mata kuliah pancasila
TRANSCRIPT
1
M A K A L A H P A N C A S I L A
ETIKA BUDAYA DAN SOSIAL
“PELANGGARAN ETIKA YANG BERKAITAN DENGAN PANCASILA”
Di Susun Oleh :
KELOMPOK 1
AJENG YAYU SUHERTI ELYANI A1021511RB4004
DEVI TRESA RACHMAT A1021511RB4008
GANANG MAHARDIKA A1021511RB4014
MUGIE RANGGA WIWAHA A1021511RB4024
SELLA SRIGITA A1021511RB4031
WIDA FERYANTI A1021511RB4036
NURUL HAYATY TRYSHA A1021511RB4044
FAKULTAS EKONOMI JURUSANAKUNTANSI
UNIVERSITAS SANGGA BUANA – YPKP
BANDUNG
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan Makalah Pancasila ini dengan
baik. Dimana Makalah ini kami sajikan dalam bentuk tulisan yang sederhana. Adapun judul
dari Makalah yang kami buat adalah sebagai berikut :
ETIKA BUDAYA DAN SOSIAL
Tujuan dibuat nya makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu nilai untuk mata
kuliah Pancasila.
Sebagai bahan penulisan makalah ini, kami menggunakan metode studi pustaka dari
beberapa sumber yang mendukung tema penulisan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh sekali dari sempurna, untuk itu kami
mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa
yang akan datang.
Akhir kata semoga penulisan makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan bagi
para pembaca yang berminat pada umumnya.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
Pendahuluan .....................................................................................iii
BAB I .............................................................................................. 1
1.1. PENGERTIAN KEBUDAYAAN .......................................................... 1
BAB II ............................................................................................. 2
2.1. PROSES PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA ................... 2
2.2. Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural .................................. 3
2.3. Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia ............................ 4
2.4. Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis .......................... 6
2.5. Undang-Undang Yang Mengatur Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya ...... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................... 10
KESIMPULAN .................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 11
iii
Pendahuluan
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang di-
peroleh bangsa kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik In-
donesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sum-
ber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional. Namun kita juga telah melihat
bahwa, khususnya dalam lima tahun terakhir, telah terjadi krisis pemerintahan dan tuntutan
reformasi (tanpa platform yang jelas) yang menimbulkan berbagai ketidakmenentuan dan
kekacauan. Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony)
menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari
sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu
pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas. Di kala hal ini
berkepanjangan dan tidak jelas kapan saatnya krisis ini akan berakhir, para pengamat hanya
bisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sedang sakit, suatu kesimpulan yang
tidak pula menawarkan solusi. Timbul pertanyaan: mengapa bangsa kita dicemooh oleh
bangsa lain Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa
merasa risi dengan mudah berkata, Saya malu menjadi orang Indonesia dan bukannya secara
heroik menantang dan mengatakan,Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan
ini? Mengapa pula wakil-wakil rakyat dan para pemimpin malahan saling tuding sehingga
menjadi bahan olok-olok orang banyak. Mengapa pula banyak orang, termasuk kaum intel-
ektual, kemudian menganggap Pancasila harus disingkirkan sebagai dasar negara? Kaum in-
telektual yang sama di masa lalu adalah penatar gigih, bahkan manggala dalam pelaksanaan
Penataran P-4. Pancasila adalah asas bersama bagi bangsa ini (bukan asas tunggal). Di
samping itu, makin banyak orang yang kecewa berat terhadap, bahkan menolak, perubahan
UUD 1945 (lebih dari sekedar amandemen) sehingga perannya sebagai pedoman dan acuan
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diibaratkan sebagai menjadi lumpuh. Perjalanan
panjang hampir enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengala-
man kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character
building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional belum dilandasi oleh suatu
strategi budaya yang nyata (padahal ini merupakan konsekuensi dari dicetuskannya Prokla-
masi Kemerdekaan sebagai de hoogste politieke beslissing dan diterimanya Pancasila se-
bagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar Negara
1
BAB I
1.1. PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat
itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai super
organic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai so-
sial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai ang-
gota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat penge-
tahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan ke-
budayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang ber-
budaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya di-
tujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2
BAB II
2.1. PROSES PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA
Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai puncak-puncak kebudayaan
di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indone-
sia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyatIndonesia. Termasuk di dalamnya adalah
nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan
kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang
kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama war-
ganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola
pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tu-
gas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah
sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan:. Siapa kita (apa identitas kita)?
Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan?
Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita? Jawaban ter-
hadap sederet pertanyaan di atas telah dilakukan dalam berbagai wacana mengenai pem-
bangunan kebudayaan nasional dan pengembangan kebudayaan nasional. Namun strategi ke-
budayaan nasional untuk menjawab wacana tersebut di atas belum banyak dikemukakan dan
dirancang selama lebih dari setengah abad usia negara ini, termasuk dalam kongres-kongres
kebudayaan yang lalu.
Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan
identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua
dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran ten-
tang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga
hakekat, yaitu: kedaulatan rakyat, kemandirian dan persatuan Indonesia. Gagasan ini
kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Bhineka Tunggal Ika adalah suatu manifesto kultural (pernyataan das Sollen) dan sekaligus
merupakan suatu titik-tolak strategi budaya untuk bersatu sebagai satu bangsa.
3
Di masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan
kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (diantaranya adalah penghormatan terhadap
Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR
yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem
perekonomian nasional, sistem pemerintahan dan sistem birokrasi nasional.). Di pihak lain,
kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme.
Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya me-
melihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai per-
juangan mencapai peradaban, sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergan-
tungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Secara in-
ternal manusia dan masyarakat memiliki intuisi dan aspirasi untuk mencapai kemajuan.
Secara internal, pengaruh dari luar selalu mendorong masyarakat, yang dinilai statis sekali
pun, untuk bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan besar
dari lingkungan pada saat ini datang dari media masa, melalui pemberitaan maupun pem-
bentukan opini. Pengaruh internal dan khususnya eksternal ini merupakan faktor strategis
bagi terbentuknya suatu kebudayaan nasional. Sistem dan media komunikasi menjadi sarana
strategis yang dapat diberi peran strategis pula untuk memupuk identitas nasional dan
kesadaran nasional.
2.2. Bangsa Indonesia: Pluralistik dan Multikultural
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula
memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang
dianut oleh warga negara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa
dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, sal-
ing melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling
menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka
ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat
pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimili-
kinya, yang keseluruhannya perlu dapat di daya gunakan bagi pembangunan nasional.
Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing,
yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka menjadi tugas Negara
lah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing
suku bangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-po-
tensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
4
Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri pluralistik bangsa
kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang multikultural.
Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkem-
bangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk
mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini
juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk
menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendaya-
gunaan yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan
dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu
dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya
unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum professional Indonesia,
misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sum-
ber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konver-
gensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai potensi dan
haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah ke-
lahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan
kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-
sama merupakan warga negara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah
leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun
dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa
merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerja sama.
2.3. Upaya Membangun Kebudayaan Nasional Indonesia
Kita perlu memahami kembali bahwa warga dari bangsa yang pluralistic ini adalah
rakyat yang juga warga negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasi-
kan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu diperlukan adanya wawasan dan pemahaman
mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita juga harus membuka diri untuk me-
mahami Pancasila, sekaligus bersedia membedakan antara substansi ideal dan kemuliaannya
sebagai dasar peradaban, dengan Pancasila yang pelaksanaannya sengaja dikemas dan ab-
surd secara politis demi kepentingan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, yang
telah menyebabkan Pancasila dikambing hitamkan dan dibenci sebagai penyebab timbulnya
kediktatoran.
5
Sejak mundurnya Presiden Soeharto, di lingkungan masyarakat awam dan profe-
sional tak jarang terdengar pernyataan kejenuhan, kebencian atau alergi terhadap per-
kataan Pancasila. Sebaliknya kita harus memahami Pancasila yang lahir dari hasil pikiran
para pendiri Republik Indonesia yang kemudian dirangkum oleh Bung Karno pada saat la-
hirnya pada tanggal 1 Juni 1945, untuk dijadikan Dasar Negara, sebagai jawaban atas per-
tanyaan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat: Apa dasar negara kita nanti. Kelima butir Pan-
casila itu merupakan refleksi buah pikiran yang telah secara tulus ikhlas dipersiapkan secara
serius dan mendalam oleh para pendiri negara kita menjelang Proklamasi Kemerdekaan In-
donesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian dimatangkan (dalam wadah Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI) untuk menjadi pedoman
berperilaku nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar negara itu
maka bangsa ini memiliki pegangan dan rujukan, tidak ela-elo (Sastro Gending di zaman
Sultan Agung yang menggambarkan porak-porandanya bangsa ini, seakan kehilangan pegan-
gan, jati diri, harga diri dan percaya diri). Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh wakil-
wakil rakyat kita baru-baru ini, di mana Pancasila tersurat di dalamnya, dinilai tidak sesuai
dengan tujuannya melainkan justru merubah makna yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, pada saat generasi penerus dan cendekiawan kita masa kini belum
mampu menyusun suatu Pedoman acuan lain yang dianggap dapat mengungguli Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjaga persatuan bangsa, mensejahterakan rakyat
Indonesia dan menjaga keutuhan tanah air kita, maka pada saat ini, niat untuk menghapus
Pancasila itulah yang harus ditanggalkan dari mindset kita. Sebaliknya, distorsi terhadap
mindset perlu diluruskan dengan cara memahami Pancasila yang sebenarnya. Hal ini meru-
pakan suatu tindakan yang dilandasi oleh suatu urgensi untuk menghindarkan bangsa kita
dari ketidakadilan yang menyebabkan kekacauan, ketidakrukunan, makin luasnya disinte-
grasi sosial, serta koyaknya keutuhan negara. Bukanlah suatu hal yang aneh atau tabu, atau
dinilai ketinggalan zaman bila kita menoleh kembali kepada nilai-nilai yang terkandung da-
lam Pancasila dan UUD 1945 yang sudah disiapkan oleh para pendiri negara kita. Hakekat
reformasi adalah pembaharuan dan juga back-to-basics, dalam arti meluruskan yang keliru
dan keluar jalur. Kemajuan peradaban tidak terlepas dari proses pembelajaran makna.
Sejarah sebagai acuan untuk membangun masa depan. Nilai-nilai dalam UUD 1945
menanamkan pentingnya kehidupan yang cerdas, yang diutarakan dalam kalimat mencer-
daskan kehidupan bangsa, yang diartikan sebagai membangun kehidupan yang bermartabat,
tidak rendah diri, dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Terdistorsinya nilai-nilai ini
terlihat dari contoh yang sedang kita saksikan sekarang ini (dan sebagian dari kita mewajar-
kannya pula), yaitu adanya pembodohan sosial di hadapan kita, antara lain dengan di-
ajukannya pandangan bahwa nation state tidak relevan lagi di dalam globalisasi, dalam dunia
6
yang borderless. Paham borderless world ini tentu banyak ditentang oleh negara-negara yang
lemah, namun didukung oleh negara-negara kuat yang memelihara hegemonisme dan pred-
atorisme. Pelaku dan korban pembodohan sosial ini tak terkecuali pula sebagian dari kaum
intelektual kita, yang sama-sama termakan oleh pola pikir atau mindset asing yang dengan
sengaja ingin menempatkan bangsa kita pada posisi subordinasi.
2.4. Strategi Budaya: Mutualisme dan Kerjasama Sinergis
Upaya untuk membentuk suatu mindset kebersamaan dan kerjasama sinergis bangsa
Indonesia dan membangun rasa kekeluargaan (brotherhood, bukan kinship), perasaan saling
memiliki (shared intrerest dan common property) perlu dikembangkan, baik yang berada di
tingkat keluarga, ketetanggaan, masyarakat luas hingga ke tingkat negara.
Demikian pula halnya, orientasi mutualisme dan kerjasama sinergis sebagai jiwa
dalam UUD 1945 itu harus menjadi titik-tolak dan landasan bagi penyusunan program-pro-
gram pembangunan nasional secara luas. Menurut hemat penulis, hal ini bukanlah sesuatu
yang mustahil untuk dilaksanakan. Perencanaan pembangunan nasional harus pula memiliki
metode dan mekanisme untuk mewujudkan program-program atau pun proyek-proyek yang
memfasilitasi terbentuknya prinsip-prinsip mutualitas dan kebersamaan sinergis Beberapa
contoh akan dikemukakan di bawah ini.
Di bidang pendidikan nasional, misalnya, penataan pola pikir harus dilakukan dalam
sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang mendorong ori-
entasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau bahkan telah menimbulkan semacam
permusuhan (dimulai dari sistem ranking, pembedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap
dengan istilahnya seperti sekolah unggulan dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan
antar sekolah yang berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan
haruslah sebatas berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya
kerukunan sosial. Penataan pola pikir dalam sistem pendidikan nasional harus menum buhkan
pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar yang diisi
"proyek bersama" siswa dalam pembahasan materi pelajaran, atau pelaksanaan kegiatan
seni-budaya dan rekreasi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan kesadaran sebagai
siswa sekolah Indonesia, di manapun tempat bersekolahnya.
Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival)
ditentukan oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang
dikemukakan di atas, pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan
dan pemantapan identitas nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset
7
bangsa. Sosialisasi dari platform nasional akan memformulasi mindset masyarakat. Adalah
suatu kecelakaan besar bahwa posisi dan peran kebudayaan dalam pembangunan nasional
telah direduksi dengan dipindahkannya Direktorat Jenderal Kebudayaan ke luar Departemen
Pendidikan Nasional.
Oleh karena itu kini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyandang tugas
berat sebagai lembaga yang harus mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam penye-
lenggaraan pendidikan dan pembelajaran, sehingga kebudayaan tidak tereduksi menjadi
sekedar kesenian dan pariwisata. Dengan demikian pendidikan dan kebudayaan dapat tetap
utuh untuk berperan dan mampu berdialog dengan peradaban.
Di bidang sosial-budaya, dalam konteks mutualisme dan perasaan saling memiliki,
suatu hal yang juga penting sebagai suatu proses alamiah yang telah ikut memberikan isi
kepada kesadaran nasional dan identitas nasional adalah ketika kebersamaan memperoleh
esensi persaudaraan (brotherhood) dan keluarga luas (extended family), dengan makin
meningkatnya perkawinan antarsukubangsa di tengah masyarakat kita, yang menimbulkan
perasaan saling menghargai dan kebersamaan, meskipun masing-masing pihak tetap memeli-
hara identitasnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Gudykunst dan Young Yun Kim
yang menggambarkan komunikasi yang mencerminkan mutualisme, perasaan bersama dan
sinergi (togetherness) dalam tulisan mereka, Communicating with Strangers (1997). Dalam
pemahaman prinsip kebersamaan dan kerjasama sinergi ini pula kita dapat lebih mengamati
adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita.
Dengan orientasi kebersamaan dan kerjasama pula, di bidang perhubungan, perlu
digerakkan usaha seluruh maskapai penerbangan nasional untuk maju bersama demi kema-
juan seluruh bangsa. Penggunaan berbagai jenis pesawat yang mampu menerobos isolasi,
menjangkau pelosok tanah air yang terpencil serta mendekatkan jarak sosial-politik dan ja-
rak psiko-sosiokultural di dalam jarak mileage fisik.
Demikian pula dengan pembangunan industri pariwisata di berbagai pelosok tanah
air. Di bidang ekonomi, mutualisme memang dapat lebih nyata dan praktis dilaksanakan.
Baru-baru ini kita telah melihat proses mulai tumbuhnya kerjasama antar provinsi yang jauh
dari pola pikir persaingan, melainkan dilandasi oleh pola pikir kebersamaan dan mutualitas.
Di bidang hukum, kasus-kasus penggusuran yang tidak memihak rakyat dan merupa-
kan kasus-kasus alienasi dan marginalisasi, pelumpuhan dan pemiskinan terhadap suatu ke-
lompok, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan mutualisme dan keadilan sosial, dan
harus segera dihentikan. Hal ini bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945:
8
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia Penataan pola pikir perlu
dilakukan terhadap sistem hukum yang tidak dilandasi oleh keberpihakan dan perlindungan
kepada rakyat, sebagai perwujudan dari nilai-nilai dalam Preambul UUD 1945 itu. Berbagai
contoh di atas kiranya juga menunjukkan bahwa otonomi daerah tidak akan berjalan dengan
baik jika pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi pola pikir kerjasama. Kebersa-
maan dan kerjasama antar Pemda-Pemda di tingkat kabupaten, antar Kabupaten dan
Provinsi, juga harus beriorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsaIndonesia,
bukan sekedar membangun rakyat lokal. Sulit diperkirakan tentang akan tercapainya keber-
hasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan (menga-
baikan kerjasama) dan orientasi penguasaan (eksklusivisme sumber daya alam dan sumber
daya manusia) di antara provinsi, hanya akan mempercepat jatuhnya bangsa lewat otonomi
daerah yang tidak ditunjang oleh sikap mental mutualistik dan kerjasama demi kesatuan
bangsa.
2.5. Undang-Undang Yang Mengatur Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANG
PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, di-
hormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun;
b. Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
9
c. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16
Desember 1966 telah mengesahkanInternational Covenant on Economic, Social and
CulturalRights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
d. Bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang menjamin per-
samaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indo-
nesia untuk secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia da-
lam kehidupan berbangsa dan bernegara;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, hu-
ruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang PengesahanInternational
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28A,
Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Un-
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Re-
publik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik In-
donesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Re-
publik Indonesia Nomor 4012);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lem-
baran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4026);
10
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai penutup dapat diulangi di sini bahwa dalam penataan mindset untuk membentuk
kebudayaan nasional Indonesia, makalah ini mengambil titik-tolak utama sebagai awal strat-
egis: identitas nasional dan kesadaran nasional. Pertama, rakyat Indonesia yang pluralistik
merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban.
Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan produktivitas
fisikal, mental dan kulturalnya. Kedua, tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang ter-
bentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat
bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk
mentransformasikan kebhinekaan menjadi ketunggalikaan dalam identitas dan kesadaran na-
sional. Ketiga, diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme,
kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola
pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu
secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas
sosial-kultural sebagai bangsa. Keempat, membangun kebudayaan nasional Indonesia harus
mengarah kepada suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, Akan kita
jadikan seperti apa bangsa kita yang tentu jawabannya adalah menjadi bangsa yang tangguh
dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsa-
fah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan
mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu
menjaga perdamaian dunia. Kelima, yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa
segera ditegakkannya upaya membentuk secara tegas identitas nasional dan kesadaran na-
sional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.
Kritik dan Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism, Wonder: Verso.
Danusiri, Aryo & Wasmi Alhaziri, ed. (2002). Pendidikan Memang Multikultural: Beberapa
Gagasan. Jakarta: SET.
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur (2003). Hidup Berbangsa dan Etika Multikul-
tural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya.
Greenfeld, Leah (2001). The Spirit of Capitalism: Nationalism and Economic Growth, Cam-
bridge, Mass.: Harvard University Press
Gudykunst, William B. dan Young Yun Kim (1997). Communicating with Strangers. Boston:
McGraw Hill.
Kompas (2003). Presiden Canangkan Gerbang Mina Bahari?, hlm. 11 kol. 1-3, 12 Oktober.
Lustick, Ian S. (2002). ?Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of National-
ism and Religion in the Middle East, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.
Petras, James dan Henry Veltmeyer (2001). Globalization Unmasked: Imperialism in the 20
th Century. London: Zed Books, 2001.
Smith, J.W. (2000). Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Cen-
tury, New York: M.E. Sharpe.
Sulastomo (2003). Reformasi: Antara Harapan dan Realita. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas
Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI.
--- (1999). Reaktualisasi dan Rekontekstualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Kerangka Per-
satuan dan Kesatuan Bangsa, makalah pada seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah dan Yayasan Haji Karim Oei, Jakarta, 6 Mei.
(2000). Reaktualisasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Disintegrasi Bangsa, makalah
diajukan dalam Simposium dan Lokakarya Internasional dengan tema Mengawali Abad ke-21:
Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun Integrasi Bangsa,
diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia bekerjasama dengan Jurusan Antropologi
Universitas Hasanuddin, di Makassar, 1-5 Agustus 2000.
12
--- (2000). Kebudayaan Nasional sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa, makalah dalam Semi-
nar Sehari tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika, diseleng-
garakan oleh DPP Badan Interaksi Sosial Masyarakat (DPP-BISMA) di Jakarta, 25 November.
--- (2002). Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang AFTA 2002,
Perencanaan Pembangunan. Januari-Maret 2003, hlm. 10-15.
--- (2003). Merancang Masa Depan Indonesia di Tengah Tantangan Globalisasi dan Demo-
kratisasi, makalah diajukan dalam Seminar Nasional Merancang Masa Depan Indonesia di Ten-
gah Tantangan Globalisasi dan Demokratisasi, diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP-
UI di Depok, 30-31 Januari.
--- (2003). Membangun Kebudayaan Nasional, majalah Perencanaan Pembangunan, No.31,
April-Juni 2003, hlm. 42-48.
--- (2003). Masalah Psikososial, Pandangan Masyarakat tentang Kesehatan Jiwa, dan Mem-
bangun Jiwa Bangsa, makalah diajukan pada Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II di Jakarta,
9-11 Oktober.
Swasono, S.E. (2003). Pluralisme, Mutualisme dan Semangat Bersatu: Mempertanyakan Ja-
tidiri Bangsa, makalah utama diajukan pada Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Budaya UGM,
Yogyakarta 25 Februari 2003.
Swasono, S.E. (2003). Kemandirian Bangsa, Tantangan Perjuangan dan Entrepreneurship In-
donesia. Yogyakarta: Universitas Janabadra.
Tambunan, A.S.S. (2002). UUD 1945 Sudah Diganti Menjadi UUD 2002
Tanpa Mandat Khusus Rakyat. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku.