makalah shintoisme

Download Makalah Shintoisme

If you can't read please download the document

Upload: yogawijaya

Post on 22-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Shintoisme di Jepang

TRANSCRIPT

SISTEM KEPERCAYAAN SHINTO

SERTA WUJUD KEBUDAYAANNYA DI JEPANG

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Kebudayaan

Yang dibina oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi., S.Pd, M.Hum.

Oleh

Yoga Wijaya

(130731615751)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN SEJARAH

September 2015

3

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang 1Rumusan Masalah 2Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sistem Kepercayaan Shinto 3

2.2 Wujud Kebudayaan Shinto di Jepang 5

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 9

3.2 Saran 10

Daftar Rujukan 11

Lampiran 12BAB I

PENDAHULUAN

Jepang adalah sebuah negara maju yang ada di Asia Timur. Pada saat ini banyak orang yang mengidentikan Jepang dengan hal-hal terkenalnya seperti Samurai, Sakura, Anime, dan lain-lain. Namun diantara itu semua tak tertinggal sebuah istilah bagi kepercayaan yang muncul di Jepang yaitu Shinto. Shinto adalah sebuah kepercayaan atau agama yang murni berasal dari Jepang pada abad keenam masehi. Karena itu bisa dikatakan bahwa Shinto merupakan agama dengan tradisi yang paling kuno dari semua agama dan tradisi yang ada di Jepang lainnya yang tumbuh dari sejarah(Earhart, 1984:16). Shinto juga dikenal sebagai agama yang menyembah dewa-dewa.

Meskipun zaman sudah modern dan sudah banyak agama lain yang masuk ke Jepang, Shintoisme masih banyak dianut oleh orang-orang di Jepang hingga saat ini. Bahkan salah satu golongan Shinto yang ada yaitu Kyoha atau Shuha Shinto masih mempunyai tiga belas sekte yang dua diantaranya sangat banyak diminati hingga sekarang. Banyak orang Jepang yang masih mempertahankan ajaran Shinto karena mereka menganggap bahwa ajaran tersebut dapat memahami masalah sehari-hari yang mereka hadapi. Dari beberapa pernyataan tersebut secara tidak langsung juga menjelaskan bahwa orang Jepang adalah orang-orang yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan aslinya.

Dalam kepercayaan atau agama Shinto memiliki banyak keunikan. Mulai dari perkembangannya, ajarannya, serta aliran yang ada, dan eksistensinya dimasa kini. Sehingga saya rasa cukup menarik untuk dapat membahas sistem kepercayaan Shinto dan wujud kebudayaannya sebagai tugas makalah.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah sistem kepercayaan agama Shinto?Bagaimanakah bentuk kebudayaan dari sistem kepercayaan Shinto di Jepang?

Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah di atas maka diperoleh tujuan masalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui sistem kepercayaan Shinto.Untuk mengetahui bentuk kebudayaan dari sistem kepercayaan Shinto di Jepang.

BAB II

PEMBAHASAN

Sistem Kepercayaan Shinto

Shinto adalah agama asli yang berasal dari negara Jepang. Agama Shinto sangat berbeda dengan agama lain yang mempunyai penemu atau pelopornya, Shinto muncul seiring dengan munculnya mitos-mitos yang berkembang di negara Jepang (Littleton, 2002:6). Agama Shinto ini didasari dengan paham Animisme yang berhubungan dengan pemujaan terhadap gejala alam. Shinto sendiri berasal dari kata Shin dan To, Shin berarti roh, dan To berarti jalan, To juga sering disamakan dengan istilah Tao yang berarti jalan dewa. Melihat persamaan istilah tersebut, agama Shinto mungkin juga mendapat pengaruh dari Tiongkok.

Gambar 1.1Peta Jepang

(Sumber: http://www.kaorinusantara.or.id/forum/)

Agama Shinto adalah filsafat religius yang bersifat tradisional serta turun temurun dari nenek moyang bangsa Jepang yang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya rakyat biasa yang harus mematuhi ajaran Shintoisme, tetapi juga pemerintahannya harus mewarisi dan melaksanakan ajaran dari agama ini (Arifin, 1986:47).

Ajaran Shinto meyakini bahwa ada beberapa dewa yang mereka agungkan. Dewa tertinggi menurut kepercayaan ini adalah sang Amaterasu Omigami yang mereka anggap sebagai dewa matahari. Menurut ajaran Shinto Amaterasu juga mempunyai kedua orangtua, yaitu Izanagi sang dewa langit yang meruapakan ayah dari Amaterasu dan Izanami sang dewi bumi yang merupakan ibu dari Amaterasu. Selain Amaterasu dan kedua orangtuanya, ada juga beberapa dewa yang cukup terkenal dalam ajaran ini, diantaranya yaitu Susanoo sebagai dewa angin dan Tsukiyomi sebagai dewa bulan. Amaterasu Omigami adalah penguasa surga, Susanoo sebagai penguasa lautan dan Tsukiyomi berkuasa atas malam. (Yusa, 2002:22)

Dalam ajaran Shinto dijelaskan adanya persamaan antara hubungan manusia dalam berkeluarga dan hubungan manusia kepada dewa. Ajaran Shinto menjelaskan bahwa para dewa atau yang lazim mereka sebut dengan kami juga mencintai manusia ibarat seorang ayah mencintai anaknya. Shinto memandang bahwa manusia diciptakan sesuai dengan takdirnya, takdir yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan. Selain diberkati dengan kebahagiaan, manusia juga ditakdirkan untuk selalu ada dalam perlindungan para dewa. Arifin (1986:54) dalam bukunya menyatakan bahwa ada tiga pokok ajaran penting dalam kepercayaan Shinto, yaitu : keberanian, loyalitas, dan kesucian. Keberanian dianggap ajaran yang paling penting dalam ajaran Shinto, karena orang penakut akan dipandang sebagai orang yang berdosa. Loyalitas digambarkan pada sikap setia kepada Kaisar dan masyarakat. Sedangkan kesucian diidentikkan dengan orang yang bersifat suci terutama dalam upacara-upacara suci keagamaan.

Agama Shinto yang ada di Jepang hingga saat ini juga telah mengalami beberapa kali perkembangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa agama Shinto adalah kepercayaan murni dari penduduk lokal Jepang yang berdasarkan pada paham Animisme yang berhubungan dengan pemujaan terhadap gejala alam. Kemudian sekitar abad ke 6 M, setelah Jepang berhasil disatukan oleh klan Yamato, agama Buddha dari Tiongkok juga masuk ke Jepang melalui Korea (Imron, 2015:311). Satu abad setelah masuk ke Jepang, agama Buddha dapat berkembang pesat hingga mengalahkan eksistensi dari Shinto sebagai agama lokal penduduk Jepang. Untuk mensiasati hal tersebut, para pendeta dari agama Shinto akhirnya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha kedalam ajaran mereka. Seperti contohnya pada pengadaan patung-patung dewa yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam ajaran Shinto. Hal ini membuat agama Shinto hampir kehilangan sebagian besat sifat aslinya.

Gambar 1.2Patung Dewa Angin

(Sumber:http://1.bp.blogspot.com/_6UPMnLlWLiM/TMAmxql3s1I/AAAAAAAAALw/4nWTpOGkP-M/s1600/800px-Taiyuin-Fujin-Dsc3719.jpg)

Pada abad ke 7 M, bangsa Jepang mulai membayangkan bahwa bangsanya sebagai sebuah negara kekaisaran dapat mengungguli kultur bangsa Tiongkok yang lebih dulu maju. Berawal dari keinginan tersebut membuat bangsa Jepang melirik agama Shinto yang dianggap mampu menciptakan sebuah kultus nasional seperti yang dilakukan oleh klan Yamato sebelumnya. Sehingga pada akhirnya pemujaan terhadap Dewi Matahari yang pernah dikembangkan oleh klan Yamato, mulai dihidupkan dan digalakkan kembali (Imron, 2015:312). Sejak saat itu paham mengenai agama Shinto, atau Shintoisme menjadi ajaran yang mengandung politik religius bagi bangsa Jepang. Hal ini membuat penganut agama Shinto harus berbakti kepada kaisar, negara, dan politiknya.

Pada perkembangan selanjutnya Agama Shinto juga memperoleh pengaruh dari agama lain selain agama Buddha. Pada pertengahan abad ke 7 M, Agama Shinto juga berakulturasi dengan Konghucu (Imron, 2015:312). Dan hal tersebut membuat Agama Shinto, Buddha, dan Konghucu terus bergandengan hingga saat ini. Hal tersebut memang wajar saja terjadi, karena pada dasarnya masyarakat Jepang tidak menolak kepercayaan apapun yang masuk ke negrinya, asalkan tidak mengancam keselamatan negara. Dan dalam agama Shinto juga diajarkan bahwa tujuan utama mereka dalam kehidupan adalah kebahagiaan.

Setelah abad ke 17, mulailah muncul gerakan yang menginginkan pemurnian ajaran Shinto yang dipelopori oleh Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga, dan lain-lain. Mereka bertujuan untuk membedakan ajaran Buddha dengan roh-roh yang dianggap sebagai dewa oleh bangsa Jepang, hal tersebut berusaha mereka tempuh untuk dapat mempertahankan kelangsungan kepercayaan Shintoisme yang mereka anut.

Mengenai perkembangan agama Shinto dari masa ke masa tidaklah selesai sampai disitu Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1868, agama Shinto diproklamasikan menjadi agama negara yang saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya (Imron, 2015:313). Penetapan agama Shinto menjadi agama negara ini membawa dampak yang hampir sama dengan yang terjadi pada perkembangan agama Shinto di abad ke 7 M, Shintoisme menjadi ajaran yang mengandung politik bagi bangsa Jepang. Negara Jepang mendukung lebih dari 110.000 kuil Shinto beserta kurang lebih 16.000 pendeta yang tinggal di kuil-kuil tersebut melalui konstitusi tahun 1889. Aliran Shinto yang memperoleh dukungan dari pemerintah ini disebut juga dengan Jinja. Kuil-kuil yang beraliran Jinja ini diperuntukkan untuk pemujaan dewa-dewa lokal, pahlawan, ataupun peristiwa-peristiwa besar. Kuil termegah adalah kuil Ise yang digunakan sebagai pemujaan untuk Amaterasu. Agama Shinto kemudian juga diidentikkan sebagai sebuah alat pendukung militer di Jepang yang berperang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Imron (2015:313) menjelaskan bahwa Agama Shinto juga menjadi bagian pendukung dalam Perang Dunia II bagi Jepang yang ikut dalam perang tersebut.

Wujud kebudayaan Shinto di Jepang

Kebudayaan adalah berwujud abstrak, tidak bisa diraba, dan ada dalam pikiran manusia seperti ide, keyakinan, norma, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1989:376). Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah perwujudan dari olah pikir manusia. Kebudayaan juga bersifat turun-temurun dan sebisa mungkin terus dilestarikan untuk dapat menjaga nilai-nilai positif yang ada didalamnya. Wujud pelestarian budaya dari agama Shinto di Jepang dapat kita lihat dari tetap diadakannya perayaan yang bernafaskan Shinto setiap tahun di Jepang.

Dalam ajaran Shinto terdapat sebuah ritual doa yang disebut dengan Matsuri. Menurut Imron (2015:335) Matsuri berasal dari kata matsuru, yang berarti menyembah atau memuja. Masing-masing kuil Shinto yang ada di Jepang mempunyai Matsurinya sendiri-sendiri. Salah satu contohnya adalah kuil Ise Jingu yang sampai sekarang masih menyelenggarakan ritual Matsuri bagi kalangan terbatas.

Gambar 1.3Kuil Ise Jingu

(Sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c9/Naiku_01.JPG)

Namun seiring perkembangan zaman, makna Matsuri sebagai ritual doa kian bergeser menjadi Matsuri sebagai festival. Meskipun masyarakat Jepang pada umumnya menganggap Matsuri adalah perwujudan dari kegiatan manusia untuk berkomunikasi dan melayani para dewa, namun banyak juga kalangan umum menganggap bahwa Matsuri tak lebih dari perayaan ataupun festival tahunan belaka. Biasanya festival ini juga bertepatan dengan jadwal liburan anak sekolah, sehingga perayaan Matsuri pasti akan dipenuhi anak-anak. Hampir Sepanjang tahun di hampir setiap provinsi diadakan festival, beberapa jenis pekan raya baik di perkotaan maupun di pedesaan, di kuil megah maupun kuil kecil di desa (Bauer dan Sherwin, 1985:4).

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa setiap kuil mempunyai Matsurinya masing-masing sehingga terdapat banyak jenis Matsuri di Jepang. Dari sekian banyak jenis Matsuri yang ada beberapa diantaranya yang dianggap utama. Salah satunya adalah Haru Matsuri. Menurut Imron (2015:336) Festival musim semi ini bertujuan memohon rahmat dewa agar mendapat panen yang melimpah. Dalam perayaannya, setiap tanggal 12 maret di Kuil Senso yang berada di Tokyo diadakan pertunjukan kinryuu no mai, yaitu sebuah pertunjukan yang mirip dengan pertunjukan naga yang dimainkan saat imlek. Kemudian disusul pada 18 Maret, yang biasanya menampilkan 100 penari yang diiringi dengan musik tradisional Jepang yaitu Samishen dan Taiko.

Kemudian ada juga Festival Matsuri yang tak kalah penting yaitu Aki Matsuri. Jika Haru Matsuri diadakan pada musim semi, Aki Matsuri ini diadakan pada musim gugur. Dapat dikatakan bahwa festival Aki Matsuri ini adalah lanjutan dari festival Haru Matsuri. Festival ini merupakan wujud terimakasih kepada dewa atas hasil panen yang diperoleh (Imron, 2015:336). Dalam perayaannya biasanya ditampilkan peragaan kimono, seni bela diri, upacara minum teh, dan dibukanya pasar-pasar musiman yang menyediakan aneka kuliner khas Jepang.

Matsuri lain yang tak kalah meriah adalah Gion Matsuri. Gion Matsuri adalah festival tahunan yang diadakan selama sebulan penuh pada bulan Juli. Gion Matsuri sudah menjadi tradisi yang turun-temurun sejak 1.100 tahun yang lalu di Jepang (Imron, 2015:337). Konon, festival ini diadakan untuk menenangkan arwah orang-orang yang meninggal akibat wabah penyakit menular yang terjadi di seluruh Jepang pada sekitar 1.100 tahun silam. Puncak acara ini adalah pada tanggal 17 Juli dimana ada dua kereta besar yaitu Yama dan Boko yang berisi persembahan kepada dewa diarak untuk mengelilingi kota.

Gambar 1.4Kereta Yama dan Boko

(Sumber: http://www.matsuritimes.com/wp-content/gallery/gion-yamaboko-middle/gion-matsuri-yamaboko-floats.jpg)

Selain festival Matsuri, Pada agama Shinto juga terdapat tata cara dalam upacara pernikahan yang disebut dengan Kekkon Shiki. Awalnya upacara perniklahan ini diadakan dengan berbagai versi, namun sejak tahun 1900 diadakan standarisasi upacara pernikahan saat prosesi pernikahan Putra Mahkota Yoshihito dan Putri Sado (Imron, 2015:334). Dalam upacara pernikahan ini pengantin wanita mengenakan pakaian adat yang berupa kimono berwarna putih, sedangkan pengantian pria memakai kimono yang ditambah dengan hakama. Upacara pernikahan ini dimulai dengan penyucian pasangan yang hendak menikah terlebih dahulu oleh pendeta Shinto, kemudian pasangan tersebut mengikuti sebuah ritual yang disebut dengan san-sakudo. Prosesi pernikahan ini boleh dibilang singkat, namun sangat khidmat. Prosesi pernikahan tersebut memiliki makna untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan pasangan tersebut secara rohani.

Gambar 1.5Kekkon Shiki

(Sumber: http://www.japan-photo.de/KEKKON-SHIKI.jpg)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

Shinto adalah ajaran agama yang asli berasal dari negara Jepang. Agama ini didasari pada paham animisme yang berhubungan dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dalam ajaran Shinto ada tiga penting yaitu loyalitas, kesucian, dan keberanian. Dalam agama ini juga mengenal banyak dewa-dewa yang berhubungan dengan alam. Agama Shinto yang ada di Jepang saat ini juga sudah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa dan juga mendapatkan akulturasi dari agama Buddha serta Konghucu. Pada abad ke-19 agama Shinto dinyatakan sebagai agama negara di Jepang, dan saat Jepang turut serat kedalam Perang Dunia II, agama Shinto juga mempunyai pengaruh yang besar.Dalam ajaran agama Shinto terdapat sebuah ritual doa yang disebut dengan Matsuri. Pada umumnya setiap kuil Shinto di Jepang mempunyai Matsurinya masing-masing. Namun seiring perkembangan zaman, makna Matsuri sebagai ritual doa kian bergeser menjadi Matsuri sebagai festival tahunan. Festival Matsuri yang selalu diadakan setiap tahun di Jepang pada umumnya memiliki makna menghormati para dewa dan roh nenek moyang. Selain Matsuri, juga terdapat tata cara dalam upacara pernikahan menurut ajaran Shinto di Jepang yang disebut dengan Kekkon Shiki. Pada pelaksanaannya, kedua mempelai menggunakan baju tradisional Jepang dan menjalani ritual keagamaan yang cukup singkat.

3.2 Saran

Setelah mempelajari materi tentang sistem kepercayaan Shinto dan Wujud Kebudayaannya di Jepang diharapkan dapat mengetahui tentang sistem kepercayaan dan wujud kebudayaan Shinto di Jepang serta tentang pentingnya untuk tetap menjaga eksistensi budaya lokal.

Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempruna. Oleh sebab itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Arifin, M, H. 1986. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Pres.

Bauer & Sherwin. 1985. Japanese Festivals. Tokyo: Charles E.

Earhart, B. 1984. Religions of Japan. New York: Harper Collins Publishers

Imron, M, A. 2015. Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD.

Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta

Littleton, S. 2002. Understanding Shinto. London: Duncan Baird Publishers.

Yusa, M. 2002. Japanese Religions. London : Laurence King Publishing LTD.