materi kuliah manajemen perpajakan-buat mhs stiami pd.cabe

85
1 BAB I Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan 1. Pendahuluan Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan berkesinambungan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Bagi negara Indonesia, tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari sektor swasta. Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengah- tengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya

Upload: eko-siswanto

Post on 05-May-2017

296 views

Category:

Documents


29 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

1

BAB I

Dasar-Dasar Manajemen Perpajakan

1. Pendahuluan

Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan

berkesinambungan untuk mencapai suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Bagi negara Indonesia,

tujuan yang lebih besar yang diinginkan dari hasil pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan

tujuan nasional seperti tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan

hingga kini bangsa Indonesia giat melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan itu

sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan, mengembangkan dan memanfaatkan

sumber daya yang tersedia, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia, yang

hasilnya ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Pembangunan dilaksanakan melalui rangkaian investasi yang hanya dapat dilakukan dengan

dukungan dana yang besar. Dana pembangunan dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik

dari sektor pemerintah maupun dari swasta, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan

negara tersebut, pemerintah membutuhkan dana yang besar. Dana ini dapat diperoleh dari berbagai

sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sektor pemerintahan maupun dari

sektor swasta.

Bonanza minyak dan gas (Migas) yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi

penerimaan negara di masa lalu tinggal menjadi suatu catatan historis, perkembangan

perekonomian Indonesia sejak terjadinya krisis moneter (krismon) tahun 1997 sampai saat ini

masih belum mantap. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan

negara, dengan menggenjot penerimaan dalam negeri khususnya yang bersumber dari

penerimaan pajak yang kini menjadi primadona penerimaan negara, dan oleh sebab itu, untuk

mengantisipasi keadaan tersebut di masa yang akan datang, Oleh karena itu, alternatif lain

untuk meningkatkan sumber penerimaan yang dapat diandalkan adalah penerimaan dari sektor non

migas, yaitu penerimaan-penerimaan pajak. Hal tersebut seperti tercantum dalam Pasal 23 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala pajak dan pungutan lainnya yang bersifat

memaksa digunakan untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.

Pajak harus lebih diberdayakan seiring dengan meningkatnya kegiatan sektor ril ditengah-

tengah masyarakat. Peranan pajak semakin besar dan semakin signifikan dalam menyumbang

penerimaan negara, hal ini dapat dilihat dari terus meningkatnya peranan pendapatan

pemerintah dari pajak dalam APBN, yang selanjutnya digunakan untuk membiayai

penyelenggaran pembangunan mau pun biaya rutin negara. Untuk itu perlu adanya

Page 2: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

2

peningkatan kesadaran, dan kepedulian masyarakat untuk membayar pajak. Segala upaya dan

sasaran ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan negara dari pajak

guna mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang disusun dengan semangat kebersamaan

dan optimis, namun tetap dengan pertimbangan kondisi rill yang telah sedang akan dihadapi.

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan

dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat ikut berperan

aktif memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan Negara sesuai dengan

kemampuannya.

Semenjak reformasi perpajakan di negara kita dijalankan dengan dikeluarkannya undang-

undang perpajakan yang baru pada tahun 1983, sistem perpajakan yang dianut telah dirobah

dari sistem office assessment menjadi sistem self assessment (misalnya untuk Pajak

Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai). Dengan sistem ini wajib pajak memiliki hak dan

kewajiban baik dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah kewajiban

perpajakannya. Hal ini akan terlaksana dengan baik apabila wajib pajak memenuhi peraturan

perpajakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dilihat dari kacamata pemerintah jika

pajak yang di bayar oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya dibayar, maka

konsekuensinya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang. Sebaliknya dari sisi

pengusaha atau wajib pajak, jika pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya

dibayar, maka konsekuensinya akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan atau wajib

pajak.

Setiap pengusaha salah satu tujuannya pasti untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang

saham atau investor dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan memperoleh laba

yang maksimum. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja (performance) perusahaan lain

dengan implementasi strategi yang berbeda, yakni perusahaan itu dapat membuat produk

serupa dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk berbeda yang konsumen

bersedia membayar harga premi yang melampaui biaya untuk meng-create differensiasi

terhadap produk tersebut. Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan pendekatan

dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi pemimpin biaya

dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi kepemimpinan biaya, maka

perusahaan dapat menggunakan keunggulan biayanya untuk mengalahkan kompetitornya

melalui persaingan harga. Di era globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung sekarang ini

dan tantangan di masa yang akan datang, dimana kompetitor bermunculan dari berbagai

manca negara yang menyajikan ragam produk subsitusi yang sangat menarik dan kompetitif,

maka untuk bisa survive di ajang kompetisi yang semakin tajam tersebut, tidak bisa dielakkan

lagi dimana perusahaan dituntut untuk menyesuaikan produksinya dengan membangun posisi

kepemimpinan biaya sebagai basis strategi bisnisnya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha yaitu dengan meminimumkan beban

pajak dalam batas yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan yang

berlaku, karena beban pajak merupakan salah satu faktor pengurang laba. Besarnya pajak

seperti kita ketahui tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan maka

semakin besar pula pajak yang terutang. Oleh karena itu perusahaan membutuhkan suatu

perencanaan pajak atau yang disebut dengan tax planning yang tepat agar perusahaan

Page 3: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

3

membayar pajak dapat seefisien mungkin sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan aturan

perpajakan.

Sebagai suatu beban, eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Kita bisa melihat

bagaimana pertentangan persepsi tentang pembebanan pajak dari para petinggi di Amerika

Serikat seperti tercermin pada dua pendapat berikut ini. Seorang hakim agung Amerika yang

bernama Oliver Wendell Holmes, Jr (1841-1935) mengatakan bahwa taxes are the price we

pay for civilization, sebaliknya hakim agung Amerika lain yang terkenal bernama John

Marshal (1755-1835) mengatakan: The power to tax is the power to destroy. Lain lagi Filosop

dan negarawan Benyamin Franklin berujar, bahwa didalam masyarakat manusia yang pasti

adalah kematian dan pajak (nothing is certain but tax and dead).

Namun naluri alamiah seorang manusia dari semenjak dulu hingga kapanpun juga akan

senantiasanya berusaha menghindarkan dari beban pajak itu dalam berbagai bentuk dan

manifestasinya, karena pajak itu adalah pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan

perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan kontribusi yang sifatnya sekarela

(taxes are enforced extractions, not voluntary contributions) dan tanpa ada imbalan balas jasa

langsung dari pemerintah.

Fenomena yang kita jumpai dalam masyarakat dimanapun ia berada, kalau bisa tidak

membayar pajak sama sekali, akan tetapi tidak melanggar Undang-Undang, atau kalau tidak

bisa tidak membayar pajak sama sekali, apakah bisa dikurangi atau tidak, dengan tidak

melanggar Undang-Undang. Ini suatu hal yang sangat basic dari sifat dasar manusia, siapun

dia adanya dan apapun pangkat atau jabatannya yang selalu berusaha bertindak efisien dalam

seluruh kehidupan perseorangan maupun dalam siklus kehidupan bisnisnya sepanjang usia

perusahaan mulai dari sejak perusahaannya berdiri aktivitas manajemen sudah mulai, terus

dalam kegiatan operasional sehari-hari, dan dalam melakukan ekspansi atau reorganisasi/

penciutan usaha maupun pada saat perusahaannya dilikwidir. Bahkan hingga seseorang wajib

pajak yang sudah meninggal sekalipun, meskipun kewajiban pajak orang pribadinya sudah

berakhir, namun harta peninggalan/warisannya masih merupakan subjek pajak yang dikenakan

pajak. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam

negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Dalam

pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban

ahli waris yang berhak, tetapi bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban

perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Tidak seorangpun senang membayar pajak. Asumsi Leon Yudkin (Harnanto, 1994)

mempertegas hal tersebut :

1. Wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil mungkin,

sepanjang hal itu dimungkinkan olah undang-undang.

2. Wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax evasion) yakni usaha

penghindaran pajak yang terutang secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut

mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa kemungkinan besar mereka tidak akan

ditangkap dan yakin bahwa orang lainpun berbuat hal yang sama.

Asumsi ini dalam praktiknya bisa kita jumpai dan merupakan suatu kecenderungan yang sulit

diberantas karena sudah menyangkut aspek filosofis dan budaya individu atau wajib pajak.

Page 4: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

4

Tax Planning adalah suatu peralatan dan sebagai suatu tahap awal dari manajemen perpajakan

(tax management) untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia tadi.

Secara definitif tax management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax

planning. Sebagai tax management pastilah tidak terlepas dari konsep management secara

umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengendalian (controlling).

Semua fungsi-fungsi management tersebut diatas tercakup dalam tax management. Dengan

kata lain, manajemen perpajakan (tax management) merupakan segenap upaya untuk

mengimplementasikan fungsi-fungsi manajemen tersebut diatas agar dapat tercapai suatu

efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam

melaksanakan fungsi tax management tersebut, tax planning merupakan tahap pertama dalam

urutan hierarkisnya, namun dalam praktek bisnis, istilah tax planning lebih poluler daripada

tax management itu sendiri. Dalam praktek, pendekatan yang dilakukan dalam implementasi

tax planning ini bersifat multidisipliner, sehingga wajarlah bila untuk menjadi seorang

perencana pajak yang baik (tax planner), harus memiliki wawasan & pengetahuan yang luas

dan selalu meng-update dirinya dengan ketentuan perpajakan yang berlaku termasuk setiap

perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu.

Tidak ada yang salah dengan perencanaan pajak (tax planning) untuk menghindari pajak

asalkan menggunakan metode yang legal. Hakim Learned Hands di Amerika Serikat

menyatakan doktrin perencanaan pajak tahun 1947 ketika dia menulis:

“Over and over again, courts have said there is nothing sinister in so arranging one’s

affairs as to keep taxes as low as possible. Everybody does so, rich or poor, and all do

right, for nobody ower any public duty to pay more than the law demands:taxes are

enforced extractions, not voluntary contributions.” Commissioner.v.Newman, 159

F.2d 848 (CA-2-1947). (Gerald E.Whittenburg & Marthe Altus-Buller : 1996).

Berulang-ulang kali, pengadilan telah mengatakan, bahwa tidak ada suatu ancaman

hukuman apapun yang dapat diberlakukan terhadap barang siapa yang melakukan

usaha untuk mengatur pengenaan pajaknya seminimal mungkin. Semua orang akan

berbuat hal yang sama, baik yang kaya maupun yang miskin, dan hal ini sesungguhnya

merupakan haknya untuk berbuat demikian karena tidak seorangpun berkewajiban

memenuhi kewajiban perpajakannya melebihi dari jumlah yang seharusnya menurut

ketentuan perundang-undangan perpajakan ..................

Ketika metode illegal digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak, proses tersebut tidak

lagi dianggap sebagai tax planning, tetapi merupakan tax evasion.

Tax planning adalah suatu proses mengorganisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa agar

hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam jumlah minimal,

selama hal tersebut tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Yang harus dilakukan adalah menyiapkan semua data-data yang diperlukan dan format

penyajian data, memperhatian setiap pembayaran dan pelaporan pajak setiap masa pajak dan

setiap akhir tahun pajak, mengawasi rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan fiscal.

Setelah semua hal ini dilakukan dengan baik berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku

dan mengetahui pemahaman yang baik tentang keadaan perusahaan maka dari hal dapat

diterapkan suatu strategi manajemen perpajakan untuk perusahaan dalam memenuhi

kewajiban pajaknya seefisien mungkin dengan tetap mematuhi aturan-aturan pajak yang

Page 5: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

5

berlaku. Hal lain yang perlu dilakukan untuk melaksanakan tax planning ini adalah mengatur

cash flow perusahaan sedemikian rupa atau seefektif mungkin dengan senantiasa

memperhatikan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perlu adanya penghematan dalam

penggunaan dana seefisien mungkin dalam setiap kegiatan perusahaan yang berlangsung

Dalam buku ini penulis memasukkan beberapa artikel dari penulis sendiri yang sudah pernah

diterbitkan di majalah “Indonesian Tax Review”, dan majalah Bijak yang berkaitan dengan

terapan tax planning seperti Aspek Perpajakan Joint Operation/Konsorsium dan Kepastian

Hukumnya, Kajian Perpajakan Dalam Penyerahan Barang Di Luar Daerah Pabean, Implikasi

Perpajakan Pada Yayasan Pendidikan Dan Tax Planningnya Yang Masih Berlaku. Untuk Tax

Planning PPh Badan, beberapa strategi yang dapat diapplikasikan dalam melakukan tax

planning telah dikupas sebelumnya dalam artikel ini, dan untuk mengayakan pemikiran-

pemikiran yang berkembang dalam praktek dunia perpajakan yang nyata (in the real world of

taxation) yang dihadapkan pada para eksekutif di level middle management hingga top

management, penulis menambahkan beberapa terapan advis tax planning lainnya seperti

digambarkan di beberapa bab berikut ini.

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus dibarengi dengan langkah-langkah

manajemen perpajakan secara baik. Manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya

sistematis yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian di

bidang perpajakan untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Jadi

manajemen perpajakan merupakan upaya-upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi

manajemen di atas agar dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan hak dan kewajiban

perpajakan.

Sedangkan perencanaan perpajakan atau Tax Planning merupakan tahap awal untuk

melakukan analisis secara sistematis berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan

untuk mencapai pemenuhan kewajiban perpajakan yang minimum. Tax Planning merupakan

bagian dari manajemen perpajakan secara luas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa istilah Tax

Planning lebih populer dibanding dengan istilah Tax Manajemen.

Perlunya manajemen perpajakan sebenarnya berangkat dari hal yang sangat mendasar dari

sifat manusia (manusiawi). “Kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar. Kalau

bisa membayar lebih kecil, mengapa harus membayar lebih besar. “Namun semuanya harus

dilakukan dengan itikad baik dan dengan cara-cara yang tidak melanggar aturan perpajakan.

Tujuan utama dari manajemen perpajakan adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan

dengan benar dan meminimalisasi beban pembayaran pajak untuk memaksimalkan

keuntungan. Perencanaan perpajakan tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban

perpajakan (Tax Evasion) melalui cara-cara yang melanggar aturan perpajakan (break the

law). Namun demikian, dalam praktek sulit dibedakan antara cara-cara yang tidak melanggar

dan yang melanggar aturan perpajakan karena banyaknya peraturan perpajakan yang bisa

ditafsirkan berbeda.

Dalam melaksanakan kewajiban pajak sehari-hari secara optimal, terdapat beberapa unsur

penting yang perlu diketahui oleh setiap Wajib Pajak. Atau dengan kata lain pekerjaan

perpajakan yang harus dijalankan Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi :

Page 6: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

6

1. Tax Compliance

Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan untuk mematuhi aturan perpajakan, meliputi :

administrasi yang harus dilakukan, pembukuan, pemotongan/pemungutan pajak,

penyetoran, pelaporan, memberikan data untuk keperluan pemeriksaan pajak dan

sebagainya. Secara umum peraturan pajak akan dipatuhi oleh Wajib Pajak bila biaya untuk

mematuhinya (compliance cost) relatif murah.

2. Tax Planning

Merupakan rangkaian strategi untuk mengatur akuntansi dan keuangan perusahaan untuk

meminimalkan kewajiban perpajakan dengan cara-cara yang tidak melanggar peraturan

perpajakan (in legal way). Dalam arti yang lebih luas meliputi keseluruhan fungsi

manajemen perpajakan.

3. Tax Litigation

Merupakan usaha-usaha untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa pajak dengan

pihak lain, terutama kantor pajak. Sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan

penafsiran atas suatu ketentuan perpajakan atau atas masalah-masalah yang tidak ada

aturannya secara jelas antara Wajib Pajak dengan fiskus dalam pemeriksaan atau

penelitian pajak. Di Indonesia, tax litigation berhubungan dengan permohonan peninjauan

kembali untuk pembetulan/pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan

sanksi perpajakan, pengajuan keberatan, banding, gugatan dan cara-cara lain sesuai dengan

undang-undang.

4. Tax Research

Merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi atau rekomendasi atas suatu

permasalahan perpajakan. Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi :

Menentukan fakta-fakta yang akan dianalisis,

Mengidentifikasi isu-isu pajak yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut,

Menentukan pihak-pihak yang dapat menjadi sumber data dan informasi,

Mengevaluasi data dan informasi yang diperoleh,

Mengembangkan dan merumuskan konklusi dan rekomendasi,

Mengkomunikasikan rekomendasi yang dibuat.

Jadi manajemen perpajakan merupakan bagian integral dari perencanaan strategis perusahaan

yang seharusnya sudah dimulai sebelum suatu usaha dimulai. Pelaksanaan manajemen

perpajakan harus ekonomis, efisien dan efektif.

Perencanaan perpajakan (tax planning) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

manajemen perpajakan. Tax planning dapat diterapkan ketika Wajib Pajak akan memulai

kegiatan usahanya sampai dengan penutupan usaha (likuidasi), jika ada. Perencanaan

peroajakan dimulai pada saat akan mendirikan perusahaan (pemilihan bentuk usaha,

pemilihan metode pembukuan, pemilihan lokasi usaha); saat menjalankan usaha (pemilihan

transaksi-transaksi yang akan dilakukan dalam kegiatan operasionalnya, pemilihan metode

Page 7: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

7

akuntansi dan perpajakan, tanggung jawab terhadap stakeholders); saat akan menutup usaha

(restrukturisasi usaha/perusahaan, likuidasi, merger, pemekaran dan sebagainya).

Suatu perencanaan akan memiliki manfaat yang besar bila dapat dilaksanakan dengan baik

sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, perencanaan perpajakan dalam

pelaksanaannya membutuhkan personil yang berkualitas, perangkat kerja yang memadai dan

prosedur kerja yang tepat waktu, tepat jumlah dan tepat informasi.

Akuntansi Pajak merupakan salah satu dimensi akuntansi yang menyediakan informasi

sehubungan dengan aspek perpajakan tentang bisnis dan transaksi keuangan kepada mereka

yang ingin mengelola bisnis atau memperoleh informasi transaksi keuangan dan aspek

perpajakan dari suatu entitas akuntansi. Dari data akuntansi, para pengelola bisnis mendapat

bahan mengambil keputusan tentang perpajakan termasuk perencanaan pajak. Dalam Malaysia

Tax Work Book (1995), Farid Ahmad menyebutkan bahwa perencanaan pajak merupakan

serangkaian proses atau tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk merekayasa

(reengineering) sumber-sumber penghasilan dan beban maupun transaksi lainnya dengan

tujuan meminimalisasi, menangguhkan, atau eliminasi beban pajak yang masih berada dalam

kerangka peraturan perundang-undangan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha harus

memanfaatkan semua pengurang, pengecualian, pembebasan, kemudahan, dan kredit serta

fasilitas pajak yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan

(jurisprudensi), dan administrasi pajak. (Gunadi, 2009 : 279)

Strategi Pajak

Strategi yang dapat ditempuh untuk mengefisiensikan beban pajak secara legal yaitu :

1. Tax Saving

Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif

pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.

Contoh : pemberian natura kepada karyawan pada umumnya tidak diperkenankan untuk

dibebankan sebagai biaya dalam menghitung PPh badan. Pemberian natura tersebut dapat

diubah kebijakannya menjadi pemberian yang tidak dalam bentuk natura sehingga dapat

dikurangkan sebagai biaya, tetapi harus dimasukkan sebagai penghasilan karyawan.

Pengaruh dari perlakuan ini akan mengakibatkan PPh badan menjadi turun, tetapi PPh

Pasal 21 akan naik. Penurunan PPh badan akan lebih besar daripada kenaikan PPh Pasal

21 (dengan asumsi perusahaan memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 juta dan PPh

badan tidak bersifat final).

2. Tax Avoidance

Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari dari

pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan obyek pajak.

Contoh : pada jenis perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan secara final, untuk

mengefisiensikan PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan

semaksimal mungkin kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian

natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh final bukan merupakan obyek PPh Pasal

Page 8: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

8

21. Misal pada saat perusahaan dalam kondisi rugi secara fiskal atau memiliki kompensasi

kerugian fiskal dalam jumlah yang relatif besar di tahun-tahun sebelumnya.

3. Penundaan pembayaran pajak

Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan yang

berlaku.

Contoh: untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan

Faktur Fajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit,

penjual dapat menerbitkan Faktur Pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan

penyerahan pajak.

4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan

Wajib Pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran yang dapat

dikreditkan. Sebagai contoh : PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari Pertamina bersifat

final jika pembelinya perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran migas Tetapi jika

pembelinya bergerak di bidang pabrikan, maka PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan

dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai

biaya. Bila dibandingkan, maka keuntungan yang diperoleh adalah sebesar 75% dari nilai

pajak yang dikreditkan (asumsi laba kena pajak di atas Rp 100 juta). Bila dikreditkan,

maka seluruh jumlah pajak (100%) diklaim oleh Wajib Pajak. Akan tetapi bila dibebankan

sebagai biaya, maka dampak pengurangan pajaknya adalah hanya sebesar 25%-nya dan itu

pun diasumsikan dahwa biayanya merupakan deductible expenses.

5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar

a. Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke KPP yang

bersangkutan, apabila berdasarkan estimasi diperkirakan dalam tahun pajak yang

bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Pengajuan tersebut dapat

dilakukan paling cepat 3 (tiga) bulan setelah berjalannya tahun pajak dan Wajib Pajak

dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang

dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh terutang yang menjadi dasar penghitungan

besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 (KEP-537/PJ./2000).

Pengajuan pengurangan pembayaran angsuran ini harus melampirkan :

Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berialan,

Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan,

Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang ternyata akan terjadi kelebihan

pembayaran pajak, apabila besarnya angsuran tidak dikurangi.

Bukti-bukti pembayaran pajak yang sudah dilakukan.

b. Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan

melakukan impor Pengajuan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 harus

melampirkan :

Proyeksi impor setiap bulan dalam tahun yang bersangkutan,

Proyeksi perhitungan laba rugi tahun berjalan,

Page 9: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

9

Proyeksi perhitungan PPh badan yang terutang dan angsuran PPh Pasal 25, serta

PPh Pasal 22 yang menunjukkan lebih bayar apabila dilakukan pembayaran PPh

Pasal 22,

Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.

6. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku

Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara

menguasai peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam buku ini akan dibahas pula

peraturan pokok perpajakan khususnya yang berbeda dengan kelaziman di bidang

akuntansi komersial.

2. Pengertian Manajemen Perpajakan (Tax Management)

Manajemen Perpajakan adalah usaha yang menyeluruh yang dilakukan oleh Tax Manager

dalam suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan

dari perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis,

sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan.

3. Fungsi-Fungsi Manajemen Perpajakan

1. Tax Planning

Tax Planning adalah usaha-usaha yang mencakup perencanaan perpajakan agar pajak-

pajak yang dibayar oleh perusahaan paling efisien.

Tujuan Tax Planning yang paling utama adalah mencari berbagai celah kemungkinan yang

dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang

berlaku(loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah minimal.

Dalam Tax Planning dikenal ada 3 macam cara/sistem yang dapat dilakukan oleh wajib

pajak untuk menekan jumlah beban pajak, yakni :

a. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)

b. Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)

c. Tax Saving (Penghematan Pajak)

Kalau Tax Avoidance, strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara legal dan

aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku

dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-

kelemahan (grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu

sendiri.

Sedangkan Tax Evasion adalah kebalikan dari Tax Avoidance, strategi dan teknik

penghindaran pajak dilakukan secara ilegal namun tidak aman bagi wajib pajak, dan cara

penyelundupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana

Page 10: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

10

metode dan teknik yang digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang &

Peraturan Perpajakan itu sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi

dikenakan sanksi pelanggaran hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu,

sebagai seorang tax planner yang baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk

diapplikasikan.

Lain halnya dengan Tax Saving yang tidak lain merupakan suatu tindakan penghematan

pajak yang dilakukan oleh wajib pajak pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib

pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan

Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh

botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti

akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi

perpajakannya.

2. Tax Administration/Tax Compliance

Tax Administration/tax compliance mencakup usaha-usaha untuk memenuhi kewajiban

administrasi perpajakan dengan cara mengitung pajak secara benar sesuai dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku, kepatuhan dalam membayar pajak dan melaporkan

secara pajak secara tepat waktu sesuai dengan deadline pembayaran dan pelaporan pajak

yang telah ditetapkan.

3. Tax Audit

Tax Audit mencakup strategi dalam menangani pemeriksaan pajak, menanggapi hasil

pemeriksaan pajak maupun strategi dalam mengajukan surat keberatan atau surat banding.

4. Other Tax Matters

Masalah perpajakan lainnya mencakup fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan

perpajakan, seperti mengkomunikasikan ketentuan-ketentuan sistem dan prosedur

perpajakan kepada pihak-pihak atau bagian-bagian lain dalam perusahaan seperti

penerbitan faktur penjualan standard yang berhubungan dengan PPN, pemotongan

withholding tax (PPh Ps. 23/26) yang berkaitan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi dan jasa profesi serta objek withholding tax lainnya, juga termasuk pelatihan

bagi staf yang berkaitan dengan masalah perpajakan dan sebagainya.

Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian karena pakar perpajakan,

praktisi perpajakan dan pengajar perpajakan mendefinisikannya menurut persepsi dan

pemahaman mereka masing-masing. Namun sebenarnya kita bisa menarik benang merahnya

untuk mengetahui apa sebenarnya tax planning atau tax management itu dan sejauh mana

ruang lingkupnya serta apa saja yang menjadi tujuannya, berikut ini kita dapat mengikuti

beberapa definisi dari tax planning atau tax management yang dikemukakan oleh beberapa

pakar perpajakan :

1. Menurut Dictionary of Tax Terms yang disusun oleh D. Larry CPA, Ph.D., Jack

P.Friedman,CPA, Ph.D. dan Susan B.Anders,CPA,M.S. (Barron’s : 1994) :

Page 11: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

11

Tax Planning is the systematic analysis of differing tax options aimed at the

minimization of tax liability in current and future tax periods.

Tax Planning adalah analisis yang dilakukan secara sistematis dari pembedaan

berbagai pilihan/opsi pajak yang ditujukan pada pengenaan kewajiban pajak yang

minimal pada masa pajak kini dan masa pajak yang akan datang.

2. Spitz & Barry dalam bukunya yang berjudul International Tax Planning, mengutarakan

bahwa :

Tax planning is arrangement of business and personal affairs in such a way as to

attract the lowest possible incidence of tax and pre arrangement of facts in the most

favored way.

3. Lyons Susan M dalam bukunya International Tax Glossary, mengutarakan bahwa :

Tax planning is arrangement of a person’s business and/or private affairs in order to

minimize tax liability.

Perencanaan pajak adalah pengaturan yang dilakukan oleh barang siapa yang

melakukan usaha perorangan atau bisnis, yang tujuannya untuk meminimalisir

kewajiban pajaknya.

3. DR. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan

mendefinisikan, bahwa :

Secara garis besar perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi

usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang

pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi

yang paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.

Lebih lanjut ia juga menyebutkan, bahwa suatu perencanaan pajak yang tepat akan

menghasilkan beban pajak yang minimal yang merupakan hasil dari perbuatan

penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus dan

sama sekali bukan karena penyelundupan pajak yang tidak dapat diterima oleh fiskus

dan tidak akan ditolerir.

4. Menurut Ladiman Djaiz (1971) yang dikutip oleh Agustinus (2003), mengartikan

manajemen pajak sebagai berikut :

Tax management berarti melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan yang tujuannya adalah untuk

meningkatkan efisiensi dalam artian peningkatan laba atau penghasilan. (John

Hutagaol: 2007)

5. Sophar Lumbantoruan, dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak, edisi revisi (1999)

juga mengemukakan secara umum, bahwa :

Manajemen Pajak adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar

tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh

laba dan likuiditas yang diharapkan.

Page 12: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

12

Lebih lanjut diungkapkan, bahwa manajemen pajak tersebut bertujuan bukan untuk

mengelak membayar pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih

dari jumlah yang seharusnya.

6. Achmad Tjahyono dan Muhammad F Husein dalam bukunya berjudul Perpajakan, edisi

pertama (1997), mengemukakan bahwa :

Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok

wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun

pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang minimal, sepanjang hal ini

dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. John Hutagaol, dalam bukunya yang berjudul Perpajakan-Isu Isu Kontemporer (2007)

mengartikan :

Manajemen Perpajakan adalah proses perencanaan, implementasi serta pengendalian

kewajiban dan hak di bidang perpajakan sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan

secara efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan,

bahwa:

Manajemen Perpajakan adalah upaya menyeluruh yang dilakukan oleh wajib pajak

orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan, pelaksanaan

(implementasi) dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal yang

berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau organisasi

tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan

kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian peningkatan laba atau

penghasilan.

Sedangkan Tax planning adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak orang

pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan berbagai celah

kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor ketentuan peraturan

perpajakan yang berlaku (loopholes), agar perusahaan dapat membayar pajak dalam

jumlah minimum.

4. Motivasi Tax Planning

Beberapa hal yang mempengaruhi perilaku wajib pajak untuk meminimumkan kewajiban

pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal, yang kita sebut dengan propensity of

dishonesty (diolah dari T.N.Srinivasan. Tax Evasion : A Model, dalam Journal of Public

Economics, 1973 :339-346) adalah sebagai berikut :

1. Tingkat kerumitan suatu peraturan (Complexity of rule)

Makin rumit peraturan perpajakan yang ada, maka terdapat kecendrungan wajib pajak

untuk menghindarinya karena biaya untuk mematuhinya (compliance cost) menjadi tinggi.

2. Besarnya pajak yang dibayar (Tax required to pay) *

Page 13: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

13

Makin besar jumlah pajak yang harus dibayar, maka akan semakin besar kecendrungan

wajib pajak untuk melakukan kecurangan dengan cara memperkecil jumlah pembayaran

pajaknya.

3. Biaya untuk negosiasi (Cost of bribe)

Disengaja atau tidak disengaja, kadang-kadang wajib pajak melakukan negosiasi-negosiasi

dan memberikan uang sogokan kepada fiskus dalam pelaksanaan hak dan kewajiban

perpajakannya. Makin tinggi uang sogokan yang mesti dibayar oleh wajib pajak, maka

akan semakin kecil kecendrungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran.

4. Resiko deteksi (Probability of detection)

Resiko deteksi ini berhubungan dengan tingkat probabilitas apakah pelanggaran ketentuan

perpajakan ini akan terdeteksi atau tidak. Makin rendah resiko deteksi, wajib pajak

memiliki kecendrungan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran ketentuan perpajakan.

Sebaliknya, bila suatu pelanggaran ketentuan perpajakan mudah diketahui, maka wajib

pajak akan memilih posisi konservatif dengan tidak melanggar aturan.

5. Besarnya denda (Size of penalty)

Makin berat sanksi perpajakan yang bisa dikenakan, maka Wajib Pajak akan cenderung

mengambil posisi konservatif dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.

Sebaliknya makin ringan sanksi atau bahkan ketiadaan sanksi atas pelanggaran yang

dilakukan Wajib Pajak, maka kecenderungan melanggar akan lebih besar.

6. Moral masyarakat

Moral masyarakat ini akan memberikan warna tersendiri dalam menentukan kepatuhan

dan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk

memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu mempengaruhi

pengambilan keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan

investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada

dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan

yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan :

a. Perbedaan tarif pajak (tax rates)

b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base)

c. Loopholes, shelters, havens. (Erly Suandy, 2006 : 14)

Adanya perbedaan tarif pajak karena penerapan schedular taxation tarif yang diterapkan di

Indonesia (yang bisa kita temukan dalam UU PPh Tahun 1983/1994/2000) akan memotivasi

wajib pajak/perencana pajak mendesain tax planningnya sedemikian rupa pada besaran

penghasilan kena pajak dengan lapisan tarif yang paling rendah (low bracket), sebagaimana

____________________ 1)

diolah dari T.N. Srinivasan, Tax Evasion: A Model, dalam Journal of Public Economics, 1973 : 339-

346.

Page 14: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

14

diutarakan oleh Barry Bracewell-Milnes dalam bukunya The Economics of International Tax

Avoidance (1980), bahwa :

The heavier the burden, the stronger the motive and the wider the scope for tax

avoidance, since the tax payer may avoid the higher rates of tax while still remaining

liable to the lower.

5. Manfaat Perencanaan Pajak

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari perencanaan pajak yang dilakukan secara

cermat. Beberapa manfaat yang dapat disebutkan adalah :

1. Penghematan kas keluar, karena beban pajak yang merupakan unsur biaya dapat dikurangi.

2. Mengatur aliran kas masuk dan keluar (cash flow), karena dengan perencanaan pajak yang

matang dapat diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran

sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.

6. Tujuan Perencanaan Pajak

Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari manajemen pajak/perencanaan pajak yang

baik adalah sebagai berikut :

1. Meminimalisir beban pajak yang terutang.

Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa usaha-

usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan

tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Memaksimumkan laba setelah pajak.

3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise) jika terjadi pemeriksaan pajak yang

dilakukan oleh fiskus

4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif sesuai dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku, antara lain meliputi :

a. Mematuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-

sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana, seperti bunga, kenaikan,

denda, dan hukum kurungan atau penjara.

b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian, dan fungsi

keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak (PPh pasal 21, pasal 22, dan

pasal 23).

Page 15: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

15

7. Persyaratan Tax Planning Yang Baik

Tax Management/Tax Planning yang baik mensyaratkan beberapa hal :

1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan.

Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan merupakan tax

evasion.

2. Secara bisnis masuk akal (reasonable).

Kewajaran melakukan transaksi bisnis tersebut harus berpegang kepada praktek

perdagangan yang sehat dan menggunakan standard arm’s length price, atau harga pasar

yang wajar yakni tingkat harga antara pembeli dan penjual independen, bebas melakukan

transaksi.

3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya : Kontrak, Invoice,

Faktur Pajak, PO, DO, dsb.nya).

Kebenaran formal dan materiil dari suatu transaksi keuangan perusahaan dapat dibuktikan

dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak ketiga atau Purchase Order (PO) dari

pelanggan, bukti penyerahan barang/jasa (Delivery Order), Invoice, Faktur Pajak sebagai

bukti penagihannya serta pembukuannya (general ledger).

8. Kapan Dilaksanakan Tax Planning

Karena pajak itu melihat kepada subjeknya yang sudah terbebani sebagai wajib pajak (WP)

orang pribadi atau badan sejak awal misalnya perusahaan baru berdiri kemudian baru berjalan

tidak lama bubar. Jadi walaupun sudah bubar, pajaknya belum selesai. Maka planning-nya

dilakukan sepanjang usia perusahaan. Jadi pada saat berdiri, aktivitas manajemen sudah mulai,

banyak sekali tax management yang harus dilaksanakan. Pada saat perusahaan bubar atau pada

saat WP orang pribadi meninggal masih ada masalah pajaknya. Jadi pajak tidak habis karena

meninggal, karena warisan-warisan ini oleh fiskus masih diotak-atik.

9. Resistensi Pajak

Perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak merupakan hambatan-hambatan

dalam pemungutan pajak baik yang disebabkan oleh kondisi negara dan rakyatnya maupun

disebabkan oleh usaha-usaha wajib pajak yang disadari ataupun tidak yang mempersulit

pemasukan pajak sebagai sumber penerimaan Negara.

Pada dasarnya ada dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan oleh Warga Negara menurut

R. Santoso Brotihardjo (1993:13-14), yakni :

1. Perlawanan Pasif : Perlawanan pasif meliputi hambatan-hambatan yang mempersukar

pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara,

perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem dan cara pemungutan pajak itu

sendiri.

2. Perlawanan Aktif : Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara

langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak.

Page 16: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

16

Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus yang biasanya digunakan

wajib pajak untuk menghindari pajak, yakni :

Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak dilakukan secara

legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang

berlaku dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-

kelemahan (grey area) yang terdapat dalam Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu

sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

Tax evasion (Penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya wajib pajak dengan

penghindaran pajak terutang secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang

sebenarnya, namun tidak aman bagi wajib pajak, dimana metode dan teknik yang

digunakan sebenarnya tidak dalam koridor Undang-Undang & Peraturan Perpajakan itu

sendiri. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi dikenakan sanksi pelanggaran

hukum/tindak pidana fiskal atau kriminil. Oleh sebab itu, sebagai seorang tax planner yang

baik, cara tax evasion ini tidak direkomendir untuk diapplikasikan. Tax Evasion adalah

kebalikan dari Tax Avoidance.

Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan utang pajaknya

dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak

pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang

dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan dengan demikian terhindar

dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.

Sebagai contoh, bila kita belanja teh botol di warung, tentu tidak akan ada pengenaan

Pajak Pembangunan (PPb) atas konsumsi teh botol tersebut, namun bila kita memesan teh

botol di Hotel/Restoran besar tentu akan dikenakan PPb-nya, yang jelas konsumen pasti

akan terbebani dengan beban pajak PPb (yang sebenarnya bisa dihindari) sebagai implikasi

perpajakannya.

Dua cara yang dapat dilakukan oleh perencana pajak (tax planner) perusahaan adalah tax

saving dan tax avoidance karena perbuatan seperti itu tidak melanggar undang-undang. Ada

kemiripan antara tax saving dan tax avoidance ini. Namun, secara teoritis pengertiannya

berbeda. Tax saving adalah usaha memperkecil jumlah pajak yang tidak termasuk dalam ruang

lingkup pemajakan, sedangkan tax avoidance adalah usaha yang sama dengan cara

mengeksploitisir celah-celah yang terdapat dalam ketentuan peraturan erundang-undangan

perpajakan, dimana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Pada

hakekatnya, tax avoidance merupakan perbuatan yang sifatnya mengurangi hutang pajak

secara ilegal dan bukan mengurangi kesanggupan/kewajiban wajib pajak melunasi pajak-

pajaknya namun harus diperhatikan bahwa tindakan tax avoidance diupayakan tidak

terperangkap dalam perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan tax evasion.

Page 17: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

17

9. Cara-Cara Pengelakan Pajak

Ada enam cara pengelakan pajak yang biasanya terdapat dalam dunia usaha, yaitu :

1. Penggeseran pajak (tax shifting),

2. Kapitalisasi (capitalization),

3. Tranformasi (transformation),

4. Penyelundupan pajak (tax evasion),

5. Penghindaran pajak (tax avoidance), dan

6. Pengecualian pajak (tax exemption).

(Sophar Lumbantoruan,1999 : 489)

Penggeseran pajak (tax shifting) ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subyek

pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau beban yang dikenakan pajak mungkin

sekali tidak menanggungnya.

Ada dua jenis penggeseran pajak yang sering dilakukan dalam pengelakan pajak :

1. Penggeseran Pajak Ke depan (Forward shifting)

Penggeseran ini terjadi apabila pabrikan mentransfer beban pajaknya kepada penyalur

utama, pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen. Misalnya PPN. Penggeseran ini

mengakibatkan kenaikan harga sebesar pajak (PPN) yang dikenakan.

2. Penggeseran Pajak Ke Belakang (Backward shifting)

Penggeseran ini terjadi bilamana beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli

melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Penggeseran ini mengakibatkan pemotongan

harga jual sebesar pajak yang dikenakan kepadanya.

Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang

akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli harga

tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama, agar beban pajak tidak menjadi

tanggungan pembeli maka beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli

harta menjadi berkurang.

Kapitalisasi pajak ini dapat dikatakan salah satu bentuk penggalihan pajak ke belakang.

Transformasi adalah cara pengelakkan pajak dilakukan oleh pabrikan dengan cara

menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasanya dilakukan oleh

produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya, supaya

keuntungan perusahaan tidak berkurang maka beban pajak yang seharusnya dapat ditransfer

kepada konsumen dapat dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan.

Pengelakan pajak terjadi dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang

diperoleh melalui efisiensi produksi.

Tax avoidance menunjuk pada rekayasa tax affairs yang masih dalam bingkai ketentuan

perpajakan sedangkan tax evasion berada di luar bingkai peraturan perpajakan, seperti telah

diuraikan diatas.

Pengecualian Pajak (Tax exemption) adalah pengecualian pengenaan pajak yang diberikan

kepada perorangan atau badan berdasarkan Undang-undang pajak.

Page 18: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

18

Ada beberapa pengecualian pengenaan pajak yang diberikan oleh Pemerintah sekarang ini,

misalnya :

PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja

Pada Kategori Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 yang dirubah ketiga kalinya dengan PP No.

7 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang

Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 3 Undang-undang PBB No. 12 Tahun 1985 yang dirobah dengan UU PBB No. 12

Tahun 1994 Tentang Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah

objek pajak yang :

a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk

memperoleh keuntungan,

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,

merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu

hak,

c. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal

balik,

d. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh

Menteri Keuangan

Selain karena adanya suatu kesengajaan untuk mengurangi atau tidak memenuhi kewajiban

perpajakannya, wajib pajak juga sering bertindak lalai dan baru disadari belakangan setelah

ada pemeriksaan fiskus. Kelalaian memenuhi kewajiban pajak yang harus dilakukan oleh

wajib pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya,

namun menurut OLIVER OLDMAN (Harnanto, 1994) kelalaian wajib pajak juga meliputi

dalam hal :

1. Ketidaktahuan (ignorance), yakni wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.

2. Kesalahan (error), yakni wajib pajak paham dan mengeri mengenai ketentuan peraturan

perundang-udangan perpajakan tapi salah dalam menghitung datanya.

3. Kesalahpahaman (misunderstanding), yakni wajib pajak salah menafsirkan ketentuan

pertaturan perundang-undangan perpajakan.

4. Kealpaan (negliance), yakni wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta bukti-

buktinya secara lengkap.

Contoh tindakan yang termasuk kategori di atas adalah salah dalam pengisian SPT, tidak

menyampaikan SPT tepat waktu, tidak membayar pajak terutang tepat waktu, membayar

dengan cek kosong utang pajaknya.

Page 19: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

19

11. Rambu-Rambu Dalam Penyusunan Tax Planning

Dalam strategi perpajakan kita sudah mengenal tentang tax avoidance dan tax evasion. Dalam

praktek di lapangan, kedua metode penghindaran pajak tersebut agak tipis perbedaannya,

sehingga pada awalnya didesain untuk melakukan tax avoidance namun kenyataannya bisa

terjebak melakukan tax evasion. Untuk menentukan legalitas tax management/tax planning

yang didesain, apakah legal (tax avoidance) atau illegal (tax evasion), maka rambu-rambu

yang dapat dipakai adalah ketentuan pidana Pasal 38, 39, 41, 41A, 41B dan 43 Undang-

undang KUP No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU KUP No. 7

Tahun 2007.

12. Tahapan Pokok Tax Planning

Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Barry Spitz (1983 : 86)

mengemukakan urutan tahap-tahapan yang harus ditempuh dalam melakukan perencanaan

pajak, yakni :

1. Analysis of the existing data base (Analisis data base informasi yang ada)

2. Design of one or more possible tax plans (Membuat satu model atau lebih rencana

besarnya pajak)

3. Evaluating a tax plan (Evaluasi atas perencanaan pajak)

4. Debugging the tax plan (Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak)

5. Updating the tax plan (Memutakhirkan rencana pajak)

Tahapan pertama - merupakan tahap penganalisaan terhadap komponen-komponen yang

berbeda pengakuannya antara komersil dan fiskal dan menghitung seakurat mungkin

beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan

mempertimbangkan masing-masing elemen pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun

secara total pajak yang nantinya akan dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling

efisien.

Data base yang harus dianalisa antara lain meliputi :

Dianalisa apakah terdapat kejanggalan atau komponen-komponen yang berbeda :

a. dalam Pembayaran dan Pelaporan Pajak bulanan PPh Psl. 21, PPh Badan, dan

PPN.

b. dalam Pemotongan dan Pelaporan Pajak bulanan (PPh Psl. 23/26), PPh Psl. 4(2),

c. dalam SPT Tahunan PPh Psl. 21 dan PPh Badan, dengan senantiasa

mengkaitkannya atau merekonsiliasikannya dengan pembukuan perusahaan.

Analisis implikasi fiskal atas suatu proyek yang sedang ditangani atau yang akan

datang.

Tahapan kedua - Setelah melakukan tahapan awal di atas, maka harus dibuat beberapa model

perencanaan pajak yang akan dilakukan. Pembuatan model-model perencanaan pajak

tersebut dimaksudkan sebagai alternatif untuk menentukan tax plan mana yang applicable

dan paling efisien dan efektif untuk diimplementasikan. Contohnya berikut ini :

Pemilihan bentuk usaha-pada saat seorang investor baru memulai suatu usaha, maka

dia akan memilih bentuk usaha apa saja yang bisa memberikan hasil akhir (net profit

Page 20: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

20

after tax) yang lebih besar buat dia, apakah dalam bentuk Perseroan terbatas (PT),

Usaha Perorangan atau Firma/CV.

Bagi badan usaha yang telah go international atau perusahaan multinasional, treaty

shopping dapat dilakukan oleh para pengusaha dengan memanfaatkan mana tarif pajak

dan fasilitas perpajakan yang terdapat dalam berbagai tax treaty yang telah disetujui

oleh masing-masing Kepala Negara, yang lebih menguntungkan bagi para pengusaha

tersebut.

Tahapan ketiga - tahap evaluasi perencanaan pajak

Dalam tahapan ini evaluasi dilakukan sekaligus untuk melakukan pengendalian pajak

merupakan langkah akhir dalam manajemen pajak. Pengendalian pajak bertujuan untuk

memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah

direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Pengendalian

pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak (tax review).

Dengan memperhatikan contoh di atas, pengendalian pajak dapat dilakukan sebagai

berikut:

a. Melakukan review atas pengkreditan Pajak Masukan apakah Faktur Pajak yang diterima

memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak Standar.

b. Melakukan review apakah Faktur Pajak telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu.

c. Melakukan review apakah retur yang telah dicatat dan dilaporkan telah benar, baik

secara formal maupun materi.

Dalam tahap evaluasi perencanaan pajak kita misalnya dapat mengimplementasikan

program Tax Diagnostic Review (TDR), semacam program untuk menangani kepatuhan

wajib pajak yang dapat disusun sendiri oleh Tax Manager atau Tax Consultant dari

masing-masing perusahaan. Setelah menetapkan alternatif mana yang akan digunakan,

maka perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan yang akan

diperoleh dari suatu perencanaan pajak.

Tujuan dilakukannya TDR adalah :

1) untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakukan pemenuhan kewajiban

perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku

2) meminimalisasikan terjadinya transaksi yang dapat menimbulkan resiko permasalahan

perpajakan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah adanya kemungkinan fiskus tidak

setuju dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan (deductible items) sehingga

nantinya akan merugikan perusahaan.

3) meminimalisasikan sanksi perpajakan yang diakibatkan kesalahan pencatatan yang

dilakukan oleh unit bisnis dan kemudian memperbaikinya

4) agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada waktu yang akan datang

5) mempersiapkan unit bisnis dalam menghadapi pemeriksaan yang dilakukan oleh

fiskus.

Tahapan keempat- Dalam konsep manajemen, pengawasan/pengendalian (controlling) itu

dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan preventif dan pengawasan refresif.

Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (tax plan) adalah merupakan

bentuk pengawasan refresif. Perencanaan pajak yang telah diimplementasikan harus

dimonitor dan di-review terus dan dicari kelemahan dan kekurangannya. Terkadang ada

Page 21: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

21

suatu hal yang menyebabkan suatu rencana pajak memiliki kekurangan, baik itu

disebabkan karena adanya perubahan peraturan perpajakan atau faktor lainnya sehingga

rencana pajak tersebut harus dikaji ulang kembali dan bila ditemukan kelemahan harus

segera dimodifikasi untuk keberhasilan tax plan tersebut agar rencana dan tindakan dapat

dilakukan tepat waktu. Penambahan biaya yang akan terjadi akibat adanya perubahan

rencana pajak tersebut harus dilihat dari perspektif ekonomisnya yakni bahwa benefit yang

diperoleh harus lebih besar dari cost yang dikeluarkan, atau kita bersikap konservatif

selama masih diperoleh penghematan pajak yang lebih besar dengan mengantisipasi

kerugian yang akan timbul pada tingkat kerugian yang minimum.

Tahapan kelima- Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam ketentuan

perundang-undangan perpajakan, sehingga dalam melaksanakan perencanaan pajak perlu

memproyeksikan perubahan yang sedang terjadi saat ini dan saat yang akan datang dalam

tax plan yang sudah dibuat. Tax plan tersebut harus di-update terus dan dimutakhirkan

sesuai dengan ketentuan terkini sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi akibat yang

merugikan dari adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi. Dengan

memutakhirkan perencanaan pajak maka diharapkan perencanaan pajak yang sedang

berjalan tidak akan mengalami hambatan yang berarti.

Sebagai bahagian dari pemutakhiran tax plan tersebut, pengembangan rencana atau

perangkat tindakan dapat dilakukan misalnya mengadakan/mengintegrasikan sistem

informasi (information system) yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaiannya

tax plan kepada para petugas yang memonitor implementasi tax plan tersebut dan juga

keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait dengan

masalah-masalah perpajakan yang dicantumkan dalam setiap kontrak bisnis, sehingga

tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

13. Langkah-Langkah Praktis Yang Dapat

Dilakukan Dalam Perencanaan Pajak

Agar tax plan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, Langkah-langkah praktis yang

dapat dilakukan dalam melakukan perencanaan pajak, adalah sebagai berikut :

1. Mengusahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan

pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets)

2. Mempercepat atau menunda beberapa penghasilan dan biaya-biaya untuk memperoleh

keuntungan dari kemungkinan perubahan tarif pajak yang tinggi atau rendah, seperti

penangguhan pengenaan PPN, PPN yang ditanggung pemerintah dan seterusnya.

3. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti

pembentukan group-group perusahaan.

4. Menyebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah

penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda

pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya.

5. Transformasikan penghasilan biasa menjadi capital gain jangka panjang

6. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian

dari potongan-potongan

Page 22: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

22

7. Mempergunakan uang dari hasil pembebasan pengenaan pajak untuk keperluan perluasan

perusahaan yang mendapatkan kemudahan-kemudahan.

8. Memilih bentuk usaha yang terbaik untuk operasional usaha

9. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur

secara keseluruhan penggunaan tarif pajak, potensi menghasilkan, kerugian-kerugian dan

aset yang dapat dihapus. (Harnanto, 1994)

14. Perangkat Tax Planning

Pajak itu dianggap suatu beban dan orang menerima secara umum menjadi suatu kebenaran.

Dalam pengorganisasian dibuat perangkat-perangkat sedemikian rupa sehingga perencanaan

pajak dapat diadakan dengan baik. Perangkat-perangkatnya adalah :

1. Pemahaman Ketentuan Perpajakan

Agar planning bisa berhasil dengan baik, tax planning ini harus dikaitkan dengan kondisi

tax administration setempat. Bukan hanya Undang-undang saja tetapi juga di Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Pengadilan Pajak, Keputusan

Dirjen, Surat Edaran dan kadang-kadang ada private ruling/surat-surat kepada individu.

Semakin banyak yang dikuasai seorang tax planner, akan lebih efektif. Juga untuk

planning yang sifatnya pajak daerah/lokal tentu juga harus paham tentang berbagai

ketentuan pajak daerah.

Suatu hal yang agak menantang yaitu bahwa persyaratan pemahaman harus up to date,

semacam continuing profesional education. Para tax planner harus secara kontinyu

mengikuti profesional education, suatu updating pengetahuan baik dilakukan secara

internal maupun eksternal.

Mengetahui Tentang Tax Treaty

Kalau nasional sifatnya maka kita juga harus paham tax treaty. Dari berbagai treaty kalau

diperbandingkan, kalau orang berkata bahwa perbedaan pendapat itu merupakan rahmat,

tapi ini debatnya betul. Kalau untuk planning internasional, justru yang dicari adalah

perbedaan aturan, bukan kesamaannya. Jadi, yang perbedaan ini betul-betul rahmat untuk

para tax planner. Maka tiap treaty dicari perbedaan antara suatu treaty dengan treaty

lainnya. Jadi dicari perbedaannya, yang dieksploitir untuk keuntungan, untuk

meminimialisir beban pajak secara regional/global.

Perbedaan-perbedaan yang ada pada treaty sebetulnya sifatnya semacam national

distortion. Jadi Bagi tax planner ini menjadi suatu rahmat. Dia mengambil

manfaat/keuntungan dari national distortion tadi, dari berbagai treaty, tekhniknya

namanya adalah treaty shopping. Contoh treaty shopping, kalau bank-bank Singapura, dia

menerima bunga di Indonesia tidak dikenakan withholding tax. Maka orang Indonesia

barangkali dia berduyun-duyun memanfaatkan treaty shopping ke Singapura. Dia punya

teman, titip obligasinya misalnya pada teman yang di Bank, jadi seolah-olah membayar

bunganya ke bank sana padahal tidak, tapi hanya meminimialisir pajaknya saja.

Page 23: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

23

2. Pengadministrasian/Dokumentasi Yang Baik

Dengan persyaratan pembukuan, penyelenggaraan pembukuan yang baik dan lengkap juga

merupakan suatu persyaratan untuk pengorganisasian suatu tax management yang baik.

Tapi dalam pembukuan itu sendiri juga bisa direkayasa/di-planningkan untuk

meminimalisir beban pajak. Karena dalam pembukuan ini ada berbagai macam opsi dalam

pajak. Opsi dalam pajak ini merupakan suatu masukkan untuk planning. Kalau tidak ada

opsi tidak ada planning, banyak opsi banyak planning. Sama juga dengan tidak ada treaty

kurang bagus, tapi kalau banyak treaty semakin banyak peluang karena banyak pilihan.

Dan kecenderungan negara itu secara politis dia akan memperbanyak treaty walaupun

mungkin efektifnya tidak ada. Apalagi yang negara besar, semakin banyak treaty-nya

semakin bagus dari segi politis/politik perpajakan, berarti bukan negara sembarangan,

terkenal karena banyak treaty-nya, dan semakin banyak juga investor yang akan datang

dari segi pajak.

3. Menjaga Hubungan dan Komunikasi Yang Baik

Menjaga hubungan baik dengan fiskus perlu terutama di negara berkembang. Kalau di

negara maju, hubungan yang proporsional saja. Kalau di negara berkembang bahwa

personal approach konon kabarnya sangat menentukan. Biasanya di negara berkembang

information itu sangat mahal karena banyak sekali informasi yang masih tertutup. Law

enforcement kadang-kadang masih merupakan barang yang sangat mahal. Selain itu

penting menjalin komunikasi dalam manajemen internal :

a. Komunikasi Dengan Kepala Divisi/Bagian

Sebagai bahagian dari tax plan, seorang tax manager harus mengkomunikasikan

ketentuan/prosedur perpajakan yang terkini kepada bagian-bagian lain dalam

perusahaan, seperti Bagian Penjualan, Pembelian, Akuntansi, Kepegawaian, dan

sebagainya. Masing-masing bagian diberikan suatu perangkat manual tax plan yang

hanya berkenaan dengan fungsi/aktivitas mereka masing-masing, agar supaya tidak

terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

b. Komunikasi Dengan Top Management dan Asosiasi

Dalam melaksanakan tax plan tersebut, sangat dibutuhkan dukungan yang kuat dari top

management bukan sekedar lip service, kebijakan perpajakan yang diambil adalah juga

merupakan bahagian dari corporate policy perusahaan tersebut yang harus dipatuhi dan

dilaksanakan oleh segenap jajaran manajemen mulai dari top management hingga ke

lower management karena ini berdampak pada pencapaian the bottom line dari kinerja

perusahaan yakni net profit after tax. Oleh sebab itu top management harus banyak

dilibatkan dengan keputusan pemilihan strategi perpajakan yang diambil agar

senantiasa sinkron dengan Master Plan perusahaan.

Sering terjadi dalam praktek, bahwa permasalahan pajak yang dihadapi oleh

perusahaan tersebut tidak bisa diselesaikan secara internal. Sebagai contoh, pada saat

keluarnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-178/PJ./2006 tentang tentang Jenis Jasa

Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto dimana diantaranya atas Jasa Freight Forwarding

dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 pada tarif 20%, maka para pengusaha perusahaan

Page 24: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

24

kargo (Int’l Freight Forwarder) secara kolektif mengajukan keberatan mereka atas

peraturan tentang pemotongan tersebut melalui Asosiasi mereka yakni Gefeksi untuk

memberikan pressure kepada Ditjen Pajak untuk merubah ruling mengenai masalah

yang bersangkutan, dan akhirnya usaha mereka berhasil dengan keluarnya Peraturan

Dirjen Pajak No. PER- 70/PJ/2007 merevisi PER-178/PJ./2006 yang menghilangkan

Jasa Freight Forwarding dari Objek pajak yang dipotong PPh Pasal 23.

c. Komunikasi Dengan Konsultan Pajak

Fungsi Konsultan Pajak adalah sebagai penyuluh dan sebagai jembatan antara Wajib

Pajak dengan fiskus, serta sebagai kuasa wajib pajak di Pengadilan Pajak, dll.

Keberadaan mereka harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tujuan yang ingin

dicapai oleh perusahaan bisa berhasil dengan baik. Sebelum kita memilih konsultan

pajak, seyogiayanya kita sudah mengetahui kualifikasi mereka dan pengalaman

kesuksesan dalam menangani kasus-kasus yang serupa, agar pelaksanaannya bisa

berjalan mulus. Jangan sampai terjadi penunjukan konsultan pajak tersebut malah

memperburuk keadaan perusahaan dan malah menimbulkan beban pajak yang lebih

besar akibat kekurangpiawaian dari konsultan pajak tersebut. Hal ini banyak terjadi

dalam praktek, sewaktu perusahaan diperiksa oleh fiskus.

4. Implementasi Perencanaan Pajak

Pelaksanaan/implementasi perencanaan pajak termasuk staffing, maksudnya menentukan

orang-orangnya, tax planner atau konsultan pelaksana yang ditugasi pada saat closing

conference-nya menjelang tahap akhir dari proses pemeriksaan pajak diadakan.

Pelaksanaan ini tentu melihat pada optimalisasi perencanaan pajak sehingga apa yang

sudah digariskan dalam perencanaan tadi jangan sampai implementasinya tidak

proporsional sehingga hasilnya tidak bagus. Suatu transaksi yang sudah direkayasa

sedemikian rupa, harus betul-betul dilaksanakan seoptimal mungkin sesuai dengan

rencana sebagai bentuk responsibility tax accounting. Misalnya, kalau kewajiban

menyampaikan SPT Masa PPN pada tanggal 20, maka bila disampaikan lewat dari

tanggal 20 akan terkena denda sebesar Rp. 500.000,-. Kalau satu tahun terlambat terus,

dendanya menjadi Rp. 6 juta. Untuk bisa implementasi sesuai dengan yang direncanakan,

membutuhkan suatu kontrol.

Penulis disini memperkenalkan konsep different tax planning for different purpose

dalam arti bahwa dalam penyusunan tax planning tersebut tidak bisa di generalisir karena

kebutuhan untuk manajemen pajak dari berbagai perusahaan itu berbeda-beda, dan

dengan transaksinya juga bisa berbeda-beda. Misalnya, tax planning bisa dibuat untuk

keperluan penyusunan SPT Tahunan perusahaan, bisa juga dibuat untuk keperluan pada

saat perusahaan melakukan merger, joint operation dan sebagainya.

Jadi dalam tax management tidak bisa di generalisir bagaimana formulasinya tergantung

kepada event yang dihadapi untuk mem-planningkan perpajakannya, kadang-kadang

tergantung juga pada tempatnya dan behavior daripada tax administration. Bila KPP

dimana pejabat pajaknya mungkin cukup akomodatif tentu planningnya berbeda dengan

kalau dilingkungan yang para pejabat pajaknya agak agresif, yang terakhir ini mungkin

dihadapi dalam masalah penagihan pajak.

Page 25: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

25

Dalam melakukan perencanaan pajak itu tidak ada suatu tax plan yang berlaku secara

permanen. Keahlian seorang tax planner hanya akan didapat bila secara kontinyu

mempelajari dan mendalami masalah-masalahnya serta melakukan penelitian, karena

perencanaan pajak itu sendiri pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang didesain

untuk suatu kejadian atau transaksi-transaksi yang akan terjadi. Dalam mendalami

masalah tersebut, seorang tax planner harus membuat pemetaan masalah (mapping)

dengan mengusahakan agar diperoleh data sebanyak mungkin yang relevan dengan

permasalahan tersebut untuk selanjutnya diteliti fakta yang relevan, kemudian disusun tax

planning-nya.

15. Strategi Tax Planning

1. Jurus Tax Planner

Pada umumnya seperti banyak kasus-kasus perpajakan yang terjadi belakangan ini, ada

empat cara/modus yang digunakan oleh wajib pajak dalam men-desain perencanaan

pembayaran pajaknya, cuma sayangnya sebahagian dilakukan dengan cara yang ilegal (tax

evasion), yakni :

a. Kalau bisa mereka tidak membayar pajak sama sekali, walaupun cara ini tidak

melanggar Undang-Undang Perpajakan. Cara ini tidak direkomendasikan karena

sebagai warga negara yang baik kita harus memahami bahwa negara kita saat ini

sedang membutuhkan dana dari setoran pajak untuk membiayai kelangsungan

pembangunan negeri ini.

b. Kalau tidak bisa tidak membayar pajak sama sekali, mereka akan mengurangi

membayar pajaknya dengan tidak melanggar UU Perpajakan. Umumnya mereka

memanfaatkan grea area dalam ketentuan perpajakan yang berlaku.

c. Kalau bisa digeser waktunya, yaitu daripada ia bayar sekarang, lebih baik membayar

tahun depan (forward shifting), jadi bunga (interest)nya mereka nikmati.

d. Kalau ketiga-tiganya tidak ketemu, maka baru mereka akan membayar pajaknya.

2. Secara Umum Konsepsi Tentang Tax Planning Diberikan Paling Kurang Pada

Tujuh Situasi :

a. Pada saat mempertimbangkan struktur bentuk usaha sebelum usaha dimulai Contoh kongkritnya adalah sekarang tahun 2009, aturannya berbeda, tarifnya berbeda.

Sebelum mulai usaha, orang tentu akan mulai berpikir, apakah bentuk usahanya

perseorangan atau badan. Kalau usaha perseorangan dia kena tarif progresif, bila

estimasi penghasilannya Rp. 50 juta, maka dia kena tarif 5%, tapi bagi perorangan

berlaku ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp. 15.840.000,-

untuk WP sendiri dan Rp. 1.320.000,- untuk isterinya dan masing-masing anaknya

(max. 3 orang tanggungan). Kalau badan dia kena tarif tunggal 25% (tahun 2010) dan

tidak ada PTKP. Kemudian kalau sudah badan, dia akan berpikir lagi, apakah Firma

atau PT. Sebagai badan, penerapan tarif PPh nya sama untuk PT, Firma dan CV.

Firma pajaknya sama dengan CV tapi mungkin konsekuensi hukumnya berbeda.

Page 26: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

26

Beda Firma dengan PT :

1. Pemiliknya kalau PT, laba setelah pajak kalau dibagi kepada para pemegang saham

WPOP harus membayar pajak dividen. Beda dengan Firma tidak perlu membayar

pajak dividen.

Pada Pasal 4 ayat 3 huruf i dan penjelasannya menyebutkan bahwa bagian laba

yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer (yang modalnya

tidak terbagi atas saham-saham), persekutuan, perkumpulan, firma, dan

kongsi,badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan

himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada

tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para

anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.

2. Ini hubungannya Non Taxable Income atas bagian laba yang diterima oleh para

anggota badan tersebut (persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi), dengan

demikian sesuai dengan prinsip taxability- deductibility maka gaji yang dibayarkan

kepada anggota firma/CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, tidak dapat

dibiayakan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf j. Kalau di PT. gaji

yang dibayarkan kepada pengurus yang juga merangkap sebagai pemegang saham

dapat dibiayakan selama penghasilannya di laporkan dalam SPT PPh Pasal 21.

Beda Orang Pribadi dengan Firma :

1. Orang pribadi tarif PPh-nya murah yakni 5 % hingga pendapatan Rp. 50 juta.

2. Mendapatkan PTKP.

3. Dua orang pribadi kalau terpisah, beban pajaknya akan kecil karena ada PTKP,

tarif pajak orang pribadinya yang lebih rendah dibandingkan kalau dia bergabung

dengan firma maka kemungkinan tarifnya lebih besar, dan beban pajaknya lebih

besar.

Pada negara yang mengenakan tarif progresif, suatu perusahaan besar walaupun

labanya banyak, dibandingkan dengan 10 perusahaan kecil, maka beban pajaknya akan

lebih besar perusahaan yang besar, karena kena tarif progresif. Berbeda dengan suatu

negara yang mengenakan tarif flat. Apakah sedikit tapi besar atau banyak tapi kecil-

kecil, tidak ada masalah. Karena income-nya di bracket seperti yang dikenakan pada

PPh Badan UU PPh Tahun 2000, maka dia akan menghindar dari progresif tax tarif di

lapisan tarif (bracket) yang tertinggi, hingga total tax burden akan lebih murah. Hal ini

bisa dirancang dengan melakukan penyebaran income pada beberapa perusahaan yang

lebih kecil dibandingkan dengan satu perusahaan yang besar yang kena dampak dari

progresifitas.

b. Pertimbangan Kembali Struktur Usaha

Perusahaan sudah jalan, tapi ada kemungkinan untuk dipertimbangkan kembali.

Misalnya perubahan Undang-Undang Pajak menyebabkan berkurangnya

optimalisasi struktur yang ada sekarang. Kalau perubahannya menjadi tambah

longgar itu tidak ada masalah, tetapi kalau kelonggarannya menciut umumnya

orang meributkan.

Contoh : Dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000, kepemilikan saham di perusahaan

anak (subsidiary company) sekarang, untuk dapat bebas pajak dividen harus

Page 27: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

27

kepemilikan sahamnya sekurang-kurangnya 25 % dari jumlah modal yang disetor

dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. Jadi kalau

semua yang punya saham 10 % yang satu lagi 15 %, supaya mereka bebas maka

harus merger atau harus rela sahamnya dititipkan. Kalau yang sekarang UU PPh

No. 36 Tahun 2008 yang berlakunya mulai tahun 2009, syarat harus mempunyai

usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut dihilangkan.

Ada salah satu anti avoidance yang biasanya dicantumkan di treaty, biasanya ini

idenya beneficial owner/pemilik manfaat. Jadi, mereka bisa saja menitipkan

sahamnya seolah-olah yang menerima itu satu perusahaan tapi nanti akan dilihat

secara transparan, siapa pemilik manfaat itu, apakah betul-betul mereka atau milik

orang lain.

Tentang time dimention juga dapat diperoleh sebagai suatu planning. Secara umum

penghematan pajak menganut prinsip the least and the latest, yaitu membayar

dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan

oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Ada perubahan peraturan-peraturan harus

dimanfaatkan secepatnya. Pada detik-detik terakhir tax planning itu sebelum

tanggal 31 Desember, maka pergunakan the last minutes tax planning.

c. Apabila Terjadi Perubahan Kepemilikan Perusahaan(Merger/Akuisisi)

Kalau terjadi perubahan kepemilikan perusahaan maka umumnya tax planner ini akan

mencoba untuk mencari mode transaksi yang tidak dikenakan pajak.

Kalau terjadi merger, tax planner akan mensyaratkan menggunakan nilai buku,

karena penggunaan nilai buku ini tidak menimbulkan capital gain yang merupakan

objek pajak penghasilan. Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan

nilai buku sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008

tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka

Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Permohonan izin Penggunaan

Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Merger atau Pemekaran Usaha

diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang

membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar, paling

lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger dilakukan. Untuk memenuhi

ketentuan formalnya, permohonan merger tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang

menerima pengalihan harta.

Kalau dengan penjualan saham mereka lewat BEJ dipungut pajak 0,1 %, maka dia

akan mencoba untuk tidak lewat BEJ.

d. Apabila perusahaan mempertimbangkan suatu transaksi/proyek/perolehan

assets dalam rangka meminimalkan beban pajak

Bisa transaksi import dan jual beli :

Kalau import dia akan berusaha agar barang-barangnya itu bebas bea masuk,

bebas PPh pasal 22, bebas PPN, dsb.

Page 28: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

28

Transaksi penjualan tanah/bangunan, dia akan mencoba untuk memaksimalkan

penggunaan NJOPTKP agar BPHTB nya tidak kena, misalnya transaksi penjualan

tanah/bangunan dipecah-pecah.

Dalam perolehan aktiva kalau ini menyangkut fixed assets yang jumlahnya besar

dia akan mencoba memilih berbagai kemungkinan, apakah mungkin dia akan

membangun sendiri, meminjam, membeli, atau leasing (dengan hak opsi).

Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam

Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya

Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan

Keputusan Menteri Keuangan No. 320/KMK.03/2002, yang bangunannya

diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200

m2 atau lebih dan bersifat permanen, maka PPN yang terutang atas kegiatan

membangun sendiri, jumlahnya ditetapkan sebesar 4% (yakni 10% x 40%) x

jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.

Jadi wajib pajak dapat menghemat pajak sebesar 6%.

Leasing (dengan hak opsi) ini kadang-kadang lebih untung daripada membeli

secara tunai dari sudut perpajakan. Kalau untuk capital leasing masa leasing

minimal 7 tahun untuk golongan bangunan. Yang 7 tahun sudah merupakan capital

leasing. Tapi kalau dia beli sendiri, disamping dia harus menyediakan semua

financingnya, maka dari segi depresiasi dia akan lebih lama dari pada capital

leasing. Jadi dalam 7 tahun, secara fiskal pembayaran leasing(dengan hak opsi)

yang dilakukan/terutang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto. Dengan demikian maka selama 7 tahun itu secara fiskal perusahaan akan

kelihatan kurang baik, sehingga beban PPh-nya juga tidak banyak. Jadi ternyata

bahwa leasing(dengan hak opsi) itu lebih menguntungkan dari pada membeli aktiva

tetap secara tunai.

e. Apabila suatu perusahaan akan memperoleh penghasilan kena pajak

(PKP) yang cukup besar dalam satu tahun, maka dia cari jalan untuk

mengurangi beban pajak

Income atau obyek yang taxable, obyeknya apa saja dalam 1 tahun dia akan

kurangi. Artinya, dalam hal tarifnya adalah tarif progresif, kalau ada penghasilan

pengakuannya akan ditunda (deferred), atau akan mempercepat untuk pengakuan

biaya. Tapi kalau tarifnya flat, otomatis urgency-nya agak kurang untuk menunda

atau mempercepat. Kalau tarifnya flat, karena beban pajaknya sama, urgency

mempercepat atau menunda itu kadang-kadang melihat cash flow-nya. Kalau cash

flow-nya tidak terganggu tidak ada masalah, tapi kalau cash flow-nya terganggu,

mungkin dia sedang mengalokasikan sumber daya untuk keperluan yang lain maka

dia akan tunda pengakuannya.

Sebagai contoh lain, dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008, ditetapkan

tarif PPh Badan sebesar 25% berlaku mulai Tahun 2010 sedangkan untuk Tahun

2009 tarif PPh Badan adalah sebesar 28%. Biasanya Tax Planner akan melihat

transaksi-transaksi penghasilan apa saja di penghujung Tahun 2009 yang dapat

digeser pengakuannya ke tahun 2010 untuk bisa menghemat selisih tarif PPh

sebesar 3% yang berarti akan mengurangi tax burden bagi perusahaan.

Page 29: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

29

Profit itu tidak identik dengan cash available. Profit itu angka, tapi uang tidak

identik dengan profit. Jadi kalau profitnya besar belum tentu uangnya banyak.

Sebaliknya, kalau bisa meskipun profitnya kecil tetapi uangnya banyak artinya

cash flow-nya lancar.

Biaya akan diakui didalam Laporan Rugi/Laba apabila liability-nya sudah ada

walaupun belum dibayar. Maka untuk penghasilan, tax planner akan mencoba

untuk menggeser sedapat mungkin pengakuan pendapatannya. Sekaligus dia

berusaha akan averaging/meratakan penghasilan. Kalau ada expense akan dia

akrual, walaupun belum dibayarkan tapi seolah-olah bahwa billing-nya terjadi

sekarang.

f. Apabila terjadi perubahan keadaan individu WP (pensiun, perkawinan,

pisah) Kalau pesangon dibayarkan sekaligus akan dikenakan PPh 10 % final. Tapi kalau

pensiun bulanan maka akan kecil-kecil jumlah pajaknya. Kalau dia dibayar bulanan

(lumpsum) akan kena pajak normal dan ada PTKP. Secara total apakah lebih

untung kalau dibayar lumpsum payment sekaligus, atau average setiap bulan?.

Namun aturan pensiunnya bagaimana, apakah boleh dibayar secara bulanan? Ini

harus dianalisis untuk melihat apakah perusahaan bisa menghemat pajak dari

penerapan salah satu alternatif cara pembayaran tersebut tanpa mengenyampingkan

aturan yang ada.

Kondisi married/tambah keluarga umumnya PTKP hanya diberikan/diberdayakan

critical time-nya pada awal tahun. Jadi kalau kawinnya dipertengahan tahun maka

sampai dengan akhir tahun dianggap sendiri. Kalau calon suami istri kedua-duanya

bekerja, pajaknya bagaimana. Kalau sama-sama kerja, suami istri mendapat PTKP

Rp. 15.840.000,- masing-masing, ditambah dengan Rp. 1.320.000,00 untuk

isterinya dan masing-masing anaknya (max. 3 orang tanggungan). Jadi pajak ini

pro dengan perkawinan. Kalau digabung ada progresifitas tarif. Jadi kalau

penghasilan suami isteri berdua digabung dan lebih dari Rp. 50 juta, maka akan

kena bracket yang besar. Jadi fenomenanya disini adanya tambahan Rp.

1.320.000,00 untuk PTKP isteri dan kemungkinan terkena taxable bracket yang

lapisan tinggi karena penghasilan yang digabung tersebut.

g. Apabila perusahaan/orang pribadi akan menjual aktiva atau perusahaan akan

bubar/orang pribadi almarhum Kalau sampai meninggal belum dibagi maka tidak ada PTKP dan dikenakan tarif

progresif. Jadi sebelum almarhum lebih baik dibagi dulu karena akan mendapatkan

PTKP untuk masing-masing bagian dan tarifnya lebih murah.

3. Tax Planning Yang Masih Berlaku

Berikut ini ada beberapa trik yang perlu dipertimbangkan dalam membuat tax planning

perusahaan :

Page 30: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

30

a. Maksimalkan Biaya-Biaya Yang Dapat dikurangkan

Seringkali petugas pembukuan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-

biaya tertentu sehingga pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh fiskus biaya-biaya

tersebut tidak dapat dikurangkan. Contohnya : biaya promosi, biaya keamanan, biaya

pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan UU PPh pasal 9 (1) g

sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya, maka dengan sendirinya

akan dikoreksi oleh fiskus. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjalanan

direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi. Tentunya ini juga akan

dikoreksi oleh fiskus. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi

pegawai. Ini juga akan dikoreksi karena tidak dianggap sebagai biaya untuk

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

b. Merger Antara Perusahaan Yang Terus Menerus Rugi Dengan Perusahaan

Yang Laba

Didalam satu kelompok usaha, kadang-kadang terdapat perusahaan yang terus merugi

selama beberapa tahun sebelum menghasilkan laba, sedangkan di perusahaan lainnya

yang sejenis sudah menghasilkan laba. Dengan demikian secara kelompok,

perusahaan membayar PPh atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya.

Menurut Pasal 3 Per-Menkeu No. 43/PMK.03/2008, bila kedua perusahaan tersebut

digabungkan (Merger) dengan menggunakan nilai buku, tidak boleh

mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan

diri/Wajib Pajak yang dilebur. Akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut

bisa dikompensasikan dengan “selisih lebih atas penilaian kembali aktiva tetap” hasil

revaluasi aktiva tetap yang dilakukan berdasarkan nilai pasar yang wajar, dan atas

selisih lebih setelah kompensasi kerugian tersebut dikenai PPh Final 10%.

c. Menunda Penghasilan

Misalnya buku perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember

tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba atas lonjakan permintaan

tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya.

Disamping itu angsuran PPh 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar.

Bila memungkinkan pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen agar

penyerahan barangnya dilakukan pada awal bulan Januari tahun berikutnya. Dengan

demikian pembayaran pajaknya dapat ditunda satu tahun.

d. Percepat Pembebanan Biaya

Pada akhir tahun fiscal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-

biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya biaya konsultan hukum,

konsultan pajak, auditor, dsb. Dengan demikian seperti halnya dengan penundaan

penghasilan akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.

Page 31: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

31

Contoh Trik Aplikasi

Dalam UU PPh yang baru (Pasal 6 ayat (1) huruf h - UU No. 36 Tahun 2008)

Peraturan mengenai piutang tak tertagih sebetulnya tidak ada perubahan yang

mendasar. Piutang nyata-nyata tak tertagih itu boleh dibiayakan asal memenuhi

beberapa syarat sebagai berikut:

1) Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial;

2) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP;

3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi

pemerintah yang menangani piutang negara; atau ada perjanjian tertulis dengan

debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau

khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan;

4) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan

Sebagai tax planner harus mencari cara yang lebih mudah. Piutang tak tertagih diatur

dalam pasal 6 (1) UU PPh dimana disyaratkan kalau piutang tak tertagih jika ingin

dihapuskan syaratnya yang ada di pasal 6 (1) h UU PPh. Tapi di pasal 6 (1) d UU PPh

mengatakan “Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan

semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan

dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara

penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto”. Misalnya kita punya Lemari

kantor harga belinya Rp. 1 juta, sudah dipakai 1 tahun, sudah di depresiasikan

golongan 2 (tarif penyusutan 20% metode garis lurus). Sekarang tinggal nilai bukunya

80 % atau Rp. 800.000, bila kita jual dengan harga Rp. 400.000 sehingga rugi sebesar

Rp. 400.000, Sesuai Pasal 6 (1) h UU PPh, kerugian ini boleh dikurangkan sebagai

biaya (deductible) dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Cara ini kita pergunakan untuk piutang tak tertagih, karena piutang itu juga

harta/aktiva. Sekarang ada sarana untuk menjual piutang ke perusahaan factoring.

Daripada kita susah-susah mengajukan ke pengadilan, bikin perjanjian susah, kita jual

saja ke factoring company. Misalnya Piutang kita sebesar 500 juta, kita menganggap

bahwa nagihnya paling hanya dapat 100 juta, maka 400 juta akan dihapuskan. Kita jual

saja yang 500 ini ke factoring company dengan harga mungkin 150 juta supaya

factoring company-nya juga dapat untung. Jadi kita juga bisa membiayakan sebesar

500 juta -150 juta = 350 juta. Ini cara hemat dan cepat.

e. Strategi Efisiensi Untuk Menekan Beban Pajak Perusahaan

Strategi perusahaan untuk efisiensi pajak dapat dilakukan dengan cara merekayasa

biaya-biaya yang berkaitan dengan pembayaran kepada karyawan, tapi ini tergantung

pada kondisi perusahaan sebagai berikut :

1). Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak dan pengenaan PPh

badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan

karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak

dapat dibebankan sebagai biaya. Jadi meskipun PPh Pasal 21 akan menjadi besar,

tetapi karena bisa dibiayakan sehingga dampaknya terhadap PPh Badan akan

menjadi lebih rendah. Sebaliknya kebijakannya akan berbeda dalam hal

Page 32: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

32

perusahaan masih merugi, dimana pemberian dalam bentuk natura itu justru

harus diupayakan semaksimal mungkin karena bisa memperkecil PPh Pasal 21.

2). Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, sebaiknya

memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan,

karena pemberian natura dan kenikmatan kepada karyawan tidak termasuk obyek

pajak PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian dan kenikmatan

tersebut mempengaruhi besarnya PPh badan, karena PPh badan final dihitung

dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya.

Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan

menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh badan tetap nihil.

Lihat dalam tentang bahasan strategi efisiensi ini dapat dilihat dalam bab “Tax

Planning PPh badan”.

f. Hindari Beban Orang Lain Untuk Tidak Menjadi Beban Sendiri

Banyak kejadian dalam praktek bisnis internasional, perusahaan lokal terpaksa

menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban perusahaan luar negeri tersebut

karena tidak teliti memperhatikan klausul perpajakannya dalam kontrak perjanjian

tersebut. Hal ini dapat dihindarkan bila kita bisa memahami aspek perpajakan

internasional, seperti tentang Tax Treaty, Bentuk Usaha tetap (BUT), PPh Pasal 26.

Tentang PPN juga tidak diatur dalam perpajakan internasional. Misalnya atas

pembelian barang/jasa dari luar negeri, tetapi bila penyerahan barang/jasa kena

pajaknya dilakukan di dalam negeri (dalam daerah pabean Indonesia), maka atas

penyerahan barang/jasa kena pajak tersebut terutang PPN. Lalu siapa yang harus

menanggung PPN-nya, penjual atau pembeli, principal atau agen? Ini semuanya harus

dituangkan klausul-nya dalam kontrak perjanjian kedua belah pihak. (baca juga tulisan

penulis di majalah Indonesian Tax Review Vol II/edisi 19/2009 hal.40-49).

Beberapa Perangkat Fasilitas Perpajakan

Dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia khususnya UU Pajak Penghasilan serta

UU PPN & PPn BM, kita menjumpai beberapa perangkat fasilitas perpajakan seperti

tertera dibawah ini :

WP yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau di daerah

tertentu, dapat diberikan fasilitas (PP No. 1 Tahun 2007) :

a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah

Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5%

per tahun;

b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :

Page 33: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

33

================================================================

Kelompok Aktiva Tetap Masa Manfaat Tarif Penyusutan

Berwujud Met. Garis Met.Saldo

Lurus Menurun

================================================================

I. Bukan Bangunan:

Kelompok I 2 tahun 50% 100%

Kelompok II 4 tahun 25% 50%

Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%

Kelompok IV 10 tahun 10% 20%

II. Bangunan:

Permanen 10 tahun 10% -

Tidak Permanen 5 tahun 20% -

================================================================

c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar

Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan

Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari10

(sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:

1) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PP No. 1 Tahun 2007 (Lampiran 1) dilakukan di

kawasan industri dan kawasan berikat;

2) tambahan 1 tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500(lima ratus)

orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;

3) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/

pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit

sebesar Rp. 10 miliar ;

4) tambahan 1 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di

dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling

sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;

dan/atau.

5) tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil

produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4

(empat).

e. Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi sumbangan penanggulangan bencana

nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya

pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan

pembinaan olahraga (Pasal 6 ayat (1) huruf I, j, k, l dan m - UU PPh No. 36 Tahun

2008)

f. Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis

dibebaskan dari pengenaan PPN (PP No. 7 Tahun 2007).

g. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Berikat diberikan

penangguhan Bea Masuk; dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (Pasal

14 PP No. 32 Tahun 2009 Jo PP No. 2 Tahun 2009) .

h. Atas impor barang untuk keperluan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas

bumi yang diimpor oleh Kontraktor Bagi Hasil (production sharing contract) Minyak

Page 34: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

34

dan Gas Bumi diberikan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka

Impor yakni PPN, PPn BM, dan PPh Pasal 22 Impor tidak dipungut (Pasal 2 Per

Menkeu No. 20/PMK.010/2005)

i. PPN tidak dipungut atas penyerahan avtur kepada maskapai penerbangan untuk

keperluan penerbangan internasional, sepanjang perjanjian pelayanan transportasi

udara mencantumkan asas timbal balik (Pasal 2 PP Nomor 26 Tahun 2005).

j. Bebas pajak (PPN, PPn BM, PPh pasal 22) untuk proyek pembangunan Pulau Bintan

dan kawasan pendukung sekitarnya (Pasal 1 PP No. 30 Tahun 1995).

k. Percepatan restitusi untuk WP patuh. Dari semula 1 tahun menjadi 1 bulan (PER-

1/PJ./2008).

Kesemuanya itu adalah merupakan cost driver (pemacu biaya) yang bisa menjadi

penyebab cost daripada produk perusahaan berbeda dengan pesaingnya dalam industri

tertentu.

Setelah melalui perdebatan yang ulet, akhirnya Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008

disahkan antara lain dengan penambahan satu pasal yang baru, yakni Pasal 31E UU PPh No.

36 Tahun 2008, yang memfasilitasi wajib pajak badan Usaha Mikro Kecil dan Menengah

(UMKM) dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50 miliar mendapat fasilitas berupa

pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf

b dan ayat (2a), yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto

sampai dengan Rp. 4,8 miliar.

Bagaimana pengusaha UMKM menyikapi ketentuan terkini tersebut dalam melakukan

perencanaan pajaknya agar tidak terbebani dengan beban pajak yang besar? Menjembatani

UMKM untuk masuk ke dalam sistem perpajakan dan menjadi bankable artinya dapat lebih

mudah memperoleh fasilitas kredit dari bank, tentu dengan memperhatikan bahwa Tax policy

tidak mencemari banking policy.

Page 35: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

35

BAB II

Strategi Penghematan Pajak

Melalui Pemilihan Bentuk Usaha

1. Pendahuluan

Persoalan ini sering dihadapi oleh penanam modal/investor baru yang ingin punya usaha tapi

bingung mau ditempatkan dimana dana investasinya itu, dari sekian banyak pilihan bentuk

bisnis mana yang harus dipilih sebagai wadah investasinya, belum lagi memikirkan jenis

kegiatan usaha atau portfolio investasinya apakah portfolio investasi sekuritas (seperti saham,

obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan (commerce), kegiatan industry (industry) atau

kegiatan Jasa-Jasa (Service) yang tujuan akhirnya adalah mana alternatif investasi yang bisa

memberikan kontribusi profit yang paling besar dan tentunya dengan resiko investasi yang

paling rendah. Disini kita hanya mendiskusikan masalah pemilihan bentuk usaha terutama

dilihat dari aspek perpajakannya, dan bukan membahas tentang jenis usaha/investasi karena

yang terakhir ini masuk dalam ranah commercial business strategy.

Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan oleh investor, namun itu semua

akan bermuara pada besarnya pajak yang akan dia tanggung kelak. Nah, disinilah

persoalannya, tingkat keuntungan bisa sama diantara bentuk usaha tersebut namun besarnya

pajak yang ditanggung bisa berbeda, selain pertimbangan aspek pengembangan usaha

(business development) dalam jangka panjang. Apalah artinya keuntungan yang diperoleh

dalam jangka pendek tetapi dengan jumlah pajak yang bisa diminimalkan tetapi terbentur

dengan batasan ruang gerak pengembangan pasar dan perluasan usahanya kedepan dan

jaringan bisnis yang sempit, belum lagi bila kita bicara tentang kepercayaan mitra bisnis (bank

dan supplier) terhadap badan usaha yang umumnya lebih senang bekerjasama dengan bisnis

yang berbadan hukum. Ketika kita bicara mengenai masalah permodalan, pihak Bank lebih

cendrung bekerja sama dengan badan usaha PT ketimbang usaha perseorangan, karena

misalnya perhitungan resiko manajemennya lebih tinggi pada usaha perseorangan.

Banyak alternatif yang akan pergunakan untuk menghindari pungutan pajak. Cara yang paling

gampang adalah dengan tidak melaporkan penghasilan yang kita terima, tapi tindakan ini

justru akan membuat kita sport jantung merasa dikejar terus oleh fiskus. Cara yang paling

elegan untuk menghindari pungutan pajak ini adalah dengan mencari cara meminimalkan

pembayaran pajak tanpa menabrak koridor peraturan perpajakan yang berlaku.

Page 36: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

36

Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat kita manfaatkan untuk

meminimalkan beban pajak tanpa kita harus berhadapan langsung dengan aparat pajak dalam

pemeriksaan/penyidikan pajak, yaitu dengan cara merapikan tax management/tax planning

perusahaan. Tujuan perencanaan pajak yang baik adalah memberikan keuntungan yang

sebesar-besarnya kepada investor agar return on investment yang diperoleh semakin tinggi.

Strategi perencanaan pajak dapat dimulai dari awal berbisnis dengan melakukan setting up

bentuk usaha yang akan dipilih investor dalam menjalankan bisnisnya.

Diantara beberapa entitas hukum bisnis yang ada di Indonesia dan diakui oleh UU Perpajakan

kita adalah:

1. Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan

2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi)

3. Perseorangan

Dilihat dari aspek legalitasnya, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan adalah entitas

yang berbadan hukum (karena ada pengesahan pemerintah yakni Menteri Kehakiman/ Menteri

Hukum dan HAM atas akte pendirian dan anggaran dasarnya), sedangkan Persekutuan

(Firma, CV, Kongsi) dan Perseorangan tidak berbadan hukum.

Diluar itu terdapat banyak entitas bisnis lainnya yang kita kenal dalam lingkup hukum kita

seperti Joint Operation (KSO), Waralaba, BUT, namun disini kita akan membatasi

pembahasan dalam ketiga bentuk hukum entitas bisnis tersebut karena mengingat kebanyakan

pelaku binis Indonesia menggunakan ketiganya dalam menjalankan binsis mereka.

Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha (Mohammad

Zain, 2003 : 97), adalah :

1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak

penghasilan wajib pajak badan termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu.

2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha maupun

penghasilan dari pembagian keuntungan (deviden) kepada para pemegang sahamnya

3. Kesempatan untuk menunda pengenaan pajak pada tarif pajak penghasilan lebih

kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak

penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan.

4. Adanya ketentuan–ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian)

dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.

5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas

penghasilan personal holding company dan seterusnya.

6. Liberalisasi ketentuan-kententuan yang mengatur fringe benefit dan/atau payment in kind.

Page 37: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

37

2. Usaha Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan

persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan Terbuka (Tbk) adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran

umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan di bidang pasar modal

Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang banyak

digunakan di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 40 tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk PT, berdasarkan akte

notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan

Berita Negara RI dan diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Pada Pasal 97 UU tersebut secara eksplisit membedakan PT dengan badan hukum lainnya,

dimana dalam PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Direksi bukan kepada

pemegang saham. Direksi adalah Organ Perseroan yang benwenang dan bertanggung jawab

penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Jadi selama Pemegang Saham

tidak merangkap sebagai pengurus perusahaan, maka dia tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban terhadap tindakan operasional perusahaan oleh pihak manapun.

Tanggung jawab pemegang saham terbatas pada nilai saham yang diambilnya.

Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan, dalam hal badan maka Wajib Pajak diwakili oleh pengurus yang

bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang

terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa

mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas

pajak yang terutang tersebut. Mengenai tanggung jawab renteng ini dapat dijelaskan lebih

lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 02/PJ.74/1990 dengan merujuk kepada ketentuan

dalam Pasal 32 ayat 2 UU No. 6 tahun 1983 yang telah dirubah terakhir kalinya dengan UU

No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah

terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak

PT dikenakan pada level net income sebelum pembagian dividen perusahaan kepada

pemegang saham.

Ilustrasi perhitungan pajak perseroan-PT dapat kita lihat berikut ini:

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-

COGS Rp 800.000.000,-

Gross Income Rp 1.200.000.000,-

Operating Expenses Rp 500.000.000,-

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-

Net Income after tax Rp. 525.000.000,-

Page 38: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

38

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas

pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar 10% (PPh Final untuk WPOP), sebagai

berikut:

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-

Net Income after tax Rp. 525.000.000,-

Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp 52.500.000,-

Return yang diterima pemegang saham Rp 472.500.000,-

% Beban Pajak (total tax/net income) (Rp175.000.000,-+Rp52.500.000,-):

Rp.700.000.000 x100%=32.5%

Dengan demikian, secara totalitas investor WPOP akan terbebani dengan pajak keuntungan

yang diperoleh dari badan usaha PT tersebut sebesar 32.5%.

3. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)

Dalam literatur hukum, kita ketahui ada 3(tiga) macam perkumpulan yang bukan badan

hukum atau tidak termasuk kategori sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Perdata, Firma

dan CV. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk firma (Fa), walaupun didirikan

dengan sebuah akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan

dalam Tambahan Berita Negara RI, tetapi tidak diperlukan adanya pengesahan dari

Kementerian Hukum dan HAM. Demikian pula halnya dengan pendirian sebuah CV, sama

halnya dengan pendirian sebuah Firma karena pada dasarnya CV juga merupakan firma

dengan bentuk khusus.

Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah Firma, CV dan persekutuan

Perdata, maka untuk persekutuan tersebut kita kembali kepada Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah-masalah

tersebut. Misalnya mengenai pendirian Persekutuan (firma atau CV) diatur dalam pasal 1618

dan 1320 KUHPerdata dan juga terdapat dalam Pasal 22 KUHD.

Perbedaan persekutuan dengan PT adalah terletak pada tanggung jawab peseronya

(shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KUHD mengatur tanggung jawab renteng

pemilik/pesero terhadap semua operasional ataupun tuntutan dari pihak lain apabila terjadi

suatu perkara.

Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan apabila harta benda CV tidak

mencukupi untuk pelunasan hutang-hutangnya, maka harta benda pribadi pesero pengurus

dapat dipertanggungjawabkan untuk melunasi hutang perusahaan. Sebaliknya harta benda para

Persero commanditaris (sleeping partner) tidak dapat diganggu gugat.

Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan Pasal 4 ayat 3 huruf i Undang-undang PPh.

Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya dikenakan sekali pada level net income

Page 39: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

39

perseroan. Ketika didistribusikan kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi.

Kita lihat ilustrasi dibawah ini sesuai dengan data-data keuangan PT diatas.

Pasal 4 ayat 3 huruf i UU No. 7 Tahun 1983 yang telah dirobah terakhir kalinya dengan UU

No. 38 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menegaskan “Yang dikecualikan dari objek

pajak” yakni bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,

termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan

tersebut yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan,

yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para

anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

Dengan asumsi yang sama seperti contoh pada tabel berikut ini, maka Ilustrasi perhitungan

pajak Firma/CV dapat kita lihat sebagai berikut :

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-

COGS Rp 800.000.000,-

Gross Income Rp 1.200.000.000,-

Operating Expenses Rp 500.000.000,-

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-

Net Income after tax Rp. 525.000.000,-

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas

pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi sebagai berikut :

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-

Net Income after tax Rp. 525.000.000,-

Pajak Atas Dividen 0% Rp 0,-

Return yang diterima Shareholder Rp 525.000.000,-

% Beban Pajak (total tax/Net Income) (175 juta:700juta) x100%

= 25%

Dengan demikian, secara totalitas investor akan terbebani dengan pajak keuntungan yang

diperoleh dari badan usaha Firma/CV tersebut sebesar 25%. Bila dibandingkan dengan badan

usaha PT, Persentase beban pajak investor Firma/CV dengan payung hukum UU PPh No. 36

Tahun 2008 ternyata lebih rendah daripada PT., dimana badan usaha PT tersebut sebagaimana

diuraikan di halaman sebelumnya sebesar 32.5%, begitu juga secara nominal keuntungan

(return) yang diberikan kepada pemegang saham adalah lebih besar diterima oleh pemegang

saham Persekutuan (=Rp. 525 juta) dibandingkan dengan pemegang saham PT. (=Rp. 472.5

juta).

Page 40: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

40

4. Usaha Perseorangan

Mayoritas penduduk Indonesia menjalankan usaha bisnisnya secara perseorangan, tidak mau

terikat dengan badan usaha yang lebih formal mengingat kesederhanaan pendiriannya tidak

perlu akte notaris dan flexibilitas kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap harus memiliki

NPWP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bentuk badan usaha perseorangan dapat

berupa wartel, salon, rumah makan, usaha dagang (UD), waralaba, dan masih banyak lagi.

Ada beberapa perbedaan dalam menghitung pajak usaha antara pajak perseorangan dengan

pajak perseroan, antara lain :

- Dalam perhitungan pajak perseorangan, ada beberapa faktor pengurang seperti

Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan biaya jabatan, yang dalam perhitungan pajak

perseroan faktor pengurang tersebut tidak ada dalam ketentuannya.

- Terdapat pembedaan tax rate dan lapisan penghasilan kena pajak (taxable income bracket)

antara PPh Perseorangan dengan Pajak Penghasilan Badan, dimana PPh Persorangan

menggunakan tarif progressif dari lapisan tarif 5% hingga tarif maksimum 30%,

sedangkan Pajak Penghasilan Badan ditetapkan tarif tunggal 25% (tarif 25% berlaku sejak

awal tahun 2010, sedangkan tahun 2009 tarifnya 28%).

Lapisan Penghasilan PPh Psl 21 Perseorangan

(UU PPh No. 36 Tahun 2008)

Tarif

Pajak

0 sampai dengan Rp 50.000.000 5%

Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 15%

Di atas Rp 250.000.000 s.d.Rp 500.000.000 25%

Di atas Rp 500.000.000 30%

Secara sederhana berikut ini kita membuat ilustrasi beban pajak yang harus ditanggung

investor WPOP dengan mengenakan pajak dengan tarif progresif seperti tabel diatas.

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-

COGS Rp 800.000.000,-

Gross Income Rp 1.200.000.000,-

Operating Expenses Rp 500.000.000,-

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

PTKP (Kawin 3 anak atau K/3) *) Rp 21.120.000,-

Taxable Income Rp 678.888.000,-

Tax : PPh Pasal 21 Rp 146.866.400,-

*) 15.840.000 + (4*1.320.000) = 21.120.000

Page 41: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

41

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai dividen maka atas

pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi, sebagai berikut:

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Tax : PPh Pasal 21 Rp 146.866.400,-

Income After Tax Rp 553.133.600,-

Pajak Atas Dividen 0% Rp 0,-

Return yang diterima Shareholder Rp 533.133.600,-

% Beban Pajak (total tax/Net Income) Rp. 146.866.400 : 700 juta x

100% = 20.98%

Perhitungan PPh Pasal 21 :

Penghasilan Kena Pajak 678.888.000

Biaya jabatan 5% 6.000.000

672.888.000

PPh Psl. 21 :

5% x 50.000.000 2.500.000

15% x 200.000.000 30.000.000

25% x 250.000.000 62.500.000

30% x 172.888.000 51.866.400

Total PPh Psl 21

146.866.400

Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung oleh investor dari ketiga entitas binis

tersebut terlihat perbandingannya sebagai berikut:

PT. Persekutuan (Fa/CV) Perseorangan

Net Income Rp 2.000.000.000,- Rp 2.000.000.000,- Rp 2.000.000.000,-

Beban Pajak (Rp) Rp 253.750.000,- Rp 175.000.000,- Rp 146.866.400,-

Beban Pajak (%) 32.5%% 25 % 20.98%

Dari analisa yang dipaparkan diatas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catatkan sebagai

berikut :

1. Beban pajak yang ditanggung oleh investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil

daripada bentuk usaha PT.

2. Tetapi menjalankan bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat penghematan/

efisiensi pajak yang jauh lebih besar ketimbang bentuk badan usaha lainnya. Namun

demikian kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas pertimbangan ini

semata, harus juga memperhatikan pertimbangan lainnya.

3. Pemilihan salah satu entitas bisnis diatas dapat dijadikan referensi dalam pengambilan

keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor

pajak bukan hanya satu-satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih

banyak lagi variabel lainnya yang harus diperhatikan oleh investor.

4. Malah tidak jarang terjadi dalam prakteknya, investor yang konvensional lebih

mengandalkan instuisi (naluri) bisnisnya daripada perhitungan diatas kertas, menghindari

Page 42: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

42

kompleksitas dalam pengambilan keputusan bermodalkan jam terbang pengalaman

bisnisnya (learning curve yang tinggi) yang sangat berharga sehingga dengan keyakinan

penuh ketika usaha itu dijalankan dengan membawa kiat dan alur pola pemikiran mereka

yang sederhana tersebut tetapi realistis terbukti bisa sukses hasilnya. Bagaimanapun juga,

pengelolaan bisnis secara modern harus dilakukan secara profesional tidak bisa semata-

mata mengandalkan instuisi bisnis, karena yang terakhir ini hanya dilakukan oleh pelaku

bisnis tertentu yang benar-benar sudah kawakan dan teruji dalam kancah bisnisnya selama

puluhan tahun.

5. Diantara sederetan pertimbangan lainnya dalam dalam pengambilan keputusan bisnis

secara modern, antara lain harus ikut diakomodasi masalah permodalan, advis

management risk, lingkungan hidup, tanggung jawab pesero bila terjadi klaim pihak

ketiga, business/market development, serta hak-hak dan kewajiban lainnya yang timbul

dari pemilihan bentuk usaha tersebut.

5. Usaha Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber

saya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi

untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada

umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru

perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK Per 1 Juli 2009)

Koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan

di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 25 tahun 1992 Tentang

Perkoperasian. Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Koperasi, berdasarkan akte

notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan

Berita Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam Koperasi tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus bukan kepada

anggota koperasi. Pengurus Koperasi adalah Organ Koperasi yang berwenang dan

bertanggung jawab penuh atas pengurusan Koperasi untuk kepentingan Koperasi.

Ada beberapa macam jenis koperasi :

1. Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau supermarket)

2. Koperasi Produsen (misalnya koperasi Jasa Konsultasi)

3. Koperasi Simpan Pinjam

4. Koperasi Pemasaran

Perlakuan Perpajakan Perkoperasian

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya koperasi dapat melakukan

kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan koperasi yang

disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh

Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya).

Page 43: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

43

Insentif Pajak Bagi Koperasi

Pada dasarnya, apapun insentif pajak yang diberikan kepada badan usaha lainnya (PT, Fa, CV)

adalah juga berlaku bagi koperasi.

Beberapa Fasilitas Insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari pajak dalam UU PPh

No. 36 Tahun 2008 yang berlaku bagi Koperasi, antara lain :

a. Yang dikecualikan dari objek pajak berupa harta hibahan dan bantuan sumbangan kepada

koperasi, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No.

36 Tahun 2008).

b. Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya,

tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008).

c. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan modal pada badan

usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat, deviden

berasal dari cadangan laba yang ditahan.

Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008:

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai

Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha

milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan

bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik

daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang

memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah

modal yang disetor;

d. Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2009 PPh tentang bunga simpanan yang dibayarkan

oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, besarnya Pajak Penghasilan (Final)

adalah:

1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan

Rp.240.000,00 per bulan; atau

2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga

simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 per bulan.

e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Insentif ini khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet dibawah Rp. 4,84

juta per tahun atau Rp. 400 juta per bulan. Diberikan Insentif Pemotongan Tarif PPh

sebesar 50% dari Tarif Pajak Normal sebesar 25% oleh pemerintah.

f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 Tentang Fasilitas

Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha tertentu Dan Atau

Di Daerah-Daerah Tertentu.

Page 44: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

44

Kegiatan Usaha Koperasi Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

Ada beberapa beberapa kegiatan usaha koperasi yang mendapatkan perlakuan khusus :

1. Koperasi yang menanamkam modalnya di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di

daerah-daerah tertentu (mendapatkan Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal

Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008).

2. Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak

Penjualan atas Impor Kendaraan Bermotor Jenis Sedan untuk dipergunakan dalam usaha

Pertaksian oleh Koperasi Pengemudi Taksi mengatur Bea Masuk yang dibebaskan serta

PPN dan PPn BM yang Ditanggung Pemerintah berlaku sepanjang kendaraan bermotor

jenis sedan yang bersangkutan digunakan dalam usaha pertaksian sekurang-kurangnya

lima tahun sejak tanggal dikeluarkannya STNK (Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun

1986 dan Nomor 28 Tahun 1987 Jo. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1995).

3. Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan

sederhana, berupa bangunan bertingkat atau tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai

oleh perorangan atau koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para

buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan rendah dengan biaya

sewa yang disepakati, yang tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun

sejak diperoleh (Peraturan Menkeu No. 36/PMK.03/2007).

Dalam ketentuan perpajakan sesuai pasal 17 UU Nomor 7 tahun 1983 yang telah diubah

terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak

koperasi dikenakan pada level net income sebelum pembagian SHU perusahaan kepada

anggota koperasi.

Ilustrasi perhitungan pajak koperasi dapat kita lihat dalam tabel berikut ini:

Income Tahun 2011 Rp 2.000.000.000,-

COGS Rp 800.000.000,-

Gross Income Rp 1.200.000.000,-

Operating Expenses Rp 500.000.000,-

Net Income before tax Rp 700.000.000,-

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000,-

Net Income after tax Rp. 525.000.000,-

6. Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)

Karakteristik organisasi/lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama

yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk

melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari

sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun

dari organisasi tersebut. ( IAI, SAK Per 1 Juli 2009)

Page 45: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

45

Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang cukup banyak digunakan

di Indonesia yang didirikan dengan payung hukum UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan.

Untuk pendirian sebuah perusahaan dengan bentuk Yayasan, berdasarkan akte notaris yang

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita

Negara RI serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pada

Dalam Yayasan tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada Pengurus. Pengurus Yayasan

adalah Organ Yayasan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan

Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab

penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai

dengan ketentuan anggaran dasar yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga

(pasal 35 ayat 3).

Ada beberapa macam jenis Yayasan, diantaranya:

1. Yayasan Pendidikan (dari TK hingga Universitas)

2. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya (Mis : Yayasan mesjid, Yayasan Panti

AsuhanYatim Piatu)

3. Yayasan Kesehatan (Mis : Poliklinik, Rumah sakit)

4. Yayasan bidang penelitian dan pengembangan (Misalnya Yayasan Lembaga Konsumen)

Perlakuan Perpajakan Yayasan

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya Yayasan dapat melakukan

kegiatan usaha di hampir semua bidang usaha, sehingga atas penghasilan Yayasan yang

disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenakan tarif PPh

Badan, dengan tarif tunggal 28% (Th. 2008) dan tarif 25% (Th. 2009 dst.nya).

Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan badan usaha lainnya.

Namun demikian ada beberapa kegiatan usaha Yayasan yang mendapat perlakuan khusus

seperti diuraikan berikut ini.

Kegiatan Usaha Yayasan Yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

Ada beberapa beberapa kegiatan usaha yayasan yang mendapatkan perlakuan khusus :

1. Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai dengan mengajukan

permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan/lembaga yang mendapatkan fasilitas

pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk Dan Cukai Atas Impor Barang

Kiriman Hadiah Untuk Keperluan Ibadah Umum, Amal, Sosial dan Kebudayaan

(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.04/2006, sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.04/2006). Dalam hal

ini Yayasan dapat mengajukan sebagai Badan untuk memperoleh fasilitas tsb. setiap saat

dibutuhkan.

Page 46: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

46

2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yakni orang pribadi yang

melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,

badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha

mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan (PER- 30/PJ/2009

dan SE-48/PJ./2009).

3. Yayasan Keagamaan dan Sosial lainnya

Sesuai Pasal 2 UU Pajak penghasilan, jenis Yayasan ini tetap digolongkan sebagai subjek

pajak penghasilan. Untuk objek pajaknya terbagi dua, sesuai orientasi bidang usaha

Yayasan. Bila Yayasannya bermotifkan keuntungan (misalnya Yayasan Universitas), maka

atas penerimaannya merupakan objek pajak penghasilan, namun sebaliknya bila

penerimaan Yayasan bukan objek pajak penghasilan (misalnya sumbangan untuk panti

asuhan yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak terutang PPh.

Sebagaimana dengan badan usaha lainnya, Yayasan juga harus melaksanakan kewajiban

pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal Yayasan tersebut melakukan transaksi

pembayaran berbagai jasa seperti sewa, deviden, royalti, gaji karyawan.

4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ./2009 tentang pelaksanaan pengakuan Sisa Lebih

yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang

pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek

pajak penghasilan. Yayasan pendidikan diperkenankan untuk mengakui dana

pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari Sisa Lebih.

Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan

selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan

pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik

sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan

pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak

tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama

sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau

penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak

diperolehnya sisa lebih tersebut.

Apabila setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun badan atau lembaga nirlaba tidak

menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan

pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan

dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Page 47: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

47

BAB III

Tax Planning PPh Pasal 21/26

1. Pendahuluan

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh

Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21,

adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain

dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan

kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bila penerima penghasilan tersebut adalah WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri

(SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila Penerima Penghasilan tersebut

adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk

Usaha tetap (BUT) akan dikenai PPh Pasal 26.

Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 2008)

yang mulai berlaku tahun 2009, ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 21 kemudian diubah dan

disesuaikan dengan Undang-Undang yang baru tersebut. Adapun beberapa dasar hukum

pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 ini adalah :

1. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);

2. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983

tentang Pajak Penghasilan (PPh);

3. PMK Nomor: 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang

Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.

4. PMK Nomor: 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas

Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

5. PMK Nomor: 254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian penghasilan Sehubungan

Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Marian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap

Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;

6. PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,

Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/ Atau Pajak Penghasilan Pasal

26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian

direvisi dengan PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009.

Page 48: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

48

2. Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, meliputi:

1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan baik merupakan pusat maupun

cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan

pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan

dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada

Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau

lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik

Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan

pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan

atau jabatan, jasa, dan kegiatan;

3. Dana pensiun badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain

yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;

4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang

membayar;

a. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau

kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri,

termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan

atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

b. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan

jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;

c. honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional

dan internasional perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang

menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam

bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu

kegiatan;

3. Subyek Pemotongan PPh Pasal 21/26

Subjek Pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26 atau disebut Subjek Pemotongan

adalah orang pribadi yang menerima/memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,

jabatan, jasa atau kegiatan, yang meliputi :

a) Pegawai;

b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau

jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;

c) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa atau kegiatan, antara lain meliputi:

Page 49: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

49

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,

arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,

bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,

penari, pemahat, pulukis, dan seniman lainnya;

3. Olahragawan;

4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,

telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada

suatu kepanitiaan;

7. Agen iklan;

8. Pengawas atau pengelola proyek;

9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

10. Petugas penjaga barang dagangan;

11. Petugas dinas luar asuransi;

12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis

lainnya;

d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:

1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,

ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;

2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;

4. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

5. Peserta kegiatan lainnya.

4. Obyek PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, adalah:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang

bersifat teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima

pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan

dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat

pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;

3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah

mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan

sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;

5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang

rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan

imbalan sejenis dengan nama apapun.

Page 50: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

50

6. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam

bentuk apapun yang diberikan oleh:

a. Bukan Wajib Pajak;

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan

khusus (deemed profit).

5. Non Obyek PPh Pasal 21

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,

kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan asuransi beasiswa;

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind), kecuali natura dan

kenikmatan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang

dikenakan PPh Final atau dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus

(deemed profit).

3. luran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan

oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara

jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;

4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat

yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya

wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang

berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.

Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima

atau diperoleh dari WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di

dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi

dikecualikan dari objek PPh, sepanjang penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan

istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi

beasiswa.

6. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;

“Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja” adalah pajak yang terutang atas penghasilan

karyawan tetap; menjadi beban/dibayarkan oleh pemberi kerja sehingga termasuk

kenikmatan. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian

Tunjangan Pajak.

Page 51: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

51

6. Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21

Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan/metode pemotongan PPh Pasal 21

dapat dipilih oleh Wajib Pajak, yaitu :

1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang

terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri sehingga benar-benar mengurangi

penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh

perusahaan.

2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)

Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang

terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang

diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena

perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21. Penghitungan PPh Pasal 21

tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan

tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan karena tidak

dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.

3. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk

Tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan

kemudian baru dikenakan PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan

dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh

Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.

Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini akan terlihat memberatkan perusahaan

karena jumlah penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari

penambahan tunjangan pajak. Namun demikian beban perusahaan tersebut akan

tereliminasi karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.

Di samping memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang

untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan

tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan PPh terutang.

Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal

21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) dari karyawan atau

ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan

perpajakannya menjadi non deductible expenses.

Page 52: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

52

7. Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21

1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) :

a. Penghasilan Kena Pajak, beriaku bagi :

1. Pegawai Tetap

2. Penerima Pensiun Berkala

3. Pegawai Tidak Tetap

Pegawai tidak tetap yang dibayarkan bulanan, atau pegawai tidak tetap lainnya yang

jumlah kumulatif penghasilan yang diterima sebulan melebihi PTKP sebulan untuk diri

wajib pajak sendiri/TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp 1.320.000,-).

4. Bukan Pegawai, meliputi :

- Distributor MLM atau direct selling.

- Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus pegawai.

- Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai.

- Penerirna penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari

Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.

Catatan penerapan : Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 252/PMK.03/2008, Tarif psl 17 diterapkan atas

jumlah kumulatif penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh bukan pegawai,

yang dihitung setiap bulan.

b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh

Pasal 21 sesuai Pasal 21 ayat (4) UU PPh, yang berlaku bagi :

pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upah satuan, atau upah

borongan sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan belum melebihi

PTKP sebulan untuk diri WP sendiri /TKO (dalam hal ini sesuai UU PPh adalah Rp

1.320.000,-).

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Jabatan - PTKP

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Biaya Pensiun - PTKP

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - PTKP yang dihitung bulanan

Pengh. Kena Pajak = Pengh. Bruto - Batasan Pasal 21 ayat (4)

Page 53: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

53

Catatan : 1. Batasan Penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan sesuai Pasal 21 (4) adalah Rp

150.000,-sehari.

2. Jika jumlah kumulatif dalam sebulan sudah melebihi Rp 1.320.000,-, maka

pengurangannya adalah PTKP sebenarnya.

c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan lainnya.

2. Pengurangan Yang Diperbolehkan

a. Biaya Jabatan

Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki jabatan

atau tidak. Hanya boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap karena dianggap

sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari

pekerjaan/jabatannya.

Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan

dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5%

(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah)

setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

Penerapan biaya jabatan maksimal dalam penghitunyan PPh Pasal 21 berdasarkan atas Jumlah

bulan kerja/perolehan yang sebenarnya dari pegawai yang bersangkutan.

b. Biaya Pensiun

Hanya boleh dikurangkan dan Penghasilan Bruto seorang Pensiunan berupa uang pensiun

yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena dianggap sebagai biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara uang pensiun.

Berdasarkan Per-Menkeu No. 252/PMK/2009, besarnya biaya pensiun yang dapat

dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi

pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) UU PPh Nomor 7 Tahun 1983

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan

sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta

empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.

Biaya pensiun yang boleh diperhitungkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 pensiunan adalah

berdasarkan bulan perolehan yang sebenarnya. Artinya, batas maksimal biaya pensiun

dihitung berdasarkan bulan perolehan pensiun pada tahun pajak yang bersangkutan.

c. luran yang terkait dengan gaji

Yaitu yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan

Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangun hari tua atau jaminan hari tua yang

dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Page 54: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

54

Catatan :

Pengurangan penghasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang ditanggung atau

dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan bagi Pegawai Tetap, dengan

ketentuan :

1. Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan kepada dana psnsiun yang pendiriannya

telah disahkan oleh Menteri Keuangan,

2. Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek.

luran pensiun atau THT/JHT, sebagian ditanggung oleh Pemberi Kerja, dan sebagian lagi

dibayar sendiri oleh karyawan. Yang diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto

karyawan dalam perhitungan PPh Pasal 21 hanya bagian yang dibayar sendiri oleh karyawan.

d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh Pasal 21 merupakan batasan

penghasilan yang tidak dikenakan pajak bagi orang pribadi yang berstatus sebagai pegawai,

baik pegawai tetap, termasuk pensiunan; pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai;

termasuk juga pegawai harian lepas dan distributor multilevel marketing/direct selling maupun

kegiatan yang sejenisnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda.

Besaran PTKP Untuk Tahun Pajak 2009

Penerima PTKP Setahun Sebulan

untuk pegawai yang bersangkutan Rp 15.840.000,- Rp 1.320.000,-

tambahan untuk pegawai yang kawin Rp 1.320.000,- Rp 110.000,-

tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah

dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta

anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya,

paling banyak 3 (tiga) orang

Rp 1.320.000,- Rp 110.000,-

Tarif Pajak Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009 :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Non NPWP

sampai denyan Rp 50.000.000,- 5% 120% x 5% = 6%

di atas Rp 50.000.000,- s/d Rp 250. 000.000,- 15% 120% x 15% = 18%

di atas Rp 250.000.000,- s/d Rp 500.000.000,- 25% 120% x 25% = 30%

di atas Rp 500.000.000,- 30% 120% x 30% = 36%

Catatan :

Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh 2008, Wajib Pajak orang

pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi sebesar 20%

dari tarif normal yang berlaku.

Page 55: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

55

Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final Penghitungan PPh Pasal 21 bersifat final dikenakan kepada :

a. Penerima uang pesangon, uang tebusan pensiun, THT, atau JHT yang dibayar sekaligus

(PP No.149 Tahun 2000)

Pesangon/tebusan pensiun, THT sampai Rp 25 juta tidak dikenakan PPh Pasal 21.

Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 25 juta s.d. Rp 50 juta dikenakan tarif 5%.

Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta dikenakan tarif

10%.

Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 100 juta s.d. Rp 200 juta dikenakan tarif

15%.

Pesangon/tebusan pensiun, THT di atas Rp 200 juta dikenakan tarif 25%.

b. Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh Pejabat Negara,

PNS, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau

Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II d ke bawah dan

anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur

Tingkat Satu ke bawah.

Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarif 15% x penghasilan bruto.

Catatan :

Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan PPh Pasal 21 Final atas uang

pesangon dan honorarium untuk PNS masih menunggu PP dan PMK-nya.

Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi WP Luar Negeri

Dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20 % x Penghasilan bruto, kecuali bila ada tax treaty

dengan negara yang bersangkutan maka tarif berdasarkan tax treaty itulah yang

dipedomani.

8. Rekonsiliasi Obyek PPh Pasal 21

Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong pajaknya, maka

perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca

maupun akun biaya. Jika penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka

rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM dengan data SDM (seperti data payroll)

dengan data yang ada di bagian akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar).

Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian

bahwa seluruh obyek PPh Pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan

memudahkan Wajib Pajak ketika diperiksa oleh Petugas Pajak di kemudian hari.

Dalam hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum, yaitu

Taxability-Deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang

Objek PPh), maka di perusahaan menjadi deductible expense (biaya) atau sebaliknya jika di

karyawan merupakan non taxable income (bukan penghasilan yang bukan Objek PPh), maka

Page 56: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

56

di perusahaan menjadi non deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada

kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut akan senantiasa terdapat

pihak yang dikenakan pajak, apakah di karyawan dalam bentuk PPh Pasal 21 atau di

perusahaan dalam bentuk PPh badan.

Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut bila diatur

secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada karyawan

yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible expense atau

terdapat pembayaran kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non

deductible expense.

9. Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos apa-apa saja

yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak

penghasilan) dan pos apa-apa saja yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan

bruto), yang mekanismenya jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan

dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan

penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya bila pada pihak karyawan pemberian

imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja

tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim dipakai dalam

perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah/menkonversikan penghasilan yang

merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak objek pajak atau sebaliknya

mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan

konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan/konversi tersebut.

Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar atau lebih kecil atau sama

dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, apabila dilakukan pengubahan tersebut,

tentunya harus dipertimbangkan mana alternatif yang lebih menguntungkan perusahaan,.

Jika kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan baik dan kinerja perusahaan menghasilkan

laba besar, maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah dengan mengkaji mana

yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk

tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)

Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi

Perusahaan/Pemberi Kerja

Perlakuan PPh Ps. 21

Bagi Penerima

Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable

Imbalan dalam bentuk natura Non Deductible Non Taxable

Page 57: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

57

Sebagai penjabaran pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) kepada

para pegawai diberikan contoh sebagai berikut :

Dalam tahun 2010, PT. ABx menyediakan dokter dan pemberian obat-obatan dengan cuma-

cuma untuk pemeliharaan kesehatan para pegawainya sebanyak 1.000 orang, termasuk ongkos

melahirkan berjumlah Rp 360 juta setahun atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan

setiap pegawai setiap bulannya berjumlah (1/12 x 360 juta) : 1000 = Rp 30.000 atau sama

dengan Rp 1.000 per orang per hari. Upah rata-rata pegawainya diasumsikan masih sebatas

UMR.

- Sebelum tax planning : Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit

in kind (seperti biaya berobat ke dokter dan obat) sebesar Rp. 360 juta bukan merupakan

objek pajak penghasilan (non taxable), sehingga tidak bisa dipajaki atas penghasilan

tersebut. Sebaliknya, dari sudut pandangan perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut,

secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan,

tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh

dikurangkan (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiskal.

Konsekuensinya : Oleh karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh

dikurangkan, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, menimbulkan

tambahan pajak (PPh Badan) tahun 2010 sebesar : 25% % x Rp 360 juta = Rp 90 juta.

- Sesudah tax planning : Dengan mengubah pemberian dalam bentuk natura dan

kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang), maka secara

fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan yang diberikan dalam bentuk

uang tersebut merupakan penghasilan yang dipajaki (taxable) dan dilain pihak berdasarkan

pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto perusahaan (deductible).

Solusi yang dianjurkan : untuk menghindarkan koreksi fiskal tersebut, PT. ABx

memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti daripada penyediaan dokter

dan pemberian obat dengan cuma-cuma tersebut, yang akan menambah penghasilan

pegawai yang bersangkutan yang akan dipajaki (taxable) sebesar Rp 360 juta sedangkan

dilain pihak bagi jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible).

Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat dilakukan perubahan tersebut adalah

sebesar 25 % x Rp 360 juta = Rp. 90 juta.

Sedangkan dampak pajak (PPh Pasal 21) bagi pegawai yang bersangkutan, akibat

penyediaan dokter dan pemberian obat-obatan diganti dengan tunjangan kesehatan yang

merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan, praktis tidak ada beban tambahan

pajak, karena penghasilannya (asumsi masih sebatas UMR) masih dibawah Penghasilan

Tidak Kena Pajak.

Di satu sisi, ditinjau dari segi komersial, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti

suatu pemborosan/inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai),

Page 58: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

58

namun harus pula diperhatikan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada laba sebelum

pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban PPh Badan yang terutang pun akan

menjadi lebih kecil. Namun yang lebih penting harus diperhatikan bahwa strategi perpajakan

bukanlah satu-satunya alat untuk pengambilan keputusan, jangan sampai strategi perpajakan

ini menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis satu sama lainnya untuk

mencapai tujuan perusahaan.

Untuk menyakinkan bahwa objek pajak penghasilan pasal 21 telah dipotong pajaknya, berikut

daftar transaksi yang berhubungan dengan prinsip Taxability-Deductibility, yakni mana yang

menjadi objek pajak maupun bukan objek pajak baik bagi karyawan maupun perusahaan.

Tabel III-1

DAFTAR OBYEK DAN TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

NO. OBYEK PAJAK TARIF SIFAT

I. PPh Pasal 21

1. Penghasilan yang Diterima oleh Pegawai Tetap Pasal 17

UU PPh

PKP = PB – (BJ + IP) – PTKP

2. Uang Pensiun Bulanan yang Diterima Pensiunan Pasal 17

UU PPh

PKP = (PB – BP) – PTKP

3. Pegawai Tidak Tetap yg Penghasilannya Dibayar Pasal 17

UU PPh

PKP = (PB Disetahunkan – PTKP

Setahun)

secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yg

diterima dlm satu bln kalender telah melebihi

Rp.1.320.000.

4. Upah yang Diterima oleh tenaga kerja lepas berupa

Upah harian/mingguan/satuan/borongan

dan uang saku harian :

a. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang

Saku Tidak > Rp150.000 dan jumlah kumulatif dlm

0% Tidak Terutang PPh Pasal 21

satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000

b. Upah/Uang Saku Harian atau Rata2 Upah/Uang

Saku tidak > Rp150.000, dan jumlah kumulatif

5% (Upah/Uang Saku Harian atau

Rata2 Upah/ Uang saku

dlm satu bulan kalender tidak > Rp. 1.320.000 harian - Rp. 150.000)

c. Upah Kumulatif dlm Bulan Kalender >

Rp1.320.000 dan < Rp 6 juta

5% (Upah/Uang Saku Harian atau

Rata2 Upah/ Uang saku

harian - PTKP sebenarnya/360)

d. Penghasilan Kumulatif dlm Satu Bulan Kalender >

Rp 6 juta

Pasal 17

UU PPh

PKP Disetahunkan = (PB

Disetahunkan – PTKP Setahun)

5. Honorarium yang Diterima Dewan Komisaris/

Pengawas yg tidak merangkap sebagai pegawai tetap

Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto Kumulatif Satu

Tahun Kalender

6. Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus yang

Diterima mantan pegawai

Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto Kumulatif Satu

Tahun Kalender

7. Penarikan Dana pada Dana Pensiun oleh Pensiunan Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto Kumulatif Satu

Tahun Kalender

8. Honorarium dan Pembayaran Lain yg Diterima oleh

Tenaga Ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter,

Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto Kumulatif Satu

Tahun Kalender

Konsultan, Notaris Penilai dan Aktuaris) sebagai

imbalan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan

kegiatan

Page 59: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

59

9. Imbalan yg Bersifat Berkesinambungan yg Diterima

oleh Orang Pribadi Dalam negeri Bukan Pegawai

Selain tenaga Ahli :

a. Bagi yg Telah Memiliki NPWP dan Hanya

Menerima Penghasilan dari Pemotong Pajak ybs.

Pasal 17

UU PPh

PKP = PB – PTKP Per Bulan

b. Bagi yg Tidak Memiliki NPWP atau Menerima

Penghasilan dari selain Pemotong pajak ybs.

Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto Kumulatif Satu

Tahun Kalender

10. Imbalan yg Tidak Bersifat Berkesinambungan yg

Diterima oleh Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan

Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto

Pegawai Selain tenaga Ahli

11. Penghasilan yang Diterima Peserta Kegiatan : Pasal 17

UU PPh

Penghasilan Bruto untuk Setiap

Pembayaran Utuh

12. Uang Tebusan Pensiun, uang THT/JHT, Pesangon,

Uang THT/JHT, Pesangon yg diterima pegawai/

mantan :

a. Rp. 0 juta s.d Rp. 50 juta 0% Penghasilan Bruto Final

b. > Rp. 50 juta s.d Rp. 100 juta 5% Penghasilan Bruto Final

c. > Rp. 100 juta s.d Rp. 500 juta 15% Penghasilan Bruto Final

d. > Rp. 500 juta

25% Penghasilan Bruto Final

13. Honorarium yang Dananya dari Keuangan

Negara/Daerah yang diterima oleh Pejabat Negara,

15% Penghasilan Bruto Final

PNS, Anggota TNI/Polri, kecuali PNS Gol II/d ke

bawah atau anggota Polri dengan pangkat Pembantu

Letnan Satu atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke

bawah

14. Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan yang

Diterima oleh Tenaga Asing (expatriate)

Pasal 17

UU PPh

PKP = (PB – (BJ + IP) – PTKP

yanga telah berstatus sebagai WPDN

Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012

Tabel III-2 DAFTAR BIAYA FISKAL

NO DEDUCTIBLE EXPENSE

NON DEDUCTIBLE

KETERANGAN (Objek Pemotongan Pajak Penghasilan)

DASAR HUKUM

1. Biaya yang Dikeluarkan untuk

Mendapatkan, Menagih dan Memelihara

Penghasilan

- Prinsip Realisasi D Pasal 28 UU KUP

- Konservatis/Penyisihan ND Pasal 28 UU KUP

2. Biaya yang Dikeluarkan untuk Mendapatkan, Menagih dan Memelihara

Penghasilan yang Bukan Obyek Pajak atau

Pengenaan PPh-nya Final

ND

3. Gaji/Upah D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh

4. Tunjangan PPh Pasal 21 D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

5. PPh Dibayar Perusahaan ND Pasal 9 Huruf h UU PPh Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

DAFTAR BIAYA FISKAL

Page 60: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

60

6. Premi Asuransi Jiwa Pegawai Dibayar Perusahaan Sepanjang Menambah

Penghasilan Pegawai

D Objek PPh Ps 21 Pasal 9 Huruf d UU PPh

7. Premi Asuransi Jiwa Pemilik/Pemegang

Saham dan Keluarganya ND Pasal 9 Huruf j UU PPh

8. Iuran Jamsostek PP No.14 tahun 1993

a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) D Objek PPh Ps 21 Pasal 9 Huruf d UU PPh

b. Jaminan Kematian (JKM) D Objek PPh Ps 21 PP No.14 tahun 1993

c. Jaminan Pelayanan Kesehatan D Objek PPh Ps 21 PP No.14 tahun 1993

d. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

(Jamsostek) : PP No.14 tahun 1993

- Dibayar Perusahaan D Pasal 6 Huruf a UU PPh

- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk

Menghitung PPh Pasal 21 D Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

9. Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang

Disahkan Menteri Keuangan D Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

- Dibayar Perusahaan D Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009

- Dibayar Pegawai (Bagi Pegawai untuk

menghitung PPh Pasal 21 D Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

10. Iuran Pensiun ke Dana Pensiun yang

Belum Disahkan Menteri Keuangan ND Pasal 6 Huruf c UU PPh

11. Tunjangan Hari Raya D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh

12. Uang Lembur D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Huruf a UU PPh

13. Pengobatan Pasal 6 Huruf a UU PPh

a. Cuma-Cuma (Langsung ke Rumah

Sakit) ND Pasal 6 Huruf e UU PPh

b. Penggantian Pengobatan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009 c. Tunjangan Pengobatan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009 14. Pemberian Imbalan dalam Bentuk Natura

dan Kenikmatan (Misal Makan/Minum,

Beras dsb)

ND Pasal 9 Huruf e UU PPh

15. Pemberian Makan kepada Crew Kapal dan

Pesawat dalam Perjalanan D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

16. Pemberian dalam Bentuk Natura dan

Kenikmatan PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008 a. Pengeluaran untuk Penyediaan

Makanan/Minuman bagi Seluruh Pegawai, termasuk Dewan Direksi dan Dewan

Komisaris di Tempat Kerja

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

b. Penggantian dalam Bentuk Natura dan

Kenikmatan di Daerah Tertentu PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Tempat Tinggal/Perumahan Pegawai

Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Pelayanan Kesehatan Sepanjang Fasilitas

Tersebut Tidak Tersedia D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Pendidikan Pegawai dan Keluarganya

Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak Tersedia

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

Page 61: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

61

- Pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya Sepanjang Fasilitas Tersebut

Tidak Tersedia

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Olahraga bagi Pegawai dan Keluarganya

Sepanjang Fasilitas Tersebut Tidak

Tersedia. Sarana Olahraga Tidak Termasuk Golf, Boating, Pacuan Kuda

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008

c. Dalam Rangka dan Berkaitan dengan

Pelaksanaan Kerja PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008 - Beban Antar Jemput Karyawan D

PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Penyediaan Makan/Minum untuk Awak

Kapal dan Pesawat D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008 d. Untuk Keamanan/Keselamatan Kerja

yang Diwajibkan, Misalnya Pakaian dan

Peralatan bagi Pegawai Pemadam

Kebakaran, Proyek, Pakaian Seragam Pabrik, Hansip/Satpam

D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER 51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008

e. Berkenaan dengan Situasi Lingkungan,

Misal : PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Pakaian Seragam Pegawai Hotel/Penyiar

TV D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Makan Tambahan bagi Operator

Komputer/Pengetik D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 tahun 2008

- Makan/Minum Cuma-Cuma bagi

Pegawai Restoran D PMK No. 83/PMK.03/2009 PER

51/PJ/2009 dan Psl. 9 ayat 1

huruf e UU No. 36 tahun 2008 17. Pembebanan yang Masa Manfaatnya Lebih

dari Satu Tahun, dengan Cara Penyusutan

Sesuai Pasal 11 UU No.17 Tahun 2000

D Pasal 6 Ayat (1) UU PPh

18. Cuti Pegawai

a. Diberikan Uang Cuti D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

b. Tunjangan Cuti D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per 57/PJ./2009

c. Dibayar Perusahaan ND Pasal 9 Huruf e UU PPh

19. Perjalanan Dinas Pegawai

a. Didukung Bukti-Bukti yang

Sah/Dipertanggung jawabkan D Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

b. Lumpsum (Tidak Didukung Bukti-

Bukti) ND Pasal 9 Huruf e UU PPh

c. Lumpsum Dianggap Honor Pegawai D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh

d. Honor/Uang Saku D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

e. Fiskal Luar Negeri Dibayar Perusahaan,

Merupakan PPh Pasal 25 Dibayar dengan

SSP, Ditulis Nama Pegawai q.q. Nama Perusahaan dengan NPWP Perusahaan

atau dengan Tanda Bukti FLN

ND PP No.2 tahun 2000

f. Biaya Piknik/Rekreasi ND Pasal 9 Huruf e UU PPh

20. Bonus atas Prestasi Kerja yang

Dibebankan pada Tahun Berjalan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009

21. Biaya Seminar, Penataran, Kursus

(Pendidikan) di Dalam Negeri. D Pasal 6 Ayat (1) UU PPh

Page 62: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

62

22. Honor/Uang Saku Pegawai yang Mengikuti Seminar dsb

D Objek PPh Ps 21 Pasal 6 Ayat (1) UU PPh

23. Bea Siswa

a. Ada Ikatan Kerja dengan Perusahaan D Objek PPh Ps 21 Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009 b. Tidak Ada Ikatan Kerja dengan

Perusahaan (Sumbangan) ND Per-31/PJ./2009 Jo. Per

57/PJ./2009 24. Sumbangan ke Karyawan dalam Bentuk

Uang D Objek PPh Ps 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

25. Kendaraan Perusahaan yang Dibawa Pulang dan Dikuasai Pegawai :

Pasal 6 Ayat (1) Huruf b UU PPh

a. Penyusutan ND

b. Biaya Reparasi/Pemeliharaan ND

c. Bahan Bakar/Oli dsb ND

26. Perumahan Perusahaan dan Asrama Penjelasan Pasal 9 Ayat (1)

Huruf b UU PPh jo Penjelasan

Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh

a. Pegawai yang Menempati Tidak Diberi

Tunjangan Perumahan

- Penyusutan Rumah ND

- Biaya Eksploitasi Rumah ND

Pegawai yang Menempati Diberi Tunjangan Perumahan Minimal Sebesar

Biaya Penyusutan dan Biaya Eksploitasi

- Tunjangan Perumahan D Objek PPh Ps 21

- Biaya Penyusutan Rumah D Objek PPh Ps 21

- Biaya Eksploitasi Rumah D Objek PPh Ps 21

27. Mess untuk Transit, Pendidikan (Sementara)

83/PMK.03/2009

a. Biaya Penyusutan D

b. Biaya Eksploitasi D

28. Sewa Rumah Pegawai yang Tidak Diberi

Tunjangan Sewa Minimal Sebesar Sewa Rumah Tersebut

ND PPh Pasal 4 (2) Pasal 9 Huruf e UU PPh

29. PPh Sewa Rumah Dibayar Perusahaan ND Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

30. Diberikan Uang Sewa Rumah D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU PPh

31. Uang Pesangon D PPh Pasal 21 PER-31/PJ./2009

32. Upah Borongan Pekerjaan ke Orang

Pribadi D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

33. Imbalan ke Pegawai yang Merupakan

Pemegang Saham (25% Ke Atas) D

a. a. Gaji yang wajar D PPh Pasal 21 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)

Huruf a UU PPh

43. Beban Litbang yang Dilakukan di

Indonesia dalam Jumlah yang Wajar untuk Menemukan Teknologi/Sistem Baru bagi

Pengembangan Perusahaan :

a. Gaji/Honor Pegawai D PPh Pasal 21

Sumber : Softindo Exact Library Enterprise April 2012

D = Deductible ND = Non Deductible

Page 63: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

63

Berasarkan Tabel diatas, maka Prinsip Taxability-Deductibility tersebut dapat dituangkan

dalam daftar untuk beberapa transaksi yang menjadi Objek PPh Pasal 21 dan perlakuan

pajaknya seperti terlihat dalam Tabel berikut ini :

Tabel III-3

Prinsip Taxability-Deductibility

No Objek PPh Pasal 21 Pemberi

Kerja

(PPh Badan)

Pegawai

(Taxable/

Non Taxable) *)

Keterangan

1 Gaji, Lembur, Bonus, Intensif Deductible Taxable

2 Honorarium,Upah,Uang saku

dan sejenisnya

Deductible Taxable

3 Tunjangan yang diberikan

dalam bentuk uang

Deductible Taxable

4 Honorarium yang Diterima Dewan

Komisaris/ Pengawas yg tidak

merangkap sebagai pegawai tetap

Deductible Taxable

5 Pesangon Deductible Taxable Dipotong PPh Final

6 Premi Jamsostek JKK/JKM,

Asuransi Kesehatan,

kecelakaan, kematian, beasiswa

dan asuransi dwiguna yang

ditanggung pemberi kerja

Deductible Taxable Bila tdk dimasukan sbg

penghasilan karyawan maka

merupakan ND

7 Pemberian Natura/Kenikmatan Non Deductible Non Taxable Kecuali yang diatur khusus,

mis : kenikmatan didaerah

terpencil adalah BD

8 PPh Pasal 21 ditanggung

Perusahaan

Non Deductible Non Taxable

9 PPh Pasal 21 di Gross-Up oleh

Perusahaan

Deductible Taxable

10 Iuran dana pensiun yang di

tanggung Perusahaan

Deductible Non Taxable Dana Pensiun telah

disahkan oleh Menteri

Keuangan

11 JHT yang ditanggung

perusahaan (3,7%)

Deductible Non Taxable Taxable pada saat JHT

diterima pegawai ybs.

12 Pengobatan Cuma-Cuma

(Langsung ke Rumah sakit)

Non Deductible Non Taxable

13 Penggantian Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai

penghasilan karyawan

14 Tunjangan Pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukan sebagai

penghasilan karyawan

15 Pemberian Natura/ kenikmatan

didaerah terpencil

Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas

Pajak

16 Pemberian Makanan dan

Minuman kepada seluruh

karyawan ditempat kerja.

Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas

Pajak

17 Biaya Antar jemput karyawan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ/2009, Fasilitas

Pajak

Page 64: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

64

18 Biaya Perjalanan dinas Deductible Taxable Hanya atas uang saku, bila

diberikan dalam lump sum,

maka seluruhnya menjadi

objek PPh Pasal 21

19 Imbalan jasa profesional dan

jasa lainnya

Deductible Taxable Jika pemberi jasa adalah

WP badan maka objek PPh

psl 23

20 Tantiem Non Deductible Taxable SE-06/PJ.44/1999

21 Bonus, Gratifikasi, Jasa

Produksi yang dibebankan ke

laba ditahan

Non Deductible Taxable SE-06/PJ.44/1999

22 Pemberian natura dan

kenikmatan yang diberikan oleh

WP yang dikenai PPh Final atau

WP yang menghitung pajaknya

berdasarkan Norma

Penghitungan khusus (Deemed

profit dan/atau deemed tax)

Non Deductible Taxable

23 Kendaraan dinas yang

digunakan untuk pegawai

tertentu karena pekerjan atau

jabatannya

Deductible

(50%)

Non Taxable KEP-220/PJ/2002

24 Akun piutang atau biaya yang

dibayar dimuka yang berkaitan

dengan Objek PPh Pasal 21

Deductible

(bertahap)

Taxable

Sumber : Softindo Exact Library Enterprise, April 2012

*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps.21;

Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps.21

10. Terapan Tax Planning Terkait Dengan PPh Pasal 21

1. Klausul Pajak di Dalam Perjanjian/Kontrak Kerja

Dalam beberapa kasus praktis tidak jarang terjadi timbul konflik dalam bisnis, dimana

kewajiban pemotongan PPh Pasal 21/Pasal 26 yang mestinya dipotong dari penghasilan orang

pribadi penerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya pihak yang dipotong

pajak tidak bisa menerimanya sehingga berujung pada terjadinya dispute.

Secara normatif Undang-Undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan pemilik proyek/

pemberi kerja melaksanakan pemungutan/pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga,

sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya dengan alasan

pada saat Perjanjian/Kontrak Kerja disepakati, masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka

bersikukuh bahwa harga kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (Net)! Secara

hukum, alasan pihak kontraktor tersebut diatas memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga

bila pada akhirnya pemilik proyek/pemberi kerja terpaksa mengalah dan harus menanggung

pajaknya, tentu merupakan tambahan beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan

Page 65: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

65

beban bagi pemilik proyek/pemberi kerja tesebut adalah merupakan suatu jumlah yang

signifikan yang nantinya akan mengerus profit perusahaan.

Terkait dengan masalah perpajakan tersebut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau

kegiatan, antara lain meliputi:

Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,

arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, yang dikenakan tarif 50% (lima

puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi tenaga ahli yang

melakukan pekerjaan bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai

Proyek x Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a.

Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai, selain tenaga ahli, yang dalam

pemberian jasanya mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya dan/atau melakukan

penyerahan material/bahan, dengan pengenaan tarif sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a

dari Nilai Proyek.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan Perjanjian/Kontrak Kerja yang tidak

mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum Perjanjian/Kontrak Kerja

ditandatangani harus dipastikan :

Pemuatan klausul pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja, yang mensyaratkan pajak

terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (diluar harga pokok barang), yakni

dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21/Pasal 26, Pemberi Kerja wajib

memotong dari pembayarannya.

Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh Pasal

21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul

tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini

ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik

proyek akan dikenakan kewajiban untuk membayar PPh Pasal 21 yang terutang ditambah

denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Dari kasus ini jelas bahwa Tax Planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi dalam

perusahaan pemilik proyek/pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan/ logistik, divisi SDM,

dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya kerugian di kemudian hari di luar anggaran

yang direncanakan, maka semua divisi yang terkait sudah harus mempertimbangkan aspek

perpajakan atas klausul Perjanjian/Kontrak Kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang

terutang dan siapa yang akan menanggung pajaknya.

2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak Secara Gross-up?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak

sudah “net”, tidak termasuk pajak, atau “pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja.”

Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada

pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.

Page 66: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

66

Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau

ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang

ditanggung oleh perusahaan/pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-

deductible expenses).

Apabila ingin agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka

penghitungan PPh harus menggunakan metode gross-up dari PPh hasil penghitungan

gross-up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan Faktur Pajak)

atau menambah penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain

diberikan “tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.”

Kita lihat ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang pribadi berikut ini :

Net (Tidak Gross-up) Gross-up

Nilai Pekerjaan 10.000.000,- Nilai Pekerjaan 10.000.000,-

PPh 5% 500.000,- PPh 5% 526.316,-

Nilai Kontrak (net) 10.000.000,- Nilai Kontrak 10.526.316,-

Catatan :

1) Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah Tarif Pasal 17 dari nilai

bruto dan PPh yang ditanggung pemberi kerja sebesar Rp 500.000,- tanpa gross-up dan

tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh tersebut tidak dapat dibiayakan.

2) PPh dihitung dengan metode gross-up dan menambah nilai kontrak. 5% x Rp 10.000.000,-

x 100/(100 - 5) = Rp 526.316,-

PPh sejumlah tersebut menjadi unsur biaya yang bersifat deductible expenses, karena bagi

si penerima menjadi unsur penghasilan.

Mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan? Harus dipertimbangkan lebih jauh lagi.

Secara sederhana dapat diilustrasikan :

Jika secara fiskal perusahaan masih merugi, gross-up justru akan menambah beban

PPh Pasal 21 tanpa mempengaruhi PPh Badan terutang, pengaruhnya pada kompensasi

kerugian. Dari cash-flow timbul pengeluaran yang justru lebih besar, dan jika

mempertimbangkan time value of money mungkin saja manajemen memilih tidak perlu

melakukan gross-up.

Sebaliknya jika perusahaan mendapat laba fiskal dan sudah dikenai PPh tarif tertinggi,

metode gross-up dapat menghasilkan penghematan dari selisih tarif antara PPh Badan

dengan tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan.

Kasus ini juga dapat digunakan untuk mempertimbangkan, apakah perusahaan akan

menanggung PPh atas penghasilan karyawan atau akan diberikan tunjangan PPh

dengan metode gross-up.

Page 67: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

67

3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau Reimbursement

Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis

pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.

Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari

seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya,

misal: transportasi, akomodasi dan sebagainya.

Pengertian lump-sum di sini, perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah tertentu,

yang meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya lainnya, tanpa disertai

dengan pertanggungjawahan dan bukti atas penggunaannya.

Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila

terjadi kelebihan, harus dikembalikan ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat

dimintakan kembali (reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku

atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima/diperoleh karyawan.

4. Pemberian Tunjangan Makan atau Disiapkan Makan Bersama?

Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan sudah boleh

dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Mungkin perlu dikaji, apakah perusahaan

masih hendak memberikan tunjangan makan atau hendak disiapkan makan bersama sebagai

pengganti tunjangan makan?

Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak menimbulkan

pengaruh apapun karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh

2008), tetapi pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, tentu lebih menguntungkan jika disiapkan makan

bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya menggunakan jasa

catering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari

penghasilan bruto!

Tentunya harus dikaji keseluruhan aspek terhadap perusahaan. Misalnya dari sudut psikologi

karyawan, apakah menimbulkan gejolak atau tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu

harus dilihat dari keseimbangan keseluruhan sistem yang ada.

5. Pemberian Tunjangan Kesehatan atau Diberikan Fasilitas Pengobatan?

Untuk biaya kesehatan perusahaan memiliki pilihan dengan memberikan tunjangan

kesehatan/mediral atau menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau menggunakan

metode reimbursement biaya pengobatan.

Page 68: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

68

Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan pajaknya

bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan merupakan obyek PPh Pasal 21

bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan biaya bagi perusahaan.

Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, maka perlakuan

pajaknya bersifat non taxable – non deductible. Artinya hal itu bukan penghasilan bagi

karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.

Bila perusahaan menggunakan metode reimbursement dalam memberikan biaya

pengobatan maka perlakuan pajaknya;

bersifat non taxable – non deductible, bila persyaratan reimbursement dapat dipenuhi

yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas

nama perusahaan atau atas nama karyawan qq perusahaan, dan diatur dalam kontrak

kerja antara perusahaan dengan karyawan.

bersifat taxable – deductible, bila persyaratan reimbursement di atas tidak dapat

dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah bahwa karyawan menerima uang dari

perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengobatan oleh

karyawan.

Beberapa transaksi lainnya dalam hubungannya dengan kompensasi bagi karyawan akan

dibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan dengan PPh Badan.

6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)

Penerapan Tax Planning Dalam PPh Pasal 21, antara lain :

1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan pajak bersifat final, diupayakan

seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan

kenikmatan (benefit in kinds) karena pengeluaran benefit in kind tersebut untuk tujuan

fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk

kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan

(mengurangi profit).

2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, memberikan

tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan merupakan salah satu

pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Ps. 21. Pilihan pemberian dalam

bentuk kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi PPh Badan

karena pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh Final. Tetapi untuk tujuan komersial,

baik pemberian dalam natura/kenikmatan atau dalam bentu tunjangan tetap bisa menjadi

pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan netto.

3. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final, contohnya

perusahaan jasa konstruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan dapat dilakukan

dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk

natura/kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu

Page 69: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

69

pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh Pasal 21, sedangkan pengeluaran

untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh

badan. Contohnya pemberian penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai

(Pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-51/PJ/2009),

kedua macam biaya tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak tidak menambah beban PPh

Pasal 21 karena tidak diperlakukan menambah pendapatan dalam perhitungan PPh Pasal

21 karyawan.

11. Alur Perencanaan Pajak -PPh Pasal 21

Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan

memaksimalkan nilai perusahaan yaitu dengan cara memperoleh laba yang maksimal sesuai

dengan yang diinginkan. Untuk mengejar laba yang maksimal tersebut perusahaan harus

melakukan berbagai upaya, dimana salah satu upaya tersebut dilakukan melalui perencanaan

pajak supaya bisa menghemat beban pajak.

Upaya penghematan beban pajak memalui peraturan perpajakan yang dilakukan perusahaan

tetap memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku (asas legalitas). Perencanaan pajak

dimulai dengan menganalisa dan menyakinkan metode-metode perhitungan pajak penghasilan

pasal 21 yang lebih efisin serta memperhatikan makanisme taxability - deductibility.

Perlu diperjelas bahwa manajemen dan perencanaan pajak bukan bertujuan untuk mengurangi

kewajiban pajak yang sebenarnya terutang tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak

melebihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar dan mencapai efisiensi bagi wajib pajak

tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan adanya managemen dan

perencanaan pajak dalam perusahaan tidak menutup kemungkinan membantu wajib pajak

dalam mengelola kewajibannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul akibat

adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk mencapai

efisiensi pembebanan perusahaan.

Page 70: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

70

Perencanaan PPh Pasal 21

Berdasarkan UU PPh

Metode Pemotongan PPh

Pasal 21

Mekanisme Taxability dan

Deductibility

Upaya penghematan Pajak Dalam

Mengefisiensikan Beban Pajak Terutang

PPh Badan Yang Lebih Efisien

Metode Net

Metode Gross

Metode Gross Up

Metode Gross Up

Penghasilan Kena Pajak Yang Lebih

Rendah

SPT PPh Badan

Page 71: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

71

Gambar-1 Alur Perencanaan PPh Pasal 21

12. Strategi Perencanaan Pajak Untuk

Mengefisienkan Beban Pajak

Dalam menyusun perencanaan pajak yang sesuai dengan kondisi perusahaan dimulai dengan

strategi mengefisensikan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan oleh perusahaan

haruslah bersifat legal (tax avoidance) supaya dapat terhindar dari sanksi-sanksi pajak

dikemudian hari. Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan maka

perlu dilakukan analisis terhadap metode-metode dan kebijakan-kebijakan yang cocok serta

strategi yang perlu dilakukan sehingga efisiensi beban pajak dapat tercapai. Misalnya :

- Memberikan tunjangan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan, karena pada

dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sebagai

biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungan sebagai penghasilan

yang dikenakan pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian

tunjangan semacam ini selain akan memberikan kepuasan dan meningkatkan motivasi

bekerja pegawai juga akan meningkatkan produktivitas mereka.

- Perusahaan memberikan tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilitas

pengobatan kesehatan pegawai. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai

diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan dapat diakui sebagai biaya dan

sebagai penghasilan bagi pegawai sehingga dikenakan PPh Pasal 21.

- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara

menguasai seluruh peraturan yang berlaku, yakni dengan menghitung pajak dengan tepat

dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.

Dari kebijakan perencanaan pajak perusahaan yang diterapkan, penulis akan menganalisis

data yang diperoleh dari perusahaan dengan menerapkan teori-teori yang ada yang tidak

bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Dalam perhitungan PPh Pasal 21 terdapat tiga metode yang bisa aplikasikan, yakni metode

Net, metode Gross, dan metode Gross up.

1. Net Method

Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung PPh Pasal 21

karyawan.

2. Gross Method

Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak

penghasilannya.

Page 72: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

72

3. Gross-Up Method

Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak-

PPh Pasal 21 yang di formulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak-PPh Pasal

21 yang akan dipotong dari karyawan.

Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Yang Ditanggung Oleh

Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja didasarkan atas Pasal 4 huruf d Peraturan Pemerintah

Nomor 138 Tahun 2000. Selanjutnya dapat diikuti pembahasan yang lebih terperinci Pada

pembahasan Pasal 26 dan Pasal 23 di Bab IV.

Keuntungan penggunaan metode gross up ini adalah untuk memuaskan dan meningkatkan

memotivasi karyawan. Dengan menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena

PPh Pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa

lebih diperhatikan sehingga dengan meningkatnya motivasi dan kepuasan karyawan tersebut

akan meningkatkan pula produktivitas karyawan. Semua metode tersebut diatas diperbolehkan

menurut undang-undang dan peraturan perpajakan. Jadi tinggal pilih mau menggunakan

metoda yang mana yang paling efisien bagi perusahaan tetapi juga menguntungkan bagi

karyawan.

Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up

yang sesuai dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000

Lapisan 1s/d 5 dibawah ini disesuaikan dengan lapisan PKP (Penghasilan kena pajak)

(Penghasilan kena Pajak) yang sesuai dengan Pasal 17 UU No. 17 tahun 2000.

Atas dasar PKP tersebut, harus memilih di lapisan mana PKP di posisikan :

LAPISAN 1=

PKP X 5%

0,95

LAPISAN 2 =

(PKP X 10%) - 1.250.000

0,9

LAPISAN 3 =

(PKP X 15%) - 3.750.000

0,85

LAPISAN 4 =

(PKP X 25%) - 13.750.000

0,75

LAPISAN 5 =

(PKP X 35%) - 33.750.000

0,65

Semenjak diberlakukannya UU PPh No. 36 Tahun 2008, maka rumus gross up ini juga

mengalami penyesuaian karena tarif pajak dan PTKP nya juga berubah, seperti terihat

berikut ini :

Page 73: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

73

Rumus Tunjangan Pajak dengan Metode Gross up

yang sesuai dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008

PKP Rp. 0 s/d Rp. 50.000.000,-

Pajak = 1/0,95 {PKP X 5%}

PKP diatas Rp. 50.000.000 s/d 250.000.000,-

Pajak = 1/0,85 {(PKP X 15%) - 5 juta}

PKP diatas Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000,-

Pajak = 1/0,75 {(PKP X 25%)- 30 juta}

PKP diatas Rp. Rp. 500.000.000

Pajak = 1/0,70 {(PKP X 35%)- 55 juta}

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up Tahun 2008 harus dilakukan

dengan 2(dua) tahap seperti dibawah ini :

Tahap - 1

Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa

tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas.

CONTOH :

Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2008 menerima

Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Gaji/tahun

120.000.000

Tunjangan makan siang

3.600.000

JKK = 1.27% x 120 jt

1.542.000

JKM = 0.30 % x 120 jt

3.600.000

128.742.000

Bonus

5.000.000

133.742.000

Pengurangan :

Biaya Jabatan

1.296.000

Iuran Pensiun (dibayar sendiri) 2.400.000

JHT = 2% x 120 jt

2.400.000

(6.096.000)

Page 74: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

74

127.646.000

PTKP K/1

( 15.600.000)

PKP

112.046.000

Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 4, maka rumus Gross up yang dipakai

adalah Lapisan ke 4

LAPISAN KE-4 = (PKP X 25%) - 13.750.000)

0,75

TUNJANGAN PAJAK = (112.046.000 X 25%) - 13.750.000

0,75

TUNJANGAN PAJAK = 19.015.333

(JKK=Jaminan Kecelakaan Kerja-Jamsostek; JKM = Jaminan Kematian-Jamsostek)

Tahap - 2

Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian

dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan

ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama,

maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).

Gaji/tahun

120.000.000

Tunjangan makan siang

3.600.000

Tunjangan Pajak (Gross up)

19.015.333

JKK = 1.27% x 120 jt

1.542.000

JKM = 0.30 % x 120 jt

3.600.000

147.757.333

Bonus

5.000.000

152.757.333

Pengurangan :

Biaya Jabatan

1.296.000

Iuran Pensiun

2.400.000

JHT = 2% x 120 jt

2.400.000

(6.096.000)

146.661.333

PTKP

( 15.600.000)

PKP

131.061.333

PPh Terutang :

PPh 21 5% X 25.000.000 1.250.000

10% X 25.000.000 2.500.000

15% X 50.000.000 7.500.000

25% X 31.061.333 7.765.333

Total PPh 21

19.015.333

Page 75: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

75

Perhitungan PPh Pasal 21 dengan Metode Gross Up yang sesuai UU PPh

No. 36 Thn 2008, harus dilakukan dengan dua tahap seperti dibawah ini :

Tahap - 1

Hitung dulu berapa PKP tanpa tunjangan pajak. Setelah itu baru dihitung berapa

tunjangan pajak dengan menggunakan rumus GROSS UP diatas.

Contoh :

Tn. Amir, pegawai tetap PT. DEx sejak th. 2005, Status K/1, tahun 2010 menerima

Penghitungan pajak-PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Gaji/tahun 120.000.000

Tunjangan makan siang 3.600.000

JKK = 1.27% x 120 jt 1.542.000

JKM = 0.30 % x 120 jt 3.600.000

128.742.000

Bonus 5.000.000

133.742.000

Pengurangan :

Biaya Jabatan 5% max. 6.000.000

Iuran Pensiun (dibayar sendiri) 2.400.000

JHT = 2% x 120 jt 2.400.000

(10.800.000)

122.942.000

PTKP K/1 (18.480.000)

PKP 104.462.000

Karena PKP ada dilapisan tarif yang ke 2, maka rumus Gross up yang dipakai

adalah Lapisan ke-2

LAPISAN KE- 2 = (PKP X 15%) - 5.000.000

0,85

TUNJANGAN PAJAK = (104.462.000 X 15%) - 5.000.000

0,85

TUNJANGAN PAJAK = 12.552.118

Page 76: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

76

Tahap - 2

Setelah diperoleh berapa tunjangan pajak dengan rumus Gross up, baru kemudian

dimasukkan unsur tunjangan pajak sebagai unsur penghasilan wajib pajak. Perhitungan

ini memperlihatkan bahwa jumlah PPh harus sama dengan tunjangan pajak. Bila sama,

maka PPh tsb. dapat dibiayakan (deductible).

Gaji/tahun 120.000.000

Tunjangan makan siang 3.600.000

Tunjangan Pajak (Gross up) 12.552.118

JKK = 1.27% x 120 jt 1.542.000

JKM = 0.30 % x 120 jt 3.600.000

141.294.118

Bonus 5.000.000

146.294.118

Dikurangi :

Biaya Jabatan 6.000.000

Iuran Pensiun 2.400.000

JHT = 2% x 120 jt 2.400.000

(10.800.000)

135.494.118

PTKP (18.480.000)

PKP 117.014.118

PPh Terutang :

PPh 21 5% X 50.000.000 2.500.000

15% X 67.014.118 10.052.118

Total PPh 21 12.552.118

Untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai proses perencanaan pajak untuk PPh

Pasal 21 ini, berikut ini adalah tabel-tabel perhitungan yang dibuat untuk menganalisis

penghitungan PPh Pasal 21 dengan menggunakan tiga metode perhitungan yang dijelaskan

diatas. Sumber data yang diambil untuk analisis ini adalah data dari Lampiran I-A SPT

Tahunan PPh Pasal 21 PT. ABx untuk Tahun 2008, dengan data karyawan tahun 2008,

berikut ini :

Kredit pajak tahun 2008 Jenis Pajak Jumlah Rp.

PPh 25 Dibayar dimuka 3.968.500

PPh 23 dibayar dimuka 24.964.135

Page 77: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

77

Tabel III-4

Daftar Gaji Karyawan PT. ABx Tahun 2008

No. Nama

pegawai

Gaji/Upah

Rp Uang

Lembur

Bonus/THR

Status

Mulai

bekerja

Tahun

1 A 84.000.000 0 7.000.000 K/1 2000

2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 BK 2000

3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 K/2 2000

4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 K/1 2000

5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 K/2 2000

6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 BK 2000

7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 BK 2000

8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 K/1 2000

9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 K/2 2000

10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 K/2 2000

11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 BK 2000

12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 BK 2000

13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 BK 2000

14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 BK 2000

15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 K/2 2000

TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000

Page 78: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

78

Tabel III-5

Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008

METODE GROSS

No.

Nama

pegawai Gaji/Upah

Uang

Lembur

Bonus/THR

Penghasilan

Bruto

Biaya

Jabatan

Penghasilan

Netto

1 2 3 4 5 6 7 8

1 A 84.000.000 0 7.000.000 91.000.000 1.296.000 89.704.000

2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 26.230.000 1.296.000 24.934.000

3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 41.810.000 1.296.000 40.514.000

4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 24.890.000 1.244.500 23.645.500

5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 22.350.000 1.117.500 21.232.500

6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 19.740.000 987.000 18.753.000

7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 21.000.000 1.050.000 19.950.000

8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 17.150.000 857.500 16.292.500

9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 21.050.000 1.052.500 19.997.500

10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 21.050.000 1.052.500 19.997.500

11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 31.420.000 1.296.000 30.124.000

12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 19.750.000 987.500 18.762.500

13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 17.150.000 857.500 16.292.500

14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 14.510.000 725.500 13.784.500

15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 19.860.000 993.000 18.867.000

TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000 408.960.000 16.109.000 392.851.000

Page 79: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

79

Lanjutan Tabel III-5 (Metode Gross)

No.

Nama

pegawai

Penghasilan

disetahunkan

(dibulatkan) PTKP PKP

PPh Pasal

21(Seblm

Gross up)

PPh Pasal 21

( sesudah

Gross up)

9 10 11 12 13

1 A 89.704.000 15.600.000 74.104.000 7.365.600 8.665.412

2 B 24.934.000 13.200.000 11.734.000 586.700 617.579

3 C 40.514.000 16.800.000 23.714.000 1.185.700 1.248.105

4 D 23.645.000 15.600.000 8.045.000 402.250 422.388

5 E 21.232.000 16.800.000 4.432.000 221.600 232.705

6 F 18.753.000 13.200.000 5.553.000 277.650 291.533

7 G 19.950.000 13.200.000 6.750.000 337.500 354.375

8 H 16.292.000 15.600.000 692.000 34.600 36.355

9 I 19.997.000 16.800.000 3.197.000 159.850 167.868

10 J 19.997.000 16.800.000 3.197.000 159.850 167.868

11 K 30.124.000 13.200.000 16.924.000 846.200 890.737

12 L 18.762.000 13.200.000 5.562.000 278.100 292.030

13 M 16.292.000 13.200.000 3.092.000 154.600 162.355

14 N 13.784.000 13.200.000 584.000 29.200 30.685

15 O 18.867.000 16.800.000 2.067.000 103.350 108.518

TOTAL 392.847.000 223.200.000 169.647.000 12.142.750 13.688.510

Tabel III-6

Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008

(Perusahaan Menanggung PPh Pasal 21 Sebahagian)

No. Nama pegawai Gaji/Upah

Uang

Lembur Bonus/THR

Tunjangan

Pajak

Penghasilan

Bruto

Biaya

Jabatan

Penghasilan

Netto 1 A 84.000.000 7.000.000 7.365.600 98.365.600 1.296.000 97.069.600

2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 586.700 26.816.700 1.296.000 25.520.700

3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 1.185.700 42.995.700 1.296.000 41.699.700

4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 402.250 25.292.250 1.264.613 24.027.638

5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 221.600 22.571.600 1.128.580 21.443.020

6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 277.650 20.017.650 1.000.883 19.016.768

7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 337.500 21.337.500 1.066.875 20.270.625

8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 34.600 17.184.600 859.230 16.325.370

9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 159.850 21.209.850 1.060.493 20.149.358

10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 159.850 21.209.850 1.060.493 20.149.358

11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 846.200 32.266.200 1.296.000 30.970.200

12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 278.100 20.028.100 1.001.405 19.026.695

13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 154.600 17.304.600 865.230 16.439.370

14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 29.200 14.539.200 726.960 13.812.240

15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 103.350 19.963.350 998.168 18.965.183

TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000 12.142.750 421.102.750 16.216.928 404.885.823

Page 80: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

80

Lanjutan Tabel III-6

No. Nama pegawai Penghasilan

disetahunkan

(dibulatkan)

PTKP PKP PPh Pasal 21

1 A 97.069.000 15.600.000 81.469.000 8.470.350

2 B 25.520.000 13.200.000 12.320.000 616.000

3 C 41.699.000 16.800.000 24.899.000 1.244.950

4 D 24.027.000 15.600.000 8.427.000 421.350

5 E 21.443.000 16.800.000 4.643.000 232.150

6 F 19.016.000 13.200.000 5.816.000 290.800

7 G 20.270.000 13.200.000 7.070.000 353.500

8 H 16.325.000 15.600.000 725.000 36.250

9 I 20.149.000 16.800.000 3.349.000 167.450

10 J 20.149.000 16.800.000 3.349.000 167.450

11 K 30.970.000 13.200.000 17.770.000 888.500

12 L 19.026.000 13.200.000 5.826.000 291.300

13 M 16.439.000 13.200.000 3.239.000 161.950

14 N 13.812.000 13.200.000 612.000 30.600

15 O 18.965.000 16.800.000 2.165.000 108.250

TOTAL 404.879.000 223.200.000 181.679.000

.

13.480.850

Tabel III-7

Perhitungan PPh Pasal 21 Tahun 2008

METODE GROSS UP

No.

Nama

pegawai Gaji/Upah

Uang

Lembur

Bonus/THR

Tunjangan

Pajak

Penghasilan

Bruto

Biaya

Jabatan

Penghasilan

Netto

1 A 84.000.000 7.000.000 8.665.412 99.665.412 1.296.000 98.369.412

2 B 21.600.000 2.830.000 1.800.000 617.579 26.847.579 1.296.000 25.551.579

3 C 36.000.000 2.810.000 3.000.000 1.248.105 43.058.105 1.296.000 41.762.105

4 D 20.400.000 2.790.000 1.700.000 422.388 25.312.388 1.265.619 24.046.768

5 E 18.000.000 2.850.000 1.500.000 232.705 22.582.705 1.129.135 21.453.570

6 F 15.600.000 2.840.000 1.300.000 291.533 20.031.533 1.001.577 19.029.956

7 G 16.800.000 2.800.000 1.400.000 354.375 21.354.375 1.067.719 20.286.656

8 H 13.200.000 2.850.000 1.100.000 36.355 17.186.355 859.318 16.327.037

9 I 16.800.000 2.850.000 1.400.000 167.868 21.217.868 1.060.893 20.156.974

10 J 16.800.000 2.850.000 1.400.000 167.868 21.217.868 1.060.893 20.156.974

11 K 26.400.000 2.820.000 2.200.000 890.737 32.310.737 1.296.000 31.014.737

12 L 15.600.000 2.850.000 1.300.000 292.030 20.042.030 1.002.102 19.039.929

13 M 13.200.000 2.850.000 1.100.000 162.355 17.312.355 865.618 16.446.737

14 N 10.800.000 2.810.000 900.000 30.685 14.540.685 727.034 13.813.651

15 O 16.000.000 1.860.000 2.000.000 108.518 19.968.518 998.426 18.970.092

TOTAL 341.200.000 38.660.000 29.100.000 13.688.510 422.648.510

16.222.334 406.426.176

Page 81: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

81

Lanjutan Tabel III-7

No.

Nama

pegawai

Penghasilan

disetahunkan

(dibulatkan) PTKP PKP

PPh Pasal

21

(pembulatan)

1 A 98.369.000 15.600.000 82.769.412 8.665.412

2 B 25.551.000 13.200.000 12.351.579 617.579

3 C 41.762.000 16.800.000 24.962.105 1.248.105

4 D 24.046.000 15.600.000 8.446.768 422.388

5 E 21.453.000 16.800.000 4.653.570 232.705

6 F 19.029.000 13.200.000 5.829.956 291.533

7 G 20.286.000 13.200.000 7.086.656 354.375

8 H 16.327.000 15.600.000 727.037 36.355

9 I 20.156.000 16.800.000 3.356.974 167.868

10 J 20.156.000 16.800.000 3.356.974 167.868

11 K 31.014.000 13.200.000 17.814.737 890.737

12 L 19.039.000 13.200.000 5.839.929 292.030

13 M 16.446.000 13.200.000 3.246.737 162.355

14 N 13.813.000 13.200.000 613.651 30.685

15 O 18.970.000 16.800.000 2.170.092 108.518

TOTAL 406.417.000 223.200.000 183.226.176

13.688.510

Dari ketiga tabel III-1 hingga tabel III-3 tersebut diatas, dapat direkapitulasi hasil

perhitungannya sebagai berikut :

Tabel III-8

Analisis Penghitungan PPh Pasal 21 Pada PT. ABx Tahun 2008

Keterangan Ditanggung

karyawan

Ditanggung

Perusahaan (tidak

dibiayakan)

Ditunjang

perusahaan

sebahagian

Metode

Gross Up

Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV

Gaji 341.200.000 341.200.000 341.200.000 341.200.000

Uang Lembur 38.660.000 38.660.000 38.660.000 38.660.000

Bonus/THR 29.100.000 29.100.000 29.100.000 29.100.000

Tunjangan pajak 12.142.750 13.668.510

Total Penghasilan Bruto 408.960.000 408.960.000 421.102.750 422.648.510

B. Jabatan 15.980.000 15.980.000 16.163.125 16.222.300

Total Pengurang 15.980.000 15.980.000 16.163.125 16.222.300

Penghasilan netto 392.851.000 392.851.000 392.851.000 406.426.176

Penghasilan netto

disetahunkan

92.847.000 392.847.000

392.847.000 406.417.000

PTKP 223.200.000 223.200.000 223.200.000 223.200.000

Penghasilan Kena Pajak

setahun

169.647.000 169.647.000 169.647.000

183.226.176

PPh 21 setahun 12.142.750 12.142.750 13.480.850 13.668.510

Tunjangan pajak - - 12.142.750 13.668.510

PPh 21 yang harus distor

/dipotong dr penghas.kary.

12.142.750 12.142.750 1.338.100 -

Page 82: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

82

Selanjutnya pada tabel III-9 berikut ini kita akan mendapat gambaran mana alternatif yang

paling menguntungkan bagi perusahaan dan bagi pegawai dalam pemilihan dari keempat

alternatif kebijakan dibawah ini.

Tabel III-9

Take Home Pay (THP) Uraian Ditanggung

karyawan

(potong gaji

pegawai)

Ditanggung

Perusahaan (tidak

dimasukkan

sebagai unsur

pendapatan di

SPT PPh 21)

Ditunjang

perusahaan

sebahagian

Metode

Gross Up

Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV

Gaji 341.200.000 341.200.000 341.200.000 341.200.000

Tambahan presensi &

insentif)

38.660.000 38.660.000 38.660.000 38.660.000

Bonus+THR 29.100.000 29.100.000 29.100.000 29.100.000

Tunjangan Pajak 12.142.750 13.668.510

Penghasilan Bruto Pegawai 408.960.000 408.960.000 421.102.750 422.628.510

PPh Pasal 21 12.142.750 13.480.850 13.668.510

Total Take Home Pay 396.817.250 408.960.000 407.621.900 408.960.000

Berdasarkan analisa pada Tabel III-4 hingga Tabel III-9 diatas, dapat kita catatkan beberapa

poin sebagai berikut :

a. Take Home Pay

Secara totalitas, alternatif yang ke-4 yakni metode Gross-up memberikan penerimaan

penghasilannya yang lebih besar bagi pegawai, karena take home pay dari

penghasilannya adalah yang paling terbesar dibandingkan dengan alternatif lainnya.

Meskipun Alternatif II memberikan hasil THP yang sama dengan alternatif IV, namun

dari sisi perusahaan pemberi kerja masih harus keluar dana untuk setoran PPh Pasal 21 ke

Kas negara yang kini menjadi beban pemberi kerja. Jadi dari sisi pemberi kerja, alternatif

IV adalah yang terbaik dari alternatif lainnya untuk kesejahteraan pegawainya.

b. PPh Pasal 21 ditanggung pegawai yang bersangkutan.

- Dengan metode Gross ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan pegawai/

dipotong dari gaji bulanan sebesar Rp. 12.142.750,-. Bila jumlah PPh Pasal 21 ini

kita Gross-up, maka hasilnya adalah sebesar Rp. 13.668.510.

- Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan dipotong dari gaji bulannya, dari

sisi pegawai, beban PPh Pasal 21 tersebut akan mengurangi penghasilan pegawai

yang bersangkutan. Dari sisi perusahaan, tidak ada PPh Pasal 21 pegawai yang

terutang, perusahaan hanya memiliki kewajiban untuk menyetor dan melaporkan PPh

Pasal 21 atas gaji karyawan yang telah dipotong tersebut.

c. PPh Pasal 21 ditanggung oleh Perusahaan.

- Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan di tanggung oleh

perusahaan/pemberi kerja yang bersangkutan. Dari sisi pegawai, gaji yang diterima

Page 83: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

83

pegawai tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaan yang

menanggung beban PPh Pasal 21. Karena jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung

perusahaan tersebut tidak di masukkan dalam perhitungan di SPT PPh Pasal 21,

sehingga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebagai biaya

deductible, dan perusahaan selaku pemotong atau pemungut pajak wajib untuk

membayar dan melaporkan ke kantor pajak.

d. PPh Pasal 21 ditunjang sebagian oleh pemberi kerja.

- Dengan metode Net ini, jumlah PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan perusahaan

hanya sebagian yakni sebesar Rp. 12.142.750, sedangkan jumlah PPh Pasal 21 yang

harus dibayar ke Kas Negara adalah sebesar Rp. 13.480.850, maka sisanya sebesar

Rp. 1.338.100,- harusnya ditanggung oleh pegawai (potong gaji).

- Perusahaan/pemberi kerja bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya

tidak sama dengan pajak yang terutang. Bagi pegawai, tunjangan tersebut akan

menambah penghasilan karyawan yang akan diperhitungkan dalam pemotongan PPh

Pasal 21. Dalam hal ini besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar dari

tunjangan pajak PPh Pasal 21 dan selisihnya bisa menjadi tanggungan pegawai. Bagi

perusahaan, PPh Pasal 21 yang diberikan dalam bentuk tunjangan dapat dibiayakan

oleh perusahaan, sedangkan selisihnya bila ditanggung oleh pemberi kerja merupakan

pengeluaran biaya yang non deductable.

e. PPh Pasal 21 Ditunjang perusahaan seluruhnya (Gross-up method).

- Dengan menggunakan rumus Gross-up ini, perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan

secara dua tahap seperti yang telah dijelaskan dimuka. Jumlah PPh Pasal 21 yang

ditunjang seluruhnya oleh perusahaan/prmberi kerja adalah sebesar Rp. 13.668.510,-

dan jumlah ini semuanya bisa dibiayakan (deductible), sedangkan jumlah PPh Pasal

21 yang harus dibayar ke Kas Negara adalah sama besarnya dengan tunjangan pajak

tersebut. Jika besarnya PPh pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka dengan

metode ini jumlah tunjangan tersebut bagi karyawan sesungguhnya tidak berpengaruh

terhadap penghasilan yang diterima oleh karyawan (take home pay), tetapi untuk

perhitungan PPh Pasal 21 yang di Gross Up penghasilan karyawan akan lebih besar

sebesar PPh Pasal 21 yang ditambahkan. Besarnya tunjangan pajak akan sama dengan

besarnya PPh Pasal 21 yang terutang, sehingga tidak berpengaruh pada penghasilan

karyawan.

- Dari segi komersial, kebijakan perusahaan yang menerapkan PPh Pasal 21 secara

Gross-up ini akan terlihat memberatkan perusahaan/pemberi kerja karena biaya fiskal

yang besar tersebut tampaknya seperti suatu pemborosan, namun harus pula

diperhatikan bahwa akibat biaya fiskal yang lebih besar tersebut akan berdampak

pada laba sebelum pajaknya akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya PPh Badan

yang terutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun demikian, kenaikan beban

perusahaan dari PPh Pasal 21 tersebut akan tereliminasi dengan penurunan PPh

Badan karena beban PPh Pasal 21 tersebut dapat dibiayakan, bahkan penurunan PPh

Badan tersebut lebih besar dari kenaikan PPh Pasal 21, sehingga tercipta suatu

Page 84: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

84

penghematan pajak. Strategi perpajakan ini akan menstimulasi pegawai untuk

meningkatkan produktifitasnya karena pendapatan yang diperolehnya lebih besar.

PENGHEMATAN/EFISIENSI PAJAK

Implikasi Penerapan Perencanaan PPh Pasal 21 Terhadap Beban Pajak

Implikasi dari kebijakan perusahaan atas penerapan dari masing-masing metode penghitungan

PPh Pasal 21 (Metode Net, Metode Gross, dan Gross up) terhadap Laporan Laba Rugi dan

efisiensi pajak perusahaan secara komparatif dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel III-10

Perhitungan Laba Rugi PT. ABx Untuk tahun berakhir 31 Desember 2008

Keterangan Ditanggung

karyawan

(potong gaji

pegawai)

Ditanggung

Perusahaan (tidak

dimasukkan

sebagai unsur

pendapatan di

SPT PPh 21)

Ditunjang

perusahaan

sebahagian

Metode

Gross Up

Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV

Penjualan 3.431.249.158 3.431.249.158 3.431.249.158 3.431.249.158

Harga Pokok Penjualan 2.318.561.624 2.318.561.624 2.318.561.624 2.318.561.624

Laba Kotor Usaha 1.112.687.534 1.112.687.534 1.112.687.534 1.112.687.534

Biaya Operasional :

Biaya Operasional 444.755.557 444.755.557 444.755.557 444.755.557

Gaji/THR/bonus 408.960.000 408.960.000 408.960.000 408.960.000

Tunjangan PPh Pasal 21 12.142.750 13.668.510

Total Biaya Operasional 853.715.557 853.715.557 865.858.307 867.384.067

Laba Operasional 258.971.977 258.971.977 246.829.227 245.303.467

Pendapatan/Biaya Diluar

Usaha :

Pendapatan Diluar Usaha 164.995.183 164.995.183 164.995.183 164.995.183

Biaya Diluar Usaha 165.210.016 165.210.016 165.210.016 165.210.016

Rugi diluar usaha (214.833) (214.833) (214.833) (214.833)

Laba Bersih Usaha seblm

pajak 258.757.144 258.757.144 246.614.394 245.088.634

Pajak Penghasilan Badan 60.127.143 60.127.143 56.484.318 56.026.590

Laba bersih setelah pajak 198.630.001 198.630.001 190.130.076 189.062.044

Kredit pajak :

PPh 25 Dibayar dimuka 3.968.500 3.968.500 3.968.500 3.968.500

PPh 23 dibayar dimuka 24.964.135 24.964.135 24.964.135 24.964.135

Total Kredit Pajak 28.932.635 28.932.635 28.932.635 28.932.635

Kurang/(lebih) bayar 169.697.366 169.697.366 161.197.441 160.129.409

Dari Tabel III-10 tersebut selanjutnya kita buat perbandingan antara totalitas beban pajak

perusahaan dari PPh Pasal 21 dan PPh Badan setelah Perencanaan pajak PT. ABx untuk

menganalisa seberapa besar dampak perencanaan pajak-PPh Pasal 21 tersebut pada

pencapaian efisiensi pajak atau keuntungan perusahaan.

Page 85: Materi Kuliah Manajemen Perpajakan-buat Mhs Stiami Pd.cabe

85

Tabel III-11

Perbandingan antara totalitas beban pajak

setelah perencanaan pajak

Keterangan Ditanggung

karyawan

(potong gaji

pegawai)

Ditanggung Perusahaan

(tidak dimasukkan

sebagai unsur pendapatan

di SPT PPh 21)

Ditunjang

perusahaan

sebahagian

Metode

Gross Up

Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV

PPh 21 (sebagai tunjangan

pajak)

0 0 12.142.750 13.668.510

PPh Badan 60.127.143 60.127.143 56.484.318 56.026.590

Total Pajak (beban perusahaan) 60.127.143 60.127.143 68.627.068 69.695.100

PPh 21 (beban perusahaan,

bukan sebagai tunjangan pajak)

12.142.750

PPh 21 (beban pegawai) 12.142.750 1.338.100

Total Pajak 72.269.893 72.269.893 69.965.168 69.695.100

Laba bersih setelah pajak 198.630.001 198.630.001 190.130.076 189.062.044

-/- : PPh 21 (non deductible) 12.142.750

-/- : PPh 21 (beban pegawai/non

deductible)

12.142.750 1.338.100

Laba bersih setelah pajak

dan beban non deductible 186.487.251 186.487.251 188.791.976 189.062.044

Penjelasan :

1. Secara totalitas, bila diperhitungkan beban pegawai dari PPh Pasal 21 ini, maka alternatif

IV yakni metode Gross-up memberikan efisiensi pajak yang lebih besar bagi keduanya

(pemberi kerja&pegawai), karena total pajaknya adalah yang paling terkecil dibandingkan

dengan alternatif lainnya dengan selisih nilai (alt. IV- alt. I/II) sebesar Rp. 2.574.793.

2. Hanya terdapat perbedaan kecil antara alternatif IV dengan alternatif III, dengan

menggunakan metode PPh Pasal 21 yang ditunjang sebahagian, menyebabkan perusahaan

membayar PPh pasal 21 sebesar Rp 69.965.168 sedikit terpaut diatas alternatif IV.

3. Bila diperhitungkan beban PPh Pasal 21 yang menjadi tanggungan pegawai (alt. I) dan

beban non-deductible perusahaan (alt- II), maka maka alternatif IV yakni metode Gross-

up memberikan “Laba bersih setelah pajak dan beban non deductible” yang lebih besar

bagi pemberi kerja, dengan selisih nilai (alt. IV- alt. I/II) sebesar Rp. 2.574.793 yang

jumlahnya sama dengan besarnya efisiensi pajak yang terdapat pada poin diatas.