manajemen pph pasal 21

20

Click here to load reader

Upload: novhy-haryani

Post on 14-Sep-2015

60 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

tax management

TRANSCRIPT

Manajemen PPh Pasal 21/26

Manajemen PPh Pasal 21/26

I. Pendahuluan

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaaan jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi subjek pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Bila penerima penghasilan tersebut oleh WPOP sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka akan dikenai PPh Pasal 21, sedangkan bila penerima penghasilan adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), akan dikenai PPh Pasal 26.

Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh Tahun 2008) yang mulai berlaku tahun 2009, ketentuan pelaksanaan PPh Pasal 21 diubah dan dsesuaikan dengan UU yang baru tersebut. Ada pun dasar hukum pengenaan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 adalah:

UU No, 28 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

UU No. 36 Tahun tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

PMK No. 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiun.

PMK No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

PMK No. 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehbungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan, serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

PER-Dirjen Pajak Nomor: 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, yang kemudian direvisi dengan PER-Dirjen Pajak Nomor: 57/PJ/2009

II. Pembahasan

Alur Perencanaan Pajak-PPh Pasal 21

Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21

Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21 (Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Terapan Tax Planning Terkait dengan PPh Pasal 21

Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak (PPh Pasal 21)

Pajak Penghasilan Pasal 26 (ayat (1) d, Bunga offshare)

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh PAsal 26

Alur Perencanaan Pajak- PPh Pasal 21

Setiap pengusaha berusaha memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan memaksimalkan nilai perusahaan, memperoleh laba sesuai keinginan. Untuk mengejar laba maksimal, perusahaan melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut adalah menghemat beban pajak melalui perencanaan pajak,

Upaya penghematan beban pajak yang dilakukan perusahaan harus tetap memperhatikan peraturan perpajakan (asas legalitas). Perencanaan pajak dimulai dengan menganalisis dan memastikan metode penghitungan pajak penghasilan pasal 21 yang lebih efisien serta memperhatikan mekanisme taxabilty-deductibility.

Perlu dijelaskan di sini, bahwa manajemen tidak bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak yang sebenarnya terutang, tetapi hanya mengatur pajak yang dibayar tidak melebihi dari jumlah pajak yang sebenarnya dibayar sehingga efisien bagi wajib pajak tanpa melanggar ketentuan. Adanya manajemen dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan membantu wajib pajak dalam mengelola kewajbannya sehingga terhindar dari sanksi-sanksi yang timbul akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.

Kebijakan/Metode Pemotongan PPh Pasal 21

Dilihat dari siapa yang menanggung beban, maka kebijakan atau metode pemotongan PPh Pasal 21 yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak, adalah:

PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)

Metode ini lazimnya disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.

PPh PAsal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)

Metode ini lazimnya disebut Metode Net. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak kurangi dengan PPh Pasal karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21. Penghitungan PPh Pasal 21 tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak dimasukkan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.

PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang)

Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah penghasilan karyawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karywan.

Taxbility dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximizing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya: jika ada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasil buto), maka pada pihak karywan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka ada pihak pemberi kerja tidap dapat dibaiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan atau menkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan atau konversi tersebut. Apakah perubahan jumlah pajak terutang akan menjadi lebih besar, lebih kecil, atau sama dengan jumlah pajak terutang akibat koreksi fiskal, tentunya harus dipertimbangkan mana yang lebih menguntungkan perusahaan.

Jika kondisi keuangan perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar, maka salah satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind).

Prinsip Taxability-Deductibility Mengenai Imbalan (Natura/Uang)

Jenis ImbalanPerlakauan Biaya Bagi Perusahaan/Pemberi KerjaPerlakuan PPh Pasal 21 Bagi Penerima

Imbalan dalaam bentuk uangDedictibleTaxable

Imbalan dalam bentuk naturaNon DeductibleNon Taxable

Terapan Planning Terkait dengan PPh Pasal 21

Klausul Pajak dalam Perjanjian/kontrak Kerja

Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:

Tenaga yang melakukan pekrjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, dikenakan tarif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.. Ini berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a.

Sehubungan dengan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang dalam pemberian jasanya memperkejakan orang lain sebagai pegawainya dan atau melakukan penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar Tarif PPh Ps. 17 ayat 1 huruf a dari Nilai Proyek.

Fenomena tersebut seirng terjadi dalam pembuatan perjanjian atau kontrak kerja yang tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum kontrak kerja ditandatangani harus dipastikan:

Pemuatan klausul pajak dalam perjanjian atau kontrak kerja, yang mensyaratkan pajak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luar harga pokok barang), yakni dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari nilai bruto kontrak, dan untuk PPh Pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya.

Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung PPh PAsal 21/Pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya didasarkan pada klausul tersebut.

Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 21, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan akan dikenai kewajiban membayar PPh Pasal 21vyang terutang, ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Pajak ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara Gross-up?

Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan, bahwa nilai kontrak sudah net, tidak termasuk pajak, atau pajak ditanggung perusahaan/pemberi kerja. Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena akan berdampak pada pemtongan pajak dan pembebanan biaya di PPh Badan.

Tidak Termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi pajak, atau ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan mengakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan atau pemberi kerja tidak dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-deductible expenses).

Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka perhitungan PPh harus menggunakan metode gross up. PPh hasil penghitungan gross-up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktut pajak) atau menambah penghasilan dari pihak yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.

3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum Atau ReimbursmentMasalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan, ataupun jenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek pajak berbeda.

Pembayaran Lumps-sum akan mengakibatkan PPh Pasal 21 dihitung dari seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat biaya lainnya, misal transportasi, dan akomodasi.

Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti pengeluaran. Apabila terjadi kekurangan dapat dimintakan kembali (reimbursment). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima atau diperoleh karyawan.

Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan Bersama?

Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karywan sudah boleh dibiayakan di PPh Badan (deductible expenses). Perlu dikaji, apakah perusahaan masih hendak memberikan tunjangan makan bersama sebagai pengganti tunjangan makan?

Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak menimbulkan pengaruh apapun, karena sama-sama bisa dibiayakan (lihat Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh 2008), tetapi pemberian tunjangan makan mengakibatkan bertambahnya PPh Pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih menguntungkan jika disiapkan makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya harus menggunakan jasa katering, harus diingat timbulnya kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto.

Kajian harus dilakukan terhadap kesluruhan aspek perusahaan. Misalnya dari sudut pandang psikologi karyawan., apakah akan menimbulkan gejolak atau tidak ? Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilohat dari keseimbangan seluruh sistem.

Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak

Agar perencanaan pajak pajak perusahaan sesuai dengan yang dharapkan, perusahaan perlu melakukan analisis terhadap meotde-metode dan kebijakan yang akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi beban pajak dpat tercapai. Misalnya:

Memberi tunjangan dalam bentuk uang atau natura atau kenikmatan dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenal pajak penghasilan pasal 21 bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini, selain akan memberi kepuasan dan meningkatkan motivasi kerja pegawai juga akan meningkatkan produkitvitas mereka.

Perusahaan memberi tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam bentuk fasilitas pengobatan. Apabila pemberian tunjangan kesehatan kepada pegawai diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan tunjangan itu dapat diakui sebagai biaya, dan sebagai penghasilan bgi pegawai sehingga dikenai PPh Pasal 21.

Menghindari pelanggaran terhadap perpajakan dapat dilakukan dengan cara memhami seluruh peraturan, menghitung pajak dengan tepat dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat waktu.

Dari kebijakan perencanaan pajak perusahaan yang telah diharapkan, penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari perusahaan dengan menrapkan teori-teori yang tidak bertentangan dengan peraturan.

Pajak Penghasilan Pasal 26

PPh Pasal 26 mirip dengan pasal 23, bedanya,, PPh Pasal 26 untuk dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Aspek-aspek yang memengaruhi, misalnya rete-nya. Kalau PPh Pasal 26 ini retenya 20 %, ada tax treaty. Kalau Tax Treaty nilai efektifnya 10 %, tapi bisa juga 5 % dan bisa juga 0 %. Kita sebagai tax planner, harus melakukan treaty shopping, cari rate yang terendah. Ini slaah satu loophole yang bisa dimanfaatkan oleh tax planner untuk PPh Pasal pasal 26 terkait dengan tax treaty.

Bungga Offshore

Ada kasus bank dalam negeri yang membuka cabang di luar negeri. Mereka membuka cabang di tax heaven country, katakanlah Cook Island. Di sana penghasilan bank bebas pajak, sehingga banyak perusahaan membuka cabang luar negeri di sana, berharap dana offshore yang kemudian disalurkan ke dalam negeri.

Dalam keadaan normal, jika bank membayar bunga akan dikenai PPh Pasal 26 yang tarifnya tergantung pada tax treatynya. Di Cook Island kita bisa membuat bank resmi secara dokumen, tapi secara faktual banknya di Indonesia. Sekarang permasalahnya, bagaimana cara memungut PPh Pasal 26-nya ? Kalau dibilang bukan kriminal, orang luar negeri kenapa ada di Jl. Thamrin Jakarta?

PPh Pasal 23 dan 26, kapan saat terutangnya? Saat dibayarkan akan terutang pajak. Yang jadi maslaah adalah terutang menurut pembukuan. Pembukuan menggunakan accrual concept, asal sudah dibebankan sebagai biaya, harus membayar PPh Pasal 26. Kalau sekarang trend-nya adalah kurs. Seorang Tax Planner harus memprediksi trend kurs ini harus turun.. Kalau trend kurs-nya naik menjadi Rp. 15.000 dan katakanlah jatuh temponya bulan februari tahun depan. Tax Plaanner akan berusaha membebankan pada bulan desember tahun ini, supaya dia membayar PPh Pasalnya 26 lebih dulu atau sekarang dengan kurs yang lebih rendah. Kebalikannya kalau trendnya kursnya menurun, membayarnya belakangan saja. Itulah shfifting from one period to another, atau kalau dalam literatur istilahnya mendefereal atau menagguhkan.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 26

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto dalam SPT Masa PPh dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26.

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 26 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) yang meneyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut, disebabkan karena:

Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 26 yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.

Jumlah PPh Pasal 26 ang disetorkan ke Kas Negara tidak cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.

Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 26

Ekualisasi harus dibuat secara rinci dari seluruh pos atau akun pengeluaran biaya yang ada di Laporan Keuangan/buku besar/ledger yang seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal 26 dibandingkan dengan jumlah yang telah dipotong menurut SPT Masa PPh Pasal 26.

DAFTAR REFERENSIAnwar Pohan, Chairil. 2010. Manajemen Perpajakn. GM. Jakarta..

Perencanaan PPh Pasal 21 Berdasarkan UU PPh

Metode Pemotongan PPh Pasal 21

Mekanisme Taxability dan Deductibilty

Upaya Penghematan Pajak Dalam Mengefisiensikan Beban Pajak Terutang

Metode Gross Up

Metode Net

Metode Gross

Metode Gross up

Penghasilan Kena Pajak Yang Lebih Rendah

SPT PPh Badan

PPh Badan Yang Lebih Efisien