makalah rotd.pdf

60
MAKALAH FARMASI KLINIK REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI DISUSUN OLEH : KELOMPOK II KELAS B FAISAH REZKY ALIMUDDIN ANDI REZKIANI BETA ASIAH HAFID DEWI PURWANINGSIH VEFRI MUHAMMAD ACHSAN FIMELY IBRAZA SAKTI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: yustirahayu

Post on 28-Nov-2015

526 views

Category:

Documents


48 download

DESCRIPTION

reaksi obat yang tidak dikehendaki/ efek samping

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah ROTD.pdf

MAKALAH FARMASI KLINIK

REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II

KELAS B

FAISAH REZKY ALIMUDDIN

ANDI REZKIANI BETA ASIAH HAFID

DEWI PURWANINGSIH VEFRI

MUHAMMAD ACHSAN FIMELY

IBRAZA SAKTI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: Makalah ROTD.pdf

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1

BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 5

Definisi ...................................................................................... 5

Uraian ....................................................................................... 6

Penggolongan ........................................................................... 8

Epidemiologi.............................................................................. 10

Identifikasi ................................................................................. 11

Hubungan Reaksi dengan Obat yang Dicurigai ........................ 16

Kriteria untuk Mengidentifikasi ROTD ....................................... 18

Tinjauan Reaksi Obat yang Merugikan ..................................... 23

Pencegahan dan Penatalaksanaan ROTD ............................... 29

Peranan Apoteker ..................................................................... 37

Pengadaan suatu Program Surveilan ROTD ............................ 38

Perbandingan Berbagai Metode ................................................ 39

Pembenaran suatu Program ROTD .......................................... 40

Ciri Program ROTD ................................................................... 42

Manfaat Program Pemantauan Dan Pelaporan ROTD ............. 43

Penyakit yang Diimbas Obat dan Studi Kasus .......................... 45

BAB III : PENUTUP .................................................................................. 57

Kesimpulan ............................................................................... 57

Saran ........................................................................................ 57

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 58

Page 3: Makalah ROTD.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi obat yang tidak dikehendaki atau Drug related problems

merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien

akibat terapi obat potensial mengganggu keberhasilan terapi yang

diharapkan. Saat pasien menjalani suatu pengobatan, beberapa

memperoleh hasil yang tepat atau berhasil menyembuhkan penyakit yang

dideritanya. Namun tidak sedikit yang gagal dalam menjalani terapi,

sehingga mengakibatkan biaya pengobatan semakin mahal dan berujung

pada kematian.

Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) sering kali

menyebabkan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan layanan

kesehatan (health care). Morbiditas dan mortalitas karena penggunaan

obat merupakan masalah nyata yang sedang dihadapi farmasis klinis saat

ini. Telah diperkiraan bahwa 41% pasien yang menggunakan obat-obat

yang diterapkan pertama kali akan mengalami reaksi efek samping obat.

Dalam penelitian di Norwegia mengenai perbandingan DRPs di

kelompok pasien yang berbeda (dari instalasi kardiologi, geriatri,

respiratori dan reumatologi) diperoleh data bahwa kasus DRPs terjadi

dengan rata-rata kejadian di tiap instalasi yang berbeda. Sebanyak 1,9%

dilaporkan dari instalasi kardiologi; 2,0% berasal dari instalasi geriatrics;

2,1% dari instalasi pengobatan respiratori dan 2,3% berasal dari instalasi

rheumatology. DRPs yang paling sering ditemukan dalam kelompok

Page 4: Makalah ROTD.pdf

2

pasien adalah dosis yang non optimal (kardiologi, respiratori dan geriatrik)

dan membutuhkan obat tambahan (rheumatology).

Reaksi merugikan dapat membatasi potensi terapi suatu obat.

Suatu pengertian yang lebih baik dari keseimbangan antara manfaat relatif

terhadap resiko obat, memungkinkan klinisis membuat keputusan terapi

yang lebih baik.

Masalah reaksi obat yang merugikan dalam klinik tidak dapat

dikesampingkan begitu saja, oleh karena kemungkinan dampak negatif

yang terjadi, misalnya kegagalan pengobatan, timbulnya keluhan

penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau

iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien, pembiayaan

yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi,

memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit baru (dampak ekonomik).

Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya

interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan

upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini

kemungkinan akan timbul terjadinya efek samping dan tidak tercapainya

efek terapetik yang diinginkan.

Kepedulian akan hal ini sebenarnya telah ada sejak berabad-abad

yang lalu. Hipporrates, pada tahun 400 SM, telah mengingatkan bahwa

adanya bahaya yang menyertai banyak obat-obatan dan sebaiknya obat-

obatan tidak diresepkan kecuali kalau pasien telah diperiksa secara

Page 5: Makalah ROTD.pdf

3

lengkap. Bagaimanapun, penyelidikan terhadap ROTD tidak menjadi

biasa hingga abad ke-20.

Pada tahun 1956 dipasarkan obat talidomid, dalam naskah-naskah

promosinya dicantumkan bahwa talidomid diklaim sebagai obat ‘yang

sangat aman’. Lima tahun kemudian obat tersebut ditarik dari pasaran dan

lebih dari 8000 bayi di 46 negara telah lahir dengan kecacatan. Kasus

tragis ini telah berperan sebagai pemacu di dalam pendirian lembaga-

lembaga pengawas obat-obatan diseluruh dunia. Di antara lembaga-

lembaga tersebut yang pertama didirikan adalah Medicines Control

Agency (MCA) di inggris, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika

Serikat dan kemudian termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan

(Badan POM) di Indonesia. Tujuan utama organisasi-organisasi ini adalah

untuk mengevaluasi secara terus-menerus semua obat baru yang belum

beredar maupun yang sudah beredar di masyarakat.

Namun, selengkap apa pun metode yang digunakan untuk

mengevaluasi obat yang beredar, lembaga-lembaga ini tidak dapat

mencegah setiap kejadian ROTD. Uji klinis (clinical trials) yang dilakukan

sebelum obat-obatan beredar sering kali masih mempunyai kekurangan-

kekurangan di dalam ukuran, masa uji dan populasi pasiennya yang tidak

mengungkapkan semua kemungkinan reaksi efek samping suatu obat.

Oleh karena itu, tenaga kesehatan (dokter, apotek, perawat) mempunyai

peranan penting dalam pencegahan dan penanganan ROTD di dalam

praktik sehari-hari.

Page 6: Makalah ROTD.pdf

4

ROTD dapat terjadi setiap waktu obat digunakan. Untuk

memastikan apakah gejala seorang pasien adalah berkaitan dengan obat,

apoteker yang terlibat dalam pemantauan ROTD harus mempunyai

pengetahuan patofisiologi, uji laboratorium, dan farmakoterapi. Selain itu,

apoteker harus mampu memperoleh informasi secara langsung dari

pasien, dari dokter pasien, keluarga, dan dari kartu pengobatan pasien.

Jika suatu ROTD dicurigai, apoteker perlu memahami farmakologi,

interaksi, dan efek samping obat yang dicurigai. Informasi ini akan

memungkinkan apoteker membuat suatu keputusan terapi yang rasional

tentang pengkajian, signifikansi, dan manajemen ROTD.

ROTD adalah penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan.

Namun, diperkirakan bahwa paling sedikit setengah dari semua ROTD

dapat dihindari. Hal ini menyajikan suatu tantangan yang besar kepada

semua pelaku pelayanan kesehatan, untuk menyempurrnakan perawatan

kesehatan dengan memberikan manfaat terapi obat modern sementara

berusaha mengurangi resiko.

Apoteker berada dalam suatu posisi yang unggul untuk memenuhi

tantangan ini, disebabkan kedalaman pengetahuan mereka pada bidang

farmakologi, farmakoterapi, farmakokinetik, toksikologi, dan peranan

mereka dalam menyeleksi, mendispensing, dan memantau terapi obat.

Tujuan dari banyak kegiatan farmasi klinik sekarang ini adalah mencegah

ROTD, untuk memaksimalkan terapi obat.

Page 7: Makalah ROTD.pdf

5

BAB II

PEMBAHASAN

II. 1 Defenisi

Obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan yang

dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah,

mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala

penyakit, luka, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau

hewan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan

manusia. Masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat

(Drug Related Problem) salah satunya berkaitan dengan penggunaan

reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendefenisikan ROTD

sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan

serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan

profilaksis, diagnosis, dan terapi. Perlu digarisbawahi bahwa ROTD terjadi

pada dosis normal, bukan karena kelebihan dosis ataupun toksisitas ,

maupun penyalahgunaan obat.

Menurut Karch dan Lasagna, Reaksi Obat Tidak Dikehendaki

(ROTD) didefenisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang

berbahaya dan tidak dimaksudkan atau terjadi pada dosis yang digunakan

pada manusia untuk profilaksis, diagnosis, atau terapi, tidak termasuk

gagal mencapai kegunaan yang dimaksudkan.

Page 8: Makalah ROTD.pdf

6

Adapun menurut Food and Drug Administration, ROTD adalah

setiap kejadian merugikan yang berkaitan dengan penggunaan suatu obat

pada manusia. Apakah dianggap atau tidak berkaitan dengan obat

termasuk hal berikut :Suatu kejadian merugikan yang terjadi pada waktu

penggunaan suatu obat dalam praktik profesional , kejadian merugikan

yang terjadi lewat dosis obat, apakah kecelakaan atau disengaja, kejadian

merugikan yang terjadi dari penyalahgunaan obat, kejadian merugikan

yang terjadi dari penghentian obat dan setiap kegagalan signifikan dari

kerja farmakologis yang diharapkan.

II. 2 Uraian ROTD

Dalam abad terakhir banyak kemajuan telah dibuat untuk

menemukan, menguji, dan memasarkan obat-obatan yang

menyembuhkan penyakit dan meredakan kesakitan. Meskipun setiap

upaya telah dilakukan oleh Industri Farmasi dan lembaga pengawasan

pemerintah terhadap keamanan dan keefektifan obat yang dipasarkan,

semua obat mempunyai kemungkinan menyebabkan kerugian/kerusakan

dalam individu yang rentan. Semua yang memanufaktur, mendispensing,

menulis, mengawasi, dan menggunakan obat mempunyai tanggungjawab

untuk memastikan penggunaan yang tepat dan mengurangi kemungkinan

penyakit yang diimbas oleh obat.

ROTD dapat berentang dari reaksi relatif minor sampai reaksi hebat

bergantung pada ROTD yang toksisitasnya dapat atau tidak diperkirakan ,

digolongkan dalam Tipe A, Tipe B, Tipe C, Tipe D, atau Tipe E.

Page 9: Makalah ROTD.pdf

7

Reaksi Tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder

yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat

seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau Propranolol mengimbas

Pemblok Jantung. Reaksi ini sering kali bergantung dosis atau mungkin

disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan, Interaksi obat-obat, atau

obat-makanan. Reaksi Tipe A bertanggungjawab atas 70-80 % dari ROTD

dan jarang mengancam kehidupan. Walaupun mereka dapat

mengakibatkan ketidakmampuan (cacat) yang signifikan pada pasien.

Reaksi yang diketahui dan dapat dicegah ini sering memberikan ini sering

memberikan respon terhadap perubahan dalam dosis atau jadwal

pemberian serta menunjukkan kesempatan terbesar untuk mengurangi

kesakitan dan kematian. Reaksi Tipe A dapat terjadi pada setiap orang.

Reaksi Tipe B termasuk reaksi idiosinkratik dan reaksi imunologik

atau reaksi alergi. Reaksi alergik mencakup berbagai tipe berikut: Tipe 1

Anafilaktik (Reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera

(hipersensitivitas), Tipe II sitotoksik, Tipe III Penyakit serum, Tipe IV

Alergik tertunda. Contoh dari suatu reaksi Idiosinkratik termasuk anemia

Aplastik (Kerusakan sumsum tulang menyebabkan berkurangnya sel

darah merah) dengan Kloramfenikol atau gejala Stevens-Johnshon

dengan fenitoin. Berbagai reaksi tersebut adalah jarang , tidak dapat

diperkirakan dan kemungkinan besar serius (berat). Reaksi itu bukan

perluasan dari kerja farmakologis obat dan umumnya tidak bergantung

Page 10: Makalah ROTD.pdf

8

pada dosis dan rute pemberian. Reaksi tipe B hanya terjadi pada

beberapa orang.

Reaksi Tipe C (berkelanjutan) disebabkan karena penggunaan obat

yang lama misalnya analgesik, nefropati, dan diskinesia tardif. Reaksi Tipe

D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.

Reaksi Tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena

ketidakcukupan adrenokortikal.

Beberapa golongan obat tertentu secara rutin berhubungan dengan

ROM. Dalam studi ditemukan bahwa digoksin, asetosal, warfarin, dan

prednison adalah beberapa zat yang paling sering berkaitan dengan

ROTD.

II. 3 Penggolongan ROTD

Reaksi obat yang tidak diinginkan pada umumnya dibagi menjadi

dua kelompok utama yaitu reaksi tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A

(Augmented) merupakan reaksi yang muncul secara berlebihan di mana

reaksi ini terkait dengan dosis obat yang diminum. Sedangkan reaksi tipe

B (Bizarre) merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali

dengan dosis.

� Reaksi tipe A

Reaksi tipe A merupakan aksi farmakologis yang normal tetapi

meningkat. Reaksi ini kemudian dapat dibagi lagi menjadi reaksi yang

dihasilkan dari aksi farmakologis primer atau sekunder. Bradikardi karena

pemakaian penghambat adrenoseptor beta (Beta blocker) adalah Contoh

Page 11: Makalah ROTD.pdf

9

reaksi karena aksi farmakologis primer, sedangkan timbulnya mulut kering

karena pemakaian antidepresi trisiklik merupakan contoh aksi

farmakologis sekunder yang disebabkan aktivitas antimuskarinik. Reaksi

tipe A dapat diramalkan dari farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi

umumnya tergantung pada dosis. Frekuensi terjadinya cukup sering,

namun jarang sekali menimbulkan efek yang serius.

Melalui pengurangan dosis biasanya sudah dapat menghilangkan

ROTD, Karena reaksi ini sering terjadi maka ROTD tersebut juga sering

dijumpai selama masa uji klinis. Namun adanya efek yang tertunda maka

beberapa reaksi tidak akan muncul sampai berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun setelah dipasarkan. Hal ini terjadi dengan ROTD yang

muncul pada pemakaian jangka panjang kontrasepsi kombinasi oral.

� Reaksi tipe B

Keanehan yang terjadi pada reaksi tipe B ini tidak berhubungan

dengan farmakologi obat pada umumnya, misalkan hemolisis dengan

metildopa atau trombositopenia dengan penghambat ACE (Angiotensin-

Converting Enzyme inhibitors). Reaksi ini terjadi tanpa terkait dengan

dosis, namun berkaitan dengan sistem metabolisme obat dan sistem imun

tubuh penderita. Reaksi ini lebih jarang di badingkan reaksi tipe A. Namun

sering kali menimbulkan efek yang lebih serius dan bahkan mematikan.

Reaksi seperti ini sangat sulit untuk bisa diramalkan dan hanya terjadi

pada individu yang rentan terhadap reaksi tersebut. Kebanyakan informasi

yang ada didapatkan dari kegiatan “Pharmacovilagilance"

Page 12: Makalah ROTD.pdf

10

Contoh yang umum terjadi adalah syok anafilaksis setelah

pemakaian antibiotika. Contoh lainnya adalah hipertermia ganas setelah

pemberian anestesi, anemia aplastik karena pemakaian kloramfenikol.

Reaksi tipe B ini hanya bisa dengan jalan menghentikan pemberian obat

kepada pasiennya.

Tabel ciri-ciri ROTD tipe A dan B

Tipe A Tipe B � Dapat diramalkan (dari

pengetahuan farmakologisnya)

� Tidak dapat diramalkan (dari pengetahuan farmakologisnya)

� Tergantung dosis

� Jarang tergantung dosis

� Morbiditas tinggi

� Morbiditas rendah

� Mortalitas rendah

� Mortalitas tinggi

� Dapat ditangani dengan pengurangan dosis

� Dapat ditangani hanya dengan penghentian pengobatan

� Angka kejadian tinggi

� Angka kejadian rendah

II. 4 Epidemiologi

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengamati kejadian

pada ROTD pada pasien yang menjalani pengobatan. Secara rata-rata

telah ditemukan bahwa 5% pasien yang masuk rumah sakit adalah karena

ROTD. Disamping itu pada pasien yang dirawat dirumah sakit , 10-20%

diantaranya mengalami ROTD selama menjalani perawatan. Akibatnya

dari mengalami ROTD tersebut maka sekitar 50% dari pasien ini akan

tinggal lebih lama di rumah sakit.

Page 13: Makalah ROTD.pdf

11

Namun sangat sulit untuk memperkirakan secara tepat kejadian

yang benar-benar merupakan ROTD. Hal ini disebabkan adanya

perbedaan dalam pendeteksian dan pemantauannya serta adanya efek-

efek subjektif seperti mual dan sakit kepala.

II. 5 Identifikasi ROTD

Hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi ROTD ini

adalah bahwa sering kali sulit untuk membuktikan suatu obat mempunyai

hubungan penyebab dengan gejala yang dialami pasien. Sering kali

ROTD tampak seperti penyakit yang lain dan banyak gejala yang terkait

dengan ROTD muncul pada pasien yang sehat. Namun adanya dugaan

bahwa suatu obat menyebabkan ROTD telah cukup untuk melakukan

suatu tindakan.

Beberapa pasien mungkin dapat membedakan sendiri suatu ROTD

dari gejala-gejala lain yang mereka alami. Namun di dalam

mengidentifikasikan apakah gejala tersebut termasuk ROTD atau bukan

merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh farmasis. Kumpulan

beberapa informasi yang relevan berkaitan dengan gejala tersebut penting

untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Bagian berikut ini akan

mempertimbangkan informasi apa yang diperlukan dan bagaimana

menggunakannya dalam mengembangkan sebuah kesimpulan tentnag

gejala yang tampak.

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan

produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah

Page 14: Makalah ROTD.pdf

12

menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang

disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan

baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat

membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin,

dan reaksi anafilaktik merupakan contoh ROTD yang potensial sangat

berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin

merupakan contoh lain reaksi ROTD obat yang ringan. Karena pada

umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering terjadi

dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan

pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.

II. 5. 1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi ROTD

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya

reaksi obat yang tidak dinginkan yaitu: polifarmasi, jenis kelamin, kondisi

penyakit yang di derita, usia, ras, dan poliformisa genetika.

1. Polifarmasi

Kejadian-kejadian ROTD tampak muncul secara eksponensial jika

jumlah obat yang digunakan juga bertambah banyak. Peresepan

(prescribing) semacam ini sering terjadi pada penderita lanjut usia atau

pada penderita yang mengalami beberapa penyakit sekaligus. Kedua

kelompok penderita ini sangat berisiko untuk mengalami ROTD

tertentu.

Page 15: Makalah ROTD.pdf

13

2. Jenis Kelamin

Reaksi obat yang tidak dikehendaki lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan pria. Namun belum ada penjelasan tentang mengapa hal

ini bisa terjadi. Contoh dalam praktik dapat dilihat bahwa wanita lebih

cenderung mengalami ROTD akibat digoksin, kaptopril.

3. Kondisi penyakit yang di derita

Adanya penyakit lain yang menyertai dapat mempengaruhi respons

obat dan munculnya ROTD secara bermakna melalui perubahan

proses farmakokinetika atau kepekaan jaringan. Penderita yang

mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati akan mengalami risiko

ROTD yang lebih tinggi dari obat – obat yang dieliminasi melalui rute

ini. Keadaan hamil dan melahirkan sering kali juga mempengaruhi

respon obat. Penyakit lain juga mempengaruhi penderita terhadap

terjadinya ROTD, misalnya penderita yang positif mengidap HIV atau

AIDS yang menggunakan kotrimoksazol. Penderita yang berada dalam

keadaan sakit kritis juga akan berbeda dalam menangani obat yang

ada dalam tubuhnya.

Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh dan sebagai akibatnya

farmakokinetik dan farmakodinamik banyak obat juga mengalami

perubahan. Variasi perbedaan dalam respon farmakologi dapat

disebabkan oleh perubahan eliminasi atau metabolisme obat atau

dipengaruhi oleh status patologik lain. Perubahan patologik dalam

tubuh dapat menyebabkan sistem organ tertentu menjadi lebih sensitif

Page 16: Makalah ROTD.pdf

14

terhadap kerja farmakologi suatu obat. Misalnya suatu obat

antimuskarinik dapat ditoleransi baik oleh laiki-laki muda sehat, tetapi

dapat menyebabkan retensi (penimbunan) urin dalam seorang laki-laki

tua dengan hipertropi prostatik (pembesaran prostat).

4. Usia

Pasien lanjut usia akan lebih sering mengalami ROTD dibandingkan

pasien yang lebih muda. Hal ini dimungkinkan antara lain karena pasien

lanjut usia lebih sering mendapatkan terapi obat. Namum, hal ini satu

satunya penyebab. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ROTD

pada lanjut usia adalah perubahan farmakokinetika: absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi obat, yang faktor-faktor tersebut sangat

tergantung pada kondisi organ-organ tubuh penderita. Neonatus,

khususnya yang prematur, juga beresiko lebih tinggi untuk mengalami

ROTD. Pada tahap neonatus ini enzim-enzim yang terlibat dalam

metabolisme dan distribusi obat masih belum berkembang sempurna.

Oleh karena itu obat–obat dengan indeks terapi sempit perlu digunakan

dengan lebih berhati-hati. Obat-obat lain yang berbahaya bagi neonatus

termasuk morfin, kloramfenikol, golongan barbiturat, dan sulfonamida.

5. Ras dan polimorfisa genetika

Faktor keturunan telah ditunjukkan mempengaruhi individu terhadap

peningkatan toksisitas obat, seperti suksinilkolin, isoniazid, inhibitor

MAO dan obat-obat lain. Pasien beragam dalam kemampuan mereka

untuk membiotransformasi obat-obat ini, dan ini dapat mengakibatkan

Page 17: Makalah ROTD.pdf

15

peningkatan konsentrasi serum dengan akibat toksisitas. Kekurangan

glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) adalah contoh lain dari

peranan pengaruh genetik pada kesakitan yang diimbas obat. Pasien

dengan jumlah enzim yang kurang ini, dapat mengalami anemia

hemolitik (rentang hidup eritrosit pendek) yang amat sangat pada

pemaparan obat oksidan, seperti dapsone, sulfapiridin atau primakuin.

Banyak ROTD yang semula diduga sebagai ROTD tipe B ternyata

disebabkan faktor genetik. Perbedaan ras dan genetik mungkin dapat

mempengaruhi proses pengobatan di dalam tubuh. Sebagai contoh,

perbedaan secara genetik tampak dalam laju metabolisme pada

banyak obat sehingga meskipun obat diberikan dengan dosis yang

sama dalam mg/kg akan menghasilkan variasi kadar yang sangat besar

di dalam plasma pada pasien yang berbeda. Beberapa jenis ras juga

akan mempunyai resiko untuk mengalami ROTD yang lebih besar

dibanding dengan ras yang lain. Misalnya orang Amerika (yang berasal

dari Afrika) dan orang Mediteranean mempunyai resiko terjadinya

hemolisis yang lebih tinggi bila menggunakan obat-obatan golongan

sulfon (misalnya dapson), 4-kuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, asam

nalidiksat), antimalaria (primakuin, kuinin) dan aspirin. Hal ini

disebabkan lebih banyak orang dari golongan ras tersebut mengalami

defisiensi enzim glukosa-6-fosfatdehidrogenase (G6PD).

Page 18: Makalah ROTD.pdf

16

II. 6 Hubungan Reaksi dengan Obat yang Dicurigai (Derajat

Kepastian)

Guna menetapkan kemungkinan reaksi yang dicurigai dan

disebabkan oleh suatu obat tertentu, adalah mungkin berguna

menetapkan suatu dengan kepastian berdasarkan pedoman. Karch dan

Lasgna membagi atas lima derajat kepastian, yaitu:

1. Pasti (Definite)

- Hubungan sementara yang jelas antara pemberian obat dan reaksi.

Urutan waktu pemberian obat dan terjadinya reaksi adalah wajar.

- Adanya penegasan laboratorium dan/atau

- Kejadian berhenti dengan menghentikan obat

- Kejadian kembali, dengan pemberian obat itu kembali

- Kejadian itu berkaitan dengan apa yang diketahui tentang obat.

ROTD pasti adalah suatu reaksi yang mengikuti rentetan

sementara yang wajar dari pemberian obat atau konsentrasi obat telah

ditetapkan dalam cairan tubuh atau jaringan; yang mengikuti suatu pola

respons dan diketahui dari obat yang dicurigai; dan yang telah

ditegaskan dengan perbaikan setelah penghentian obat (tarik

tantangan/ dechallenge) dan timbulnya kembali reaksi dengan

pemaparan/ pemberian obat (tantang kembali/ rechallenge)

2. Dapat Mungkin (Probable)

- Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar

- Berkaitan dengan apa yang diketahui dari obat itu

Page 19: Makalah ROTD.pdf

17

- Perbaikan setelah penghentian obat jika tidak ada obat lain yang

dihentikan

- Tidak secara wajar diterangkan oleh penyakit pasien

- Suatu reaksi yang tidak biasa dari obat dengan tidak hadirnya faktor

lain

ROTD yang dapat mungkin (possible) adalah suatu reaksi yang

mengikuti rentetan sementara yang wajar dari pemberian obat, yang

mengikuti suatu pola respons yang diketahui dari obat yang dicurigai;

yang dipastikan dengan penghentian obat (dechallenge), dan yang

tidak dapat diterangkan dengan layak oleh karakteristik yang diketahui

dari status klinik pasien.

3. Mungkin (Possible)

- Urutan waktu pemberian dan terjadinya reaksi adalah wajar

- Berkaitan dengan apa yang diketahui dari obat itu

- Dapat merupakan akibat penyakit pasien atau terapi lain

- Sembuh setelah penghentian obat

- Hubungan sementara antara pemberian obat dan reaksi tidak jelas

ROTD yang mungkin adalah suatu reaksi yang mengikuti suatu

pola respons yang diketahui dari obat yang dicurigai, tetapi yang telah

dihasilkan oleh status klinik pasien atau cara lain dari terapi yang

diberikan pada pasien.

Page 20: Makalah ROTD.pdf

18

4. Bersyarat (Conditional)

ROTD bersyarat adalah :

- Suatu reaksi yang mengikuti rentetan sementara yang wajar dari

pemberian obat

- Suatu reaksi yang tidak mengikuti pola respons yang telah diketahui

dari obat yang dicurigai

- Namun, tidak dapat dijelaskan dengan layak oleh karakteristik yang

diketahui dari status klinik pasien

Kategori ini digunakan untuk mencegah hilangnya reaksi yang

dicurigai terdahulu dan membantu mengidentifikasi ROTD yang baru.

5. Sangsi/ Ragu-Ragu (Doubtful)

ROTD yang meragukan ialah setiap reaksi yang tidak memenuhi

kriteria tersebut di atas.

II. 7 Kriteria Untuk Mengidentifikasi ROTD

Begitu ada gejala yang diduga sebagai ROTD, rincian tentang

pengobatan pasien perlu juga dimiliki termasuk obat bebas dan obat

bebas terbatas (over-the-counter) serta obat tradisional, jadi tidak hanya

obat–obatan yang diresepkan oleh dokter saja. Ketika menanggapi gejala

yang disampaikan oleh pasien terdapat beberapa hal yang dapat

dinyatakan dengan tujuan untuk mengindentifikasi apakah terdapat reaksi

yang berkaitan dengan kemungkinan adanya ROTD. Hal hal tersebut

adalah waktu, dosis, sifat permaalahan, pengalaman, penghentian/

keterulangan.

Page 21: Makalah ROTD.pdf

19

1. Waktu

Kapan kejadian ROTD tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah

minum obat ataukah berselang dalam waktu yang lama? Apakah reaksi

tersebut terkait dengan pemakaian obat? Relative mudah untuk

mengenali suatu ROTD yang terjadi segaera setelah pemakaian obat.

Namun, bila telah berlangsung beberapa minggu, hubungan antara

suatu obat dan ROTD menjadi lebih sulit ditentukan. Banyak reaksi

terjadi diawal masa pengobatan, misalnya anafilaksis reaksi yang

terjadi karena kecacatan enzim genetik, bahkan terjadi pada pemberian

dosis pertama. Kemungkinan lain, suatu reaksi penting dapat

berkembang dengan tanpa diduga dan bebahaya dalam periode

pengobatan yang panjang (misal katarak yang disebabkan

kortikosteroid, fibrosis retroperitoneal dari metisergid). Reaksi lainnya

(missal peritonitis, sklerosing karena pemakaian praktolol). Hanya akan

muncul dalam waktu yang lama setelah pemakaian obat yang

dihentikan. Beberapa reaksi (missal kanker, retinopati klorokuin dan

fibrosis retroperitoneal) dapat muncul beberapa bulan atau tahun

setelah terpapar obat. Pada beberapa kasus, dimungkinkan bahwa

timbulnya ROTD terjadi setelah pemakaian obat tersebut dihentikan,

seperti pada gejala putus obat bensodiazepin (bensodiazepin with

drawel syndrome). Gejala putus obat ini dapat terjadi setiap saat

sampai dengan tiga minggu setelah penghentian bensodiazepin

bermasa kerja lama (long acting), namun biasa juga terjadi beberapa

Page 22: Makalah ROTD.pdf

20

jam bila menggunakan bensodiazepin bermasa kerja singkat (sort

acting). Gejala putus obat ditandai dengan insonmnia, anseitas,

kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, tremor,

berkeringat, telinga mendengung dan gangguan perpesi. Beberapa

gejala dapat berlangsung sampai beberap minggu atau bulan setelah

penghentian bensodiazepin.

2. Dosis

Dosis yang diberikan untuk sebagian besar menentukan apakah

seorang pasien akan mengalami toksisitas. Bagaimana seorang pasien

tertentu mengabsorbsi, memetabolisme, dan mengekskresi suatu obat

(farmakokinetik) adalah faktor penentu utama yang lain dari efek yang

dihasilkan. Perubahan dalam proses ini dapat menyebabkan

konsentrasi tinggi yang abnormal pada obat, pada tempat reseptor dan

mengakibatkan efek yang berlebihan. Misalnya, jika seseorang

memberikan dosis normal dari antibiotik aminoglikosida pada seorang

pasien dengan laju filtrasi glomerulus yang telah berkurang, maka ada

kemungkinan bahwa akumulasi obat akan terjadi dengan akibat

toksisitas ginjal. Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan

kondisi tertentu terlalu besar? Dalam hal ini sebagai contoh adalah

pasien lanjut usia yang mengalami gangguan eliminasi obat. Dapat juga

terjadi bahwa pemakaian obat yang kedua akan meningkatkan kadar

obat pertama dalam didalam darah, misalnya pada teofilin yang dipakai

bersama simetidin, yang merupakan penghambat enzim. Metabolisme

Page 23: Makalah ROTD.pdf

21

teofilin akan dihambat oleh simetidin sehingga kadar teofilin dalam

darah akan meningkat dan akhirnya muncul ROTD yang disebabkan

oleh teofilin.

3. Sifat Permasalahan

Apakah ciri-ciri reaksi yang diduga sebagai ROTD tersebut sama

dengan sifat farmakologi obatnya? Hal ini akan membantu kita didalam

mengidentifikasi sebagai ROTD tipe A.

4. Pengalaman

Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah

dilaporkan dipustaka? Pustaka yang dapat dijadikan sebagai acuan

antara lain Meyler’Slide Effects of Drugs ,British National Formulary :

The Drug Complete Reference, AHFS Drug Information. Tentu saja

tidak semua ROTD akan tercatat dalam pustaka dan sangat

dimungkinkan akan muncul suatu reaksi yang baru atau belum

dilaporkan. Oleh karena itu sebagai seorang farmasis anda harus siap

untuk menghadapi dan mengatasinya bila terjadi dalam praktik.

Disamping itu bila dijumpai suatu ROTD yang baru muncul atau ROTD

berkaitan dengan obat yang baru dipasarkan diharapkan untuk

dilaporkan kepada lembaga terkait, seperti Badan POM. Selain itu

penting juga untuk memperhatikan tempat-tempat yang sering

mengalami ROTD sejumlah gambar telah tersedia sebagai panduan

cepat untuk melihat lokasi terjadinya ROTD dan obat-obatan yang

menjadi penyebabnya.

Page 24: Makalah ROTD.pdf

22

5. Penghentian/ Keterulangan ( “ dechallenge/ rechallenge “ )

Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika

disuatu hari kelak obat yang menimbulkan ROTD tersebut digunakan

kembali, apakah reaksinya muncul kembali?. Apabila gejala ROTD

berhenti setelah pemakaian obat dihentikan dan terjadi kembali pada

pemakaian obat berikutnya, maka dapat dikatakan bahwa terdapat

hubungan penyebab timbulnya ROTD tersebut. Namun, tidak semua

ROTD akan berhenti seketika setelah pemakaian obat dihentikan dan

beberapa reaksi mungkin tidak dapat berubah (irreversible).

Setelah informasi-informasi diatas terkumpul, maka diperlukan

suatu metode yang rasional untuk dapat menetapkan suatu kesimpulan

tentang kemungkinan adanya suatu ROTD. Salah satu pendekatan yang

sistematis adalah dengan menggunakan Alogaritma.

Sebagai contoh dalam menggunakan Alogaritma, misalkan seorang

pasien mengeluh tentang dyspepsia. Pasien tersebut telah minum

Ibuprofen selama setahun dan gejala dyspepsia hanya muncul setelah

Ibuprofen diminum. Dimulai dari pertanyaan yang pertama pada

Alogaritma, tampak bahwa gejala yang muncul terkait dengan waktu

pemakaian obat. Kedua, pada saat pengobatan dihentikan gejalanya juga

hilang. Ketiga, gejalanya berkurang pada masa penghentian pemakaian

obat.

Dari tahap keempat dan kelima dapat dipastikan bahwa gejala

muncul kembali pada penggunaan obat selanjutnya. Dapat disimpulkan

Page 25: Makalah ROTD.pdf

23

bahwa terdapat hubungan penyebab yang sangat tinggi antara pemakaian

obat dan gejala yang muncul.

Algoritma yang dipakai oleh Farmasis Food and drug Administration AS

untuk mengidentifikasi ROTD.

II. 8 Tinjauan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki

Tidak ada mawar terapi yang tidak mempunyai duri. Duri obat

modern adalah reaksi merugikan. Pembuatan keputusan terapi adalah

peranan menyeimbangkan manfaat yang mungkin dari obat modern,

versus bahaya yang mungkin yang dapat disebabkannya. Untuk

Page 26: Makalah ROTD.pdf

24

mengevaluasi secara tepat rasio manfaat terhadap resiko ini, semua

manfaat dan semua resiko harus dikaji. Untuk alasan ini, praktisi klinik

harus secara terus-menerus mengevaluasi pasien terhadap duri terapi.

II. 8. 1 Akibat ROTD

Telah dibuktikan ialah meningkatnya kesakitan dan kematian.

Pasien yang mengalami ROTD juga menderita akibat ekonomi yang

disebabkan masuk rumah sakit, meningkatnya waktu tinggal di rumah

sakit dan pengobatan komplikasi.

ROTD yang terjadi dapat memperburuk penyakit dasar yang akan

diobati, menambah permasalahan baru dan bahkan kematian. Keracunan

dan syok anafilaktik merupakan contoh ROTD yang berat yang dapat

menyebabkan kematian, sedangkan sebagai contoh yang ringan adalah

rasa gatal dan mengantuk. Jenis ROTD sangatlah banyak, dari yang

dapat diperkirakan akan timbul sampai yang tidak kita perkirakan yang

potensial membahayakan keselamatan jiwa pasien.

ROTD dapat digolongkan atas beberapa subgolongan, yaitu (1)

Reaksi yang terjadi dengan frekuensi yang cukup, seperti diharapkan, di

antisipasi, dan barang kali dapat dicegah; (2) Reaksi yang terjadi sangat

jarang dan diketahui sebagai idiosinkratik atau reaksi hipersensitivitas dan

(3) Reaksi yang sebelumnya belum diuraikan. Jelas golongan terakhir

perlu didokumentasikan dan dilaporkan sebagai kontribusi pada

pemahaman obat.

Page 27: Makalah ROTD.pdf

25

II. 8. 2 Kebutuhan untuk Pemantauan Terus Menerus

Banyak klinisis menganggap bahwa keamanan dan efikasi dari

semua obat baru telah ditetapkan sebelum persetujuan Badan POM untuk

dipasarkan, tetapi kebanyakan obat disetujui untuk dipasarkan setelah

studi fase III yang terbatas dalam ukuran populasi (biasanya antara 700

dan 3000 pasien). Hanya reaksi yang paling umum akan terdeteksi dalam

ukuran sampel ini; sedang ROTD yang tidak umum atau jarang akan lewat

tidak terdeteksi. Studi fase III biasanya tidak menyertakan pasien dengan

penyakit atau obat lain, durasi jangka pendek (biasanya satu sampai dua

tahun), dan tidak secara lengkap, merefleksikan bagaimana obat akan

digunakan dalam praktek klinik. Juga, apabila obat yang telah disetujui

digunakan untuk indikasi baru dalam populasi pasien yang berbeda,

ROTD yang belum dilaporkan sebelumnya dapat terjadi. Tikrinafen dan

benoksaprofen adalah contoh obat yang ditarik dari perdagangan setelah

persetujuan FDA, sebab ROTD terdeteksi setelah digunakan dalam suatu

populasi umum.

II. 8. 3 Pelaporan Spontan

Untuk alasan tersebut di atas, diperlukan surveilan obat

pascapemasaran obat terus menerus setelah suatu obat disetujui untuk

penggunaan dalam populasi umum. Diharapkan agar praktisi individual

mengkaji penggunaan obat guna mendeteksi, pengkajian, dan pelaporan

ROTD. Pelaporan individu secara spontan sering kali menyiagakan semua

ROTD yang secara klinik penting, tetapi tidak dilaporkan. Pelaporan

Page 28: Makalah ROTD.pdf

26

spontan dapat menggiring ke studi yang lebih rinci untuk menetapkan

kejadian, mekanisme, dan signifikansi suatu ROTD tertentu.

Sistem pelaporan spontan adalah system pelaporan formal yang

dirancang untuk mencatat, mengolah, dan menganalisis terjadinya reaksi

obat yang tidak diinginkan. Sistem ini pada umumnya dipakai untuk

mengidentifikasi munculnya reaksi-reaksi yang baru muncul. Apabila

hanya seorang saja yang mengamati ROTD terkait dengan pemakaian

obat tertentu, maka reaksi yang diamatinya tersebut bisa saja kurang

dapat dipertimbangkan. Namun, jika beberapa pelapor melaporkan reaksi

yang sama kepada suatu pusat yang menampung pelaporan ROTD, maka

reaksi tersebut dapat dijadikan pertimbangan akan tingkat keseriusannya.

Terdapat beberapa alasan mengapa reaksi obat yang tidak

diinginkan perlu dilaporkan, antara lain pada saat obat berada pada fase

uji klinis, jumlah subjek yang dilibatkan dalam penelitian tersebut terlalu

kecil dibandingkan dengan jumlah calon pemakai obat tersebut di

kemudian hari setelah dipasarkan sehingga masih memungkinkan untuk

timbulnya reaksi yang tidak terdeteksi selama uji klinis dilakukan. Sebagai

subjek penelitian yang dilibatkan umumnya adalah subjek normal,

sedangkan golongan-golongan tertentu seperti anak-anak, wanita hamil,

lanjut usia, pasien dengan kondisi komplikasi tidak pernah dilibatkan

dalam uji klinis tersebut. Di samping itu perlu juga diwaspadai munculnya

ROTD yang tertunda setelah pemakaian obat.

Page 29: Makalah ROTD.pdf

27

Pelaporan spontan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu

dilaporkan sebagai artikel dalam suatu jurnal, dilaporkan ke produsennya,

dilaporkan secara lokal ditiap-tiap rumah sakit. Di Indonesia telah dibuat

metode pelaporan melalui formulir Monitoring Efek Samping Obat yang

dikelola oleh BPOM.

Tujuan utama MESO adalah untuk mengetahui sedini mungkin

setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi

di Indonesia untuk mencegah meluasnya kejadian efek samping serupa.

Cara pelaksanaan MESO di Indonesia adalah dengan cara pelaporan

sukarela (voluntary reporting), dengan menggunakan formulir pelaporan

(form kuning) yang disebarluaskan kepada para pelapor (tenaga

kesehatan). Setiap pelaporan akan dievaluasi dan dianalisa oleh Panitia

MESO Nasional, kemudian diteruskan ke Pusat Kolaborasi Internasional

WHO mengenai MESO serta memberikan umpan balik kepada pelapor.

Masalah klasik yang sering kali dihadapi dalam pelaporan spontan

ini adalah rendahnya jumlah laporan kejadian ROTD yang terkumpul

(under reporting). Di Negara maju seperti Inggris, untuk reaksi yang serius

hanya 10% saja yang dilaporkan kepada Committee on Safety of

Medicines dan untuk ROTD yang ringan hanya 2-4% yang dilaporkan. Hal

ini disebabkan sistem pelaporan yang dilakukan di Inggris (‘yellow card

system’) sukarela berdasarkan kesadaran tenaga kesehatan yang

melaporkan. Pelaporan yang sukarela ini sama halnya yang terjadi di

Indonesia. Masalah under reporting ini akan sangat kecil kemungkinan

Page 30: Makalah ROTD.pdf

28

terjadinya di negara-negara yang mewajibkan melaporkan setiap ROTD

yang dijumpai dalam praktek, seperti yang terjadi di Perancis, Norwegia,

dan Swedia.

Masalah under reporting ini menyebabkan tidak tersedianya data

tentang jumlah pasien sebenarnya yang mengalami reaksi tertentu, di

samping itu juga tidak dapat diketahui jumlah pasien yang menggunakan

atau telah terpapar suatu obat tertentu. Tanpa data tersebut maka akan

sangat sulit untuk menentukan tingkat kejadian suatu reaksi yang diduga

sebagai penyebab ROTD tersebut.

Untuk meminimalkan terjadinya under reporting tersebut dapat

dilakukan sistem pelaporan lokal sebagai alternatif, terutama di rumah

sakit. Sistem pelaporan ini sebaiknya dikoordinir oleh farmasis yang

bekerja di instalasi farmasi, namun akan lebih tepat lagi bila ditangani oleh

farmasis yang bekerja di pusat informasi obat. Dengan sistem pelaporan

secara local ini diharapkan agar tenaga kesehatan menjadi lebih

terdorong untuk melaporkan ROTD yang dijumpai pada pasiennya.

Metode yang dapat dipilih untuk melaporkan adalah dengan melalui

formulir atau lewat jaringan telepon yang ada di rumah sakit tersebut.

Tabel Informasi yang perlu terdapat dalam formulir lokal • Nama pasien • Nomor rekam medik • Ruangan dan nomor tempat tidur • Obat yang diduga sebagai penyebab ROTD • Rincian ROTD yang diduga • Nama pelapor • Staus pelapor (dokter, farmasis, perawat, dll) • Telepon, ekstension, radio panggil pelapor

Page 31: Makalah ROTD.pdf

29

Keuntungan sistem pelaporan lokal ini antara lain dapat memacu

tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit untuk selalu melaporkan

ROTD, pelaksanaannya tidak terlalu rumit, berkesinambungan, hasil

laporan dapat diolah untuk dievaluasi bagi kepentingan rumah sakit dan

dapat dipublikasikan sebagai peringatan bagi tenaga kesehatan yang

lainnya.

Untuk melaksanakan pelaporan lokal ini diperlukan beberapa

perangkat, seperti formulir pelaporan bila menggunakan metode formulir,

tim investigasi ROTD, tim penilai ROTD, laporan rutin. Di samping itu

diperlukan adanya sosialisasi dan komitmen untuk berlangsungnya sistem

ini. Di Inggris sekarang farmasis juga didorong untuk melaporkan kejadian

ROTD yang diduga karena penggunaan obat, baik yang diresepkan

maupun yang dibeli ‘over-the-counter’, baik obat konvensional maupun

obat herbal atau tradisional.

II. 9 Pencegahan dan Penatalaksanaan ROTD

Saat ini sangat banyak pilihan obat yang tersedia untuk efek

farmakologik yang sama. Masing-masing obat mempunyai keunggulan

dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun

kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah,

jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang

jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat

bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi mengenai manfaat dan risiko

obat, dari berbagai pustaka maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah.

Page 32: Makalah ROTD.pdf

30

Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai

atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam

melakukan evaluasi pengobatan.

• Upaya pencegahan

1. Antisipasi dengan pemantauan pasien

Sebenarnya, lebih diinginkan untuk mencegah atau meminimalkan

akibat suatu ROTD. Hal ini dilakukan dengan mengkaji pasien dan

mengantisipasi ROTD yang mungkin dapat terjadi dalam pasien.

Misalnya, beberapa obat tertentu menyebabkan anemia hemolitik pada

pasien yang kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).

Pasien dengan risiko tinggi untuk kondisi ini perlu ditapis untuk kerja

G6PD sebelum pemberian suatu obat yang kemungkinan besar

menyebabkan ROTD.

2. Antisipasi pengurangan dosis

Pengurangan dosis sebelum memulai terapi perlu diantisipasi untuk

pasien tertentu. Misalnya, pasien dengan fungsi ginjal yang rusak, baik

disebabkan penyakit ataupun karena usia lanjut, harus menerima dosis

yang dikurangi dari tiap obat yang diekskresi tidak berubah dalam urin.

Pengurangan dosis obat yang dikeluarkan melalui ginjal dan

didasarkan perkiraan bersihan kreatinin, dimaksudkan untuk

mencegah atau meminimalkan ROTD yang berkaitan dengan obat

tersebut.

Page 33: Makalah ROTD.pdf

31

3. Pemantauan kadar serum obat

Banyak ROTD dikaitkan dengan kadar serum obat. Contoh, obat-obat

ini adalah teofilin, antikonvulsan, antiaritmia, asetosal, dan

aminoglikosida. Pemantauan yang tepat kadar serum menggunakan

asas farmakokinetik dasar akan mencegah banyak ROTD yang

disebabkan oleh kadar di luar rentang terapi.

4. Pemantauan kerja farmakologi

ROTD berkaitan dengan banyak obat. ROTD dapat memperpanjang

sifat farmakologi obat-obat tersebut. Misalnya, diuretika diberikan untuk

meningkatkan pengeluaran garam dan air, tetapi dapat menyebabkan

kehabisan elektrolit dan dehidrasi. Warfarin diberikan sebagai suatu

antikoagulan, tetapi dapat menyebabkan pendarahan. Pencegahan

efek toksis demikian mencakup penetapan titik akhir terapi dan seleksi

teknik, serta frekuensi pemantauan yang tepat guna memastikan

bahwa titik akhir tidak dilewati.

Kunci untuk pencegahan dan meminimalkan ROTD umum atau

yang dapat diramalkan adalah antisipasi. Seperti yang diuraikan, banyak

ROTD dapat dicegah jika sebelum memulai terapi, pasien individu

dievaluasi terhadap perkembangan yang mungkin dari suatu ROTD

selama terapi. Berdasarkan informasi khusus pasien dan pengetahuan

yang cermat dari obat, titik akhir dan teknik pemantauan yang tepat dapat

diseleksi sebelum pasien menerima obat.

Page 34: Makalah ROTD.pdf

32

Sebagai tenaga profesional terakhir sebelum obat diserahkan

kepada pasien, sangatlah jelas diperlukan diketahui bahwa farmasis

mempunyai peranan yang penting dalam mencegah terjadinya ROTD.

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang dapat dipakai untuk

memeriksa secara teliti resep obat yang akan digunakan pasien serta

bagaimana menanggapi gejala-gejala yang dikeluhkan pasien.

Sebagai salah satu contoh dalam mencegah terjadinya ROTD

adalah menghentikan pemberian penghambat adrenoseptor-beta (beta

bloker) bagi penderita asma karena dapat memperburuk asmanya atau

memberikan konseling agar pasien yang menggunakan obat-obat AINS

agar diminum setelah makan untuk mencegah iritasi pada saluran

cerna.

Model Pemeriksaan Resep

• Memeriksa keabsahan resep

• Peninjauan resep-status penyakit

• Adakah obat-obat yang memerlukan perhatian khusus

• Apakah obat sesuai dengan kelompok pasien ini

• Masalah klinis-kemungkinan terjadinya ROTD, interaksi

• Diskusi dengan dokter atau tenaga medis lainnya

• Diskusi dengan pasien

Page 35: Makalah ROTD.pdf

33

British National Formulary mendiskripsikan beberapa cara mencegah

reaksi yang tidak diinginkan:

a. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika

pasien sedang hamil, jangan gunakan obat kecuali benar-benar

diperlukan.

b. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting ROTD.

Tanyakan apakah pasien pernah mengalami reaksi sebelumnya.

c. Tanyakan jika pasien sedang menggunakan obat-obatan lainnya

termasuk obat yang dipakai sebagai swamedikasi; hal ini dapat

menimbulkan interaksi obat.

d. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan

ekskresi obat, sehingga dosis yang lebih kecil diperlukan. Faktor

genetik mungkin juga berpengaruh pada variasi dalam metabolisme,

khususnya isoniazid dan antidepresan trisiklis.

e. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas

kepada pasien lanjut usia dan pasien yang kurang memahami

petunjuk yang rumit.

f. Jika memungkinkan gunakan obat yang sudah dikenal. Dan

menggunakan suatu obat baru perlu waspada akan timbulnya ROTD

atau kejadian yang tidak diharapkan.

g. Jika kemungkinan terjadinya ROTD yang serius, pasien perlu

diperingatkan.

Page 36: Makalah ROTD.pdf

34

• Penatalaksanaan

Sekarang ini hanya sedikit alat yang dapat membantu evaluasi dan

penatalaksanaan pasien dengan reaksi akibat obat. Alat tersebut belum

ada karena keterbatasan pengetahuan mengenai patofisiologi dan factor

predisposisi timbulnya kebanyakan reaksi tersebut. Meski dengan segala

keterbatasan pasien tetap harus dapat ditangani. Pendekatan terhadap

pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya

dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat

dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk

reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satu-satunya

hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek

sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi

tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan

(tinnitus pada pemberian aspirin). Untuk reaksi idiosinkrasi, kewaspadaan

yang lebih perlu dipertimbangkan. Pada reaksi yang berat atau

mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali.

Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat dipertimbangkan.

Untuk reaksi tipe B, penatalaksanaannya tergantung dari

mekanisme yang mendasari timbulnya reaksi. Bila tes konfirmasi tersedia

dan telah divalidasi, tes tersebut harus digunakan untuk menentukan

status alergi pasien (tes untuk IgE spesifik penisilin dengan Pre-Pen dan

determinan campuran minor). Bila tes tersebut tidak tersedia dan pada

kebanyakan kasus memang tidak ada, beberapa pendekatan dapat

Page 37: Makalah ROTD.pdf

35

dilakukan. Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari

obat bila obat alternative tersedia. Bila obat alternative tidak ada,

challenge test bertahap dapat dikerjakan bila reaksi yang timbul

sebelumnya bukan merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan tidak

merupakan reaksi yang berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila

reaksi yang sebelumnya timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE,

desensitisasi harus dikerjakan.

1. Avoidance (menghindari paparan)

Merupakan panduan umum, diamana kita harus menghindari

penggunaan obat yang telah diketahui menyebabkan reaksi alergi

pada pasien, kecuali bila obat tersebut sangat dibutuhkan dan tidak

ada obat lain yang dapat menggantikannya.

2. Premedikasi

a. Penggunaan antihistamin H1 sebagai pencegahan tidak dianjurkan,

karena tidak dapat mencegah terjadinya syok anafilaktik dan dapat

mengaburkan gejala awal alergi obat.

b. Antihistamin H1 yang dikombinasikan dengan steroid telah

dibuktikan dapat menurunkan reaksi akibat media kontras

radiografi.

3. Desensitisasi

a. Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah

mengalami reaksi yang diperantarai IgE terhadap penisilin dan

Page 38: Makalah ROTD.pdf

36

memerlukan penisilin untuk terapi infeksi yang berat seperti

endokarditis bakterial dan meningitis.

b. Beberapa protocol telah dikemukakan dengan jalur oral maupun

parenteral

c. Harus dikerajakan dengan pengawasan khusus dari seorang

spesialis.

d. Pemberian secara oral lebih disukai karena lebih kecil

kemungkinannya untuk menimbulkan reaksi yang mengancam

nyawa.

e. Desensitisasi juga dapat dikerjakan untuk pasien yang memerlukan

sulfonamida dan sephalosporin.

Mariyono HH, SuryanaKetut. Adverse Drug Reaction.J PenyDalam, Volume 9 Nomor 2. Mei 2008. hal. 164-72

Page 39: Makalah ROTD.pdf

37

II.10. Pengadaan suatu Program Surveilan ROTD

Standar yang ditetapkan rumah sakit dapat digunakan apoteker

untuk meningkatkan keterlibatannya dalam suatu program pendeteksian

ROTD. Apoteker yang ingin memulai atau menerapkan suatu program

ROTD, dapat mengusulkan beberapa metode yang berbeda kepada PFT.

Usulan ini mencakup pelaporan sukarela oleh praktisi individu, mengkaji

kartu pengobatan pasien, surveilan obat individu dan surveilan unit

pasien.

• Pelaporan sukarela

Sistem pelaporan sukarela menggunakan formulir yang tersedia di

unit perawwat atau tersedia atas permintaan IFRS. Formulir dapat

disediakan oleh badan POM atau formulir yang didesain oleh rumah

sakit itu sendiri. Praktisi individu yang harus mencurigai ROTD,

meminta formulir, mengisinya dan mengirimkannya ke IFRS.

• Pengkajian kartu pengobatan pasien secara retrospektif

Berbagai metode pengkajian kartu pengobatan pasien telah

digunakan. Salah satunya dengan nomor acak dari semua kartu, dikaji

untuk ROTD. Hal ini merupakan suatu usul dengan hasil yang rendah

karena kebanyakan pasien yang dikaji akan tidak mengalami ROTD.

Suatu hasil yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan bekerja sama

dengan bagian rekaman medik, untuk mengidentifikasi pasien dengan

suatu diagnosis akhir dari penyakit yang diimbas obat.

Page 40: Makalah ROTD.pdf

38

• Surveilan prospektif dengan audit

Metode surveilan individu, suatu obat tertentu dipantau pada

semua pasien. Teknik ini dapat digunakan untuk memantau indikasi

yang sebenarnya, seleksi pasien untuk penggunaan dan juga dosis

serta ROTD. Kerangka waktunya adalah prospektif dan memungkinkan

validasi yang memadai dari suatu ROTD.

• Surveilan prospektif dengan unit pasien

Pada metode ini, suatu unit pasien tertentu atau beberapa unit

pasien tertentu dipilih untuk disurvei. Apoteker mengkaji tiap diagnosis

dan terapi obat pasien serta bertanggung jawab untuk pemantauan

kemajuan dan hasil (outcome) dari rencana pengobatan individu.

Surveilan ini dapat dilakukan bersamaan dengan kunjungan ke ruang

atau terlepas dari kunjungan ke ruang. Hal ini memungkinkan apoteker

untuk mengajukan kecurigaan pada penyakit yang diimbas obat dalam

suatu diagnosis pasien.

II. 11. Perbandingan berbagai metode

Tidak ada satu sistem sederhana yang akan mendeteksi semua

ROTD. Sementara itu, teknik pemantauan dekat adalah sangat efektif,

tetapi menghabiskan waktu, sedang sistem pelaporan sukarela

memerlukan sedikit waktu, tetapi tidak efektif. Keefektifan setiap program

ROTD bergantung pada seorang individu yang sangat mencurigai obat

sebagai suatu penyebab penyakit. Individu ini harus mau dan mampu

mengadakan pembuktian ROTD yang memadai. Apoteker secara khas

Page 41: Makalah ROTD.pdf

39

memenuhi syarat untuk memenuhi peranan ini. Suatu program yang

efektif dapat menggabung beberapa strategi yang diusulkan.

Tabel 1. Perbandingan Sistem Pelaporan ROTD Jenis Sistem Keuntungan Keterbatasan • Sukarela • Pengkajian kartu

pengobatan retrospektif: - Acak - Selektif

• Prospektif:

Audit Unit pasien

Tidak mahal Tidak mahal Tidak mahal Keabsahan memadai Absah, pencegahan

Jarang digunakan Hasil rendah Mengidentifikasi hanya ROTD yang dicurigai Lingkup terbatas Sulit mensurvei seluruh pasien

II. 12. Pembenaran suatu program ROTD

Pengadaan suatu program ROTD dapat dibenarkan dengan 3

alasan:

• Standar untuk akreditasi rumah sakit

Setiap RS harus mempunyai suatu program ROTD untuk

memperoleh akreditasi. Program ini dapat digunakan dalam

mengkaji dan meningkatkan mutu pelayanan. Jika ROTD yang

dapat diramalkan dan dapat dicegah, sering kali terjadi suatu

program edukasi dapat diadakan untuk meningkatkan mutu

penulisan resep. Revisi formularium diperlukan untuk menghapus

obat yang lebih lama serta dapat diganti oleh zat yang lebih efektif

dan kurang toksis.

Page 42: Makalah ROTD.pdf

40

• Edukasi

Program ROTD juga dapat digunakan untuk edukasi. Dipimpin oleh

seorang individu yang mempunyai kecurigaan tinggi pada penyakit

yang diimbas obat. Program ROTD akan meningkatkan tingkat

kewaspadaan terhadap efek yang berkaitan dengan obat berbasis

RS keseluruhan.

• Peningkatan (penyempurnaan) pelayanan pasien

Suatu program ROTD yang intensif dapat dibenarkan berdasarkan

peningkatan pelayanan pasien yang sekarang dan apsien yang

akan datang. Pemantauan prospektif untuk mencegah ROTD telah

menunjukkan pengurangan kejadian ROTD dan pengurangan waktu

tinggal di RS. Akibatnya, pelayanan pasien individu ditingkatkan.

II. 13. Ciri program ROTD

Suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD minimal harus

mencakup ciri-ciri sebagai berikut:

1. Program harus mengadakan:

a. Suatu sistem surveilan yang terus-menerus dan concurrent (selama

terapi obat) didasarkan pada pelaporan ROTD yang dicurigai oleh

apoteker, dokter, perawat atau pasien

b. Suatu sistem surveilan concurrent (berbarengan selama

penggunaan terapi obat) atau prospektif (sebelum terapi obat)

untuk obat atau pasien dengan suatu resiko tinggi untuk ROTD

Page 43: Makalah ROTD.pdf

41

c. Suatu sistem surveilan concurrent memantau penggunaan berbagai

obat “penelusur (tracer)” yang digunakan mengobati ROTD yang

biasa (misalnya, order untuk dosis segera dari antihistamin,

epinefrin dan kortikosteroid)

2. Dokter penulis resep harus diberi tahu tentang ROTD yang dicurigai

3. Informasi tentang ROTD yang dicurigai harus dilaporkan kepada IFRS

untuk pengumpulan dan analisis data yang lengkap, mencakup nama

pasien, sejarah medik, dan pengobatan pasien, suatu uraian dari ROTD

yang dicurigai, rentetan kejadian sementara, setiap pengobatan

penyembuhan yang diperlukan dan akibatnya

4. Penyebab dari setiap ROTD yang dicurigai harus dievaluasi

berdasarkan sejarah medik dan pengobatan pasien, keadan yang

merugikan, akibat penarikan tantangan (dechallenge) dan tantang

kembali (rechallenge) (jika ada), etiologi alternatif dan suatu kajian

pustaka.

5. Suatu uraian tiap ROTD yang dicurigai dan akibatnya harus

disokumentasikan dalam rekaman medik pasien.

6. ROTD yang serius atau yang tidak, diharapkan harus dilaporkan pada

Badan POM dan pemanufaktur obat tersebut.

7. Semua laporan ROTD harus dikaji dan dievaluasi PFT

8. Informasi laporan ROTD harus disebarkan kepada anggota staf

profesional pelayanan kesehatan untuk maksud edukasi. Kerahasiaan

pasien harus dilindungi

Page 44: Makalah ROTD.pdf

42

9. Temuan dari suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD harus

digabung ke dalam kegiatan jaminan mutu RS yang terus-menerus.

II.14. Manfaat program pemantauan dan pelaporan ROTD

Suatu program pemantauan dan pelaporan ROTD yang terus-

menerus dapat membantu untuk:

1. Memberikan suatu ukuran mutu pelayanan farmasi melalui

identifikasi ROTD yang dapat dicegah dan surveilan antisipatori

untuk obata atau apsien beresiko tinggi

2. Penyempurnaan kegiatan dan upaya manajemen resiko RS untuk

meminimalkan tuntutan ganti rugi

3. Mengkaji keamanan terapi obat, terutama obat baru

4. Mengukur laju kejadian ROTD sepanjang waktu

5. Memberi edukasi bagi profesional kesehatan tentang efek obat dan

meningkatkan kewaspadaan mereka berkenaan dengan ROTD

6. Menyediakan berbagai temuan penapisan jaminan mutu untuk

digunakan dalam program EPO.

Sepanjang waktu, suatu program pemantauan dan pelaporan

ROTD yang terus-menerus, dapat membantu untuk mengukur dampak

ekonomi dari ROTD yang dicegah, sebagaimana diwujudkan melalui

pengurangan hospitalisasi, pengurangan penggunaan obat,

penggunaan obat yang efisien dan ekonomis, serta peminimalan

tuntutan ganti rugi RS.

Page 45: Makalah ROTD.pdf

43

II. 15 Peranan Apoteker

II. 15. 1 Tanggung Jawab Memberi Pelayanan Profesional

Apoteker berada pada persimpangan jalan dari terapi obat dan

mereka mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan

profesional kepada pasien penerima obat yang ditulis dokter dan juga

kepada pasien pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep. Tidak ada

orang lain yang dilatih serupa, untuk mengetahui kerja, interaksi, efek

samping, dan bahan-bahan untuk rentang pengobatan yang begitu luas.

Peranan apoteker berlanjut untuk mengubah dan dalam banyak rumah

sakit, apoteker mempunyai pengaruh yang besar pada seleksi obat dan

pemberian obat. Melalui perkembangan dan penerapan sistem

penghantaran obat yang disempurnakan pada pelayanan farmakokinetik,

apoteker telah membuat kemajuan pesat dalam mengurangi kesalahan

obat dan pencegahan ROTD.

II. 15. 2 Evaluasi Obat Baru

Di berbagai rumah sakit banyak apoteker berpartisipasi langsung

dalam mengevaluasi obat baru untuk memastikan bahwa zat yang paling

efektif dan paling murah tercantum dalam formularium rumah sakit.

Apoteker yang telah praktik di rumah sakit, bertanggung jawab untuk

mengadakan prosedur terdokumentasi untuk perekaman dan pelaporan

ROTD.

Page 46: Makalah ROTD.pdf

44

II. 15. 3 Edukasi Masyarakat

Apoteker diminta secara meningkat untuk mengambil peranan yang

lebih aktif dalam edukasi masyarakat, mengenai penggunaan obat yang

aman dan efektif. Tanggung jawab yang baru ini akan dilakukan melalui

komunikasi verbal yang meningkat dan juga melalui materi tertulis, dibantu

dengan komputer. Selain itu, diharapkan juga bahwa perangkat lunak

komputer baru akan tersedia, guna menapis regimen pasien untuk

interaksi obat-obat, obat-makanan, dan obat-penyakit yang mungkin juga

dapat diharapkan bahwa apoteker berpengetahuan dalam bidang ROTD

akan memiliki peluang yang luas, untuk berpartisipasi dalam program

surveilan pascapemasaran dan pemantauan untuk pencegahan penyakit

yang diimbas obat.

II. 15. 4 Kepemimpinan

Apoteker harus menggunakan kepemimpinan dalam pengadaan,

pemeliharaan, dan evaluasi terus-menerus program ROTD serta harus

memperoleh pengesahan formal atau persetujuan terhadap program

demikian, melalui PFT, komite medik, dan pimpinan rumah sakit.

II. 15. 5 Kemudahan

Apoteker harus memberi kemudahan dalam :

1. Menganalisa setiap ROTD

2. Mengidentifikasi obat dan pasien beresiko tinggi

3. Mengadakan kebijakan dan prosedur untuk program pemantauan serta

pelaporan ROTD.

Page 47: Makalah ROTD.pdf

45

4. Menguraikan tanggung jawab dan interaksi apoteker, dokter, perawat,

profesional kesehatan lain, serta manajer risiko dalam program ROTD

5. Menggunakan program ROTD untuk maksud edukasi.

6. Mengembangkan, memelihara, dan mengevaluasi rekaman ROTD

dalam rumah sakit.

7. Penyebaran dan penggunaan informasi yang diperoleh melalui program

ROTD.

8. Melaporkan pada Badan POM, ROTD yang serius, dan tidak

diharapkan.

II. 16 Penyakit Yang Diimbas Obat dan Studi Kasus

II. 16. 1 Reaksi Dermatologi

Disebabkan terapi obat sangat beragam dalam tempat, luas, dan

keparahannya. Reaksi ini dapat terjadi secara akut atau terjadi secara

berangsur-angsur, hilang dengan cepat atau lambat setelah penghentian

zat yang bertanggung jawab atau dapat terjadi pada pasien yang

sebelumnya telah menggunakan obat secara kesulitan. Reaksi dari suatu

obat dapat dimulai sebagai ruam pada salah satu tangan atau kaki, tetapi

dapat pula menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh termasuk selaput

lender separti pada sindrom Stevens Johnson.

Kira-kira sepertiga dari semua reaksi obat merugikan yang

dilaporkan, melibatkan kulit dan kebanyakkan terjadi dalam bentuk

campak (morbiliform) urticarial vesicobullous (rasa gatal, bintik merah dan

menggelembung) dan pemunculan maculopapular (noda/bintik). Penelitian

Page 48: Makalah ROTD.pdf

46

berbasis rumah sakit tentang reaksi dermatologik, mengungkapkan bahwa

obat pengganggu yang paling umum adalah alopurinol, ampisillin,

penicillin G, penisillin semi sintetik lain, sefalosporin, sulfonamida,

klindamisin, oksitrifilin, fenitoin, reserpin, dan vinkristin. Tambahan pada

jenis alergi pada reaksi kulit yang umum, sering dilaporkan adalah

alopecia (hilangnya rambut atau botak) dan hirsutims (tumbuhnya rambut

pada tempat dan dalam jumlah yang tidak biasa)

a. Erythema multiforme (EM) dapat terjadi dalam banyak bentuk, tetapi

umumnya dikarakteristikkan oleh bintik merah dan pembengkakan yang

terbanyak secara perifer. Lesi atau luka cenderung muncul selama

suatu periode waktu beberapa hari, biasanya sebagai cincin kecil

eritema yang menjadi sedikit meluas. Terjadi paling umum permukaan

punggung, tangan dan kaki, tetapi dapat pula pada tempat lain.

Penyebab diantaranya adalah sulfonamida, penicillin, fenilbutazon,

barbiturate, tetrasiklin, kloramfenikol, furosemida, izoniasid, fenitoin dan

karbamazepin.

b. Toxic epidermal necrolysis (TEN) jarang terjadi dan kadang-kadang

penyakit ini menyebabkna kematian. TEN awalnya dikarakterisasikan

oleh daerah eritema (merah) yang luas, melibatkan banyak permukaan

kulit diikuti dengan timbulnya lepuh lembek seperti kulit luka bakar.

Obat yang berkaitan timbulnya penyakit ini mencakup fenilbutazon,

penicillin, fenolftalein, sulfonamide, alopurinol, kloramfenikol,

tiabendazole, dan garam emas.

Page 49: Makalah ROTD.pdf

47

c. Sindrom Steven Johnson adalah suatu jenis bullous erythema

multiforme yang hebat. Sindrom ini biasanya melibatkan selaput lendir

disamping pada tempat yang diuraikan pada EM. Kulit menjadi

hemoragi dan luka mata yng serius juga umum. Sulfonamide, fenitoin,

penisilin, klorpropamid, alopurinol, fenobarbital, dan fenoftalein adalah

yang umum penyebab dari kondisi ini.

d. Exfoliative dermatitis dikarakterisasi dengan kemerahan seluruh kulit

(erytroderma) diikuti dengan sisik dan terkelupas. Obat penyebab

kondisi ini antara lain, fenitoin, griseofulvin, fenilbutasn, sulfonamida,

simetidin, kaptopril, zat pemblok reseptor beta, sefalosporin, dll.

e. Hirsutism atau hypertrichosis, walaupun kondisi yang tidak mengancam

kehidupan, dapat merusak secara psikologis. Hirsutism sering terjadi

selama pemberian kortikosteroid sistemik dan dari terapi fenitoin jangka

panjang. Zat lain yang berkaitan dengan tumbuhnya rambut mencakup

diazoxida, asetazolamida, kontraseptif oral, tamoxifen dan minoxidil.

II. 16. 2 Penyakit Hati

Berbagai obat yang dapat mengakibatkan luka/ kesakitan pada

hati, telah digolongkan sebagai senyawa yang mempunyai efek toksik

intrinsik pada hepatosit (sel hati) atau obat-obat yang mampu

mengakibatkan kerusakan hati melalui reaksi hipersensitivitas. Golongan

pertama obat-obat yang mengakibatkan kerusakan hati sebagai efek dari

struktur kimianya, menyebabkan efek pada sel hati yang dapat diramalkan

dan bergantung dosis atau gangguan khusus pada metabolisme.

Page 50: Makalah ROTD.pdf

48

Hepatotoksin dalam kategori ini mencakup asetaminofen, metotreksat,

isoniasida, tetrasiklin, hidralazin, besi dan asetosal.

Reaksi obat jenis hipersensitivitas dapat disertai manifestasi alergi

lain, seperti ruam (kulit merah), artralgia (sakit sendi), demam, dan

eosinofilia. Reaksi jenis ini dibagi pada umumnya menjadi radang hati dan

kolestatik (penghentian aliran empedu), tetapi yang sering adalah

histopatologi campuran. Reaksi obat jenis hipersensitivitas hati jenis

kolestatik sering dikaitkan dengan fenotiasin.

II. 16. 3 Penyakit Saluran Cerna

ROTD saluran cerna merupakan 20-40% dari semua reaksi

terhadap obat yang dilaporkan. Kebanyakan reaksi yang melibatkan

sistem organ ini, seperti anorexia (hilangnya nafsu makan), mual, muntah,

dan konstipasi (sembelit).

Beberapa obat yang paling umum menyebabkan reaksi mual dan

muntah adalah kalium klorida, heparin, dokusat dan suspensi alumunium

serta magnesium hidroksida. Dysgeusia (perubahan sensasi rasa),

kerusakan ini telah diketahui dalam pasien yang menggunakan

penisilamin, terapi levadopa, litium karbonat, metronidazol, dan kaptopril

juga dapat efek merugikan ini.

ROTD paling signifikan secara klinik mempengaruhi saluran cerna

bagian atas adalah akibat dari penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid.

Diare dan kolitis (radang usus besar) yang diimbas antibiotik telah menjadi

Page 51: Makalah ROTD.pdf

49

perhatian penting dalam terapi antibiotik. Diantaranya lonkomisin,

klindamisin, kloramfenikol dll.

II. 16. 4 Gangguan Hematologik

Anemia aplastik (cacat anemia) adalah gangguan darah yang

diimbas obat yang paling serius, dan telah diperkirakan bahwa obatlah

yang bertanggung jawab penyebab hampir setengah dari semua kasus

anemia aplastik. Kemajuan yang paling signifikan dalam pengobatan

anemia aplastik adalah transpalasi sumsum tulang. Manifestasi klinik yang

pertama dari anemia aplastik, biasanya biasanya berkaitan dengan

hemoragi (pendarahan) (ecchymoses = noda keungu-unguan karena

aliran darah kekulit; epistaxis = perdarahan pada hidung; petechiae =

noktah kecil perdarahan dalam kulit). Banyak obat yang bergantung pada

dosis, dapat menyebabkan supresi (penghambatan) pada kegiatan

sumsum tulang atau aplasia yang bergantung dosis seperti kasus dengan

obat sitotoksik.

Thrombocytopenia (sejumlah kecil platelet secara abnormal dalam

sirkulasi darah; platelet = bentuk lempeng disk dalam darah) adalah akibat

dari mekanisme supresi sumsum tulang dan destruksi platelet periferik.

Obat-obat sitotoksik, disebabkan efek farmakologik yang diketahui

menyebabkan sepresi sum-sum tulang megakariosit (sel darah besar

dengan satu inti, biasanya berada dalam sumsum tulang) disamping unsur

sumsum tulang lainnya. Obat-obat lain yang mempunyai efek supresi

Page 52: Makalah ROTD.pdf

50

sumsum tulang dalam individu tertentu adalah antikonvulsan,

kloramfenikol, sulfonamida dan fenotiazin.

Destruksi platelet periferik adalah akibat dari mekanisme

imunologik dan antibodi ditujukan melawan kompleks obat platelet

antigen. Kompleks imun melekat pada tempat tertentu pada platelet,

mengimbas dekstruksi fiksasi pelengkap, aglutinasi, dan dekstruksi

platelet. Kuinin dan Kuinidin menunjukkan penyebab trombositopenia oleh

mekanisme imunologik ini. Obat lain yang dianggap bekerja dalam cara

mencakup asetazolamid, hidroklorotiazid, digitoksin, metildopa,

meprobamat, karbamazepin , garam emas, asetosal dan sefalotin.

Anemia hemolitik (hemolytik = destruksi sel darah menyebabkan

pembebasan hemoglobin) yang diimbas obat juga dapat timbul dari

berbagai mekanisme. Berbagai obat yang dapat mempercepat hemolisis

adalah adalah kuinin, kuinidin, asetosal, fenasetin, sulfonamida,

primakuin, nitrofurantoin dan isosorbidedinitrat.

Banyak obat terutama zat sitotoksik seperti aminopterin, 6-

mercaptopurin dan 5-fluorouracil mempunyai kemampuan menyebabkan

anemia megaloblastik sebagai akibat dari kekurangan sintetis DNA

karena ketersediaan menurun dari vitamin B12 atau asam folat.

Obat-obat lain yang digunakan secra umum seperti fenitoin,

trimetropim, triamteran, isoniazid, fenobarbital, dan kntrasepsi oral

mengandung estrogen serta progesterone dalam kombinasi dapat

menyebabkan keadaan hematologik ini.

Page 53: Makalah ROTD.pdf

51

II. 16. 5 Ototoksisitas (kerja toksik pada telinga)

Ototoksisitas disebabkan terapi obat dapat dimanifestasikan

dalam dua cara tergantung dari sebelah dalam telinga yang dipengaruhi.

Toksisitas vestibular (liang oval dari telinga bagian dalam yang

membentuk jalan masuk ke cochlea) dapat menyebabkan vertigo atau

pusing. Sementara toksisitas cochlear (ruang tempat selaput telinga)

biasanya mengakibatkan hilangnya pendengaran.

Berbagai obat yang paling umum menimbulkan ototoksisitas

adalah asetosal, antibiotik, aminoglikosida, asam etakrinik, dan kuinidin.

Walaupun hilangnya pendengaran yang diimbas obat adalah kejadian

yang jarang, tetapi sekelompok pasien dapat beresiko terutama pasien

yang menggunakan asetosal untuk atritis pasien gagal ginjal yang

menerima antibiotik glikosida dan pasien yang diobati dengan minosiklin.

II. 16. 6 Toksisitas mata (Ocular Toxicity)

Menurunnya produksi air mata mengakibatkan efek merusak pada

mata. Penurunan produksi air mata kadang-kadang diamati pada pasien

yang menggunakn fenotiazin.

Pasien yang menggunakan klorokuin atau aminokuinolon yang

berkaitan untuk penyakit seperti eritematosus lupus sistemik dan rematik

atritis dengan dosis tinggi untuk periode yang lama berada pada resiko

terjadinya toksisitas mata yang mencakup pemutihan bulu mata,

kelumpuhan otot ekstra akular, endapan kornea, penurunan sensitivitas

kornea dan kerusakan retina.

Page 54: Makalah ROTD.pdf

52

Fenotiazin dapat menyebabkan berbagai efek samping seperti

pandangan kabur dan juga zat thioridazin, mesoridazin, atau klorpromazin

dapat menyebabkan pandangan kabur yang signifikan selama satu atau

dua minggu.

Peningkatan tekanan intraocular adalah efek samping yang telah

dibuktikan dari terapi korstikosteroid lokal dan sistemik. Katarak

subkapsular posterior berkaitan dengan terapi korstikosteroid sitemik

jangka panjang selama bertahun-tahun.

Kloramfenikol dapat menyebabkan neuropati optik (gangguan

yang mempengaruhi segmen dari sistem syaraf). Neuropati optik setelah

pengobatan tuberculosis dengan isoniazid, natrium aminosalisilat atau

streptomisin juga dilaporkan. Etambutol dalam dosis tinggi menyebabkan

hal yang serupa.

II. 16. 7 Penyakit paru-paru

Gangguan paru-paru yang diimbas obat telah terjadi dengan

frekuensi yang meningkat. Contoh termasuk reaksi alergi yang

menyebabkan bronkokonstriksi, cairan melewati batas, atau depresan

kardiak yang mengimbas edema paru-paru dan kerja toksik yang langsung

menyebabkan fibrasi paru-paru.

Antibiotik seperti penisilin dan turunan sefalosporin, streptomisin,

tetrasiklin, eritromisin dan kloramfenikol dapat menyebabkan reaksi alergi

bronkrokronstriksi akut bahkan pada pasien nonasmatik.

Page 55: Makalah ROTD.pdf

53

Obat-obat seperti antagonis β-adrenoreseptor juga dapat

menyebabkan serangan asma akut pada individu yang rentan karena

terjadi kontriksi bronkiolar. Antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan

pemblokiran neuromuskular dengan kelumpuhan otot pernafasan, apabila

terjadi konsentrasi plasma berlebihan yang disebabkan gagal ginjal atau

lewat dosis.

II. 16. 8 Penyakit ginjal

Spektra luas dari abnormalitas ginjal dapat diimbas oleh berbagai

obat. Iskemia (anemia lokal disebabkan gangguan mekanik) ginjal akut

dapat disebabkan AINS, kaptropil, obat-obat vasokonstriktor. Obat-obatan

seperti kinin, nitrofurantoin, atau triamteran yang mengimbas status

hemolitik akut dapat mengakibatkan gagal ginjal akut (GGA) (ARF = Acute

renal failure). Aminoglikosida, iodida organik atau sisplatin paling umum

dihubungkan dengan toksisitas langsung tubulur ginjal.

Nefritis (inflamasi ginjal) interstisial (rongga) akut dapat terjadi

disebabkan reaksi hipersensitivitas terhadap AINS mencakup edema,

gagal ginjal akut, dan hiperkalemia (konsentrasi abnormal ion kalium

dalam sirkulasi darah). Hal ini terjadi apabila sintesis protaglandin

dihambat oleh obat-obatan, mengakibatkan vasokonstriksi dan

pengurangan yang besar aliran darah ginjal. Pada usia lanjut,

penggunaan diuretik bersama dengan penyakit vaskular ginjal berkaitan

dengan faktor resiko lain untuk terjadinya gagal ginjal yang diimbas AINS,

indometasin kelihatanya menujukkan risiko tertinggi dari AINS yang ada.

Page 56: Makalah ROTD.pdf

54

Zat kemoterapi kanker juga dapat menghambat toksisitas ginjal.

Hampir setengah dari pasien yang menggunakan sispletin dalam dosis

50mg/m2 dari permukaan tubuh dapat menyebabkan gagal ginjal akut

(GGA). Gagal ginjal juga merupakan masalah yang sering dengan

metotreksat, mitomisin, dan mitramisin.

Antibiotik aminoglikosida menyebabkan nekrotis tubular proksimal

oleh ikatan dengan gugus anionik pada membran sel dan juga

mengganggu fungsi mitokondrial. Amfoteresin B, suatu obat antifungi

sistemik, dianggap nefrotoksik dengan merusak membran sel tubular

ginjal dan menyebabkan vasokonstriksi.

Nefrotoksisitas adalah efek samping yang paling serius

disebabkan oleh siklosporin A. Obat ini digunakan sebagai suatu

imunosupresif (penghambat respon imunologik) untuk transplantasi organ.

Nefrotoksisitas sering kali terjadi pada pasien transplantasi ginjal, juga

pada pasien dengan ginjal normal sebelumnya, menerima transplantasi

sum-sum tulang, dan hati atau jantung.

Nefroti (setiap penyakit ginjal) disebabkan metilisin telah

dibuktikan tetapi dianggap masih jarang. Metilisin dan penisilin

semisintetik lain, seperti ampisilin, nafsislin, oksasilin, serta karbenisilin,

juga mampu menyebabkan nefritis interstisial yang teridiri atas sel-sel

mononuklear dan eosinofilia. Nefritis interstisial diimbas metilisin biasanya

terjadi hanya setelah pemberian dosis harian melebihi 6 gram untuk

beberapa minggu.

Page 57: Makalah ROTD.pdf

55

Kaptropil, suatu ACE I (perintang perubahan enzim) dapat

menyebabkan gagal ginjal akut, terutama pada pasien yang kehabisan

garam dan pasien dengan penyakit vaskular ginjal juaga dilaporkan

menyebabkan nefritis interstisial.

II. 16. 9 Studi Kasus

Kasus 1

Bapak PG baru-baru ini didiagnosis menderita penyakit Parkinson,

dia telah meminum kapsul Levodopa/benserazide (Madopar) 125mg

sehari tiga kali selama 14 hari. Ia merasa sangat mual dan telah muntah

sebanyak tiga kali selama beberapa hari terakhir. Gejala-gejala yang

dirasakan bapak PG sangat berbahaya sehingga ia bertanya kepada

apakah dia boleh menghentikan pengobatan tersebut.

Jawaban

Mual dan muntah sering terjadi sebagai ROTD pada terapi

levodopa. Hal ini terjadi sebagai hasil pembentukan dopamine di perifer.

Dapat disarankan agar obat digunakan setelah makan dan dokter juga

meresepkan obat antimuntah (proklorperazin), namun Proklorperazin

dapat memperburuk gejala-gejala parkinsonisme. Efek sampingnya

meliputi gejala-gejala ekstrapiramidal dan penggunaan yang lama

menyebabkan terjadinya terdive dyskinesia. Domperidon merukan obat

pilihan untuk mual dan muntah yang dipicu oleh levodopa.

Page 58: Makalah ROTD.pdf

56

Kasus 2

Ibu H sedang menderita sesak nafas. Riwayat penyakitnya

menunjukkan bahwa dia menderita asma dengan tingkat keparahan

“sedang” dan baru-baru ini dia mendapatkan obat tetes mata yang

mengandung timolol 0,25% untuk mengobati glaucoma simpleks kronis

(chronic simple glaucoma). Obat lainnya adalah inhaler salbutamol 100

microgram yang digunakan jika diperlukan saja.

Jawaban

Penghambat beta (beta blocker) dapat memperburuk kondisi asma

dan efek ini dapat membahayakan. Seperti obat mata lain yang diberikan

secara topical, Timolol dapat diserap secara sistemik dan ROTD yang

tampak pada penghambat beta oral dapat terjadi. Hal ini dapat

dimungkinkan karena obat tetes mata diresepkan oleh dokter yang

berbeda dengan dokter yang meresepkan salbutamol sehingga

memungkinkan timbulnya ROTD yang tidak dapat terdeteksi. Maka dapat

disarankan suatu obat alternatif kepada dokter untuk mengobati glaucoma

ibu H tersebut. Dorzolamid (“Trusopt”) dapat menjadi pilihan alternatif

untuk glaukoma. Apabila terapi alternatif tersebut tidak berhasil

mengendalikan gejala-gejalanya maka suatu beta blocker yang lebih

kardioselektif seperti betaksolol (betaxolol) dapat dipakai dengan hati-hati.

Senyawa-senyawa yang lebih kardioselektif memiliki efek menghalangi

saluran nafas yang lebih kecil meskipun tidak dapat hilang sama sekali

dari efek tersebut.

Page 59: Makalah ROTD.pdf

57

BAB III

PENUTUP

III. 1 Kesimpulan

Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) secara bermakna

dapat menyebabkan terjadinya morbiditas dan mortilitas yang dipacu oleh

obat dan farmasis punya peran penting dalam mengurangi hal ini. Dengan

bekal pengetahuan yang dimiliki, farmasi merupakan tenaga kesehatan

yang paling tepat untuk mencegah, mendeteksi, menangani ROTD pada

pasien mereka.

Pemeriksaan resep, merespon gejalah-gejalah serta pelaporan

spontan reaksi yang diduga sebagai ROTD merupakan aktivitas-aktivitas

yang farmasis sebaiknya terlibat. Keterlibatan farmasis dalam aktivitas

tersebut akan dapat meningkatkan kualitas layanan kefarmasian serta

menurunkan biaya layanan kesehatan.

III. 2 Saran

Perlunya pemahan yang baik oleh seorang Farmasis tentang

farmasi klinik termasuk reaksi obat yang tidak dikehendaki, sebagai bekal

dalam memberikan pelayanan informasi obat.

Page 60: Makalah ROTD.pdf

58

DAFTAR PUSTAKA

1. Cipolle, RJ., LM Strand, PC Morley. Pharmaceutical Cara Practice.

1998. McGraw-Hill.

2. Strand, LM., PC Morley, RJ Cipolle. Drug-related Problems: Their

structure and function. DICP Ann Pharmacother 1990; 24:1093-

1097

3. Trisna, Yulia. Idealisme farmasis klinik di rumah sakit. Pengantar

Farmasi Klinik. 2004

4. Bagian Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. 1995