makalah tanaqudl

14
1 BAB I MUQADDIMAH A. Latar Belakang Masalah Seorang peneliti terkadang mengalami kesulitan ketika membuktikan secara langsung kebenaran sebuah proposisi atau ungkapan yang menjadi objek penelitian-nya, bahkan hal itu terkadang menjadi sebuah hambatan. Salah satu cara efektif untuk keluar dari masalah tersebut adalah dengan menggunakan metode tanâqudl, yaitu dengan cara menghadirkan proposisi penentang untuk kemudian buktikan benar dan bohongnya proposisi penentang tersebut. Ketika sudah diketahui benar dan bohongnya, maka kita pun bisa secara langsung menentukan benar dan bohongnya poposisi yang tengah kita teliti. Akan tetapi, sebelum melakukan metode tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui keterkaitan satu proposisi dengan proposisi yang lainnya, baik dalam aspek kuantitas ataupun aspek kualitasnya. Hal itu menjadi sangat penting bagi mereka yang akan menghadirkan proposisi penentan bagi proposisi yang akan dibuktikan benar dan bohongnya. Kalaulah kita keliru dalam menantukan keterkaitan antara dua proposisi yang kita katakan mengalami kontradiksi, maka keduanya belum bisa ditentukan mana yang benar dan mana yang salah, atau dalam kata lain; dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Keputusan yang lahir dari dua proposisi tersebut terkadang benar dua-duanya atas bohong dua-duanya, atau pengetahuan tentang benar dan bohongnya salah satu dari sua proposisi tersebut, belum bisa melahirkan keputusan benar dan bohong proposisi yang lainnya. Disinilah kejelian dan kontemplasi kita diuji. Atas dasar itulah, kami—walaupun dengan ilmu yang sangat terbatas— hendak mencoba untuk memaparkan materi tanaqudl serta seluk-beluknya dalam makalah sederhana ini. Wa billâhi musta’ân B. Rumusan Masalah 1. Apa itu tanâqudl? 2. Apa saja syarat-syarat tanâqudl? 3. Apa saja macam-macam tanâqudl? 4. Bagaimana cara mengambil kesimpulan dengan metode Tanâqudl? 5. Apa saja materi pelengkap (mulhaq) tanâqudl? C. Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui dan mengerti pengertian tanâqudl. 2. Untuk mengetahui dan mengerti syarat-syarat tanâqudl. 3. Untuk mengengetahui dan mengerti macam-macam tanâqudl. 4. Untuk mengetahui dan mengerti cara pengambilan kesimpulan dengan metode tanâqudl. 5. Untuk mengetahui dan mengerti materi pelengkap (mulhaq) tanâqudl.

Upload: firman-sholihin

Post on 30-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Tanaqudl

1

BAB I MUQADDIMAH

A. Latar Belakang Masalah Seorang peneliti terkadang mengalami kesulitan ketika membuktikan

secara langsung kebenaran sebuah proposisi atau ungkapan yang menjadi objek penelitian-nya, bahkan hal itu terkadang menjadi sebuah hambatan. Salah satu cara efektif untuk keluar dari masalah tersebut adalah dengan menggunakan metode tanâqudl, yaitu dengan cara menghadirkan proposisi penentang untuk kemudian buktikan benar dan bohongnya proposisi penentang tersebut. Ketika sudah diketahui benar dan bohongnya, maka kita pun bisa secara langsung menentukan benar dan bohongnya poposisi yang tengah kita teliti.

Akan tetapi, sebelum melakukan metode tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui keterkaitan satu proposisi dengan proposisi yang lainnya, baik dalam aspek kuantitas ataupun aspek kualitasnya. Hal itu menjadi sangat penting bagi mereka yang akan menghadirkan proposisi penentan bagi proposisi yang akan dibuktikan benar dan bohongnya. Kalaulah kita keliru dalam menantukan keterkaitan antara dua proposisi yang kita katakan mengalami kontradiksi, maka keduanya belum bisa ditentukan mana yang benar dan mana yang salah, atau dalam kata lain; dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Keputusan yang lahir dari dua proposisi tersebut terkadang benar dua-duanya atas bohong dua-duanya, atau pengetahuan tentang benar dan bohongnya salah satu dari sua proposisi tersebut, belum bisa melahirkan keputusan benar dan bohong proposisi yang lainnya. Disinilah kejelian dan kontemplasi kita diuji.

Atas dasar itulah, kami—walaupun dengan ilmu yang sangat terbatas—hendak mencoba untuk memaparkan materi tanaqudl serta seluk-beluknya dalam makalah sederhana ini. Wa billâhi musta’ân

B. Rumusan Masalah 1. Apa itu tanâqudl? 2. Apa saja syarat-syarat tanâqudl? 3. Apa saja macam-macam tanâqudl? 4. Bagaimana cara mengambil kesimpulan dengan metode Tanâqudl? 5. Apa saja materi pelengkap (mulhaq) tanâqudl?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui dan mengerti pengertian tanâqudl. 2. Untuk mengetahui dan mengerti syarat-syarat tanâqudl. 3. Untuk mengengetahui dan mengerti macam-macam tanâqudl. 4. Untuk mengetahui dan mengerti cara pengambilan kesimpulan dengan

metode tanâqudl. 5. Untuk mengetahui dan mengerti materi pelengkap (mulhaq) tanâqudl.

Page 2: Makalah Tanaqudl

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tanâqudl Dalam terminologi Indonesia, tanâqudl dikenal dengan istilah ‘oposisi’ atau

dua proposisi yang sifatnya kontradiktif. Al-Syanqîthî menjalaskan bahwa kata tanaqudl merupakan wajan tafa’ul dari kata al-naqdl yang maknanya adalah ‘menia-dakan sesuatu setelah menetapkannya’.1 Dalam Alqurân, kata al-naqdl dan turunannya terkadang diartikan ‘membatalkan’, ‘mengurai’, atau ‘melanggar’, tergantung kata yang menjadi penyertanya. Perhatikan ayat-ayat berikut:

وفوا هدتمولٱللبعهدوأ تنقإذاع يمنضوا

٩١...بعدتوكيدهاٱل

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya..” (Q.S al-Nahl [16]: 91)

كول ثانقضتٱلتتكونوا نك ٩٢...غزلهامنبعدقوةأ

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat..” (Q.S al-Nahl [16]: 92)

٢٧...ۦمنبعدميثقهٱللعهدينقضونٱلين“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh..” (Q.S al-Baqarah [2]: 27)

Adapun menurut istilah para ahli manthiq, al-Musawî mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tanâqudl atau oposisi ini adalah:

يقتض ي لذاته ان تكون احداهما صادقة واألخرى كاذبة.اختالف فى الضيتين

“Perbedaan antara dua proposisi yang isinya mendorong untuk menghu-kumi salah satunya benar sedang yang lainnya bohong.”2

Sedikit lebih detail dari definisi al-Musawî, Mahdî Fadlullâh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanâqudl adalah:

1 Muhammad bin Mahmûd bin Mukhtâr Fâl al-Syanqithî, al-Dlau’ al-Masyriq ‘alâ Sulam al-

Manthiq lil-Akhdlarî, Tahqîq, ‘Abul-Hamîd bin Muhammad al-Anshârî, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. Ke-1, 2007 M), hal. 99.

2 Yûsuf Ahmad al-Mûsawî, al-Mursyid fî ‘Ilm al-Manthiq, (ttp.: Maktabah al-Fikr, cet. Ke-1, 2007 M), hal. 285.

Page 3: Makalah Tanaqudl

3

احداهما: موجبة الكم والكيف والجهة بين قضيتين فى الحاصل اختالف

واألخرى: سالبة مما يقتض ي لذاته اي لذات االختالف صدق احداهما وكذب

.األخرى

“Perbedaan antara dua proposisi dalam asepek kuantitas, kualitas, dan segi tertentu dua poposisi tersebut; yang satu bersifat afirmatif dan yang lainnya negatif, sehingga mengharuskan salah satu dari substansi keduanya atau isi kontradiktifnya berstatus benar dan yang lainnya berstatus bohong.”3

Demikian juga dengan al-Ahdlarî yang bersya’ir tentang tanâqudl dalam Sulam al-Munawwaraq-nya, bahwa yang dimaksud tanâqudl itu adalah:

ــــــــــتن ـــــــــــــــد أمر قـــــــــفيـــــــــــــــدق واحــــــــــــــــيف وصـــــــكـــــــ ىـين فــــــــــــــــــــف القضيتــــــــــــــــــــــــاقض خلـــــــــــــــــــــ

“Tanâqudl adalah berbedanya dua proposisi dalam aspek kualitas, dan salah satu (dari dua proposisi tersebut) benar (dan itu merupakan) perkara yang berturut-turut (akan

selalu demikian)..”4

Sementara itu, Ibn Sinâ, seorang tokoh ternama dalam tataran filsafat klasik, mengemukakan pendapatnya yang—mungkin—menjadi inspirasi para ulama kontemporer di atas. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud tanâqudl itu adalah:

قضيتين باإليجاب والسلب بحيث يلزم عنه لذاته ان تكون احداهما اختالف

كاذبة. األخرى ة دقاص

“Berbedanya dua proposisi dalam konteks afirmatif dan negatifnya, sehingga seubstansinya mengharuskan salah satunya berstatus benar dan yang lainnya berstatus bohong.”5

Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa fokus pembaha-san tanâqudl ini adalah penetapan dan peniadaan suatu proposisi dalam konteks benar dan bohongnya. Sederhananya, jika kita hendak menyimpulkan bahwa suatu proposisi itu benar, maka konsekuensi kesimpulan tersebut mengharuskan kita untuk meniadakan kebenaran proposisi kebalikannya. Dan jika kita hendak menyimpulkan bahwa suatu proposisi itu bohong, maka kesimpulan tersebut mengharuskan kita untuk menetapkan bahwa kebalikannya itu benar.

3 Mahdî Fadlullah, al-Syamsiyyah fî Qawâ’id al-Manthiqiyyah, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-

‘Arabî, cet. Ke-1, 1998 M), hal. 120. 4 Lihat: Hasan Darwîs al-Quwaisnî, Syarh ‘alâ Matn al-Sulam fî al-Manthiq, (Mesir: Mathba’ah

Syarakah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâduh, 1379 H/1905 M), hal. 28. 5 Ahmad al-Damanhûrî, Risâlah fî al-Manthiq; Idlâh al-Mubham fi Ma’ânî al-Sulam, Tahqîq:

‘Umar Farûq al-Thabbâ’, (Bairut: Maktabah al-Ma’ârif, cet. Ke-2, 1427 H/2006 M), hal. 66.

Page 4: Makalah Tanaqudl

4

Menurut al-Musawî, dua proposisi tersebut masing-masing dinamakan al-ashl dan al-naqîdl.6 Contohnya; proposisi “Zaid berdiri” dan “Zaid tidak berdiri”. Proposisi pertama dinamakan al-ashl atau ‘proposisi pokok’, sedangkan proposisi yang kedua dinamakan al-naqîdl atau ‘proposisi penentang’. Akan tetapi, menurut hemat kami, penyebutan tersebut tidak harus selalu menempatkan proposisi afirmatif menjadi al-ashl dan proposi negatif menjadi al-naqîdl, atau sebaliknya. Baik proposisi afirmatif ataupun proposisi negatif, masing-masing keduanya bisa menjadi al-ashl atau al-naqîdl.

B. Syarat-syarat Tanâqudl Para ahli manthiq menjelaskan bahwa ketika kita akan menghukumi

bahwa dua proposisi itu telah mengalami kontradiksi, maka keduannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, supaya dua proposisi tersebut bisa disebut dalam keadaan tanâqudl (kontradiksi). Secara garis besar, srayat-syarat tersebut terbagi kepada dua bagian; (1) Kriteria yang dua proposisi tersebut disyaratkan sama (ittifâq fîh); dan (2) Kriteria yang keduanya disyaratkan berbeda (ikhtilaf fîh).

1. Kriteria yang Disyaratkan Sama (Ittifâq fîh) Para ahli manthiq berselisih pendapat mengenai kejelasan jumlah kriteria

yang disyaratkan sama ini. Akan tetapi, pendapat yang dipegang oleh mayoritas ahli manthiq mengatakan bahwa jumlah kriteria tersebut ada delapan. Delapan kriteria ini dikenal dengan istilah ‘al-wihdât al-tsamânî’. Al-Muzhaffar menjelaskan bahwa delapan kriteria yang harus sama itu adalah:

Pertama, sama dari segi maudlû’ (subjek)-nya. Kalaulah keduanya berlainan dari segi maudlû’-nya, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Bukankah proposisi “ilmu itu bermanfa’at” bertentangan dengan proposisi “ilmu itu tidak bermanfa’at”? Adapun jika kita mengatakan “ilmu itu bermanfa’at” dan “bodoh itu tidak bermanfa’at”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “manusia itu makhluk yang bisa tertawa” dan proposisi “kuda itu tidak bisa tertawa”, karena maudû’-nya itu tidak sama.

Kedua, sama dari segi mahmûl (predikat)-nya. Kalaulah kita mengatakan “ilmu itu bermanfa’at” dan “ilmu itu tidak bebas nilai”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “manusia itu makhluk yang bisa tertawa” dan proposisi “manusia itu tidak berjalan dengan empat kaki”, karena mahmûl-nya tidak sama.

Ketiga, sama dari segi zamân (waktu). Kalaulah kita mengatakan “matahari itu terbit di siang hari” dan “matahari itu tidak terbit di malam hari”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Demikian juga tidak ada kontra-

6 Yûsuf Ahmad al-Mûsawî, Op. Cit., hal. 284.

Page 5: Makalah Tanaqudl

5

diksi antara proposisi “manusia itu tidak merasa takut pada siang hari” dan proposisi “manusia itu merasa takut pada malam hari”, karena keterangan waktu (zaman) dua proposisi tersebut tidak sama.

Keempat, sama dari segi makân (tempat)-nya, yang mengharuskan dua proposisi tersebut terjadi pada tempat yang sama. Maka tidak ada kontradiksi antara proposisi “iklim di gunung itu dingin” dan prorposisi “iklim di permukaan bumi itu tidak dingin”, dikarenakan keterangan tempatnya tidak sama.

Kelima, sama dari segi quwwah (implisit/potensi) dan fi’l (eksplisit/aktual)-nya.7 Maka tidak ada kontradiksi antara proposisi “Muhammad—pada dasarnya akan menjadi—seorang yang mati” dan prorposisi “Muhammad—pada kenyataan-nya adalah—seorang yang mati”, dikarenakan masing-masing sebstansi proposisi tersebut tertuju secara quwwah dan fi’l, bukan masing-masingnya tertuju secara quwwah saja, atau tertuju secara fi’l saja.

Keenam, sama dari segi kullî (global) dan juz’î (parsial) dalam konteks predi-katnya (sama-sama tertuju secara global, atau sama-sama tertuju secara parsial). Kalaulah kita mengatakan “tanah di negri Lebanon itu subur sebagiannya” dan “tanah di Lebanon itu tidak subur seluruhnya”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “luas keseluruhan rumah ini adalah 1000 m2” dan proposisi “luas sebagian rumah ini adalah 50 m2”, dikarenakan predikat kedua proposisi tersebut tidak sama dari segi kullî dan juz’î-nya.

Ketujuh, sama dari segi syarth (syarat/kondisi). Kalaulah kita mengatakan “pelajar itu akan lulus di akhir tahun jika dia bersungguh-sungguh” dan “pelajar itu tidak akan lulus jika dia tidak bersungguh-sungguh”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontradiksi. Demikian juga tidak terjadi kontradiksi antara proposisi “solat kusûf itu disunnahkan jika terjadi gerhana” dan proposisi “shalat kusûf itu tidak disunnahkah jika tidak terjadi gerhana”, dikarenakan syarat kedua proposisi tersebut berbeda.

Kedelapan, sama dari segi idlâfah (penyandaran/korelasi). Kalaulah kita mengatakan bahwa “empat itu setengah dari delapan” dan “empat itu bukan setengah dari sepuluh”, maka dua proposisi tersebut tidak mengalami kontra-diksi. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “pengetahuan manu-sia itu mengalami perubahan” dan proposisi “pengetahuan Allâh Swt itu tidak

7 Al-Haidarî menjelaskan dalam kitabnya, al-Muqarrar fî Taudlîh Manthiq al-Muzhaffar, bahwa

yang dimaksud dengan quwwah adalah perkara yang tidak nyata terjadi pada waktu sekarang, namun pasti terjadi di masa mendatang dan tidak sebatas kemungkinan. Adapun yang dimaksud dengan fi’l adalah perkara yang nyata terjadi yang kejadiannya itu dinisbahkan kepada salah satu dari waktu pokok yang tiga (masa lalu, sekarang, dan yang akan datang). Lihat: Al-Sayyid Ra’id al-Haidarî, al-Muqarrar fî Taudlîh Manthiq al-Muzhaffar, (ttp.: Mansyûrat Dzawî al-Qurbâ, cet. Ke-1, 1422 H), vol. 2, hal. 131.

Page 6: Makalah Tanaqudl

6

mengalami perubahan”, dikarenakan penyandarannya bukan pada satu maudlû’, melainkan dua maudlû’. 8

Demikian delapan kriteria yang disyaratkan sama bagi dua proposisi yang hendak dikatakan tengah mengalami kontradiksi. Jika syarat-syarat di atas telah terpenuhi, maka kita bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah di antara dua proposisi yang berbenturan tersebut.

2. Kriteria yang Disyaratkan Berbeda (Ikhtilâf fîh) Adapun mengenai kriteria yang disyaratkan berbeda antara dua proposisi

yang mengalami kontradiksi, al-Fadlî menjelaskan bahwa kriteria yang harus berbeda tersebut ada dua segi:

Pertama, berbeda dari segi kam (kuantitas)-nya, dalam arti salah satu dari subjek dua proposisi tersebut harus kulliyyah (universal) dan yang lainnya dalam harus juz’iyyah (partikular). Kalaulah dua proposisi tersebut sama dari segi kam-nya (keduanya sama-sama juz’iyyah atau sama-sama kulliyyah), maka keduanya tidak mengalami kontradiksi, sebagaimana tidak ada kontradiksi antara proposisi “sebagian logam adalah besi” dan proposisi “sebagian logam bukan besi”, karena dua proposisi tersebut dua-duanya berstatus benar. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “setiap makhluk hidup adalah manusia” dan proposisi “tidak ada satupun makhluk hidup itu manusia”, karena dua proposisi tersebut dua-duanya berstatus bohong.

Kedua, berbeda dari segi kaif (kualitas)-nya, dalam arti salah satu dari dua proposisi tersebut harus berstatus ijâb/mûjabah (afirmatif) dan yang lainnya berstatus salab/sâlibah (negatif). Kalaulah dua proposisi tersebut sama dari segi kaif-nya (keduanya sama-sama mûjabah atau sama-sama sâlibah), maka keduanya tidak mengalami kontradiksi, sebagaimana tidak ada kontradiksi antara proposisi “setiap manusia bisa berfikir” dan proposisi “sebagian manusia bisa berfikir”, karena dua proposisi tersebut dua-duanya berstatus benar. Demikian juga tidak ada kontradiksi antara proposisi “sebagian manusia adalah makhluk hidup” dan proposisi “setiap manusia bukan makhluk hidup”, karena dua proposisi tersebut dua-duanya berstatus bohong.

8 Muhammad Ridlâ Muzhaffar, al-Manthiq, (ttp.: Dâr al-Ta’âruf lil-Mathbû’ât, 1427 H/2006

M), hal. 167-168. Sebagaimana telah disinggung di permulaan, bahwa di kalangan ahli manthiq muncul beberapa pendapat mengenai kriteria yang disyaratkan sama ini. Menurut Ibn Sinâ, kriteria tersebut berjumlah dua belas. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya itu ada sembilan, yaitu dengan menambahkan kriteria al-haml pada delapan kriteria yang telah disebutkan. Sebagian ahli manthiq ada juga yang mencukupkan syarat ini pada dua syarat saja, yaitu sama dari segi al-Maudlu’ dan al-mahmûl-nya. Al-Fârâbî berpendapat bahwa kriteria al-zaman itu masuk dalam cakupan al-maudlû’ dan al-mahmûl. Dan masih banyak pendapat lain berkenaan dengan kriteria yang disyaratkan sama ini. Terlepas dari perdebatan ini, kami pun lebih mengambil jalan tengah untuk memilih pegangan mayoritas ahli manthiq yang mengatakan bahwa jumlah kriteria yang disyaratkan sama ini adalah delapan. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di: al-Sayyid Ra’id al-Haidarî, Op. Cit., hal. 132.

Page 7: Makalah Tanaqudl

7

Berdasarkan pemaparan di atas, lanjut al-Fadlî, benang merah yang bisa ditarik dari dua hal yang harus berbeda ini adalah; jika keadaan al-ashl (proposisi pokok)-nya mûjibah kulliyyah (proposisi afirmatif yang tertuju secara universal), maka al-naqîdl (penentang)-nya harus sâlibah juz’iyyah (proposisi negatif yang tertuju secara partikular). Adapun jika keadaan al-ashl-nya mûjibah juz’iyyah (proposisi afirmatif yang tertuju secara universal), maka al-naqîdl-nya harus sâlibah kulliyyah (proposisi negatif yang tertuju secara universal). Demikian ungkap al-Fadlî dalam kitâbnya.9

Hal itu sebagaimana diungkap juga oleh al-Akhdlarî lewat sya’ir dalam Sulam al-Munawwaraq-nya:

ور ــــــــــــــــــــــــــالســـــــــــورة بـــــــــــــــــــــــــصـكن محــــــــــــــــــــــوإن ت ور ـــــــــــــــــــــــــــــــا املذكـــــــــــــضدهـــــــــــــــــــــــــــــــقض بــانـــــــــــــــــــــف

ــــــــــــــــــــكن مـــــــــــــــــــــــــــإن تــــــــــــــــــــــــــــف ةــــــــــــــزئيــــــــــــــــــالبة جـــــــــــــــــــــــــــها ســـــــــــــــــــــــيضـــــــــــــــــــــــــــــــــــنق يةــــــــــــــــــــــــــــــوجبة كلـــــــــــــــــــ

ــــــــــها مــــــــــــــيضــــــــــــــــــــــــــــــــــنق يةـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــة كلــــــــــــــــــالبـــــــــــــــــــــــــــــــــــــكن ســـــــــــــــــــــــــــــــــــوإن ت زئيةــــــــــــــــــــــــــــــــة جـوجبـــــــــــــــــــــ

“Dan jika kuantitas proposisi tersebut dibatasi, maka kontradiksikanlah dia dengan (proposisi yang mengandung) kebalikan kuantitas yang disebutkan. Oleh karena itu, jika masing keadaan dua proposisi tersebut mûjibah kulliyyah, maka kontradiksinya

adalah sâlibah juz’iyyah. Adapun jika masing-masing keadaannya sâlibah kulliyyah, maka kontradiksinya adalah mûjibah juz’iyyah.” 10

C. Macam-macam Tanâqudl 11 1. Tanâqudl Qadliyyah Hamliyyah

Secara literal, tanâqudl qadliyyah hamliyyah bisa diartikan ‘kontradiksi yang terjadi antara dua proposisi kategoris’.12 Pembahasan mengenai macam tanâqudl ini terbagi kepada dua bagian; (a) Tanâqudl qadliyyah hamliyyah syakhshiyyah (kontradiksi antara dua proposisi kategoris yang tertuju secara singular); (b)

9 ‘Abdul-Hâdi al-Fadlî, Mudzakkarah al-Manthiq, (Iran: Mu’assasah Dâr al-Kitâb al-Islâmî, 1409 H), hal. 118.

10 Hasan Darwîs al-Quwaisnî, Op. Cit., hal. 28. 11 Dikarenakan kami mengalami kebuntuan referensi, maka pembahasan dalam sub-bâb ini

disadur seluruhnya dari buku: Sukriadi Sambas, Mantik; Kaidah Berpikir Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-6, jan. 2012), hal. 104-107, juga dari buku: Basiq Djalil, Logika; Ilmu Mantik, (Jakarta: Kencana, cet. Ke-2, 2012), hal. 65-66. Mengenai tekhnik penyadurannya, kami melakukan sedikit sistematisasi penyajian materi dan modifikasi gaya bahasa tanpa mengubah substansi. Hal itu kami lakukan supaya pembahasan yang diambil dari dua buku tersebut bisa dicerna dengan baik oleh kami khususnya, dan secara umum oleh pembaca—tanpa mengurangi rasa penghargaan kami terhadap kerja keras kedua penulisnya.

12 Qadliyyah hamliyyah atau proposisi kategoris adalah proposisi yang terbentuk dari subjek (maudlu’), predikat (mahmûl), dan kata penghubung (râbithah), seperti halnya proposisi “gunung itu indah”, dimana kata “gunung” merupakan subjek, kata “indah” adalah predikat, dna kata “itu” adalah kata penghubung. Dengan demikian, proposisi jenis ini terbentuk dengan menyambungkan satu variabel (maudlû’/subjek) kepada variabel lain (mahmûl/predikat).

Page 8: Makalah Tanaqudl

8

Tanâqudl qadliyyah hamliyyah mahshûrah (kontradiksi antara dua proposisi kategoris yang kuantitas subjeknya dibatasi oleh kulliyyah dan juz’iyyah). Masing masing keduanya mempunyai syarat-syarat tersendiri supaya bisa disebut proposisi yang kontradiktif, disamping harus juga memenuhi syarat-syarat kontradiktif yang telah lalu dijelaskan.

Jika masing-masing dari dua proposisi tersebut adalah proposisi kategoris yang tertuju secara singular (qadliyyah hamliyyah syakhshiyyah), maka pembentukan kontradiktifnya cukup dengan menyatakan aspek kualitas (kaif), yaitu dari segi afirmatif (mûjabah) dan negatif (sâlibah)-nya. Dengan kata lain, dua proposisi tersebut masing-masing keadaannya harus afirmatif dan negatif, seperti halnya proposisi syakhshiyyah mûjabah; “Indra adalah mahasiswa”, yang dinyatakan kontradiksi dengan proposisi syakhshiyyah sâlibah; “Indra bukan mahasiswa”.

Jika masing-masing subjek dari keduanya dibatasi oleh kulliyah dan juz’iyyah (qadliyyah hamliyyah mahshurah), maka pembentukan kontradiktsinya harus memenuhi syarat berikut: - Jika keadaan proposisi pokok (al-ashl)-nya kulliyyah mûjabah, maka propo-

sisi penentang (al-naqîdl)-nya harus juz’iyyah sâlibah. Contoh: “semua hewan membutuhkan air” >< “sebagian hewan tidak membutuhkan air”.

- Jika keadaan proposisi pokoknya juz’iyyah mûjabah, maka proposisi penentangnya harus kulliyyah sâlibah. Contoh: “Sebagian pelajar penghafal Alqurân” >< “Tidak seorang pun pelajar yang hafal Alqurân”.

- Jika proposisi pokoknya muhmalah mûjabah (proposisi afirmatif yang koantitasnya tidak dibatasi), maka proposisi penentangnya adalah kulliyyah sâlibah. Contoh: “Apel itu buah-buahan” >< “Tidak ada satupun apel yang meru-pakan buah-buahan”.

2. Tanâqudl Qadliyyah Syarthiyyah Secara literal, tanâqudl qadliyyah syarthiyyah bisa kita artikan ‘kontradiksi

yang terjadi antara dua proposisi hipotesis atau kondisional’.13 Pembahasan mengenai macam tanâqudl ini juga terbagi kepada dua bagian; (a) Tanâqudl qadliyyah syarthiyyah muttashilah (kontradiksi antara dua proposisi heipotesis yang antara keduanya terjadi kesinambungan); (b) Tanâqudl qadliyyah syarthiyyah

13 Qadliyyah syarthiyyah adalah proposisi yang terbentuk dari dua proposisi kategoris (qadliyyah

hamliyyah) yang sudah dibubuhi adawât al-syarth (kata-kata yang menunjukan adanya syarat atau yang terletak sebelum kalimat sebab, seperti kata idza yang artinya ‘jika’ atau kullamâ yang artinya ‘setiap kali’) pada proposisi kategoris pertama, dan adawât all-jawâb (kata-kata penghubung yang menunjukan jawaban atau pengantar kepada kalimat akibat, seperti kata fa yang artinya ‘maka’) pada proposisi kedua. Proposisi pertama disebut muqaddam dan yang kedua disebut tâlî. Dua proposisi tersebut kemudian saling bergantungan dari yang asalnya berdiri sendiri, sehingga membentuk keputusan hipotesis, bersyarat, atau kondisional.

Page 9: Makalah Tanaqudl

9

munfashilah (kontradiksi antara dua proposisi hipotesis yang antara keduanya tidak ada kesinambungan [terpisah]).

Secara umum, ketentuan yang harus terpenuhi untuk macam tanâqudl yang ini hampir sama atau bahkan sama dengan ketentuan pada tanâqudl qadliyyah hamliyyah. Akan tetapi, jika subjek singular pada tanâqudl qadliyyah hamliyyah disebut ‘syakhshiyyah’, maka pada tanâqudl qadliyyah syarthiyyah subjek jenis ini disebut ‘makhshushah’. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini:

Jika masing-masing dari dua proposisi tersebut adalah qadliyyah syar-thiyyah muttashilah, maka pembentukan kontradiksinya harus mengikuti ketentuan berikut: - Jika keadaan proposisi pokok (al-ashl)-nya makhshushah mûjabah, maka

proposisi penentang (al-naqîdl)-nya harus makhshushah sâlibah. Contoh: “Jika Ahmad bersungguh-sungguh, maka dia akan lusus ujian” >< “Jika Ahmad bersungguh-sungguh, maka dia tidak akan lulus ujian”.

- Jika keadaan proposisi pokoknya kulliyyah mûjabah, maka proposisi penen-tangnya harus juz’iyyah sâlibah. Contoh: “Manakala orang-orang yang berakal itu beriman, maka mereka akan selamat >< “Tidaklah setiap orang-orang yang berakal itu beriman, mereka akan selamat”.

- Jika proposisi pokonya juz’iyyah mûjabah, maka proposisi penentangnya harus kulliyyah sâlibah. Contoh: “Sebagian mahasiswa yang bersungguh-sungguh itu terkadang mendapatkan penghargaan” >< “Seluruh mahasiswa yang bersungguh-sungguh itu sama sekali tidak mendapatkan penghargaan”.

- Jika proposisi pokoknya muhmalah mûjabah, maka proposisi penentangnya harus kulliyyah sâlibah. Contoh: “Jika ahli kitâb beriman, terkadang mereka itu lebih baik” >< “Jika ahli kitâb beriman, mereka sama sekali tidak lebih baik”.

Jika masing-masing dari dua proposisi tersebut adalah qadliyyah syarthiyyah munfa-shilah, maka pembentukan kontradiksinya harus mengikuti ketentuan seba-gai berikut: - Jika proposisi pokok (al-ashl)-nya makhshushah mûjabah, maka proposisi

penentang (al-naqîdl)-nya harus makhshushah sâlibah. Contoh: “Hari ini, adakalanya Zainudin itu berada di kampus atau di luar kampus” >< “Hari ini, adakalanya Zainudin itu tidak berada di kampus atau di luar kampus”.

- Jika proposisi pokoknya kulliyyah mûjabah, maka proposisi penentangnya harus juz’iyyah sâlibah. Contoh: “Keputusan itu selamanya adakalanya benar dan adakalanya salah”. >< “Keputusan itu tidak selalu adakalanya benar dan ada kalanya salah”.

Page 10: Makalah Tanaqudl

10

- Jika proposisi pokoknya juz’iyya mûjabah, maka proposisi penetangnya harus kulliyyah sâlibah. Contuh: “Mahasiswa itu terkadang adakalanya rajin dan adakalanya malas” >< “Mahasiswa itu, sama sekali tidak terjadi adakalanya rajin dan adakalanya malas”.

- jika proposisi pokoknya muhmalah mûjabah, maka proposisi penentangnya harus muhmalah sâlibah. Contoh: “Adakalanya kendaraan itu berjalan dan adakalanya kendaraan itu berhenti” >< “Tidaklah sama sekali kendaraan itu adakalanya berjalan dan adakalanya berhenti”.

D. Teknik Menarik Kesimpulan Melalui Pendekatan Tanâqudl Jika ditinjau dari segi teknik penarikan kesimpulan, tanâqudl merupakan

salah satu dari teknik penarikan kesimpulan secara langsung (tharîqah al-istidlâl al-mubâsyar). Disebut secara langsung dikarenakan penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara menerapkan “hukum keharusan” yang memang harus terjadi antara dua proposisi yang mengalami kontradiksi; yaitu tidak mungkin dua-duanya benar atau dua-duanya salah (lâ yushaddaqâni ma’an wa lâ yukadzdzabâni ma’an). Kesim-pulan semacam ini bisa kita putuskan hanya dengan melihat satu proposisi—yang sudah tentu benar dan bohongnya—saja. Oleh karena itu, teknik penarikan kesimpulan ini dikategorikan sebagai penarikan kesimpulan secara langsung.14

Dalam menarik kesimpulan dari dua proposisi yang mengalami kontradiksi (al-qadliyyatân al-tanâqudlatân), ada beberapa langkah sistematis yang bisa kita ikuti supaya bentuk dan penarikan kesimpulan kita dari dua proposisi ini tidak keliru. Al-Musawî menjelaskan bahwa beberapa langkah yang bisa kita ikuti dalam penari- kan kesimpulan ini adalah:

Menentukan proposisi yang hendak dibuktikan benar dan bohongnya. Menentukan proposisi yang menjadi penentangnya. Memutuskan benar dan bohongnya proposisi penentang dengan beberapa

pembuktian. Menerapkan hukum kontradiktif; bahwa dua proposisi yang mengalami

kontradiksi tidak akan benar keduanya juga tidak akan bohong keduanya. Menarik kesimpulan.

Al-Musawi kemudian memberikan contoh penerapan langkah-langkah tersebut, yaitu dalam menetapkan bohong dan benarnya proposisi “ruh itu tidak ada”.

Proposisi yang hendak dibuktikan benar dan bohongnya adalah “ruh itu tidak ada”.

Proposisi yang menjadi penentangnya adalah “ruh itu ada”.

14 Disadur dari: al-Sayyid Husain al-Shadr, Durus fî ‘Ilm al-Manthiq, Tanqîh: Ibrâhîm Surûr, (ttp.: Dâr al-Hadîts al-‘Arabî, cet. Ke-1, 1426 H/2005 M), hal. 136-137.

Page 11: Makalah Tanaqudl

11

Berdasarkan beberapa pembuktian yang telah dilakukan, kita dapat memu-tusan bahwa proposisi “ruh itu ada” merupakan proposisi yang benar.

Menerapkan hukum kontradiktif; bahwa tidak mungkin dua proposisi yang mengalami kontradiksi benar keduanya atau salah keduanya.

Menarik kesimpulan bahwa proposisi “ruh itu tidak ada” adalah proposisi yang statusnya bohong.15

E. Materi Tambahan (Mulhaq Tanâqudl) Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dua proposisi yang mengalami

kontradiksi harus berbeda dari segi kuantitas (kam) dan kualitas (kaif)-nya. Keadaan proposisi mûjibah kulliyyah akan disebut ber-tanâqudl (kontradiksi) jika keadaan proposisi penentangnya sâlibah juz’iyyah, demikian juga sebaliknya. Tegasnya, masing-masing proposisi tersebut harus berbeda kuantitas dan kualitasnya. Jika keadaannya demikian, maka dua proposisi tersebut bisa dikategorikan sebagai proposisi yang tanâqudl (saling kontradiksi).

Adapun jika perbedaannya hanya terjadi pada satu aspek saja (hanya dari segi kuantitas sedang dari segi kualitasnya sama, atau sebaliknya), maka sebutan bagi dua proposisi semacam ini terbagi kepada tiga bagian; (1) Tadâkhul (interferensif); (2) Dukhûl Tahta Tadlâdd (interferensif sub-kontrariatif); (2) Tadlâdd (kontrariatif). Tiga materi tersebut merupakan materi pelengkap (mulhaq) bagi materi tanâqudl. Menurut al-Muzhaffar, pengetahuan tentang materi ini akan bermanfa’at juga dalam mengambil keputusan berdasarkan satu proposisi untuk mengetahui status proposisi lain yang mempunyai keterkaitan denganya.16

1. Tadâkhul (interferensif) Tadâkhul atau mutadâkhilatân adalah dua proposisi yang berbeda dalam

aspek kuantitas, namun sama dari segi kualitas (sama-sama mûjibah [afirmatif] atau sama-sama sâlibah [negatif]). Dinamakan tadâkhul dikarenakan tercakupnya satu proposisi oleh proposisi yang lain, seperti halnya juz’iyyah (partikular) yang tercakup oleh kulliyyah (universal). Adapun mengenai hukum yang diterapkan pada dua proposisi yang mutadâkhilatain ini adalah:

Jika proposisi kulliyyah benar, maka proposisi juz’iyyah pun secara otomatis akan benar. Namun jika proposisi juz’iyyah benar, maka proposisi kulliyyah belum tentu benar. Contoh: Proposisi “setiap emas adalah logam” statusnya adalah benar. Kesim-pulan tersebut mengharuskan kita untuk membenarkan pula proposisi “sebagian emas adalah logam” secara pasti.

Jika proposisi juz’iyyah bohong, maka proposisi kulliyyah pun secara otomatis akan bohong. Namun jika proposisi kulliyyah bohong, maka proposisi juz’iyyah belum tentu bohong.

15 Yûsuf Ahmad al-Mûsawî, Op. Cit., hal. 284. 16 Muhammad Ridlâ Muzhaffar, Op. Cit., hal. 170.

Page 12: Makalah Tanaqudl

12

Contoh: Proposisi “sebagian emas berwarna hitam” statusnya adalah bohong. Kesimpulan tersebut mengharuskan kita untuk menganggap bohong pula pada proposisi “setiap emas berwarna hitam”.17

2. Tadlâdd (kontrariatif) Tadâdldd atau mutadlâdân adalah dua proposisi yang berbeda dalam aspek

kualitas, namun dalam aspek kuantitas proposisi tersebut sama-sama kulliyyah (universal). Adapun mengenai hukum yang diterapkannya adalah sebagai berikut:

Jika salah satu dari proposisi tersebut benar, maka proposisi penentangnya adalah bohong. Namun jika salah satu dari keduanya bohong, maka proposisi penentangnya belum tentu benar. Artinya, kedua proposisi tersebut tidak mungkin dua-duanya benar, namun keduanya mungkin bohong secara bersa-maan. Contoh: Jika proposisi “setiap emas adalah logam” berstatus benar, maka proposisi “tidak ada satupun emas adalah logam” harus berstatus bohong. Namun Jika proposisi “setiap logam adalah emas” statusnya bohong, maka proposisi “tidak ada satupun logam adalah emas” tidak harus berstatus benar, bahkan bisa jadi bohong menurut beberapa pembuktian. 18

3. Dukhûl Tahta Tadlâdd (Inferensif Sub-Kontrariatif) Dukhûl atau dâkhilân tahta tadlâdd adalah dua proposisi yang berbeda dalam

aspek kualitas, namun dalam aspek kuantitas proposisi tersebut sama-sama tertuju secara juz’iyyah (partikular). Hukum yang diterapkannya adalah sebagai berikut:

Jika salah satunya berstatus bohong, maka proposisi yang lainnya harus berstatus benar. Namun jika salah satunya benar, maka proposisi yang lainnya belum tentu bohong. Artinya, kedua proposisi tersebut tidak mungkin dua-duanya bohong, namun keduanya mungkin benar secara bersamaan. Contoh: jika proposisi “sebagian emas berwarna hitam” statusnya bohong, maka proposisi “sebagian emas tidak berwarna hitam” adalah benar. Namun jika proposisi “sebagian logam adalah emas” statusnya benar, maka proposisi “sebagian logam bukan emas” belum tentu berstatus bohong, bahkan bisa jadi benar menurut beberapa pembuktian.19

Wallahu a’lam bish-shawwâb

17 ibid., al-Musawî, Op. Cit., hal. 292, dan al-Sayyid Ra’id al-Haidarî, Op. Cit., vol. 2, hal. 140. 18 Muhammad Ridlâ Muzhaffar, Op. Cit., hal. 171, al-Musawî, Op. Cit., hal. 293, dan al-Sayyid

Ra’id al-Haidarî, Op. Cit., vol. 2, hal. 141. 19 Muhammad Ridlâ Muzhaffar, Op. Cit., hal. 171, al-Musawî, Op. Cit., hal. 293, dan al-Sayyid

Ra’id al-Haidarî, Op. Cit., vol. 2, hal. 141-142.

Page 13: Makalah Tanaqudl

13

BAB I KESIMPULAN

Tanâqudl adalah Perbedaan antara dua proposisi dalam asepek kuantitas, kualitas, dan segi tertentu dua poposisi tersebut; yang satu bersifat afirmatif dan yang lainnya negatif, sehingga mengharuskan salah satu dari substansi keduanya atau isi kontradiktifnya berstatus benar dan yang lainnya berstatus bohong. Dua proposisi tersebut masing-masing dinamakan al-ashl (proposisi pokok) dan al-naqîdl (proposisi penentang).

Ketika kita akan menghukumi bahwa dua proposisi itu telah mengalami kontradiksi, maka dua proposisi tersebut harus memenuhi delapan kriteria yang disyaratkan sama, dan dua kriteria yang disyaratkan berbeda. Delapan kriteria yang disyaratlan sama itu adalah; sama dari segi maudlû, mahmûl, zamân, makân, quwwah & fi’l, kullî & juz’î, syarth, dan idlâfah. Sedangkan dua riteria yang disyaratkan berbeda adalah; berbeda dari segi kam dan kaif-nya, sehingga rumus yang lahir dari perbendaan ini adalah; jika keadaan proposisi pertanya mûjabah kulliyyah, maka proposisi penentangnya harus juz’iyyah sâlibah, demikian juga sebaliknya. apabila syarat-syarat ini telah terpenuhi, maka dua proposisi tersebut bisa dikatakan telah mengalami kontradiksi, juga bisa ditentukan benar dan bohong salah saunya.

Adapun mengenai langkah pertama dalam penarikan kesimpulan dengannya adalah; menentukan proposisi yang hendak kita buktikan benar dan bohongnya. Hadirkan pula proposisi penentang yang akan diperbandingkan kemudian putuskan benar dan bohongnya. Setelah kita diputuskan benar dan bohongnya proposisi penentang, maka secara otomatis kita akan tahu benar dan bohongnya proposisi yang tengah kita teliti, dimana hukum tanâqudl mengharus-kan kita untuk menghukumi benar salah satunya, sedang yang lainnya bohong tidak boleh benar atau bohong dua-duanya. Dengan demikian, kesimpulan benar dan bohongnya proposisi yang kita teliti pun bisa ditentukan secar langsung.

Selain itu, kita harus jeli jika melihat dua proposisi yang dinilai “semi-kontradiktif”. Kita jangan terburu-buru menghukuminya sebagai bagian dari dua proposisi yang tanâqudl. Hal itu dikarenakan, kadang terjadi di antara dua proposisi tersebut; lahir kesimpulan benar keduanya, atau jika benar salah satunya, status yang lainnya bellum tentu benar dan bohongnya. Jika keadaannya demikian, maka dua proposisi tersebut mengalami tadâkhul (interferensif). Atau jika keadaan salah satu dari proposisi tersebut benar mengharuskan proposisi yang lainnya bohong, namun jika salah satu dari keduanya bohong; proposisi yang lainnya belum tentu benar, maka dua proposisi tersebut mengalami tadlâdd (kontrariatif). Demikian pula jika keadaan salah satunya berstatus bohong, maka proposisi mengaruskan benar yang lainnya, namun jika salah satunya benar; proposisi yang lainnya belum tentu bohong, maka itu dinamakan dukhûl tahta tadlâdd (interferensif sub-kontrariatif). Tiga macam ketentuan bukan tanâqudl melainkan hanya sebagai materi tambahan (mulhaq) tanâqudl. Wallahu a’lâm

Page 14: Makalah Tanaqudl

14

DAFTAR PUSTAKA

Rujukan Buku B. Arab: Abdul-Hâdi al-Fadlî, Mudzakkarah al-Manthiq, (Iran: Mu’assasah Dâr al-Kitâb al-

Islâmî, 1409 H).

Ahmad al-Damanhûrî, Risâlah fî al-Manthiq; Idlâh al-Mubham fi Ma’ânî al-Sulam, Tahqîq: ‘Umar Farûq al-Thabbâ’, (Bairut: Maktabah al-Ma’ârif, cet. Ke-2, 1427 H/2006 M).

al-Sayyid Husain al-Shadr, Durus fî ‘Ilm al-Manthiq, Tanqîh: Ibrâhîm Surûr, (ttp.: Dâr al-Hadîts al-‘Arabî, cet. Ke-1, 1426 H/2005 M).

Al-Sayyid Ra’id al-Haidarî, al-Muqarrar fî Taudlîh Manthiq al-Muzhaffar, (ttp.: Mansyûrat Dzawî al-Qurbâ, cet. Ke-1, 1422 H).

Hasan Darwîs al-Quwaisnî, Syarh ‘alâ Matn al-Sulam fî al-Manthiq, (Mesir: Mathba’ah Syarakah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâduh, 1379 H/1905 M).

Mahdî Fadlullah, al-Syamsiyyah fî Qawâ’id al-Manthiqiyyah, (Bairut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, cet. Ke-1, 1998 M).

Muhammad bin Mahmûd bin Mukhtâr Fâl al-Syanqithî, al-Dlau’ al-Masyriq ‘alâ Sulam al-Manthiq lil-Akhdlarî, Tahqîq, ‘Abul-Hamîd bin Muhammad al-Anshârî, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. Ke-1, 2007 M).

Muhammad Ridlâ Muzhaffar, al-Manthiq, (ttp.: Dâr al-Ta’âruf lil-Mathbû’ât, 1427 H/2006 M).

Yûsuf Ahmad al-Mûsawî, al-Mursyid fî ‘Ilm al-Manthiq, (ttp.: Maktabah al-Fikr, cet. Ke-1, 2007 M).

Rujukan Buku B. Indonesia: Basiq Djalil, Logika; Ilmu Mantik, (Jakarta: Kencana, cet. Ke-2, 2012).

Sukriadi Sambas, Mantik; Kaidah Berpikir Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-6, jan. 2012).

Software: Al-Maktabah al-Syâmilah

Add Ins Quran In Word