makalah semantik
TRANSCRIPT
Materi Bahan Ajar Semantik
"Konsep Umum Makna"
Kelas PB 2010Nama Kelompok:
1. M. Miftakhul Bashori(102074958)
2. Rizki Amaliah(102074213)
3. Arum Lestari(102074228)
4. Inta Mustika C.(102074229)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2012
I. Konsep Makna, Lambang, Acuan dalam Kajian Semantik
A. Konsep Makna
Pengertian Makna Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang
membingungkan. Pengertian dari makna sendiri sangat membingungkan, ada yang
mengatakan bahwa makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari apa saja yang kita tuturkan.
Pengertian makna dari para ahli, diantaranya:
Mansoer pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan
istilah yang membingungkan dan selalu menyatu pada tuturan kata maupun
kalimat.
Ullman mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dan
pengertian.
Ferdinand de Saussure mengungkapkan pengertian makna sbagai pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Bloomfield mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang
harus dianalisis dalam batas “unsur” penting situasi dimana penutur
mengujarkannya.
Aminnudin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa
dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat
saling mengerti.
Dalam kamus linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi:
1. Maksud pembicara.
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia
atau kelompok manusia.
3. Hubungan dalam arti kesepakatan atau ketidaksepadanan antara bahasa atau
antara ujaran dan semua hal yang ditunjukanya.
4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
B. Tanda dan Lambang (simbol)
Tanda dan lambang (simbol) merupakan dua unsur yang terdapat dalam bahasa.
Tanda dan lambang (simbol) dikembangkan menjadi sebuah teori yang dinamakan
semiotik. Semiotik mempunyai tiga aspek yang sangat berkaitan dengan ilmu bahasa,
yaitu aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik. Ketiga aspek kajian semiotik
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, aspek sintaksis, sintaksis semiotik merupakan studi tentang relasi yang
sering kali tertuju pada pencarian peraturan-peraturan yang pada dasarnya berfungsi
secara bersama-sama. Sintaksis semiotik tidak dapat membatasi diri dengan hanya
mempelajari hubungan antartanda dalam suatu sistem yang sama. Sejauh perhatian utama
kita ditujukan pada hubungan antartanda, maka kita bergerak dalam bidang sintaksis
semiotik.
Kedua, aspek semantik, semantik semiotik merupakan penelitian yang tertuju pada
hubungan antara tanda dan denotatumnya, dan interpretasinya. Ketiga, aspek pragmatik,
jika yang menjadi objek penelitian adalah hubungan antara tanda dan pemakaian tanda,
maka kita memasuki bidang pragmatik semiotik.
Lebih singkat Djajasudarma (1993) menjelaskan tiga aspek semiotik yaitu semantik
berhubungan dengan tanda-tanda; sintaktik berhubungan dengan gabungan tanda-tanda
(susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul, pemakaian,
dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa.
Saussure sebagai bapak ilmu bahasa modern menggunakan istilah semiologi,
sedangkan Peirce, seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik. Kata semiotik berasal
dari kata Yunani semeion, yang berarti ‘tanda’, maka semiotik berarti ‘ilmu tanda’.
Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajiaan tanda dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku
bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Selanjutnya, semiotik adalah ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992 dalam Nurgiyantoro, 2000). Menurut
Sobur (2001), semiotik merupakan suatu model dari ilmu pengetahuan sosial yang
memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan
“tanda”. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.
Menurut Luxemburg dkk (1989), semiotik (kadang-kadang dipakai istilah semiologi)
ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-
sistem lambang dan proses-proses pelambangan. Pengertian lain, semiotik adalah ilmu
tentang tanda-tanda yang menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan
kebudayaan merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Preminger, 2001 dalam Sobur,
2001). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa
pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda
sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan
ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem bahasa yang paling lengkap dan
sempurna (Nurgiyantoro, 2000: 40).
Proses perwakilan disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda
berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992 dalam
Nurgiyantoro, 2000). Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah
tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam
batin si penerima (Luxemburg dkk, 1989). Jadi, ada tiga unsur yang menentukan tanda,
yaitu tanda yang dapat ditangkap itu sendiri, yang ditunjuknya, dan tanda baru dalam
benak si penerima. Antara tanda dan yang ditunjuknya terdapat relasi, tanda mempunyai
sifat interpretatif. Dengan perkataan lain, representasi dan interpretasi merupakan ciri
khas tanda (van Zoest, 1993: 14-15).
Peirce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis
hubungan, yaitu:
ikon, jika berupa hubungan kemiripan;
indeks, jika berupa hubungan kedekatan eksistensi; dan
simbol, jika berhubungan yang sudah terbentuk secara konvensi (Abrams, 1981;
van Zoest, 1992; dalam Nurgiyantoro, 2000: 42).
Van Zoest (1993) menjelaskan ketiga tanda tersebut. Tanda ikonis ialah tanda yang ada
sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum,
tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial
dimilikinya. Sebuah indeks adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya
tergantung dari adanya sebuah denotatum. Simbol (lambang) adalah tanda yang hubungan
antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum.
Tanda dapat digolongkan berdasarkan penyebab timbulnya, seperti yang diungkapkan
Djajasudarma (1993) sebagai berikut.
1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui manusia karena pengalaman, misalnya:
- Hari mendung tanda akan hujan,
- Hujan terus-menerus dapat menimbulkan banjir,
- Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan, dan sebagainya.
2. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara binatang
tersebut, misalnya:
- Anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman,
- Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya tanda ada wabah penyakit
atau keributan, dan sebagainya.
3. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas: (1) yang bersifat
verbal adalah tanda yang dihasilkan manusia melalui alat-alat bicara (organ of speach)
dan (2) tanda yang bersifat nonverbal, digunakan manusia untuk berkomunikasi, sama
halnya dengan tanda verbal. Tanda nonverbal dapat dibedakan atas:
a. Tanda yang dihasilkan anggota badan (body gesture) dikenal sebagai bahasa
isyarat, misalnya:
- Acungan jempol bermakna hebat, bagus, dan sebagainya.
- Mengangguk bermakna ya, menghormat, dan sebagainya.
- Menggelengkan kepala bermakna tidak, bukan, dan sebagainya.
- Membelalakkan mata bermakna heran, marah, dan sebagainya.
- Mengacungkan telunjuk bermakna tidak mengerti, setuju, dan sebagainya.
- Menunjuk bermakna itu, satu orang, dan sebagainya.
b. Tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya:
- Bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin kenal, dan sebagainya.
- Menjerit bermakna sakit, minta tolong, ada bahaya, dan sebagainya.
- Berdeham (batuk-batuk kecil) bermakna ada orang ingin kenal, dan
sebagainya.
Tanda dan simbol berbeda. Papan yang berbentuk bundar bercat putih dan
melintang di tengahnya berwarna merah yang dipasang pada patok di salah satu sudut
jalan adalah tanda yang bermakna bahwa jalan tersebut terlarang untuk dimasuki
kendaraan. Orang yang melihat tanda tersebut meskipun tidak dilarang secara verbal,
tidak akan berani memasuki jalan yang memakai tanda itu. tetapi tanda dalam bentuk
huruf-huruf, misalnya dilarang masuk adalah simbol-simbol yang bermakna seperti
yang dinyatakan oleh simbol itu sendiri. Perbedaan antara tanda dan simbol terletak
pada hubungan tanda atau simbol dengan kenyataannya.
Tanda memperlihatkan hubungan langsung dengan kenyataan, sedangkan
simbol memperlihatkan hubungan yang tidak langsung dengan kenyataan. Tanda Ⱬ
misalnya memperlihatkan bahwa jalan membelok, sedangkan lambang membelok
secara konvensional belum tentu memperlihatkan sesuatu yang berliku-liku. Kebetulan
leksem membelok dalam BI bermakna berjalan atau melewati jalan yang tidak lurus.
Kalau leksem membelok kita utarakan kepada seorang penutur bahasa inggris, maka
pasti ia tidak akan mengerti apa yang kita maksudkan. Tetapi tanda Ⱬ, baik kepada
orang indonesia maupun kepada orang Belanda akan ditafsirkan sebagai tanda
peringatan karena jalan berbelok-belok dan karena itu ia harus berhati-hati. Dengan
melihat tanda Ⱬ orang segera melihat kenyataannya.
Simbol (lambang) bersifat konvensional tetapi ia dapat diorganisir, direkam, dan
dapat dikomunikasikan (Ogden dan Richards; 1972:9). Simbol dapat mempengaruhi
pikiran dan merujuk benda tertentu.
C. Acuan makna dalam kajian semantik
Kajian makna dalam semantik leksikal lebih mendasarkan pada peran makna kata
dan hubungan makna yang terjadi antarkata dalam suatu bahasa. Hubungan makna antar
kata baik yang bersifat sintagmatik dan paradigmatik kerap digunakan untuk menjawab
permasalahan makna kata. Kajian makna kata dalam konteks ini pada gilirannya tentu
dapat menjawab permasalahan makna kalimat. Sebab sebagaimana kerap dikemukakan
oleh ahli semantik bahwa makna kalimat bergantung pada makna kata yang tercakup
dalam kalimat tempat kata itu terangkai. Peran kajian makna kata berdasarkan hubungan
makna ini terasa penting mengingat tidak semua makna kata dapat dijelaskan oleh
keterkaitannya dengan objek yang digambarkan oleh kata itu. Makna kata-kata yang
bersifat abstrak, misalnya hanya mungkin dapat dijelaskan maknanya oleh hubungan
makna antarkata dalam suatu bahasa.
Makna bahasa terutama makna kata dapat kita petakan menurut komponennya.
Pandangan seperti ini, tampak dalam teori medan makna yang menyatakan bahwa
kosakata dalam suatu bahasa terbentuk dalam kelompok-kelompok kata yang menunjuk
kepada lingkup makna tertentu, misalnya perkakas dapur atau nama-nama warna. Dalam
suatu medan makna, antara kata yang satu dengan kata lainnya menunjukkan hubungan
makna yang dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan. Pertama golongan kolokasi yang
menggambarkan hubungan sintagmatik antara kata-kata yang terdapat dalam suatu bidang
tertentu atau medan tertentu. Kedua golongan ’set’ yang cenderung menggambarkan
hubungan paradigmatik antarkata dalam suatu bidang tertentu.
Untuk menggambarkan hubungan antar kata dalam suatu bidang tertentu dapat
diungkapkan melalui komponen makna yang tercakup dalam kata-kata dalam suatu
bidang tertentu. Komponen makna menunjukkan bahwa setiap kata maknanya terbentuk
dari beberapa unsur atau komponen. Misalnya, kata-kata yang menggambarkan
kekerabatan, seperti ‘ayah’, ibu’, ‘adik’. ‘kakak’ dapat kita lihat komponen maknanya
dalam diagram berikut.
Selain untuk menunjukkan hubungan makna antarkata, komponen makna juga
berguna, antara lain untuk perumusan makna dalam kamus dan untuk menentukan apakah
kalimat yang digunakan dapat diterima atau tidak secara semantik. Tentu saja untuk
mengungkapkan komponen makna tersebut perlu dilakukan melalui analisis yang lazim
dikenal sebagai analisis komponen makna. Analisis ini dalam kajian semantik leksikal
tentu cukup menonjol mengingat manfaatnya yang cukup beragam dalam mengkaji
makna kata dan hubungan makna antarkata dalam suatu bahasa.
D. Persamaan dan Perbedaan Antara Informasi dan Maksud dalam Memahami
Makna
Untuk dapat memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh
kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, bapak linguistik
modern yang namanya sudah disebut-sebut pada bab pertama, yaitu mengenai yang
disebut tanda linguistik. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Prancis: signifie’, Ingris: signified) dan (2)
yangmengartikan (Prancis: signfiant, Inggris:signifier). Yang diartikan (signifie’,
signifier) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari suatu tanda bunyi.
Sedangkan mengartikan (signfiant, signifier) itu adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi
itu, yang terbentukdari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain
setiap tanda – linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah
unsur dalam – bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk / mengacu kepada suatu
referent yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora,
ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lainselama masih menyangkut segi bahasa
maka maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah
terlalu jauh dan tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut
sebagai persoalan bahasa. Mungkin termasuk persoalanbidang studi lain; entah filsafat,
antropologi, atau juga psikologi.
Tabel perbedaan informasi dan maksud dari segi peristiwa pengujaran dan jenis
semantik.
Istilah Segi Jenis semantik
(dalam keseluruhan peristiwa
pengujaran)
INFORMASI Segi objektif (yakni segi di
bicarakan)
(Luar semantik;
ekstralingual)
MAKSUD Segi subjektif (yakni dipihak
pemakai bahasa)
Semantik maksud
E. Hubungan Makna dengan Lambang
Makna Leksikal dan Hubungan Referensial (hubungan makna dengan lambang)
Unsur leksikal adalah unit terkecil di dalam sistem makna suatu bahasa dan
dapat dibedakan dari unit kecil lainnya. Sebuah leksem merupakan unit abstrak yang
dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam kenyataan kalimat, dianggap
sebagai leksem yang sama meskipun dalam bentuk infleksi.
Makna leksikal merupakan unsur tertentu yang melibatkan hubungan antara
makna kata-kata yang siap dianalisis. Makna leksikal dapat berupa categorematical
dan syncategorematical, yaitu semua kata dan infleksi, kelompok alamiah dengan
makna struktural yang harus didefinisikan (dimaknai) dalam satuan konstruksi.
Hubungan referensial adalah hubungan yang terdapat antara sebuah kata dan
dunia luar bahasa yang diacu oleh pembicaraan. Hubungan antara kata (lambang),
makna (konsep atau reference) dan sesuatu yang diacu atau referent adalah
hubungan tidak langsung. Hubungan yang terjadi antara ketiga unsur tersebut, dapat
digambarkan melalui apa yang disebut dengan segi tiga semiotik (semiotic triangle)
dari Ogden & Richards (1972); Palmer (1976) sebagai berikut.
Simbol atau lambang adalah unsur linguistik berupa kata (frasa, klausa,
kalimat, wacana); referent adalah objek atau hal yang ditunjuk (peristiwa, fakta di
dalam dunia pengalaman manusia); sedangkan konsep (reference) adalah apa yang
ada pada pikiran kita tentang objek yang diwujudkan melalui lambang (simbol).
Berdasarkan teori tersebut, hubungan simbol dan referent (acuan) melalui konsep
yang bersemayam di dalam otak, hubungan tersebut merupakan hubungan yang tidak
langsung.
Bila diperhatikan lebih mendalam, segi tiga semiotik tersebut, puncaknya
merupakan dunia pengalaman manusia, kemudian dimanisfestasikan di dalam kata,
kalimat, atau wacana yang memiliki struktur diferensial. Ullmann (1972: 55-64)
dalam Djajasudarma (1993), mengkritik terhadap segi tiga semiotik tersebut, kritiknya
antara lain:
segi tiga semiotik tersebut terlalu besar karena pada segi tiga ini dimakkan acuan,
padahal komponen tersebut berada di luar bahasa,
sulit untuk mencari hubungan lambang (nama, simbol), pengertian (konsep), dan
benda (referent yang diacu).
Sehubungan dengan kritik tersebut, Ullmann menyarankan agar hubungan timbal balik
antara bunyi dan sesuatu yang diacu disebut makna. Kita harus meninggalkan segi tiga
semiotik dan dapat digambarkan dengan garis lurus, sebagai berikut. S (simbol), M (makna),
dan K (konsep).
Selanjutnya, Ullmann juga memberikan gambar yang menjelaskan bahwa tidak semua
kata mempunyai hubungan tunggal seperti pada bagan pertama, tetapi ada beberapa kata (S)
yang memiliki kesamaan makna, maka beliau menggambarkannya sebagai berikut.
Hubungan antara simbol dan acuan bersifat arbitrer:
Arbitrer Dalam Kajian Semantik
Istilah penamaan, diartikan Kridalaksana (1993), sebagai proses pencarian
lambang bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya; biasanya
dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-
perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata.
Nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas,
dan peristiwa di dunia. Anak-anak mendapat kata-kata dengan cara belajar, dan
menirukan bunyi-bunyi yang mereka dengar untuk pertama kalinya.
Nama-nama itu muncul akibat dari kehidupan manusia yang kompleks dan
beragam, alam sekitar manusia berjenis-jenis. Kadang-kadang manusia sulit
memberikan nama satu per satu. Oleh karena itu, muncul nama-nama kelompok,
misalnya, binatang, burung, ikan, dan sebaginya, dan tumbuh-tumbuh yang jumlahnya
tidak terhitung yang merupakan jenis binatang, jenis tumbuhan, jenis burung, dan
jenis-jenis yang lain yang terdapat di dunia (Djajasudarma, 1993). Penamaan suatu
benda di setiap daerah atau di lingkungan kebudayaan tertentu tidak semuanya sama,
misalnya:
padi bahasa Indonesia
pare bahasa Sunda
pale bahasa Gorontalo.
Hubungan antara simbol dengan referent atau acuan yang bersifat arbitrer
Menurut teori segitiga makna, ada hubungan timbal balik antara lambang (simbol)
dengan konsep (makna). Hubungan antara konsep dengan acuan bersifat searah, sedangkan
hubungan antara lambang (simbol) dengan acuan bersifat arbitrer (manasuka). Teori segitiga
makna dikritik oleh Ullmann. Ia menganggap teori ini terlalu luas karena masuknya acuan.
Menurutnya, acuan berada di luar bahasa (ekstralingual). Ia menyarankan agar hubungan
antara lambang (simbol) bunyi dengan makna (konsep) diwujudkan dalam istilah nama (n)
dan makna (m).
Hubungan antara lambang dengan acuan bersifat arbiter sehingga sebuah acuan yang
sama bisa saja diberi lambang atau symbol yang berbeda-beda. Menurut teori ini tidak ada
hubungan lngsung antara lambang dengan acuannya, tidak ada hubungan antara bahasa
dengan duniafisik, hubungannya selamanya melalui pikiran dalam wujud konsep yang
bersemayam dalam otak. Hubungan antara lambang dan acuan bersifat arbitrer. Jadi, kalau
seorang menyebut kucing, terbayang pada kita apa yang disebut kucing. Acuannya adalah kucing yang
sebenarnya terbayang pada kita. Kalau kita disuruh merinci tentang kucing kita dapat
menyebutkannya. Hal itu terjadi karena realitas kucing telah ada dalam otak, dan konsep
kucing telah ada pula dalam otak. Semuanya ini terjadi melalui pengalaman. Sebenarnya
sebelum seorang mengatakan kucing, telah ada lebih dahulu desakan jiwa untuk menyebut
kucing. Desakan ini bekerja sama dengan otak, didalam otak telah ada konsep tentang kucing,
deretan bunyinya pun telah ada, yakni kucing sehingga lahirlah lambang kucing seperti yang
kita dengar. Lambang kucing pun tidak berdiri sendiri, lambang itu harus dirangkaikan
dengan lambang yang lain sehingga terbentuklah kalimat yang lain. Proses menghubung-
hubungkannya pun harus masuk akal. Tidak mungkin lambang kucing didahului oleh kata
pohon, dan tidak mungkin lambang kucing diikuti oleh kata meja.
F. Pengertian Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari
apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer
Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah
yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah
hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam
Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau
kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara
ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah
suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting
situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50)
mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar
yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
G. Aspek-Aspek Makna
Aspek-aspek makna ialah hal yang mempengaruhi pengertian dan keutuhan
makna dari suatu ucapan dalam pembicaraan antara manusia satu dengan yang lainnya,
keutuhan makna tersebut merupakan perpaduan dari empat aspek yaitu pengertian
(sense), perasaan (feeling), nada (tone), tujuan (intension). Memahami aspek itu dalam
seluruh konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi
(Shipley, 1962;263).
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila
pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai
kesamaan bahasa yang diapakai atau disepakati bersama. Lyons mengatakan bahwa
pengertian adalah system hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain
diadalam kosa kata. Sedangkan Ulman mengatakan bahwa pengertian adalah
informasi lambang yang disampaikan kepada pendengar.
Contoh:
a. Celana ini pendek.
b. Celana ini tidak panjang.
Kalimat (a) dan (b) memiliki satu pengertian, meskipun kata “pendek” diganti dengan
ukuran kata “tidak panjang”.
2. Nilai Rasa
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap
pembicara terhadap hal yang dibicarakan. Nilai rasa yang berkaitan dengan makna
adalah kata-kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan
dorongan maupun penilaian. Jadi, setiap kata mempunyai makna yang berhubungan
dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan
perasaan.
Contoh:
“Saya akan pergi” (menunjuk pada dorongan).
“Engkau malas” (menunjuk pada penilaian).
Kata-kata: Saya, pergi, malas; mempunyai nilai rasa.
3. Nada
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan
pembicara. Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa.
Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan
sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
Contoh:
“Pulang !” (kata ini menunjukan bahwa pembicara jengkel atau dalam suasana
tidak ramah).
“Pulang ?” (kata ini menunjukan bahwa pembicara menyindir).
4. Maksud
Aspek maksud menurut Shipley merupakan maksud senang atau tidak senang, efek
usaha keras yang dilaksanakan.Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperative,
narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.
Contoh:
Orang berkata “Hai akan hujan”. Pembicara bermaksud:
a. Cepat-cepat pergi.
b. Bawa payung.
c. Tunda dulu keberangkatan.
Dan masih ada lagi kemungkinan yang tersirat.
H. Macam Aspek Makna dan Konsepnya
4. Makna Emotif
Makna emotif menurut Sipley (dalam Mansoer Pateda, 2001:101) adalah
makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai
atau terhadap sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan. Dicontohkan dengan kata
kerbau dalam kalimat Engkau kerbau., kata itu tentunya menimbulkan perasaan tidak
enak bagi pendengar. Dengan kata lain,kata kerbau tadi mengandung makna emosi.
Kata kerbau dihubungkan dengan sikap atau poerilaku malas, lamban, dan
dianggapsebagai penghinaan. Orang yang dituju atau pendengarnya tentunya akan
merasa tersimggung atau merasa tidak nyaman. Bagi orang yang mendengarkan hal
tersebut sebagai sesuatu yang ditujukan kepadanya tentunya akan menimbulkan rasa
ingin melawan. Dengan demikian, makna emotif adalah makna dalam suatu kata atau
kalimat yang dapat menimbulkan pendengarnya emosi dan hal ini jelas berhubungan
dengan perasaan. Makna emotif dalam bahasa indonesia cenderung mengacu kepada
hal-hal atau makna yang positif dan biasa muncul sebagai akibat dari perubahan tata
nilai masyarakat terdapat suatu perubahan nilai.
5. Makna Konotatif
Makna konotatif berbeda dengan makna emotif karena makna konotatif
cenderung bersifat negatif, sedangkan makna emotif adalah makna yang bersifat positif
(Fathimah Djajasudarma, 1999:9). Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi
perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau didengar. Misalnya, pada kalimat
Anita menjadi bunga desa. Kata nunga dalam kalimat tersebut bukan berarti sebagai
bunga di taman melainkan menjadi idola di desanya sebagai akibat kondisi fisiknya
atau kecantikannya. Kata bunga yang ditambahkan dengan salah satu unsur psikologis
fisik atau sosial yang dapat dihubungkan dengan kedudukan yang khusus dalam
masyarakat, dapat menumbuhkan makna negatif.
6. Makna Kognitif
Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur
bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan,
dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponenya (Mansoer Pateda, 2001:109).
Kata pohon bermakna tumbuhan yang memiliki batang dan daun denga bentuk yang
tinggi besar dan kokoh. Inilah yang dimaksud dengan makna kognitif karena lebih
banyak dengan maksud pikiran.
4. Makna Referensial
Referen menurut Palmer ( dalam Mansoer Pateda, 2001: 125) adalah hubungan
antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman
nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau
kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna
referensial mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu,
baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna referensial menurut uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga
dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat
hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan yang
dapat dijelaskan melalui analisis komponen.
5. Makna Piktorikal
Makna piktorikal menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001:122) adalah
makna yamg muncul akibat bayangan pendengar ataupembaca terhadap kata yang
didengar atau dibaca. Makna piktorikal menghadapkan manusia dengan kenyataan
terhadap perasaan yang timbul karena pemahaman tentang makna kata yang diujarkan
atau ditulis, misalnya kata kakus, pendengar atau pembaca akan terbayang hal yang
berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kakus, seperti kondisi yang
berbau, kotoran, rasa jijik, bahkan timbul rasa mual karenanya.