makalah ppwk

148
PPWK Perencanaa n Wilayah Dan Kota FT Unibraw 1.1 Latar Belakang Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang yang mempelajari perencanaan penataan wajah kota dan wilayah yang baik, dengan memberikan perhatian pada aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan wilayah dan kota. Sejak dilahirkannya ilmu perencanaan atau tata kota dan prakteknya melalui koordinasi atau birokrasi modern dalam konteks kolonialisme, secara tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial yang terus bergerak dinamis hingga saat ini. Gerak yang sangat dinamis ini dapat dilihat di daerah perkotaan yang diidentikkan sebagai pusat pertumbuhan, pusat kerajinan, dan modernisasi yang menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan migrasi atau urbanisasi. Kota merupakan suatu ekosistem yang dapat mendatangkan 1 BAB I

Upload: mita-lestari-h

Post on 28-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah semester pertama PWK

TRANSCRIPT

Page 1: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

1.1 Latar Belakang

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di

Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang yang mempelajari perencanaan

penataan wajah kota dan wilayah yang baik, dengan memberikan perhatian pada

aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan

adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan

wilayah dan kota.

Sejak dilahirkannya ilmu perencanaan atau tata kota dan prakteknya

melalui koordinasi atau birokrasi modern dalam konteks kolonialisme, secara

tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena

ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial

yang terus bergerak dinamis hingga saat ini.

Gerak yang sangat dinamis ini dapat dilihat di daerah perkotaan yang

diidentikkan sebagai pusat pertumbuhan, pusat kerajinan, dan modernisasi yang

menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan

migrasi atau urbanisasi. Kota merupakan suatu ekosistem yang dapat

mendatangkan kerawanan lingkungan, baik untuk lingkungan kota itu sendiri

maupun untuk lingkungan di pinggiran kota. Walaupun secara ekologi, ekosistem

kota lebih rawan tetapi pada kenyataan umumnya kondisi kota lebih maju

dibandingkan desa. Kenyataan ini merangsang orang desa untuk melakukan

urbanisasi.

Pemahaman ini mengakibatkan penduduk desa terutama pemuda-pemuda

desa berlomba-lomba mencari kerja di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang

merupakan upaya untuk meningkatkan status diri dan keluarganya. Orang-orang

desa yang bekerja di kota dianggap mempunyai nilai lebih di desanya. Fenomena

itu kemudian menarik pemuda yang lain untuk mendapatkan status pemuda yang

tidak ketinggalan jaman. Dengan adanya urbanisasi pertambahan penduduk kota

1

BAB

IBAB

I

Page 2: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

menjadi semakin meningkat pesat. Masyarakat Migran atau urban ini pada

umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya

sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL).

Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan

lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang

tanpa fasilitas apapun dan kehadirannya selalu menyertai tempat-tempat

keramaian, mengelompok menggunakan ruang-ruang umum yang ada, seperti

trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya

pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya

PKL sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari hukum timbal balik yang

saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.

Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih

mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL

tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat.

Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang

mempunyai akar pada masyarakat Indonesia dan dilaksanakan pada ruang

terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya

orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992).

Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL

berkembang sangat cepat pada tempat-tempat umum secara tidak beraturan dan

hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya

adalah masalah lalu lintas, berupa kemacetan di jalan umum. Jalan sebagai

prasarana utama perhubungan atau pengangkutan barang dari satu tempat ke

tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga

fungsi jalan menjadi terganggu. Bertolak dari pemikiran ilmiah keberadaan PKL

di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati,

dan difahami serta adanya political policy dari pemerintah berupa dukungan

kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota.

Penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut ke dalam makalah yang

berjudul “ANALISA KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL DI SEKITAR TUGU

PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.

2

Page 3: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana keterkaitan keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan dengan

konsep tata ruang kota ?

2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah kota terkait dengan masalah

tersebut?

3. Mengapa kebijakan tersebut masih belum berhasil ?

4. Bagaimanakah kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut ?

1.3 Tujuan

Tujuan makalah ini adalah:

1. Mengetahui keterkaitan keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan dengan

konsep tata ruang kota.

2. Mengetahui kebijakan pemerintah kota terkait dengan masalah tersebut.

3. Mengetahui sebab kegagalan kebijakan tersebut.

4. Merekomendasikan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah

tersebut.

3

Page 4: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2.1 Letak Geografis

Kota Surabaya merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Secara geografis

Kota Surabaya terletak diantara 07.12” – 07.21” Lintang Selatan dan 112.36” –

112.54” Bujur Timur. Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di

atas permukaan laut, kecuali disebelah selatan dengan ketinggian sekitar 25-50

meter di atas permukaan laut. Kota ini memiliki luas wilayah kurang lebih 326,37

km2.

2.2 Batas Administrasi

Sebelah Utara : Selat Madura

Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo

Sebelah Timur : Selat Madura

Sebelah Barat : Kabupaten Gresik

2.3 Fungsi dan Peranan Kota Surabaya

Sesuai kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya dalam RTRW tahun

2005 menetapkan bahwa Kota Surabaya adalah kota yang berwawasan

“BUDIPAMARINDA” (budaya, pendidikan, pariwiwsata, maritim, industri dan

perdagangan, informasi, administrasi, social, dan kesehatan).

2.4 Pembagian Wilayah Kota Surabaya

Kota Surabaya terdiri atas 31 kecamatan dan 163 kelurahan (PERDA no. 5

dalam Suarabaya Dalam Angka, 2003:28). Dimana kecamatan terbanyak ditemui

pada wilayah Surabaya selatan sebanyak 8 kecamatan sedangkan wilayah dengan

jumlah kecamatan paling sedikit ditemui pada wilayah Surabaya bagian pusat,

dimana hanya terdiri atas 4 kecamatan saja.

4

BAB

IIBAB

II

Page 5: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2.5 Fasilitas Perdagangan

Perkembangan perekonomian Kota Surabaya dipengaruhi oleh aktivitas

sector produksi perdagangan, pasar, restoran, hotel, dan jasa lainnya. Tidak hanya

kontribusi sector ini terhadap perekonomian Kota Surabaya, akan tetapi

kecenderungan ke depan pun dapat diperkirakan sector ini akan mengalahkan

sector industri menjadi leading sector di Kota Surabaya. Fasilitas perdagangan di

Kota Surabaya didominasi oleh pedagang kaki lima ataupun pedagang yang

berada di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya.

5

Page 6: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2.6 Tugu Pahlawan

Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark Kota

Surabaya. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang.

Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10

November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan

pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.

Monumen ini berada di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa

Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota

Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10

November dimana pada tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang

kemerdekaan.

6

Page 7: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

3.1 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan lebih bersifat keahlian, bukan i1mu pengetahuan

teoritis. Seorang analist kebijakan selalu mengandalkan diri pada proses yang

dapat dipertahankan, metode yang tepat, dan pertimbangan yang didasarkan

pengalamannya.

Policy Analysis atau analisa kebijakan mneurut Charles E Lindblom dalam

buku Perencanaan Wilayah Kota karangan Catanese adalah suatu tipe analisis

kuantitatif yang melibatkan perbandingan incremntal, dimana metode kualitatif

dimasukkan untuk mengenal interaksi antara nilai dan kebijakan

3.1.1 Tahapan-Tahapan Dalam Analisis Kebijakan

7

BAB

IIIBAB

III

(4) Mengevaluasi Setiap alternatif

kebijakan

(5) Memaparkan

dan memilih di antara berbagai

alternatif

(6) Memantau dan

mengevaluasi hasil

(2) Menentukan

kriteria evaluatif

(3) Mencari alternatif kebijakan

(1) Menentukan Masalah (Menguji,

merinci)

Page 8: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Menentukan Masalah

Dilakukan atas 2 dasar prinsip (kunci) : (1) Memilih waktu untuk

memikirkan, berarti memikirkan masalah secara bebas, bukan dengan

menjaring informasi dan pendapat yang mungkin dapat menyesakan atau

terlalu di sederhanakan. (2) mengungkapkan dengan angka-angka, berarti

menguantifikasiakn masalah dengan maksud untuk menguji ukuran dan

signifikannya.

Bagimana masalah itu didefinisikan, akan sangat berpengaruh terhadap

permasalahannya. Analisis merupakan peran yang sangat penting. Tuijuan

analisis harus terbuka terhadap berbagai persepektif, menjelasakan suatu

realitasa dari berbagai segi.

Contoh : Suatu daerah permukiman mempunyai peluang untuk

dikembangkan menjadi komplek perkantoran dan perbelanjaan.

Developer menyediakan biaya-biaya untuk pembebasan lahan dan

bangunan. Para pemilik rumah yang termasuk dalam rencana

tersebut menekan pemerintah daerah untuk memberikan ijin

perubahan zoning, karena mereka akan mendapat penjualan dari

rumah mereka. Pemerintah setempat juga akan mendapatkan

manfaat dari pertumbuhan lingkungan tersebut, meskipun harus

menyediakan fasilitas dan utulitasa yang baru.sebaliknya ada

sebagian pemilik rumah yang tidak termasuk dalam rencana itu

yang akan mendapat gangguan atau dampak. Akibat pembangunan

tersebut dan cenderung menolak adanya pembangunan.

Bagi analis kebijakan, ada empat persepektif yaitu pemrintah daerah, para

pemilik rumah yang kan mendapatkan ganti rugi, Developer dan pemilik

rumah di lingkungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Ada bebrapa

metode yang dapat dipakai untuk menganalisa antara lain :

o Perhitungan Back-Of_The_Envelope (Untiuk estimasi besarnya masalah)

Pembahsan kebijakan peklu di lengkapi dengan hasil perhitungan

statistic, karena angka satatistik dapat menunjukan seberapa besar

8

Page 9: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

masalahnya. Frederick Mosteler menyarankan empat metode untuk

menentukan angka-angka yang tidak di ketahui :

1. Melihat angka yang terdapat dalam sumber rujukan

2. Mengumpulkan angka melalui survey yang sistematis

3. Menebak angka

4. Meminta bantuan para ahli untuk memberikan angka

o Analisis Keputusan (Untuk menentukan komponaen penting)

o Definisi Operasional (Untuk mengurangi konsep yang mendua)

Pengungkapan suatu masalah atau tujuan ukuran tertentu, disebut

sebagai menentukan definisi-definisi operasional. Jika langkah ini dilakukan

dengan sembrono atau tidak dilakukan sama sekali, maka kebijakan yang

sudah digariskan akan sulit dievaluasi atau tidak jelas keberhasilannya.

o Analisis Politik (Untuk tidak mengabaikan factor non kualitatif)

Meskipun analisa politis bersifat kualitatif, hal ini dapat dilakukan

secara lebih metodologi, sebagaimana dinyatakan olh Meltsner bahwa

masalah-masalah politis dapat dianalis dari segi yang terlibat. Termasuk

didalamnya motivasi serta keyakinan mereka, sumber daya yang mereka

miliki, serta kemampuan mereka untuk menggunakan sumber daya secara

efektif dan posisi-posisi mana yang akan diambil.

o Kertas Kerja (Untuk membantu memutuskan penelitian lanjutan)

Berupa penyiapan suatu dokumen yang dapat memberikan penjelasan

kepada klien mengenai analisa apa yang diperlukan untuk memahami masalah

dan untuk mencapai beberapa rekomendasi. Kertas kerja didasarkan pada

usulan-usulan mengenai bagaimana mempelajari masalah. Hasilnya harus

berupa program kerja yang jelas dan terinci agar mudah dipahami klien.

3.1.2 Mencari Berbagai Alternatif

Ada dua jenis cara pemecahan yaitu

(1) Yang telah ada dan dapat digunakan sebagaimana adanaya atau

dimodifikasi agar sesuai dengan masalah yang ada.

(2) Yang benar-benar merupakan pemecahan yang baru.

9

Page 10: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

1. Altertatif tanpa tindakan (no action alternative)

Seorang analisis kebijakan harus mempertimbangkan alternative tanpa

tindakan apapun, atau mempertahankan status quo. Terkadang alternatif ini

diabaikan atau dilecehkan oleh mereka yang berpandangan sederhana yaitu untuk

mengatasi masalah yang sudah diketahui perlu adanya tindakan . Alternatif ini

penting perannya sebagai tolok ukur untuk membandingkan alternative lainnya.

Jika sampai pada tahap mengevaluasi setiap alternative, semua dampak dari setiap

alternative akan dipertimbangkan. Perbandingan itu akan menunjukkan peran

alternative tanpa tindakan, dan mungkin saja dalam waktu 10 tahun alternative

tanpa tindakan masih lebih baik dari pada lainnya.

2. Alternatif lain yang didasarkan kebijakan yang ada

Berdasarkan alternative tanpa tindakan tersebut, dapat dikembangkan

alternative tindakan terbatas, sehingga memberi kemungkinan adanya perubahan

incremental dari alternative tanpa tindakan. Sumber alternative ini berasal dari

pengalaman pihak lain. Analisis dapat minta para professional, menanyakan

pengalaman mereka dalam penerapan kebijakan atau program-program yang

berkaitan dengan masalah ini. Para ahli tersebut dapat dicari dari perkumpulan

atau ikatan profesi dan perguruan tinggi. Pendapat para ahli ini tentu akan

memberikan perspektif yang beragam dibanding pendapat seorang awam, dan

tugas analisis adalah mendapat berbagai alternative yang besar manfaatnya.

3. Alternatif yang didasarkan kebijakan yang baru

Teknik lain untuk mendapatkan alternative adalah berusaha mencari ilham.

Ada dua kaidah utama untuk mendapatkan alternative tersebut, yaitu :

(1). Memisahkan tahap yang kritis dari salah satu tahap dimana diajukan

ide-ide, agar tidak melumpuhkan kreativitas,

(2). Memperkuat suatu ide yang tidak praktis atau ekstrim untuk

dijadikan lebih praktis disbanding dengan memikirkan ide yang

mulai dari dasar

10

Page 11: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

3.1.3 Mengevaluasi Setiap Alternatif

Langkah pertama untuk mengevaluasi suatu alternatif kebijakan adalah

meramalkan kondisi-kondisi dimasa mendatang atau pengaruh-pengaruhnya,

apabila kebijakan ini diterapkan. Langkah berikutnya adalah membandingkan

pengaruh yang sudah diramalkan dari setiap alternatif dalam bentuk kriteria

evaluasi, termasuk analisis terhadap setiap ketidakpastian yang diramalkan.

1. Meramalkan setiap pengaruh

Untuk meramalkan setiap pengaruh tersebut ada tiga jenis metode

peramalan sebagai berikut:

(1). Metode ekstrapolasi

Dilakukan dengan melakukan ektrapolasi terhadap kecenderungan

(trend) masa mendatang. Hal ini mudah dilakukan jika hal-hal yang lalu

dapat digambarkan dalam angka-angka kualitatif, seperti jumlah

penduduk. Jika data kuantitatif sudah diperoleh, maka hal itu dapat

dijadikan dasar untuk melakukan ekstrapolasi secara mekanis kemasa yang

akan datang.

(2). Metode modelling

Sebenamya semua keputusan itu dilakukan berdasarkan beberapa

model, beberapa merupakan konstruksi dari perilaku suatu subsistem.

Beberapa model sudah dikembangkan, diuji dan distandardisasikan.

Salah satu contoh sederhana adalah model ekonomi mengenai

penawaran, permintaan serta harga dari suatu komoditi. Model ini sering

digunakan dalam pembuatan kebijakan untuk memprediksi bagaimana

setiap orang, pemerintah atu perusahaan akan bereaksi terhadap

perubahan-perubahan Iingkungan.

(3). Peramalan intuitif

Metode ini paling banyak digunakan dalam analisis kebijakan. Analis

dapat minta bantuan dari orang-orang yang memang mempunyai intuisi

dan visi yang tajam terhadap topik-topik kritis dengan segala

konsekuensinya. Dalam hal ini dituntut kepekaan dan ketajaman analis

dalam mensikapi pandangan~pandangan orang-orang tersebut.

11

Page 12: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2. Mengevaluasi setiap pengaruh

Pada umumnya cara yang digunakan intuk mengevaluasi pengaruh dari

setiap alternatif kebijakan adalah dengan membandingkan pengaruh altematif

tanpa tindakan dengan pengaruh altematif lairmya (dengan tindakan).

Perbandingan ini, akan terfihat jelas jika disusun dalam bentuk matriks, gunanya

untuk menentukan setiap pengaruh neto (net impact). Analis menggunakan

kriteria evaluasi yang telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya (tahap 2), untuk

memutuskan pengaruh neto yang mana yang akan digunakan untuk evaluasi dan

bagaimana mengukur arti pentingnya secara relatif.

3. Menanggulangi ketidakpastian

Salah satu kesulitan yang dihadapi ana lis adalah ketidakpastian. Jika

resiko memberi arti bahwa terdapat dua atau lebih peluang dimasa mendatang

dan kita dapat mengkaitkan suatu kemungkinan untuk setiap keadaan ini dengan

tingkat kehandalan tertentu, maka ketidakpastian mengartikan bahwa kita tidak

dapat mengkaitkan adanya kemungkinan tersebut dimasa mendatang dengan

kehandalan tertentu. Kebanyakan analisis kebijakan mengandung ketidakpastian.

3.2 Memaparkan Dan Memilih Alternatif

Prinsip-prinsip

Ada empat yang harus digunakan analisis sebagai pedoman dalam

menunjukkan dan memlih tiap alternatif, yaitu:

1. Kesimpulan yang ditarik oleh analisis dari tiap alternative harus jelas.

Analisis hendaknya menggunakan metode sedemikian sehingga klien

dapat memahami bagaimana proses penilaian melalui cara sama bagi

setiap alternative.

2. Teknik-teknik yang digunakan untuk menunjukkan dan memilih tiap

altrtnatif harus dapat diterapkan penilaian secara berganda. Hanya sedikit

masalah yang menyangkut kebijakan diputuiskan berdasar satui criteria

saja.

3. Kriteria yang tidak dikuantifikasikan seringkali sama pentingnya dengan

criteria yang dapat dikuantifikasikan.

12

Page 13: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

4. Bagaimanapun caranya pemaparan, hendaknya dapat mengarahkan

analisis dan klien kepada suatu keputusan. Pemaparan ini hendaknya dapat

menunjukkan sifat dari tiap alternative sehingga dapat dilakukan berbagai

pertimbangan atas factor-faktor penting bagi semua pihak dan membuka

kemungkainan kompromi apabila situasinya memang menghendaki

demikian.

3.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)

3.3.1 Pengertian PKL

Perdagangan sektor informal dapat diartikan kelompok/golongan yang

usahanya berskala kecil, meliputi pedagang kakilima, pemulung, usaha industri

kecil dan kerajinan rumah tangga (Arundhati, 2000). Pada penelitian yang

dilakukan penulis sektor informal ini hanya dibatasi khusus pedagang kakilima.

Sebagai batasan untuk menjelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan

pedagang kakilima, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978

mendefinisikan pedagang kakilima sebagai: "mereka yang dalam usahanya

mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat kepentingan umum yang bukan

diperuntukkan tempat usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya".

Bucheri Alma (2000), yang mengutip hasil penelitian Fakultas Hukum

UNPAR, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah “Orang

(pedagang-pedagang) golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang kebutuhan

sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal sendiri atau modal orang lain, baik

berjualan ditempat terlarang atau tidak”.

Sedangkan menurut Roy Bromley seperti dikutip oleh Tadjudin Noer

Effendi (1988) menyatakan bahwa: “PKL digambarkan sebagai perwujudan

pengangguran atau setengah penganggur. Menurut gambaran yang paling buruk

PKL dipandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan. Sedangkan menurut

pandangan yang paling baik, ia dipandang sebagai korban langkanya kesempatan

kerja di kota”.

Menurut Hans Dieters Evers, seperti dikutip oleh Didik J Rachbini (1994)

menyatakan bahwa: “PKL disebut juga ekonomi bayangan atau black economy

atau underground economy“. Sedangkan Yan Pieter Karafir, seperti dikutip oleh

13

Page 14: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Didik J Rachbini (1994), mengartikan: “PKL adalah pedagang kecil yang

berjualan tidak resmi di suatu tempat umum seperti emper toko dan proses yang

sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mereka”.

Istilah Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang

lebarnya lima kaki (5 feet). Tempat ini umumnya terletak di trotoar depan toko

dan tepi jalan. Ada yang menyatakan bahwa istilah PKL berasal dari orang yang

berdagang dengan menggelar barang dagangannya, para PKL cukup menyediakan

tempat darurat, seperti bangku atau meja yang biasanya berkaki empat, ditambah

sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima, maka timbullah julukan

Pedagang Kaki Lima (PKL).

Terlepas dari asal usul nama PKL tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa PKL ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud

memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap, dengan

kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian dan tidak

memiliki ijin usaha.

3.3.2 Karakteristik PKL

Karakteristik PKL menurut Iwan P. Hutajulu, Tadjudin Noer Efendi dan

beberapa literatur sektor informal adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan cara melakukan kegiatan

PKL menetap, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata pelaksanaan

kegiatannya dilakukan dengan menetap pada lokasi tertentu.

PKL berpindah, merupakan bentuk perdagangan kaki lima yang dalam tata

cara pelaksanaan kegiatannya hanya menetap pada suatu saat tertentu

saja,selama lokasi tersebut menguntungkan dan segera pindah bila sepi

pembeli.

PKL berkeliling, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata cara

pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara berkeliling dan satu lokasi ke

lokasi lainnya dan bersifat selaku mendatangi konsumen atau pembeli.

14

Page 15: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2 Berdasarkan sarana jual yang diperdagangkan

Hamparan di Lantai, merupakan kelompok kegiatan PKL yang

mempergunakan alat jual seperti : tikar, plastik,bakul atau sejenisnya.

Pikulan, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang

mempergunakan dua buah keranjang cara dipikul.

Meja/Jongko, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang

mempergunakan meja/jongko sebagai sarana penjualan barang yang dijual.

Dimana ada yang diberi pelengkap atap dan ada juga yang tidak beratap.

Kereta dorong, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang

mempergunakan sebuah kereta dorong atau gerobak.

Kios, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan

kios sebagai sarana penjualan barang dimana kios ini bersifat permanen

maupun semi permanen.

3. Berdasarkan sumber modalnya

PKL dengan modal diperoleh dari pinjaman, baik yang berasal dari

keluarga, pedagang grosir (khusus peminjaman barang) atau lembaga

keuangan mikro (resmi maupun tidak resmi).

PKL dengan modal pribadi, baik dari tabungan, diperoleh dari penjualan

harta benda atau diberi nama-nama oleh keluarganya.

3.3.3 Fungsi Pedagang Kaki Lima

Peranan perdagangan kaki lima yang merupakan alternatif peluang kerja di

perkotaan juga turut berperan pula dalam aktivitas perekonomian. Menurut

Noegraha (1989) (dalam Ernawati, J dan Tunjung W.S, 1995: 15) secara umum

kegiatan pedagang kaki lima mempunyai fungsi yaitu:

1. Fungsi pelayanan pedagang eceran

Pedagang kaki lima yang tergolong ekonomi lemah berfungsi sebagai

pedagan eceran yang mana langsung dikonsumsi oleh konsumen. Karena skala

kegiatan kecil, maka barang atau jasa yang dihasilkan atau ditawarkan terbatas

dan tergantung dari modal dan keterampilan yang dimiliki.

15

Page 16: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

2. Fungsi pelayanan jasa

Selain sebagai unit usaha yang menyediakan barang terdapat pula PKL

yang menyediakan pelayanan jasa dengan unit usaha yang lebih sedikit

dibandingkan dengan kelompok pertama yang mempunyai fungsi komersial

(pedagang eceran) karena kelompok ini memerlukan keterampilan khusus

untuk membuka usaha (pelayanan jasa). Misal: tukang tambal ban dan

reparasi.

3. Fungsi hiburan

Artinya keberadaan pedagang kaki lima dapat memberikan suatu suasana

yang menyenangkan atau mempunyai ciri khas yang pada umumnya dimiliki

oleh kegiatan pedagang kaki lima yang beraktivitas pada malam hari.

4. Fungsi Sosial Ekonomi

Fungsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pemerintah dan pedagang.

Bagi pemerintah keberadaan kaki lima dapat mengurangi pengangguran,

sedangkan dari sisi pedagang merupakan sumber penghasilan terakhir yang

dapat dikerjakan atau sebagai penghasilan tambahan.

3.3.4 Kelengkapan PKL

Kelengkapan atau saran penjualan yang sering digunakan PKL dalam

menjalankan aktivitasnya (Wawarantoe, 1974) adalah sebagai berikut :

1. Hamparan lantai atau tikar

2. Pikulan (untuk yang berjualan dengan berkeliling/berpindah)

3. Meja / jongko dengan atap untuk melindungi barang dagangannya.

4. Kereta dorong

5. Kios (baik permanen maupun semi permanen) dan sifatnya menetap

3.3.5 Penentuan Lokasi

Berdasarkan studi yang dilakukan Goenadi (dalam Widjajanti. 2000 : 35),

penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal khususnya pedagang kaki

lima adalah sebagai berikut :

Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada

waktu yang relatif sama dan sepanjang hari

16

Page 17: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan

perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan. tetapi sering

dikunjungi dalam jumlah besar

Mempunyai kemudahan untuk teIjadi hubungan antara pedagang kaki lima

dengan calon pembeli. walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit

Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum dan

menurut McGee dan Yeung ( 1977 : 108)

Pedagang kaki lima beraglomerasi pada simpul-simpul pada jalur pejalan

kaki yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dalarn

jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah kawasan

komersial.

Dari hasil survei IDRC oleh McGee dan Yeung (1977 : 51-56), penentuan

lokasi sektor informal diharapkan menempati lokasi yang sesuai dengan rencana

penataan pada masing-masing kota yang mana disesuaikan dengan kondisi

eksisting dan karakteristik pedagang kaki limanya. Kebijakan yang telah diambil

oleh pemerintah daerah/kota setempat dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)

jenis yaitu :

1. Relokasi/pemugaran

Yaitu pemugaran suatu lokasi baik untuk dijadikan suatu bentuk

fungsional baru yang berbeda dari yang semula maupun berupa perbaikan dari

kondisi yang ada. Kelompok sektor informal yang semula menempatinya

dikeluarkan dari tempat tertentu, sementara tempat usaha mereka sedang

diperbaiki atau dibangun kcmbali dan apabila telah selesai maka mereka dapat

kembali berusaha/berjualan di tempat tersebut. Relokasi dapat diterima sepanjang

tidak mengganggu hubungan dengan konsumen dari pedagang kaki lima.

2. Stabilisasi/pengaturan

Dalam hal ini stabilisasi dimaksudkan sebagai upaya dalam menata

keberadaan sektor informal pada suatu lokasi. Salah satu tindakan yang dilakukan

adalah pengaturan kembali pedagang kaki lima agar harmonis dan tidak

mengganggu fungsi kola di lingkungan sekitar, tempat mereka melakukan

usahanya. Dan dasar pertimbangan operasionalnya adalah adanya akses bagi

aliran konsumen.

17

Page 18: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Dalam upaya pengaturan dan penataan ruang bagi sektor informal terdapat

beberapa altematif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang pemah

diterpkan atau dilakukan pada berbagai kota di Asia Tenggara diantaranya adalah:

Peruntukkan dalam ruang terbuka (open market)

Merupakan ruang pelataran terbuka yang secara khusus disediakan bagi

aktivitas perdagangan informaI dan dimaksudkan untuk kemudahan

pergerakan konsumen dalam menggunakan jasa pelayanan pedagang

kaki lima dan tidak mengganggu fungsi kota di lingkungan lokasi tempat

berjualan terscbut.

Pembebasan/penutupan jalan-jalan tertentu, yaitu dengan menutup jalan-

jalan tertentu dan menutup sirkulasi kendaraan bermotor dan kendaraan

tak bennotor dan selanjutnya hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan

penampungan perdagangan kaki lima. Upaya Ini biasanya bersifat

sementara dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Pemanfaatan bagian tertentu dari jalan/trotoar

Dengan menempatkan pedagang kaki lima di atas sebagian trotoar pada

jalan-jalan tertentu yang telah dipilih dan tidak mengganggu aktivitas

lingkungan sekitar serta sirkulasi lalu-lintas.

Multifungsi ruang terbuka (taman, lapangan, area parkir dan

sebagainya), yaitu pemanfaatan ruang terbuka di sekitar kawasan

perbelanjaan atau pusat keramaian untuk penampungan aktivitas

perdagangan kaki lima pada waktu-waktu tertentu ketika tidak/kurang

dimanfaatkan.

3. Pemindahan (removal)

Dimaksudkan untuk pemindahan sektor informal ke lokasi yang telah

ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pemindahan ke lokasi tetap ini

dapat berupa pasar resmi atau sebuab lokasi khusus yang ditetapkan sebagai lokasi

sektor informal. Adapun upaya memindahkannya seeara permanen ke dalam pasar

yang telah dilakukan pada beberapa kota, terdapat kendala yaitu pertama

rancangan bangunan yang tidak sesuai. Dimana rancangan fisik pasar sangat

penting bagi kebutuhan yang bermacam-macam dan tipe yang berbeda-beda pula.

Kedua, adalah faktor finansial yaitu terkait dengan tarif sewa ruang di

18

Page 19: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

dalam pasar yang tinggi sehingga salah satu altematif pemecahannya adalah

dengan membuat ruang-ruang kecil untuk menekan harga sewa namun hal

tersebut juga masih terdapat kendala yaitu jenis komoditas dagangannya.

Sehingga apabila dilakukan upaya memindahkan sektor informal ke pasar legal,

maka pertimbangannya adalah rancangan bangunan pasar yang sesuai dan

akomodatif, tingkat harga sewa yang memadai, reneana yang terperinci, dan jarak

lokasi berjualan dari tempat berjualan semula.

3.3.6 Pola Pengelolaan Struktural

Berdasarkan penelitian yang dilaku.kan oleh McGee dan Yeung (1977 :

5660), yang dilakukan pada beberapa negara berkembang bahwa pemerintah kota

selain menerapkan pengelolaan lokasional juga melakukan pengelolaan struktural

diantaranya :

• Perijinan

Hal ini didasarkan menurut jenis barang/jasa yang ditawarkan, waktu, usaha

serta lokasi tertentu. Perijinan bagi aktivitas PKL dalam melakukan usahanya

didasari atas :

a. Memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan

jumlah

b. Membantu dalam penarikan retribusi

Pembinaan

Tindakan pengendalian dalam hal ini dilakukan dengan pembinaan terhadap

kualitas pola pikir para pedagang dan pelaksana aktivitas PKL secara keseluruhan

karena diketahui bahwa pola pikir PKL sebagian masih memiliki tingkat

pendidikan relatif rendah dan sederhana untuk menelaah peraturan yang ada,

sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan kurangnya perhatian

mengenai visualisasi aktivitas secara keseluruhan.

Bantuan/pinjaman

Di Malaysia, pemberian bantuan dan pinjaman dilakukan untuk memberikan

kesempatan kepada PKL untuk berkembang dan meningkatkan efisiensi bagi PKL

yang telah ada.

19

Page 20: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

3.4 Daftar Nama Kelompok

3.4.1 Teori

Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Teori Perencanaan Pembangunan

Tri Muliyani Sunarharum (0610660064) : Reformasi Perencanaan Tata

Ruang Kota

3.4.2 Artikel

Tri Mulyani Sunarharum (0610660064) : Penertiban PKL di Surabaya

Parsial dan Diskriminatif

Anastasia Prima Desi (0610660006) : Pemkot Malang Minta Perda PKL Dikaji

Anggun Nikita (0610660008) : Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota

Blitar Tentang Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar)

Dyana Ika Sari (0610660025) : Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota,

Pedagang Kaki Lima Terkena Dampak

Wahyu Eko (0610660066) : Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu

Pahlawan dan Relokasi PKL Pahlawan Batal

Wulan Dwi Purnamasari (0610660069) : Kesejahteraan PKL Versus

Kesejahteraan Kota Di Surabaya dan Menata PKL Perlu Penataan

Ruang

Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Apa Selalu Menjadi Masalah

Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor Informal (1)

Anggi Misaful Bewani (0610660007) : "Katanye" Kota Kaki Lima

Amelia Dewi Safitra (0610660005) : PKL Mengganggu dan

Memperindah Kota

Wahyu Pradana P. (06100660068) : Pasar Keputran Kumat Lagi

20

Page 21: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

3.5 Kumpulan Teori dan Artikel

3.5.1 Kumpulan Teori

Teori Perencanaan Pembangunan

Teori yang mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pengirim di dalam

merencanakan suatu program adalah dengan jalan memberikan keterbukaan antara

pemerintah dengan masyarakat. Teori-teori yang dimasud diantaranya adalah

Teori Perencanaan Pembangunan. Tokoh sentral dalam teori ini adalah John

Friedman (1986). Ia melakukan kajian atas praktik-praktik perencanaan

pembangunan dalam kurun waktu 200 tahun, kemudian tersimpulkan perencanaan

sebagai Analisa Kebijakan (Planning Policy Analysis), di mana pemerintah

bersama-sama masyarakat merumuskan permasalahan dan menyusun berbagai

alternatif kebijakan. Disini, perencanaan dilakukan dengan terdesentralisasi,

mempergunakan pola interaktif, kebijakan direncanakan dengan ilmiah, dan

dengan politik yang terbuka. Teori lain adalah Teori kebijakan atau Ilmu

Kebijakan (Pilicy Science). Teori ini merupakan disiplin yang relatif baru dalam

administrasi kenegaraan. Teori kebijakan didasarkan pada tiga perinsip. Pertama,

perinsip bahwa pengambilan kebijakan harus melibatkan masyarakat sebanyak

mungkin. Kedua, pengambilan keputusan mengikuti Policy Cycle, yaitu

perumusan persoalan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan dan pemilihan

alternatif kebijaksanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan, serta kemudian evaluasi

kebijakan. Prinsip ketiga, melakukan analisis dengan menerapkan kombinasi tiga

macam pengetahuan: empiris positivisme, pengalaman individu, dan nilai-nilai

hidup di dalam masyarakat.

Teori di atas juga didukung oleh Samuel Huntington (1968), Lucian W Pye

(1966), serta Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Mereka menyarankan

tiga kondisi sebagai bukti adanya suatu pembangunan, yaitu:

1. Adanya diversifikasi fungsi dalam masyarakat.

2. Adanya desentralisasi fungsi di masyarakat, mulai dalam hal berfikir,

keinginan, sampai dengan manajemen pribadi, kelompok dan masyarakat.

3. Adanya sekulerisasi, dalam arti berkembangnya budaya yang analitis dan

rasional. Bukan budaya sakral yang mistis.

Sumber : http://air.bappenas.go.id

21

Page 22: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

REFORMASI PERENCANAAN TATA RUANG KOTA

Written by Sunardi   

Sunday, 16 July 2006

Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai

wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan

senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan

kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika

serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di

sekitarnya.

Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah

dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa

di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat,

tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik

dan psikhis) masyarakat.

Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-

banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa

dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat

pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan

sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan

Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah

ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah

permukiman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah

perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi:

(a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak

kejahatan;

(b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok

pemuda.

Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama

disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang

berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar

kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.

22

Page 23: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di

negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih

berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian

menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut

tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir

perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang

akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota

pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk

miskin di daerah perkotaan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah

penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %),

sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin

di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena

besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya

dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal

menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan.

Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia Kiranya pemerintah telah

menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah

pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota.

Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan,

diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia

(Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan

Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku

sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang

Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming

Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.

Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun

1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa

kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar

tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di

bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang

bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah)

23

Page 24: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu

lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola

pemintakatan atau zoning yang ketat.

Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif,

sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang

Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan,

yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7

tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut

merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum

ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Penataan Ruang.

Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan

Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih

mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun

dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan

tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini

menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah

ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.

Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap

rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini

berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota

dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai

penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator

adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar

dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi

masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.

Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah

tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan

ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan,

24

Page 25: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan

oleh peraturan dasarnya.

Reformasi perencanaan kota Di Indonesia reformasi total telah digulirkan,

dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN

(korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam

proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan

konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses

penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam

proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu

adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur

sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya

perubahan/reformasi.

Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana

penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2

tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan

rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka

menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga

jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-

gambar yang sudah pasti (blue print).

Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa

Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan

perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya

teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi

masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya

perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print

planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada

masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah

kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan

model process planning.

Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro

menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya.

Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si

25

Page 26: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal

ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai

tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya

kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota

merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.

Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan

tata ruang kota antara lain:

1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan

menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi

masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan

akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan

masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang

Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi

perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa

perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan

oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukan-

masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai

Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.

2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down

merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat.

Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak

terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil

masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan /

Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap

perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan

pemerintah.

3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning.

Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka

panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika

masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya

perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya

26

Page 27: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak.

Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang

benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.

4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin

ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota.

Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat)

kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa

permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek,

tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek:

ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.

5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan

ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan

dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang

oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan

Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land

Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.

6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah

ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan

implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program

kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan

Bappeda. (Sumber : http://www.bktrn.org)

27

Page 28: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

3.5.2 Kumpulan Artikel

Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif

BELAKANGAN ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali

melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang

hingga kini masih tetap memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan

protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen

bebas PKL.

BAHKAN, ada indikasi mereka (PKL) sepertinya mencoba bermain petak

umpet dengan aparat penertiban. Pada saat operasi penertiban gencar dilakukan,

memang PKL seolah menghilang. Tetapi, ketika operasi mulai kendur, maka

jalan-jalan itu pun kembali dipadati PKL.

Daerah-daerah di seputar Jalan Genteng Kali, Kapasari, Rumah Sakit

Karang Menjangan dan sebagainya, kini kembali ditempati para PKL. Bahkan,

akibat sebagian trotoar sudah dipasangi pot-pot besar, kini sebagian PKL malah

berdagang di pinggir jalan sehingga makin mengganggu arus lalu lintas. Kenapa

PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak sedikit

dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia?

Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum, mungkin

benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum

dan menjadikan kota tampak kumuh. Tetapi, untuk menata sektor informal dan

meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak membuat kota makin semrawut,

maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh

akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang

sama sekali tidak menyelesaikan persoalan.

Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan

menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan

sejenisnya, pada dasarnya adalah program penataan kota yang sifatnya parsial dan

cenderung hanya memotong kompas karena sikap tak sabar.

Kenapa gagal?

Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot

Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat

diskriminatif. Dikatakan parsial karena kegiatan penertiban yang dilakukan hanya

28

Page 29: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

menyentuh aspek kulitnya saja-yakni sekadar menyingkirkan orang-orang miskin

dari wilayah kota-tanpa ada penanganan yang menyentuh akar masalah.

Dikatakan temporer, karena cenderung hanya memfokuskan kegiatan

penertiban pada jalan-jalan protokol demi terciptanya pemandangan yang serba

tertib dan indah untuk sementara waktu tanpa ada kelanjutan program yang pasti.

Sedangkan dikatakan diskriminatif, karena obyek penertiban hanya terfokus pada

kelompok marginal kota, sementara kekuatan komersial yang juga sama-sama

melanggar tata tertib kota seolah-olah tidak tersentuh. Misalnya, pabrik di wilayah

stren kali dan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang

menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar

garis sempadan.

Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang dilaksanakan

Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran

miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan bukan

dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistik-

yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin terpolarisasi.

Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David

Baker (1980)- cenderung bersifat punitif (menghukum). Tindakan pemkot

menggusur permukiman kumuh di sepanjang stren kali, menggusur PKL dari

lokasi mereka berdagang, membebaskan kawasan pusat kota dari PKL, dan upaya

untuk mengembalikan kaum migran miskin ke daerah asalnya, pada dasarnya

adalah bagian dari upaya Pemkot untuk mengembangkan kebijakan "pintu

tertutup" bagi kaum migran.

Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif

mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya

mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran

pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya

masih belum banyak dikembangkan. Maka, jangan heran jika hasilnya seolah

hanya jalan di tempat.

Upaya penataan

Sebagai sebuah masalah sosial di kota besar, harus diakui bahwa upaya

menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota Surabaya bukanlah hal yang

29

Page 30: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

mudah. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan

masalah baru, sedangkan bentuk perlindungan dan sikap belas kasihan yang

berlebihan dikhawatirkan juga akan menimbulkan bentuk ketergantungan baru

yang dapat menghilangkan mekanisme self-help kaum migran yang masuk dalam

kategori miskin.

Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat

represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme

"kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga

akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan

PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar

masalah.

Perlu disadari bahwa keberadaan PKL pada dasarnya bukanlah semata-

mata beban atau melulu gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi,

PKL dan kaum migran sesungguhnya merupakan potensi ekonomi. Bahkan jika

keberadaan PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.

Misalnya di Jakarta, setiap tahun dilaporkan bahwa Pemprov DKI Jakarta

kehilangan uang pemasukan sebesar Rp 53,4 milyar karena adanya pungutan liar

(pungli) yang ditarik dari sektor informal kota. Pungli itu dilakukan oknum

pengurus RT/RW, petugas keamanan hingga aparat Dinas Kebersihan DKI

Jakarta. Belum lagi pungli yang dilakukan sejumlah preman.

Jika di Surabaya retribusi yang ditarik dari seluruh sektor informal kota

dapat masuk ke kas pemkot dan campur tangan oknum atau preman yang selama

ini mengeksploitasi PKL dan migran dapat dieliminasi, maka tidak mustahil

kehadiran PKL justru menjadi salah satu sumber PAD yang strategis.

Kalau misalnya di Surabaya terdapat 50.000 PKL, kemudian mereka

masing-masing dikenakan retribusi Rp 500, maka dalam satu hari Pemkot

Surabaya dapat menerima pemasukan sebesar Rp 25 juta.

Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas,

perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu

ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota.

Masalahnya, dengan segala keterbatasan jumlah personel, dana dan lahan yang

30

Page 31: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

dimiliki Pemkot Surabaya, maka upaya menata PKL tidak bisa tidak harus

melibatkan pengusaha dan pengelola pusat perbelanjaan dan pusat perkantoran.

Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak

swasta umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah

menyerahkan sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot. Plaza yang

setiap hari ramai dikunjungi warga kota dan memiliki karyawan, seolah-olah

menutup mata terhadap situasi di sekitarnya. Padahal, para karyawan pusat

pertokoan/plaza tersebut, setiap hari membutuhkan jasa PKL untuk makan atau

minum.

PKL yang berjasa melayani kebutuhan karyawan mereka dibiarkan

berjejal di jalan-jalan atau ruang publik, tanpa ada keinginan sedikit pun dari

pihak swasta untuk ikut membantu menyediakan lahan guna menampung para

PKL itu di sekitar mal/plaza.

Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan

kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera

menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam

upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan

sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.

Pasar Atom, mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Lahan

yang diperuntukkan untuk PKL di sekitar mal/pusat perkantoran itu tentu tidak

diberikan secara gratis. PKL diwajibkan untuk menyewa dengan tarif yang tidak

mahal, namun terjangkau dan menguntungkan kedua belah pihak, baik PKL

maupun pengelola mal atau pusat perkantoran.

Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota

Surabaya, ada baiknya pemkot tidak melulu terjebak pada pendekatan yang

sifatnya represif. Melainkan mencoba mengembangkan semacam mekanisme

deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan

dan kecamatan.

Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau

bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus.

Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka

31

Page 32: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

pihak kelurahan dan kecamatan dapat segera mengambil langkah-langkah

penindakan.

Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya

penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta

dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan

dengan efektif jika pihak kelurahan atau minimal pihak kecamatan juga diberi

dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.

Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih

termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar

daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.

Upaya penataan PKL sebaiknya tidak hanya berkutat pada bentuk-bentuk

penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif karena hanya akan

melahirkan pembangkangan dan resistensi dari para PKL. Oleh karena itu, yang

lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengombinasikan antara fungsi

pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri

untuk situasi khusus.

Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang

dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar

memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu

sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemkot untuk

terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta

bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data

akurat dan up to date tentang keadaan PKL di Surabaya.

Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemkot untuk

mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan

daya tampung kota. Yaitu dengan cara mengembangkan kerja sama dengan daerah

hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota agar tidak makin menyolok.

Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap

diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu

32

Page 33: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum

warga kota.

Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu

ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar.

Namun demikian, sejak awal perlu disadari bahwa tidak semua PKL bisa

langsung dipindahkan ke dalam pasar. Karena itu, semua juga tergantung pada

jenis barang dagangan yang diperjualbelikan PKL.

Untuk PKL yang memiliki dagangan yang spesifik seperti VCD atau

barang bekas, mereka mungkin bisa direlokasi ke tempat atau wilayah tertentu.

Syaratnya, relokasi itu dilakukan bukan semata bertujuan untuk mengusir mereka

dari pusat kota, tetapi keputusan relokasi itu dilakukan demi kebaikan PKL itu

sendiri.

Gagasan untuk merelokasi PKL VCD ke kawasan THR, misalnya,

sebenarnya cukup prospektif sepanjang dalam masa transisi perpindahan itu

pemkot benar-benar memiliki itikad baik membantu meramaikan suasana di sana

dengan berbagai kegiatan yang nyata, seperti lomba senam poco-poco, pentas

musik, lomba menggambar anak-anak, dan sebagainya.

Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi

bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk

membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bentuk dari program

relokasi PKL ini antara lain bisa berupa pembangunan pasar atau pusat PKL.

Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan

untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program

rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang

terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat

mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di

kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap

terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.

Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling

ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya. Artinya,

dengan menyadari bahwa akar masalah sektor informal kota adalah akibat adanya

kesenjangan desa-kota, maka strategi penanganan masalah ini mau tidak mau

33

Page 34: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

harus pada tingkat regional atau paling tidak melibatkan kerja sama dan dukungan

kota-kabupaten yang lain, khususnya daerah- daerah yang menjadi hinterland

Kota Surabaya.

Membiarkan Surabaya harus menanggung sendirian beban persoalan PKL,

selain tidak adil, juga membuat masalah ini menjadi kian sulit dipecahkan. Betapa

pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di

Kota Surabaya adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran.

Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik,

maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak

akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.

(Helmi Prasetyo Dosen FISIP Unair Surabaya, Redaktur Pelaksana Jurnal Masyarakat

Kebudayaan dan Politik FISIP Unair)

Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Sumber : http://www.kompas.com

Resume

PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak

sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia.

Untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak

membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan

komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya

mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan

persoalan. Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL

dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan

sejenisnya, pada dasarnya dapat dinilai kurang bagus dan tidak sabar.

Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot

Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat

diskriminatif. Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang

dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum

migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan

bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang

sentralistik-yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin

terpolarisasi.

34

Page 35: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David

Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek,

cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi,

upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan

yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau

pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan.

Maka, hasilnya seolah hanya jalan di tempat.

Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan

masalah baru. Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat

represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme

"kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga

akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan

PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar

masalah.

Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas,

perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu

ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota.

Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak swasta

umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah menyerahkan

sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot.

Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan

kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera

menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam

upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan

sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL. Hendaknya

pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif

melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk

mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya.

Masalah ini hendaknya juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber

daya manusianya. Yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana

mengombinasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif,

serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus.

35

Page 36: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap

diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu

yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum

warga kota. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu

mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif

adalah pasar. Namun, semua juga tergantung pada jenis barang dagangan yang

diperjualbelikan PKL. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL

bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar

bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bagi PKL

yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi,

kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau

tendanisasi. Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang

paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya.

Kesimpulan

Keberadaan PKL liar di Kota Surabaya tetap hadir dan sulit ditertibkan

padahal pemerintah kota sudah selalu berusaha mengadakan razia dan usaha-

usaha penertiban. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan

komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya

mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan

persoalan. Selama ini, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam

menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif.

Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David

Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek,

cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi,

upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan

yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau

pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan.

Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL

dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar masalah.

Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan

kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera

36

Page 37: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam

upaya penataan PKL.

Hendaknya pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini

yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan

kecamatan untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di

Kota Surabaya. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu

mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif

adalah pasar. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi

bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk

membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.

37

Page 38: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Pemkot Malang Minta Perda PKL DikajiSumber : www.kompas.com

Malang, Kompas - Pemerintah Kota (Pemkot) Malang meminta kepada

wakil rakyat agar mengkaji kembali Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun

2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Pengkajian

ulang diperlukan, karena pemerintah merasa kesulitan melakukan penataan serta

pelarangan berjualan kepada para PKL.

Surat meminta pengkajian kembali ditandatangani Wali Kota Malang

Suyitno pada 23 Januari 2002 lalu. Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD

Kota Malang Daniel Sitepu surat itu baru diterima hari Kamis pekan lalu.

Secara lebih spesifik surat Wali Kota tersebut menyebutkan tentang Pasal 3

Ayat 1 dan 2 dalam Perda, sangat sulit diterapkan di lapangan. Pasal itu mengatur

tentang larangan kegiatan usaha PKL di dalam alun-alun kota dan sekitarnya dan

di jalan, trotoar, serta jalur hijau dan fasilitas umum.

Pada kenyataannya usaha-usaha yang dilakukan Pemkot Malang dalam

menata PKL hampir selalu menemui kegagalan. Usaha relokasi PKL di alun-alun

dengan membuatkan tenda di Jalan Kyai Tamin tahun lalu gagal total.

Namun, menurut Daniel Sitepu, Pemkot Malang pernah mengajukan usulan

agar PKL direlokasi ke Pasar Comboran Malang. Pemkot akan membangun

gedung berlantai tiga yang khusus menampung sekitar 4.000 PKL.

"Rupanya sebelum ide itu dilaksanakan ada usulan untuk relokasi sementara

PKL di sekitar Pasar Besar sampai ke Pecinan. Padahal, dalam perda daerah itu

terlarang bagi usaha PKL," kata Sitepu.

Solusi

Daniel Sitepu mengatakan ia mendukung upaya-upaya untuk mencari solusi

relokasi PKL. Karena itu, penjaringan PKL di alun-alun yang dilakukan akhir-

akhir ini, kata Sitepu, harus dicarikan solusinya. "Penjaringan boleh saja, tetapi

cari solusinya dulu. Jangan mengusir tanpa memberi mereka tempat. Mereka juga

butuh hidup," katanya.

38

Page 39: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Sejak tanggal 28 Januari 2002 lalu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Pemkot Malang telah melakukan penyitaan terhadap puluhan rombong serta alat-

alat berjualan para PKL.

Daniel Sitepu mengatakan ia juga mendukung relokasi sementara sebelum

gedung di Pasar Comboran dibangun. "Bagaimanapun alun-alun kota harus

bersih, mungkin relokasi PKL bisa sementara di sekitar Pasar Besar sambil

membangun gedung khusus PKL," katanya.

Sementara itu siaran pers dari Aliansi Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota

(AMKMK) yang diterima Kompas mengecam keras upaya-upaya represif yang

ditempuh Pemkot Malang dalam menangani PKL. Oleh karena itu mereka minta

penghentian campur tangan militer dalam menangani PKL. Selain itu pernyataan

itu minta agar DPRD berpihak pada rakyat miskin. (can)

Resume Artikel

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) benar-benar menjadi masalah yang

serius bagi Pemkot Malang. Bahkan, undang – undang yang telah ditetapkan

untuk mengatur para PKL tersebut harus dikaji ulang. Alasan pengkajian ulang

karena undang-undang yang berisi tentang pengaturan dan pembinaan PKL itu

sulit diterapkan di lapangan.

Secara umum Perda Nomor 1 berisi penataan dan larangan berjualan bagi

PKL. Tertulis dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 tentang larangan kegiatan usaha PKL di

dalam alun –alun kota dan di sekitarnya. Pasal tersebut juga melarang PKL

berjualan di trotoar, jalur hijau dan fasilitas umum. Pasal itulah yang diniali sulit

dilaksanakan karena apapun cara yang dilakukan Pemkot Malang untuk menata

PKL selalu mengalami kegagalan.

Solusi

Penjaringan PKL untuk direlokasi memang baik, tetapi harus diperhatikan

juga solusinya. Jangan hanya mengusir PKL tanpa memberikan tempat pengganti.

Contohnya dalam kasus PKL di alun -alun Kota Malang, jangan hanya menjaring

PKL tanpa memikirkan nasib mereka, akan lebih baik jika PKL tersebut dicarikan

tempat baru misalnya di Pasar Comboran. Apalagi jika pengusiran tersebut

bersifat represif dengan menyita rombong serta alat – alat berjualan. Aliansi

Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota (AMKMK) telah mengecam Pemkot Malang

39

Page 40: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

yang menggunakan jasa militer untuk menangani kasus PKL tersebut. AMKMK

ingin agar nasib rakyat miskin lebih diutamakan.

Kesimpulan Artikel

DPRD meminta Perda Nomor 1 tahun 2000 yang mengatur PKL untuk dikaji

ulang. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut terlalu sulit jika diterapkan di

lapangan. Menggusur PKL dari tempat umum seperti alun-alun dan trotoar

ternyata tidak semudah teorinya. Bagaimanapun cara yang dilakukan Pemkot

Malang untuk menggusur PKL selalu saja mengalami kegagalan pada akhirnya.

Menurut narasumber dari artikel di atas, kegagalan Pemkot Malang dalam

menangani kasus PKL dinilai wajar. Hal ini dikarenakan Pemkot malang selalu

menggunakan cara represif. Seharusnya, PKL tidak hanya digusur tetapi juga

dicarikan tempat baru untuk berdagang atau jika tempat baru tersebut belum

terbangun, maka harus dicarikan tempat sementara untuk menampung mereka.

40

Page 41: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Blitar Tentang

Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar)

Oleh : Ferry Yulizar (96230046), Dept. of Governmental Science

Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas

membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek

pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat

membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka

yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang

kaki lima, hendaklah diposisikan sebagai komponen yang benar-benar

mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi

kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah

selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari

kebijakan yang telah ditempuh.

Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima

tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para

pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan

bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat,

penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima.

Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang

pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain

tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang

didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima.

Berdasarkan masalah tersebut maka penulis memberi judul pada skripsi ini:

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH KOTA BLITAR TENTANG

PEDAGANG KAKI LIMA (Studi di Dinas Pasar Daerah Kota Blitar)

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana

pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki

lima.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana

pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki

lima.

41

Page 42: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Data yang penulis dapatkan dalam tugas akhir ini melalui: observasi,

interview (wawancara) dan documentasi

Akhirnya penelitia berkesimpulan bahwa kebijaksanaan pemerintah daerah

mengenai pedagang kaki lima sudah cukup baik dan berhasil yaitu dengan cara

mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang strategis yang

banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dari pada

keindahan, kebersihan dan kerapian kota Blitar. Sehingga pembinaan-pembinaan

yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat dirasakan hasilnya oleh pedagang

kaki lima yaitu mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat hidup

dengan layak dengan peningkatan pendapatan.

http://digilib.itb.ac.id

Resume Artikel

Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas

membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek

pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat

membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka

yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang

kaki lima, hendaklah diposisikan sebagai komponen yang benar-benar

mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi

kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah

selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari

kebijakan yang telah ditempuh.

Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima

tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para

pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan

bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat,

penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima.

Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang

pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain

42

Page 43: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang

didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima.

Kesimpulan Artikel

Pedagang kaki lima membutuhkan perhatian dari pemerintah sebab profesi

ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dalam hal

menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berasal dari kalangan

menegah ke bawah. Sehingga segala kebijakan pemerintah yang bersangkutan

dengan masalah ini harus benar-benar dapat mengayomi dan melindungi

kepentingan mereka tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Sudah

seharusnya pemerintah memikirkan dampak baik dan buruknya dari setiap

kebijakan yang dibuat.

Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang

pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain

tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang

didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima. Jika semua hal

tersebut telah dijadikan acuan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang

berkaitan dengan pengaturan pedagang kaki lima maka keberadaan mereka dapat

diterima di tengah masyarakat tanpa harus ada masalah yang ditimbulkan, baik

dari pihak pedagang kaki lima sendiri maupun masyarakat sekitar. Sumber:

Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota, Pedagang Kaki Lima

Terkena Dampak

Aksi Penggusuran Tidak adil dan Tidak Konsisten

43

Page 44: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Camat  Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam,

Banda Aceh, sebagaimana yang diberitakan Harian Serambi Indonesia, tanggal 21

Juli 2004, dan Analisa, tanggal 23 Juli 2004, menggusur puluhan kios di sejumlah

jalan protokol yang ada di Kecamatan Kuta Alam.

Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat brutal, bahkan sampai

adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi tendang, dan mencabut

Kartu Tanda Penduduk warga pemilik kios, kabarnya aksi penggusuran dan

penertiban Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV

yang akan berlangsung pada tanggal 9-18 Agustus mendatang.

Berbagai kalangan menilai aksi brutal penggusuran yang dilakukan oleh

aparat Muspika tersebut tidak adil. Seorang warga mengatakan, “Aksi Camat Kuta

Alam tersebut semakin  tidak manusiawi dalam memperlakukan para pedagang

kaki lima dan pemilik kios, sehingga mereka tidak bisa berjualan lagi.

Seharusnya aparat pemerintah bisa sedikit pengertian tidak langsung main

tendang dan mengangkat kios-kios.”

Kondisi ini sangat disayangkan oleh Ketua Forum Komunikasi Sosial

(FKPS), Anwar Rusadi. Menurutnya, kalau alasan untuk keindahan kota mungkin

kita maklumi, tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih

banyak yang miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau

rakyat sudah sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan.

Sebagaimana diberitakan oleh Harian Analisa tanggal 28 juli 2004, Walhi

menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan tidak

konsisten. Hal ini merupakan akibat dari  salah urusnya Pemerintah Kota

(Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten,

pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin

Mendirikan Bangunan (IMB). Pasar Swalayan Barata di samping Geunta Plaza

merupakan ruang terbuka hijau. Bangunan ini merupakan salah satu kasus salah

urus Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh dalam memfungsikan Terminal

Angkutan Penumpang Kota (APK) Keudah yang kualitasnya di bawah standar

karena tejadi penyimpangan dana proyek.

Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan untuk menyiapkan lokasi

alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal masyarakat yang sangat

44

Page 45: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

dibutuhkan. Menyikapi aksi ini, sejumlah masyarakat meminta Camat Kuta Alam

tersebut dicopot dari jabatannya.

Sumber : www.walhi.com

Resume Artikel

Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam,

Banda Aceh, menggusur puluhan kios di sejumlah jalan protokol yang ada di

Kecamatan Kuta Alam. Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat

brutal, bahkan sampai adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi

tendang, dan mencabut Kartu Tanda. Kabarnya aksi penggusuran dan penertiban

Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV.

Menurut Ketua Forum Komunikasi Sosial (FKPS), Anwar Rusadi, kondisi

ini sangat disayangkan.Kalau alasan untuk keindahan kota mungkin kita maklumi,

tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih banyak yang

miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau rakyat sudah

sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan.

Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan

tidak konsisten. Hal ini merupakan akibat dari  salah urusnya Pemerintah Kota

(Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten,

pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin

Mendirikan Bangunan (IMB). Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan

untuk menyiapkan lokasi alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal

masyarakat yang sangat dibutuhkan.

Kesimpulan Artikel

Dengan dalih untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh IV Camat  Kuta

Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam, Banda Aceh melakukan

aksi penggusuran secara brutal pada kios-kios di sepanjang jalan protocol yang

ada di kecamatan Kuta Alam. Hal ini sangat disayangkan oleh beberapa kalangan.

Melihat kondisi masyarakat yang masih dilanda kemiskinan, aspek keindahan

kota dibahas setelah masalah kemiskinan teratasi.

45

Page 46: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan

tidak konsisten. Kesalahan Pemerintah kota dalam menyusun tata ruang kota

merupakan penyebab aksi penggusuran tersebut karena pemerintah tidak

konsisten terhadap tata ruang yang disusunnya.

Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu Pahlawan

46

Page 47: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya meminta pengertian pada para

Pedagang Kaki Lima (PKL) Tugu Pahlawan dengan melakukan pendekatan

persuasif. Dengan pendekatan tersebut Pemkot berharap PKL memahami dan

mengerti tentang rencana pemindahan (relokasi) PKL Tugu Pahlawan ke kawasan

Kembang Jepun.

Wali Kota Surabaya Bambang DH, usai membuka acara Nikah Massal di

Kediding Surabaya, mengatakan relokasi PKL merupakan wujud penataan

lingkungan kota agar lebih asri dan indah. Bambang DH yakin relokasi PKL ke

Kembang Jepun tidak makan mematikan pendapatan para PKL. Terbukti banyak

agenda pemindahan PKL di Surabaya yang berdampak positif.

"Pemkot itu berusaha menata. Ambil contoh penataan PKL di Karah itu

kan menjadi lebih baik dan pendapatan juga makin meningkat. PKL Taman

Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga semakin meningkat. Masih ada

lagi contoh lain, yang membuktikan relokasi PKL tidak mematikan rejeki." Kata

Bambang, Sabtu (07/04).

Bambang berharap para PKL berfikir jernih untuk melihat kepentingan

bersama di kota Surabaya dan tidak hanya berfikir tentang kepentingannya

sendiri. Apalagi keberadan PKL yang tidak tertata sangat mengganggu

kepentingan umum. Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus

lalu lintas.

"Kita harus berfikir luas, apalagi pemkot juga menghadapi dilema. kalau

dibiarkan pemkot dinilai tidak tegas, sementara kalau ditata paksa, kasihan juga

mereka. Saya ini hanya sebagai jembatan dari sekian banyak kepentingan.

Kepentingan masyarakat dan pedagang. Kita kan tidak mau kota Surabaya

semrawut." Tambah Bambang DH.

Bambang DH yakin semua PKL di Surabaya bisa ditata tanpa mematikan

sumber penghidupan. Keberhasilan penataan PKL yang diklaim walikota adalah

PKL Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot akhirnya berhasil diselesaikan.

Keberhasilah tersebut kata Bambang tak lepas dari kesabaran dan kerja keras

semua pihak.

Saat ditanya tentang kapan PKL Tugu Pahlawan akan direlokasi ke

Kembang Jepun, Bambang DH mengatakan telah menyerahkan sepenuhnya pada

47

Page 48: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Satpol PP Pemkot Surabaya dan Dinas Koperasi untuk membicarakan dengan

para PKL. Namun Bammbang DH berharap bulan ini pemindahan bisa dilakukan.

Sumber : http://www.surabaya.go.id

Relokasi PKL Pahlawan Batal

SURABAYA - Gembar-gembor pemkot untuk merelokasi pedagang kaki

lima (PKL) di sepanjang Jl Pahlawan per 6 Mei ternyata hanya isapan jempol.

Kemarin, para PKL masih tetap beraktivitas seperti biasa. Kesemrawutan pun

masih menjadi ciri khas salah satu jalan protokol tersebut.

Batalnya relokasi itu disebabkan belum tuntasnya perencanaan yang

disiapkan pemkot. Padahal, beberapa waktu lalu, pemkot mengklaim rencana

tersebut sudah tuntas dan tinggal direalisasikan. "Sampai saat ini, belum

ditemukan solusi yang paling tepat. Makanya, relokasi itu ditunda dulu," kata

Asisten I Sekkota B.F. Sutadi kepada Jawa Pos kemarin.

Solusi yang dimaksud adalah lokasi baru bagi PKL. Pemkot sebenarnya

telah menetapkan kawasan Kembang Jepun dan Jl Pasar Turi sampai Jl Tembaan

sebagai lahan baru. Namun, hingga kemarin, belum ditemukan yang paling cocok

untuk PKL mingguan tersebut.

Kawasan Kembang Jepun dinilai cocok untuk merelokasi PKL mingguan

karena lebar dan bisa menampung semua pedagang. Apalagi, setiap Minggu,

kawasan itu relatif sepi. Masalahnya, banyak pedagang yang tidak mau dipindah

karena khawatir tidak ada pembeli. Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak

rencana tersebut.

Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak terlalu jauh dari

lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi, kawasan tersebut

terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua PKL. "Makanya, hal itu harus

dikaji lagi," ujar Sutadi.

Meski demikian, dia memastikan rencana relokasi tetap dilangsungkan.

Soal waktunya, dia belum bisa menentukan. "Yang pasti tetap berjalan. Sebab, itu

instruksi langsung wali kota. Beliau hanya minta relokasi tersebut dilakukan hati-

hati," katanya. (ris/cie)

48

Page 49: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Sumber http://www.jawapos.co.id

Resume Artikel

Masalah PKL adalah masalah nasional yang pada umunya dialami oleh

daerah-daerah yang sedang mengalami proyek pembangunan. Dalam menghadapi

masalah PKL ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada para pedagang

kaki lima ini. Seperti kasus yang terjadi di Kota Surabaya, Pemerintah Kota

(pemkot) Surabaya meminta pengertian pada para Pedagang Kaki Lima (PKL)

Tugu Pahlawan dengan melakukan pendekatan persuasif. Menurut walikota

Surabaya, relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih

asri dan indah.

Menurut artikel di atas, yang perlu diperhatikan dalam relokasi ini adalah

lokasi baru bagi PKL tersebut. Banyak PKL yang tidak mau dipindahkan karena

khawatir tempat baru yang diberikan pemerintah Surabaya tidak strategis sehingga

mempengaruhi pendapatan mereka. Dan intinya yang dibutuhkan dalam hal ini

adalah kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah sendiri maupun para PKL

karena dengan adanya kerjasama maka apa yang direncanakan akan berjalan

sesuai dengan harapan.

Kesimpulan

Relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih asri

dan indah. Para PKL pada umumnya menganggap bahwa pemindahan atau

relokasi yang dilakukan pemerintah baik (kota maupun pusat) hanya akan

membawa dampak yang negatif yakni mereka takut pendapatannya menurun

karena sepi pembeli, namun hal itu salah sebagi contoh yang telah dilakukan di

Surabaya, Relokasi PKL di Karah menjadi lebih baik dan pendapatan juga makin

meningkat. PKL Taman Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga

semakin meningkat. Masih ada lagi contoh lain, yang membuktikan relokasi PKL

tidak mematikan rejeki.

Para PKL berpikir jernih untuk melihat kepentingan bersama di kota,

Keberadan PKL yang tidak tertata sangat mengganggu kepentingan umum.

49

Page 50: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus lalu lintas. Pemerintah

hanya sebagai jembatan dari sekian banyak kepentingan, Kepentingan masyarakat

dan pedagang.

Relokasi akan berjalan dengan lancar dengan persiapan perencanaan yang

matang, terutama masalah lokasi baru yang kan di gunakan sebagai tempat

relokasi, harusa ada kerjasama antara semua pihak yang terkait serta kesabaran

dalam mengerjakannya,diantara semuanya juga harus bisa saling mengerti

kepentingan masing-masing.

Menata PKL Perlu Penataan RuangOleh: Mohammad Agung Ridlo

50

Page 51: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Fenomena pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya

jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward

migration) dari daerah hinterland. Fenomena tersebut juga terjadi di Kota

Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk

ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi

pertumbuhannya.

Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju

daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk

menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan.

Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus

pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya

sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan

perkembangan suatu kota.

Tata Ruang

Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang

dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi

pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana

Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat

reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana

tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan

tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi

merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan

oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang

itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra

dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL

(SM, 21 Maret 2005).

Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di

Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi

dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan

karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.

51

Page 52: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam

bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yang menguntungkan bagi semua

pihak (pedagang, warga dan Pemkot).

Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga.

Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam

Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban

menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang

bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang

layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa

kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.

Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu

memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan

mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua

pihak, nilai estetika, teori demand-supply, teori lokasi, teori sirkulasi ruang, teori

''behaviour'' dan teori psikologi manusia.

- Penulis, Ketua Pusat Studi Planologi FT Unissula, mahasiswa S3 Program

Doktor Arsitektur dan Perkotaan Undip.

Resume Artikel

PKL adalah salah satu pedagang informal yang tidak memiliki badan usaha

atau tempat berdagang yang tetap. Munculnya pedagan informal dalam hal ini

PKL dapat mengidentifikasi pertumbuhan serta perkembangan suatu kota.

Contoh kasus;

Di Kota Semarang masalah PKL semakin berkembang seiring dengan semakin

banyaknya penduduk di kota tersebut akibat pengaruh migrasi. Banyak

penanganan yang telah dilakukan pemerintah setempat terkait maslah PKL ini

yaitu :

1. Diadakannya relokasi pedagang tetapi tidak berjalan lancer karena adanya

perlawanan dari pedagang itu sendiri.

2. Pembatasan pertumbuhan penduduk tetapi menunjukkan tanda-tanda

ketidakberhasilan.

52

Page 53: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Ketidakberhasilan upaya yang dilakukan pemerintah karena kurangnya

pemahaman PEMKOT mengenai karakteristik PKL itu sendiri, baik karakteristik

lokasi maupun karakteristik pasar PKL.

Menurut artikel di atas, tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah setempat

yaitu :

1. Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.

2. Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan

karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.

3. Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :

Kepentingan semua pihak

Nilai estetika

Teori demand-supply

Teori lokasi

Teori sirkulasi ruang

Teori behavior

Teori psikologi manusia

Kesimpulan Artikel

Masalah PKL pasti selalu menyangkut tentang sistem penataan ruang

suatu kota. Di satu sisi pemrintah memiliki kewajiban untuk memberdayakan

masyarakatnya termasuk PKL, tetapi di sisi lain pemerintah juga berkewajiban

untuk menata daerahnya yang menyangkut masalah kebersihan dan kenyamanan.

Memang dalam menentukan suatu keputusan (dalam hal ini PKL) pemerintah

harus berpikir cermat agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.

Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota DI

SURABAYA

53

Page 54: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Menyambut Hari Jadi Ke-710 Kota Surabaya.

Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota

Penertiban dan penataan pedagang kaki lima (PKL) kembali dilakukan

oleh Pemerintah Kota Surabaya, khususnya PKL Bungurasih, pada tanggal 22

Mei 2003. Sebelumnya, penertiban PKL dilakukan di Taman Hiburan Rakyat

(THR) Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menata kembali keberadaan PKL agar

tidak merugikan masyarakat dan konsumen.

Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah

kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa di

Surabaya tidak bisa "bersih" dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan

struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL

yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih

rumit.

Pedagang kaki lima (PKL), bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO),

reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena

sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai

artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka,

terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang

direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini. Menariknya, realitas kaum

pinggiran di kota-kota besar ini mengalami situasi yang sama, yakni penertiban.

Di Surabaya, bulan Februari 2002, misalnya, langkah penertiban dilakukan

Pemkot Surabaya terhadap ratusan bangunan permanen, semipermanen, dan

bangunan sementara dengan melakukan penggusuran tanpa ganti rugi.

Saat itu sempat terjadi kericuhan karena adanya warga yang menentang

penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan

dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan

artefak kota yang saat ini mengalami "pembusukan" (tidak diakui). Memang,

persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di

satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan

kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih,

dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat.

54

Page 55: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut,

Pemkot Surabaya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni

pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi

dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu,

kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan

yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung

sepihak.

Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah

kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan

sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan

(sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda)

dalam mengatur, menata, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting

karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan

pada pemkot.

Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak

menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek

yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur

juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu,

dibutuhkan sebuah strategy planning yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang

berkeadilan.

Dalam strategy planning akan memunculkan pola dan karakter persoalan

di perkotaan yang fundamental (the rooted problem of urban). Maka, strategy

planning dalam membangun tata kota seharusnya merupakan langkah pertama

dalam melihat dan menyelesaikan masalah PKL ini.

PKL yang menjadi fenomena perkotaan merupakan persoalan yang

"dimunculkan" oleh persoalan lain yang lebih besar, yakni kemiskinan. PKL

hanya merupakan ekses dari kemiskinan kronis di perkotaan, yang justru

merupakan upaya survive (bertahan) warga kota dari cengkeraman kemiskinan

tersebut.

Menurut JAMES PETRAS, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari

wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global.

Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar

55

Page 56: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang

marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya

menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal.

Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi

sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada

akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran.

Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini

mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.

Selain itu, seperti kritik KARL MARX, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik

justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar

hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak

memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang

kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan

kemiskinan baru perkotaan.

Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak

jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin

kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk

berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan

merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai

konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah).

Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam

lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota.

Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat

ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah

rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran)

menjadi konsekuensi logisnya.

Dalam kaitan itu, fenomena PKL harus dilihat sebagai akibat dari

kejahatan sistem yang menelurkan kemiskinan yang kronis dan struktural. Efek

dari kemiskinan ini akan memupuk etika machiavelis dalam upaya

mempertahankan hidup dengan berbagai cara sehingga dalam kultur kemiskinan

ini, frekuensi kekerasan akan meningkat. Hal ini terbukti di Solo, Semarang,

Yogyakarta, dan kota lain yang beberapa waktu lalu sempat memunculkan

56

Page 57: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

keresahan dan kekerasan akibat dari persoalan PKL tersebut.

Lemahnya pemkot dalam strategi penanganan ini (tidak memiliki strategy

planning), mengakibatkan usaha yang diambil sebatas karitatif, bukan persoalan

fundamental yang menyelimuti fenomena PKL. Penertiban PKL ini hanya sebatas

menyelesaikan persoalan pucuk gunung es yang tampak.

Situasi perekonomian kita yang berantakan, di mana pertumbuhan

ekonomi masih rendah sedangkan pengangguran bertambah, tindakan penataan

kaum pinggiran yang dalam realitasnya adalah penggusuran dan penghilangan

peluang usaha, justru mendekatkan pada krisis baru.

Oleh karena itu, dalam menata PKL, mau tidak mau, Pemkot Surabaya

harus membuat strategy planning yang komperehensif dan berkelanjutan serta

berbasis keadilan. Persoalan PKL bukan semata persoalan sosial biasa, melainkan

menyangkut struktur yang tidak adil. Karena itu, solusinya bukan kebijakan

karitatif semata. Selain itu, Pemkot Surabaya harus mengganti paradigma

penataan kaum pinggiran dari penguasaan kepada pengaturan yang berbasis

kesejahteraan dan keadilan.

Tanpa melihat konteksnya, problematika PKL akan menjadi bumerang

bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. Pertanyaannya sekarang, kapan

Pemkot Surabaya mengubah paradigma dalam penataan PKL tersebut? Atau

jangan-jangan Pemkot Surabaya justru "menikmati" langkah penertiban PKL.

Sementara warganya banyak yang kehilangan peluang kerja?

Oleh : EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang

(UMM) dan aktivis LSM di Jawa Timur.

Sumber :

Resume Artikel

Masalah PKL adalah masalah structural yang berkaitan dengan masalah

lainnya. Penanganan masalah PKL secara parsial akan menimbulkan masalah baru

yang jauh lebih sulit. Memang masalah PKL merupakan masalah yang dilematis.

Di satu sisi pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan di sisi

lain bertanggung jawab atas tata ruang kota yang menyangkut keindahan dan

kebersihan. Inilah yang terjadi pada PEMKOT Surabaya dimana PEMKOT

setempat memilih nomor dua yaitu mewujudkan tata ruang kota yang bersih dan

57

Page 58: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

sehat. Maka konsekuensi yang diambil terkait pilihan tersebut yaitu penertiban

dan penataan PKL. Karena itu kebijakan tersebut terkesan sepihak dan

kontraproduktif dimana masalah PKL bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi

pentaan Kota Surabaya.

Masalah yang dihadapi sebenarnya yaitu tidak adanya kebijakan tata letak

kota yang berkelanjutan (sustainable policy).

Tindakan yang seharusnya dilakukan PEMKOT seperti yang terdapat di artikel

yaitu :

a) Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan kaum

pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah satu aset

daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT

b) Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak

menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan

efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah

dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran.

Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang

berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan.

Kesimpulan Artikel

Perencanaan relokasi PKL ternyata membawa banyak problema. Di satu

sisi pemberdayaan masyarakat adalah yang menjadi prioritas, tetapi di sisi lain

masalah lain yang mendukung pemberdayaan tersebut juga tidak bisa

dikesampingkan. Pada umumnya masalah yang terkait erat dengan masalah PKL

yaitu penataan ruang kota. Pemerintah merasa perlu menata PKL padahal jika

dilihat PKL sedikit tidak memberi kontribusi bagi pendapatan daerah. Untuk

itulah pemerintah harus memikirkan kebijakan yang akan diberikan pada para

PKL agar tidak merugikan banyak pihak.

Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor

Informal (1)

58

Page 59: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Sampai saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai pengertian sektor

informal. Hal ini tidak mengherankan karena istilah sektor informal sendiri baru

mulai diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris

ketika melakukan penelitian tentang unit-unit usaha berskala kecil di Ghana.

Kebanyakan orang bahkan belum terlalu mengetahui apa itu sektor informal.

Suatu definisi sederhana mengenai sektor informal dalam Varia Statistik, 2001

mengartikannya sebagai suatu pola pencarian nafkah "seadanya" demi

mempertahankan hidup.

Berdasarkan data pada Kaltim dalam angka tahun 2000, pencari kerja yang

terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim tahun 2000 sebanyak

24.488 orang, jumlah ini belum termasuk mereka yang tidak mendaftarkan diri,

padahal kesempatan kerja yang tersedia hanya ada untuk 13.085 orang saja.

Diantara para pencari kerja tersebut, ada yang merupakan migran yang berasal

dari luar daerah.Pertumbuhan suatu daerah yang pesat merupakan faktor penarik

bagi migran dari daerah asalnya.

Menurut Mazumdar (1976) dalam Saleh (1995), mobilitas angkatan kerja di

sektor informal adalah relatif tinggi, sehingga sektor ini dapat bertindak sebagai

suatu kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dan pengangguran. Timbulnya

sektof informal sebagai sumber kesempatan kerja dengan pertumbuhan

kesempatan kerja terutama pekerjaan disektor formal. Salah satu bentuk kegiatan

sektor informal adalah usaha kaki lima.

Menurut BPS, usaha kaki lima adalah suatu usaha sektor informal

(mencakup seluruh sektor yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa, dan

industri), yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan

prasarana yang terbatas dan di dalam usahanya mempergunakan bagian

jalan/trotoar untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha

serta tempat lain yang bukan miliknya kecuali pada lokasi resmi.

Sektor usaha kaki lima menurut konsep dalam BPS (2001) dibagi dalam 3 (tiga)

kelompok besar, yaitu :

1. Sektor perdagangan dan rumah makan

2. Sektor jasa-jasa

3. Sektor persewaan dan jasa perusahaan

59

Page 60: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan di sektor informal cenderung

dipilih karena tidak menuntut persyararan pendidikan yang tinggi dan tidak

membutuhkan keahlian tertentu. Selain itu ijin dari instansi atau asosiasi tertentu

tidak diperlukan untuk membuka usaha kaki lima. Hanya sedikit modal dan

tempat strategis yang diperlukan untuk memulai dan mengembangkan usaha kaki

lima tersebut (BPS, 2001).

Keberadaan sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima menurut Saleh

(1995) ternyata selain berdampak positif juga mempunyai dampak negatif.

Dampak positifnya yakni ;

1. Sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima mudah dimasuki oleh

siapa saja terutama oleh pencari kerja yang berpendidikan rendah dan

tidak mempunyai keahlian khusus, maka sektor ini dapat menyerap

tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

2. Sektor ini biasanya menjual/melayani barang-barang konsumsi untuk

masyarakat berpenghasilan rendah.

Sedangkan dampak negatifnya yakni karena keberadaan lokasi usaha

pedagang kaki lima yang tidak teratur seringkali menyebabkan kemacetan lalu

lintas atau dapat mengurangi keindahan kota.

Keberadaan para pedagang kaki lima seringkali menjadi masalah bagi

pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait, karena di satu sisi

lokasi usaha mereka yang cenderung merupakan public area menimbulkan

berbagai masalah, namun di sisi lain pemerintah berkewajiban melindungi mereka

dalam berusaha karena setiap warga negara berhak memperoleh kehidupan yang

layak. Mereka harus tetap berdagang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akibatnya timbul berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu lintas,

kebersihan, keindahan kota, dan kesehatan lingkungan (Simanjuntak, 1986 dalam

BPS 2001). Selain itu juga akan mengganggu fasilitas sosial, fasilitas umum atau

aset negara lainnya bila tidak dilakukan pembenahan dan pembinaan secara terus

menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan

pertumbuhannya.

Beberapa permasalahan mengenai pedagang kaki lima yang sempat

dikupas oleh harian ini beberapa waktu yang lalu pasti masih kita ingat. Sebut saja

60

Page 61: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

pembongkaran rombong (gerobak dorong,red) milik sejumlah pedagang kaki lima

demi penertiban dan keindahan kota. Ini membuktikan kurang adanya

"kerjasama" yang baik antara pedagang kaki lima tersebut dengan aparat

pemerintah. Sangat disayangkan memang. Untuk pedagang kaki lima yang hanya

bermodal pas-pasan, rombong itu merupakan sesuatu yang sangat berarti.

Kalau saja mau dicermati secara lebih dalam dan kalau sosialisasi

mengenai hal tersebut sudah sangat jelas atau kalau saja para pedagang kaki lima

juga mau bekerja sama dengan aparat pemerintah mungkin hal seperti itu tidak

akan terjadi. Masalah ini memang telah berlalu, namun bukan tidak mungkin bila

suatu saat masalah ini akan terjadi lagi. Tidak ada yang harus disalahkan dalam

hal ini, semua dengan argumennya masing-masing akan berupaya untuk mencari

pembenaran-pembenaran itu. Upaya pemerintah yang terkesan keras dalam

menghadapi pedagang kaki lima yang membandel tidak bisa disalahkan seratus

persen karena itu adalah suatu bentuk upaya penertiban sebab jika dibiarkan terus

akan menyebabkan semakin bertambahnya masalah. Sementara sikap pedagang

kaki lima untuk mempertahankan lokasi usahanya mungkin karena sudah

mempunyai banyak pelanggan di tempat tersebut. Sekarang tinggal bagaimana

kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak sambil berusaha menumbuhkan

saling pengertian yang mendalam. (bersambung)

Theresia Parwati Staf BPS Kota Bontang

Resume

Sampai saat ini definisi mengenai sektor informal masih mengundang

tanda tanya. Oleh karena adanya hal tersebut, keberadaannya pun dianggap

sesuatu yang mengundang masalah. Pada kenyataannya sekotor informal

merupakan sumber kesempatan kerja yang juga merupakan kekuatan penyangga

antara kesempatan kerja dengan pengangguran. Salah satu bukti nyata adanya

sektor informal yang merupakan kekuatan penyagga tersebut yakni dengan

menjamurnya usaha-usaha kaki lima.

Usaha kaki lima dipilih sebagian masyarakat khususnya golongan

menengah ke bawah sebagai sumber mata pencaharian karena tidak menuntut

syarat pendidikan dan keahlian tertentu, namun keberadaannya mengundang

61

Page 62: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

masalah bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait.

Pemerintah harus menjaga dan melindungi PKL-PKL tersebut karena mereka pun

berhak atas penghidupan yang layak, namun di lain pihak keberadaan mereka di

dalam public area menimbulkan masalah seperti kemacetan, rendahnya kesehatan

lingkungan, kebersihan, dan keindahan kota.

Dalam ‘menertibkannya’, sering kali pemerintah harus menggunakan cara

yang keras. Hal tersebut menandakan tidak adanya kerja sama antara pihak

pemerintah dengan pedagang kaki lima, begitu pun sebaliknya. Diantara kedua

belah pihak ini harus ada pengertian yang mendalam, pemerintah yang terus

menggunakan cara keras untuk menertibkan PKL namun PKL yang sudah

mempunyai banyak pelanggan di kawasan tersebut tetap mempertahankan

keberadaannya.

"Katanye" Kota Kaki Lima

KOTA Jakarta mungkin memang kota kaki lima, tetapi kota yang kaki

limanya sudah jarang tampak lagi. Sebab di mana ada kaki lima, di situ pedagang

kaki lima sudah menguasainya. Maka dari itu, kaki lima, yang juga kita kenal

62

Page 63: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

dengan istilah yang berasal dari bahasa Perancis trotoir (baca: trotoar), yang

artinya tempat pejalan kaki, sudah tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.

Dari mana sebenarnya asal-usul kata kaki lima? Belum ada yang bisa

menjawab pertanyaan itu dengan pasti. Ada yang memperkirakan, kaki lima itu

ada hubungannya dengan dua kaki si abang tukang jualan, dua roda gerobaknya,

dan kaki kelimanya adalah cagak yang dipasang si abang kalau lagi mangkal,

untuk memastikan beban gerobak tertopang seimbang, dan gerobaknya tidak lari

menggelinding.

Akan tetapi kemungkinan besar istilah itu datang dari perencanaan kota

akhir abad silam hingga permulaan abad ini. Bangunan rumah toko yang

berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan

perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih.

Rupanya dulu, bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang

lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat

melintas.

Lajur ini kemudian dikenal sebagai kaki lima, dari lebarnya yang lima kaki

itu. Pedagang yang memanfaatkan lajur itu, kemudian dikenal sebagai pedagang

kaki lima. Di Jalan Malioboro di Yogyakarta, hingga kini, kita dapat temui contoh

kaki lima yang khas, lengkap dengan pedagangnya.

Kini di sebagian besar kota-kota modern di Indonesia, lajur trotoar untuk

pejalan kaki tinggal sekitar tiga kaki, itu pun kalau ada. Dan jika ada, biasanya

lajur itu sudah dikuasai pedagang kaki lima (apa kini kita harus sebut mereka

pedagang kaki tiga?), sehingga pejalan kaki terpaksa harus turun dari trotoar dan

berjalan di pinggir jalan.

Bagaimana jika kaki lima di Indonesia diperlebar seperti Orchard Road di

Singapura? Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, yang akan terjadi

adalah seluruh lebar tempat pejalan kaki itu akan dimanfaatkan pedagang kaki

lima. Ini terjadi di emperan pasar-pasar. Di Pasar Tanahabang misalnya, pedagang

kaki lima malah merambah ke jalan raya!

Semrawutnya pedagang kaki lima membuat suasana kota sama sekali tidak

nyaman dan berpotensi kurang aman. Padahal, jika tertata baik, pedagang kaki

lima sering kali membuat suasana kota menjadi menarik. Di sekitar Masjid Sunan

63

Page 64: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Ampel di Surabaya, pedagang kaki lima menawarkan minyak zaitun, buah kurma

dan dagangan lain khas Timur Tengah yang membuat kita seakan berada di Mesir

atau Arab Saudi.

Juga setiap perayaan sekaten di Alun-alun Yogyakarta atau Surakarta,

pedagang kaki lima menggelar dagangan mainan dan makanan kegemaran anak-

anak. Entah mengapa pedagang kaki lima yang sudah menjadi tradisi di kawasan

tersebut tadi, tampak lebih teratur dan karena itu juga lebih menarik.

Tidaklah mengherankan jika ternyata semrawutnya pedagang kaki lima,

berhubungan dengan kebijakan Pemda yang lebih cenderung memperhatikan mal-

mal perbelanjaan ketimbang kebutuhan pedagang kecil. Di kota seperti Solo,

beberapa pasar tradisional dikembangkan menjadi mal perbelanjaan, sehingga

pedagang tradisionalnya tergusur. Pindah ke tempat lain belum tentu mampu

bayar sewa, pedagang yang tergusur itu memilih untuk menjadi pedagang kaki

lima saja.

Pemda perlu menyediakan tempat yang layak bagi pedagang kaki lima

untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-

pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki

lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat.

Mungkin, kaki lima sekatenan di Yogya, kaki lima Pasar Ikan, dan kaki

lima di sekitar Masjid Sunan Ampel, bisa dipelajari dan menjadi acuan untuk

kaki-kaki lima di Jakarta. Sepertinya, kaki-kaki lima yang paling berhasil adalah

yang rapi, tertata, bersih dan punya ciri khas yang kontekstual. Sekalian saja kaki

lima dikembangkan untuk mendukung pariwisata. Pan katanye Jakarta kote kaki

lima. (Amir Sidharta, pemerhati arsitektur dan kurator Museum Universitas Pelita

Harapan. (Kompas 02-08-2000)

Resume

Ada banyak versi yang menceritakan mengenai asal usul pedagang kaki

lima (PKL). Entah yang mana yang benar, tapi yang pasti tentu ada alasan yang

mendasari sejarah itu. PKL sering menjadi masalah yang serius hampir seluruh

kota di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Banyak trotoir yang disalahgunakan

64

Page 65: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

penggunaannya untuk menjajakan dagangan para PKL tersebut. Hal ini akan

mengurangi rasa aman dan nyaman para pejalan kaki mengingat trotoir adalah

fasilitas khusus yang digunakan untuk para pejalan kaki, bukannya para PKL.

Namun apabila dapat diatur dengan baik, seringkali PKL membuat suasana kota

menjadi semakin menarik dan dapat menarik minat wisatawan.

Kesimpulan

Dari sedikit penjelasan di atas, maka dapat disimpilkan bahwa kota Jakarta

dapat mengelola keberadaan para pedagang kaki lima dengan cara menyediakan

tempat yang layak bagi para pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha

mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-pasar tradisional perlu

dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya

pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Hal ini tentunya perlu mendapat

dukungan dari semua pihak agar harapan kota Jakarta untuk menjadikan PKL

sebagai salah satu objek wisata dapat terlaksana.

PKL MENGGANGGU DAN MEMEPERINDAH

KOTA

Nawa Tunggal

65

Page 66: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Keberadaan para pedagang Kaki Lima (PKL) atau yang melanggar

Peraturan Daerah (Perda) dipandang telah mengganggu tata ruang kota dan

masyarakat banyak. Tetapi sekecil apapun peran PKL harus diakui telah

membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran

pemerintah yang tidak mampu membuat peraturan publik yang saling

menguntungkan.

PKL yang ada dapat mengganggu citra kota, tetapi dapat pula

memperindah citra kota. Seorang peneliti PKL Kota Malang, Bambang Nursetyo

mengatakan birokrat mengambil yang mengambil keputusan tentang PKL tidak

dapat mengambil kebijakan publik yang saling menguntungkan, bahkan masih

berbudaya lama.

Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara

lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih

sering tak terbantahkan. Tidak pernah ada birokrat pemerintah yang menar-benar

mau terjun langsung dan menyelami kehidupan para PKL. Ini menjadikan sedikit

sekali harapan kehidupan PKL di sekitar sektor informal dapat terdukung dan

memperindah citra kota. Tetapi yang sering terjadi adalah penertiban PKL sebagai

penghalusan bahasa dari pengusiran mereka.

Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau bertameng demi

kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya. Ini

tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk memecahkan masalah secara

lebih beradab.

Ketiadaan kreativitas kompromistis birokrat tentu bersumber dari

keengganan mereka untuk terjun langsung dalam kehidupan PKL. Menurut

Bambang- ia meneliti PKL di Alun-alun Kota Malang- jumlah PKL di sana

mencapai 1.700an orang dan saat ini mereka mau berbicara dengan pemerintah

untuk memecahkan masalah bersama. Tetapi maukah para birokrat mencari

pemecahan bersama yang saling menguntungksn dengan bicara dan mendatangi

para PKL tersebut?

Bagi Bambang pilihan jalan hidup menjadi PKL adalah rasional. Para PKL

adalah tenaga kerja sosial yang tertolak di sektor formal. Ada yang menempuh itu

karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetapi sebagian adalah karena

66

Page 67: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

rendahnya kualitas hidup mereka yang tak sempat mengenyam pendidikan yang

memadai. Setidaknya dengan pendidikan tinggi para PKL akan membuka peluang

mendapat pekerjaan lainnya. Walaupun saat ini kita sedang dihadapkan pada

masalah krisis moneter dan pengangguran.

Data penelitian Bambang menyebutkan bahwa saat ini terdapat 18% PKL

yang tidak lulus SD, 42% lulus SD namun tidak tamat SLTP. Sebanyak 23% lulus

SLTP dan yang lulus SLTA tercatat sebanyak 17%. Tidak ada yang lulus

perguruan tinggi. Data ini didapat dari wawancara secara acara acak terhadap 100

PKL di Alun-alun Kota Malang.

Lahan di Alun-alun Malang yang ditemoati PKL meliputi 34,2 % di badan

jalan, 41% di trotoar, 14.5% terletak di keduanya, badan jalan dan trotoar.

Selebihnya 11.3% berdagang di halaman kantor-kantor dan permukiman

penduduk. Luas areal mangkal PKL diperkirakan sebanyak 36.7% yang memakai

areal seluas 0,5-1 meter persegidan 33% memakai 2-2,2 meter persegi.

Tingkat keramaian penjualan meliputi hari Minggu (44%), Sabtu(32%),

liburan sekolah (21.37%) selebihnya (2%) pada hari kerja (Senin-Jumat).Tingkat

pendapatan PKL terdapat disparitas atau perbedaan nilai yang jauh yaitu antara

Rp 70.000,00 – Rp 500.000,00 per minggu.

Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ

muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun

meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang

menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi

sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law

enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan

sehingga sulit untuk dipindahkan.

Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau

penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih

beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga

PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula.

Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai

diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus

meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan

67

Page 68: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian

terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas

permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.

Sumber| Malang Pos, 21 Juni 2005

Resume

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan

masalah. Tapi, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi

masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran pemerintah yang tidak mampu

membuat peraturan publik yang saling menguntungkan.

Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara

lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih

sering tak terbantahkan. Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau

bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga

konflik namanya. Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk

memecahkan masalah secara lebih beradab.

Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ

muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun

meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang

menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi

sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law

enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan

sehingga sulit untuk dipindahkan.

Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau

penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih

beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga

PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula. Sedang penataan PKL

ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar

dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi

masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan

disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga

68

Page 69: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

diikuti seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga

ketat.

Kesimpulan

Dari artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan Pedagang Kaki

Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Namun, peran PKL harus

diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat. Pada intinya kehidupan PKL

memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon

PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui

Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya

semacam retribusi dari pemerintah. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi

yaitu penempatan PKL di suatu gedung yang memadai dan penataan PKL di

tempat yang lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota

besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan

ekonomi masyarakat yang disesuaikan dengan seni arsitektural, fasilitas

permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.

.

Pasar Keputran Kumat Lagi

MELUBER, ditertibkan, meluber lagi, ditertibkan lagi. Itulah yang terjadi

di Pasar Keputran. Setelah sempat "dibersihkan "polisi pada 2004 akibat meluber

di badan jalan, Satlantas Polwiltabes Surabaya melakukan penertiban lagi.

Ini setelah polisi menilai para pedagang di Pasar Keputran kembali

mokong dan mulai memakan badan jalan padat itu. "Kendati belum terlalu parah,

indikasinya ke arah sana. Kalau tidak ditertibkan mulai sekarang, bisa jadi parah,"

ujar Kasatlantas Polwiltabes Surabaya AKBP Moh. Iqbal kemarin.

Salah satu yang mencolok dari melubernya pasar di jantung kota Surabaya

itu adalah mulai dipakainya sebagian badan Jalan Embong Sonokembang, serta

adanya parkir liar di seberang jalan gedung Indosat. "Itu tidak bisa dibiarkan.

Jalan bisa tertutup untuk kegiatan pasar. Padahal, itu jalan umum, " tandas

perwira dengan dua mawar di pundak itu.

69

Page 70: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Mengenai masalah parkir, Iqbal bahkan 'menegaskan bahwa ke depan

tidak boleh lagi ada parkir di tempat tersebut. "Wong sudah jelas-jelas ada rambu

dilarang parkir di tempat itu, kok malah dijadikan tempat parkir," ujarnya.

Tiga Kelompok PKL dipindah ke Genteng

Untuk itu, sejak Selasa (15/5) malam lalu, polisi mulai melakukan penertiban.

Barikade bertuliskan "Batas PKL" kemball ditempatkan. Di sisi utara Keputran, barikade

ditempatkan di mulut gang Keputran (dekat pintu masuk Hotel Brantas). Sedangkan sisi

barat diletakkan persis di gang sebelah Wisma Dharmala.

Iqbal mengaku telah memanggil dua koordinator PKL Keputran. "Kami minta

mereka bertanggungjawab untuk membatasi wilayah dagangnya. Jangan sampai

memakan badan jalan lagi," ucap mantan Koordinator Sekretaris Pribadi Kapolda Jatim

itu.

Untuk menjaga ketertiban, Iqbal telah menempatkan delapan personel di

lingkungan Pasar Keputran. Empat orang berjaga di barikade 'BatasPKL', sedangkan

empat lainnya berkeliling. Delapan personel ini di-back up lagi sekitar satu peleton

personel. "Namun, ini sifatnya on call," papar lulusan Akpol 1991 tersebut.

Bikin Sparkling Genteng

Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan

pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL taman bungkul dan karah, dinas koperasi dan

sektor informal, bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar menjadi sentra makanan

khas Surabaya. Konsep yang bakal dipopulerkan dengan istilah ’Sparkling Genteng” ini

meniru Kya-Kya Kembang Jepun.

Kadis Koperasi dan sektor informal Ismanu menjelaskan, saat ini pihaknya

sedang mendata para pedagang yang bakal masuk ke Jalan Genteng Besar. Menurut dia,

pedagang yang bakal direlokasi itu berasal dari tiga jalur sekitar balai kota. Yakni jalan

Simpang Dukuh, jalan Wali Kota Mustajab, dan jalan Yos Sudarso. "Kita sediakan 100

stan untuk menjadikan Jl Genteng Besar sebagai pusat makanan khas Surabaya,"

terangnya.

Makanan-makanan khas Surabaya itu di antaranya adalah semanggi suroboyo,

lontong balap, sate kelapa, dan sate karak. Total ada sekitar 35 jenis makanan khas

70

Page 71: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Surabaya.

Mantan Kadis Kebersihan ini menjelaskan, program ini memi1iki beberapa

tujuan. Selain menata PKL, juga melestarikan makanan khas Surabaya yang kian langka.

"Kita ingin menjadikan kawasan Genteng sebagai salah satu ikon Surabaya, selain Kya-

Kya Kembang Jepun," terangnya.

Pemkot, katanya, tidak akan rnen~izinkan pedagang baru menghuni Jl Genteng

Besar. "Jadi, program ini murni untuk pedagang lama di tiga jalan itu. Pemkot tidak akan

menciptakan PKL-PKL baru," tuturnya.

Para PKL ca1on penghuni Jl Genteng Besar harns diusulkan oleh camat Genteng.

Lalu, usulan camat akan dievaluasi lagi oleh Dinas Koperasi. "Kita akan pantau

lagi ke lapangan, " terangnya.

Setelah program relokasi selesai, ketiga jalan itu tidak boleh lagi ditempati PKL.

Dinas Koperasi akan bekerja sama dengan Satpol PP untuk mengamankan ketiga jalan

itu. "Jangan sampai lokasi yang lama diternpati PKL barn," terangnya.

Lebih lanjut Ismanu menjelaskan, para PKL yang dire1okasi ke Jl Genteng Besar

tidak dikenai pungutan apa pun. Sebaliknya, pernkot akan memberikan pinjaman berupa

modal bergulir, masing-masing PKL mendapat Rp 2 juta. "Tapi, pinjaman itu tidak akan

diberikan langsung ke individu," katanya.

Para PKL harus berhimpun dan membentuk paguyuban terlebih dahulu. "Nanti,

ketua paguyuban yang bertanggungjawab tentang pengembalian pinjaman modal itu. "

Pengembalian pinjaman berbunga 5 persen setahun itu relatif ringan. Para PKL

bam diwajibkan membayar cicilan setelah lima bulan berjualan. "Kami berharap PKL

bisa membentuk koperasi untuk meningkatkan pembinaan dan kesejahteraan anggota,"

katanya. (anok/onik)

Sumber : Harian Metropolis tanggal 17 Mei 2007

Resume

Sudah seringkali operasi penertiban PKL telah dilakukan di Pasar

Keputran Surabaya, tetapi banyak PKL nakal yang kemudian membuka kembali

71

Page 72: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

usaha mereka di tempat yang sama sehingga menimbulkan banyak kegiatan

illegal seperti parkir liar hingga memakan badan jalan yang merupakan jalan

umum.

Untuk menjaga ketertiban, telah ditempatkan delapan personel di

lingkungan Pasar Keputran. Empat orang berjaga di Berikade “batas PKL”

sedangkan empat lainnya berkeliling. Delapan personel ini di back-up lagi sekitar

satu peleton personel yang sifatnya on call.

Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan

pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas

koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar

menjadi sentra makanan khas Surabaya.

Kesimpulan

Dari artikel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penertiban PKL tidak

akan berjalan dengan lancar bila tidak didukung dengan kesadaran dari para PKL

itu sendiri. Pemkot juga terus menggencarkan program penataan dan

pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas

koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar

menjadi sentra makanan khas Surabaya.

72

Page 73: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

4.1 Keterkaitan Keberadaan PKL di Sekitar Tugu Pahlawan Dengan

Konsep Tata Ruang Kota.

Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark \.

Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Tugu

Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November

1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu

bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada

di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan

merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen

Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November dimana pada

tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan.

Sampai saat ini, masih banyak PKL yang berdagang di sekitar Monumen

Tugu Pahlawan. Keberadaan para PKL ini sangat bertentangan dengan konsep tata

ruang suatu kota dimana dalam kawasan tertentu yang berkenaan dengan kegiatan

pendidikan, sejarah, dan sejenisnya tidak boleh ada kegiatan ekonomi yang

dimonopoli oleh perdagangan informal seperti kegiatan PKL. Terlebih lagi,

Monumen Tugu Pahlawan adalah icon Kota Surabaya yang merupakan saksi bisu

tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai sejarah bangsa

yang melekat padanya hendaknya tidak dinodai dengan adanya citra buruk yang

ditimbulkan oleh keberadaan PKL.

Dengan adanya PKL disekitar Tugu Pahlawan, maka akan mempengaruhi

tata ruang kota dimana oleh pemerintah setempat telah diatur sedemikian rupa

agar menciptakan suasana indah dan nyaman.

73

BABIV

Page 74: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

4.2 Kebijakan Pemerintah Kota Terkait dengan Masalah PKL di

Kawasan Tugu Pahlawan Surabaya

Melihat permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, pemerintah

mengeluarkan berbagai kebijakan guna menangani masalah tersebut. Diantaranya

yaitu memindahkan para PKL ke tempat lain yang memang merupakan areal

perdagangan seperti pasar. Daerah yang menjadi rekomendasi pemerintah tersebut

adalah

1. Kawasan Kembang Jepun yang dinilai cocok untuk merelokasi PKL

mingguan karena lebar dan bisa menampung semua pedagang.

Apalagi, setiap Minggu, kawasan itu relatif sepi. Masalahnya, banyak

pedagang yang tidak mau dipindah karena khawatir tidak ada pembeli.

Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak rencana tersebut.

2. Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak terlalu jauh

dari lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi,

kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua

PKL.

Kebijakan tersebut dibuat dengan melihat kondisi lapangan sehingga

dianggap tidak akan merugikan pihak manapun. Namun memang pada dasarnya

banyak alasan yang dikemukakan oleh para PKL agar tidak dipindahkan ke lokasi

yang baru,. Padahal seharusnya semua pihak yang terkait masalah ini berpikir

postif tentang kepentingan publik dan tidak mementingkan diri sendiri.

4.3 Menentukan Masalah

Adapun metode analisis keputusan yang dapat digunakan untuk

menggambarkan masalah ini dapat dilihat dari bagan-bagan di bawah ini :

74

Page 75: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

75

Page 76: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

76

Page 77: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Berdasarkan bagan di atas, maka didapat 2 konsekuensi terbaik, yaitu :

Konsekuensi Terbaik Pertama

PKL menerima adanya relokasi sehingga mereka bertanggung jawab untuk

memenuhi segala peraturan seperti membayar retribusi maupun biaya awal yang

dibutuhkan untuk membangun lokasi yang baru.

Konsekuensi Terbaik Kedua

PKL tidak melakukan relokasi dengan pemberlakuan syarat-syarat tertentu

sehingga dibutuhkan konsekuensi, yaitu dengan melaksanakan kebijakan yang

telah ditentukan oleh Dewan atau Pemerintah.

4.4 Kenyataan Bahwa Kebijakan Tersebut Masih Belum Berhasil

Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Surabaya tidaklah

berjalan sesuai dengan keinginan. Banyak kendala yang dihadapi seperti

penolakan para PKL tersebut untuk pindah ke lokasi yang telah disediakan. Oleh

para PKL, kebijakan tersebut dianggap merugikan mereka karena lokasi tempat

berdagang yang baru tidaklah srategis sehingga mempengaruhi pendapatan harian

mereka. Misalnya saja lokasi Kembang Jepun yang direkomendasikan oleh

pemrintah untuk tempat berdagang bagi para PKL. Mereka menganggap bahwa

lokasi tersebut akan mengurangi pendapatan karena tidak banyak dikunjungi oleh

pengunjung. Lokasi kedua yaitu Pasar Turi dan Tembaan dimana para PKL

beralasan bahwa kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung

seluruh PKL.

Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program

kebijakan yaitu lemahnya proses pelaksanaan program tersebut yang terletak pada

lemahnya dasar hukum, kurang efektifnya proses sosialisasi peraturan, ketidak

terpaduan proses partiripasi, semunya proses pemberdayaan PKL dan

inkonsistensi dalam penegakan hukum.

77

Page 78: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Ditambah lagi adanya ketidakpastian sikap pengambil keputusan.

Ketidakpastian tersebut mengakibatkan terjadinya :

(1) ketidakterpaduan dan inefisiensi peran dalam menangani PKL.

(2) konsolidasi internal dan eksternal dalam tubuh komunitas PKL untuk

memperoleh legalitas dalam memanfaatkan ruang publik yang semakin

memperkuat mekanisme institusi informal dalam arena kegiatan PKL

Permasalahan serupa juga pernah dialami ketika menangani masalah PKL

di Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot dan pada akhirnya berhasil

diselesaikan. Keberhasilan tersebut tak lepas dari kesabaran dan kerja keras semua

pihak.

4.5 Kebijakan yang Tepat Untuk Mengatasi Masalah Tersebut

Ketidakberhasilan yang dialami pemerintah Kota Surabaya dalam

menangani kasus PKL perlu dijadikan suatu pelajaran jika mengahadapi kasus

serupa di masa yang akan datang. Dalam memutuskan suatu kebijakan, banyak

aspek yang harus diperhatikan baik aspek fisik, peluang ekonomi, serta kelancaran

administrative terkait pemberlakuan izin berdagang yang selama ini menjadi akar

maslah sehingga PKL merajalela dimana-mana. Kebijakan yang sesuai terkait

masalah ini akan lebih banyak dipaparkan pada bab-bab selanjutnya.

78

Page 79: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

5.1 Kriteria Penentuan Secara Teoritis

Penentuan kriteria penilaian dalam rangka memperoleh alat pengukuran

yang dapat dikuantitatifkan dapat berguna dalam memperbandingkan berbagai

alternatif penyelesaian yang masuk dalam pertimbangan.

Poin-poin diatas dapat tertuang dalam kriteria-kriteria penilaian yang dapat

digunakan untuk menentukan altematif yang akan dipilih. Adapun kriteria tersebut

adalah sebagai berikut :

Memperhatikan factor teknis yang berkenaan dengan pemindahan para

PKL ke lokasi yang ditetapkan pemerintah setempat. dengan melihat

criteria penilaian yaitu :

a. Tidak menimbulkan konflik dengan lingkungan yang ada baik berupa

gangguan lalu lintas ataupun pencemaran.

b. Tidak mengganggu aktivitas pejalan kaki.

c. Melakukan pengawasan terhadap keberadan PKL.

Memperhatikan peluang ekonomi dan keuangan yang berkaitan dengan

keberadaan PKL tersebut, bagaimana proses pendanaan kebijakan ini dan

peluang ekonomi yang mungkin dapat diharapkan khususnya bagi

pendapatan pemerintah daerah. Adapun kriteria-kriteria faktor ekonomi ini

adalah sebagai berikut :

a. Pemberlakuan sistem restribusi sewa tempat dan kebersihan bagi para

PKL kepada pemerintah.

b. Pemberlakuan sanksi berupa denda bagi para PKL yang melanggar

peraturan

Memperhatikan kelancaran administratif dimana untuk mengatahui

sejauh mana tata administrasi yang ada termasuk undang-undang dan

peraturan-peraturan mendukung kebijakan ini. Adapun kriteria-kriteria

faktor ini adalah sebagai berikut :

a. Pemberlakuan ijin

b. Pencatatan atau regristasi jumlah PKL sehingga terdapat kontrol

terhadap keberadaan dan jumlahnya

c. Pemberlakuan peraturan

79

BAB

VBAB

V

Page 80: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

5.2 Penentuan Kriteria Sesuai dengan Artikel

Apa yang terjadi di lapangan selama ini ternyata sama seperti apa yang

telah tercantum pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978

menegenai tempat usaha para PKL. Seperti yang kita ketahui bahwa para PKL

selalu menggunakan tempat-tempat umum yang tidak diperuntukkan mendirikan

usaha. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi system keruangan kota yang telah

ditata oleh pemerintah. Untuk itulah pemerintah perlu merelokasi atau

menempatkan para PKL tersebut ke tempat yang sesuai dimana tempat tersebut

tidak mengganggu system tata ruang kota.

Dari beberapa artikel tentang masalah relokasi PKL di beberapa kota besar

di Indonesia, maka dapat ditentukan beberapa alternatif kebijakan yang diberikan

guna menyelesaikan masalah tersebut. Alternatif kebijakan penyelesaian tersebut

antara lain :

a) Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan

kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan

salah satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan

PEMKOT.

b) Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak

menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding

dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang

kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan

kesejahteraan kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu,

dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang

berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan serta tidak

sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali

tidak menyelesaikan persoalan.

c) Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah

(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan

PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan

sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.

d) Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru bagi para

PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang

80

Page 81: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa

tempat

e) Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dan pembinaan secara

terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur

perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut.

f)Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima

tersebut.

g) Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.

h) Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya

memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.

i) Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang

strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan

mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan

dan kerapian kota

j) Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :

Kepentingan semua pihak

Nilai estetika / nilai keindahan

Teori demand-supply

Teori lokasi

Teori sirkulasi ruang

Teori behavior

Teori psikologi manusia

f) Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif

melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan

kecamatan.

g) Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah

(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan

PKL.

h) Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap

kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan

bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu

sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

81

Page 82: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

i) Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-

menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL

serta bangunan liar di berbagai wilayah kota.

j) Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus

urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya

tampung kota.

k) Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi

bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar

bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu

sendiri.

82

Page 83: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

6.1 Mencari Alternatif Kebijakan

Alternatif kebijakan pemecahan masalah yang ditawarkan termasuk

didalamnya alternatif-alternatif lain yang didasarkan pada kebijakan yang telah

ada. Sumber utama alternatif ini berdasar pada kasus-kasus PKL yang telah

menjadi agenda umum masalah tiap-tiap daerah di Indonesia sehingga

penyelesaian dan pertimbangan yang diambil diatelaah berdasar pada kasus-kasus

tersebut.

Dari uaraian di atas, maka garis besar alternatif yang telah ditawarkan yaitu

“Relokasi PKL dengan konsep tata ruang kota yang mensejahterakan

masyarakat”. Adapun alternatif kebijakan yang dicari adalah alternatif-alternatif

kebijakan yang didapatkan dari artikel yang mana sudah dipaparkan pada bab

sebelumnya. Alternatif kebijakan tersebut antara lain :

a. Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan

kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah

satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT.

b. Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak

menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding

dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota

yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan

kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu, dibutuhkan sebuah

strategy planning yang komprehensif yang berbasis kesejahteraan

rakyat dan yang berkeadilan serta tidak sekadar hanya

mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak

menyelesaikan persoalan.

c. Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah

(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.

Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian

persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.

83

BAB

VIBAB

VI

Page 84: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

d. Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru bagi para

PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki

lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat

e. Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dan pembinaan secara

terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur

perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut.

f. Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima

tersebut.

g. Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.

h. Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan

karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.

i. Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang

strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan

mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan

kerapian kota

j. Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :

Kepentingan semua pihak

Nilai estetika / nilai keindahan

Teori demand-supply

Teori lokasi

Teori sirkulasi ruang

Teori behavior

Teori psikologi manusia

k. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif

melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan

kecamatan.

l. Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah

(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.

m. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap

kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan

modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke

lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

84

Page 85: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

n. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-menerus

mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta

bangunan liar di berbagai wilayah kota.

o. Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus

urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya

tampung kota.

p. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi

bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar

bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.

6.2 Mengevaluasi Setiap Alternatif Kebijakan

Untuk melakukan proses evaluasi terhadap berbagai alternatif ada dua

langkah utama yang dilakukan, yaitu :

1. Melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut berdasarkan kriteria

yang ditentukan sebelumnya.

2. Meramalkan bagaimana kondisi di masa yang akan datang atau dampak

yang ditimbulkan apabila kebijakan tersebut diterapkan.

6.2.1 Evaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan

1. Kelayakan Teknis

Pertimbangan yang diambil dan mendasari alternatif ini adalah bahwa

keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan saat ini tidak terlalu banyak dan juga

jika dilakukan suatu pengaturan maka keberadaan PKL ini tidak akan secara

signifikan mengganggu lingkungannya. Berdasarkan alternatif ini maka

pemerintah tidak akan melakukan penggusuran hanya saja pemerintah akan

melakukan pengaturan dan penertiban berdasarkan peraturan-peraturan tertentu

bagi PKL Tugu Pahlawan yang didasari oleh kebijakan ini sehingga tindakan-

tindakan yang diambil semuanya merupakan penyesuaian atau modifikasi

pelaksanaan kebijakan ini.

Lebih mengarah pada penertiban para PKL di kawasan Tugu Pahlawan

Surabaya. Penertiban ini didasarkan pada peraturan-peraturan tertentu bagi PKL

85

Page 86: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

tersebut yang didasari oleh kebijakan sehingga tindakan yang diambil semuanya

merupakan modifikasi kebijakan tersebut. Adapun pertimbangan yang ada yaitu :

a. Kebijakan lainnya yaitu memperbanyak kerjasama antara pedagang

kaki lima dengan pemerintah, diaman hingga saat ini para PKL

selalu menganggap pemerintah sebagai musuh karena

menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar

dilaksanakan.

b. Alternatif kebijakan lainnya yaitu dengan melakukan pembinaan

terhadap PKL di tiap daerah khususnys PKL di Tugu Pahlawan.

Pembinaan ini bertujuan untuk memperkenalkan para PKL tentang

pentingnya berjualan di tempat-tempat yang memang merupakan

kawasan perdagangan dan tidak dikawasan-kawasan seperti

pendidikan dan budaya maupun sejarah. Kenyataannya bahwa sangat

sulit menerapkan hal itu karena para PKL juga manusia yang akan

terdorong untuk mencari lokasi ramai pengunjung, tidak peduli

kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, budaya, maupun

sejaraha. Seperti yang terjadi di Tugu Pahlawan dimana yang

dientingkan oleh tiap PKL yaitu meraup keuntungan sebanyak-

banyaknya.

c. Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah

tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik

lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar

tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik

PKL tersebut. Misalnya untuk PKL penjual makanan dan minuman,

maka harus berada pada lokasi yang sama/selokasi. Hal tersebut akan

sangat berpengaruh terhadap keindahan tata ruang kota tanpa

mengurangi nilai estetika dan malah akan menimbulkan citra dan ciri

khas tersendiri.

d. Alternatif kebijakan berikutnya yaitu memiliki konsep nilai-nilai

penataan ruang antara lain :

Menyangkut Kepentingan semua pihak

Nilai estetika / nilai keindahan

86

Page 87: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Teori demand-supply

Teori lokasi

Teori sirkulasi ruang

Teori behavior

Teori psikologi manusia

e. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap

kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan

bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu

sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

Dengan demikian, PKL sudah tidak merasa takut bahwa pendapatan

mereka akan menurun. Dengan bantuan modal usaha yang diberikan,

mereka dapat merasa diperhatikan sehingga mereka akan berusaha

untuk mandiri tanpa mengganggu kepentingan publik.

f. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-

menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL

serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan

kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah

PKL.

g. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi

bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar

bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu

sendiri.

2. Peluang Ekonomi dan Keuangan

Proses alternatif pihak pemerintah dapat secara khusus memberlakukan

suatu sistem retribusi bagi para PKL berdasarkan peraturan yang baru hasil

penyesuaian terhadap kebijakan yang ada dan secara umum paling tidak

pengaturan, pengawasan dan pembatasan PKL Jalan Gajayana dapat memberikan

kelancaran pergerakan yang lebih baik pada sehingga dari kelancaran pergerakan

ini diharapakan menimbulkan multi player efek pada sektor lain yang dapat

meningkatkan kegiatan perekonomian dalam hal efisiensi waktu. Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem

retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga merupakan

87

Page 88: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

pemasukan yang dapat juga membantu membiayai kegiatan operasional seperti

pengawasan-pengawasan. Adapun kebijakan terkait dengan kriteria ini adalah

untuk lokasi, kebijakan yang dibuat PEMKOT terkait lokasi baru tempat

berdagang para PKL dikembangkan dan diakomodasikan bagi pedagang kali lima,

bukan pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Kenyataan di lapangan

selama ini, bahwa lokasi baru bagi para PKL tidak mengakomodasi PKL tersebut

secara baik karena pada umunya lokasi baru tersebut dikuasai oleh mereka yang

sanggup membayar sewa tempat.

3. Kelancaran Administratif

Proses pemunculan alternatif ini juga dipertimbangkan dari segi kelancaran

administratif dimana secara lugas dapat digaris bawahi adalah apakah masyarakat

merasa terganggu sehingga jika masyarakat tidak merasa terganggu maka dari

segi kelancaran administrasi pengaturan keberadaan PKL di Tugu Pahlawan ini

nantinya tidak menimbulkan kesulitan.

PKL harus memiliki ijin berjualan dari pemerintah yang dapat didukung

dengan adanya surat keterangan dari pihak RT atau RW setempat sehingga

keberadaan PKL menjadi jelas dan terkontrol. PKL tersebut harus melalui proses

regristrasi administrasi seperti pencatatan jumlah PKL sehingga dapat diketahui

berapa jumlah, jenis dagangan dan lokasi berjualannya. Pemberlakuan peraturan

harus disertai dengan adanya pemberlakuan sanksi dim ana proses penjalanan

sanksi ini harus jelas administrasinya. Adapun alternatif kebijakan yang sesuai

dengan kriteria ini, diantaranya adalah :

a. Apakah PERDA yang dikeluarkan benar-benar dalam kenyataannya

mampu memberdayakan kaum pinggiran khususnya para PKL.

Keadaan lapangan di sekitar Tugu Pahlawan, dimana para PKL

beranggapan bahwa dengan pemindahan mereka ke lokasi yang baru

bukan akan diberdayakan tetapi merasa seperti diasingkan atau

dibuang oleh pemerintah karena pemerintah hanya mengedepankan

konsep tata ruangnya.

b. Untuk menghindari pemikiran seperti yang terdapat pada point (a),

maka dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif

88

Page 89: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

(jangka panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak

mengabaikan tata ruang kota tersebut, dalam hal ini Tugu Pahlawan.

Tetapi masalahnya apakah alternatif kebijakan ini juga dapat

diaplikasikan secara nyata di lapangan ataukah sebaliknya.

c. Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera

menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta

swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat

perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan

mereka untuk menampung PKL. Tetapi pada kenyataannya sangat

sulit menerapkan kebijakan ini karena biasanya lahan tersebut

digunakan oleh perkantoran atau mal-mal untuk kepentingan mereka

sendiri yang tentunya berkaitan dengan kegiatan finansial mereka.

d. Kebijakan berikutnya bekaitan dengan pembenahan dan pembinaan

secara terus menerus serta konsisten atas kebijakan yang telah

dikeluarkan. Seperti halnya jika menetapkan kebijakan ”Relokasi

PKL dengan konsep kesejahteraan masyarakat dan tata ruang kota”,

dimana dalam aplikasinya tidak ada ketimpangan satu dengan yang

lainnya. Kekonsistensian inilah yang hingga sekarang masih

belumbisa diterapkan secara adil di masyarakat sehingga membawa

kekhawatiran para PKL terutama dalam masalah ini PKL Tugu

Pahlawan Surabaya.

e. Alternatif kebijakan berikutnya yaitu adanya peraturan yang

mengatur dan menata para PKL pada tempat-tempat yang strategis

yang banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan

aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota.

Inilah alternatif kebijakan yang coba diterapkan oleh beberapa kota

di Indonesia, salah satunya Kota Surabaya. Pemberdayaan

masyarakat dianggap penting dengan tidak melupakan sistem tata

ruang kota yang menyangkut keindahan, kebersihan, dan kerapian

kota.

f. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif

melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan

89

Page 90: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

kecamatan. Mekanisme ini merupakan upaya preventif untuk

mencegah munculnya atau bertambah banyaknya PKL. Dalam hal

ini, peran aparat kelurahan dan kecamatan akan dapat sangat

membantu.

g. Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah

(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan

PKL. Pihak swasta juga memiliki andil yang cukup besar dalam hal

penentuan lokasi usaha para PKL. Dengan adanya peraturan daerah

yang mengatur tentang peran serta pihak swasta, maka diharapkan

dapat mempermudah penyelesaian masalah PKL yang terjadi.

h. Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus

urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya

tampung kota. Urbanisasi merupakan faktor utama yang

menyebabkan timbulnya PKL-PKL liar. Oleh karena itu, arus

urbanisasi sangat perlu untuk dikendalikan.

6.2.2 Ramalan Kondisi di Masa Mendatang/Identifikasi Dampak yang

Ditimbulkan oleh Alternatif Kebijakan yang Ada

Dampak yang akan ditimbulkan adalah sebagai berikut :

1. Dampak bagi PKL

Dengan munculnya peraturan tertentu tersebut yaitu diadakannya

pengaturan, pengawasan dan pembatasan terhadap PKL di Tugu Pahlawan

secara tidak langsung tidak mempengaruhi sumber pendapatan mereka.

Apabila dilakukan relokasi terhadap mereka, pada awalnya akan

mempengaruhi pendapatan mereka namun tentunya hal ini tidak akan

berlangsung berkepanjangan karena memang butuh penyesuaian pada

awalnya.

2. Dampak bagi lingkungan sekitar

Peraturan baru hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada setidaknya

akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya PKL.

Diantaranya adalah perbaikan pengelolaan limbah yang baik agar kesan

90

Page 91: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

kotor dan kumuh sedikit demi sedikit hilang. Disamping itu, akan dapat

mempertahankan citra Tugu Pahlawan sebagai icon Kota Surabaya yang

mana monumen tersebut melambangkan tonggak sejarah perjuangan

bangsa Indonesia.

3. Dampak bagi pemerintah kota

Pemerintah Kota harus lebih tegas dalam memberlakukan peraturan baru

hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada untuk mengatur PKL. Juga

diperlukan pengawasan berlangsungnya peraturan baru apakah sudah

berjalan dengan baik atau tidak. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam

pelaksanaan peraturan ini. Pemerintah Kota dalam mendapatkan dana

dapat secara khusus memberlakukan suatu sistem retribusi bagi para PKL

berdasarkan peraturan yang baru. Pemerintah dinilai tidak becus apabila

tidak dapat menyelesaikan masalah ini.

6.3 Memilih Alternatif Kebijakan

Berdasarkan evaluasi alternatif kebijakan yang sudah dilakukan, maka

dapat dipilih beberapa alternatif kebijakan. Alternatif tersebut diantaranya adalah :

a. Kebijakan lainnya yaitu memperbanyak kerjasama antara pedagang

kaki lima dengan pemerintah, dimana hingga saat ini para PKL

selalu menganggap pemerintah sebagai musuh karena

menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar

dilaksanakan.

b. Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah

tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik

lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar

tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik

PKL tersebut dengan memperhatikan konsep nilai-nilai penataan

ruang antara lain :

Menyangkut Kepentingan semua pihak

Nilai estetika / nilai keindahan

Teori demand-supply

Teori lokasi

Teori sirkulasi ruang

91

Page 92: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Teori behavior

Teori psikologi manusia

c. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap

kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan

bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu

sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

d. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-

menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL

serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan

kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah

PKL.

e. Meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk

membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu

kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.

f. Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem

retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga

merupakan pemasukan yang dapat juga membantu membiayai

kegiatan operasional seperti pengawasan-pengawasan.

g. Untuk menghindari pemikiran yang negatif dari para PKL, maka

dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif (jangka

panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak mengabaikan

tata ruang kota tersebut.

h. Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera

menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta

swasta dalam upaya penataan PKL.

i. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif

melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan

kecamatan sebagai upaya preventif.

Dalam hal ini, pemerintah hendaknya berpegang teguh pada aturan-aturan

dan perundangan yang ada yang berkaitan dengan konsep tata ruang kota dan

dengan konsep kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemerintah harus tegas

dalam menangani masalah ini.

92

Page 93: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

93

Page 94: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

Pemantauan dan evaluasi merupakan tindak lanjut dari implementasi

kebijakan yang diterapkan. Pemantauan dan evaluasi ini penting adanya agar suatu

kebijakan tetap konsisten mencapai tujuan, juga untuk memantau apakah

kebijakan tersebut masih relevan dengan kondisi yang ada. Kebijakan PKL dalam

proses implementasinya harus tetap dilakukan upaya-upaya pemantauan dan

evaluasi. Beberapa contoh hal yang dapat menjadi bahan evaluasi, yaitu :

7.1 Pemantauan dan evaluasi terhadap lingkungan

Upaya-upaya yang dilakukan dalam proses evaluasi dan pemantauan

terhadap lingkungan seyogyanya harus dapat memberikan informasi sejauhmana

kebijakan PKL yang diterapkan mempengaruhi kondisi Iingkungan yang ada di

sekitarnya baik itu secara fisik maupun non fisik. Beberapa hal yang berkaitan

dengan fisik misalnya adalah masalah sampah.

Dalam proses evaluasi dan pemantauan nantinya harus dapat dipastikan

bahwa sampah di sekitar lokasi tersebut telah dikelola dengan baik. Diharapkan

nantinya ada upaya-upaya preventif yang cukup untuk menjamin hal tersebut

tidak mengganggu warga masyarakat disekitarnya.

Sedangkan yang berkaitan dengan non fisik misalnya masalah keamanan.

Dengan berkembangnya lokasi tersebut yang identik dengan pusat keramaian

maka sangat dimungkinkan berimplikasi terhadap peningkatan tindak kejahatan.

Oleh karena itu perlu dievaluasi apakah masalah keamanan di Iingkungan tersebut

tetap terjamin setelah kebijakan relokasi ini dijalankan.

94

BABVII

Page 95: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

7.2 Pemantauan dan evaluasi terhadap kontribusi financial

Kajian pemantauan dan evaluasi terhadap kontribusi financial dilakukan

terhadap komponen, yaitu pemerintah dan masyarakat sekitar termasuk para PKL

itu sendiri. Apakah hal tersebut turut mendukung peningkatan penerimaan daerah

bagi pemerintah kota & peningkatan keuntungan (surplus/laba) bagi para PKL.

7.3 Pemantauan dan evaluasi terhadap tata ruang kota

Keindahan suatu kota sangat tergantung kepada elemen-elemen dan

keterpaduan elemen-elemen yang ada di sekitamya. Menurut Kevin Lynch (da/am

Zahnd, 1999 : 163) keindahan suatu wajah kota dapat menciptakan pengalaman

yang menyenangkan dengan timbulnya kesan tempat, keadaan baik dan

keamanan. Dengan adanya kebijakan untuk merelokasi para PKL di Tugu

Pahlawan, maka dapat mengembalikan nilai estetika Tugu Pahlawan dalam

hubungannya dengan tata ruang kota Surabaya yang baik. Di samping itu,

kebijakan tersebut dapat mengembalikan dan mempertahankan citra Kota

Pahlawan di mana Monumen Tugu Pahlawan merupakan icon yang

melambangkan tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, akan sangat

bijaksana jika di sekitar kawasan Tugu Pahlawan tidak terdapat PKL, sehingga

dapat tetap terjaga kebersihan dan keindahannya.

95

Page 96: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

8.1 Kesimpulan

1. Pengambilan Kebijakan untuk menata keberadaan PKL di Tugu

Pahlawan merupakan salah satu upaya alternatif untuk mengatasi

permasalahan ketidak sesuian penataan relokasi PKL, namun melihat

proses pengambilan kebijakan itu sendiri, dikatakan tidak cukup

aspiratif, mengingat para PKL tersebut tidak pernah dilibatkan secara

langsung dalam proses pengambilan kebijakan ini. Walaupun secara

prosedural proses pengambilan kebijakan telah melalui tahapan-tahapan

yang telah ditentukan, termasuk berkonsultasi dan atas persetujuan

DPRD.

2. Ada beberapa alasan yang menyebabkan PKL di sekitar Tugu Pahlawan

untuk tetap berjualan, diantaranya adalah :

a. kurang tegas dalam melaksanakan kebijakan, khususnya Pemerintah

masalah PKL di Tugu Pahlawan. Buktinya sampai saat ini usaha

penertiban PKL tersebut selalu gagal.

b. Para PKL merasa pendapatannya sangat tinggi apabila berjualan di

sepanjang Tugu Pahlawan, hal ini disebabkan karena masih

sedikitnya saingan antar PKL

c. Lokasi Tugu Pahlawan yang strategis sehingga para PKL senang

berjualan di sana.

8.2 Saran

1. Pemerintah harus lebih tegas dan serius dalam melaksanakan kebijakan,

khususnya masalah PKL yang berada di Tugu Pahlawan.

2. Dibutuhkan adanya partisipasi dan kerjasama antara pemerintah kota,

pihak swasta, masyarakat, dan para PKL.

3. Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kebijaksanaan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah kota.

4. Adanya keterlibatan para PKL sebagai masyarakat kecil dalam

96

BABVIII

Page 97: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

penentuan kebijaksanaan penertiban kawasan Tugu Pahlawan.

5. Adanya sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap para PKL dan

memberikan pengertian kepada mereka tentang pentingnya peletakan

lokasi berdasarkan konsep tata ruang tanpa mengurangi manfaat yang

dapat mereka peroleh.

97

Page 98: makalah PPWK

PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT

Unibraw

DAFTAR PUSTAKA

Senjahari, Awan, dkk. 2002. Evaluasi Kebijakan Penetapan Lokasi Usaha PKL. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.

Suharso, Tunjung W. 2004. Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota. Jurusan

Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.

http://air.bappenas.go.id

http://www.bktrn.org

http://www.kompas.com

www.kompas.com

http://digilib.itb.ac.id

www.walhi.com

http://www.surabaya.go.id

http://www.jawapos.co.id

http://www.tempointeraktif.com/

Harian Metropolis tanggal 17 Mei 2007

98