master terob oktober 2013 fix.pdf

133

Upload: sandy-rosandy

Post on 23-Nov-2015

308 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

ARSIP TEROB OKTOBER 2013 STKW SBY

TRANSCRIPT

  • Prof.

    Prof.

  • 1

    SIMBOLISASI TOKOH SENTRAL

    LAKON PANJI PADA WAYANG TOPENG MALANG

    Robby Hidajat

    Abstak Simbolisasi yang terkandung dalam karakteristik tokoh dalam Lakon Panji terkait

    dengan konsepsi konsmologi Jawa yang hidup dalam pikiran para pendukungnya. Pemahaman

    karakteristik tokoh dimaksudkan untuk memahami nilai pendidikan yang terkandung,

    kaitannya dengan konsepsi yang melatar belakangi kehadiran pada tokoh tersebut. Pada Lakon

    Panji ditemukan empat tokoh sentral (inti) yaitu: Panji Asmarabangun, Galuh Candrakirana,

    Gunungsari, dan Klana Sewandana. Adapun keterkaitan dari empat tokoh tersebut adalah

    bersandar pada kosmologi Jawa yang disebut macapat, yaitu tentang kesadaran tentang adanya

    nilai-nilai kearifan local yang mampu membentuk kepribadian masyarakat pendukungnya.

    Kata kunci: Simbol, Tokoh, Lakon, Panji

    Abstract Symbolization in the characteristics of the figures of Panji story has relation to the conception of

    Javanese cosmology which live in the minds of his supporters. Understanding the characteristics of the

    figures aimed to understand the education values in connection with the conception of the background

    presence of the four central figures, namely: Panji Asmarabangun, Galuh Candrakirana, Gunungsari, and

    Klana Sewandana. The linkage of the four figures are relied on Javanese cosmology which so-called

    Macapat with its awareness about the values of local wisdom that is able to shape the personality of its

    supporters.

    Keywords: Symbol, figure, story, Panji

    Pendahuluan

    Lakon yang disajikan pada seni

    pertunjukan wayang topeng di Malang

    bersumber pada lakon Panji atau lakon

    Gedhog. Sebuah sastra Jawa populer yang

    mengetengahkan tema kisah cita Panji

    dan Sekartaji. Kisah tentang satria Jawa

    yang telah populer sekitar abad XVI

    XVII, bahkan tersebar di Melayu. Pada

    abad XVIII telah dikenal di Muangthai,

    Birma, Kamboja sebagai sumber pokok

    lakon Inao (Hidajat, 2004: 106).

  • 2

    Lakon Panji berkembang di

    berbagai wilayah pedesaan Jawa sebagai

    sastra lisan, yang ditutur dari mulut ke

    mulut. Para dalang wayang topeng tidak

    memiliki pakem atau patokan tertentu

    dalam bentuk tulisan, konvensi

    pertunjukan tersusun berdasarkan

    petunjuk-petunjuk dari pendahulunya

    (Sunaryana, 2002: 51-52). Lakon Panji

    yang dikenal dalam sastra tulis dapat

    disimak seperti berikut:

    Inti dari Lakon Panji menceritakan

    tentang empat kerajaan yang dipimpin

    oleh empat bersaudara yaitu Koripan atau

    Kahuripan (=Jenggala = keling), Daha

    (=Kediri =Mamenang), Gegelang

    (=Urawan) dan Singhasari. Pernikahan

    antara putra mahkota Koripan dengan

    putri Daha merupakan tema pokok bagi

    semua cerita Panji. Sang pangeran

    biasanya disebut raden Panji atau raden

    Ino, tetapi selain itu masih diberi

    beberapa nama pribadi (Wira Namtani

    dalam Waseng. Makaradwaja dalam

    Wangbang Wideya, Nusapati dalam Malat,

    dan seterusnya); sang putri biasanya

    disebut raden Galuh dengan nama-nama

    pribadi seperti Amahi Lara (Waseng),

    warastrasari (Wangbang Wideya),

    Anrang Kesari (Malat). Pada awal cerita

    mereka sudah bertunangan, tetapi sang

    putri menghilang dan Panji

    meninggalkan kraton untuk mencarinya.

    Masing-masing memakai nama-nama

    lain. Nama-nama Panji pada umumnya

    menunjukkan daya tariknya yang tak

    terelakkan bagi para putri: Malat Rasmi,

    Waseng Sari, Wideya (Wideha adalah

    nama dewa Asmara, yaitu Kama) dan

    nama-nama tersebut juga dipakai sebagai

    judul bagi Kidung. Seringkali ia tinggal

    tak jauh dari kekasihnya, namun tanpa

    diketahui identitasnya. Kadang-kadang

    sang putrilah yang identitasnya lama tak

    diketahui. Semua cerita berakhir dengan

    adegan kedua kekasih saling mengenali

    kembali, rakyat bersuka ria dan pesta

    pernikahan. Cinta Panji bagi putri Daha

    tidak merupakan halangan baginya untuk

    terlibat dalam pertualangan asmara. Di

    lain pihak ia membuktikan kebolehannya

    dalam perang, bila dalam pencarian itu ia

    mengembara sebagai seorang ksatriya

    bersama para pengikutnya dan

  • 3

    menghancurkan keraton-keraton musuh

    satu persatu; atau dia membela raja yang

    menampungnya ketika raja itu diserang

    oleh raja sebuah negara lain yang

    lamarannya ditolak. Suatu ciri khas lain

    dalam kisah-kisah Panji ini ialah para

    sahabat yang mengikuti tokoh-tokoh

    utama. Mereka semua putri-putri para

    mantri di keraton; mereka pernah

    dibesarkan bersama-sama dengan sang

    pangeran atau sang putri sebagai teman-

    teman dan sahabat-sahabat yang dapat

    dipercaya; mereka diutus dengan tugas-

    tugas rahasia dan memberikan nasihat.

    Komentar mereka dalam berbagai situasi

    sering penuh humor dan dalam reaksi-

    reaksinya mereka kelihatan tak begitu

    terkekang oleh norma-norma kaku yang

    mengatur kelakukan seorang bangsawan.

    Sama seperti putera mahkota selalu

    disebut raden Ino dan sang putri raden

    Galuh, demikian juga nama para sahabat

    selalu sama. Para putri yang mengelilingi

    sang putri disebut Bayan, Sanggit, lalu

    sebagai abdi Pangunengan dan Pasiran.

    Panji selalu ditemani oleh Jurudeh, Punta,

    Prasanta, Kertala dan kadang-kadang

    beberapa kawan lain lagi (Zoetmulder,

    [1974] terj. Dick Hartoko, 1983:534-535).

    Lakon-lakon Panji yang dipentaskan

    oleh kelompok wayang topeng pimpinan

    Karimoen, pada dasarnya tidak

    bertentangan dengan sastra Panji yang

    dikemukakan oleh Zoetmulder [1974]

    dalam Kalangwang; Sastra Jawa Kuna

    Selayang Pandang (terj. Dick Hartoko,

    1983). Hidajat (2005:13) mengutip

    paparan C.C. Berg tentang lakon Panji

    sebagai berikut. Tema kisah tersebut

    adalah: ada seorang Pangeran dari

    Janggala (Koripan) dan seorang putri dari

    Daha (kediri) yang ditakdirkan untuk

    menjadi suami-istri.

    Pada permulaan cerita keluarganya

    mendesak untuk melangsungkan

    perkawinan itu, akan tetapi tiba-tiba ada

    rintangan, misalnya karena sang

    pangeran sudah menentukan sendiri

    kawan-hidupnya dan tidak mengi-

    nginkan seorang wanita yang lain

    sebagai istri dan atau karena sang putri

    oleh sesuatu sebab, menghilang dari

    keraton dan ternyata tak diketemukan

    kembali. Sang pangeran kehilangan

  • 4

    kekasihnya dan dengan bersedih-hati ia

    pergi mengembara untuk mencari

    kekasihnya yang dikiranya masih hidup.

    Akan tetapi putri dari Kediri yang

    menghilang itu pun dicari oleh kerabat-

    kerabatnya lelaki.

    Peran-peran utama yang bersang-

    kutan ini yang karena peristiwa-peristiwa

    yang terjadi terbawa dalam lingkungan

    kehidupan lain--mengubah nama, dan

    dengan kepribadian yang baru untuk

    berpetualangan. Pada setiap Petualangan

    menjadi alasan untuk selalu mengubah

    nama. Demikianlah bisa terjadi, bahwa

    orang-orang yang mencari dan yang

    dicari saling menjumpai tanpa

    menyadarinya. Pada akhirnya keadaan

    menjadi jernih kembali, dan sang

    pahlawan dengan sang putri, yang rupa-

    rupanya sudah ditakdirkan menjadi

    suami-istri, lalu melangsungkan

    pernikahannya.

    Lakon-lakon Panji yang menjadi

    repertoar pertunjukan wayang topeng

    Jawa umumnya bersumber dari kisah-

    kisah yang terdapat dalam naskah-naskah

    kuna. Naskah yang pada umumnya

    dengan sebutan Siklus Panji atau Roman

    Panji, yaitu: Malat, Wasing, Wangbang-

    Wideha dan Kisah Angraeni. Inti lakon

    Panji yang dikemukakan (Zoetmulder

    [1974] terj. Dick Hartoko, 1983: 532-539)

    memiliki kesamaan dengan yang

    dikemukakan oleh C.C. Berg. (1985).

    Lakon-lakon Panji yang umum

    dipentaskan oleh perkumpulan wayang

    topeng di Malang adalah (1) Rabine Panji,

    (2) Sayembara Sadalanang, (3) Walangwati

    Walangsumirang, (4) Gunungsari Kembar,

    (5) Panji Laras, (6) Panji Kembar, (7) Kayu

    Apyun, (8) Wadhal Werdhi, (9) Lembu

    Gumarang, (10) Melati PutihEdan, (11)

    Sekar Tenggek Lunge Jangge, (12) Bader Bang

    Sisik Kencana, (13) Gajah Abuh atau

    Kudanarawangsa,(14) Ronggeng Rara Tangis

    - Rara Jiwa, (15) Umbul-umbul Majapura,

    (16) Jenggala Bangun Candi, dan (17) Ilange

    Pusaka Gedong Semoro Denok.

    Lakon Panji yang terhimpun pada

    perkumpulan Wayang Topeng di Malang

    dalam berbagai versi, terdapat tokoh-

    tokoh yang memiliki fungsi serta

    kedudukan, yang tercermin dalam

    penokohan dan pembagian karakter.

  • 5

    Istilah tokoh menunjukkan pada person

    atau orangnya, atau pelaku cerita. Tokoh

    yang dikaitkan dengan karakter (watak)

    adalah pelaku yang ditampilkan pada

    suatu cerita atau drama. Tokoh dalam

    sebuah cerita menampilkan karakter atau

    watak yang membentuk kepribadian atau

    citra mental melalui kata-kata (verbal),

    tingah laku, dan tindakan yang terdiri

    dari gerakan, atau sikap yang

    menunjukkan perbedaan kualitas tokoh

    yang satu dengan yang lain

    (Nurgiyantoro, 2002: 165-166).

    Karakter Tokoh dalam Wayang

    Topeng

    Clifford Geertz mengamati perilaku

    orang Jawa dan menemukakan

    bagaimana persepsi tentang perbedaan

    Alus (halus) dan Kasar (kasar) sebagai

    berikut.

    Alus berarti murni, beradab, halus

    budi bahasanya, sopan, ramah tamah, dan

    sebagainya. Orang yang berbicara dalam

    bahasa Jawa halus tanpa salah adalah

    orang yang alus. Selembar kain dengan

    gambar yang rumit dan samar-samar

    tergambar pada kain itu adalah kain yang

    alus. Suatu permainan musik yang indah

    sekali atau langkah dalam tarian yang

    terkontrol secara indah adalah tarian

    yang alus. Demikian pula halnya dengan

    batu yang licin, anjing dengan bulu

    terurai ke bawah, lelucon yang

    menakjubkan, atau pembacaan puisi yang

    bagus. Tuhan tentu saja bersifat alus

    (sebagaimana halnya dengan semua roh

    yang tidak kelihatan) dan dengan

    demikian pengalaman akan-Nya juga

    merupakan pengalaman yang alus. Dan

    kehidupan kita sendiri bersifat alus sejauh

    diatur oleh rangkaian norma yang

    berlaku di lingkungan istana. Kasar justru

    sebaliknya: tidak sopan, tidak beradab.

    Permainan musik yang jelek, lelucon yang

    tidak lucu, sepotong kain murah

    dianggap kasar. Antara kedua kutub

    inilah kaum priyayi menata urutan

    kedudukan semua orang mulai dari

    petani sampai raja (Geertz, dalam

    Colletta, Nat J. dan Umar, 1987: 91).

    Paparan pengamatan Geertz tentang

    pemahaman orang Jawa terhadap realitas

  • 6

    Alus atau Kasar juga terefleksikan

    pada pertunjukan Wayang Topeng

    Malang. Seluruh karakter pada

    pertunjukan wayang topeng Malang

    dibedakan menjadi dua kelompok besar,

    yaitu Alus atau Alusan meliputi para

    Panji-Panji dari kerajaan Kediri (Daha)

    dan Jenggala. Perbedaan fisik yang dapat

    diperhatikan melalui gerak tari pada

    tokoh-tokoh dari pihak kerajaan Jawa

    mempunyai volume gerak yang sempit,

    tempo gerak yang lamban, dan tidak

    menampakkan tenaga yang besar.

    Sedangkan tokoh dari pihak Sabrang

    menampakkan volume gerak yang lebih

    lebar, geraknya lebih dinamis, dan tenaga

    yang dari penari-penarinya tampak lebih

    kuat.

    Pembahasan

    Penokohan pada seni pertunjukan

    wayang topeng di Malang dapat

    diperhatikan setidaknya dari 5 kriteria,

    dikemukan oleh Panuti Sujiman (1990:

    61), yaitu (1) sikap atau tindakan,

    (gerakan tari), (2) Ujaran (vokal dalang),

    (3) Pikirannya (4), Penampilan fisik, yaitu

    meliputi dedek (postur tubuh penari),

    kostum, (5) Identitas diri, nama dan juga

    candra

    Berdasarkan kereteria tersebut

    ditemukan : Tokoh Utama yaitu : Panji

    Asmarabangun dan Dewi Candrakirana,

    Tokoh lawan yaitu Prabu Klana, Tokoh

    pendukung yaitu Gunungsari.

    Simbolisasi Tokoh dalam Lakon

    Panji

    Tipologi dan aspek spiritual dari

    tokoh sentral pada wayang topeng

    Malang ternyata ditemukan pada

    penelitian ini, sebagai berikut

    (1) Panji Asmarabangun, yaitu

    dibangun dari pengertian laki-laki Jawa

    yang disebut Lanang. Dalam pemikiran

    jawa, yaitu yang disebut sebagai Pancer

    atau Punjer, yaitu laki-laki yang memiliki

    hak waris, dalam kaitan dengan cerita

    adalah memiliki hak atas tahta kerajaan

    Kediri. Propotipe yang berkaitan dengan

    sikap dan postur tubuh ditumbuhkan

  • 7

    dari tokoh Arjuna yang dipersepsi oleh

    orang Jawa sebagai Lelanange Jagad (laki-

    laki yang tertampan diseluruh dunia).

    Prototipe tersebut diperkaya dari

    interpertasi nama Asmarabangun, yaitu

    diartikan sebagai bangkitnya rasa cinta

    kasih yang selalu membara. Ini memang

    tampak benar pada penampilan laki-laki

    Jawa yang selalu agresif, sementara

    wanita lebih bersifat pasif. Pemahaman

    ini juga mengacu pada konsep

    kemapanan, yaitu laki-laki yang telah

    dewasa dan sempurna.

    (2) Dewi Galuh Candrakirana, yaitu

    diangkat dari prototipe salah satu istri

    Harjuna, yaitu Dewi Rara Sumbadra

    Karaktersitik dari prototipe tokoh

    Sumbadra itu diperkaya dengan

    interpertasi makna nama Candrakirana,

    yaitu diartikan sebagai sinar bulan pada

    waktu pada waktu purnama penuh

    (tanggal sepisan). Dengan demikian,

    maka diluar makna yang ditumbuhkan

    dari prototipe Panji Asmarabangun, maka

    pasangan ini dapat diartikan sebagai

    kesatuan antara Bulan dan Matahari,

    yaitu dikotomi yang tidak bersifat

    bertentangan, yaitu yang dinamakan

    sajodo.

    (3) Gunungsari, yang diangkat dari

    prototipe tokoh wayang purwa yang

    bernama Raden Samba, yaitu anak dari

    Prabu Kresna. Perwatakan yang

    dibangun sesuati dengan arti namanya,

    yaitu tubuh yang berisi wanita, maka

    Gunungsari itu penampakan pisiknya

    adalah Banci (wandu). Konsep ini adalah

    menunjukan sebuah konsep yang bersifat

    keabadian, sehingga dikotomi laki-laki

    dan wanita itu tidak tampak terpisah,

    tetapi menjadi satu dalam dirinya sendiri.

    (4) Klana Sewandana secara fisik

    diangkat dari prototipe raja Alengka yang

    disebut Prabu Dasamuka atau Rahwana.

    Klana lebih diartikan sebagai pengelana

    (petualang) atau Jaka Umbaran.

    Petualangan hawa nafsu yang dapat

    dipadamkan, selalu menggelorakan

    asmara di mana-mana. Klana Sewandana

    merupakan tipologi manusia yang

    dinamis, bergelora, dan selalu bergerak.

    Ini merupakan simbol dari pikiran yang

    tak pernah berhenti.

  • 8

    Tafsir Tokoh dalam Lakon Panji

    Pola pemikiran masyarakat

    pendukung seni pertunjukan wayang

    topeng di Malang dibangun berdasarkan

    pemahaman tentang (1) Kepercayaan Alam

    Roh yaitu tunjukan adanya persepsi dari

    pengertian topeng, yaitu kedok, atau

    tempat yang cekung untuk dapat

    ditempati sesuatu, yaitu ditempati ajah

    agar dapat bersembunyi di dalamnya. Ini

    simbol dari keberadaan roh di dalam diri

    manusia, sehingga kedok diartikan

    Wenang nDelok, dhak wenang didelok

    (bisa melihat tetapi tidak bisa dilihat),

    (Hidajat, 2004: 83). (2) rumah baru tempat

    bersemayamnya roh, karena roh yang

    telah lepas dari tubuhnya akan

    gentayangan di mana-mana, sehingga

    dibuatkan topeng. Topeng adalah rumah,

    seperti halnya Punden, dapat diartikan

    sebagai pepunden (leluhur), atau tempat

    atau petilasan orang yang memiliki jasa

    membuka lahan pemukiman. Punden

    adalah leluhur artinya roh yang utama.

    Keyakinan akan roh ini adalah

    ditumbuhkan, bahwa ada roh yang

    bersifat abadi, yaitu disebut rohilafi, yaitu

    roh hakiki yang dilambangkan dengan

    warna hijau, yaitu ketentraman/

    kedaamaian. Sehingga roh itu akan

    mengalami perjalanan, yang terdiri dari

    tiga tahap (1) Kandungan ibu, (2) Dunia

    fana, (3) Alam kubur. (dalam alam kubur

    inilah, roh dapat pergi atau tingal di suatu

    tempat).

    Perjalan roh yang semula terdiri dari

    5 unsur, yaitu: Nur, Rasa, Nyawa, Budi,

    dan Nafsu. Kelima unsur ini menjadi

    sebuah kesatuan yang akan menjalani

    takdirnya untuk menjadi manusia, yaitu

    berupa Ruh Ilafi atau disebut Mul Hikmah

    (Roh sejati), yang didalam kandungan ibu

    berupa sebuah titik hitam (satu sel) yang

    kemudian berkembang dengan seiring

    pertumbuhan dari dua unsur, yaitu Ulu,

    kulit, otot, getih, balung, sumsum, dan

    rambut. Unsur yang lain adalah unsur

    rohaniah, yang terdiri dari Ariah, Nuriah,

    Satmuka, dan Nursari. Dalam pengertian

    Islam disebut dengan nafsu, yaitu

    Mutmainah, Supiyah, Amarah, Aluamah

    (Sunardi,2004: 49-50)

  • 9

    Perjalanan ruh menjadi manusia

    mempunyai proses yang bersifat

    melingkar kekanan yang membentuk

    unsur badaniah, dan melingkar kekiri

    yang membentuk unsur rohaniah, yang

    disebut gerakan Ngendali. Untuk dapat

    memahami konsep tersebut dapat

    disimak pada skema/bagan sebagai

    berikut

    Skema 1

    Skema hubungan tokoh Panji dengan

    pemahaman tentang sejarah kejadian manusia

    Nur, Rasa, Budi,

    Nyawa

    Bapa Biyun

    g

    Unsur

    Putih

    Unsur

    Merah

    Topeng

    Patih

    Putih

    Topeng

    Patih

    Merah

    Rohani

    ah

    Badani

    ah

    Ulu

    Kulit

    Balung Sumsum

    Getih

    Rambut

    Ariah

    Nuriyah

    Satmuko Nursari

    Bayi Kakang Kawah

    Adi ari-ari

    A. Putih

    Gunungsari

    B. Hijau

    Panji Asmarabangun

    C. Kuning

    Galuh Candrakirana

    D. Merah

    Klana

    Sedulur

    Papat

  • 10

    Adapun kaitan tokoh sentral dengan

    nilai-nilai spiritual yang hidup dalam

    pemahaman masyarakat pendukung

    wayang topeng, dapat disimak dalam

    tabel berikut ini.

    No. Identitas Sifat Simbol

    Warna Analogi tokoh

    wayang purwo Tokoh pada

    wayang topeng Jawa Arab

    1.

    Ariah

    Mutmainah

    Putih

    Samba/ Lesmana Gunung Sari

    2. Nuriyah Supiyah Kuning Sembadra/ Sinta Galuh Candrakirana

    3. Satmuko Amarah Merah Dasamuka Klana

    4. Nursari Aluamah Hijau Arjuna Panji Asmarabangun

    Tabel. 1

    Tabel Tentang Sifat Menurut Kosmologi Wayang Topeng

    (2) Kepercayaan Terhadap Ruang, Ruang

    atau tempat, tampak diperhatikan ada

    yang menunggu atau bermukim, seperti

    ruang-ruang yang ditumbuhi oleh pohon

    yang dapat digunakan untuk membuat

    topeng, yaitu tempat tempat sunyi yang

    dipandang sebagai tempat yang angker.

    Demikian juga setiap desa diyakini ada

    tempat yang dianggap sakral, yaitu

    Punden desa tempat Dhanyang.

    Klana yang dipahami sebagai

    pengelana atau petualang, sehingga

    tempat asalnya disebut dengan istilah

    Sabarang, atau sering ditunjukan dengan

    Bantarangin. Bantarangin akan dipersepsi

    sebagai tempat di awang-awang (awang

    uwung yaitu tempat yang kosong)

    dimana angin menjadi penguasa yang

    dominan.

    Sabarang ditunjukan sebagai sebuah

    tempat yang berada di sebrang lautan,

    atau dibalik gunung yang tinggi. Tetapi

    hal ini tetap memiliki prototipe yang

    bersifat klasik, yaitu dibangun dari

  • 11

    pemahaman yang tumbuh dalam epos

    Ramayana, yaitu Prabu Dasamuka itu

    adalah raja yang bertahta di Alengka, yaitu

    sebuah negara yang ada di sebrang laut

    (besar kemungkinannya diseberang laut

    Jawa). Karena kata Alengka itu ada yang

    menginterpertasikan dengan negara

    Srilangka.

    Ruang dalam hal ini Jagad (dunia)

    ditumbuhkan pemahaman yang disebut

    dengan gelaran atau hamparan, Jagad fisik

    ini adalah jagad kasunyatan atau jagad gede

    (makrokosmos) (Sutarno, 2004: 38)..

    Dengan demikian orang tidak dapat

    memahami atau pengetahui arah, jika

    hamparan itu belum dinyatakan

    pancernya. Maka pemikiran keblat papat,

    limapanceradalah sebuah pemahaman

    tentang manusia itu hidup (Sunardi, 2004:

    45-52). Dengan demikian dunia yang

    bersifat sebagai hamparan itu adalah

    statis, sementara matahari dan bulan itu

    berputar seperti dua benda yang

    berkerjar-kejaran

    Karena pemahaman akan pancer itu,

    maka rumah yang diangap simbul

    kemapanan itu adalah akan menentukan

    arah kiblat, seperti Timur, Barat, Utara

    atau Selatan. Hal ini sesuai dengan

    kedudukan dari keberadaan tokoh-tokoh

    sentral dalam wayang topeng, yaitu:

    kedudukan Panji Asmarabangun (simbul

    warna prada emas) adalah bersifat pancer.

    Pancer ini juga meliputi dari keempat

    yang bersifat kesatuan, sementara kiblat

    yang dipersepsi dengan arah itu adalah

    kedudukan dari empat tokoh termasuk

    Panji (sebagai simbul), yaitu Panji

    Asmarabangun (warna Hijau), Candra-

    kirana (warna kuning), Gunungsari

    (warna putih), dan Klana (warna Merah).

    Maka dalam pertunjukan wayang

    topeng yang menjadi tempat penantian

    dari para pemain adalah rumah si

    empunya hajat, pertunjukan pada

    mulanya digelar di halaman rumah yang

    bersifat simbolis, yaitu dunia yang fana.

    Sementara penonton berada dalam

    kadewatan, yaitu menyaksikan bagaimana

    takdir manusia itu dilalui. Tiga bentuk

    orentasi ruang ini menunjukan adanya

    sifat manusia itu yang ingi menjadi

    kesatuan integral dengan sifat sidat

    kadewatan, hal ini tampak benar dari

  • 12

    adegan Pantrajaya. Semua wayang tidak

    bisa berbicara sendiri, tetapi Patrajaya

    merupakan salah satu wayang yang

    dapat berdialog dengan dalang dan juga

    dengan penonton. Ini salah satu bentuk

    adanya eksistensi adanya Waliullah, yaitu

    manusia yang dipilih memiliki kemam-

    puan berkomunikasi dengan Tuhan dan

    dengan manusia.

    Memperhatikan ruang komunikasi

    ini, menunjukan bahwa dalam pemaha-

    man simbolik, bahwa dalang itu berada

    pada posisi mencari atau diatas pusat,

    sehingga ada tiga ruang yang dapat

    diperhatikan secara berjenjang, yaitu

    dalang yang berada di atas (sebagai

    pengejawantahan dalang, simak lakon

    murwakala tentang Krisna sebagai dalang

    sejati). Maka dalang lebih ditunjukan

    pada sifat sebagai pengayom, dan dunia

    yang ditempati oleh para wayang yang

    sedang memainkan dirinya, yang

    berikutnya adalah ruang yang bersifat

    dinamis, yaitu musik (gamelan) (3)

    Kepercayaan terhadap waktu.Waktu adalah

    sangat penting dalam seni pertunjukan,

    maka peran waktu dipahami lebih

    memberikan sebuah makna yang bersifat

    simbolik dengan hadirnya instrumen

    gamelan, dengan pengertian teknis.

    Bahwa semua wayang itu telah memiliki

    waktu bermainnya sendiri, yaitu setiap

    tokoh memiliki gending pengiringnnya

    yang tidak dapat digunakan oleh tokoh

    lain, seperti: Gunungsari memiliki gending

    kaluh ireg, Klana memiliki gending Gagak

    Setro, dan Bapang memiliki gending

    Kalongan.

    Dengan demikian keberadaan tokoh

    dengan gerakannya adalah bersifat

    terikat, keterikatan ini yang secara

    spesifik membentuk karakteristik yang

    bersifat permanen. Dengan kata lain pola

    waktu ini adalah faktor yang bersifat

    mendukukkan, atau meletakan tokoh itu

    pada posisinya yang telah ditentukan.

    Waktu dipahami sebagai sangat

    (waktu yang tepat), naas (waktu apes/

    bahaya), atau kala (waktu dalam penger-

    tian siklus). Kala ini yang selalu

    menjadikan orang jawa demikian rumit

    menentukan sangat, karena naas atau

    waktu bahaya itu selalu berpindah seiring

    dengan perpindahan naga tahun. Untuk

  • 13

    itu posisi arah kiblat itu akan menentukan,

    orang akan dapat menghitung sangat dan

    naas jika orang itu berada pada satu

    tempat. Dengan demikian orang itu

    diharapkan berada pada posisi mapan

    pada pancernya.

    Berkaitan dengan keberadaan

    pertunjukan, maka gamelan itu adalah

    bersifat mengku atau mewadahi

    keberadaan tokoh-tokoh yang sedang

    memainkan takdirnya itu dalam

    kedudukannya masing-masing. Semen-

    tara pola waktu itu akan menunjukan

    juga kedudukan dalang yang selalu

    berkomunikasi dengan wayangnya,

    sementara wayang terus melakukan

    gerakan yang melakonkan dirinya,

    sedangkan musik terus mengalunkan

    lagu-lagu untuk mendukung keberadaan

    permainan itu hingga selesai (mengku).

    Hubungan Antar Tokoh Sentral

    Panji Asmarabangun yang menjadi

    tokoh utama (protagonis) dalam pertunju-

    kan wayang topeng, memiliki kedudukan

    inti sebagai sumber utama penge-

    mbangan tema dan permasalahan.

    Dengan demikian, keberadaannya lebih

    bersifat produktif dalam menjalin

    kaintan-kaitan dengan tokoh yang lain,

    baik yang protagonis dan juga antagonis.

    (1) Kedudukan Panji Asmarabangun dan

    Dewi Candrakirana.

    Kedudukan Panji Asmarabangun

    dan Dewi Candrakirana adalah bersifat

    simbolik dari keberadaan unsur laki-laki

    dan wanita, yang diartikan dengan

    pengertian Sajodo. Perjodohan ini

    yang akan memberikan pemahaman

    adanya pertemuan antara Bapa (ayah)

    dan Biyung (ibu). Pertemuan ini

    ditujukan untuk menghadirkan Roh Ilafi

    (roh idlafi) atau Mul Himah.

    Sebagai sebuah bentuk sajodo, dan

    telah, maka kedudukan dari Dewi Galuh

    Candrakirana terhadap Panji Asmaraba-

    ngun disebut Garwa, yaitu kata bentukan

    dari kata Sigarane nyawa. Hal ini

    memberikan pemahaman bahwa, laki-laki

    dan perempuan itu hakekatnnya adalah

    satu. Maka ini yang dimaksdu dengan

  • 14

    pemahaman sosial religius Jawa dengan

    istilah: Loro-loroninge a-Tunggal (dua

    menjadi satu). Pemahaman ini ada dalam

    konsep kekuasaan Jawa yang disebut

    dengan istilah Dewa Raja, yaitu

    pengertian Raja sebagai legitimasi dan

    sekaligus maniverstasi dari Dewa.

    Menyimak hal tersebut, maka Panji

    Asmarabangun yang dikemudian hari

    akan mendapatkan legitimasi untuk

    menggantikan ayahandanya, Panji Lembu

    Amilihur yang dipersepsi sebagai: Samiaji

    atau Darmakesuma raja dari kerajaan

    Amarta

    Maka Panji membutuhkan pengala-

    man, yaitu selalu ditakdirkan untuk

    berkenala menjadi rakyat jelata untuk

    mencari istrinya yang hilang/menghilang

    dari istana. Ini memiliki aspek sosio

    politis, yaitu seorang raja Jawa tidak lagi

    dipersepsi sebagai manivestasi dewa,

    tetapi juga merupakan maniverstasi dari

    rakyat. Sehingga Panji diperjalankan

    untuk dapat mendengar dan melihat

    kondisi rakyatnya.

    Jika disimak ini adalah satu bentuk

    pemikiran yang mulai bergeser dari sikap

    raja-raja Jawa pada secara realitas, maka

    sastra panji ini lebih terkenal sebagai

    sastra rakyat ketimbang sastra istna.

    Karena pola cerita yang dibangun lebih

    berorentasi pada rakyat, dan bersifat

    realistik terhadap kehidupan manusia.

    Hubungan perjodohan ini memang

    dibutuhkan lambang-lambang untuk

    memberikan pamor yang spektakuler,

    yaitu dengan membangun simbilisme

    dalam tokoh Panji Asmarabangun dan

    Galuh Candrakirana, yaitu ditunjukan

    sebagai sebuah siklus pergantian siang

    dan malam, yaitu Panji sebagai Matahari

    dan Candrakirana sebagai Bulan Pur-

    nama.

    Bulan Purnama merupakan saat

    yang sangat magis dan sekaligus religius,

    karena dalam kondisi itu bumi

    mengalami perubahan yang akan dialami

    manusia dan binatang, yaitu salah

    satunya adalah naiknya lebido, sehingga

    menjadi masa kawin dari berberapa

    satwa, termasuk kucing.

  • 15

    Kedudukan Panji Asmarabangun dan

    Gunungsari.

    Kedudukan Panji Asmarabangun

    dan Gunungsari merupakan pertemuan

    antara laki-laki dan laki-laki dengan

    hakekat yang berbeda, hal ini seperti

    pertemuan antara Harjuna dan Semar.

    Semar adalah pengejawantahan dari

    Dewa Manikmaya, sehingga semar ini

    bersifat maya atau semu, Budha Manangg

    Munung atau Jejanggan Asmara Santa.

    Semar ditunjukan dari perujudan sebagai

    manusia yang sempurna, yaitu tidak

    memiliki jenis kelamin yang jelas (laki-

    laki atau wanita). Ini memiliki kesemaan

    konsep dengan Gunungsari, yang

    disamakan dengan tokoh Samba putra

    Krisna. Samba sebagai sosok yang

    memiliki penampilan kewanitaan

    (feminin) adalah sebuah kesatuan

    hubungan yang abadi tanpa ada

    perbedaan, sehingga tidak terjadi

    pertentaan atau konflik dari keduannya.

    Sehingga kehadirannya sebagaimana

    kondosi Ramawijaya dan lesemana, yaitu

    loro-loroning a-tunggal yang bersifat

    positif (tanpa konflik).

    (2) Kedudukan Dewi Candrkirana dan

    Prabu Klana.

    Hubungan Dewi Candrakirana dan

    Prabu Klana juga tampak ditumbuhkan

    dari epos Ramayana, yaitu Dewi

    Candrakirana yang tampak dibangun

    dari kondisi sebagai Sinta, titisan dari

    Betari Sri (Siwa/Betaraguru), yaitu lebih

    ditunjukan sebagai lambang kesuburan.

    Ini akan mendukung konsep tentang

    maesan yang diartikan sebagai perujudan

    Yani (lambang Siwa) dan tanah sebagai

    Lingganya (Sri, lambang kesuburan).

    Sementara penyamaan panji sebagai

    Arjuna dan Sumbadra hanya menunjukan

    hubungan figur yang edial.

    Bahwa kedudukan tokoh sentral

    memiliki kaitan yang erat, yaitu

    menduduki rentang ruang dan waktu,

    bahkan menempati posisi dalam konsepsi

    tata nilai. Sehingga keberadaan empat

    tokoh sentral dalam kosmologi Jawa

    adalah sebuah dua bagian yang tidak

    dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu

    nilai positif dan nilai negatif yang dibawa

    oleh manusia dari lahir hingga meninggal

    dunia.

  • 16

    Sehingga kontradikfif dalam

    kehidupan itu adalah sebuah proses

    untuk mendewasakan akan pemahaman

    terhadap kenyataan-kenyataan yang

    bersifat matriel maupun yang bersifat

    kerohanian.

    Simpulan

    Kehadiran wayang topeng dalam

    kontek ritual adalah sebuah sarana untuk

    menghadirkan roh, sehingga mereka

    dapat dihormati, dan sekaligus

    diharapkan dapat memberikan perlin-

    dungan. Sisi sosial religius kehadiran

    empat tokoh sentral itu adalah sebagai

    suri tauladan kehidupan berumah

    tangga,karena kehadiran keluarga

    merupakan anugrah Tuhan. Tuhan telah

    mempertemukan pasangan, sehingga

    tumbuh pemahaman mendalam tentang

    Jodoh. Dengan kehadiran jodoh ini

    maka dalam pengertian religius maka

    disebut dengan adanya konsep Loro-

    loroning a-tunggal. Ini merupakan bentuk

    paradoksal yang terjadi dalam

    kehidupan, yaitu semua yang ada di

    dunia selalu menunjukan kesepasangan,

    yaitu siangmalam, cantik-jelek, baik-

    jahat, hitam-putih, dan lain sebagainya.

    Sehingga makna ritual dalam kehadiran

    tokoh sentral tersebut pertemuan adanya

    kesejodohan (kesepasangan). Apakah

    jodoh baik, jahat atau baik dengan baik.

    Sebagai seni ritual wayang topeng

    hadir dengan muatan nilai religi tentang

    ajaran keyakinan adanya Tuhan YME.

    Ajaran ini setidaknya ditumbuhkan dari

    tiga unsur religi, yaitu: (1) Religi kuna,

    yaitu percaya adanya roh (Animistis), (2)

    Religi Hinduistis, yaitu tentang inkarnasi

    dan juga manifestasi Dewa dalam diri

    Manusia, dan (3) Religi Islam, yaitu pada

    pemahaman tentang makna hidup dan

    sifat dalam diri manusia.

    Daftar Rujukan

    Geertz, Clifford. 1992. The Religion of

    Java. Terj. Aswab Mahasin.[catakan ke 3]

    Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat

    Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

  • 17

    Geertz,dalam Colletta, Nat J. dan

    Umar, 1987

    Hidajat, Robby. 2004. Rumah

    Sebagai Model Struktur Wayang Topeng

    Malang Surakarta: Jurnal Pedelangan

    STSI- Surakarta: Lakon Vol. I. No. 2

    desember 2005.

    Hidajat, Robby. 2004. Wayang

    Topeng Malang: Kajian Strukturalisme

    Simbolis Wayang Topeng Malang di Desa

    Kedungmonggo Malang Thesis S-2

    Pascasarjana STSI Surakarta [tidak

    dipublikasikan].

    Hidajat, Robby. 2005. Membaca

    Rumah Melalui Seni Pertunjukan.

    Makalah disajikan pada seminar tingkat

    jurusan Seni & Desain, tgl 28 Februari

    2005.

    Nurgiyantoro, Burhan. 2002.

    [cetakan ke 4], Teori Pengkajian Fiksi.

    Yogyakarta: Gadjah Mada University

    Press.

    Sunardi, 2004.Paras Muka Tokoh

    Wayang dalam Perspektif Semiotika.

    Surakarta: Jurnal Pedelangan STSI

    Surakrta. Lakon Vol. I. No. 2 desember

    2005.

    Sunaryana, 2002. Jajang. Wayang

    Golek Sunda; kajian Estetik rupa Tokoh Golek.

    Bandung: Kiblat,2002.

    Sutarno, 2004. Mistikisme dalam

    Serat Bimasuci Surakarta: Jurnal

    Pedelangan STSI Surakarta : Lakon Vol. I.

    No. 2 desember 2005.

    Zoetmulder, P.J. 1983 [cetakan ke 4].

    Manunggaling Kawula Gusti. terj. Dick

    Hartoko.Jakarta: Gramedia Pustaka

    Utama.

  • 18

    DIYAT SARIREDJO: SEBUAH BIOGRAFI

    Aris Setiawan

    Abstrak

    Posisi karya seni (karawitan) tidak dapat dilepaskan dari peran dan keberadaan pelaku yang

    menghadirkannya. Dengan demikian, pelaku memiliki kedudukan penting dalam memberi warna,

    karakter serta denyut hidup budaya karawitan. Diyat Sariredjo, adalah maestro yang menorehkan catatan

    penting bagi perkembangan dunia karawitan Jawatimuran. Oleh karena itu, dengan mengungkap biografi

    sosoknya berarti sebuah usaha guna membongkar cakrawala ilmu pengetahuan yang bersumber dari jejak

    perjalanan dan kisah pengalaman hidupnya dalam memperjuangkan karawitan Jawatimuran. Diyat

    adalah salah satu empu karawitan yang memiliki jasa besar dalam memberi fondasi keilmuan karawitan

    Jawatimuran di Jawa Timur.

    Kata kunci: Karawitan, Jawatimuran, Diyat Sariredjo

    Abstract

    Position works of art (karawitan) can not be separated from the role and presence of actors

    who bring it. Thus, the musician has an important position in the color, character and life of

    musical culture. Diyat Sariredjo, is the maestro who has a record of important for the

    development of the musical world Jawatimuran. Therefore, to write his biography reveals the

    means by which the horizon of knowledge and experience derived from the story of his life in

    preserving musical Jawatimuran. Diyat is one of the master musicians who have great influence

    in giving the foundation of musical knowledge Jawatimuran in East Java.

    Key Words: Karawitan, Jawatimuran, Diyat Sariredjo

    Pengantar

    Karya-karya karawitan tidaklah

    hadir secara tiba-tiba atau bahkan

    superficial, namun didasarkan atas

    pergulatan kreativitas yang panjang.

    Kebanyakan karya-karya (gending) yang

    monumental itu tidak terdeksi siapa

    penciptanya. Budaya anomin berimpli-

    kaksi karya karawitan menjadi milik

  • 19

    bersama, siapapun berhak memakai dan

    merubah. Uniknya, para pencipta

    gending tidak protes atau marah

    karyanya dijiplak, dipakai bahkan

    dirubah. Bentuk jiwa besar komposer

    karawitan yang demikian menyebabkan

    namanya tidak mampu terbaca dan

    dikenang publik dengan lebih luas. Ia

    justru tertutup dengan kebesaran nama

    hasil karyanya yang monumental.

    Padahal, karya karawitan dan musik

    tradisi pada umumnya tidak bisa

    dilepaskan dari subjek utama yakni

    pencipta dan pelaku.

    Begitupun pada karawitan

    Jawatimuran, hingga detik ini masih

    banyak yang tidak diketahui dengan

    gamblang siapa saja komposer, musisi

    dan maestro unggulan yang

    mengitarinya. Otomatis, dalam konteks

    ini membahas sosok maestro karawitan

    Jawatimuran menjadi penting untuk

    dihadirkan. Hal itu tidak semata sebagai

    ungkapan deskriptif atau informatif

    semata, namun sebuah usaha untuk

    memaknai serta mengkontemplasikan

    kembali atas jasa dan sumbangan

    besarnya bagi denyut hidup karawitan

    Jawatimuran. Di sisi lain, menghadirkan

    biografi komposer sekaligus maestro

    karawitan Jawatimuran menjadi palang

    pintu utama yang diharapkan mampu

    memberikan inspirasi bagi generasi masa

    kini untuk berkarya lebih baik dengan

    belajar dari ulasan jejak sejarah perjalanan

    para maestro tadi. Untuk itu, pada

    pembahasan kali ini sengaja penulis

    mengangkat biografi Diyat Sariredjo,

    seorang empu, maestro, komponis, musisi

    unggul karawitan Jawatimuran. Adapun

    detail-detail perjalanan Diyat Sariredjo di

    dunia karawitan Jawatimuran dapat

    dijabarkan sebagai berikut.

    A. Diyat, Musisi Akar Rumput

    Diyat Sariredjo lahir di Desa

    Semengko Kecamatan Gresik pada

    tanggal 30 Juni 1926 dari pasangan Idris

    dan Nasikah. Ia adalah anak ke lima dari

    delapan bersaudara. Idris adalah salah

    satu dalang wayang kulit gaya

  • 20

    Jawatimuran yang cukup terkenal pada

    masanya dan seangkatan dengan Ki

    Gunarso dan Ki Durmo Bagong, sedang-

    kan ibunya adalah seorang ibu rumah

    tangga (Kris Mariyono, 2003:40). Idris

    lebih banyak dikenal sebagai dalang

    ruwat dengan julukan Ki Suryo. Julukan

    Suryo didapat dari masyarakat setem-

    pat yang menganggapnya sebagai

    seorang penerang atau matahari (surya)

    yang dapat memberi pencerahan bagi

    orang yang sedang dalam kondisi sukerta

    (kotor).1 Lambat laun dan hingga saat ini,

    masyarakat Jawa Timur lebih kenal

    dengan menyebutnya sebagai Ki Suryo

    Idris. Kondisi keluarga terutama dari

    sang ayah yang terkonstruksi dalam

    lingkungan seni tersebut, mengakibatkan

    Diyat beserta saudaranya yang lain sudah

    sejak dini bersentuhan dengan dunia

    wayang kulit dan terlebih dunia kara-

    witan.

    Namun demikian, dari ketujuh sau-

    daranya hanya beberapa yang tertarik

    1 Wawancara dengan Ki Suleman di Gempol

    Pasuruan, tanggal 22 Februari 2010.

    pada dunia seni wayang serta karawitan,

    dan Diyat Sariredjo termasuk salah satu

    di antaranya. Kakaknya yang tertua

    adalah Suwadi juga merupakan seorang

    dalang wayang kulit Jawatimuran, dan

    adiknya yang merupakan anak ke enam

    (tepat di bawah Diyat) adalah seorang

    pengendang dan juga berprofesi sebagai

    dalang layaknya sang ayah (Idris) dan

    kakaknya (Suwadi). Jika kedua sauda-

    ranya tersebut memiliki intensitas

    ketertarikan yang cukup tinggi pada

    dunia seni pewayangan dengan menjadi

    seorang dalang, lain halnya dengan Diyat

    Sariredjo.

    Diyat Sariredjo (Photo: Aris)

  • 21

    Diyat merupakan satu-satunya anak

    yang justru tidak tertarik menjadi seorang

    dalang, ia justru lebih memiliki hasrat

    menjadi seorang pengrawit dan pengen-

    dang. Bakat-bakat seni Diyat sebagai

    seorang pengendang cukup nampak

    ketika usianya yang ke tujuh tahun.

    Menurut Sukasri,2 Diyat kala itu sering

    memainkan ricikan kendang dengan pola

    sesukanya. Bahkan kedua tanggannyapun

    masih belum mampu mencapai dua sisi

    membran kendang Jawatimuran yang

    tergolong besar dan panjang (baca:

    kendang cekdongan). Karena badannya

    yang masih terlalu kecil, ibunya

    membuatkan kursi kecil agak tinggi yang

    dilapisi bantal khusus untuk Diyat

    Sariredjo dalam memainkan ricikan

    kendangnya. Tak jarang dalam melihat

    prilaku Diyat memukul kendang sambil

    duduk di kursi tersebut membuat banyak

    orang tertawa karena unik dan lucu.

    Lambat laun kemampuannya me-

    mainkan ricikan kendang mulai bagus dan

    2 Wawancara Sukasri di Medaeng Surabaya

    (adik kandung Diyat Sariredjo), tanggal 17 Februari

    2010.

    terampil. Ia tidak pernah belajar langsung

    pada si pemain kendang. Kemampu-

    annya dalam berolah kendang secara

    terampil didapatnya dari hasil

    mengamati, mendengarkan kemudian

    menirukan. Dari proses belajarnya yang

    demikian sebenarnya kemampuannya

    tidak hanya sekedar memainkan ricikan

    kendang semata, namun juga istrumen

    garap yang lainnya seperti rabab, siter

    dan bonang. Pada usianya yang ke 15

    tahun, Diyat secara aklamasi diakui oleh

    sang ayah sebagai seorang pengendang

    yang handal. Hal ini diawali dengan

    memberikannya kepercayaan untuk

    ngendangi ketika ayahnya melakukan

    pagelaran wayang.

    Proses transmisi kemampuan musi-

    kal yang dimiliki oleh Diyat Sariredjo

    tidak didapat melalui pendidikan formal.

    Bahkan Diyat tidak pernah mengenyam

    bangku pendidikan formal. Hal tersebut

    disebabkan oleh kondisi ekonomi

    keluarga yang tidak mendukung. Walau-

    pun menjadi dalang yang cukup terkenal

    di Jawa Timur, namun perekonomian

  • 22

    Suryo Idris tergolong pas-pasan dan

    hanya cukup untuk makan sehari-hari.

    Suryo Idris juga menjadi buruh tani

    dengan mengajak anak-anaknya yang

    masih remaja (termasuk Diyat)

    menggarap lahan pertanian seorang

    juragan sawah yang ketika panen

    hasilnya dibagi rata dengan sang pemilik

    sawah tersebut. Diyat adalah salah satu

    anak yang paling rajin membantu Suryo

    Idris dalam menggarap sawah. Selain

    bertani, Diyat sehari-harinya disibukkan

    dengan bermain karawitan di panggung

    pertunjukan ayahnya. Intensitasnya yang

    tinggi dalam mendampingi ayahnya

    mendalang, semakin mengasah kemam-

    puan musikal yang dimiliki oleh Diyat

    Sariredjo hingga menjadiknnya sebagai

    seorang pengrawit handal di kemudian

    hari.

    Seperti yang diutarakan oleh Waridi

    bahwa kebiasaan dengan mengikuti

    pentas yang dilakukan oleh ayahnya,

    sesungguhnya merupakan proses belajar

    yang efisien (Waridi, 2001: 31).

    Kegemaran anak seperti Diyat Sariredjo

    yang sering berbaur dengan pengrawit

    adalah salah satu stimulan awal dalam

    merangsang naluri musikalnya. Sentu-

    han-sentuhan musikal seperti irama,

    cengkok, wiled dan lain sebagainya secara

    otomatis tanpa disadari merupakan

    asupan yang setiap saat mengalir dalam

    otak si anak. Hal ini senada dengan apa

    yang diutarakan oleh Djohan, bahwa

    seseorang yang diberi stimulan berwujud

    asupan musikal secara terus-menerus,

    maka lambat laun orang tersebut akan

    menjadi hafal dan pada akhirnya dapat

    melagukan persis dengan apa yang

    didengarnya (Djohan, 2005: 36).

    Rahayu Supanggah menyatakan

    bahwa kepekaan terhadap unsur musikal

    dalam karawitan seperti cengkok, wiled

    dan irama dan lain sebagainya

    merupakan bekal dasar dalam belajar

    karawitan atau gamelan dengan baik

    (Supanggah, 1992:22). Dalam determinasi

    proses belajar Diyat, apa yang diung-

    kapkan Supanggah tersebut terdapat

    dalam dirinya. Diyat sebelum dapat

    membunyikan ricikan gamelan dengan

  • 23

    terampil ternyata disokong dengan bekal

    berupa asupan pemahaman musikal yang

    intens. Dengan demikian, ketika ia

    bermain instrumen musik yang

    dikehendakinya tentu sudah memiliki

    bekal berupa contoh-contoh kongkrit

    yang tersimpan secara akumulatif dalam

    otaknya.

    Menurut Suleman, Diyat merupakan

    salah satu pengendang yang memiliki

    repertoar musikal yang bervariatif. Ia

    dapat menirukan cengkok, pola, ukel serta

    wiled dari seorang pengendang lain

    dengan kadar kemiripan yang tinggi. Hal

    ini terjadi terutama pada pengendang

    wayang Jawatimuran. Namun demikian

    tambah Suleman, Diyat tidak menginduk

    pada satu jenis kendangan seseorang. Di

    balik keragaman musikal yang

    dimilikinya, ia dapat menentukan sikap

    dengan menempatkan polanya yang

    berbeda dari pola ataupun cengkok para

    pengendang sebelumnya. Oleh karena itu,

    yang muncul bukan lagi cengkok khas

    siapa pengendang yang ditirunya namun

    menempatkan namanya sendiri dengan

    cengkok kendangan yang berbeda dan

    khas Diyat.

    Kembali pada cara belajar Diyat

    yang otodidak. Cara belajar yang demi-

    kian merupakan metode transfer

    kemampuan (transfer of knowledge) yang

    paling efektif. Hal ini senada dengan apa

    yang diutarakan oleh Gustaf Jung sebagai

    berikut:

    Cara belajar melalui contoh meru-

    pakan pendidikan yang tertua, dan paling

    efektif. Pandangan ini berdasarkan atas

    kenyataan bahwa, anak sedikit banyak

    secara psikologis indentik dengan orang

    tua dan lingkungannya. Karena dalam

    ranah tak kesadaran kolektif pada diri

    anak terdapat unsur-unsur tak kesadaran

    kolektif yang dimiliki orang tua dan

    lingkungannya (Jung dalam Sumanto,

    1990:23).

    Apabila berpijak dari pandangan

    Jung di atas, dapat dilihat bahwa sebe-

    narnya kemampuan Diyat bermain

    gamelan terkonstelasi dari dua faktor

    utama, yakni pribadi dan lingkungan.

    Faktor pribadi merupakan endapan

  • 24

    akumulasi kemampuan Diyat yang

    didapat dalam satu rumpun garis

    genetika dengan sang ayah. Matt Jarvis

    dalam bukunya Teori-Teori Psikologi

    menjelaskan bahwa sesungguhnya seo-

    rang anak memiliki satu kemampuan

    yang sama dengan sang ayah. Hal ini

    dalam ruang kajian psiklogis biasa

    disebut sebagai garis genetika (Jarvis,

    2007: 206-208). Konsep genetika yang

    demikian sudah tertanam dalam (benak)

    budaya masyarakat Jawa, khususnya

    dalam ruang lingkup kesenimanan

    seseorang. Seperti yang sudah tersebut di

    atas, apabila seorang anak pandai

    memainkan ricikan karawitan tentu

    pertanyaan pertama yang biasanya

    diajukan adalah apakah ayahmu juga

    seorang seniman? Dengan mengajukan

    pertanyaan yang demikian secara tidak

    langsung mereka sudah berfikir dan

    mengaplikasikan tentang konsep gene-

    tika.

    Namun demikian banyak anak

    seorang seniman yang tidak memiliki

    kemampuan seperti sang ayah. Dalam

    konteks inilah faktor kedua tersebut

    menjadi penting, yakni faktor lingkungan.

    Agus Sujanto dalam bukunya Psikologi

    Kepribadian menjelaskan bahwa kemam-

    puan terpendam dalam diri seseorang

    yang memiliki satu garis genetika dengan

    sang ayah tidak akan muncul, jika tidak

    disokong dengan rangsangan atau

    stimulan dari faktor yang kedua yakni

    lingkungan. Faktor lingkungan dalam

    konteks ini menjadi penting untuk

    menstimuli bakat atau kemampuan

    terpendam dalam diri seseorang untuk

    muncul ke permukaan (Sujanto, 1982:18-

    19). Apabila konsep ini ditekankan pada

    diri Diyat, lingkungan yang mem-

    bentuknya menjadi pribadi yang terampil

    memainkan ricikan gamelan adalah

    kebiasaannya mengikuti pentas sang

    ayah, Suryo Idris. Dengan kata lain

    lingkungan pada konteks diri Diyat

    adalah pementasan wayang kulit oleh

    ayahnya.

    Proses belajar yang Diyat lakukan

    bukannya tanpa didasari atas perjuangan

    yang panjang. Sebagai seorang pemuda

  • 25

    desa yang kental dengan budaya Jawa,

    Diyat juga menjalani laku prihatin dalam

    mewujudkan cita-citanya menjadi pe-

    ngendang ataupun pengrawit yang

    handal. Laku prihatin dalam konteks

    budaya Jawa dapat dipahami sebagai

    upaya menyiksa diri agar dapat bersatu

    dengan sang pencipta dan demi

    tercapainya cita-cita yang diinginkan.

    Laku prihatin yang dilakukan Diyat

    Sariredjo di antaranya adalah pasa mutih

    yakni hanya makan nasi putih pada

    waktu-waktu tertentu, puasa yang hanya

    makan ubi-ubian (pala pendem), puasa

    senin kamis, ngeli (menghayutnya diri

    mengikuti aliran air di sungai) dan lain

    sebagainya. Laku prihatin seperti tersebut

    di atas sudah biasa dijalani oleh Diyat

    Sariredjo. Terlebih ia merupakan anak

    desa yang sudah terbiasa hidup

    kekurangan, sehingga ketika menjalani

    laku prihatin tersebut berlangsung

    dengan tanpa halangan.

    Selain itu Diyat juga rajin mengikuti

    dan melihat berbagai seni pertunjukan

    yang terdapat musik karawitan di

    dalamnya. Semua ditempuh dengan jalan

    kaki (mlaku nyeker: Jawa) dan terkadang

    sebentar naik gerobak sapi milik warga

    (numpang), walaupun terkadang pertu-

    njukan tersebut relatif jauh jaraknya.

    Bahkan tak jarang pula ia harus rela

    berjalan kaki sejauh 20 kilo meteran

    hanya untuk melihat tayub dan ludruk.

    Di sisi lain hingga ia mahir memainkan

    hampir semua ricikan karawitan, ternyata

    hal tersebut tidak disokong dengan

    kemampuan Diyat terkait baca dan tulis.

    Sukasri mengakui bahwa akibat tidak

    bersekolah, Diyat hingga usia 15 tahun

    belum dapat membaca dan menulis

    dengan baik. Namun demikian, akibat

    dari pergaulannya yang memiliki banyak

    teman dan sahabat seperti pengrawit,

    pemain ludruk, wayang kulit dan tayub,

    Diyat pada akhirnya dapat membaca dan

    menulis. Bagi Sukasri hal tersebut terjadi

    ketika usia kakaknya memasuki 20 tahun.

    Kebisaanya menulis dan membaca itulah

    yang kemudian membuat Diyat Sariredjo

    gemar melakukan pencatatan ketika ia

    menyaksikan pertunjukan karawitan.

  • 26

    Catatan-catatan tersebut adalah berupa

    notasi-notasi karawitan. Nanik dan Sri

    Suyamsi yang merupakan putri Diyat

    Sariredjo,3 menuturkan bahwa ayahnya

    sebenarnya gemar menulis terutama

    terkait notasi-notasi karawitan Jawa-

    timuran. Hal tersebut berlangsung ketika

    ayah mereka masih remaja. Di kala

    mereka kecil (Nanik dan Sri), banyak

    sekali buku-buku hasil pencatatan yang

    dilakukan oleh ayahnya. Sayang sekali

    buku-buku tersebut hanyut ketika di

    rumahnya terjadi banjir sekitar tahun

    1947-an. Ada beberapa di antaranya yang

    tersisa namun sudah habis dimakan

    rayap. Beruntung penulis (peneliti)

    menemukan beberapa catatan penting

    berupa notasi gending-gending Jawa-

    timuran lama yang sekarang sudah jarang

    atau bahkan tidak dibunyikan lagi (Lihat

    Lampiran).

    3 Wawancara 10 Februari 2010.

    B. Riwayat Pekerjaan

    Awal karir kepengrawitan Diyat

    adalah pada tahun 1939. Kala itu

    pemerintah Belanda menyelenggarakan

    lomba kendangan Tari Remo se Kabu-

    paten Surabaya. Pesertanya berasal dari

    berbagai daerah di Jawa Timur seperti

    Surabaya, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo,

    Gresik dan Lamongan. Kebanyakan dari

    peserta yang ada adalah pengrawit lu-

    druk di daerahnya masing-masing. Tiap-

    tiap peserta berhak membawa penari

    remonya agar perpaduan antara kendang

    dan tari yang sebelumnya sudah terjadi

    kesepakatan-kesepakatan (kencan) dapat

    berjalan dengan baik (Widodo, 1998:21).

    Dalam konteks inilah letak keunikan

    budaya karawitan dan seni di Jawa Timur

    umumnya. Walaupun sama-sama memi-

    liki bentuk dan ekspresi seni yang sama

    semisal Tari Remo, namun tiap daerah

    memiliki kekhasan dan logat yang

    berbeda dengan daerah lain. Tidak hanya

    dalam konteks tari saja, namun kara-

    witannya pun demikian.

  • 27

    Dengan demikian menjadi wajar

    kiranya apabila dalam perlombaan

    tersebut para pengendang dapat dan

    diperbolehkan membawa penari remonya

    masing-masing. Beberapa hal yang belum

    dapat terjawab ketika penelitian ini

    berlangsung terkait dengan kenapa

    pemerintah Belanda mengadakan lomba

    pengendang remo bukannya lomba tari

    atau apapun? Sementara pertanyaan yang

    lebih luas lagi, apakah perhatian peme-

    rintah Belanda cukup intens pada dunia

    seni kala itu, sehingga menyelenggarakan

    acara yang bertajuk seni? Ataukah acara

    berupa lomba tersebut memiliki maksud

    dan tujuan lain? Kiranya untuk menjawab

    beberapa pertanyaan tersebut dibutuhkan

    satu ruang penelitian secara historis yang

    sifatnya khusus. Sementara itu dalam

    konteks ini pertanyaan-pertanyaan di atas

    mencoba dikesampingkan terlebih

    dahulu, karena basis utama penelitian

    terletak pada diri Diyat Sariredjo, sehing-

    ga ulasan berikutnya hanya akan lebih

    difokuskan dari padanya.

    Dalam perlombaan tersebut kurang

    lebih diikuti oleh seratusan peserta. Diyat

    kala itu ikut membawa penari remo yang

    sudah sejak awal dikenalnya yakni

    Munali Fatah dari Ludruk Kramat

    Jenggu. Oleh karena dibesarkan di ling-

    kungan seni dan sejak dini sudah berlatih

    memainkan ricikan kendang, Diyat

    mampu didudukkan sejajar dengan para

    pengrawit profesional lainnya. Bahkan

    perlombaan tersebut pada akhirnya

    dimenangkan oleh Diyat Sariredjo. Pada

    konteks ini satu hal yang patut dicatat

    adalah, Diyat ternyata memiliki virto-

    usitas tinggi dan mampu melebihi para

    empu karawitan senior maupun yuni-

    ornya.

    Kabar kemenangan Diyat Sariredjo

    dalam perlombaan tersebut segera

    menyebar hampir ke semua pelosok

    daerah di Jawa Timur, terlebih daerah

    yang kuat dengan basis karawitannya.

    Tak heran namanya begitu mahsyur dan

    terkenal kala itu. Hal ini disebabkan

    karena sangat jarang pada masa-masa

    pemerintahan Belanda yang notabene

  • 28

    sebagai penjajah mengadakan pesta seni

    untuk kaum pribumi. Dengan demikian

    ketika diadakan perlombaan seperti

    tersebut di atas, gaung dan area pancar-

    nya begitu luas hingga ke daerah-daerah.

    Berawal dari titik inilah yang kemudian

    karir keprofesionalan Diyat dimulai

    dengan membentuk kelompok ludruk di

    Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya

    bersama dengan seniman ludruk dan

    penari remo terkenal, Munali Fatah.

    Sebagai Pegawai RRI Surabaya

    Diyat Sariredjo bertemu dengan

    salah seorang penari remo sekaligus

    pemain ludruk yang handal yakni

    Munali Fatah pada dekade tahun 1940-

    an. Mereka sering bertemu dan bertatap

    muka ketika sama-sama menjalani karir

    sebagai seorang seniman tradisi4 yang

    4 Tradisi merupakan pewarisan atau penerus

    norma-norma, adat istiadat dan sebagainya, bukanlah

    sesuatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru

    dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia,

    manusialah yang membuat tradisi itu menerima,

    menolak, dan merubahnya, sehingga manusia selalu

    memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan

    yang sudah ada (Van Peursen, C.A., 1988:11).

    berpentas dari satu rumah ke rumah

    yang lain. Lebih dari itu, Munali Fatah

    juga akrab dengan ayah Diyat Sariredjo,

    Suryo Idris, karena sering pula me-

    ngikuti pentas wayangnya sebagai penari

    remo sebelum pergelaran wayang kulit

    dimulai.

    Kebetulan, kala itu salah seorang pe-

    gawai di RRI Surabaya5 menawari Diyat

    untuk membentuk grup ludruk dengan

    payung RRI Surabaya. Tanpa berfikir

    panjang, Diyat langsung menyetujui

    akan hal tersebut. Tepat pada tahun 1947

    grup ludruk yang digawangi oleh Diyat

    terbentuk dengan mengangkat RRI

    Surabaya sebagai nama dan payung

    ludruknya.( Widodo, 1998). Kendatipun

    demikian, ludruk RRI Surabaya waktu

    itu belum menunjukkan sebuah kelom-

    pok ludruk yang diperhitungkan. Baru

    5 Informasi ini beredar luas di kalangan seniman

    tradisi karawitan Jawa Timur. Namun hampir semua

    narasumber yang diwawancarai tidak dapat

    menyebutkan nama dari pegawai RRI tersebut karena

    sudah berlangsung sangat lama sehingga lupa. Selain

    itu orang yang bersangkutan dalam komunitas RRI

    Surabaya waktu itu tidak memiliki jabatan khusus

    sehingga nama dan alamatnya tidak terdokumantasi

    dan tidak dapat dilacak saat penelitian ini

    diberlangsungkan.

  • 29

    setahun kemudian nama ludruk RRI

    Surabaya banyak dikenal oleh masya-

    rakat luas karena disiarkan secara

    langsung dan reguler oleh radio (RRI)

    terkait.

    Sezaman dengan terbentuknya lu-

    druk RRI Surabaya, di lembaga tersebut

    juga dibentuk paguyuban karawitan

    yang dipimpin langsung oleh Diyat

    Sariredjo. Adapun nama kelompok

    karawitan tersebut juga mengambil kata

    RRI Surabaya sebagai nama grupnya,

    kelompok karawitan RRI Surabaya.

    Kelompok karawitan ini bertugas meny-

    iarkan gending-gending Jawa-timuran.

    Diyat ditunjuk sebagai ketua paguyuban

    karena dianggap sebagai salah seorang

    yang mumpuni dalam malagukan

    gending-gending Jawatimu-ran serta

    pemain segala ricikan gamelan yang

    handal. Bahkan menurut Amuji6

    sebenarnya kala itu banyak empu kara-

    witan lain yang lebih senior darinya

    seperti pak Pono misalnya, namun

    6 Wawancara tanggal 9 dan 16 Februari 2010 di

    RRI Surabaya

    karena pertimbangan kemampuan dan

    ketrampilan yang dimiliki Diyat, akhir-

    nya semua sepakat menjadikan Diyat

    sebagai ketua.

    Pertimbangan lain, sebelum memben-

    tuk kelompok karawitan di RRI Sura-

    baya, Diyat juga pernah terlibat da-lam

    salah satu siaran karawitan di radio

    CIRVO (Chines Inheemse Radio Luisteraars)

    di Pasar Turi Surabaya.7 Radio tersebut

    sebenarnya berada dalam naungan

    masyarakat Tiong Hoa di Surabaya na-

    mun operasinya secara langsung diken-

    dalikan oleh pemerintah Belanda.

    Selain berkecimpung di dunia siaran

    RRI Surabaya, Diyat juga aktif mengikuti

    kegiatan seni lain di luar komunitas

    kelompok RRI Surabaya. Diyat masih

    rajin mengikuti pentas wayang oleh

    dalang-dalang Jawatimuran serta aktif

    pula dalam mengukuti perkembangan

    7 CIRVO (atau bagi orang Jawa dan Surabaya

    khususnya lebih dikenal dengan nama SERPO) juga

    konon katanya merupakan cikal bakal atau embrio

    lahirnya RRI Surabaya yang sekarang bertempat di

    Jalan Pemuda Surabaya. (Kris Mariyono,2003). Ketika

    Indonesia merdeka pada tahun 1945, CIRVO mulai

    dialihkan menjadi radio pemerintah bernama RRI

    Surabaya (Widodo,1998).

  • 30

    seni tayub yang mendudukkannya

    sebagai seorang pengendang handal.

    Bahkan dengan tegas Ki Sulemen

    menyatakan bahwa ketika Diyat

    Sariredjo memainkan kendang dalam

    pertunjukan tayub maka gaungnya akan

    banyak didengar oleh masyarakat luas

    dan kemudian mereka akan berbondong-

    bondong menyaksikan pertunjukan

    tayub tersebut. Terlebih nama Diyat

    sudah dikenal luas sebagai efek dari

    keaktifannya mengikuti siaran Radio RRI

    Surabaya sebagai pengendang dan

    pimpinan rombongan.

    Selama masa-masa itu, Diyat banyak

    diagung-agungkan oleh masyarakat

    karawitan Jawatimuran. Ketika siaran di

    RRI diberlangsungkan banyak masya-

    rakat dan beberapa seniman yang secara

    langsung datang menyaksikan Diyat

    ngendang ataupun ngrebab pada pertunj-

    ukan klenengan ataupun ludruk. Waktu

    itu frekuensi siarnya dibagi menjadi tiga

    segmen. Pertama terdapat acara yang

    bernama Bonangan Pagi yakni siaran

    gending-gending bonangan Jawatimuran

    yang diberlangsungkan pada setiap hari

    Selasa dan Kamis jam enam sampai jam

    tujuh pagi. Berikutnya adalah siaran

    Ludruk yang diberlang-sungkan setiap

    hari Jumat jam 10 malam sampai jam 12

    malam. Kemudian terakhir adalah acara

    yang bertajuk Manding Jamuran

    (Manasuka Gending-gending Jawatimuran)

    yakni siaran karawitan yang khusus

    menyajikan gending-gening

    Jawatimuran, jadual siarnya setiap hari

    Rabu jam 10 hingga jam 12 malam.

    Ki Sulemen yang merupakan

    seorang dalang terkenal di Jawa Timur,

    kala itu sering datang ke RRI Surabaya

    untuk mendengarkan gending-gending

    Jawatimuran pada acara Manding

    Jamuran. Lebih lanjut Suleman menu-

    turkan bahwa dirinya sangat menyukai

    ketika Diyat Sariredjo memainkan ricikan

    kendang karena bunyi yang dihasilkan

    dari tepakan tangannya sangat jelas,

    pandai membawa irama dan banyak

    mengetahui tentang seluk beluk gending.

    Apalagi jika yang dimainkan adalah

    gending-gending Jawatimuran lama

  • 31

    seperti Layon Kintir, Olang-Aling, Gambir

    Sawit Tandaan, Tawang Bende dan lain

    sebagainya, Diyat begitu terampil

    membawakannya. Sule-man mengakui

    bahwa dirinya banyak belajar dari Diyat

    Sariredjo terkait bagaimana

    membawakan sebuah gen-ding, seperti

    apa iramanya yang enak, bagaimana

    peran ricikan yang harus menonjol dan

    yang tidak, semu-anya diperolehnya

    ketika menyak-sikan klenengan di RRI

    Surabaya oleh Diyat sebagai figur

    sentralnya.

    Diyat adalah pribadi yang jarang

    megeluh pada situasi dan kondisi

    apapun. Ia adalah figur yang sabar dan

    pandai menempatkan diri. Amuji,

    Kukuh8, Silan, Kartolo9 dan Suleman

    menuturkan bahwa Diyat Sariredjo

    dihormati bukan karena apapun kecuali

    kemampuan dan sikapnya. Ia tidak

    pernah marah atau mengeluarkan kata-

    kata kasar kepada siapapun terlebih

    pengrawit di RRI Surabaya ketika menga-

    8 Wawancara tanggal 9, 16 dan 24 di Surabaya, 9 Wawancara tanggal 28 Januari 2010 di

    Surabaya

    jari atau membenahi tabuhan para

    pengrawit yang menurutnya salah atau

    keliru. Pengalaman berharga pernah

    dimiliki oleh Amuji ketika ia memainkan

    ricikan bonang pada acara siaran Bo-

    nangan Pagi. Seperti biasa, Diyat bertin-

    dak sebagai seorang pengendang. Selama

    pertunjukan berlangsung, terda-pat bebe-

    rapa repertoar pola bonang yang salah

    diterapkan oleh Amuji. Selesai pertunju-

    kan, dengan santun dan sabarnya Diyat

    Sariredjo datang ke depan Amuji yang

    masih duduk di samping ricikan bonang

    sambil membenarkan sekaligus mem-

    praktekkan pola pukulan bonang yang

    benar. Ketika bercerita kepada penulis,

    sangat tampak bahwa pengalaman itu

    adalah pengalaman yang mendudukkan

    Diyat sebagai figur yang sangat

    dihormatinya. Hal ini terjadi ketika ia

    menceritakan pengalamannya itu dengan

    mata yang berkaca-kaca.

    Kukuh dan A. Tasman Ronoatmojo10

    menyatakan bahwa Diyat ibarat virus,

    gaya serta pola kendangannya banyak

    10 Wawancara 3 Maret 2010 di STKW Surabaya

  • 32

    diacu seniman-seniman pengendang

    profesional di Jawa Timur seperti Cak

    Madun dari Jombang, Sunarto di

    Surabaya, Widodo di Mojokerto serta

    Bambang SP dan Kukuh sendiripun

    mengacu dari pola kendangannya.

    Mereka tidak pernah berguru secara

    langsung pada Diyat Sariredjo, hanya

    sering mendengarkan dan kalaupun

    bertemu meminta pendapat untuk

    dikritik dan juga meminta pembenahan

    sesuai dengan naluri musikal yang

    dimiliki Diyat. Terlebih ketika siaran di

    RRI Surabaya, banyak masyarakat luas

    dan lebih khusus lagi seniman karawitan

    ajaran (yang masih belajar) mendengar-

    kannya. Efeknya, pola dan ragam

    pukulannya banyak dianut dan ditiru

    oleh seniman karawitan umumnya. Bagi

    mereka semua, Diyat adalah empu dan

    sekaligus gurunya, walaupun ada juga

    yang tidak pernah bertemu atau bertatap

    muka dengan Diyat Sariredjo secara

    langsung sama sekali.

    Di RRI Surabaya, Diyat menjadi

    empu karawitan yang disegani. Ia

    bertanggung jawab penuh atas materi

    siaran karawitannya. Ia membuat notasi-

    notasi karawitan mulai dari gending-

    gending bonangan hingga gending-

    gending Jawatimuran pada umumnya. Ia

    memiliki banyak repertoar gending lama

    yang dituangkannya dalam kertas

    berujud angka-angka notasi karawitan

    (kepatihan). Setiap kali datang ke RRI

    Surabaya, tidak lupa kertas-kertas notasi

    tersebut senantiasa di bawa. Amuji

    pernah menjadi saksi bagaimana

    tekunnya Mbah Diyat (begitulah Amuji

    menyebut sosok Diyat Sariredjo)

    mencatat segala sesuatu yang berkaitan

    dengan gending karawitan Jawatimuran.

    Hal ini menjadi berguna ketika Diyat

    mengalami kesulitan dalam menghafal

    gending tertentu, sehingga catatan-

    catatan tersebut membantu untuk

    mengingatnya. Sayang, catatan-catatan

    Diyat Sariredjo yang konon jumlahnya

    banyak tersebut hingga kini tidak dapat

    dilacak keberadaannya.

    Diyat menjadi pegawai kontrak di

    RRI Surabaya sekitar 25 tahunan, dan

  • 33

    tepat pada tanggal 14 Mei tahun 1970 ia

    diangkat menjadi pegawai negeri sipil

    dengan golongan II/a dengan surat

    keputusan Menteri Penerangan Republik

    Indonesia No.41/-Kep/Menpen/1970.

    Dengan demikian Diyat mulai

    mendapatkan gaji dan tunjangan untuk

    hidup sehari-hari. Semenjak diangkat

    menjadi pegawai negeri, karir

    keprofesiannya sebagai seorang

    pengrawit hampir setiap harinya

    dihabiskan di RRI Surabaya. Selama

    menjabat sebagai ketua karawitan di RRI

    Surabaya, Diyat menerapkan konsep

    kedisiplinan bagi semua anggotanya. Ia

    memberi contoh yang baik dengan datang

    10 menit lebih awal dan berpakaian rapi.

    Satu hal yang sampai saat ini begitu

    membekas dalam ingatan Suleman yang

    waktu itu hampir tidak pernah absen

    datang ke RRI Surabaya menyaksikan

    klenengan yang dipimpin oleh Diyat.

    Menurutnya, Diyat adalah pribadi yang

    begitu besar dalam menghargai gamelan

    sebagai sumber mata pencaharian

    hidupnya. Ia tidak berani melangkah di

    atas gamelan, ia lebih baik menggeser

    gamelan agar dapat ruang dan jalan

    untuk lewat. Apabila terdapat pengrawit

    yang melangkah (nglangkahi) gamelan,

    maka Diyat tidak segan-segan untuk

    menegurnya. Terlebih gamelan RRI

    Surabaya adalah gamelan tua yang

    cenderung dikeramatkan. Gamelan RRI

    Surabaya dikenal dengan nama gamelan

    Kiai Putih yang tumbuk (nada yang sama)

    nem (6) antara pelog dan slendronya.

    Bahkan hingga kini ketika acara siaran

    ludruk maupun klenengan diberlang-

    sungkan di studio RRI, di samping gong

    senantiasa diberi sesaji berupa dupa,

    kemenyan atau kadangkala bunga tujuh

    rupa.

    Kurang lebih sekitar 12 tahun Diyat

    mengabdikan dirinya di RRI Surabaya

    sebagai pegawai negeri sipil. Tepat pada

    tanggal 29 Desember 1982 sesuai dengan

    surat keputusan Menteri Penerangan RI

    Nomor 507/SK/BK/Pens-S/1982 Diyat

    resmi pensiun dengan golongan akhir

    II/d. Walaupun pensiun, Diyat masih

    tetap diberdayakan oleh RRI Surabaya

  • 34

    dengan diangkat menjadi karyawan

    kontrak dan tetap memimpin paguyuban

    karawitan RRI Surabaya Grup. Namun

    demikian semakin lama kesehatannya

    semakin menurun, Diyatpun jarang

    memegang ricikan kendang yang

    notabene membutuhkan tenaga ekstra

    untuk dibunyikan, terlebih kendang Jawa

    Timur yang kulitnya relatif tebal dengan

    ukurannya yang besar. Sewaktu pensiun

    dari RRI Surabaya, Diyat lebih banyak

    memegang ricikan rebab, siter dan

    kadangkala juga bonang. Kendatipun

    demikian, ia tetap dengan setia

    memberikan pengarahan apabila terdapat

    kesalahan atau ketidak tahuan pengrawit

    terhadap satu garap gending

    Jawatimuran.

    Tahun 1986 Diyat didiagnosa oleh

    dokter mengidap penyakit ginjal.

    Aktifitasnya mulai dibatasi dengan hanya

    memainkan ricikan yang tidak begitu

    memforsir tenaga. Terlebih menginjak

    tahun 90-an dan 2000an, kondisi

    kesehatannya semakin memburuk. Diyat

    lebih banyak menghabiskan hari-harinya

    untuk berobat dan istirahat di rumah

    (Driyorejo Gresik). Walaupun kondisinya

    yang sakit, Diyat senantiasa mende-

    ngarkan siaran-siaran karawitan Jawati-

    muran yang diberlangsungkan oleh RRI

    Surabaya melalui radio di rumahnya.

    Bahkan sehabis siaran berlangsung, esok

    harinya Diyat pergi ke RRI Surabaya

    guna memberi saran dan mengkritisi

    sajian karawitan yang semalam

    didengarnya. Diyat pergi kadang kala

    tanpa sepengetahuan istri dan anaknya.

    Hal tersebut ia lakukan secara diam-diam,

    sebab jika memberitahu terlebih dahulu

    sering kali tidak diijinkan dengan alasan

    kondisinya yang sudah tua dan sakit-

    sakitan.

    Nama RRI Surabaya grup begitu

    diperhitungkan dalam percaturan

    karawitan Jawatimuran umumnya. Hal

    ini bukan saja disebabkan oleh kabesaran

    nama yang disandangnya, namun juga

    karena terdapat sosok dan figur Diyat

    Sariredjo di dalamnya. Selain terlibat

    dalam aktif dalam siaran karawitan di

    RRI Surabaya, dalam perjalanannya Diyat

  • 35

    juga pernah menjalani karir sebagai

    seorang pengajar di dua lembaga pendi-

    dikan seni di Jawa Timur yakni SMKI

    (KOKARI) dan STKW Surabaya.

    Sebagai Pengajar di SMKI dan STKW

    Surabaya

    a. Sebagai Pengajar di SMKI Surabaya

    Pada tahun 1971 didirikan lembaga

    pendidikan seni setingkat SLTA, yakni

    KOKARI (Konservatori Karawitan

    Indonesia) di Jalan Genteng Kali

    Surabaya dengan dua jurusan utama

    yakni karawitan dan tari. Guna

    menunjang keberhasilan proses belajar

    mengajar dan agar menghasilkan lulusan

    yang terampil dalam dua hal tersebut,

    dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang

    kompeten dalam bidangnya. Kala itu

    lembaga pendidikan serupa di Surakarta

    telah lebih dahulu berdiri (1950) dan

    sudah menghasilkan lulusan yang

    kompeten terutama dalam bidang seni

    karawitan. Dengan demikian banyak

    tenaga pengajar yang secara langsung

    didatangkan dari KOKARI Surakarta

    untuk membantu proses belajar mengajar

    di KOKARI Surabaya. Namun sayangnya

    hampir semua tenaga pengajar yang

    didatangkan dari Surakarta tidak

    memiliki landasan kuat dalam mengajar

    praktek maupun teori yang berkaitan

    seputar karawitan Jawatimuran. Mereka

    lebih memiliki fondasi yang kompeten

    dalam mengajar karawitan gaya

    Surakarta baik dalam realitas praktik

    maupun konseptualnya.

    Agar tidak terjadi ketimpangan

    materi, akhirnya KOKARI Surabaya

    memutuskan untuk mencari seniman

    profesioanal sebagai pengajar karawitan

    Jawatimuran. Dari hasil rapat dan

    musyawarah pengurus KOKARI

    Surabaya, akhirnya diputuskan bahwa

    yang berhak dan layak untuk memegang

    posisi sentral ini adalah Diyat Sariredjo.

    Beberapa pertimbangan yang diambil

    adalah pertama, nama Diyat Sariredjo

    waktu itu sudah begitu terkenal di Jawa

    Timur sebagai seorang pengendang dan

    penata karawitan di RRI Suarabaya.

  • 36

    Kedua, Diyat selain memiliki posisi

    sentral sebagai pemain gamelan yang

    ulung, juga dikenal memiliki kecakapan

    berfikir yang bagus dan dapat

    menyampaikan gagasannya dengan

    runtut serta terstruktur, terutama

    berkaitan dengan masalah karawitan

    Jawatimuran.11 Hal itu dibuktikannya

    ketika dilibatkan sebagai dewan juri pada

    acara-acara karawitan di Jawa Timur.

    Pandangan dan pemikiran Diyat

    dianggap menjadi satu komponen

    penting sebagai standar penilaian. Ia

    mampu memberikan ulasan dengan tajam

    terkait dengan apa yang dilihatnya. Ia

    juga memberikan contoh-contoh ideal

    ketika ada yang mempertanyakan

    kredibilitas penilaiannya. Dengan

    demikian sangat wajar jika KOKARI

    Surabaya memintanya sebagai salah

    sorang tenaga pengajar atau instruktur

    karawitan.

    Diyat didaulat tidak hanya sekedar

    untuk mentransfer ilmunya kepada para

    11 Wawancara dengan Mudiyanto tanggal 5

    Maret 2010 di SMKI Surabaya.

    siswa, namun juga guru-guru KOKARI

    kala itu. Setiap malam-malam tertentu

    terdapat acara klenengan rutin yang

    dilakukan di bangsal berisi gamelan yang

    diikuti oleh hampir semua guru dan

    karyawan. Soenarto R.,12 salah seorang

    guru KOKARI Surabaya yang merupakan

    lulusan KOKAR Surakarta mengaku saat

    itu ia banyak mendapatkan materi

    gending-gending Jawatimuran dari Diyat

    Sariredjo, terutama untuk pola-pola

    kendangannya. Berkat Diyat Sariredjo,

    kini Soenarto R. menjadi salah satu

    pengajar gending-gending Jawatimuran

    terutama untuk ricikan kendang di

    KOKARI (berubah menjadi SMKI dan

    sekarang SMKN 12 Surabaya) dan STKW

    Surabaya. Tenaga pengajar yang pada

    awalnya didatangkan dari Surakarta,

    lambat laun dapat menguasai ragam

    gending Jawatimuran dengan baik.

    Dengan dibukanya KOKARI

    Surabaya, pendidikan gamelan di Jawa

    Timur yang selama ini dipelajarai lewat

    12 Wawancara tanggal 23 Maret 2010 di

    Surakarta

  • 37

    budaya oral kini disajikan dalam

    takarannya yang lebih saintifik

    (keilmuan). Pada konteks inilah di mana

    karawitan dibuka secara luas untuk

    umum. Karawitan yang selama ini

    dianggap oleh sebagian masyarakat

    hanya merupakan bidang yang digeluti

    oleh beberapa kalangan yang memiliki

    darah keturunan seniman (dari orang

    tuanya) kini mulai pudar. KOKARI di

    Surabaya merupakan titik awal di mana

    karawitan dapat dipelajari oleh siapapun

    tanpa harus mempertimbangkan faktor

    genetika yang dimilikinya. Hal ini tentu

    membawa dinamisasi bagi kehidupan

    karawitan di Jawa Timur pada umumnya.

    Diyat pada awalnya memiliki

    keterbatasan dalam menyampaikan

    materi bagi kalangan KOKARI Surabaya.

    Kiranya hal tersebut wajar karena ia sama

    sekali tidak memiliki bekal pengalaman

    sebagai seorang pengajar. Ia pun tidak

    pernah mengenyam bangku sekolah dan

    tiba-tiba sesaat harus menjadi seorang

    pengajar. Kendatipun demikian ia

    mencoba dengan segala kemampuannya

    untuk menyampaikan materi yang ada,

    terlebih dalam takaran realitas praktik

    karawitan Jawatimuran. Diyat mulai

    mengajarkan berbagai ragam pola

    karawitan Jawatimuran (Surabaya), mulai

    dari permainan ricikan kendang, rebab,

    bonang, peking dan lain sebagainya.

    KOKARI pun saat itu banyak

    melakukan pencatatan-pencatatan notasi

    gending-gending Jawatimuran dari Diyat

    Sariredjo sebagai bahan ajar dan

    dokumentasi ke depannya. Notasi-sotasi

    tersebut diwujudkan dalam notasi

    kepatihan. Dalam konteks ini segala

    permainan ricikan dapat ditranskripsikan

    dengan mudah, kecuali kendang. Seperti

    diketahui, kendang Jawatimuran atau

    yang biasa disebut kendang cekdongan

    dikenal memiliki tingkat kerumitan

    permainan yang tinggi, mulai dari tempo

    yang terkesan tidak konstan, pola serta

    ukel yang cenderung ribet dan lain

    sebagainya. Diyatpun mengakui bahwa

    segala gending dapat ia transkrip dengan

    mudah kecuali pola kendangannya,

    apalagi jika kendangan Tari Remo di

  • 38

    mana tempo dan dinamika sangat

    berparan. Hal tersebut senada dengan

    yang diungkapkan oleh Kris Mariyono

    sebagai berikut.

    Sebagai Empu seni karawitan Gaya

    Jawatimuran, Diyat Sariredjo meski telah

    mampu memberikan sumbangsih

    penulisan notasi gending-gending

    Jawatimuran, namun ia mengakui selama

    menekuni seni karawitan gaya

    Jawatimuran, belum bisa membuat notasi

    gending Tari Remo, irama kendangnya

    naik-turun, sehingga saya sulit untuk

    membuat notasinya, ujar Mbah Diyat

    yang merasa menyesal.( Mariyono, 2003:

    42).

    Dengan demikian cara pembelajaran

    yang dilakukan Diyat di KOKARI

    Surabaya, terutama untuk kendangan

    Tari Remo dilakukannya secara oral

    dengan memberi contoh yang aplikatif.

    Semua siswa dikumpulkan di kelas dan

    memegang kendang Jawatimuran,

    dengan intensitasnya yang tinggi Diyat

    mulai bertutur tentang pola-pola

    kendangan secara runtut dari awal. Para

    murid menirukan dengan menggunakan

    suara (mulut) kemudian

    mengaplikasikannya lewat kendang.

    Tidak jarang, Diyat berusaha memberi

    contoh secara langsung apabila terdapat

    pola yang ribet dan membutuhkan

    kecakapan khusus untuk melakukannya.

    Setelah semuanya usai, kemudian para

    siswa berusaha memainkannya dengan

    menggunakan ricikan gamelan lengkap.

    Hal ini menjadi penting untuk dilakukan

    agar penguasaan irama, tempo dan

    dinamika dapat dirasakan secata

    langsung. Apabila pembelajaran melalui

    kendang saja, kemungkinan besar siswa

    tidak mengetahui aplikasi langsung

    dengan gamelan lengkap, sehingga irama,

    tempo dan dinamikanya tidak terpegang.

    Seperti disinggung Jung di atas, cara

    belajar yang demikian ini ternyata paling

    efektif. Siswa lebih dapat menguasai pola

    permainan ketika seringkali

    mendengarkan dan dihadapkan dengan

    contoh yang aplikatif oleh sang guru dari

    pada hanya berbekal kertas yang berisi

    notasi. Apa yang disampaikan sang guru

  • 39

    langsung terakumulatif dalam otak dan

    selanjutnya berusaha diaplikasikan.

    Bandingkan jika dengan menggunakan

    notasi, kebanyakan siswa akan terpaku

    pada kertas notasi tersebut dan

    selanjutnya menjadi ketergantungan.

    Padahal sebenarnya kertas notasi hanya

    difungsikan sebagai alat pengingat

    (mnemonic device) semata. Cara belajar

    dengan oral dan contoh aplikatif inilah

    yang sampai saat ini diterapkan di SMKN

    12 Surabaya dalam proses transmisi

    kendangan remo bagi para siswa.

    Bambang S.P., salah satu pengajar yang

    sudah mencetak beberapa pengendang

    remo, ternyata menggunakan konsep

    mengajar yang digunakan Diyat

    Sariredjo. Ia lebih banyak memberikan

    materi dengan oral dan contoh-contoh

    langsung. Menurutnya siswa lebih cepat

    mengaplikasikannya dan lebih menguasi

    jalannya sajian seperti tempo, irama dan

    dinamika.

    Tidak terhitung sudah berapa siswa

    yang dicetak Diyat Sariredjo (baik

    langsung maupun tidak) menjadi

    pengendang Tari Remo handal, baik

    melalui lembaga resmi seperti KOKARI

    Surabaya maupun di luar itu. Bahkan

    kebanyakan dari mereka kini menjadi

    tokoh-tokoh sentral dalam konfigurasi

    karawitan Jawatimuran, simak saja

    seperti Bambang S.P., Kukuh, Joko Susilo,

    Narto, Budi, Silan, dan masih banyak lagi.

    Mereka adalah figur-figur yang cukup

    diperhitungkan dan senantiasa menjadi

    rujukan sebagai nara sumber terkait

    dengan apa-apa yang berhubungan

    dengan karawitan di Jawa Timur.

    Diyat yang sebelumnya intens

    memberikan materi ajar di KOKARI

    kemudian didudukkan sebagai nara

    sumber dan dewan empu serta instruktur

    pembelajaran pengetahuan dan praktik

    karawitan Jawatimuran hingga dekade

    tahun 90-an. Materi-materi gending yang

    ia berikan selanjutnya kini digunakan

    sebagai materi wajib pada mata pelajaran

    Karawitan Jawatimuran dalam

    berbagai tingkat di KOKARI Surabaya

    yang kemudian menjelma menjadi SMKI

    (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia)

  • 40

    pada tahun 1977 dan berubah lagi

    menjadi SMK N 9 Surabaya pada tahun

    90-an. KOKARI surabaya merupakan titik

    awal lahirnya lembaga pendidikan seni

    setingkat peguruan tinggi yakni STKW

    (Sekolah Tinggi Kesenian Wilawatikta) di

    Surabaya.

    b. Sebagai Pengajar di STKW Surabaya

    Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta

    Surabaya berdiri tahun 1980 dengan dua

    jurusan utama yakni Karawitan dan Tari.

    Layaknya KOKARI Surabaya, waktu itu

    Diyat didudukkan pula sebagai dewan

    empu dan sekaligus instruktur untuk

    mata kuliah Karawitan Jawatimuran.

    Keberadaan Diyat Sariredjo sebagai

    seorang empu karawitan yang mumpuni

    banyak dimanfaatkan oleh STKW

    Surabaya dalam merumuskan pilar-pilar

    keilmuan karawitan Jawatimuran.

    Setahun kemudian di tahun 1981 banyak

    usaha yang dilakukan oleh STKW

    Surabaya dan terutama Jurusan

    Karawitan dalam upaya

    pendokumentasian gending-gending

    Jawatimuran. Upaya pendokumentasian

    yang dilakukan STKW Surabaya mencoba

    meneruskan dari yang telah dilakukan

    oleh SMKI Surabaya dengan lebih

    menekankan pada pola permainan

    ricikan-ricikan garap seperti rebab dan

    kendang.

    Diyat sariredjo pada titik ini

    didudukkan sebagai seorang empu dan

    sekaligus menjadi narasumber utama.

    Adapun legalisasi pengakuan

    keempuannya muncul di banyak tulisan

    kala itu, sebagai contoh adalah seperti

    yang diungkapkan oleh A. Tasman

    Ronoatmodjo dalam sebuah kata

    pengantarnya sebagai berikut.

    Karawitan Surabaya termasuk

    suatu garap karawitan yang kuat dan

    khusus pada karawitan pada umumnya.

    Garap karawitan Surabaya sudah makin

    tidak terasa dalam garap di berbagai

    kegiyatan karawitan termasuk pengrawit

    lingkungan tersebut, di samping itu

    mungkin ricikan rebab pada umumnya

    tidak begitu menarik untuk dipelajari dan

    agak sukar. Usaha penyusunan notasi

  • 41

    rebaban adalah suatu upaya untuk

    mendokumentasikan bahan garap rebab

    sejauh yang dapat dicapai, mungkin

    dapat digunakan sebagai bahan garap

    karawitan Surabaya maupun yang lebih

    luas. Notasi ini disusun bersumber dari

    Diyat Sariredjo mpu karawitan Surabaya

    dan Suwarnin yang membuat notasi.

    Suatu pemikiran untuk menemukan cara

    menggarap rebab untuk karawitan

    Surabaya yang lebih praktis dan kreatif

    merupakan cita-cita yang belum

    terlaksana. (Ronoatmojo dan Suwarmin,

    1981).

    STKW Surabaya di awal tahun-

    tahun berdirinya banyak melibatkan

    Diyat dalam berbagai hal seperti

    penulisan gending serta perekaman

    untuk media ajar mata kuliah Karawitan

    Jawatimuran di berbagai tingkatan.

    Namun demikian, rekaman-rekaman

    tersebut hingga kini tidak dapat dilacak

    keberadaannya. Beruntung, hasil

    rekaman tabuh bersama tersebut sudah

    dinotasikan oleh para pengajar STKW

    Surabaya dalam bentuk buku materi ajar

    karawitan Jawatimuran. Di tahun yang

    sama dan tahun-tahun berikutnya juga

    terdapat penulisan tentang gending-

    gending Jawatimuran serta penelitian-

    penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi

    guna menunjang kelulusan mahasiswa.

    Beberapa tulisan tersebut di antaranya

    karya A. Tasman Ronoatmojo13 yang

    berusaha memetakan gending-gending

    Surabaya dan Mojokerto. Kemudian

    tulisan Suwarmin14 yang mengulas

    tentang klasifikasi gending Surabayan,

    dan tulisan Sunarto15 yang mengupas

    tentang garap kendang gending-gending

    alit karawitan gaya Jawatimuran. Semua

    tulisan tersebut menempatkan Diyat

    Sariredjo sebagai nara sumber utamanya.

    Memang kala itu menurut Tasman16

    semua tulisan baik yang berwujud

    penelitian yang didanai oleh institusi

    pemerintahan ataupun skripsi

    13 Notasi Gending Mojokerto-Suroboyo,

    1981. 14 Klasifikasi Struktur Gending Surabaya,

    1984. 15 Garap Kendang Klenengan Gending-

    Gending Alit Karawitan Gaya Jawatimuran, 1987). 16 Wawancara tanggal 3 Maret 2010 di STKW

    Surabaya

  • 42

    bahasannya lebih difokuskan pada

    determinasi karawitan Jawatimuran. Hal

    ini sebagai upaya dalam mencari struktur

    dan skema baku gending-gendingnya.

    Dalam konteks inilah Diyat banyak

    menyumbangkan pemikiran dan

    gagasannya. Bahkan sebelum STKW

    berdiri, telah ada tulisan notasi gending-

    gending Jawa Timur yang ditulis oleh Piet

    Asmoro17 pada tahun 1971. Piet Asmoro

    adalah seorang dalang Jawatimuran yang

    berdomisili di Mojokerto. Ia merupakan

    dalang yang sangat terkenal pada

    z