makalah ppwk
DESCRIPTION
makalah semester pertama PWKTRANSCRIPT
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
1.1 Latar Belakang
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang yang mempelajari perencanaan
penataan wajah kota dan wilayah yang baik, dengan memberikan perhatian pada
aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan
adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan
wilayah dan kota.
Sejak dilahirkannya ilmu perencanaan atau tata kota dan prakteknya
melalui koordinasi atau birokrasi modern dalam konteks kolonialisme, secara
tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena
ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial
yang terus bergerak dinamis hingga saat ini.
Gerak yang sangat dinamis ini dapat dilihat di daerah perkotaan yang
diidentikkan sebagai pusat pertumbuhan, pusat kerajinan, dan modernisasi yang
menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan
migrasi atau urbanisasi. Kota merupakan suatu ekosistem yang dapat
mendatangkan kerawanan lingkungan, baik untuk lingkungan kota itu sendiri
maupun untuk lingkungan di pinggiran kota. Walaupun secara ekologi, ekosistem
kota lebih rawan tetapi pada kenyataan umumnya kondisi kota lebih maju
dibandingkan desa. Kenyataan ini merangsang orang desa untuk melakukan
urbanisasi.
Pemahaman ini mengakibatkan penduduk desa terutama pemuda-pemuda
desa berlomba-lomba mencari kerja di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang
merupakan upaya untuk meningkatkan status diri dan keluarganya. Orang-orang
desa yang bekerja di kota dianggap mempunyai nilai lebih di desanya. Fenomena
itu kemudian menarik pemuda yang lain untuk mendapatkan status pemuda yang
tidak ketinggalan jaman. Dengan adanya urbanisasi pertambahan penduduk kota
1
BAB
IBAB
I
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
menjadi semakin meningkat pesat. Masyarakat Migran atau urban ini pada
umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya
sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan
lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang
tanpa fasilitas apapun dan kehadirannya selalu menyertai tempat-tempat
keramaian, mengelompok menggunakan ruang-ruang umum yang ada, seperti
trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya
pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya
PKL sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari hukum timbal balik yang
saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.
Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih
mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL
tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat.
Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang
mempunyai akar pada masyarakat Indonesia dan dilaksanakan pada ruang
terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya
orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992).
Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL
berkembang sangat cepat pada tempat-tempat umum secara tidak beraturan dan
hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya
adalah masalah lalu lintas, berupa kemacetan di jalan umum. Jalan sebagai
prasarana utama perhubungan atau pengangkutan barang dari satu tempat ke
tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga
fungsi jalan menjadi terganggu. Bertolak dari pemikiran ilmiah keberadaan PKL
di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati,
dan difahami serta adanya political policy dari pemerintah berupa dukungan
kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota.
Penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut ke dalam makalah yang
berjudul “ANALISA KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL DI SEKITAR TUGU
PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.
2
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana keterkaitan keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan dengan
konsep tata ruang kota ?
2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah kota terkait dengan masalah
tersebut?
3. Mengapa kebijakan tersebut masih belum berhasil ?
4. Bagaimanakah kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut ?
1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah:
1. Mengetahui keterkaitan keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan dengan
konsep tata ruang kota.
2. Mengetahui kebijakan pemerintah kota terkait dengan masalah tersebut.
3. Mengetahui sebab kegagalan kebijakan tersebut.
4. Merekomendasikan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah
tersebut.
3
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2.1 Letak Geografis
Kota Surabaya merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Secara geografis
Kota Surabaya terletak diantara 07.12” – 07.21” Lintang Selatan dan 112.36” –
112.54” Bujur Timur. Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di
atas permukaan laut, kecuali disebelah selatan dengan ketinggian sekitar 25-50
meter di atas permukaan laut. Kota ini memiliki luas wilayah kurang lebih 326,37
km2.
2.2 Batas Administrasi
Sebelah Utara : Selat Madura
Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo
Sebelah Timur : Selat Madura
Sebelah Barat : Kabupaten Gresik
2.3 Fungsi dan Peranan Kota Surabaya
Sesuai kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya dalam RTRW tahun
2005 menetapkan bahwa Kota Surabaya adalah kota yang berwawasan
“BUDIPAMARINDA” (budaya, pendidikan, pariwiwsata, maritim, industri dan
perdagangan, informasi, administrasi, social, dan kesehatan).
2.4 Pembagian Wilayah Kota Surabaya
Kota Surabaya terdiri atas 31 kecamatan dan 163 kelurahan (PERDA no. 5
dalam Suarabaya Dalam Angka, 2003:28). Dimana kecamatan terbanyak ditemui
pada wilayah Surabaya selatan sebanyak 8 kecamatan sedangkan wilayah dengan
jumlah kecamatan paling sedikit ditemui pada wilayah Surabaya bagian pusat,
dimana hanya terdiri atas 4 kecamatan saja.
4
BAB
IIBAB
II
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2.5 Fasilitas Perdagangan
Perkembangan perekonomian Kota Surabaya dipengaruhi oleh aktivitas
sector produksi perdagangan, pasar, restoran, hotel, dan jasa lainnya. Tidak hanya
kontribusi sector ini terhadap perekonomian Kota Surabaya, akan tetapi
kecenderungan ke depan pun dapat diperkirakan sector ini akan mengalahkan
sector industri menjadi leading sector di Kota Surabaya. Fasilitas perdagangan di
Kota Surabaya didominasi oleh pedagang kaki lima ataupun pedagang yang
berada di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya.
5
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2.6 Tugu Pahlawan
Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark Kota
Surabaya. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang.
Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10
November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan
pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.
Monumen ini berada di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa
Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota
Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10
November dimana pada tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang
kemerdekaan.
6
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
3.1 Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan lebih bersifat keahlian, bukan i1mu pengetahuan
teoritis. Seorang analist kebijakan selalu mengandalkan diri pada proses yang
dapat dipertahankan, metode yang tepat, dan pertimbangan yang didasarkan
pengalamannya.
Policy Analysis atau analisa kebijakan mneurut Charles E Lindblom dalam
buku Perencanaan Wilayah Kota karangan Catanese adalah suatu tipe analisis
kuantitatif yang melibatkan perbandingan incremntal, dimana metode kualitatif
dimasukkan untuk mengenal interaksi antara nilai dan kebijakan
3.1.1 Tahapan-Tahapan Dalam Analisis Kebijakan
7
BAB
IIIBAB
III
(4) Mengevaluasi Setiap alternatif
kebijakan
(5) Memaparkan
dan memilih di antara berbagai
alternatif
(6) Memantau dan
mengevaluasi hasil
(2) Menentukan
kriteria evaluatif
(3) Mencari alternatif kebijakan
(1) Menentukan Masalah (Menguji,
merinci)
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Menentukan Masalah
Dilakukan atas 2 dasar prinsip (kunci) : (1) Memilih waktu untuk
memikirkan, berarti memikirkan masalah secara bebas, bukan dengan
menjaring informasi dan pendapat yang mungkin dapat menyesakan atau
terlalu di sederhanakan. (2) mengungkapkan dengan angka-angka, berarti
menguantifikasiakn masalah dengan maksud untuk menguji ukuran dan
signifikannya.
Bagimana masalah itu didefinisikan, akan sangat berpengaruh terhadap
permasalahannya. Analisis merupakan peran yang sangat penting. Tuijuan
analisis harus terbuka terhadap berbagai persepektif, menjelasakan suatu
realitasa dari berbagai segi.
Contoh : Suatu daerah permukiman mempunyai peluang untuk
dikembangkan menjadi komplek perkantoran dan perbelanjaan.
Developer menyediakan biaya-biaya untuk pembebasan lahan dan
bangunan. Para pemilik rumah yang termasuk dalam rencana
tersebut menekan pemerintah daerah untuk memberikan ijin
perubahan zoning, karena mereka akan mendapat penjualan dari
rumah mereka. Pemerintah setempat juga akan mendapatkan
manfaat dari pertumbuhan lingkungan tersebut, meskipun harus
menyediakan fasilitas dan utulitasa yang baru.sebaliknya ada
sebagian pemilik rumah yang tidak termasuk dalam rencana itu
yang akan mendapat gangguan atau dampak. Akibat pembangunan
tersebut dan cenderung menolak adanya pembangunan.
Bagi analis kebijakan, ada empat persepektif yaitu pemrintah daerah, para
pemilik rumah yang kan mendapatkan ganti rugi, Developer dan pemilik
rumah di lingkungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Ada bebrapa
metode yang dapat dipakai untuk menganalisa antara lain :
o Perhitungan Back-Of_The_Envelope (Untiuk estimasi besarnya masalah)
Pembahsan kebijakan peklu di lengkapi dengan hasil perhitungan
statistic, karena angka satatistik dapat menunjukan seberapa besar
8
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
masalahnya. Frederick Mosteler menyarankan empat metode untuk
menentukan angka-angka yang tidak di ketahui :
1. Melihat angka yang terdapat dalam sumber rujukan
2. Mengumpulkan angka melalui survey yang sistematis
3. Menebak angka
4. Meminta bantuan para ahli untuk memberikan angka
o Analisis Keputusan (Untuk menentukan komponaen penting)
o Definisi Operasional (Untuk mengurangi konsep yang mendua)
Pengungkapan suatu masalah atau tujuan ukuran tertentu, disebut
sebagai menentukan definisi-definisi operasional. Jika langkah ini dilakukan
dengan sembrono atau tidak dilakukan sama sekali, maka kebijakan yang
sudah digariskan akan sulit dievaluasi atau tidak jelas keberhasilannya.
o Analisis Politik (Untuk tidak mengabaikan factor non kualitatif)
Meskipun analisa politis bersifat kualitatif, hal ini dapat dilakukan
secara lebih metodologi, sebagaimana dinyatakan olh Meltsner bahwa
masalah-masalah politis dapat dianalis dari segi yang terlibat. Termasuk
didalamnya motivasi serta keyakinan mereka, sumber daya yang mereka
miliki, serta kemampuan mereka untuk menggunakan sumber daya secara
efektif dan posisi-posisi mana yang akan diambil.
o Kertas Kerja (Untuk membantu memutuskan penelitian lanjutan)
Berupa penyiapan suatu dokumen yang dapat memberikan penjelasan
kepada klien mengenai analisa apa yang diperlukan untuk memahami masalah
dan untuk mencapai beberapa rekomendasi. Kertas kerja didasarkan pada
usulan-usulan mengenai bagaimana mempelajari masalah. Hasilnya harus
berupa program kerja yang jelas dan terinci agar mudah dipahami klien.
3.1.2 Mencari Berbagai Alternatif
Ada dua jenis cara pemecahan yaitu
(1) Yang telah ada dan dapat digunakan sebagaimana adanaya atau
dimodifikasi agar sesuai dengan masalah yang ada.
(2) Yang benar-benar merupakan pemecahan yang baru.
9
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
1. Altertatif tanpa tindakan (no action alternative)
Seorang analisis kebijakan harus mempertimbangkan alternative tanpa
tindakan apapun, atau mempertahankan status quo. Terkadang alternatif ini
diabaikan atau dilecehkan oleh mereka yang berpandangan sederhana yaitu untuk
mengatasi masalah yang sudah diketahui perlu adanya tindakan . Alternatif ini
penting perannya sebagai tolok ukur untuk membandingkan alternative lainnya.
Jika sampai pada tahap mengevaluasi setiap alternative, semua dampak dari setiap
alternative akan dipertimbangkan. Perbandingan itu akan menunjukkan peran
alternative tanpa tindakan, dan mungkin saja dalam waktu 10 tahun alternative
tanpa tindakan masih lebih baik dari pada lainnya.
2. Alternatif lain yang didasarkan kebijakan yang ada
Berdasarkan alternative tanpa tindakan tersebut, dapat dikembangkan
alternative tindakan terbatas, sehingga memberi kemungkinan adanya perubahan
incremental dari alternative tanpa tindakan. Sumber alternative ini berasal dari
pengalaman pihak lain. Analisis dapat minta para professional, menanyakan
pengalaman mereka dalam penerapan kebijakan atau program-program yang
berkaitan dengan masalah ini. Para ahli tersebut dapat dicari dari perkumpulan
atau ikatan profesi dan perguruan tinggi. Pendapat para ahli ini tentu akan
memberikan perspektif yang beragam dibanding pendapat seorang awam, dan
tugas analisis adalah mendapat berbagai alternative yang besar manfaatnya.
3. Alternatif yang didasarkan kebijakan yang baru
Teknik lain untuk mendapatkan alternative adalah berusaha mencari ilham.
Ada dua kaidah utama untuk mendapatkan alternative tersebut, yaitu :
(1). Memisahkan tahap yang kritis dari salah satu tahap dimana diajukan
ide-ide, agar tidak melumpuhkan kreativitas,
(2). Memperkuat suatu ide yang tidak praktis atau ekstrim untuk
dijadikan lebih praktis disbanding dengan memikirkan ide yang
mulai dari dasar
10
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
3.1.3 Mengevaluasi Setiap Alternatif
Langkah pertama untuk mengevaluasi suatu alternatif kebijakan adalah
meramalkan kondisi-kondisi dimasa mendatang atau pengaruh-pengaruhnya,
apabila kebijakan ini diterapkan. Langkah berikutnya adalah membandingkan
pengaruh yang sudah diramalkan dari setiap alternatif dalam bentuk kriteria
evaluasi, termasuk analisis terhadap setiap ketidakpastian yang diramalkan.
1. Meramalkan setiap pengaruh
Untuk meramalkan setiap pengaruh tersebut ada tiga jenis metode
peramalan sebagai berikut:
(1). Metode ekstrapolasi
Dilakukan dengan melakukan ektrapolasi terhadap kecenderungan
(trend) masa mendatang. Hal ini mudah dilakukan jika hal-hal yang lalu
dapat digambarkan dalam angka-angka kualitatif, seperti jumlah
penduduk. Jika data kuantitatif sudah diperoleh, maka hal itu dapat
dijadikan dasar untuk melakukan ekstrapolasi secara mekanis kemasa yang
akan datang.
(2). Metode modelling
Sebenamya semua keputusan itu dilakukan berdasarkan beberapa
model, beberapa merupakan konstruksi dari perilaku suatu subsistem.
Beberapa model sudah dikembangkan, diuji dan distandardisasikan.
Salah satu contoh sederhana adalah model ekonomi mengenai
penawaran, permintaan serta harga dari suatu komoditi. Model ini sering
digunakan dalam pembuatan kebijakan untuk memprediksi bagaimana
setiap orang, pemerintah atu perusahaan akan bereaksi terhadap
perubahan-perubahan Iingkungan.
(3). Peramalan intuitif
Metode ini paling banyak digunakan dalam analisis kebijakan. Analis
dapat minta bantuan dari orang-orang yang memang mempunyai intuisi
dan visi yang tajam terhadap topik-topik kritis dengan segala
konsekuensinya. Dalam hal ini dituntut kepekaan dan ketajaman analis
dalam mensikapi pandangan~pandangan orang-orang tersebut.
11
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2. Mengevaluasi setiap pengaruh
Pada umumnya cara yang digunakan intuk mengevaluasi pengaruh dari
setiap alternatif kebijakan adalah dengan membandingkan pengaruh altematif
tanpa tindakan dengan pengaruh altematif lairmya (dengan tindakan).
Perbandingan ini, akan terfihat jelas jika disusun dalam bentuk matriks, gunanya
untuk menentukan setiap pengaruh neto (net impact). Analis menggunakan
kriteria evaluasi yang telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya (tahap 2), untuk
memutuskan pengaruh neto yang mana yang akan digunakan untuk evaluasi dan
bagaimana mengukur arti pentingnya secara relatif.
3. Menanggulangi ketidakpastian
Salah satu kesulitan yang dihadapi ana lis adalah ketidakpastian. Jika
resiko memberi arti bahwa terdapat dua atau lebih peluang dimasa mendatang
dan kita dapat mengkaitkan suatu kemungkinan untuk setiap keadaan ini dengan
tingkat kehandalan tertentu, maka ketidakpastian mengartikan bahwa kita tidak
dapat mengkaitkan adanya kemungkinan tersebut dimasa mendatang dengan
kehandalan tertentu. Kebanyakan analisis kebijakan mengandung ketidakpastian.
3.2 Memaparkan Dan Memilih Alternatif
Prinsip-prinsip
Ada empat yang harus digunakan analisis sebagai pedoman dalam
menunjukkan dan memlih tiap alternatif, yaitu:
1. Kesimpulan yang ditarik oleh analisis dari tiap alternative harus jelas.
Analisis hendaknya menggunakan metode sedemikian sehingga klien
dapat memahami bagaimana proses penilaian melalui cara sama bagi
setiap alternative.
2. Teknik-teknik yang digunakan untuk menunjukkan dan memilih tiap
altrtnatif harus dapat diterapkan penilaian secara berganda. Hanya sedikit
masalah yang menyangkut kebijakan diputuiskan berdasar satui criteria
saja.
3. Kriteria yang tidak dikuantifikasikan seringkali sama pentingnya dengan
criteria yang dapat dikuantifikasikan.
12
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
4. Bagaimanapun caranya pemaparan, hendaknya dapat mengarahkan
analisis dan klien kepada suatu keputusan. Pemaparan ini hendaknya dapat
menunjukkan sifat dari tiap alternative sehingga dapat dilakukan berbagai
pertimbangan atas factor-faktor penting bagi semua pihak dan membuka
kemungkainan kompromi apabila situasinya memang menghendaki
demikian.
3.3 Pedagang Kaki Lima (PKL)
3.3.1 Pengertian PKL
Perdagangan sektor informal dapat diartikan kelompok/golongan yang
usahanya berskala kecil, meliputi pedagang kakilima, pemulung, usaha industri
kecil dan kerajinan rumah tangga (Arundhati, 2000). Pada penelitian yang
dilakukan penulis sektor informal ini hanya dibatasi khusus pedagang kakilima.
Sebagai batasan untuk menjelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan
pedagang kakilima, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978
mendefinisikan pedagang kakilima sebagai: "mereka yang dalam usahanya
mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat kepentingan umum yang bukan
diperuntukkan tempat usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya".
Bucheri Alma (2000), yang mengutip hasil penelitian Fakultas Hukum
UNPAR, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah “Orang
(pedagang-pedagang) golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang kebutuhan
sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal sendiri atau modal orang lain, baik
berjualan ditempat terlarang atau tidak”.
Sedangkan menurut Roy Bromley seperti dikutip oleh Tadjudin Noer
Effendi (1988) menyatakan bahwa: “PKL digambarkan sebagai perwujudan
pengangguran atau setengah penganggur. Menurut gambaran yang paling buruk
PKL dipandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan. Sedangkan menurut
pandangan yang paling baik, ia dipandang sebagai korban langkanya kesempatan
kerja di kota”.
Menurut Hans Dieters Evers, seperti dikutip oleh Didik J Rachbini (1994)
menyatakan bahwa: “PKL disebut juga ekonomi bayangan atau black economy
atau underground economy“. Sedangkan Yan Pieter Karafir, seperti dikutip oleh
13
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Didik J Rachbini (1994), mengartikan: “PKL adalah pedagang kecil yang
berjualan tidak resmi di suatu tempat umum seperti emper toko dan proses yang
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mereka”.
Istilah Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang
lebarnya lima kaki (5 feet). Tempat ini umumnya terletak di trotoar depan toko
dan tepi jalan. Ada yang menyatakan bahwa istilah PKL berasal dari orang yang
berdagang dengan menggelar barang dagangannya, para PKL cukup menyediakan
tempat darurat, seperti bangku atau meja yang biasanya berkaki empat, ditambah
sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima, maka timbullah julukan
Pedagang Kaki Lima (PKL).
Terlepas dari asal usul nama PKL tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa PKL ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud
memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap, dengan
kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian dan tidak
memiliki ijin usaha.
3.3.2 Karakteristik PKL
Karakteristik PKL menurut Iwan P. Hutajulu, Tadjudin Noer Efendi dan
beberapa literatur sektor informal adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan cara melakukan kegiatan
PKL menetap, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata pelaksanaan
kegiatannya dilakukan dengan menetap pada lokasi tertentu.
PKL berpindah, merupakan bentuk perdagangan kaki lima yang dalam tata
cara pelaksanaan kegiatannya hanya menetap pada suatu saat tertentu
saja,selama lokasi tersebut menguntungkan dan segera pindah bila sepi
pembeli.
PKL berkeliling, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata cara
pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara berkeliling dan satu lokasi ke
lokasi lainnya dan bersifat selaku mendatangi konsumen atau pembeli.
14
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2 Berdasarkan sarana jual yang diperdagangkan
Hamparan di Lantai, merupakan kelompok kegiatan PKL yang
mempergunakan alat jual seperti : tikar, plastik,bakul atau sejenisnya.
Pikulan, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang
mempergunakan dua buah keranjang cara dipikul.
Meja/Jongko, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang
mempergunakan meja/jongko sebagai sarana penjualan barang yang dijual.
Dimana ada yang diberi pelengkap atap dan ada juga yang tidak beratap.
Kereta dorong, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang
mempergunakan sebuah kereta dorong atau gerobak.
Kios, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan
kios sebagai sarana penjualan barang dimana kios ini bersifat permanen
maupun semi permanen.
3. Berdasarkan sumber modalnya
PKL dengan modal diperoleh dari pinjaman, baik yang berasal dari
keluarga, pedagang grosir (khusus peminjaman barang) atau lembaga
keuangan mikro (resmi maupun tidak resmi).
PKL dengan modal pribadi, baik dari tabungan, diperoleh dari penjualan
harta benda atau diberi nama-nama oleh keluarganya.
3.3.3 Fungsi Pedagang Kaki Lima
Peranan perdagangan kaki lima yang merupakan alternatif peluang kerja di
perkotaan juga turut berperan pula dalam aktivitas perekonomian. Menurut
Noegraha (1989) (dalam Ernawati, J dan Tunjung W.S, 1995: 15) secara umum
kegiatan pedagang kaki lima mempunyai fungsi yaitu:
1. Fungsi pelayanan pedagang eceran
Pedagang kaki lima yang tergolong ekonomi lemah berfungsi sebagai
pedagan eceran yang mana langsung dikonsumsi oleh konsumen. Karena skala
kegiatan kecil, maka barang atau jasa yang dihasilkan atau ditawarkan terbatas
dan tergantung dari modal dan keterampilan yang dimiliki.
15
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
2. Fungsi pelayanan jasa
Selain sebagai unit usaha yang menyediakan barang terdapat pula PKL
yang menyediakan pelayanan jasa dengan unit usaha yang lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok pertama yang mempunyai fungsi komersial
(pedagang eceran) karena kelompok ini memerlukan keterampilan khusus
untuk membuka usaha (pelayanan jasa). Misal: tukang tambal ban dan
reparasi.
3. Fungsi hiburan
Artinya keberadaan pedagang kaki lima dapat memberikan suatu suasana
yang menyenangkan atau mempunyai ciri khas yang pada umumnya dimiliki
oleh kegiatan pedagang kaki lima yang beraktivitas pada malam hari.
4. Fungsi Sosial Ekonomi
Fungsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pemerintah dan pedagang.
Bagi pemerintah keberadaan kaki lima dapat mengurangi pengangguran,
sedangkan dari sisi pedagang merupakan sumber penghasilan terakhir yang
dapat dikerjakan atau sebagai penghasilan tambahan.
3.3.4 Kelengkapan PKL
Kelengkapan atau saran penjualan yang sering digunakan PKL dalam
menjalankan aktivitasnya (Wawarantoe, 1974) adalah sebagai berikut :
1. Hamparan lantai atau tikar
2. Pikulan (untuk yang berjualan dengan berkeliling/berpindah)
3. Meja / jongko dengan atap untuk melindungi barang dagangannya.
4. Kereta dorong
5. Kios (baik permanen maupun semi permanen) dan sifatnya menetap
3.3.5 Penentuan Lokasi
Berdasarkan studi yang dilakukan Goenadi (dalam Widjajanti. 2000 : 35),
penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal khususnya pedagang kaki
lima adalah sebagai berikut :
Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada
waktu yang relatif sama dan sepanjang hari
16
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan
perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan. tetapi sering
dikunjungi dalam jumlah besar
Mempunyai kemudahan untuk teIjadi hubungan antara pedagang kaki lima
dengan calon pembeli. walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit
Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum dan
menurut McGee dan Yeung ( 1977 : 108)
Pedagang kaki lima beraglomerasi pada simpul-simpul pada jalur pejalan
kaki yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dalarn
jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah kawasan
komersial.
Dari hasil survei IDRC oleh McGee dan Yeung (1977 : 51-56), penentuan
lokasi sektor informal diharapkan menempati lokasi yang sesuai dengan rencana
penataan pada masing-masing kota yang mana disesuaikan dengan kondisi
eksisting dan karakteristik pedagang kaki limanya. Kebijakan yang telah diambil
oleh pemerintah daerah/kota setempat dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)
jenis yaitu :
1. Relokasi/pemugaran
Yaitu pemugaran suatu lokasi baik untuk dijadikan suatu bentuk
fungsional baru yang berbeda dari yang semula maupun berupa perbaikan dari
kondisi yang ada. Kelompok sektor informal yang semula menempatinya
dikeluarkan dari tempat tertentu, sementara tempat usaha mereka sedang
diperbaiki atau dibangun kcmbali dan apabila telah selesai maka mereka dapat
kembali berusaha/berjualan di tempat tersebut. Relokasi dapat diterima sepanjang
tidak mengganggu hubungan dengan konsumen dari pedagang kaki lima.
2. Stabilisasi/pengaturan
Dalam hal ini stabilisasi dimaksudkan sebagai upaya dalam menata
keberadaan sektor informal pada suatu lokasi. Salah satu tindakan yang dilakukan
adalah pengaturan kembali pedagang kaki lima agar harmonis dan tidak
mengganggu fungsi kola di lingkungan sekitar, tempat mereka melakukan
usahanya. Dan dasar pertimbangan operasionalnya adalah adanya akses bagi
aliran konsumen.
17
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Dalam upaya pengaturan dan penataan ruang bagi sektor informal terdapat
beberapa altematif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang pemah
diterpkan atau dilakukan pada berbagai kota di Asia Tenggara diantaranya adalah:
Peruntukkan dalam ruang terbuka (open market)
Merupakan ruang pelataran terbuka yang secara khusus disediakan bagi
aktivitas perdagangan informaI dan dimaksudkan untuk kemudahan
pergerakan konsumen dalam menggunakan jasa pelayanan pedagang
kaki lima dan tidak mengganggu fungsi kota di lingkungan lokasi tempat
berjualan terscbut.
Pembebasan/penutupan jalan-jalan tertentu, yaitu dengan menutup jalan-
jalan tertentu dan menutup sirkulasi kendaraan bermotor dan kendaraan
tak bennotor dan selanjutnya hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan
penampungan perdagangan kaki lima. Upaya Ini biasanya bersifat
sementara dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Pemanfaatan bagian tertentu dari jalan/trotoar
Dengan menempatkan pedagang kaki lima di atas sebagian trotoar pada
jalan-jalan tertentu yang telah dipilih dan tidak mengganggu aktivitas
lingkungan sekitar serta sirkulasi lalu-lintas.
Multifungsi ruang terbuka (taman, lapangan, area parkir dan
sebagainya), yaitu pemanfaatan ruang terbuka di sekitar kawasan
perbelanjaan atau pusat keramaian untuk penampungan aktivitas
perdagangan kaki lima pada waktu-waktu tertentu ketika tidak/kurang
dimanfaatkan.
3. Pemindahan (removal)
Dimaksudkan untuk pemindahan sektor informal ke lokasi yang telah
ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pemindahan ke lokasi tetap ini
dapat berupa pasar resmi atau sebuab lokasi khusus yang ditetapkan sebagai lokasi
sektor informal. Adapun upaya memindahkannya seeara permanen ke dalam pasar
yang telah dilakukan pada beberapa kota, terdapat kendala yaitu pertama
rancangan bangunan yang tidak sesuai. Dimana rancangan fisik pasar sangat
penting bagi kebutuhan yang bermacam-macam dan tipe yang berbeda-beda pula.
Kedua, adalah faktor finansial yaitu terkait dengan tarif sewa ruang di
18
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
dalam pasar yang tinggi sehingga salah satu altematif pemecahannya adalah
dengan membuat ruang-ruang kecil untuk menekan harga sewa namun hal
tersebut juga masih terdapat kendala yaitu jenis komoditas dagangannya.
Sehingga apabila dilakukan upaya memindahkan sektor informal ke pasar legal,
maka pertimbangannya adalah rancangan bangunan pasar yang sesuai dan
akomodatif, tingkat harga sewa yang memadai, reneana yang terperinci, dan jarak
lokasi berjualan dari tempat berjualan semula.
3.3.6 Pola Pengelolaan Struktural
Berdasarkan penelitian yang dilaku.kan oleh McGee dan Yeung (1977 :
5660), yang dilakukan pada beberapa negara berkembang bahwa pemerintah kota
selain menerapkan pengelolaan lokasional juga melakukan pengelolaan struktural
diantaranya :
• Perijinan
Hal ini didasarkan menurut jenis barang/jasa yang ditawarkan, waktu, usaha
serta lokasi tertentu. Perijinan bagi aktivitas PKL dalam melakukan usahanya
didasari atas :
a. Memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan
jumlah
b. Membantu dalam penarikan retribusi
Pembinaan
Tindakan pengendalian dalam hal ini dilakukan dengan pembinaan terhadap
kualitas pola pikir para pedagang dan pelaksana aktivitas PKL secara keseluruhan
karena diketahui bahwa pola pikir PKL sebagian masih memiliki tingkat
pendidikan relatif rendah dan sederhana untuk menelaah peraturan yang ada,
sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan kurangnya perhatian
mengenai visualisasi aktivitas secara keseluruhan.
Bantuan/pinjaman
Di Malaysia, pemberian bantuan dan pinjaman dilakukan untuk memberikan
kesempatan kepada PKL untuk berkembang dan meningkatkan efisiensi bagi PKL
yang telah ada.
19
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
3.4 Daftar Nama Kelompok
3.4.1 Teori
Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Teori Perencanaan Pembangunan
Tri Muliyani Sunarharum (0610660064) : Reformasi Perencanaan Tata
Ruang Kota
3.4.2 Artikel
Tri Mulyani Sunarharum (0610660064) : Penertiban PKL di Surabaya
Parsial dan Diskriminatif
Anastasia Prima Desi (0610660006) : Pemkot Malang Minta Perda PKL Dikaji
Anggun Nikita (0610660008) : Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota
Blitar Tentang Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar)
Dyana Ika Sari (0610660025) : Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota,
Pedagang Kaki Lima Terkena Dampak
Wahyu Eko (0610660066) : Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu
Pahlawan dan Relokasi PKL Pahlawan Batal
Wulan Dwi Purnamasari (0610660069) : Kesejahteraan PKL Versus
Kesejahteraan Kota Di Surabaya dan Menata PKL Perlu Penataan
Ruang
Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Apa Selalu Menjadi Masalah
Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor Informal (1)
Anggi Misaful Bewani (0610660007) : "Katanye" Kota Kaki Lima
Amelia Dewi Safitra (0610660005) : PKL Mengganggu dan
Memperindah Kota
Wahyu Pradana P. (06100660068) : Pasar Keputran Kumat Lagi
20
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
3.5 Kumpulan Teori dan Artikel
3.5.1 Kumpulan Teori
Teori Perencanaan Pembangunan
Teori yang mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pengirim di dalam
merencanakan suatu program adalah dengan jalan memberikan keterbukaan antara
pemerintah dengan masyarakat. Teori-teori yang dimasud diantaranya adalah
Teori Perencanaan Pembangunan. Tokoh sentral dalam teori ini adalah John
Friedman (1986). Ia melakukan kajian atas praktik-praktik perencanaan
pembangunan dalam kurun waktu 200 tahun, kemudian tersimpulkan perencanaan
sebagai Analisa Kebijakan (Planning Policy Analysis), di mana pemerintah
bersama-sama masyarakat merumuskan permasalahan dan menyusun berbagai
alternatif kebijakan. Disini, perencanaan dilakukan dengan terdesentralisasi,
mempergunakan pola interaktif, kebijakan direncanakan dengan ilmiah, dan
dengan politik yang terbuka. Teori lain adalah Teori kebijakan atau Ilmu
Kebijakan (Pilicy Science). Teori ini merupakan disiplin yang relatif baru dalam
administrasi kenegaraan. Teori kebijakan didasarkan pada tiga perinsip. Pertama,
perinsip bahwa pengambilan kebijakan harus melibatkan masyarakat sebanyak
mungkin. Kedua, pengambilan keputusan mengikuti Policy Cycle, yaitu
perumusan persoalan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan dan pemilihan
alternatif kebijaksanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan, serta kemudian evaluasi
kebijakan. Prinsip ketiga, melakukan analisis dengan menerapkan kombinasi tiga
macam pengetahuan: empiris positivisme, pengalaman individu, dan nilai-nilai
hidup di dalam masyarakat.
Teori di atas juga didukung oleh Samuel Huntington (1968), Lucian W Pye
(1966), serta Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Mereka menyarankan
tiga kondisi sebagai bukti adanya suatu pembangunan, yaitu:
1. Adanya diversifikasi fungsi dalam masyarakat.
2. Adanya desentralisasi fungsi di masyarakat, mulai dalam hal berfikir,
keinginan, sampai dengan manajemen pribadi, kelompok dan masyarakat.
3. Adanya sekulerisasi, dalam arti berkembangnya budaya yang analitis dan
rasional. Bukan budaya sakral yang mistis.
Sumber : http://air.bappenas.go.id
21
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
REFORMASI PERENCANAAN TATA RUANG KOTA
Written by Sunardi
Sunday, 16 July 2006
Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai
wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan
senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan
kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika
serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di
sekitarnya.
Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah
dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa
di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat,
tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik
dan psikhis) masyarakat.
Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-
banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa
dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat
pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan
sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan
Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah
ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah
permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah
perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi:
(a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak
kejahatan;
(b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok
pemuda.
Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama
disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang
berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar
kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.
22
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di
negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih
berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian
menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut
tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir
perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang
akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota
pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk
miskin di daerah perkotaan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah
penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %),
sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin
di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena
besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya
dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal
menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan.
Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia Kiranya pemerintah telah
menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah
pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota.
Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan,
diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia
(Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan
Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku
sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming
Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.
Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun
1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa
kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar
tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di
bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang
bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah)
23
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu
lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola
pemintakatan atau zoning yang ketat.
Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif,
sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang
Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan,
yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7
tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut
merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Penataan Ruang.
Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan
Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih
mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun
dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan
tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini
menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah
ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.
Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap
rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini
berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota
dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai
penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator
adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar
dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi
masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.
Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah
tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan
ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan,
24
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan
oleh peraturan dasarnya.
Reformasi perencanaan kota Di Indonesia reformasi total telah digulirkan,
dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam
proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan
konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses
penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam
proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu
adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur
sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya
perubahan/reformasi.
Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana
penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2
tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan
rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka
menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga
jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-
gambar yang sudah pasti (blue print).
Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan
perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya
teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi
masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya
perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print
planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada
masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah
kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan
model process planning.
Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro
menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya.
Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si
25
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal
ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai
tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya
kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota
merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.
Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan
tata ruang kota antara lain:
1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan
menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi
masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan
akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan
masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang
Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi
perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa
perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan
oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukan-
masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai
Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.
2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down
merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat.
Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak
terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil
masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan /
Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap
perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan
pemerintah.
3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning.
Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka
panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika
masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya
perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya
26
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak.
Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.
4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin
ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota.
Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat)
kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa
permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek,
tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek:
ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.
5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan
ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan
dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang
oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan
Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land
Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.
6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah
ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan
implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program
kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan
Bappeda. (Sumber : http://www.bktrn.org)
27
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
3.5.2 Kumpulan Artikel
Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif
BELAKANGAN ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali
melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang
hingga kini masih tetap memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan
protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen
bebas PKL.
BAHKAN, ada indikasi mereka (PKL) sepertinya mencoba bermain petak
umpet dengan aparat penertiban. Pada saat operasi penertiban gencar dilakukan,
memang PKL seolah menghilang. Tetapi, ketika operasi mulai kendur, maka
jalan-jalan itu pun kembali dipadati PKL.
Daerah-daerah di seputar Jalan Genteng Kali, Kapasari, Rumah Sakit
Karang Menjangan dan sebagainya, kini kembali ditempati para PKL. Bahkan,
akibat sebagian trotoar sudah dipasangi pot-pot besar, kini sebagian PKL malah
berdagang di pinggir jalan sehingga makin mengganggu arus lalu lintas. Kenapa
PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak sedikit
dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia?
Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum, mungkin
benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum
dan menjadikan kota tampak kumuh. Tetapi, untuk menata sektor informal dan
meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak membuat kota makin semrawut,
maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh
akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang
sama sekali tidak menyelesaikan persoalan.
Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan
menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan
sejenisnya, pada dasarnya adalah program penataan kota yang sifatnya parsial dan
cenderung hanya memotong kompas karena sikap tak sabar.
Kenapa gagal?
Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot
Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat
diskriminatif. Dikatakan parsial karena kegiatan penertiban yang dilakukan hanya
28
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
menyentuh aspek kulitnya saja-yakni sekadar menyingkirkan orang-orang miskin
dari wilayah kota-tanpa ada penanganan yang menyentuh akar masalah.
Dikatakan temporer, karena cenderung hanya memfokuskan kegiatan
penertiban pada jalan-jalan protokol demi terciptanya pemandangan yang serba
tertib dan indah untuk sementara waktu tanpa ada kelanjutan program yang pasti.
Sedangkan dikatakan diskriminatif, karena obyek penertiban hanya terfokus pada
kelompok marginal kota, sementara kekuatan komersial yang juga sama-sama
melanggar tata tertib kota seolah-olah tidak tersentuh. Misalnya, pabrik di wilayah
stren kali dan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang
menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar
garis sempadan.
Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang dilaksanakan
Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran
miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan bukan
dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistik-
yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin terpolarisasi.
Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David
Baker (1980)- cenderung bersifat punitif (menghukum). Tindakan pemkot
menggusur permukiman kumuh di sepanjang stren kali, menggusur PKL dari
lokasi mereka berdagang, membebaskan kawasan pusat kota dari PKL, dan upaya
untuk mengembalikan kaum migran miskin ke daerah asalnya, pada dasarnya
adalah bagian dari upaya Pemkot untuk mengembangkan kebijakan "pintu
tertutup" bagi kaum migran.
Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif
mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya
mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran
pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya
masih belum banyak dikembangkan. Maka, jangan heran jika hasilnya seolah
hanya jalan di tempat.
Upaya penataan
Sebagai sebuah masalah sosial di kota besar, harus diakui bahwa upaya
menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota Surabaya bukanlah hal yang
29
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
mudah. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan
masalah baru, sedangkan bentuk perlindungan dan sikap belas kasihan yang
berlebihan dikhawatirkan juga akan menimbulkan bentuk ketergantungan baru
yang dapat menghilangkan mekanisme self-help kaum migran yang masuk dalam
kategori miskin.
Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat
represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme
"kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga
akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan
PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar
masalah.
Perlu disadari bahwa keberadaan PKL pada dasarnya bukanlah semata-
mata beban atau melulu gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi,
PKL dan kaum migran sesungguhnya merupakan potensi ekonomi. Bahkan jika
keberadaan PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.
Misalnya di Jakarta, setiap tahun dilaporkan bahwa Pemprov DKI Jakarta
kehilangan uang pemasukan sebesar Rp 53,4 milyar karena adanya pungutan liar
(pungli) yang ditarik dari sektor informal kota. Pungli itu dilakukan oknum
pengurus RT/RW, petugas keamanan hingga aparat Dinas Kebersihan DKI
Jakarta. Belum lagi pungli yang dilakukan sejumlah preman.
Jika di Surabaya retribusi yang ditarik dari seluruh sektor informal kota
dapat masuk ke kas pemkot dan campur tangan oknum atau preman yang selama
ini mengeksploitasi PKL dan migran dapat dieliminasi, maka tidak mustahil
kehadiran PKL justru menjadi salah satu sumber PAD yang strategis.
Kalau misalnya di Surabaya terdapat 50.000 PKL, kemudian mereka
masing-masing dikenakan retribusi Rp 500, maka dalam satu hari Pemkot
Surabaya dapat menerima pemasukan sebesar Rp 25 juta.
Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas,
perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu
ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota.
Masalahnya, dengan segala keterbatasan jumlah personel, dana dan lahan yang
30
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
dimiliki Pemkot Surabaya, maka upaya menata PKL tidak bisa tidak harus
melibatkan pengusaha dan pengelola pusat perbelanjaan dan pusat perkantoran.
Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak
swasta umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah
menyerahkan sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot. Plaza yang
setiap hari ramai dikunjungi warga kota dan memiliki karyawan, seolah-olah
menutup mata terhadap situasi di sekitarnya. Padahal, para karyawan pusat
pertokoan/plaza tersebut, setiap hari membutuhkan jasa PKL untuk makan atau
minum.
PKL yang berjasa melayani kebutuhan karyawan mereka dibiarkan
berjejal di jalan-jalan atau ruang publik, tanpa ada keinginan sedikit pun dari
pihak swasta untuk ikut membantu menyediakan lahan guna menampung para
PKL itu di sekitar mal/plaza.
Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan
kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera
menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam
upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan
sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.
Pasar Atom, mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Lahan
yang diperuntukkan untuk PKL di sekitar mal/pusat perkantoran itu tentu tidak
diberikan secara gratis. PKL diwajibkan untuk menyewa dengan tarif yang tidak
mahal, namun terjangkau dan menguntungkan kedua belah pihak, baik PKL
maupun pengelola mal atau pusat perkantoran.
Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota
Surabaya, ada baiknya pemkot tidak melulu terjebak pada pendekatan yang
sifatnya represif. Melainkan mencoba mengembangkan semacam mekanisme
deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan
dan kecamatan.
Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau
bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus.
Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka
31
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
pihak kelurahan dan kecamatan dapat segera mengambil langkah-langkah
penindakan.
Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya
penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta
dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan
dengan efektif jika pihak kelurahan atau minimal pihak kecamatan juga diberi
dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.
Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih
termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar
daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.
Upaya penataan PKL sebaiknya tidak hanya berkutat pada bentuk-bentuk
penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif karena hanya akan
melahirkan pembangkangan dan resistensi dari para PKL. Oleh karena itu, yang
lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengombinasikan antara fungsi
pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri
untuk situasi khusus.
Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang
dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar
memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu
sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemkot untuk
terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta
bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data
akurat dan up to date tentang keadaan PKL di Surabaya.
Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemkot untuk
mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan
daya tampung kota. Yaitu dengan cara mengembangkan kerja sama dengan daerah
hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota agar tidak makin menyolok.
Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap
diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu
32
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum
warga kota.
Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu
ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar.
Namun demikian, sejak awal perlu disadari bahwa tidak semua PKL bisa
langsung dipindahkan ke dalam pasar. Karena itu, semua juga tergantung pada
jenis barang dagangan yang diperjualbelikan PKL.
Untuk PKL yang memiliki dagangan yang spesifik seperti VCD atau
barang bekas, mereka mungkin bisa direlokasi ke tempat atau wilayah tertentu.
Syaratnya, relokasi itu dilakukan bukan semata bertujuan untuk mengusir mereka
dari pusat kota, tetapi keputusan relokasi itu dilakukan demi kebaikan PKL itu
sendiri.
Gagasan untuk merelokasi PKL VCD ke kawasan THR, misalnya,
sebenarnya cukup prospektif sepanjang dalam masa transisi perpindahan itu
pemkot benar-benar memiliki itikad baik membantu meramaikan suasana di sana
dengan berbagai kegiatan yang nyata, seperti lomba senam poco-poco, pentas
musik, lomba menggambar anak-anak, dan sebagainya.
Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi
bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk
membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bentuk dari program
relokasi PKL ini antara lain bisa berupa pembangunan pasar atau pusat PKL.
Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan
untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program
rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang
terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat
mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di
kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap
terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.
Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling
ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya. Artinya,
dengan menyadari bahwa akar masalah sektor informal kota adalah akibat adanya
kesenjangan desa-kota, maka strategi penanganan masalah ini mau tidak mau
33
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
harus pada tingkat regional atau paling tidak melibatkan kerja sama dan dukungan
kota-kabupaten yang lain, khususnya daerah- daerah yang menjadi hinterland
Kota Surabaya.
Membiarkan Surabaya harus menanggung sendirian beban persoalan PKL,
selain tidak adil, juga membuat masalah ini menjadi kian sulit dipecahkan. Betapa
pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di
Kota Surabaya adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran.
Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik,
maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak
akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.
(Helmi Prasetyo Dosen FISIP Unair Surabaya, Redaktur Pelaksana Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik FISIP Unair)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
Sumber : http://www.kompas.com
Resume
PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak
sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia.
Untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak
membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan
komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya
mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan
persoalan. Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL
dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan
sejenisnya, pada dasarnya dapat dinilai kurang bagus dan tidak sabar.
Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot
Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat
diskriminatif. Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang
dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum
migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan
bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang
sentralistik-yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin
terpolarisasi.
34
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David
Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek,
cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi,
upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan
yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau
pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan.
Maka, hasilnya seolah hanya jalan di tempat.
Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan
masalah baru. Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat
represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme
"kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga
akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan
PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar
masalah.
Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas,
perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu
ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota.
Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak swasta
umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah menyerahkan
sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot.
Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan
kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera
menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam
upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan
sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL. Hendaknya
pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk
mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya.
Masalah ini hendaknya juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber
daya manusianya. Yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana
mengombinasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif,
serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus.
35
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap
diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu
yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum
warga kota. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu
mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif
adalah pasar. Namun, semua juga tergantung pada jenis barang dagangan yang
diperjualbelikan PKL. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL
bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar
bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bagi PKL
yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi,
kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau
tendanisasi. Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang
paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya.
Kesimpulan
Keberadaan PKL liar di Kota Surabaya tetap hadir dan sulit ditertibkan
padahal pemerintah kota sudah selalu berusaha mengadakan razia dan usaha-
usaha penertiban. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan
komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya
mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan
persoalan. Selama ini, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam
menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif.
Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David
Baker (1980)-cenderung bersifat punitif (menghukum). Untuk jangka pendek,
cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif mungkin tampak berhasil. Tetapi,
upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan
yang sifatnya represif, sementara untuk peran pembinaan, peran monitoring atau
pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan.
Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL
dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar masalah.
Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan
kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera
36
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam
upaya penataan PKL.
Hendaknya pemerintah mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini
yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan
kecamatan untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di
Kota Surabaya. Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu
mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif
adalah pasar. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi
bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk
membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
37
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Pemkot Malang Minta Perda PKL DikajiSumber : www.kompas.com
Malang, Kompas - Pemerintah Kota (Pemkot) Malang meminta kepada
wakil rakyat agar mengkaji kembali Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Pengkajian
ulang diperlukan, karena pemerintah merasa kesulitan melakukan penataan serta
pelarangan berjualan kepada para PKL.
Surat meminta pengkajian kembali ditandatangani Wali Kota Malang
Suyitno pada 23 Januari 2002 lalu. Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD
Kota Malang Daniel Sitepu surat itu baru diterima hari Kamis pekan lalu.
Secara lebih spesifik surat Wali Kota tersebut menyebutkan tentang Pasal 3
Ayat 1 dan 2 dalam Perda, sangat sulit diterapkan di lapangan. Pasal itu mengatur
tentang larangan kegiatan usaha PKL di dalam alun-alun kota dan sekitarnya dan
di jalan, trotoar, serta jalur hijau dan fasilitas umum.
Pada kenyataannya usaha-usaha yang dilakukan Pemkot Malang dalam
menata PKL hampir selalu menemui kegagalan. Usaha relokasi PKL di alun-alun
dengan membuatkan tenda di Jalan Kyai Tamin tahun lalu gagal total.
Namun, menurut Daniel Sitepu, Pemkot Malang pernah mengajukan usulan
agar PKL direlokasi ke Pasar Comboran Malang. Pemkot akan membangun
gedung berlantai tiga yang khusus menampung sekitar 4.000 PKL.
"Rupanya sebelum ide itu dilaksanakan ada usulan untuk relokasi sementara
PKL di sekitar Pasar Besar sampai ke Pecinan. Padahal, dalam perda daerah itu
terlarang bagi usaha PKL," kata Sitepu.
Solusi
Daniel Sitepu mengatakan ia mendukung upaya-upaya untuk mencari solusi
relokasi PKL. Karena itu, penjaringan PKL di alun-alun yang dilakukan akhir-
akhir ini, kata Sitepu, harus dicarikan solusinya. "Penjaringan boleh saja, tetapi
cari solusinya dulu. Jangan mengusir tanpa memberi mereka tempat. Mereka juga
butuh hidup," katanya.
38
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Sejak tanggal 28 Januari 2002 lalu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Pemkot Malang telah melakukan penyitaan terhadap puluhan rombong serta alat-
alat berjualan para PKL.
Daniel Sitepu mengatakan ia juga mendukung relokasi sementara sebelum
gedung di Pasar Comboran dibangun. "Bagaimanapun alun-alun kota harus
bersih, mungkin relokasi PKL bisa sementara di sekitar Pasar Besar sambil
membangun gedung khusus PKL," katanya.
Sementara itu siaran pers dari Aliansi Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota
(AMKMK) yang diterima Kompas mengecam keras upaya-upaya represif yang
ditempuh Pemkot Malang dalam menangani PKL. Oleh karena itu mereka minta
penghentian campur tangan militer dalam menangani PKL. Selain itu pernyataan
itu minta agar DPRD berpihak pada rakyat miskin. (can)
Resume Artikel
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) benar-benar menjadi masalah yang
serius bagi Pemkot Malang. Bahkan, undang – undang yang telah ditetapkan
untuk mengatur para PKL tersebut harus dikaji ulang. Alasan pengkajian ulang
karena undang-undang yang berisi tentang pengaturan dan pembinaan PKL itu
sulit diterapkan di lapangan.
Secara umum Perda Nomor 1 berisi penataan dan larangan berjualan bagi
PKL. Tertulis dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 tentang larangan kegiatan usaha PKL di
dalam alun –alun kota dan di sekitarnya. Pasal tersebut juga melarang PKL
berjualan di trotoar, jalur hijau dan fasilitas umum. Pasal itulah yang diniali sulit
dilaksanakan karena apapun cara yang dilakukan Pemkot Malang untuk menata
PKL selalu mengalami kegagalan.
Solusi
Penjaringan PKL untuk direlokasi memang baik, tetapi harus diperhatikan
juga solusinya. Jangan hanya mengusir PKL tanpa memberikan tempat pengganti.
Contohnya dalam kasus PKL di alun -alun Kota Malang, jangan hanya menjaring
PKL tanpa memikirkan nasib mereka, akan lebih baik jika PKL tersebut dicarikan
tempat baru misalnya di Pasar Comboran. Apalagi jika pengusiran tersebut
bersifat represif dengan menyita rombong serta alat – alat berjualan. Aliansi
Mahasiswa dan Kaum Miskin Kota (AMKMK) telah mengecam Pemkot Malang
39
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
yang menggunakan jasa militer untuk menangani kasus PKL tersebut. AMKMK
ingin agar nasib rakyat miskin lebih diutamakan.
Kesimpulan Artikel
DPRD meminta Perda Nomor 1 tahun 2000 yang mengatur PKL untuk dikaji
ulang. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut terlalu sulit jika diterapkan di
lapangan. Menggusur PKL dari tempat umum seperti alun-alun dan trotoar
ternyata tidak semudah teorinya. Bagaimanapun cara yang dilakukan Pemkot
Malang untuk menggusur PKL selalu saja mengalami kegagalan pada akhirnya.
Menurut narasumber dari artikel di atas, kegagalan Pemkot Malang dalam
menangani kasus PKL dinilai wajar. Hal ini dikarenakan Pemkot malang selalu
menggunakan cara represif. Seharusnya, PKL tidak hanya digusur tetapi juga
dicarikan tempat baru untuk berdagang atau jika tempat baru tersebut belum
terbangun, maka harus dicarikan tempat sementara untuk menampung mereka.
40
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Blitar Tentang
Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar)
Oleh : Ferry Yulizar (96230046), Dept. of Governmental Science
Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas
membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek
pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat
membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka
yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang
kaki lima, hendaklah diposisikan sebagai komponen yang benar-benar
mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah
selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari
kebijakan yang telah ditempuh.
Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima
tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para
pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan
bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat,
penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima.
Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang
pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain
tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang
didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima.
Berdasarkan masalah tersebut maka penulis memberi judul pada skripsi ini:
KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH KOTA BLITAR TENTANG
PEDAGANG KAKI LIMA (Studi di Dinas Pasar Daerah Kota Blitar)
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki
lima.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah Blitar mengenai pedagang kaki
lima.
41
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Data yang penulis dapatkan dalam tugas akhir ini melalui: observasi,
interview (wawancara) dan documentasi
Akhirnya penelitia berkesimpulan bahwa kebijaksanaan pemerintah daerah
mengenai pedagang kaki lima sudah cukup baik dan berhasil yaitu dengan cara
mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang strategis yang
banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan aspek-aspek dari pada
keindahan, kebersihan dan kerapian kota Blitar. Sehingga pembinaan-pembinaan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat dirasakan hasilnya oleh pedagang
kaki lima yaitu mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat hidup
dengan layak dengan peningkatan pendapatan.
http://digilib.itb.ac.id
Resume Artikel
Pedagang kaki lima sebagai salah satu sumbermata pencaharian rakyat. Jelas
membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah, terutama dalam aspek
pengelolaannya. Sebab bagaimanapun juga keberadaan pedagang kaki lima sangat
membantu terpenuhinya kehidupan hidup masyarakat, khususnya bagi mereka
yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengatur dan menangani pedagang
kaki lima, hendaklah diposisikan sebagai komponen yang benar-benar
mengayomi dan melindungi. Sebagai pemegang otoritas pemerintah diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengelola ketertiban dan keamanan kota. Sudah
selayaknya jika pemerintah daerah memikirkan dampak baik dan buruknya dari
kebijakan yang telah ditempuh.
Pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah daerah dari pedagang kaki lima
tentang pengaturan pedagang kaki lima itu pada dasarnya yang mengatur para
pedagang kaki lima di Kabupaten Blitar diatur oleh Perda no. 19 tahun 1998 dan
bertujuan untuk mengatur pedagang kaki lima, penentuan lokasi, penataan tempat,
penyediaan fasilitas, tata tertib retribusi, tingkat pendapatan pedagang kaki lima.
Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang
pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain
42
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang
didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima.
Kesimpulan Artikel
Pedagang kaki lima membutuhkan perhatian dari pemerintah sebab profesi
ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dalam hal
menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berasal dari kalangan
menegah ke bawah. Sehingga segala kebijakan pemerintah yang bersangkutan
dengan masalah ini harus benar-benar dapat mengayomi dan melindungi
kepentingan mereka tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Sudah
seharusnya pemerintah memikirkan dampak baik dan buruknya dari setiap
kebijakan yang dibuat.
Disamping itu pelaksanaan dari kebijaksanaan pemerintah daerah tentang
pengaturan pedagang kaki lima, ada juga profil pedagang kaki lima antara lain
tentang waktu penjualan, pengaturan tempat berjualan, jenis usaha yang
didagangkan, pendapatan rata-rata dari pedagang kaki lima. Jika semua hal
tersebut telah dijadikan acuan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang
berkaitan dengan pengaturan pedagang kaki lima maka keberadaan mereka dapat
diterima di tengah masyarakat tanpa harus ada masalah yang ditimbulkan, baik
dari pihak pedagang kaki lima sendiri maupun masyarakat sekitar. Sumber:
Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota, Pedagang Kaki Lima
Terkena Dampak
Aksi Penggusuran Tidak adil dan Tidak Konsisten
43
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam,
Banda Aceh, sebagaimana yang diberitakan Harian Serambi Indonesia, tanggal 21
Juli 2004, dan Analisa, tanggal 23 Juli 2004, menggusur puluhan kios di sejumlah
jalan protokol yang ada di Kecamatan Kuta Alam.
Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat brutal, bahkan sampai
adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi tendang, dan mencabut
Kartu Tanda Penduduk warga pemilik kios, kabarnya aksi penggusuran dan
penertiban Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV
yang akan berlangsung pada tanggal 9-18 Agustus mendatang.
Berbagai kalangan menilai aksi brutal penggusuran yang dilakukan oleh
aparat Muspika tersebut tidak adil. Seorang warga mengatakan, “Aksi Camat Kuta
Alam tersebut semakin tidak manusiawi dalam memperlakukan para pedagang
kaki lima dan pemilik kios, sehingga mereka tidak bisa berjualan lagi.
Seharusnya aparat pemerintah bisa sedikit pengertian tidak langsung main
tendang dan mengangkat kios-kios.”
Kondisi ini sangat disayangkan oleh Ketua Forum Komunikasi Sosial
(FKPS), Anwar Rusadi. Menurutnya, kalau alasan untuk keindahan kota mungkin
kita maklumi, tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih
banyak yang miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau
rakyat sudah sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan.
Sebagaimana diberitakan oleh Harian Analisa tanggal 28 juli 2004, Walhi
menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan tidak
konsisten. Hal ini merupakan akibat dari salah urusnya Pemerintah Kota
(Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten,
pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin
Mendirikan Bangunan (IMB). Pasar Swalayan Barata di samping Geunta Plaza
merupakan ruang terbuka hijau. Bangunan ini merupakan salah satu kasus salah
urus Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh dalam memfungsikan Terminal
Angkutan Penumpang Kota (APK) Keudah yang kualitasnya di bawah standar
karena tejadi penyimpangan dana proyek.
Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan untuk menyiapkan lokasi
alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal masyarakat yang sangat
44
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
dibutuhkan. Menyikapi aksi ini, sejumlah masyarakat meminta Camat Kuta Alam
tersebut dicopot dari jabatannya.
Sumber : www.walhi.com
Resume Artikel
Camat Kuta Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam,
Banda Aceh, menggusur puluhan kios di sejumlah jalan protokol yang ada di
Kecamatan Kuta Alam. Aksi penggusuran tersebut dilakukan dengan sangat
brutal, bahkan sampai adanya aksi kejar mengejar, mengangkat kios dan aksi
tendang, dan mencabut Kartu Tanda. Kabarnya aksi penggusuran dan penertiban
Kota itu dilakukan untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV.
Menurut Ketua Forum Komunikasi Sosial (FKPS), Anwar Rusadi, kondisi
ini sangat disayangkan.Kalau alasan untuk keindahan kota mungkin kita maklumi,
tapi apakah pemimpin kita tidak tahu bahwa rakyatnya masih banyak yang
miskin. Menurutnya, kemiskinan dulu yang perlu ditangani, kalau rakyat sudah
sejahtera baru, kita sama-sama ciptakan keindahan.
Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan
tidak konsisten. Hal ini merupakan akibat dari salah urusnya Pemerintah Kota
(Pemkot) Banda Aceh dalam menyusun Tata Ruang kota. Bila kita konsisten,
pelanggaran tata ruang kota Banda Aceh justru dimulai dari penertiban Izin
Mendirikan Bangunan (IMB). Walhi mengharapkan adanya solusi kebijakan
untuk menyiapkan lokasi alternatif bagi keberadaan usaha sektor informal
masyarakat yang sangat dibutuhkan.
Kesimpulan Artikel
Dengan dalih untuk menyambut Pekan Kebudayaan Aceh IV Camat Kuta
Alam Muzakir Tuloet beserta aparat Muspika Kuta Alam, Banda Aceh melakukan
aksi penggusuran secara brutal pada kios-kios di sepanjang jalan protocol yang
ada di kecamatan Kuta Alam. Hal ini sangat disayangkan oleh beberapa kalangan.
Melihat kondisi masyarakat yang masih dilanda kemiskinan, aspek keindahan
kota dibahas setelah masalah kemiskinan teratasi.
45
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Walhi menilai bahwa bentuk penggusuran tersebut adalah tidak adil dan
tidak konsisten. Kesalahan Pemerintah kota dalam menyusun tata ruang kota
merupakan penyebab aksi penggusuran tersebut karena pemerintah tidak
konsisten terhadap tata ruang yang disusunnya.
Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu Pahlawan
46
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya meminta pengertian pada para
Pedagang Kaki Lima (PKL) Tugu Pahlawan dengan melakukan pendekatan
persuasif. Dengan pendekatan tersebut Pemkot berharap PKL memahami dan
mengerti tentang rencana pemindahan (relokasi) PKL Tugu Pahlawan ke kawasan
Kembang Jepun.
Wali Kota Surabaya Bambang DH, usai membuka acara Nikah Massal di
Kediding Surabaya, mengatakan relokasi PKL merupakan wujud penataan
lingkungan kota agar lebih asri dan indah. Bambang DH yakin relokasi PKL ke
Kembang Jepun tidak makan mematikan pendapatan para PKL. Terbukti banyak
agenda pemindahan PKL di Surabaya yang berdampak positif.
"Pemkot itu berusaha menata. Ambil contoh penataan PKL di Karah itu
kan menjadi lebih baik dan pendapatan juga makin meningkat. PKL Taman
Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga semakin meningkat. Masih ada
lagi contoh lain, yang membuktikan relokasi PKL tidak mematikan rejeki." Kata
Bambang, Sabtu (07/04).
Bambang berharap para PKL berfikir jernih untuk melihat kepentingan
bersama di kota Surabaya dan tidak hanya berfikir tentang kepentingannya
sendiri. Apalagi keberadan PKL yang tidak tertata sangat mengganggu
kepentingan umum. Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus
lalu lintas.
"Kita harus berfikir luas, apalagi pemkot juga menghadapi dilema. kalau
dibiarkan pemkot dinilai tidak tegas, sementara kalau ditata paksa, kasihan juga
mereka. Saya ini hanya sebagai jembatan dari sekian banyak kepentingan.
Kepentingan masyarakat dan pedagang. Kita kan tidak mau kota Surabaya
semrawut." Tambah Bambang DH.
Bambang DH yakin semua PKL di Surabaya bisa ditata tanpa mematikan
sumber penghidupan. Keberhasilan penataan PKL yang diklaim walikota adalah
PKL Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot akhirnya berhasil diselesaikan.
Keberhasilah tersebut kata Bambang tak lepas dari kesabaran dan kerja keras
semua pihak.
Saat ditanya tentang kapan PKL Tugu Pahlawan akan direlokasi ke
Kembang Jepun, Bambang DH mengatakan telah menyerahkan sepenuhnya pada
47
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Satpol PP Pemkot Surabaya dan Dinas Koperasi untuk membicarakan dengan
para PKL. Namun Bammbang DH berharap bulan ini pemindahan bisa dilakukan.
Sumber : http://www.surabaya.go.id
Relokasi PKL Pahlawan Batal
SURABAYA - Gembar-gembor pemkot untuk merelokasi pedagang kaki
lima (PKL) di sepanjang Jl Pahlawan per 6 Mei ternyata hanya isapan jempol.
Kemarin, para PKL masih tetap beraktivitas seperti biasa. Kesemrawutan pun
masih menjadi ciri khas salah satu jalan protokol tersebut.
Batalnya relokasi itu disebabkan belum tuntasnya perencanaan yang
disiapkan pemkot. Padahal, beberapa waktu lalu, pemkot mengklaim rencana
tersebut sudah tuntas dan tinggal direalisasikan. "Sampai saat ini, belum
ditemukan solusi yang paling tepat. Makanya, relokasi itu ditunda dulu," kata
Asisten I Sekkota B.F. Sutadi kepada Jawa Pos kemarin.
Solusi yang dimaksud adalah lokasi baru bagi PKL. Pemkot sebenarnya
telah menetapkan kawasan Kembang Jepun dan Jl Pasar Turi sampai Jl Tembaan
sebagai lahan baru. Namun, hingga kemarin, belum ditemukan yang paling cocok
untuk PKL mingguan tersebut.
Kawasan Kembang Jepun dinilai cocok untuk merelokasi PKL mingguan
karena lebar dan bisa menampung semua pedagang. Apalagi, setiap Minggu,
kawasan itu relatif sepi. Masalahnya, banyak pedagang yang tidak mau dipindah
karena khawatir tidak ada pembeli. Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak
rencana tersebut.
Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak terlalu jauh dari
lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi, kawasan tersebut
terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua PKL. "Makanya, hal itu harus
dikaji lagi," ujar Sutadi.
Meski demikian, dia memastikan rencana relokasi tetap dilangsungkan.
Soal waktunya, dia belum bisa menentukan. "Yang pasti tetap berjalan. Sebab, itu
instruksi langsung wali kota. Beliau hanya minta relokasi tersebut dilakukan hati-
hati," katanya. (ris/cie)
48
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Sumber http://www.jawapos.co.id
Resume Artikel
Masalah PKL adalah masalah nasional yang pada umunya dialami oleh
daerah-daerah yang sedang mengalami proyek pembangunan. Dalam menghadapi
masalah PKL ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan kepada para pedagang
kaki lima ini. Seperti kasus yang terjadi di Kota Surabaya, Pemerintah Kota
(pemkot) Surabaya meminta pengertian pada para Pedagang Kaki Lima (PKL)
Tugu Pahlawan dengan melakukan pendekatan persuasif. Menurut walikota
Surabaya, relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih
asri dan indah.
Menurut artikel di atas, yang perlu diperhatikan dalam relokasi ini adalah
lokasi baru bagi PKL tersebut. Banyak PKL yang tidak mau dipindahkan karena
khawatir tempat baru yang diberikan pemerintah Surabaya tidak strategis sehingga
mempengaruhi pendapatan mereka. Dan intinya yang dibutuhkan dalam hal ini
adalah kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah sendiri maupun para PKL
karena dengan adanya kerjasama maka apa yang direncanakan akan berjalan
sesuai dengan harapan.
Kesimpulan
Relokasi PKL merupakan wujud penataan lingkungan kota agar lebih asri
dan indah. Para PKL pada umumnya menganggap bahwa pemindahan atau
relokasi yang dilakukan pemerintah baik (kota maupun pusat) hanya akan
membawa dampak yang negatif yakni mereka takut pendapatannya menurun
karena sepi pembeli, namun hal itu salah sebagi contoh yang telah dilakukan di
Surabaya, Relokasi PKL di Karah menjadi lebih baik dan pendapatan juga makin
meningkat. PKL Taman Bungkul, juga semakin baik dan pendapatan juga
semakin meningkat. Masih ada lagi contoh lain, yang membuktikan relokasi PKL
tidak mematikan rejeki.
Para PKL berpikir jernih untuk melihat kepentingan bersama di kota,
Keberadan PKL yang tidak tertata sangat mengganggu kepentingan umum.
49
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Misalnya menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan arus lalu lintas. Pemerintah
hanya sebagai jembatan dari sekian banyak kepentingan, Kepentingan masyarakat
dan pedagang.
Relokasi akan berjalan dengan lancar dengan persiapan perencanaan yang
matang, terutama masalah lokasi baru yang kan di gunakan sebagai tempat
relokasi, harusa ada kerjasama antara semua pihak yang terkait serta kesabaran
dalam mengerjakannya,diantara semuanya juga harus bisa saling mengerti
kepentingan masing-masing.
Menata PKL Perlu Penataan RuangOleh: Mohammad Agung Ridlo
50
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Fenomena pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya
jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward
migration) dari daerah hinterland. Fenomena tersebut juga terjadi di Kota
Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk
ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi
pertumbuhannya.
Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju
daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk
menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan.
Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus
pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya
sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan
perkembangan suatu kota.
Tata Ruang
Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang
dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi
pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana
Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat
reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana
tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan
tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi
merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan
oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang
itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra
dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL
(SM, 21 Maret 2005).
Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di
Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi
dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan
karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
51
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam
bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yang menguntungkan bagi semua
pihak (pedagang, warga dan Pemkot).
Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga.
Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam
Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban
menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang
bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang
layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa
kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.
Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu
memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan
mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua
pihak, nilai estetika, teori demand-supply, teori lokasi, teori sirkulasi ruang, teori
''behaviour'' dan teori psikologi manusia.
- Penulis, Ketua Pusat Studi Planologi FT Unissula, mahasiswa S3 Program
Doktor Arsitektur dan Perkotaan Undip.
Resume Artikel
PKL adalah salah satu pedagang informal yang tidak memiliki badan usaha
atau tempat berdagang yang tetap. Munculnya pedagan informal dalam hal ini
PKL dapat mengidentifikasi pertumbuhan serta perkembangan suatu kota.
Contoh kasus;
Di Kota Semarang masalah PKL semakin berkembang seiring dengan semakin
banyaknya penduduk di kota tersebut akibat pengaruh migrasi. Banyak
penanganan yang telah dilakukan pemerintah setempat terkait maslah PKL ini
yaitu :
1. Diadakannya relokasi pedagang tetapi tidak berjalan lancer karena adanya
perlawanan dari pedagang itu sendiri.
2. Pembatasan pertumbuhan penduduk tetapi menunjukkan tanda-tanda
ketidakberhasilan.
52
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Ketidakberhasilan upaya yang dilakukan pemerintah karena kurangnya
pemahaman PEMKOT mengenai karakteristik PKL itu sendiri, baik karakteristik
lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
Menurut artikel di atas, tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah setempat
yaitu :
1. Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.
2. Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan
karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
3. Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Kepentingan semua pihak
Nilai estetika
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
Kesimpulan Artikel
Masalah PKL pasti selalu menyangkut tentang sistem penataan ruang
suatu kota. Di satu sisi pemrintah memiliki kewajiban untuk memberdayakan
masyarakatnya termasuk PKL, tetapi di sisi lain pemerintah juga berkewajiban
untuk menata daerahnya yang menyangkut masalah kebersihan dan kenyamanan.
Memang dalam menentukan suatu keputusan (dalam hal ini PKL) pemerintah
harus berpikir cermat agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.
Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota DI
SURABAYA
53
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Menyambut Hari Jadi Ke-710 Kota Surabaya.
Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota
Penertiban dan penataan pedagang kaki lima (PKL) kembali dilakukan
oleh Pemerintah Kota Surabaya, khususnya PKL Bungurasih, pada tanggal 22
Mei 2003. Sebelumnya, penertiban PKL dilakukan di Taman Hiburan Rakyat
(THR) Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menata kembali keberadaan PKL agar
tidak merugikan masyarakat dan konsumen.
Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah
kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa di
Surabaya tidak bisa "bersih" dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan
struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL
yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih
rumit.
Pedagang kaki lima (PKL), bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO),
reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena
sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai
artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka,
terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang
direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini. Menariknya, realitas kaum
pinggiran di kota-kota besar ini mengalami situasi yang sama, yakni penertiban.
Di Surabaya, bulan Februari 2002, misalnya, langkah penertiban dilakukan
Pemkot Surabaya terhadap ratusan bangunan permanen, semipermanen, dan
bangunan sementara dengan melakukan penggusuran tanpa ganti rugi.
Saat itu sempat terjadi kericuhan karena adanya warga yang menentang
penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan
dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan
artefak kota yang saat ini mengalami "pembusukan" (tidak diakui). Memang,
persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di
satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan
kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih,
dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat.
54
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut,
Pemkot Surabaya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni
pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi
dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu,
kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan
yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung
sepihak.
Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah
kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan
sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan
(sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda)
dalam mengatur, menata, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting
karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan
pada pemkot.
Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak
menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek
yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur
juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu,
dibutuhkan sebuah strategy planning yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang
berkeadilan.
Dalam strategy planning akan memunculkan pola dan karakter persoalan
di perkotaan yang fundamental (the rooted problem of urban). Maka, strategy
planning dalam membangun tata kota seharusnya merupakan langkah pertama
dalam melihat dan menyelesaikan masalah PKL ini.
PKL yang menjadi fenomena perkotaan merupakan persoalan yang
"dimunculkan" oleh persoalan lain yang lebih besar, yakni kemiskinan. PKL
hanya merupakan ekses dari kemiskinan kronis di perkotaan, yang justru
merupakan upaya survive (bertahan) warga kota dari cengkeraman kemiskinan
tersebut.
Menurut JAMES PETRAS, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari
wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global.
Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar
55
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang
marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya
menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal.
Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi
sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada
akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran.
Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini
mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.
Selain itu, seperti kritik KARL MARX, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik
justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar
hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak
memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang
kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan
kemiskinan baru perkotaan.
Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak
jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin
kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk
berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan
merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai
konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah).
Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam
lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota.
Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat
ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah
rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran)
menjadi konsekuensi logisnya.
Dalam kaitan itu, fenomena PKL harus dilihat sebagai akibat dari
kejahatan sistem yang menelurkan kemiskinan yang kronis dan struktural. Efek
dari kemiskinan ini akan memupuk etika machiavelis dalam upaya
mempertahankan hidup dengan berbagai cara sehingga dalam kultur kemiskinan
ini, frekuensi kekerasan akan meningkat. Hal ini terbukti di Solo, Semarang,
Yogyakarta, dan kota lain yang beberapa waktu lalu sempat memunculkan
56
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
keresahan dan kekerasan akibat dari persoalan PKL tersebut.
Lemahnya pemkot dalam strategi penanganan ini (tidak memiliki strategy
planning), mengakibatkan usaha yang diambil sebatas karitatif, bukan persoalan
fundamental yang menyelimuti fenomena PKL. Penertiban PKL ini hanya sebatas
menyelesaikan persoalan pucuk gunung es yang tampak.
Situasi perekonomian kita yang berantakan, di mana pertumbuhan
ekonomi masih rendah sedangkan pengangguran bertambah, tindakan penataan
kaum pinggiran yang dalam realitasnya adalah penggusuran dan penghilangan
peluang usaha, justru mendekatkan pada krisis baru.
Oleh karena itu, dalam menata PKL, mau tidak mau, Pemkot Surabaya
harus membuat strategy planning yang komperehensif dan berkelanjutan serta
berbasis keadilan. Persoalan PKL bukan semata persoalan sosial biasa, melainkan
menyangkut struktur yang tidak adil. Karena itu, solusinya bukan kebijakan
karitatif semata. Selain itu, Pemkot Surabaya harus mengganti paradigma
penataan kaum pinggiran dari penguasaan kepada pengaturan yang berbasis
kesejahteraan dan keadilan.
Tanpa melihat konteksnya, problematika PKL akan menjadi bumerang
bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. Pertanyaannya sekarang, kapan
Pemkot Surabaya mengubah paradigma dalam penataan PKL tersebut? Atau
jangan-jangan Pemkot Surabaya justru "menikmati" langkah penertiban PKL.
Sementara warganya banyak yang kehilangan peluang kerja?
Oleh : EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) dan aktivis LSM di Jawa Timur.
Sumber :
Resume Artikel
Masalah PKL adalah masalah structural yang berkaitan dengan masalah
lainnya. Penanganan masalah PKL secara parsial akan menimbulkan masalah baru
yang jauh lebih sulit. Memang masalah PKL merupakan masalah yang dilematis.
Di satu sisi pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan di sisi
lain bertanggung jawab atas tata ruang kota yang menyangkut keindahan dan
kebersihan. Inilah yang terjadi pada PEMKOT Surabaya dimana PEMKOT
setempat memilih nomor dua yaitu mewujudkan tata ruang kota yang bersih dan
57
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
sehat. Maka konsekuensi yang diambil terkait pilihan tersebut yaitu penertiban
dan penataan PKL. Karena itu kebijakan tersebut terkesan sepihak dan
kontraproduktif dimana masalah PKL bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi
pentaan Kota Surabaya.
Masalah yang dihadapi sebenarnya yaitu tidak adanya kebijakan tata letak
kota yang berkelanjutan (sustainable policy).
Tindakan yang seharusnya dilakukan PEMKOT seperti yang terdapat di artikel
yaitu :
a) Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan kaum
pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah satu aset
daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT
b) Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak
menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan
efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah
dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran.
Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang
berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan.
Kesimpulan Artikel
Perencanaan relokasi PKL ternyata membawa banyak problema. Di satu
sisi pemberdayaan masyarakat adalah yang menjadi prioritas, tetapi di sisi lain
masalah lain yang mendukung pemberdayaan tersebut juga tidak bisa
dikesampingkan. Pada umumnya masalah yang terkait erat dengan masalah PKL
yaitu penataan ruang kota. Pemerintah merasa perlu menata PKL padahal jika
dilihat PKL sedikit tidak memberi kontribusi bagi pendapatan daerah. Untuk
itulah pemerintah harus memikirkan kebijakan yang akan diberikan pada para
PKL agar tidak merugikan banyak pihak.
Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor
Informal (1)
58
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Sampai saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai pengertian sektor
informal. Hal ini tidak mengherankan karena istilah sektor informal sendiri baru
mulai diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris
ketika melakukan penelitian tentang unit-unit usaha berskala kecil di Ghana.
Kebanyakan orang bahkan belum terlalu mengetahui apa itu sektor informal.
Suatu definisi sederhana mengenai sektor informal dalam Varia Statistik, 2001
mengartikannya sebagai suatu pola pencarian nafkah "seadanya" demi
mempertahankan hidup.
Berdasarkan data pada Kaltim dalam angka tahun 2000, pencari kerja yang
terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim tahun 2000 sebanyak
24.488 orang, jumlah ini belum termasuk mereka yang tidak mendaftarkan diri,
padahal kesempatan kerja yang tersedia hanya ada untuk 13.085 orang saja.
Diantara para pencari kerja tersebut, ada yang merupakan migran yang berasal
dari luar daerah.Pertumbuhan suatu daerah yang pesat merupakan faktor penarik
bagi migran dari daerah asalnya.
Menurut Mazumdar (1976) dalam Saleh (1995), mobilitas angkatan kerja di
sektor informal adalah relatif tinggi, sehingga sektor ini dapat bertindak sebagai
suatu kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dan pengangguran. Timbulnya
sektof informal sebagai sumber kesempatan kerja dengan pertumbuhan
kesempatan kerja terutama pekerjaan disektor formal. Salah satu bentuk kegiatan
sektor informal adalah usaha kaki lima.
Menurut BPS, usaha kaki lima adalah suatu usaha sektor informal
(mencakup seluruh sektor yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa, dan
industri), yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan
prasarana yang terbatas dan di dalam usahanya mempergunakan bagian
jalan/trotoar untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha
serta tempat lain yang bukan miliknya kecuali pada lokasi resmi.
Sektor usaha kaki lima menurut konsep dalam BPS (2001) dibagi dalam 3 (tiga)
kelompok besar, yaitu :
1. Sektor perdagangan dan rumah makan
2. Sektor jasa-jasa
3. Sektor persewaan dan jasa perusahaan
59
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan di sektor informal cenderung
dipilih karena tidak menuntut persyararan pendidikan yang tinggi dan tidak
membutuhkan keahlian tertentu. Selain itu ijin dari instansi atau asosiasi tertentu
tidak diperlukan untuk membuka usaha kaki lima. Hanya sedikit modal dan
tempat strategis yang diperlukan untuk memulai dan mengembangkan usaha kaki
lima tersebut (BPS, 2001).
Keberadaan sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima menurut Saleh
(1995) ternyata selain berdampak positif juga mempunyai dampak negatif.
Dampak positifnya yakni ;
1. Sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima mudah dimasuki oleh
siapa saja terutama oleh pencari kerja yang berpendidikan rendah dan
tidak mempunyai keahlian khusus, maka sektor ini dapat menyerap
tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.
2. Sektor ini biasanya menjual/melayani barang-barang konsumsi untuk
masyarakat berpenghasilan rendah.
Sedangkan dampak negatifnya yakni karena keberadaan lokasi usaha
pedagang kaki lima yang tidak teratur seringkali menyebabkan kemacetan lalu
lintas atau dapat mengurangi keindahan kota.
Keberadaan para pedagang kaki lima seringkali menjadi masalah bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait, karena di satu sisi
lokasi usaha mereka yang cenderung merupakan public area menimbulkan
berbagai masalah, namun di sisi lain pemerintah berkewajiban melindungi mereka
dalam berusaha karena setiap warga negara berhak memperoleh kehidupan yang
layak. Mereka harus tetap berdagang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Akibatnya timbul berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu lintas,
kebersihan, keindahan kota, dan kesehatan lingkungan (Simanjuntak, 1986 dalam
BPS 2001). Selain itu juga akan mengganggu fasilitas sosial, fasilitas umum atau
aset negara lainnya bila tidak dilakukan pembenahan dan pembinaan secara terus
menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan
pertumbuhannya.
Beberapa permasalahan mengenai pedagang kaki lima yang sempat
dikupas oleh harian ini beberapa waktu yang lalu pasti masih kita ingat. Sebut saja
60
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
pembongkaran rombong (gerobak dorong,red) milik sejumlah pedagang kaki lima
demi penertiban dan keindahan kota. Ini membuktikan kurang adanya
"kerjasama" yang baik antara pedagang kaki lima tersebut dengan aparat
pemerintah. Sangat disayangkan memang. Untuk pedagang kaki lima yang hanya
bermodal pas-pasan, rombong itu merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Kalau saja mau dicermati secara lebih dalam dan kalau sosialisasi
mengenai hal tersebut sudah sangat jelas atau kalau saja para pedagang kaki lima
juga mau bekerja sama dengan aparat pemerintah mungkin hal seperti itu tidak
akan terjadi. Masalah ini memang telah berlalu, namun bukan tidak mungkin bila
suatu saat masalah ini akan terjadi lagi. Tidak ada yang harus disalahkan dalam
hal ini, semua dengan argumennya masing-masing akan berupaya untuk mencari
pembenaran-pembenaran itu. Upaya pemerintah yang terkesan keras dalam
menghadapi pedagang kaki lima yang membandel tidak bisa disalahkan seratus
persen karena itu adalah suatu bentuk upaya penertiban sebab jika dibiarkan terus
akan menyebabkan semakin bertambahnya masalah. Sementara sikap pedagang
kaki lima untuk mempertahankan lokasi usahanya mungkin karena sudah
mempunyai banyak pelanggan di tempat tersebut. Sekarang tinggal bagaimana
kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak sambil berusaha menumbuhkan
saling pengertian yang mendalam. (bersambung)
Theresia Parwati Staf BPS Kota Bontang
Resume
Sampai saat ini definisi mengenai sektor informal masih mengundang
tanda tanya. Oleh karena adanya hal tersebut, keberadaannya pun dianggap
sesuatu yang mengundang masalah. Pada kenyataannya sekotor informal
merupakan sumber kesempatan kerja yang juga merupakan kekuatan penyangga
antara kesempatan kerja dengan pengangguran. Salah satu bukti nyata adanya
sektor informal yang merupakan kekuatan penyagga tersebut yakni dengan
menjamurnya usaha-usaha kaki lima.
Usaha kaki lima dipilih sebagian masyarakat khususnya golongan
menengah ke bawah sebagai sumber mata pencaharian karena tidak menuntut
syarat pendidikan dan keahlian tertentu, namun keberadaannya mengundang
61
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
masalah bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait.
Pemerintah harus menjaga dan melindungi PKL-PKL tersebut karena mereka pun
berhak atas penghidupan yang layak, namun di lain pihak keberadaan mereka di
dalam public area menimbulkan masalah seperti kemacetan, rendahnya kesehatan
lingkungan, kebersihan, dan keindahan kota.
Dalam ‘menertibkannya’, sering kali pemerintah harus menggunakan cara
yang keras. Hal tersebut menandakan tidak adanya kerja sama antara pihak
pemerintah dengan pedagang kaki lima, begitu pun sebaliknya. Diantara kedua
belah pihak ini harus ada pengertian yang mendalam, pemerintah yang terus
menggunakan cara keras untuk menertibkan PKL namun PKL yang sudah
mempunyai banyak pelanggan di kawasan tersebut tetap mempertahankan
keberadaannya.
"Katanye" Kota Kaki Lima
KOTA Jakarta mungkin memang kota kaki lima, tetapi kota yang kaki
limanya sudah jarang tampak lagi. Sebab di mana ada kaki lima, di situ pedagang
kaki lima sudah menguasainya. Maka dari itu, kaki lima, yang juga kita kenal
62
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
dengan istilah yang berasal dari bahasa Perancis trotoir (baca: trotoar), yang
artinya tempat pejalan kaki, sudah tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.
Dari mana sebenarnya asal-usul kata kaki lima? Belum ada yang bisa
menjawab pertanyaan itu dengan pasti. Ada yang memperkirakan, kaki lima itu
ada hubungannya dengan dua kaki si abang tukang jualan, dua roda gerobaknya,
dan kaki kelimanya adalah cagak yang dipasang si abang kalau lagi mangkal,
untuk memastikan beban gerobak tertopang seimbang, dan gerobaknya tidak lari
menggelinding.
Akan tetapi kemungkinan besar istilah itu datang dari perencanaan kota
akhir abad silam hingga permulaan abad ini. Bangunan rumah toko yang
berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan
perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih.
Rupanya dulu, bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang
lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat
melintas.
Lajur ini kemudian dikenal sebagai kaki lima, dari lebarnya yang lima kaki
itu. Pedagang yang memanfaatkan lajur itu, kemudian dikenal sebagai pedagang
kaki lima. Di Jalan Malioboro di Yogyakarta, hingga kini, kita dapat temui contoh
kaki lima yang khas, lengkap dengan pedagangnya.
Kini di sebagian besar kota-kota modern di Indonesia, lajur trotoar untuk
pejalan kaki tinggal sekitar tiga kaki, itu pun kalau ada. Dan jika ada, biasanya
lajur itu sudah dikuasai pedagang kaki lima (apa kini kita harus sebut mereka
pedagang kaki tiga?), sehingga pejalan kaki terpaksa harus turun dari trotoar dan
berjalan di pinggir jalan.
Bagaimana jika kaki lima di Indonesia diperlebar seperti Orchard Road di
Singapura? Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, yang akan terjadi
adalah seluruh lebar tempat pejalan kaki itu akan dimanfaatkan pedagang kaki
lima. Ini terjadi di emperan pasar-pasar. Di Pasar Tanahabang misalnya, pedagang
kaki lima malah merambah ke jalan raya!
Semrawutnya pedagang kaki lima membuat suasana kota sama sekali tidak
nyaman dan berpotensi kurang aman. Padahal, jika tertata baik, pedagang kaki
lima sering kali membuat suasana kota menjadi menarik. Di sekitar Masjid Sunan
63
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Ampel di Surabaya, pedagang kaki lima menawarkan minyak zaitun, buah kurma
dan dagangan lain khas Timur Tengah yang membuat kita seakan berada di Mesir
atau Arab Saudi.
Juga setiap perayaan sekaten di Alun-alun Yogyakarta atau Surakarta,
pedagang kaki lima menggelar dagangan mainan dan makanan kegemaran anak-
anak. Entah mengapa pedagang kaki lima yang sudah menjadi tradisi di kawasan
tersebut tadi, tampak lebih teratur dan karena itu juga lebih menarik.
Tidaklah mengherankan jika ternyata semrawutnya pedagang kaki lima,
berhubungan dengan kebijakan Pemda yang lebih cenderung memperhatikan mal-
mal perbelanjaan ketimbang kebutuhan pedagang kecil. Di kota seperti Solo,
beberapa pasar tradisional dikembangkan menjadi mal perbelanjaan, sehingga
pedagang tradisionalnya tergusur. Pindah ke tempat lain belum tentu mampu
bayar sewa, pedagang yang tergusur itu memilih untuk menjadi pedagang kaki
lima saja.
Pemda perlu menyediakan tempat yang layak bagi pedagang kaki lima
untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-
pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki
lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat.
Mungkin, kaki lima sekatenan di Yogya, kaki lima Pasar Ikan, dan kaki
lima di sekitar Masjid Sunan Ampel, bisa dipelajari dan menjadi acuan untuk
kaki-kaki lima di Jakarta. Sepertinya, kaki-kaki lima yang paling berhasil adalah
yang rapi, tertata, bersih dan punya ciri khas yang kontekstual. Sekalian saja kaki
lima dikembangkan untuk mendukung pariwisata. Pan katanye Jakarta kote kaki
lima. (Amir Sidharta, pemerhati arsitektur dan kurator Museum Universitas Pelita
Harapan. (Kompas 02-08-2000)
Resume
Ada banyak versi yang menceritakan mengenai asal usul pedagang kaki
lima (PKL). Entah yang mana yang benar, tapi yang pasti tentu ada alasan yang
mendasari sejarah itu. PKL sering menjadi masalah yang serius hampir seluruh
kota di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Banyak trotoir yang disalahgunakan
64
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
penggunaannya untuk menjajakan dagangan para PKL tersebut. Hal ini akan
mengurangi rasa aman dan nyaman para pejalan kaki mengingat trotoir adalah
fasilitas khusus yang digunakan untuk para pejalan kaki, bukannya para PKL.
Namun apabila dapat diatur dengan baik, seringkali PKL membuat suasana kota
menjadi semakin menarik dan dapat menarik minat wisatawan.
Kesimpulan
Dari sedikit penjelasan di atas, maka dapat disimpilkan bahwa kota Jakarta
dapat mengelola keberadaan para pedagang kaki lima dengan cara menyediakan
tempat yang layak bagi para pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha
mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-pasar tradisional perlu
dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya
pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Hal ini tentunya perlu mendapat
dukungan dari semua pihak agar harapan kota Jakarta untuk menjadikan PKL
sebagai salah satu objek wisata dapat terlaksana.
PKL MENGGANGGU DAN MEMEPERINDAH
KOTA
Nawa Tunggal
65
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Keberadaan para pedagang Kaki Lima (PKL) atau yang melanggar
Peraturan Daerah (Perda) dipandang telah mengganggu tata ruang kota dan
masyarakat banyak. Tetapi sekecil apapun peran PKL harus diakui telah
membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran
pemerintah yang tidak mampu membuat peraturan publik yang saling
menguntungkan.
PKL yang ada dapat mengganggu citra kota, tetapi dapat pula
memperindah citra kota. Seorang peneliti PKL Kota Malang, Bambang Nursetyo
mengatakan birokrat mengambil yang mengambil keputusan tentang PKL tidak
dapat mengambil kebijakan publik yang saling menguntungkan, bahkan masih
berbudaya lama.
Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara
lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih
sering tak terbantahkan. Tidak pernah ada birokrat pemerintah yang menar-benar
mau terjun langsung dan menyelami kehidupan para PKL. Ini menjadikan sedikit
sekali harapan kehidupan PKL di sekitar sektor informal dapat terdukung dan
memperindah citra kota. Tetapi yang sering terjadi adalah penertiban PKL sebagai
penghalusan bahasa dari pengusiran mereka.
Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau bertameng demi
kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya. Ini
tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk memecahkan masalah secara
lebih beradab.
Ketiadaan kreativitas kompromistis birokrat tentu bersumber dari
keengganan mereka untuk terjun langsung dalam kehidupan PKL. Menurut
Bambang- ia meneliti PKL di Alun-alun Kota Malang- jumlah PKL di sana
mencapai 1.700an orang dan saat ini mereka mau berbicara dengan pemerintah
untuk memecahkan masalah bersama. Tetapi maukah para birokrat mencari
pemecahan bersama yang saling menguntungksn dengan bicara dan mendatangi
para PKL tersebut?
Bagi Bambang pilihan jalan hidup menjadi PKL adalah rasional. Para PKL
adalah tenaga kerja sosial yang tertolak di sektor formal. Ada yang menempuh itu
karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetapi sebagian adalah karena
66
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
rendahnya kualitas hidup mereka yang tak sempat mengenyam pendidikan yang
memadai. Setidaknya dengan pendidikan tinggi para PKL akan membuka peluang
mendapat pekerjaan lainnya. Walaupun saat ini kita sedang dihadapkan pada
masalah krisis moneter dan pengangguran.
Data penelitian Bambang menyebutkan bahwa saat ini terdapat 18% PKL
yang tidak lulus SD, 42% lulus SD namun tidak tamat SLTP. Sebanyak 23% lulus
SLTP dan yang lulus SLTA tercatat sebanyak 17%. Tidak ada yang lulus
perguruan tinggi. Data ini didapat dari wawancara secara acara acak terhadap 100
PKL di Alun-alun Kota Malang.
Lahan di Alun-alun Malang yang ditemoati PKL meliputi 34,2 % di badan
jalan, 41% di trotoar, 14.5% terletak di keduanya, badan jalan dan trotoar.
Selebihnya 11.3% berdagang di halaman kantor-kantor dan permukiman
penduduk. Luas areal mangkal PKL diperkirakan sebanyak 36.7% yang memakai
areal seluas 0,5-1 meter persegidan 33% memakai 2-2,2 meter persegi.
Tingkat keramaian penjualan meliputi hari Minggu (44%), Sabtu(32%),
liburan sekolah (21.37%) selebihnya (2%) pada hari kerja (Senin-Jumat).Tingkat
pendapatan PKL terdapat disparitas atau perbedaan nilai yang jauh yaitu antara
Rp 70.000,00 – Rp 500.000,00 per minggu.
Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ
muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun
meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang
menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi
sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law
enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan
sehingga sulit untuk dipindahkan.
Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau
penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih
beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga
PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula.
Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai
diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus
meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan
67
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian
terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas
permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.
Sumber| Malang Pos, 21 Juni 2005
Resume
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan
masalah. Tapi, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi
masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran pemerintah yang tidak mampu
membuat peraturan publik yang saling menguntungkan.
Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara
lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih
sering tak terbantahkan. Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau
bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga
konflik namanya. Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk
memecahkan masalah secara lebih beradab.
Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ
muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun
meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang
menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi
sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law
enforcement atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan
sehingga sulit untuk dipindahkan.
Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau
penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih
beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga
PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula. Sedang penataan PKL
ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar
dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan
disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga
68
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
diikuti seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga
ketat.
Kesimpulan
Dari artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan Pedagang Kaki
Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Namun, peran PKL harus
diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat. Pada intinya kehidupan PKL
memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon
PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui
Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya
semacam retribusi dari pemerintah. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi
yaitu penempatan PKL di suatu gedung yang memadai dan penataan PKL di
tempat yang lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota
besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan
ekonomi masyarakat yang disesuaikan dengan seni arsitektural, fasilitas
permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.
.
Pasar Keputran Kumat Lagi
MELUBER, ditertibkan, meluber lagi, ditertibkan lagi. Itulah yang terjadi
di Pasar Keputran. Setelah sempat "dibersihkan "polisi pada 2004 akibat meluber
di badan jalan, Satlantas Polwiltabes Surabaya melakukan penertiban lagi.
Ini setelah polisi menilai para pedagang di Pasar Keputran kembali
mokong dan mulai memakan badan jalan padat itu. "Kendati belum terlalu parah,
indikasinya ke arah sana. Kalau tidak ditertibkan mulai sekarang, bisa jadi parah,"
ujar Kasatlantas Polwiltabes Surabaya AKBP Moh. Iqbal kemarin.
Salah satu yang mencolok dari melubernya pasar di jantung kota Surabaya
itu adalah mulai dipakainya sebagian badan Jalan Embong Sonokembang, serta
adanya parkir liar di seberang jalan gedung Indosat. "Itu tidak bisa dibiarkan.
Jalan bisa tertutup untuk kegiatan pasar. Padahal, itu jalan umum, " tandas
perwira dengan dua mawar di pundak itu.
69
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Mengenai masalah parkir, Iqbal bahkan 'menegaskan bahwa ke depan
tidak boleh lagi ada parkir di tempat tersebut. "Wong sudah jelas-jelas ada rambu
dilarang parkir di tempat itu, kok malah dijadikan tempat parkir," ujarnya.
Tiga Kelompok PKL dipindah ke Genteng
Untuk itu, sejak Selasa (15/5) malam lalu, polisi mulai melakukan penertiban.
Barikade bertuliskan "Batas PKL" kemball ditempatkan. Di sisi utara Keputran, barikade
ditempatkan di mulut gang Keputran (dekat pintu masuk Hotel Brantas). Sedangkan sisi
barat diletakkan persis di gang sebelah Wisma Dharmala.
Iqbal mengaku telah memanggil dua koordinator PKL Keputran. "Kami minta
mereka bertanggungjawab untuk membatasi wilayah dagangnya. Jangan sampai
memakan badan jalan lagi," ucap mantan Koordinator Sekretaris Pribadi Kapolda Jatim
itu.
Untuk menjaga ketertiban, Iqbal telah menempatkan delapan personel di
lingkungan Pasar Keputran. Empat orang berjaga di barikade 'BatasPKL', sedangkan
empat lainnya berkeliling. Delapan personel ini di-back up lagi sekitar satu peleton
personel. "Namun, ini sifatnya on call," papar lulusan Akpol 1991 tersebut.
Bikin Sparkling Genteng
Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan
pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL taman bungkul dan karah, dinas koperasi dan
sektor informal, bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar menjadi sentra makanan
khas Surabaya. Konsep yang bakal dipopulerkan dengan istilah ’Sparkling Genteng” ini
meniru Kya-Kya Kembang Jepun.
Kadis Koperasi dan sektor informal Ismanu menjelaskan, saat ini pihaknya
sedang mendata para pedagang yang bakal masuk ke Jalan Genteng Besar. Menurut dia,
pedagang yang bakal direlokasi itu berasal dari tiga jalur sekitar balai kota. Yakni jalan
Simpang Dukuh, jalan Wali Kota Mustajab, dan jalan Yos Sudarso. "Kita sediakan 100
stan untuk menjadikan Jl Genteng Besar sebagai pusat makanan khas Surabaya,"
terangnya.
Makanan-makanan khas Surabaya itu di antaranya adalah semanggi suroboyo,
lontong balap, sate kelapa, dan sate karak. Total ada sekitar 35 jenis makanan khas
70
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Surabaya.
Mantan Kadis Kebersihan ini menjelaskan, program ini memi1iki beberapa
tujuan. Selain menata PKL, juga melestarikan makanan khas Surabaya yang kian langka.
"Kita ingin menjadikan kawasan Genteng sebagai salah satu ikon Surabaya, selain Kya-
Kya Kembang Jepun," terangnya.
Pemkot, katanya, tidak akan rnen~izinkan pedagang baru menghuni Jl Genteng
Besar. "Jadi, program ini murni untuk pedagang lama di tiga jalan itu. Pemkot tidak akan
menciptakan PKL-PKL baru," tuturnya.
Para PKL ca1on penghuni Jl Genteng Besar harns diusulkan oleh camat Genteng.
Lalu, usulan camat akan dievaluasi lagi oleh Dinas Koperasi. "Kita akan pantau
lagi ke lapangan, " terangnya.
Setelah program relokasi selesai, ketiga jalan itu tidak boleh lagi ditempati PKL.
Dinas Koperasi akan bekerja sama dengan Satpol PP untuk mengamankan ketiga jalan
itu. "Jangan sampai lokasi yang lama diternpati PKL barn," terangnya.
Lebih lanjut Ismanu menjelaskan, para PKL yang dire1okasi ke Jl Genteng Besar
tidak dikenai pungutan apa pun. Sebaliknya, pernkot akan memberikan pinjaman berupa
modal bergulir, masing-masing PKL mendapat Rp 2 juta. "Tapi, pinjaman itu tidak akan
diberikan langsung ke individu," katanya.
Para PKL harus berhimpun dan membentuk paguyuban terlebih dahulu. "Nanti,
ketua paguyuban yang bertanggungjawab tentang pengembalian pinjaman modal itu. "
Pengembalian pinjaman berbunga 5 persen setahun itu relatif ringan. Para PKL
bam diwajibkan membayar cicilan setelah lima bulan berjualan. "Kami berharap PKL
bisa membentuk koperasi untuk meningkatkan pembinaan dan kesejahteraan anggota,"
katanya. (anok/onik)
Sumber : Harian Metropolis tanggal 17 Mei 2007
Resume
Sudah seringkali operasi penertiban PKL telah dilakukan di Pasar
Keputran Surabaya, tetapi banyak PKL nakal yang kemudian membuka kembali
71
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
usaha mereka di tempat yang sama sehingga menimbulkan banyak kegiatan
illegal seperti parkir liar hingga memakan badan jalan yang merupakan jalan
umum.
Untuk menjaga ketertiban, telah ditempatkan delapan personel di
lingkungan Pasar Keputran. Empat orang berjaga di Berikade “batas PKL”
sedangkan empat lainnya berkeliling. Delapan personel ini di back-up lagi sekitar
satu peleton personel yang sifatnya on call.
Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan
pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas
koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar
menjadi sentra makanan khas Surabaya.
Kesimpulan
Dari artikel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penertiban PKL tidak
akan berjalan dengan lancar bila tidak didukung dengan kesadaran dari para PKL
itu sendiri. Pemkot juga terus menggencarkan program penataan dan
pemberdayaan PKL. Setelah menata PKL Taman Bungkul dan Karah, dinas
koperasi dan sektor informal bakal menggarap kawasan jalan Genteng Besar
menjadi sentra makanan khas Surabaya.
72
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
4.1 Keterkaitan Keberadaan PKL di Sekitar Tugu Pahlawan Dengan
Konsep Tata Ruang Kota.
Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark \.
Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Tugu
Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November
1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu
bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada
di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan
merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen
Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10 November dimana pada
tahun 1945 banyak pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan.
Sampai saat ini, masih banyak PKL yang berdagang di sekitar Monumen
Tugu Pahlawan. Keberadaan para PKL ini sangat bertentangan dengan konsep tata
ruang suatu kota dimana dalam kawasan tertentu yang berkenaan dengan kegiatan
pendidikan, sejarah, dan sejenisnya tidak boleh ada kegiatan ekonomi yang
dimonopoli oleh perdagangan informal seperti kegiatan PKL. Terlebih lagi,
Monumen Tugu Pahlawan adalah icon Kota Surabaya yang merupakan saksi bisu
tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai sejarah bangsa
yang melekat padanya hendaknya tidak dinodai dengan adanya citra buruk yang
ditimbulkan oleh keberadaan PKL.
Dengan adanya PKL disekitar Tugu Pahlawan, maka akan mempengaruhi
tata ruang kota dimana oleh pemerintah setempat telah diatur sedemikian rupa
agar menciptakan suasana indah dan nyaman.
73
BABIV
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
4.2 Kebijakan Pemerintah Kota Terkait dengan Masalah PKL di
Kawasan Tugu Pahlawan Surabaya
Melihat permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan guna menangani masalah tersebut. Diantaranya
yaitu memindahkan para PKL ke tempat lain yang memang merupakan areal
perdagangan seperti pasar. Daerah yang menjadi rekomendasi pemerintah tersebut
adalah
1. Kawasan Kembang Jepun yang dinilai cocok untuk merelokasi PKL
mingguan karena lebar dan bisa menampung semua pedagang.
Apalagi, setiap Minggu, kawasan itu relatif sepi. Masalahnya, banyak
pedagang yang tidak mau dipindah karena khawatir tidak ada pembeli.
Sebagian warga Kembang Jepun juga menolak rencana tersebut.
2. Berbeda dari Jl Pasar Turi-Jl Tembaan. Kawasan itu tidak terlalu jauh
dari lokasi asal, sehingga pedagang masih bisa meraup untung. Tapi,
kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung semua
PKL.
Kebijakan tersebut dibuat dengan melihat kondisi lapangan sehingga
dianggap tidak akan merugikan pihak manapun. Namun memang pada dasarnya
banyak alasan yang dikemukakan oleh para PKL agar tidak dipindahkan ke lokasi
yang baru,. Padahal seharusnya semua pihak yang terkait masalah ini berpikir
postif tentang kepentingan publik dan tidak mementingkan diri sendiri.
4.3 Menentukan Masalah
Adapun metode analisis keputusan yang dapat digunakan untuk
menggambarkan masalah ini dapat dilihat dari bagan-bagan di bawah ini :
74
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
75
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
76
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Berdasarkan bagan di atas, maka didapat 2 konsekuensi terbaik, yaitu :
Konsekuensi Terbaik Pertama
PKL menerima adanya relokasi sehingga mereka bertanggung jawab untuk
memenuhi segala peraturan seperti membayar retribusi maupun biaya awal yang
dibutuhkan untuk membangun lokasi yang baru.
Konsekuensi Terbaik Kedua
PKL tidak melakukan relokasi dengan pemberlakuan syarat-syarat tertentu
sehingga dibutuhkan konsekuensi, yaitu dengan melaksanakan kebijakan yang
telah ditentukan oleh Dewan atau Pemerintah.
4.4 Kenyataan Bahwa Kebijakan Tersebut Masih Belum Berhasil
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Surabaya tidaklah
berjalan sesuai dengan keinginan. Banyak kendala yang dihadapi seperti
penolakan para PKL tersebut untuk pindah ke lokasi yang telah disediakan. Oleh
para PKL, kebijakan tersebut dianggap merugikan mereka karena lokasi tempat
berdagang yang baru tidaklah srategis sehingga mempengaruhi pendapatan harian
mereka. Misalnya saja lokasi Kembang Jepun yang direkomendasikan oleh
pemrintah untuk tempat berdagang bagi para PKL. Mereka menganggap bahwa
lokasi tersebut akan mengurangi pendapatan karena tidak banyak dikunjungi oleh
pengunjung. Lokasi kedua yaitu Pasar Turi dan Tembaan dimana para PKL
beralasan bahwa kawasan tersebut terlalu sempit dan tidak bisa menampung
seluruh PKL.
Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program
kebijakan yaitu lemahnya proses pelaksanaan program tersebut yang terletak pada
lemahnya dasar hukum, kurang efektifnya proses sosialisasi peraturan, ketidak
terpaduan proses partiripasi, semunya proses pemberdayaan PKL dan
inkonsistensi dalam penegakan hukum.
77
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Ditambah lagi adanya ketidakpastian sikap pengambil keputusan.
Ketidakpastian tersebut mengakibatkan terjadinya :
(1) ketidakterpaduan dan inefisiensi peran dalam menangani PKL.
(2) konsolidasi internal dan eksternal dalam tubuh komunitas PKL untuk
memperoleh legalitas dalam memanfaatkan ruang publik yang semakin
memperkuat mekanisme institusi informal dalam arena kegiatan PKL
Permasalahan serupa juga pernah dialami ketika menangani masalah PKL
di Gunungsari, Karah, Rolak, yang awalnya alot dan pada akhirnya berhasil
diselesaikan. Keberhasilan tersebut tak lepas dari kesabaran dan kerja keras semua
pihak.
4.5 Kebijakan yang Tepat Untuk Mengatasi Masalah Tersebut
Ketidakberhasilan yang dialami pemerintah Kota Surabaya dalam
menangani kasus PKL perlu dijadikan suatu pelajaran jika mengahadapi kasus
serupa di masa yang akan datang. Dalam memutuskan suatu kebijakan, banyak
aspek yang harus diperhatikan baik aspek fisik, peluang ekonomi, serta kelancaran
administrative terkait pemberlakuan izin berdagang yang selama ini menjadi akar
maslah sehingga PKL merajalela dimana-mana. Kebijakan yang sesuai terkait
masalah ini akan lebih banyak dipaparkan pada bab-bab selanjutnya.
78
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
5.1 Kriteria Penentuan Secara Teoritis
Penentuan kriteria penilaian dalam rangka memperoleh alat pengukuran
yang dapat dikuantitatifkan dapat berguna dalam memperbandingkan berbagai
alternatif penyelesaian yang masuk dalam pertimbangan.
Poin-poin diatas dapat tertuang dalam kriteria-kriteria penilaian yang dapat
digunakan untuk menentukan altematif yang akan dipilih. Adapun kriteria tersebut
adalah sebagai berikut :
Memperhatikan factor teknis yang berkenaan dengan pemindahan para
PKL ke lokasi yang ditetapkan pemerintah setempat. dengan melihat
criteria penilaian yaitu :
a. Tidak menimbulkan konflik dengan lingkungan yang ada baik berupa
gangguan lalu lintas ataupun pencemaran.
b. Tidak mengganggu aktivitas pejalan kaki.
c. Melakukan pengawasan terhadap keberadan PKL.
Memperhatikan peluang ekonomi dan keuangan yang berkaitan dengan
keberadaan PKL tersebut, bagaimana proses pendanaan kebijakan ini dan
peluang ekonomi yang mungkin dapat diharapkan khususnya bagi
pendapatan pemerintah daerah. Adapun kriteria-kriteria faktor ekonomi ini
adalah sebagai berikut :
a. Pemberlakuan sistem restribusi sewa tempat dan kebersihan bagi para
PKL kepada pemerintah.
b. Pemberlakuan sanksi berupa denda bagi para PKL yang melanggar
peraturan
Memperhatikan kelancaran administratif dimana untuk mengatahui
sejauh mana tata administrasi yang ada termasuk undang-undang dan
peraturan-peraturan mendukung kebijakan ini. Adapun kriteria-kriteria
faktor ini adalah sebagai berikut :
a. Pemberlakuan ijin
b. Pencatatan atau regristasi jumlah PKL sehingga terdapat kontrol
terhadap keberadaan dan jumlahnya
c. Pemberlakuan peraturan
79
BAB
VBAB
V
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
5.2 Penentuan Kriteria Sesuai dengan Artikel
Apa yang terjadi di lapangan selama ini ternyata sama seperti apa yang
telah tercantum pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978
menegenai tempat usaha para PKL. Seperti yang kita ketahui bahwa para PKL
selalu menggunakan tempat-tempat umum yang tidak diperuntukkan mendirikan
usaha. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi system keruangan kota yang telah
ditata oleh pemerintah. Untuk itulah pemerintah perlu merelokasi atau
menempatkan para PKL tersebut ke tempat yang sesuai dimana tempat tersebut
tidak mengganggu system tata ruang kota.
Dari beberapa artikel tentang masalah relokasi PKL di beberapa kota besar
di Indonesia, maka dapat ditentukan beberapa alternatif kebijakan yang diberikan
guna menyelesaikan masalah tersebut. Alternatif kebijakan penyelesaian tersebut
antara lain :
a) Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan
kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan
salah satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan
PEMKOT.
b) Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak
menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding
dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang
kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan
kesejahteraan kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu,
dibutuhkan sebuah strategy planning yang komprehensif yang
berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan serta tidak
sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali
tidak menyelesaikan persoalan.
c) Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah
(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan
PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan
sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.
d) Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru bagi para
PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang
80
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
kaki lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa
tempat
e) Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dan pembinaan secara
terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur
perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut.
f)Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima
tersebut.
g) Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.
h) Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya
memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
i) Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang
strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan
mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan
dan kerapian kota
j) Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Kepentingan semua pihak
Nilai estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
f) Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan
kecamatan.
g) Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah
(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan
PKL.
h) Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap
kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan
bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu
sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
81
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
i) Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-
menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL
serta bangunan liar di berbagai wilayah kota.
j) Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus
urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya
tampung kota.
k) Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi
bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar
bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu
sendiri.
82
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
6.1 Mencari Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan pemecahan masalah yang ditawarkan termasuk
didalamnya alternatif-alternatif lain yang didasarkan pada kebijakan yang telah
ada. Sumber utama alternatif ini berdasar pada kasus-kasus PKL yang telah
menjadi agenda umum masalah tiap-tiap daerah di Indonesia sehingga
penyelesaian dan pertimbangan yang diambil diatelaah berdasar pada kasus-kasus
tersebut.
Dari uaraian di atas, maka garis besar alternatif yang telah ditawarkan yaitu
“Relokasi PKL dengan konsep tata ruang kota yang mensejahterakan
masyarakat”. Adapun alternatif kebijakan yang dicari adalah alternatif-alternatif
kebijakan yang didapatkan dari artikel yang mana sudah dipaparkan pada bab
sebelumnya. Alternatif kebijakan tersebut antara lain :
a. Menyediakan PERDA dalam mengatur, sekaligus memberdayakan
kaum pinggiran termasuk salah satunya PKL karena merupakan salah
satu aset daerah yang memberi kontribusi bagi pemasukan PEMKOT.
b. Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak
menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding
dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota
yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan
kaum pinggiran khususnya para PKL. Karena itu, dibutuhkan sebuah
strategy planning yang komprehensif yang berbasis kesejahteraan
rakyat dan yang berkeadilan serta tidak sekadar hanya
mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak
menyelesaikan persoalan.
c. Pemkot dan DPRD setempat segera menyusun peraturan daerah
(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.
Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian
persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.
83
BAB
VIBAB
VI
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
d. Pasar-pasar tradisional yang dijadikan sebagai lokasi baru bagi para
PKL perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki
lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat
e. Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan dan pembinaan secara
terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur
perkembangan dan pertumbuhan para PKL tersebut.
f. Melakukan kerjasama yang baik dengan para pedagang kaki lima
tersebut.
g. Menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah.
h. Terkait masalah tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan
karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL.
i. Mengatur dan menata pedagang kaki lima pada tempat-tempat yang
strategis yang banyak di kunjungi masyarakat dengan
mempertimbangkan aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan
kerapian kota
j. Mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain :
Kepentingan semua pihak
Nilai estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
k. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan
kecamatan.
l. Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah
(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL.
m. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap
kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan bantuan
modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke
lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
84
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
n. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-menerus
mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta
bangunan liar di berbagai wilayah kota.
o. Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus
urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya
tampung kota.
p. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi
bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar
bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
6.2 Mengevaluasi Setiap Alternatif Kebijakan
Untuk melakukan proses evaluasi terhadap berbagai alternatif ada dua
langkah utama yang dilakukan, yaitu :
1. Melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut berdasarkan kriteria
yang ditentukan sebelumnya.
2. Meramalkan bagaimana kondisi di masa yang akan datang atau dampak
yang ditimbulkan apabila kebijakan tersebut diterapkan.
6.2.1 Evaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan
1. Kelayakan Teknis
Pertimbangan yang diambil dan mendasari alternatif ini adalah bahwa
keberadaan PKL di sekitar Tugu Pahlawan saat ini tidak terlalu banyak dan juga
jika dilakukan suatu pengaturan maka keberadaan PKL ini tidak akan secara
signifikan mengganggu lingkungannya. Berdasarkan alternatif ini maka
pemerintah tidak akan melakukan penggusuran hanya saja pemerintah akan
melakukan pengaturan dan penertiban berdasarkan peraturan-peraturan tertentu
bagi PKL Tugu Pahlawan yang didasari oleh kebijakan ini sehingga tindakan-
tindakan yang diambil semuanya merupakan penyesuaian atau modifikasi
pelaksanaan kebijakan ini.
Lebih mengarah pada penertiban para PKL di kawasan Tugu Pahlawan
Surabaya. Penertiban ini didasarkan pada peraturan-peraturan tertentu bagi PKL
85
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
tersebut yang didasari oleh kebijakan sehingga tindakan yang diambil semuanya
merupakan modifikasi kebijakan tersebut. Adapun pertimbangan yang ada yaitu :
a. Kebijakan lainnya yaitu memperbanyak kerjasama antara pedagang
kaki lima dengan pemerintah, diaman hingga saat ini para PKL
selalu menganggap pemerintah sebagai musuh karena
menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar
dilaksanakan.
b. Alternatif kebijakan lainnya yaitu dengan melakukan pembinaan
terhadap PKL di tiap daerah khususnys PKL di Tugu Pahlawan.
Pembinaan ini bertujuan untuk memperkenalkan para PKL tentang
pentingnya berjualan di tempat-tempat yang memang merupakan
kawasan perdagangan dan tidak dikawasan-kawasan seperti
pendidikan dan budaya maupun sejarah. Kenyataannya bahwa sangat
sulit menerapkan hal itu karena para PKL juga manusia yang akan
terdorong untuk mencari lokasi ramai pengunjung, tidak peduli
kawasan tersebut adalah kawasan pendidikan, budaya, maupun
sejaraha. Seperti yang terjadi di Tugu Pahlawan dimana yang
dientingkan oleh tiap PKL yaitu meraup keuntungan sebanyak-
banyaknya.
c. Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah
tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik
lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar
tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik
PKL tersebut. Misalnya untuk PKL penjual makanan dan minuman,
maka harus berada pada lokasi yang sama/selokasi. Hal tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap keindahan tata ruang kota tanpa
mengurangi nilai estetika dan malah akan menimbulkan citra dan ciri
khas tersendiri.
d. Alternatif kebijakan berikutnya yaitu memiliki konsep nilai-nilai
penataan ruang antara lain :
Menyangkut Kepentingan semua pihak
Nilai estetika / nilai keindahan
86
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
Teori behavior
Teori psikologi manusia
e. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap
kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan
bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu
sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
Dengan demikian, PKL sudah tidak merasa takut bahwa pendapatan
mereka akan menurun. Dengan bantuan modal usaha yang diberikan,
mereka dapat merasa diperhatikan sehingga mereka akan berusaha
untuk mandiri tanpa mengganggu kepentingan publik.
f. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-
menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL
serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan
kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah
PKL.
g. Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi
bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar
bertujuan untuk membantu kelangsungan masa depan PKL itu
sendiri.
2. Peluang Ekonomi dan Keuangan
Proses alternatif pihak pemerintah dapat secara khusus memberlakukan
suatu sistem retribusi bagi para PKL berdasarkan peraturan yang baru hasil
penyesuaian terhadap kebijakan yang ada dan secara umum paling tidak
pengaturan, pengawasan dan pembatasan PKL Jalan Gajayana dapat memberikan
kelancaran pergerakan yang lebih baik pada sehingga dari kelancaran pergerakan
ini diharapakan menimbulkan multi player efek pada sektor lain yang dapat
meningkatkan kegiatan perekonomian dalam hal efisiensi waktu. Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem
retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga merupakan
87
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
pemasukan yang dapat juga membantu membiayai kegiatan operasional seperti
pengawasan-pengawasan. Adapun kebijakan terkait dengan kriteria ini adalah
untuk lokasi, kebijakan yang dibuat PEMKOT terkait lokasi baru tempat
berdagang para PKL dikembangkan dan diakomodasikan bagi pedagang kali lima,
bukan pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Kenyataan di lapangan
selama ini, bahwa lokasi baru bagi para PKL tidak mengakomodasi PKL tersebut
secara baik karena pada umunya lokasi baru tersebut dikuasai oleh mereka yang
sanggup membayar sewa tempat.
3. Kelancaran Administratif
Proses pemunculan alternatif ini juga dipertimbangkan dari segi kelancaran
administratif dimana secara lugas dapat digaris bawahi adalah apakah masyarakat
merasa terganggu sehingga jika masyarakat tidak merasa terganggu maka dari
segi kelancaran administrasi pengaturan keberadaan PKL di Tugu Pahlawan ini
nantinya tidak menimbulkan kesulitan.
PKL harus memiliki ijin berjualan dari pemerintah yang dapat didukung
dengan adanya surat keterangan dari pihak RT atau RW setempat sehingga
keberadaan PKL menjadi jelas dan terkontrol. PKL tersebut harus melalui proses
regristrasi administrasi seperti pencatatan jumlah PKL sehingga dapat diketahui
berapa jumlah, jenis dagangan dan lokasi berjualannya. Pemberlakuan peraturan
harus disertai dengan adanya pemberlakuan sanksi dim ana proses penjalanan
sanksi ini harus jelas administrasinya. Adapun alternatif kebijakan yang sesuai
dengan kriteria ini, diantaranya adalah :
a. Apakah PERDA yang dikeluarkan benar-benar dalam kenyataannya
mampu memberdayakan kaum pinggiran khususnya para PKL.
Keadaan lapangan di sekitar Tugu Pahlawan, dimana para PKL
beranggapan bahwa dengan pemindahan mereka ke lokasi yang baru
bukan akan diberdayakan tetapi merasa seperti diasingkan atau
dibuang oleh pemerintah karena pemerintah hanya mengedepankan
konsep tata ruangnya.
b. Untuk menghindari pemikiran seperti yang terdapat pada point (a),
maka dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif
88
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
(jangka panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak
mengabaikan tata ruang kota tersebut, dalam hal ini Tugu Pahlawan.
Tetapi masalahnya apakah alternatif kebijakan ini juga dapat
diaplikasikan secara nyata di lapangan ataukah sebaliknya.
c. Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera
menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta
swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat
perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan
mereka untuk menampung PKL. Tetapi pada kenyataannya sangat
sulit menerapkan kebijakan ini karena biasanya lahan tersebut
digunakan oleh perkantoran atau mal-mal untuk kepentingan mereka
sendiri yang tentunya berkaitan dengan kegiatan finansial mereka.
d. Kebijakan berikutnya bekaitan dengan pembenahan dan pembinaan
secara terus menerus serta konsisten atas kebijakan yang telah
dikeluarkan. Seperti halnya jika menetapkan kebijakan ”Relokasi
PKL dengan konsep kesejahteraan masyarakat dan tata ruang kota”,
dimana dalam aplikasinya tidak ada ketimpangan satu dengan yang
lainnya. Kekonsistensian inilah yang hingga sekarang masih
belumbisa diterapkan secara adil di masyarakat sehingga membawa
kekhawatiran para PKL terutama dalam masalah ini PKL Tugu
Pahlawan Surabaya.
e. Alternatif kebijakan berikutnya yaitu adanya peraturan yang
mengatur dan menata para PKL pada tempat-tempat yang strategis
yang banyak di kunjungi masyarakat dengan mempertimbangkan
aspek-aspek dari pada keindahan, kebersihan dan kerapian kota.
Inilah alternatif kebijakan yang coba diterapkan oleh beberapa kota
di Indonesia, salah satunya Kota Surabaya. Pemberdayaan
masyarakat dianggap penting dengan tidak melupakan sistem tata
ruang kota yang menyangkut keindahan, kebersihan, dan kerapian
kota.
f. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan
89
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
kecamatan. Mekanisme ini merupakan upaya preventif untuk
mencegah munculnya atau bertambah banyaknya PKL. Dalam hal
ini, peran aparat kelurahan dan kecamatan akan dapat sangat
membantu.
g. Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah
(perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan
PKL. Pihak swasta juga memiliki andil yang cukup besar dalam hal
penentuan lokasi usaha para PKL. Dengan adanya peraturan daerah
yang mengatur tentang peran serta pihak swasta, maka diharapkan
dapat mempermudah penyelesaian masalah PKL yang terjadi.
h. Adanya fungsi preventif, yaitu upaya pemkot untuk mencegah arus
urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya
tampung kota. Urbanisasi merupakan faktor utama yang
menyebabkan timbulnya PKL-PKL liar. Oleh karena itu, arus
urbanisasi sangat perlu untuk dikendalikan.
6.2.2 Ramalan Kondisi di Masa Mendatang/Identifikasi Dampak yang
Ditimbulkan oleh Alternatif Kebijakan yang Ada
Dampak yang akan ditimbulkan adalah sebagai berikut :
1. Dampak bagi PKL
Dengan munculnya peraturan tertentu tersebut yaitu diadakannya
pengaturan, pengawasan dan pembatasan terhadap PKL di Tugu Pahlawan
secara tidak langsung tidak mempengaruhi sumber pendapatan mereka.
Apabila dilakukan relokasi terhadap mereka, pada awalnya akan
mempengaruhi pendapatan mereka namun tentunya hal ini tidak akan
berlangsung berkepanjangan karena memang butuh penyesuaian pada
awalnya.
2. Dampak bagi lingkungan sekitar
Peraturan baru hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada setidaknya
akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya PKL.
Diantaranya adalah perbaikan pengelolaan limbah yang baik agar kesan
90
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
kotor dan kumuh sedikit demi sedikit hilang. Disamping itu, akan dapat
mempertahankan citra Tugu Pahlawan sebagai icon Kota Surabaya yang
mana monumen tersebut melambangkan tonggak sejarah perjuangan
bangsa Indonesia.
3. Dampak bagi pemerintah kota
Pemerintah Kota harus lebih tegas dalam memberlakukan peraturan baru
hasil penyesuaian terhadap kebijakan yang ada untuk mengatur PKL. Juga
diperlukan pengawasan berlangsungnya peraturan baru apakah sudah
berjalan dengan baik atau tidak. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit dalam
pelaksanaan peraturan ini. Pemerintah Kota dalam mendapatkan dana
dapat secara khusus memberlakukan suatu sistem retribusi bagi para PKL
berdasarkan peraturan yang baru. Pemerintah dinilai tidak becus apabila
tidak dapat menyelesaikan masalah ini.
6.3 Memilih Alternatif Kebijakan
Berdasarkan evaluasi alternatif kebijakan yang sudah dilakukan, maka
dapat dipilih beberapa alternatif kebijakan. Alternatif tersebut diantaranya adalah :
a. Kebijakan lainnya yaitu memperbanyak kerjasama antara pedagang
kaki lima dengan pemerintah, dimana hingga saat ini para PKL
selalu menganggap pemerintah sebagai musuh karena
menghilangkan mata pencaharian mereka jika relokasi benar-benar
dilaksanakan.
b. Alternatif kebijakan yang selanjutnya adalah terkait dengan masalah
tata ruang kota, PEMKOT seharusnya memperhatikan karakteristik
lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Baik lokasi maupun pasar
tempat perelokasian PKL hendaknya sesuai dengan karakteristik
PKL tersebut dengan memperhatikan konsep nilai-nilai penataan
ruang antara lain :
Menyangkut Kepentingan semua pihak
Nilai estetika / nilai keindahan
Teori demand-supply
Teori lokasi
Teori sirkulasi ruang
91
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Teori behavior
Teori psikologi manusia
c. Adanya fungsi pembinaan yang dikembangkan pemkot terhadap
kelompok PKL binaan agar tidak hanya sekadar memberikan
bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu
sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.
d. Adanya fungsi pengawasan, yaitu upaya pemkot untuk terus-
menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL
serta bangunan liar di berbagai wilayah kota. Fungsi ini merupakan
kontrol pemerintah untuk mengendalikan keberadaan dan jumlah
PKL.
e. Meyakinkan PKL bahwa relokasi bukanlah bertujuan untuk
membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk membantu
kelangsungan masa depan PKL itu sendiri.
f. Bagi pihak pemerintah sendiri dapat memberlakukan adanya sistem
retribusi resmi yang dikenakan terhadap para PKL sehingga
merupakan pemasukan yang dapat juga membantu membiayai
kegiatan operasional seperti pengawasan-pengawasan.
g. Untuk menghindari pemikiran yang negatif dari para PKL, maka
dibutuhkan sebuah strategi perencanaan yang komperehensif (jangka
panjang) yang pemberdayaan masyarakat dengan tidak mengabaikan
tata ruang kota tersebut.
h. Alternatif berikutnya adalah PEMKOT atau DPRD setempat segera
menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta
swasta dalam upaya penataan PKL.
i. Mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif
melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan
kecamatan sebagai upaya preventif.
Dalam hal ini, pemerintah hendaknya berpegang teguh pada aturan-aturan
dan perundangan yang ada yang berkaitan dengan konsep tata ruang kota dan
dengan konsep kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemerintah harus tegas
dalam menangani masalah ini.
92
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
93
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
Pemantauan dan evaluasi merupakan tindak lanjut dari implementasi
kebijakan yang diterapkan. Pemantauan dan evaluasi ini penting adanya agar suatu
kebijakan tetap konsisten mencapai tujuan, juga untuk memantau apakah
kebijakan tersebut masih relevan dengan kondisi yang ada. Kebijakan PKL dalam
proses implementasinya harus tetap dilakukan upaya-upaya pemantauan dan
evaluasi. Beberapa contoh hal yang dapat menjadi bahan evaluasi, yaitu :
7.1 Pemantauan dan evaluasi terhadap lingkungan
Upaya-upaya yang dilakukan dalam proses evaluasi dan pemantauan
terhadap lingkungan seyogyanya harus dapat memberikan informasi sejauhmana
kebijakan PKL yang diterapkan mempengaruhi kondisi Iingkungan yang ada di
sekitarnya baik itu secara fisik maupun non fisik. Beberapa hal yang berkaitan
dengan fisik misalnya adalah masalah sampah.
Dalam proses evaluasi dan pemantauan nantinya harus dapat dipastikan
bahwa sampah di sekitar lokasi tersebut telah dikelola dengan baik. Diharapkan
nantinya ada upaya-upaya preventif yang cukup untuk menjamin hal tersebut
tidak mengganggu warga masyarakat disekitarnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan non fisik misalnya masalah keamanan.
Dengan berkembangnya lokasi tersebut yang identik dengan pusat keramaian
maka sangat dimungkinkan berimplikasi terhadap peningkatan tindak kejahatan.
Oleh karena itu perlu dievaluasi apakah masalah keamanan di Iingkungan tersebut
tetap terjamin setelah kebijakan relokasi ini dijalankan.
94
BABVII
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
7.2 Pemantauan dan evaluasi terhadap kontribusi financial
Kajian pemantauan dan evaluasi terhadap kontribusi financial dilakukan
terhadap komponen, yaitu pemerintah dan masyarakat sekitar termasuk para PKL
itu sendiri. Apakah hal tersebut turut mendukung peningkatan penerimaan daerah
bagi pemerintah kota & peningkatan keuntungan (surplus/laba) bagi para PKL.
7.3 Pemantauan dan evaluasi terhadap tata ruang kota
Keindahan suatu kota sangat tergantung kepada elemen-elemen dan
keterpaduan elemen-elemen yang ada di sekitamya. Menurut Kevin Lynch (da/am
Zahnd, 1999 : 163) keindahan suatu wajah kota dapat menciptakan pengalaman
yang menyenangkan dengan timbulnya kesan tempat, keadaan baik dan
keamanan. Dengan adanya kebijakan untuk merelokasi para PKL di Tugu
Pahlawan, maka dapat mengembalikan nilai estetika Tugu Pahlawan dalam
hubungannya dengan tata ruang kota Surabaya yang baik. Di samping itu,
kebijakan tersebut dapat mengembalikan dan mempertahankan citra Kota
Pahlawan di mana Monumen Tugu Pahlawan merupakan icon yang
melambangkan tonggak sejarah perjuangan bangsa. Oleh karena itu, akan sangat
bijaksana jika di sekitar kawasan Tugu Pahlawan tidak terdapat PKL, sehingga
dapat tetap terjaga kebersihan dan keindahannya.
95
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
8.1 Kesimpulan
1. Pengambilan Kebijakan untuk menata keberadaan PKL di Tugu
Pahlawan merupakan salah satu upaya alternatif untuk mengatasi
permasalahan ketidak sesuian penataan relokasi PKL, namun melihat
proses pengambilan kebijakan itu sendiri, dikatakan tidak cukup
aspiratif, mengingat para PKL tersebut tidak pernah dilibatkan secara
langsung dalam proses pengambilan kebijakan ini. Walaupun secara
prosedural proses pengambilan kebijakan telah melalui tahapan-tahapan
yang telah ditentukan, termasuk berkonsultasi dan atas persetujuan
DPRD.
2. Ada beberapa alasan yang menyebabkan PKL di sekitar Tugu Pahlawan
untuk tetap berjualan, diantaranya adalah :
a. kurang tegas dalam melaksanakan kebijakan, khususnya Pemerintah
masalah PKL di Tugu Pahlawan. Buktinya sampai saat ini usaha
penertiban PKL tersebut selalu gagal.
b. Para PKL merasa pendapatannya sangat tinggi apabila berjualan di
sepanjang Tugu Pahlawan, hal ini disebabkan karena masih
sedikitnya saingan antar PKL
c. Lokasi Tugu Pahlawan yang strategis sehingga para PKL senang
berjualan di sana.
8.2 Saran
1. Pemerintah harus lebih tegas dan serius dalam melaksanakan kebijakan,
khususnya masalah PKL yang berada di Tugu Pahlawan.
2. Dibutuhkan adanya partisipasi dan kerjasama antara pemerintah kota,
pihak swasta, masyarakat, dan para PKL.
3. Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kebijaksanaan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah kota.
4. Adanya keterlibatan para PKL sebagai masyarakat kecil dalam
96
BABVIII
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
penentuan kebijaksanaan penertiban kawasan Tugu Pahlawan.
5. Adanya sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap para PKL dan
memberikan pengertian kepada mereka tentang pentingnya peletakan
lokasi berdasarkan konsep tata ruang tanpa mengurangi manfaat yang
dapat mereka peroleh.
97
PPWK Perencanaan Wilayah Dan Kota FT
Unibraw
DAFTAR PUSTAKA
Senjahari, Awan, dkk. 2002. Evaluasi Kebijakan Penetapan Lokasi Usaha PKL. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
Suharso, Tunjung W. 2004. Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota. Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
http://air.bappenas.go.id
http://www.bktrn.org
http://www.kompas.com
www.kompas.com
http://digilib.itb.ac.id
www.walhi.com
http://www.surabaya.go.id
http://www.jawapos.co.id
http://www.tempointeraktif.com/
Harian Metropolis tanggal 17 Mei 2007
98