masalah pertahanan dan kebutuhan tentara reguler

5
MASALAH PERTAHANAN DAN KEBUTUHAN TENTARA REGULER Oleh Ananta K. Wibawa, S.H. Saat berbicara soal pertahanan, senantiasa pikiran kita langsung membayangkan performance kekuatan militer yang direpresentasikan melalui sosok angkatan bersenjata dengan segenap sarana dan prasarananya. Dengan gambaran ini, sudah tentu anggapan umum yang muncul adalah “Kita butuh tentara regular yang besar dengan persenjataan yang kuat dan lengkap”. Jika ini masih dihubungkan dengan luas wilayah negara, maka dapat dibayangkan berapa besar tentara dan persenjataannya yang harus diadakan agar dapat meng-cover pertahanan di seluruh wilayah negara. Pikiran semacam ini masih kuat tertanam di benak para pengambil kebijakan negara kita, apalagi rakyatnya. Lucunya pola pikir ini justru masih dominan di negara seperti kita yang senantiasa mendengung – dengungkan “sistem pertahanan total semesta”, yang dahulu disebut sebagai Sishankamrata (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta) dan kini sejak pemisahan TNI dan Polri menjadi Sishanta (Sistem Pertahanan Rakyat Semesta). Apakah tidak cukup belajar dari pengalaman yang sebelumnya bahwa kita berkali – kali gagal dalam mengembangkan tentara regular yang canggih? Dan semua itu bermuara pada kemampuan finansial negara yang lemah sehingga terasa besar pasak dari pada tiang. Masih segar dalam ingatan kita, pada akhir tahun 1940-an hingga pertengahan 1950-an, negara harus melakukan kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) untuk mengurangi jumlah tentara regular dan menyesuaikan kemampuan keuangan negara. Pada era Demokrasi Terpimpin serta masa perebutan Irian Barat, kekuatan militer Indonesia kembali dibangun dengan fantastis, sehingga kita mampu menjadi Negara dengan kemampuan militer terkuat di Asia hingga tahun 1967. Pada peringatan hari ABRI 5 Oktober 1965, Majalah Skets Massa yang terbit di Surabaya, masih mencantumkan table data perbandingan militer kita dengan negara – negara terkuat di Asia, termasuk Cina, Korea Utara dan India. Saat itu kita unggul luar biasa akibat

Upload: ananta-kusuma-wibawa

Post on 26-Jun-2015

82 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Isi tulisan ini berkisar mengenai persoalan penataan tentara reguler, dalam hal ini TNI selaku komponen utama pertahanan negara, pada sistem pertahanan negara kita dewasa ini.Sasaran yang diharapkan dari pelontaran opini melalui tulisan ini adalah penguatan pemahaman pada masyarakat umum tentang keberadaan TNI yang seharusnya tidak lagi berintikan tentara reguler, namun lebih berorientasi pada keterlibatan seluruh warga negara dalam institusi ini. Hal ini sesuai dengan kebijakan pertahanan yang berlaku sejak adanya UU no. 3 tahun 2000 ttg Pertahanan Negara.Oleh karena itu dalam opini ini ditampilkan perbandingan upaya yang pernah dilakukan oleh negara kita maupun oleh negara lain dalam membangun institusi Tentara Nasionalnya dengan mengikuti isu - isu pertahanan yang pernah ada, utamanya berkaitan dengan tingkat konflik dan perang yang dihadapi.

TRANSCRIPT

Page 1: Masalah Pertahanan Dan Kebutuhan Tentara Reguler

MASALAH PERTAHANAN DAN KEBUTUHAN TENTARA REGULER

Oleh

Ananta K. Wibawa, S.H.

Saat berbicara soal pertahanan, senantiasa pikiran kita langsung membayangkan

performance kekuatan militer yang direpresentasikan melalui sosok angkatan bersenjata

dengan segenap sarana dan prasarananya. Dengan gambaran ini, sudah tentu anggapan

umum yang muncul adalah “Kita butuh tentara regular yang besar dengan persenjataan

yang kuat dan lengkap”. Jika ini masih dihubungkan dengan luas wilayah negara, maka

dapat dibayangkan berapa besar tentara dan persenjataannya yang harus diadakan agar

dapat meng-cover pertahanan di seluruh wilayah negara.

Pikiran semacam ini masih kuat tertanam di benak para pengambil kebijakan

negara kita, apalagi rakyatnya. Lucunya pola pikir ini justru masih dominan di negara

seperti kita yang senantiasa mendengung – dengungkan “sistem pertahanan total

semesta”, yang dahulu disebut sebagai Sishankamrata (Sistem Pertahanan dan Keamanan

Rakyat Semesta) dan kini sejak pemisahan TNI dan Polri menjadi Sishanta (Sistem

Pertahanan Rakyat Semesta). Apakah tidak cukup belajar dari pengalaman yang

sebelumnya bahwa kita berkali – kali gagal dalam mengembangkan tentara regular yang

canggih? Dan semua itu bermuara pada kemampuan finansial negara yang lemah

sehingga terasa besar pasak dari pada tiang.

Masih segar dalam ingatan kita, pada akhir tahun 1940-an hingga pertengahan

1950-an, negara harus melakukan kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra)

untuk mengurangi jumlah tentara regular dan menyesuaikan kemampuan keuangan

negara. Pada era Demokrasi Terpimpin serta masa perebutan Irian Barat, kekuatan militer

Indonesia kembali dibangun dengan fantastis, sehingga kita mampu menjadi Negara

dengan kemampuan militer terkuat di Asia hingga tahun 1967. Pada peringatan hari

ABRI 5 Oktober 1965, Majalah Skets Massa yang terbit di Surabaya, masih

mencantumkan table data perbandingan militer kita dengan negara – negara terkuat di

Asia, termasuk Cina, Korea Utara dan India. Saat itu kita unggul luar biasa akibat

Page 2: Masalah Pertahanan Dan Kebutuhan Tentara Reguler

kebanjiran alat utama dan sistem senjata (alutsista) dari Uni Soviet yang dipersiapkan

untuk merebut Irian Barat, bahkan dengan Cina kita hanya kalah dari segi jumlah sumber

daya manusia. Namun sejak Uni Soviet menyetop pasokan suku cadang alutsista,

menyusul peristiwa G.30S, maka seluruh alutsista tersebut rontok satu persatu hingga

mencapai paripurna di tahun 1969. Selanjutnya di era Pangab L.B. Moerdani, dilakukan

likuidasi Kowilhan dan pengecilan jumlah Kodam, juga dalam rangka penghematan

anggaran negara. Sementara itu jumlah ABRI dipertahankan hanya berkisar +/- 500.000

personil, dan itu semua bukan sepenuhnya merupakan tentara dengan tugas tempur,

melainkan masih terdiri dari Polri serta sebagian TNI-Polri yang menjalankan tugas

kekaryaan sospol di luar bidang kemiliteran.

Di masa kini persoalan jumlah tentara regular beserta alutsista-nya kembali

menonjol seiring dengan meningkatnya perkiraan ancaman yang dihadapi RI beserta

segenap aspeknya. Mulai dari masalah gangguan kelompok radikal, pencurian ikan,

perampokan dan pembajakan di laut, imigran gelap, terorisme, bencana alam hingga

konflik antar Negara yang membuka kemungkinan perang. Keluhan dari para petinggi

TNI dan Polri soal jumlah pasukan dan kelemahan alutsista-nya telah menjadi agenda

pokok pemerintah. Hasilnya sebagaimana pernah dilansir oleh Menhan RI Juwono

Soedarsono pada Agustus lalu, bahwa anggaran pertahanan kita terbukti meningkat dan

menjadi terbesar kedua setelah anggaran pendidikan nasional. Pertanyaannya, “apakah

kita akan tetap berupaya untuk memperkuat tentara reguler kita beserta segenap sarana

dan prasarananya untuk memperkuat tugas – tugas pertahanan negara?”

Senyatanya dalam sejarah perang moderen belum pernah ada negara yang

sanggup melakukan klaim bahwa jumlah tentara regulernya mampu memenuhi kebutuhan

perang, bahkan untuk konflik dengan skala intensitas rendah sekalipun. Justru jumlah

milisi (baik wajib maupun sukarela) lebih meningkat jumlahnya dibandingkan tentara

regular yang terlibat dalam berbagai skala perang. Hingga saat ini AS sebagai negara adi

daya sangat terkenal sebagai negara yang senantiasa melibatkan milisi lebih banyak

dibandingkan tentara regulernya dalam setiap konflik yang mereka hadapi. Contoh yang

paling popular adalah perang di Vietnam dan Grenada. Untuk wilayah sekecil itu wamil

AS menjadi prioritas untuk terjun dalam pertempuran dibandingkan tentara regulernya,

padahal perang itu berada jauh dari wilayah AS dan tidak langsung mengancam wilayah

Page 3: Masalah Pertahanan Dan Kebutuhan Tentara Reguler

kedaulatan AS. Belum lagi negara – negara lain, baik yang kekuatannya berada di bawah

AS maupun seimbang, seperti Inggris, Perancis, Rusia dan Cina. Semuanya melibatkan

milisi, baik dengan jumlah sama besar bahkan melebihi jumlah tentara regulernya.

Sudah selayaknya kita merubah kaca mata kita dalam melihat jumlah tentara

reguler negara – negara tersebut. Mungkin mereka memang berseragam tentara, namun

senyatanya mereka adalah warga negara yang bergiliran memperkuat angkatan

bersenjata. Sehingga kita tidak lagi berhadapan dengan tentara reguler, melainkan dengan

seluruh potensi sumber daya manusia yang telah terlatih dan mampu menjadi kekuatan

militer yang besar.

Bagi negara dengan kemampuan keuangan yang kuat apalagi didukung daya

produksi barang dan jasa yang tinggi, tentu saja tidak bermasalah dalam memelihara

tentara reguler beserta milisi cadangannya sekaligus. Namun bagi negara seperti

Indonesia yang cekak dalam segala hal, tentu akan lain pertimbangannya.

Dalam era perang moderen, pembangunan kekuatan militer dengan bersandar

pada kekuatan tentara reguler menjadi tidak relevan lagi. Perang jenis ini merupakan

perang yang melibatkan seluruh sumber daya nasional secara simultan untuk

melemahkan segenap sendi kekuatan negara sasaran melalui berbagai aspek. Ambil

contoh suatu negara sasaran, rakyatnya dapat dihasut untuk saling berkonflik satu sama

lain, nilai tukar mata uangnya dibuat tidak stabil, ketergantungannya terhadap produk

industri vital dari luar dihambat dan yang lebih parah lagi, nilai – nilai budaya

nasionalnya dirusak, maka tanpa perlu digempur dengan kekuatan militer lagi, negara ini

sudah mengalami kehancuran yang cukup parah. Sehingga jika negara ini masih memiliki

Tentara Reguler sekalipun, mereka bukanlah kekuatan yang berarti lagi, malah justru

menjadi beban bagi anggaran negara.

Sudah saatnya kita membuang jauh - jauh impian membangun tentara reguler

yang besar dan kuat. Karena upaya ini tidak terdukung oleh kemampuan keuangan negara

kita, disamping itu daya produksi kita di sektor barang dan jasa juga masih lemah.

Sehingga kita masih terus bergantung pada negara lain dalam memenuhi kebutuhan

alutsista tentara. Selain itu keberadaan tentara regular yang besar juga masih menyimpan

bahaya laten, berupa pemisahan kewajiban secara alami antara tentara dan warga negara

Page 4: Masalah Pertahanan Dan Kebutuhan Tentara Reguler

non tentara di bidang pertahanan negara. Dampaknya isu hubungan sipil militer yang

bersifat negatif senantiasa mendampingi pola kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejatinya kita membutuhkan TNI yang bukan lagi berintikan tentara regular,

namun seluruh warga negara yang terlatih dan bertugas secara bergiliran untuk

memperkuat TNI. Sejalan dengan itu segenap potensi sumber daya nasional yang ada

perlu dikembangkan secara simultan dan selaras, baik untuk kebutuhan perang maupun

non perang, sehingga pada gilirannya dalam waktu dua kali dua puluh empat jam, seluruh

sumber daya yang ada dapat didayagunakan sebagai kekuatan nasional yang memadai

untuk menghadapi berbagai ancaman.

Hal serupa telah lama diterapkan oleh negara Swiss. Negara kecil ini tidak pernah

memelihara tentara reguler, namun seluruh warga negaranya adalah rakyat terlatih

dengan berpayung pada organisasi pertahanan sipil (civil defence organization).

Konsekwensinya mereka memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan operasi

militer selain perang (OMSP) untuk digunakan dalam tugas – tugas pertahanan sipil dan

perlindungan masyarakat, sekaligus kemampuan operasi militer perang (OMP) untuk

digunakan dalam tugas – tugas pertahanan militer.

Penggunaan warga negara untuk dilatih secara bergiliran melakukan tugas – tugas

ketentaraan, jelas lebih ekonomis dibandingkan memelihara tentara reguler dengan

modus pembiayaan seperti pegawai negeri, mengingat sebagian besar dari mereka telah

memiliki mata pencahariannya sendiri, maka departemen pertahanan tingal memberi

honor yang tentunya tidak sebesar gaji murni dan dapat mengurangi besar persentase

tunjangan anggota militer. Honor ini dapat dipergunakan secara bergiliran oleh warga

negara berdasarkan masa dinas jangka pendek, sehingga negara dapat menghemat

anggaran militer dari segi indeks pembiayaan prajurit berupa komponen gaji tetap dan

tunjangannya. Dengan demikian sisa anggaran dapat dimaksimalkan untuk perbaikan

fasilitas, sarana dan prasarana militer.

Jika negara sekecil Swiss saja menempuh kebijakan yang sedemikian strategis,

mengapa kita sebagai “biangnya” sistem pertahanan total semesta tidak melakukan hal

yang sama ?

Page 5: Masalah Pertahanan Dan Kebutuhan Tentara Reguler

Ananta K. Wibawa, S.H. Ketua Alumni Tar Kader SDA/B Untuk Pertahanan Negara Angkatan III TA-2005 Ditjen Pothan Dephan RI Alamat : Kejawanputih Mutiara VIII/C3/197 Surabaya 60112 Jatim, E-mail [email protected]