manusia dalam pemikiran ali syari’ati

122
MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam Oleh: AKHMAD AZMIR ZAHARA NIM. 05510044 JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2011

Upload: muhammad-harir

Post on 01-Jan-2016

420 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Skripsi MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

TRANSCRIPT

Page 1: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh:

AKHMAD AZMIR ZAHARA NIM. 05510044

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2011

Page 2: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

ii

NOTA DINAS

Hal : Skripsi Sdr. Akhmad Azmir Zahara Lamp : 1 (satu) lembar Kepada Yth. Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah melakukan beberapa bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun teknik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa berikut di bawah ini :

Nama : Akhmad Azmir Zahara

NIM : 05510044

Jurusan : Aqidah dan Filsafat

Judul : Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati

Maka selaku pembimbing kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk dimunaqosahkan.

Wassalamu’alaikum Wb. Wr.

Page 3: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

iii

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-07/ RO

PENGESAHAN Nomor: UIN.02/DU/PP.00.9/1219/2011

Skripsi / Tugas Akhir dengan judul : Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati Yang dipersiapkan dan disisin oleh : Nama : Aqidah dan Filsafat NIM : 05510044

Telah dimunaqosyahkan pada : Senin, tanggal : 3 Oktober 2011 dengan nilai: 87/ A- dan dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Page 4: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

iv

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama : Akhmad Azmir Zahara

NIM : 05510044

Fakultas : Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam

Jurusan/Prodi : Aqidah dan Filsafat

Alamat Rumah : Ds. Karangjambe Rt. 03/II

Kec. Wanadadi

Kab. Banjarnegara

Alamat di Yogyakarta : RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta

Telp./Hp. : 087 838 244 015

Judul Skripsi : Konsep Manusia menurut Ali Syari’ati

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

1. Skripsi yang saya ajukan adalah benar asli karya ilmiah yang saya tulis sendiri.

2. Bilamana skripsi telah dimunaqosyahkan dan wajib direvisi, maka saya bersedia dan sanggup merevisi dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung dari tanggal munaqosyah. Jika ternyata lebih dari 2 (dua) bulan revisi skripsi belum terselesaikan maka saya bersedia dinyatakan gugur dan bersedia munaqosyah kembali dengan biaya sendiri.

3. apabila dikemudia hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukan karya ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia menanggung sanksi dan dibatalkan gelar kesarjanaan saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Page 5: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

v

MOTTO

Dan aku katakan Tidak ; Untuk cinta yang membelenggu kesadaran diri dan

kebebasan Dan aku pilih cinta yang membebaskan!!!

Aku, kau, dia dan mereka Masih disini, dibawah satu matahari

Tak’kan pernah bisa lari Lari dari kenyataan

Perubahan tidak turun dengan sendirinya dari langit

Kekuasaan tidak hanya untuk mereka yang tiran Namun perempuan wajah tuhan

Punya kehendak berkuasa

“Azmiritemdop”

Page 6: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

vi

PERSEMBAHAN

SKRIPSI INI SAYA PERSEMBAHKAN KEPADA:

SEMUA MANUSIA PENGHUNI PULAU BIRU

Suatu jalan panjang yang berliku Gelap yang semakin menebal Ialah raksasa yang angkuh

Menyeramkan, terus meneror dan menghancurkan ke-man usia-an Muncul dari dasar bumi menelan cahaya-nya hidup

“Eudenonisme” menjadi merana tak terbayang Setelah penghancuran atas monarki absolut

Menjadikan pengusa dan dengan republik agar dihorma ti Dengan seruan suci, dengan parade bersenjata,

Dengan rumah tempat tumpukan dollar Membuatnya semakin berjaya

Tapi tidak untuk mereka para pekerja-upahan Hidup mereka bukan sepenuhnya miliknya,

Mereka mencipta namun bukan untuknya, Mereka di jauhkan dari orang-orang yang terkasih

Seiring menyesakkan nafas Bersama luka yang semakin menganga

Mereka mulai berkumpul Meraka mulai membusungkan dada

Ribuan semut merah mulai menjarah Mereka sadar akan hukum sejarah

Lantas mereka berseru: “Kamilah pengganti dari kekuasaan leviathan yang ti ran”

“Kami bawa buah tangan anti private property” “Kamilah masa depan yang cerah”

Para pekerja-upahan berkumpul di jalan, di gedung-g edung Peperangan pun telah dimulai

Perang yang tak terdamaikan dan harus dimenangkan Raksasa terjungkal dari singgasananya

Mati di tiang-tiang pusat kota Sorak-sorak kemengan menggemuruh

Panji merah dimana-mana Mereka pun berkuasa Semua merasa nyaman

Sistem kaya-miskin lenyap Mereka benar-benar setara Dan republik pun menguap

Seruan suci, parade bersenjata, Rumah tempat tumpukan dollar menjadi barang antik

Peradaban baru, kebudayaan baru Inilah pulau biru

Senyum dan tawa dari setiap bibir orang-orang yang bebas

Page 7: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

vii

ABSTRAKSI

Kajian tentang manusia merupakan wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang menarik. Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional), Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai viator mundi, melainkan sebagai faber mundi. Sedangkan yang lain mengatakan manusia sebagai Insan. Namun pada konteks modern sekarang ini, manusia modern dianggap belum mampu mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri. Maka daripada itu, pembahasan secara intensif mengenai manusia, perlu untuk diajukan kembalikan.

Ali Syari’ati (1933-1977) merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Dengan pemikiran eklektis yang disandingkan dengan Islam, Syari’ati menegaskan bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan masyarakatnya. Sayangnya menurut Syari’ati, peradaban modern telah memunculkan tragedi kemanusiaan. Berangkat dengan pernyataan ini penulis mengajukan pertanyaan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana kategori manusia dan bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut Ali Syari’ati?

Dengan mengunakan pendekatan historis dan sosiologis, menggunakan metode deskriptif, Interpretasi dan analisis dapat dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, manusia dalam pemikiran Syari’ati terdiri dari kategori-kategori, yakni; (a) Khalifah; manusia sebagai wakil Tuhan yang memiliki intelektual (pengetahuan). Dengan ilmu pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri. (b) Manusia dua dimensional; manusia yang memiliki kebebasan. Hal ini ditunjukan Syari’ati berdasar proses penciptaan manusia dengan dua subtansi yang berbeda (materi dan spritual) yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu membawa kehakekat yang rendah, dan disisi lain cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi. (c) Insa>n; Dimensi manusia “men-jadi” yang menegasikan adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). (d) Manusia tercerahkan; manusia yang sadar akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya. Berkembangnya mazhab pemikirang barat, dianggap Syari’ati telah memberikan kemunduran bagi manusia, oleh karenanya Syari’ati mengkritik mazhab pemikiran barat. Kedua, sebagai manusia tercerahkan, ia memiliki tanggung jawab sosial –dimana masyarakat telah terpolarisasi dan terbelengu oleh penindasan. Manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, Syari’ati menegaskan bahwa Islam sebagai ideologi akan menegasikan penindasan menuju persamaan dan keadilan.

Adapun kontribusi dari penelitian ini, diharapkan secara teoritik dapat memberikan sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang manusia. Secara praksis dapat memberikan inspirasi bagi gerak mahasiswa maupun civitas akadimika bagi perubahan yang lebih baik lagi.

Page 8: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beserta

salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad SAW

yang dengan kesabaran dan kegigihanya telah menyelamatkan manusia dari

zaman jahiliyah kepada zaman yang diridhai-Nya.

Dengan terselesaikannya skripsi ini, maka secara formal berarti selesai

juga kegiatan belajar dalam menempuh jenjang Strata Satu (S1) yang penulis

lakukan. Hal ini karena skripsi merupakan pra-syarat bagi setiap mahasiswa Strata

Satu (S1) yang harus diselesaikan agar mahasiswa tersebut memperoleh gelar

sarjana. Ketika pendidikan formal yang penulis tempuh selesai, tentunya

pendidikan baru bersama masyarakat akan segera dijalani guna mengamalkan

hasil dari proses pencarian ilmu selama di kampus.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa ingin menunjukan kekayaan

kaum intelektual muslim yang nama dan kebesarannya sebagai raushanfikr dan

pelopor revolusi Islam Iran 1979. Oleh karena itu, penulis merasa terdorong untuk

mengangkat gagasan Ali Syari’ati dalam sebuah skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan semata-mata atas pertolongan

Tuhan Yang Maha Bijaksana. Di samping itu, dorongan, bimbingan dan bantuan

dari beberapa pihak sangat mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang

secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 9: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

ix

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. H. Musa

Asy’arie selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi

Agama dan Pemikiran Islam. Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku Katua jurusan

Aqidah dan Filsafat, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku Sekertaris jurusan dan Dr.

Sudin M. Hum, selaku Penasehat Akademik yang senantiasa membimbing dengan

tulus, terima kasih atas didikan dan kesabaranya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada pembimbing, Fahruddin

Faiz, S.Ag, M.Ag dan Dr. Syaifan Nur, yang dengan kesibukan dan keterbatasan

waktunya, tetapi senantiasa memberikan motivasi dan koreksi demi kesempurnaan

skripsi yang penulis susun. Mudah-mudahan apa yang disampaikan menjadi amal

yang senantiasa mengiringi langkah-langkahnya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Alim

Roswantoro, S. Ag. selaku penguji I, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku penguji II

dan Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku ketua sidang yang telah menguji dan

mengkritisi hasil skripsi yang jauh dari sempurna.

Selanjutnya terima kasih kepada keluarga penulis, khususnya kepada

kedua orang tua yang dengan sabar mendo’akan untuk kelancaran anaknya dalam

menuntut ilmu. Terima kasih juga kepada adik tercinta, Hara dan Zay yang selalu

membuat semua menjadi indah, kepada keluarga besar Bani Duryat yang selalu

terpancar persaudaraan abadi. Kepada teman baikku: Tupang (TH-05), Arafat

(PA-05), Ibnu (AF-05), terima kasih untuk tetap teman. Kepada Jazuli (alm): Rest

Page 10: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

x

in Peace. Kepada Ngutsman terima kasih atas “gusti” akalnya. Kepada kawan-

kawan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI): Salam Pembebasan Nasional; Cerdas,

Militan, Merakyat. Kepada teman-teman se-angkatan Aqidah dan Filsafat, terima

kasih semuanya: ruang kelas kita menjadi ramai dan ceria.

Akhirnya dengan penuh rendah hati penulis berharap mudah-mudahan

skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan segenap rakyat pada umumnya

serta bagi diri penyusun pada khususnya. Penyusun menyadari, dengan

keterbatasan pengatuan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik

dan saran yang membangun senatiasa penulis harapkan guna penyempurnaan

skripsi ini.

Yogyakarta, 02 Agustus 2011

Akhmad Azmir Zahara

Page 11: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tertanggal 22 Januari 1988 No:

158/1987 dan 0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab

Nama

Huruf Latin

Keterangan

أ

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

Alif

Ba>’

Ta>’

S#a’

Jim

Ha>’

Kha

Dal

Z#al

Ra>’

Zai

Tidak dilambangkan

b

t

s^

j

h}

kh

d

z^

r

z

Tidak dilambangkan

be

te

es (dengan titik di atas)

je

ha (dengan titik di bawah)

ka dan ha

de

zet (dengan titik di atas)

er

zet

Page 12: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xii

س

ش

ص

ض

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

ء

ي

Si>n

Syi>n

S~a>d

Da>d

Ta’>

Za>’

‘Ayn

Gayn

Fa>’

Qa>f

Ka>f

La>m

Mi>m

Nu>n

Waw

Ha>’

Hamzah

Ya>

s

sy

s`

d}

t`

z}

g

f

q

k

l

m

n

w

h

'

y

es

es dan ye

es (dengan titik di bawah)

de (dengan titik di bawah)

te (dengan titik di bawah)

zet (dengan titik di bawah)

koma terbalik

ge

ef

qi

ka

‘el

‘em

‘en

w

ha

apostrof

ye

Page 13: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xiii

B. Konsonan rangkap karena syaddahsyaddahsyaddahsyaddah ditulis rangkap

�دة� !

�ة#

ditulis

ditulis

Muta'addidah

‘iddah

C. Ta’Ta’Ta’Ta’ marbu>t}ahmarbu>t}ahmarbu>t}ahmarbu>t}ah di akhir kata ditulis h

$%&'

$(#

آ/ا!$ ا-و,+*ء

ا,12/ زآ*ة

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

H�ikmah

'illah

Karāmah al-auliyā'

Zakāh al-fitri

D. Vokal pendek

_____

4�5

_____

ذآ/

_____

;:ه8

fath �ah

kasrah

d�ammah

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

a

fa'ala

i

żukira

u

yażhabu

Page 14: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xiv

E. Vokal panjang

1

2

3

4

Fathah + alif

��ه���

Fathah + ya’ mati

��

Kasrah + ya’ mati

�� آ

Dammah + wawu mati

5/وض

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ā

jāhiliyyah

ā

tansā

i

karim

ū

furūd�

F. Vokal rangkap

1

2

Fathah + ya’ mati

����

Fathah + wawu mati

��ل

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ai

bainakum

au

qaul

Page 15: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xv

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan

apostrofapostrofapostrofapostrof

اا= >

ا#�ت

>?, <@/&A

ditulis

ditulis

ditulis

a’antum

u’iddat

la’in syakartum

HHHH.... Kata sandang Alif + LamAlif + LamAlif + LamAlif + Lam

Diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan

huruf "al".

ا,B/ان

ا,B+*س

ا,C%*ء

D%E,ا

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

al-Qur’ān

al-Qiyās

al-Samā’

al-Syam

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat

Ditulis menurut penulisannya.

ا,2/وض ذوى

ا,GC$ اه4

ditulis

ditulis

żawi al-furūd�

ahl al-sunnah

Page 16: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN NOTA DINAS ............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN ................................................................................. v

HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

TRANSLITERASI ARAB .............................................................................. xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 8

D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9

E. Metode Penelitian ....................................................................... 13

F. Sistematika Pembahasan ............................................................. 16

BAB II BIOGRAFI ALI SYARI’ATI

A. Riwayat Hidup Ali Syari’ati ........................................................ 19

B. Kondisi Sosial Politik Iran ........................................................... 26

C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati............................................... 29

D. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi .............................................. 33

Page 17: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

xvii

E. Karya-karya Ali Syari’ati ............................................................. 38

BAB III MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI

A. Kategori Manusia ........................................................................ 43

B. Penjara-penjara Manusia ............................................................. 64

BAB IV MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

A. Manifestasi Dialektika Manusia ................................................... 73

B. Hubungan Manusia Tercerahkan dengan Tanggung Jawab sosial 78

C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia ............................. 90

D. Catatan Untuk Ali Syari’ati ........................................................ 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 97

B. Saran-saran .................................................................................. 99

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101

Page 18: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi

pembahasan yang menarik adalah masalah manusia. Mengutip pendapat

Charris Zubair: “sekalipun kita jenis manusia, “manusia” itu sendiri masih

misteri bagi kita.” Kemudian ditegaskan kembali oleh Alexis Carrel bahwa

manusia adalah makhluk yang misterius1 sehingga perlu adanya usaha-usaha

dalam menemukan definisi manusia. Meskipun manusia adalah sosok misteri

yang mempunyai rahasia besar di balik penampakannya, hal itu tidak

menghalangi para filsuf membongkar selubung kemisterian manusia.

Kenyataannya bahwa pembicaraan mengenai manusia telah mengisi daftar

panjang pemikiran dari zaman Yunani klasik hingga sekarang ini.

Manusia sebagai manusia, alias manusia sebagai dirinya sendiri, inilah

pokok pembahasan yang sangat panjang dalam sejarah pemikiran manusia,

baik di dunia belahan barat maupun di bagian timur. Apabila hendak

mengetahui bagaimana pendapat teks suci (baca: Taurat, Injil dan al-Qur’an)

mengenai apa dan bagaimana manusia, tentu tinggallah membuka-buka

halaman demi halaman teks suci tersebut. Namun apa dan bagaimanakah

manusia menurut manusia itu sendiri? Maka akan menemukan jawaban yang

sangat beragam, lengkap dengan argumentasinya masing-masing. Singkatnya,

1 Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam Dan Mazhab Barat, cet. II (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996), hlm. 37.

Page 19: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

2

manusia –bagi dirinya sendiri— merupakan entitas unik dan misterius sehingga

tidaklah aneh bila seseorang merasa tidak memahami esensi kemanusiaannya

sendiri.

Hakikat manusia dalam ruang lingkup filsafat selalu berkaitan dengan

unsur pokok yang membentuknya, dimana masing-masing aliran memiliki

pandangan tentang hakikat atau esensi manusia. Menurut Zainal Abidin dalam

bukanya berjudul “Filsafat Manusia” terdapat dua aliran tertua dan terbesar

yaitu materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham filsafat yang

menyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material.

Kebalikan dengan materialisme, idealisme meyakini bahwa kenyataan sejati

adalah bersifat spiritual. Materialisme dan idealisme dapat ditergolong dalam

monisme yang menyatakan bahwa esensi dari realitas, termasuk esensi manusia

adalah tunggal. Sedangkan aliran yang menyatakan esensi dari realitas terdiri

dari dua substansi adalah dualisme. Dualisme memandang kenyataan sejati

pada dasarnya adalah bersifat fisik dan spritual. Menurut aliran ini, manusia

merupakan makhluk yang terdiri dari dua substansi, yakni materi dan ruh.2

Berbicara tentang manusia, maka sekilas tergambar dalam fikiran

adalah berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah

hewan rasional (animal rasional) seperti yang dinyakini oleh Aristoteles (384-

322).3 Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai

fiator mundi (peziarah di muka bumi), melainkan sebagai faber mundi (pekerja

2 Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 25-30. 3 Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001),

hlm. 20.

Page 20: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

3

atau pencipta dunianya).4 Bagi kaum eksistensialis manusia merupakan

kebebasan dengan eksistensinya mendahului esensi.5 Selanjutnya Ibnu ‘Arabi

(1165-1240) seorang filsuf Islam mengatakan manusia sebagai Insan Kamil.

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa konsep yang ditawarkan tentang

manusia terdapat perbedaan-perbedaan yaitu tergantung konteks historisnya

masing-masing.

Dewasa ini, modernisme telah mentransformasikan perubahan sosial

yang begitu kompleks. Perkembangan modernisme telah membuahkan

kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, seperti bidang ekonomi,

teknologi, budaya, dan sebagainya. Modernisme bukan saja telah membawa

manfaat dalam memudahkan akses pemenuhan kebutuhan bagi manusia, tetapi

juga membawa tragedi bagi manusia itu sendiri. Jika Habert Marcuse

menyatakan modernitas membuat manusia menjadi satu dimensi, Ali Syari’ati

(1933-1977) menunjukan modernitas sebagai peradaban mesinisme telah

membentuk manusia-manusia palsu dan tidak kreatif.6 Sehingga manusia akan

merasa terasing dari dunia sekitarnya. Artinya, manusia terasing merupakan

realitas dimana ia dipaksa untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi

kekuatan eksternal untuk membentuk, mengarahkan, dan mengisi

eksistensinya. Maka daripada itu, cita-cita besar modernisme untuk menjadikan

4 Zainal Abidin, Filsafat Manusia; Memaham, hlm. 16. 5 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul, (Yogyakarta: Philosophy Press,

2001), hlm. 58. 6 Ali Syari’ati, Peran Cendikiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah

Wawasan Sosiologis, terj. team Naskah Shalahuddin (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hlm. 23.

Page 21: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

4

manusia sebagai makhluk otonom malah terjatuh pada peng-obyek-an terhadap

manusia itu sendiri.7

Tujuan manusia adalah memperoleh kebahagian sebagaimana yang

dikatakan oleh Aristoteles,8 namun karena tidak memahami peran “beradanya”

manusia, manusia modern terlena dalam eforia ketidakbahagiaan.9 Manusia

modern telah kehilangan kehendak kebebasan dan kesadaran dirinya. Lebih

lagi, zaman modern telah melahirkan tragedi kemanusiaan, yakni adanya

munculnya eksploitasi manusia atas manusia. Ironisnya, para penguasa dan

intelektual Islam memandang bahwa Barat merupakan negeri yang modern

sekaligus beradab, sehingga mereka harus menirunya secara total. Segala

sesuatu yang serba Barat disanjung-sanjung dan diimpor tanpa ragu. Peniruan

semacam ini merupakan “fanatisme buta”,10 yaitu manusia telah kehilangan

kehendak bebas, teralienasi dan hilangnya kreatifitas.

Menurut Muhammad Iqbal tujuan Pendidikan adalah membentuk

manusia.11 Namun pendidikan yang diimpor dari Barat dan belum tentu

mampu menjawab persoalan-persoalan manusia disekitarnya. Oleh karena itu,

intelektual Islam menjadi formalis-birokrat yang tidak mampu menyelesaikan

7 Henry S. Sabari, Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern, (Yogyakarta: Kanisius,

2008), hlm. 60. 8 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta:

Kanisius, 2009), hlm. 4.

9 Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimendi, cet. I, terj. Silvester G. Sukur & Yusup

Priyasudiarja (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 7. 10 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais (Yogyakarta: Shalahuddin

Press, t.t.), hlm. 84. 11 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka,

1985), hlm. 67.

Page 22: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

5

persoalan-persoalan manusia sekitarnya. Ali Syari’ati menyatakan bahwa

“ilmuwan juga belum membawa gagasan-gagasannya ke titik permasalahan

akan penderitaan batin masyarakat atau memungkinkannya untuk melahirkan

kesadaran diri dari rakyat, mengarahkan tujuan dan cita-cita bersama

mereka”.12 Sebagai kaum intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial,

seharusnya mampu membawa angin perubahan, berjuang melawan

penyimpangan, melawan ketertindasan, dan membela kaum-kaum yang lemah.

Namun sebaliknya mereka hanya menampakkan arogansi intelektualnya

dengan hanya memahami gagasan-gagasan kaum intelektual lama bahkan

mengimpor dari Barat. Sebagaimana ditulis oleh Kazou Shimogaki bahwa

imitasi Barat akan membawa pada kehancuran peradaban Islam:

Superioritas Barat di bidang ilmu sosial, tetap kokoh, dan bangsa-bangsa Muslim terus mempelajarinya. Mereka mempelajari itu semua tanpa menyadari kaitan antara tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga bangsa-bangsa Islam jatuh kedalam pengaruh Barat. Proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam runtuh. Imperialisme kultur Barat berkembang menjadi apa yang disebut kolonialisme peradaban.13

Ternyata, meskipun manusia sudah berkembang sedemikian modern,

tetapi manusia modern belum mendapatkan kebebasan –kebebasan

menuntukan pilihannya, kebebasan dari belenggu penindasan. Usaha-usaha

untuk mengembalikan manusia pada posisi idealnya terus dilakukan. Namun

terkadang ditemukan penyimpangan-penyimpangan dari ilmu pengetahuan

yang justru mengalienasi kesadaran manusia, yaitu pandangan yang

12 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,

1988), hlm. 33. 13 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Telaah Kritisatas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M

Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 38.

Page 23: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

6

menginkari adanya kehendak bebas (free will) manusia. Sehingga pembahasan

secara intensif mengenai manusia, perlu kiranya ajukan kembalikan sesuai

konteks masyarakat modern sekarang ini.

Ali Syari’ati merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian

cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Syari’ati menuturkan

bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi

tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan

masyarakatnya.14 Sehingga persoalan manusia menjadi sangat penting baginya.

Syari’ati mengungkapkan kegelisahannya tentang persoalan manusia modern

ini:

Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta; oleh karena itu memerlukan pencurahan perhatian yang besar. Manusia dilihat dari perkembangannya hingga sampai sekarang, manusia modern belum mampu mencapai suatu kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri, walaupun ia telah dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan dan mengatasi banyak rintangan yang ditimbulkan oleh sang alam yang membatasi kemajuan manusia.15

Pernyataan di atas menjelas bahwa dengan berkembangnya ilmu

pengetahuan, manusia dapat menggunakannya untuk kepentingan memecahkan

pelbagai permasalah manusia. Misalnya, dengan ilmu pengetahuan pertanian

manusia dapat memodernisasi pertanian sehingga menghasilkan panen yang

berlimpah. Adapun dengan pengetahuan otomotif, ia dapat menciptakan alat

transportasi yang memudahkan perjalanan mansuia. Tetapi “keberadaan”

manusia masih menyisakan pertanyakan. Disisi lain masyarakat manusia

terbagi dalam kelas-kelas sosial yang memunculkan kemiskinan dan

14 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 51. 15 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 49.

Page 24: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

7

ketidakadilan. Manusia modern tidak sadar bahwa ia terbelunggu oleh sistem

kapitalisme sebagai tatanan masyarakat modern.

Ali Syari’ati senantiasa mengaitkan pembicaran manusia dengan Islam.

Pada teks (al-Qur’an) manusia ditunjuk sebagai khalifah oleh Tuhan di muka

bumi. Dengan pengetahuan intelektualnya, manusia mampu mengetahui segala

fakta yang ada dalam alam semesta. Dengan pengetahuan dari “Guru Pertama”

manusia memiliki kesadaran diri dan memiliki tanggung jawab untuk

memakmurkan dan mengelola alam. Syari’ati tidak berbicara pada hal yang

metafisik saja, akan tetapi ia memanifestasikan pada realitas perkembangan

gerak manusia. Syari’ati sadar bahwa zaman modern melahirkan tragedi

kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia modern membutuhkan “manusia

unggul”16 dalam istilah Nietzsche. Lebih tepat, Syari’ati menyebut unggul

sebagai raushan fikr, yakni manusia yang sadar akan kondisi sosial yang ada

dalam masyarakatnya serta memiliki tanggung jawab sosial.

Berdasarkan pembahasan di atas, manusia modern memiliki persoalan

yang begitu kompleks dan kemudian menandakan sebuah tragedi kemanusiaan.

Sebagai diagnosis dari tragedi kemanusiaan tersebut diperlukan adanya sebuah

kajian mendalam tentang manusia. Dimana dimensi manusia yang begitu

kompleks telah mengisi alur kehidupannya, dengan menguraikan pembahasan

manusia harapannya akan didapati pula jati diri manusia. Disini penyusun

hendak memfokuskan kajian terhadap pemikiran Ali Syari’ati mengenai

manusia.

16 Manusia unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia, melalui perbaikan kecerdasan dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan individu-individu. Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 114.

Page 25: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

8

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang masalah di atas, setidaknya

dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti mengenai manusia dalam

pemikiran Ali Syari’ati, yaitu:

1. Bagaimana pandangan Ali Syari’ati tentang manusia?

2. Bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut

Ali Syari’ati?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penyusun melakukan penelitian pengenai “Manusia dalam Pemikiran

Ali Syari’ati”, dengan tujuan:

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Penyusun berusaha meneliti pemikiran Ali Syari’ati tentang

manusia, yaitu bertujuan untuk dapat mengetahui kategori manusia

dalam pemikirannya.

b. Penyusun, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep

manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial dalam pemikiran

Ali Syari’ati.

Hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat, pertama, Ali Syari’ati

merupakan tokoh besar yang pemikirannya telah mempengaruhi umat Islam di

belahan dunia, khususnya di Iran dengan pecahnya Revolusi Islam 1979.

Kedua, penyusun termotivasi karena lingkungan akademik yang penuh dengan

tradisi intelektual.

Page 26: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

9

2. Kegunaan Penelitian

Berkaitan dengan kegunaan penelitian:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang

manusia.

b. Secara praktis:

1) Penyusun berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi

terhadap pengembangan jurusan Aqidah dan Filsafat sebagai

ujung tombak kemajuan intelektual.

2) Penyusun juga berharap, hasil penelitian mampu menjadi refrensi

atau acuan bagi peneliti bahkan memberikan inspirasi bagi gerak

mahasiswa maupun civitas akadimika khususnya Fakultas

Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam untuk berjuang

demi perubahan.

Hal ini juga dikarenakan tradisi wacana kritis haruslah tetap terus

dikembangkan dan tentunya sebagai dasar untuk melakukan suatu perubahan

dalam masyarakat luas.

D. Tinjauan Pustaka

Pemikiran Ali Syari’ati memang menarik untuk dikaji, sehingga tidak

jarang para peneliti mengkaji pemikirannya. Dari penyelusuran pustaka,

penyusun mendapati beberapa karya penelitian yang membahas pemikiran Ali

Syari’ati, diantaranya berupa skripsi dan buku.

Page 27: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

10

1. Seperti skripsi Iin Martini tentang “Konsep Intelektual Menurut Ali

Syari’ati”, ia menjelaskan yang dimaksud intelektual adalah orang yang

tercerahkan. Orang yang tercerahkan digambarkan Ali Syari’ati sebagai

orang yang memiliki tanggungjawab sosial.17 Ketika orang telah memiliki

kesadaran akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya, maka ia

akan dengan sendirinya memiliki rasa tanggungjawab sosial. Intelektual

yang tercerahkan memiliki peran untuk menggerakkan massa untuk

mengubah dan revolusi serta memerangi penindasan dan ketidakadilan.

Intelektual yang tercerahkan tidak berusaha untuk melarikan diri atau

mengasingkan dirinya, mereka menyadari bahwa mereka telah diutus

dengan sebuah misi bagi rakyatnya. Skripsi Iin hanya menjelaskan tentang

peran intelektual yang tercerahkan sesuai dengan pandangan tokoh semata

(tidak ada yang baru), dan belum menyentuh tentang pandangan manusia,

misalnya bagamana otentisitas manusia?

2. Dalam skripsi Ismulyadi tentang “Sosialisme Islam Ali Syari’ati”,

menurutnya, pandangan Ali Syari’ati dimulai dengan Tauhid tentang

keesaan Tuhan, dilanjutkan dengan menguraikan visi Islam dalam

membicarakan persoalan manusia. Dalam menjelaskan persoalan manusia,

Ismulyadi belum mendalam. Ia hanya menekankan terhadap dehumanisasi

manusia dengan memberikan arah pemikiran sosialisme Islam yang

dibangun diatas tradisi Islam Syi’ah yang revolusioner.18

17 Iin Martini, Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati (Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga, 2007), hlm. 83.

Page 28: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

11

3. Skripsi Eko Supriadi tentang “Keterkaitan antara Marxisme dan Islam;

perspektif pemikiran Ali Syari’ati.” Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa

ideologi marxisme adalah ideologi yang tidak memiliki persamaan dengan

ideologi Islam. Islam menempatkan posinya yang antagonistik dengan

marxisme19. Karya peneliti diatas belum cukup komperhensif dengan kaitan

tema yang diajukan oleh penyusun. Skripsi Eko Supriadi dalam menjelaskan

diterminisme hanya terfokus pada Marxisme, yaitu penolakan Ali Syari’ati

pada esensi manusia yang bersifat fisik dan logika manusia ekonomis.

4. Selanjutnya skripsi Khairul Azhar Saragih dengan judul “Pandangan Ali

Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim

(Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia)” menjelaskan

bahwa intelektual tercerahkan merupakan Individu-individu yang memiliki

rasa tanggung jawab terhadap masyarakat, kondisi sosial, mempunyai misi

sosial, dan memberi arah intelektual dan sosial kepada massa rakyat. Selain

itu, intelaktual muslim adalah seorang guru dari rakyat. Intelektual muslim

bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi rakyat, sehingga

mereka dituntut untuk merumuskan kebijaksanaan masyarakat demi

perubahan yang berperikemanusiaan, keadilan, dan dapat mendorong

kemajuan dan perkembangan masyarakat secara sempurna yang bisa

dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Intelektual muslim yang

menjalankan misi universal dengan memperhatikan nilai-nilai Islam diminta

18 Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001)

hlm. 119. 19 Eko Supriadi, Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali Syari’ati

(Yogyakarta: UGM, 2002), hlm. 219.

Page 29: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

12

kesediaannya untuk mengorbankan dirinya dalam proses perjalanan hidup

masyarakat.20 Relasi dengan tanggung jawab intelektual Indonesia,

bagamana Intelektual Indonesia mampu memahami, menjelaskan serta

memecahkan berbagai macam persoalan dalam aspek sosial, agama, politik.

Sekripsi Khairul Azhar Saragih ada kesamaan dengan skripsinya Iin

Martini, akan tetapi skripsi Khairul Azhar direlasikan dengan Intelekual

Indonesia belum juga membahas secara mendalam tentang manusia,

misalanya keotentitasan manusia maupun diterminasi manusia.

Selain penelitian yang berbentuk skripsi, terdapat juga penelitian yang

berupa buku. Di antaranya adalah:

1. Buku yang berjudul “Islam Di Tepian Revolusi” karya Sarbini menjelaskan

pandangan Ali Syari’ati tentang Revolusi Islam. Menurutnya, gagasan Ali

Syari’ati; revolusi oleh kaum tertindas (Habil) yang digerakan kaum

intelektual akan terjadi untuk mengakhiri riwayat kaum penindas (Qabil).21

Sehingga didapati bahwa peran intelektual sangat berpengaruh dalam

menciptakan perubahan sosial atau revolusi. Intelektual yang dimaksud

dalam karya Sarbini adalah intelektual tercerahkan yang memiliki ideologi.

Ali Syari’ati merumuskan Islam sebagai agama yang perlu dipahami secara

Ideologis. Karena ideologi menuntur agar kaum intelektual bersikap setia

dan ideologilah yang mampu merubah masyarakat menuju masyarakat

tauhid. Masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi, diskriminasi antara

20 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial

Intelektual Muslim (Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 88.

21 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 99.

Page 30: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

13

manusia dan alam, ruh dengan badan, dunia dengan akhirat, dan antara spirit

dengan materi.22 Tetapi buku tersebut belum mengulas tema yang terkait

dengan tema yang diajukan oleh penyusun.

2. Kemudian di dalam bukunya Ali Rahnema yang berjudul “Ali Syariati;

Biografi Politik Intelektual Revolusioner” menjelaskan tentang perjalanan

kehidupan sosial, politik,karir intelektual serta karya-karya Ali Syariati.

Karya tersebut mengenai pokok pembahsan tentang seputar biografi Ali

Syari’ati, sehingga belum menyentuh tentang tema penelitian yang

penyusun ajukan.

Dari hasil penyelusuran pustaka di atas, telah diketahui bahwa belum

ada penelitian komperhensif dengan tema yang diajukan penyusun. Oleh

karena itu, penyusun akan berikhtiar meneliti pandangan Ali Syari’ati

mengenai Manusia secara komperhensif.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi tokoh, dengan menggunakan data

kepustakaan (library Research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian

yang dilakukan untuk menghimpun data dari berbagai literatur baik di

perpustakaan maupun di tempat lain terkaiat fokus kajian penelitian.

Sumber literatur dalam penelitian menggunakan sumber berbentuk buku,

jurnal, majalah, koran dan bahan lainnya lainya yang tertulis. Penelitian ini

bermaksud mengeksplorasi pemikiran Ali Syari’ati dengan menggunakan

22 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 79.

Page 31: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

14

metode penelitian kualitatif. Penelitian ini bisa dikatakan sebuah studi

tokoh, dimana studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian

kualitatif.23 Melalui jenis penelitian ini, peneliti akan dapat mengenal lebih

jauh dan mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide dalam

pemikirannya.24

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan dua macam data,

yaitu berupa sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data

primer yang dimaksud merupakan karya-karya yang dikarang atau ditulis

langsung dari Ali Syari’ati atau karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa

Indonesia, seperti:

a. Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam

b. Ali Syari’ati, Tugas Cendikiawan Muslim

c. Ali Syari’ati, Peran Cendikian Muslim, Mencari Masa depan

Kemanusian, Sebuah Wacama Sosiologis

d. Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam

Sedangkan data skunder adalah pendukung data primer. Data skunder

didapat dari kutipan sumber lain yang memuat pemikiran Ali Syari’ati, seperti:

a. Rahnema, Ali. Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual

Revolusioner, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002

23 Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),

hlm. 15. 24 Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, hlm. 16.

Page 32: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

15

b. Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan,

Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

c. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati, Yogyakarta: IAIN Sunan

Kalijaga, 2001.

d. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati, Yogyakarta:

UIN Sunan Kalijaga, 2007.

e. Supriadi, Eko. Keterkaitan antara Marxise dan Islam: Perspektif

Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: UGM, 2002.

3. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini memakai metode

dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dari literatur berupa arsip-arsip,

buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya. Pertama-tama dimulai

dengan mengoleksi data-data primer dan data-data skunder. Setelah

terkumpul, mulai mencari key word (kata kunci) untuk memudahkan

penelitian, kemudian dilakukan klasifikasi dan mengurutkan sesuai dengan

pokok bahasan yang telah ditentukan. Berikut ini adalah key word-nya:

a. Khalifah

b. Manusia dua dimensional

c. Manusia tiga dimensional

d. Raushanfikr

4. Analisis Data

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data tersebut adalah:

Page 33: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

16

a. Pendekatan historis digunakan dalam rangka merunut aspek

kesejarahan (genealogi) yang melatarbelakangi kehidupan Ali

Syari’ati beserta gagasan-gagasannya.

b. Pendekatan sosiologis digunakan dalam rangka menyelusuri

pemikiran Ali Syari’ati mengenai manusia tercerahkan dan tanggung

jawab sosial. Pendekatan ini dilakukan karena Ali Syari’ati sendiri

merupakan salah satu tokoh sosiologi Agama.

c. Metode deskriptif, yakni upaya penulis untuk membahas penelitian

ini secara sistematis dan terperinci terhadap tema dari aspek-aspek

yang dimaksud dalam pemikiran Ali Syari’ati.

d. Penelitian ini juga mengunakan metode Interpretasi, yaitu

menyelami ungkapan-ungkapan Ali Syari’ati serta konsep-konsep

yang berhubungan dengan manusia untuk mengungkap arti dan

implikasi yang ditimbulkanya.

e. Dengan metode Analisis peneliti akan melakukan pemeriksaan

secara konseptual atas makna yang terkandung dalam ungkapan-

ungkapan atau argumen yang digunakan Ali Syari’ati sehingga dapat

memperoleh substansi makna yang dimaksud dari ungkapan

tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Guna memudahkan pembahasan, maka pembahasan ini akan disusun

dengan sistematika sebagai berikut:

Page 34: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

17

BAB I, Pendahuluan, di mana dalam pendahuluan itu terdiri dari latar

belakang masalah, yang mencoba membahas sebuah permasalahan untuk

menonjolkan sisi problem yang akan diteliti dalam pembahasan berikutnya

kemudian diteruskan dengan mengambil sebuah perumusan masalah. Setelah

itu, peneliti menentukkan tujuan dan kegunaan penelitian, sehingga penelitian

ini memiliki visi dan misi serta kepentingan yang nyata bagi perkembangan

akademik khususnya di bidang filsafat. Selanjutnya, diteruskan dengan tinjauan

pustaka yang mencoba menelaah setiap kajian yang membahas pemikiran Ali

Syari’ati. Dari beberapa penelitian sebelumnya untuk diambil perbedaaan point

of idea-nya. Sedangkan, untuk metodologi penelitian ini digunakan sebagai

satu cara dan bagaimana peneliti bisa memecahkan suatu permasalahan yang

telah dirumuskan sehingga peneliti dapat membahas secara sistematis sesuai

dengan pendekatan yang telah peneliti tentukan. Terakhir, yakni tentang

sistematika pembahasan ini berguna untuk memetakan tentang pembahasan

secara runtut sesuai dengan dalam aturan penulisan ilmiah dan terutama lebih

khususnya dalam aturan penulisan skripsi akademik pada Fakultas Ushuluddin,

Studi Agama dan Pemikiran Islam.

BAB II, Bab ini penyusun mencoba mendeskripsikan latar belakang

sejarah Ali Syari’ati, meliputi riwayat hidup, kondisi sosial-politik Iran,

Paradigma pemikiran, tokoh yang mempengaruhi, dan karya-karyanya. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum meliputi apa saja yang

berkaitan dengan latar belakang sejarah kehidupan dan pemikirannya.

Page 35: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

18

BAB III, Bab ini penyusun mendeskripsikan tentang kategori-kategori

manusia dan belenggu penjara menurut Ali Syari’ati yang terdiri dari dua sub

judul yaitu kategori manusia dan penjara-penjara manusia.

BAB IV, Bab ini penyusun hendak menganalisis manusia tercerahkan

yang terdiri dari empat sub judul yaitu manifestasi dialektika manusia,

hubungan manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial, refleksi tanggung

jawab manusia Indonesia, dan catatan untuk Ali Syari’ati.

BAB V, Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan

dari uraian yang telah dikemukakan dan berisi saran-saran. []

Page 36: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

19

BAB II

JEJAK LANGKAH ALI SYARI’ATI

A. Riwayat Hidup

1. Masa Kecil

Ali Syari’ati dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan,

yang terletak di pinggiran kota Marshad, tepatnya di sebuah desa kecil di

Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, anak dari pasangan dari keluarga

kelas menengah bawah Muhammad Taqi (Mazinani) Syari’ati dan Zahra. Ia

merupakan anak pertama dan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga,

dengan tiga orang saudara perempuan yaitu Tehereh, Tayebeh dan Batul

(Afsaneh). Walau keluarganya hidup sedehana dengan ekonomi yang pas-

pasan, keluarganya sangat dihormati dikalangan masyarakat. Ayahnya,

Muhammad Taqi berprofesi sebagai pengajar dan tokoh spiritual. Taqi

mendedikasikan hidupnya untuk mempertahankan Islam dan

mendefinisikan garis besar Islam ‘yang diperbahuri’ yang sesuai dengan

kondisi modern dan responsif terhadap tuntutan pemuda yang lebih

memiliki kesadaran sosial.1 Sedangkan ibunya, Zahra merupakan seorang

perempuan yang memiliki dedikasi, pekerja keras serta seorang yang

sederhana dan penyabar. Hal itu ditunjukan dalam menerima kehidupan

yang menyedihkan, seringkali makan persediaan makanan yang paling

sederhana, sementara menyiapkan makanan yang cukup bagi anggota

1 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2002), hlm. 18.

Page 37: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

20

keluarganya. Kesederhanaan keluarganya pernah dilukiskan Syari’ati

kepada seorang teman bahwa dirumahnya ‘makan besar’ keluarga hanya

disajikan pada hari Jum’at malam, sehari dalam satu minggu.2 Kehidupan

keluarga itulah yang membentuk kepribadian dan pemikiran Syari’ati.

Pada umur 8 (delapan) tahun, Syari’ati sudah mengalami suasana

yang mencekam, yaitu ketika pasukan sekutu menginvansi Iran bulan

Agustus 1941. Dimana kekuasaan Reza Syah yang pro terhadap Jerman

dipaksa mundur dan digantikan oleh putranya yaitu Muhammad Reza.

Setelah sebulan peristiwa itu, Syari’ati memasuki sekolah dasar di Ibnu

Yamin. Di sekolah dasar, Syari’ati tidak terlalu mudah bergaul dan

berhubungan dengan teman-temannya. Sosok yang pendiam, pemalu dan

lebih suka memisahkan diri dari aktivitas-aktivitas teman-temannya

sehingga ia selalu merasa kesepian. Kegiatan yang paling digemari Ali

Syari’ati adalah membaca buku. Ia sering membaca dengan ayahnya sampai

larut malam dan kadang-kadang sampai dini hari, bahkan setelah ayahnya

tidur. Ali Syari’ati juga mengatakan bahwa dirinya telah mengenal koleksi

perpustakaan ayahnya yang memiliki 2000 buku selama tahun pertamanya

di sekolah dasar.3 Kegemaran membaca, menjadikan Syari’ati sebagai sosok

yang memiliki pandangan luas.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar pada bulan September 1947,

Syari’ati memasuki sekolah menengah di Firdausi. Berbeda di sekolah

dasar, Syari’ati lebih mudah berinteraksi sehingga memiliki banyak teman.

2 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 54-55. 3 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 58.

Page 38: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

21

Di sekolah menengah, minat baca Syari’ati semakin berkembang. Hal itu

didukung dengan tersedianya fasilitas yang baik seperti perpustakaan,

laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan ruang teater.4

2. Menjadi Dewasa

Dalam usianya yang semakin dewasa, Ali Syari’ati semakin aktif

dalam aktivitas politik. Pada tahun 1940-an bergabung dengan “Gerakan

Sosialis Penyembah Tuhan dan Pusat Penyebaran Islam yang didirikan oleh

ayahnya, Taqi Syari’ati, yang menjadi guru sekolah lanjutan atas, sarjana,

dan Islamolog. Pada tahun 1950 setelah menyelesaikan sekolah

menengahnya, atas permintaan ayahnya, Syari’ati mengikuti ujian masuk di

Institut Keguruan (Danesyara-ye Moqaddamati) yang ketat dan lulus pada

tahun 1952. Syari’ati bekerja di Kementrian Pendidikan dan dikirim ke

sekolah dasar Ketabpur di Ahmadabad untuk mengajar semua mata

pelajaran kepada semua siswa. Syari’ati menjadi mahasiswa sekaligus

menjadi guru ketika melanjutkan studinya ke Universitas Masyhad pada

tahun 1956 dan tetap bekerja penuh sebagai guru di Ketabpur. Semasa

menjadi mahsiswa, Ali Syari’ati bekerja sama dengan kelompok Sosialis

Penyembah Tuhan dan pernah menulis Maktab-e Vasetheh (The Median

School). Ia juga terlibat dalam gerakan politik pro Mossadeq serta tergabung

dibawah Gerakan Resistensi Nasional atau NRM (National Resistence

Movement). Syar’ati menjadi aktivis revolusioner dan aktif dalam

perjuangan untuk nasionalisasi minyak. Akibat akitivitas gerakan politiknya

4 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 59.

Page 39: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

22

yang mengancam pemerintahan, Syar’ati ditangkap dan dipenjara di

Teheran.5

Sekeluarnya dari penjara, Ali Syari’ati mengakhiri masa lajangnya

pada 15 bulan Juli 1958 dengan menikahi Puran Syari’at Rezavi (bibi

Fatemeh) putri dari Hajji Ali Akbar seorang pedagang. Pernikahan tersebut

menjadi buah bibir yang hangat di Masyhad tentang Syari’ati yang menikahi

perempuan yang tidak berjilbab. Hal itu terkadang membuat Syari’ati

depresi; Syar’ati menyesalkan mentalitas reaksioner masyarakatnya.6 Pada

Desember tahun 1958, mendapat gelar B.A. dalam bahasa Arab dan Prancis

dengan menerjemahkan skripsi Dar Naqd va Adab (“On Literary

Criticism”), karya pengarang Mesir, Dr. Mandur, sebagai skripsinya.

Kemudian Ali Syari’ati memenangkan beasiswa untuk belajar di Prancis.7

3. Menuju Paris

Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Masyhad, Ali Syariati

mendapatkan beasiswa untuk belajar di Prancis, yaitu di Universitas

Sorbonne. Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah,

menerima 8000 rial setiap bulan.8 Selama di Perancis, Syari’ati sering

bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran maupun karya seperti Henry

Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon,

George Gurwitsct, Lois Massignon, Jean-Paul Sartre dan Jacques Schwartz.

5 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19. 6 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 124-131. 7 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19. 8 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 137.

Page 40: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

23

Seperti di Iran, Ali Syari’ati aktif dalam kehidupan politik di Prancis,

yaitu bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi mendirikan Gerakan

Kebebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran, Kharij Az Keshvar), ikut dalam

pembentukan Front Nasional Kedua pada tahun 1962, dan bergabung

dengan gerakan Aljazair serta menyunting jurnal-jurnal berbahasa Persia;

Iran-e Azad dan Nameh-e Pars. Syari’ati berhasil menerjemahkan beberapa

karya seperti karya Che Guevara: Guerrilla Warfare; Sartre: What is

Poetry?; dan Fanon: The Wretched of the Earth.9 Keterlibatan Syari’ati

dalam Aktivitas Politik dan secara aktif memberikan kuliah-kuliah kepada

mahasiswa revolusioner Konggo mengakibatkan dirinya masuk penjara.

Pada tahun 1963, Syari’ati menyerahkan terjemahan yang disertai komentar

kritis atas naskah Persia abad pertengahan Fadha’il Al-Balkh (Les Merites

de Balkh) sebagai Doctorat de L’Universite-nya.10

4. Kembali Ke Iran

Dengan menyandang gelar doktor pada ilmu sosiologi pada tahun

1964, Syari'ati kembali ke Iran, tanah kelahirannya. Dalam perjalanan

kembali ke Iran, Syari’ati ditangkap dan kemudian dipenjara dengan

tuduhan bahwa ketika kuliah di Prancis ia telah berpartisipasi di dalam

aktivitas-aktivitas politik.11 Pada bulan Juli 1964, Syari’ati dibebaskan dari

penjara, disambut oleh keluarga dan teman-temannya. Pertemuan tersebut

9 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19-20. 10 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 20. 11 Ali Syari’ati, Haji, cet. VII, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 2006), hlm. v.

Page 41: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

24

merupakan peretemuan yang bahagia, sebab sudah lima tahun Syari’ati

berpisah dengan keluarga, kerabat dan teman-temannya.

Menurut penuturan Ali Rahnema bahwa sekembalinya ke Masyhad

pada tahun 1964, Syari'ati mengalami keterasingan yang luar biasa karena

teman-teman maupun kenalan-kenalan lamanya sudah tidak dapat “diajak

berkomunikasi”. Syari'ati sampai menggambarkan mereka sebagai oportunis

ompong yang hanya memerhatikan urusan perut dan bawah perut, bahkan

pakaian serta pantat mereka berlipat empat. Luka akan ‘agnostisisme

filosofis’ mulai mencuat justru di ambang puncak kariernya sebagai

intelektual Islam. Kebencian Syari'ati terhadap lingkungan sosialnya saat itu

menyebabkan dirinya bertanya-tanya tentang hakikat kehidupan. Saat itu

Syari'ati memasuki dunia mistik (tasawuf), suatu pengalaman yang pernah

mendatanginya sewaktu masih kanak-kanak. Perdebatan mengenai

eksistensi dan arti kematian memenuhi dirinya selama masa penyendirian

itu. Bahkan akibat frustasi yang berlebihan itu, Syari'ati sempat memutuskan

bunuh diri akan tetapi niatan tersebut dibatalkannya.12

Mengenai pekerjaan, Syari’ati melamar ke Universitas Teheran dan

Universitas Masyhad, namun tidak mendapakan jawaban. Lalu ia

mendatangi Kementrian Pendidikan, dimana ia bekerja sebagai guru

akademik 1964-1965. ia mulai mengajar pada bulan September 1964 di tiga

sekolah menengah yang terletak di lokasi yang berbeda.13 Beberapa tahun

kemudian, ia diminta mengajar di Universitas Masyhad. Dalam waktu yang

12 Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 219-225. 13 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 203.

Page 42: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

25

singkat ia menjadi popular di kalangan murid-muridnya dan berbagai kelas

masyarakat di Iran sehingga rezim yang sedang berkuasa pada waktu itu

terpaksa menghentikan aktivitasnya di Universitas tersebut.14

Setelah tidak mengajar lagi di Universitas Masyhad, Ali Syari’ati

pergi ke Teheran untuk melakukan aktivas ceramah-ceramah dan kuliah-

kuliah umum serta menulis. Ceramah-ceramah Ali Syari’ati menarik

perhatian dan dihadiri enam ribu mahasiswa, beribu-ribu orang dengan latar

belakang yang berbeda-beda telah mengikuti kuliah-kuliah yang

disampaikannya di musim panas di Istitut Husainiyah Irsyad. Semakin hari,

karir Ali Syari’ati menanjak dan semakin banyak pengikut dari kalangan

anak muda. Karena keberhasilan kuliah-kuliahnya yang sangat

mengagumkan itu, polisi-polisi Iran kemudian mengepung Istitut

Husainiyah Irsyad dan menangkap banyak pengikutnya. Untuk kedua

kalinya ia dipenjarakan selama 18 bulan. Karena desakan-desakan

masyarakat dan protes-protes internasional maka pada 20 Maret tahun 1975

dibebaskan oleh rezim yang berkuasa.15

5. Rest in Peace

Meskipun telah dibebaskan dari penjara, Ali Syari’ati sama sekali

tidak merasa bebas. Itu dikarenakan aktivitas-aktivitasnya selalui diawasi

oleh petugas keamanan Iran. Syari'ati dilarang untuk memberikan ceramah-

ceramah maupun kuliah-kuliah, bahkan dilarang menulis dan tidak

diperbolehkan menghubungi murid-muridnya. Oleh sebab kondisi-kondisi

14 Ali Syari’ati, Haji, hlm. v. 15 Ali Syari’ati, Haji, hlm. vi.

Page 43: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

26

yang sangat menekan itu dan sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah

Nabi Muhammad, akhirnya Syari'ati memutuskan berhijrah meninggalkan

Iran. Syari'ati berhasil pergi ke Inggris, akan tetapi tiga minggu kemudian,

tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, meninggal secara misterius di rumah

kerabatnya sebagai seorang syuhada dan jenazahnya dimakamkan di

Damaskus, Syria.

B. Kondisi Sosial Politik Iran

Iran merupakan salah satu negara yang memiliki rentetan historis

panjang, terkenal sebagai bangsa yang besar dan tertua, pusat kerajaan Persia

kuno. Pada tahun 513 SM. bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang

sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara, serta menginvasi

Yunani di tahun 480 SM. Pada tahun 1331 SM. Alexander dari Macedonia

menaklukkan kerajaan Persia dan menjadi bagian dari Kekaisaran Alexander.

Dinasti yang memerintah berturut-turut sejak berdirinya Dinasti Safavid (1501-

1732), Dinasti Qajar (1794-1925), tahun 1920 Sayid Ziauddin Taba Taba’i,

seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, menggulingkan

dinasti Qajar berganti ke Dinasti Pahlevi (1925-1978) dan akhirnya tumbang

oleh revolusi Islam 1979.

Iran merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama

sumber daya minyak, sehingga banyak negara Barat menginginkan Iran sebagi

daerah kekuasaan seperti Jerman dan Amerika. Kekuasaan Iran di pegang oleh

kekuasaan otoriter dari dinasti Reza Syah Pahlevi (1925-1941). Pada masa

pemerintahan Reza Syah yang memiliki simpati pro Jerman, ingin menjadikan

Page 44: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

27

negara Iran sebagai negara maju dengan model Barat. Moderinisasi,

industrialisasi dan sentalisasi kekuasan yang dilakukan dengan tangan besi;

penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan’ represi brutal terhadap

mereka yang menentang, menjadikan ciri utama pemerintahan Reza Syah.16

Peraturan pemerintah yang ketat dan memaksa serta menunjukan

peraturan dan tindakan yang anti agama, seperti persyaratan mengenai

ketentuan ijazah sarjana hukum diperoleh dari universitas nasional atau luar

negeri (5 Maret 1928), peraturan penggunaan pakaian model barat (28

Desember 1928), mempersempit kekuatan hukum dan sosial pengadilan agama

yang diserahkan kepada kantor-kantor sekuler (1932), merobohkan majid

Gowharsyhad (21 & 22 Juli 1935). Kontroversi kebijakan pemerintah tersebut

tidak menggugah perlawanan dari ulama dan cenderung pasif. Adapun yang

melawan akan di ditangkap dan dibunuh, seperti Sayyed Hasan Modarres,

seorang tokoh ulama yang popular karena dicurigai menentang keras tata cara

mengenakan pakaian (ditangkap, 1929; dibunuh, 1936).17

Di bawah kepemimpinan Reza Syah semua eleman masyarakat dari

oposisi religius maupun sekuler dibungkam. Situasi dan kondisi seperti itu

terberkembang hingga tahun 1941 saat Reza Zyah diturunkan dari tahta. Krisis

kepemimpinan memuncak setelah kekuasaan Reza Syah benar-benar runtuh,

dimana dirinya sebagai kepala negara tidak lagi memeritah sesuai dengan

konstitusi. Pada tahun itu juga, seorang pemimpin nasionalis sekular dari partai

Front Nasional bernama Mossadeq diangkat sebagai perdana menteri yang

16 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 1. 17 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 6-8.

Page 45: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

28

mengendalikan Iran. Mulai saat itu kemudian kondisi sosial dan politik negara

tersebut sangat kondusif bagi munculnya kelompok-kelompok keagamaan dan

gerakan politik. Aktivitas keagamaan dan politik publik yang sepenuhnya

terlarang hingga saat itu kembali bergairah.

Di lain pihak, setelah runtuhnya kekuasaan Reza Syah, Sekutu makin

merasa khawatir. Mereka melihat kekuatan politik fron nasional Mossadeq

yang nasionalis dan keberadaan Partai Tudeh yang beraliran Marxis sebagai

ancaman kepentingan Barat, terutama menyangkut minyak. Maka Sekutu mulai

bekerja sama dengan golongan militer Iran serta para pendukung Syah untuk

melakukan kudeta. Pada tahun 1953, kekuasan Mossadeq berakhir dan di

penggatinya oleh putra Reza Syah yaitu Muhammad Syah Pahlevi.

Pemerintahan Syah Pahlevi selalu mengadopsi ide-ide Barat. Hal itu

terlihat dalam melakukan pembahuran besar-besaran dengan mengirim

intelektual ke Barat dengan harapan kembali dengan membawa ide-ide untuk

membangun Iran. Modernisasi yang dilakukan Syah Pahlevi berdampak pada

kehidupan yang ke-Barat-Barat-an. Rezim penguasa semakin lama semakin

otoriter dengan melarang adanya partai independen. Kemudian Syah pada

tahun 1975, Syah Pahlevi membentuk Partai Kebangkitan Tunggal dan

memperlemah kedudukan lembaga keagamaan. Tindakan semena-mena rezim

Syah didukung oleh SAVAK sebuah dinas polisi rahasia yang kejam.

Krisis politik terjadi di Iran ketika ratusan ribu orang turun kejalan

dalam peringatan 10 Muharram18 di kota suci Syi’ah pada 1 Desember 1978

18 Memperingati kematian Imam Hussain di padang pasir Karbala (asy-Syura).

Page 46: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

29

dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari pemerintahan. Peringatan

tersebut menjadi kerusuhan masal setelah tentara memblokir jalan-jalan dan

menembaki para demonstran. Peristiwa berdarah itu memicu terjadinya

pemogokan massal di seluruh Iran, yang menuntut Jendral Azhari dipecat

karena kebrutalannya menembaki masyarakat yang tidak berdosa. Pada tanggal

11-12 Desember 1978, digelar demonstrasi nasional yang diikuti sekitar 3 juta

orang di depan Avenue Syah (Istana tempat kerja Syah) menentang

pemerintahan.19 Keesokan harinya Syah memerintahkan tentaranya untuk

membubarkan massa dengan kekerasan. Perjuangan rakyat Iran berhasil

memaksa mundur Jendral Azhari pada tanggal 31 Desember 1978. Kemudian

Syah mengangkat Shapur Bahtiar sebagai Perdana Menteri.

Diangkatnya Bahtiar, tidak meredakan demonstrasi rakyat Iran. Rakyat

tetap menginginkan berakhirnya pemerintahan rezim Syah Pahlevi dan

menginginkan Khomaeni menjadi pemimpin Iran. Akhirnya, pada 3 Februari

1979, menjadi hari yang bersejarah, Khomaeni mengumumkan pembentukan

“Dewan Revolusi” dan meminta Bahtiar mengundurkan diri. Mundurnya

Bahtiar dari Perdana Menteri, maka berakhirnya dinasti Pahlevi sekaligus

tumbangnya kerajan Persi.20

C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati

Ali Syari’ati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata

memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran

19 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134. 20 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134.

Page 47: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

30

Syari’ati cenderung mengarah eklektisisme,21 tidak mentah-mentah mengambil

pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis.

Selama tinggal di Paris, Ali Syari’ati bertemu dengan banyak orang

yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia:

dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko.22

Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu

Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena

itu, Syari’ati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat

orang keliru memahaminya.23

Ali Syari’ati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang

berbeda. Pertama, Ali Syari’ati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika

antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara

kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syari’ati seorang penganut

Syi’ah yang fanatik yang percaya bahwa Syi’ah revolusioner berbeda dengan

seluruh ideologi radikal lainnya. Ketiga, Ali Syari’ati seorang penceramah

umum (public speaker) yang memukau banyak orang, terutama kaum muda.24

Karakter tersebut memperjelas bahwa pemikiran Ali Syari’ati memiliki

paradigma yang multidimensi.

21 Eklektisme merupakan suatu sikap berfilsafat dengan seleksi, yakni dengan

menyelaraskan apa yang benar dari beberapa filsuf sambil membuang ajaran-ajaran yang keliru. Eklektisme dapat mengarah pada sinkretisme apabila dalam meminjam ide-ide filosofis tersebut tidak melakukan pengujian terlebih dahulu serta tidak dilihat dalam konteksnya. Lorens Bangus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 182.

22 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 181. 23 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58. 24 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58.

Page 48: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

31

Paradigma Marxisme banyak digunakan Syari’ati untuk menjelaskan

perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritisisme terhadap kemapanan

politik dan agama hampir seluruhnya didasarkan pada pendekatan dan analisis

Marxisme meskipun Syari'ati memiliki sikap yang cenderung ambivalensi

terhadap Marxisme. Di satu sisi Syari'ati datang sebagai pembela Marxisme

namun disi lain membencinya. Salah satu pembelaannya terhadap Marxisme

ialah dengan membantah anggapan bahwa Marx merupakan seorang materialis

tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal

bersifat materi. Menurut Syari’ati, Marx jauh dari materialistik ketimbang

orang-orang idealis atau orang yang memandang diri orang beriman dan

relegius.25

Melalui Jabr-e Tarikh, Syari’ati membedakan pemikiran Marx sebagai

berikut:

1. Marx muda, sebagai seorang filosof atheistik yang mengembangkan

materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, Jiwa, dan

kehidupan akhirat.

2. Marx dewasa, seorang ilmuan sosial yang ingin membongkar

kepalsuan tentang bangaimana penguasa maupun pemilik modal

mengeksploitasi rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan.

25 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 59.

Page 49: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

32

3. Marx tua, seorang politisi yang mendirikan partai komunis. Marx tua

inilah yang dikritik Syari’ati sebagai “Marxisme Vulgar” yang

mengaburkan Marxisme ilmiah.26

Dari ketiga fese pemikiran Marx, Syari’ati cenderung menerima yang

kedua, yaitu gagasan Marx tentang perjuangan kelas. Syari’ati menerapkan

pemikiran marxis dalam melihat persoalan dalam masyarakat. Masyarakat

terbagi dalam kelas-kelas yang saling berkontradiksi, yaitu antara yang

menindas dan tertindas. Pemikiran marxis juga terlihat dalam pandangan

Syari’ati mengenai manusia dua dimensional yang terus berkontradiksi.

Melalui pemikiran kritis, Syari’ati melakukan kritik terhadap agama

statis (fatalisme) yaitu agama sebagai tradisi, ritual, simbol yang kaku yang

dikondisikan oleh para pemimpin keagamaan. Doktrin agama yang kaku

tersebut telah menciptakan suatu alienasi, yaitu dengan berlindung di balik

eksistensi keyakinan agama dan upacara-upacara yang sama-sama dijalankan

telah menciptakan suatu hubungan palsu antara yang diperas dan yang

memeras.27 Syari’ati memandang bahwa agama semacam itu tidaklah

revolusioner dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap kaum

tertindas.

Ali Syari’ati menyatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang

diwariskan Imam Ali, Hussain serta Abu Dzar. Sebagai penganut mazhab

Syi’ah, Syari'ati percaya bahwa Syi’ah-lah yang revolusioner dibandingkan

26 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 60. 27 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42.

Page 50: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

33

dengan Islam yang lain. Sejarah mazhab Syi’ah adalah sejarah semangat Islam,

jiwa yang telah menjadi korban badannya sendiri.28

Ali Syari’ati memandang bahwa teks-teks dilihat sebagai bahasa

simbolik yang selalu hidup dan memberikan pesan-pesan yang baru. Sehingga

Syari’ati sering berbicara simbol, misalnya Syari'ati menyimbolkan perjuangan

kelas sebagai konflik antara Qabil dengan Habil. Simbol Qabil sebagai kelas

penindas sementara Habil sebagai kelas yang tertindas. Syari'ati juga

menyimbolkakan penguasa tiran sebagai Fir’aun, orang yang memiliki

kekayaan dan memiliki watak kikir sebagai Karun, serta orang cerdik-pandai

religius gadungan sebagai Bal’am.

Dalam konsep manusia yang “menjadi” (human becoming), Syari’ati

banyak terpengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Syari'ati menaruh rasa

kagum terhadap eksistensialisme yang berbicara tentang kebebasan manusia,

dengan kesadaran diri dan kebebasan, manusia yang menjadi selalu bergerak

maju menuju kesempurnaan. Syariati mengemukakan bahwa masalah manusia

merupakan yang paling penting dari segala masalah.29

D. Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi

Ketika di Paris, Ali Syari’ati menghadiri kuliah-kuliah beberapa

profesor, yang karena satu alasan atau yang lain, dia katakan sebagai seseorang

yang menarik dan berguna.30

1. Louis Massignon

28 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 65. 29 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 3. 30 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 182.

Page 51: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

34

Antara tahun 1960 dan 1962 Ali Syari’ati menjadi asisten Louis

Massignon seorang peneliti Islamologis beragama katolik. Bagi Massignon,

agama samawi merupakan anak dari ayah yang sama, yakni Ibrahim.

Sehingga monoteisme adalah agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi,

Kristen, dan Islam, hanya terdapat perbedaan dalam landasan agamanya.

Setiap agama memiliki keimanan yang menyatukan tujuan manusia

seutuhnya. Massignon tetap mempertahankan pandangannya mengenai

kesatuan agama-agama Ibrahim sampai pada batasan bahwa dia dianggap

pecinta Islam dan mata-mata bagi Eropa dan Kristen.31

Massignon sangat mengutamakan perhatiannya terhadap kelompok

miskin, ketertindasan, dan keadilan. Masignon berkeyakinan bahwa

keadilan merupakan sebuah prinsip agama yang mendasar. Dan Syari’ati

memiliki pemahaman yang sama terhadap agama Islam yang membahwa

perubahan dan memiliki suatu prinsip keadilan. Dengan konsep monoteisme

dari Massignon, Syari’ati menelurkan makna monoteisme menjadi agama

yang memiliki satu tuhan (tauhid), agama yang dimaksud adalah Islam,

sedangkan agama-agama yang memiliki kepercayaan ganda atau banyak

disebut sebagai multiteisme atau Syirik dan Kufr.32

2. George Gurvitch

George Gurvitch seseorang profesor sosiologi di Universitas

Sorbonne. Selain sebagai profesor, Gurvitch juga termasuk sebagai seorang

komunis muda yang merupakan kader Lenin dan Trotsky. Sehingga dalam

31 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 185. 32 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42.

Page 52: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

35

kuliahnya, Gurvitch selalu menerangkan kontruksi-kontruksi ideologi dunia

dan pajang-lebar menerangkan tentang Marxisme. Meski bagi Gurvitch

definisi kelas sosial yang dirumuskan Marx tidak sempurna karena hanya

berdasarkan faktor ekonomi, sedangkan bagi Gurvitch definisi kelas harus

lebih komprehensif dan memiliki karakter yang banyak bukan sekedar

faktor ekonomi semata. Dalam hal lain, Gurvitch masih menggunakan

kerangka metodologis umum dari Marx dan juga mengkritisi beberapa

aspek kontruksinya.33

Dari Gurvitch-lah Syaria’ti belajar banyak tentang metodologi

Marxisme. Syari’ati ingin menginterpretasi kembali pengetahuan yang telah

diperoleh menurut persepsinya sendiri. Syari'ati berargumentasi bahwa kelas

sosial merupakan dampak dari kondisi ekonomi dan material kehidupan

sosial serta dampak keyakinan religius dan populer. Religius dan populer

dalam model kelas sosial yang dilakukan Syari’ati dapat dipandang sebuah

variasi konsep Gurvitch mengenai “psikologi sosial” dan “kekhususan

budaya’.34

3. Jacques Berque

Jaquer Berque adalah seorang Islamolog. Berque mengajarkan Ali

Syari’ati tentang permasalahan agama yang tidak hanya dilihat dari

normatifitasnya saja. Karena masalah tersebut bisa ditinjau dari perspektif

sosiologisnya. Selain itu, konsep Berque tentang degree de signification

(tingkat signifikansi), atau makna-makna yang nyata, membuat Syari’ati

33 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42. 34 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 189.

Page 53: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

36

lebih radikal mereintrepretasikan konsep–konsep yang terdapat dalam ajaran

Islam. Bagi Bebrque, kata-kata bisa membuat orang tertidur, maka perlulah

menginterpretasikan ulang agar makna dalam kata-kata bisa

ditransformasikan dari sebuah instrumen pasif menjadi instrumen yang

massif menuju perubahan sosial yang terarah.

Dalam hal lain, dia memberikan interpretasi ulang dalam kosa-kata

setiap muslim, yang selama ini telah meninabobokkan umat muslim dan

berupaya untuk membangunkan dari tidurnya, agar ia sadar terhadap

permasalahan yang ia hadapi. Kata-kata yang selama ini yang menimbulkan

kemalasan dengan konsep intidzor, atau menunggu Imam Mahdi secara

pasif, diubah menjadi makna menunggu secara massif. Begitu juga dengan

kata-kata dan konsep yang semakna dengan penyerahan, fatalisme,

kesalehan pribadi dalam doktrin penganut Syi’ah Iran, tiba-tiba

ditransformasikan kedalam konsep aksi yang dinamis dan berkekuatan.35

Dengan itulah, dari Jacques Berque, Ali Syari’ati menyerap wawasan

sosiologi Islam.

4. Frantz Fanon

Dalam kata pengantar untuk bukunya The Wretched of The Earth,

Sartre mengatakan:

“.... Fanon adalah orang pertama setelah Engels yang menerangkan proses sejarah dengan sangat terang benderang. Sartre mengibaratkan karya Fenon tersebut sebagai bom yang dipersiapkan oleh seorang manusia dari Dunia Ketiga- seorang yang berbicara tanpa izin kita, tanpa aturan-aturan kita, dan tanpa suara slogan-slogan kita. Namun kini dia berbicara, dan kita diam membisu. Alangkah hebatnya bahasa yang ia gunakan!. Ia membangkitkan rakyatnya melawan kita. (“Kaum

35 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 192.

Page 54: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

37

pribumi dan seluruh negara terbelakang, bersatulah!”). Fenon adalah pembuat bom ini, tetapi biarlah saya yang meledakannya di jantungnya abad yang kotor, memuakan, malang, dan korup - di jantungnya kota ini (Paris) sehingga dengan musnahnya jatung ini dunia dapat memperoleh kembali kebebasan dan kemanusiaannya!”.36

Pada saat bergejolaknya permasalahan di negara Aljazair, Fanon

aktif dalam revolusi tersebut. Semangat dan pemikiran cemerlang Fanon

merupakan landasan inspirasi bagi Syari’ati. Syari’ati mengatakan bahwa

dibawah pengaruh pemimpin yang memiliki jiwa pioner seperti Fanon, telah

memunculkan gerakan untuk “kembali kepada diri sendiri” 37 melawan

dominasi budaya Barat.

5. Jean-Paul Sartre

Konsep Sartre mengenai kebebasan kebebasan manusia yang

menimbulkan tanggung jawab untuk bangkit melawan segala bentuk

penindasan dan menjadikan bagian yang integral dari diskursus dan ideologi

baginya. Di Eropa dengan sistem kapitalisme yang berdampak pada

pembatasan terhadap potensi manusia, Satre hadir dan membawa

gelombang suara pembrotakan terhadapnya. Syari’ati mengatakan bahwa

masyarakat Barat pada umumnya membutuhkan revolusi gaya Sartre dalam

membebaskan manusia dari nafsu konsumerisme dan perilaku hedonistis.38

Maka Syari’ati kagum terhadap konsep eksistensialisme yang di

36 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 102. 37 Semboyan yang sering kemukakan oleh banyak intelektual Afrika adalah sebagai

berikut: “Kembali kepada diri sendiri dan bersadar kepada tradisi bangsa dan sejarah.” Inilah cara untuk melawan dunia Barat yang menganggap ras kulit hitam menyatu dengan ketidakkreatifan budaya dan yang tidak pernah menjadi pencipta bagi kebudayaannya sendiri. lihat catatan kaki: Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hal. 92.

38 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33.

Page 55: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

38

ungkangkan oleh Sartre. Ia begitu menghormati Sartre sebagai manusia

yang tercerahkan. Syari’ati mengemukakan bahwa Sartre, yang filsafat dan

kepribadianya sangat dihormati tidak akan dikecam berdasarkan keyakinan

ideologinya sendiri.39

Sebagai tokoh yang kontroversial, Syari'ati tidak sepenuhnya meniru

konsep eksistensialisme gaya Sartre. Syari'ati mengangap pandangan Sartre

masih berdasarkan materialisme dan ateis meski terdapat kebebasan.

Syari’ati beranggapan eksistensialisme tersebut akan gagal untuk mencapai

tujuannya untuk kesejahteraan masyarakatnya sehingga Syari'ati

merekonsiliasikan konsep eksistenislisme yang di dalamnya terdapat

keimanan kepada Tuhan, agar adanya arahan moral dan etika untuk tindakan

individu yang bebas dan memiliki kesadaran.40

E. Karya-karya Ali Syari’ati

Mengenal seorang Intelektual Muslim progresif seperti Ali Syari’ati

belumlah cukup memadai dengan mempelajari dan membaca biografinya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Syari’ati, perlulah menganalisis

karya-karya dan buah pikirannya yang bermanfaat sebagai bahan refleksi sosial

kehidupan masyarakatnya. Di samping karyanya yang sangat banyak baik

dalam bentuk tulisan maupun hasil ceramah, karya Syari’ati termasuk karya

serius yang memerlukan analisis tajam untuk dapat mencapai pemahaman

sebagaimana yang dikehendaki peneliti sendiri. Di bawah ini, beberapa karya

Syari’ati yang peneliti uraikan secara singkat.

39 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33. 40 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hal. 194.

Page 56: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

39

Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, sebuah karya biografi

seorang pencari kebenaran, pembela hak-hak kaum tertindas, organiser kaum

jelata untuk berjuang melawan tirani, para pemuja uang dan para aristokrat.

Syari’ati hendak menciptakan simbol perjuangan kaum tertindas dalam tradisi

Islam. Abu Dzar seorang muslim yang revolusioner yang memiliki garis utama

perjuangannya yaitu perjuangan melawan diskriminasi golongan dan

menegakan keadilan.41

Agama versus Agama, sebuah karya yang yang berani untuk

menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, agama selalu berperang dengan agama.

Yakni, monoteisme sebagai agama yang percaya bahwa Tuhan itu Esa

berjuang melawan multiteisme yang meyakini bahwa banyak Tuhan. Syari’ati

dengan persepktif sosiologis, menyatakan bahwa agama multiteisme menyakini

Tuhan itu harus banyak sehingga banyak pula golongan dalam masyarakat.

Multeisme memiliki misi membuat rakyat bersikap fatalis sehingga ketika ia

menjadi golongan miskin, ia menerimanya dengan sepenuh hati. Berbeda

dengan agama multiteisme, monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan

adalah pendukung orang-orang yang tertindas dan tertekan.42

Tugas Cendikiawan Muslim, karya ini merupakan rujukan utama dalam

penelitian. Pembicaraan seputar manusia dan persoalannya mengisi bab-bab

dalam karya ini. Diantaranya bab mengenai manusia dan Islam yang

menjelaskan manusia sebagai makhluk dua dimensional. Manusia dua

41 Ali Syari’ati, Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I (Bandar Lampung:

Penerbit YAPI, 1987), hlm. 39.

42 Ali Syari’ati, Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 39.

Page 57: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

40

dimensional memiliki dua kutub dan kecendrungan yang saling berlawanan,

yang satu membawa ke arah kehinanan dan satunya membawa kearah

kebaikan. Di sinilah letak kebebasan manusia, dalam arti bebas memilih ke

mana akan bergerak. Pada bab lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa untuk

menjadi manusia yang bebas ternyata membutuhkan perjuang melepaskan diri

dari pelbagai penjara manusia. Untuk terbebas dari penjara manusia, manusia

harus memiliki ideologi (Islam). Karya ini ditutup dengan peran intelektual

dalam masyarakat, bahwa kaum inteltual harus memiliki tanggung jawab

sosial, membangkitkan dan membangunkan kesadaran masyarakat yang

tertindas.

Membangun Masa Depan Islam, karya ini memuat dua pertanyaan

besar dalam strategi sosial untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh

dominan tata sosial dan status quo. Yakni pertanyaan “dari mana kita mesti

mulai dan apa yang harus dilakukan?”. Syari’ati mengemukakan bahwa untuk

membebasakan dan membimbing rakyat harus dimulai dengan “agama”

(gerakan pembaharuan Islam). Kemudian yang harus dilakuakan adalah

revolusi intelektual dan kebangkitan kembali Islam, suatu gerakan budaya dan

ideologis yang berdasarkan atas landasan-landasan terdalam dari keyakinan.

Karya Ali Syari’ati juga telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia. Diantaranya karya-karyanya ialah:

1. Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, Bandar Lampung:

Penerbit YAPI, 1987.

Page 58: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

41

2. Agama Versus Agama, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur,

Bamdung: Pustaka Hidayah, 1994.

3. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, Yogyakarta: Shalahuddin

Press, t.t.

4. Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,

1989.

5. Haji, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1997.

6. Islam Agama Protes, terj. Satrio Pinandito, Bandung: Pustaka Hidayah,

1996.

7. Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan

Kezaliman, Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001.

8. Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, Husain Anis

Al-Habsy, Bandung: Mizan, 1989.

9. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad,

Bandung: Mizan, 1995.

10. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Syafiq Basri dan

Haidar baqir, Bandung: Mizan, 1992.

11. Peran Cendekiawan Muslim, Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah

Wacana Sosiologis, Tim Jama’ah Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin

Press, 1985.

12. Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Page 59: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

42

13. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad,

Bandung: Pustaka Hidayah. 1995.

14. Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Muhyudin, Yogyakarta: Ananda,

1982.

15. Fatimah Az-Zahra: Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj.

Muhammad Hashem Assegaf, Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001.

16. Panji Syahadah, Tafsir Baru Islam: Sebuah Pandangan Sosiologis, Tim

Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1986.

17. Rasulullah SAW, Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah

Nabi Periode Madinah, terj. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

18. Do’a Sejak Ali Zainal Abidin Hingga Alexis Carrel, terj. Husain Anis Al-

Habsy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995. []

Page 60: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

43

BAB III

MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI

A. Kategori Manuisia

Pada umumnya, manusia sebagai pribadi memiliki dua unsur yang

esensial, yaitu ruh dan badan. Secara sistematis pandangan-pandangan

demikian memang telah ada semenjak zaman Yunani klasik, sampai kemudian

diadopsi oleh para pemikir muslim Arab. Tentu saja konsep manusia yang

mereka paparkan merupakan usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang

berkaitan dengan manusia. Ajaran-ajaran filsafat Yunani klasik, terutama

Aristotelianisme, Platonisme dan Neo-platonisme oleh para filosof muslim

dikembangkan sedemikian rupa guna menjelaskan konsep-konsep dasar Islam,

seperti: hakikat manusia, asal manusia, tubuh, ruh dan sebagainya. Seperti

halnya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) yang terkenal dengan konsep insa>n kamil,

dimana manusia mencankup dua salinan, yakni salinan lahir dan salinan batin.1

Menurutnya perpaduan dari dua substansi (Tuhan dan citra alam semesta)

tersebut melekat pada Adam.

Ali Syari’ati telah mencurahkan segala usaha dan pikirannya untuk

memahami apa dan bagaimana manusia. Sebagai seorang muslim, tentu

pemikirannya tidak terlepas dari paradigma Islam sehingga ketika mengkaji

manusia Syari’ati beranjak dari teks (al-Qur’an) mengenai penciptaan manusia.

Syari’ati menambahkan bahwa semua ajaran yang terdapat dalam kitab suci

1 Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki,

(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 55.

Page 61: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

44

(al-Qur’an) dan suhuf Ibrahim tertulis dalam bahasa simbolik, suatu

komunikasi yang menyatakan maknanya lewat simbol-simbol dan imaji.

Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious

Thought in Islam, menjelaskan bahwa Adam merupakan sebuah konsep dan

bukan manusia pertama.2 Kejatuhan Adam dari surga mereupaka era

kebangkitan manusia, yakni kebangkitan dari keadaan primitif secara naluriah

menuju ke pemikiran sadar tentang diri manusia.3 Artinya, pendapat Iqbal

mengenai sosok Adam merupakan simbol tentang kebangkitan manusia

sebagai makhluk bebas dan kreatif.

Seperti halnya Iqbal, Syari’ati beranggapan bahwa pemeluk suatu

keyakinan tidak terbatas pada suatu generasi, sehingga bahasa yang digunakan

untuk menyampaikan pesan-pesannya harus memakai bahasa simbolik yang

tidak akan pernah kehabisan makna. Penciptaan Adam sebagai manusia

pertama juga memiliki makna simbolik, karena hingga sekarang kisahnya tetap

memiliki nilia (value). Syari’ati mempunyai beberapa kategori seputar konsep

manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional, insan dan manuisa

tercerahkan. Keempatnya memiliki makna berbeda namun saling berhubungan

satu sama lain.

1. Khalifah

Ali Syari’ati mengajukan pertanyaan “bagaimanakah Islam

memandang penciptaan Adam” dalam usahanya mendefinisikan manusia.

2 Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin, Asal

Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 15.

3 Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 130.

Page 62: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

45

Menurut Syari’ati, Islam menempatkan posisi manusia sebagai makhluk

yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain, manusia merupakan

makhluk paling superior diantara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan.4 Sifat

superior tersebut dibuktikan dengan terplihnya Adam sebagai khalifah di

bumi, dan sesungguhnya manusia dihimbau agar “menyesuaikan sifatnya

dengan sifat-sifat Tuhan”.5 Tuhan telah memberikan pengetahuan kepada

manusia yang tidak diberikan kepada malaikan maupun setan agar

menyesuaikan diri dengan Tuhan Yang Maha Tahu. Dengan ilmu

pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri, posisi manusia di alam

semesta, dan filsafat –yakni, penyelidikan terhadap hakekat pokok dari

realitas. Oleh karena itu hanya manusia yang berilmu –berpengetahuan yang

mengetahui keagungan Tuhan.

Pengetahuan pertama dari “Guru Pertama” (Tuhan) bagi manusia,

yakni ketika Tuhan mengajarkan kepada Adam mengenai nama-nama

benda. Syari’ati menyatakan bahwa pengetahuan menjadi sumber

keunggulan unik manusia.6 Sebagaimana yang dikatakan oleh Musa

Asy’arie: “nama-nama benda adalah konsep-konsep mengenai benda dan

konsep-konsep itu merupakan produk dari kegiatan kefilsafatan.”7

Dikatakan unik karena manusia dengan pengetahuan berpotensi mengenal

4 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 9. 5 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.59. 6 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.10. 7 Musa Asy’arie, “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah (ed.),

Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 20.

Page 63: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

46

Tuhan lebih dalam –Charris Zubair mengutip Hamdani untuk menjalaskan

hal itu;

Fitra rasio, berfungsi sebagai instrumen insan di dalam mengembangkan dan memelihara hak-hak Allah, memberikan pertimbangan-pertimbangan konstruktif dalam menyesejahterakan ciptaan-ciptaan Allah di alam semesta. Memikirkan serta merenungkannya secara seksama betapa besar dan agung-nya yang sempurna, indah dan agung. Sempurna mengandung segala ilmu dan pengetahuan yang berasal dari sifat kamal-Nya; mengandung aneka keindahan yang berasal dari sifat jamal-Nya; serta mengandung kebesaran yang tidak terhingga, yang berasal dari sifat jalal-Nya.8

Pengetahuan tersebut diperoleh dari persepsi-persepsi yang didapat

sepanjang hidup manusia melalui indera maupun pengalaman yang

diperoleh dan dikumpulkan oleh akal. Dan selanjutnya, manusia kemudian

tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya sendiri. Ilmu pengetahuan

dibutuhkan bagi manusia tidak lain untuk menopang peradaban dan

kebudayaannya. Tuhan telah memberi amanat kepada manusia untuk

mengelola dan memberdayakan alam untuk mencari tahu tentang hukum-

hukum alam semesta dan kebenaran umunya yang berlaku di dunia serta

mensejahterakan umat manusia –dengan melakukan semua itu –manusia

semakin dekat dengan Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa: “dalam memilih

manusia sebagai penggantiNya di atas bumi, Tuhan menganugrahkan status

spiritual tertinggi bagi manusia dan dengan demikian mempercayakan

padanya suatu misi suci di alam raya ini.”9

8A. Charris Zubair,Aktualitas Filsafat Islam Di Masa Kini Dan Masa Depan, dalam Irma

Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 112.

9 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 6-7.

Page 64: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

47

Islam tidak menggolongkan manusia dalam kelompok binatang

(animal) yang tidak memiliki pengetahuan, selama manusia

mempergunakan akalnya. Namun sebaliknya, apabila manusia tidak mampu

mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan dengan

optimal, secara otomatis derajatnya turun menjadi hewan bahkan lebih

rendah dengan darinya. Karunia intelektual inilah yang menempatkan

manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan makhluk yang lain

termasuk para malaikat. Karena kecerdasan intelektual manusia, Tuhan

memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk sujud kepadanya. Sujudnya

para malaikat di hadapan Adam membuktikan bahwa dalam pandangan

Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas para malaikat

terletak pada ilmu pengetahuan, bukan pada pertimbangan rasial. Hal inilah

yang menurut Ali Syari’ati merupakan arti sebenarnya dari humanisme.10

2. Manusia Dua Dimensional

Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika Tuhan menyatakan

kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di muka

bumi. Kebijakan Tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk superior

10 Menurut Lorens Bangus dalam “Kamus Filsafat” , Humanisme mempunyai arti: a) menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; b) menganggap individu sebagai nilai terakhir bagi manusia; c) mengabdi terhadap perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional tanpa berpacu pada konsep-konsep adikodrati. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 295. Sementara menurut Syari'ati sendiri, humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimiliki manusia ialah keselamatan dan kesempurnaan hidup. Humanisme mendasarkan prinsip-prinsipnya atas pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia. Dewasa ini, lanjut Syari'ati, terdapat empat cabang dalam humanisme, yaitu: Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 39.

Lebih lanjur Syari'ati menyatakan bahwa alasan kuat mengapa agama termasuk dalam kategori humanisme, pasalnya agama telah “memberi petunjuk terhadap manusia menuju kebahagiaan abadi. Dengan demikian agama terbukti memiliki falsafah tersendiri mengenai manusia. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam, hlm. 44.

Page 65: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

48

diantara ciptaan-Nya, yang kemudian membuat para malaikat bertanya

apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah,

berbuat kejahatan, menyebarkan kebencian dan balas dendam. Namun

Tuhan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang mereka tidak

ketahui. Kemudian Tuhan mulai menciptakan manusia dari bentuk yang

paling rendah yaitu tanah liat dan kemudian Ia tiupkan sebagian ruh-Nya

sendiri sebagai bentuk yang paling tinggi. Dengan kata lain, manusia terdiri

atas dua hakikat, yaitu material dan spiritual. Setidaknya ada tiga referensi

yang dikutip oleh Syari’ati dalam kitab suci al-Qur’an untuk menunjukan

desain penciptaan manusia, yaitu sebagai berikut:

“Kami telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari sekepal daging, yang sempurna kejadiannya atau yang tidak sempurna kejadiannya, agar Kami dapat menerangkan kekuasaan Kami padamu” (Qur’an, XXII: 5).

“Bukankah Kami telah menjadikanmu dari air yang hina? Dan meletakannya di tempat penyimpanan yang teguh?” (Qur’an, LXXVII: 20).

“Dialah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakannya dan ia telah memulai pembuatan manusia dari tanah, kemudian ia jadikan turunan (manusia) itu dari air mani, kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan ia tiupkan padanya sebagian dari ruh (spirit)Nya ... ”(Qur’an, XXXII: 7).11

Syari’ati hendak menyelusuri misteri manusia melalui pendekatan

simbolik. Analisis Syari’ati terhadap teks menunjukkan bahwa penciptaan

manusia sebagai wakil-Nya dari tanah yang merupakan bentuk yang paling

rendah, kotor dan hina. Sedangkan sebagian ruh Tuhan yang ditiupkan

merupakan Spirit Maha Sempurna, paling suci diantara seluruh entitas yang

ada dalam alam semesta. Dengan demikian manusia memiliki dua hakikat

11 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 7.

Page 66: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

49

yang berbeda, yaitu tanah liat dan ruh Tuhan. Dua hakikat tersebut memiliki

dimensi yang berbeda dan cenderung saling bertentangan. Kemudian

Syari’ati menyimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk dua

dimensional yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu

membawa ke hakikat yang rendah –dimana seluruh dorongan dan gerak

kehidupan yang membeku. Tetapi dimensi spiritualnya, cenderung naik ke

puncak spiritual tertinggi, yaitu ke Dzat Yang Maha Suci.12 Gabungan dua

kutub ini berpadu dalam ke-diri-an makhluk yang bernama manusia, yaitu

kutub yang satu dipertentangkan dengan kutub yang lain. Syari’ati dalam

memunculkan gagasan mansuia dua dimensional, ia menggunakan metode

dialektika13 yang segala sesuatu terdapat hukum kontradiksi sebagai titik

sentralnya. Syari’ati berpandangan bahwa karena selalu ada pertentantang

diantara dua kutub, maka manusia dua dimensional memiliki potensi

terjatuh pada lubang kehinaan atau menuju kearah kemuliaan. Di sinilah

terlihat bahwa manusia dua dimensional memiliki kebebasan dalam memilih

kutub mana yang akan dituju. Kebebasan ini juga yang membedakan

manusia dengan makhluk-makhluk yang lain dan kebebasan inilah pula

yang akan menentukan masa depan manusia. Ali Syari’ati mengungkapkan

sebagai berikut:

12 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 8. 13 Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi dan cara berdebat yang

didalamnya ide-ide kontadiktif dan pandangan-pandangan yang bertentangan dilontarkan. Dalam dialektika modern menjadi suatu metode untuk menerangkan realitas dan hukum umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macam-macam eksistensi. Lihat dalam Baqir ash-Shadar, Filsafatuna, cei. II, terj. Nur Mufid (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), hlm. 149.

Page 67: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

50

Pada hakekatnya dua kutub itu memungkinkan untuk memiliki kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antar kutub suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti, perjuangan dan perperangan terus-menerus yang dilakuakan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya. 14

Setiap pilihannya merupakan cermin kebebasan yang akan

menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian kata “bebas” menunjuk

kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah

dan isi kepada perbuatannya. Manusia dua dimensional merupakan makhluk

yang memiliki kehendak bebas dan kemampuan menentukan pilihan dan

menciptakan masa depan sebagai usaha menentang nasib yang ditentukan

oleh alam.

Dalam konsep manusia dua dimensional ini, Syari’ati lebih dekat

dengan aliran dualisme. Dualisme memandang bahwa kenyataan sejati

merupakan perpaduan antara materi dan ruh. Yang menarik adalah Syari’ati

memposisikan dua substansi tersebut selalu dalam keadaan berdialektika –

salaing berkontradiksi, saling menegasikan sehingga memunculkan suatu

kualitas. Kualitas inilah yang disebut Syari’ati sebagai kebebasan.

3. Insa>nInsa>nInsa>nInsa>n

Ali Syari'ati membagi manusia menjadi basya>r dan insa>n. Dalam

cerita fiksi, Syari’ati memberi gambaran menarik tentang basya>r. Dalam

cerita itu disebutkan sarjana dari bumi datang ke planet Mars dan mengikuti

seminar profesor tentang hasil penelitian di bumi. Diktakan oleh profesor

Mars bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat aneh, ia sangat

14 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm 8.

Page 68: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

51

kejam, dan gemar berperang. Mengenai makanan, manusia memakan

makanan enak dan segar, ketika sakit ia mendatangi dokter. Menurut Ali

Syari’ati, walaupun gambaran terlihat nista, tetapi ini adalah gambaran atau

definisi sebenarnya dari basya>r.15

Konsep basya>r nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep

being-in-itself (ada-dalam-dirinya), dalam filsafat eksistensialisme Jean-Paul

Sartre. Sartre menyebutkan being-in-itself tidak mempunyai masa silam,

masa depan, tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Dengan

demikian being-in-itself merupakan sesuatu yang serba tak berarti apa-apa

dan serba sia-sia dalam dirinya sendiri.16 Being-in-itself sebagaimana basya>r

tidak akan mengalami perubahan, seperti benda yang tidak memiliki

kehendak dan kebebasan. Artinya, basya>r memiliki definisi yang sama

sepanjang sejarah yaitu memiliki karakteristik dan perilaku yang sama, tidak

berkembang dan tidak mengalami kemajuan secara kualitatif. Syari’ati

mengemukakan pendapatnya sebagai sebagai gambararan perilaku basya>r,

sebagai berikut:

Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuk yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.17

15 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 66-67. 16 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, (Yogyakarta: Philosophy

Press, 2001), hlm. 40.

17 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68.

Page 69: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

52

Sementara dimensi insa>n didefinisikan sebagai kualitas-kualitas ideal

dan luhur. Kemudian untuk mencapai kualitas ideal ini manusia senantiasa

harus “men-jadi” (becoming) yang terus bergerak maju menuju

kesempurnaan. Syari’ati menjelaskan bahwa tidak semua manusia adalah

insa>n, walaupun dalam batas tertentu mereka memiliki potensi meng-

insa>n.18 Ali Syari’ati menjalaskan gagasan men-jadi sebagai proses evolusi

dengan menafsirkan kata “illahi ” yang membedakan dengan tafsiran

sufisme:

Dalam ayat Qur’an “bahwa segalanya sesuatu kembali ke asalnya”, azas men-jadi ini menunjukan evolusi tanpa henti dari manusia ke arah Yang Tanpa Batas. Kata “illahi ” pada asalnya berarti kepadaNya, bukan di dalam-Nya. Dan ini adalah gagasan pokok saya tentang men-jadi: yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan Ideal. Sedangkan sufisme yang menafsirkan illahi sebagai di dalamNya, menyatakan bahwa manusia dapat menjangkau Tuhan, sebagaimana di teriakan oleh Hallaj: “Saya Kebenaran”. Sufisme nampaknya memandang Tuhan sebagai suatu titik yang pasti, suatu wilayah tertentu, di mana kaum sufi merindukan dan berusaha menyatu.19

Menurut Syari'ati, insa>n merupakan kebalikan dari basya>r, yakni

manusia yang menggugat takdirnya sebagai manusia. Konsep insa>n menurut

Syari'ati, merupakan cara beradanya manusia (eksistensi) di muka bumi.

Insa>n dalam istilah Sartre adalah being-for-itself –yang menunjuk cara

beradanya manusia atau eksistensi manusia di muka bumi –ada yang

berkesadaran.20 Lebih lanjut Sartre menjelaskan, bahwa sadar-diri yang

demikian itu mengandung arti bahwa ia telah meniadakan dirinya sendiri,

18 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 64. 19 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69. 20 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, hlm. 41.

Page 70: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

53

sebab ia telah bergerak menuju kemungkinan lain dari dirinya.21 Sehingga

eksistensi manusia harus di isi dengan esensi melalui proses perkembangan

dari "being" (basya>r) ke "becoming" (insa>n).

Pasalnya dengan berkesadaran, manusia memiliki kehendak dan

kebebasan dalam menentukan pilihan serta terus bergerak aktif sebagai

makhluk yang “men-jadi”. Dimensi manusia “men-jadi” yang menegasikan

adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan

saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri,

kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). Berikut ini penjelasan singkat

Syari’ati mengenai ketiga atribut insa>n, yakni:

a. Kesadaran Diri

Ali Syari’ati menampilkan tiga formula untuk menunjukan

kesadaran diri pada manusia. Pertama, gagasan Descartes tentang cogito

ergo sum (saya berfikir, karena itu aku ada) yang mendasarkan prinsip

kesadaran pada pikiran. Kedua, gagasan Ander Gide yang mendasarkan

azas kesadaran pada perasaan: “saya merasa, karena itu saya ada”.

Kemudian konsep yang terakhir yang mendasarkan pada prinsip

kesadaran, Ali Syari’ati menunjukan gagasan Albert Camus: “saya

memberontak, karena itu saya ada”. Menurut Syari’ati, formula dari

Albert Camus telah memperlihatkan proses men-jadi secara dramatis.22

Dengan membrontak, manusia ingin menyatakan bahwa dirinya ada

(eksis) dan berbeda dengan makhluk lain yang statis. Lebih lanjut,

21 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 40. 22 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 69-70.

Page 71: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

54

Syari’ati menjelaskan definisi tentang kesadaran sebagai berikut:

“manusia adalah satu-satunya makhluk di dalam alam yang telah meraih

kesadaran. Kesadaran itu adalah pengalamannya tentang kualitas dan

esensi dirinya, dunia dan hubungan dengan dirinya dengan dunia dan

alam.”23

Ali Syari’ati berpendapat bahwa hanya manusialah yang

berpotensi memiliki kesadaran diri. Hanya manusia sendiri yang mampu

menyelami esensi dari mana mereka berasal. Manusia mampu memahami

realitas dunia dan hubungan antara keduanya. Dengan kesadaran ini,

telah membawa proses evolutif manusia dari tingkat terendah menuju

spritual yang tinggi. Syari’ati menyebutkan bahwa kesadaran diri dengan

demikian adalah ciri pertama manusia yang memungkinkannya pergi

melampaui insting hewaniahnya.24

b. Kehendak Bebas

Untuk menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan, Syari’ati

mengambil peristiwa kejatuhan Adam di bumi. Keutamaan Adam yang

membedakan dengan makhluk lain adalah kebebsasan dan iradahnya.

Adam merupakan satu-satunya makhluk yang dapat melawan dorongan

insting, memberontak sebuah ketetapan dan mampu memilih apa pun

yang ia inginkan. Kemudian Syari’ati mengatakan bahwa:

Adam adalah satu-satunya malaikat yang dapat melakukan “dosa” dan “bertaubat”; ia dapat “membrontak” atau “patuh” kepada Allah. Di

23 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 71-72. 24 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.

Page 72: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

55

dalam hal ini “membrontak” berarti memiliki kebebasan, termasuk kebebasan untuk mengambil keputusan-keputusan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bersamaan dengan kebebasan itu ia pun memiliki rasa “tanggung jawab” dan “kesadaran”.25

Kejatuahan Adam di bumi merupakan era baru kebangkitan

manusia, Syari’ati sependapat dengan Maulana al-Din Rumi, bahwa

manusia memiliki kehendak bebas (free will).26 Yakni ketika Tuhan

menawarakan kepada seluruh makhluk siapakah yang sanggup

mengemban amanat-Nya, seluruh makhluk terdiam dan mengatakan

tidak sanggug hanya manusia saja yang sanggup mengembannya. Sifat

kehendak bebas Tuhan mengalir pada diri manusia, yaitu kemauan dan

keberanian yang agung dari manusia dalam mengemban amanat Tuhan.

Kehendak bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi potensi

penghubung kedekatannya kepada Tuhan, tetapi pada saat yang lain

dapat terjerembab dalam lembah yang hina. Kebebasan bagi manusia

memiliki fungsi signifikan, yakni untuk memilih jalan hidup, baik jalan

Tuhan maupun jalan setan.

Sejatinya kebebasan merupakan wujud dari tidak adanya paksaan

dari pihak di luar dirinya dan berhak untuk memilih mana yang ia

kehendaki. Manusia dalam menuju proses men-jadi, kebebasan

merupakan suatu keharusan. Dengan demikian kebebasan merupakan

kegiatan aktif dalam menentukan dan memberi arah pada masa

25 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 62-63. 26 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 10.

Page 73: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

56

depannya. Bagi Syari’ati, manusia merupakan makhluk satu-satunya

yang memiliki kebebasan.

Menurut Syari’ati, manusia berbeda dengan hewan yang hanya

mengandalkan dan mengikuti instingnya. Dengan instingnya, hewan

terus-menerus mengikuti kemauan dirinya dan alam. Insting dikatakan

bukan sebagai kebebasan dikarenaka tidak terdapat peran kehendak.

Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kebebasan untuk memilih

yang berlawanan dengan dorongan insting. Manusia memiliki kempuan

untuk memberontak pada tatanan alam yang menguasainya. Ia juga

mampu melawan keinginan-keinginan biologis maupun psikologisnya

sendiri.27 Apa yang manusia pilih juga dapat berlawanan dengan

masyarakat sosial. Misalnya dalam kasus dewasa ini marak terjadi

korupsi, suap, penyalahgunaan kekuasaan yang melahirkan penderitaan.

Disisi lain ada yang tertindas, menderita, terpinggirkan yang

menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Ia dapat memilih kutub mana

yang ia kehendaki.

Kesadaran dan kebebasan yang dimiliki oleh mansuia akan

membawa konsekuensi-konsekuensi padanya. Manusia disebut bebas

kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab

atas perbuatannya. Syari’ati menegaskan bahwa di atas bumi ini ia

(manusia) merasakan tanggung jawab atas diri dan kehidupannya.

Artinya, manusia mempunyai tanggug jawab besar atas kebebasan yang

27 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.

Page 74: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

57

telah ia miliki. Magnis-Suseno dalam buku “Etika Dasar” menyatakan,

bahwa kesadaran dan tanggung jawab pribadi terhubung dengan sikap

dan tindakan manusia dalam mengisi ruang kebebasan yang

dimilikinya.28 Kerena setiap orang terikat (bertanggung jawab) atas apa

yang dilakukannya. Dan seandainya tidak ada kebebasan, maka sirnalah

tanggung jawab tersebut. Sehingga Ali Syari’ati menegaskan bahwa

kebebasan manusia untuk memilih adalah ciri kedua yang unik.29

c. Kreativitas (Daya Cipta)

Dimensi ketiga yang melekat pada insa>n menurut Syari’ati adalah

daya cipta. Dengan daya cipta manusia mulai mencipta apa-apa yang

belum tersedia di alam. Dan dengan kreativitas, manusia selalu

memperbaharui seni pembuatannya. Ali Syari’ati mengemukakan sebagai

berikut:

Manusia lebih dari sekedar makhluk pembuat alat, sebagaimana ia sering didefinisikan; ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di dalam alam. Sebabnya mengapa ia membuat dan menyempurnakan seni membuat barang-barang adalah karena ia mengetahui bahwa tidak semua keinginannya dapat dipuaskan dengan apa yang telah terdapat pada alam.30

Dimasa lalu untuk mempertahankan hidup, manusia harus

berjuang melawan keganasan alam. Dengan alat sederhana dari batu dan

tongkat ia menggali ubi-ubian dan melakukan perburuan. Namun,

semakin lama ubi-ubian dan binatang semakin berkurang. Dengan situasi

28 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 77. 29 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73. 30 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73.

Page 75: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

58

seperti itu, kesadaran terhadap kenyataan adanya kelangkaan, manusia

membuat alat-alat yang canggin dari sebelumnya dan selalu

memperbaharuinya sehingga mampu menundukan alam. Dengan

kemampuan kreativitas mencipta, manusia telah membuat karya-karya

yang megah seperti pramida, tembok Cina, dan candi borobudur. Pada

zaman ini terdapat alat-alat dan barang-barang ciptaan manusia yang

tidak dijumpai pada masa lalu, seperti mesin pengebor, mesin pemotong,

mobil, kapal laut, kereta bawah tanah dan pesawat terbang yang selalu

berkembang. Dengan demikian manusia sebagai pencipta yang

dilengkapi kreativitas itulah yang membuat manusia lebih dari sekedar

pembuat.

Singkatnya, insa>n adalah manusia yang senantiasa bergerak maju

atau “men-jadi”, itulah sosok manusia ideal menurut Ali Syari'ati. Insa>n

dalam pengertian Syari'ati, bukanlah sekedar manusia yang “men-jadi”

secara lahiriah semata, melainkan juga berproses “men-jadi” secara

spiritual. Syari'ati menambahkan bahwa segala sesuatu akan kembali ke

asalnya, manusia yang berasal dari Tuhan pasti harus kembali kepada

Tuhan. Demikianlah gagasan pokok Syari'ati tentang men-jadi: yakni

bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah

kesempurnaan Ideal.31

4. Manusia Tercerahkan

31 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69.

Page 76: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

59

Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan manusia. dalam

ruang-ruang kelas pelajar –mahsiswa disuguhi daftar menu filsafat, teologi,

sosiologi, sejarah, teknik, matematika, fisika dan sebagainya. Namun

realitasnya, ribuan lulusan sarjana masih banyak dalam keseharianya

terpisah dari kehidupan sosial masyarakat. Apakah orang berpendidikan

atau yang memiliki gelar adalah manusia tercerahkan? Menurut Syari’ati

manusia tercerahkan tidak berarti intelektual. Manusia tercerahkan itulah

dalam bahasa Syari'ati disebut raushanfikr.32 Sayangnya raushanfikr sering

disalah-pahami banyak orang sebagai orang memiliki ilmu pengetahuan,

gelar sarjana dan orang yang melakukan tugas mental.33 Syari’ati

menekankan bahwa raushanfikr tidak semata-mata intelektual atau mereka

yang berpendidikan. Namun menurut Syari’ati, raushanfikr sebagai Orang

yang sadar “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta

setting kesejarahannya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan

memberinya rasa tanggung jawab sosial. Tujuan manusia yang tercerahkan

adalah memberi kepada manusia suatu keyakinan bersama yang dinamis dan

membantu mereka untuk mencapai kesadaran-diri dan merumuskan cita-cita

mereka.34

Pada prinsipnya, tanggung jawab sosial yakni mendorong

terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung

32 Kata raushanfikr merupakan bahasa Persia yang diambil dari berasal dari bahasa Arab

munawwar al-fikr, artinya orang yang tercerahkan. Lihat catatan kaki dalam Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 24.

33 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 27. 34 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: hlm. 28-31.

Page 77: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

60

jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu. Mereka harus berada

di tengah-tengah rakyat yang tertindas dan berupaya: Pertama,

membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri”.

Kebangkitan kesadaran diri suatu masyarakat rakyat akan menjadi suatu

kekuatan revolusioner, dinamis dan kreatif. Kedua, mengajarkan kepada

masyarakat bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana

perubahan itu. Ketiga, menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari

keterbelakangan masyarakatnya dan menentukan penyebab sebenarnya dari

kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya.35

Syari’ati berpendapat bahwa sepanjang ketaatan kepada imam,

“orang-Syi’ah yang sadar” adalah bertanggungjawab untuk memilih orang

yang paling adil dan terpelajar untuk memimpin mereka dalam

perjuangannnya.36 Dengan kata lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa

raushanfikr bukan seorang guru normal dari para pelajar, akan tetapi orang

yang bijaksana dalam memilih sesuatu, baik tindakan maupun sikap.

...ia adalah guru dari rakyat. Pengetahuannya bukanlah platonis (sepenuhnya spiritual), pengetahuan akademis, melainkan pengetahuan dari mandat nabi. Orang-orang terpelajar inilah yang akan menjadi ahli waris para nabi. Pengetahuan tentang yang ma’ruf (yang diketahui) adalah semacam kekuatan dan pengetahuan tentang cahaya adalah petunjuk. Orang bijaksana yang arif adalah cendekiawan dengan pandangan yang jelas. Para cendekiawan haruslah pemikir yang merasakan tanggung jawab bila mengungkapkan pikiran mereka sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan mereka sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan mereka sendiri atau kepercayaan rakyat mereka.37

35 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 29-42. 36 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 482.

Page 78: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

61

Jalaluddin Rahmat, dalam pengantar “Ideologi Kaum Intelektual”,

mengemukakan perbedaan antara ilmuwan (intelektual) dan raushanfikr,

bahwa seorang ilmuwan menemukan kenyataan sementara seorang

raushanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta

sebagaimana adanya sementara raushanfikr memberi penilaian sebagaimana

seharusnya. Ilmuwan berbicara menggunakan bahasa universal sementara

raushanfikr berbicara menggunakan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap

netral menjalankan pekerjaannya sementara raushanfikr harus melibatkan

diri pada suatu ideologi. Singkatnya, raushanfikr ialah seorang intelektual

dalam arti sebenarnya.38 Raushanfikr merupakan nabi sosial yang

meneruskan perjuangan para nabi terdahulu. Kesadaran dirinya meletakan

beban tanggung jawab di atas pundaknya. Dengan penuh tanggung jawab

dan kesadaran diri ia mengantar rakyat ke arah tindakan ilmiah, sosial dan

revolusioner.39 Jika diperumpamakan, ia merupakan obor di kegelapan dan

setitik api yang membakar padang rumput kering kezaliman.

Dalam rangka menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih

dinamis, seorang raushanfikr harus memiliki formula-formula. Sebagaimana

yang dirumuskan oleh Syari’ati sebagai berikut:40

37Ali Syari’ati, Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad

Hashem Assagaf, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hal.61 38 Jalaluddin Rahmat, “Ali Syari'ati:Panggilan untuk Ulil Albab” dalam Ideologi Kaum

Intelektual, hlm. 14-15. 39 Ali Syari’ati, Membangun Ideologi Kaum, hlm. 138. 40 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 52-53

Page 79: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

62

1. Menyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat kita dan

mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan atau

gerakan.

2. Mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi suatu

kesadaran akan tanggung jawab sosial, yaitu dengan cara pemanfaatan

kekuatan kesenian, menulis dan berbicara, serta kemungkinan-

kemungkinan lain yang ada.

3. Menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang

dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan”

dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman diantara

mereka, dan dengan demikian menempatkan agama-yang datang untuk

membangkitkan dan melahirkan gerakan-untuk kepentingan rakyat.

4. Mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut

memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk

tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang

diperlukan untuk menggerakkan rakyat.

5. Mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang-dengan kembali

kepada agama yang hidup, dinamis, kuat, dan adil-melumpuhkan agen-

agen reaksioner dalam masyarakat sekaligus menyelamatkan rakyat dari

unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka.

6. Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri

agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas

(ijtihad) yang kritis, revolusioner, dan agresif.

Page 80: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

63

Menurut Sarbini, gerakan-geraka dan aksi-aksi yang dilakukan Ali

Syari’ati sebenarnya mewakili pendirian intelektual, bahwa manusia

tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan.41 Bagi

syari’ati, manusia tercerahkan adalah kunci dalam melakukan perubahan

sosial. Pendek kata, tanggung jawab manusia tercerahkan adalah untuk

revolusi menuju persamaan dan keadilan.

Dari paparan diatas Syari’ati telah membentangkan kategori-kategori

manusia, yakni kategori khalifah, manusia dua dimensional, insa>n, dan

manusia tercerahkan yang akan didapati pengertian atau esensi manusia.

Syari’ati melakukan “pengurungan”42 terhadap kategori-kategori tersebut dan

kemudian menggali esensi-esensinya. Selanjutnya Syaria’ati mengemukakan

esensi dari kategori tersebut, bahwa manusia memiliki intelekutal yang

dilengkapi dengan atribut kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki

moral yang agung yaitu tanggung jawab sehingga manusia dituntut untuk

menjadi manusia sempurna. Dengan kata lain manusia berdialektika menuju

kesempurnaan.

Untuk menjelaskan makna sempurna Syari'ati menulis, “Saya mencari

esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-Nya.

Dimanakah Dia?” Menurut Syari'ati, berdasarkan kisah penciptaan Adam,

bahwasanya manusia berasal dari surga dan pada akhirnya manusia harus

kembali ke surga, karena surga telah ditinggalkannya. Dalam surga itulah

41 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 88. 42 Pengurungan merupakan istilah Edmund Husserl yang meletakan dalam tanda kurung

sebagai sikap awal dalam menedekati persoalan eksistensi sambil menggali “esensi-esensi” setiap fenomen. Lihat dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 235.

Page 81: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

64

manusia mendapatkan kebahagiaan sejati setelah bersatu dengan Tuhannya, di

sana semua dimensi kehidupan (natural dan supranatural, tubuh dan spirit,

permasalahan dan makna) akan diintegrasikan sebab masing-masing

merupakan sebuah dimensi alias aspek dari ‘satu kebenaran yang ada’.43 Jadi,

dapat disimpulkan bahwa kesempurnaan yang diraih oleh manusia

sesungguhnya merupakan usaha menuju “Proses Menjadi”.

B. Penjara-penjara Manusia

Insa>n sebagaimana yang disebut Syari’ati sebagai manusia tiga

dimensional selalu berperang melawan kekuatan-kekuatan determinisme atau

penjara-penjara manusia. Dalam karya yang berjudul “Haji” Syari'at

menyimpulkan penjara-penjara menjadi empat macam: “Engkau” adalah

penghuni empat buah penjara yang besar. Keempat penjara ini adalah alam

(biologisme), “sejarah (historisisme), masyarakat (sosiologisme), dan dirimu

sendiri (ego).44 Empat penjara manusia tersebut bukanlah hal yang determinan

bagi manusia. Manusia masih memiliki kesempatan untuk membebaskan

dirinya dari cengkeraman empat penjara tersebut. Ali Syari’ati berkeyakinan

bahwa manusia dalam perjalanan evolusinya menuju “peninggian” ruhaninya,

sesungguhnya mampu melepaskan diri dari penjara-penjara tersebut.

1. Penjara Alam (Biologisme)

Biologisme berpendirian bahwa manusia merupakan komposisi dari

organ-organ yang kompleks dan maju yang menentukan watak fisiologis

43 Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 228-230. 44 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94.

Page 82: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

65

dan psikologis.45 Secara psikologis manusia tergantung pada keadaan

biologis. Misalnya orang dikatakan pemberani jika memiliki tubuh besan

dan berotot, serta orang yang bergaya urakan ketika memiliki rambut

panjang. Menurut Syari’ati, watak tersebut bukan disebabkan oleh

kepribadiaannya, akan tetapi oleh bentuk biologisnya. Maka ketika

biologisme menunjukan perkembangan manusia, akan mendasarkan pada

kemajuan perubahan biologisnya. Struktur biologisnya sebagai penentu

tindakan telah mengingkari adanya kebebasan manusia. Syari’ati

mengungkapkan: “ini adalah determinisme dari biologisme yang tidak mau

mengakui kenyataan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas lebih tinggi

yang mirip Tuhan yang melampaui susunan biologis, fisiologis, bahkan

psikologisnya.”46

Paling menyesatkan dari biologisme menurut Syari’ati adalah

melihat manusia sebagai makhluk yang sama sekali tidak berbeda dengan

binatang. Sehingga biologisme merupakan sebuah mazhab berfikir yang

mendistorsi manusia “tiga dimensional”. Untuk membebaskan diri dari

penjara alam, manusia harus berusaha “menundukkan” alam dengan

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian

diharapkan manusia akan dapat membawa alam semesta beserta semua sifat

dan hukum dasarnya untuk berada dalam pengawasan manusia. Syari’ati

mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan takdir

alam semesta dengan mempelajari sain-sain. Dan dalam waktu yang

45 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84. 46 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84-85.

Page 83: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

66

bersamaan engkau harus membebaskan dirimu dari penjara alam tersebut.”47

Menurutnya juga ilmu telah dapat menegtahui rahasia-rahasia alam. Dengan

menggunakan pikirannya yang kritis, manusia memanfaatkan ilmu untuk

menghasilkan teknologi. Teknologi punya suatu misi fundamental;

membebaskan manuia dari genggaman determinisme alam.48

Hal itu ditunjukan dengan berbagai macam penemuan, seperti

penemuan lampu listrik, kendaraan bermotor, pesawat ruang angkasa dan

penemuan lainnya. Para ilmuan telah menciptakan hujan buatan untuk

melawan kekeringan. Para insinyur pertanian menciptakan teknologi

pertanian dan mendisain pertanian agar berkembang pesat. Dengan

demikian alam bukan lagi merupakan kendala dalam menghambat kemajuan

manusia.

2. Penjara Sejarah (Historisme)

Determinisme historis memandang manusia sebagai produk sejarah.

Sejarah telah menentukan gerak manusia ke mana dan bagaimana harus

mengarah.49 Melalui gerak sejarah, manusia telah ditentukan posisi dan

karakteristiknya. Syari’ati menyatakan; “alasan mengapa saya berbahasa

dengan satu bahasa tertentu, memeluk suatu agama, ikut pada kelas sosial

dan kultur ini, dan memiliki identitas serta personalitas ini –semua ini dan

seluruh ciri-ciri yang saya miliki ditentukan oleh sejarah.”50

47 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 48 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 88. 49 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82.

Page 84: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

67

Dapat dikatakan, bahwa sesorang yang lahir dan memiliki latar

belakang Jawa, akan berbahasa Jawa, memiliki moral “nrimo” dan memiliki

keyakinan “kejawen” dalam pandang historisme merupakan suatu

keniscayaan. Artinya, sejarah masa lalunya yang akan membentuk dan

mendisain seseorang. Syari’ati menegaskan, historis menyodorkan

peristiwa-peristiwa sebagai sesuatu yang deterministik-materialis, yang

disela-sela perjalanan sejarah –sejalan dengan hukum pergerakan

determinisme historis –telah menciptakan unsur-unsur yang bernama

manusia.51 Manusai sebagai produk sejarah akan bertentangan dengan

manusia men-jadi. Manusia men-jadi adalah produk dari kesadaran,

kebebasan memilih dan daya ciptanya.

Syari’ati menunjukan bagaimana manusia dapat keluar dari penjara

sejarah yaitu dengan penuh kesadaran dalam menemukan takdir sejarah

dengan mempempelajari filsafat dan sains-sains sejarah.52

Jika ia dapat merasakan dan menyadari bahwa ia menjadi mainan kekuatan hebat yang bernama sejarah; jika ia dapat, dengan bantuan ilmu dan filsafat sejarah, menemukan gerak sejarah dan hukum-hukum yang berjalan di belakangnya; jika ia dapat memahami bahwa faktor-faktor itu mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral dan kesadarannya – jika ia dapat memahami semua ini secara menyeluruh, ia pasti dapat membebaskan dirinya dari jeratan sejarah.53

Dengan mempelajari tahapan-tahapan historis dan hukum-hukum

deterministik yang terjadi dalam perjalanan sejarah umat manusia. Hukum-

50 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82. 51 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 59. 52 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 53 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 89.

Page 85: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

68

hukum deterministik dan tahapan-tahapan historis ini kemudian

dikembangkan untuk membangun kemajuan sejarah masa. Tipe kesadaran

sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga

dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi.54

3. Penjara Masyarakat (Sosiologisme)

Dalam padangan sosiologi, manusia telah ditentukan oleh faktor-

faktor sosial. Sosiologi memang menekankan pada peranan masyarakat

dibanding dengan peran individu. Manusia diukur ciri-ciri atau

karakteristiknya berdasarkan data-data yang terdapat dalam suatu

masyarakat. Individu-individu dalan tatanan masyarakat dinilai tidak

memiliki kesadaran dan kehendak, karena semuanya berlandaskan kelas-

kelas dalam masyarakat. Sebagai contoh, bila seseorang nampakya

darmawan, berani dan kesatria, hal tersebut disebabkan ia telah dibesarkan

dalam suatu masyarakat bertipe feodalistik. Begitu pula orang yang

memiliki kekayaan atau aset perusahaaan, ia telah dibesarkan dalam

masyarakat borjuis. Nampaknya individu-individu tidak memiliki tanggung

jawab atas tindakannya, karena lingkungan sosial yang telah membentuk

watak, kepribadian dan tindakannya.

Maka jelaslah bagi Ali Syari’ati bahwa sosiologisme telah

menginkari peran individu, yaitu mengingkari individu dalam proses men-

jadi. Bahkan pada evolusi menuju kesempurnaan dalam sosilogisme pun

mendasarkan pada tatanan yang ada pada masyarakat. Pendek kata,

54 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 91.

Page 86: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

69

sosioligisme adalah sistem sosial manusia yang menentukan sesuatu

untuknya, mempola watak dan perilakunya, dan mencetaknya di bawah

aneka ragam faktor dan kekuatan masyarakat.55

Kemudian untuk membebaskan diri dari kungkungan masyarakat,

manusia bisa mengatasinya dengan mempelajari ilmu-ilmu sosial, hukum-

hukum dan karakteristik yang ada di masyarakat. Dengan mempelajarinya,

seseorang dapat mengetahui secara pasti belenggu diterministiknya.

Syari’ati mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan

takdir masyarakatmu dengan mempelajari sosiologi dan cara penerapan

aturan-aturannya agar engkau terbebas dari penjaranya.”56

Ketika manusia memahami bahwa dalam masyarakatnya terdapat

unsur-unsur yang membelenggu maka ia akan membrontak dalam upaya

mengubahnya.57 Misalnya Indonesia yang di dalam masyarakatnya terdapat

unsur-unsur budaya korup, budaya kekerasan dan kondisi kemiskinan.

Dengan mempelajari unsur-unsur tersebut, kemudian dengan kesadaran ia

pembrotakan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia sedang berjuang

dalam membebaskan dirinya dari penjara masyarakatnya.

4. Penjara Ego

Determinisme ego merupakan penjara terburuk bagi manusia.

Dikatakan penjara terburuk karena berada dalam diri mansuai. Ego selalu

mendorong manusia dalam pemenuhan kepuasan dan kepentingan sendiri

55 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82-83. 56 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 57 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 90.

Page 87: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

70

setiap saat. Walaupun secara eksternal manusia sudah mampu menguasai

kebutuhan hidupnya, akan tetapi dalam internalnya masih miskin dan

terbelenggu oleh egonya. Syari’ati mengungkapkan:

Dan disebabkan oleh pemenjaraan intern manusia itulah ia merasa terlalu banyak absurditas dan kesia-siaan dalam kehidupan dan peradaban modern. walaupun ia sudah menjadi mansuia modern yang telah membebaskan dirinya dari genggaman alam, sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara ego, tanpa mengetahui bagaimana cara keluar dari penjara tersebut.58

Manusia dengan kehidupan materialistik (keduniawian) akan

membawa kepada absurditas dan kesia-siaan, tidak bisa merasakan

kepuasan yang sebenarnya dalam kehidupan material. Walaupun sudah

memiliki segalanya (kekayaan, rumah mewah, beberapa mobil, dan

beberapa perusahan), namun ketika egonya masih terpenjara ia akan terus

menumpuk kekayaan, menghamburkan uang dengan membeli barang-

barang mewah, dan terus mengesploitasi alam dan manusia yang lainnya.

Keadaan seperti ini sangat disesalkan oleh Syari’ati, yaitu dengan kemajuan

ilmu pengetahuan telah memperkuat dan memperkasa manusia, akan tetapi

ia secara moral tetap lemah.59 Ilmu pengetahuan telah membuat manusia

sangat cerdas, namun untuk mengejar materi semata. Kemudian ia lebih

memilih menjadi budak modern dengan menggadaikan dirinya pada

kapitalis dan agen-agen korporasi. Meskipun ia memiliki kecerdasan

intelektual, namun ia masih miskin moral.

58 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 93. 59 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 96.

Page 88: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

71

Melepaskan diri dari penjara ego adalah hal yang paling sulit bagi

manusia, karena antara “penjara” dan “tawanan” tidak terpisahkan. Penjara

ini ada pada diri manusia yang senantiasa hadir. Jika membebaskan diri dari

tiga penjara yang lain cukup hanya dengan mengembangkan pengetahuan

dan kesadaran, namun untuk membebaskan diri dari penjara ego begitu sulit

karena ilmu pengetahun tidak dapat membatunya. Hal itu di utarakan oleh

Ali Syari’ati sebagi berikut:

Karena penjara ini berada di dalam dirimu maka sains tidak dapat membebaskan engkau daripadanya.... Engkau harus memiliki pengetahuan tertentu untuk mengenal dan menemukan “dirimu sendiri”. engkau harus memiliki kekuatan tertentu untuk dapat mengatasi kelemahan-kelemahanmu dan membrontak melawan dirimu sendiri.60

Pengetahuan atau kekuatan menurut Syari’ati adalah cinta. Cinta

yang dimaksud oleh Syari’ati, bukanlah cinta dalam arti sufistik, Platonik,

mistik dan abstrak. Sebab bentuk-bentuk cinta seperti itu adalah bentuk-

bentuk penjara itu sendiri bagi manusia. Bagi Syari’ati cinta dimaknai

sebagai berikut:

Sebagai misal, seseorang duduk di atas lututnya, menyirami badanya dengan bensin dan kemudian membakar dirinya secara sengaja dan sadar agar negaranya dapat diselamatkan dari api yang lebih besar. Ini adalah perbuatan yang tidak logis karena ia melakukan tanpa menuntut suatu imbalan, ganjaran atau kopensasi. Inilah prinsif moral dan makna dari apa yang saya maksudkan dengan cinta; cinta sebagai suatu kekuatan yang mendambakan pengorbanan, yang menghasung manusia yang sedang dirasuknya untuk mengorbankan seluruh miliknya, keuntungannya, kepentingannya, bahkan hidupnya sendiri demi mereka yang ia cintai dan demi cita-cita yang ia perjuangkan.61

60 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 61 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 98.

Page 89: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

72

Dengan demikian cinta yang dimaksud Syari’ati sebagai pembebas

dari penjara ego adalah cinta dalam arti substantif, cinta yang harus

melahirkan kekuatan bagi setiap pencinta untuk mengorbankan apa-apa

yang dimilikinya. Menurut Syari'ati , inilah arti yang sebenarnya dari

pengorbanan sebagai tahapan “menjadi” yang tertinggi dan sempurna bagi

manusia. []

Page 90: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

73

BAB IV

MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

A. Manifestasi Dialektika Manusia

Pemikiran Syari’ati nampaknya ada kesamaan dengan insa>n kamil

milik Ibnu ‘Arabi. ‘Arabi menyebut Adam sebagai perpaduan dari citra Tuhan

dan citra alam semesta.1 Sebagaimana Syari’ati menunjukan dua substansi

pembentuk manusia, yakni tanah dan ruh Tuhan. Namun tidak semua manusia

dapat dikatakan sebagai insan kamil, karena menurut ‘Arabi hanya mereka

yang memperoleh tingkat kesempurnaan, sebaliknya mereka tidak mencapai

tingkat kesempurnaan sama dengan manusia binatang.2 Manusia dalam

pemikiran Syari’ati pun terdabat pengolongan anatara basya>r dan insa>n. Akan

tetapi yang membuat mereka berbeda adalah ‘Arabi meletakan manusia pada

sisi metafisik dan imagener saja. Sedangkan Syari’ati meletakan manusia diatas

realitasnya, meminjam istilah Hasan Hanafi; “dari Tuhan ke lahan (bumi)”,

Syari’ati hendak memanifestasikan manusia yang abstrak menjadi manusia

yang konkrit.

Telah disebutkan pada bab terdahulu, bahwa manusia merupakan

makhluk dua-dimensional dengan dua kutub yang saling bertentangan.

Syari’ati hendak memanifestasikan wajah manusia dua-dimensional dalam

kesejarahan manusia. Di dalam kehidupan manusia pun bergerak dua kutub

1 Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki,

(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 54.

2 Mesataka Takeshita, Insan Kamil, hlm. 130-131.

Page 91: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

74

saling berkontradiksi dan saling menegasikan satu sama lainnya. Kemudian

Syari’ati menyatakan pandangannya mengenai sejarah manusia sebagai

berikut:

Sejak awal sejarah, di kala manusia berperan di muka bumi, senantiasa terdapat masyarakat manusia dan bergerak kedua arah atau kutub yang saling berlawanan, dua front yang saling bermusuhan. Tergantung pada keadaan sosial dan historis, perang dua fihak tersebut mengambil berbagai bentuk dan gambaran. 3

Pertentangan yang terus-menurus antara dua kutub selau terjadi dalam

sejarah perkembangan umat manusia. Pertentangan tersebut mengambil bentuk

yang berbeda sesuai perkembangan masyarakatnya. Kedua kutub tersebut

selalu berebut ruang dominasi dalam mengisi ruang sejarah umat manusia dan

menjadikan kualitas-kualitasnya. Pertentangan antagonisme tersebut sejatinya

tidak bisa didamaikan, dimana kutub yang satu mempertahankan dominasinya

sedangkan kutub yang lain ingin menghancurkannya. Selanjutnya Syari’ati

menjelaskan sifat dan karakter dari masing-masing kutub sebagai berikut:

Kutub pertama merupakan kutub negatif diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dan evolusi dengan melakukan perbuatan-perbuatan kejahatan, dekadensi, dan penyelewengan dengan jalan menindas, perbudakan, dan memperbodoh massa kemanusian; dengan jalan menegakkan tirani atas rakyat, dan merampok hak-hak serta keperluan-keperluan mereka serta menanamkan benih-benih rasisme, segregasi, dan fanatisme dalam masyarakat, keluarga, suku, ras dan lembaga-lembaga mereka. ..... Kutub kedua, kutub positif kemanusiaan, yang selalu menentang tirani dan ketidakadilan serta korupsi demi tegaknya perdamaian dan keadilan serta persaudaraan di muka bumi, terus menerus berada dalam pertempuran melawan kutub pertama yang negatif tersebut.4

Yang menarik atas manifestasi antara pertarungan dua kutub tersebut

adalah Syari’ati menyajikan dengan mengambil narasi historis pertarungan

3Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37. 4Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37-38.

Page 92: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

75

antara Qabil dan Habil dalam al-Qur’an. Qabil dan Habil merupakan anak-anak

dari Adam. Dalam kisah tersebut berakhir dengan terbunuhnya Habil ditangan

Qabil yang menandakan awal sejarah pertarungan antara manusia dan manusia.

Syari’ati mengemukakan sumber konflik Qabil dan Habil sebagai berikut:

Mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas; ia lebih saudara perempuan yang telah dipertunangkan bagi Habil, daripada tunagannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya.5

Dimensi ketidakpuasan Qabil yang diekspresikan dengan merampas

hak Habil merupakan cermin kutub negatif yang mengarah kepada perbuatan

hina. Pilihan Qabil tersebut telah membawa pada pertentangan manusia dengan

manusia pertama dalam sejarah umat manusia. Pertentangan antara Qabil dan

Habil terus berlanjut, dan tidak dapat didamaikan. Syari’ati menafsirkan

konflik tersebut berbeda dengan kebanyakan ulama, yakni mengenai jenis

pekerjaan mereka sebagai berikut;

Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarga, pendidikan dan masyarakatnya berbeda dengan Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka: persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berujud seekor onta menunjukan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah ketika eksistensi manusia tergantung pada alam – berburu, mencari ikan dan menjinakan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh kelas penguasa.6

Tafsir Syari’ati di atas sangat kental dengan paradigama marxisme,

yakni kepemilikan pribadi sebagai akar kemunculan kelas-kelas dalam

5Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 39. 6Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 40-41.

Page 93: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

76

masyarakat. Dengan demikian Syari’ati menempatkan pekerjaan Habil sebagai

pengembala mewakili zaman komunal, dimana hubungan produksi dilakukan

secara bersama-sama dan alat produksi pun dikuasai secara bersama. Mereka

dalam memenuhi kebutuhan hidup dilakukan secara subsisten. Sedangkan

Qabil mewakili masyarakat berkelas, kelas penguasa menguasi alat produksi

dan melahirkan hubungan produksi yang timpang. Sarbini mengutip penjelasan

Syari’ati dalam bukunya “Islam Di Tepian Revolusi”:

“Peristiwa itu mengandung Tafsif yang sangat mendasar secara ilmiah, sosiologis dan berkenaan dengan kelas sosial. Kisah itu merupakan akhir komunisme primitif. Lenyapnya sistem asli manusia berupa persamaan dan persaudaraan, yang terpantul pada sistem produktivitas perburuan dan penangkapan ikan (ditamsilkan dengan Habil sang penggembala), digantikan oleh produksi pertanian, terciptanya milik pribadi, terbentuknya masyarakat kelas, sistem diskriminasi dan eksploitasi, pemujaan harta, dan kemerosotam iman bermulanya kerusuhan, persaingan dan pembunuhan saudara sendiri (ditamsilkan dengan Qabil sang petani). Kematian Habil dan kelangsungan hidup Qabil adalah realitas objektif dan historis.7

Sebagaimana yang dikatakan Engels: “...kelas-kelas dalam masyarakat

selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran, atau produk dari

kondisi ekonomi pada zamannya.”8 Dengan munculnya kelas sosial, terdapat

hubungan produksi yang menguntungkan segelintir orang yang memiliki alat

produksi. Kelas pemilik akan menjalin aliansi dengan kekuatan-kekuatan lain

yang saling mendukung. Syari’ati menyebutkan bahwa kutub Qabil memiliki

tiga wajah yang menentukan peradaban umat manusia sesuai dengan

keinginan-keinginannya, berikut penjelasan Syari’ati:

Di dalam masyarakat-masyarakat modern sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis Qabil menyembunyikan wajahnya

7 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 97.

8 Frederick Engels, Anti-Dühring, terj. Oeyhaydjoen (Hasta Mitra-Ultimus, 2005), hlm.

37.

Page 94: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

77

yang asli di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despotisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi.9

Personifikasi ketiga kekuatan tersebut disimbolkan oleh Ali Syari’ati

dengan nama tokoh-tokoh dalam sejarah Islam baik Taurat maupun al-Qur’an.

Kekuasan politik disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi

disimbolkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuatan religius di lambangkan

oleh tokoh Balaam Bauri. Tiga wajah ini merupakan manifestasi dari wajah

Qabil.10

Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang dan menguatkan.

Firaun yang memiliki kekuasaan memberi restu perampokan sistematis dan

prosedural yang dilakukan Karun. Kemudian, Karun pun mendukung kerja

intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Firaun menyokong

Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis

doktrin untuk melegitimasikan kekuasaan Fir'aun. Ketiga wajah itu menyatu

dalam satu wajah penindas yang mengorbankan eksistensi kaum Habil.

Melalui pengalaman pribadi, Ali Syari’ati merasa kekecewan yang amat

mendalam melihat piramida megah yang kebanyak orang memujinya. Piramida

merupakan simbol penindasan terhadap kelas Habil, yaitu para budak. Dalam

sistem perbudakan, jiwa dan tubuhnya merupakan milik Firaun. Sehingga para

budak pun dipaksa untuk menuruti kehendaknya termasuk membangun makam

para Firaun. Dengan nada yang sinis, Ali Syari’ati berkata:

9 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 124. 10 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 43.

Page 95: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

78

Lalu aku layangkan pandanganku pada piramida besar itu, dan aku sadari, di balik kemegahan dan keagungan bangunan itu, aku betul-betul merasa asing dan jauh darinya! Dengan kata lain, ada rasa kebencian yang dalam pada monumen-monumen peradaban megah sepanjang sejarah yang dibangun di atas tulang-belulang para pendahuluku!11

Syari’ati berpandangan bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil

dibukuhkan suatu perubahan yang fundamental –yakni revolusi –yang

digerakan oleh raushanfikr (manusia tercerahkan) untuk mengakhiri

penindasan kaum Qabil.12 Cara-cara untuk menyingkirkan kejahatan sosial

(penindasan, pen) yang ada, Engels berkata: “mesti ditemukan dalam kondisi-

kondisi material yang ada, tidak dibuat penemuan oleh seseorang reformer

sosial.” Artinya, bahwa dalam melakukan usaha-usaha diagnosis persoalan

sosial tidak boleh dipasrahkan kepada opurtinisme intelektual. Berikut ini

pernyataan Syari’ati tentang kepercayaannya akan revolusi yang menandakan

berakhirnya zaman Qabil:

Bisa saja hari esok atau lain waktu, revolusi dunia demi kaum mustadh’afin, kebenaran dan keadilan akan meletus, dan didalamnya saya akan berpartisipasi.......dan saya percaya bahwa revolusi ini pasti menang; maka, saya percaya kepada hukum-hukum sejarah yang tak dapat dihindari, dan tidak percaya kepada kebetulan, kekacau-balauan (chaos) dan perpecahan historis.13

B. Hubungan Manusia Tercerahkan Dan Tanggung Jawab Sosial

1. Islam sebagai Ideologi

Ideologisasi Syari'ati diawali dari pembahasannya mengenai

kehidupan manusia yang dikungkungi oleh berbegai belenggu. Manusia,

11 Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan

Penindasan dan Kezaliman, (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001, hlm. 3.

12 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 99. 13 Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, hlm. 68-69.

Page 96: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

79

meskipun memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan daya cipta

(kreativitas) untuk menentukan pilihan hidupnya, akan tetapi tidak

sepenuhnya sebab berbagai penjara kehidupan selalu mengungkunginya.

Tambah lagi penjara-penjara tersebut tidak mudah diidentifikasi, pasalnya

telah terselubung dalam ideologi. Oleh karena itu, kesadaran, kebebasan dan

kreativitas manusia hanya dapat diartikan sebagai pilihan menentukan jalan

hidup setelah berhasil melalui berbagai kesulitan (penjara-penjara) yang

melingkupinya. Sekali lagi, penjara-penjara kehidupan yang terselubung

dalam ideologi memang tidak mudah dilawan, namun tidaklah demikian

bagi Syari'ati. Melawan ideologi harus menggunakan ideologi,14 demikian

menurut Syari'ati.

Syari’ati telah melakukan tinjauan ulang bahwa ilmu dan filsafat tak

cukup efektif untuk mengantarkan seseorang sampai pada suatu tujuan

tertentu yang dicita-citakan. Apalagi dalam kenyataan sejarah, baik ilmu

maupun filsafat tak pernah dapat melahirkan revolusi. Karena ideologi

meneuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah

yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena

sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan dan tanggung jawab.

Meskipun demikian, bukan berarti filsafat tidak berguna, walaupun antara

14 Ideologi berasal dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan

dan lain-lain; dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan. Jadi ideologi didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Syari'ati memberi definisi ideologi dalam arti lebih luas yakni mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan, dan komitmen. Dalam konteks tersebut, Syari’ati menegaskan bahwa ideologi pada hakikatnya menuntut kaum intelektual bersikaf setia (commited) sebab ideologilah yang mampu mengubah masyarakat. Sementara ilmu (sekuler) bahkan filsafat sekalipun tidak mampu mengubah masyarakat. Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 72.

Page 97: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

80

ilmu dan idiologi memiliki perbedaan yang cukup fundamental tetapi tetap

memiliki titik temu. Titik temu itu terdapat pada tahap evaluasi yang

merupakan tahap akhir dari setiap rangkaian aktivitas keilmuaan, dimana

baik ilmu dan filsafat berusaha memahami dan membuka tabir apa yang

belum diketahui.

Islam adalah agama universal, di dalamnya terdapat berbagai ajaran

mengenai humanitas. Humanisme Islam adalah humanisme universal

sehingga bila Islam dijadikan ideologi maka ideologi Islam merupakan

ideologi universal. Syari’ati merumuskan, sesungguhnya jiwa agama yang

menancap sebagai ideologi adalah ketahanan yang membentengi pribadi dan

masyarakatnya, untuk selalu terikat dengan esensinya, tegak di atas kaki-

kaki kemanusiaan dan berjalan membina lahirnya generasi yang tangguh,

serta menciptakan para pembela kemajuan, budaya dan kepribadian yang

sejati.

Sebagai seorang muslim, Syari'ati memandang bahwa Islam tidak

cukup hanya dimaknai sebagai ritual semata, melainkan Islam pun perlu

dijadikan sebagai ideologi. Syari'ati memang telah lama merindukan adanya

ideologi yang Islami, pasalnya ideologi yang selama ini berkembang dinilai

tidak cukup rahmatan li al-alami>n. Bagi Syari'ati ideologi Islam merupakan

rumusan istimewa sebab menekankan adanya korelasi antara ideologi

ketuhanan (wahyu) dan ideologi kemanusiaan, yakni: akal (rasional) dan

empirisme. Peran fundamental agama pada akhirnya harus mampu

menumbuhkan dan menggerakkan kehidupan sosial yang lebih beradab.

Page 98: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

81

Syari’ati memandang agama (baca: Islam) dalam maknanya yang universal.

Agama tidak cukup hanya dimaknai sebagai kumpulan tradisi atau konversi

sosial, atau bahkan semangat kolektif suatu kelompok. Menurutnya, agama

harus mampu menjadi lokomotif kesadaran masyarakat sehingga agama

semestinya dipahami sebagai ide bukan sebagai sekumpulan ilmu. Syari’ati

menegaskan bahwa;

Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan nasib diri sendiri.15

Kemudian Syari’ati menjelaskan:

“Islam akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tirani. Ia tidak akan pernah berbaiat (berpihak) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. As syura mengingatkan kembali akan ajaran ikhwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan”.16

Syari’ati mengemukakan suatu rumusan bahwa agama itu

mempunyai makna lebih luas, yakni sebagai ideologi. Ini dikarenakan sifat

dan keharusan dari ideologi itu meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan

keterlibatan untuk dijadikan “pijakan dasar komitmen” bagi seseorang

dalam hidup –merubah tatanan sosial yang timpang. Munculnya agama

sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di

tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk

membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu

15 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73. 16 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hml.68

Page 99: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

82

memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa

kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan

menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah,

menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian,

agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama

sebagai institusi sosial.17 Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam

dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh

Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan

Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan

perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-

agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek

yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak

harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang

sejati”.18 Agama Islam merupakan agama revolusioner, yang memberi

seseorang; individu yang beriman padanya, yang didik dalam pemikiran

aliran agama ini, kemampuan untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh

aspek materiil, spiritual dan sosial.19

Dalam konteks masyarakat modern, Syari’ati melihat perlbagai

problem kemanusiaan yang disebabkan oleh adanya kolonialisme dan

imperialisme Barat. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya

bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas,

17 Ali Syari’ati, Islam mazhab pemikiran dan aksi, hlm.154-155. 18 Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 81. 19 Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 36.

Page 100: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

83

ketidakadilan, dan melahirkan para pemuja Barat. Bagi Syari’ati, Islam

merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim

dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Upaya Syari’ati dalam

merekonstruksi Islam sebagai ideologi dengan menyajikan tahapan-tahapan

ideologi secara detail:

1. Ali Syari’ati meletakan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan

dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan

merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar,

memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian

berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam

kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib;

substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi

manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya

tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-

nilai Ketuhanan.

2. Pada tahap selanjutnya adalah berkenaan dengan bagaimana

memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang

membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam

adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-

Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam

sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan

misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.

Page 101: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

84

3. Pada tahap terakhir, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan

menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo.

Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita

yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi

masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan

dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai

suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk

membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar

bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.20

Ali Syari'ati sendiri demikian konsisten dengan gagasannya, terbukti

tatkala menyaksikan kondisi lingkungan sosialnya demikian carut-marut

karena propaganda dan kekejaman rezim Syah Pahlevi. Melihat kebekuan

masyarakat akibat ilusi ulama dengan doktrin “Juru Selamat yang gaib”21,

bahkan para intelektual bangga dengan produk-produk pemikiran yang

diimpor bulat-bulat, Syari'ati langsung turun lapangan. Seluruh daya upaya

–mulai dari mengajar, ceramah bahkan sampai lerlibat dalam protes-

protes— telah dikerahkan untuk menyelamatkan masyarakatnya yang

tertindas. Syari'ati telah melakukan ideologisasi dengan cara-cara yang

memungkinkan baginya. Dengan demikian Syari’ati menggagas Islam

sebagai ideologi.

20 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 70-71. 21 Menurut Syari’ati konsep Juru Selamat merupakan senjata yang ampuh untuk

mempertahankan status quo dan merupakan cara yang terbaik untuk menyakinkan agar umat tunduk kepada kezaliman. Lihat dalam Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 85.

Page 102: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

85

Ali Syari’ati menegaskan kembali bahwa ideologi dan kesadaran

kelas itulah yang menolongnya mencapai kesadaran istimewa tentang

kehidupan dan jalan bertindak yang jelas, jalan hidup, dan jalan berfikir

dengan cita-cita jelas yang membentuk filsafat hidupnya.22 Jadi, dengan

ideologi, manusia akan menghindarkan dari sifat oportinis, reaksioner dan

ragu-ragu dalam menentukan arah perubahan sosial.

2. Mewujudkan Tatanan Masyarakat Baru

Didunia ini pernah dihuni oleh para pemikir besar pada zamannya.

Dalam tradisi pemikiran Yunani Klasik, terdapat sederet pemikiran

termasyur seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Tetapi sepanjang hidup

mereka, masyarakat Yunani tetap merasakan perbudakan yang sangat

kejam. Begitu pula di Timur memiliki Ibnu Arabi, Ibnu Sina dan al-

Ghazali berada dalam masyarakat yang korup. Menurut Syari’ati mereka

bukanlah manusia yang tercerahkan. Bahkan Syari’ati menilai akan

menjadi bahaya besar jika para pemikir terpisah dari masyarakat. Karena

Jika seorang pemikir memisahkan diri dari masyarakat, ia tidak peduli

dengan perbudakan dan penguasa yang korup serta tidak memiliki

tanggung jawab sosial untuk meningkatkan drajat martabat kemanusiaan.

Dalam buku “Membangun Masa Depan Islam” memuat analisis

Syari’ati mengenai kaum cerdik pandai yang terbagi dua, yaitu kaum

intelektual yang memanfaatkan pengetahuan teoritis dan praktis mereka –

seperti para pemikir diatas, dan kaum yang tercerahkan yang memikul

22 Ali Syari’ati, Tugas Cendiakiawan Muslim, hlm. 223.

Page 103: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

86

tanggung jawab sosial dan memainkan perannya sebagai nabi-nabi sosial.

Pendeknya, tugas manusia tercerahkan adalah memwujudkan tatanan

masyarakat baru tanpa penindasan. Hal inilah yang kemudian menjadi

fokus sorotan tokoh revolusioner Iran, Ali Syari’ati yang dengan lantang

menyatakan bahwa:

“Perbedaan antara cendekiawan Timur yang bebas dan cendekiawan Timur yang berfikir kebarat-baratan adalah bahwa yang pertama tidak pernah ingin membatasi dirinya pada norma-norma intelektual yang diimpor dari barat, sedangkan yang kedua menganggap Barat sebagai model yang harus ditiru. Tipe yang berorientasi ke Barat mungkin seorang intelektual, sangat terpelajar dan seorang sarjana, walaupun demikian dia terlalu terasing atau terpisah dari masyarakatnya untuk dapat mempengaruhi masyarakat secara konstruktif. Tipe ini tidak dapat menjadi pemimpin rakyatnya yang sadar dan faham, karena ia tidak mengenal kenyataan-kenyataan dan kebutuhan–kebutuhan nyata dari masyarakatnya.....”.23

Dalam konteks peradaban modern yang telah membuat manusia

lebih “beradab” –dengan pelbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan manusia dalam

memenuhi kebutuhannya. Namun sebaliknya, Syari’ati berbeda pandangan,

ia menganggap bahwa peradaban modern sedang mengalami kemerosotan.

Syari’ati menyatakan, bahwa malapetaka umat manusia di zaman modern

ini, pertama-tama dan yang paling utama adalah mapetaka kemanusiaan.24

Seperti halnya teori marxisme, Syari’ati menyatakan bahwa akar persoalan

dari malapetaka kemanusiaan adalah kepemilikan pribadi. Syari’ati

menegaskan bahwa “munculnya kepemilikan pribadi merupakan sumber

23 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 87 24 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65.

Page 104: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

87

datangnya bermacam-macam penyakit, termasuk gangguan terhadap tata-

hubungan kemasyarakatan dan pengingkaran atas nilai-nilainya.”25

Telah diterangkan pada bab terdahu, Syari’ati menyebutkan bahwa

konflik antara Habil dan Qabil dilandasi adanya kepemilikan pribadi.

Dengan demikian, masyarakat telah terpolarisasi menjadi dua kutub yang

saling berlawanan sepanjang sejarah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh

Marx dan Engels bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang ini

adalah sejarah perjuangan kelas.26 Dewasa ini, sistem ekonomi yang

dikuasai oleh kapitalisme sebagai pemilik sah dari alat-alat produksi telah

menguasai kehidupan masyarakat. Sehingga manusia berada dalam

belenggu penindasan, penghisapan oleh segelintir orang. Ilustrasi

percakapan Syari’ati dengan Imam Ali menunjukan betapa dahsyatnya

penindasan di zaman modern, berikut ini kutipannya:

Kami bekerja untuk sistem, kekuasaan, mesin, dan istana-istana yang dipelihara melalui kerja keras kami. Kekayaan dikumpulkan dari hasil keras kami, tapi bagian yang kami terima hanya potongan yang terkecil; kami diharuskan bekerja kembali pada hari berikutnya. Kini kami lebih tersiksa daripadamu! Kekejaman dan diskriminasi yang kini terjadi jauh lebih menyakitkan dari zamanmu!27

Syari’ati melihat bahwa sistem kapitalisme yang ditopang oleh

kemajuan teknologi dan perkembangan mesin-mesin industri telah

mengingkari eksistensi manusia dengan mengeksploitasi begitu kejam.

Peradaban modern dalam jerat kapitalisme membuat manusia merasa cemas

25 Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 14-15. 26 Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, dalam Jurnal Kiri no. I, Juli 2000, hlm.

43-44. 27 Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 11-12.

Page 105: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

88

dan gelisah dalam setiap mengambil keputusan –ia tidak tahu apa yang

sebenarnya yang diinginkan. Syari’ati menyatakan “mesin-mesin yang

semula menjadi alat bagi manusia untuk menjadikan penguasa atas alam dan

dibebaskan dari perbudakan kerja, kini berubah menjadi sistem mekanis

yang membelenggu manusia.”28

Peradaban modern terus melaju dan sistem kapitalisme pun berupaya

memperbaiki dan memperkokoh diri. Menurut Syari’ati, “kaum kapitalisme

kini telah mempekerjakan para ahli sosiologi, para filsuf, bahkan mereka

menggaji pakar-pakar sosialis dan marxis”.29 Tidak lain, kaum kapitalis

menggunakan jasa mereka untuk memuluskan jalan penindasan secara

ilmiah. Hal itu telah membuktikan bahwa kapitalisme telah

mentransformasikan “sesat pikir” terhadap intelektual-intelektual dan

sayangnya mereka menerima dengan bangga. Kemudian Ali Syari’ati

mengatakan:

Fungsi mereka adalah menyebarkan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan Eropa yang dicomot dan dipilih terlebih dahulu, dan juga menyebarkan gaya hidup, hubungan sosial, dan pola-pola moral, serta prilaku barat. Intelektual-palsu itu diharapkan dapat menjadikan rakyat “modern” dan meniru golongan elit dan progresif dan mendidik para pemuda dari masyarakat-masyarakat non-Eropa agar menyerap budaya Eropa sehingga tersedialah dasar untuk penyusupan dan kedatangan Barat.30

Dalam kondisi di atas manusia sering disebut sedang mengalami

keterasingan. Dimana manusia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan

terjatuh pada kekuatan-kekuatan diluar dirinya, karena mau tidak mau harus

28 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65. 29 Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 67. 30 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73.

Page 106: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

89

mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah dipaksakan oleh

kapitalis. Syari’ati mengungkapkan hal itu dengan begitu mendalam, yakni;

“konsepsi saya mengenai diri saya tidak seperti saya sebenarnya dalam

realitas, tetapi sebagaimana adanya “mereka”; yaitu saya yang terasing.”31

Dari situ, intelektual dipandang gagal memberikan kontribusi dalam

menjembatani masyarakat untuk menemukan jati dirinya.

Ali Syari’ati menekankan manusia tercerkan harus menganalisa

keadaan objektif masyarakat dan mencari akar persoalan dari ketertindasan

serta mempelopori gerakannya. Maka daripada itu, seperti yang telah

dibahas sebelumnya –manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, yakni

Islam. Menurut Syari’ati, manusia tercerahkan merupakan agen perubahan,

motor radikalisasi massa dalam melawan penindasan. Syari’ati menegaskan

bahwa orang tercerahkan adalah aktivitas radikal yang meyakini sungguh-

sungguh dalam ideologi dan menginginkan syahid demi perjuangan.

Syari’ati menyatakan esensi tanggung jawab adalah ‘Amr ma’ruf nahi

munkar.32 Misi yang dibawa orang tercerahkan adalah membangkitkan

“massa yang tertidur” dengan mengidentifikasi persoalan riil berupa (1)

kemunduran masyarakat dan Islam, (2) agama dan keadilan –sebagai solusi

rasional untuk menggeluti persoalan yang mencual dalam masyarakat.33

Walaupun Syari’ati sering bicara kelas, namun dalam hal ini –kesadaran

31 Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 141. 32 Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 38. 33 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 89.

Page 107: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

90

untuk bergerak tidak selalu muncul dari kesadaran kelas, namun bisa

berangkat dari kesadaran agama Islam.

Manusia tercerahkan dalam perjuangannya akan membawa

masyarakat yang terpolarisasi menuju masyarakat tauhid. Di dalam

masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi legal, sosial, politik, rasial,

nasional, teritorial, maupun genitika.34 Konsepsi ekonomi yang ditawarkan

Syari’ati dibangun diatas dasar persamaan dan keadilan serta hak milik yang

diberikan di tangan rakyat.35 Pandangan Syari’ati tentang masyarakat masa

depan tidak terlalu berbeda dengan masyarakat tanpa kelas (komunisme)

dalam paradigma marxisme. Inilah tanggung jawab utama manusia

tercerahkan untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni

masyarakat tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan.

C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia

Ke-modern-an Eropa yang dipelopori oleh gerakan renaisans membawa

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Industri-industri raksasa –ditopang

teknologi canggih telah melahirkan kolonialisme sebagai tragedi kemanusiaan.

Tragedi kemanusiaan pun terjadi di Indonesia. Pada konteks ini, kemanusiaan

lahir dari pengalaman manusia Indonesia itu sendiri.

Periode kolonialisme, manusia Indonesia tidak memiliki kebebasan dan

cenderung merendahkan. Tidak dipungkiri bahwa praktek kolonial bertindak

semena-mena dengan menindas, membunuh dan menciptakan budaya-budaya

yang sesungguhnya asing bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Barat di

34 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm.79. 35 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 92.

Page 108: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

91

bawah kekuasaan kolonial merupakan pem-Barat-an yang bersifat peniruan.

Namun pengalaman ketertindasaan ini melahirkan kesadaran para intelektual

yang melahirkan tanggung jawab untuk melakukan perjuangan menjadi

manusia merdeka. Sebagaimana menurut Syari’ati, manifestasi manusia

dialektika selalu mengambil bentuk yang saling berlawanan, yakni antara yang

ditindas dan yang menindas. Sehingga para intelektual Indonesia merumuskan

gagasan tentang kemerdekaan dan melakukan pemberontakan terhadap

kolonial hingga tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perjuangan intelektual Indonesia, nampaknya selaras dengan ungkapan

syari’ati bahwa “anti-kolonialisme tidak hanya melawan kolonialisasi tetapi

juga menjalankan revolusi untuk menentang dan berusaha untuk bebas

darinya.”36

Namun, berbeda dengan Syari’ati, revolusi Indonesia bukan berpegang

dengan ideologi Islam, melaiankan penyatuan ideologi Nasionalisme, Agama

dan Komunisme (Nasakom). Sehingga Indonesia tidak melahirkan negara

Islam seperti di Iran, tetapi memfasilitasi ketiga ideologi besar tersebut dengan

Pancasila. Bisa dibilang tujauan revolusi Indonesia tidak hanya melepaskan diri

dari imperialisme dan sisa-sisa feodal, tetapi revolusi tahap selanjutnya menuju

sosialisme ala Indonesia. Soekarno menjelaskan hakikat revolusi ini dalam

pidatonya “Djalannja Revolusi Kita (Djarek) yakni:

Perombakan, penjebolan, penghancuran, pembasmian dari semua apa yang kita tidak sukai, dan membangun segala apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan yang muda dan revolusi Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan daripada revolusi dunia, karena tiga perempat dari umat manusia di muka bumi ini berada dalam kondisi

36 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 82-83.

Page 109: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

92

mengalami revolusi. Berbicara tahap revolusi dan tujaunnya ada dua macam tahap revolusi yaitu: pertama, tahap mencapai Indonesia merdeka penuh, bersih dari imperialisme dan yang demokratis serta bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan dan disempurnakan. Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari expoitation de l’homme par l’homme. Tahap ini bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya.37

Manusia tercerahkan dan tanggung jawabnya selanjutnya adalah

menuikan tugas revolusi tersebut yang luntur dibawah kekuasan orde baru.

Pada masa orde baru, dengan sistem pemerintahan yang tidak jauh beda dengan

rezim Pahlevi di Iran, yakni otoriter dan dibawah kekuasan imperialisme.

Dengan kekuatan militer, rezim orde baru melahirgan berbagai tragedi

kemanusiaan, yakni tragedi 1965, tragedi Malari tahun 1974, tragedi Tanjung

Priok dan tragedi Tri Sakti dan Semanggi.

Senada dengan tindakan Pahlevi, orde baru mengimpor budaya dan

memiliki kegemaran mengirim intelekutal ke Barat, kemudian mempraktekan

ilmu yang didapat di Indonesia. Intelektuan dimanjakan oleh orde baru

sehingga para intelektual orportunis mendukung dan membela kebijakan status

quo. Hasilnya adalah pemerintah orde baru menjalankan kebijakan-

kebijakannya sangat pragmatis. Hal demikian itu, tidak dipungkiri akibat

modernisasi yang dijadikan sebagai titik tolak pembangunan. Dimana

perekonomian Indonesia bersandarkan pada perekonomian Barat. Sehingga

para pemodal Barat dan kalangan elit (bourjuasi) saja yang menikmati

perekonomian di Indonesia.

37 Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, (Bandund: cv. Dua-R, 1961),

hlm.61-62.

Page 110: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

93

Kemudian paska reformasi, tragedi kemanusiaan semakin besar.

Pemerintahan dengan mazhab neoliberal, menjalankan kebijakan privatisasi

dan perjanjian perdagangan bebas yang menguntungkan kapitalisme global.

Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen

yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen

dengan budaya kunsumsi telah menjadikan eksistensi manusia modern.

Fenomena masyarakat konsumen, yang hidupnya diatur oleh logika

kapitalisme global dimana makna hidup dan identitas diri mereka ditentukan

dalam kegiatan konsumsi. Hal itu sebenarnya merupakan fenomena yang

menunjukkan bahwa dunia sedang mengarah pada situasi yang tidak menentu.

Meminjam istilah Syari’ati, manusia Indonesia telah menjadi “hewan-hewan

konsumen.”

Tindakan sewenang-wenangan status quo selalu mengunakan alat-alat

lain untuk memperkuat posisi dan melegitimasi. Seringkali lembaga-lembaga

sosial maupun lembaga agama dipolitisir oleh para elit kedua lembaga tersebut.

Di mana lembaga sesungguhnya bukan lagi hanya sebagai wadah untuk

memperjuangkan hak-hak kelompok, namun menjadi alat untuk meraih

kekuasan. Dengan kata lain, kedua lembaga itu saat ini telah ternodai oleh

kepentingan pragmatis, sehingga melupakan tujuan dan misinya. Terbukti,

dengan terciptanya lembaga-lembaga agama dibawah pengawasan pemerintah

telah menjadi alat untuk meninabobokan masyarakat melalui fatwa-fatwa para

elit agama yang berada di dalam lembaga pemerintahan. Misalnya kasus

terbaru tentang fatwa haram bagi orang mampu dalam mengakses BBM

Page 111: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

94

bersubsidi. Pertanyaanya, bagi pemerintah yang tidak menjalankan amanat

UUD 1945 pasal 33, malah yang terjadi pemerintah gemar melakukan

privatisasi sehingga kekayaan alam Indonesia dirampok terang-terangan oleh

korporasi raksasa internasional tidak lebih haram?.

Dari parodi persoalan tersebut, maka manusia (Indonesia) tercerahkan

harus berada di tengah-tengah masyarakatnya, harus menunjukkan tanggung

jawabnya untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan

keterbelakangan masyarakat serta berupaya menemukan solusi yang tepat bagi

kemandekan dan kebobrokan yang menimpa rakyat yang ada di sekitarnya.

Terlebih, ia harus mendidik masyarakatnya yang masih bodoh ataupun masih

tertidur, mengenai alasan-alasan mendasar yang membuat nasib masyarakatnya

yang secara sosio-historis terlihat amat tragis dan dilematis.38 Kemudian tugas

manusia tercerahkan adalah menciptakan revolusi sosial yang membawa

manusia Indonesia menuju persamaan dan keadilan.

D. Catatan Untuk Ali Syari’ati

Pemikiran Ali Syari’ati tentang manusia terkesan ambigu. Hal itu

dikarenakan Syari’ati sosok pemikir yang cenderung eklektis –yang

mengakibatkan “rasa ragu” terhadap orisinalitan pemikirannya. Syari’ati sangat

kental dengan kombinasi antara Islam dan marxisme, bahkan paradigma

kerangka dan analisis menggunakan marxisme.

Di dalam manusia dua dimensional yang sejatinya merupakan simbol

kebebasan, Syari’ati menggunakan metode dialektika –yang menunjukan

38 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42

Page 112: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

95

adanya kontradiksi (pertentangan). Namun pertentangan yang muncul terkesan

pada realitas penampakan saja –dialektika termanifestasi dalam perjaungan

kelas (Habil vs Qabil). Hal ini karena orientasi pemikiran Syari’ati tentang

manusia adalah jembatan untuk melakukan revolusi. Sehingga lebih jauh

daripada itu, dialektika Syari’ati mengenai esensi manusia belum begitu

mendalam. Syari’ati terkadang juga tidak konsisten dalam melihat akar

persoalan terjadinya pertentangan dalam realitasnya. Disalah satu sisi, Syari’ati

menyebutkan terjadinya pertentangan karena adanya kepemilikan, namun disisi

lain adalah keyakinan. Syari’ati mengembangkan konsep “kelas keyakinan”

dalam rangka menjelaskan kemunculan apa yang ia anggap sebagai kelas

ulama –yang menghasilkan “institusi ulama” yang terpusat dan berpikiran

sempit.39

Berkaitan dengan kebebasan, kesadaran dan kreatifitas manusia dalam

pandangan Syari’ati harus lepas dari belenggu determinisme. Namun disisi

lain, Syari’ati menyatakan bahwa pengetahuanlah yang membuat manusia

memiliki kesadaran-diri diperoleh dari Tuhan sebagai guru pertama bagi

manusia. Jika berbicara mazhab determinisme, Syari’ati telah terjatuh pada

fatalisme, yakni segala sesuatu tindakan atau yang melekat pada manusia

ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dengan demikian, manusia dalam pemikiran

Syari’ati akan berbeda dengan Jean-Paul Sartre yang menolak determinisme

secara mutlak. Menurut Syari’ati eksistensialisme Sartre merupakan

kemunduran yang disayangkan dari eksistensialisme yang agung, dari puncak

39 Lihat dalam Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual, hlm. 313-314.

Page 113: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

96

manusia-tuhan ke gurun kecemasan yang sia-sia. Nihilis eksistensialisme tidak

memiliki tujuan hidup yang pasti. Kemudian Syari’ati menghadirkan esensi

dari segala realitas yakni Tuhan.

Islam sebagai ideologi ketika terlembagakan menjelma sebagai negara

yang sifat dan perannya represif akan menjadi kontraproduktif. Ideologi

haruslah evaluatif dan dinamis, karena kenyataan gagasan dan struktur

kesadaran dan konsep itu bersifat dinamis –dimana kenyataan berada dalam

perubahan yang terus-menerus. Di dalam dialektika, proses kritis hanya

berlangsung supaya sebuah tafsir realitas tidak berubah menjadi alat

pembenaran status quo.40 Islam sebagai idelogi sebagaimana tawaran Syari’ati

harus terus dinamis dengan kondisi sosial yang terus berkembang dengan

tujuan pembebasan manusia dari belenggu penindasan. []

40 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, hlm. 91.

Page 114: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

97

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa uraian di atas, ada beberapa hal yang menjadi

kesimpulan dari pembahasan kajian manusia dalam pemikiran Ali Syari’ati,

sebagai berikut:

1. Pandangan Ali Syari’ati tentang manusia

Pandangan Ali Syari’ati mengenai manusia terdapat pelbagai

kategori, yakni; khalifah, manusia dua-dimensional, insa>n, dan manusia

tercerahkan. Kategori khalifah: Syari’ati memahami bahwa manusia

sebagai khalifah yang bertugas supaya menyesuaikan sifatnya dengan sifat-

sifat Tuhan. Bagian pokok yang menjadikan manusia lebih superior di

antara semua makhluk ciptaan-Nya ialah akal –anugerah tertinggi itulah

yang menyebabkan malaikat dan iblis harus bersujud di hadapan Adam.

Kategori Manusia dua-dimensional: berdasarkan kisah penciptaan Adam

diketahui bahwa manusia terdiri dari dua dimensi, yakni material (tanah)

dan spiritual (ruh Tuhan). Lebih lanjut Syari'ati memaknai bahwa dimensi

material merupakan simbol kehinaan, sementara dimensi spiritual sebagai

simbol kemuliaan. Sebagai manusia dua dimensional, manusia diberi

tanggung jawab berupa kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya, yakni

pilihan kepada jalan kehinaan maupun jalan kemuliaan. Kategori insa>n:

Syari'ati berpendapat bahwa manusia secara kualitas terdiri dari basya>r dan

Page 115: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

98

insa>n. Manusia yang dalam hidupnya tinggal menjalani takdir (being), itulah

basya>r, sedangkan insa>n ialah manusia yang hidupnya selalu men-jadi

(becoming) menuju kesempurnaan. Oleh karena proses itulah, insa>n

memiliki tiga ciri khas utama, antara lain: kesadaran diri, kehendak bebas

dan daya cipta. Syari’ati menyebutnya sebagai manusia tiga dimensional.

Kategori yang terakhir yakni manusia tercerahkan: Syari’ati berpandangan

manusia tercerahkan adalah orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan

(human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan

kemasyarakatnya. Pada prinsipnya tanggung jawab sosial yakni mendorong

terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung

jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu.

Dari katagori manusia diatas Syari’ati hendak mengatakan bahwa

manusia sejatinya adalah manusia yang berdialektika menuju

kesempurnaan. Dengan karunia intelekutal dilengkapi dengan atribut

kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki moral yang agung yaitu

tanggung jawab manusia dituntut menjadi manusia sempurna.

2. Konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial

Selanjutnya sebagai manifestasi manusia dua dimensional, manusia

dihadapkan pada polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi tersebut

mengambil bentuk antagonisme yang menghasilkan penindasan-penindasan,

Syari’ati menyebut kutub Qabil menindas Habil. Syari’ati berpandangan

bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil dibukuhkan suatu perubahan

yang fundamental –yakni revolusi –yang digerakan manusia tercerahkan

Page 116: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

99

untuk mengakhiri penindasan kaum Qabil. Sebagai orang yang sadar akan

keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya

membutuh ideologi. Jadi, dengan ideologi, manusia akan menghindarkan

dari sifat oportinis, reaksioner dan ragu-ragu dalam menentukan arah

perubahan sosial. Syari’ati menawarkan Islam sebagi Ideologi. Agama Islam

merupakan agama revolusioner, yang memberi seseorang; individu yang

beriman padanya, yang didik dalam pemikiran aliran agama ini, kemampuan

untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh aspek materiil, spiritual dan

sosial. Dengan ideologi inilah tanggung jawab utama manusia tercerahkan

untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni masyarakat

tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan.

B. Saran -saran

1. Penyusun menyadari betul dalam penulisan skripsi ini masih banyak sekali

terdapat kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Saran untuk

penelitian selanjutnya, penyusun melihat bahwa pemikiran Syari’ati

cenderung mengarah ke sebuah paham eklektisisme, yang pada gilirannya

membuat orang keliru memahaminya. Sehingga perlu kiranya untuk berhati-

hati dalam membedah pemikiran Ali Syari’ati.

2. Keterbatasan kemampuan penyusun dalam meneliti pemikiran Ali Syari’ati

tentang manusia, harapannya dapat diperdalam oleh penyusun berikutnya.

Tema manusia yang penyusun paparkan mungkin terlalu luas, sehingga

perlu juga memfokuskan pada salah satu kategori manusia agar lebih

mendalam.

Page 117: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

100

3. Karena Ali Syari’ati seorang intelektual sekaligus tokoh yang revolusioner,

perlu juga kirannya bagi penyusun berikutnya dapat membedah manusia

tertindas Indonesia. Ketika kita berkaca pada masyarakat Indonesia,

mayoritas masih mengalami kemiskinan. Penyusunan tema tersebut

berpotensi besar terhadap kemajuan rakyat Indonesia. []

Page 118: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

101

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Adian, Gahral. Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu, 2001. Asy’arie, Musa. “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah

(ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Bakker, Anton & Charris Zubair, Achmad. Metodologi Penelitian Filsafat, cet.

XIV, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Engels, Frederick. Anti-Dühring. terj. Oeyhaydjoen. Hasta Mitra-Ultimus, 2005. Fakultas Ushuluddin. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta:

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008. Indonesia. Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Bandund: Cv.

Dua-R, 1961. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan

Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:

Kanisius, 2009. Marcuse, Herbert. Manusia Satu-Dimendi, terj. Silvester G. Sukur & Yusup

Priyasudiarja, cet. I. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000. Marx dan Engels, “Manifesto Partai Komunis”, dalam Jurnal Kiri. I. Neuron,

2000. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas

Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007. Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin,

Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Muhyidin, Muhammad. Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Page 119: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

102

Nasution, Muhammad Yasir. Manusia menurut Al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Plekhanov, G. Masalah-Masalah Dasar Marxisme. Jakarta: Hasta Mitra, 2002. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad. Bandung:

Pustaka, 1985. Rahnema, Ali. Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien

Wahid, dkk., Jakarta: Erlangga, 2002. Rais, Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1994. Sabari, Henry S. Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern. Yogyakarta:

Kanisius, 2008. Saragih, Khairul Azhar. Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab

Sosial Intelektual Muslim: Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Sarbini, Islam Ditepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta:

Pilar Media. Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj.

M Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS, 1993. Sarwar. H.G., Filsafat AL-Quran, terj. Zaenal Muhtadin Mursyid. Jakarta:

Rajawali Pers, 1990. Siswanto, Dwi. Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre. Yogyakarta:

Philosophy Press, 2001. Supadjar, Damardjati. “Sosok dan Perspektif Filsafat Islam: Tinjauan Aksiologis”

dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992.

Supriadi, Eko. Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali

Syari’ati. Skripsi Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 2002. Syari'ati, Ali. Peran Cendekiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan,

Sebuah Wawasan Sosiologis, terj. Team Naskah Shalahuddin Press. Yogyakarta: Shaahuddin Press, 1985.

--------- Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I. Bandar Lampung:

YAPI, 1987.

Page 120: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

103

--------- Membangun Masa Depan Islam, terj Rahmani Astuti. Bandung: Mizan,

1988. --------- Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan

Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1994. --------- Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996. ------- Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur.

Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. --------- Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996. --------- Islam Agama Protes, cet. II, terj. Satrio Pinandito. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996. --------- Para Pemimpin Mustadh’afin; Sejarah Panjang Perjuangan Melawan

Penindasan dan Kezaliman, cet. I. Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001. --------- Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad

Hashem Assagaf. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. --------- Haji, cet. VII. Bandung: Pustaka, 2006. --------- Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais. Yogyakarta: Shalahuddin

Press, t.t. Takeshita, Mesataka. Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki.

Surabaya: Risalah Gusti, 2005. Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari

Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Titus (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat. terj. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan

Bintang, 1984. van der Weij, P. A. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens,

Yogyakarta: Kanisius, 2006. Widyastini, Filsafat Manusia menurut Confucius dan al-Ghazali. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1999

Page 121: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

104

Z, T. Lavine, Marx Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing. Yogyakarta: Jendela, 2003.

Page 122: MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI

CURRICULUM VITAE

Nama : Akhmad Azmir Zahara

Tempat / Tanggal Lahir : Banjarnegara, 12 Mei 1985

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Golongan Darah : O

Orang Tua Ayah : Suwaryono

Ibu : Salmini Spd. SD

Pekerjaan : PNS

Alamat Asal : Ds. Karangjambe RT 03/ II, Wanadadi,

Banjarnegara, Jawa Tengah

No Telepon : 087838244015

Alamat Yogyakarta : RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta

Jenjang Pendidikan Formal:

1. SD N II Karangjambe Lulus 1996

2. SLTP II Wanandadi Lulus 1999

3. SMU N I Batur, Banjarnegara Lulus 2002

Pengalaman Organisasi :

1. Anggota organisasi kepemudaan AC Kopak (Komplek Ngablak)

2. Anggota Sanggar 28 Terkam (Teater Kampus)

3. Pengurus Harian SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia)