makalah zoonosis suci nurfitriani o 111 12 273

19
MAKALAH ZOONOSIS (SISTISERKOSIS) DISUSUN OLEH : SUCI NURFITRIANI O11112273 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Upload: ucii-emsiil

Post on 16-Jul-2016

32 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

zoo

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

MAKALAH ZOONOSIS(SISTISERKOSIS)

DISUSUN OLEH :

SUCI NURFITRIANI

O11112273

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWANFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2015

Page 2: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,

karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang

”Sistiserkosis” ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan

serta pengetahuan kita mengenai proses pemerahan serta pemberian perlakuan setelah

pemerahan terhadap susu. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini

terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami

berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,

mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang

membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri

maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat

kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan di masa depan.

Makassar, 20 November 2015

Penyusun

Page 3: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................4

1.1    Latar Belakang...........................................................................................................4

1.2  Rumusan Masalah......................................................................................................4

1.3  Tujuan.........................................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................6

2.1        Definisi Penyakit Sistiserkosis...............................................................................6

2.2        Etiologi Penyakit Sistiserkosis...............................................................................6

2.3        Tanda Dan Gejala Penyakit Sistiserkosis...............................................................7

2.4        Cara Penularan Penyakit Sistiserkosis...................................................................8

2.5 Diagnosis................................................................................................................9

2.6        Pengobatan Penyakit Sistiserkosis.........................................................................9

2.7  Pencegahan Penyakit Sistiserkosis.............................................................................10

2.8 Penyebaran Taeniasis Dan Cysticercosis Di Indonesia...............................................11

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................13

3.1  Kesimpulan.................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

Page 4: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

BAB IPENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Taeniasis/sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/transmisinya diklarifikasikan pada golongan siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Taenasis merupakan siklozoonosis obligat dimana manusia harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya. Sistiserkosisi adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatra Utara. Penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pork measles, beberasan di daerah Bali, manis-manisan di daerah Tapanuli, dan banasom di daerah Toraja.Kepentingan kesehatan masyarakat dari T.solium  adalah bahwa manusia dapat terinfeksi oleh telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan tubuhnya, sedangkan kepentingan T. saginata adalah manusia dapat trinfeksi larva dan cacing dewasa dapat berkembang di usus manusia. Taeniasis/sistiserkosis merupakan masalah yang penting di Indonesia yang disebabkan oleh tiga spesies cacing pita T.solium, T.saginata, dan T.asiatica.ketiga cacing pita ini pernah dilaporkan dari provinsi di Indonesia yang merupakan daerah endemic taeniasis/ sistiserkosis  yaitu Bali (T.solium dan T.saginata), Papua (T.solium), dan sumatera utara (T.asiatica). ketiga cacing ini memiliki inang definitif yatu manusia dan inang perantara antara lain : untuk T.solium adalah babi, domba, kera, kucing, anjing, dan unta; T.saginata adalah sapi dan kerbau; dan T.Asiatica pada hewan liar seperti anjing dan babi liar.

1.2 Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan sistiserkosis?2.      Apa saja tanda dan gejala yang timbul dari penyakit sistiserkosis?3.      Bagiamana mencegah penyakit sistierkosis?4.      Bagaimana cara penganggulangan dari penyakit sistiserkosis?

1.3 Tujuan

Page 5: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

1.      Untuk mengetahui defenisi dari sistiserkosis2.      Untuk mengetahui etiologi gejala klinis dari penyakit istiserkosis3.      Untuk mengetahui cara pencegahan terhadap penyakit sistiserkosis4.      Untuk mengetahui cara penanggulangan dari penyakit sistiserkosis.

Page 6: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1        Definisi Penyakit Sistiserkosis

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium(cacing pita babi). Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau cysticercus cellulosae. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak. Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan  tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain. Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut disini sistiserkosis Kejadian sistiserkosis setelah dikontrol secara bersamaan mempunyai keterkaitan dengan pola kebersihan manusia seperti cuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih dan tempat buang air besar. Perlu dilakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang hal-hal sebagai berikut: kebiasaan mencuci tangan, pentingnya mandi dengan menggunakan air bersih serta membuang air besar pada tempat yang terlindung.

2.2        Etiologi Penyakit Sistiserkosis

Terjadinya penyakit sistiserkosis disebabkan oleh Taenia solium (cacing pita daging babi).Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Babi adalah hewan omnivore termasuk memakan tinja manusia.Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.Bahayanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia bertindak sebagai inang anatara walaupun secara kebetulan. Seseorang akan menderita sistiserkosis apabila telur mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian akan tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain.

Page 7: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

2.3        Tanda Dan Gejala Penyakit Sistiserkosis

Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari kista.Sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala atau dapat ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak.Pada kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kalsifikasi dalam otak.Akibat buruk mungkin terjadi jika larva cacing tersebut tersangkut pada jaringan mata, SSP atau jantung. Jika pada sistiserkosis somatik ini muncul gejala antara lain gejala seperti epilepsi, sakit kepala, tanda tanda kenaikan tekanan intracranial atau gangguan psikiatri yang berat maka besar kemungkinan sistiserkosis ada pada SSP. Neurocysticercosis dapat menyebabkan cacat yang serius akan tetapi CFR nya rendah.

Berikut ini ada beberapa gejala klinis dari penyakit sistiserkosis antara lain :

1.       Cysticercosis pada otot , Cysticerci dapat berkembang dalam setiap otot pada manusia. Invasi otot oleh cysticerci dapat menyebabkan myositis, disertai demam, eosinofilia, dan pseudohypertrophy otot, yang dimulai dengan pembengkakan otot dan kemudian berkembang menjadi atrofi dan fibrosis.

2.       Neurocysticercosis, Neurocysticercosis merupakan istilah umum yang merujuk pada kista dalam parenkim otak. Biasanya berakibat kejang dan sakit kepala (jarang terjadi).

3.       Neurocysticercosis Intraventricular, Kista terletak di dalam ventrikel otak, dapat memblokir arus keluar cairan serebrospinal dan hadir dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

4.       Racemose neurocysticercosis, Racemose neurocysticercosis mengacu pada kista dalam ruang subarachnoid. Ini kadang-kadang dapat tumbuh menjadi massa lobulated yang besar dan menyebabkan tekanan pada struktur sekitarnya.

5.       Neurocysticercosis Spinal, Neurocysticercosis melibatkan sumsum tulang belakang, paling sering menyajikan sebagai nyeri punggung dan radiculopathy.

6.       Sistiserkosis Medic, Dalam beberapa kasus, cysticerci dapat ditemukan di seluruh bagian tubuh ; otot luar mata, dan subconjunctiva. Tergantung pada lokasi, sistiserkosis dapat menyebabkan kesulitan visual yang berfluktuasi pada mata, edema retina, perdarahan, visial menurun atau bahkan hilangnya penglihatan.

Page 8: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

7.       Subkutan sistiserkosis, Kista subkutan adalah dalam bentuk lainnya, nodul seluler, terjadi terutama pada batang dan ekstremitas. Nodul subkutan  kadang-kadang menyakitkan.

2.4        Cara Penularan Penyakit Sistiserkosis

Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitive. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur (cysticercus bovis) pada sapi maupun larva Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) atau larva Taenia asiatica yang terdapat pada daging babi maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah,  otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.

Infeksi  Taenia  dikenal dengan istilah  Taeniasis  dan Sistiserkosis Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi (cysticercus bovis) tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.

Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia solium.Penularan dapat juga terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taniasis solium.

Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu :

1.      Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.2.      Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).3.      Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.

Page 9: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

2.5 Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan ditemukannya cacing di dalam feses. Sepotong selotip ditempelkan di sekeliling lubang dubur, lalu dilepas dan ditempelkan pada sebuah kaca obyek dan diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat adanya telur parasit. Melalui mikroskop memeriksa sampel feses apakah ada telur cacing parasit, ookista protozoa dan takizoit Anonimus, (2010). Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis: penderita pernah mengeluarkan benda pipih berwarna putih seperti “ampas nangka” bersama tinja atau keluar sendiri dan bergerak-gerak. Benda itu tiada lain adalah potongan cacing pita (proglotid). Cara keluarnya proglotid Taenia solium berbeda dengan Taenia saginata. Proglotid Taenia solium biasanya keluar bersama tinja dalam bentuk rangkaian 5–6 segmen. Sedangkan Taenia saginata, proglotidnya keluar satu-satu bersama tinja dan bahkan dapat bergerak sendiri secara aktif hingga keluar secara spontan Anonimus (2010).

2.6        Pengobatan Penyakit Sistiserkosis

Pengobatan sistiserkosis tergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala individu, lokasi dan jumlah cysticerci, dan tahap perkembangan kista. Secara umum, pengobatan disesuaikan dengan setiap pasien dan presentasi khusus mereka, dan rejimen pengobatan mungkin termasuk agen obat cacing, kortikosteroid, obat-obatan antikonvulsan, dan atau pembedahan. Manajemen bedah mungkin diperlukan pada kasus tertentu sistiserkosis. Operasi pengangkatan kista pusat sistem saraf atau penempatan shunt otak (untuk mengurangi tekanan) kadang-kadang diperlukan dalam beberapa kasus neurocysticercosis. Sistiserkosis mata harus dioperasi, sedangkan sisterkosis di otak hanya dapat dioperasi jika terdapat hanya satu kista saja yang lokasinya memungkinkan. Sistiserkosis jaringan subkutan atau otot mempunyai prognosis baik, sedangkan sistiserkosis jantung, otak, mata atau organ penting lainnya prognosisnya buruk. Berikut pengobatan sistiserkosis yang diberikan :

Page 10: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

1.   Prazikuantel per oral 50 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 15 hari.

2.   Albendazol per oral 15 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 7 hari.

Penggunaan obat tersebut biasanya menimbulkan efek samping yang membuat penderita kurang nyaman. Hal itu dapat dikurangi dengan memberikan kortikosteroid, yaitu prednison 1mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis. Kortikosteroid yang juga dapat diberikan adalah deksametason dengan dosis yang setara dengan prednison. Keberhasilan pengobatan sistiserkosis dapat diketahui melalui pemeriksaan tinja pada bulan ketiga sampai bulan keenam setelah pengobatan. Pengobatan dinyatakan berhasil bila tidak ditemukan telur Taenia sp dan proglotidnya. Apabila ditemukan telur Taenia sp, prologtid, atau keduanya maka hal itu menandakan telah terjadi infeksi baru (reinfeksi).

2.7  Pencegahan Penyakit Sistiserkosis

Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis. Keluarga pasien sebaiknya juga menjalani pemeriksaan untuk memastikan tidak terkontaminasi. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi, hewan ternak dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di atas 56oC. Selain itu, dengan membekukan daging terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan penyakit.

Menurut FLISSER et al. (1986), daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20oC dapat membunuh sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu -20oC, tetapi pada suhu 0 – 20oC akan tetap hidup selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan BELDING, 1964).

Menurut Departemen Kesehatan RI, upaya pencegahan sistiserkosis dapat dilakukan dengan :

a.       Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita taenasisb.      Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan

tidak mencemari tanah atau rumput.c.       Pemeliharaan sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan

sehingga tidak dapat berkeliaran.

Page 11: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

d.      Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)

e.       Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara - upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.

f.       Menghilanglkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.

g.      Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10ºC selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan  yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Upaya pencegahan sistiserkosis juga tidak jauh berbeda dengan upaya pencegahan pada penyakit disentri yakni  mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah menggunakan kamar mandi dan sebelum memegang produk makanan, mencuci dan mengupas semua sayuran mentah dan buah-buahan sebelum dikonsumsi, hindari semua makanan yang berpotensi terkontaminasi dengan kotoran, minum hanya air kemasan,air yang telah direbus selama minimal 1 menit, atau minuman berkarbonasi yang ada di kaleng atau botol,jangan menggunakan es batu di daerah dimana babi diperbolehkan untuk berkeliaran dengan bebas atau di tempat – tempat yang sanitasi dan kebersihannya tidak memadai.

2.8 Penyebaran Taeniasis Dan Cysticercosis Di Indonesia

Menurut sejarahnya bahwa taeniasis/cysticercosis telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang lalu ketika antelope atau hewan ruminansia lainnya merupakan hewan buruan. Pada awalnya hyena dan kucing besar sebagai inang definifnya, sedangkan inang antaranya adalah ruminansia liar. Tentunya hal ini terjadi jauh sebelum domestikasi babi maupun babi yang disertai dengan perkembangan pertanian dan kehidupan manusia moderen. Distribusi T. saginata dan T. solium hampir ke seluruh penjuru dunia dan diperkirakan terjadi seratus juta kasus penyakit setiap tahunnya. Kejadiannya pada umumnya berkaitan dengan masalah sosial-budaya-keagamaan masyarakat tertentu dalam hal mengonsumsi daging babi. Selain itu sanitasi lingkungan dan yang berhubungan dengan menejemen ternak dan cara pembuangan tinja manusia. Dari berbagai faktor tersebut terbukti bahwa penyebaran taeniasis/cysticercosis di Indonesia terdapat di daerah-daerah tertentu yang berhubungan dengan adat- istiadat penduduk

Page 12: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

setempat. Kasus cysticercosis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh LeCoultre di Bali pada tahun 1920 yang agennya adalah Cysticercus cellulosae. Suweta (1991) mengompilasi berbagai pengamatan epidemiologis hingga tahun 1989 di Bali masih ada kasus taeniasis/cysticercosis pada manusia maupun ternak. Metode yang umum digunakan dalam survei epidemiologis adalah kuesioner yang diteguhkan dengan pemeriksaan laboratoris untuk mengetahui tingkat prevalensi. Dengan teknik diagnostic serologis Sutisna et al. (1999) dan Dharmawan (1995) masih membuktikan adanya kasus penyakit tersebut yang memang endemik di daratan Asia Tenggara. Papua juga merupakan daerah endemik cysticercosis/taeniasis sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1971 (Gunawanet al. 1976) yang konon adalah kiriman dari Bali. Tampaknya kejadiannya semakin meluas bahkan Papua New Guinea (PNG) merupakan daerah yang berisiko tinggi (McManus 1995) sebagai akibat lalu-lintas penduduk maupun ternak. Kejadian penyakit di daerah ini sangat mengejutkan WHO (Republika 3 Maret 2001) sampai disebut sebagai musibah nasional karena kasusnya terus meningkat hingga tahun 2001. Dengan manggunakan metode diagnosis yang semakin berkembang diantaranya yaitu teknik coproantigen dan analisis DNA mitochondria telah dilakukan untuk studi prevalensi serta identifikasi agennya (Margono et al. 2003; Wandra et al. 2003) yang tentunya akan berguna sebagai dasar pengendalian yang tepat. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama lagi kita dapat melihat evaluasi hasil program pengendalian yang nyata menurunkan tingkat kejadian penyakit tersebut yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Page 13: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

BAB IIIKESIMPULAN

3.1  Kesimpulan

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium (cacing pita babi).Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak. Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan  tertelan. Gejala klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari kista.Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak.Pada kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kalsifikasi dalam otak. Secara umum, pengobatan disesuaikan dengan setiap pasien dan presentasi khusus mereka, dan rejimen pengobatan mungkin termasuk agen obat cacing, kortikosteroid, obat-obatan antikonvulsan, dan atau pembedahan.

Page 14: Makalah Zoonosis Suci Nurfitriani o 111 12 273

DAFTAR PUSTAKA

Budi Retnani, Taeniasis Dan Cysticercosis : Penyakit Zoonosis Yang Kurang Dikenal Oleh Masyarakat Di Indonesi, 2004.

Estuningsih. SE. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa Vol. 19 No. 2 hal 89-92.

Irianto Kus. 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan

Marianto. 2011. Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rizal Subahar, Abdulbar Hamid, Wilfried Purba, Widarso, Akira Ito dan Sri S Margono,Taeniasis/Sistiserkosis Di Antara Anggota Keluarga Di Beberapa Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Juni 2005.

Safar Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran Edisi Khusus. Bandung : Yrama Widya, halaman 180-182

WHO.2002.Foodborne Disease: a focus for health education.Buku Kedokteran EGC.Jakarta