: Wiley Intersience Publication.

Brata-Arbai AM. 2001. Cholesterol lowering effect of tempe. In: Agranoff J (ed). The Complete Handbook of Tempe. The Unique Fermented Soyfood of Indonesia Second Edition. Singapore: American Soybean Association.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional Indonesia.2002. SNI 01-6683-2002 tentang Nuget Ayam (Chicken Nugget). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional Indonesia.2009. SNI 3144-2009 tentang Tempe Kedelai. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.

Chabela MLP, Sanchez AT. 2010. Breaded products (nugget). In: Legarreta IG, Hui YH (eds). 2010. Handbook of Poultry Science and Technology (2nd Ed). USA: John Willey & Sons Inc.

Damayanti E, Mudjajanto ES. 1995. Teknologi Makanan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah, Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan non Teknik II.

deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Bandung: Penerit ITB. Dogan SF. 2004. Effects of different batter formulations on quality of deep-fat fried chicken nuggets

[thesis]. Turki: Departemen of Food Engineering, Faculty of Engineering, Middle East Technical University.

Evanuarini H. 2010. Kualitas chicken nuggets dengan penambahan putih telur. Jurnal Ilmu dan

Teknologi Hasil Ternak Hal: 17-23 Vol 5 No 2. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas

Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practise. 2nd ed. England, Cambridge:

Woodhead Publ, Lim. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker.

46 

 

Fiszman, S. M. (2008). Quality of battered or breaded products. In: S. Sahin, S. G. Sunnu (eds). Advances In Deep Fat Frying Of Foods. Boca Raton: CRC Press., pp 243-261.

Food Chemical Codex. 1981. Food Chemical Codex. Washington, D.C: National Academy Press. Fox JE. 1992. Seed gums in thickening and gelling agents for food. In: Nussinovitch, A. 1997.

Hydrocolloids Application: Gum Technology in The Food and Other Industries. London: Blackie Academic & Professional.

Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London: Arnold. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloid. Volume II. Boca Raton Florida: CRC Press Inc. Hadiwiyoto S. 2011. Product meat emulsion.

http://www.foodreview.biz/preview.php?view2&id=56552#.UR7wFK5Ngk8 [18 Desember 2012]

Hanson HL, Fletcher LR. 1963. Adhesion of coatings on frozen fried chicken. In: Seeley FL. 1981.

Adhesion of coating to broiler drumstick [master thesis]. Manhattan, Kansas: Food Science Program, Department of Animal Sciences and Industry, Kansas State University.

Haron H, Ismail A, Azlan A, Shahar S, Peng LS. 2009. Daidzein and genistein contents in tempeh Hartoyo LK. 1994. Usaha mengurangi rasa pahit pada tepung tempe dari bahan mentah tempe kedelai

produksi beberapa perajin tempe di Bogor [thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hermana, Karmini M, Karyadi D. 2001. Composition and nutrition value of tempe: Its Role in The

Improvement of The Nutritional Value of Food. In: Agranoff J (ed). The Complete Handook of Tempe. Singapore: American Soyean Association.

Hikmawati M. 2012. Karakteristik nugget dari ikan dumbo (Clarias sp) dengan bahan pengisi dan pelapis dari talasbogor [thesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Hodge G.E. dan Osman E.M. 1976. Carbohydrate. In: O.R. Fennema (ed.). Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.

Hsia HY, Smith DM, Steffe JF. 1992. Rheological propertiesand adhesion characteristics of flour-

based batters for chickennuggets as affected by three hydrocolloids. In: Yusnita H, Wan Aida WM, Maskat MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

Hyeronymus. 1993. Membuat Tahu dan Tempe. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Iskandar A. 2003. Mempelajari pengaruh isolat protein kedelai sebagai bahan pengisi terhadap mutu

fisik dan organoleptik meat loaf [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

47 

 

Karmini M, Briawan D. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Di dalam : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI.

Karyadi D, Mahmud M, Hermana. 2001. Composition and nutritional value of tempe. In: Agranoff J (ed). The Complete Handbook of Tempe. The Unique Fermented Soyfood of Indonesia Second Edition. Singapore: American Soybean Association.

Keuth S, Bisping B. 1994. Vitamin b12 production by citrobacter freundii or klebsiella pneumoniae during tempeh fermentation and proof of enterotoxin absence by pcr. J appl Environ Microbiol 60:1495-1499.

Kim MR, Kawamura Y, Lee CH. 2003. Isolation and identification of bitter peptides of tryptic

hydrolysate of soybean 11s glycinin by reverse-phase hogh-performance liquid chromatography. J Food Sci 68:2416-2422.

Kimber MP, Holding S. 1987. Some technological aspects of batter. In: Yusnita H, Wan Aida WM,

Maskat MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

Klose Rdan Glicksman. 1972. Gums. In: Furia TE (ed). Handbook of food Additives. 2nd ed. Ohio:

CRC press Inc, volume 1 p 296-310 Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kramlich WE. 1971. Processed Meat. USA, Connectitut: The AVI Publ. Co. Inc. Kulkarni RG, Ponte TGJR, Kulp K. 1987. Significance of gluten content as an index of flour quality.

In: Yusnita H, Wan Aida WM, Maskat MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

Laga A. 2001. Produksi silodekstrin menggunakan substrat tapioka terlikuifasi dengan aseptor

minimal [disertasi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Leo M, Nollet L. 2007. Handbook of Meat Poultry and Seafood Quality. Blackwell Publishing John

Willey & Son, Inc. Liu K. 1997. Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. New York: Chapman & Hall. Loewe R. 1993. Role of ingredients in batter systems. Cereal Foods World 38(9): 673-677. Mallikarjunan P, Ngadi MO, and Chinnan MS. 2010. Breaded Fried Foods. Boca Raton: CRC Press. Mantell CL.1974. The Water Soluble Gums. New York: Reinhold.

48 

 

Mc. Hugh DJ. 2008. Production, properties and uses alginates. In: Production and utilization of products from commercial seaweeds. FAO Corporate Document Repository: http://www.fao.org/docrep/006/y4765e08.htm. 45 p. [31 Maret 2012].

Mine Y dan Nolan JK. 2006. Egg as nutritional and functional food ingredients. In: Hui YH (ed).

2006. Handbook of Science and Technology, and Engineering Volume 2. New York: CRC Press.

Montero P, Hurtado JL, Mateos MP. 2000. Microstructural behaviour and gelling characteristics

protein gel interacring with hydrocolloids. In: Santani P, Huda , Yang TA. 2012. Gel characteristic of surimi powder added with hydrocolloids. Malaysia: UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management Juli 2012.

Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Mughniza N. 2003. Mempelajari subtitusi tempe terhadap mutu protein nugget ayam (chicken nugget)

[skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Muhibuddin. 2007. Mempelajari pengaruh penambahan jenis dan konsentrasi serat terhadap mutu

produk bakso sapi [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Myong JC, Unklesbay N, Hsieh FH, Clarke AD. 2004. Hydrophobicity of bitter peptides from soy

protein hydrolysates. J Agri Food Chem 52: 5895-5901. Naim R. 2003. Endospora: aspek kesehatan, industri pangan. http://www.kompas.com. [27 April

2011]. Nout MJR, FM Rambout. 1990. A Review: Recent developments in tempe research. J of Apllied

Bacteriology 69: 609-633. Nussinovitch A. 1997. Hydrocolloids Application: Gum Technology in The Food and Other

Industries. London: Blackie Academic & Professional. Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th ed. Dept. of Animal Science. Center, New York:

The Ohio State University and The Agricultural Research and Development. Offer G, Knight P. 1988. The structural basis of WHC in meat. Elsevier Applied Science. Onsoyen I. 1992. Alginates. In: Imeson, A. (ed). Thickening and Gelling Agents for Food. London:

Blackie Academic and Profesional.

49 

 

Osburn WN dan Keeton JT,. 2010. Formed and emulsion product. In: Owen CM, Alvarado CZ, Sams A. (eds). Poultry meat processing. 2nd ed. Boca Raton: CRC press.

Owens CM. 2010. Coated poultry product. In: Owens CM, Alvarado CZ, Sams AR. (eds). Poultry

Meat Processing. Florida: CRC Press hlm. 279-293. Parinyasiri T, Chen TC. (1991). Yields and breading dispersion of chicken nuggets during deep-fat

frying as affected by protein content of breading flour. In: Yusnita H, Wan Aida WM, Maskat MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

[Persagi] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2008. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, Gramedia.

Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO, Roma. Italy.Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tataniaganya. Jakarta : Penebar Swadaya.

Pranoto WH. 2005. Mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi serat terhadap mutu produk meat loaf

[skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ranggana, S. 1986. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Products.

New Delhi: Tata Mc Graw Publ. Co. Ltd. Reineccius G. 1994. Source Book of Flavor. New York: Chapman & Hall. Rinaldi. 1992. Pembuatan isolat protein miofibril dari ikan hiu lanyam (carcharinus limbatus) serta

aplikasinya dalam pembuatan sosis [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tataniaganya. Jakarta: Penebar Swadaya. Robbins PB. 1976. Convenience Foods, Recent Technology. In: Yusnita H, Wan Aida WM, Maskat

MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

Santana P, Huda , Yang TA. 2012. Gel characteristic of surimi powder added with hydrocolloids.

Malaysia: UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management Juli 2012.

Sarwono B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta: Penebar Swadaya. Sasiela, R.J. 2004. Technology of coating and frying food products. In: Gupta MK, Warner K, and

White PJ (eds). Frying Technology And Practices. Urbana, IL: AOCS Press.

50 

 

Setyowati, M.T. 2002. Sifat fisik, kimia dan palatabilitas nugget kelinci, sapi, ayam yang menggunakan berbagai tingkat konsentrasi tepung maizena. [skripsi]. Bogor: Departemen IlmuProduksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sianipar, D.T. 2003. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia

serta palatabilitas fish nugget dari daging merah ikan tuna (thunnus obesus). [skripsi]. Bogor: Departen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Silvia M. 2008. Karakteristik dan sifat organoleptik nugget tempe dengan berbagai bahan

pengisi.[skripsi]. Padang: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas. Smith DM. 2010. Functional properties of muscle proteins in processed poultry products. In: Owens

CM, Alvarado CZ, Sams AR. (eds). Poultry Meat Processing. Florida: CRC Press hlm. 231-243.

Soekarto ST. 1990. Penilian Organoleptik. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Steinkraus KH, Yap BH, Buren JPV, Providenti MI, Hand DB. 1960. Studies of tempeh, an

Indonesian fermented soybean food. Food Research 25 (6): 777-788. Stelzer GI dan ED Klug. 1980. Carboxymethylcellulose, in Handbook of Water Soluble Gums and

Resins. New York: Mc Graw-Hill, pp. 4.1-4.28. Suderman DR, Cunningham FE. 1979. New portable sieve shaker tage breading adhesion. In: Seeley

FL. 1981. Adhesion of coating to broiler drumstick [master thesis]. Manhattan, Kansas: Food Science Program, Department of Animal Sciences and Industry, Kansas State University.

Suderman DR. 1979. Factore affecting the adhesion of coating to poultry skin. In: Seeley FL. 1981.

Adhesion of coating to broiler drumstick [master thesis]. Manhattan, Kansas: Food Science Program, Department of Animal Sciences and Industry, Kansas State University.

Sudigbia PI. 1996. Tempe dalam penatalaksanaan diare anak. In: Sapuan, Soetrisno N (eds). Bunga

Rampai Tempe Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Tempe Indonesia, hal 85-96. Syamsir E. 2012. Mutu produk nugget dan parameter-parameter proses yang mempengaruhinya.

http://ilmupangan.blogspot.com/2012/03/6-mutu-produk-nugget-dan-parameter.html [10 Agustus 2012].

Syarief R, Hermanianto J, Hariyadi P, Wiraatmaja S, Suliantari, Syah D, Suyatma NE, Saragih YP,

Arisasmita JH, Kuswardani I, Astuti M. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala.

51 

 

Syartiwidya. 2003. Kajian tekstur dan perubahan mikrostruktur nugget ikan selama pengolahan dan penyimpanan [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Szczesniak AS. 2002. Texture is a sensory property. Food Quality and Preference 13(2002) 215–225. Tanikawa E. 1971. Marine Product In Japan. Tokyo: Koseikaku Co., Ltd. Tanoto, E. 1994. Pengolahan fish sosis dari ikan tenggiri (scomberomorus commersoni) [skripsi].

Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Varnam AH, Sutherland JP. 1994. Milk and Milk Product Technology, Chemistry, and Microbiology.

London: Chapman and Hall. Vongsawasdi P, Nopharatana M, Srisuwatchree W, Pasukcharoenying S, Wongkitcharoen N. 2008.

Using modified starch to decrease the oil absorption in fried battered chicken. As. J. Food Ag-Ind., 1(03), 174-183.

Wegenknecht AG, Mattick LR, Lewin LM, Hand DH, Steinkraus KH. 1961. Changes in soybean

lipids during tempeh fermentation. J Food Sci 26 : 373-376. Wibowo S. 2001. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya. In: Gumilar

J, Rachmawan O, Nurdyanti W. Kualitas fisikokimia naget ayam yang menggunakan filler tepung suweg (Amorphophallus campanulatus B1). Jurnal Ilmu Ternak Vol 11 No 1 Hal 1-5.

Williams. 2000. Handbook of Hydrocolloid. CRC Press Wilson NRP, Dyett EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat Product. London: Applied

Science publ. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: PAU IPB. Yanti J. 2005. Sifat kimia dan organoleptik nugget daging sapi dengan substitusi tempe [skripsi].

Bogor: Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Yusnita H, Wan Aida WM, Maskat MY, Aminah A. 2007. Processing performance of coated chicken

wings as affected by wheat, rice, and sago flours using response surface methodology. Int J Food Sci Technol 41(5): 535-542.

52 

 

LAMPIRAN

53 

 

Lampiran 1. Formula nugget tempe Bahan Jumlah (gram) Tempe 73 Tapioka 4 Terigu 4 Sagu 4 Putih telur 8 Bawang putih 2 Bawang Bombay 2 Lada 1 Garam 1 Penyedap rasa 1 Total (gram) 100

Adiningsih (2012) Lampiran 2. Formula dasar nugget tempe hasil modifikasi

Bahan Jumlah (gram) Tempe 60 Tapioka 10 Putih telur 10 Bawang putih 1.3 Bawang Bombay 1.3 Lada 0.5 Garam 1.4 Penyedap rasa 0.5 Serpihan es 15 Total (gram) 100

Lampiran 3. Formulasi batter

Bahan Jumlah (gram) Terigu 58.8 Maizena 19.6 Susu skim 15 Sodium bikarbonat (soda kue) 3.1 Garam 1.5 Bumbu (lada, bawang bombay, bawang putih, penyedap rasa)

2

Air 160 ml

 

 

54 

 

Lampiran 4. Setting alat texture analyzer

Parameter Setting Mode TPA Pre test speed 1 mm/s Test speed 1 mm/s Post test speed 1 mm/s Rupture test dist 1 % Distance 30 % Force 0.98 N Time 5 second Count 5 Trigger type Auto 0.10 N Force Newton Distance % Strain

Lampiran 5. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) nugget tempe

Nama : No. Hp : Tanggal : Produk : Nugget Tempe PETUNJUK Dihadapan anda terdapat tiga sampel nugget tempe. Anda diminta untuk menilai masing-masing sampel dari parameter warna, aroma, kekerasan, kekenyalan, juiceness, adhesi coating, keseluruhan. Pengujian sampel dimulai dari sebelah kiri dan tanpa membandingkan antar sampel. Setiap selesai pengujian terhadap satu sampel, netralkan mulut anda dengan berkumur air yang telah disediakan.

Parameter Kode sampel

Warna Rasa Aroma Kekerasan Kekenyalan Juiceness Adhesi coating Keseluruhan

Komentar:........................................................................................ Keterangan : 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = Netral 5 = Agak suka 6 = Suka 7 = Sangat suka

 

55 

 

Lampiran 6.a. Analisis sidik ragam warna formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effect

Dependent Variable:Warna

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 7197.533a 72 99.966 201.489 .000

Panelis 103.048 69 1.493 3.010 .000

Perlakuan 6.867 2 3.433 6.920 .001

Error 68.467 138 .496

Total 7266.000 210

a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,986)

Warna

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 5.56

Formula_50:50 70 5.90

Formula_60:40 70 5.97

Sig. 1.000 .550

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,496.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

56 

 

Lampiran 6.b. Analisis sidik ragam rasa formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Rasa

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6673.448a 72 92.687 105.228 .000

Panelis 130.233 69 1.887 2.143 .000

Perlakuan 35.781 2 17.890 20.311 .000

Error 121.552 138 .881

Total 6795.000 210

a. R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,973)

Rasa

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 5.00

Formula_50:50 70 5.73

Formula_60:40 70 5.97

Sig. 1.000 .128

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,881.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

 

 

 

57 

 

Lampiran 6.c. Analisis sidik ragam aroma formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Aroma

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6856.267a 72 95.226 126.682 .000

Panelis 129.981 69 1.884 2.506 .000

Perlakuan 5.600 2 2.800 3.725 .027

Error 103.733 138 .752

Total 6960.000 210

a. R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,977)

Aroma

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 5.43

Formula_60:40 70 5.74

Formula_50:50 70 5.80

Sig. 1.000 .697

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,752.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

 

 

 

58 

 

Lampiran 6.d. Analisis sidik ragam kekerasan formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kekerasan

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6304.133a 72 87.557 85.171 .000

Panelis 90.762 69 1.315 1.280 .112

Perlakuan 24.800 2 12.400 12.062 .000

Error 141.867 138 1.028

Total 6446.000 210

a. R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,967)

Kekerasan

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 4.94

Formula_50:50 70 5.66

Formula_60:40 70 5.69

Sig. 1.000 .868

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,028.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

 

 

 

59 

 

Lampiran 6.e. Analisis sidik ragam kekenyalan formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kekenyalan

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6200.705a 72 86.121 87.843 .000

Panelis 147.162 69 2.133 2.175 .000

Perlakuan 16.038 2 8.019 8.179 .000

Error 135.295 138 .980

Total 6336.000 210

a. R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,968)

Kekenyalan

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 4.97

Formula_50:50 70 5.54

Formula_60:40 70 5.57

Sig. 1.000 .865

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,980.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

Lampiran 6.f. Analisis sidik ragam juiceness formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Juiceness

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 5591.990a 72 77.667 92.389 .000

Panelis 216.648 69 3.140 3.735 .000

Perlakuan 4.657 2 2.329 2.770 .066

Error 116.010 138 .841

Total 5708.000 210

a. R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)

60 

 

Lampiran 6.g. Analisis sidik ragam adhesi coating formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Adhesi coating

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6033.552a 72 83.799 104.704 .000

Panelis 183.981 69 2.666 3.332 .000

Perlakuan 3.552 2 1.776 2.219 .113

Error 110.448 138 .800

Total 6144.000 210

a. R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,973)

Lampiran 6.h. Analisis sidik ragam keseluruhan formula nugget tempe

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Keseluruhan

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 6550.610a 72 90.981 116.913 .000

Panelis 104.267 69 1.511 1.942 .001

Perlakuan 16.610 2 8.305 10.672 .000

Error 107.390 138 .778

Total 6658.000 210

a. R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,975)

Keseluruhan

Duncana,,b

Perlakuan N

Subset

1 2

Formula_70:30 70 5.17

Formula_50:50 70 5.57

Formula_60:40 70 5.86

Sig. 1.000 .057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,778.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000.

b. Alpha = 0,05.

61 

 

Lampiran 7. Formulir uji organoleptik (rating hedonik) nugget tempe pada penelitian

lanjutan

Nama : No. Hp : Tanggal : Produk : Nugget Tempe PETUNJUK Dihadapan anda terdapat tiga Perlakuan nugget tempe. Anda diminta untuk menilai masing-masing Perlakuan dari parameter warna, aroma, kekerasan, kekenyalan, juiceness, adhesi coating, keseluruhan (overall). Pengujian Perlakuan dimulai dari sebelah kiri dan tanpa membandingkan antar Perlakuan. Setiap selesai pengujian terhadap satu Perlakuan, netralkan mulut anda dengan berkumur air yang telah disediakan.

Parameter Kode Perlakuan

Warna Rasa Aroma Kekerasan Kekenyalan Juiceness Adhesi coating Keseluruhan (overall)

Komentar:........................................................................................ Keterangan : 1 = Sangat tidak suka 2 = Tidak suka 3 = Agak tidak suka 4 = Netral 5 = Agak suka 6 = Suka 7 = Sangat suka

 

 

 

 

62 

 

Lampiran 8.a. Analisis sidik ragam warna nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Warna

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 17135.441a 76 225.466 359.621 .000 Panelis 310.427 69 4.499 7.176 .000 Perlakuan 3.298 6 .550 .877 .512 Error 259.559 414 .627 Total 17395.000 490 a. R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,982)

Lampiran 8.b. Analisis sidik ragam rasa nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Rasa

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Model 13678.012a 76 179.974 153.315 .000 Panelis 353.927 69 5.129 4.370 .000 Perlakuan

12.012 6 2.002 1.705 .118

Error 485.988 414 1.174 Total 14164.000 490 a. R Squared = ,966 (Adjusted R Squared = ,959)

Lampiran 8.c. Analisis sidik ragam aroma nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Aroma

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 13521.800a 76 177.918 217.153 .000 Panelis 338.957 69 4.912 5.996 .000 Perlakuan 5.943 6 .990 1.209 .301 Error 339.200 414 .819 Total 13861.000 490 a. R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,971)

 

 

63 

 

Lampiran 8.d. Analisis sidik ragam kekerasan nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 12279.784a 76 161.576 145.035 .000 Panelis 303.284 69 4.395 3.945 .000 Perlakuan 14.784 6 2.464 2.212 .041 Error 461.216 414 1.114 Total 12741.000 490 a. R Squared = ,964 (Adjusted R Squared = ,957)

Kekerasan

Duncan Perlakuan N Subset

1 2 Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC0.5% 70 4.70 Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat0.5% 70 4.83 Nugget_tempe_tanpa_penambahan_hidrokoloid _0% 70 4.89 Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat1% 70 4.91 Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum1% 70 4.93 Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum0.5% 70 5.03 5.03Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC1% 70 5.30Sig. .110 .129Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,114. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = 0,05.

64 

 

Lampiran 8.e. Analisis sidik ragam kekenyalan nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekenyalan Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 12153.482a 76 159.914 125.502 .000 Panelis 332.010 69 4.812 3.776 .000 Perlakuan 17.339 6 2.890 2.268 .036 Error 527.518 414 1.274 Total 12681.000 490 a. R Squared = ,958 (Adjusted R Squared = ,951)

Kekenyalan

Duncan Perlakuan N Subset

1 2 Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC0.5% 70 4.64 Nugget_tempe_tanpa_penambahan_hidrokoloid_0% 70 4.67 Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat1% 70 4.89 4.89Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum1% 70 4.91 4.91Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat0.5% 70 4.94 4.94Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum0.5% 70 5.11Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC1% 70 5.19Sig. .166 .166Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1,274. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = 0,05.

Lampiran 8.f. Analisis sidik ragam juiceness nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Juiceness Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 11804.429a 76 155.321 142.714 .000 Panelis 436.671 69 6.329 5.815 .000 Perlakuan 10.857 6 1.810 1.663 .129 Error 450.571 414 1.088 Total 12255.000 490 a. R Squared = ,963 (Adjusted R Squared = ,956)

 

65 

 

Lampiran 8.g. Analisis sidik ragam adhesi coating nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Adhesi_coating

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 14703.849a 76 193.472 416.845 .000 Panelis 283.992 69 4.116 8.868 .000 Perlakuan 1.563 6 .261 .561 .761 Error 192.151 414 .464 Total 14896.000 490 a. R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,985)

Lampiran 8.h. Analisis sidik ragam keseluruhan nugget tempe pada penelitian lanjutan

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Keseluruhan Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 13221.192a 76 173.963 206.477 .000 Panelis 229.706 69 3.329 3.951 .000 Perlakuan 10.906 6 1.818 2.157 .046 Error 348.808 414 .843 Total 13570.000 490 a. R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,970)

Keseluruhan

Duncan Perlakuan N Subset

1 2 Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC0.5% 70 5.00 Nugget_tempe_ tanpa_penambahan_hidrokoloid_0% 70 5.04 Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat0.5% 70 5.04 Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum1% 70 5.07 Nugget_tempe_dengan_penambahan_natrium_alginat1% 70 5.14 5.14Nugget_tempe_dengan_penambahan_guar_gum0.5% 70 5.29 5.29Nugget_tempe_dengan_penambahan_CMC1% 70 5.44Sig. .110 .068Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,843. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 70,000. b. Alpha = 0,05.

66 

 

Lampiran 9. Data mutu fisik nugget tempe

Parameter Nugget tempe Ulangan 1 Ulangan2 Rata-rata SD

Pick up predust

A 5.4952 4.8782 5.19 0.44 B 5.1026 5.5442 5.32 0.31 C 5.4094 5.6818 5.55 0.19 D 5.7234 5.8482 5.79 0.09 E 5.6818 5.2778 5.48 0.29 F 5.7471 5.3477 5.55 0.28 G 5.9532 5.6826 5.82 0.19

Pick up batter

A 21.351 19.535 20.44 1.28 B 20.39 21.05 20.72 0.47 C 22.053 22.581 22.32 0.37 D 19.324 20.995 20.16 1.18 E 23.656 23.484 23.57 0.12 F 23.37 18.275 20.82 3.60 G 22.475 22.583 22.53 0.08

Pick up breader

A 12.443 12.452 12.45 0.01 B 12.498 12.638 12.57 0.10 C 13.023 12.281 12.65 0.52 D 12.667 11.872 12.27 0.56 E 13.478 13.568 13.52 0.06 F 12.335 12.876 12.61 0.38 G 14.68 14.471 14.58 0.15

Cooking loss

A 2.0221 2.3389 2.18 0.22 B 1.4676 1.5727 1.52 0.07 C 1.4242 1.3759 1.40 0.03 D 1.4074 1.7246 1.57 0.22 E 1.6133 1.4087 1.51 0.14 F 1.9944 1.4983 1.75 0.35 G 1.6237 1.4359 1.53 0.13

Kekerasan

A 2577.25 2637.60 2607.43 42.67 B 3805.10 3813.00 3809.05 5.59 C 4872.15 4981.25 4926.70 77.15 D 3369.40 3282.60 3326.00 61.38 E 3724.10 3502.85 3613.48 156.45 F 3212.10 3220.80 3216.45 6.15 G 3256.40 3559.75 3408.08 214.50

Kekenyalan

A 0.6833 0.6680 0.68 0.01 B 0.7236 0.6967 0.71 0.02 C 0.7339 0.7197 0.73 0.01 D 0.7151 0.6756 0.70 0.03 E 0.6875 0.7254 0.71 0.03 F 0.6971 0.6917 0.69 0.00 G 0.7430 0.6749 0.71 0.05

67 

 

Lampiran 9. Data mutu fisik nugget tempe (lanjutan)

Parameter Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD

Breader loss

A (siklus1) 0.2338 0.3384 0.29 0.07 A (siklus2) 0.2174 0.2972 0.26 0.06 A (siklus3) 0.1157 0.1567 0.14 0.03 A (siklus4) 0.0707 0.0914 0.08 0.01 A (siklus5) 0.0649 0.0800 0.07 0.01 B (siklus1) 0.2474 0.3107 0.28 0.04 B (siklus2) 0.2562 0.2498 0.25 0.00 B (siklus3) 0.1410 0.1456 0.14 0.00 B (siklus4) 0.0363 0.0862 0.06 0.04 B (siklus5) 0.0620 0.0634 0.06 0.00 C (siklus1) 0.1682 0.1741 0.17 0.00 C (siklus2) 0.1093 0.1722 0.14 0.04 C (siklus3) 0.0951 0.1159 0.11 0.01 C (siklus4) 0.0436 0.0263 0.03 0.01 C (siklus5) 0.0447 0.0236 0.03 0.01 D (siklus1) 0.2638 0.2960 0.28 0.02 D (siklus2) 0.1906 0.1426 0.17 0.03 D (siklus3) 0.1158 0.1028 0.11 0.01 D (siklus4) 0.0483 0.0720 0.06 0.02 D (siklus5) 0.0294 0.0740 0.05 0.03 E (siklus1) 0.1402 0.1312 0.14 0.01 E (siklus2) 0.1320 0.1300 0.13 0.00 E (siklus3) 0.1002 0.1182 0.11 0.01 E (siklus4) 0.0775 0.0837 0.08 0.00 E (siklus5) 0.0311 0.0319 0.03 0.00 F (siklus1) 0.1782 0.2752 0.23 0.07 F (siklus2) 0.1931 0.2509 0.22 0.04 F (siklus3) 0.0924 0.1434 0.12 0.04 F (siklus4) 0.0566 0.0371 0.05 0.01 F (siklus5) 0.0392 0.0111 0.03 0.02 G (siklus1) 0.2319 0.1990 0.22 0.02 G (siklus2) 0.2023 0.1091 0.16 0.07 G (siklus3) 0.1013 0.0908 0.10 0.01 G (siklus4) 0.0635 0.0606 0.06 0.00 G (siklus5 ) 0.0392 0.0111 0.02 0.02

Keterangan: A: nugget tempe tanpa penambahan hidrokoloid (0%) B: nugget tempe dengan penambahan natrium alginat 0.5% C: nugget tempe dengan penambahan natrium alginat 1% D: nugget tempe dengan penambahan CMC 0.5% E: nugget tempe dengan penambahan CMC 1% F: nugget tempe dengan penambahan guar gum 0.5% G: nugget tempe dengan penambahan guar gum 0.5%

68 

 

Lampiran 10. Analisis sidik ragam pick up predust nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.98324666 0.12290583 1.21 0.3868

Error 9 0.91140754 0.10126750

Corrected Total 17 1.89465420

R-Square Coeff Var Root MSE respon3 Mean

0.518958 5.837811 0.318226 5.451111

Lampiran 11. Analisis sidik ragam pick up batter nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 23.51802278 2.93975285 1.34 0.3333

Error 9 19.70023300 2.18891478

Corrected Total 17 43.21825578

R-Square Coeff Var Root MSE respon4 Mean

0.544169 6.955180 1.479498 21.27189

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

jenis 2 0.16030011 0.08015006 0.04 0.9642

konsen 2 21.20944311 10.60472156 4.84 0.0373

jenis*konsen 4 2.14827956 0.53706989 0.25 0.9054

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

jenis 2 0.09189896 0.04594948 0.45 0.6490

konsen 2 0.64083808 0.32041904 3.16 0.0911

jenis*konsen 4 0.25050961 0.06262740 0.62 0.6606

69 

 

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi

Lampiran 12. Analisis sidik ragam pick up breader nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 8.86068500 1.10758563 12.89 0.0004

Error 9 0.77344700 0.08593856

Corrected Total 17 9.63413200

Uji lanjut Duncan terhadap jenis hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 22.8053 6 1

B 20.5673 6 0.5

B

B 20.4430 6 0

R-Square Coeff Var Root MSE respon5 Mean

0.919718 2.283596 0.293153 12.83733

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 1.35582433 0.67791217 7.89 0.0105

Konsen 2 5.01424900 2.50712450 29.17 0.0001

jenis*konsen 4 2.49061167 0.62265292 7.25 0.0068

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Jenis

A 13.2095 6 Guar

B 12.7467 6 Cmc

B

B 12.5558 6 Na

70 

 

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 13.5835 6 1

B 12.4810 6 0.5

B

B 12.4475 6 0

Uji lanjut Duncan terhadap interaksi jenis hidrokoloid dan konsentrasi

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Interaksi

A 14.5755 2 9

B 13.5230 2 6

C 12.6520 2 3

C

C 12.6055 2 8

C

C 12.5680 2 2

C

C 12.4475 2 1

C

C 12.4475 2 7

C

C 12.4475 2 4

C

C 12.2695 2 5

Keterangan : Natrium alginat 0% 1 Natrium alginat 0.5% 2 Natrium alginat 1% 3 CMC 0% 4 CMC 0.5% 5 CMC 1% 6 Guar gum 0% 7 Guar gum 0.5% 8 Guar gum 1% 9

71 

 

Lampiran 13. Analisis sidik ragam cooking loss nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 1.74059571 0.21757446 5.30 0.0111

Error 9 0.36916334 0.04101815

Corrected Total 17 2.10975905

R-Square Coeff Var Root MSE respon6 Mean

0.825021 11.52565 0.202529 1.757206

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.04243275 0.02121637 0.52 0.6129

Konsen 2 1.66373359 0.83186679 20.28 0.0005

jenis*konsen 4 0.03442938 0.00860734 0.21 0.9265

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 2.1805 6 0

B 1.6108 6 0.5

B

B 1.4803 6 1

72 

 

Lampiran 14.a. Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 1

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.05177321 0.00647165 2.40 0.1067

Error 9 0.02423721 0.00269302

Corrected Total 17 0.07601043

R-Square Coeff Var Root MSE respon1 Mean

0.681133 21.56026 0.051894 0.240694

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.00043708 0.00021854 0.08 0.9227

konsen 2 0.04167272 0.02083636 7.74 0.0111

jenis*konsen 4 0.00966341 0.00241585 0.90 0.5043

Uji Lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 0.28610 6 0.5

B 0.26188 6 0

B

B 0.17410 6 1

73 

 

Lampiran 14.b. Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 2

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.04861232 0.00607654 2.92 0.0655

Error 9 0.01871828 0.00207981

Corrected Total 17 0.06733061

R-Square Coeff Var Root MSE respon2 Mean

0.721994 22.29525 0.045605 0.204550

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.00353743 0.00176871 0.85 0.4589

konsen 2 0.04032980 0.02016490 9.70 0.0057

jenis*konsen 4 0.00474509 0.00118627 0.57 0.6910

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 0.25730 6 0.5

A

A 0.21387 6 0

B 0.14248 6 1

74 

 

Lampiran 14.c. Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 3

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.00467764 0.00058471 1.21 0.3886

Error 9 0.00435053 0.00048339

Corrected Total 17 0.00902817

R-Square Coeff Var Root MSE respon3 Mean

0.518117 18.15622 18.15622 0.121094

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.00047851 0.00023926 0.49 0.6253

konsen 2 0.00324362 0.00162181 3.36 0.0815

jenis*konsen 4 0.00095551 0.00023888 0.49 0.7409

Lampiran 14.d. Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 4

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.00458620 0.00057328 2.04 0.1547

Error 9 0.00253178 0.00028131

Corrected Total 17 0.00711798

R-Square Coeff Var Root MSE respon4 Mean

0.644312 25.62825 0.016772 0.065444

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.00070231 0.00035116 1.25 0.3323

konsen 2 0.00222094 0.00111047 3.95 0.0588

jenis*konsen 4 0.00166295 0.00041574 1.48 0.2870

75 

 

Lampiran 14.e. Analisis sidik ragam breader loss nugget tempe siklus 5

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.00700823 0.00087603 3.35 0.0450

Error 9 0.00235011 0.00026112

Corrected Total 17 0.00935834

R-Square Coeff Var Root MSE respon5 Mean

0.748875 32.48465 0.016159 0.049744

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Jenis 2 0.00076347 0.00038174 1.46 0.2820

konsen 2 0.00543207 0.00271603 10.40 0.0046

jenis*konsen 4 0.00081269 0.00020317 0.78 0.5666

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 0.072450 6 0

B 0.046517 6 0.5

B

B 0.030267 6 1

76 

 

Lampiran 15. Analisis sidik ragam kekerasan nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 8884158.225 1110519.778 116.57 <.0001

Error 9 85737.151 9526.350

Corrected Total 17 8969895.376

R-Square Coeff Var Root MSE respon1 Mean

0.990442 2.916229 97.60302 3346.892

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

jenis 2 1729570.751 864785.375 90.78 <.0001

konsen 2 5771168.748 2885584.374 302.91 <.0001

jenis*konsen 4 1383418.727 345854.682 36.31 <.0001

Uji lanjut Duncan terhadap jenis hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N jenis

A 3781.06 6 Na

B 3182.30 6 Cmc

B

B 3077.32 6 guar

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Konsen

A 3982.75 6 1

B 3450.50 6 0.5

C 2607.43 6 0

77 

 

Uji lanjut Duncan terhadap interaksi jenis dan konsentasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N interaksi

A 4926.70 2 1

B 3809.05 2 2

B

C B 3613.48 2 6

C

C D 3408.08 2 9

D

D 3326.00 2 5

D

D 3216.45 2 8

E 2607.43 2 1

E

E 2607.43 2 4

E

E 2607.43 2 7

Keterangan : Natrium alginat 0% 1 Natrium alginat 0.5% 2 Natrium alginat 1% 3 CMC 0% 4 CMC 0.5% 5 CMC 1% 6 Guar gum 0% 7 Guar gum 0.5% 8 Guar gum 1% 9

78 

 

Lampiran 16. Analisis sidik ragam kekenyalan nugget tempe

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 8 0.00533657 0.00066707 1.29 0.3533

Error 9 0.00464547 0.00051616

Corrected Total 17 0.00998204

R-Square Coeff Var Root MSE respon2 Mean

0.534617 3.261629 0.022719 0.696561

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

jenis 2 0.00052597 0.00026299 0.51 0.6171

konsen 2 0.00453190 0.00226595 4.39 0.0467

jenis*konsen 4 0.00027869 0.00006967 0.13 0.9653

Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi hidrokoloid

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N konsen

A 0.71407 6 1

A

B A 0.69997 6 0.5

B

B 0.67565 6 0

79 

 

Lampiran 17. Rekapitulasi data analisis kadar air tempe

Sampel Ulangan Berat cawan kosong (g)

Berat sampel (g)

Berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)

Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

Kadar air (Rata-rata kadar air±SD) %bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 4.9206 5.4868 10.4074 6.8138 65.50 189.82

65.12±0.71 186.79±5.78 1b 4.5311 5.6414 10.1725 6.4634 65.75 191.95 2a 5.0925 5.3277 10.4202 6.9950 64.29 180.04 2b 4.6242 5.1789 9.8031 6.4390 64.96 185.37

Lampiran 18. Rekapitulasi data analisis kadar abu tempe

Sampel Ulangan Berat cawan kosong (g)

Berat sampel (g)

Berat cawan dan sampel sebelum pengabuan (g)

Berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)

Kadar abu (Rata-rata kadar

abu±SD) %bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 21.1795 2.2284 23.4079 21.1935 0.63 1.82

0.64±0.01 1.82±0.02 1b 23.9358 2.1333 26.0691 23.9493 0.63 1.85 2a 20.2198 2.0901 22.3099 20.2333 0.65 1.81 2b 22.6748 2.375 25.0498 22.6899 0.64 1.81

Lampiran 19. Rekapitulasi data analisis protein tempe

Sampel Ulangan Berat sampel (g) mL HCl awal mL HCl akhir mL HCl blanko %N Kadar protein (Rata-rata kadar protein±SD)

%bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 0.0912 0.00 8.8 0.1 2.8313 16.28 47.19

16.00±0.36 45.90±1.78 1b 0.0941 0.00 9.05 0.1 2.8229 16.23 46.89 2a 0.0949 0.00 8.9 0.1 2.7522 15.83 44.33 2b 0.0915 0.00 8.5 0.1 2.7247 15.67 44.72

80 

 

Lampiran 20. Rekapitulasi data analisis lemak tempe

Sampel Ulangan Berat sampel (g) Berat labu lemak kosong (g) Berat labu lemak dan lemak

hasil ekstraksi (g) Kadar lemak (Rata-rata kadar lemak±SD)

%bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 3.4642 99.6499 99.9200 7.80 22.60

8.45±0.82 24.20±1.86 1b 3.3433 107.5552 107.8205 7.94 23.17 2a 3.4535 98.7818 99.1021 9.27 25.97 2b 3.4521 107.086 107.389 8.78 25.05

Lampiran 21. Rekapitulasi data analisis karbohidrat tempe

Sampel Ulangan Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Total

%bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 65.50 - 0.63 1.82 17.70 51.29 7.80 22.60 8.37 24.29 100.00 100.00 1b 65.75 - 0.63 1.85 17.46 50.97 7.94 23.17 8.22 24.01 100.00 100.00 2a 64.29 - 0.65 1.81 17.20 48.17 9.27 25.97 8.59 24.05 100.00 100.00 2b 64.96 - 0.64 1.81 17.03 48.60 8.78 25.05 8.59 24.54 100.00 100.00

Sampel Ulangan Kadar karbohidrat (Rata-rata kadar karbohidrat±SD)

%bb %bk %bb %bk

Tempe

1a 8.37 24.29

8.44±0.21 24.22±0.26 1b 8.22 24.01 2a 8.59 24.05 2b 8.59 24.54

81 

 

Lampiran 22. Rekapitulasi data analisis kadar air nugget tempe

Sampel Ulangan Berat cawan kosong (g)

Berat sampel (g)

Berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)

Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

Kadar air (Rata-rata kadar air±SD) %bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 4.6712 5.8973 10.5685 7.6536 49.43 97.74

49.47±0.04 97.9±0.16 1b 5.3923 5.4007 10.7930 8.1221 49.45 97.84 2a 3.7864 5.4798 9.2662 6.5533 49.51 98.05 2b 4.2381 5.6840 9.9221 7.1090 49.49 97.99

Lampiran 23. Rekapitulasi data analisis kadar abu nugget tempe

Sampel Ulangan Berat cawan kosong (g)

Berat sampel (g)

Berat cawan dan sampel sebelum pengabuan (g)

Berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)

Kadar abu (Rata-rata kadar abu±SD) %bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 19.9412 2.0663 22.0075 19.9790 1.83 3.62

1.84±0.00 3.63±0.01 1b 17.5721 2.0515 19.6236 17.6101 1.85 3.66 2a 22.6775 2.0530 24.7305 22.7150 1.83 3.62 2b 16.3186 2.0264 18.3450 16.3558 1.84 3.63

Lampiran 24. Rekapitulasi data analisis protein nugget tempe

Sampel Ulangan Berat sampel (g) ml HCL awal ml HCl akhir ml HCl blanko %N Kadar protein (Rata-rata kadar protein±SD)

%bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 0.0762 0.00 5.35 0.1 2.0159 12.60 24.91

12.62±0.09 24.97±0.19 1b 0.0760 0.00 5.30 0.1 2.0020 12.51 24.76 2a 0.0763 0.00 5.40 0.1 2.0325 12.70 25.16 2b 0.0744 0.00 5.25 0.1 2.0254 12.66 25.06

82 

 

Lampiran 25. Rekapitulasi data analisis lemak nugget tempe

Sampel Ulangan Berat sampel (g) Berat labu lemak kosong (g) Berat labu lemak dan lemak

hasil ekstraksi (g) Kadar lemak (Rata-rata kadar lemak±SD)

%bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 4.0960 107.0701 107.7109 15.64 30.93

15.51±0.23 30.69±0.43 1b 3.9649 107.0696 107.6920 15.70 31.06 2a 4.0453 101.8069 102.4294 15.39 30.48 2b 4.0681 102.6904 103.3129 15.30 30.30

Lampiran 26. Rekapitulasi data analisis karbohidrat nugget tempe

Sampel Ulangan Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Total

%bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 49.43 - 1.83 3.62 12.60 24.91 15.64 30.93 20.50 40.54 100 100 1b 49.45 - 1.85 3.66 12.51 24.76 15.70 31.06 20.49 40.52 100 100 2a 49.51 - 1.83 3.62 12.70 25.16 15.39 30.48 20.57 40.74 100 100 2b 49.49 - 1.84 3.63 12.66 25.06 15.30 30.30 20.71 41.01 100 100

Sampel Ulangan Kadar karbohidrat (Rata-rata kadar karbohidrat±SD) %bb %bk %bb %bk

Nugget tempe

1a 20.50 40.54

20.57±0.10 40.70±0.24 1b 20.49 40.52 2a 20.57 40.74 2b 20.71 41.01

83 

 

Lampiran 27. Analisis Raw Material Cost Bahan batter Harga Barang (Rp) Pemakaian Biaya Pemakaian (Rp)

Terigu 10000/kg 58.8 g 588 Meizena 4500/400g 19.6 g 220.50 Soda kue 4000/45gr 3.1 g 275.56 Bawang putih 12000/kg 0.5 g 6 Bawang bombay 14000/kg 0.5 g 7 Lada 9000/85gr 0.5 g 52.94 Peyedap rasa 300/7gr 0.5 g 21.43 Air 5000/19liter 160 ml 42.11 Susu skim 20000/kg 15 g 300 Garam 1000/250gr 1.5 g 6

Total biaya untuk membuat adonan batter (260 g) 1519.53

Bahan Harga bahan (Rp) Pemakaian Biaya Pemakaian (Rp) Tempe* 5000/900g 36 g 200 Daging ayam* 32000/800gr 24 g 960 Tapioka* 12000/kg 10 g 120 Garam* 1000/250gr 1.4 g 1.60 Lada* 9000/85gr 0.5 g 52.94 Bawang putih* 12000/kg 1.3 g 15.6 Bawang bombay* 14000/kg 1.3 g 18.2 Es* 500/kg 15 g 7.5 Putih telur* 4500/50gr 10 g 900 Peyedap rasa* 300/7gr 0.5 g 21.43 STPP 4500/100gr 0.072 g 3.24 CMC 15000/100gr 1.01072 g 151.61 Minyak goreng 10000/L 100 g 1000 Predust 10000/kg 5.5 g 55 Batter 1519.53/260gr 22 g 128.6 Breader (bread crum) 4500/250g 16.5 g 297

Total biaya pemakaian 3,933 Total biaya untuk 100 gram nugget tempe 2,860

Total biaya untuk 1000 gram nugget tempe 28,600 Keterangan: Basis 100 gram adonan nugget tempe (*), akan menghasilkan 11 potong nugget tempe berukuran 3×3×1cm (sebelum dilakukan pelapisan coating) dengan rata-rata beratnya 9 gram. Proses pelapisan coating akan menambah berat persatuan nugget tempe menjadi 13 gram. Dengan demikian, untuk 100 gram bahan adonan nugget akan menghasilkan nugget tempe dengan berat 143 gram. Total biaya pemakaian untuk basis 100 gram adonan nugget yang menghasilkan 143 gram nugget tempe yakni Rp. 3933. Oleh sebab itu, untuk membuat 100 gram nugget tempe membutuhkan biaya sebesar Rp. 2860, sedangkan untuk membuat 1000 gram nugget tempe yakni membutuhkan biaya sebesar Rp. 28600. Dengan dugaan akan ada pengurangan berat nugget sekitar 4 gram pada saat pre-frying.

84 

 

Perhitungan 1000 gram:

0.6 = Rp. 28600Harga

Harga = 0.6 × Rp. 28,600 = Rp. 47,667