makalah perubahan iklim
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH Perubahan IklimSelasa, 28 Februari 2012
PERUBAHAN IKLIM
BAB PERTAMA
(1)
PENGARUH LAUT DAN IKLIM
1. Pengaruh Laut
Laut dan daratan adalah fluida yang berbeda dalam hal kapasitas menyimpan panas.
Peningkatan suhu air (lautan) berlangsung lebih lambat, tetapi air dapat menyimpan panas lebih
lama dibandingkan dengan daratan. Hal ini terjadi karena air mempunyai panas spesifik yang
tinggi. Panas spesifik adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu 1 gram
air sebesar 1˚C. Angin yang berhembus melewati bentangan permukaan air dapat menghambat
peningkatan atau penurunan suhu udara secara drastis pada wilayah daratan disekitarnya. Oleh
sebab itu, iklim di wilayah kepulauan atau dekat pantai akan lebih sejuk untuk daerah tropis dan
lebih hangat. Lebih lanjut perbedaan menyimpan dan melepaskan panas tersebut akan
berpengaruh terhadap sirkulasi angin dunia yang akhirnya akan mempengaruhi sirkulasi laut.
Dalam beberapa literatur, definisi dasar dari arus laut adalah gerakan massa
air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara
horizontal (gerakan ke samping). Gerakan massa air laut tersebut juga digerakan oleh pengaruh
angin. Angin bergerak dari tekanan udara yang tinggi ke tekanan udara yang lebih rendah. Jadi
bisa didefinisikan bahwa arus laut dipengaruhi oleh angin yang bergerak dari tekanan udara yang
tinggi ke tekanan udara yang lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan arus
laut adalah angin, salinitas, suhu, gravitasi bumi, gerak rotasi bumi, konfigurasi benua, dan
topografi dasar laut.
Laut sejak dulu berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air laut. Sirkulasi laut
adalah pergerakan massa air di laut. Sirkulasi laut di permukaan dibangkitkan oleh stres angin
yang bekerja di permukaan laut dan disebut sebagai sirkulasi laut yang dibangkitkan oleh angin
(wind driven ocean circulation). Selain itu, ada juga sirkulasi yang bukan dibangkitkan oleh
angin yang disebut sebagai sirkulasi termohalin (thermohaline circulation) dan sirkulasi akibat
pasang surut laut. Sirkulasi termohalin dibangkitkan oleh adanya perbedaan densitas air laut.
Istilah termohalin sendiri berasal dari dua kata yaitu thermo yang berarti temperatur dan haline
yang berarti salinitas. Penamaan ini diberikan karena densitas air laut sangat dipengaruhi oleh
temperatur dan salinitas. Sementara itu, sirkulasi laut akibat pasang surut laut disebabkan oleh
adanya perbedaan distribusi tinggi muka laut akibat adanya interaksi bumi, bulan dan matahari.
Sirkulasi di permukaan membawa massa air laut yang hangat dari daerah tropis menuju
ke daerah kutub. Di sepanjang perjalanannya, energi panas yang dibawa oleh massa air yang
hangat tersebut akan dilepaskan ke atmosfer. Di daerah kutub, air menjadi lebih dingin pada saat
musim dingin sehingga terjadi proses sinking (turunnnya massa air dengan densitas yang lebih
besar ke kedalaman). Hal ini terjadi di Samudera Atlantik Utara dan sepanjang Antartika. Air
laut dari kedalaman secara perlahan-lahan akan kembali ke dekat permukaan dan dibawa
kembali ke daerah tropis, sehingga terbentuklah sebuah siklus pergerakan massa air yang disebut
Sabuk Sirkulasi Laut Global (Global Conveyor Belt). Semakin efisien siklus yang terjadi, maka
akan semakin banyak pula energi panas yang ditransfer dan iklim di bumi akan semakin hangat.
Menurut penelitian yang dilakukan di University of Bern dengan menggunakan model
iklim dengan perata-rataan ke arah zonal (zonally averaged climate model),perubahan iklim yang
terjadi saat ini akibat adanya efek gas rumah kaca bisa merubah dan bahkan mematikan sabuk
sirkluasi laut global (Stocker and Schmittner, 1997).
2. Pengaruh Iklim
Secara langsung maupun tidak langsung, angin dan awan di permukaan bumi terkait
dengan matahari. Panas dari matahari memproduksi perbedaan temperatur, yang mengarahkan
pada perbedaan temperatur. Dan angin selalu bergerak dari tekanan tinggi ke rendah.
Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global menggerakkan
energi yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global, dari angin sepoi-sepoi sampai
adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan kecerlangan matahari, memunculkan dugaan
adanya kaitan dengan perubahan iklim. Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim
lebih disebabkan karena peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup
kemungkinan bahwa matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian
khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai
berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan,
disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim,
tahun). Sementara iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer,
antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu
yang panjang (Gibbs,1987).
Kondisi cuaca dan iklim di muka bumi saat ini
terlihat makin bervariasi dan menyimpang
(Sumber : geografiunm.wordpress.com)
Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang
abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen
atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya
sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi
atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang
ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang
iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan keadaan atau
nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai arti penting. Indonesia mempunyai karakteristik khusus,
baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang
spesifik.
BAB KEDUA
(2)
PEMANASAN GLOBAL
(GLOBAL WARMING)
Udara di sekeliling kita semakin panas, bukankah hal itu sudah biasa terjadi di daerah
tropis? Mengapa orang sedunia heboh? Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya
radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh
bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi memanas.
Ilustrasi gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer bumiakan menyerap radiasi gelombang panjang yang memanaskan bumi
(Sumber:4.bp.blogspot.com)
Sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas
tertentu di dalam atmosfer yang disebut Gas Rumah Kaca (GRK), selanjutnya GRK
meradiasikan kembali panas tersebut ke bumi. Mekanisme ini disebut Efek Rumah Kaca
(ERK)di atmosfer juga akan memaksa iklim untuk melalui ambang batas toleransinya, sehingga
apabila hal ini terjadi iklim akan berubah secara drastis dan akan mengubah sistem-sistem
dinamika alam yang sudah ada. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah sebagai
berikut :
1. Sumber Gas Rumah Kaca
a. Uap Air, adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan
bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air
berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi
konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya
temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik
akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air ditroposfer, dengan kelembapan
relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan
meningkatnya ERK; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali
semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan
sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan
sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan
GRK seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak
langsung melalui terbentuknya awan.
b. CO2 (Karbon dioksida), Karbon dioksida adalah gas terbanyak
kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan gunung
berapi, hasil pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup
oksigen dan menghembuskan karbon dioksida) dan pembakaran
material organik seperti tumbuhan. Manusia telah meningkatkan jumlah
karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil,
limbah padat, dan kayu untuk menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada
saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbon dioksida semakin
berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan
lahan pertanian. Karbon dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan
diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Walaupun lautan dan
proses alam lainnya mampu mengurangi karbon dioksida di atmosfer, aktifitas manusia
yang melepaskan karbon dioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam
untuk menguranginya.
c. CH4 (Metan), Metana yang merupakan komponen utama gas
alam juga termasuk GRK. Ia merupakan insulator yang efektif,
mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan
karbondioksida. Metana dilepaskan ke atmosfir selama produksi dan
transportasi batu bara, gas alam dan minyak bumi. Metana juga
dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan
sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan
tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.
d. N2O (Nitrous Oksida), Nitrogen oksida adalah gas insulator
panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran
bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat
menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida, HFCs
(Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur
hexafluoride). GRK lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran
berflourinasi dihasilkan dari peleburan aluminium. HFCs (Hydrofluorocarbons)
terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan
(furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin dibeberapa negara
berkembang masih menggunakan PFCs (Perfluorocarbons) sebagai media pendingin
yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan
yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Para ilmuwan telah lama
mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan.
Perkembangan konsentrasi gas-gas rumah kacadi dalam atmosfer selama 2000 tahun.
(Sumber : IPCC 2007)
Bagaimana gas rumah kaca berperan dalam efek rumah kaca dan
merubah iklim bumi? Mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan sebagai
berikut: "atmosfer," adalah lapisan dari berbagai macam gas yang
menyelimuti bumi, dan merupakan mesin dari sistem iklim secara fisik.
Ketika pancaran/radiasi dari matahari yang berupa sinar tampak atau
gelombang pendek memasuki atmosfer, beberapa bagian dari sinar tersebut
direfleksikan atau dipantulkan kembali oleh awan-awan dan debu-debu yang
terdapat di angkasa, sebagian lainnya diteruskan ke arah permukaan
daratan. Dari radiasi yang langsung menuju ke permukaan daratan sebagian
diserap oleh bumi, tetapi bagian lainnya “dipantulkan” kembali ke angkasa
oleh es, salju, air, dan permukaan-permukaan reflektif bumi lainnya. Proses
pancaran sinar matahari dari angkasa menembus atmosfer sampai menuju
permukaan bumi hingga dapat kita rasakan suhu bumi menjadi hangat
disebut efek rumah kaca (ERK). Tanpa ada ERK di sistem iklim bumi, maka
bumi menjadi tidak layak dihuni karena suhu bumi terlalu rendah (minus).
Dari penjelasan di atas dapat kita mengerti bagaimana mekanisme
terjadinya ERK di bumi. Lalu bagaimana keterkaitan antara ERK, pemanasan
global dan perubahan iklim? Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut
sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan
kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di
atas, sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali
berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar
inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut
tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan
gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan).
Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer)
menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya
energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup
lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah ERK berlebihan karena
komposisi lapisan GRK di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya
suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena
suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh
pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Meskipun pemanasan global hanya merupakan satu bagian dalam fenomena perubahan
iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena
perubahan temperatur akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia.
Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan
akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat
tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang
dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia
secara menyeluruh.
Namun beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan sirkulasi
termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang. Dengan suhu bumi
yang semakin meningkat, GRK yang terus meningkat dan es yang terus mencair, dapat
menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang pada gilirannya mengakibatkan titik bekunya
meningkat. Pada musim dingin permukaan air di Kutub Utara akan membeku dan menghambat
proses pertukaran panas sehingga dapat mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada
gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
2. Gejala Pemanasan Global
Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan hilangnya ciri dari sebuah daratan.
Entah itu naiknya permukaan laut, penggurunan, angin musim yang deras, gletser meleleh atau
pengasaman laut, perubahan iklim dengan cepat akan mengubah daratan planet kita.
Tanda-tanda pemanasan global mungkin sudah terlihat di permukaan bumi. Bukan
hanya di Indonesia, sejumlah hutan di negara-negara lain juga ikut terbakar ludes. Dalam
beberapa dekade ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang
lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang
kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal sehingga salju
meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar. Situs
purbakala cepat rusak akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan
artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. Banjir, suhu yang ekstrim dan
pasang laut menyebabkan itu semua.
Tahun 2010, cuaca ekstrim melanda Eropa dan Australia. Warga bumi mengalami perubahan
cuaca yang tidak biasa. Setelah Asia dilanda hujan terus menerus, sejumlah negara Eropa kini mengalami
musim dingin ekstrim. Badai salju terus turun, dan suhu udara turun drastis. Badan Prakiraan Cuaca
Inggris menilai cuaca dingin ini adalah yang terparah pemanasan global. Dengan iklim yang hangat
membuat udara lebih lembab, yang dapat memicu badai salju yang lebih parah.
Pada tahun yang sama, peristiwa menarik terjadi di Australia. Tak begitu jauh dari garis
katulistiwa, sebagian wilayah di timur Australia mengalami cuaca dingin, bahkan sampai bersalju. Bagi
kalangan publik dan pengamat setempat, perubahan cuaca ini terbilang tak biasa. Sejumlah wilayah di
Australia, seperti di New South Wales dan Victoria, umumnya menikmati musim panas di akhir
tahun dengan suhu sekitar 30 derajat celsius. Namun saat itu, suhu bisa mencapai hampir nol derajat
celcius, dengan hujan salju setebal 10 hingga 30 sentimeter. Menurut ahli cuaca di badan prakiraan cuaca
Australia, cuaca yang tidak biasa ini terjadi akibat udara bertekanan rendah di laut Selatan, yaitu dari
perairan Antartika di Kutub Selatan. Ini menyebabkan cuaca dingin ekstrim yang sedang melanda Eropa
terbawa hingga ke Australia.
Bagaimana nasib Indonesia jika terjadi perubahan iklim? Indonesia akan kehilangan lahan pesisir
dan produksi pangan yang terdapat di daerah dekat pantai terganggu. Hal ini akan terjadi jika pemanasan
global berkelanjutan, sehingga menimbulkan permukaan air laut naik.
Di Indonesia sendiri, tanda-tanda perubahan iklim akibat pemanasan global telah lama terlihat.
Misalnya, sudah beberapa kali ini kita mengalami musim kemarau yang panjang. Tahun 1982-1983, 1987
dan 1991, kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6 juta hektar hutan habis
di Kalimatan Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun 1991 juga menyebabkan 40.000
hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional menurun drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127
juta ton pada tahun 1990. Akibatnya, pemerintah Indonesia yang sudah mencapai swasembada beras sejak
1984, terpaksa mengimpor beras dari India, Thailand dan Korea Selatan seharga Rp 200 miliar.
Ribuan Hektare Sawah di Subang, Jawa Baratmulai mengalami kekeringan pada tahun 2009
(Sumber :wartakota.co.id)
Tahun 2009, Lebih kurang 1.600 hektare sawah di kawasan Pantai Utara (Pantura)
Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar) dilanda kekeringan, dan 11.380 hektare sawah lainnya
terancam kekeringan menyusul musim kemarau panjang yang melanda daerah itu. Kondisi ini
diperparah minimnya pasokan air ke ribuan hektare area pertanian warga.
Kemarau panjang yang mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar diakibatkan oleh
fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31°C sehingga membawa
kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan bahwa siklus kejadian El
Nino berlangsung antara 7 sampai 10 tahun. Jika kita berasumsi bahwa kemarau pada 1982-83
adalah akibat El Nino, maka seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-90.
Namun kita mengalami kemarau panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian. Setelah itu,
kemarau panjang kembali terjadi pada 1991, atau empat tahun setelah kemarau 1987.
Selain itu, pada akhir 2004, terjadi gempa bumi dahsyat di Samudra Hindia, lepas pantai
barat Aceh. Gempa yang berkekuatan 9,3 menurut skala Richter merupakan gempa bumi
terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini sehingga mengakibatkan tsunami setinggi 9
meter. Lalu tahun 2011, hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia lebih deras dari
tahun-tahun yang lalu. Bahkan di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
wilayah Indonesia lainnya mengalami musim hujan bersifat di atas normal. Berdasarkan
pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika, diketahui bahwa musim hujan 2011 sebesar 37,3
persen daerah mengalami curah hujan di atas normal.
Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu La Nina.
La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan samudera Pasifik yang membawa angin
serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina yang terjadi
menyebabkan curah hujan tinggi disertai angin topan. Apakah kemarau panjang dan curah hujan
di atas normal yang makin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau merupakan akibat
pemanasan global? Hal ini memang belum dapat dipastikan. Namun, jika pemanasan global
benar-benar terjadi, maka yang akan kita alami adalah kemarau panjang dan curah hujan di atas
normal dalam skala yang lebih besar dan lebih luas sehingga dapat menimbulkan kerugian yang
semakin besar.
Tanda-tanda perubahan iklim juga terlihat pada kondisi beberapa pulau di Kalimantan
Timur, khususnya di pulau Tarakan. Udara yang semakin panas serta sulitnya mendapatkan air
bersih dirasakan oleh seluruh penduduk Tarakan yang mayoritas bermukim di kawasan pesisir.
Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung di Tarakan sudah melebihi dari 30 persen yang
diprogramkan pemerintah kota. Namun hal tersebut baru sebatas luas kawasannya, bukan pada
keberadaan hutannya. Kawasan hutan pantai juga sudah mulai hilang perlahan dan digantikan
sebagai lahan aktifitas manusia sehingga ikut menyebabkan perubahan iklim. Berdasarkan hasil
penelitian organisasi Tim Peduli Lingkungan Tarakan, pada tahun 2000-2005 lalu, tercatat 100
hektare hutan mangrove terdegradasi dan yang tersisa saat ini hanya 670 hektare dari
sebelumnya seluas 1.250 hektare hutan mangrove. Selain itu, abrasi di bibir pantai kota Tarakan
juga sudah terlihat dalam beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan pantauan Tim Peduli
Lingkungan sejak 2007 lalu, abrasi tiap tahun mencapai antara 3 hingga 5 meter, salah satunya di
Pantai Amal baru, kelurahan Pantai Amal. Dari data yang ada, dapat digambarkan bahwa kondisi
hutan mangrove di pesisir pantai kota Tarakan sedang mengalami tekanan yang hebat oleh
berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan hilangnya hutan mangrove dalam jumlah besar.
Hal ini tentu dapat menimbulkan kerugian jika tidak diatasi secepatnya. Mengingat hutan
mangrove merupakan pelindung pantai dari terjadinya abrasi, selain itu sumber ekonomi bagi
masyarakat sekitar karena merupakan tempat perkembangbiakan ikan dan udang serta biota laut
lainnya. Hutan mangrove mengandung zat hara yang dibutuhkan mahluk hidup serta merupakan
tempat berlindung dan asuhan fauna. Banyak bencana dan kerugian yang terjadi akibat
rusak/hilangnya hutan mangrove, seperti abrasi pantai, intrusi air laut, banjir, hancurnya
pemukiman penduduk diterpa badai laut, hilangnya sumber perikanan alami, dan hilangnya
kemampuan dalam meredam emisi gas rumah kaca.
Foto Abrasi di pantai amal (................................)
3. Bencana Besar Akibat Pemanasan Global
Selama 13 tahun terakhir, dua belas tahun diantaranya tercatat sebagai tahun-tahun terpanas.
Dengan akumulasi GRK yang terus berlangsung seperti saat ini, pada dua sampai tiga dekade mendatang
peningkatan pemanasan global akan melampaui perhitungan yang telah ada selama ini. Sebuah panel
internasional para ahli yang tergabung dalam Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC)
memperkirakan bahwa pada tahun 2050 temperatur global akan naik 2-3 derajat celcius. Peningkatan
temperature itu akan menimbulkan bencana besar yakni :
a. Mencairnya es di kutub Utara dan Selatan
Kutub Utara berada di atas es yang lebih kecil dan lebih tipis dibandingkan dengan
sebelumnya, sementara es tua yang kuat mulai digantikan es muda yang cepat mencair.
Demikian dikatakan beberapa peneliti di NASA dan National Snow and Ice Data Center di
Colorado. Menurut para peneliti tersebut, maksimum es laut Artik pada musim dingin ini
bertambah 15 juta dan 150.000 kilometer persegi, sekitar 720.000 kilometer persegi lebih kecil
dibandingkan dengan rata-rata wilayah Kutub Utara antara tahun 1979 dan 2000. Pada musim
dingin normal, es seringkali memiliki ketebalan tiga meter atau lebih, Namun, pada tahun 2010,
ketebalan lapisan es hampir-hampir tak dapat menembus sasaran yang tepat. Jumlah es laut tebal
mencapai tingkat rendah pada musim dingin dengan luas 680.400 kilometer persegi sehingga
turun 43 persen dari tahun sebelumnya.
Bila suhu bumi meningkat hingga 30ºC, diramalkan sebagian belahan bumi akan tenggelam,
karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah kutub. Sebagai contoh di
negaraVenesia pernah mengalami banjir parah pada bulan November 2009, ketika tingkat air mencapai
131 cm. Venesia telah lama tenggelam, tapi naiknya permukaan air laut telah membuat situasi lebih
mengerikan.Frekuensi banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak pertanyaan berapa lama lagi
Venesia bisa tinggal di atas air.
Foto Australia : Bukti nyata dampak daripemanasan global, bongkahan es raksasa menuju laut Selandia Baru
(Sumber : id. stanto.net)
b. Meningkatnya level permukaan laut (sea level rise)
Mencairnya es di kutub Utara dan kutub Selatan berdampak langsung pada naiknya level
permukaan air laut. Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan
air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan
meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau
Greenland (di sebelah Utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian
tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama
abad ke-20. Para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad
ke-21 sekitar 9 - 88 cm.
Grafik perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur daridaerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
(Sumber : id.wikipedia.org)
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir
juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang
akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup
mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Negara-
negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari
daerah pantai.
Indonesia, Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara
yang paling terancam tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia
sudah hilang tenggelam. Ini disebabkan mencairnya permukaan gletser di
kutub yang membuat volume air laut meningkat drastis. Satu lagi pulau
Indonesia terancam tenggelam yang di beritakan beberapa media pada April
2010. Setelah diketahui 13 pulau hilang sejak terjadi tsunami pada 1907 di periran Kabupaten
Simueulu hingga tsunami 2005 di Nias, Sumatra Utara, sekarang di-informasikan ada satu pulau
lagi mulai timbul tenggelam di permukaan laut yakni pulau Gosong Kasih. Kondisi Pulau
Gosong Kasih sekarang sering timbul tenggelam. Ketika terjadi pasang, daratan itu tenggelam
oleh air laut, sedangkan saat sedang surut tampak kembali ke atas permukaan perairan Samudera
Hindia. Daratannya tidak hilang tapi sering tenggelam karena permukaan air laut naik. Hal ini
tidak lain akibat dari efek pemanasan global atau pengaruh gempa bumi yang sering terjadi di
perairan barat selatan Aceh. Oleh karena itu, pemukaan air semakin naik atau struktur daratan
pulau turun dari posisi semula.
c. Perubahan Iklim/cuaca yang semakin ekstrim
Pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi.
Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu
tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan
dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat. Kita tentu menyadari betapa panasnya suhu
di sekitar kita belakangan ini dan dapat melihat betapa tidak dapat diprediksinya kedatangan
musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam
yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan. Ladang tani, perkebunan
yang biasanya menghasilkan akan musnah oleh banjir atau kekeringan. Penduduk akan di buat
makin menderita karena stok bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya akan jauh berkurang
dan harganya pasti akan melambung naik. Pemerintah juga membutuhkan biaya yang banyak
untuk membangun kembali wilayah yang terkena bencana dan menanggulangi penyakit yang
mewabah. Afrika, India, dan daerah-daerah kering lainnya bakal menderita kekeringan lebih
parah. Air akan makin sulit di dapat dan tanah tak bisa ditanami apa-apa lagi, hingga suplai
makanan berkurang drastis. Ilmuwan memperkirakan hasil tani negara-negara Afrika akan
menurun 50 persen di tahun 2020 , dan tingkat kekeringan di dunia meningkat 66 persen . Tak
terbayang kalau kekeringan ini sampai terjadi di bumi ini.
Kita juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah melanda
wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Tahun-tahun belakangan ini kita makin sering dilanda
badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik via laut maupun udara.
Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini. Cuaca
ekstrim di Indonesia terbagi atas beberapa bagian, yaitu curah hujan yang tinggi (disertai petir
dan angin kencang), naiknya gelombang air laut, terbatasnya jarak pandang, kecepatan angin
kencang di atas rata-rata, adanya puting beliung, dan lain-lain. Efek yang paling dirasakan oleh
Indonesia dari cuaca ekstrim adalah tingginya tingkat curah hujan, yang mengakibatkan
timbulnya banjir di daerah-daerah tertentu.
Tornado dan Hurricane adalah sesuatu yang mengerikandan bisa menghancurkan bukan saja rumah tetapi juga seluruh kota
(Sumber : rockypanjaitan.blogspot.com)
d. Gelombang panas menjadi semakin ganas
Pemanasan global mengakibatkan gelombang panas menjadi semakin sering terjadi dan
semakin kuat. Pada tahun 2003, daerah Eropa Selatan pernah mendapat serangan gelombang
panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban
terbanyak dari Perancis (14.802 jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak
karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena gelombang panas
sebesar itu. Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan panen
merata di daerah Eropa. Mungkin kita tidak mengalami gelombang-gelombang panas maha
dahsyat seperti yang dialami oleh Eropa dan Amerika Serikat, tetapi melalui pengamatan dan
dari apa yang kita rasakan sehari-hari betapa panasnya suhu di sekitar kita.
Kenaikan suhu rata-rata bumi selama 157 tahun terakhir(Sumber : id.wikipedia.org)
Sebanyak 30 persen mahkluk hidup yang ada sekarang bakal musnah tahun 2050 kalau
temperatur bumi terus naik. Spesies yang punah ini kebanyakan yang habitatnya di tempat
dingin. Hewan-hewan laut diperkirakan banyak yang tak bisa bertahan setelah suhu air laut jadi
menghangat. Kalau tumbuhan dan hewan makin berkurang, jelas manusia akhirnya terancam
karena kekurangan bahan makanan.
e. Menipisnya Gletser- sumber air bersih dunia
Gletser adalah daratan yang terbuat dari es. Gletser bakal ikut meleleh dan menciut
seiring dengan bertambahnya suhu bumi. Suhu bumi meningkat karena tingginya emisi gas
rumah kaca di atmosfer. Selama tahun 1990- 2005 saja suhu bumi naik 0,15 - 0,3 derajat
celcius. Gletser Himalaya yang memasok air ke sungai Gangga sekaligus menyediakan irigasi
dan suplai air minum untuk 500 juta penduduk,menyusut 37 meter pertahun.Gletser di kutub
semakin cepat mencair hingga membuat permukaan air laut di bumi naik. Mencairnya gletser-
gletser dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan pada jangka panjang akan turut
menyumbang peningkatan level air laut dunia. Dan sayangnya itulah yang terjadi saat ini.
Gletser-gletser dunia saat ini mencair hingga titik yang mengkhawatirkan.
Sebuah keindahan yang tak tersentuh, Patagonia, Amerika Selatanbisa secara dramatis diubah oleh perubahan iklim.
(Sumber : www.dunia-unik.info)
f. Perubahan Lingkungan Picu Munculnya Konflik
Negara yang kekurangan air dan bahan pangan kemungkinan besar akan mengalami
panik dan berubah jadi agresif. Lalu bukan tak mungkin mereka berusaha saling merebut lahan
yang belum rusak.
Tony Karbo, Ph.D., program officer for UPEACE, mengatakan perubahan lingkungan
dapat memicu munculnya konflik yang mengarah pada kekerasan. Perubahan tersebut timbul
sebagai dampak eksploitasi sumber daya alam yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan
dan kerusakan lingkungan hidup. terdapat beberapa jenis perubahan lingkungan yang berpotensi
melahirkan konflik. Perubahan lingkungan yang dimaksud, antara lain, perubahan iklim akibat
efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon dan ketersediaan air bersih, serta menurunnya kualitas
tanah pertanian akibat sistem konversi tanah. kelangkaan sumber daya alam mendorong migrasi
secara besar-besaran. Adanya perpindahan penduduk berdampak pada berkurangnya
produktivitas ekonomi yang melemahkan suatu wilayah. Pada akhirnya, hal tersebut akan
melahirkan konflik antar-etnis dan berbagai bentuk kekerasan ekonomi.
BAB KETIGA(3)
KONTRIBUSI MANUSIA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN LINGKUNGAN
Perubahan iklim pada hakikatnya adalah sebuah keniscayaan. Iklim bumi bersifat
dinamis dan senantiasa berubah melalui siklus alamiah. Perubahan ini dapat dideteksi dan
diteliti oleh para pakar melalui bukti-bukti ilmiah yang tersimpan dalam lingkaran-lingkaran
kambium pohon, inti lapisan es dan endapan lautan. Nyata sekali bahwa perubahan iklim
dewasa ini nampak memiliki sebuah kecenderungan yang bersifat konstan, yakni meningkatnya
temperatur global.
Pada Februari 2007, IPCC mengumumkan temuannya yang menyatakan secara konklusif
bahwa:
Pemanasan global sedang terjadi
Peningkatan temperatur global adalah dampak dari aktifitas manusia
Dengan tren yang ada sekarang, temperatur yang bersifat ekstrem, gelombang panas, dan hujan
lebat akan terus mengalami peningkatan frekuensi. Temperatur bumi dan lautan akan terus
meningkat dalam milennium selanjutnya.
Mengapa aktifitas manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim? Jawabannya
terletak pada efek gas rumah kaca (GERK). Aktifitas atau kegiatan manusia yang menjadi
sumber meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai
berikut:
1. Peternakan
Kegiatan peternakan, seperti: pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak
lainnya. Kegiatan peternakan memberi sumbangan pemanasan global sekitar 18%. Dalam
laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options
(Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi
gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah
kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan
meliputi 9 % karbon dioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72 kali lebih kuat dari
CO2), 65 % nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64% amonia
penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di Bumi
dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Peternakan
juga penyebab dari 80% penggundulan Hutan Amazon. Sedangkan laporan yang baru saja
dirilis World Watch Institut menyatakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya
51 % dari pemanasan global.
2. Pembangkit Energi
Sektor energi merupakan sumber penting gas rumah kaca, khususnya karena energi
dihasilkan dari bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, di mana batu bara banyak
digunakan untuk menghasilkan listrik. Sumbangan sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca
mencapai 25,9%.
3. Transportasi
Asap kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil pada kegiatan transportasi
seperti: mobil, sepeda motor, truk-truk besar, pesawat terbang, dan semua sarana transportasi
lainnya. Sumbangan seluruh sektor transportasi terhadap emisi GRK mencapai 13,1%.
Sumbangan terbesar terhadap perubahan iklim berasal dari transportasi darat (79,5%), disusul
kemudian oleh transportasi udara (13%), transportasi laut (7%), dan terakhir kereta api (0,5%).
4. Industri
Gas buangan industri, penggunaan bahan bakar fosil memberikan sumbangan terhadap
emisi gas rumah kaca mencapai 19,4%. Sebagian besar sumbangan kegiatan industri berasal dari
penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik atau dari produksi C02secara langsung
sebagai bagian dari pemrosesannya, misalnya saja dalam produksi semen. Hampir semua emisi
gas rumah kaca dari sektor ini berasal dari industri besi, baja, kimia, pupuk, semen, kaca dan
keramik, serta kertas.
5. Alih Fungsi Hutan
Penebangan hutan yang menyebabkan penyerapan CO2 oleh tumbuhan
berkurang ,karena CO2 adalah bahan baku dalam proses fotosintesis (illegal logging, pabrik
kertas, furniture berbahan dasar kayu, ekspor kayu, dsbnya). Kebakaran hutan, selain memiliki
dampak yang sama dengan penebangan hutan, pembakaran hutan juga melepaskan CO2 hasil
pembakaran (pembukaan lahan baru, pembukaan lahan pertanian, dsbnya). Alih fungsi lahan
hutan akibat penebangan ataupun kebakaran tersebut menjadi penyumbangan emisi GRK sebesar
17.4%.
6. Kegiatan Pertanian
Kegiatan pertanian memberi sumbangan terhadap emisi gas rumah kaca sebesar 13,5%.
Sumber emisi gas rumah kaca pertama-tama berasal dari pengerjaan tanah dan pembukaan hutan.
Selanjutnya, berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk pembuatan pupuk dan zat kimia
lain. Penggunaan mesin dalam pembajakan, penyemaian, penyemprotan, dan pemanenan
menyumbang banyak gas rumah kaca. Yang terakhir, emisi GRK berasal dari pengangkutan hasil
panen dari lahan pertanian ke pasar.
7. Hunian dan Bangunan Komersial
Hunian dan bangunan bertanggung jawab sebesar 7,9%. Namun, bila dipandang dari
penggunaan energi, maka hunian dan bangunan komersial bisa menjadi sumber emisi gas rumah
kaca yang besar. Misalnya saja dalam penggunaan listrik untuk menghangatkan dan
mendinginkan ruangan, pencahayaan, penggunaan alat-alat rumah tangga, maka sumbangan
sektor hunian dan bangunan bisa mencapai 30%. Konstruksi bangunan juga mempengaruhi
tingkat emisi GRK. Sebagai contohnya, semen, menyumbang 5% emisi GRK.
8. Sampah
Limbah sampah menyumbang 3,6% emisi gas rumah kaca. Sampah yang dimaksud bisa
berasal dari sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (2%) atau dari air limbah
atau jenis limbah lainnya (1,6%). Gas rumah kaca yang berperan terutama adalah metana, yang
berasal dari proses pembusukan sampah tersebut.
Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab
utama terjadinya perubahan iklim secara global. Revolusi Industri di abad 19 memulai
penggunaan bahan bakar secara besar-besaran untuk aktivitas industri. Industri-industri tersebut
menciptakan lapangan pekerjaan dan memicu relokasi penduduk dari desa ke kota. Tren ini
bahkan berlanjut sampai sekarang. Lahan yang tadinya hijau terus diratakan untuk menyediakan
tanah bagi perumahan. Sumber daya alam yang ada terus digunakan secara intensif untuk
kebutuhan konstruksi, industri, transportasi dan konsumsi. Hutan yang semakin rusak, baik
karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga menambah jumlah GRK yang dilepaskan ke
atmosfer secara signifikan serta fungsi hutan sebagai penyerap emisi GRK.
Selain itu pertanian dan peternakan serta sampah yang mengalami peningkatan debit
volume berlipat ganda sangat berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4)
yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas
karbondioksida (CO2).
Populasi asap kendaraandan industri serta kebakaran hutan
(Sumber : distanak. Bulelengkap.go.id)
Seluruh hal di atas berujung di satu hal yakni meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca di atmosfer bumi. Mereka disebut demikian karena efek yang ditimbulkan menyerupai
lapisan kaca dari sebuah rumah kaca. Matahari tetap leluasa memancarkan radiasi ke bumi,
namun pantulan radiasi tersebut oleh permukaan bumi terperangkap oleh gas-gas rumah kaca
tadi. Selanjutnya, lapisan bawah atmosfer bumi secara lambat tapi pasti, mengalami peningkatan
temperatur.
Sejatinya, efek rumah kaca seperti ini adalah sebuah proses alamiah yang penting demi
memungkinkan kehidupan di atas bumi. Tanpanya, bumi akan menjadi sebuah tempat yang tak
mungkin ditinggali oleh sebagian besar makhluk hidup yang ada sekarang. Masalahnya terletak
pada manusia yang menyebabkan peningkatan pemanasan global melalui emisi GRK ke
atmosfer bumi. Inilah yang mengubah keseimbangan alami efek rumah kaca. Semakin banyak
gas rumah kaca yang diproduksi, semakin banyak radiasi matahari yang “terperangkap” di
lapisan atmosfer kita. Fenomena inilah yang sekarang sedang terjadi yaitu pemanasan global
pada lapisan bawah atmosfer karena terus meningkatnya akumulasi emisi gas rumah kaca.
BAB KEEMPAT(4)
POTENSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak
terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah
terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es
dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian
massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Berikui ini dampak-dampak perubahan iklim
terhadap berbagai segi kehidupan :
1. Dampak Terhadap Kenaikan Muka Air Laut
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut.
Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu
karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan
udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut ini juga
akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur,
apabila suhu air laut naik 1,5 L C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu
karang dan 50 % biota laut. Di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan
rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk
menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Kenaikan muka air laut secara umum akan
mengakibatkan dampak sebagai berikut :
a. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh
terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara
curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah
akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan
intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade
mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan
dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai
2 juta mil persegi. Sebagai contoh, di wilayah kota Tarakan khususnya di Sebengkok,
Karang Anyar, Karang Balik sering mengalami banjir apabila memasuki musim hujan yang
sangat tinggi. Air rata-rata mencapai ketinggian antara 30 sampai 50 cm mengakibatkan
lumpuhnya sistem transportasi dan mengganggu rutinitas warga.
Foto Banjir (file foto banjir)………….
b. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove
Foto Mangrove (File foto mangrove)………….
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada
wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang
pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan
mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982)
menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila
keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka abrasi pantai
akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran
dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan
zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
c. Meluasnya intrusi air laut
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan
muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan
air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode
antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas
wilayah Jakarta Utara.
d. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi
diantaranya adalah gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di
Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; genangan terhadap permukiman
penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa,
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat
Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; hilangnya lahan-lahan budidaya
seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau
setara dengan US$ 11,307 juta; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’
apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang
hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan penurunan
produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang
yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
e. Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil
Perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan permukaan air laut akan dapat memberikan
dampak negative terhadap ekosistem pulau-pulau kecil, dimana ekosistem pulau-pulau kecil
akan menjadi rusak, sehingga akan mempengaruhi kehidupan manusia yang tinggal di pulau-
pulau kecil tersebut. Terutama yang topografinya datar (low-lying island) yang memiliki
ketinggian rata-rata satu meter di atas permukaan laut akan menjadi sangat rentan, sehingga
dapat tenggelam atau hilang secara fisik.
2. Dampak Terhadap Kesehatan
Perubahan iklim tak hanya memicu terjadinya berbagai bencana alam, tetapi juga
melahirkan gangguan kesehatan terhadap penghuni bumi. Dampak-dampak kesehatan yang
timbul akibat perubahan iklim antara lain dampak tidak langsung pada penyakit penyebaran
vektor, cuaca ekstrim, dan dampak langsung pada kesehatan. Dampak tidak langsung pada
penyakit penyebaran vektor bisa dilihat dari penyebaran penyakit malaria yang berubah
bionomiknya. Dampak yang diakibatkan oleh cuaca ekstrim misalnya banjir membawa
lepstospirosis, kholera, dysentri, typhoid fever, menyebarnya spora anthrax, diare, typhoid dan
air laut pasang (rob) membawa Hanta virus, leptospirosis, kholera (zooplankton, phytoplankton).
Sedangkan dampak langsung pemanasan global bagi kesehatan manusia adalah kanker kulit yang
diakibatkan oleh peningkatan ultraviolet. Dr Smith dan para ilmuwan menemukan bahwa pada
tahun 2000 ada sekitar 150.000 kematian prematur di seluruh dunia karena perubahan iklim.
Pada gambar di atas, kita dapat melihat bagaimana pemanasan global akan
mempengaruhi perubahan lingkungan seperti perubahan cuaca dan lautan, pergeseran ekosistem
dan degradasi lingkungan.
Perubahan cuaca dan lautan dapat berupa peningkatan temperatur secara global
(panas) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
panas (heat stroke) dan kematian, terutama pada orang tua, anak-anak dan penyakit kronis.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan
dan malnutrisi. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke
tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air
(Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kita ambil contoh meningkatnya kejadian Demam Berdarah.
Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan berkembang biak
pada daerah panas. Hal itulah yang menyebabkan penyakit ini banyak berkembang di daerah
perkotaan yang panas dibandingkan dengan daerah pegunungan yang dingin. Namun dengan
terjadinya Global Warming, dimana terjadi pemanasan secara global, maka daerah pegunungan
pun mulai meningkat suhunya sehingga memberikan ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini
berkembang biak.
Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi
udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap
penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung
dan paru kronis, dan lain-lain.
Selain itu, kebakaran hutan juga menghasilkan kualitas udara yang buruk dan
menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Peristiwa kebakaran hutan tahun 1997
mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM10).
Penyakit yang timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).
Diduga kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan
kemandulan bagi wanita (Tempo, 27 Juni 1999).
3. Dampak Terhadap Pertanian
Perubahan iklim mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang
sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap
unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, serta naiknya permukaan air laut
akibat pencairan gunung es di kutub utara.
Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim.
Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik
secara langsung maupun tak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi
dan lain-lain. Tak menentunya iklim berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia,
akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia mengimpor sebesar
600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang diimpor lebih dari satu juta ton (KLH,
1998).
Selain itu, perubahan iklim yang berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam
periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi
menurun karena sawah terendam air. Data dari Departemen Pertanian (2003) menunjukkan
bahwa sawah yang dilanda banjir mencapai sekitar 42 ribu hektar. Dari lahan seluas itu, lahan
puso (gagal panen) mencapai sekitar 7 ribu hektar. Tingginya curah hujan juga mengakibatkan
hilangnya lahan karena erosi tanah, akibatnya kerugian yang diderita oleh sektor pertanian
mencapai sebesar US$ 6 milyar pertahun (ADB, 1994). Dalam data Dinas Pertanian Cirebon
tercatat sekitar 143 ribu hektar lahan mengalami terlambat tanam pada bulan Desember dan
Januari (KLH, 1998). Akibatnya dana simpanan milik petani seharusnya untuk modal tanam
digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada saat musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi
memiliki modal. Akibatnya petani akan mengalami penurunan pendapatan bahkan terjerat
hutang. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah longsor, akibatnya hasil dari tanaman
dataran tinggi akan menurun.
Perubahan iklim tak hanya menyebabkan banjir tetapi juga kekeringan. Sebagaimana
halnya banjir, kekeringan membawa kerugian yang serupa pada sektor pertanian. Dari Wonogiri,
Jawa Tengah (2003), dikabarkan bahwa sawah yang mengalami kekeringan pada musim
kemarau seluas 21.705 hektar hingga petani mengalami kerugian sebesar Rp 15 milyar lebih.
Sementara tanaman lain yang mengalami kekeringan adalah kacang tanah, yaitu seluas 11.755
hektar, dimana 2.164 hektar diantaranya puso (Kompas, 4 Juli 2003). Ditambah dengan
peristiwa El Nino dan La Nina kondisi ketersediaan pangan di Indonesia akan semakin buruk.
4. Dampak Terhadap Kehutanan
Diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di
dalam hutan sebagai akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam punah karena tak
mampu beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan akan berkembang tak terkendali
(KLH, 1998). Kebakaran hutan bersumber pada tiga hal, yaitu kesengajaan manusia, kelalaian
manusia dan karena faktor alam. Kebakaran hutan yang kita bahas pada bagian ini adalah yang
disebabkan oleh faktor alam.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam, umumnya disebabkan oleh
terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi
dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah
terbakarnya ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini
menyebabkan kebakaran hutan dapat terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian
hektar luasan hutan dan berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya.
Singkat kata, peningkatan suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena
itu perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan
potensi kebakaran hutan.
Selain hilangnya sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan
hilangnya berbagai keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Belum lagi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan bagi masyarakat setempat.
Menurut Forest Destruction, Climate Change and Palm Oil Expansion in Indonesia
2008, Indonesia menduduki urutan ketiga dunia sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca
dunia, setelah Cina dan Amerika Serikat. Penyebabnya diperkirakan hilangnya 2 juta hektare
lahan hutan di Indonesia setiap tahun, baik karena kebakaran maupun penebangan liar,
khususnya hutan di lahan gambut di Kalimantan.
Penebangan hutan yang liar di Kalimantan mengakibatkan Indonesiasemakin hari semakin kekurangan oksigen dan pada akhirnya
berdampak pada bocornya lapisan ozon tepat di atas negara kita.(Sumber : travel.mongabay.com)
Aktivitas penebangan dan kebakaran hutan di Asia Tenggara diperkirakan menyumbang
2 miliar ton karbon dioksida (CO2) ke udara. Nilai ini setara dengan 8 persen emisi global yang
berasal dari ba-han bakar fosil. Dan sekitar 90 persen emisi CO2 dari hutan gambut di Asia
Tenggara disumbangkan oleh Indonesia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyatakan,
sepanjang 2003-2008, total sumber emisi karbon dioksida di Indonesia setara dengan 638,975
gigaton.
5. Dampak Terhadap Sumber Daya Air
Air bukan komoditas yang bisa diciptakan manusia. Dengan teknologi manusia hanya
mampu mengendalikan jumlah, kualitas, dan arah alirannya. Air hujan yang jatuh ke permukaan
bumi dapat diubah oleh manusia menjadi bahan baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup
dan penghidupan yang sehat dan produktif. Jumlah air tawar di alam ini relatif tetap tetapi
rentang waktu ketersediaannya cenderung semakin tidak menentu baik karena ekosistem sumber
daya air yang telah rusak parah dan faktor-faktor lokal lainnya maupun karena pengaruh
perubahan iklim global. Perubahan iklim dan cuaca ini juga mempengaruhi variabel utama siklus
Hidrologi yakni terutama curah hujan. Setelah sampai di permukaan tanah, air rentang waktu
ketersediaannya cenderung semakin tidak menentu baik karena ekosistem sumber daya air yang
telah rusak parah dan faktor-faktor lokal lainnya maupun karena pengaruh perubahan iklim
global.
Kenaikan suhu hingga 1ºC akan mengurangi persediaan air dan meningkatkan
kekeringan di beberapa wilayah ekuator. Kenaikan suhu di atas 1ºC akan menimbulkan banjir,
kekeringan, erosi, dan kualitas air yang semakin menurun. Naiknya air laut akan memperluas
pengasinan air tanah sehingga menurunkan persediaan air tawar bagi daerah-daerah di pesisir
pantai. Ratusan juta orang akan menghadapi kekurangan air.
Para ahli memprediksi Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada tahun
2025. Diperkirakan Indonesia memiliki total volume air sebesar 308 juta meter kubik.
Berdasarkan data tersebut Indonesia merupakan negara yang kaya akan ketersediaan air. Namun,
sangat disayangkan potensi ketersediaan air bersih dari tahun ke tahun cenderung menurun
akibat pencemaran lingkungan dan kerusakan daerah tangkapan air. Kondisi diperburuk dengan
perubahan iklim yang mulai terasa dampaknya sehingga membuat Indonesia mengalami banjir
pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Padahal di lain pihak
kecenderungan konsumsi air bersih justru naik secara eksponensial seiring
pertambahanpenduduk.
Seorang warga mengangkat air bersih yang diambil dari sambungan air pipa swadaya masyarakat di Kampung Nelayan Paotere, Makassar (22/3/2011). Terbatasnya saluran air pipa di daerah tersebut menyulitkan warga setempat
untuk memperoleh air bersih(Sumber : antaranews.com)
Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah
subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di
daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga
daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya.
6. Dampak Terhadap Kawasan Pesisir
Dampak dari kenaikan muka air laut dan perubahan iklim akan mempengaruhi sektor
yang sangat luas di wilayah pesisir. Sektor dan daerah yang terkena tekanan berat tersebut
umumnya merupakan sistem alami maupun sistem buatan manusia (man-made). Sistem alami
meliputi berbagai bentuk lahan dan ekosistem, seperti pantai berpasir, pantai berbatu,
tebing(cliffs), dataran pasang surut, terumbu karang, dan lahan basah termasuk mangrove.
Sistem alami ini akan merespon pemunculan kenaikan permukaan air laut dan perubahan iklim
secara alami, di mana suatu sistem rusak atau bahkan pada kondisi terburuk akan lenyap. Pada
sistem buatan manusia, kota-kota besar terletak di wilayah pesisir dan biasanya kepadatan
penduduk di daerah pesisir ini lebih tinggi daripada di daerah hulu.
7. Dampak Terhadap Spesies dan Kawasan Alami
Perubahan Iklim membahayakan kelangsungan spesies wilayah tropis. Penelitian telah
menunjukkan bahwa 30 spesies reptil dan amfibi berpindah menuju tempat yang lebih tinggi ke
ekosistem yang lebih dingin. Ahli Biologi Christopher Raxworthy dari Museum Amerika untuk
Sejarah Alam mengatakan bahwa pada akhirnya tidak ada lahan yang lebih tinggi yang tersedia.
Dua spesies katak dan tokek sekarang berada dalam bahaya kepunahan. Perubahan iklim ini
mengakibatkan terjadinya migrasi hewan. Akibat perubahan iklim ikan hiu pun terancam
punah.Studi baru-baru ini yang dimuat dalam jurnal Pelestarian Biologi menyatakan bahwa
populasi dari banyak spesies ikan hiu yang berkurang dengan cepat membuat para ilmuwan
prihatin tentang dampaknya terhadap ekosistem laut secara keseluruhan. Kelompok-kelompok
pelestarian menyerukan agar dilakukan langkah-langkah global untuk melindungi ikan hiu itu,
bahkan beberapa jenis hampir lenyap sama sekali.
Ikan hiu terancam punahAkibat dari pemanasan global
(Sumber :news.bbc.co.uk)
Tak hanya ikan hiu, Spesies Anjing Laut Pertama Kali Dideklarasikan Punah Akibat
dari Kegiatan Manusia. Setelah tidak terlihat selama lebih dari 50 tahun, anjing laut di Karibia
atau India Barat sekarang dinyatakan punah. Anjing laut subtropis yang pernah ditemukan secara
berlimpah di Laut Karibia, Teluk Meksiko, dan sebelah barat Samudera Atlantik, pada dasarnya
diburu sampai punah. Dua spesies berhubungan lainnya, anjing laut Mediteranian dan Hawai
baru-baru ini terdaftar sebagai satwa yang terancam punah, dengan perlindungan intensif yang
diperlukan untuk menghindari kepunahan mereka juga.
Pemutihan terumbu karang menyebabkan punahnya berbagai jenisikan karang yang bernilai ekonomi tinggi
(Sumber : indosmarin.com)
Naiknya Kandungan CO2 di Atmosfer Mengganggu Kehidupan Laut. Para ilmuwan dari
Universitas Plymouth di Inggris melakukan evaluasi dampak karbon dioksida yang diserap laut melalui
sebuah studi di lubang CO2 alamiah yang ditemukan di Laut Mediterania. Studi tersebut menunjukkan
bahwa di dekat lubang dasar laut ini, CO2 membuat air menjadi lebih asam dan mengakibatkan hilangnya
keanekaragaman laut dalam perbandingan yang sama dengan pengasaman. Karena berkurangnya kalsium
di air yang asam, kerangka keong menjadi hancur dan terumbu karang tidak dapat terbentuk, pemutihan
karang juga menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya,
ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lain-lain) karena tak ada lagi terumbu karang yang layak
untuk dihuni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650
jenis ikan karang, itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung
yang berada wilayah lainnya. Akibat lebih jauh adalah terjadinya perubahan komposisi ikan di laut
Indonesia. Ikan yang tak tergantung pada terumbu karang akan tumbuh dengan suburnya. Contohnya,
ikan belanak, bandeng, tenggiri dan teri, padahal ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yg lebih rendah
daripada jenis ikan karang.
\
BAB KELIMA
(5)
UPAYA ANTISIPATIF PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
1. Program Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Indonesia bangga sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia,
keanekaragaman bahari yang kaya, dan produktifitas sektor pertanian dan perikanan yang
tinggi.Akan tetapi kekayaan alam ini sedang menghadapi resiko akibat naiknya muka air laut,
banjir,kekeringan, dan tanah longsor yang diperkirakan merupakan dampak yang merusak dari
perubahan iklim global. Untuk melindungi masyarakat termiskin dan mencegah biaya ekonomi
yang dapat mengurangi keberhasilan pembangunan, pemerintah sebaiknya segera memulai
pelaksanaan tindakan antisipatif atas perubahan iklim. Terutama pada sektor pertanian,
kesehatan, kelautan dan perikanan, kehutanan, sumber daya air dan kawasan pesisir.
Berkaitan dengan perubahan-perubahan iklim maka upaya-upaya pembangunan yang
dilakukan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu upaya mitigasi dan upaya
adaptasi :
Upaya Mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan
emisi gas rumah kaca (GERK) ke atmosfer yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Untuk itu,
upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 2 (dua) sektor, yaitu : (a) sektor kehutanan sebagai
sumber mekanisme carbon sink (pemeliharaan hutan berkelanjutan, pencegahan deforstasi dan
degradasi hutan, pencegahan illegal logging, pencegahan kebakaran hutan dan lahan); serta (b)
sektor energi untuk mengurangi emisi GRK yang berasal dari pembangkitan energi, transportasi,
industri, perkotaan dan lahan gambut.
Upaya Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi
dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberikan manfaat
secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini
bertujuan untuk : (a) mengurangi kerentanan sosial-ekonomi dan lingkungan yang bersumber
dari perubahan iklim, (b) meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakat dan ekosistem,
sekaligus (c) meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (mengentaskan kemiskinan).
a. Upaya Antisipatif Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dapat dilakukan melalui Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya
melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan
Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya
pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria
pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan
gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan
budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara
struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem
permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti
jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak
kenaikan muka air laut yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka
pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai
berikut :
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan
muka air laut sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis
pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali
kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak
yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau
perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi
tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan
jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti
pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang
bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment).
Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara
hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip
“working with nature”.
Dalam mengantisipasi lingkungan hidup terhadap perubahan iklim, kita perlu
memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat. Dan karena iklim yang lebih panas akan
memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, maka diperlukan suatu
sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti
malaria dan deman berdarah dengue.
Selain itu langkah-langkah untuk mengendalikan penyakit akibat perubahan iklim dapat
dilakukan dengan cara Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah (MPBW). Cara ini digunakan
untuk mengendalikan penyakit dengan cara melihat prioritas masalah. Wilayah yang akan
diterapakan MPBW haruslah wilayah yang memang menderita penyakit yang cukup tinggi jika
dibandingkan daerah lainnya. Wilayah ini dapat dilihat dari peringkatnya dalam riskesdas yang
ditetapkan oleh menteri kesehatan. Selain MPBW, terdapat berbagai upaya strategis lainnya
untuk mengendalikan efek kesehatan akibat perubahan iklim, yaitu:
Indonesia Sehat 2020
Intensifikasi kegiatan pengendalian faktor risiko yang kini sedang dijalankan: STBM, WSLIC
dll
Networking (clearing house)
R n D (termasuk ke arifan lokal)
Pedoman-Guidelines
Health Promotion berbasis (knowledge and evidences)
c. Upaya Antisipatif Dampak Pertanian
Perubahan iklim menimbulkan pola curah hujan dan kejadian iklim
ekstrem, peningkatan suhu udara dan peningkatan muka air laut yang dapat
mempengaruhi produksi pertanian dan kondisi sosial-ekonomi petani,
sebagai subyek yang paling penting dalam pembangunan pertanian.
Interaksi sekian macam faktor perubahan iklim serta respons tindakan yang
dilakukan petani dan pengambil kebijakan pertanian akan menentukan masa
depan pertanian Indonesia serta tingkat penghidupan masyarakat dan
tingkat kesejahteraan bangsa. Dampak perubahan iklim yang paling nyata pada sektor
pertanian adalah kerusakan (degradasi) dan penurunan kualitas sumberdaya lahan dan air,
infrastruktur pertanian, penurunan produksi dan produktivitas tanaman pangan, yang akan
menghasilkan ancaman kerentanan dan kerawanan terhadap ketahanan pangan dan bahkan
kemiskinan. Sulit dilukiskan betapa dahsyat dampak sosial-ekonomi yang terjadi, misalnya jika
tiba-tiba tinggi air laut meningkat sampai tiga meter. Dampak tersebut akan dapat ditekan atau
dikurangi intensitasnya apabila kebijakan negara mampu menghasilkan insentif bagi petani dan
pelaku lain di sektor pertanian untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sedini
mungkin, sekarang ini.
1) Strategi antisipasi
Strategi ini ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian
dampak perubahan iklim terhadap (a) sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim
(aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumberdaya air (aspek hidrologis), keragaan dan
penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai; (b) infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian,
terutama sistem irigasi, dan waduk; (c) sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam,
produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi; dan (d) aspek sosial-ekonomi
dan budaya. Berdasarkan kajian tersebut ditetapkan strategi yang harus ditempuh dalam upaya:
(a) mengurangi laju perubahan iklim (mitigasi) melalui penyesuaian dan perbaikan
aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, dan (b) mengurangi dampak perubahan iklim terhadap
sistem dan produksi pertanian melalui penyesuaian dan perbaikan infrastruktur (sarana dan
prasarana) pertanian dan penyesuaian dan teknologi pertanian (adaptasi).
2) Program Mitigasi
Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagai emitor terbesar oksigen (O2) dari hutan dan
areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara terbesar ketiga dalam mengemisi
GRK, terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, Kebakaran hutan/lahan, emisi dari
lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut untuk senantiasa berupaya mengurangi
(mitigasi) emisi GRK, antara lain melalui :
CDM ( Clean Development Mechanism )
Perdagangan karbon ( carbon trading ) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu
menekan GRK, dan
Penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengolahan lahan dan air dengan
tingkat GRK yang lebih rendah.
3) Program Adaptasi
Strategi adaptasi adalah suatu respon terhadap stimulus atau pengaruh iklim nyata atau
prakiraan yang dapat meringankan dampak buruknya atau memanfaatkan peluang-peluang yang
menguntungkan melalui :
Reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air
Penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan
perubahan sistem hidrologi dan sumberdaya air,
Penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas,
dan sistem pengolahan tanah.
Perbanyakan varietas padi yang tahan kekeringan, umur endek
Penggunaan pupuk organik dan hayati
Penahapan adaptasi dalam pertanian
(Sumber : country Report 2007)
d. Upaya Antisipatif Dampak Kehutanan
Ancaman dan permasalahan lingkungan yang dihadapi manusia saat ini adalah
pemanasan global dan perubahan iklim. Indonesia memiliki peran yang penting dalam isu
perubahan iklim global dengan menyediakan jasa lingkungan berupa penyerapan emisi karbon
dari hutan yang ada.
Hutan Indonesia yang luasnya 120,3 juta ha diyakini mampu menyerap emisi secara
signifikan. Namun demikian terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia juga
dianggap sebagai sumber emisi karbon karena melepas CO2 ke atmosfer. Pada kondisi hutan
yang baik, keberadaan hutan bermanfaat sebagai penyimpan dan penyerap emisi karbon atau
emisi GRK. Namun, pada kondisi hutan yang kurang baik, dianggap sebagai sumber emisi
karbon karena melepas CO2 ke atmosfer. Menurut Stern Report, deforestasi menyumbang 18%
dari emisi GRK total dunia, dan 75%-nya berasal dari negara berkembang.
Di Indonesia, sektor kehutanan dan gambut berkontribusi paling besar terhadap tingkat
emisi rumah kaca, yakni 61%. Upaya menurunkannya dilakukan dengan cara menyerap karbon
kembali melalui penanaman, rehabilitasi dan konservasi lahan. Cara tersebut diperkirakan
mampu menurunkan hingga 300 metrik ton karbondioksida per tahun hingga 2020. Cara ini
memang membutuhkan dana yang tidak kurang dari sekitar 630 juta US doliar per tahun.
Gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon harus terus digelorakan dan dilakukan secara
kontinyu pada setiap tahun masa tanam. Gerakan tersebut diantaranya dengan mencanangkan
kelanjutan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan). Hasilnya, sejak tahun 2003 hingga
2007 telah tercapai penanaman pada area seluas 4 juta ha yang tersebar di 33 provinsi. Dalam
waktu 5 hingga 10 tahun mendatang, bangsa Indonesia akan menikmati indahnya bumi Indonesia
hijau berseri.
Untuk mengurangi dampak yang berlebihan dalam pengelolaan sumber daya hutan telah
dilakukan upaya mitigasi terhadap lima masalah pokok di bidang kehutanan yaitu pencegahan
penebangan hutan secara ilegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi industri
kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi kewenangan
pengelolaan kehutanan. Upaya-upaya tersebut sampai saat ini masih terus dijalankan dan lebih
diintensifkan, dengan hasil kemajuan yang bervariasi. Misalnya dalam menangani penebangan
liar telah dilakukan penggalangan berbagai pihak baik melalui kampanye anti illegal
logging maupun operasi-operasi penegakan hukum di lapangan. Kemudian untuk mengatasi
masalah kebakaran hutan telah dibuat dan disebarkan peta identifikasi kawasan hutan yang
rawan terbakar serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk mengendalikan kebakaran
hutan. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi telah dilakukan pengalihan kewenangan dan
urusan kehutanan secara bertahap kepada pemerintah daerah sehingga pengawasan oleh
masyarakat luas dapat lebih efektif. Hal ini juga didukung dengan penerapan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat baik dalam bentuk pengelolaan hutan kemasyarakatan maupun hutan rakyat.
Disamping itu, beberapa kabupaten telah menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan
hutan berbasis masyarakat sebagai perwujudan pengelolaan sumber daya alam yang partisipatif.
e. Upaya Antisipatif Dampak Sumber Daya Air
Salah satu persoalan kebutuhan manusia yang terpengaruh sebagai dampak pemanasan
global tersebut adalah ketersedian air. Ketersediaan air merupakan permasalahan yang penting
yang terkait dengan perubahan iklim. Vorosmarty et al. (2000) menunjukan bahwa masalah air
terjadi karena adanya peningkatan penduduk bumi sehingga meningkatkan pula kebutuhan air.
Kebutuhan yang meningkat akan semakin menekan pada sistem air global yang berkaitan dengan
efek pemanasan global. Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi menjadi pendorong utama
kebutuhan air, sementara itu ketersediaannya dipengaruhi oleh peningkatan evaporasi
(penguapan) akibat peningkatan temperatur permukaan bumi. Hal ini berkorelasi pada kebutuhan
akan adanya manajemen terintegrasi sumber daya air, yang bila tidak dilakukan akan berdampak
pada pengrusakan sumber daya air secara fisik, institusional, dan selanjutnya berimplikasi pada
sosioekonomi.
Strategi pertama yang dilakukan dalam program meningkatkan pengelolaan sumber
daya air dengan memperkuat koordinasi PU, Deptan, Dephut, Pemda dan KLH. Pengelolaan
sumber daya air secara terpadu adalah kunci mengantisipasi dampak perubahan iklim. Hal ini di
lakukan dengan cara pengembangan infrastruktur sumber daya air yakni masih banyak
diperlukan pembangunan bendungan, waduk, dan sistim jaringan irigasi yang handal untuk
menunjang kebijakan ketahanan pangan pemerintah. Di samping itu untuk menjamin
ketersediaan air baku, tetap perlu dilakukan normalisasi sungai dan pemeliharaan daerah aliran
sungai yang ada di beberapa daerah. Pemeliharaan dan pengembangan Sistem Wilayah Sungai
tersebut didekati dengan suatu rencana terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola secara
profesional. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi rancang bangun Bendungan Besar,
Bendung Karet, termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem irigasi maupun rancang bangun
pengendali banjir.
Strategi kedua adalah budaya hemat air dan pencegahan kerusakan lingkungan sangat
penting diperkenalkan pada masyarakat secara terus menerus. Apabila kegiatan manusia tidak
memperhatikan mutu air akan menimbulkan masalah kehidupan manusia. Kegiatan utama seperti
kegiatan yang dilakukan dalam bidang perindustrian dan pertanian. Kegiatan yang dikhawatirkan
adalah kegiatan yang dapat menimbulkan kontaminasi air yang dapat mengancam terpenuhinya
kebutuhan air yang berasal dari sumber air alami tanpa perlakuan dan pemurnian. Hal tersebut
akan menyebabkan kesulitan mendapatkan air dalam jumlah banyak.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam rangka penghemat air adalah menghentikan
pembuangan sampah dalam segala bentuknya. Artinya semua sampah harus didaur ulang untuk
diambil manfaat sebanyak-banyaknya. Kita harus melakukan usaha penggunaan air lebih sedikit
mungkin dimanapun berada dan untuk kegiatan apapun. Beberapa tindakan yang perlu dilakukan
secara bersama-sama oleh pemerintah, swasta dan masyarakat umum adalah sebagai berikut:
Mencegah terjadinya kerusakan kronis tempat sumber air melalui pencegahan polusi air
terhadap bahan kimia dan bahan lain yang menimbulkan rusaknya kualitas air sungai dan mata
air.
Mencegah dan memerangi polusi akibat kecelakaan transportasi, kebakaran, ledakan, kerusakan
pipa dan sebagainya.
Menjaga dan mengawasi tempat pengolahan sumber air bersih.
Memonitor sumber air secara berkala baik mutu maupun jumlah air di setiap sumber air.
Mengatur sumber air dengan cara menjaga fasilitas umum, dan mengatur pemenuhan kebutuhan
air untuk jangka waktu lama.
Menghemat penggunaan air dengan cara mencegah hilangnya air pada saluran air dan
memonitor penggunaan air PAM (ledeng).
f. Upaya Antisipatif Dampak Kawasan Pesisir
Strategi adaptasi di wilayah pesisir terhadap penduduk yang menghadapi masalah
kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum. Pertama, “membuat
perlindungan”, yaitu dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove.Kedua,
“mundur”, dengan bermukim jauh dari pantai. Ketiga, “melakukan penyesuaian”yaitu misalnya,
dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.
Selain itu, dalam hal upaya fasilitasi dan pembinaan teknis kegiatan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim di wilayah pesisir dilakukan melalui beberapa alternatif berikut ini :
Secara Struktural, dalam hal ini upaya dilakukan secara protektif, yaitu dengan membuat
bangunan pantai yang secara langsung melindungi insfrastruktur pesisir dari kenaikan
permukaan air laut. Kegiatannya bisa dengan struktur keras (hard structure) seperti
pembuatan seawall atau dinding pantai dan struktur lunak (soft strcture) dengan mangrove dan
vegetasi pantai.
Secara non struktural, dalam hal ini upaya yang dilakukan adalah bersifat perencanaan,
pendidikan, penyadaran dan penataan ruang dan sebagainya. Pemerintah perlu melakukan upaya-
upaya antisipasi melalui penyusunan kebijakan dan program yang secara tidak langsung akan
mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan kenaikan muka air laut. Upaya ini
dapat dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
1) Penataan ruang wilayah pesisir
Sesuai pasal 9 UU No. 27 tahun 2007 tentang PWP-3-K yang menyatakan bahwa
rencana zonasi wilayah pesisir harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan
rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini bersesuaian dengan
hasil kajian dan rekomendasi IPCC, bahwa pembangunan dikawasan pesisir haruslah
menghindari pengembangan di wilayah pesisir yang rawan dan rentan terhadap dampak kenaikan
permukaan air laut serta mengusahakan agar sistem perlindungan alami pesisir dan pulau-pulau
kecil seperti mangrove, terumbu karang, lamun, gumuk pasir dan lain-lain tetap berfungsi
dengan baik. Dalam penataan ruang pesisir dibuat sedemikian rupa agar mampu mengalokasikan
ruang terbuka hijau untuk meningkatkan kapasitas alami dalam menyerap karbon, sehingga
dampaknya bisa diminimumkan. Juga akan dialokasikan kawasan-kawasan konservasi baik di
darat maupun di laut yang sebagian berfungsi lindung untuk memperkuat sistem alam, sehingga
kondisi ekosistem darat dan laut tersebut menjadi lebih baik dan akan lebih tahan dalam
menghadapi perubahan iklim yang terjadi.
2) Gerakan Nasional Bersih Pantai dan Laut
Program Bersih Pantai (beach clean up) akan menggugah kesadaran masyarakat untuk
melakukan program kemitraan dalam pengendalian pencemaran laut. Pelaksanaan kegiatan
bersih pantai harus diagendakan sebagai kegiatan tahunan, yang diharapkan dari tahun ketahun
kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang dinantikan masyarakat. Dengan adanya kegiatan rutin
tahunan tersebut, maka dapat dilakukan progam monitoring sampah di pantai dan laut pada
tingkat kabupaten, propinsi dan nasional.
Foto Bersih2 Pantai (……………………………….kawasan pesisir)
3) Rehabilitas Habitat Pesisir
Rehabilitas dilakukan dalam rangka memperbaiki kerusakan yang ada, memulihkan
fungsi dan kualitas habitat, dan meningkatkan kemampuan habitat dalam perubahan iklim.
Upaya penyerapan karbon dapat dilakukan dalam bentuk reforestasi, aforestasi dengan mangrove
dan vegetasi pantai serta perbaikan ekosistem terumbu karang.
4) Penanaman vegetasi Pantai
Penerapan metode replant (salah satu metode 4R), denganpenanaman
mangrove atau vegetasi pantai lainnya yang dapatberfungsi sebagai pengen
dali pencemaran laut. Keberadaan ekosistem mangrove dinilai sangat penting selain
berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut juga memiliki andil dalam mitigasi perubahan
iklim melalui penyerapan emisi CO². Untuk itu kegiatan penanaman mangrove
ini harus dilakukan agar ketahanan pesisir kita dalam menghadapi bencana akibat dampak
perubahan iklim meningkat. Hal ini amat penting mengingat bagaimanapun masyarakat pesisir
yang paling merasakan dampak akibat perubahan iklim.
Foto kegiatan penanaman mangrove ...........................
5) Pemberdayaan Ekosistem Masyarakat Pesisir
Kondisi sosial ekonomi pesisir masyarakat pesisir akan terpengaruh banyak akibat
perubahan iklim dan hal itu akan semakin luas dampaknya. Sebab hampir 70 persen penduduk
Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang ada
di tempat tersebut. Kegiatan adaptasi sosial-ekonomi yang dapat dilakukan adalah melalui : (a)
reinventarisasi potensi dan karateristik sumberdaya, (b) penyesuaian infrastruktur sosial ekonomi
masyarakat, dan (c) penyesuaian pola budidaya dan penangkapan ikan.
g. Upaya Antisipatif Dampak Kelautan dan Perikanan
Bagi sektor kelautan dan perikanan, cuaca buruk dan ektrim yang diikuti dengan
gelombang besar, badai, dan ’rob’ yang terjadi hampir di seluruh wilayah Nusantara akhir-akhir
ini telah menyengsarakan kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan, khususnya pembudidaya
tambak di kawasan pesisir. Ratusan ribu nelayan tidak bisa melaut dan ratusan nelayan hilang
tergulung ombak besar. Kalaupun ada daerah-daerah pesisir dan laut yang agak teduh, nelayan
harus menangkap ikan lebih jauh ke tengah laut, karena daerah penangkapan ikan (fishing
grounds) semakin jauh ke arah laut lepas. Hal ini tentu telah menyebabkan biaya melaut menjadi
semakim mahal. Ribuan hektar tambak di Pantura mengalami rusak berat akibat terjangan
gelombang, rob, dan badai. Pembudidaya rumput laut, baik jenis Gracilaria sp yang ditambak
maupun jenis Eucheuma cotonii yang di laut, di beberapa daerah Pantura, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan NTB, banyak yang mengalami penurunan produktivitas. Hal ini
disebabkan karena airnya menjadi lebih tawar dan keruh, atau terlanda rob. Oleh sebab itu, kita
seluruh komponen bangsa harus bersatu padu secara sinergis untuk melakukan upaya mitigasi
dan adaptasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim global.
Pada dasarnya, ada tiga strategi adaptasi yang dapat dilakukan di lingkup sektor kelautan
dan perikanan dalam meminimalisir atau bahkan menghindari dampak negatip perubahan iklim
global Pola. Pertama adalah dengan pendekatan protektif (membuat perlindungan), yaitu
dengan menanam tanaman (mangrove dan tumbuhan pantai lainnya) atau bangunan (pemecah
gelombang, groin, pematang, dan lainnya) yang secara langsung dapat menahan kenaikan muka
laut, hantaman gelombang besar dan rob.
Kedua, dengan pendekatan akomodatif atau melakukan penyesuaian baik secara fisik
maupun sosial-ekonomi dan budaya hidup. Contohnya adalah: (1) masyarakat pesisir beralih ke
matapencaharian lain yang kemungkinan tidak akan terkena dampak perubahan iklim, (2)
pengembangan spesies budidaya yang tahan terhadap kenaikan suhu, banjir, dan dampak
perubahan iklim lainnya (misalnya melalui rekayasa genetik dan aklimatisasi), dan (3)
pengembangan teknologi produksi (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) baru yang
sesuai dengan keadaan yang bakal terjadi akibat perubahan iklim global. Ketigaadalah dengan
pola retreat (mundur), dengan bermukim, membangun infrastruktur dan bangunan jauh dari bibir
pantai atau membuat dan mengimplementasikan tata ruang berbasis perubahan iklim global.
2. Meningkatkan Kerjasama Pemerintah, Swasta dan Masyarakat
Mengingat perubahan iklim merupakan permasalahan global dan menyebar di seluruh
Indonesia maka sebagai warga negara yang baik kerjasama antar pemerintah, swasta dan
masyarakat perlu dikembangkan.
International Youth Conference (IYC) di Yogyakarta yang dihadiri oleh 144 pemuda dari
37 negara menghasilkan 32 resolusi penting guna penanganan perubahan iklim dan lingkungan
untuk setiap negara di dunia. Beberapa butir rekomendasi tersebut diantaranya adalah mendesak
tiap negara mengembangkan sumber energi berkelanjutan dan mempromosikan penggunaan
energi terbarukan, seperti energi surya, panas bumi, dan energi angin. Diikuti kemudian dengan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang isu-isu lingkungan melalui media, kurikulum
pendidikan, dan kegiatan pemuda dalam mendukung kepedulian pada lingkungan. Selain
itu masing-masing negara mendorong pengembangan kebijakan konservasi yang
memperhitungkan kebutuhan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Setiap negara juga
menetapkan pajak berbasis insentif kepada perusahaan untuk mendanai proyek lingkungan dan
sosial bagi masyarakat yang terkena dampak dan rentan. Negara diharapkan pula untuk
memperkuat kerja sama antara pemerintah dan swasta, melakukan pengelolaan hutan lestari
dalam rangka melestarikan sumber daya hutan dengan mempertimbangkan peran hutan untuk
kesejahteraan umat manusia. setiap negara diharuskan mempromosikan pertukaran pengetahuan
dan pengalaman tentang mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan membangun
jaringan kelembagaan yang ada, baik lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, media,
sektor swasta, lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga agama. Sementara itu, sektor
swasta disarankan untuk mengembangkan lebih banyak produk ramah lingkungan dan
berinvestasi untuk program yang ramah lingkungan, seperti mengurangi emisi bahan kimia,
racun, dan limbah berbahaya serta GRK.
Tidak hanya IYC, DKI Jakarta pun ikut andil dalam mengantisipasi dampak-dampak
yang terjadi pada perubahan iklim. Berdasarkan hasil kajian economy and environment program
for southeast Asia (EEPSEA), sebuah program di bawah international development research
centre (IDRC) menyebutkan bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang paling rentan terhadap
perubahan iklim. Penyebab tingginya tingkat kerentanan perubahan iklim di DKI Jakarta tidak
hanya dipengaruhi faktor resiko bencana yang selama ini sering melanda Jakarta, seperti banjir,
kekeringan maupun peningkatan permukaan air laut (rob), melainkan juga dipengaruhi oleh
tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Pemerintah pusat menjadikan DKI Jakarta
sebagai pilot project untuk mengantisipasi perubahan iklim di Indonesia. Sehingga dalam
mengatasi persoalan yang ada, DKI tidak bekerja sendiri akan tetapi mendapatkan bantuan dari
berbagai instansi sehingga penangannya cepat tuntas.Bahkan secara administrasi, Pemprov DKI
Jakarta juga telah menerbitkan sejumlah regulasi, diantaranya Perda Nomor 6 Tahun 1999
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, Perda Nomor 02 Tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, Pergub Nomor 68 Tahun 2005 tentang Pembuatan Sumur
Resapan, dan Pergub Nomor 31 Tahun 2008 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor. Peraturan tersebut telah diimplementasikan dalam bentuk kegiatan hari bebas
kendaraan bermotor, penanaman 1 juta pohon, pembuatan kawasan hutan lindung, hutan kota,
hutan mangrove, lubang resapan biopori, kawasan bebas merokok, dan normalisasi saluran air.
Untuk mendukung program perubahan iklim di Indonesia khususnya di kota
Tarakan,dalam pertemuan Memperingati Hari Bumi di gedung DPRD kota Tarakan pada 21
April2011, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Drs. Firmananur,
M.Si menyatakanpesannya untuk mengatasi lingkungan ini. Di antaranya perlu kebersamaan
antar semuastakeholder, termasuk masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang peduli
lingkungan, akan semakin baik arah pembangunan di Tarakan. Artinya tidak ada satu pihak pun
yang dapat melakukan sendiri dalam mengelola kondisi alam yang telah rusak akibat terjadinya
perubahan iklim mengingat kompleksitas sumberdaya dan permasalahannya. Kerjasama antar
pemerintah, perguruan tinggi dan swasta, serta masyarakat yang komprehensif mendorong
akselerasi pembangunan kota Tarakan. Dalam pertemuan itu, organisasi Tim Peduli
Lingkungan juga menegaskan keberhasilan mengatasi kerusakan lingkungan baru dapat
dicapai apabila bangsa-bangsa bekerja sama antara pemerintah, jaringan bisnis
dan jugamasyarakat. Wujud kerja sama masyarakat itu misalnya pada pemeliharaan hutan bakau,
seperti yang kita ketahui hutan mangrove atau hutan bakau menyimpan lebih banyak karbon
dibanding kebanyakan hutan tropis. Ini menunjukkan pentingnya pelestarian hutan bakau sebagai
langkah mengatasi perubahan iklim yang mana kerusakannya sangat signifikan akan
berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Untuk itu kita harus segera melakukan upaya untuk
mengubah paradigma bahwa perubahan iklim yang diakibatkan degradasi lingkungan bukan
merupakan krisis semata akan tetapi dapat menjadi peluang untuk melakukan kegiatan
pemulihan dan perbaikan lingkungan yang sekaligus dapat mengatasi krisis ekonomi yang
diakibatkannya. Program pemerintah dalam mengembangkan kota dianggap sangat penting,
namun disamping itu, proses pengembangan tersebut diharapkan tidak mengabaikan kepentingan
lingkungan yang efeknya sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di kota ini. Seperti
faktor terbesar terjadinya banjir di Tarakan karena proses Galian C (penambangan pasir dan
pemotongan bukit, dan lainnya) yang tidak diawasi dengan maksimal oleh pemerintah. Tanah
menjadi labil serta juga terjadi pendangkalan pada sungai-sungai, sebab bukit yang merupakan
salah satu pilar bumi sudah dipangkas-pangkas. Ibarat rumah, bukit itu adalah tiang, dan dibawah
bukit terdapat penahan tanah agar tidak goyang, lalu jika bukit sudah hilang, kondisi tanah akan
sangat labil. Sehingga bukit memberikan kontribusi besar bagi kehidupan. Selain itu pihak
swasta juga diminta untuk terlibat dalam program ini melalui program CSR (corporate social
responsibility)
\
BAB KEENAM
(6)
PENUTUP
Dari uraian diatas kita dapat melihat bahwa perubahan iklim bermula pada efek rumah
kaca. Efek ini terjadi akibat adanya emisi dari karbon dioksida. Pada mulanya, karbon dioksida
dianggap bukan sebagai sumber pencemar udara karena Karbon dioksida, merupakan senyawa
normal yang ada di atmosfir sebagai hasil dari siklus karbon dan oksigen. Akan tetapi, karena
semakin banyaknya penggunaan bahan bakar fosil dan adanya intervensi manusia dalam siklus
karbon dan oksigen mengakibatkan produksi karbon dioksida lebih cepat dari pada siklus normal
sehingga terjadi kepincangan, sebagai akibatnya konsentrasi rata-rata karbon dioksida di atmosfir
meningkat. Pemanasan global ini menyebabkan perubahan iklim.
Pengaruh laut sangat kuat terhadap iklim di bumi terutama untuk menyerap energy
matahari dan mendistribusikannya kembali ke seluruh bagian bumi dalam bentuk arus air.
Perubahan pola arus air yang hangat maupun dingin akan mengakibatkankekacauan iklim,
seperti peristiwa El Nino yang di Indonesia telah dirasakan dalam bentuk temperature udara yang
tinggi, kekeringan yang panjang, kebakaran hutan dan curah hujan yang sedikit. Hal ini dialami
oleh berbagai sector yakni pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan bahkan sektor
kehutanan. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-
geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama
penyakit, dsb).
Dampak negatif dari perubahan iklim global ini pun telah di rasakan saat ini dengan
adanya berbagai bencana yang melanda di seluruh lapisan dunia dan dipastikan bencana ini akan
semakin meningkat pada masa mendatang. Bencana tersebut seperti terjadinya bencana banjir,
tsunami, kekeringan, badai, tanah longsor dan sebagainya, sehingga mempengaruhi keterbatasan
air bersih, kebutuhan sanitasi dasar, ketersediaan pangan yang akan menimbulkan masalah gizi
dan menyebabkan rentan terhadap penyakit.Oleh karena itu, ketika manusia menyadari bahwa
aktifitasnya telah mengakibatkan Efek Rumah Kaca yang berlebih, maka diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh untuk menguranginya sehingga mencapai keseimbangannya kembali.
Dunia masih mempunyai kesempatan realistis guna menghindari sebagian dari bencana
meluas akibat pemanasan global (global warming). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan dan
dipersiapkan melalui berbagai upaya dan langkah – langkah implementasinya. Melindungi diri
dari perubahan iklim dibagi atas upaya mitigasi mengurangi emisi gas rumah kaca dari
sumbernya) dan adaptasi (mengatasi dampak perubahan iklim ) yang seringkali tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya.
P U S T A K A
Numberi Freddy. Perubahan Iklim, Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir dan pulau-pulau Kecil. Jakarta : Fortuna Prima Makmur, 2009
Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional Study on Global Environmental Issues, July 1994
Center for Global Environmental Research, Data Book of Sea Level Rise, National Institute for Environmental Studies, Environment Agency of Japan, 1996
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir – Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Kusnoputaranto, Haryoto, dan Dewi Susanna. Kesehatan Lingkungan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000.Water Borne Disease. 16 Desember 2009. www. en.wikipedia.org
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change), Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovenrmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/, 2007.
Dr. Tresna Dermawan Kunaefi, Materi Seminar Sehari World Water Day 2011, "Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu dan Berkelanjutan dalam Rangka Adaptasi Perubahan Sistem Iklim Global" Bandung, 25 Maret 2011
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia – Jakarta, 30 Mei 2002.
Slamet S Lilik (Peneliti Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) , Pemanasan dan Pendinginan Global > Efek
Rumah Kaca. Harian Pikiran Rakyat Bandung. 2009Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia,Direktorat Bina Pesisir – Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional : Kebijakan Spasial untuk Pengembangan Kemaritiman Indonesia, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 11 Oktober 2002.
Pengertian Iklim dan Perubahan Iklim. Februari 2009, www.dirgantara-lapan.or.id
F. and M. van Noordwijk. 2007. CO2 emissions depend on two letters. Jakarta, 2009
Upaya Pengendalian Perubahan Iklim dan Pemanasan Global dengan One Man One Tree,15 Mei 2009. www.dephut.go.id
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Tanya-Jawab tentang Isu-isu Perubahan Iklim, Jakarta, 2001
Forest Destruction, Climate Change and Palm Oil Expansion in Indonesia, Jakarta, 2008Newsweek, The Truth about Global Warming, Article on Science and
Technology, Edition July 23, 2001.
The State Ministry of Environment – The Republic of Indonesia, Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia, Indonesia Country Study on Climate Change, Jakarta, 1998.
Dampak Perubahan Iklim, Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan, 3 Maret 2009www. iklim.dirgantara-lapan
Perubahan Iklim dan Sirkulasi Global. 18 Desember 2009. www. edukasi.kompasiana.com
Hairiah Kurniatun. Tanpa Tahun. PERUBAHAN IKLIM GLOBAL: Penyebab dan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl Veteran, Malang 65145. Email: [email protected] [email protected].
Asosiasi Pengembangan Ilmiah Amerika. Ilmu Pengetahuan dan Solusi Pemanasan Global.www. perubahaniklim.net
Upaya Pengendalian Perubahan Iklim dan Pemanasan Global dengan One Man One, 15 Mei 2009. www.dephut.go.id
Penanganan sumber air antisipasi perubahan iklim, 4 Februari 2008,www.atanitokyo.blogspot.com
Trewartha and Horn, The impact of international greenhouse gas emissions reduction on Indonesia. Report on Earth System Science, Max Planck Institute for Meteorology, Jerman,1995.
Meiviana, Armely, Diah R Sulistiowati, Moekti H Soejachmoen. BUMI MAKIN PANAS - ANCAMAN PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA. Kerjsama Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan, Pelangi dan JICA, 2004
Pietsau Amafnini, Upaya Indonesia, 6 Juni 2010, www. sancapapuana.blogspot.com
Stern Reviev : The Economic of Climate Change (2006), Environmental and Resource Economics, 2001.
Iklim Global, 2 Mei 2007, www. angitselatan.com
Penyebab Perubahan Iklim. 14 Mei 2008, www. walkingonthemoon.multiply.com
Fajar Jasmin. Penyebab Perubahan Iklim. 4 Mei 2010, www. iklimkarbon.com
Perubahan Iklim Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. 17 Januari 2008www.blogster.com
Apa itu Pemanasan Global, 24 mei 2004 www.pemanasanglobal.netKonferensi Pemuda Internasional untuk Perubahan Iklim Hasilkan 32 Rekomendasi ,25 Februari
2011, www.ugm.ac.idStrategi Adaptasi Sektor Kelautan dan Perikanan Menghadapi Perubahan Iklim Global 2 januari
2011, www. dahuri.wordpress.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengaruh iklim terhadap kehidupan manusia. iklim merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena cuaca dan iklim iklim mempunyai peranan yang besar terhadap kehidupan seperti dalam bidang pertanian, perhubungan, telekomunikasi, pariwisata dan budaya masyarakat.