manusia,kebutuhan & etika

8
Freud, Maslow, dan Etika Normatif Super-Ego Versus Nurani dari Freud Super-Ego merupakan salah satu dari tiga bagian ‘apparatus fisik (physic apparatus)’ dalam model struktural jiwa manusia menurut Sigmund Freud (1856 – 1939), yaitu Ego, Id, dan Super-Ego. Konsep-konsep ini pertama kali didiskusikan dalam karyanya Beyond the Pleasure Principle dan kemudian dikembangkan dan didiskusikan lebih jauh dalam karya selanjutnya the Ego and the Id (Das Ich und das Es) pada 1923. Tiga istilah di atas bukanlah istilah yang digunakan oleh Freud sendiri, namun merupakan hasil translasi ke bahasa Latin oleh penerjemahnya James Strachey. Freud sendiri menggunakan istilah das Ich (‘si Aku’, ‘the I‘, ‘Ego‘), das Es (‘si Itu’, ‘the It‘, ‘Id‘), dan das Über-Ich (‘yang Di Atas Aku’, ‘the Over-I‘, ‘Super-Ego‘). Id, merupakan bagian dari alam bawah sadar manusia, yaitu fungsi yang bersifat irasional dan emosional dalam pikiran, didominasi oleh prinsip-prinsip kesenangan. Freud menyatakan bahwa Id mengandung ‘segalanya yang diwariskan, yang ada saat kelahiran, yang tetap berada dalam kejasmanian – di atas semuanya, dengan demikian, adalah insting, yang berasal dari organisasi somatik dan yang menemukan ekspresi kejiwaan pertamanya dalam id pada bentuk yang tidak kita ketahui.”[1] Id adalah pikiran primitif yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar. Pikiran bayi yang baru lahir sepenuhnya dikendalikan oleh Id, yang hanya memikirkan kepuasan mengenai perasaan dan kebutuhan dasar Bagian kedua, yaitu Ego, berkembang di saat umur si anak mencapai kurang lebih tiga tahun, ketika ia mulai berinteraksi dengan dunia di luar dirinya. Ego, menurutnya, ‘memiliki tugas akan pemeliharaan-diri… yang dilakukannya dengan waspada terhadap rangsangan dari luar, dengan mengingat pengalamannya (dalam memori), dengan menghindar dari rangsangan yang berat (melalui pelarian diri), dengan berkompromi dengan rangsangan yang lebih ringan (melalui adaptasi), dan akhirnya, dengan belajar melakukan modifikasi-modifikasi tertentu pada dunia eksternal untuk memberikan keuntungan pribadi (melalui aktivitas)… dalam hubungannya dengan id, ego melakukan tugasnya dengan mengontrol insting.”[2] Mengenai Ego, Freud menggunakan analogi penunggang kuda, di mana Ego sebagai penunggangnya dan Id sebagai kudanya, di mana si kuda memberikan tenaga dan alasannya sementara sang penunggang mengontrol arah ke mana si kuda melaju (namun di saat-saat yang sulit, si kuda kadangkala mengambil keputusan sendiri pada dataran yang berbatu tajam). Sementara bagian terakhir, Super-Ego, menyimbolkan suatu figur ayah dan regulasi kultural. Super-Ego merupakan bagian moral dari pikiran, yang terdapat pada area bawah sadar, di mana ia menyimpan nilai-nilai parental dan masyarakat; dan

Upload: dyan-td

Post on 12-Aug-2015

76 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kebudayaan

TRANSCRIPT

Page 1: manusia,kebutuhan & etika

Freud, Maslow, dan Etika Normatif

Super-Ego Versus Nurani dari Freud

 

Super-Ego merupakan salah satu dari tiga bagian ‘apparatus fisik (physic apparatus)’ dalam model

struktural jiwa manusia menurut Sigmund Freud (1856 – 1939), yaitu Ego, Id, dan Super-Ego.

Konsep-konsep ini pertama kali didiskusikan dalam karyanya Beyond the Pleasure Principle dan

kemudian dikembangkan dan didiskusikan lebih jauh dalam karya selanjutnya the Ego and the

Id (Das Ich und das Es) pada 1923.

Tiga istilah di atas bukanlah istilah yang digunakan oleh Freud sendiri, namun merupakan hasil

translasi ke bahasa Latin oleh penerjemahnya James Strachey. Freud sendiri menggunakan

istilah das Ich (‘si Aku’, ‘the I‘, ‘Ego‘), das Es (‘si Itu’, ‘the It‘, ‘Id‘), dan das Über-Ich (‘yang Di Atas

Aku’, ‘the Over-I‘, ‘Super-Ego‘).

 

Id, merupakan bagian dari alam bawah sadar manusia, yaitu fungsi yang bersifat irasional dan

emosional dalam pikiran, didominasi oleh prinsip-prinsip kesenangan. Freud menyatakan bahwa Id

mengandung ‘segalanya yang diwariskan, yang ada saat kelahiran, yang tetap berada dalam

kejasmanian – di atas semuanya, dengan demikian, adalah insting, yang berasal dari organisasi

somatik dan yang menemukan ekspresi kejiwaan pertamanya dalam id pada bentuk yang tidak

kita ketahui.”[1] Id adalah pikiran primitif yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Pikiran bayi yang baru lahir sepenuhnya dikendalikan oleh Id, yang hanya memikirkan kepuasan

mengenai perasaan dan kebutuhan dasar

 

Bagian kedua, yaitu Ego, berkembang di saat umur si anak mencapai kurang lebih tiga tahun,

ketika ia mulai berinteraksi dengan dunia di luar dirinya. Ego, menurutnya, ‘memiliki tugas akan

pemeliharaan-diri… yang dilakukannya dengan waspada terhadap rangsangan dari luar, dengan

mengingat pengalamannya (dalam memori), dengan menghindar dari rangsangan yang berat

(melalui pelarian diri), dengan berkompromi dengan rangsangan yang lebih ringan (melalui

adaptasi), dan akhirnya, dengan belajar melakukan modifikasi-modifikasi tertentu pada dunia

eksternal untuk memberikan keuntungan pribadi (melalui aktivitas)… dalam hubungannya dengan

id, ego melakukan tugasnya dengan mengontrol insting.”[2] Mengenai Ego, Freud menggunakan

analogi penunggang kuda, di mana Ego sebagai penunggangnya dan Id sebagai kudanya, di mana

si kuda memberikan tenaga dan alasannya sementara sang penunggang mengontrol arah ke mana

si kuda melaju (namun di saat-saat yang sulit, si kuda kadangkala mengambil keputusan sendiri

pada dataran yang berbatu tajam).

 

Sementara bagian terakhir, Super-Ego, menyimbolkan suatu figur ayah dan regulasi kultural.

Super-Ego merupakan bagian moral dari pikiran, yang terdapat pada area bawah sadar, di mana ia

menyimpan nilai-nilai parental dan masyarakat; dan merupakan lawan bagi Id. Super-Ego

terbentuk pada penolakan terhadap Oedipus complex, oleh identifikasi dan internalisasi figur ayah

setelah sang anak lelaki (menurut Freud Super-Ego dimulai di usia lima tahun) tak dapat

memperlakukan ibunya sebagai obyek cinta karena takut dikebiri:

Page 2: manusia,kebutuhan & etika

 

‘Super-Ego mempertahankan peran ayah, yang sebelumnya merupakan Oedipus complex yang

lebih kuat yang dengan cepat jatuh pada penindasan (di bawah pengaruh otoritas, pengajaran

agama, sekolah, dan sumber bacaan), si penindas di kemudian hari menjadi dominasi super-ego

terhadap ego – dalam bentuk kesadaran penuh atau mungkin rasa bersalah di bawah sadar.’ [3]

 

Super-Ego menyempurnakan peradaban seorang manusia, menekan segala desakan Id yang tak

dapat diterima serta berusaha agar Ego bertindak pada standar-standar idealis daripada prinsip-

prinsip realistik. Freud menggambarkan Super-Ego sebagai ‘bukan hanya kepribadian orang tua itu

sendiri, namun juga tradisi keluarga dan ras yang diwariskan melalui mereka… Super-Ego seorang

individu dalam perkembangan dirinya mengambil alih kontribusi dari pewaris dan pengganti orang

tuanya di kemudian hari.’[4]

 

Super-Ego terdiri dari dua bagian, Ego Ideal dan Hati Nurani (Conscience). Ego Ideal merupakan

kumpulan peraturan-peraturan yang diakui dan disetujui oleh orangtua dan figure otoritatif

lainnya; serta merupakan standar bagi kelakuan-kelakuan yang baik. Mengikuti Ego Ideal akan

membawa individu kepada kebanggaan dan keberhasilan. Sementara Hati Nurani mengandung

informasi mengenai kelakuan-kelakuan yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat, di

mana pelanggaran terhadap Hati Nurani akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang

buruk seperti hukuman, perasaan bersalah dan penyesalan.

 

Super-Ego sangat berkaitan dengan Hati Nurani, di mana Super-Ego bertindak sebagai hati nurani

yang mempertahankan rasa moralitas seseorang dan menjauhi hal-hal yang tabu, meskipun Super-

Ego merupakan wilayah bawah sadar sementara Hati Nurani terdapat pada pikiran sadar kita.

 

Piramida Maslow

 

Kontribusi Abraham Maslow (1908 – 1970) yang terbesar bagi dunia psikologi adalah teorinya

mengenai Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs). Teori ini dimunculkan dalam karyanya A

Theory of Human Motivation, pada tahun 1943.

 

Hierarki Kebutuhan Maslow biasanya digambarkan dengan bentuk piramid sehingga disebut

Piramida Maslow. Hierarki ini, menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia (basic needs)

terdiri dari lima tingkatan, keempat tingkat terbawah digolongkan menjadi satu sebagai D-

needs (deficiency needsatau kebutuhan defisiensi) dan berkaitan dengan kebutuhan fisiologis;

sementara tingkat teratas merupakan B-needs (being/growth needs atau kebutuhan untuk menjadi

atau bertumbuh).

 

Tingkat terbawah dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah kebutuhan-

kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kebutuhan ini, seperti makan, tidur, dan lainnya;

Page 3: manusia,kebutuhan & etika

merupakan yang paling mendasari semua kebutuhan lainnya. Seseorang yang kekurangan

segalanya dalam hidupnya, maka ia akan berusaha paling keras untuk memenuhi kebutuhan

fisiologisnya di atas yang lainnya.

 

Munculnya kebutuhan fisiologis didasarkan atas dua aspek, yaitu homeostasis dan selera

(appetite). Homeostasis merupakan usaha dari dalam tubuh sendiri untuk mempertahankan aliran

darah yang konstan dan stabil. Di lain pihak, menurut Young, jika tubuh kekurangan suatu jenis

elemen kimia, individu tersebut akan cenderung mengembangkan suatu selera yang spesifik atau

kelaparan parsial akan jenis elemen itu.[5]

 

Setiap kebutuhan fisiologis dan kelakuan konsumtif yang berkaitan bertindak sebagai dasar akan

kebutuhan-kebutuhan lainnya. Misalnya, seseorang yang mengalami kelaparan sebenarnya

termotivasi lebih kepada pencarian akan kenyamanan atau kepercayaan; bukannya pada vitamin

atau protein.

 

Jika organisme manusia didominasi oleh kebutuhan-kebutuhan fisiologisnya maka kemungkinan

yang dapat terjadi adalah perubahan pada filosofi akan masa depan. Bagi seseorang yang lapar,

maka Utopia bagi dia merupakan suatu tempat di mana terdapat makan yang berlimpah ruah.

Namun, keadaan ini sangatlah jarang ditemukan di dunia ini. Kultur merupakan suatu perangkat

adaptif, yang berfungsi untuk mengurangi kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Kelaparan yang ekstrim

sangatlah sulit ditemukan di masyarakat-masyarakat yang ada.

 

Ketika kebutuhan-kebutuhan fisiologis telah dipenuhi, maka sekumpulan kebutuhan lainnya

muncul – kebutuhan akan keamanan (the safety needs). Kebutuhan akan keamanan antara lain

berupa keinginan akan pekerjaan yang memiliki jabatan dan perlindungan, keinginan untuk

memiliki kepemilikan pribadi, atau asuransi, dan lainnya. Aspek yang lebih luas mengenai

kebutuhan ini meliputi kecenderungan terhadap hal-hal yang familier daripada yang tidak, atau

yang diketahui daripada yang tak diketahui. Kecenderungan untuk memeluk suatu agama atau

filosofi (yang mengatur dunia ini) merupakan bagian dari motivasi akan pencarian keamanan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sains dan filosofi dimotivasi oleh kebutuhan ini. Di lain

pihak, kebutuhan akan adalah kebutuhan yang muncul secara aktif dan dominan di keadaan-

keadaan darurat, seperti perang, penyakit, bencana alam, gelombang kriminal, disorganisasi

sosial, dan lain-lain.

 

Kebutuhan akan keamanan ini dapat dilihat dengan lebih baik pada anak kecil ataupun bayi.

Sesuatu kejadian buruk yang melanda seorang anak dapat mengubah dunianya yang tadinya

cerah kini menjadi penuh kegelapan, dan pada gilirannya akan mengubah cara pandangnya

terhadap dunia. Indikasi lainnya dari kebutuhan akan keamanan pada diri seorang anak adalah

kecenderungannya terhadap rutinitas yang tak berubah. Kejadian buruk yang terjadi padanya

mengakibatkan si anak merasa tidak aman; dan hal ini bukanlah karena kesakitan yang

dideritanya, namun lebih karena ancaman yang muncul yang membuat dunianya menjadi sangat

tidak dapat diprediksi dan dipercaya.

Page 4: manusia,kebutuhan & etika

 

Kebutuhan akan cinta (the love needs) merupakan kebutuhan yang akan muncul setelah kedua

kebutuhan di atas terpenuhi. Seseorang kini akan merasa lapar akan kehadiran teman, sahabat,

kekasih, atau pasangan hidup, atau anak. Ia akan mencari hubungan afektif dengan orang lain

lebih dari apapun yang dibutuhkannya di dunia ini.

 

Satu hal yang penting adalah keberbedaan antara kebutuhan akan cinta dengan seks. Seks bisa

saja dipelajari sebagai suatu kebutuhan fisiologis yang murni; meskipun kelakuan seksual tidak

dapat dilihat hanya dalam satu aspek, yaitu seksual saja, namun juga aspek lainnya seperti

kebutuhan akan cinta. Selain itu, kebutuhan akan cinta meliputi kedua aspek, memberi dan

menerima cinta.

 

Selanjutnya di atas kebutuhan akan cinta adalah kebutuhan akan penghargaan diri (the esteem

needs). Semua orang dalam suatu masyarakat menginginkan suatu kehidupan yang stabil dan

bernilai tinggi, demi penghargaan dan penghormatan baik dari dalam diri sendiri maupun dari

orang lain.

 

Kebutuhan akan penghargaan diri ini melibatkan dua kelompok. Yang pertama, merupakan hasrat

akan kekuatan, akan pencapaian, akan kecukupan, akan kenyamanan di mata dunia, dan akan

kemerdekaan dan kebebasan. Sementara yang kedua, adalah hasrat akan reputasi dan prestise

(yang didefinisikan sebagai respek atau penghormatan dari orang lain), pengenalan, perhatian,

kepentingan, atau apresiasi.

 

Pemenuhan kebutuhan ini akan mengakibatkan perasaan nyaman, berpunya, kuat, mampu, dan

berkecukupan untuk menjadi penting di dunia. Namun kegagalan kebutuhan ini membawa orang

pada perasaan inferior dan kelemahan.

 

Kebutuhan dasar yang terakhir dan sekaligus menempati puncak Piramida Maslow adalah

kebutuhan akan aktualisasi diri (the need for self-actualization). Ketika semua kebutuhan telah

dipenuhi, tetap saja akan selalu muncul ketidakpuasan hingga seseorang dapat melakukan apa

yang sesuai dengan dirinya. Bila seorang dapat menjadi sesuatu, maka ia harus menjadi itu[6];

inilah yang disebut dengan aktualisasi diri.

 

Aktualisasi diri merujuk pada pemenuhan diri, yaitu kecenderungan seseorang untuk menjadi

teraktualisasikan dalam bidang yang ia kuasai. Kecenderungan ini merupakan hasrat yang muncul

untuk menjadi lebih dan lebih lagi. Wujud kebutuhan akan aktualisasi diri ini bervariasi untuk tiap

individu.

 

Page 5: manusia,kebutuhan & etika

Individu-individu yang mencari aktualisasi diri akan mencari pengetahuan, kedamaian,

pengalaman, estetik, kesatuan dengan Tuhan, dan lain sebagainya. Karakteristik-karakteristik

mengenai aktualisasi diri menurut Maslow adalah:

Persepsi yang jelas akan realitas: persepsi akurat yang jelas mengenai suatu keadaan dan

kemampuan mengenali kepalsuan, serta ketidaktakutan menghadapi ketidaktahuan.

Penerimaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan sekitarnya: ketidakmaluan menerima

kelemahan dan kecacatan dalam dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya.

Spontanitas, tidak konformis: tindakan spontan dalam kehidupan namun bukan di luar aturan.

Terpusat pada pemecahan masalah: ketertarikan untuk memecahkan masalah.

Privasi dan kebutuhan untuk menyendiri: kebertahanan untuk tetap tak terganggu, yang

dapat menyebabkan sikap asosial.

Otonomi, independen terhadap lingkungan dan kultur yang ada: ketidaktergantungan

terhadap orang lain atau kebudayaan di luar, namun lebih kepada pertumbuhan dan

perkembangan diri sendiri.

Apresiasi segar yang berkelanjutan terhadap kehidupan sekitar: keberlanjutan apresiasi

terhadap kesenangan-kesenangan mendasar dalam hidup.

Pengalaman mistik atau pengalaman puncak: pengalaman yang menguatkan dan mengubah

diri serta meninggalkan kesan yang mendalam.

Kesatuan dengan kemanusiaan: identifikasi, simpati, dan afeksi kepada orang lain, dan

secara umum terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Relasi antarpersonal yang dalam: kedekatan, cinta, dan pengenalan yang lebih dalam dari

yang biasanya, dan biasanya pada sekelompok kecil teman.

Watak demokratis: penghormatan terhadap setiap orang dan keinginan untuk belajar darinya.

Etika yang berujung pada moral: pembedaan yang jelas antara maksud dan tujuan serta

pemahaman akan kebaikan dan keburukan serta kebenaran dan kesalahan yang umumnya

berbeda dengan orang lain.

Rasa humor filosofis yang tak menyakitkan: humor cerdas yang intrinsik dan spontan.

Kreativitas dan imajinasi: cara pandang terhadap sesuatu yang segar dan langsung serta naif.

 

Analisis Perbandingan

 

Dalam materi kuliah mengenai etika normatif, terdapat beberapa pandangan mengenai

pemecahan untuk menghilangkan sikap utopis dan meraihnya, antara lain berupa etika sebagai

norma, kesenangan sebagai norma, perwujudan diri sebagai norma, dan lain sebagainya. Etika

sebagai norma merupakan buah pikiran Kant, yang berlandaskan pada hukum alam untuk

mendasari hukum akal manusia. Jika alam dapat bergerak secara teratur, maka begitupun dengan

Page 6: manusia,kebutuhan & etika

manusia. Hukum akan mengakibatkan adanya kewajiban, dan dengan demikian membentuk

kewajiban sebagai norma untuk manusia.

 

Sementara itu, kesenangan sebagai norma melibatkan pemikiran bahwa kesenangan adalah satu-

satunya tujuan hidup manusia. Ini merupakan dasar dari paham hedonisme, yang menganggap

kesenangan sebagai perasa dalam tubuh manusia. Perlu diingat, kesenangan yang dimaksud di

sini bukanlah semata kesenangan fisik, namun juga kesenangan batin. Pemenuhan kesenangan

merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia dalam kepentingannya untuk bertahan hidup.

Prinsip ini mirip dengan salah satu aspek dalam teori Freud, yaitu Id. Id yang menginginkan

kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, bertujuan untuk pencapaian kesenangan

dirinya. Pemenuhan kebutuhan yang diinginkan oleh Id merupakan keempat kebutuhan dasar yang

terdapat dalam Piramida Maslow.

 

Ego yang mengendalikan Id dan mengarahkannya ke arah yang baik merupakan salah satu usaha

dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri (perwujudan diri), di mana Super-Ego juga bertindak di

sini untuk mengurangi keberlebihan permintaan oleh Id. Di sini yang berperan bukan hanya

mengejar kesenangan, namun juga mengurangi penderitaan (rasa sakit). Bentuk kedua dari

kesenangan sebagai norma adalah utilitarianisme, paham yang melibatkan keseimbangan antara

kesakitan dan kesenangan. Dalam utilitarianisme, terdapat satu aspek yang menentukan, yaitu

‘hedonisti calculus‘, untuk penghitungan kesakitan yang diperlukan untuk menguranginya dan

memberikan kesenangan bagi individu.

 

Aktualisasi diri sebagai norma merupakan bagian ketiga dari kesenangan sebagai norma. Manusia

mengejar kesenangan untuk mencapai tujuan tertingginya, yaitu aktualisasi diri. Salah satu aspek

dalam aktualisasi diri merupakan hasil pikiran Aristoteles, yaitu eudaemonisme. Eudaemonisme

melibatkan eudaemonia, yang bersifat mengatur diri dengan baik untuk mencapai keberhasilan

hidup. Keberhasilan hidup yang dimaksud di sini bukan hanya perasaan batin semata.

 

Endaemon tidak hanya mencari kesenangan hidup seperti yang dilakukan oleh Id, namun juga

yang lebih penting adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri akan dapat dipenuhi setelah segala

kebutuhan dasar telah terpenuhi, atau dengan kata lain ketika dorongan hasrat Id telah dapat

dikendalikan dengan mudah. Dengan demikian, Super-Ego dan Hati Nurani muncul untuk

mendominasi hidup seseorang dan mengikatnya dalam batas-batas yang dikenalinya. Aktualisasi

diri merupakan perwujudan Id dalam kepatuhannya dengan Ego dan Super-Ego (Hati Nurani).

 

Aktualisasi diri bukanlah penyerahan diri terhadap keingingan Id untuk melakukan apa saja yang

disukai. Lebih dari itu, aktualisasi diri melibatkan keinginan untuk mencapai tahap tertinggi dari

keberhasilan, yang berarti juga bahwa si individu telah menyatu dengan dunianya. Dengan

demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Super-Ego dan Hati Nurani-nya telah bersatu dengan

Id-nya sendiri, atau dengan kata lain telah terjadi keseimbangan antara Id, Super-Ego, dan Ego.

 

Page 7: manusia,kebutuhan & etika

Tahap aktualisasi diri termasuk dalam tahap paska konvensional dalam kumpulan tahap

perkembangan atas apa yang mendasari perbuatan seorang manusia. Tahap paska konvensional

melibatkan prinsip etika universal, yang adalah keadilan dan persamaan martabat. Pada tahap

paska konvensional, orientasi perbuatan adalah terhadap tata nilai dan hukum formal yang berupa

perjanijian spesifik yang berlaku di masyarakat. Tahap paska konvensional terjadi setelah

seseorang melalui tahap pra konvensional (yang setara dengan Id dan pemenuhan kebutuhan

dasar, berorientasi pada hubungan sebab-akibat secara langsung) dan tahap konvensional (setara

dengan Ego, berorientasi pada konvensi dan ketertiban serta mulai memahami kepentingan dunia

di luar dirinya). Tahap paska konvensional menyiratkan kepenuhan Super-Ego dalam diri individu,

serta membuka kemungkinan terhadap perwujudan aktualisasi diri dalam masyarakat.

 

Sumber:

Super-Ego versus Hati Nurani dari Freud

 

Id, ego, and super-ego dalam Wikipedia.org (http://en.wikipedia.org/wiki/Ego,_super-ego,_and_id)

Psychology 101, Chapter 3, Section 5 dalam AllPsych Online (http://allpsych.com/psychology101/)

Freud and Berne: Theoretical Models of Personality oleh Tony White; Books Reborn, Sep 2000

(http://www.ynot1.com.au/journals/FreudAndBerne.pdf )

Structure of Mind: Freud’s Id, Ego, and Superego (http://wilderdom.com/personality/L8-

4StructureMindIdEgoSuperego.html )

The Id, Ego, and Superego; Kendra van Wagner dalam About.com:Psychology

(http://psychology.about.com/od/theoriesofpersonality/a/personalityelem.htm)

Sigmund Freud dalam Internet Encyclopedia of Philosophy (http://www.iep.utm.edu/f/freud.htm)

Beyond the Pleasure Principle; Sigmund Freud

(http://ia331316.us.archive.org/3/items/beyondthepleasur007393mbp/beyondthep