bab iii pelaksanaan penelitian - · pdf filesebagian besar penduduk kampung naga berprofesi...
TRANSCRIPT
24
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan hingga
didapatkan karakteristik sistem kepemilikan lahan yang berlaku dalam hukum
pertanahan adat di wilayah Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga.
3.1 Lokasi Penelitian
Kasepuhan Ciptagelar
Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan GPS handheld
didapatkan koordinat lintang dan bujur lokasi Kasepuhan Ciptagelar yaitu
(06o45’47.9” S; 106o29’16.9”E). Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar terletak
di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Jarak Kampung Ciptagelar dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 km dan
203 km arah barat Bandung. Pusat pemerintahan Kasepuhan Ciptagelar berada di
ketinggian 1,200 meter diatas permukaan laut.
Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)
25
Wilayah Kasepuhan Ciptagelar merupakan daerah cekungan yang dikelilingi
oleh Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng. Menurut
keterangan dari masyarakat adat total luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar adalah
sekitar 70.000 Ha (Sucipta, pres. com. 20071). Sebagian besar wilayah Kasepuhan
Ciptagelar berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun–Salak.
Di kawasan pegunungan Halimun-Salak terdapat sejumlah perkampungan
diantaranya adalah Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih, Cikadu, Citorek,
Pulanggaran dan Cipalanggaran, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lebak,
Banten, serta Kampung Ciptagelar, Cipulus, dan Kampung Ciptarasa, yang berada
dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat
orientasi budaya, adat istiadat, ekonomi maupun politis bagi perkampungan lain yang
berada di sekitarnya yang disebut dengan Kasepuhan Banten Kidul.
Gambar 3. 2 Peta wilayah Ciptagelar dan TNGHS (Wisudawanto, 2008)
1 Wawancara dengan Encup Sucipta, Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar, pada tanggal 7 April 2007.
26
Kampung Naga
Berdasarkan hasil pengamatan GPS handheld didapatkan koordinat UTM
lokasi Kampung Naga yaitu (X,Y) = (830398.597;9185298.859). Secara administratif
Kampung Naga termasuk ke dalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Desa Neglasari memiliki luas sekitar 305 Ha, wilayahnya
terbagi atas delapan dusun atau setingkat dengan rukun warga (RW). Wilayah
Kampung Naga sendiri berada pada ketinggian 500 m diatas permukaan laut,
dibagian utara Kampung Naga berbatasan dengan Kampung Nangtang kecamatan
Cigalontang, bagian timur dibatasi oleh sungai Ciwulan, bagian selatan berbatasan
dengan bukit dan jalan raya yang menghubungkan Garut dengan Tasikmalaya.
Sedangkan dibagian barat dibatasi oleh Bukit Naga yang sekaligus juga menjadi batas
pemisah Kampung Naga dengan Kampung Babakan.
Gambar 3.3 Lokasi Kampung Naga (Suparwati, et al, 2008)
Topografi wilayah Kampung Naga merupakan perpaduan bukit dengan kaki
bukit. Permukaan tanah di bagian Barat lebih tinggi dibanding permukaan tanah di
sebelah timur. Dalam masayarakat Sunda, kondisi permukaan tanah seperti itu
Lokasi Kampung Naga
27
dinamakan “taneuh bahe ngetan” yang artinya letak permukaan tanahnya agak miring
kearah Timur. Berdasarkan teori dan kepercayaan masyarakat adat sebuah daerah
yang memiliki kemiringan tanah seperti itu merupakan tempat ideal, baik pemukiman
maupun pertanian. Kepercayaan seperti itu secara rasional bisa dipahami karena
derah yang memiliki kemiringan tanah ke arah timur akan memperoleh sinar matahari
pagi yang lebih banyak. Keadaan tersebut akan memungkinkan penghuni daerah
tersebut akan lebih sehat dan tanaman pertanian pun dapat tumbuh lebih subur.
Wilayah Kampung Naga yang memiliki luas 1,5 Ha merupakan wilayah yang
tetap. Wilayah tersebut tidak dapat diperluas lagi karena aturan adat tidak
membolehkan perluasan wilayah Kampung Naga. Ketika jumlah penduduk Kampung
Naga terus bertambah dan wilayah Kampung Naga sudah tidak dapat lagi
menampung penduduknya, maka masyarakat Kampung Naga dapat tinggal di luar
wilayah Kampung Naga dengan tetap mengikuti aturan adat Kampung Naga. Dari
kondisi ini muncul dua istilah kelompok masyarakat Kampung Naga berdasarkan
tempat tinggalnya, yaitu Masyarakat Naga yang merupakan masyarakat yang tinggal
di dalam wilayah Kampung Naga, dan masyarakat Sanaga yaitu masyarakat adat
Kampung Naga yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga.
Sebagian besar penduduk Kampung Naga berprofesi sebagai petani, baik
pemilik lahan maupun petani penggarap. Sistem pertanian yang digunakan di
Kampung Naga masih bersifat tradisional. Masyarakat lebih banyak menanam padi
dibandingkan tanaman pertanian lainnya. Padi, dalam pandangan masyarakat
pertanian tradisional di Kampung Naga memiliki nilai magis yang terkait dengan
kemakmuran hidup pemiliknya. Tanaman padi dianggap sebagai titisan Dewi Sri
Pohaci yang merupakan lambang kesuburan. Karena itu, semakin luas sawah atau
ladang seseorang, maka semakin makmur pula pemilik lahan tersebut dari sudut
pandang masyarakat Kampung Naga.
28
3.2. Pengumpulan Data
3.2.1 Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat adat yang masih
memegang teguh hukum adat dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk pengaturan
dalam bidang pertanahan. Selain itu masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki pola
hidup semi-nomaden yang telah lama ditinggalkan oleh sebagian besar komunitas
masyarakat adat di Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh 60 kepala keluarga. Profesi utama sebagian
besar Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah petani. Masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar percaya bahwa padi hasil pertanian mereka merupakan sumber
kesejahteraan bagi masyarakatnya sehingga mereka sama sekali tidak menjual padi
tersebut kepada orang di luar dari wilayah kasepuhan. Ciri masyarakat ini termasuk
ke dalam jenis masyarakat subsisten, yaitu masyarakat yang dapat memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri (Hernandi, 2005). Terdapat upacara-upacara spiritual yang
dilakukan oleh masyarakat adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian mereka,
yaitu upacara spiritual pada saat bercocok tanam padi dan panen yang diberi nama
mitembeyan yang merupakan upacara spiritual khas masyarakat adat sunda yang
berisi rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui simbolisasi Dewi Sri
Pohaci yang diperlambangkan oleh seikat padi yang diberi baju kebaya kemudian
disimpan di lumbung padi atau disebut dengan leuit. Selain mitembeyan, perayaan
pesta adat yang paling besar adalah acara seren taun. Acara ini dilakukan setelah
panen raya padi untuk memberikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
dilakukan beserta seluruh masyarakat kasepuhan sehingga acara ini dapat juga
dijadikan acara hiburan dan ajang sosialisasi bagi lingkungan masyarakat kasepuhan.
Masyarakat adat di Kasepuhan Ciptagelar meyakini bahwa mereka adalah
keturunan dari kerajaan Pajajaran walaupun sampai saat ini belum ditemukan bukti
tertulis yang membenarkan pernyataan tersebut. Namun jika dilihat dari sisi ekologis
maupun kultural, komunitas adat di Kasepuhan Ciptagelar memiliki kemiripan
dengan daerah lain di Jawa Barat yang dianggap bekas wilayah Kerajaan Pajajaran,
29
salah satu contoh kemiripan tersebut terletak pada sistem mata pencaharian utama
komunitas masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dengan sistem mata pencaharian pada
masa kerajaan Pajajaran atau Sunda yaitu sebagai petani ladang.
Masyarakat adat Ciptagelar sangat menjaga adat istiadat dan tradisi mereka,
hal ini dapat dilihat dari kepatuhan mereka terhadap ajaran dan perintah dari para
leluhurnya. Salah satu bentuk kepatuhan ini diwujudkan dalam menjalankan perintah
untuk hidup secara nomaden yaitu hidup secara berpindah-pindah dalam kurun waktu
tertentu, perintah untuk berpindah ini dikeluarkan oleh ketua adat setelah
mendapatkan wangsit, yaitu merupakan perintah leluhur yang didapat melalui mimpi.
Secara harfiah, wangsit berarti bisikan atau imbauan yang bersifat gaib. Menurut
kepercayaan penduduk setempat, wangsit berasal dari leluhur atau nenek moyang.
(Wisudawanto, 2008). Sejak tahun 1387 tercatat bahwa Kasepuhan Ciptagelar yang
merupakan pusat pemerintahan dari Kasepuhan Banten Kidul telah berpindah tempat
sebanyak 11 kali. Secara berurutan lokasi perpindahan pusat Kasepuhan Ciptagelar
adalah sebagai berikut:
1. Lebak Parang 2. Lebak Pinoh 3. Tegal Lumbuh 4. Pasir Talaga 5. Desa Bojong Cisono 6. Cicemet 7. Desa Cicadas 8. Desa Ciganas 9. Desa Linggarjati 10. Ciptarasa 11. Ciptagelar
Menurut masyarakat adat alasan kepindahan pusat Kasepuhan adalah semata-
mata karena wangsit dari leluhur mereka yang disampaikan melalui ketua adat dan
tidak ada kaitannya dengan tingkat kesuburan lahan di daerah yang akan ditempati.
Hal ini dapat di benarkan karena selama ini daerah yang akan mereka tempati adalah
bekas tanah garapan warga yang tingkat kesuburannya sebenarnya telah menurun.
30
Ketika masyarakat adat pindah ke lokasi perkampungan yang baru, maka
perkampungan yang lama tidak harus di bongkar
Kasepuhan Banten Kidul terdiri dari sejumlah perkampungan yang tersebar di
sekitar kawasan pegunungan Halimun, ada sekitar 560 perkampung yang termasuk ke
dalam Kasepuhan Banten Kidul (Karma, pres. com. 20072). Keseluruhan
perkampungan tersebut berafiliasi kepada pusat pemerintahan yaitu Kasepuhan
Ciptagelar dalam hal adat istiadat dan tradisi, jika ada acara adat yang
diselenggarakan di Kaspuhan Ciptagelar maka setiap perkampungan yang termasuk
ke dalam Kasepuhan Banten Kidul mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti
upacara adat tersebut.
Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga masih memegang teguh hukum adatnya
walaupun secara geografis wilayah Kampung Naga sangat mudah dijangkau sehingga
pengaruh kebudayaan, pola hidup, dan teknologi dari luar sebenarnya dapat dengan
mudah diterima oleh masyarakat Kampung Naga namun sampai saat ini mereka tetap
setia menjalani dan mematuhi adat istiadat yang diajarkan oleh para leluhur mereka.
Selain itu masyarakat adat di Kampung Naga juga memiliki berbagai sistem
pengetahuan lokal yang masih tetap dipertahankan antara lain yaitu berkaitan dengan
penyelarasan hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Dalam hubungan itu
masyarakat adat di Kampung Naga demi kelangsungan hidupnya mencoba
melindungi tempat tinggalnya melalui usaha menjaga kelestarian wilayahnya dengan
adanya leuweung larangan dan leuweung titipan yang merupakan dua wilayah hutan
di Kampung Naga yang sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat Kampung
Naga. (Suganda, 2006).
Masyarakat di Kampung Naga meyakini bahwa leluhur mereka bernama Singaparna
yang merupakan seorang abdi dari Sunan Gunung Jati. Singaparna ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam kebagian barat Jawa Barat. Kemudian ia sampai ke daerah
2 Wawancara dengan Karma, salah satu Baris Kolot Kasepuhan Ciptagelar, pada tanggal 24 Desember 2007.
31
yang sekarang bernama Desa Neglasari. Di desa tersebut, Singaparna oleh
masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparna. Suatu hari
Singaparna bersemedi, dalam persemediannya Singaparna mendapat petunjuk untuk
mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Sembah Dalem
Singaparna atau yang disebut juga dengan Eyang Galunggung dimakamkan di bagian
barat Kampung Naga. Sampai saat ini tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya
Sembah Dalem Singaparna meninggal dunia. Menurut keyakinan masyarakat
Kampung Naga, Sembah Dalem Singaparna tidak meninggal dunia namun
menghilang di lokasi makam Singaparna.
Sebetulnya masyarakat Kampung Naga memiliki catatan mengenai sejarah
dan asal-usul leluhurnya. Bahkan, mereka menjaga benda-benda pusaka yang
diharapkan mampu menyingkap sejarah berdirinya Kampung Naga. Namun pada
tahun 1956 Kampung Naga dan beberapa wilayah lain di Priangan Timur
dibumihanguskan oleh Pasukan DI/TII Kartosuwiryo sehingga benda-benda pusaka
dan catatan sejarah tersebut ikut hangus terbakar. Akibat peristiwa tersebut sampai
saat ini sejarah mengenai berdirinya Kampung Naga dan asal-usul leluhurnya lebih
banyak disampaikan secara lisan.
3.2.2 Sistem Kepemimpinan Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Dalam sistem kepemerintahan adatnya, Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh
seorang ketua adat atau disebut dengan Kolot Girang. Saat ini jabatan kolot girang
dipegang oleh Ugi Sugriana Rakasiwi yang lebih dikenal dengan nama Abah Ugi.
Abah Ugi mulai memimpin Kasepuhan Ciptagelar setelah ayahnya, Encup Sucipta,
yang juga merupakan pemimpin adat Kasepuhan Ciptagelar sebelumnya, meninggal
dunia pada tanggal 6 November 2007. Kepemimpinan Kasepuhan Ciptagelar
diturunkan dari Encup Sucipta kepada anaknya Abah Ugi berdasarkan wangsit.
Dalam menjalankan tugasnya, kolot girang dibantu oleh baris kolot yang
terdiri dari beberapa orang yang dianggap sebagai sesepuh masyarakat Ciptagelar.
32
Baris kolot bertugas sebagai penasehat kolot girang dalam menentukan kebijakan dan
membuat keputusan.
Selain Kasepuhan Ciptagelar, terdapat 560 dusun lain yang berafiliasi secara
adat pada Kasepuhan Ciptagelar. Setiap dusun memiliki perwakilan adat yang disebut
dengan kolot lembur. Selain kolot lembur tiap dusun memiliki pejabat-pejabat dusun
yang memiliki tugas tertentu, diantaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun
sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru
doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer untuk menjalankan fungsi
keamanan.
Kampung Naga
Ada dua sistem kepemimpinan yang mengatur kehidupan masyarakat
Kampung Naga, baik itu warga yang tinggal di dalam wilayah Kampung Naga
maupun warga yang tinggal di luar Kampung Naga tetapi masih terikat kepada adat
istiadat kampung Naga. Dua sistem kepemimpinan tersebut yaitu Kepemimpinan
Administratif dan Kepemimpinan Adat.
Kepemimpinan administratif pemerintahan desa terdiri dari Rukun Kampung
(RK) dan Rukun Tetangga (RT). Ketua RK yang dijabat oleh seorang warga
Kampung Naga membawahi dua RT di wilayah Kampung Naga dan beberapa RT
lagi di luar wilayah Kampung Naga. Ketua RK dan RT dipilih oleh masyarakat
Kampung Naga.
Kepemimpinan adat di Kampung Naga dipegang oleh satu orang kepala adat
yang disebut dengan kuncen. Seorang kuncen dipilih dan ditetapkan dengan
memenuhi syarat tertentu sehingga tidak mungkin diikuti oleh sembarang orang.
Syarat pertama calon kuncen adalah pria dewasa yang memperoleh wangsit dari
leluhurnya. Syarat berikutnya adalah pemenuhan tiga kriteria, yaitu turunan,
katurunan, dan taat ngalaksanakeun katurunan (Suganda,2006). Turunan merupakan
pembuktian bahwa calon kuncen tersebut merupakan keturunan Sembah Dalem
Eyang Singaparna. Katurunan adalah orang yang secara langsung memperoleh
pengetahuan tentang adat-istiadat, tata cara, dan tradisi masyarakat Kampung Naga
33
yang biasanya diajarkan secara lisan dan turun temurun. Sedangkan “taat
ngalaksanakeun katurunan” mengandung makna bahwa seorang calon kuncen yang
telah memiliki pengetahuan mengenai adat-istiadat dan tradisi Kampung Naga harus
merupakan orang yang dituakan di dalam masyarakat, karena seorang kuncen
nantinya akan memegang tanggung jawab dalam mempertahankan nilai-nilai
kehidupan dan tradisi masyarakat yang dipimpinnya. Pemilihan kuncen dilakukan
secara musyawarah oleh para sesepuh Kampung Naga.
Selain kuncen, terdapat pula jabatan-jabatan lain yang memiliki tugas tertentu
dalam sistem pemerintahan adat Kampung Naga. Jabatan tersebut adalah Punduh dan
Lebe. Seorang punduh, atau disebut pula Kepala Kampung bertugas untuk
mengkoordinasikan segala sesuatu pada saat pelaksanaan upacara adat serta
memanggil masyarakat Kampung Naga yang berada di luar wilayah Kampung Naga
untuk menghadiri acara adat. Lebe adalah orang yang bertugas memimpin doa pada
saat upacara atau perayaan adat, seperti pada saat hajat bulanan, khitanan dan
pernikahan. Seorang lebe juga bertugas untuk mengurus jenazah jika ada warga
Kampung Naga yang meninggal dunia.
3.2.3 Hukum Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Hukum adat yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar bersifat tidak tertulis.
Hukum adat tersebut telah diterapkan oleh leluhur masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Masyarakat adat di
Kasepuhan Ciptagelar sangat mematuhi hukum dan aturan adat yang berlaku. Mereka
percaya bahwa hukum dan aturan adat yang ada bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan dan memfasilitasi keberlangsungan hidup masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar sendiri. Sikap kepatuhan dan kesetiaan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
terhadap hukum dan aturan adat muncul dari keyakinan mereka terhadap adanya
pamali, yaitu merupakan istilah adat untuk bentuk hukuman atau ganjaran yang
merupakan sanksi yang akan didapat oleh anggota masyarakat adat jika melanggar
hukum dan peraturan adat, sanksi tersebut dapat berupa sanksi sosial maupun sanksi
34
fisik yang diberikan oleh pemimpin adat atau masyarakat adat. Dalam menjalankan
aturan-aturan adat Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak mendapatkan paksaan
atau desakan dari Ketua Adatnya. Jika mereka melanggar aturan-aturan tersebut,
mereka tidak akan mendapatkan teguran ataupun hukuman melainkan akan
mendapatkan walatan atau kualat yaitu suatu hukuman yang tidak bisa dilihat secara
fisik, namun dapat dirasakan langsung oleh si pelanggar hukum tersebut, bisa berupa
sakit atau bahkan kematian (Irwansyah, 2008). Dengan adanya kepercayaan
masyarakat adat terhadap pamali dan kualat maka dengan sendirinya masyarakat adat
terus menjaga dan melestarikan hukum adat yang telah diberlakukan sejak dahulu
kala.
Hukum adat yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar memiliki nilai kearifan
yang tinggi terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bagi masyarakat
adat Kasepuhan Ciptagelar alam merupakan warisan dari leluhur dan harus terus
dijaga untuk kehidupan masyarakat. Nilai kearifan lingkungan dalam hukum adat di
Ciptagelar terwujud dalam peraturan-peraturan adat mengenai pengelolaan dan
penggunaan lahan di wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar sangat menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal mereka
meyakini bahwa jika hutan, sumber mata air, dan lahan pertanian yang ada di
lingkungan mereka dijaga maka keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka
juga akan terjaga pula.
Ada berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan
Ciptagelar dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Beberapa diantaranya yaitu
membentuk Pamswakarsa yang bertugas melakukan patroli hutan dan menjaga hutan
dari kegiatan penebangan liar, Pamswakarsa beranggotakan masyarakat adat dari
Kasepuhan Ciptagelar yang bekerja secara sukarela (Karma, pres. com. 20073). Selain
membentuk Pamswakarsa ketua adat Kasepuhan Ciptagelar secara rutin menanam
pohon di hutan yang telah gundul dan pada tanah kosong dalam wilayah Kasepuhan.
Abah Anom yang merupakan ketua adat sebelum kepemimpinan Abah Ugi telah
3 Wawancara dengan Karma, salah satu Baris Kolot Kasepuhan Ciptagelar, pada tanggal 24 Desember 2007.
35
menanam tidak kurang dari 10 ribu pohon damar untuk menghijaukan kembali
wilayah hutan yang telah gundul.
Kampung Naga
Bagi masyarakat adat di Kampung Naga, alam khususnya hutan memiliki
nilai yang sangat penting. Kekayaan hasil dan fungsi hutan tak ternilai harganya
dalam menjaga keberlangsungan hidup mereka. Secara rohaniah, hutan juga telah
membentuk sistem nilai, budaya dan tradisi dalam peradaban warga Kampung Naga
(Suganda,2006). Keterkaitan rohaniah warga Kampung Naga dengan alam terutama
hutan juga memberikan pengaruh terhadap hukum dan peraturan adat di Kampung
Naga. Hukum dan peraturan adat di Kampung Naga banyak yang secara tidak
langsung merupakan bentuk dari kepedulian masyarakat adat untuk menjaga
kelestarian alam dan memelihara keseimbangan hubungan manusia dengan alam.
Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa Kampung Naga merupakan
tanah warisan leluhur mereka untuk anak cucunya, sehingga mereka berkewajiban
untuk menjaganya. Dalam kehidupan sehari-harinya, kewajiban itu diterapkan pada
tradisi yang mengandung nilai-nilai kearifan, selain itu dalam hal-hal tertentu juga
berlaku istilah tabu. Misalnya ketika mengangkat barang ke dalam wilayah Kampung
Naga, seberat apapun barang tersebut, mereka tidak boleh menggunakan kendaraan
atau alat angkut apapun. Ketika membawa barang masyarakat Kampung Naga harus
membawa barang tersebut dengan cara dipikul atau dipanggul di atas bahu.
Pantangan lain bagi masyarakat Kampung Naga adalah tidak menggunakan hewan
penarik beban seperti kuda atau sapi. Karena itu, kedua hewan tersebut termasuk tabu
untuk dipelihara di Kampung Naga. Di Kampung Naga juga tidak diperbolehkan
untuk menggunakan energi listrik. Penduduk Kampung Naga khawatir akan terjadi
kebakaran karena rumah mereka yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk sangat
mudah terbakar. Selain itu juga mereka mengkhawatirkan akan terjadi kesenjangan
sosial jika energi listrik masuk ke Kampung Naga.
Jika dikaji lebih mendalam, semua peraturan dan tabu yang berlaku pada
masyarakat adat Kampung Naga bermuara pada tujuan untuk menjaga kebersihan dan
36
kelestarian Kampung Naga, tanah warisan leluhur mereka. Jika berada di luar wilayah
adat, masyarakat Kampung Naga tidak diwajibkan untuk melaksanakan peraturan
adat tersebut. Masyarakat Kampung Naga masih dapat menggunakan kendaraan atau
alat angkut apapun untuk bepergian atau mengangkut barang selama berada di luar
wilayah Kampung Naga.
3.2.4 Hukum Pertanahan Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Salah satu hal yang diatur oleh hukum adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
adalah bidang pertanahan. Hukum pertanahan di Ciptagelar mengatur mengenai batas
wilayah adat, aturan pembagian lahan, aturan mengenai penataan ruang wilayah adat,
dan aturan-aturan lain yang menyangkut bidang pertanahan. Sama halnya dengan
hukum dan peraturan adat dalam bidang kehidupan lain hukum adat dalam bidang
pertanahan di wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar, walaupun bersifat tidak tertulis,
namun sangat dipatuhi oleh masyarakat adat.
Dalam hukum adat terdapat hubungan yang sangat erat antara manusia dengan
tanah. Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tanah memiliki nilai yang sangat
penting, arti bernilai disini bukan hanya berarti bernilai secara ekonomi melainkan
tanah juga dianggap sakral dan suci, menurut masyarakat adat tanah merupakan
warisan dari leluhur mereka yang harus terus dijaga karena tanah merupakan tempat
bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Pemanfaatan lahan oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sangat berorientasi
pada pelestarian lingkungan yang berlandaskan kepada kepatuhan terhadap aturan
yang dibuat oleh leluhur mereka. Bentuk usaha pelestarian lingkungan salah satunya
dapat dilihat dari teknologi pertanian yang digunakan. Sebagai komunitas masyarakat
yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani sawah dan ladang
masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tetap menjaga tingkat kesuburan tanah dan
menghindari pengrusakan lingkungan sekitar akibat aktivitas pertanian mereka
caranya yaitu dengan menerapkan teknologi pertanian tradisional.
37
Kampung Naga
Bidang pertanahan juga diatur dalam Hukum dan peraturan adat yang berlaku
di Kampung Naga. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya masyarakat Kampung
Naga merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga tanah tempat mereka tinggal
sebagai warisan dari para leluhur. Tanah memiliki nilai yang sangat penting dan
sakral bagi masyarakat Kampung Naga. Hukum pertanahan adat di Kampung Naga
mengatur mengenai pemilikan, penggunaan tanah, jenis hak yang dimilliki
masyarakat adat atas tanah milik adat dan juga aturan tata ruang wilayah adat.
3.2.5 Pemanfaatan Lahan dan Tata Ruang Wilayah Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Lahan bukaan yang dikuasai oleh Komunitas Adat Banten Kidul memiliki luas
sekitar 70.000 Ha (Sucipta, pres. com. 20074). Wilayah seluas 70.000 Ha tersebut
terdiri dari 6 Ha wilayah pemukiman Kasepuhan Ciptagelar dan ratusan hektar
diantaranya merupakan lahan bukaan yang dikuasai oleh masyarakat adat.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menerapkan sistem tata ruang wilayah adatnya
dengan mengacu kepada pelestarian lingkungan dan ajaran para leluhurnya.
Gambar 3.4 Denah Pusat Kasepuhan Ciptagelar (Rudie RA. 2005) 4 Wawancara dengan Encup Sucipta, Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar, pada tanggal 7 April 2007.
38
Pembagian wilayah di Kasepuhan Banten Kidul dapat dibagi menjadi dua
bagian utama yaitu wilayah olahan (cultivation area) dan wilayah non-olahan (non-
cultivation area) (Abdulharis, et al, 2007). Wilayah olahan terbagi menjadi dua jenis
yaitu wilayah milik adat yang merupakan daerah Kasepuhan Banten Kidul dan
wilayah yang sudah bukan milik adat. Wilayah milik adat dibagi lagi menjadi tiga
bagian yaitu:
- Wilayah yang digunakan untuk keperluan adat, salah satunya adalah
pusat Kasepuhan Ciptagelar.
- Wilayah adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat namun hasilnya
digunakan untuk keperluan adat, misalnya sawah dan ladang milik
adat.
- Wilayah adat yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat adat,
contohnya adalah pemukiman dan lahan pertanian.
Wilayah non-olahan merupakan daerah hutan diluar wilayah 70.000 Ha yang
telah disebutkan sebelumnya. Di wilayah non-olahan ini masyarakat adat tidak dapat
secara bebas memanfaatkan lahan.Wilayah non-olahan di Kasepuhan Banten Kidul
dibagi menjadi tiga bagian yaitu leuweung tutupan, leuweung titipan, dan leuweung
garapan. Leuweung tutupan merupakan bagian hutan yang sama sekali tidak boleh
dimasuki oleh siapapun tanpa seizin dari sesepuh adat selain itu masyarakat juga
dilarang untuk mengambil kayu dan hasil hutan lain dari wilayah hutan ini. Leuweung
tutupan sebenarnya merupakan wilayah hutan dimana terdapat sumber mata air,
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya bahwa jika sumber mata air terus dijaga
maka keberlangsungan hidup dan kelestarian alam akan tetap terpelihara, oleh karena
itu mereka terus menjaganya secara turun-temurun dengan dilandasi oleh
kepercayaan akan pamali dan kepatuhan terhadap ajaran serta perintah leluhur
mereka.
Sama seperti leuweung tutupan, di dalam wilayah leuweung titipan
masyarakat adat juga tidak diperbolehkan untuk memasuki dan mengambil hasil
hutan maupun memanfaatkan lahannya, tetapi ada pengecualian jika hasil hutan
tersebut dipergunakan untuk keperluan adat. Leuweung titipan merupakan wilayah
39
hutan dari Kasepuhan Ciptagelar yang di siapkan untuk memperluas pemanfaatan
lahan di masa yang akan datang baik itu untuk pemukiman maupun untuk pertanian.
Leuweung garapan merupakan wilayah yang digunakan untuk pemanfaatan
lahan oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, baik itu untuk keperluan tempat
tinggal, lahan pertanian, maupun untuk tempat mendirikan bangunan milik adat. Di
wilayah leuweung garapan masyarakat dapat mengambil hasil hutan dan
memanfaatkan lahan untuk apapun, tetapi tetap harus berlandaskan pelestarian
lingkungan.
Selain tiga wilayah hutan yang telah disebutkan sebelumnya, di wilayah non-
olahan juga terdapat wilayah yang disebut daerah pamali, yaitu merupakan dareah
yang tidak boleh digarap maupun ditempati oleh masyarakat adat yang diantaranya
adalah pematang (gundukan tanah), sirah cai (sumber mata air), lemah gunting
(pertemuan dua sungai kecil), dan tempat-tempat yang menjadi pamali (larangan)
serta angker (Wisudawanto, 2008).
Untuk lebih jelasnya mengenai pengaturan lahan di Kasepuhan Banten Kidul
dapat dilihat pada diagram berikut:
Gambar 3. 5 Penguasaan tanah adat di Kesepuhan Banten Kidul (Wisudawanto, 2008)
40
Kampung Naga
Kawasan pemukiman masyarakat Kampung Naga dikelilingi oleh lahan
pertanian sawah dan hutan. Selain bangunan rumah, di kawasan pemukiman juga
dibangun kolam-kolam sebagai tempat penampungan air dan sekaligus menjadi
tempat memelihara ikan. Secara ekologis, pola perkampungan di Kampung Naga
mencerminkan pola lingkungan masyarakat Sunda yang umumnya terdapat di daerah-
daerah pedesaan (Suganda,2006). Dalam pola tersebut, terdapat tiga elemen penting
yang saling mendukung dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, yaitu, rumah
sebagai tempat tinggal, sumber air yang selalu tersedia, dan kebun serta kolam ikan.
Pemisahan antara wilayah pemukiman dan lahan pertanian sangat jelas di
terapkan di Kampung Naga. Wilayah pemukiman memiliki luas 1,5 Ha, dimana
didalamnya terdapat 111 bangunan yang terdiri dari 108 rumah penduduk, sebuah
masjid, sebuah balai pertemuan, dan sebuah bangunan untuk menyimpan benda
pusaka. Selain itu di wilayah pemukiman ini juga terdapat lumbung padi, dan kolam
ikan. Pada wilayah pemukiman sama sekali tidak terdapat lahan pertanian. Wilayah
pemukiman memiliki batas yang jelas berupa pagar bambu yang mengelilinginya, dan
kolam-kolam ikan yang ada di sebelah Utara. Daerah di luar wilayah pemukiman
Kampung Naga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Naga dan Sanaga sebagai lahan
pertanian.
Salah satu kelebihan dalam penataan bangunan di Kampung Naga adalah
kemampuan masyarakatnya dalam melakukan harmonisasi dengan lingkungan
sekitarnya. Dengan kearifan lokal yang dimiliki, mereka berusaha menyesuaikan
kebutuhannya akan lahan pemukiman dengan memperhitungkan topografi
wilayahnya yang berbukit-bukit. Tempat yang menjadi lahan pemukiman mereka
merupakan daerah yang permukaannya tidak rata dengan kemiringan yang berpotensi
menimbulkan bencana longsor. Untuk menghindari terjadinya longsor, masyarakat
membuat sengkedan yang diperkuat dengan susunan batu kali, sehingga bentuknya
menyerupai teras dan terlihat artistik. Karena tidak menggunakan campuran semen
dan pasir sebagai penguat, air yang berasal dari daerah yang lebih tinggi tetap masih
41
dapat mengalir ke daerah yang lebih rendah melalui celah-celah susunan batu
tersebut.
Karena pemukiman Kampung Naga memiliki lokasi yang tetap dan luasnya
tidak dapat bertambah maka peruntukan lahan dalam tata ruang wilayah adatnya
berprinsip kepada efisiensi dengan tidak mengabaikan faktor ekologis dalam menjaga
keseimbangan lingkungannya. Pola pemanfaatan lahan di Kampung Naga dapat
dibagi ke dalam tiga kategori kawasan, yaitu kawasan suci, kawasan bersih, dan
kawasan kotor (Suganda, 2006).
a. Kawasan Suci
Kawasan suci merupakan kawasan milik Kampung Naga yang tidak boleh
dimasuki oleh sembarang orang. Kawasan ini selalu dijaga kelestarian dan
kesuciannya dari pengaruh luar dan diawasi secara bersama oleh warga Kampung
Naga. Kawasan suci ini merupakan sebuah bukit kecil yang berada di sebelah barat
pemukiman masyarakat Kampung Naga.
Pada bukit tersebut terdapat hutan kecil yang disebut leuweung larangan yang
artinya adalah hutan yang penuh dengan pantangan dan tidak boleh dimasuki tanpa
izin dari kuncen. Di leuweung larangan ini terdapat tempat yang dipercaya
masyarakat sebagai makam leluhur Kampung Naga. Secara rutin masyarakat
kampung naga bersama-sama melakukan ziarah ke makam leluhur mereka dalam
suatu bentuk upacara adat. Tidak jauh dari leuweung larangan terdapat tempat
pemakaman masyarakat Kampung Naga, yang letaknya lebih tinggi dari lokasi
pemukiman.
42
Gambar 3. 6 Wilayah Leuweung Larangan yang berbatasan langsung dengan
pemukiman Kampung Naga
Selain leuweung larangan, di kawasan bukit tersebut juga terdapat wilayah
yang disebut leuweung tutupan yang merupakan daerah hutan yang ditumbuhi
berbagai jenis tanaman keras berumur puluhan dan ratusan tahun. Adanya leuweung
tutupan merupakan suatu bentuk nyata kepedulian dan tanggung jawab masyarakat
untuk menjaga dan melestarikan hutan.
b. Kawasan Bersih
Kawasan bersih merupakan daerah lokasi pemukiman warga Kampung Naga.
Pada daerah seluas 1.5 Ha ini, selain menjadi tempat didirikannya bangunan–
bangunan rumah dengan gaya arsitektur tradisional Sunda, terdapat pula leuit, mesjid,
bumi ageung, dan bale patemon. Leuit adalah lumbung tempat menyimpan padi atau
gabah hasil panen. Sedangkan bale patemon merupakan sebuah tempat pertemuan,
baik pada saat mereka melakukan musyawarah maupun pada saat menerima
kunjungan tamu. Bangunan bale patemon letaknya berdampingan dengan mesjid.
Bumi ageung merupakan sebuah bangunan yang dikelilingi pagar bambu. Bangunan
tanpa jendela tersebut merupakan tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka
milik adat. Bumi ageung tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang tanpa seizin
Leuweung Larangan
43
kuncen. Bangunan tersebut sangat dijaga dan dipelihara kesuciannya oleh masyarakat
Kampung Naga.
Gambar 3.7 Pemukiman di Kampung Naga yang merupakan bagian dari
kawasan bersih
c. Kawasan kotor
Kawasan kotor berada pada daerah yang permukaan tanahnya lebih rendah.
Kawasan tersebut letaknya bersebelahan dengan sungai Ciwulan yang sekaligus
menjadi batas Kampung Naga di sebelah timur.
Bangunan yang terdapat pada kawasan kotor umumnya merupakan bangunan
penunjang untuk keperluan kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga,
bangunan tersebut diantaranya adalah tempat pancuran yang biasa digunakan untuk
mandi dan cuci serta keperluan sehari-hari lainnya. Selain itu terdapat pula kandang
ternak, kolam, dan saung lisung atau tempat menumbuk padi.
44
Gambar 3.8 Kolam ikan di Kampung Naga merupakan bagian dari kawasan
kotor
3.2.6 Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Pertanahan Nasional
Dalam hukum pertanahan nasional hak penguasaan atas tanah diatur dalam
Undang-Undang Petanahan Nasional (UUPA). Hak-hak penguasaan atas tanah
berisikan serangkaian wewenang, kewajiban, dan larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu dengan tanah dimana hak tersebut melekat, hal ini yang
menjadi pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
hukum pertanahan nasional (Harsono,1997).
Dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hiererkhi hak-
hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (Harsono,1997), yaitu:
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi.
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3.
4. Hak-hak perorangan atau individual, terdiri atas:
a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang
disebutkan dalam pasal 16 dan pasal 53.
45
b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, tercantum dalam
pasal 49.
c. Hak Jamin atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam pasal
25, 33, 39, dan 51.
3.3 Pengolahan Data
3.3.1 Identifikasi Sistem Kepemilikan Lahan Dalam Hukum Pertanahan Adat
Sistem kepemilikan lahan dapat diidentifikasi berdasarkan empat aspek yaitu:
Aspek jenis hak penguasaan atas tanah (right), batasan kepemilikan hak (restriction),
dan bentuk tanggung jawab atas kepemilikan tanah (responsibility), dan Aspek
sistem pendaftaran tanah
3.3.1.1 Jenis Hak Penguasaan Atas Lahan
Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang di
hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang
merupakan pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
suatu hukum tanah (Harsono,1997). Isi dari tiap-tiap hak penguasaan ialah
(Peranginangin, 1979):
- Kewajiban-kewajiban tertentu
- Wewenang-wewenang tertentu
- Larangan-larangan tertentu
Kasepuhan Ciptagelar
Masyarakat adat di Kasepuhan Ciptagelar dapat memiliki lahan yang
digunakan sebagai tempat tinggal atau lahan pertanian, kepemilikan lahan ini
diberikan oleh pemimpin adat kepada masyarakat asli Kasepuhan Ciptagelar maupun
masyarakat luar yang ingin tinggal di dalam wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Jenis hak
atas tanah yang ada di Kasepuhan Ciptagelar dapat dibagi menjadi tiga jenis hak
46
yaitu: Hak Persekutuan, Hak Pemanfaatan Lahan Pemukiman, dan Hak
Pengelolaan Lahan Pertanian.
Kampung Naga
Jenis hak atas tanah yang ada dalam hukum pertanahan Kampung Naga dapat
dibagi menjadi tiga jenis hak, yaitu: Hak Persekutuan, Hak Pemanfaatan Lahan
Pemukiman, dan Hak Pengelolaan Lahan Pertanian. Dalam mengelola lahan baik
itu untuk pemukiman maupun untuk pertanian masyarakat adat harus mengikuti
aturan yang diberikan oleh sesepuh adat. Masyarakat adat hanya dapat mendirikan
bangunan untuk tempat tinggal di wilayah yang telah ditentukan dengan ukuran,
bentuk, dan arah hadap rumah yang ditentukan oleh sesepuh adat
3.3.1.2 Batasan Kepemilikan Hak
Dalam hukum pertanahan nasional kata “tanah” dipakai dalam arti yuridis,
sebagai pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Berdasarkan pasal 4
UUPA dapat disimpulkan bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar (Harsono,1997).
Dalam pasal 2 UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi
yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian maka yang
dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari
permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut
diperluas hingga meliputi juga penggunann sebagian tubuh bumi yang ada di bawah
tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya (Harsono,1997). Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya pemisahan vertikal terhadap arti tanah dalam hukum
pertanahan nasional, yaitu dipisahkannya objek yang ada diatas maupun dibawah
permukaan bumi dari arti tanah sebagai bagian permukaan bumi yang memiliki batas.
47
Batas teridentifikasi dalam dua bentuk, yaitu fixed boundary dan general
boundary (Dale dan McLaughlin, 1999). Dilihat dari segi bahasa, fix berarti tetap,
jelas atau kuat, sedangkan general merupakan kebalikan dari fix yang berarti umum,
tidak tetap, dan tidak spesifik. Fix boundary hanya dapat terjadi apabila garis batas
presisi sudah dapat ditentukan. Sedangkan pemanfaatan prinsip general boundary
dapat terjadi apabila batas dari suatu wilayah tidak dapat ditentukan secara presisi
(Irwansyah,2008).
Kasepuhan Ciptagelar
Bentuk batas untuk pemanfaatan lahan yang ada di Kasepuhan Ciptagelar
dikategorikan sebagai general boundary. Hal tersebut dapat dilihat dari sudut
pandang adat mengenai batas wilayahnya, bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki
batas wilayah yang sebagian besar tidak pasti. Berdasarkan wawancara dengan Abah
Anom, batas wilayah Ciptagelar tidak dapat didefinisikan seluruhnya. Beberapa
wilayah tidak dapat diketahui secara pasti batasnya karena sudah berbaur dengan
wilayah non adat, contohnya adalah Desa Sirnarasa dan Kasepuhan Sirnaresmi.
Sedangkan wilayah lainnya memiliki batas yang cukup jelas, diantaranya adalah
wilayah yang berbatasan langsung dengan hutan titipan dan hutan tutupan
(Wisudawanto, 2008).
Objek batas yang biasanya mewakili titik batas wilayah Kasepuhan Ciptagelar
adalah pohon tertentu, arca, batu dan situs. Batas antara hutan dengan wilayah bukaan
masyarakat biasanya ditandai dengan adanya jalan setapak atau langsung berbatasan
antara tepi hutan dengan tepi wilayah garapan dan pemukiman. Sedangkan batas
antara wilayah garapan warga dengan hutan ditandai dengan adanya pamatang atau
timbunan tanah di sisi terluar lahan garapan. Objek batas berupa pohon yang biasa
dipakai oleh penduduk Ciptagelar adalah pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan pohon
Botol (Mascarena lagenicaulis). Pada dasarnya pohon hanjuang dan pohon botol
dipergunakan oleh penduduk adat untuk menolak bala. Pohon tersebut ditanam di
sekeliling rumah warga, walaupun tidak semua warga menanamnya. Secara tidak
langsung, pohon tersebut membatasi wilayah garapannya (Wisudawanto,2008).
48
Gambar 3.9 Pohon Hanjuang sebagai batas pemukiman
Gambar 3.10 Batas antara hutan titipan dan pemukiman
Kampung Naga
Bentuk batas untuk pemanfaatan lahan yang ada di Kampung Naga
dikategorikan sebagai fix boundary. Hal ini disimpulkan berdasarkan adanya batas
yang pasti dan tetap di wilayah Kampung Naga. Batas tersebut berupa pagar bambu
49
untuk wilayah pemukiman, dan batu kali untuk persil tanah tempat didirikannya
bangunan tempat tinggal.
Gambar 3.11 Pagar bambu sebagai batas wilayah pemukiman
Gambar 3.12 Batu kali sebagai batas bangunan rumah
Pagar bambu sebagai batas
Batu kali sebagai batas
50
Di wilayah Kampung Naga yang seluas 1,5 Ha tidak terdapat lahan pertanian,
lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat terletak diluar wilayah pemukiman dan
sudah merupakan lahan pribadi milik masyarakat yang telah disertifikatkan. Beberapa
lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat adat hasilnya dimanfaatkan untuk
keperluan adat (Risman, pres. com. 20085).
3.3.1.3 Bentuk Tanggung Jawab Atas Kepemilikan Lahan
Kekuatan Hak Ulayat Berlaku Kedalam
Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah
memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota masyarakat hukumnya, menjaga
jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah.
Berdasarkan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan masyarakat adat pemimpin
adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahnya
kepada siapapun. Penguasa adat berwenang untuk menunjuk hutan-hutan tertentu
sebagai hutan cadangan, yang tidak boleh dibuka oleh sembarang orang. Penguasa
adat jugaberwenang untuk menunjuk tanah-tanah tertentu untuk dipakai guna
keperluan bersama atau keperluan adat, misalnya untuk pemakaman, lahan pertanian,
masjid, dan lain-lain (Harsono,1997).
Dalam mendayagunakan lahan masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar dan
Kampung Naga sangat berorientai kepada pelestarian lingkungan. Peraturan dalam
bidang pertanahan di Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga bertujuan untuk
menjaga kelestarian lingkungan.
Kekuatan Hak Ulayat Berlaku Keluar
Hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh pemimpin dan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang yang bukan masyarakat hukum adat
yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu, atau membuka tanah, dilarang
untuk masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin
5 Wawancara dengan Risman, Ketua Rukun Tetangga (RT), Kampung Naga, Desa Neglasarai, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 31 Januari 2008.
51
penguasa adatnya. Orang-orang yang bukan masyarakat hukum adat yang membuka
tanah atau mengambil hasil hutan tanpa izin berarti telah melakukan suatu tindak
pidana menurut hukum adat.
3.3.1.4 Sistem Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah, termasuk pemberian surat
tanda bukti hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya (Harsono,1997).
Ada tiga tipe pendaftaran tanah (Dale and Mclaughlin, 1999) yaitu: registration of
titles (pendaftaran hak), registration of deeds (pendaftaran akta), dan private
conveyancing. Dalam tipe registration of titles terdapat buku tanah sebagai dokumen
yang memuat data yuridis dan data fisik serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat
tanda bukti hak yang didaftarkan. Pembukuan dalam buku tanah dan penerbitan
sertifikat merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya
dan bidang tanahnya telah didaftarkan (Harsono,1997). Dalam tipe registration of
deeds pendaftaran hanya untuk dokumen kepemilikan atas tanahnya saja, dalam tipe
pendaftaran ini tidak didaftarkan hak atas tanahnya. Dalam tipe pendaftaran tanah
private conveyancing pengalihan kepemilikan hak atas tanah dilakukan berdasarkan
kesepakatan pribadi antara pemilik hak atas tanah yang lama kepada pemilik hak atas
tanah yang baru, tanpa ada pengawasan, pencatatan, dan perekaman data perpindahan
hak secara langsung (Dale and Mclaughlin, 1999).
Kasepuhan Ciptagelar
Sistem pendaftaran tanah di Kasepuhan Ciptagelar merupakan sistem
pendaftaran private conveyancing. Hal tersebut dapat dilihat dari proses untuk
memperoleh hak pengelolaan lahan dan tanda bukti yang diberikan oleh adat kepada
pemilik hak pengelolaan lahan. Proses untuk mendapatkan hak pengelolaan lahan
adat di Kasepuhan Ciptagelar dilakukan dengan cara meminta izin secara langsung
52
kepada sesepuh dan pemimpin adat, Proses atau tahapan seorang warga yang ingin
memiliki garapan pada sebidang tanah pada daerah bukaan yaitu sebagai berikut
(Irwansyah, 2008):
1. Ketua adat menetukan wilayah bukaan di tanah ulayat Kasepuhan Ciptagelar
yang boleh digarap oleh warga
2. Warga memilih lokasi sebidang tanah untuk digarap
3. Meminta nasihat
Maksud dari meminta nasihat yaitu warga meminta nasihat kepada Ketua
Adat mengenai sebidang tanah yang akan digarap oleh seorang warga.
Adapun biasanya informasinya yang ditanyakan oleh warga yaitu :
Lokasinya, maksudnya yaitu apakah lokasinya sudah mengikuti aturan
adat atau belum
Posisi rumah, maksudnya yaitu bagaimana posisi rumah yang baik
menurut aturan adat
Apakah konstruksi rumah yang akan dibuat sudah mengikti aturan
adat atau belum
4. Warga mulai menggarap sebidang tanah, baik untuk membuat rumah maupun
membuat sawah atau ladang
5. Garapan tersebut sudah bisa dimiliki oleh warga
Dalam sistem pertanahan di Kasepuhan Ciptagelar tidak ada tanda bukti
kepemilikan hak yang diberikan kepada pemilik hak pengelolaan lahan, kekuatan
status kepemilikan hak hanya berdasarkan pengakuan pemimpin dan masyarakat adat.
Kampung Naga
Sistem pendaftaran tanah di Kampung Naga merupakan sistem pendaftaran
tanah private conveyancing. Masyarakat Kampung Naga dapat mendirikan tempat
tinggal di wilayah adat dengan cara meminta izin dari kuncen Kampung. Tidak ada
bukti tertulis atas kepemilikan hak yang diberikan kepada masyarakat yang tinggal
dan mendirikan rumah di wilayah Kampung Naga, kekuatan status kepemilikan hak
hanya berdasarkan pengakuan pemimpin dan masyarakat adat.
53
Lahan pemukiman dan lahan pertanian di Kampung Naga dipisahkan dengan
jelas, sehingga masyarakat adat hanya dapat mendirikan bangunan tempat tinggal di
tempat yang telah ditentukan. Pemisahan lahan pemukiman di Kampung Naga telah
ada sejak Kampung Naga berdiri dan sampai saat ini luas wilayah pemukiman
Kampung Naga tidak bertambah. Lahan pertanian di Kampung Naga berada diluar
wilayah lahan pemukiman. Lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat adat
bukan merupakan lahan milik adat, telah ada proses pembuatan sertifikat atas lahan
pertanian yang dimiliki oleh masyarakat adat.
3.3.2 Identifikasi Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Pertanahan Adat
Kasepuhan Ciptagelar
Dalam hukum pertanahan adat Kasepuhan Ciptagelar, prinsip kepemilikan
atas tanah mengacu kepada kepentingan adat dengan tujuan menjaga keharmonisan
masyarakat adat dengan alam sehingga kelestarian alam tetap terjaga. Berdasarkan
hukum adat keseluruhan lahan di wilayah Kasepuhan Ciptagelar merupakan lahan
milik adat. Siapapun dapat tinggal dan mendirikan rumah di dalam wilayah
Kasepuhan Ciptagelar asalkan mampu mengikuti aturan serta tradisi adat di
Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakat adat juga dapat memanfaatkan tanah untuk lahan
pertanian setelah diberikan izin oleh pemimpin adat dan mengikuti aturan adat dalam
melakukan kegiatan pertanian, seperti ketentuan masa panen, teknologi pertanian
yang digunakan, dan larangan menjual hasil panen berupa padi.
Jenis kepemilikan tanah adat di Kasepuhan Ciptagelar dapat dibagi menjadi
tiga jenis hak atas tanah yang sepadan dengan hak atas tanah dalam hukum
pertanahan nasional. Ketiga jenis hak atas tanah yang ada di hukum adat Kasepuhan
Ciptagelar yaitu: Hak ulayat, Hak perseorangan, dan Hak menggarap tanah.
a. Hak Persekutuan, merupakan hak yang dimiliki oleh adat secara komunal hak
ini meliputi seluruh lahan di wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Hak ini merupakan
hak terkuat dan hak paling dasar dari sistem hukum pertanahan adat di
Kasepuhan Ciptagelar.
54
b. Hak Perseorangan, merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk
mendirikan tempat tinggal di wilayah Kasepuhan Ciptagelar
c. Hak Menggarap Tanah, hak ini diberikan oleh pemimpin adat kepada
masyarakat adat untuk memanfaatkan tanah sebagai lahan pertanian.
Kampung Naga
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Kampung Naga jika
dilihat dari sisi tempat dimana mereka tinggal terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
masyarakat Naga dan Sanaga. Kedua kelompok masyarakat Kampung Naga tersebut
terikat kepada aturan dan adat istiadat yang sama, oleh karena itu mereka disebut
sebagai persekutuan masyarakat adat. Persekutuan masyarakat Kampung Naga
berhak atas tanah tempat dimana mereka hidup, mempunyai hak-hak tertentu atas
tanah tersebut, dan melaksanakan hak tersebut baik keluar maupun ke dalam
persekutuan masyarakat adat. Dalam aturan pertanahan di Kampung Naga dapat
diidentifikasi tiga jenis hak dalam pemanfaatan lahan, yaitu: hak persekutuan, hak
pengelolaan lahan pertanian dan hak pemanfaatan lahan pemukiman.
a. Hak Persekutuan
Hak persekutuan atas tanah tercermin dalam hukum pertanahan adat yang
berlaku di Kampung Naga, hal tersebut dapat dilihat dari arti tanah bagi masyarakat
Kampung Naga dan juga hubungan antara manusia dengan tanah yang ada di
Kampung Naga. Masyarakat adat di Kampung Naga memiliki hubungan yang sangat
erat dengan tanah tempat mereka tinggal, tanah yang merupakan warisan dari leluhur
mereka dianggap sakral dan suci. Masyarakat Kampung Naga memiliki kewajiban
moral dalam menjaga tanah di wilayah mereka.
b. Hak Menggarap Tanah
Lahan pertanian di Kampung Naga terletak di luar wilayah pemukiman, jenis
hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas lahan pertaniannya merupakan hak milik
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dengan tanda bukti berupa sertifikat
55
kepemilikan atas lahan pertanian. Luas total lahan pertanian di Kampung Naga adalah
sekitar 6 Ha, dengan total 120 kepala keluarga, maka rata-rata kepemilikan lahan
pertanian adalah 297 m2 per kepala keluarga. Masyarakat Kampung Naga mengolah
lahan pertaniannya dengan menerapkan aturan-aturan adat dalam bidang pertanian,
misalnya dengan tidak menggunakan traktor untuk membajak sawah, tetapi cukup
dengan menggunakan cangkul. Sedangkan tenaga kerja yang dilibatkan dalam
kegiatan pertanian berasal dari keluarga sendiri atau berdasarkan pada upaya saling
bantu dengan anggota masyarakat lainnya tanpa memperhitungkan upah sebagai
imbalannya.
Masyarakat adat yang memiliki lahan pertanian dapat melakukan jual beli atas
lahan pertanian miliknya. Kegiatan jual beli lahan pertanian tidak diatur secara
khusus dalam hukum pertanahan adat di Kampung Naga, warga yang memiliki lahan
pertanian dapat dengan bebas melakukan proses jual beli dan sewa menyewa lahan
pertanian.
c. Hak Perseorangan
Lahan pemukiman di Kampung Naga yang memiliki luas 1,5 Ha merupakan
lahan milik adat. Dalam hukum pertanahan adat di Kampung Naga, persekutuan
masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah yang menjadi lahan pemukiman
mereka. Dalam perspektif masyarakat adat Kampung Naga, objek kepemilikan hak
atas tempat tinggal dibagi menjadi dua yaitu, objek lahan dimana bangunan tempat
tinggal tersebut berdiri, dan objek bangunan yang merupakan tempat tinggal itu
sendiri. Objek lahan merupakan milik adat dan dikuasai oleh adat, pemberian dan
pengaturan hak atas penggunaan lahan pemukiman kepada masyarakat diatur oleh
adat. Siapapun dapat memiliki hak untuk membangun rumah dan tinggal di dalam
wilayah pemukiman Kampung Naga setelah mendapatkan izin dari kuncen dan
mampu mengikuti aturan serta adat istiadat yang berlaku di Kampung Naga. Pada
awal berdirinya Kampung Naga leluhur mereka telah mengkapling-kapling lahan
yang dipersiapkan untuk pemukiman warganya dengan menggunakan batu kali. Luas
tiap kapling rata-rata adalah 6 x 8 meter . Bentuk, jumlah, dan kapling tanah tersebut
56
tidak berubah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu dari aturan adat dimana
masyarakat tidak boleh memperluas lahan Kampung Naga, dengan mnambah jumlah
atau memperluas kapling untuk membangun rumah. (Risman, pers. com. 20086).
Masyarakat Naga yang tinggal di dalam wilayah pemukiman Kampung Naga
hanya berhak atas bangunan rumah di atas lahan tersebut. Bangunan rumah penduduk
yang ada di wilayah pemukiman Kampung Naga dapat diperjualbelikan secara bebas
baik antar masyarakat Kampung Naga sendiri maupun dengan masayarakat diluar
Kampung Naga, sedangkan lahan dimana tempat bangunan rumah itu berdiri
merupakan milik adat dan tidak dapat diperjualbelikan maupun disewakan.
Bentuk dan arah muka rumah di dalam wilayah pemukiman Kampung naga
harus dibangun dengan mengikuti aturan adat. Letak rumah dibangun membujur dari
Utara ke Selatan, masing-masing rumah tidak boleh saling membelakangi namun
harus saling berhadapan satu sama lainnya dan rumah dibangun dengan bentuk rumah
panggung.
3.3.3 Parameter Identifikasi Karakteristik Hak Penguasaan Atas Tanah Dalam
Hukum Pertanahan Nasional
Dalam pasal 16 ayat 1 UUPA disebutkan terdapat delapan jenis hak atas tanah
sebagai hak individu yang ada di Indonesia yaitu :
a. hak milik
b. hak guna-usaha
c. hak guna-bangunan
d. hak pakai
e. hak sewa
f. tanah hak membuka tanah
g. hak memungut-hasil hutan
6 Wawancara dengan Risman, Ketua Rukun Tetangga (RT), Kampung Naga, Desa Neglasarai, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 31 Januari 2008.
57
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Untuk mengetahui karakteristik dari tiap hak individu atas tanah yang ada
dalam UUPA dapat diidentifikasi dengan menggunakan sembilan parameter yang
terdapat dalam peraturan pertanahan nasional yaitu:
1. Jangka Waktu pemilikan hak
2. Adanya proses jual beli
3. Adanya proses pewarisan hak
4. Subjek hak atas tanah
5. Adanya proses peralihan hak
6. Haknya dapat dijadikan jaminan
7. Jenis pemanfaatan lahan dimana hak tersebut melekat
8. Proses terjadinya hak atas tanah
9. Penyebab hapusnya hak atas tanah
Kesembilan parameter diatas dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik
dari tiap hak individu atas tanah yang ada dalam suatu hukum pertanahan. Untuk hak
individu yang ada dalam hukum pertanahan nasional karakteristik yang dihasilkan
dengan menggunakan sembilan parameter diatas ditampilkan dalam tabel 3.1
58