masyarakat kampung naga

24
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA: ANTARA TRADISI DAN PERUBAHAN Oleh: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. [email protected] Guru Besar Pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Pengantar Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah desa Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya berada pada kilometer 27 dari kota Tasikmalaya dan pada kilometer 30,5 dari kota Garut. Masyarakat Kampung Naga masih dapat dikelompokan kedalam masyarakat tradisional, yakni suatu kelompok masyarakat yang masih mempertahankan tradisi leluhurnya sebagai suatu cara hidup sehari-hari. Tradisi mereka yang hingga kini tetap dipertahankan adalah bangunan rumah tradisional berupa rumah panggung dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu (dalam bahasa Sunda dinamakan bilik) dan atap dari ijuk yakni bagian tertentu yang diambil dari pohon enau, sejenis pohon yang banyak tumbuh di wilayah Jawa Barat. Disamping itu terdapat sejumlah aturan adat yang disebut tabu (dalam bahasa Sunda disebut pamali), yakni aturan yang melarang anggota masyarakat Kampung Naga untuk memiliki atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menggunakan penerangan listrik, dilarang memiliki 1

Upload: nuryandikhairunanda

Post on 02-Aug-2015

106 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Masyarakat Kampung Naga

MASYARAKAT KAMPUNG NAGA: ANTARA TRADISI

DAN PERUBAHAN

Oleh: Prof. Dr. Dasim Budimansyah, [email protected]

Guru Besar Pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Pengantar

Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah desa

Neglasari, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi

Jawa Barat, Indonesia. Tepatnya berada pada kilometer 27 dari kota

Tasikmalaya dan pada kilometer 30,5 dari kota Garut. Masyarakat

Kampung Naga masih dapat dikelompokan kedalam masyarakat

tradisional, yakni suatu kelompok masyarakat yang masih

mempertahankan tradisi leluhurnya sebagai suatu cara hidup

sehari-hari. Tradisi mereka yang hingga kini tetap dipertahankan

adalah bangunan rumah tradisional berupa rumah panggung

dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu (dalam bahasa

Sunda dinamakan bilik) dan atap dari ijuk yakni bagian tertentu

yang diambil dari pohon enau, sejenis pohon yang banyak tumbuh

di wilayah Jawa Barat. Disamping itu terdapat sejumlah aturan adat

yang disebut tabu (dalam bahasa Sunda disebut pamali), yakni

aturan yang melarang anggota masyarakat Kampung Naga untuk

memiliki atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang

menggunakan penerangan listrik, dilarang memiliki televise,

dilarang menanam padi hibrida, dan sebagainya (Budimansyah,

1991).

Para agen pembaruan yang berupaya memperkenalkan

unsur-unsur inovasi pada masyarakat Kampung Naga, dihadapkan

pula kepada beberapa kendala yang bersumber dari sifat anggota

masyarakat yang sangat konformis terhadap nilai-nilai tabu.

1

Page 2: Masyarakat Kampung Naga

Kepada masyarakat Kampung Naga, seperti halnya kepada

masyarakat lainnya, telah diperkenalkan unsur-unsur inovasi

teknologi baik secara langsung dilakukan para agen pembaruan

maupun melalui kontak secara alamiah dengan masyarakat lain.

Akan tetapi hingga saat ini mereka pada umumnya masih menolak

bibit padi yang usianya relatif pendek (hibrida), sama sekali

menolak penerangan listrik, dan dalam bidang perumahan masih

mempertahankan pola lama baik dalam bentuk, bahan maupun

posisi. Demikian pula halnya beberapa jenis sarana komunikasi atau

hiburan seperti radio dan televisi belum di terima secaraluas

dalam masyarakat.

Pada hakekatnya mereka bukan tidak mengakui kelebihan

sistem baru tersebut jika dibandingkan dengan sistem tradisional,

penolakan mereka tidak terletak pada baik buruknya sistem secara

rasional. Setiap respons mereka selalu mengacu kepada kerangka

referensi yang telah dimilikinya secara turun temurun, yaitu

seperangkat nilai kehidupan tradisional yang berupa tabu.

Bagaimana mereka harus berpikir, merasakan dan bereaksi

terhadap rangsangan dari luar individu dan kelompoknya, selalu

didasarkan dan berorientasi pada nilai-nilai adat leluhurnya yang

mereka anggap sebagai papagon hirup (pegangan hidup) yang

bersifat proteksionistik.

Inilah kesenjangan yang terjadi dalam proses pembaruan

masyarakat tradisional, khususnya pada masyarakat Kampung

Naga. Di satu pihak program pembaruan masyarakat melalui

kegiatan pembangunan harus terus dilaksanakan di seluruh pelosok

tanah air dan harus menyentuh segenap lapisan masyarakat; di

pihak lain nilai-nilai tabu mengikat anggota masyarakat tradisional

untuk mempertahankan. status guo-nya. Posisi mereka lebih

2

Page 3: Masyarakat Kampung Naga

mengarah pada usaha mewujudkan kenyataan apa adanya menjadi

cita-cita atau harapan (sein-sollen) dengan setumpuk pembenaran

diri, daripada mewujudkan cita-cita dalam kenyataan (sollen-sein}.

Yang menjadi persoalan adalah apakah kesenjangan

tersebut akan tetap dibiarkan ? Jika demikian apakah tidak

bertentangan dengan hakekat pembangunan nasional, yakni

penbangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan

seluruh masyarakat Indonesia ? Jika tidak akan dibiarkan, apa upaya

selanjutnya yang dapat dilakukan ?

Sampai saat ini para agen pembaruan belum dapat berbuat

banyak dalam menghadapi masyarakat tradisional Kampung

Naga. Mereka hanya sampai pada keputusan, bahwa semua pihak

harus dapat memaklumi nilai-nilai tradisional masyarakat tersebut.

Hal ini mengandung arti ketiadaan mlternatif usaha dari para

petugas, yang sekurang-kurangya harus mengusahakan untuk

melonggarkan keterikatan mereka dari nilai tabu yang diyakininya

itu. Adanya kesenjangan tersebut, menggugah motivasi penulis

untuk mengungkapkan sejauh mana nilai-nilai tabu dijadikan dasar

argumentasi oleh anggota masyarakat dan migran asal Kampung

Naga (yakni anggota masyarakat Kampung Naga yang sudah

bermukim di luar kawasan kampung) untuk menolak beberapa

unsur lovasi teknologi.

Toleransi dari luar sebagai faktor penghambat perubahan

Orang luar amat memberikan toleransi terhadap kehidupan

masyarakat Kampung Naga atas kondisinya yang tetap

mempertahankan kesahajaan dan menolak terhadap berbagai

inovasi. Oleh karenanya tidaklah heran jika sampai saat ini mereka

3

Page 4: Masyarakat Kampung Naga

masih belum menerima berbagai skema program pemerintah untuk

memperbaiki tarap hidup, utamanya daalam bidang inovasi

teknologi.

Adanya toleransi yang tinggi dari masyarakat lain terhadap

kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Naga tidak

melahirkan suatu bentuk proses sosial yang dapat

mempengaruhi nilai-nilai tradisional, misalnya (1) konflik, (2)

imitasi, dan (3) social pressure. Tanpa adanya proses-proses

semacam ini, maka nilai-nilai tradisional akan lebih terintegrasi

dengan masyarakatnya, dan resistensinya akan lebih kuat lagi.

Memang diakui bahwa faktor-faktor lingkungan luar bagi suatu

kelompok masyarakat dapat membuat pergeseran-pergeseran nilai

secara cepat, dan dapat pula sebaliknya, memperlambat

perubahan nilai pada pihak lain. Hal ini pun dikatakan oleh

Pitirim A. Sorokin dalam Soemardjan dan Soemardi (1964:

535) sebagai berikut.

The enviromental forces are not negligible, but their role consist essentialy in retardation or acceleration; facilitation or hindrance; reinforcement or weakening, of the realization of the immanent potentialities of the system. Sometimes they can crush the system and put an end to its existence; or stop the process of unfolding the immanent potentialities at one of the early phases.

Bila dilihat dari segi nilai-nilai tradisional Masyarakat

Kampung Naga, toleransi yang demikian besar dari pihak luar itu

sangat menguntungkan; akan tetapi bila dilihat dari proses

pembaruan masyarakat tersebut yang harus berlangsung, maka

bentuk toleransi demikian sangat tidak menguntungkan.

Perwujudan toleransi pihak luar kepada nilai-nilai tradisional

Masyarakat Kampung Naga hampir meliputi segala spek

kehidupan, termasuk pada segala macam tabu. Sebagai ontoh,

4

Page 5: Masyarakat Kampung Naga

masyarakat yang tinggal di sekitar Kampung Naga yang bukan

keturunan masyarakat Kampung Naga (Seuweu-siwi Naga) hampir

semuanya mengikuti aturan perhitungan waktu sesuai dengan

perhitungan pada Masyarakat Kampung Naga. Mana waktu yang

baik untuk melakukan sesuatu pekerjaan, mana waktu yang jelek,

dan sebagainya. Jika berdasarkan perhitungan adat Masyarakat

Kampung Naga hari tertentu itu tidak baik untuk melakukan

sesuatu pekerjaan, seorang pun diantara mereka tidak akan ada

yang mau melanggarnya.

Bentuk toleransi yang paling tinggi adalah ditetapannya

Kampung Naga sebagai daerah wisata budaya oleh Pemerintah

Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Peristiwa ini walaupun dari aspek

pariwisata sangat menguntungkan, akan tetapi pengaruh bagi

masyarakat Kampung Naga ibarat mendapat angin untuk tetap

mempertahankan status quo-nya itu. Oleh karena itu keadaan

mereka akan sulit berubah sekalipun tingkat kosmopolit mengalami

peningkatan. Celakanya, para wisatawan itu, terutama wisatawan

asing berkunjung ke Kampung Naga umumnya hanya tertarik oleh

keadaan fisik kampung, terutama bangunan-bangunan rumah

dengan arsitektur tradisionalnya. Sedikit sekali yang tertarik pada

aspek-aspek lain yang bersifat nonfisik. Padahal dalam rangka

pariwisata tersebut masyarakat Kampung Naga telah membayar

mahal dengan tetap mempertahankan kesahajaan hidupnya bahkan

kesahajaan dalam pola berpikir yang sebe-narnya tidak perlu

terjadi.

Aspirasi dari dalam sebagai faktor pendorong perubahan

Walaupun demikian, ada secercah harapan untuk perbaikan

5

Page 6: Masyarakat Kampung Naga

pada masa yang akan datang, yakni dengan adanya faktor

pendorong bagi adopsi inovasi teknologi. Faktor yang dimaksud

adalah aspirasi. Aspirasi sendiri merupakan salah satu faktor

perubahan sosial yang bersumber dari dalam. Sebagaimana

dimaklumi bahwa sumber perubahan suatu kelompok masyarakat

berasal dari dua faktor, yaitu (1) faktor internal, yaitu kekuatan-

kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri; (2) faktor

eksternal, yaitu kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar.

Kekuatan faktor internal dalam banyak hal tergantung pada adanya

potensi dinamis yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

Misalnya adanya individu yang memiliki pribadi uggul yang selalu

tidak puas dengan keadaan yang ada, adanya kesediaan mental

untuk menerima perubahan, adanya kesamaan prinsip antara

beberapa nilai tradisional dengan usur-unsur inovasi, adanya

kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang

dimiliki masyarakat bersangkutan .

Persoalannya sekarang adalah, bagaimanakah halnya

dengan Masyarakat Kampung Naga, adakah faktor-faktor seperti

yang disebutkan tadi? Seperti telah disinggung dalam deskripsi

mengenai aspirasi, peneliti berkesimpulan bahwa faktor-faktor

tersebut sebagian telah ada. Meningkatnya aspirasi dalam bidang

pendidikan, pekerjaan, taraf hidup, dan status sosial menunjukkan

telah adanya potensi untuk maju dengan cara mengubah kondisi

yang ada menjadi lebih baik. Disamping itu kalangan generasi muda

yang umumnya lebih tinggi aspirasinya cepat atau lambat akan

menjadi faktor kekuatan "immanent" yang memba-va

masyarakatnya pada proses pembaruan dalam upaya meningkatkan

kualitas sumber daya manusia.

Masalahnya sekarang adalah, bagaimanakah mengupayakan

6

Page 7: Masyarakat Kampung Naga

bentuk pendekatan agar potensi generasi muda itu dapat

dikembangkan tanpa mengalami banyak konflik dengan para orang

tua mereka. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan

penelitian, generasi muda Kampung Naga seolah-olah sedang

mengalami suatu proses sosial yang disebut social pressure, yakni

suatu bentuk tekanan sosial yang diciptakan oleh tokoh atau

kelompok tertentu dalam masyarakat, dengan tujuan

memantapkan proses sosialisasi terhadadap segala bentuk "talari

karuhun" (tradisi leluhur) yang terjadi secara ilami terhadap

kalangan muda masyarakat Kampung Naga.

Generasi muda masyarakat Kampung Naga pada khususnya

dan umumnya orang-orang yang tingkat aspirasinya tinggi,

pada saat ini sedang mengalami dilema. Mereka tengah berada

diantara dua pilihan yang sulit, apakah mereka lari dari belenggu

tradisi, sedangkan keterikatan pada keluarga amat kuat karena

sifatnya yang paternalistic. Untuk menanggulangi masalah ini

ternyata para tokoh pengaruh (significan others) pada masyarakat

Kampung Naga menerapkan manajemen konflik yang sangat baik

yakni menciptakan katup pengaman (safety valve institution)

berupa tidak dilarangnya bagi anggota masyarakat Kampung Naga

bergaul dengan siapa saja dan di mana saja. Mereka bebas

berkomunikasi dengan kelompok masyarakat mana pun, dan bebas

bepergian ke mana pun, asal identitas adat “Sa Naga" (identitas

kelompok) harus tetap dipertahankan, yakni kesederhanaan,

kepatuhan pada adat leluhur, dan rasa keterikatan pada kerabat

yang berasal dari cikal bakal atau leluhur yang sama. Hal ini pun

mempertegas jawaban mengapa tingkat kosmopolit tidak

berpengaruh signifikan baik terhadap usaha melonggarkan ikatan

pada nilai-nilai tabu maupun terhadap adopsi inovasi teknologi.

7

Page 8: Masyarakat Kampung Naga

Mereka tetap menampilk:an sosok utuh sebagai Seuweu-siwi Putu

Naga (Keluarga Besar Kampung Naga) yang senantiasa selaras

dengan "talari karuhun" (adat istiadat).

Karuhun masyarakat adat "Sa Naga", sejak awal

kehidupan, telah menggariskan pola hidup sederhana, sebagaimana

tertuang dalam ungkapan: "teu saba-teu boga, teu banda-teu

raksa, teu weduk-teu bedas, teu gagah-teu pinter".

Rangkaian ungkapan tersebut jika diartikan secara garis besar

bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan apa-

apa. Kesederhanaan dalam hidup bagi masyarakat Kampung

Naga apabila ditelusuri ke masa lampau merupakan bentuk

peruwujudan dari pendekatan keamanan (security approach) yang

mereka terapkan sejak leluhur mereka raendiami Kampung Naga.

Sembah Dalen Singaparana, leluhur masyarakat adat "Sa Naga",

untuk melaksanakan amanat ayahandanya menyelamatkan Pusaka

Kerajaan, menerapkan pendekatan keamanan dengan jalan

"nyumput buni dinu caang" (bersembunyi di tempat yang terang).

Bentuk perwujudan pendekatan tersebut adalah kesahajaan hidup

dan pengabdian yang penuh kepada penguasa, seperti tersirat

dalam ungkapan: "Nyalindung na sihung Maung, diteker

nya mementeng ulah aya guan, sok nun eling noal luput

salamet". Artinya, diam di ujung taring Harimau, diusik dan dicela

jangan melawan, jika hal ini diperhatikan pasti akan tetap selamat.

Makna ungkapan ini ibarat ungkapan dalam bahasa Inggris "silent is

gold" (diam berarti emas). Ungkapan yang menunjukkan bentuk

pengabdian kepada penguasa adalah: "panyaur gancang

temonan, parentah gancang lakonan, pamenta gancang

caosan". Makna ungkapan ini adalah patuh dan taat kepada

penguasa. Jika diundang untuk menghadap cepat datang, jika

8

Page 9: Masyarakat Kampung Naga

diperintahkan untuk melakukan sesuatu cepat kerjakan, jika diminta

sesuatu cepat berikan. Dengan jalan demikian mereka akan merasa

aman dan tenteram, dan memang itulah maksud leluhur mereka

untuk bersembunyi di tempat terang (bahasa Sunda: nyumput buni

dinu caang) itu. Dalam banyak hal, terutama jang berhubungan

dengan kewajiban masyarakat kepada negara, misalnya membayar

pajak, bergotong royong untuk kepentingan umum, partisipasi

dalam Program Keluarga Berencana, masyarakat adat "Sa Naga"

menunjukkan kelebihan jika tibandingkan dengan masyarakat lain.

Walaupun demikian pola kesahajaan hidup yang diterapkan

masyarakat Kampung Naga dalam banyak hal kurang

menguntungkan. Sebab dalam posisinya yang ekstrim sifat ini

mengarah pada sifat yang fatalistik. Di samping itu pola

kesahajaan hidup yang demikian itu memberikan kontribusi

:erhadap rendahnya motivasi untuk mengumpulkan kekayaan.

mereka tidak memerlukan rumah yang bagus, perabot rumah

tangga yang memadai, tidak memerlukan kendaraan, dan

sebagainya.

Dilihat dari pendapatan rata-rata tiap bulan dan tingkat

pendidikan yang dicapai anak-anak mereka yang rendah,

membuktikan bahwa mereka itu sangat bersahaja. rata-rata

pendapatan anggota masyarakat Kampung Naga tiap bulan kurang

dari Rp 100.000,00 (Budimansyah, 1994). Tingkat pendidikan

tertinggi yang dicapai anak pada masyarakat Kampung Naga

sebagian besar (78%) SD, bahkan sekitar 16% tidak tamat SD.

Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab kurang

responsifnya mereka terhadap inovasi teknologi. Mereka tidak

mempunyai motivasi yang kuat untuk hidup kaya, karena

"kesahajaanlah" yang menjadi tipe ideal mereka. Bukti yang

9

Page 10: Masyarakat Kampung Naga

mendukung rendahnya motivasi tersebut, diperlihatkan pula oleh

sikapnya dalam bertani. Anggota masyarakat Kampung Naga dalam

berusaha tani lebih memilih pendekatan memaksimumkan

kepuasan ("utility maximization") daripada memaksimumkan

keuntungan ("profit maximization"). Hal ini didasarkan kepada

anggapan bahwa menanam "pare gede" (varietas padi yang berusia

relatif panjang 5-6 bulan) hasilnya lebih memuaskan. Disamping

nasinya lebih enak (harum dan "pulen"), mereka pun beranggapan

bahwa hasil panen "pare gede" lebih awet dibandingkan dengan

hasil panenan "segon" (padi varietas baru). Padi "segon" cenurut

anggapan mereka relatif lebih cepat habis, karena mudah dijual.

Kata "segon" sendiri oleh masyarakat setempat dianggap sebagai

kata kirata (diperkirakan agar nyata), yakni "sagala seg. lila-lila

ngalegon" (segala boleh, maksudnya dijual untuk memenuhi segala

kebutuhan, maka lama-lama tinggal sedikit (ngalegon) lalu habis.

Adapun "pare gede", yang pada saat dipanen t.idak dirontokkan

melainkan diikat dalam bentuk "eundanan" dan "geugeusan"

(Sunda), oleh masyarakat setempat tidak pernah dijual, hanya untuk

dikonsumsi sendiri (subsisten). Oleh karena itu relatif awet, tidak

cepat habis.

Konsep mereka dalam menambah keuntungan dilakukan

dengan cara menekan harga ("cost minimization") daripada

menempuh cara neaperbesar total peneriaaan ("profit maxi-

mization"). Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa jika men an

am padi varietas unggul yang usianya relatif pendek, yang berarti

dapat menanam tiga kali dalam setahun, walaupun hasilnya akan

lebih banyak (tiga kali panenan), tetapi biaya yang harus

dikeluarkannya pun akan lebih banyak pula (tiga kali

penggarapan). Oleh karena itu menurut logika penalaran mereka

10

Page 11: Masyarakat Kampung Naga

mengapa harus memilih menanam padi tiga kali setahun jika

risikonya juga bertambah, sedangkan menanam “pare gede”

walaupun hanya dua kali dalam setahun, masih lebih

menguntungkan dilihat dari aspek waktu maupun risiko kegagalan

panen.

Cara berpikir yang digunakan masyarakat Kampung Naga

sebagaimana dijelaskan tadi memperlihatkan adanya logika

penalaran yang memperhitungkan untung-rugi (Cost-Benefit

Analysis') berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dan berapa

besar keuntungan yang akan diraih. Menanam padi yang berusia

relatif pendek tiga kali dalam satu tahun menurut perhitungan

mereka akan menelan ongkos tanam lebih besar dibandingkan

dengan keuntungan yang diperoleh. Keuntungan dari hasil panen tiga

kali dalam satu tahun tidak lebih besar dari risiko yang harus

mereka tanggung, baik risiko yang bersifat material, yakni biaya

penggarapan; maupun risiko yang bersifat spiritual, yakni perasaan

bersalah karena melanggar ketentuan adat. Sedangkan jika

menanam "pare gede" yang berarti hanya lercocok tanam dua kali

dalam satu tahun, menurut perhitungan mereka akan lebih

menguntungkan, terutama dari segi kepuasan batin karena tidak

melanggar ketentuan adat.

Adopsi inovasi rendah

Dari uraian di atas, nampak bahwa rendahnya tingkat adopsi

disebabkan oleh hal-hal berikut: (1) orientasi motivasional

anggota masyarakat sasaran masih didominasi oleh usaha

memperbesar kepuasan; (2) standard normatif masih tetap dominan

mengendalikan perilaku anggota masya-ikat sasaran (Parsons,

11

Page 12: Masyarakat Kampung Naga

dalam Johnson, 1986: 114); (3) keperluan nyata terhadap inovasi

tidak tampak sebagai akiibat pola hidup yang bersahaja; (4) ciri-ciri

inovasi alam pengamatan penerima tidak menampakan keuntungan

relatif, sehingga kurang menarik anggota masyarakat sasaran

(Rogers & Shoemaker, 1987: 40); dan (5) peranan reference

group sebagai penarik minat dan pemberi keyakinan, maupun

sebagai sumber sikap bagi khalayak sasaran kurang menonjol

(Rogers, 1958; Soewardi, 1972).

Pentingnya peranan reference group dalam proses adopsi

inovasi teknologi pernah ditemukan Herman Soewardi 1972) dan

Frank Cancian (1984). Herman Soewardi dari hasil studinya di

Jawa Barat, menemukan bahwa proses adopsi inovasi teknologi

panca usaha berlangsung dari orang-orang yang memiliki

karakteristik lapisan atas, yaitu mereka yang memiliki daya tepa

selira, memiliki mot ivasi keberhasilan, dan memiliki motivasi untuk

menguasai masa depan; akan tetapi secara visual menyerupai

orang-orang lapisan bawah yang umumnya berstatus sosial

ekonomi rendah, dan bergaul akrab dengan mereka (tipe “Adeng”).

Sebaliknya ada anggota masyarakat dari lapisan atas sebagai

inovator yang cekatan terhadap kesempatan-kesempatan yang

ada, tekun bereksperimen dan memiliki berbagai jenis tanaman

(tipe "Wapi"). "Wapi" dengan pertanamannya itu merupakan

sumber "sikap" yang menunjang terhadap teknologi baru bagi

orang-orang desa. Peranannya saling melengkapi dengan "Adeng"

sebagai penarik "minat" dan pemberi "keyakinan".

Sejalan dengan Herman Soewardi, Frank Cancian

(1984) berdasarkan hasil studinya menjelaskan bahwa dalam

proses pengambilan keputusan adopsi para petani menunjukan

kecenderungan berikut.

12

Page 13: Masyarakat Kampung Naga

When an innovation is introduced to a community of farmers from outside, some farmers adopt it immediately, and some adopt it in later years. Later adopters usually use the experience of early adopters to inform their decision. Thus, uncertainty is greater for the earlier adopters than it is for the later adopters. Risk remains fairly constant. This gives us a critical test in the form of two predictions. First, if uncertainty is meaningfully distinguished from risk, poor farmers should adopt more, relative to rich farmers, in the early stages of the spread of an innovation. Second, in later stages, the rich should be relatively faster adopters (dalam Barlet, 1984: 167-168).

Jika suatu inovasi diluncurkan dari luar kepada para petani,

sebagian petani akan cepat mengadopsi (early tcopter},

sedangkan yang lainnya akan mengadopsi kemudian setelah

mengetahui pengalaman yang dialami early adopter. Pada fase

pertama inovasi diluncurkan tatkala ketidakpastian relatif tinggi,

para petani dengan tingkat social ekonomi rendah lebih berani

menanggung risiko untuk mengadopsi inovasi tersebut sebagai early

adopter dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial

ekonominya lebih tinggi. Akan tetapi dalam fase kedua tatkala

ketidakpastian semakin menipis karena pengamalaman

keberhasilan para early adopter, para petani dengan tingkat sosial

ekonomi lebih tinggi akan mengadopsi lebih cepat jika

dibandingkan dengan mereka yang tingkat sosial ekonominya lebih

rendah.

Pada masyarakat Kampung Naga, ketiga tipe "reference

group" tersebut, baik tipe "Adeng", "Wapi", maupun "Cancian"

tidak muncul. Hal ini bukan karena tidak ada figur yang

menyerupai ketiga tipe tersebut. Tidak munculnya tipe-tipe

"reference group" tersebut, berdasarkan pengamatan penulis

disebabkan oleh dua hal: (1) keputusan adopsi selalu diambil

secara kolektif tidak individual, (2) keputusan kolektif tersebut

selalu mengacu dan didominasi oleh pemegang otoritas

13

Page 14: Masyarakat Kampung Naga

lingkungan pengaruh adat. Adanya kenyataan demikian maka jika

keputusan adat nenolak kehadiran suatu inovasi, kecil

kemungkinan di intara anggota masyarakat melakukan keputusan

adopsi. Keputusan adopsi baru terjadi jika adat menerima

kehadiran inovasi tersebut. Contoh inovasi yang diterima melalui

prosedur ini adalah televisi, kursi tamu, dan kaca/nako. Walaupun

demikian, terdapat pola lain yang menyimpang dari prosedur tadi,

misalnya diadopsinya "petromak” untuk menggantikan lampu

temple. Inovasi ini secara diam-diam diadopsi oleh anggota

masyarakat pengrajin anyaman yang biasa bekerja pada malam

hari. Sekalipun tidak melalui keputusan kolektif, petromak yang

secara riil memang mereka perlukan sangat cepat diadopsi. Para

pemegang otoritas lingkungan pengaruh adat pun tidak dapat

berbuat banyak, sehingga dengan sendirinya petromak terhapus

dari katalog adat sebagai benda yang ditabukan.

Jika menyimak proses adopsi yang terjadi pada

nisyarakat Kampung Naga sebagaimana diuraikan tadi, dapat

dibedakan ke dalam pola adopsi dari atas (pola adat) dan pola

adopsi dari bawah (pola umat). Jika menelusuri proses adopsi yang

terjadi pada masa sebelumnya, kedua pola tersebut dapat

dipandang sebagai pola umum. Melalui kedua pola inilah beberapa

unsur inovasi teknologi masuk ke lingkungan masyarakat Kampung

Naga.

Dewasa ini masyarakat Kampung Naga sedang mengalami

perubahan sebagai akibat dari diadopsinya beberapa unsur inovasi

teknologi yang sebelumnya termasuk dalam katalog adat sebagai

sesuatu yang ditabukan. Pada hakekatnya diadopsinya beberapa

unsur inovasi teknologi dimungkinkan oleh meningkatnya aspirasi

dan melonggarnya konformitas pada nilai-nilai tabu. Temuan ini

14

Page 15: Masyarakat Kampung Naga

mempekuat proposisi teori Barikade yang dipergunakan sebagai

"teoretical background" dalam tulisan ini yaitu adopsi inovasi akan

terjadi ketika barikade itu menua dan melemah, dan akhirnya

mulai sedikit-demi sedikit tumbang atau barikade itu kehilangan

semangat dan pegangan dan kemudian menyerah (Davis, 1987: 232;

Suwarsono & So, 1991: 73-74). Di samping itu, senada juga

dengan pemikiran bahwa kepribadian manusia adalah sebuah

sistem yang terbuka ("open system"), sehingga tidak sepenuhnya

dapat dikendalikan dari dalam ataupun dari luar. Betapa pun

konsevatifnya lingkungan sosial bagi seseorang, namun ia sendiri

tetap akan "menyimpang" dari imperatif-imperatif kultural yang

telah disosialisasikan terhadapnya, karena ia pun hidup di dalam

masyarakat yang juga merupakan sistem yang terbuka (Nimpoeno,

1992: 43).

Walaupun demikian, segala bentuk perubahan yang terjadi

selalu dikendalikan melalui mekanisrae kontrol sibernetika

(Parsons dalam Johnson, 1986: 133). Subsistem budaya yang

berupa seperangkat nilai kehidupan tradisional, termasuk segala

bentuk tabu, dilembagakan dalam sistem sosial dan

diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya.

Struktur kepribadian yang telah terinternalisasi dalam segala bentuk

nilai tradisional tersebut rengontrol peran-peran individu dalam

berperilaku sehari-hari. Pada akhirnya perilaku individu pun akan

selalu diarahkan untuk mempertahankan pola-pola yang sudah

baku dalam subsistem budaya. Inilah mekanisme kontrol sibernetika

yang diterapkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem

kehidupan pada masyarakat Kampung Naga dalam baying-bayang

pengaruh nilai-nilai kontemporer.

Proses yang sedang berlangsung pada masyarakat

15

Page 16: Masyarakat Kampung Naga

Kampung Naga pun mengikuti pola pemikiran tersebut di atas.

Mereka pada saat ini tengah berada pada dua sisi pilihan yang satu

sama lain harus dilewaati, yakni sisi tradisi dan perubahan. Di satu

sisi mereka harus tetap mempertahankan tradisi, di sisi yang lain

tuntutan kehidupan menghendaki perubahan. Strategi untuk

memadukan dua kepentingan tersebut dilakukan dengan mengubah

beberapa bentuk nilai instrumental yang disesuaikan dengan tuntutan

keh.idupan, dengan tetap mempertahankan nilai fundamentalnya. Upaya

tersebut dimaksudkan agar dapat mencegah arus migrasi ke luar,

terutama kalangan generasi muda, dan meredam konflik, baik

konflik antar pribadi dan yang terpenting adalah konflik dalam batin

masing-masing pribadi anggota masyarakat.

Beberapa bentuk perubahan nilai tersebut diantaranya

adalah sebagai berikut.

(1) Kursi tamu dahulu termasuk dalam katalog adat sebagai benda

yang ditabukan karena dipandang sebagai simbol kemewahan.

Pada saat ini benda tersebut sudah dianggap "profan" yang dapat

dimiliki oleh siapa saja asal mampu. Mengapa hal ini terjadi,

tampaknya pada masyarakat Kampung Naga telah terjadi

perubahan standard hidup, khususnya bagi ukuran kemewahan.

Kursi tamu dewasa ini bukan lagi merupakan barang mewah,

oleh karena itu tidak lagi tercantum dalam katalog adat sebagai

benda yang ditabukan.

2) Bibit padi unggul yang usianya relatif pendek ("pare hawara")

pun menurut pandangan anggota masyarakat Kampung Naga,

dewasa ini boleh ditanam jika masyarakat menghendakinya,

asal "pare gede" pun sebagai bibit padi warisan "karuhun" juga

ditanam secara berdampingan. Praktek ini umumnya dilakukan

oleh mereka yang memiliki lahan agak luas pada lokasi yang

16

Page 17: Masyarakat Kampung Naga

berbeda, pada sawah yang satu misalnya ditanam "pare gede"

dan pada sawah yang lainnya ditanam "pare hawara". Peristiwa

ini sebenarnya cukup logis, sebab dengan meningkatnya aspirasi,

kebutuhan mereka pun bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan

tersebut diperlukan sejumlah uang. Dengan menanam "pare

hawara" bagi mereka ada peluang untuk mendapatkan sejumlah

uang itu dengan jalan menjual hasil panen ke bandar. Adapun

"pare gede" umumnya tidak diperjual-belikan, mereka

mengkonsumsinya sendiri. Sayangnya, pandangan tersebut baru

diaktualisasikan oleh sebagian kecil saja dari mereka.

3) Demikian pula halnya televisi dan pesawat radio transistor

dewasa ini sudah menjadi barang yang profan yang dapat

dimiliki oleh siapa saja asal mampu untuk membelinya.

Perubahan ini merupakan salah satu starategi yang dilakukan

kalangan "sesepuh adat" untuk menghindari arus migrasi ke luar

yang meningkat terus, terutama generasi muda. Sebagaimana

dimaklumi bahwa adat mereka memberi peluang seluas-luasnya

bagi yang ingin menikmati kehidupan yang lebih baik asal di luar

lingkungan Kampung Naga. Peluang adat ini memang

dimanfaatkan terutama oleh pasangan muda yang melakukan

migrasi ke luar. Akan tetapi akhirnya timbul masalah karena

dengan adanya migrasi ke luar yang demikian banyak dari

tahun ke tahun penduduk Kampung Naga terus berkurang.

Untuk menanggulangi hal itu, demikian juga untuk menghindari

terjadinya konflik batin pada golongan masyarakat yang telah

meningkat aspirasinya, ditempuhlah kebijakan untuk mengadopsi

televisi dan radio sebagai salah satu sarana hiburan yang

diharapkan dapat mengerem arus migrasi ke luar.

Demikianlah gambaran masyarakat Kampung Naga, dan

17

Page 18: Masyarakat Kampung Naga

umumnya seluruh "Seuweu-siwi Naga" yang tengah menjalani

proses perubahan. Sekalipun disadari bahwa dengan diadopsinya

inovasi teknologi akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana

bagi khidupan masyarakat Kampung Naga, termasuk kemungkinan

menimbulkan dampak negatif, akan tetapi teknologi walau

bagaimana pun sangat penting kehadirannya sebagai pendorong

perubahan. Lauer (1989: 220) menjelaskan bahwa mengapa

teknologi dipandang sebagai mekanisme perubahan sosial,

terutama bagaimana cara teknologi mendorong perubahan.

Pertama. teknologi meningkatkan alternative kita. Teknologi baru

membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai kedalam

alam kemungkinan. Teknologi dapat nengubah kesukaran relatif

dan memudahkan menyadari nilai-nilai yang berbeda. Jadi dengan

inovasi teknologi berarti masyarakat berhadapan dengan sejumlah

besar alternatif dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai

perubahan besar di berbagai bidang. Kedua. teknologi mengubah

pola-pola interaksi. Segera setelah teknologi diterima, mungkin

akan terjadi pergeseran penting tertentu dalam pola interaksii,

pergeseran yang dituntut oleh teknologi itu sendiri. Ketiga. mengapa

teknologi mempengaruhi perubahan, terletak dalam

kecenderungan perkembangan teknologi menimbulkan nasalah

sosial baru. Adanya masalah ini menimbulkan semacam tanggapan

yang dapat mengakibatkan berbagai perubahan untuk

menyelesaikannya.

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. memperoleh gelar S1 (Drs) pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia 1987; jenjang S2 (M.Si) diraihnya pada 1994 di Universitas Padjadjaran dalam Kajian Utama Sosiologi dan Antropologi; gelar doctor (Dr) diraihnya pada 2001 pada universiytas yang sama dalam bidang ilmu socsal. Sejak 2007 sampai sekarang menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung Indonesia. Untuk keperluan akademik dapat dihubngi pada [email protected].

18

Page 19: Masyarakat Kampung Naga

Daftar Rujukan

Budimansyah, D. (1994) Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi, Suatu Kajian Tentang Tradisi dan Perubahan Pada Masyarakat dan Migran Asal kampong Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tesis yang tidak diterbitkan, Bandung: Universitas Padjajaran.

19