makalah radiofarmasi

27
MAKALAH RADIOFARMASI OPTIMALISASI PENANDAAN 99m Tc-DTPA-KETOKONAZOL SEBAGAI RADIOFARMAKAUNTUK DETEKSI INFEKSI FUNGI TEORI : 3 KELOMPOK 5 Rambu Konda Anggung Praing (191 338 73A) Wilujeng Sulistyorini Kharisma Alfiani Annisa Nofita Ashriyani Andrew Manuhara Maria Kusumawati Amrina Malahati FAKULTAS FARMASI

Upload: wilujeng-sulistyorini

Post on 16-Jan-2016

509 views

Category:

Documents


100 download

DESCRIPTION

FARMASI

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH RADIOFARMASI

MAKALAH RADIOFARMASI

OPTIMALISASI PENANDAAN 99mTc-DTPA-KETOKONAZOL SEBAGAI

RADIOFARMAKAUNTUK DETEKSI INFEKSI FUNGI

TEORI : 3

KELOMPOK 5

Rambu Konda Anggung Praing (191 338 73A)

Wilujeng Sulistyorini

Kharisma Alfiani

Annisa Nofita Ashriyani

Andrew Manuhara

Maria Kusumawati

Amrina Malahati

FAKULTAS FARMASI

Universitas Setia Budi

Surakarta

2015

Page 2: MAKALAH RADIOFARMASI

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan

berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentangoptimalisasi penandaan 99m Tc-

DTPA-ketokonazol sebagai radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi.

Penulis berharap makalah ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan menambah

wawasan. Penulis sangatlah terbuka terhadap kritikan maupun saran yang sifatnya membangun

pada makalah ini dan akan berupaya melakukan perbaikan sehingga makalah ini menuju suatu

kesempurnaan.

Surakarta, April 2015

Penulis

Page 3: MAKALAH RADIOFARMASI

Daftar Isi

Halaman

KATAPENGANTAR.........................................................................................1

DAFTAR ISI ......................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................3

A. Latar Belakang...............................................................................3

B. Permasalahan.................................................................................3

C. Tujuan penulisan……………………………………………….3

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4

BAB III PENUTUP ………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: MAKALAH RADIOFARMASI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi baik berupa bakteri, virus maupun fungi di dalam

tubuh cukup sulit dilacak dan memiliki gejala yang hampir mirip.Untuk dapat membedakan

antara infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau fungi, ataupun inflamasi steril. Candida

albicans merupakan penyebab kasus infeksi fungi pathogen sebanyak 50-70%. Candida albicans

yang menyerang paru-paru, darah, jaringan otak, ginjal, dan saluran pencernaan.Infeksi

umumnya terjadi tanpa gejala tertentu, danpenyebarannya begitu cepat dengan indikasi yang

tidak jelas. Jika penyebab infeksi dapat ditentukan dengan pasti, maka pengobatan yang harus

dilakukan selanjutnya akan lebih efektif dan memberikan hasil kesembuhan yang lebih baik.

Diagnosis secara dini, cepat danspesifik merupakan suatu langkah penting dan kritis

terhadap keberhasilan pengobatan infeksi. Namun, hingga saat ini belum ada metode diagnosis

dini yang cepat danakurat untuk infeksi yang disebabkan oleh C. Albicans , terutama terhadap

infeksi di bagian organ dalam (deep seated infection). Hai inilah yang menjadi latar belakang

adanya penelitian tentang optimalisasi penandaan 99m Tc-DTPA-ketokonazol sebagai

radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi. Pada bab selanjutnya akan membahas mengenai

penelitian yang telah dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Definisi radiofarmaka?

2. Penggunaan radiofarmaka ?

3. Bagaimana optimalisasi penandaan 99m Tc-DTPA-ketokonazol sebagai radiofarmaka

untuk deteksi infeksi fungi ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk  mengetahui definisi dari radiofarmaka dan penggunaannya

2. Mengetahui dan memahami penggunaan radiofarmaka

Page 5: MAKALAH RADIOFARMASI

3. Dapat menjelaskan mengenai optimalisasi penandaan 99m Tc-DTPA-ketokonazol

sebagai radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi.

BAB II

PEMBAHASAN

Radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam

strukturnya dan digunakan untuk diagnosis atau terapi. Dengan kata lain, radiofarmaka

merupakan obat radioaktif. Sediaan radiofarmaka dibuat dalam berbagai bentuk kimia dan fisika

yang diberikan dengan berbagai rute pemberian untuk memberikan efek radioaktif pada target

bagian tubuh tertentu. Beberapa contoh rute pemberian: per oral (kapsul dan larutan), intravena,

intraperitoneal, intrapleural, intratekal, inhalasi, instilasi melalui tetes mata, kateter urin,   kateter

intraperitoneal dan shunt.

Radiofarmaka terdiri dari dua komponen yaitu komponen pembawa materi dan

komponen radioaktif. Komponen pembawa materi akan membawa bahan radioaktif ke organ

tubuh tertentu yang dapat ditempati atau dapat menangkap pembawa materi tersebut, sehingga

bahan radioaktif akan berada di organ tersebut dan menjadi sumber radiasi. Ada berbagai cara

dalam menempatkan radiofarmaka ke dalam organ tubuh. Beberapa penempatan yang sudah

diketahui mekanismenya adalah:

1. Proses Fagositosis

Bila pembawa materi adalah mikro koloid yang dapat ditandai dengan Tc-99m, In-113m,

atau Au-198, maka radiofarmaka akan difagositosit oleh system Retikuloendotelia (RES)

tubuh setelah disuntikkan intravena. Radiofarmaka ini dimanfaatkan untuk membuat

skaninghati, limpa, sumsum tulang dan juga membuat skening kelenjar getah bening

regional bila diberikan secara subkutan.

2. Transportasi aktif

Secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka ini dr plasma darah ke dlm

organ utk selanjutnya ikut metabolisme tubuh/dikeluarkan dr tubuh.

Page 6: MAKALAH RADIOFARMASI

Contoh I-131 Hippuran diekskresi oleh sel tubulus sehingga dapat dipakai untuk

memeriksa fungsi ginjal pada Renogram, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel

poligonal hati ditransfer dari darah untuk diekskresi ke usus halus lewat saluran empedu.

3. Penghalang kapiler

Apabila pembawa materi adalah makrokoloid yg disuntikkan IV akan menjadi

penghalang kapiler di Paru, misal Tc-99m-makrokoloid dimanfaatkan membuat scanning

perfusi paru untuk mendeteksi emboli paru.

4. Pertukaran Difusi

Pembawa materi yang telah ditandai radioaktif akan saling bertukar tempat dengan

senyawa yang sama dari organ tubuh. Contoh Polifosfat bertanda Tc-99m akan bertukar

tempat dengan senyawa polifosfat tulang.

5. Kompartemental

Bila radiofarmaka berada pada organ tubuh yang diperiksa dalam waktu lama. Misal pada

Scanning jantung dengan Tc-99m Sn eritrosit.

6. Pengasingan Sel

Sel darah merah yang ditandai oleh Cr-51 dan dipanaskan 50 derajad Celcius selama 1

menit bila dimasukkan kembali ke tubuh pasien secara IV akan segera diasingkan ke

limpa dan merupakan radiofarmaka untuk scanning limpa.

Bentuk fisika dan kimiawi sediaan radiofarmaka dapat berupa unsur (Xenon 133, krypton

81m), ion sederhana (iodida, pertechnetate), molekul kecil yang diberi label radioaktif,

makromolekul yang diberi label radioaktif, partikel yang diberi label radioaktif, sel yang diberi

label radioaktif.

Prosedur imaging memberikan informasi diagnosa atas dasar pola distribusi

keradioaktifan di dalam tubuh. Dua kajian utama dalam pemberian informasi imaging dalam

tubuh dari radiofarmaka adalah:

Page 7: MAKALAH RADIOFARMASI

a) Kajian dinamik memberikan informasi fungsional melalui pengukuran laju

akumulasi dan laju keluarnya radiofarmaka oleh organ.

b) Kajian statik memberikan informasi morfologi berkenaan dengan ukuran, bentuk,

dan letak organ atau adanya lesi yang menempati ruang, dan dalam beberapa kasus

mengenai fungsi relatif. Pola distribusi radiofarmaka dalam suatu organ bervariasi dan

tergantung organ yang diamati dan ada atau tidak adanya penyakit.

Adapun tiga jenis pengamatan yang dilakukan melalui imaging atau pencitraan adalah:

Citra (image) dalam bentuk “hot spots” atau adanya keradioaktifan yang merata

(uniform) disebabkan radiofarmaka terkonsentrasi dengan mudah di dalam organ yang sehat atau

normal, sedangkan jaringan berpenyakit menolak atau mengeluarkan radiofarmaka tersebut dan

lesion muncul dalam bentuk citra yang “cold spots”.

Misalnya, pada penatahan (scanning) liver dengan partikel koloid bertanda radioaktif ; setelah

partikel koloid tersebut diinjeksikan, partikel berakumulasi pada sel-sel phagocytosis yang

terdapat di liver. Bila tumor atau lesi lain berada di dalam liver, maka sel-sel yang melokalisasi

koloid radioaktif akan digantikannya.

Citra (image) dalam bentuk “hot spots” atau adanya keradioaktifan yang merata

(uniform) disebabkan radiofarmaka terkonsentrasi dengan mudah di dalam organ berpenyakit

atau lesion, sedangkan jaringan yang sehat atau normal menolak atau mengeluarkan

radiofarmaka tersebut sehingga citra muncul sebagai “cold spots”.

Misalnya, penatahan otak dengan menggunakan radiofarmaka yang ditolak oleh `blood-brain-

barrier`. Bila otak tersebut berpenyakit sehingga `blood-brain-barrier` menjadi rusak, maka

radiofarmaka dapat meninggalkan ruang vascular dan selanjutnya terlokalisasi didalam lesi.

Organ normal bisa mengakumulasikan radiofarmaka, tetapi jaringan berpenyakit mampu

mengakumulasikannya baik pada tingkat yang lebih tinggi lagi bila fungsi organ berlebihan atau

meningkat, maupun pada tingkat yang lebih rendah dari pada organ normal apabila fungsi organ

menurun. Misalnya, dalam pencitraan kelenjar thyroid (thyroid gland) dengan menggunakan

iodium radioaktif. Kelenjar thyroid dengan mudah mengakumulasikan radiofarmaka iodium-131

melalui fungsi normal, tetapi kelenjar yang sakit dengan jaringan thyroid yang hyperfunction

Page 8: MAKALAH RADIOFARMASI

atau hypofunction akan menunjukkan konsentrasi radioiodium-131 yang meningkat atau

menurun.

Mengukur fungsi suatu organ atau system didasarkan atas absorpsi, pengenceran

(dilution), pemekatan, atau ekskresi keradioaktifan setelah pemberian radiofarmaka ini yang

disebut dengan telaah radiofarmasi secara in vivo. Radiofarmaka sendiri harus tidak

mempengaruhi, dalam cara apapun, fungsi sistim organ yang sedang diukur. Cara ini tidak

memerlukan pencitraan, tetapi analisis dan interpretasi didasarkan atas pencacahan

keradioaktifan yang muncul baik secara langsung dari organ-organ yang berada di dalam tubuh

atau dari cuplikan darah atau urin yang dicacah secara in vitro.

Beberapa contoh telaah secara in vivo yakni Telaah uptake iodium radioaktif untuk

mengkaji fungsi kelenjar thyroid sebagaimana ditentukan dengan pengukuran eksternal

prosentase dosis radioidium yang diambil oleh kelenjar vs. waktu. Dapat juga dengan penentuan

volum darah keseluruhan dengan mengukur pengenceran dari sejumlah tertentu sel darah merah

bertanda 51Cr yang diinjeksikan secara intravena dalam suatu volum sel merah. Ataupun

pengkajian tak langsung absorpsi vitamin B12 dari gastrointestinal tract dengan mengukur fraksi

vitamin B12 bertanda 57Co yang diberikan secara oral yang diekskresikan di dalam urin dalam

perioda waktu tertentu (Schilling test).

Dua faktor utama berkaitan dengan pengukuran radiasi:

1. Ionisasi materi oleh radiasi

2. Energi radiasi yang diserap (absorbsi) oleh materi

Kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan konsekuensi biologis akibat interaksi

radiasi dengan tubuh manusia. Tetapi berat ringannya paparan radiasi tergantung dari berapa

banyak energi diserap, makin banyak energy yang terserap maka semakin berbahaya paparan

radiasi tersebut dan bagamana energi terdistribusi di dalam bahan penyerap. Jenis radiasi berbeda

bisa mendepositkan jumlah energi yang sama di dalam jaringan yang sama, tetapi pola

distribusinya bisa berbeda.

Kerusakan radiasi akan lebih besar terhadap sel-sel jaringan jika energi radiasi 100 erg

yang diserap terkosentrasi dibagian terkecil dari 1 gram jaringan dari pada jika 100 erg energi

Page 9: MAKALAH RADIOFARMASI

didepositkan secara merata di seluruh 1 gram jaringan. RBE (Relative Biologic Effectiveness)

merupakan ukuran yang digunakan untuk menjelaskan derajat efek biologis yang dihasilkan oleh

jenis radiasi yang berbeda dengan dosis terserap yang sama. RBE adalah dosis radiasi sinar x dan

g dalam Rad yang diperlukan untuk menghasilkan efek biologis tertentu dibagi dengan dosis

radiasi dalam Rad setiap radiasi pengionisasi yang diperlukan untuk menghasilkan efek biologis

yang sama.

RBE tergantung dari besarnya LET (Linear Energy Transfer) radiasi tertentu. Lebih besar LET

makin tinggi efek biologis dari radiasi tertentu yang diserap. Energi yang diserap dalam jarak

yang pendek akan menyebakan lebih banyak “injury” yang diterima bila dibandingkan dengan

energi yang diserap dalam jarak yang jauh.

Beberapa radiasi bisa menghasilkan lebih banyak ionisasi per panjang lintasan yang

dilalui. Radiasi demikian dikatakan memiliki ionisasi spesifik yang tinggi dan karena itu akan

mendepositkan energi yang lebih banyak dalam panjang lintasan yang sama, artinya radiasi.

memiliki LET yang tinggi. Misalnya, 0.05 rad radiasi a di dalam jaringan menghasilkan efek

biologis yang sama seperti yang ditunjukkan oleh 1 rad radiasi sinar-x atau g, maka RBE radiasi

a adalah 20.

Bila 1 rad radiasi b menghasilkan efek biologis yang sama dengan 1 rad radiasi sinar-x

atau g, maka RBE radiasi b adalah 1.

Dalam proteksi radiasi akan memudahkan untuk menjumlahkan kontribusi dosis dari tipe

radiasi berbeda, kemudian digunakan suatu `modifier` sebagai faktor kualitas radiasi (Q) yang

berhubungan dengan tipe dan energi radiasi serta LET nya.

Dalam radiofarmasi dan kedokteran nuklir, paparan radiasi eksternal (external exposure)

yang menjadi perhatian utama adalah yang berkaitan dengan pemancaran sinar-g dan sinar-x,

karena kemampuannya untuk menembus jaringan dan menyebabkan ionisasi.

Lain halnya dengan radiasi partikel, paparan eksternalnya terhadap tubuh sedikit

memberikan efek berbahaya, karena partikel b dan a mudah diserap oleh udara atau oleh

beberapa mm lapisan kulit. Meskipun demikian, beberapa pemancar b energi tinggi, seperti 32P

Page 10: MAKALAH RADIOFARMASI

(1.7 MeV), 90Y (2.28 MeV), dan 89Sr (1.46 MeV) dapat memiliki ancaman eksternal karena

jangkauannya (range) di udara maupun jaringan cukup tinggi.

Pada penelitian yang telah dilakukan tentang optimalisasi penandaan 99m Tc-DTPA-

ketokonazol sebagai radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi menggunakan teknesium-99m

(99mTc), yang merupakan radionuklida pemancar gamma yang sering digunakan untuk tujuan

diagnosis karena memancarkan gamma murni dengan waktu paruh 6 jam dan energi 140 keV.

Teknesium dapat berikatan dengan senyawa yang memiliki gugus donor elektron di dalam

molekulnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Ketokonazol memiliki beberapa ato donor electron yang memungkinkan senyawa ini

untuk ditandai dengan radionuklida 99mTc, namun penandaan sulit utuk dilakukan sebab adanya

efek sterik yang dimiliki oleh masing-masing atom donor electron.Pada percobaan ini digunakan

ko-ligan dietilen triamin pentaasetat (DTPA) sehingga reaksi dapat terjadi. Ko- ligan inilah yang

menjadi bifunctional agent antara atom 99mTc dengan ketokonazol dan terbentuklah kompleks

khelat, atomTc akan terikat pada atom N dan beberapa atom O yang terdapat di dalam molekul

DTPA.

Mekanisme kerja Ketokonazol mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi

pathogen (ragi, dermatofit, termasuk Pityrosporon ovale). Zat ini digunakan pada infeksi jamur

sistemis yang parah dan kronis, secara local pada ketombe hebat. Namun, tidak efektif terhadap

infeksi oleh Aspergillus. Resorpsinya dari lambung-usus praktis lengkap pada pH di bawah 3.

Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit tak aktif; eksresinya terutama melalui empedu

dan tinja.

Efek sampingnya adalah gangguan alat cerna (mual, muntah, diare), nyeri kepala, pusing-

pusing, dan gatal-gatal. Yang lebih serius adalah sifat hepatotoksisitasnya, karena

mengakibatkan hepatitis pada 1 per 2.000-10.000 pasien, terutama bila digunakan lebih dari 14

hari. Pada dosis tinggi (lebih dari 600 mg seharinya), dapat menghambat sintesa hormone

testosterone, yang mengakibatkan terganggunya produksi sperma dan impotensi. Wanita hamil

dan yang menyusui tidak dianjurkan menggunakan obat ini, karena, data mengenai efek

teratogennya masih memuaskan.

Page 11: MAKALAH RADIOFARMASI

Dalam penandaan 99mTc-DTPAketokonazol dan DTPA sebagai ko-ligan, dilakukan

penentuan kondisi optimal dengan membuat variasi pada beberapa parameter, meliputi pH

penandaan, jumlah ligan, koligan dan reduktor serta waktu inkubasi.Efisiensi penandaan 99mTc

DTPAketokonazol ditentukan berdasarkan kemurnian radiokimia dengan menggunakan 2 sistem

kromatografi kertas.Pertama, menggunakan fase diam Whatman 3MM dan fase gerak

asetonitril.Ke dua menggunakan fase diam Whatman 31ET dan fase gerak asetonitril 50%.

Sistem pertama dapat memisahkan pengotor radiokimia dalam bentuk (99mTcO4)-pada Rf 0,9-

1,0 (15), sedangkan 99mTc-DTPAketokonazol berada pada Rf 0,0. Sistem ke dua memisahkan

pengotor radiokimia dalam bentuk 99mTc tereduksi (99mTcO2) pada Rf 0,0 (15) dan 99mTc

DTPA-ketokonazol pada Rf 0,9-1,0. Salah satu faktor yang sangat berperan dalam proses

penandaan denganradionuklida 99mTc adalah pH. Faktor pH berperan penting dalam kestabilan

senyawa bertanda.

Pada penelitian ini, diperoleh kondisi optimal penandaan pada pH 3,5 (pH akhir 4,5)

dengan kemurnian radiokimia sebesar 97,77±0,33%. Pada pH > 4,5 kemurnian radiokimia

menjadi turun < 95% dan pada pH akhir di atas 5,25, larutan menjadi keruh. Hal ini menandakan

bahwa pada pH tinggi, terjadi pembentukan TcO2 yang lebih banyak dan senyawa ketokonazol

yang tidak larut. Keuntungan lain yang didapat pada pH yang rendah, Sn(II) yang terbentuk

bersifat reduktor, sedangkan pada kondisi basa Sn membentuk ion Sn(OH)3 - yang tidak bersifat

Page 12: MAKALAH RADIOFARMASI

reduktor, sehingga proses reduksi Tc (VII) untuk mencapai bilangan oksidasi yang lebih rendah

menjadi lebih sukar terbentuk (Tc(IV)) .

Faktor lain yang perlu diperhatikan pada saat penandaan ketokonazol dengan

radionuklida 99mTc adalah jumlah reduktor Sn (II) yang ditambahkan ke dalam larutan

ketokonazol. Jumlah SnCl2 harus optimal karena dapat mereduksi 99m/99Tc-perteknetat yang

terkandung di dalam eluat hasil darigenerator.Jumlah Sn(II) optimal yang diambil untuk

percobaan selanjutnya sebanyak 37,5 μg, karena pada nilai yang lebih tinggi dari 50 μg, jumlah

DTPA yang terkandung di dalam larutan stok Sn DTPA terlalu besar dan menghasilkan pengotor 99mTc-DTPA yang cukup besar sehingga dapat mengganggu 99mTc-DTPA-ketokonazol yang

terbentuk. Nilai kemurnian radiokimia 99mTc-DTPA ketokonazol yang terbentuk dengan variasi

jumlah SnCl2.

Jumlah ligan yang tidak optimal akan menyebabkan jumlah pengotor naik dan efisiensi

penandaan turun. Seperti terlihat pada Gambar 4, semakin besar jumlah ligan, kemurnian

radiokimia menjadi semakin kecil.Hal ini disebabkan ikatan ligan dengan ko-ligan berada pada

perbandingan mol yang optimal untuk menghasilkan kemurnian radiokimia yang tinggi. Pada

penandaan ketokonazol dengan radionuklida 99mTc dan ko-ligan DTPA, semakin tinggi jumlah

ketokonazol untuk jumlah DTPA yang tetap, akan menghasilkan penurunan kemurnian

radiokimia.

Page 13: MAKALAH RADIOFARMASI

Dari hasil yang didapat pada Gambar 5, diketahui bahwa secara umum, untuk dapat

berikatan dengan 1 atom Tc, diperlukan 1 molekul DTPA sebagai jembatan penghubung antara

Tc dengan ketokonazol.

Pengaruh waktu inkubasi (5 s/d 30 menit) pada temperatur ruangan terhadap efisiensi

penandaan 99mTc DTPAketokonazol diperlihatkan pada Gambar 6. Dari hasil percobaan terlihat

bahwa pertambahan waktu inkubasi tidak mengakibatkan perbedaan hasil yang signifikan, yaitu

masih berada pada kemurnian radiokimia 97,37±0,79%.

Dari hasil percobaan yang diperlihatkan pada Gambar 7, didapatkan bahwa puncak yang

terdeteksi berbeda antara ketiga senyawa tersebut. Senyawa Na99mTcO4 bergerak paling jauh

Page 14: MAKALAH RADIOFARMASI

menuju anoda, hal inimenunjukkan bahwa muatan (99mTcO4)- hasil ionisasi lebih negatif

dibandingkan dengan kedua senyawa lain. Senyawa 99mTc-DTPA juga bermuatan negatif, namun

tidak bergerak sejauh Na99mTcO4.

Pada penelitian ini dilakukan juga uji coba uptake in-vivo pada hewan percobaan mencit

yang diinduksi C. albicans untuk mengetahui akumulasi senyawa 99mTc- DTPA-ketokonazol

pada organ yang terinfeksi C. albicans (T) dengan organ yang tidak terinfeksi (NT). Hasil

pengamatan menunjukkan perbedaan uptake yang cukup besar antara organ yang terinfeksi

dengan organ yang tidak terinfeksi dengan rasio (T/NT) sebesar 3,16±0,04 (n=5) setelah 2 jam

injeksi. Hasil pencitraan diharapkan dapat membedakan antara organ terinfeksi C.albicans

dengan organ yang normal seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Penggunaan Radiofarmaka

Radiofarmaka merupakan suatu senyawa antara bahan non-radioaktif (farmaka) dengan

bahan radioaktif (radionuklida). Farmaka yang biasanya dipilih adalah zat yang apabila

dimasukan ke dalam tubuh melalui suntikan atau mulut akan mengikuti proses metabolisme

normal tanpa mengganggu fungsi normal organ yang akan diteliti. Berbagai radiofarmaka

memberikan kesempatan untuk mempelajari struktur dan melokalisasi antigen menggunakan

antibody bertanda, reseptor, system enzim dan hormonal, lokalisasi infeksi, inflamasi dan deteksi

dini kanker. Pencitraan tidak hanya didasarkan pada kelainan tingkat organ atau seluler tapi juga

molecular. Pengembangan radiofarmaka untuk pengobatan juga dirasakan semakin berkembang.

Pemanfaatan radiofarmaka dalam bidang kedokteran dapat digunakan untuk  diagnostik

in-vivo, in-vitro dan terapi. Dalam pelayanan diagnostik in-vivo, penderita akan mendapat

radiofarmaka, yaitu gabungan antara radionuklida dengan bahan farmaka lain yang diberikan

melalui suntikan atau melalui mulut (per-oral). Melalui teknik ini fisiologi dan patofisiologi

organ atau sistem dalam tubuh dapat dievaluasi. Sedangkan diagnostik in-vitro adalah metoda

diagnostik menggunakan radionuklida untuk menentukan berbagai kadar zat tertentu dalam

tubuh, misalnya kadar hormon, petanda tumor dan lain-lain dalam darah, urin atau air liur

penderita. Dengan demikian pada diagnostik in-vitro penderita tidak mendapat paparan radiasi

sama sekali. Terapi beberapa penyakit tertentu sudah dapat dilakukan dengan menggunakan

radionuklida atau lebih dikenal dengan terapi radiasi interna.

Page 15: MAKALAH RADIOFARMASI

Radiofarmaka dimanfaatkan dalam berbagai jenis pemeriksaan dalam kedokteran nuklir.

Pemeriksaan tersebut terbagi menjadi 3 kategori:

Pemeriksaan untuk pencitraan

Pemeriksaan ini memberikan informasi untuk tujuan diagnostik dan dilakukan

dengan memeriksa pola distribusi radioaktif dalam tubuh.

Pemeriksaan fungsi tubuh secara in vivo

Pemeriksaan fungsi tubuh secara in vivo bertujuan untuk mengukur fungsi organ

tubuh atau sistem fisiologis tubuh berdasarkan absorpsi, pengenceran,

konsentrasi, bahan radioaktif dalam tubuh atau ekskresi bahan radioaktif dari

tubuh setelah pemberian radiofarmaka.

Pemeriksaan untuk tujuan terapeutik

Pemeriksaan ini bertujuan untuk keperluan penyembuhan, atau terapi paliatif.

Mekanisme kerja umumnya berupa absorpsi radiasi beta untuk menghancurkan

jaringan yang terkena penyakit.

Penggunaan kedokteran nuklir untuk tujuan diagnostik harus berprinsip bahwa

penggunaan bahan radioaktif yang diberikan harus dalam dosis yang serendah mungkin namun

sudah dapat diperoleh informasi yang diinginkan. Perlu dijaga bahwa dosis radiasi yang

diabsorbsi harus serendah mungkin. Selain itu, kondisi aseptik harus dijaga selama penyiapan

karena bahan diberikan melalui injeksi intravena.

Bentuk Fisika dan Kimiawi Radiofarmaka

Bentuk Contoh

Unsur Xenon 133 (133Xe),krypton 81m (81mKr)

Ion sederhana131I- (odida),

99mTcO4-(pertechnetate)

Molekul kecil berlabel radioaktif

131I-MIBG (ikatan kovalen)

99mTc-DTPA (senyawa kelat)

Makromolekul berlabel 125I-serum albumin manusia (protein)

Page 16: MAKALAH RADIOFARMASI

radioaktif 111In-capromab pendetide (antibodi)

Partikel berlabel radioaktif

99mTc-sulfur colloid

99mTc-macroaggregated albumin

Sel berlabel radioaktif51Cr-or 99mTc-eritrosit

51In-or 99mTc-leukosit

Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Radiofarmaka

Rute pemberian Bentuk SediaanOral Kapsul dan Larutan

Injeksi intravena Larutan, dispersi koloid, suspensi

Injeksi intratekal Larutan

InhalasiGas dan Aerosol

Instilasi melalui tetes mata, kateter

uretra, kateter intraperitoneal, dan

shunt

Larutan steril

Radiofarmaka yang Digunakan dalam Kedokteran Nuklir

Radionuklida Bentuk Sediaan PenggunaanDosis lazim (Dewasaa)

Rute pemberianb

Karbon C11 Karbon monoksidaJantung: Pengukuran volume

darah60-100 mCi Inhalasi

Karbon C11 Injeksi FlumazenilOtak: Pencitraan reseptor

benzodiazepin20-30 mCi Intravena

Karbon C 14 Urea Diagnosis infeksiHelicobacter pylori

1 µCi Oral

Page 17: MAKALAH RADIOFARMASI

Kromium Cr 51Injeksi natrium

kromat

Pelabelan sel darah merah (Red Blood Cells, RBCs)

untuk pengukuran volume dan waktu hidup sel darah serta

penyerapan limfa

10-80 µCi Intravena

Kobalt Co 57Kapsul

sianokobalaminDiagnosis anemia pernisius

dan penurunan absorpsi usus0.5 µCi Oral

Fluor F 18Injeksi natrium

fluoridaPencitraan tulang 10 mCi Intravena

Galium Ga 67 Injeksi galium sitrat Penyakit Hodgkin, limfoma 8-10 mCi Intravena

Indium In 111Injeksi kapromab

pendetid

Pencitraan metastatik  pada pasien dengan kanker prostat yang telah dibuktikan dengan

biopsi

5 mCi Intravena

Iodin I 131 TositumomabPengobatan Limfoma non-Hodgkin refraktori derajat

rendah

Dosis individual;

tidak lebih dari 75 cGy

seluruh tubuh

Intravena

Nitrogen N 13 Injeksi amonia Pemeriksaan perfusi miokard 10-20 mCi Intravena

Oksigen O 15 Injeksi air Perfusi jantung 30-100 mCi Intravena

Fosfor P 32Injeksi natrium

fosfatPolisitemia 1-8 mCi Intravena

Rubidium Rb 82

Injeksi Rubidium klorida

Pemeriksaan perfusi miokard 30-60 mCi Intravena

Samarium Sm 153

Injeksi leksidronamTerapi paliatif nyeri tulang

pada lesi tulang osteoblastik metastase

1.0 mCi/kg Intravena

Stronsium Sr 89Injeksi stronsium

klorida

Terapi paliatif nyeri tulang pada lesi tulang osteoblastik

metastase4 mCi Intravena

Teknetium Tc 99m

Injeksi albuminPencitraan aliran darah

jantung20 mCi Intravena

Teknetium Tc 99m

Injeksi bisisat Tambahan untuk CT (computed

tomography)/MRI(Magnetic

20 mCi Intravena

Page 18: MAKALAH RADIOFARMASI

Resonance Imaging)pada pasien stroke

Teknetium Tc 99m

Injeksi oksidronat Pencitraan tulang 20-30 mCi Intravena

Teknetium Tc 99m

Injeksi pentetat

GFR (kuantitatif)

3 mCi

IntravenaRenogram (diuretik)

Pencitraan perfusi ginjal 10 mCi

Teknetium Tc 99m

Injeksi tetrofosmin Fungsi dan perfusi miokard 8-40 mCi Intravena

Thallium Tl 201Injeksi thallus

klorida

Pencitraan perfusi miokard 3-4 mCi

Intravena

Pencitraan paratiroid 2 mCi

Xenon Xe 133 Xenon Pencitraan ventilasi paru 10-20 mCi Inhalasi

Page 19: MAKALAH RADIOFARMASI

BAB III

PENUTUP

Radiofarmaka merupakan senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam

strukturnya dan digunakan untuk diagnosis atau terapi. Dengan kata lain, radiofarmaka

merupakan obat radioaktif. Sediaan radiofarmaka dibuat dalam berbagai bentuk kimia dan fisik

yang diberikan dengan berbagai rute pemberian untuk memberikan efek radioaktif pada target

bagian tubuh tertentu. Beberapa contoh rute pemberian seperti per oral (kapsul dan larutan),

intravena, intraperitoneal, intrapleural, intratekal, inhalasi, instilasi melalui tetes mata, kateter

urin,  kateter intraperitoneal dan shunts. Pemanfaatan radiofarmaka dalam bidang kedokteran

dapat digunakan untuk  diagnostik in-vivo, in-vitro dan terapi.

Dari penelitian tentang optimalisasi penandaan 99m Tc-DTPA-ketokonazol sebagai

radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi diperoleh hasil yaitu penandaan 99mTc-DTPA-

ketokonazol telah berhasil dilakukan dengan kemurnian radiokimia sebesar 97,77 % ± 0,33 %

padajumlah ketokonazol sebanyak2 mg; DTPA 1,125 mg; reduktor SnCl2.2H2O 3,75 μg; pH 4,5

dan waktu inkubasi 5 menit. Uji uptakein-vivo 99mTc-DTPA-ketokonazol pada mencit yang

diinfeksi dengan C. albicans, menunjukkan rasio uptake pada organ terinfeksi terhadap organ

yang tidak terinfeksi (T/NT) sebesar 3,16±0,04 (n=5) setelah 2 jam injeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Arendrup MC. Epidemiology of invasive candidiasis. Curr Opin Crit Care 2010;16(5):

445–52.

Gompelmann D, Heussel CP, Schuhmann M, Herth FJ. The role of diagnostic imaging in

the management of invasive fungal diseases: report from an interactive workshop. Mycoses

2011;54 Suppl 1: 27–31.

Zolle I. Technetium-99m pharmaceuticals: preparation and quality control in nuclear

medicine. Berlin Heidelberg: Springer; 2007.